NEOPLASMA HIPOFARING REFERAT ONKOLOGI Ariel Anugrahani Pembimbing : dr. Nur Akbar Aroean, Sp.THT-KL DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK - BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2016 DAFTAR ISI DAFTAR ISI……………………………………………………………....…i DAFTAR GAMBAR……………………………………………….......…..iv DAFTAR TABEL………………………………………….………...…......vi BAB I PENDAHULUAN…………………………………….….…..1 BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIPOFARING...................2 2.1. Anatomi Daerah Hipofaring……………………….…….2 2.2. Pembuluh Darah Daerah Hipofaring…………………….4 2.3. Persarafan daerah Hipofaring……………………………4 2.4. Drainase Limfatik Daerah Hipofaring…………………..5 2.5. Fisiologi Hipofaring………………………….…………..6 BAB III TUMOR HIPOFARING……………………………………7 3.1. Epidemiologi………………..…………………....……..7 3.2. Etiologi…………………………………………….……8 3.3. Diagnosis…….…………………………………….…...8 3.3.1 Evaluasi Pasien……………………………….….……8 3.3.2. Pemeriksaan Fisik….…………………………....……9 3.3.3 Pencitraan………………….………………….……12 3.3.4. Evaluasi Gizi……………….……………………….13 3.3.5. Klasifikasi Tumor ………….……………………....14 3.3.5.1. Tumor Jinak…………………………………...….14 3.3.5.2 Tumor Ganas………………………………………15 3.3.6. Metastasis……………………………………………18 3.3.7. Stadium………………………………………………20 3.3.8. Penanda Molekul…………………………………....23 BAB IV PENATALAKSANAAN TUMOR HIPOFARING….....24 4.1 Pertimbangan Pra Operasi…………………….…….….25 4.2 Bedah Tahap Awal Kanker Sinus Piriformis………..…25 4.3 Bedah Tahap Lanjut Kanker Sinus Piriformis……..…..28 4.4 Bedah Pada Kanker Dinding Posterior Hipofaring..…………………………………………....31 4.5 Bedah Pada Kanker Postkrikoid……………….………33 4.6 Bedah Invasif Minimal……………………………...…36 4.7 Penatalaksanaan Pada KGB Leher…………………….36 4.8 Rekonstruksi…………………………….......................37 4.9 Terapi Non Operasi Pada Karsinoma Hipofaring……...38 BAB V PROGNOSIS & KOMPLIKASI….……….….……….………….42 5.1 Prognosis……………..………………………………….42 5.2 Komplikasi……………………………….…….………..44 BAB VI KESIMPULAN………………………….………………………….49 DAFTAR PUSTAKA……………………...………………………………….……50 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Daerah hipofaring…………………………………………………....….3 Gambar 2 Apex piriform……………………………………………………….......4 Gambar 3 Drainase Kelenjar getah bening…………………………………….…..5 Gambar 4 Pemeriksaan endoskopi pada tumor hipofaring………….………....…..11 Gambar 5 CT scan tumor postkrikoid hipofaring… …………………….……...13 Gambar 6 Kelenjar getah bening dan penyebaran submukosa kanker fosa piriform …………………………………………………………………...…...…19 Gambar 7 Kelenjar getah bening dan penyebaran submukosa penyebaran kanker postkrikoid ……………………………………………………….……..20 Gambar 8 Proyeksi anatomi bedah eksternal fosa Piriform ………………..…..….27 Gambar 9 Laringofaringektomi parsial pada kanker fosa piriform superior ……....27 Gambar 10 Laringofaringektomi parsial pada kanker fosa piriform superior. Pemotongan tulang rawan ……………………………………………..29 Gambar 11 Parsial laringofaringektomi pada kanker fosa Piriform superior. insisi interaritenoid … ………………………………………………………29 Gambar 12 Parsial laringofaringektomi pada kanker fosa piriform superior. Penutupan secara rapat ………………………………………….….….30 Gambar 13 Laringofaringektomi parsial pada kanker fosa piriform superior. Penjahitan pada pita suara………………………………………....……30 Gambar 14. Faringotomi suprahioid pada kanker hipofaring posterior. lnsisi awal …………………………………………………………...…32 Gambar 15 Faringotomi Suprahioid pada kanker hipofaringeal posterior. Setelah hioid diangkat …………………………….…………………………...33 Gambar 16 Faringotomi Suprahioid pada kanker hipofaringeal posterior………………………………………………………….……33 Gambar 17 Gabungan lateral faringotomi dan suprahyoid pada posterolateral kanker hipofaring, eksisi sepertiga posterior tulang rawan…….…....34 Gambar 18 Gabungan lateral faringotomi dan suprahyoid pada kanker hipofaring posterolateral, sayatan akhir…………………………..….34 Gambar 19 Gabungan lateral faringotomi dan suprahioid pada kanker hipofaring Posterolateral dengan Split-thickness atau graft kulit…………………35 Gambar 20 Gabungan lateral faringotomi dan suprahioid pada kanker hipofaring Posterolateral dan flap bipedikel………………………………………35 DAFTAR TABEL Tabel 1 Diagnosis kanker hipofaring…………………………………………..…..10 Tabel 2 Kanker hipofaringeal : staging (Eastern Virginia School Medis)….…..….18 Tabel 3 Stadium Kanker hipofaring……………………….…………………....….22 Tabel 4 Kanker hipofaring : 5 tahun angka harapan hidup berdasarkan stadium…………………………………………….….….…..43 Tabel 5. Komplikasi luka infeksi…………………………………………………….44 BAB I PENDAHULUAN Keganasan daerah hipofaring merupakan keganasan yang jarang pada traktus aerodigestif di mana penyebab pasti belum jelas yang telah menciptakan tantangan terhadap pengobatan bagi ahli bedah kepala dan leher.Tumor ini memiliki karteristik dengan adanya metastasis limfatik yang lebih awal terjadi, bersifat multisentrik, dan penyebaran ke submukosa . Pasien biasanya datang dengan penyakit stadium lanjut dan gizi buruk yang membutuhkan pendekatan multidisiplin dalam perawatan. Pendekatan multidisiplin tersebut harus terdiri dari ahli bedah kepala dan leher, onkologi radiasi, onkologi bedah plastik, rehab medik dan ahli gizi untuk membantu dalam menunjang pengobatan yang tidak hanya mengatasi penyakit tetapi untuk mempertahankan sebanyak mungkin fungsi dari pasien sebelum tumor muncul.1, Peningkatan teknik bedah mikro dengan beragam flaps rekonstruksi telah menciptakan banyak pilihan untuk pendekatan bedah yang baik dan tindakan rekonstruksi. Dengan demikian, pengembangan pendekatan pasien dengan tumor, harus mencakup pemahaman yang menyeluruh dari anatomi, patologi, dan tanda-tanda klinis ketika mempersiapkan pengobatan yang lebih tepat. Meskipun upaya ini dilakukan dalam berbagai bidang, secara keseluruhan prognosis pasien dengan tumor ini jelek. Kemajuan dalam teknik bedah telah diperluas dengan adanya teknik transoral yang dapat meminimalkan morbiditas dari tindakan reseksi. Kemoterapi dan inovasi dengan teknik radiasi sebagai bagian dari percobaan klinis menyebabkan laring dapat dipertahankan tanpa mengakibatkan kematian1.2 BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIPOFARING 2.1. Anatomi Daerah Hipofaring Hipofaring dimulai pada tingkat tulang hyoid di mana berbatasan dengan orofaring bagian superior dan ke servikal esofagus pada bagian bawah pada daerah kartilago krikoid inferor. Tiga bagian yang penting dalam membentuk hipofaring: lateral sinus piriform, postcricoid bagian anterior, dan dinding faring posterior. Daerah postkrikoid merupakan mukosa yang melapisi bagian posterior cincin krikoid. Daerah ini meluas dari tulang rawan arytenoid ke batas inferior kartilago krikoid. Kedekatan sinus piriformis dan daerah postcricoid ke laring dapat menyebabkan invasi langsung tumor daerah ini ke dalam ruang paraglotik dan pada kerangka laring. . Sepasang sinus piriformis terletak dalam bentuk piramida terbalik yang dimulai pada lipatan faringoepiglotik superior dan pada puncak menyatu kedalam esofagus servikal pada batas bawahnya Posterior dinding faring adalah bagian dari hipofaring menutupi tulang belakang. Tumor daerah ini bisa langsung menyerang ruang potensial retrofaringeal, otot paraspinal, dan fasia prevertebral, yang membuat reseksi lengkap sangat sulit. 