puisi dan wacana kritik pendidikan

advertisement
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
PUISI DAN WACANA KRITIK PENDIDIKAN
Aan Herdiana
Mahasiswa Jurusan Dakwah dan Komunikasi
STAIN Purwokerto
Email: [email protected]
Abstrak
Selain lewat drama, kritik Rendra terhadap pemerintah juga hadir dalam
puisi-puisinya di sepanjang tahun 1970-an. Bahasa dalam puisi tersebut
kemudian dikumpulkan dalam buku puisi Potret Pembangunan dalam Puisi
tertuju langsung dan jelas-jelas menampakkan seruan emosi si “pemberontak”.
Sajak itu mengkritik efek dari industrialisasi, pendidikan, moral, dan lainnya
terhadap keseimbangan antara kemanusiaan dan alam, juga menyerang
perilaku materialistis –tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat. Kajian ini
difokuskan untuk mengungkap sisi terdalam dari puisi dalam buku Potret
Pembangunan dalam Puisi. Atau dalam bahasa lain, mengacu pada wacana
yang ditampilkan Rendra. Dalam hal ini penulis memfokuskan kajian pada
wacana pendidikan, untuk memandangnya sebagai teks yang hidup, bukan
karya yang mati, yang tidak bersentuhan dengan kondisi-kondisi sosial dan
budaya masyarakat.
Kata kunci: Rendra, Puisi, Wacana, Kritik, Pendidikan.
A. Pendahuluan
Karya sastra (puisi), pada bagian intinya tidak lain ingin menyampaikan
informasi dan pesan kepada pembaca. Dalam hal ini, puisi dipahami tidak
hanya merupakan teks dengan keindahan kata-katanya saja, tetapi juga
menawarkan sebuah pengetahuan. Adapun pengetahuan di dalam puisi,
tidak hadir begitu saja, sebagai sesuatu kebetulan ataupun sesuatu yang
alamiah, melainkan ia hadir karena adanya sistem produksi sosial, sehingga
ia dapat diterima masyarakat.
Kehadiran pengetahuan di dalam puisi tidak lepas dari pengaruh
lingkup sosial pengarangnya. Hal ini karena pengarang adalah bagian
dari masyarakat dan wakil dari masyarakat dalam mengkonstruk realita
yang ada disekelilingnya. Karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan
kreatifitas pengarang, sebagai hasil kontemplasi secara individual untuk
menyampaikan pengetahuan.
Dengan menggunakan media bahasa, karya sastra (puisi) juga
menandai perkembangan suatu zaman. Hal ini karena, bahasa sebagai
Aan Herdiana
1
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
bahan baku sastra bukan benda mati (seperti batu, tembaga, dan cat),
melainkan ciptaan manusia, dan mempunyai muatan budaya dan linguistik
dari kelompok pemakai bahasa tertentu.1
Sebagai misal, karya sastra (puisi) Chairil Anwar ditulis dengan bahasa
penuh semangat pergerakan yang membara dalam balutan modernisme.
Sementara itu, puisi-puisi W.S. Rendra menandai usaha untuk melawan
atau memberontak, dominasi kekuasaan yang tidak memihak rakyat kecil.
Secara faktual, pengarang jelas mempunyai peranan penting dalam
sastra, bahkan menentukan. Tanpa “sang kreator”, karya sastra sudah
bisa dipastikan tidak mungkin ada. Menurut Nyoman, tanpa pengarang
fakta-fakta sosial hanya terlihat melalui satu sisi, pada permukaan saja.
Pengaranglah, yang melalui imajinasi dan kreatifitasnya berhasil untuk
melihat fakta-fakta secara multidimensional, gejala dibalik gejala.2
Wahyu Sulaiman Rendra melalui kumpulan puisi Potret Pembangunan
dalam Puisi, adalah menjadi wakil masyarakat, sang kreator, dalam merespon
intuisi, pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam mengkonstruk
realitas pembangunan (baca: pendidikan) pada masa Orde Baru. Rendra
dalam kumpulan puisi tersebut, bercerita kembali, berbagi rasa, berbagi
pengalaman, berbagi pengetahuan, dan berbagi simbol dengan masyarakat.
