HARGA DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA YANG MENJALANI RAWAT JALAN DI RSU DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO KOTA MOJOKERTO ERNI SHOFIYAH 1212010010 SUBJECT: Klien Gangguan Jiwa, Harga Diri, Rawat Jalan DESCRIPTION: Angka gangguan jiwa di Indonesia semakin meningkat, hal ini dikarenakan beban hidup yang semakin berat. Pasien gangguan jiwa yang menjalani perawatan dirumah mengalami penurunan harga diri, melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui harga diri pada pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah harga diri pada pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan. Populasi yaitu 45 pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan dengan sampel sebanyak 30 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Pengambilan data dilakukan di Poli Jiwa RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto pada tanggal 19 Mei-5 Juni 2015. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner Coopersmith Self Esteem Inventory (CSEI). Analisa data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mengalami harga diri rendah yaitu sebanyak 23 responden (76,7%) dan sebagian kecil responden mengalami harga diri tinggi yaitu sebanyak 7 responden (23,3%). Harga diri rendah paling banyak disebabkan oleh hubungan dengan orang tua yaitu sebanyak 20 responden (66,7%). Harga diri rendah disebabkan karena diri sosial, teman sebaya, orang tua dan akademis, selain itu harga diri juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman penyakit masa lalu atau pernah mengalami gangguan kejiwaan, sehingga tidak dapat beradaptasi dengan lingkungannya merupakan salah satu penyebab terbentuknya harga diri rendah pada klien. Harga diri pada klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan di RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto termasuk dalam kategori harga diri rendah. Petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan perhatian dalam pelayanan terhadap pemulihan harga diri pada pasien gangguan jiwa. ABSTRACT The figures of mental disorders in Indonesia is increasing, this is due to the increasingly heavy burden of life. Mental patients undergoing treatment at home experience decreased self-esteem, see the environment in a negative way and regard it as a threat. The purpose of this study was to determine self-esteem on mental patients who undergo outpatient. This is a descriptive research. The variable in this study was self-esteem on mental patients who undergo outpatient. Population was 45 mental patients undergoing outpatient with a sample of 30 people. The sampling technique used was purposive sampling. Data was collected at mental Unit of RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto from May 19 to June 5, 2015. The data was collected by using questionnaire. Data was analyzed using frequency distribution. 1 The results suggests that nearly all respondents had low self esteem, i.e 23 respondents (76.7%) and a small percentage of respondents experience high esteem, i.e. seven respondents (23.3%). Low self esteem is mostly caused by relationship with parents i.e. 20 respondents (66.7%). Low self esteem is due to social self, peers, parents and academics, besides selfesteem can also be influenced by the experience of past disease or psychiatric disorders, That they can’t adapt to the environment is one of the causes of the formation of low self esteem in clients. Self-esteem in clients with mental disorders who undergo outpatient at RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto can be included in the category of low self esteem. Health workers are expected to increase attention in the service of self-esteem recovery in patients with mental disorders. Keywords: Self-Esteem, Mental Disorders, Outpatient Contributor : 1. Budi Prasetyo, M.Kep.,Ns. 2. Yudha Laga HK, S.Psi Date : 8 Juli 2015 Type Material : Laporan Penelitian Edentifier :Right : Open Document SUMMARY : Latar Belakang Masalah kesehatan jiwa akan meningkat di era globalisasi, hal ini dikarenakan beban hidup yang semakin berat. Klien gangguan jiwa tidak lagi didominasi kalangan bawah tetapi kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta dan kalangan profesional. Penyebab dikalangan menengah ke atas sebagian besar akibat tidak mampu mengelola