1 Lapisan hipofaring adalah epitel skuamosa bertingkat yang menutupi jaringan submukosa areolar lapisan longgar, diikuti oleh lapisan otot yang terdiri dari otot krikoarytenoid posterior pada bagian anterior dan konstriktor faringeal inferior/tengah pada bagian posterior dan lateral. Struktur ini diapit oleh fasia bukofaringeal. Lapisan otot ini penting karena ekstensi tumor dari mukosa krikoid posterior dapat menyerang ke otot posterior krikoarytenoid menyebabkan pita suara terfiksasi, dan otot-otot konstriktor inferior menyatu dengan otot krikopharyngeus inferior di mana merupakan suatu daerah yang secara potensial lemah, dimana segitiga Killian berada. Meskipun wilayah ini terkenal karena tempat divertikula faring, ekstensi tumor ke ruang prevertebral juga dapat terjadi.1,3 Gambar 1. Daerah hipofariing memanjang dari titik atap tepi superior dari badan tulang hyoid sampai ke aspek inferior atap krikoid tulang rawan; terdiri dari atap fossa piriform, dinding hipofaringeal posterior, dan daerah dasar postcricold1 Gambar 2. Apex piriform di atas persimpangan antara aspek inferior fossa Piriform dan daerah postkrikoid. ditandai lokasi atap krikoarytenoid 1,6 2.2. Pembuluh Darah Daerah Hipofaring Suplai darah dari hipofaring berasal dari sistem karotis eksterna dan termasuk cabang-cabang arteri tiroid superior dan faringeal asenden dan arteri lingual. Drainase vena mencerminkan sistem arteri menuju pleksus vena prevertebral.1 2.3. Persarafan Daerah Hipofaring Persarafan sensorik untuk hipofaring ini berasal dari cabang nervus glosofaringeal dan nervus vagus melalui pleksus faringeal dan cabang internal nervus laringeal superior. Yang terakhir saraf menembus membran tirohioid dan bergabung dengan nervus vagus di mana serat menyatu dengan cabang nervus Arnold ke kanal auditori eksterna. Hubungan ini dapat mengakibatkan otalgia yang terlihat pada banyak pasien dengan kelainan pada hipofaring, persarafan motorik ke faringeal konstriktor berasal dari pleksus faringeal, sedangkan otot posterior krikoaritenoid dipersarafi oleh nervus laringeal rekuren.1 2.4. Drainase Limfatik Daerah Hipofaring Hipofaring memiliki jaringan limfatik yang berhubungan. Drainase dapat terjadi lateral ke Kelenjar getah bening (KGB)/nodus jugulodigastric . Jalur drainase kedua adalah posterior ke KGB retropharyngeal dan dapat memanjang setinggi dasar tengkorak di nodus Rouviere. Bagian inferior. metastasis KGB dapat terjadi pada KGB paratrakeal dan paraesophageal. Drainase bilateral umumnya terjadi, terutama untuk lesi yang terletak di medial piriform dan dinding faring posterior.1,6 Gambar 3. Primer drainase kelenjar getah bening dari kanker hipofaring superior bermetastasis ke KGB jugulodigastric dan retropharyngeal, sedangkan pada hipofaring inferior, termasuk apex piriform. bermetastasis ke KGB jugulo-omohyold, paraesophagaeal, paratrakeal, dan tiroid: A A.Lengkung Aorta: LSC. arteri subklavia sinistra: LSV;vena subklavia sinistra: RSA, Arteri subklavia dekstra: RSV. Vena subklavia kanan: SVC, vena Kava superior.1,6 2.5. Fisiologi Hipofaring Faring secara umum adalah area yang biaa kita sebut dengan tenggorokan, dan hipofaring adalah tenggorokan bagian bawah tepat di belakang plica vokalis dan diatas esophagus. Secara fisiologis, hipofaring merupakan daerah yang penting karena merupakan komponen dari saluran aerodigestif atas, berdekatan dengan supraglotik laring. Faring dalam fase penelanan membutuhkan proses yang terkoordinasi satu sama lain yang dikendalikan oleh nervus glosofaringeal, vagus, dan hipoglosal. Sensasi pada mukosa orofaring, supraglotik laring, dan hipofaring sangat penting dalam memulai proses refleks menelan . Demikian pula, koordinasi dari otot-otot lidah, faring, dan otot intrinsik laring diperlukan dalam masuknya bolus makanan ke kerongkongan bagia servikalis tanpa terjadinya aspirasi ke dalam saluran napas. BAB III TUMOR HIPOFARING 3.1. Epidemiologi Di Amerika Serikat dan Kanada, dua penelitian besar dari data nasional pasien kanker yang berobat, telah menjelaskan adanya karsinoma hipofaring dalam populasi. berdasarkan tinjauan dari National Cancer Data Base (NCDB), karsinoma hipofaring terhitung sekitar 3% sampai 4% dari semua kanker kepala dan leher, dan sekitar 3% dari semua kanker. Dari catatan ini juga dilaporkan bahwa persentase kasus karsinoma hipofaring menurun hampir 30% dari tahun 2000 sampai 2004 dibandingkan dengan 1990-1994. Jumlah ini dikaitkan dengan penurunan perokok di kalangan penduduk amerika. Tinjauan sebelumnya dari NCDB mengungkapkan bahwa 77% pasien dengan karsinoma hipofaring ini berada pada stadium III atau IV penyakit. Dari catatan tersebut, angka harapan hidup yang terbaru dari NCDB menunjukkan karsinoma hipofaring memiliki kelangsungan hidup yang buruk dari malignansi mukosa pada bagian kepala dan leher , dengan waktu 5 tahun secara keseluruhan angka harapan sekitar 35%.2.3,4,5 Sebuah tinjauan data dikumpulkan dari berbagai pusat register kanker di Kanada tahun 1990-1999 mengungkapkan bahwa terjadinya kanker hipofaring adalah 5% dari semua kanker kepala dan leher. Di Kanada, kejadian sekitar 0,8 kasus baru per 100.000 orang / tahun. Insidensi puncak terlihat pada dekade keenam dan ketujuh hidup dengan 80% kasus pada penderita laki-laki. Serupa dengan data NCDB, 74% dari pasien berada pada stadium lanjut, dan kelangsungan hidup 35% selama 5 tahun.1,2 Di Belanda tiap tahun terdapat sekitar 100 kasus baru karsinoma hipofaring dengan 75 % kasus terjadi dio sinus piriformis dan terutama pada laki-laki diatas 60 tahun. Di Swedia dan Inggris lebih menjol angka kejadian karsinoma postericoidal dan terutama pada wanita usia pertengahan. 3.2. Etiologi Merokok tembakau dan konsumsi alkohol merupakan faktor resiko dari tumor saluran pernafasan. Dalam studi terbaru yang meninjauan konsumsi rokok di Eropa, terdapat hubungan yang kuat perokok aktif dalam risiko terjadinya kanker hipofaring dibandingkan dengan rongga mulut, orofaring dan esofagus. Asupan alkohol umumnya terjadi pada pasien dengan kanker hipofaring dibandingkan dengan kanker laring dan dianggap faktor risiko dalam perkembangan terjadinya karsinoma orofaring. Konsumsi alkohol sehari-hari dapat meningkatkan risiko dari karsinoma hipofaring sebesar 2,2. Mekanisme karsinogenesis oleh alkohol tidak begitu jelas. dan dipercaya sebagai efek karsinogenik langsung pada mukosa hipofaring yang ditimbulkan oleh tembakau, atau berhubungan dengan status gizi yang buruk pada pecandu alkohol yang memberikan kontribusi pada timbulnya karsinoma hipofaring. Merokok bukan produk tembakau juga dipercaya sebagai penyebab kanker hipofaring yang meningkatkan risiko sebesar 4,6 pada penelitian di India.1,2,3,4 Faktor penyebab lain karsinoma hipofaring yang secara khusus terkait dengan mukosa postkrikoid adalah sindrom Plummer-Vinson. Sindrom ini ditandai dengan disfagia, anemia akibat kekurangan zat besi, dan web hipofaring. Iritasi kronis dari web tersebut diperkirakan menjadi faktor penyebab dalam berkembangnya keganasan.1,2,4 3.3. Diagnosis 3.3.1. Evaluasi Pasien Kebanyakan pasien dengan karsinoma hipofaring berada pada stadium lanjut dengan memiliki banyak gejala. Sebuah pengamatan dari Cancer Canada Registry menemukan bahwa gejala yang paling umum pada pasien dengan karsinoma hipofaring yaitu disfagia (53%), suara serak (39%), massa dileher (37%), penurunan berat badan (36%), sakit tenggorokan (34%), dan otalgia (30%). Distres pernafasan dan perubahan suara dapat dilihat pada tumor yang telah lanjut akibat invasi langsung ke laring. Disfagia yang progresif saat menelan cairan dan makanan padat. Pembersihan tenggorokan yang bersifat kronis dan sensasi globus awalnya mungkin didiagnosis penyakit refluks, tetapi dalam kasus yang refrakter terhadap terapi medis, karsinoma hipofaring harus disingkirkan. Otalgia unilateral dengan pemeriksaan otologic yang normal harus dievaluasi penuh 1. Setelah dilakukan evaluasi terhadap gejala, komprehensif riwayat