Dalam hal ini, Rendra ingin berkomunikasi dan berdialog dengan masyarakat
dalam sebuah wacana.
W.S. Rendra (yang selanjutnya disebut Rendra), menurut A. Teeuw,3 ahli
sastra asal Belanda, mempunyai visi perjuangan untuk tegaknya identitas
diri manusia Indonesia. Bangsa Indonesia harus menemukan jati diri
sebagai bangsa yang bermartabat, tidak hanya “membeo” dengan mengikuti
kepribadian bangsa lain, apalagi menelan mentah-mentah “sistem” orang
lain, untuk dijadikan pijakan, tanpa terlebih dahulu mengenal jati diri yang
sebenarnya.
Perjuangan Rendra dalam menegakkan identitas bangsa Indonesia,
tidak jarang berbenturan dengan kebijakan pemerintah. Oleh karena
itu, tidaklah aneh jika Rendra disebut sebagai “pemberontak”. Akan
tetapi, mengenai pemberontak(an) itu sendiri, Rendra mempunya definisi
tersendiri. Menurutnya, pemberontak adalah mereka yang mempunyai
banyak gairah hidup, yang selalu mendorong kebutuhan mereka untuk
senantiasa menumbuhkan dirinya.4
Dalam kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi, yang terbit
pada pada tahun 1980 –saat Orde Baru dalam puncak kejayaan-, Rendra
2
Puisi dan Wacana Kritik Pendidikan
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
kata A. Teeuw, merupakan jawaban atas lengkingan jerit kesakitan, teriakan
minta tolong, kesaksian demi keselamatan kehidupan, dan pemberontakan
terhadap apa yang mengancam kehidupan.5
Dalam hal ini, kajian difokuskan untuk mengungkap sisi terdalam dari
puisi dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi. Atau dalam bahasa lain,
mengacu pada wacana yang ditampilkan Rendra –dalam hal ini penulis
memfokuskan kajian pada wacana pendidikan-, untuk memandangnya
sebagai teks yang hidup, bukan karya yang mati, yang tidak bersentuhan
dengan kondisi-kondisi sosial dan budaya masyarakat .
B. Analisis Wacana
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak
disiplin ilmu, misalnya mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik,
komunikasi, sastra, dan lainnya. Tentunya hal ini sering kali diikuti dengan
beragam dan berfariasinya istilah, definisi, ataupun batasan terhadap
wacana tersebut.
Hal ini bisa dilihat dari berbagai pengertian dari beberapa tokoh, yang
menjelaskan luasnya perbedaan definisi mengenai wacana, seperti berikut.
1.
Isitilah wacana, menurut Douglas berasal dari bahasa sansakerta,
yaitu wac/wak/vak, yang artinya, “berkata”, “berucap”. Kata tersebut
kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk anak
yang muncul dibelakang adalah sufiks (akhiran) yang bermakna
“membendakan” (normalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan
sebagai “perkataan” atau “tuturan”.6
2.
Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai “kemampuan untuk
maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan
semestinya”, dan “komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun
tulisan, yang resmi dan teratur”.7
3.
Wacana menurut J.S Badudu adalah rentetan kalimat yang berkaiatan,
yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang
lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna
yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; dan kesatuan bahasa yang
terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa
dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan,
yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan
secara lisan atau tertulis.8
4.
