1 harga diri pada klien gangguan jiwa yang menjalani

advertisement
HARGA DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA YANG MENJALANI RAWAT
JALAN DI RSU DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO KOTA MOJOKERTO
ERNI SHOFIYAH
1212010010
SUBJECT:
Klien Gangguan Jiwa, Harga Diri, Rawat Jalan
DESCRIPTION:
Angka gangguan jiwa di Indonesia semakin meningkat, hal ini dikarenakan beban
hidup yang semakin berat. Pasien gangguan jiwa yang menjalani perawatan dirumah
mengalami penurunan harga diri, melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap
sebagai ancaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui harga diri pada pasien
gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah
harga diri pada pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan. Populasi yaitu 45 pasien
gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan dengan sampel sebanyak 30 orang. Teknik
sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Pengambilan data dilakukan di Poli
Jiwa RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto pada tanggal 19 Mei-5 Juni 2015.
Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner Coopersmith Self Esteem Inventory
(CSEI). Analisa data menggunakan distribusi frekuensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mengalami harga
diri rendah yaitu sebanyak 23 responden (76,7%) dan sebagian kecil responden mengalami
harga diri tinggi yaitu sebanyak 7 responden (23,3%). Harga diri rendah paling banyak
disebabkan oleh hubungan dengan orang tua yaitu sebanyak 20 responden (66,7%).
Harga diri rendah disebabkan karena diri sosial, teman sebaya, orang tua dan
akademis, selain itu harga diri juga dapat dipengaruhi oleh pengalaman penyakit masa lalu
atau pernah mengalami gangguan kejiwaan, sehingga tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungannya merupakan salah satu penyebab terbentuknya harga diri rendah pada klien.
Harga diri pada klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan di RSU Dr.
Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto termasuk dalam kategori harga diri rendah. Petugas
kesehatan diharapkan dapat meningkatkan perhatian dalam pelayanan terhadap pemulihan
harga diri pada pasien gangguan jiwa.
ABSTRACT
The figures of mental disorders in Indonesia is increasing, this is due to the
increasingly heavy burden of life. Mental patients undergoing treatment at home
experience decreased self-esteem, see the environment in a negative way and regard it as a
threat. The purpose of this study was to determine self-esteem on mental patients who
undergo outpatient.
This is a descriptive research. The variable in this study was self-esteem on mental
patients who undergo outpatient. Population was 45 mental patients undergoing outpatient
with a sample of 30 people. The sampling technique used was purposive sampling. Data
was collected at mental Unit of RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto from May 19
to June 5, 2015. The data was collected by using questionnaire. Data was analyzed using
frequency distribution.
1
The results suggests that nearly all respondents had low self esteem, i.e 23
respondents (76.7%) and a small percentage of respondents experience high esteem, i.e.
seven respondents (23.3%). Low self esteem is mostly caused by relationship with parents
i.e. 20 respondents (66.7%).
Low self esteem is due to social self, peers, parents and academics, besides selfesteem can also be influenced by the experience of past disease or psychiatric disorders,
That they can’t adapt to the environment is one of the causes of the formation of low self
esteem in clients.
Self-esteem in clients with mental disorders who undergo outpatient at RSU Dr.
Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto can be included in the category of low self esteem.
Health workers are expected to increase attention in the service of self-esteem recovery in
patients with mental disorders.
Keywords: Self-Esteem, Mental Disorders, Outpatient
Contributor
: 1. Budi Prasetyo, M.Kep.,Ns.
2. Yudha Laga HK, S.Psi
Date
: 8 Juli 2015
Type Material : Laporan Penelitian
Edentifier
:Right
: Open Document
SUMMARY :
Latar Belakang
Masalah kesehatan jiwa akan meningkat di era globalisasi, hal ini dikarenakan
beban hidup yang semakin berat. Klien gangguan jiwa tidak lagi didominasi kalangan
bawah tetapi kalangan mahasiswa, PNS, pegawai swasta dan kalangan profesional.
Penyebab dikalangan menengah ke atas sebagian besar akibat tidak mampu mengelola
stress dan ada juga akibat post power syndrome atau mutasi jabatan. WHO (2013)
menjelaskan, angka gangguan mental emosional sebanyak 20,4% dan angka gangguan jiwa
yang ditemukan 11,6% berdasarkan estimasi jumlah penduduk dewasa. Riset Kesehatan
Dasar (2012) menunjukkan bahwa sebanyak 0,46% dari jumlah penduduk Indonesia atau
sekitar satu juta orang menderita gangguan jiwa dan 18,1% penderita gangguan jiwa
mengalami harga diri rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang
penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa. Data tersebut
menunjukkan bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu
meningkat (Depkes RI, 2012).