kesehatan termasuk informasi mengenai riwayat merokok dan penggunaan alkohol. Riwayat anemia akibat kekurangan zat besi pada wanita paruh baya menunjuk ke arah sindrom PlummerVinson. Riwayat paru dan jantung yang dinilai dalam perencanaan untuk perawatan kedepan. Penilaian sistem dapat menunjukkan adanya penurunan berat badan yang signifikan dan kekurangan gizi.4 3.3.2. Pemeriksaan Fisik Status pasien secara keseluruhan merupakan pengamatan yang awal dilakukan selama pemeriksaan fisik pasien dengan karsinoma hipofaring. Pasien dengan alkoholisme yang kronis,biasanya mengalami kekurangan gizi dan penurunan berat badan. Pasien mungkin tampak kurus dan dehidrasi dan memiliki higienis yang buruk. Pemeriksaan kepala dan leher dimulai dengan evaluasi pada kulit wajah, yang dapat mengalami penurunan turgor dan pucat. Pemeriksaan rongga mulut termasuk evaluasi gigi karena kebanyakan pasien akan membutuhkan terapi radiasi . Gigi yang buruk juga merupakan indikator adanya malnutrisi dan hipovitaminosis. Rongga mulut dan orofaring juga perlu dievaluasi untuk keganasan primer kedua.3 Diagnosis kanker hipofaring Riwayat/ Anamnesis Riwayat faringitis Konsumsi tembakau dan etanol berlebihan Penurunan berat badan Dehidrasi Odinofagia Disfagia Suara serak Dispnu Otalgia Massa leher Obstruksi jalan napas Pemeriksaan Fisik Berat badan atau cachexia Penurunan turgor kulit Suara Hiporesonan Suara serak Stridor Status gigi Pemeriksaan langsung dengan laringoskop kaca Fleksibel laringoskopi serat optik Pemeriksaan leher keseluruhan Radiologi Rontgen dada Barium swallowing CT atau MRl leher Laboratorium Pemeriksaan kimia Lengkap Endoskopi dan biopsi kontrol jalan nafas Kelumpuhan lengkap Gross karakteristik tumor Biopsi Penentuan batas inferior Esofagoskopi Bronkoskopi, jika diperlukan Tabel 1. Diagnosis kanker hipofaring1 Gambar.4. Pemeriksaan endoskopi pada tumor hipofaring a) sinus piriformis kanan.b) Postkrikoid7 Evaluasi hipofaring dan laring dapat dilakukan laringoskopi kaca tidak langsung, jika memungkinkan. Bila sekresi atau kenyamanan pasien tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan diatas, maka evaluasi endoskopi perlu dilakukan. Penampakan laring harus mengesampingkan massa yang menghalangi, invasi tumor langsung, atau kelumpuhan pita suara. Evaluasi hipofaring harus mencakup penilaian setiap ulserasi atau lesi massa yang terdapat di fossa piriformis, dinding faring, atau area postkrikoid . Fosa piriform dapat terlihat baik ketika pasien melakukan manuver pipi kembung.1, Palpasi leher untuk mengevaluasi secara klinis adanya nodul sangat perlu. Karsinoma hipofaring memiliki tingkat tinggi metastasis servikalis, oleh karena itu evaluasi menyeluruh dari leher sangat diperlukan.1 3.3.3. Pencitraan Tujuan dari pencitraan pada pasien dengan karsinoma hipofaring adalah untuk mengevaluasi sejauh mana penyakit primer tersebut dan adanya metastasis regional atau jauh. Karena karsinoma hipofaring ditandai dengan penyebaran penyakit submukosa, modalitas pencitraan yang ideal harus memfasilitasi identifikasi penyebaran yang meluas sampai kedaerah primer. Computed tomography (CT) dari leher dengan kontras intravena adalah modalitas pencitraan pilihan untuk menilai penyakit primer oleh sebagian besar praktisi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah sebuah alternative selain CT dan dapat memberikan penilaian terhadap jaringan lunak yang lebih besar, namun pasien dengan sumbatan hipofaring mengalami kesulitan dalam posisi terlentang untuk jangka waktu lama karena adanya resiko aspirasi. CT digunakan untuk mendeteksi invasi tulang rawan,namun beberapa penelitian telah menemukan bahwa MRI menjadi setara dengan CT dalam mendeteksi adanya invasi tulang rawan neoplastik. Sebuah studi dari Swiss menyelidiki tentang akurasi dari MRI dan CT terhadap 44 pasien yang menjalani bedah reseksi kanker hipofaring. Para penulis menemukan bahwa MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam mendeteksi invasi neoplastik dari tulang rawan laring, tapi CT lebih spesifik. Keseluruhan akurasi kedua modalitas itu setara (MRI, 78% dan CT, 75%). Karena alasan praktis dan kenyamanan pasien, modalitas CT yang lebih disukai bagi banyak praktisi.7,8 Dalam mengevaluasi penyakit regional, CT scan dengan kontras telah menjadi modalitas pencitraan pilihan ketika daerah primer ditemukan. Penyebaran penyakit yang jauh dapat dievaluasi dengan menggunakan beberapa modalitas pencitraan. Banyak pasien dengan penyakit stadium awal mungkin dilakukan rontgen dada sebagai satu-satunya skrining radiografi. Dengan adanya penyakit tahap lanjut yaitu terbentuknya nodul, risiko metastasis jauh pun meningkat. Oleh karena itu, CT daerah dada merupakan modalitas pencitraan yang disukai . Sebuah studi dari Toronto menemukan bahwa tingkat lanjut penyakit primer hipofaring (T3-4 / N2- 3) memiliki lima kali peningkatan risiko pada metastasis primer atau jauh, dan mereka merekomendasikan CT dada pada semua pasien dengan stadium lanjut tumor primer hipofaring. Modalitas pencitraan lain yang digunakan untuk menyelidiki metastasis jauh atau tumor primer kedua adalah 18-fluorodeoxyglucose positron-emission tomography (PET FDG). PET scan dapat digabungkan dengan CT scan untuk meningkatkan evaluasi terhadap lokasi lesi yang terlihat dari pemeriksaan FDG. Telah ditemukan keunggulannya daripada rontgen dada dan CT dada dalam banyak studi. Keuntungan dari PET-CT adalah seluruh tubuh dilakukan pemindaian untuk menilai adanya metastasis jauh pada saat diagnosis. Akan Tetapi, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas biaya pada pemeriksaan PET -CT daripada CT dada dan bone scan untuk penilaian metastasis jauh pada pasien dengan kanker hipofaring. 7,8 Gambar.5. CT-Scan tumor postkrikoid hipofaring8 3.3.4. Evaluasi Gizi Evaluasi laboratorium standar harus dilakukan pada semua pasien yang datang dengan kanker hipofaring pada kunjungan awal. Pemeriksaan darah, elektrolit, thyroid stimulating hormone, vitamin, zat besi, prealbumin. transferin. dan tingkat albumin merupakan tes awal yang perlu dilakukan. Pada pasien dengan malnutrisi yang berat, dilakukan rujukan ke ahli gizi dan pemasangan selang makanan nasogastric tube (NGT) yang mempengaruhi pilihan rekonstruktif. 1 3.3.5 Patologi Karsinoma sel skuamosa merupakan histologi yang paling umum terlihat pada kanker hipofaring, dimana didapatkan lebih dari 95% kasus. Tiga varian yang sering terlihat di hipofaring. Yang pertama adalah karsinoma sel skuamosa basaloid, yang memiliki sifat lebih agresif . Karsinoma limfoepitelial yang juga terdapat pada karsinoma nasofaring. Karsinoma adenosquamous adalah varian ketiga dengan sifat agresif mirip dengan basaloid karsinoma sel skuamosa. 