Fowler mengartikan wacana sebagai komunikasi lisan atau tulisan
Aan Herdiana
3
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang
masuk di dalamnya; kepercayaan disini mewakili pandannga dunia;
sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.9
Menurut Mulyana,10 dalam buku Kajian Wacana, menjelaskan bahwa
unsur pembeda antara “bentuk wacana” dengan “bentuk bukan wacana”
adalah pada ada tidaknya kesatuan makna (organisasi semantik) yang
dimiliknya. Oleh karenanya, kriteria yang relatif paling menentukan dalam
wacana adalah keutuhan maknanya. Sebagai misal, ketika seseorang di
suatu rumah makan mengatakan:
“Soto, es jeruk, dua”
Ucapan itu, kata Mulyana, dapat dimaknai sebagi wacana. Hal ini
karena ia mengandung keutuhan makna yang lengkap. Keutuhan itu
tersirat dalam hal-hal berikut: 1) urutan kata ditata secara teratur, 2) makna
dan amanatnya berkesinambungan, 3) diucapkan di tempat yang sesuai
(kontekstual), 4) antara penyapa dan pesapa saling dapat memahami makna
tuturan singkat tersebut (mutual intelligibility). Selanjutnya, perhatikan
kalimat-kalimat dibawah ini.
Zaman sekarang disebut sebagai zaman modern.Sekarang ini banyak
orang bingung tidak tahu jalan.Kendaraan di jalan tol sangat padat.
Makna dan amanat setiap kalimat pada bentuk diatas sangat jelas
dan mudah dipahami. Akan tetapi bentuk tersebut jelas bukanlah wacana.
Hal itu disebabkan, secara keseluruhan bentuk tersebut tidak memiliki
hubungan makna antarkalimat. Tiap-tiap kalimat berdiri sendiri. Artinya,
makna kalimat tersebut satu sama lain saling terputus, tidak berhubungan.
Bentuk tersebut sama sekali tidak komunikatif, sehingga sulit dimengerti
kaitan makna antar kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya.
Adanya kesatuan dalam tubuh wacana, sejalan dengan konsep wacana
menurut Anton. M. Moeliono. Menurutnya wacana adalah rentetan kalimat
yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang
lainnya dalam kesatuan makna. Di samping itu, wacana juga berarti satuan
bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan
gramatikal tertinggi dan terbesar.11
Adapun analisis wacana yang akan dipakai dalam penelitian ini
ada analisis wacana dalam perspektif kritis (Critical Discourse Analysis),
yakni untuk melihat bagaimana analisis kritis wacana ini dipakai untuk
4
Puisi dan Wacana Kritik Pendidikan
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
membedah teks (puisi). Dengan mengambil posisi seperti ini, tentu saja
yang akan dilihat adalah bagaimana puisi tidak dapat dilepaskan dari
relasi-relasi kuasa, tidak hanya sebatas membedah sturktur dalam puisi
saja.
Dengan mengambil posisi sebagai paradigma kritis, maka teori-teori
mengenai wacana yang diambil tentu saja bukan dari lingkungan linguistik.
Akan tetapi, menggunakan pengertian wacana yang diperkenalkan –salah
satunya- oleh Michel Foucault. Sumbangan terbesar Foucault adalah
mengenalkan wacana sebagai praktek sosial, dimana wacana berperan
dalam mengontrol, menormalkan, dan mendisiplinkan individu.
C.Wacana Kritik Pendidikan dalam Puisi
1. Rendra dan Orde Baru
Periode 1966 hingga 1998 merupakan periode yang memiliki ciri
khas tersendiri dalam sejarah panjang Indonesia. Pada saat itu, menurut
Harry Aveling,12 Orde Baru dengan cermat telah mempersiapkan
diri untuk mengakhiri tujuan dan kegagalan Orde Lama Soekarno,
presiden pertama Indonesia, yang kemudian diturunkan dengan
paksa. Era pemerintahan baru ini, dimulai setelah krisis ekonomi yang
meluas dan perpecahan politik akibat masa “Demokrasi Terpimpin”
Soekarno, yang memunculkan pergolakan. Orde Baru pun lahir dengan
“keistimewaannya” selama tiga dekade lebih memimpin Indonesia,
yang kata Michael vatikiotis13 merupakan suatu periode kepemimpinan
seorang penguasa yang paling lama dalam sejarah Asia Tenggara modern.