Survei Dinkes Jawa Timur (2012) data kunjungan gangguan jiwa di Puskesmas
Provinsi Jawa Timur sebanyak 368.994 jiwa, jumlah kunjungan rawat jalan 9.085.656 jiwa,
jumlah kunjungan rawat inap 422.510 jiwa. Di Kabupaten Mojokerto sendiri jumlah
kunjungan pasien gangguan jiwa rawat jalan sebanyak 234.943 jiwa dan kunjungan
gangguan jiwa rawat inap sebanyak 1.475 jiwa. Dari fenomena diatas, gangguan jiwa yang
sering muncul adalah gangguan konsep diri harga diri rendah (Dinkes Jatim, 2012).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Kota
Mojokerto pada tanggal 5 Februari 2015, jumlah kunjungan pasien gangguan jiwa pada
tahun 2014 sebanyak 763 pasien, sedangkan data kunjungan pada bulan Januari 2015
sebanyak 132 pasien. Diagnosa keperawatan terbanyak antara lain halusinasi, harga diri
dan isolasi sosial. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 5 pasien gangguan jiwa
yang sedang berkunjung didapatkan bahwa 4 pasien didiagnosa mengalami harga diri
rendah seperti mudah jengkel bila berada di rumah, merasakan banyak kekurangan pada
dirinya sedangkan 1 pasien mengalami halusinasi.
2
Penelitian oleh Lintin, Dahrianis dan Nur (2013), tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan konsep diri pada pasien harga diri rendah di Rumah Sakit
Khusus Daerah Prov. Sulawesi Selatan terhadap 30 klien gangguan jiwa diperoleh
gambaran harga diri rendah berdasarkan gambaran diri terjadi perubahan ke arah negatif
sebanyak 23 orang (76,7%), ideal diri kearah negatif 22 orang (73,3%), harga diri kearah
negatif 20 orang (66,7%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih tingginya angka
gangguan jiwa yang mengalami harga diri rendah.
Harga diri rendah adalah persaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang
berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan dirinya.
Harga diri seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan harga diri rendah
akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain yang mengancam dan
hubungan interpersonal yang buruk. Pasien yang menjalani perawatan di rumah mengalami
penurunan harga diri melihat lingkungan dengan cara negatif dan menganggap sebagai
ancaman (Lintin, dkk, 2013). Harga diri rendah tidak segera ditanggulangi sudah tentu
berdampak pada gangguan jiwa yang lebih berat. Beberapa tanda- tanda harga diri rendah
yaitu rasa bersalah terhadap diri sendiri, merendahkan martabat sendiri, merasa tidak
mampu, gangguan hubungan sosial, kurang percaya diri kadang sampai mencederai diri
sendiri (Townsend, 2005).
Upaya rehabilitatif untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien yang
mengalami isolasi sosial dapat dilakukan dengan berbagai terapi keperawatan jiwa,
diantaranya dengan melakukan terapi modalitas yang terdiri dari terapi individu maupun
terapi kelompok. Namun terapi yang dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada
pasien isolasi sosial ialah dengan terapi aktivitas kelompok (TAK) yang merupakan salah
satu terapi modalitas dalam bentuk terapi kelompok yang ditujukan untuk mengatasi klien
dengan masalah yang sama. TAK merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien sehingga diharapkan pasien dapat kembali
bersosialisasi di masyarakat.
Pelaksanaan TAK masih jarang dilakukan karena
kemampuan perawat dalam menjalankan kegiatan TAK belum memadai, pedoman
pelaksanaan dan perawatan yang mewajibkan pelaksanaan TAK di Rumah Sakit juga
belum ada (Widowati, 2010 dalam Lintin, dkk, 2013).
