UTAMA ASIA M IRACLE, INDONESIA YANG BAB AK BELUR (Oleh : Zaenal Arifin) Sela ma tiga dasawarsa negara-negara kawasan Asia Timur selalu mendapatkan pujian dari negara-negara maju dan badan-badan internasional berkat berbagai kemajuan yang mereka raih melalui pembangunan dan industrialisasi. Krisis ekonomi yang terjadi sejak paruh kedua 1997 dalam sekejap telah me merosotkan kawasan ini kembali ke masa-masa silam dala m indikator-indikator pertumbuhan ekonomi dan pembangunannya. Indonesia merupakan negara yang mengala mi krisis terberat. Ada sebuah permasalahan mendasar yang agaknya terabaikan dari gegap gempita derap pe mbangunan itu. Asia Miracle : Pada tahun 1993, Bank Dunia menerbitkan sebuah laporan y ang berjudul “The East Asian Miracle : Economic Growth and Public Policy”. Laporan setebal 408 halaman itu meny oroti kemajuan-kemajuan ekonomi y ang dicapai di beberapa negara kawasan Asia Timur, y akni Hong Kong, Indonesia, Jepang, Malaysia, Republik Korea, Singapura, Taiwan, dan Thailand. Laporan tersebut mencatat adanya beberapa f aktor yang dianggap menjadi kunci keberhasilan Asia Timur dalam membangun perekonomian mereka. Kedelapan negara tersebut kemudian mendapat julukan sebagai the eight High Performing Asian Econo mies (HPAE’s), sebagai sebuah catatan sukses y ang pantas ditiru oleh negara-negara lainny a. Adapun f aktor-f aktor fundamental kunci keberhasilan itu adalah : Pertama, dengan diterapkannya kebijaksanaankebijaksanaan pembangunan y ang memungkinkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi y ang menciptakan tahap kemakmuran baru dan memungkinkan dilakukanny a disitribusi pendapatan secara lebih merata. Kedua, sementara itu kebijaksanaan-kebijaksanaan di sektor publik memungkinkan untuk terjadiny a akumulasi kapital secara cepat melalui perbankan y ang sehat sehingga dapat mendorong terciptanya tabungan domestik y ang besar. Ketiga, pemerintah di kawasan tersebut juga dipuji berkat keberhasilannya menciptakan secara cepat menciptakan angkatan tenaga kerja trampil (skilled labor force) melalui program pendidikan dasar dan menengah sehingga dapat memenuhi kebutuhan industrialisasi. Indikator-indikator ekonomi menunjukkan, bahwa pertumbuhan ekonomi Asia Timur memiliki keterkaitan erat secara relatif dengan pertumbuhan angkatan kerja terdidik serta peningkatan upah mereka. Selanjutny a pertumbuhan ekonomi y ang tinggi memungkinkan untuk melakukan akumulasi kapital dalam pengembangan sumberday a manusia. Selain itu kedelapan negara itu dianggap memiliki kesamaan karakteristik dari segi perkembangan sektor pertanian y ang dinamis, laju pertumbuhan ekspor, transisi demograf i, angka investasi dan tabungan y ang tinggi, dan inv estasi sumberdaya manusia y ang juga tinggi. Sektor pertanian juga menjadi salah satu aspek penting. Kebijaksanaan pertanian y ang diterapkan terbukti mampu meningkatkan produktivitas sektor ini melalui penarikan pajak y ang relatif rendah, pengendalian harga, serta penerapan teknologi baru dan membuka peluang bagi masuknya inv estasi asing ke lahan pertanian. Demikian pula peran hukum dan peraturan y ang diterapkan menciptakan iklim bisnis yang positif terhadap lingkungan. Pertumbuhan ekonomi tinggi di kawasan Asia Timur terjadi dalam tiga dekade (gelombang). Gelombang pertama ialah WACANA E DISI K HUSUS 1997-1998 pertumbuhan yang terjadi pada Jepang dan melalui pola “angsa terbang” (flying geese) sukses Jepang itu diikuti Empat Macan Asia (Four Tigers), y akni Hong Kong, Republik Korea, Singapura dan Thailand. Gelombang kedua terjadi terhadap negara-negara Indonesia, Malay sia dan Thailand. Dan gelombang ketiga terjadi terhadap Cina dan Vietnam. Faktor-faktor Fundamental Kemajuan Asia Timur : Seperti telah diuraikan di atas, ada tiga faktor f undamental yang secara sistematis berpengaruh terhadap kemajuan perekonomian Asia Timur, y akni : 1) Makro ekonomi y ang stabil. 