David Bourchier memberikan suatu kesimpulan bahwa apabila
ditarik benang merah ideologi selama pemerintahan Soeharto, maka
konsepnya adalah “ketertiban”. Dalam hal ini Soeharto mengencangkan
stabilitas, ketertiban, dan kemanan sebagai “objek” dari perkembangan
itu sendiri, yaitu untuk membuat rakyat -secara fisik- merasa aman dan
tentram, bebas dari ketakutan dan ancaman.14
Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam upaya mengejar
“ketertiban” selama bertahun-tahun, berbagai kebebasan telah lenyap.
Kepemimpinan Soeharto semakin otoriter, sistem politik semakin
lama semakin kaku (dikakukan), militer berusaha keras membangun
diri untuk menjadi elemen kekuatan politik dominan di negeri ini, tak
tertandingi oleh kekuatan-kekuatan lainnya.
Aan Herdiana
5
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Selain mengurus hal-hal yang makro dalam negara, untuk
melanggengkan kekuasaan, Orde Baru juga “menertibkan” setiap
pemikiran dan perbuatan individu. Di mana ekspresi semakin sempit,
opini atau pendapat pribadi terus menerus dicurigai, dan bahkan diiringi
ancaman hukuman, dengan penangkapan atau dipenjara.
Konsep “penertiban” Soeharto juga merambah ke dunia sastra.
Henk Maier –profesor bahasa melayu dari Universitas Leiden, Belandamengatakan bahwa Soeharto dan aparat pemerintahannya telah
menjadi bencana bagi sebuah generasi penulis, merampok mereka dari
kekuatan generatifnya, kekuatan untuk menjadi saksi sejarah yang bisa
mengabarkan pada dunia luar apa yang sebenarnya terjadi di depan
mata mereka.15
Dalam hal ini, Rendra menurut Aveling,16 bagaimanapun
adalah seorang sastrawan yang gigih menyuarakan kritik pada masa
pemerintahan Orde Baru dan sering menantang bahaya sepanjang tahun
70-an. Ia pertama kali ditangkap pada Desember 1970, karena ikut ambil
bagian dalam “Renungan Malam” sebagai aksi menentang kesewenangwenangan pemerintah. Pada tahun 1973, ia ditangkap kembali akibat
pementasan drama Mastodon dan Burung Kondor. Sebagai konsekuensi
dari pementasan drama ini, Rendra dilarang mengadakan pementasan
lainnya di Yogyakarta sampai tahun 1977, karena keadaan khusus yang
terjadi di daerah.
Selain lewat drama, kritik Rendra terhadap pemerintah juga
hadir dalam puisi-puisinya di sepanjang tahun 1970-an. Bahasa
dalam puisi tersebut, yang kemudian dikumpulkan dalam buku puisi
Potret Pembangunan dalam Puisi- tertuju langsung dan jelas-jelas
menampakkan seruan emosi si “pemberontak”. Sajak itu mengkritik
efek dari industrialisasi, pendidikan, moral, dan lainnya terhadap
keseimbangan antara kemanusiaan dan alam, juga menyerang perilaku
materialistis –tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat.
2. Kritik Sosial dalam Puisi
Pada pemerintahan Orde Baru, karya sastra (puisi pada khususnya)
tidak dijadikan sebagai alat untuk memapankan kekuasaan. Pemerintah
lebih “senang” menggunakan agen-agen yang bergerak pada ranah
institusi, yang secara publik mempunyai kewenangan.17 Sementara itu,
puisi berada di “wilayah lain” yang tidak diinginkan. Bahkan Henk Maier
berpendapat sangat ekstrem, tentang kedudukan sastra dan Orde Baru.
6
Puisi dan Wacana Kritik Pendidikan
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Menurutnya, Soeharto telah menjadi bencana bagi penulis (sastra),
dengan merampok kekuatan mereka, untuk tidak menjadi saksi sejarah
yang bisa mengabarkan kepada dunia –dengan karyanya- apa yang
terjadi di depan mata.