5% sisanya terdiri dari adenokarsinoma, diduga berasal dari ektopik mukosa lambung, limfoma, dan sarkoma.1,3 Sebagian besar kanker hipofaring terletak di sinus piriformis, diikuti pada dinding faring posterior, dan kemudian mukosa postkrikoid. Ekstensi submukosa lebih umum terjadi pada hipofaring inferior dan esofageal bagian servikal, disebabkan oleh submukosa yang kaya jaringan limfatik yang terdapat pada hubungan faringo-esophageal. lesi satelit juga merupakan karakteristik dari tumor ini; namun demikian, sulit untuk menentukan apakah tumor ini terpisah tumor primer atau lesi metastasis. Adanya ekstensi mukosa, terutama di inferior hipofaring rendah dan esofageal servikal, harus diperhitungkan ketika menilai margin selama reseksi bedah. Umumnya direkomendasikan margin 3 cm diambil dalam servikalis esofagus dan inferior hipofaring 2 cm lateral dan 1,5 cm sepanjang margin superior.3 Lokasi Fosa Piriformis Dinding Posterior Post Krikoid No (%) Stadium I II III IV 63(64) 11 10 24 18 30(30) 5 15 8 2 4(4) - - 3 1 Tabel 2. Kanker hipofaringeal : staging (Eastern Virginia School Medis)1 Tumor dari fosa piriform dapat menyebar lateral ke kartilago tiroid dan jaringan lunak leher. Ekstensi kebagian medial tumor ini akan mengenai laring dan ruang paraglottic. Tumor postkrikoid cenderung tumbuh melingkar. Ekstensi rendah melalui submukosa penyebaran mengenai bagian esofageal servikalis. Ekstensi anterior menyebar ke krikoaritenoid dan otot posterior krikoaritenoid yang menyebabkan imobilitas pita suara. Kasus lanjut karsinoma hipofaring dapat ditemukan dengan invasi langsung ke kelenjar tiroid. Metastasis kelenjar getah bening yang umum pada karsinoma hipofaring pada 64% sampai 90% pasien dan penyebaran KGB bilateral terlihat pada 8% sampai 16% kasus. Metastasis regional terjadi pada level II untuk IV. dengan penyebaran yang jarang pada level I dan V. Invasi apeks piriform (20%), mukosa postkrikoid(57%), dan subglottis dikaitkan dengan metastasis di KGB paratrakeal dan paraesophageal. Keterlibatan KGB mediastinum dicatat dalam 73% sampai 80% pada T4 kanker hopofaring.. Penyebaran ke KGB retropharyngeal terlihat pada 20% sampai 50% dari pasien dengan kanker hipofaring dan esophagus.1 Gambar 6. Kelenjar getah bening dan penyebaran submukosa kanker fosa piriform . Penyebaran submukosa ke inferior (A) melibatkan apeks piriform dan kemudian metastase ke paratrakheal, paraesophageal, tiroid, dan nodul jugular-omohyoid (B). Ekstensi kemedial (C) melibatkan kompartemen arytenoids dan perilaringeal1 Gambar 7. Kelenjar getah bening dan penyebaran submukosa penyebaran kanker postkrikoid. Penyebaran submukosa ke inferior (A) dapat ekstensif, dan Lesi ini the sering bermetastasis ke paratrakeal, tiroid, dan nodul paraesophageal (B, C).1 3.3.6. Stadium1 Edisi ketujuh dari American Joint Committee on Cancer Staging Manual memiliki persamaan TNM dengan edisi keenam. Sistem stadium ini memfasilitasi studi variabel prognostik yang terkait dengan volume lokal, regional, dan metastasis jauh dari T4 tumor yang dibagi atas T4a (dapat dioperasi; penyakit lokal lanjut) dan T4b (kemungkinan rendahnya margin bebas reseksi, penyakit lokal sangat lanjut). Hal ini telah menyebabkan stratifikasi penyakit stadium IV ke IVA ( penyakit lokal yang lanjut / regional), IVB (penyakit lokal / regional yang lanjut ), dan IVC (penyakit metastasis jauh). StadiumTNM untuk hipofaring adalah sebagai berikut: TX: tumor primer tidak dapat dinilai. TO: Tidak ada bukti tumor primer Tis: Karsinoma in situ Tl: Tumor terbatas pada satu area dan ≤2 cm dimensi terbesar T2: Tumor menginvasi lebih dari satu area dari hipofaring atau area yang berdekatan, atau lebih besar dari ukuran 2 cm tapi tidak lebih dari 4 cm dimensi terbesar tanpa fiksasi laring T3: Tumor lebih besar dari 4 cm dalam dimensi terbesar dengan atau terdapat fiksasi Hemilaring T4a: Tumor menginvasi tiroid / tulang rawan krikoid. tulang hyoid. kelenjar tiroid, esofagus, atau kompartemen sentral jaringan lunak T4b: Tumor menginvasi fasia prevertebral, mengenai arteri karotis, atau melibatkan struktur mediastinum NX: Regional kelenjar getah bening tidak dapat dinilai. NO: Tidak ada metastasis regional kelenjar getah bening Nl: Metastasis di kelenjar getah bening ipsilateral tunggal kurang dari 3 dimensi terbesar N2a: Metastasis di kelenjar getah bening ipsilateral tungga l≥ 3 cm tapi kurang dari 6 cm dalam dimensi terbesar N2B: Metastasis dalam beberapa kelenjar getah bening ipsilateral, semua kurang dari 6 cm dalam dimensi terbesar N2C: Metastasis pada kelenjar getah bening bilateral, semua kurang dari 6 cm dalam dimensi terbesar N3: Metastasis di kelenjar getah bening adalah≥ 6 cm terbesar dimensi MX: metastasis jauh tidak dapat dinilai. MO: Tidak ada metastasis jauh Ml: metastasis Jauh Stage 0 Tis N0 M0 Stage I T1 N0 M0 Stage II T2 N0 M0 Stage III T3 N0 M0 T1 N1 M0 T2 N1 M0 T3 N1 M0 T4a N0 M0 T4a N1 M0 T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N2 M0 T4a N2 M0 T4b Semua N M0 Semua T N3 M0 Semua T Semua N M1 Stage IV A Stage IV B Stage IV C Tabel 3. Stadium Kanker hipofaring9 3.3.7. Penanda Molekul10 Kanker hipofaring memiliki sifat klinis yang berbeda dibandingkan dengan kanker kepala dan leher lainnya. Namun, tidak ada penanda molekul yang paralel dengan sifat ini. Satu studi menemukan hubungan antara penanda sel induk, Oct4 dan Sox2, dan perkembangan kanker hipofaring , tetapi penulis dalam studi tidak membandingkan hasil mereka terhadap daerah kepala dan leher lainnya. Sebuah studi dari M.D. Anderson Cancer Center mengungkapkan adanya HPV berkorelasi dengan prognosis buruk pada karsinoma hipofaring. Studi lain dari Belgia mengidentifikasi tidak ada perbedaan dalam kelangsungan hidup antara HPV-positif dan HPV-negatif karsinoma hipofaring walaupun terdapat HPV pada 74% dari pasien. Hal ini dapat mewakili heterogenitas molekul pada karsinoma hipofaring yang membuat status HPV tidak relevan, tapi dapat dikembangkan pada studi di masa depan . BAB IV PENATALAKSANAAN TUMOR HIPOFARING Karena sebagian besar pasien datang dengan penyakit stadium lanjut. Terapi multimodalitas diperlukan, yang terdiri dari pembedahan, radiasi, dan kemoterapi. Adanya kumpulan multidisiplin adalah suatu keharusan untuk mencapai konsensus bersama tentang pengelolaan pasien. Namun, pasien harus diobati berdasarkan evidence base atau sesuai dengan protokol yang benar. Sebagai pengganti dari pengobatan trial, pengobatan harus sesuai dengan pedoman yang diajukan oleh jaringan National Comprehensive Cancer Network. Rehabilitasi fungsional, yang difasilitasi oleh rehabilitasi patologi bicara dan layanan kesehatan gigi dan gizi dan ahli onkologi, yang diperlukan sebagai bagian dari proses pemulihan. Biasanya, tumor stadium awal yang diobati dengan pembedahan atau radiasi definitif. Penyakit tahap lanjut memerlukan terapi kombinasi dengan dua sampai tiga modalitas.11 Bagian berikut menguraikan tindakan bedah (terbuka dan minimal invasif) dan nonbedah untuk karsinoma hipofaring ketika mempertimbangkan pilihan pengobatan, sangat penting bagi praktisi untuk tidak kompromi tehadap prognosis onkologi dalam mempertahankan fungsi organ atau penerapan teknologi yang belum terbukti.1 4.1. Pertimbangan pra operasi Pasien yang datang dengan karsinoma hipofaring biasanya mengalami kekurangan gizi dan memiliki beberapa penyakit penyerta. Hal tersebut harus diatasi dan dikelola sebaik mungkin sebelum melakukan reseksi bedah untuk memastikan hasil yang optimal. Defisit gizi dapat diidentifikasi dengan evaluasi pra operasi yaitu penurunan berat badan dan pengujian laboratorium untuk menilai tingkat malnutrisi (misalnya, anemia, prealbumin serum rendah dan transferrin). Seorang ahli nutris dapat membantu dengan memperbaiki pola makan, atau merekomendasikan pemasang selang pada lambung. Status pernapasan harus juga dioptimalkan, terutama jika pasien menjalani parsial reseksi laring. 