2) Kebijaksanaan publik dan peran dunia pendidikan. 3) Kontribusi dari kemajuan tehnik. Faktor Makroekonomi : Telah menjadi doktrin umum bahwa pembangunan ekonomi hanya dapat berhasil jika didukung oleh instrumen-instrumen makro ekonomi y ang baik. Oleh karena itu pengendalian inf lasi, anggaran belanja pemerintah serta nilai tukar v aluta asing, melalui kebijaksanaan moneter dan f iskal selalu menjadi isu penting. Sasaran berikutnya dari langkah-langkah itu ialah laju pertumbuhan ekonomi y ang tinggi serta perluasan kesempatan kerja. TABEL 1 : ANGKA I NFLASI DAN GNP PERKAPITA DI HPAE’S (rata-rata % per tahun) Laju Inf lasi Laju GNP/Kapita 1965-80 Indonesia Republik Korea HongKong Jepang Thailand Singapura Malay sia 35.5 18.4 8.1 7.7 6.2 5.1 4.9 1980-93 8.5 6.3 7.9 1.5 4.3 2.5 2.2 1965-1990 4.5 4.4 4.0 7.1 6.5 6.2 4.1 ------------------------------------------------------------------------Sumber : World Development Report, Development Indicators - 1995 Selama kurun 1965-1993, laju inf lasi rata-rata di kawasan Asia Timur adalah 6%, sementara laju kenaikan GNP perkapita dalam kurun 1965-1990 rata-rata adalah 5,3%, sebuah angka yang dianggap mencerminkan ekonomi y ang stabil. Sesuatu yang memang cukup luar biasa (jarang terjadi) untuk bisa mensejajarkan inf lasi yang rendah dengan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Lazimnya keduanya saling memiliki hubungan positif. Dalam hal anggaran negara, Asia Timur berhasil menekan def isit anggaran, terendah setelah negara maju selama kurun 1960-1992 (Tabel 2). Demikian pula dalam 1 UTAMA menciptakan stabilisasi nilai tukar riil (Tabel 3) y ang memungkinkan untuk dapat mengendalikan defisit transaksi berjalan. Kedua faktor, y akni def isit anggaran y ang rendah dan stabilisasi nilai tukar riil merupakan dua langkah penting stabilisasi makro ekonomi untuk bisa mengendalikan laju inf lasi. Dilihat dari f aktor-faktor makro ekonomi tersebut prestasi negara-negara Asia Timur itu memang menakjubkan. terny ata jumlah sekolah di Asia Timur ini jauh lebih bany ak dibandingkan negara-negara lainnya y ang hampir mirip. Faktor Kemajuan Tehnik : Kemajuan tehnik (technical progress) dalam sebuah perekonomian diartikan dengan memproduksi lebih bany ak output dari sejumlah input tertentu. Salah satu alat pengukur y ang telah populer digunakan untuk melihat kontribusi kemajuan tehnik terhadap pertumbuhan ekonomi adalah Total Factor Productivity (TFP) atau Faktor Produktiv itas Total. TFP menunjukkan tingkat ef isiensi dan ef ektifitas sistem produksi untuk menghasilkan output atas sejumlah inv estasi yang ditanamkan. Sejak lama dipercayai kemajuan ekonomi tidak ditentukan oleh teknologi semata.. TFP mencakup ef ektifitas manajemen, sistem birokrasi dan regulasi, perbankan, kesempatan berusaha, produktivitas buruh, serta faktor-f aktor lainnya y ang berpengaruh terhadap ef isiensi produksi. TFP mencerminkan tinggi rendahnya kinerja dan day a tahan suatu perekonomian serta menjadi