Rezim Orde Baru sejatinya membolehkan penyair untuk berekspresi
asalkan dengan tidak mempunyai ideologi yang tidak mengkritik atau
bersebrangan dengan pemerintah.18 Oleh karenanya, wilayah religius,
juga pandangan tentang sufi, menjadi bagian yang paling “aman” untuk
dituliskan. Mereka memilih menyampaikan wacana sufi karena ada
dalam ranah yang tidak mengusik pemertintah. Disatu sisi posisi mereka
aman dalam membuat sejarah sastra baru, di sisi lain juga aman untuk
mendekati publik.
Rendra dalam hal ini, adalah sastrawan yang gigih dalam
menyuarakan kritik. Keluar masuk penjara menjadi hal yang biasa,
ketika kata dilawan senjata dan kuasa. Puisi Rendra –seperti juga
dramanya- penuh berisi kritik tentang kondisi masyarakat dan kalangan
elit. Buku Potret Pembangunan dalam Puisi –yang ditulis sepanjang
tahun 1970-an- adalah cerminan realita yang ada. Kemiskinan,
ketidakadilan, pendidikan, ketimpangan pembangunan, menjadi menu
dalam kumpulan puisi ini.
3. Wacana Kritik Pendidikan
Wacana pendidikan menjadi isu yang selalu hangat diperbincangkan
sampai kapan pun. Hal ini karena pendidikan selalu bersentuhan dengan
kehidupan manusia dalam membuat peradaban. Selain itu, evaluasi dan
refleksi terhadap sistem pendidikan masa lalu, adalah suatu keharusan
untuk pembelajaran, supaya pendidikan lebih baik dan tidak terjerumus
pada lubang kesalahan yang sama. Oleh karena itu, wacana pendidikan
tidak pernah usang dan basi untuk selalu diperbincangkan.
Sistem pendidikan masa Orde Baru, menurut Darmaningtyas,
telah diabdikan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan pelanggengan kekuasaan (mempertahankan status quo). Selama
itu pula tujuan pendidikan direduksi menjadi sangat pragmatis, yaitu
antara siap pakai dan tidak siap pakai, sehingga menghilangkan esensi
pendidikan yang sebenarnya.19
Pendidikan juga menjadi ajang untuk melakukan indoktrinasi
kepada masyarakat, sehingga yang ada bukanlah suatu proses
pendidikan, melainkan santiaji, penataran atau indoktrinasi ideologi,
Aan Herdiana
7
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
dimana kepatuhan adalah ciri utamanya. Tidak dikenalkannya dengan
“ilmu” tentang keadilan, juga membuat orang terpelajar jauh dari
masyarakatnya. Kerjaannya hanya diam tidak bicara, tatkala tirani
merajalela. Sungguh kita ini adalah angkatan gagap dan angkatan yang
berbahaya! Hal ini dijelaskan Rendra dalam Sajak Anak Muda.
Kita adalah angkatan gagap
Yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
Di dalam hal keadilan.
Karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum.
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja?
Inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.
8
Puisi dan Wacana Kritik Pendidikan
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Dasar keadilan di dalam pergaulan,
Serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
Sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
Tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang,
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
Tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri.
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
Menikmati masa bodoh dan santai.
Di dalam kegagapan,
Kita hanya bisa membeli dan memakai,
Tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
Tetapi hanya bisa berkuasa,
Persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industry.
Dan industry mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
Kita hanya menjadi alat birokrasi!
Dan birokrasi menjadi berlebihan
Tanpa kegunaan –
Menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan.
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Aan Herdiana
9
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitar ini?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
Lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?
Apakah ini? Apakah ini?