11 4.2. Bedah Tahap Awal Kanker Sinus Piriform Pendekatan bedah untuk tahap awal kanker sinus piriform dapat mempertahankan laring yang mengenai bagian medial atau dinding lateral sinus piriformis yang tidak meluas ke apex sinus piriformis atau mukosa post krikoid. Seleksi untuk pasien dengan reseksi tumor stadium awal juga harus memperhitungkan predileksi ekstensi submukosa tumor hipofaring. Salah satu pendekatan untuk reseksi tumor stadium awal di fosa piriformis superior adalah laringofaringektomi parsial. Prosedur ini melibatkan reseksi dari sinus piriformis dengan laringektomi parsial. Visualisasi tumor adalah melalui transhioid atau faringotomi lateral. Masuk ke daerah faring melalui sisi kontralateral. Dengan tumor yang secara penuh terlihat, sayatan mukosa dilakukan sepanjang posterior dinding faring sisi yang terlibat cukup dengan batas 1 sampai 1,5 cm. Lipatan ariepiglotik kontralateral diincisi dan diperpanjang kebawah ke ventrikel laring dan kedepan komisura anterior.12 Selanjutnya, perhatian diarahkan pada ruang interaritenoid dengan sayatan vertikal pada perbatasan atas dari kartilago krikoid. Sayatan ini kemudian diarahkan ke lateral sendi krikoaritenoid ipsilateral dengan orientasi sayatan superior dan anterior seluruh proses vokalis. Pemotongan kemudian diarahkan ke anterior di ventrikel ipsilateral pada komisura anterior. dan digabungkan dengan pemotongan kontralateral. Cara ini dilkukan pada tumor yang direseksi dengan margin yang memadai.12 Bedah beku harus digunakan untuk mengevaluasi mukosa dan margin jaringan lunak. Rekonstruksi defek laringofaringeal dilakukan dengan penjahitan sisa pita suara untuk kartilago krikoid posterior-superior, dan dasar lidah dijahit ke perkondrium kartilago tiroid. Penguatan penutupan faringeal dapat dicapai dengan menyisakan strap muskulus atau flap otot stemocleidomastoid. Dilakukan pemotongan otot krikofaring, dilakukan pemasangan nasogastric tube atau gastrotomi tube. Dilakukan pengamanan saluran nafas sementara dengan trakeostomi.1,12 Prosedur ini dipelajari oleh Makeieff et al, pada 87 pasien dengan stadium awal tumor. Ia menemukan 5 tahun kelangsungan hidup secara keseluruhan dari 60% dalam kelompok studi kohortnya pada tumor Tl dan T2 dengan tingkat kekambuhan lokal sebesar 19,9%. Sembilan puluh tiga persen pasien kembali dengan diet normal setelah durasi pertengahan dari pemasangan nasogastric tube selama 20 hari. Penelitian yang lain sebanyak 48 pasien dengan tumor T1 dan Tumor T2 fosa piriform menemukan 5 tahun angka kontrol kembali 98% dan 5 tahun angka harapan hidup sebesar 47%. Semua pasien kembali dengan diet normal setelah 1 bulan. Dalam kedua penelitian ini, radioterapi pasca operasi digunakan pada 90% dari pasien.11,12, Gambar 8. Proyeksi anatomi bedah eksternal fosa Piriform. apex piriform (A) di atas artikulasi dari krikotiroid pada cornu inferior (B). Batas superiorpada margin inferior dari tulang hyoid (C). Batas anterior pada hubungan antara bagian anterior dan posterior dari tulang rawan tiroid (D). Tepi posterior dari kartilago tiroid merupakan tanda dari batas posterior fossa piriformis (e).1, Gambar 9. Laringofaringektomi parsial pada kanker fosa piriform superior. Elemen penting laringofaringektomi parsial pada insisi interaritenoid (A) yang menjangkau seluruh plika vokalis (B) di sisi lpsilateral dan lncision dalam lipatan ariepiglotik {C) dan ventrlkel (D}, yang mirip dengan supraglotiklaringektomi di sisi kontralateral1 Pendekatan lain untuk tumor yang lebih besar pada sinus fosa piriform adalah hemilaringektomi suprakrikoid. Invasi pada puncak piriform, mukosa postkrikoid, dan dinding faring posterior dan imobilitas pita suara merupakan kontraindikasi relatif untuk prosedur ini. Kegunaan prosedur ini dipelajari di Perancis dengan penelitian kohort dari 147 pasien yang di induksi dengan kemoterapi diikuti dengan pembedahan. Setengah dari pasien menerima radioterapi tambahan. Ditemukan tingkat kontrol lokal 5 tahun sebanyak 90%, termasuk 63% untuk T4a tumor. Lesi yang menginvasi apeks sinus piriform dan dinding faring posterior dikaitkan dengan peningkatan tingkat kekambuhan. Proses menelan yang normal diamati pada 64,6% setelah 1 bulan dan 92% setelah 1 tahun. Hanya 1,5% pasien dalam kelompok yang dilakukan tindakan laringektomi. Di Amerika Serikat, prosedur ini masih sedikit diterima. 1,11,12, Saat ini, sebagian besar tumor tahap awal ini dilakukan radioterapi definitif dengan atau tanpa kemoterapi. Selain itu, Laser endoskopi atau teknik transoral robotik telah menggantikan prosedur laring parsial terbuka ini. 1,11,12,14 4.3. Bedah Tahap lanjut Kanker Sinus Piriformis Pada tumor sinus piriformis T3 dan T4 , pengobatan dipusatkan pada operasi dan radiasi ajuvan. Operasi dapat dilakukan, tetapi kontrol pada daerah lokal buruk. Oleh karena itu, reseksi bedah dilakukan total laringektomi dengan total atau parsial faringektomi. Operator harus mempertimbangkan dalam penanganan kecenderungan terjadi penyebaran submukosa. 1,13 Jumlah yang bervariasi pada esofagus bagian servikalis atau esofagus bagian torakalis harus direseksi berdasarkan ukuran dari tumor primer. Dalam salah satu penelitian di Australia, 180 pasien memiliki jumlah laryngopharyngectomy diikuti oleh pascaoperasi pengobatan radiasi .kontrol pada lokal/regional rerata adalah 82% dengan 5 tahun angka harapan hidup sebesar 52%. Hasil tersebut menggambarkan sifat agresif tumor ini. Protokol preservasi organ menjadi alternatif terhadap total laringofaringektomi. 1,12,13 Gambar 10. Laringofaringektomi parsial pada kanker fosa piriform superior. Pemotongan tulang rawan dimulai pada titik di atas komisura anterior (A} dan diperluas ke lateral dan inferior pada sisi ipsilateral dan kelateral dan superior di sisi kontralateral.Kedalam Faring melalui kombinasi insisi faringotomi suprahioid dan lateral, Insisi faringotomi (B) 1 Gambar 11. Parsial laringofaringektomi pada kanker fosa Piriform superior. insisi interaritenoid (A) dilakukan pada kartilago krikoid melalui sendi cricoarytenoid (B), di seberang process vokalis (C}, dan keanterior melalui ventrikel (D). kontralateral lipatan ariepiglotik dan insisi ventrikel (E} juga ekstensi kedepan ke komisura anterior. 1 Gambar 12. Parsial laringofaringektomi pada kanker fosa piriform superior. Penutupan secara rapat dari faringotomi yang dicapai dengan kombinasi jahitan dari dasar lidah (A} ke perichondrium tiroid (B). Fleksi kepala memungkinkan pangkal lidah dan laring relaksasi (C) dengan penutupan segmen horizontal dari faringotomi (D). Lateral faringotomi dijahit secara vertikal (E).1 Gambar 13. Laringofaringektomi parsial pada kanker fosa piriform superior. Penjahitan pada pita suara(A) dilakukan melalui aspek lateral sisa dari proses vokalis, melalui kartilago krikoid, dan kemudian diikat agar benang berada di daerah (B) garis tengah. Dilakukan miotomi krikofaringeal (C), dan tabung makan esofagostomi (D} ditempatkan. 1 4.4. Bedah Pada Kanker Dinding Posterior Hipofaring 12,13,14 Lesi ini biasanya lokal dan eksofilik, yang memungkinkan untuk dilakukan eksisi luas dan rekonstruksi. Stadium lanjut tumor ini khas dimana melekat erat ke fasia prevertebral dan tidak dapt dilakukan tindakan pembedahan. Pendekatan yang dilakukan baik faringotomi lateral atau faringotomi transhioid. Sekali telah masuk ke Vallecula, sayatan diperpanjang sepanjang tulang hyoid di kedua sisi memastikan bundel neurovaskular laringeal superior bundel merupakan saraf hypoglossal yang harus dilindungi. Hioid dan laring dapat ditarik ke inferior untuk memberikan penampakan yang sangat baik dari dinding faring. Reseksi tumor harus melibatkan otot-otot prevertebral jika fasia prevertebral terlibat. Dalam pengaturan ini, kontrol lokal sulit dengan melakukan operasi saja. Diseksi retrofaring harus dilakukan juga, Jika node ini tidak dibedah, maka radioterapi ajuvan dilakukan. Resiko pembedahan adalah denervasi dari pleksus faring, yang dapat menyebabkan disfagia yang signifikan dan aspirasi dalam reseksi tumor yang lebih besar Rekonstruksi defek dinding faring posterior yang