indikator posisi tawar menawar (bargaining position) suatu negara dalam perdagangan international. Atau dalam istilah y ang lebih populer kini ialah f aktor keterbukaan ekonomi. Salah satu proksi keterbukaan ekonomi ialah seberapa jauh mata uang suatu negara mencerminkan daya beli riel bila dibandungkan dengan mata uang negara-negara lain. Sebagai contoh dengan memasukkan f ormulasi TFP, dapat dihitung bahwa pada tahun 1991 nilai riel Rupiah terhadap Dollar AS itu sesungguhny a adalah Rp 5.000. TABEL 2 : GOVERNMENT BUDGET D EFICIT ( % of GDP, 1960-1992) South Asia -6.0 Sub-Sahara Af rica -5.1 Middle East -5.0 Latin America -3.8 East Asia -1.8 Industrial Countries -1.6 TABEL 3 : R ELAT IVELY STABLE R EAL EXCHANGE R AT E (standard deviation of real exchange rate ov er 1960-1992) Latin America 15.4 Sub-Sahara Af rica 14.8 South Asia 12.9 East Asia 9.4 Middle East 8.7 Industrial Countries 5.5 Faktor Pendidikan dan Sumberdaya Manusia : Angkatan kerja trampil adalah juga bagian dari kapital dan menjadi salah satu faktor penting dalam menciptakan laju pertumbuhan ekonomi secara efektif. Cukup sulit untuk menentukan v ariabel mana sajakah y ang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun dapat disebut dalam banyak hal mutu pendidikan dasar yang baik serta kesempatan sekolah bagi kaum perempuan merupakan aspek penting dari akumulasi kapital pengembangan sumberday a manusia. Semakin tinggi angka TFP berarti kinerja dan posisi tawar menawar perekonomian semakin baik. Dari data yang ada diketemukan bahwa kemajuan tehnik di negara HPAE’s kurang begitu bagus dibandingkan dengan negara-negara industri maju seperti terlihat dalam Tabel 5, di mana angka TFP dan porsi TFP terhadap pertumbuhan output adalah 0,8 dan 11,9 untuk Asia Timur sementara 1,0 dan 27,8 untuk negara industri maju. Data y ang ada menunjukkan bahwa terjadiny a akumulasi kapital untuk keperluan pengembangan sumberdaya manusia memungkinkan pertumbuhan ekonomi Asia Timur melaju dengan cepat. Data juga menunjukkan TABEL 5 : C ONT RIBUT ION OF TECHNICAL PROGRESS T O ECONOMIC GR OWT H Labor Output/ Total Factor TFP Share in Force Worker Productivity Output Growth Sub-Suhara Af rica Middle East Latin America East Asia South Asia Industrial Countries 2.5 2.8 2.8 1.2 0.5 1.8 1.4 2.6 1.9 2.4 4.1 2.3 -0.7 -0.4 0.1 1.0 0.8 0.7 - 23.3 - 8.7 2.4 11.9 16.7 27.8 Note: All, except Total Factor Productiv ity (TFP) Share, are av erage percent growth per y ear, 1960-92. TFP Share is av erage TFP growth per y ear as a percent of av erage total output growth per year. Output is calculated in national prices. period TABEL 6 : ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA SOURCES OF GROWTH Growth of Contribution of: GDP per Capital Education Total Factor Worker Productivity 1960-70 1.8 1970-80 5.0 1980-86 2.6 1986-92 3.9 1960-92 3.3 Source : World Bank 1995 WACANA E DISI K HUSUS 1997-1998 0.5 3.5 3.2 2.6 2.3 0.5 0.3 0.5 0.5 0.4 0.8 1.1 -1.1 0.8 0.5 2 UTAMA Tabel 6 menunjukkan kontribusi dari kapital, pendidikan dan TFP terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Selama kurun 1960-1992 itu kapital masih merupakan f aktor penentu terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 2,3 persen, sementara TFP hany a sebesar 0,5 persen. Angka TFP tertinggi dicapai pada periode 19701980 sebesar 1,1. Cukup mengejutkan, mengingat pada periode itu terjadi Krisis Pertamina (1974) y ang meny ebabkan beban bagi