Revolusi Perancis

advertisement
Revolusi Perancis
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revolusi Perancis
Révolution française
Penyerbuan Bastille, 14 Juli 1789.
Partisipan Rakyat Perancis
Lokasi
Perancis
Tanggal 1789–1799
 Dihapuskannya kekuasaan raja, aristokrat, gereja, dan digantikan oleh
republik demokratik sekuler dan radikal yang lebih otoriter dan
termiliteristik.
 Perubahan sosial radikal yang berdasarkan pada prinsip-prinsip
nasionalisme, demokrasi, dan Pencerahan mengenai kewarganegaraan
Hasil
dan hak asasi.
 Naiknya Napoleon Bonaparte.
 Konflik bersenjata dengan negara-negara Eropa lainnya.
Revolusi Perancis (bahasa Perancis: Révolution française; 1789–1799), adalah suatu periode
sosial radikal dan pergolakan politik di Perancis yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah
Perancis, dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Monarki absolut yang telah
memerintah Perancis selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun. Rakyat Perancis
mengalami transformasi sosial politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan monarki mutlak
diruntuhkan oleh kelompok politik radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-jalan, dan oleh
masyarakat petani di perdesaan.[1] Ide-ide lama yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki
monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara tiba-tiba dan digantikan oleh
prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).
Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada monarki lainnya di seluruh Eropa, yang
berupaya mengembalikan tradisi-tradisi monarki lama untuk mencegah pemberontakan
rakyat. Pertentangan antara pendukung dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad
berikutnya.
Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Perancis, Louis XVI naik takhta pada tahun
1774. Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin menambah kebencian rakyat
terhadap monarki. Didorong oleh sedang berkembangnya ide Pencerahan dan sentimen
radikal, Revolusi Perancis pun dimulai pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan
Etats-Généraux pada bulan Mei. Tahun-tahun pertama Revolusi Perancis diawali dengan
diproklamirkannya Sumpah Lapangan Tenis pada bulan Juni oleh Etats Ketiga, diikuti dengan
serangan terhadap Bastille pada bulan Juli, Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara
pada bulan Agustus, dan mars kaum wanita di Versailles yang memaksa istana kerajaan
pindah kembali ke Paris pada bulan Oktober. Beberapa tahun kedepannya, Revolusi Perancis
didominasi oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung monarki yang berupaya
menggagalkan reformasi.
Revolusi Perancis
1
Sebuah negara republik didirikan pada bulan Desember 1792 dan Raja Louis XVI dieksekusi
setahun kemudian. Perang Revolusi Perancis dimulai pada tahun 1792 dan berakhir dengan
kemenangan Perancis secara spektakuler. Perancis berhasil menaklukkan Semenanjung Italia,
Negara-Negara Rendah, dan sebagian besar wilayah di sebelah barat Rhine – prestasi terbesar
Perancis selama berabad-abad.
Secara internal, sentimen radikal Revolusi berpuncak pada naiknya kekuasaan Maximilien
Robespierre, Jacobin, dan kediktatoran virtual oleh Komite Keamanan Publik selama
Pemerintahan Teror dari tahun 1793 hingga 1794. Selama periode ini, antara 16.000 hingga
40.000 rakyat Perancis tewas.[2] Setelah jatuhnya Jacobin dan pengeksekusian Robespierre,
Direktori mengambilalih kendali negara pada 1795 hingga 1799, lalu ia digantikan oleh
Konsulat di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte pada tahun 1799.
Revolusi Perancis telah menimbulkan dampak yang mendalam terhadap perkembangan
sejarah Modern. Pertumbuhan republik dan demokrasi liberal, menyebarnya sekularisme,
perkembangan ideologi modern, dan penemuan gagasan perang total adalah beberapa
warisan Revolusi Perancis.[3] Peristiwa berikutnya yang juga terkait dengan Revolusi ini adalah
Perang Napoleon, dua peristiwa restorasi monarki terpisah; Restorasi Bourbon dan Monarki
Juli, serta dua revolusi lainnya pada tahun 1834 dan 1848 yang melahirkan Perancis modern.
Penyebab
Pemerintah Perancis menghadapi krisis keuangan pada tahun 1780-an, dan Louis XVI dikritik
karena tidak mampu menangani masalah ini.
Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa sebab utama Revolusi Perancis adalah
ketidakpuasan terhadap Ancien Régime. Lebih khusus, para sejarawan juga menekankan
adanya konflik kelas dari perspektif Marxis; hal yang umum terjadi pada akhir abad ke-19.
Perekonomian yang tidak sehat, panen yang buruk, kenaikan harga pangan, dan sistem
transportasi yang tidak memadai adalah hal-hal yang memicu kebencian rakyat terhadap
pemerintah. Rentetan peristiwa yang mengarah ke revolusi dipicu oleh kebangkrutan
pemerintah karena sistem pajak yang buruk dan utang yang besar akibat keterlibatan Perancis
dalam berbagai perang besar. Upaya Perancis dalam menantang Inggris – kekuatan militer
utama di dunia pada saat itu – dalam Perang Tujuh Tahun berakhir dengan bencana,
menyebabkan hilangnya jajahan Perancis di Amerika Utara dan hancurnya Angkatan Laut
Perancis. Tentara Perancis dibangun kembali dan kemudian berhasil menang dalam Perang
Revolusi Amerika, namun perang ini sangat mahal dan secara khusus tidak menghasilkan
keuntungan yang nyata bagi Perancis. Sistem keuangan Perancis terpuruk dan kerajaan tidak
mampu menangani utang negara yang besar. Karena dihadapkan pada krisis keuangan ini,
raja lalu memanggil Majelis Bangsawan pada tahun 1787, pertama kalinya selama lebih dari
satu abad.
Revolusi Perancis
2
Sementara itu, keluarga kerajaan hidup nyaman di Versailles dan terkesan acuh tak acuh
terhadap krisis yang semakin meningkat. Meskipun secara teori pemerintahan Raja Louis XVI
berbentuk monarki absolut, namun dalam prakteknya ia sering ragu-ragu dan akan mundur
jika menghadapi oposisi yang kuat. Louis XVI memang berusaha mengurangi pengeluaran
pemerintah, namun lawannya di parlement berhasil menggagalkan upayanya untuk
memberlakukan reformasi yang lebih luas. Penentang kebijakan Louis semakin banyak dan
berupaya menjatuhkan kerajaan dengan berbagai cara, misalnya dengan membagikan pamflet
yang melaporkan informasi palsu dan dilebih-lebihkan untuk mengkritik pemerintah dan
aparatnya, yang semakin memperkuat opini publik dalam melawan monarki.[4]
Faktor lainnya yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Perancis adalah kebencian terhadap
pemerintah, yang muncul seiring dengan berkembangnya cita-cita Pencerahan. Ini termasuk
kebencian terhadap absolutisme kerajaan; kebencian oleh masyarakat petani, buruh, dan
kaum borjuis terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kaum bangsawan; kebencian
terhadap Gereja Katolik atas pengaruhnya dalam kebijakan publik dan di lembaga-lembaga
negara; keinginan untuk memperjuangkan kebebasan beragama; kebencian para pendeta
perdesaan miskin terhadap uskup aristokrat; keinginan untuk mewujudkan kesetaraan sosial,
politik, ekonomi, serta (khususnya saat Revolusi berlangsung) republikanisme; kebencian
terhadap Ratu Marie Antoinette, yang dituduh sebagai seorang pemboros dan mata-mata
Austria; serta kemarahan terhadap Raja karena memecat bendahara keuangan Jacques Necker,
salah satu orang yang dianggap sebagai wakil rakyat di kerajaan.[5]
Pra-revolusi
Krisis keuangan
Karikatur Etats Ketiga yang membawa Etats Pertama (pendeta) dan Etats Kedua (bangsawan) di
punggungnya.