Pencegahan awal dari gangguan jiwa yang mengalami harga diri rendah sangat
penting, hal ini dapat dilakukan dengan cara mengembangkan tehnik komunikasi
terapeutik agar terjalin hubungan yang realitas dan saling percaya antara perawat dan klien,
bersama klien juga kita cari pemecahannya. Perawat hendaknya juga mengetahui tentang
hubungan klien dengan keluarga serta mengadakan pendekatan pada keluarga agar
membantu dalam proses keperawatan dan memudahkan dalam pemberian asuhan
keperawatan (Widjayanti 2009). Berdasarkan fenomena diatas, harga diri rendah
merupakan hal yang sering dalami pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan, maka
peneliti tertarik untuk mendapatkan gambaran tentang harga diri pada pasien gangguan
jiwa yang menjalani rawat jalan. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk
meneliti tentang gambaran harga diri pada pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat
jalan.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Variabel dalam penelitian
ini adalah harga diri pada pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pasien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan di
RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto, jumlah rata-rata kunjungan di poli jiwa
selama 3 bulan terakhir dalam 1 bulan terdapat 45 orang dengan sampel sebanyak 30 orang.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Pengambilan data dilakukan
3
di Poli Jiwa RSU dr. Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto pada tanggal 19 Mei-5 Juni
2015. Pengumpulan data dengan menggunakan lembar kuesoner Coopersmith Self
Esteem Inventory (SEI). Analisa data menggunakan deskriptif statistik tipe distribusi
frekuensi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mengalami harga
diri rendah yaitu sebanyak 23 responden (76,7%). Harga diri rendah paling banyak
dipengaruhi oleh hubungan dengan orang tua yaitu sebanyak 20 responden (66,7%).
Harga diri merupakan hasil penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian
ini menyatakan suatu sikap yang berupa penerimaan atau penolakan dan menunjukkan
seberapa besar individu itu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, dan berharga
menurut keahliannya dan nilai pribadinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri
antara lain jenis kelamin, faktor sosial ekonomi, faktor usia, lingkungan keluarga, kondisi
fisik, faktor psikologi individu dan lingkungan sosial (Lubis, 2009).
Gangguan jiwa merupakan suatu kondisi yang sangat berkaitan dengan masalah diri
individu, keluarga dan sosial. Klien gangguan jiwa juga dapat mengalami kondisi yang
tidak menguntungkan karena aspek stigma & labeling yang melekat pada dirinya (Susanto,
2007 dalam Widjayanti, 2009). Klien dengan gangguan jiwa kronis mempunyai harga diri
rendah khususnya dalam hal identitas perilaku. Klien menganggap dirinya tidak mampu
untuk mengatasi kekurangannya, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari
kegagalan (takut gagal) dan tidak berani mencapai sukses (Keliat, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh dari pasien gangguan jiwa
yang menjalani rawat jalan di RSU Wahidin Sudiro Husodo mengalami harga diri rendah,
hal ini disebabkan karena pengalaman penyakit masa lalu atau pernah mengalami
gangguan kejiwaan yang merupakan salah satu penyebab terbentuknya harga diri rendah
pada klien, hal ini membuat klien melihat dirinya hanya dari segi negatifnya saja. Perasaan
kurang percaya diri pada diri klien membuat mereka sulit untuk kembali bersosialisasi
dengan masyarakat dan cenderung menutup diri. Sehingga diperlukan dukungan
penghargaan terhadap klien dengan gangguan jiwa akan membantu klien dalam menjalani
masa penyembuhannya karena dengan diberikannya dukungan penghargaan ini klien akan
merasa masih dibutuhkan dalam keluarga. Harga diri menurut Coopersmith terdiri 4 aspek,
yaitu diri sosial, teman sebaya, orang tua dan akademis.
Parameter diri sosial, klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan mempunyai
harga diri mempunyai harga diri rendah sebanyak 19 orang (63,3%). Psikologis individu
yang turut menentukan pembentukan harga diri seseorang. Keadaan psikologi yang
dimaksud adalah konsep kesuksesan dan kegagalan. Kesuksesan dapat memberikan arti
yang berbeda bagi setiap individu, namun tetap memberikan pengaruh pada peningkatan
harga diri (Lubis, 2009). Harga diri rendah pada klien gangguan jiwa disebabkan karena
kurangnya kepercayaan diri yang rendah, karena harga diri ditentukan oleh nilai-nilai
pribadi yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya. Pada aspek
tersebut responden menyatakan merasa kesal tiap kali dimarahi atau dibentak, merasa
khawatir terhadap situasi apapun dan merasa malu.
Parameter teman sebaya, klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan
mempunyai harga diri mempunyai harga diri rendah sebanyak 14 orang (46,7%).
Pengalaman keberhasilan, persahabatan, dan kematangan akan meningkatkan harga diri.
Kehilangan kasih sayang, dijauhi oleh teman-teman dan penginaan akan menurunkan
harga diri. Pengalaman bergaul dan berinteraksi akan memberikan gambaran baik dari segi
fisik maupun mental melalui sikap dan respon orang lain terhadap dirinya (Lubis, 2009).