perekonomian. Penjelasanny a adalah era bom miny ak y ang terjadi dalam kurun waktu itu, y ang meny ebabkan tersedianny a dana y ang memadahi untuk pembiay aan pembangunan cukup ef ektif alokasiny a dalam mencipatakan laju pertumbuhan ekonomi. Asia Timur sebagai Emerging Market : Didorong oleh performance perekonomianny a dan juga f aktor demograf i, kawasan Asia Timur (termasuk daratan Cina) telah menjadi pasar y ang menjanjikan atau “emerging market”, di mana 75% perdagangan dunia terjadi di antar negara kawasan ini, dan hany a meny isakan 25% saja untuk kawasan lain. Pada akhir April 1997 lalu, Komisi Perdagangan dan Inv estasi AS menerbitkan sebuah laporan mengenai situasi kawasan Asia Pasif ik dalam konteks kepentingan inv estasi AS di kawasan ini. Laporan tersebut menyebut kawasan Asia Pasif ik sebagai ‘the America’ s best customer’ , dengan pembelian mencapai 30% dari seluruh komoditi dagang AS, serta telah meny erap inv estasi langsung AS ke kawasan ini sebesar $ 40 mily ar selama kurun 1991-1995. Sementara selama dekade ini perekonomian Asia Pasifik diekspektasi akan menghabiskan US$ 1,5 trilyun untuk pembangunan inf rastruktur baru. Laporan tersebut juga mengisyaratkan masih adany a f aktor-faktor y ang menghambat perdagangan dan inv estasi berupa masih diberlakukanny a hambatan tarif dan non tarif, semangat dan praktek-praktek antikompetisi baik di sektor swasta maupun sektor publik, serta lemahnya upay a untuk memberlakukan perundangan anti monopoli. Beberapa rekomendasi disampaikan agar pemerintah AS menekan kawasan ini untuk melakukan pembenahan-pembenahan yang sesuai dengan semagat pasar bebas (WTO). Salah satu rekomendasi itu ialah meny angkut nilai tukar, yakni perluny a pemerintah AS untuk menjamin tidak adany a manipulasi dari negara-negara di kawasan tersebut terhadap nilai tukar mereka untuk terbentukny a keunggulan y ang kompetitif. Sementara itu perekonomian Indonesia pada tahun 1991 dan 1995 mencatat beberapa hal menakjubkan. Y akni, terjadiny a perubahan kontribusi dua sektor utama (pertanian dan industri) terhadap pendapatan nasional untuk kurun waktu 1966-1991, masing-masing dari 8% (1966) menjadi 22% (1991) untuk sektor industri. Sementara terjadi penurunan untuk sektor pertanian dari 51% (1966) menjadi 19% (1991). Pada tahun 1995, untuk pertama kaliny a GDP per-kapita Indonesia menembus angka US $ 1.000. Artiny a Indonesia tidak lagi masuk dalam kategori negara miskin, tetapi sudah meningkat derajatny a menjadi negara berpenghasilan menengah. WACANA E DISI K HUSUS 1997-1998 Antiklimaks dari Sebuah Keajaiban : Sebelum ini beberapa kali perekonomian kawasan Asia Timur dihadapkan pada goncangan, seperti ketika terjadi resesi ekonomi dunia (1980), di mana bany ak negaranegara berkembang pengekspor bahan mentah hancur akibat mandegny a proses produksi di negara maju. Kemudian munculnya krisis hutang dunia (1982) y ang melanda sekujur Amerika Latin. Kawasan Asia Timur, kecuali Filipina, berhasil lolos dari krisis ini. Indonesia sendiri sepanjang sejarah negara orde baru pernah mengalami dua kali krisis perekonomian, yakni ‘krisis Pertamina’ yang terbelit hutang (1974) dan jatuhny a harga minyak (1986). Pada bulan Juni 1997, dalam laporan tahunanny a Bank Dunia mengeluarkan sebuah peringatan untuk Indonesia. Bank Dunia menilai bahwa Indonesia melakukan kekeliruan dalam penggunaan inv estasi dan strategi pertumbuhan ekonomi, serta akan mengalami