sedikit dapat dilakukan dengan split-thickness skin graft. Peyokong tersebut ditempatkan di atas graft dan dapat diangkat secara transoral dalam 5 hari. Jika reseksi melibatkan pengangkatan dinding lateral sinus piriformis, ukuran defek tidak akan mendukung pencangkokan kulit saja. Dalam situasi ini. sebuah flap otot kutaneus daerah pektoralis,flap platisma miokutaneus atau flap bebas fasiokutaneus (misalnya, lengan bagian radial atau paha bagian anterolateral) dapat memperbaiki defek ini. Sebuah alternatif lain dapat dilakukan skin graft otot prevertebral bilateral. Rekonstruksi defek dinding faring posterior hipofaring yang memiliki angka morbiditas yang signifikan. Sebagai contoh, penelitian dari Memorial Sloan-Kettering Memoriam Hospital melaporkan tingkat komplikasi sebanyak 67% setelah pembedahan, dan hanya 33% dari pasien dapat kembali menjalani diet oral yang baik seutuhnya. Jika operasi dipertimbangkan pada tumor dinding faring posterior, ahli bedah harus mengerti bahwa reseksi kemungkinan melibatkan pleksus faring dan pasien kemungkinan mengalami disfungsi menelan yang signifikan serta tingkat komplikasi tinggi yang terkait dengan rekonstruksi. Radiasi definitif merupakan terapi alternatif untuk mencapai kontrol lokal yang baik dengan fungsi pasca pengobatan yang memadai. dan nodul limfatik retrofaring diobati. Gambar 14. Faringotomi suprahioid pada kanker hipofaring posterior. lnsisi awal (A dan B) dilakukan sepanjang batas atas dari seluruh hyoid. Hyoid kemudian diangkat (C) untuk memudahkan tindakan faringotomi (D). 1 Gambar 15. Faringotomi Suprahioid pada kanker hipofaringeal posterior. Setelah hioid diangkat dan faringotomi selesai dilakukan, retraksi superior dan inferior memberikan paparan yang sangat baik untuk eksisi luas kanker. 1, tumor; 2, mukosa; 3, Konstriktor, 4, longus colli; 5, ruang retrofaring; 6, fasia prevertebral. 1 4.5. Bedah Pada Kanker Postkrikoid 1,13,14,15 Tumor daerah postkrikoid biasanya tidak terdeteksi hingga mencapai stadium lanjut. Lesi menginvasi tulang rawan krikoid dan otot krikoaritenoid posterior . Ekstensi Inferior keesofageal bagian servikal umum terjadi. Oleh karena itu, operasi harus dilakukan total laringofaringektomi dan esofagektomi bagian servikal dengan terapi radiasi pasca operasi. Gambar 16. Faringotomi Suprahioid pada kanker hipofaringeal posterior. Insisi biasanya dilakukan pada fasia prevertebra (A). Defek kemudian ditutup dengan spllt-thlckness atau cangkok kulit dermal (B). Kemudian dipertahankan (C) dengan benang nilon yang diisi dengan bolster. Faringotomi ditutup dengan lapisan,dan menghindari jahitan ligasi dari nervus hypoglossal dan laring superior (D).1 Gambar 17. Gabungan lateral faringotomi dan suprahioid pada kanker hipofaring posterolataral. Kanker ini (A) dilakukan pendekatan dengan eksisi sepertiga posterior tulang rawan tiroid dan menggabungkan insisi faringotomi anterolateral (B) dengan sayatan suprahioid (C).1 Gambar 18. Gabungan lateral faringotomi dan suprahioid pada kanker hipofaringeal posterolateral. Sayatan akhir (A) dilakukan secara langsung. Ganglion simpatis servikal (B) harus dipertahankan dilakukan dengan menggunakan sebagian dari otot prevertebral (C) sebagai dukungan untuk dilakukan cangkok kulit.1 Gambar 19, Gabungan lateral faringotomi dan suprahioid pada kanker hipofaring posterolateral. Split-thickness atau graft kulit dermal dijahit ke otot prevertebral (A) dan dipertahankan dengan benang nilon dan bolster (B).1 Gambar 20. Gabungan lateral faringotomi dan suprahioid pada kanker hipofaring posterolateral. Setelah Langkah-langkah yang dilakukan pada gambar 18 dan 19, otot prevertebral ditutup dengan flap bipedikel untuk rotasi medial dari kombinasi skin graft dan bolster (A). Bolster tersebut dijahit disepanjang graft. Penutupan yang kedap dari faringotomi (B) diselesaikan, dan esofagostomi tube ditempatkan. 4.6. Bedah Invasif Minimal 15 Operasi laser transoral awalnya dikembangkan untuk karsinoma laring pada karsinoma kepala dan leher, namun penggunaannya telah dilakukan pada hipofaring. Beberapa kasus telah dipublikasikan yang merinci pengalaman ahli bedah. Semua tahapan telah dievaluasi untuk operasi laser transoral. Kontrol lokal telah dilaporkan antara 90% -95% pada tahap awal tumor dan 47% - 69% pada tumor stadium lanjut. Telah diakui keuntungan dari operasi laser tansoral dibandingkan dengan menghindari tindakan operasi fungsional terbuka yang tracheostomi pada sebagian besar kasus,nasogastrik tube tidak diperlukan dalam banyak kasus, dan waktu rawat di rumah sakit lebih pendek. Selain itu, bedah endoskopi laser. berbeda dengan operasi terbuka, preservasi inervasi sensorik, sehingga meningkatkan kemampuan melindungi jalan napas saat menelan. Operasi transoral robotik merupakan teknik baru yang populer pada beberapa rumah sakit. Penerapannya dalam karsinoma oropharyngeal telah dibuktikan dengan baik. Tetapi hanya sedikit dilakukan pada kanker hipofaring jumlah terbesar hanya 10 pasien dengan tumor Tl atau T2. Operasi hanya terbatas pada dinding faring posterior dan lateral sinus piriform oleh karena ruang terbatas dan daerah aman yang memungkinkan lengan robot dapat melakukan reseksi. 4.7. Penatalaksanaan Pada KGB Leher1,16,17,18 Metastasis KGB umum terjadi pada karsinoma hipofaring. Sehubungan dengan Itu, timbulnya KGB harus ditangani dengan baik dengan pembedahan atau radiasi. Metastasis kelenjar getah bening umumnya terjadi pada karsinoma hipofaringeal sekitar 64% sampai 90% pasien dengan penyebaran ke KGB dan penyebaran ke KGB bilateral terlihat pada 8% sampai 16% dari kasus. Diseksi leher dapat dilakukan pada tumor tahap awal dari sinus piriform lateral. Akan tetapi, tumor yang mendekati garis tengah dilakukan diseksi bilateral. Untuk hipofaring, diseksi KGB harus melibatkan level II, III, dan IV. Diseksi elektif dari paratrakeal dan node paraesophageal mungkin tidak dapat dilakukan pada saat ini. Metastasis KGB trakea sering terlihat pada penyakit stadium lanjut dan tumor yang melibatkan mukosa postcricoid. Oleh karena itu, diseksi paratrakeal dilakukan pada karsinoma hipofaring tahap lanjut. Diseksi paratrakeal bilateral dan tiroidektomi total dilakukan pada lesi yang telah mencapai garis tengah atau lesi melibatkan esofageal bagian servikalis. Diseksi mediastinum dilakukan pada tumor hipofaring T4 karena tingkat metastasis KGB yang mendekati hingga 40%. Penyakit pembesaran KGB terlihat pada 20% sampai 50% pasien pada kanker hipofaring. Data ini menunjukkan pentingnya penatalaksanaan pada KGB retrofaring bening melalui operasi atau radiasi. Secara umum penyebaran ke KGB retropharyngeal dapat diketahui melalui pencitraan pra operasi dan dapat diangkat melalui operasi. Radiasi dapat dilakukan sebagai terapi ajuvan atau secara elektif ketika tidak terlihat pembesaran KGB. 4.8. Rekonstruksi19 Defek kecil hipofaring dapat dilakukan rekonstruksi melalui split-thickness dan flap. Hal ini merupkan cara terbaik untuk menghindari penutupan primer dari sisa mukosa kurang dari 2 cm karena dapat mengakibatkan striktur. Defek yang lebih besar cocok untuk dilakukan rekonstruksi dengan flap pedikel miokutaneous, contohnya miokutaneous pectoralis atau flap deltopektoralis. Flap pedikel memiliki komplikasi yang minimal. Transfer jaringan bebas dengan flap lengan bagian radial atau flap paha bagian anterolateral merupakan pilihan lain dalam rekonstruksi defek dengan hasil fungsional yang masih baik. Flap besar harus dihindari dalam hal preservasi laring, karena dapat mengganggu fungsi menelan dan menyebabkan aspirasi yang berat. Defek faringeal total sebaiknya dilakukan rekonstruksi dengan flap jaringan bebas. Flap fasiokutaneus tube dari lengan bagian radial dan paha bagian anterolateral atau graf enteral bebas merupakan pilihan yang umum oleh dokter bedah rekonstruktif. Flap paha bagian anterolateral memiliki fleksibilitas yang baik dengan tingkat striktur hanya 5% yang dilaporkan dalam satu studi. Penelitian lain dari Korea menemukan 92% dari pasien yang menjalani rekonstruksi dengan flap fasiokutaneous tubed dapat kembali menjalani diet norma dan hanya 6% yang mengalami striktur. Flaps enterik memiliki keuntungan dari kelenturan jaringan, kemudahan dalam konturing, peristaltik intrinsik, dan kemampuan untuk mengeluarkan lendir. Akan tetapi telah diamati bahwa banyak pasien memiliki kualitas vokal yang rendah yang digambarkan sebagai "basah" karena sekresi lendir meningkat. Sebagai tambahan graf jejunum dapat dilakukan dengan teknik laparoskopi, dengan demikian, dapatmenghindari sayatan laparotomi. 