Ah, di dalam kemabukan,
Wajah berdarah
Akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
Dianggap sebagai orang terpelajar,
Tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada tirani merajalela,
Ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
Dianggap sebagai bendera-bendera upacara,
Sementara hukum dikhianati berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
Dianggap bunga plastic,
Sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
Kita berada di dalam pusaran tatawarna
Yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
10
Puisi dan Wacana Kritik Pendidikan
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Kita memukul dan mencakar
Ke arah udara.
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakkan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.
(Sajak Anak Muda)
Sangat jelas diuraikan Rendra dalam sajak tersebut, tentang
kompleksitas masalah yang ada di dunia pendidikan. Angkatan gagap
digambarkan Rendra sebagai representasi pemuda yang berada dalam
kepatuhan “tersistematis” (yang termaktub dalam kurikulum), tanpa
adanya pertukaran pikiran dalam proses pembelajaran. Sekolah hanya
mengajarkan ilmu hafalan, bahwa yang ini benar dan yang itu salah.
Dengan demikian, dalam “kegagapan” tersebut, sudah dipastikan
pemuda (siswa) tidak bisa mencipta atau berkreasi apapun dalam
kehidupan, mereka hanya bisa membeli dan memakai saja.
Dengan pembelajaran yang tidak mengenal kreatifitas tersebut,
tentunya berimbas kepada ketidaktahuan atau kegelapan dalam
memaknai kehidupan selepas pendidikan (kerena memang tidak
diajarkan). /Pendidikan tidak memberi pencerahan/ latihan-latihan tidak
memberi pekerjaan/ gelap/…/ orang yang hidup dalam pengangguran/
(Sajak Anak Muda).
Kepatuhan dan keseragaman berfikir (yang terbalut dalam
keseragaman kurikulum)20 membuat siswa tercerabut dari lingkungan
sekitarnya (alam, sosial, dan budaya). Dalam pelajaran di sekolah,
mereka belajar tentang ilmu pengetahuan alam, tetapi mereka tidak
tahu bagaimana cara menanam dan memelihara padi yang baik dan
benar untuk hasil panen yang melimpah. Mereka juga diajarkan
ilmu pengetahuan sosial, tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara
berkomunikasi dan bersosialisasi yang baik dengan masyarakatnya.
“Pengangguran berpendidikan” mungkin lebih tepatnya begitu.
Pendidikan tidak membuat manusia untuk menjadi lebih baik dan
sadar akan lingkungan, malahan pendidikan telah memisahkannya
Aan Herdiana
11
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
dari kehidupan. Menurut Darmaningtyas, pendidikan di Indonesia
mempunyai sumbangan yang besar atas tingginya angka pengangguran
terdidik.21 Dalam hal ini, Rendra mencontohkan dalam Sajak Seonggok
Jagung dimana seorang tamatan SMA yang tidak ada uang untuk
melanjutkan kuliah, tidak mempunyai kreatifitas (kemampuan) dan tidak
melihat kemungkinan apapun, tak sekelumitpun dari apa yang pernah
dipelajarinya dapat digunakan dalam memanfaatkan seonggok jagung
(sebagai simbol kekayaan sumber daya alam pedesaan Indonesia).
Seonggok jagung dikamar
Dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang
Tak menjadi mahasiswa
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya
…
Seonggok jagung di kamar
Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
Dan tidak dari kehidupan
Yang tidak terlatih dalam metode
Dan hanya penuh hafalan kesimpulan
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
Tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
…
(Sajak Seonggok Jagung)
Potret pendidikan yang hanya menghafal pelajaran, tidak sesuai
dengan dunia yang mereka tinggali. Teori-teori yang ada di sekolah pun
tidak cocok dengan problem-problem yang mereka hadapi. Pendidikan
yang tidak menumbuhkan sifat kreatif, hanya membeo, tanpa adanya
sifat yang kritis dan dinamis.