ancaman serius secara jangka panjang. Laporan ini cukup mengejutkan, mengingat sebelumnya Bank Dunia begitu bany ak memberikan pujian atas keberhasilan y ang dicapai Indonesia, tetapi dalam waktu sekejap saja berubah. “Deregulasi telah kehilangan momentumny a, sementara inf lasi tetap tinggi, kebijaksanaan-kebujaksanaan untuk memotong tarif tidak dilaksanakan, dan sektor perbankan sangat lemah”. Namun demikian laporan tersebut masih meletakkan keoptimisanny a terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Setelah tiga tahun kedepan, laju pertumbuhan ekonomi akan mencapai 7,8% dan def isit transaksi berjalan dapat ditekan hingga sebesar 4% dari total GNP. Pada tanggal 8 Juli 1997, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS mulai merangkak turun. Pada tanggal 14 Agsutus 1997 pemerintah melepas intervention band (pita intervensi) terhadap kurs Dollar AS. Sejak saat itu Rupiah pun mulai terjun bebas. Dalam kurun 4 bulan, tepatny a 6 Oktober 1997 Rupiah telah terdepresiasi sekitar 50 persen, menjadi Rp 3.845 terhadap Dollar AS. Merosotny a nilai Rupiah terus terjadi hingga pemerintah meminta bantuan IMF pada tanggal 8 Oktober 1997. Namun agenda IMF itu tetap saja tak dapat menolong bany ak nilai Rupiah. GDP perkapita yang sempat tercatat U$ 1.200 pada tahun 1997, anjlok tinggal U$ 300 pada Januari 1998, atau kurang lebih sama dengan 20 tahun sebelumnya. Modal di pasar modal juga anjlok dari U$ 118 mily ar menjadi tinggal U$ 17 milyar, dari 286 perusahaan y ang terdaf tar di pasar modal Jakarta, tinggal 22 perusahaan y ang dianggap sehat. Sisanya sudah bangkrut. Perusahaan Indonesia yang nilainya lebih dari U$ 500 mily ar sebelum krisis jumlahny a 49 perusahaan, sekarang tinggal 4 perusahaan. Def isit transaksi berjalan mencapai US$ 7.5 milyar pada bulan September 1997, hutang luar negeri mencapai US$ 140 mily ar, di mana US$ 65-100 mily ar di antarany a adalah hutang swasta. Angka DSR (Debt Serv ice Ratio) di atas 30 % (ambang batas toleransi 25%). 3 UTAMA Prof. Jeffrey A. Winters, pakar ekonomi dari Northwestern University, AS mengistilahkan gejala tersebut sebagai ‘economic meltdown’ , ekonomi y ang ambruk. Semua kegiatan perekonomian macet karena harga-harga melambung tinggi, biaya-biay a meningkat, inf lasi dan suku bunga tinggi, sementara pengangguran juga meningkat dan kemiskinan meluas. Hutang menjadi berlipat-lipat dan tidak mungkin dibay ar. Tidak ada inv estasi, semua terhenti, stagnan. Kesemuanya itu terjadi meny usul meny eruakny a berbagai kasus seperti kredit macet dan perbankan y ang keropos, skandal Busang, Mobnas, kebakaran hutan, dan y ang lainnya. Dengan demikian persoalanny a tidak lagi persoalan moneter atau ekonomi semata. Tetapi menjadi struktural meny angkut semua aspek. Keajaiban Bonanza Minyak, Krisis Pertamina dan Kapitalisme Kroni : Keajaiban pertama kali yang pernah dialami negara orde baru terjadi pada tahun 1974, y akni ketika dalam waktu sekejap harga miny ak naik berlipat-lipat secara drastis, y ang bisa diibaratkan Indonesia bagai negara y ang baru menang lotre besar dan mendadak kay a. Masa ‘bonanza miny ak’ (oil boom) y ang terjadi selama kurun 1974-1975 meny ebabkan kocek negara terisi penuh dan memungkinkan pemerintah membiay ai proyek-proyek pembangunan. Masa bonanza miny ak memberi banyak peluang bagi Pertamina sebagai badan usaha y ang memiliki monopoli terhadap segala penjualan hasil miny ak. Kocek y ang tebal