Louis XVI naik takhta menjadi raja Perancis di tengah-tengah krisis keuangan; negara sudah
hampir bangkrut dan pengeluaran negara melebihi pendapatan.[6] Krisis ini terutama sekali
disebabkan oleh keterlibatan Perancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Perang Revolusi
Amerika.[7] Pada bulan Mei 1776, menteri keuangan Turgot dipecat setelah ia gagal
melaksanakan reformasi keuangan. Setahun kemudian, seorang warga asing bernama Jacques
Necker ditunjuk menjadi Bendahara Keuangan. Necker tidak bisa menjadi menteri keuangan
resmi karena ia adalah seorang Protestan.
Necker menyadari bahwa sistem pajak di Perancis sangat regresif; masyarakat kelas bawah
dikenakan pajak yang lebih besar,[8] sementara kaum bangsawan dan pendeta diberikan
banyak pengecualian.[9] Necker beranggapan bahwa pembebasan pajak untuk kaum
bangsawan dan pendeta harus dikurangi, dan mengusulkan untuk meminjam lebih banyak
uang agar permasalahan keuangan negara bisa teratasi. Necker menerbitkan sebuah laporan
Revolusi Perancis
3
untuk mendukung anggapannya ini, yang menunjukkan bahwa defisit negara menembus
angka 36 juta livre. Necker juga mengusulkan pembatasan kekuasaan parlement.[8]
Usulan Necker ini tidak diterima dengan baik oleh para menteri Raja, dan Necker, yang
berharap bisa memperkuat posisinya, berpendapat bahwa ia harus diangkat sebagai menteri,
namun Raja menolaknya. Necker dipecat dan Charles Alexandre de Calonne ditunjuk menjadi
bendahara yang baru.[8] Calonne dengan cepat menyadari situasi keuangan negara yang
sedang kritis dan mengusulkan pembentukan kode pajak yang baru.[10]
Usulan Calonne ini termasuk penarikan pajak bumi yang konsisten, yang juga dipungut pada
kaum bangsawan dan pendeta. Karena ditentang oleh parlement, Calonne mengadakan
pertemuan dengan Majelis Bangsawan, berharap mendapat dukungan. Namun bukannya
mendukung rencana Calonne, Majelis malah melemahkan posisi Calonne dengan
mengkritiknya. Sebagai tanggapan, untuk pertama kalinya sejak 1614, Raja memanggil EtatsGénéraux pada bulan Mei 1789. Pemanggilan ini sekaligus menjadi pertanda bahwa monarki
Bourbon sedang dalam keadaan lemah dan tunduk pada tuntutan rakyatnya.[11]
Etats-Généraux 1789
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Etats-Généraux 1789
Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga golongan (etats):
pendeta (Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat biasa
Perancis (Etats Ketiga).[12] Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614,
masing-masing golongan memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa membatalkan suara
ketiga. Parlement Paris khawatir bahwa pemerintah akan berusaha meng-gerrymander majelis
untuk mencurangi hasil. Oleh sebab itu, mereka memutuskan bahwa susunan Etats harus
sama dengan susunan 1614.[13] Aturan Etats 1614 ini berbeda dengan praktek pada majelis
daerah; di daerah-daerah, masing-masing anggota memiliki satu suara dan Etats Ketiga
memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya. Sebagai contoh, di Dauphiné,
majelis provinsi sepakat untuk menggandakan jumlah anggota Etats Ketiga, mengadakan
pemilihan keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per anggota, bukannya satu suara
per etats.[14]
Sebelum pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh", sebuah kelompok liberal yang
beranggotakan warga Paris, mulai melakukan agitasi terhadap suara etats. Kelompok ini
sebagian besarnya terdiri dari orang-orang kaya, dan mereka berpendapat bahwa sistem suara
di Etats-Généraux harus sama dengan sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini
beranggapan bahwa sistem lama sudah tidak efisien karena "rakyatlah yang berdaulat".[15]
Necker lalu menggelar Sidang Kedua Majelis, yang menghasilkan keputusan penolakan
terhadap usulan perwakilan ganda, dengan suara 111-333.[15][16]
Pemilihan diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih untuk Etats Ketiga adalah
harus laki-laki kelahiran Perancis atau naturalisasi, setidaknya berusia 25 tahun, berkediaman
di lokasi tempat pemilihan berlangsung, dan membayar pajak.
Pour être électeur du tiers état, il faut avoir 25 ans, être français ou naturalisé, être domicilié
au lieu de vote et compris au rôle des impositions.[17]
Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291 bangsawan, 300 pendeta, dan
610 anggota Etats Ketiga.[16] Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan" (Cahiers de
Doléances) disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang dihadapi
negara.[12][13][18]
Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal semakin merebak setelah
dicabutnya penyensoran pers.[15] Abbé Sieyès, seorang teoretikus dan pendeta Katolik,
berpendapat mengenai betapa pentingnya keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce
que le tiers état? (bahasa Inggris: "What is the Third Estate?"), yang diterbitkan pada bulan
Revolusi Perancis
4
Januari 1789. Ia menegaskan: "Apa itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam tatanan
politik? Tidak ada. Ia ingin menjadi apa? Sesuatu."[13][19]
Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles.
Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles des Menus-Plaisirs, Versailles,
pada tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka dengan pidato tiga jam oleh Necker. Etats
Ketiga menuntut agar verifikasi deputi secara kredensial harus dilakukan bersama oleh semua
deputi, bukannya masing-masing etats memverifikasi anggotanya secara internal; negosiasi
dengan etats lainnya gagal mewujudkan hal ini.[18] Golongan rakyat jelata bersitegang dengan
kaum pendeta yang menjawab kalau mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk
memutuskan. Necker pada akhirnya memutuskan bahwa setiap etats harus memverifikasi
anggotanya masing-masing dan "Raja bertindak sebagai penengah".[20] Namun, negosiasi
dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.[21]
Majelis Nasional (1789)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Majelis Nasional (Revolusi Perancis)
Majelis Nasional mengambil Sumpah Lapangan Tenis (sketsa oleh Jacques-Louis David).
Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats Ketiga, dan sekarang
mengikuti pertemuan sebagai Communes (Rakyat Biasa). Ia mengajak dua etats lainnya untuk
ikut serta, namun ajakannya ini tidak diindahkan.[22] Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih
radikal mendeklarasikan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan berasal dari etats,
namun dari golongan "Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk bergabung, namun
menegaskan bahwa "dengan atau tanpa bantuan, mereka tetap akan mengatasi permasalahan
bangsa."[23]
Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan pertemuan,
Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des États, tempat Majelis biasanya mengadakan
pertemuan. Di saat yang bersamaan, cuaca tidak memungkinkan Majelis untuk menggelar
pertemuan di luar ruangan, sehingga Majelis pada akhirnya memindahkan pertemuan mereka
ke sebuah lapangan tenis dalam ruangan. Di tempat ini, mereka mengambil Sumpah Lapangan
Tenis pada 20 Juni 1789, yang menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah hingga mereka
bisa memberikan sebuah konstitusi bagi Perancis.[24]
Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis, serta 47 orang dari kaum
bangsawan. Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan secara terang-terangan telah menunjukkan
penentangannya terhadap Majelis, dan sejumlah besar pasukan militer mulai diterjunkan ke
seantero Paris dan Versailles. Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari warga Paris dan dari
Revolusi Perancis
5
kota-kota lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali menjadi Majelis
Konstituante Nasional.[24]
Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Majelis Konstituante Nasional
Penyerbuan Bastille
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penyerbuan Bastille
Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan Perancis karena dianggap
memanipulasi opini publik secara terang-terangan. Ratu Marie Antoinette, adik Raja Comte
d'Artois, dan anggota konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja agar memecat
Necker sebagai penasihat keuangan. Pada 11 Juli 1789, setelah Necker menerbitkan laporan
keuangan pemerintah kepada publik, Raja memecatnya, dan segera merestrukturisasi
kementerian keuangan tidak lama berselang.[25]
Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak langsung ditujukan
pada Majelis dan segera memulai pemberontakan terbuka setelah mereka mendengar kabar
tersebut pada keesokan harinya. Mereka juga khawatir terhadap banyaknya tentara –
kebanyakan tentara asing – yang ditugaskan untuk menutup Majelis Konstituante Nasional.
Dalam sebuah pertemuan di Versailles, Majelis bersidang secara non-stop untuk berjaga-jaga
jika nanti tempat pertemuan digusur secara tiba-tiba. Paris dengan cepat dipenuhi oleh
berbagai kerusuhan, kekacauan, dan penjarahan. Massa juga mendapat dukungan dari
beberapa Garda Perancis yang dipersenjatai dan dilatih sebagai tentara.[26]
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, 26 Agustus 1789.
Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di
benteng dan penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah
beberapa jam pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya.
Meskipun terjadi gencatan senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis
Bernard de Launay dipukuli, ditusuk, dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak
dan diarak ke sekeliling kota. Walaupun hanya menahan tujuh tahanan (empat pencuri, dua
bangsawan yang ditahan karena tindakan tak bermoral, dan seorang tersangka pembunuhan),
Bastille telah menjadi simbol kebencian terhadap Ancien Régime. Di Hôtel de Ville (balai kota),
massa menuduh prévôt des marchands (setara dengan wali kota) Jacques de Flesselles sebagai
pengkhianat, dan membantainya.[27]
Revolusi Perancis
6
Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya mundur untuk sementara
waktu. Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda Nasional di Paris. Jean-Sylvain
Bailly, presiden Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah
struktur pemerintahan baru yang dikenal dengan komune. Raja mengunjungi Paris pada
tanggal 17 Juli dan menerima sebuah simpul pita triwarna, diiringi dengan teriakan Vive la
Nation ("Hidup Bangsa") dan Vive le Roi ("Hidup Raja").[28]
Necker kembali menduduki jabatannya, namun kejayaannya berumur pendek. Necker
memang seorang ahli keuangan yang cerdik, namun sebagai politisi, ia kurang terampil.
Necker dengan cepat kehilangan dukungan rakyat setelah menuntut amnesti umum.[29]
Setelah kemenangan Majelis, situasi di Perancis masih tetap memburuk. Kekerasan dan
penjarahan terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan yang mengkhawatirkan keselamatan
mereka berbondong-bondong pindah ke negara tetangga. Dari negara-negara tersebut, para
émigré ini mendanai kelompok-kelompok kontra-revolusi di Perancis dan mendesak monarki
asing untuk memberikan dukungan pada kontra-revolusi.[30]
Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat telah menyebar di seluruh Perancis. Di daerah
pedesaan, rakyat jelata mulai membentuk milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi
asing: beberapa di antaranya menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian dari
pemberontakan agraria umum yang dikenal dengan "la Grande Peur" ("Ketakutan Besar").
Selain itu, rumor liar dan paranoia kolektif menyebabkan meluasnya kerusuhan dan
kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap runtuhnya hukum dan kacaunya ketertiban.[31]
Perumusan konstitusi baru
Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme
(meskipun pada saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir mengakhiri
feodalisme). Keputusan ini dituangkan dalam dokumen yang dikenal dengan Dekrit Agustus,
yang menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme (menerima zakat)
yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya dalam waktu beberapa jam, bangsawan, pendeta,
kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak-hak istimewanya.
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga
Negara, yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi dengan efek hukum. Majelis
Konstituante Nasional tidak hanya berfungsi sebagai legislatif, namun juga sebagai badan
untuk menyusun konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil mencapai kesepakatan
dengan senat, yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan dicalonkan oleh rakyat. Sebagian
besar bangsawan mengusulkan agar majelis tinggi dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang
segera dilakukan pada hari itu, yaang memutuskan bahwa Perancis akan memiliki majelis
tunggal dan unikameral. Kekuasaan Raja terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa
menunda implementasi undang-undang, namun tidak bisa membatalkannya. Pada akhirnya,
Majelis menggantikan provinsi bersejarah di Perancis dengan 83 départements, yang dikelola
secara seragam menurut daerah dan jumlah penduduk.
Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan konstitusional, krisis keuangan
terus berlanjut, sebagian besarnya belum terselesaikan, dan defisit negara semakin meningkat.
Honoré Mirabeau kemudian memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan ini, dan
Majelis memberi Necker hak penuh untuk mengelola keuangan negara.
Mars perempuan di Versailles
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mars perempuan di Versailles
Revolusi Perancis
7
Lukisan Mars perempuan di Versailles, 5 Oktober 1789.
Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat penerimaan pengawal Raja
pada tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan perempuan mulai berkumpul di pasar Paris pada
tanggal 5 Oktober 1789. Kerumunan pertama berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar
pejabat kota segera menindak permasalahan mereka.[32] Para perempuan ini mencurahkan
segala permasalahan ekonomi yang mereka hadapi, terutama masalah kekurangan roti.
Mereka juga menuntut agar kerajaan menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis
Nasional, dan menyerukan agar Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai bentuk
itikad baik dalam mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.
Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota, sebanyak 7.000 wanita
bergerak menuju Versailles dengan membawa meriam dan berbagai senjata ringan. Sekitar
20.000 pasukan Garda Nasional di bawah komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi
jalannya protes, namun situasi menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu istana,
membunuh beberapa penjaga. La Fayette akhirnya berhasil membujuk Raja untuk menyetujui
permintaan massa, dan Raja beserta keluarganya bersedia untuk kembali ke Paris. Pada
tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan keluarga kerajaan pindah dari Versailles ke Paris di bawah
"perlindungan" dari Garda Nasional.
Revolusi dan Gereja
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dekristenisasi Perancis selama Revolusi Perancis dan
Konstitusi Sipil Pendeta
Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati kebebasan mereka setelah dekrit 16 Februari 1790.
Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang sebelumnya dikuasai oleh
Gereja Katolik Roma menjadi dikuasai negara. Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi
Revolusi Perancis
8
pemilik tanah terbesar di Perancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan.[34] Gereja dibebaskan
dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, dan juga berhak menerima dîme (zakat)
10% dari pajak penghasilan, seringkali dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan, dan hanya
sebagian kecil dari dîme tersebut yang diberikan kepada masyarakat miskin.[34] Kekuatan dan
kekayaan Gereja yang begitu besar telah menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok.
Kelompok minoritas penganut Protestan yang tinggal di Perancis seperti Huguenots,
menginginkan rezim yang anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas dendam kepada para
pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap mereka. Pemikir Pencerahan seperti Voltaire
membantu mengobarkan semangat anti-Katolik dengan merendahkan Gereja Katolik dan
mendestabilisasi monarki Perancis.[35] Menurut sejarawan John McManners, "Pada abad
kedelapan belas, takhta Perancis dan altar berhubungan erat; dan hubungan ini runtuh..."[36]
Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya pertemuan Etats-Généraux
pada bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar 130.000 anggota pendeta dalam Etats Pertama.
Ketika Majelis Nasional didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats Ketiga, para pendeta
memilih untuk bergabung dengan Majelis.[37] Majelis Nasional mulai memberlakukan
reformasi sosial dan ekonomi. Undang-undang baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan
kewenangan gereja untuk memungut zakat. Dalam upayanya untuk mengatasi krisis
keuangan, pada tanggal 2 November 1789, Majelis memutuskan bahwa properti Gereja
menjadi "milik negara".[38] Properti ini digunakan untuk mendukung peredaran mata uang
baru, assignats. Dengan demikian, mulai saat itu keberlangsungan Gereja juga menjadi
tanggungjawab negara, termasuk membayar para pendeta untuk merawat orang-orang
miskin, orang sakit, dan yatim piatu.[39] Pada bulan Desember, Majelis mulai menjual tanahtanah milik Gereja kepada penawar tertinggi untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini
efektif menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam waktu dua tahun.[40] Pada musim gugur
1789, undang-undang baru yang menghapuskan sumpah monastik dirumuskan, dan pada 13
Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan.[41] Para biarawan dan biarawati
disarankan untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di antaranya akhirnya
menikah.[42]
Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan bahwa pendeta
adalah pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan pastor dan uskup paroki,
serta menetapkan upah bagi para pendeta. Sebagian besar pendeta Katolik keberatan dengan
sistem pemilihan ini karena hal itu berarti bahwa mereka secara efektif menolak otoritas Paus
di Roma atas Gereja Perancis. Akhirnya, pada bulan November 1790, Majelis Nasional mulai
mewajibkan "sumpah setia pada Konstitusi Sipil" bagi semua pendeta Katolik.[42] Hal ini
menyebabkan timbulnya perpecahan antara pendeta yang mengambil sumpah dengan
pendeta yang tetap setia kepada Paus. Secara keseluruhan, 24% dari semua pendeta di Perancis
telah mengambil sumpah.[43] Pendeta yang menolak bersumpah setia pada konstitusi akan
"dibuang, dideportasi secara paksa, atau dieksekusi dengan tuduhan pengkhianat."[40] Paus
Pius VI tidak pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini, yang berakibat pada semakin
terisolasinya Gereja Perancis. Selama Pemerintahan Teror, upaya besar-besaran deKristianisasi di Perancis terjadi, termasuk memenjarakan dan membantai para pendeta, serta
pengrusakan Gereja dan gambar-gambar relijius di seluruh Perancis. Upaya untuk
menggantikan kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya dengan mengganti festival
agama dengan festival sipil. Pembentukan Kultus Alasan adalah langkah terakhir dalam deKristenisasi radikal di Perancis. Peristiwa ini menyebabkan munculnya kekecewaan dan
penentangan terhadap Revolusi di seluruh Perancis. Warga seringkali menolak de-Kristenisasi
dengan cara menyerang agen revolusioner dan menyembunyikan pendeta yang sedang
diburu. Pada akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan Publik dipaksa untuk menentang
kampanye dengan menggantikan Kultus Alasan dengan deisme, walaupun masih nonKristen.[44] Konkordat 1801 antara Napoleon dan Gereja mengakhiri periode de-Kristenisasi
dan mulai membentuk aturan-aturan yang mengatur mengenai hubungan antara Gereja
Katolik dengan negara, yang tetap berlaku hingga tahun 1905, kemudian diubah oleh
Republik Ketiga dengan memisahkan urusan Gereja dengan urusan negara pada tanggal 11
Desember 1905. Penganiayaan terhadap pendeta menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
kontra-revolusi, yang berpuncak dalam Pemberontakan Vendee.
Kemunculan berbagai faksi
Revolusi Perancis
9
Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie
Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan
yang menentang revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker,
cenderung mengorganisir Perancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris:
mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de ClermontTonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de Virieu.
"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk
Honoré Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander
Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya
di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien Robespierre.
Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama
beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.
Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan
mengklaim otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik
pamornya di bawah Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya
sendiri, begitupun majelis yang didirikan sendiri lainnya.
Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789,
majelis mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS,
deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.
Ke arah konstitusi
Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, namun juga sebagai
badan untuk mengusulkan konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang
anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan
mengusulkan majelis tinggi aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat
menyatakan di hari itu: Perancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya
memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda implementasi hukum, namun tidak bisa
mencabutnya sama sekali.
Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka
berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden,
raja dan keluarga kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.
Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara
seragam dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.
Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan
perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin
gerakan itu untuk memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang
memberikan kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.
Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta
Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada krisis keuangan
ini dengan meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran
gereja) melalui hukum tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda
itu dengan cepat, pemerintah meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari
tanah gereja yang disita.
Revolusi Perancis
10
Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi Sipil
Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada
tanggal 26 Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan
meminta mereka bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi Sipil Pendeta juga membuat
gereja Katolik sebagai tangan negara sekuler.
Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan
pendeta dari Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana baru itu,
dan hal ini menimbulkan perpecahan antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang
diminta dan menerima rencana baru itu ("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan "bukan
anggota juri" atau "pendeta yang keras hati" yang menolak berbuat demikian.
Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau
Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll.,
yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan
pangkat émigré.
Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars
memperingati jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada
negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut serta secara aktif.
Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun,
namun dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat bertemu terus
menerus hingga Perancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu
baru, namun Mirabeau menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara
fundamental, dan tiada pemilu baru yang terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.
Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha
terjadi untuk mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap revolusi yang
semuanya gagal. Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap
kegiatan antirevolusi dan tak diakui lagi." [1]
Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah
pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan
kontrarevolusi.
Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti
kompetensi (daripada kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada, yang
yang bergabung dengan pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.
Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Perancis, yang paling
menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub
berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi
terkenal, beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis
awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club
Monarchique. Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan rakyat untuk mencari
nama dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran protes dan
malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club Monarchique
pada bulan Januari 1791.
Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi.
Sebuah organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator
menghapuskan jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk
kasus-kasus kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang,
kemudian legislator memutuskan apakah perang diumumkan atau tidak. Majelis itu
menghapuskan semua penghalang perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan
organisasi pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui pembelian surat izin; pemogokan
menjadi ilegal.
Revolusi Perancis
11
Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi
terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk
pergi. Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di kode
Drako." [2]
Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun
yang menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis
Legislatif yang baru akan mengadopsi ukuran "drako" ini.
Pelarian ke Varennes
Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, namun menolak bantuan yang kemungkinan
berbahaya ke penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang
menyalahkan emigrasi dan majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan dukungan di
kampnya di Montmedy.
Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang
Raja yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan ditangkap di
Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.
Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis,
bertemu anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave
became penasihat dan pendukung keluarga raja.
Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan
sang raja. Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.
Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional
Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional
daripada republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI
tidak lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekrit
menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas
bangsa, atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun
tahta secara de facto.
Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis
XVI dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars
untuk menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato
berapi-api. Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan
masyarakat". Garda Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu.
Pertama kali para prajurit membalas serangan batu dengan menembak ke udara; kerumunan
tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan,
menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.
Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar
radikal seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan
Marat lari bersembunyi.
Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich
Wilhelm II dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan
Deklarasi Pilnitz yang menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri,
meminta pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan
serangan ke Perancis atas namanya jika pemerintah revolusi menolak syarat tersebut.
Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang Perancis tidak
mengindahkan perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan
militerisasi perbatasan.
Revolusi Perancis
12
Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah menentukan untuk
menghalangi diri dari legislatur yang akan menggantikan mereka, Majelis Legislatif. Kini
mereka mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke dalam
konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan yang luar biasa dalam memilih untuk tidak
menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk revisi utama, dan mengajukannya ke Louis
XVI yang dipulihkan saat itu, yang menyetujuinya, menulis "Saya mengajak
mempertahankannya di dalam negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan
menyebabkan pengesahannya yang tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja memuji
majelis dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan penonton.
Majelis mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29 September 1791.
Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat;
seperti yang diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil
kepemilikan lembaga itu... Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, namun tak
melaksanakan apapun." [3]
Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki
Untuk penjelasan lebih jelas tentang peristiwa antara 1 Oktober 1791 - 19 September 1792,
lihat Majelis Legislatif dan jatuhnya monarki Perancis.
Majelis Legislatif
Di bawah Konstitusi 1791, Perancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus
berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, namun ia masih bisa
mempertahankan vetonya dan kemampuan memilih menteri.
Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam
keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia
Britannica: "Dalam mencba memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan
kekosongan keuangan, ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak
moralnya oleh huru-hara yang aman dan berhasil."
Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi
kanan, sekitar 330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri,
dan sekitar 250 wakil yang tak berafiliasi dengan faksi apapun.
Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu
menyatakan bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan
sumpah sipil yang diamanatkan oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun,
ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi.
Perang
Politik masa itu membawa Perancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan
sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan
perang. Sang Raja (dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan
popularitasnya; ia juga meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang
hasilnya akan membuatnya lebih kuat. Kelompok Girondin ingin menyebarkan revolusi ke
seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal yang menentang perang, lebih memilih
konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam negeri. Kaisar Austria Leopold II, saudara
Marie Antoinette, berharap menghindari perang, namun meninggal pada tanggal 1 Maret
1792.
Perancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak
Austria beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Perancis telah dimulai.
Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Perancis, pertempuran militer yang
berarti atas perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Perancis dan
Revolusi Perancis
13
Prusia (20 September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan,
artileri Perancis membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Perancis menghadapi
huru-hara dan monarki telah menjadi masa lalu.
Krisis konstitusi
10 Agustus 1792 di Komune Paris
Artikel utama untuk bagian ini adalah: 10 Agustus (Revolusi Perancis) dan Pembantaian
September
Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner
baru Komuni Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang
muktamar Majelis Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir
semuanya Jacobin.
Akhirnya pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune
mengirimkan sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan
mengalamatkan surat edaran ke kota lain di Perancis untuk mengikuti conth mereka, majelis
itu hanya bisa melancarkan perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus
hingga Konvensi, yang diminta menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September
1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di Perancis. Di hari berikutnya konvensi itu
menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik. Tanggal ini kemudian diadopsi
sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Perancis.
Konvensi
Eksekusi Louis XVI
Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara 20 September 1792- 26 September
1795, lihat Konvensi Nasional.
Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke
sisanya di Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh
dalam konvensi dan komite itu.
Revolusi Perancis
14
Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke
penduduk Perancis jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki.
Sebagai akibatnya, Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Perancis. 17
Januari 1793 menyaksikan tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap
kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di konvensi. Eksekusi tanggal
21 Januari menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis yang
kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada tanggal 16 Oktober.
Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin
radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal
ini mendorong kelompok Jacobin merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang ditunggangi
oleh kekuatan yang didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap faksi
Girondin, dan dengan memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian
persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-culottes menjadi pusat yang efektif bagi
pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.
Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror
Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin
melepaskan tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui
kematiannya dengan guillotine dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit
saja atas pikiran atau kegiatan kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques Hébert, semangat
revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa menyebabkan seseorang dicurigai, dan
pengadilan tidak berjalan dengan teliti.
Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan
moderat dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama
sekali. Pada tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Perancis memberontak terhadap Pemerintahan
Teror yang sudah kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi
yang moderat menjatuhkan hukuman mati buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka
lainnya di Komite Keamanan Publik. Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas
Girondis yang lolos dari teror, dan setelah mengambil kekuasaan menuntut balas dengan
penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang telah membantu menjatuhkan
Revolusi Perancis
15
Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum mati sejumlah besar bekas anggotanya
pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.
Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795; sebuah
plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26
September 1795.
Direktorat
Untuk informasi lebih banyak tentang peristiwa antara 26 September 1795 - 9 November
1799, lihat Direktorat Perancis.
Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan
legislatur bikameral pertama dalam sejarah Perancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan
(Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan
Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des
Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-Cents.
Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam
pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan
jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.
Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup
yang melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804)
pernyataannya sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada masa
Revolusi Perancis.
Perang Revolusi Perancis
Tanggal
Lokasi
Hasil
1792–1802
Eropa, Mesir, Timur Tengah, Samudera Atlantik, Karibia
Kemenangan Republikan Perancis; kelangsungan Republik Perancis dan
penghapusan sistematis royalti Perancis; beberapa republik klien Prancis
didirikan
Persetujuan Luneville dan Persetujuan Amiens
Pihak yang terlibat
Kekaisaran Romawi Suci
Prusia[2]
Great Britain[3]
Kekaisaran Rusia[4]
Revolusi Perancis
[1]
Republik Perancis
Negara satelit Perancis
Warga Irlandia Bersatu[9]
16
Royalis Perancis
Spanyol[5]
Portugal
Sardinia
Templat:Country data Kerajaan Napol Napoli
Negara bagian Italia lain[6]
Kesultanan Utsmaniyah
Republik Belanda[7]
Amerika Serikat[8]
Legiun Polandia[10]
Denmark–Norwegia[11]
Komandan
Archduke Charles
Napoleon Bonaparte
Michael von Melas
József Alvinczi
Charles Pichegru
Dagobert Sigmund von Wurmser
Jean-Baptiste Jourdan
Peter Quasdanovich
André Masséna
Duke of Brunswick
Jean Victor Marie Moreau
Prince of Hohenlohe
Charles François Dumouriez
Prince de Condé
François Christophe Kellermann
Prince Frederick, Duke of York and Albany
Templat:Country
data Leinster Wolfe Tone
Horatio Nelson
Ralph Abercromby
Jan Henryk Dąbrowski
William Sidney Smith
Alexander Suvorov
Perang Revolusi Perancis adalah serangkaian konflik besar dari 1792 sampai 1802
antara Pemerintahan Revolusi Perancis dan beberapa negara Eropa. Ditandai dengan semangat
revolusioner Perancis dan inovasi militer, perang ini menyaksikan kemenangan Pasukan
Revolusi Perancis yang mengalahkan sejumlah koalisi yang menentang mereka dan
memperluas kekuasaan Prancis ke Negara Rendah, Italia, dan Rheinlandia. Perang ini
melibatkan jumlah tentara yang besar, terutama karena penerapan pengerahan massa
modern.
Perang Revolusi Prancis umumnya dibagi antara perang Koalisi Pertama (1792-1797) dan
Koalisi Kedua (1798-1801), walaupun Perancis sedang berperang dengan Kerajaan Britania
Raya terus 1793-1802. Permusuhan berhenti dengan Persetujuan Amiens tahun 1802, tetapi
konflik segera dimulai lagi dengan dimulainya Peperangan era Napoleon. Perjanjian Amiens
biasanya dianggap sebagai penanda akhir dari Perang Revolusi Perancis, namun peristiwa lain
sebelum dan sesudah 1802 telah diusulkan untuk menjadi titik awal dari Perang Napoleon.
Kedua konflik tersebut bersama-sama membentuk apa yang kadang-kadang disebut sebagai
"Perang Besar Perancis".
SEJARAH MELETUSNYA REVOLUSI PERANCIS
Sejarah Meletusnya Revolusi Perancis
Revolusi Perancis
17
Revolusi Perancis merupakan suatu proses perubahan yang dimulai pada tahun 1789 sampai
1871. Perubahan secara besar-besaran itu terjadi ada tahun 1789, 1830, 1848, dan 1871.
Revolusi Perancis disebut juga Revolusi Juli karena meletus pada tanggal 14 Juli 1789 sebagai
reaksi terhadap kekuasaan raja yang sewenang-wenang (absolut). Revolusi ini terjadi ketika
negara dalam keadaan sangat parah. Para pelaku revolusi ini adalah kaum Borjuis (golongan
masyarakat kota) yang ingin menggantikan peranan ulama dan kaum bangsawan dalam
pemerintahan.
Masyarakat kota (kaum borjuis) merupakan penentang utama dari pemerintah Raja Louis XVI.
Sejak pemerintahan Raja Louis XVI anggaran negara selalu mengalami defisit. Hal tersebut
disebabkan penghamburan uang negara oleh raja dan kaum bangsawan untuk pesta-pesta
mewah. Ada pun tuntutan kaum borjuis itu adalah:
1.
2.
3.
4.
Menjunjung tinggi kebebasan.
Menjunjung tinggi asas persamaan.
Penggunaan akal pikiran yang sehat dan serba perhitungan.
Kehidupan masyarakat bersifat liberalis.
Pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan munculnya beberapa tokoh pembaharu
yang menentang kekuasaan raja, di antaranya John Locke, Montesquieu, Rousseau, dan
Voltaire.
Adapun penyebab meletusnya Revolusi Perancis adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Utang negara sudah terlalu banyak.
Pajak yang dibebankan kepada rakyat sudah terlalu tinggi.
Adanya blangko surat penangkapan yang ditandatangani oleh raja.
Kebencian rakyat kepada penjara bastille.
Menghambur-hamburkan uang yang dilakukan oleh permaisuri raja yakni Maria Antoinette.
Adanya pengaruh dari luar, yaitu perang kemerdekaan Amerika Serikat yang menentang
pendudukan Inggris di Amerika, yang pada waktu itu Perancis memberikan bantuannya
kepada Amerika di bawah pimpinan Jenderal Lafayette, sehingga sekembalinya dari Amerika
ia menyebarkan semangat dan cita-cita kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan.
Situasi politik di Perancis semakin memanas dan puncaknya adalah serangan rakyat terhadap
penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789. Penjara Bastille merupakan lambang kekuasaan
dan sewenang-wenangan Raja Louid, karena di tempat inilah para pemimpin rakyat
dipenjarakan. Dengan jatuhnya Bastille ke tangan rakyat Perancis, maka tahun 1791 Perancis
Revolusi Perancis
18
menjadi sebuah negara yang berbentuk Monarki Konstitusi (kerajaan berundang-undang) dan
Perancis berhasil membentuk sebuah konstitusi, kerajaan raja diatur oleh undang-undang.
Semboyan Revolusi Perancis adalah Liberte (Kebebasan), Egalite (Persamaan), dan Freternite
(Persaudaraan). Semboyan ini merupakan hasil pemikiran J.J Rousseau yang kemudian
diabadikan dalam bentuk bendera merah, putih, biru dan tanggal 14 Juli diperingati sebagai
Hari Nasional Perancis.
Pada saat itu, pelarian kaum bangsawan Perancis dengan dibantu oleh kerajaan Prusia dan
Austria melakukan penyerangan untuk mengembalikan kekuasaan absolut di Perancis. Raja
Louis XVI pada tahun 1792 dijatuhi hukuman mati dengan dipenggal lehernya.