4.9. Terapi Non Operasi Pada Karsinoma Hipofaring1,20,21 Radiasi primer merupakan pengobatan pilihan dalam banyak early-stage karsinoma hipofaringeal. Tumor stadium lanjut biasanya ditatalaksanakan dengan operasi diikuti dengan radiasi pasca operasi. kontrol lokal rerata dalam situasi ini berkisar antara 76% dan 79%. Meskipun kemoterapi tidak digunakan sebagai terapi definitif pada karsinoma hipofaringeal. Penggunaannya dapat sebagai neoadjuvan atau konkomitan telah terbukti bermanfaat pada banyak pasien. Sebuah meta analisis dari lebih 87 percobaan menggunakan kemoterapi pada kanker kepala dan leher antara 1965 dan 2000 menunjukkan kelangsungan hidup mutlak 4,5%. Penggunaan kemoterapi saat ini memiliki survival sebesar 6,5%. Sehubungan Dengan Itu, penambahan protokol kemoterapi dalam pengobatan karsinoma hipofaringeal dapat meningkatkan kelangsungan hidup. Meskipun induksi kemoterapi tidak memberikan manfaat kelangsungan hidup dalam studi ini, penelitian yang terbaru telah menunjukkan penambahan taxanes (docetaxel) pada rejimen sebelumnya yang berbasis platinum (cisplatin dan 5- fluorouracil) memberikan manfaat survival yang signifikan daripada rejimen berbasis platinum saja. Pemberian kemoterapi pasca operasi di dalam pemberian radiasi telah dipelajari pada dua percobaan tuyai, KIOG 95-01 dan EORTC 22391. Kedua uji coba ini membandingkan penambahan kemoterapi pada radiasi pascaoperasi dengan radiasi pasca operasi konvensional saja pada pasien dengan resiko tinggi kanker kepala leher (didefinisikan sebagai penyebaran ekstranodal, multipel nodul). Penderita karsinoma hipofaring terdiri dari 20% dari kelompok European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) , 12% dari Radiation Therapy Oncology Group (RTOG). dan 7% dari RTOG kemoradiasi. Kedua penelitian ini menunjukkan peningkatan kontrol lokal dan regional kemoterapi dengan peningkatan tingkat kontrol dari 10% dan 11% masing- masing pada percobaan EORTC dan RTOG. Hanya EORTC memberikan kelangsungan hidup yang signifikan dalam dengan kemoterapi (13% dalam waktu 2 tahun) . Oleh sebab itu. kesimpulan dari dua studi ini adalah penambahan kemoterapi dengan resiko tinggi kanker kepala leher akan meningkatkan kontrol lokal dan regional dan juga angka kelangsungan hidup. Hasil penelitian Veterans Affairs Laryngeal Cancer Study and the RTOG telah mengembangkan rejimen pengobatan dengan menggunakan kemoterapi dan terapi radiasi untuk preservasi laring. Penggunaan kemoterapi sebagai bagian dari induksi atau pengobatan bersamaan telah menghasilkan peningkatan rerata kontrol lokal / regional dan penurunan angka metastasis jauh. Hasil ini belum dibandingkan tingkat ketahanan hidup saat dibandingkan dengan operasi dan radiasi adjuvant. Namun studi ini diamati pada pasien dengan kanker laring saja tanpa karsinoma hipofaring. Hasil dari percobaan VA menyebabkan pertimbangan protokol preservasi organ dalam penatalaksanaan karsinoma hypofaringeal. Penelitian pertama retrospektif dari MD Anderson Cancer Center diamana membandingkan induksi kemoterapi dan terapi radiasi pada operasi dengan pasien karsinoma laring dan karsinoma hipofaring. Mereka melaporkan tingkat respon sebesar 78% pada pasien karsinoma hipofaring dan tingkat respons komplit 83% pada pasien yang respon terhadap induksi kemoterapi. Laring dipertahankan pada 69% pasien. Yang paling penting, tidak ada perbedaan yang signifikan dari angka kelangsungan hidup antara kelompok non-bedah dan kelompok bedah. Hasil ini diikuti oleh evaluasi prospektif dari preservasi laring pada kanker hipofaring dikembangkan oleh EORTC. Pada fase III, uji coba terkontrol dilakukan secara acak membandingkan induksi cisplatin dan 5fluorouracil (FU) diikuti dengan terapi radiasi dan pembedahan konvensional dengan terapi radiasi adjuvant . Tidak ada perbedaan yang ditemukan tingkat kontrol lokal / regional dan angka kelangsungan hidup bebas dari penyakit dalam 5 tahun. Preservasi laring fungsional adalah 35% dalam 5 tahun. Studi ini menyimpulkan bahwa preservasi laring fungsional mungkin tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup pada karsinoma hipofaring, EORTC melaporkan pada preservasi laring untuk hipofaring membandingkan induksi kemoterapi dan induksi kemoradiasi bersamaan, mirip dengan RTOG 91-11. Percobaan ini terdiri dari 51% pasien dengan karsinoma hipofaring. Pasien berada pada stage T2-4 / N0-2 di hipofaring pada penelitian tersebut pasien menerima induksi kemoterapi diikuti dengan radioterapi atau rejimen kemoradiasi. Operasi penyelamatan untuk penyakit persisten atau berulang dari hipofaring setelah kemoradiasi selesai dilakukan merupakan hal yang menantang tetapi dapat memperpanjang interval bebas penyakit. Tidak meratanya regresi tumor, batas tumor yang tidak jelas, radiasi yang mengakibatkan fibrosis jaringan lunak, dan penyembuhan luka yang buruk merupakan hal-hal yang menantang pada operasi penyelamatan. Dengan operasi penyelamatan, hidup rata-rata meningkat menjadi 14 bulan setelah pengobatan penyakit berulang pada faring. Dari kedua pengamatan ini, operasi penyelamatan adalah pilihan yang layak untuk memperpanjang kelangsungan hidup. BAB V PROGNOSIS & KOMPLIKASI 5.1 Prognosis22 Secara keseluruhan angka harapan hidup untuk pasien dengan kanker hipofaring yang tidak mendapatkan pengobatan adalah buruk, dengan kelangsungan hidup selama 1 tahun sebanyak 10%. Sebaliknya, mereka yang mendapatkan pengobatan memiliki angka harapan hidup selama setahun sebesar 48%. Kelangsungan hidup lima tahun secara keseluruhan untuk Kanker stadium lanjut berkisar antara 18% sampai 47%, sedangkan kanker stadium awal memiliki angka harapan hidup yang lebih baik mulai dari 64% menjadi 78% . Perbaikan dalam pengobatan protokol yang tercermin dalam perubahan pada 5 tahun angka harapa hidup penyakit-spesifik pada pasien kanker hipofaring. Antara 1980 dan 1985, 5 tahun angka harapan hidup adalah 4,2%, dan antara tahun 1990 dan 1999, 5-tahun angka harapan hidup meningkat menjadi 35%. Status kelenjar getah bening mempengaruhi kelangsungan hidup pada karsinoma hipofaring. Sebuah penelitian dari 132 pasien diobati dengan pembedahan dan radiasi mengungkapkan pasien dengan NO atau N1 memiliki ketahanan hidup 5 tahun dari 54%, yang menurun sebesar 20% pada mereka dengan N2 atau penyakit yang lebih besar. Stadium Lokasi No I II III IV Jumlah Fosa 6/11 5/10 7/24 1/18 19/63 piriformis (63) 54% 50% 29% 5% 30% Dinding 5/5 11/15 1/8 0/2 17/30 Posterior (30) 100% 75% 12% 0% 56% Postkrikoid 1/3 0/1 1/4 (4) 33% 0% 25% Total 11/16 16/25 9/35 1/21 37/97 68% 64% 25% 4% 38% Tabel 