memungkinkan bagi Pertamina mengembangkan say apnya. Dimulailah ekspansi besarbesaran di sektor jasa, membangun rumah sakit, hotel dan berbagai proy ek lainnya. Dalam sekejap pula hutang Pertamina menjadi berlipat-lipat mencapai US$ 10 mily ar atau sama dengan 30% GDP Indonesia saat itu, sampai akhirny a BUMN itu mengalami kekurangan likwiditas dan collapse. Akhirny a pemerintah mengambil alih semua hutang Pertamina dan menghentikan pemasukan dana hasil miny ak itu ke kas Pertamina, tetapi langsung disetorkan ke kas Bank Indonesia. Dengan demikian usailah otoritas Pertamina untuk mengelola uang hasil miny ak. Sesuatu yang menarik dari krisis Pertamina ialah terjadi di saat performance perekonomian secara makro mengalami perkembangan y ang bagus. Bany ak pengamat melihat krisis Pertamina merupakan sebuah f enomena dari sisstem kapitalisme birokratik (bureaucratic capitalism). Varian penting dari kapitalisme birokratik adalah pengaruh dan peran para kerabat keluarga atau relasi para birokrat dalam dunia bisnis negara (Robison, 1990). Sehingga sebutan lain untuk kapitalisme birokratik ialah kapitalisme kroni (cronies capitalism). Format umum dari kapitalisme birokratik atau kroni itu ialah aliansi dari para teknokrat, birokrat dan kaum pengusaha client y ang memegang mandat monopolisasi bisnis bidang-bidang strategis, seperti sektor-sektor publik (y ang menguasai hajat orang bany ak). Oleh karena itu bentuk monopolisasi itu tidak hany a dilakukan perusahaan-perusahaan negara (BUMN), tetapi juga oleh pihak swasta, sesuai dengan watak kapital, y ang kuat adalah y ang akan menerima bany ak keuntungan. Dengan dibantu f ormulasi-f ormulasi model pembangunan, perhitungan secara manajerial pun dibuat, dan bany ak tenaga prof esional serta teknologi WACANA E DISI K HUSUS 1997-1998 canggih dipergunakan untuk mendukung bisnis ini. Di atas kertas dan kesan umum y ang ditampilkan memang cukup prospektif, sebuah masa depan y ang cukup menjanjikan. Namun ‘ekonomi rente’ (rent seeking ekonomy) y ang menjadi bangun dasar sistem ini telah menjadi virus y ang terus menggerogoti. Praktek-praktek kolusi, jual-beli lisensi dan f asilitas sudah bukan hal tabu, bahkan menjadi norma umum dalam kehidupan bisnis. Maka sistem ekonomi dengan corak produksi y ang mengandalkan sumberday a alam dan upah murah, y ang telah menciptakan kelas borjuasi baru dan kelas menengah y ang semakin mapan itu pun mengalami kemampatan. Distorsi-distorsi terus terakumulasi dan ekonomi biaya tinggi tak dapat dikendalikan lagi. Kesemuany a berujung pada kebangkrutan. Jalan Keluar Bernama Reformasi : Dalam menghadapi krisis ekonomi ada semacam konv ensi di antara lembaga-lembaga internasional, yakni pembagian tugas antara IMF dan Bank Dunia. Biasany a IMF turun tangan dengan menawarkan paket-paket stabilisasi untuk mendinginkan mesin ekonomi yang terus memanas (overheated economy) melalui instrumeninstrumen f iskal dan moneter untuk mempengaruhi permintaan agregat. Lalu kemudian baru datang Bank Dunia y ang menawarkan paket-paket perubahan struktural (structural adjustment) dengan missi meningkatkan ef isiensi dan mendorong day a saing. Demikian seperti y ang terjadi dalam kasus SIMICs (Severely Indebted Middle Income Countries) di Amerika Latin y ang terjerat hutang (1982). Paket stabilisasi dianggap mutlak dan mendesak untuk meny elamatkan aset-aset perekonomian supay a tidak turut hancur musnah. Ibaratny a missi utama