stress dan ada juga akibat post power syndrome atau mutasi jabatan. WHO (2013) menjelaskan, angka gangguan mental emosional sebanyak 20,4% dan angka gangguan jiwa yang ditemukan 11,6% berdasarkan estimasi jumlah penduduk dewasa. Riset Kesehatan Dasar (2012) menunjukkan bahwa sebanyak 0,46% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar satu juta orang menderita gangguan jiwa dan 18,1% penderita gangguan jiwa mengalami harga diri rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa. Data tersebut menunjukkan bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu meningkat (Depkes RI, 2012). Survei Dinkes Jawa Timur (2012) data kunjungan gangguan jiwa di Puskesmas Provinsi Jawa Timur sebanyak 368.994 jiwa, jumlah kunjungan rawat jalan 9.085.656 jiwa, jumlah kunjungan rawat inap 422.510 jiwa. Di Kabupaten Mojokerto sendiri jumlah kunjungan pasien gangguan jiwa rawat jalan sebanyak 234.943 jiwa dan kunjungan gangguan jiwa rawat inap sebanyak 1.475 jiwa. Dari fenomena diatas, gangguan jiwa yang sering muncul adalah gangguan konsep diri harga diri rendah (Dinkes Jatim, 2012). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto pada tanggal 5 Februari 2015, jumlah kunjungan pasien gangguan jiwa pada tahun 2014 sebanyak 763 pasien, sedangkan data kunjungan pada bulan Januari 2015 sebanyak 132 pasien. Diagnosa keperawatan terbanyak antara lain halusinasi, harga diri dan isolasi sosial. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 5 pasien gangguan jiwa yang sedang berkunjung didapatkan bahwa 4 pasien didiagnosa mengalami harga diri rendah seperti mudah jengkel bila berada di rumah, merasakan banyak kekurangan pada dirinya sedangkan 1 pasien mengalami halusinasi. 2 Penelitian oleh Lintin, Dahrianis dan Nur (2013), tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan konsep diri pada pasien harga diri rendah di Rumah Sakit Khusus Daerah Prov. Sulawesi Selatan terhadap 30 klien gangguan jiwa diperoleh gambaran harga diri rendah berdasarkan gambaran diri terjadi perubahan ke arah negatif sebanyak 23 orang (76,7%), ideal diri kearah negatif 22 orang (73,3%), harga diri kearah negatif 20 orang (66,7%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih tingginya angka gangguan jiwa yang mengalami harga diri rendah. Harga diri rendah adalah persaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan dirinya. Harga diri seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Pasien yang menjalani perawatan di rumah mengalami penurunan harga diri melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai ancaman (Lintin, dkk, 2013). Harga diri rendah tidak segera ditanggulangi sudah tentu berdampak pada gangguan jiwa yang lebih berat. Beberapa tanda- tanda harga diri rendah yaitu rasa bersalah terhadap diri sendiri, merendahkan martabat sendiri, merasa tidak mampu, gangguan hubungan sosial, kurang percaya diri kadang sampai mencederai diri sendiri (Townsend, 2005). Upaya rehabilitatif untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial dapat dilakukan dengan berbagai terapi keperawatan jiwa, diantaranya dengan melakukan terapi modalitas yang terdiri dari terapi individu maupun terapi kelompok. Namun terapi yang dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial ialah dengan terapi aktivitas kelompok (TAK) yang merupakan salah satu terapi modalitas dalam bentuk terapi kelompok yang ditujukan untuk mengatasi klien dengan masalah yang sama. TAK merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien sehingga diharapkan pasien dapat kembali bersosialisasi di masyarakat. Pelaksanaan TAK masih jarang dilakukan karena kemampuan perawat dalam menjalankan kegiatan TAK belum memadai, pedoman pelaksanaan dan perawatan yang mewajibkan pelaksanaan TAK di Rumah Sakit juga belum ada (Widowati, 2010 dalam Lintin, dkk, 2013). Pencegahan awal dari gangguan jiwa yang mengalami harga diri rendah sangat penting, hal ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan tehnik komunikasi terapeutik agar terjalin hubungan yang realitas dan saling percaya antara perawat dan klien, bersama klien juga kita cari pemecahannya. Perawat hendaknya juga mengetahui tentang hubungan klien dengan keluarga serta mengadakan pendekatan pada keluarga agar membantu dalam proses keperawatan dan memudahkan dalam pemberian asuhan keperawatan (Widjayanti 2009). Berdasarkan fenomena diatas, harga diri rendah merupakan hal yang sering dalami pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan, maka peneliti tertarik untuk mendapatkan gambaran tentang harga diri pada pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran harga diri pada pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan. Metodologi Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah harga diri pada pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan di RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto, jumlah rata-rata kunjungan di poli jiwa selama 3 bulan terakhir dalam 1 bulan terdapat 45 orang dengan sampel sebanyak 30 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Pengambilan data dilakukan 3 di Poli Jiwa RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto pada tanggal 19 Mei-5 Juni 2015. Pengumpulan data dengan menggunakan lembar kuesoner Coopersmith Self Esteem Inventory (SEI). Analisa data menggunakan deskriptif statistik tipe distribusi frekuensi. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mengalami harga diri rendah yaitu sebanyak 23 responden (76,7%). Harga diri rendah paling banyak dipengaruhi oleh hubungan dengan orang tua yaitu sebanyak 20 responden (66,7%). Harga diri merupakan hasil penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini menyatakan suatu sikap yang berupa penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu itu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, dan berharga menurut keahliannya dan nilai pribadinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri antara lain jenis kelamin, faktor sosial ekonomi, faktor usia, lingkungan keluarga, kondisi fisik, faktor psikologi individu dan lingkungan sosial (Lubis, 2009). Gangguan jiwa merupakan suatu kondisi yang sangat berkaitan dengan masalah diri individu, keluarga dan sosial. Klien gangguan jiwa juga dapat mengalami kondisi yang tidak menguntungkan karena aspek stigma & labeling yang melekat pada dirinya (Susanto, 2007 dalam Widjayanti, 2009). Klien dengan gangguan jiwa kronis mempunyai harga diri rendah khususnya dalam hal identitas perilaku. Klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal) dan tidak berani mencapai sukses (Keliat, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh dari pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan di RSU Wahidin Sudiro Husodo mengalami harga diri rendah, hal ini disebabkan karena pengalaman penyakit masa lalu atau pernah mengalami gangguan kejiwaan yang merupakan salah satu penyebab terbentuknya harga diri rendah pada klien, hal ini membuat klien melihat dirinya hanya dari segi negatifnya saja. Perasaan kurang percaya diri pada diri klien membuat mereka sulit untuk kembali bersosialisasi dengan masyarakat dan cenderung menutup diri. Sehingga diperlukan dukungan penghargaan terhadap klien dengan gangguan jiwa akan membantu klien dalam menjalani masa penyembuhannya karena dengan diberikannya dukungan penghargaan ini klien akan merasa masih dibutuhkan dalam keluarga. Harga diri menurut Coopersmith terdiri 4 aspek, yaitu diri sosial, teman sebaya, orang tua dan akademis. Parameter diri sosial, klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan mempunyai harga diri mempunyai harga diri rendah sebanyak 19 orang (63,3%). Psikologis individu yang turut menentukan pembentukan harga diri seseorang. Keadaan psikologi yang dimaksud adalah konsep kesuksesan dan kegagalan. Kesuksesan dapat memberikan arti yang berbeda bagi setiap individu, namun tetap memberikan pengaruh pada peningkatan harga diri (Lubis, 2009). Harga diri rendah pada klien gangguan jiwa disebabkan karena kurangnya kepercayaan diri yang rendah, karena harga diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya. Pada aspek tersebut responden menyatakan merasa kesal tiap kali dimarahi atau dibentak, merasa khawatir terhadap situasi apapun dan merasa malu. Parameter teman sebaya, klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan mempunyai harga diri mempunyai harga diri rendah sebanyak 14 orang (46,7%). Pengalaman keberhasilan, persahabatan, dan kematangan akan meningkatkan harga diri. Kehilangan kasih sayang, dijauhi oleh teman-teman dan penginaan akan menurunkan harga diri. Pengalaman bergaul dan berinteraksi akan memberikan gambaran