Golongan bangsawan yang memperoleh kemenangan dalam revolusi mulai berebut untuk
berkuasa. Kaum terpelajar bergabung dalam partai Girondin yang menghendaki sistem
Monarki Konstitusional dan berhadapan dengan kaum rakyat jelata yang tergabung dalam
partai Montagne yang memilih sistem republik.
Kerajaan Perancis akhirnya diubah menjadi republik dengan membentuk Pemerintahan Terror
(sistem pemerintahan secara diktator) yang dipimpin oleh Robespierre (1792-1794) dari
partai Montagne, tetapi keadaan teta kacau. Setelah keadaan damai partai Girondin
mengadakan Cap de’etats dan pemerintahan Robespierre berhasil digulingkan, ia dijatuhi
hukuman mati dengan pisau Guillotine.
Revolusi Perancis
19
Pada tahun 1795 Pemerintahan Terror diganti oleh pemerintahan Directoire (1795-1799)
dari partai Girondin, tetapi keadaan negara tetap kacau. Salah seorang anggota Directoire
yaitu Jenderal muda Napoleon Bonaparte (awalnya hanya seorang Kopral) berhasil
menyelamatkan Perancis dari kekacauan dan keberhasilannya ini membawa namanya menjadi
terkenal dan diangkat menjadi seorang Konsul pada republik Perancis.
Perancis berada dibawah kekuasaan Napoleon Bonaparte semakin baik. Oleh karena itu,
rakyat Perancis memberi kepeercayaan penuh, dan pada tahun 1804 ia mengangkat dirinya
menjadi Kaisar Perancis yang diresmikan oleh Paus Pius VII. Dalam melaksanakan
pemerintahan, Napoleon terpusat pada satu tangan, yaitu raja, tetapi juga liberal atau disebut
Verlicht Depoot (raja mutlak).
Sebenarnya, Absolutisme Napoleon timbul karena adanya Vacum of Power dalam Directoire.
Oleh karena itu, Absolutisme Napoleon tidak mungkin lepas dari hasil-hasil yang telah dicapai
dalam Revolusi Perancis. Ia melaksanakan pemerintahan dengan corak otokrasi. Adapun
langkah-langkah yang diambilnya untuk mengembalikan wibawa Perancis adalah sebagai
berikut:
1.
Membentuk pemerintahan yang stabil dan kuat. Pemerintahan dilaksanakan dengan sistem
sentralisasi dan administrasi diseragamkan dan menghimpun hukum perdata (code civil).
2.
Memberikan kesejahteraan kepada rakyat, pajak pendapatan diturunkan sebanyak 20 %,
pendidikan dikembangkan, perindustrian dan perdagangan diperlancar.
3.
Mengembalikan perdamain dalam negeri. Golongan bangsawan yang telah melarikan diri ke
luar negeri diterima kembali dengan syarat tidak menuntut kembali kekayaan yang telah disita
oleh negara.
Di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte, Perancis berkembang menjadi sebuah negara
yang paling berkuasa di Eropa. Dalam melaksanakan politik dalam negerinya, Napoleon
melaksanakan politik dinasti yaitu menempatkan dan mengangkat saudara-saudaranya
sebagai raja pada daerah-daerah lain. Tujuan politik ini adalah untuk menjelmakan
keturunannya menjadi kaisar Perancis dan wilayah-wilayah Eropa lainnya.
Revolusi Perancis
20
Untuk kepentingan tertentu, Napoleon menceraikan isterinya yang bernama Josephine de
Beauharnise dan kemudian mengawini Maria Louise, puteri dari Raja Austria yang
memberikan seorang putera kepadanya, yaitu Napoleon II yang kemudian diangkat menjadi
Raja Roma (1811-1832).
Sedangkan untuk melaksanakan politik luar negerinya ditunjukkan untuk pembentukan
Perancis menjadi negara terbesar di Eropa. Ia juga menginginkan Eropa menjadi sebuah
negara federasi dibawah kekuasaan Perancis. Untuk melaksanakan keinginannya tersebut,
Napoleon melibatkan Perancis dalam perang-perang koalisi, yaitu:
1.
Perang Koalisi I (1792-1797). Perancis melawan Austria, Prusia, Inggris, Spanyol, Belanda
dan Sardinia. Pada perang ini, Perancis mengalami kemenangan yang gemilang dan merampas
harta kekayaan dari negara-negara yang kalah, sehingga dapat mengembalikan ekonomi
Perancis yang sedang suram.
2.
Perang Koalisi II (1799-1802). Lawan Perancis dalam erang ini adalah Austria, Rusia,
Inggris dan Turki. Perancis menang dan diakhiri denga perjanjian Amiens (1802).
3.
Perang Koalisi III (1805). Austria, Rusia, Swedia, dan Inggris melawan Perancis. Wina
(Ibukota Austria) diduduki oleh Napoleon dalam pertempuran di Austerlizt (1805). Austria
dan Rusia dihancurkan oleh Napoleon dan diakhiri dengan perjanjian preszburg (1805).
4.
Perang Koalisi IV (1806-1807). Lawan Perancis adalah Prusia, Rusia, dan Inggris. Dalam
pertempuran di Friedland (1807) Rusia kalah.
5.
6.
Perang Koalisi V (1809). Lawan Perancis adalah Inggris, Spanyol, Portugal, dan Austria.
Perang Koalisi VI (1813-1814). Dalam perang ini, Perancis mengalami kekelahan dalam
pertempuran di Leipzigh (1813). Napoleon kalah dalam menghadapi koalisi (gabungan).
Napoleon lari ke Perancis untuk mempertahankan Perancis dari serangan koalisi, tetapi usaha
ini gagal. Napoleon kalah dan turun dari tahtanya pada tahun 1814 dibuang ke pulau Elba.
Raja Perancis diganti oleh raja Louis XVIII (Adi Louis XVII). Dalam kekalahan ini, Perancis
menandatangani perjanjian Paris yang isinya adalah sebagai berikut:
Revolusi Perancis
21
Ø Inggris mendapatkan pulau Malta.
Ø Perancis mendapatkan batas-batasnya seperti tahun 1792 (batas sebelum kekuasaan
Napoleon).
7.
Perang Koalisi VII (1815). Perancis yang berada dibawah Raja Louis XVIII menjadi lemah.
Pada tahun 1815, Napoleon kembali ke Perancis. Raja Louis XVIII mengirimkan tentaranya
dibawah pimpinan Marsekal Ney, tetapi mereka berbalik memihak Napoleon. Raja Louis XVIII
lari, kemudian Eropa membentuk koalisi VII untuk mengatasi Napoleon. Dalam pertempuran
tersebut, Napoleon menyerah untuk kedua kalinya. Ia dibuang ke Pulau St. Helena sampai
meninggal pada tahun 1821.
Revolusi Perancis yang dicetusi pada tanggal 14 Juli 1789 itu mempunyai beberapa pengaruh
dan perubahan di berbagai bidang, di antaranya adalah:
1)
Ø
Ø
Ø
Ø
2)
Ø
Ø
Ø
Ø
3)
Ø
Ø
Ø
Ø
Bidang Politik:
Negara menjadi Republik.