Walaupun ada yang berhasil bekerja –lewat ijazah sekolahnya-,
ironisnya tidak lain hanya dipersiapkan untuk menjadi objek penghibur
majikannya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari tidak adanya sifat
kreatif dan mandiri. Oleh karena itu, pilihan “bijak”-nya adalah bekerja
12
Puisi dan Wacana Kritik Pendidikan
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
dengan majikan yang mempunyai semuanya. Seperti dalam Sajak Gadis
dan Majikan, dengan sedikit “nakal” Rendra menggambarkan nasib
malang seorang gadis.
Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Kemana arahnya, sudah cukup aku tahu.
Aku bukan ahli ilmu menduga,
Tetapi jelas sudah kutahu
Pelukan ini apa artinya………
Siallah pendidikan yang aku terima
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,
Kerapian, dan tatacara.
Tetapi lupa diajarkan:
Bila dipeluk majikan dari belakang,
lalu sikapku bagaimana!
Janganlah tuan seenaknya memelukku.
Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.
Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu.
Ketika tuan siku tetekku,
sudah kutahu apa artinya………
…
Dalam proses pendidikan banyak faktor yang saling berkaitan,
yang semestinya mampu bekerja sama dalam membangun kualitas
pendidikan, seperti tenaga pendidik (guru), kurikulum, sarana dan
prasarana, juga lainnya. Out put pendidikan yang tidak sesuai dengan
harapan, memang disebabkan banyak faktor. Selain memang kurikulum
yang didesain untuk “tidak kreatif” oknum guru yang melakukan
kejahatan “perdata” (meluluskan ujian) yang berkoalisi dengan orang
tua, juga menjadi alasan lain. Seperti dalam Sajak SLA berikut.
Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
Aan Herdiana
13
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan
oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada para orang tua murid-muridnya
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
Terpandang diantara tetangga,
Boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai atapku terganggu,
karena atap yang bocor.
Salah satu bentuk kebijakan Orde baru yang dinilai menurunkan
kualitas pendidikan adalah rendahnya kesejateraan guru. /Ibu guru
ingin atap rumahnya tidak bocor/ (Sajak SLA). Hal itu tentu menjadikan
proses pendidikan tidak berjalan maksimal. Bahkan kesejahteraan
(kemiskinan?) guru, membuat istrinya menjual diri untuk kesenangan
duniawi.
…
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan,
agar pantatnya diganjal sedan.
…
Lalu pertanyaan mendasarnya kemudian, apakah fungsi pendidikan
itu sendiri? Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja?
Tanya Rendra dalam Sajak SLA. Pendidikan selama masa Orde Baru
memang bukan dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
mendewasakan pribadi manusia, dan memerdekakan siswa, melainkan
hanya dijadikan alat untuk mempertahankan status quo.
…
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
Kita hanya menjadi alat birokrasi!
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan –
Menjadi benalu di dahan.
14
Puisi dan Wacana Kritik Pendidikan
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
…
Pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk membuat hari esok
menjadi lebih baik. Manusia sebagai makhluk yang berpengharapan,
melalu pendidikan, mendesain dan menata kehidupannya agar lebih
baik dan indah. Akan tetapi, potret pendidikan masa Orde Baru, jauh
melenceng dari kodrat pendidikan yang semestinya. Pendidikan hanya
dijadikan sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Imbasnya, kurikulum yang dibuatpun tidak untuk memajukan dan
mencerdaskan masyarakat, namun membuat masyarakat bermental
“budak” yang menghamba kepada kedigdayaan negara asing.
D.Kesimpulan
Dalam salah satu wawancaranya dengan koran Republika,22 Rendra
mengatakan bahwa puisi baginya merupakan bukan hanya sekedar
ungkapan perasaan dari seorang seniman. Akan tetapi lebih jauh dan
dalam dari itu, puisi merupakan sikap perlawanannya kepada setiap
bentuk kedzaliman dan ketidakadilan. Dan sejatinya, itulah manifestasi
dari amar ma’ruf nahi mungkar, seperti yang selalu di perintahkan Allah
SWT di dalam firman-Nya.