baik dari segi fisik maupun mental melalui sikap dan respon orang lain terhadap dirinya (Lubis, 2009). Klien gangguan jiwa yang memiliki harga diri yang rendah cenderung kurang mempunyai 4 kemampuan bergaul dengan teman sebaya dan merasa dirinya kurang berguna bagi teman atau kelompoknya. Proses terbentuknya harga diri seharusnya didapatkan dari teman. Karena teman merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan pengalaman keberhasilan dan dukungan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Pada aspek tersebut responden menyatakan sebagian besar orang lebih disenangi daripada saya, lebih suka bergaul dengan orang yang lebih muda dan merasa populer dalam kelompok sebaya. Parameter orang tua, klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan mempunyai harga diri mempunyai harga diri rendah sebanyak 20 orang (66,7%). Harga diri rendah muncul ketika orangtua yang sering merendahkan atau memberikan hukuman dan larangan tanpa alasan yang boleh diterima dan wajar akan menyebabkan anak merasa tidak dihargai (Lubis, 2009). Harga diri rendah yang dimiliki responden disebabkan karena dukungan dan peran dari orang tua yang masih rendah. Harga diri sangat menekankan perasaan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif pada anak-anak akan memberi dasar bagi pembentukan rasa harga diri yang tinggi pada masa dewasanya kelak. Pada aspek tersebut responden menyatakan bahwa dirinya tidak pernah merasa bahagia, selalu dimarahi atau dibentak, mudah kesal di dalam rumah. Parameter akademis, klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan mempunyai harga diri mempunyai harga diri rendah sebanyak 16 orang (53,3%). Kondisi fisik dimana individu yang memiliki ukuran bentuk dan kekuatan tubuh yang kurang dibandingkan dengan orang lain akan cenderung mempunyai harga diri yang rendah (Lubis, 2009). Klien gangguan jiwa dengan harga diri yang rendah cenderung memiliki karakteristik kepribadian yang dapat mengarahkan pada ketidakmandirian dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Merasa tidak dapat melakukan pekerjaan saya sebaik biasanya dan setiap akan melakukan pekerjaan harus selalu diberitahu terlebih dahulu apa yang seharunya akan lakukan. Pada aspek tersebut responden menyatakan bahwa dirinya tidak menyenangkan, orang-orang biasanya tidak mengikuti idenya, tidak selalu berkata jujur. Berdasarkan 4 parameter tersebut, harga diri rendah paling banyak disebabkan oleh hubungan dengan orang tua yaitu sebanyak 20 responden (66,7%), hal ini sesuai dengan teori Lubis (2009) yang menjelaskan bahwa harga diri rendah muncul ketika orang tua yang sering merendahkan atau memberikan hukuman dan larangan tanpa alasan yang boleh diterima dan wajar akan menyebabkan anak merasa tidak dihargai. Responden yang mengalami harga diri rendah karena kurangnya dukungan dari keluarga. Kurangnya perhatian dan dukungan orang tua dalam merawat klien pada saat mengalami gangguan jiwa dapat menyebabkan responden merasa kurang diperhatikan oleh keluarga sehingga menyebabkan harga diri rendah. Harga diri rendah yang terjadi pada responden dipengaruhi oleh usia. Hampir setengah responden yang berusia 36-40 tahun mempunyai harga diri rendah yaitu sebanyak 10 responden (33,3%). Menurut Erikson (2000 dalam Stuart, 2009), pada usia dewasa individu mulai mempertahankan bubungan saling ketergantungan, memilih pekerjaan, meniti karir, melangsungkan perkawinan. Usia tersebut merupakan usia perkembangan dewasa pertengahan yaitu usia cunana individu mendapatkan tuntutan dari lingkungan sekitar (keluarga dan masyarakat) untuk mengaktualisasikan dirinya. Kegagalan untuk memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitar dan nielaksanakan tugas perkembangannya sering dianikan sebagai ketidakmampuan yang akan mengakibatkan perhatian hanya tertuju pada diri sendiri, perhatian pada orang lain berkurang, menyalahkan diri dan orang lain yang akhirnya ditunjukkan dengan penurunan motivasi untuk melakukan aktivitas dan merasa tidak mampu atau tidak percaya diri. Hampir setengah responden perempuan mempunyai harga diri rendah yaitu sebanyak 12 responden (40%), hal ini sesuai dengan Pramujiwati (2013) Jenis kelamin 5 mempengaruhi respon terhadap berbagai stress, diantaranya perselisihan keluarga, perceraian dan masalah pengasuhan anak. Anak perempuan