4. Kanker hipofaring : 5 tahun angka harapan hidup berdasarkan stadium1 Hipofaring merupakan salah satu bagian yang berperan dalam fungsi penelanan. oleh sebab itu pasien secara signifikan mengalami pengaruh akan kemampuan dalam mempertahankan intake oral setelah pengobatan kanker. Pada pasien yang mengalami pembedahan laringofaringektomi, meskipun kontrol lokal yang baik, tingkat gastrostomy permanen masih mendekati 16%. Dalam review rekonstruksi 153 postlaryngopharyngectomy pasien, tingkat striktur sebanyak 15%. Protokol preservasi organ juga memiliki disfagia yang signifikan selama dan setelah pengobatan. Tingkat terjadinya striktur dilaporkan setinggi 20% setelah radioterapi. Pasien yang melakukan terapi latihan di bawah bimbingan ahli patologi bicara dan mempertahankan asupan oral melalui radiasi cenderung kurang mengalami ketergantungan jangka panjang gastrostomy. Oleh karena itu, penggabungan ahli patologi wicara dalam tim multidisiplin sangat penting untuk fungsional preservasi proses menelan pada pasien dengan karsinoma hipofaring. Pemulihan bicara diikuti laringofaringektomi dicapai dengan melakukan puncture trakeoesofageal dan prostesis suara. 5.2. Komplikasi 1,22 Komplikasi yang dihadapi dalam operasi dari hipofaring mirip dengan tumor kepala leher mayor lainnya dan reseksi tumor leher. Penyembuhan luka yang buruk dan adanya gejala sisa seperti faring fistula, merupakan komplikasi yang paling umum yang terlihat pasca operasi. Penyakit penyerta, seperti kekurangan gizi sebelum terapi radiasi, hipotiroidisme, dan hipovitaminosis, merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi pada komplikasi ini. Rincian teknis, seperti jenis jahitan, ketegangan pada anastomosis mukosa, tumor pada margin faring. dan rekonstruksi pilihan lipatan. juga berkontribusi terhadap terbentuknya fistula. Pemeliharaan stoma yang paten juga merupakan aspek penting dalam menghindari komplikasi akut. Masuknya lendir adalah umum pasca laringektomi dapat terjadi. Perawatan yang rajin dan sering dilakukan penyedotan dapat menghindari jterjadinya obstruksi saluran nafas. Aspek ini juga berlaku untuk pasien yang telah dilakukan trakeostomi operasi laring. Komplikasi yang delayed yang umum terjadi adalah stenosis dan aspirasi. Konsultasi terapi bicara patologi dapat memberikan latihan terapi untuk meningkatkan proses menelan. Komplikasi luka infeksi Perdarahan Fistula Aspirasi Striktur Tabel 5. Komplikasi luka infeksi1 BAB VI KESIMPULAN Pasien dengan karsinoma hipofaring biasanya mengalami kekurangan gizi, yang menyebabkan berbagai macam masalah medis. Ekstensi submukosa dengan lesi satelit dan yang tidak jelyang merupakan tanda khas dari tumor ini. Pasien karsinoma hipofaring memiliki 60%- 80% tingkat metastasis limfatik kejadiannya. Sebagian besar daerah yang umum terjadinya metastasis limfatik adalah terletak pada KGB jugulodigastric. Metastasis KGB paratrakeal dan paraesophageal umumnya terjadi pada tumor stadium lanjut. Keterlibatan kelenjar getah bening retrofaring umumnya terjadi pada tumor yang meluas ke ruang retrofaring. Diseksi bedah pada ruang ini atau radiasi pada KGB diperlukan sebagai bagian dari pengobatan. Evaluasi secara multidisiplin oleh ahli bedah kepala dan leher, ahli hematoonkologi, ahli onkologi radiasi, ahli bedah plastik, ahli radiologi, dokter gigi, ahli gizi,. dan terapi bicara diperlukan sebelum memulai pengobatan. Radiasi secara definitif adalah pengobatan yang tepat untuk tumor tahap awal dari hipofaring. bedah untuk lesi ini dapat memberikan lesi pleksus faring, yang dapat membuat disfungsi menelan secara signifikan. Tumor stadium lanjut sebaiknya dikelola dengan total laringofaringektomi dan atau esofagektomi dengan rekonstruksi jaringan bebas. Reseksi onkologik juga harus memperhatikan metode rekonstruksi. Rehabilitasi yang berhasil dalam hal berbicara dan menelan adalah sesuatu yang layak dilakukan tidak peduli dengan berbagai modalitas pengobatan dan memberikan motivasi kepada pasien dalam hal terapi bicara. DAFTAR PUSTAKA 1. Bhayani MK et al. Hypopharyngeal and cervical esophageal carcinoma. Bailey’s head and neck surgery otolaryngology 5th edition. 2014:1917-56 2. Cooper JS, et al. National Cancer Database report on cancer of the head and neck: 10-year update. Head Neck 2009;31(6):748-758. 3. Hall SE et al. The natural history of patients with squamous cell carcinoma of the hypopharynx. Laryngoscope 2008;118(8):1362-1371. 4. .Lee YC, et al. Active and involuntary tobacoo smoking and upper aerodigestive tract cancer risks in a multicenter case-control study. Cancer Epidemiol Biomarkers Prell 2009;18{12):3353-3361. 5. Sapkota A. et al. Smokeless tobacco and increased risk of hypopharyngeal and laryngeal cancers: a multicentric case-control study from India. Int J Cancer 2007;121(8):1793-1798. 6. de Bree R. et al. Paratracheal lymph node dissection in cancer of the larynx. hypopharynx. and cervical esophagus: the need for guidelines. Head &Neck 2011;33(6):912-916 7. Zbaren P, Becker M. Lang H. Pretherapeutic staging of hypopharyngeal carcinoma. Clinical :findings, computed tomography. and magnetic resonance imaging compared with histopathologic evaluation. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1997;123(9): 908-913 8. Becker M. et al. Imaging of the larynx and hypopharynx. Eur J Radiol 2008;66(3):460-479. 9. Edge SB, Byrd DR, Compton CC, et al., Pharynx ini, eds.: AJCC Cancer Staging Manual. 7th ed. New York, NY: Springer, 2010, pp 41-56. 10. Ge N, et al. Prognostic significance of Oct4 and Sox2 expression in hypopharyngeal squamous cell carcinoma. J Transl Med Med.2010;8:94 11. Cooper JS, et al. National Cancer Database report on cancer of the head and neck: 10-year update. Head Neck 2009;31(6):748-758. 12. Bova R. et al. Total pharyngolaryngectomy for squamous cell carcinoma of the hypopharynx: a review. Laryngoscope 2005;115(5):864-869. 13. Kutter J, et al. Transoral laser surgery for pharyngeal and pharyngolaryngeal carcinomas. Arch Otolaryngology Head Neck Surg2007;133(2):139-144. 14. Posner MR. et al. Sequential therapy for the locally advanced larynx and hypopharynx cancer subgroup in TAX 324: survival surgery and organ preservation. Ann Oncol 2009; 20(5):921-927 15. Park YM. et al. Feasibility of transoral robotic hypopharyngectomy for early-stage hypopharyngeal carcinoma. Oral Oncol 2010; 46(8):597-602. 16. Koo BS, et al. Management of contralateral NO neck in pyriform sinus carcinoma. Laryngoscope 2006;116(7):1268-1272. 17. Mercante G, et al. Involvement of level I neck lymph nodes and submandibular gland in laryngeal and/or hypopharyngeal squamous cell carcinoma. J Otolaryngology 2006;35(2):108-111. 18. Joo YH, et al. 1he impact of paratracheal lymph node metastasis in squamous cell carcinoma of the hypopharynx. Eur Arch Otorhinolarynglogy 2010;267(6):945950. 19. Hong JW. et al. Hypopharyngeal reconstruction using remnant narrow pharyngeal wall as omega-shaped radial forearm free flap. J Craniofac Surg2009;20(5): 13341340. 20. Lefebvre JL. et al. Phase 3 randomized trial on larynx preservation comparing sequential vs. alternating chemotherapy and radiotherapy. J Natl Cancer Inst 2009;101(3):142-152. 21. Pignon JP, et al. Meta-analysis of chemotherapy in head and neck cancer (MACHNC): an update on 93 randomised trials and 17,346 patients. Radiotherapy Oncol2009;92(1):4-14.. 22. Wong RJ, Shah JP. 1he role of the head and neck surgeon in contemporary multittisciplinary treatment programs for advanced head and neck cancer. Curr Opin Otlaryngol Head Neck Surge 2010; 18(2):79-82.