Klien gangguan jiwa yang memiliki harga diri yang rendah cenderung kurang mempunyai
4
kemampuan bergaul dengan teman sebaya dan merasa dirinya kurang berguna bagi teman
atau kelompoknya. Proses terbentuknya harga diri seharusnya didapatkan dari teman.
Karena teman merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan
pengalaman keberhasilan dan dukungan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Pada
aspek tersebut responden menyatakan sebagian besar orang lebih disenangi daripada saya,
lebih suka bergaul dengan orang yang lebih muda dan merasa populer dalam kelompok
sebaya.
Parameter orang tua, klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan mempunyai
harga diri mempunyai harga diri rendah sebanyak 20 orang (66,7%). Harga diri rendah
muncul ketika orangtua yang sering merendahkan atau memberikan hukuman dan larangan
tanpa alasan yang boleh diterima dan wajar akan menyebabkan anak merasa tidak dihargai
(Lubis, 2009). Harga diri rendah yang dimiliki responden disebabkan karena dukungan dan
peran dari orang tua yang masih rendah. Harga diri sangat menekankan perasaan keluarga
merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif pada
anak-anak akan memberi dasar bagi pembentukan rasa harga diri yang tinggi pada masa
dewasanya kelak. Pada aspek tersebut responden menyatakan bahwa dirinya tidak pernah
merasa bahagia, selalu dimarahi atau dibentak, mudah kesal di dalam rumah.
Parameter akademis, klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan mempunyai
harga diri mempunyai harga diri rendah sebanyak 16 orang (53,3%). Kondisi fisik dimana
individu yang memiliki ukuran bentuk dan kekuatan tubuh yang kurang dibandingkan
dengan orang lain akan cenderung mempunyai harga diri yang rendah (Lubis, 2009). Klien
gangguan jiwa dengan harga diri yang rendah cenderung memiliki karakteristik
kepribadian yang dapat mengarahkan pada ketidakmandirian dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari. Merasa tidak dapat melakukan pekerjaan saya sebaik biasanya dan setiap akan
melakukan pekerjaan harus selalu diberitahu terlebih dahulu apa yang seharunya akan
lakukan. Pada aspek tersebut responden menyatakan bahwa dirinya tidak menyenangkan,
orang-orang biasanya tidak mengikuti idenya, tidak selalu berkata jujur.
Berdasarkan 4 parameter tersebut, harga diri rendah paling banyak disebabkan oleh
hubungan dengan orang tua yaitu sebanyak 20 responden (66,7%), hal ini sesuai dengan
teori Lubis (2009) yang menjelaskan bahwa harga diri rendah muncul ketika orang tua
yang sering merendahkan atau memberikan hukuman dan larangan tanpa alasan yang
boleh diterima dan wajar akan menyebabkan anak merasa tidak dihargai. Responden yang
mengalami harga diri rendah karena kurangnya dukungan dari keluarga. Kurangnya
perhatian dan dukungan orang tua dalam merawat klien pada saat mengalami gangguan
jiwa dapat menyebabkan responden merasa kurang diperhatikan oleh keluarga sehingga
menyebabkan harga diri rendah.
Harga diri rendah yang terjadi pada responden dipengaruhi oleh usia. Hampir
setengah responden yang berusia 36-40 tahun mempunyai harga diri rendah yaitu sebanyak
10 responden (33,3%). Menurut Erikson (2000 dalam Stuart, 2009), pada usia dewasa
individu mulai mempertahankan bubungan saling ketergantungan, memilih pekerjaan,
meniti karir, melangsungkan perkawinan. Usia tersebut merupakan usia perkembangan
dewasa pertengahan yaitu usia cunana individu mendapatkan tuntutan dari lingkungan
sekitar (keluarga dan masyarakat) untuk mengaktualisasikan dirinya. Kegagalan untuk
memenuhi tuntutan dari lingkungan sekitar dan nielaksanakan tugas perkembangannya
sering dianikan sebagai ketidakmampuan yang akan mengakibatkan perhatian hanya
tertuju pada diri sendiri, perhatian pada orang lain berkurang, menyalahkan diri dan orang
lain yang akhirnya ditunjukkan dengan penurunan motivasi untuk melakukan aktivitas dan
merasa tidak mampu atau tidak percaya diri.