lebih berat mengalami gangguan jiwa dan berkepanjangan dibandingkan dengan laki-laki. Pengasuhan anak perempuan dibutuhkan pola pendekatan yang berbeda sehingga menurunkan resiko terjadinya gangguan jiwa dibandingkan pengasuhan anak laki-laki Status pernikahan juga dapat mempengaruhi harga diri rendah yang terjadi pada responden, dimana sebagian besar responden yang sudah menikah mempunyai harga diri rendah yaitu sebanyak 16 responden (53,3%), hal ini tidak sesuai dengan teori Stuart (2009) yang menerangkan bahwa salah satu faktor predisposisi harga diri rendah kronik adalah ketidakmampuan mengungkapkan keinginan. Termasuk keinginan hidup berumah tangga. Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan pasien merasa frustasi dengan kondisinya yang sendiri dan merasa iri jika melihat orang pacaran dan menikah, pasien merasa malu dan marah pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Responden yang berpendidikan SMP mempunyai harga diri rendah yaitu sebanyak 9 responden (30%). Hal ini tidak sesuai dengan teori Potter dan Perry (2005) mengatakan bahwa harga diri rendah kronik biasanya banyak terjadi pada pasien yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah. Faktor pendidikan dan pekerjaan mengekspos individu terhadap efek psikososial sehingga individu terdiskriminasi atau terisolasi Penolakan berulang-ulang dari masyarakat dan permusuhan akan menimbulkan perasaan nialu, tidak percaya diri dan menisak diri sendiri yang akan berkontribusi terhadap tekanan psikologis. Perkembangan intelektual dapat ditingkatkan melalui berbagai kegiatan diantaranya pemantauan dim perkembangan dan perttunbuhan anak oleh ibu, kegiatan ini bertujuan untuk mencegah adanya gangguan maupun kecacatan intelektual. Kunjungan rumah yang dilakukan oleh perawat dan kader merupakan strategj pence gahan yang membantu dalam meningkatkan fungsi keluarga dalam hal pendidikan. Upaya promosi kesehatan peningkatan harga diri untuk anak-anak dan remaja di sekolah melalui penanaman perilaku sosial, peningkatan iklim reinforcement positif dan pelatihan guru untuk deteksi dim masalah psikososial. Harga diri rendah yang terjadi pada responden bisa juga dipengaruhi karena pekerjaan, dimana hampir setengah responden wiraswasta mempunyai harga diri rendah yaitu sebanyak 10 responden (33,3%), hal ini tidak sesuai dengan teori Townsend (2005) yang menerengkan bahawa banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan masalah harga diri rendah kronik. salah satunya akan terkait dengan masalah status sosial. Faktor status sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang menyebabkan kurangnya motivasi untuk melakukan kegiatan sehari-jhari dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi. Responden dengan penghasilan <UMR (Rp 2.695.000) mempunyai harga diri rendah yaitu sebanyak 23 responden (76,7%), hal ini sesuai dengan teori Forhnash & Worret (2007) yang menerangkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap kondisi kehidupan yang dijalani meliputi; nutrisi yang tidak adekuat, rendahnya pemenuhan perawatan untuk anggota keluarga, perasaan tidak berdaya, perasaan ditolak oleh orang lain dan lingkungan. Simpulan Harga diri pada klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan di RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto termasuk dalam kategori harga diri rendah. Harga diri rendah paling banyak disebabkan oleh hubungan dengan orang tua. 6 Rekomendasi Petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan perhatian dalam pelayanan terhadap pemulihan harga diri pada pasien gangguan jiwa. Responden diharapkan mampu meningkatkan kemampuan yang dimiliki (mengacu pada diri sendiri, dukungan sosial, peningkatan kemandirian dan aktifitas sehari-hari). Keluarga diharapkan berperan aktif terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Institusi pendidikan dapat menjadi peluang dalam pelaksanaan perguruan tinggi dari hasil penelitian ini. Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan konsep atau melakukan penelitian tentang karakteritik harga diri rendah pada pasien gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas atau kabupaten. Alamat Correspondensi : - Alamat rumah : Dusun Cangkring Desa Cangkring Turi Kecamatan Prambon Kabupaten Sidoarjo - Email : [email protected] - No. HP : 081938883323 7