paket stabilisasi IMF ialah memasukkan aset-aset penting itu ke dalam sekoci supaya tidak ikut tenggelam. Sejak Tim IMF itu turun tangan rupanya terjadi proses yang cukup alot dan tarik ulur. Mereka y ang merasa dirugikan dengan langkah-langkah koreksi f iskal dan liberalisasi perbankan y ang dibuat IMF itu pun berteriak dan mencoba berkelit. Sementara situasi sudah semakin kritis. Fenomena semacam ini hanya akan semakin mebuat runy am dan kerumitan-kerumitan baru ketika agenda peny esuaian struktural itu secara intens dilakukan. Sudah dapat diduga arah penyesuaian struktural itu ialah WTO dan pasar bebas. Dengan demikian isi paket peny esuaian struktural tersebut kurang lebih ialah meliberalisasi perekonomian Indonesia dan menghilangkan distorsi pasar akibat dari intervensi pemerintah (kapitalisme birokratis) untuk kemudian mengarahkanny a dalam model kapitalisme korporat multi nasional, y aitu memberikan peran lebih besar bagi perusahaan-perusahaan multi nasional (MNC) sebagai pemain utama di pasar global. Efisiensi, Kunci Penting dalam Pasar Bebas : Ef isiensi menjadi kunci penting dalam diskursus pembangunan ekonomi modern serta dalam era pasar bebas. Seperti diuraikan di atas TFP (Total Factor Productivity) menjadi indikator penting dalam mengukur ef isiensi dan produktivitas. Laju pertumbuhan ekonomi tidak lagi ditentukan oleh akumulasi kapital semata, tetapi 4 UTAMA oleh angka TFP. Di dalam TFP terkandung f aktor manajemen, produktif itas tenaga kerja, serta f aktor kemajuan tehnik lainnya. Oleh karena itu trend umum dari dominasi MNC-MNC dalam perekonomian nasional dan pasar global ialah terjadiny a PHK massal serta relokasi teknologi yang akan merombak struktur pasar dan corak produksi. MNC akan berpeluang mengakuisisi (mengambil alih) aset-aset perusahaan nasional melalui pencabutan peraturan y ang membatasi inv estasi asing hany a sebesar 49%, UU Kepailitan serta swastanisasi BUMN. Dengan demikian nantinya pemilik modal asing memiliki peluang lebih besar masuk ke sektor-sektor strategis (publik, menguasai hajat hidup orang bany ak), seperti pertambangan, telekomunikasi, dan transportasi. Perusahaan-perusahaan swasta nasional tetap memiliki peranan penting dan menjadi mitra perusahaanperusahaan multinasional itu, tentunya y ang benar-benar ef isien dan tangguh. Namun sebuah kenyataan bahwa posisi kita sebagai bangsa dalam percaturan dunia itu semakin lemah. Meny itir perny ataan pengamat ekonomi Sjahrir, globalisasi menyebabkan arus dana, arus barang, arus jasa, dan arus sumber day a manusia, berkembang serta berputar begitu cepat. Kata kunci persaingan telah menjadi mantera yang begitu sering diucapkan, namun dalam keny ataanny a begitu dilupakan konsekuensikonsekuensi logisny a. Dalam setiap perbandingan internasional, kita mesti menerima bahwa posisi kita makin lama semakin merosot. Kemerosotan ini mengandung bany ak faktor y ang telah dikenal luas oleh kita semua. (Sjahrir, 1997) Faktor Endogen - Eksogen dan Ajakan Reformasi : Sebelum ini kesan tentang ekonomi Indonesia merupakan sesuatu y ang tidak pernah terbantahkan, serba bagus dan prospektif. Investasi terus meningkat, pasar modal di serbu orang. Namun kesan itu agakny a ‘superf isial’. Semua digambarkan seolah-olah serba hot dan hebat dan membuat semakin banyak orang meny erbu. Jeffrey Winters menjuluki gejala tersebut sebagai ' herd mentality' , atau mentalitas berbondongbondong. Gambaran tentang