Hampir setengah responden perempuan mempunyai harga diri rendah yaitu
sebanyak 12 responden (40%), hal ini sesuai dengan Pramujiwati (2013) Jenis kelamin
5
mempengaruhi respon terhadap berbagai stress, diantaranya perselisihan keluarga,
perceraian dan masalah pengasuhan anak. Anak perempuan lebih berat mengalami
gangguan jiwa dan berkepanjangan dibandingkan dengan laki-laki. Pengasuhan anak
perempuan dibutuhkan pola pendekatan yang berbeda sehingga menurunkan resiko
terjadinya gangguan jiwa dibandingkan pengasuhan anak laki-laki
Status pernikahan juga dapat mempengaruhi harga diri rendah yang terjadi pada
responden, dimana sebagian besar responden yang sudah menikah mempunyai harga diri
rendah yaitu sebanyak 16 responden (53,3%), hal ini tidak sesuai dengan teori Stuart (2009)
yang menerangkan bahwa salah satu faktor predisposisi harga diri rendah kronik adalah
ketidakmampuan mengungkapkan keinginan. Termasuk keinginan hidup berumah tangga.
Berdasarkan pendapat ini dapat dikatakan pasien merasa frustasi dengan kondisinya yang
sendiri dan merasa iri jika melihat orang pacaran dan menikah, pasien merasa malu dan
marah pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
Responden yang berpendidikan SMP mempunyai harga diri rendah yaitu sebanyak
9 responden (30%). Hal ini tidak sesuai dengan teori Potter dan Perry (2005) mengatakan
bahwa harga diri rendah kronik biasanya banyak terjadi pada pasien yang mempunyai latar
belakang pendidikan rendah. Faktor pendidikan dan pekerjaan mengekspos individu
terhadap efek psikososial sehingga individu terdiskriminasi atau terisolasi Penolakan
berulang-ulang dari masyarakat dan permusuhan akan menimbulkan perasaan nialu, tidak
percaya diri dan menisak diri sendiri yang akan berkontribusi terhadap tekanan psikologis.
Perkembangan intelektual dapat ditingkatkan melalui berbagai kegiatan diantaranya
pemantauan dim perkembangan dan perttunbuhan anak oleh ibu, kegiatan ini bertujuan
untuk mencegah adanya gangguan maupun kecacatan intelektual. Kunjungan rumah yang
dilakukan oleh perawat dan kader merupakan strategj pence gahan yang membantu dalam
meningkatkan fungsi keluarga dalam hal pendidikan. Upaya promosi kesehatan
peningkatan harga diri untuk anak-anak dan remaja di sekolah melalui penanaman perilaku
sosial, peningkatan iklim reinforcement positif dan pelatihan guru untuk deteksi dim
masalah psikososial.
Harga diri rendah yang terjadi pada responden bisa juga dipengaruhi karena
pekerjaan, dimana hampir setengah responden wiraswasta mempunyai harga diri rendah
yaitu sebanyak 10 responden (33,3%), hal ini tidak sesuai dengan teori Townsend (2005)
yang menerengkan bahawa banyak hal yang telah dicoba untuk dikaitkan dengan masalah
harga diri rendah kronik. salah satunya akan terkait dengan masalah status sosial. Faktor
status sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang
menyebabkan kurangnya motivasi untuk melakukan kegiatan sehari-jhari dibandingkan
pada tingkat sosial ekonomi tinggi.
Responden dengan penghasilan <UMR (Rp 2.695.000) mempunyai harga diri
rendah yaitu sebanyak 23 responden (76,7%), hal ini sesuai dengan teori Forhnash &
Worret (2007) yang menerangkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang rendah berpengaruh
terhadap kondisi kehidupan yang dijalani meliputi; nutrisi yang tidak adekuat, rendahnya
pemenuhan perawatan untuk anggota keluarga, perasaan tidak berdaya, perasaan ditolak
oleh orang lain dan lingkungan.
Simpulan
Harga diri pada klien gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan di RSU
Dr. Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto termasuk dalam kategori harga diri rendah. Harga
diri rendah paling banyak disebabkan oleh hubungan dengan orang tua.
6
Rekomendasi
Petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan perhatian dalam pelayanan
terhadap pemulihan harga diri pada pasien gangguan jiwa. Responden diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan yang dimiliki (mengacu pada diri sendiri, dukungan sosial,
peningkatan kemandirian dan aktifitas sehari-hari). Keluarga diharapkan berperan aktif
terhadap anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Institusi pendidikan dapat
menjadi peluang dalam pelaksanaan perguruan tinggi dari hasil penelitian ini. Peneliti
selanjutnya dapat mengembangkan konsep atau melakukan penelitian tentang karakteritik
harga diri rendah pada pasien gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas atau kabupaten.
Alamat Correspondensi :
- Alamat rumah : Dusun Cangkring Desa Cangkring Turi Kecamatan Prambon
Kabupaten Sidoarjo
- Email
: [email protected]
- No. HP
: 081938883323
7
Download