Berkembang paham demokrasi modern.
Timbulnya rasa nasionalisme.
Undang-undang merupakan kekuasaan tertinggi.
Bidang Ekonomi:
Sistem pajak feodal dihapuskan.
Sistem monopoli dihapuskan.
Petani menjadi pemilik tanah.
Industri-industri besar bermunculan.
Bidang Sosial:
Dibentuknya sususnan masyarakat baru.
Pendidikan dan pengajaran merata di semua lapisan masyarakat.
Sistem feodalisme dihapuskan.
Hak asasi manusia dijadikan dasar Code Napoleon.
Selain pengaruh dan akibat bagi dalam negeri, Revolusi Perancis juga membawa pengaruh
bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara luas, di antaranya adalah:
1.
Bidang Politik
Pengaruhnya dalam bidang Politik, antara lain adalah sebagai berikut:
Ø Berkembangnya paham liberalisme (kebebasan). Liberalisme adalah paham kebebasan yang
berhasil mengahpuskan kekuasaan mutlak (absolut) di daratan Eropa. Menurut paham ini,
setiap orang atau negara bebas menentukan nasibnya sendiri, bebas dalam bertindak dan
bebas berusaha. Paham liberalisme kemudian meluas di seluruh daratan Eropa, bahkan ke
seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Pada mulanya, paham liberal ini berkembang di negeri
Belanda, ketiak Belanda jatuh ke tangan Perancis dibawah Napoleon Bonaparte. Sejak tahun
1870 pemerintahan di negeri Belanda berada pada kaum liberal. Paham liberal ini tentunya
dibawa ke Indonesia sebagai daerah jajahannya. Dampaknya terasa ketika para penanam
modal asing menanamkan modalnya di Indonesia dalam bidang perkebunan dan industri.
Berkembanglah Kapitalisme, Perbudakan, dan Kerja Rodi yang menyengsarakan rakyat
Indonesia.
Ø
Berkembangnya paham berkebangsaan (Nasionalisme). Nasionalisme adalah paham
kebangsaan yang berusaha menentang segala bentuk penjajahan untuk mencapai kedaulatan
bangsa dan negara. Setelah terjadinya Revolusi Perancis, banyak negara-negara yang
melepaskan diri dari penjajahan dan menentukan nasibnya sendiri.
Revolusi Perancis
22
Ø Berkembangnya perlindungan hukum (The Rule of Law). Napoleon Bonaparte sekalipun
bertindak diktaktor, namun telah melaksanakan dasar-dasar negara hukum yang melindungi
rakyatnya. Sejak saatt itu, banyak negara di Eropa yang menerapkan hukum dalam
pemerintahannya. Siapa yang bersalah akan dikenakan sanksi hukum sesuai dengan
kesalahannya.
Ø Berkembangnya sisitem demokrasi dan bentuk republik. Revolusi Perancis ditujukan untuk
menentang kekuasaan mutlak dan menggantikannya dengan sistem demokrasi yang
mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan melalui wakil-wakilnya. Perancis juga merintis
bentuk negara Republik yang kemudian banyak ditiru oleh negara-negara lain di dunia.
Indonesia sendiri menganut sistem pemerintahan demokrasi dalam bentuk negara Republuk,
karena sistem dan bentuk inilah yang paling sesuai di negara kita dan lebih mengutamakan
kepentingan rakyatnya.
Ø Berkembangnya paham kesamaan derajat. Revolusi Perancis diarahkan pula pada usaha-usaha
menghapuska diskrimanasi dalam kedudukan, status sosial, agama, dan warna kulit. Rakyat
Perancis menuntut adanya pengakuan persamaan derajat, bukan pengkotak-kotakan seperti
yang terjadi waktu itu. Paham ini juga meluas ke seluruh negara di dunia, termasuk ke
Indonesia. Dengan adanya Revolusi Perancis yang menuntut adanya persamaan derajat,
banyak para pemimpin bangsa Indonesia yang memperjuangkan pengakuan adanya
persamaan derajat ini. Bahkan, sekarang persamaan derajat tidak hanya bagi kaum pria, tetapi
kedudukan kaum pria dan kaum wanita sama dalam hukum dan pemerintahan. Pengakuan
persamaan derajat itu kemudian berkembang pada pengakuan hak-hak asasi manusia.
Bahkan, pengakuan terhadap hak asai manusia kini telah membudaya secara intenasional.
2.
Bidang Sosial-Ekonomi
Pengaruh Revolusi Perancis dalam bidang Sosial-Ekonomi dalam dijelaskan sebagai berikut:
Ø Pengahapusan perbudakan karena tidak sesuia dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sebelumnya, perbudakan di dunia sangat merajalela. Orang yang lemah diperlakukan
sewenang-wenang oleh orang-orang yang kuat. Bangsa terjajah diperlakukan semena-mena
oleh kaum penjajah. Keberhasilan kaum liberal di negeri Belanda, misalnya, telah
menghapuskan Sistem Tanam Paksa di Indonesia yang banyak menyengsarakan rakyat
Indonesia. Waktu itu, rakyat Indonesia diperbudak untuk menggarap sebagian tanahnya
untuk menanam tanaman yang laku di pasar Eropa.
Ø Pemungutan pajak dilakukan secara adil dan merata. Sebelum Revolusi Perancis, rakyat
Perancis diperlakukan secara tidak adil dalam bidang perpajakan. Rakyat biasa dikenakan
untuk membayar pajak. Sebaliknya, kaum bangsawan bebas membayar pajak. Keberhasilan
Revolusi Perancis telah membawa keadilan, karena pajak dikenakan kepada seluruh rakyat,
tanpa pilih kasih.
Ø Menghapus diskriminasi dalam masyarakat. Sebelum Revolusi Perancis, rakyat di Eropa terbagi
atas kotak-kotak yang masing-masing berbeda hak dan kewajibannya. Keberhasilan Revolusi
Perancis telah menghapus pengkotak-kotakan masyarakat tersebut. Tidak ada lagi golongan
bangsawan, ulama, atau rakyat jelata. Semua rakyat mempunyai hak dan kedudukan yang
sama dalam hukum dan pemerintahan. Hal itu mengalami bangsa Indonesia untuk menuntut
persamaan hak dan kedudukan dengan bangsa Belanda sebagai pihak penjajah. Sebelumnya,
bangsa Indonesia menerima saja diperlakukan sebagai kelas paling bawah dalam susunan
masyarakat pemerintahan kolonial Belanda.
Ø Penghapusan sistem monopoli dalam perdagangan. Setelah terjadinya Revolusi Perancis juga
membawa perubahan di bidang ekonomi, terutama dalam bidang perdagangan. Pada masa
liberalisme, di Indonesia telah dihapuskan sistem monopoli diganti dengan kebebasan dalam
berusaha. Pada masa liberalisme, rakyat kita bebas dalam mengatur perekonomiannya, yang
ditandai dengan penghapusan sistem tanam paksa dan kerja rodi.
Revolusi Perancis
23
Download