sesuatu y ang seolah-olah bagus itu membuat semua orang terkesiab dan memperebutkanny a. Tetapi ketika melihat semua itu kebohongan, bahwa ternyata ada monopoli, banyak kredit macet, perbankan rapuh, sektor properti y ang ' over-priced”, dan situasi politik tidak stabil, maka seperti segerombolan hewan y ang sedang panik semua berlari ke sana kemari tidak menentu (Winters 1997). Jika tempo hari ada y ang berteriak, “Paket IMF itu liberalisme dan tidak sesuai dengan Pancasila”, itu ada benarny a. Say angnya, teriakan itu ibarat bunyi pepatah ‘kacang lupa kulitny a’, kita sudah terlanjur selama tiga puluh tahun lebih bercumbu intens dengan liberalisme itu sendiri. Sepertiny a kurang begitu disadari agenda liberalisasi y ang dicanangkan bertahap pada 2003 dan 2020. Bahwa ada konsekwensi-konsekwensi y ang tidak hany a merugikan bagi mereka yang lemah dan membutuhkan jaminan perlindungan ala sosialisme, tetapi juga merugikan mereka yang selama ini diuntungkan dengan praktek bisnis kapitalisme kroni. bebas dan liberalisasi perekonomian. Faktor kedua bersif at endogen, y akni hasil proses produksi dari tiga puluh tahun orde pembangunan y ang membawa gambaran optimisitik dan telah melahirkan kelas borjuasi baru, tetapi sekaligus mematikan kesadaran diri manusia akan adany a dimensi penindasan dalam proses produksi. Y ang tinggal adalah akal budi y ang instrumentalis, serba mekanis dan manipulatif. Perjalanan tiga puluh tahun adalah perjalanan panjang. Sebuah perjalanan y ang mampu menciptakan tradisi baru, y akni tradisi manusia yang mampu menguasai tehnik-tehnik canggih, serba prakmatis, sekaligus tamak dan pongah. Tradisi untuk membuat manipulasi dan kebohongan, untuk menciptakan kesuksesan semu, di mana jika orang tidak korupsi dan melakukan manipulasi itu justru ditertawakan. Dan di sinilah ajakan reformasi itu menemukan esensiny a. Gerakan reformasi mesti didasari itikad pembersihan diri, koreksi atas kekeliruan-kekeliruan masa lalu. Gerakan reformasi sekaligus menjadi gerakan pendidikan dan peny adaran massa untuk meninggalkan watak tamak dan menindas y ang dibelenggu oleh materi, untuk selanjutnya masuk dalam relung-relung kerendahan hati dan martabat manusia. Oleh karena itu kata reformasi tak bisa dilepaskan dengan demokratisasi, y ang di dalamny a terkandung keterbukaan, kebebasan berpendapat dan berserikat, kesamaan hak, jaminan terhadap hukum dan tata peradilan yang baik, dan sebagainy a. (my) Referensi : 1. ------, The East Asian Miracle : Economic Growth and Public Policy - A World Bank Policy Research Report, World Bank 1993. 2. -----, World Bank Paper : Bureaucrats in Business What Works, What Doesn’ t, and Why, World Bank, 1997. 3. ----, REPORT O N U.S. TRADE A ND INVESTMENT IN THE ASIA PACIFIC REGION, USIS Washington File, 30 April 1997 4. Andrew Macintyre, Business and Politics in Indonesia, ASAA - Allen & Unwin, 1991. 5. Hal Hill (edited), Indonesia’ s New Order - The Dyna mics of Socio-Economic Transformation- Allen & Unwin, 1994. 6. Kliping koran dan majalah : Australian Finacial Review, 19 Juni 1997 Far Eastern Economic Review, 22 Januari 1998 Warta Ekonomi, Edisi 10 Juni 1996 dan berbagai penerbitan lainnya. Krisis ekonomi y ang berkepanjangan ini mengandung dua f aktor sebagai peny ebabnya. Y akni pertama f aktor eksogen, adalah watak kapitalisme y ang akan selalu ekspansif, yang ditandai dengan agenda perdagangan WACANA E DISI K HUSUS 1997-1998 5