Dengan puisi-puisinya Rendra mengkritik kebijakan penguasa yang
tidak memihak rakyat. Dalam buku kumpulan puisi Potret Pembangunan
dalam Puisi dengan jelas dan lantang Rendra menyuarakan kritiknya.
Dimana salah satu fokusnya adalah kritik pendidikan, yang dinilai telah
melenceng dari fitrahnya. Pendidikan tidak membuat manusia Indonesia
menjadi cerdas, kreatif, dan mandiri. Malahan sebaliknya, membuat manusia
Indonesia menjadi “budak” negara asing, yang hanya bisa memakai, tanpa
mempunyai kemampuan untuk membuat atau memproduksi. Selain itu,
pendidikan juga sudah menjauhkan dari kondisi sosial, budaya yang ada,
yang sejatinya mereka hidup dan tinggal di sana.
Endnotes
1
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusasteraan (Jakarta: Gramdedia, 2014 ), hal. 13.
2
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008)hal. 303.
3
A. Teuuw dalam kata pengantar buku Potret Pembangunan dalam Puisi, lihat: Rendra,
Potret Pembangunan dalam Puisi, cet. 3 (Bandung: Pustaka jaya, 2013), hal. 11.
4
Ibid., hal. 22.
Aan Herdiana
15
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
5
Ibid., hal. 5.
6
Mulyana, Kajian Wacana (Yogyarkarta: Tiara Wacana: 2005), hal. 3.
7
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Rosda Karya: 2002), hal 10.
8
Eriyanto, Analisis Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2012), hal. 2.
9
Ibid., hal. 3.
10
Mulyana, Kajian Wacana……… hal. 5.
11
Ibid., hal. 3-4.
12
Harry Aveling, Rahasia Membutuhkan Makna (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hal. 1.
13
Ibid., hal. 1.
14
Ibid., hal. 1-2.
15
Ibid., hal. 3.
16
Ibid., hal.93-96.
17
Arif Hidayat, Aplikasi Teori Hermenutik dan Wacana Kritis… hal. 164.
18
Ibid., hal. 163.
19
Darmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
hal. 126.
20
Materi kurikulum pendidikan nasional pada masa Orde Baru dari taman Kanak-kanak
(TK) sampai perguan tinggi, dibuat seragam, tanpa melihat karakteristik pada setiap
daerah. Padahal setiap daerah mempunyai karakteristik dan keunikan yang berbeda, baik
menyangkut potensi alam, potensi budaya, sumber daya manusia, lihat Darmaningtyas,
Pendidikan Pada.. hal. 130.
21
Ibid., hal. 142.
22
Republika.co.id. 24 Agusts 2010, diakses pada tanggal 18 Juli 2014 pukul 12.00.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Khozin. “Konsep Kekuasaan Michel Foucault”, dalam Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam Volume 01, Nomor 02, Desember 2011.
Aveling, Harry. Rahasia Membutuhkan Makna. Magelang: Indonesia Tera, 2003.
Darmaningtyas. Pendidikan Pada dan Setelah Krisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999.
Eriyanto. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2012.
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Buku Kompas.
Hidayat, Arif. Aplikasi Teori Hermeneutika dan Wacana Kritis. Purwokerto:
STAINPress, 2013.
Mulyana, Kajian Wacana. Yogyarkarta: Tiara Wacana: 2005.
Pradopo, Rachmat Djoko. Beberpa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
16
Puisi dan Wacana Kritik Pendidikan
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Pengkajian Puisi. Yogyakarta: UGM Press, 2012.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi, cet. 3. Bandung: Pustaka jaya, 2013.
Republika.co.id. 24 Agusts 2010, diakses pada tanggal 18 Juli 2014 pukul
12.00.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda Karya: 2002.
Wachid, Abdul. Analisis Struktural Semiotik. Yogyakarta: Cinta Buku, 2010.
Wellek ,Rene dan Austin Warren. Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramdedia,
2014.
Aan Herdiana
17
Download