BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tesis ini akan membicarakan mengenai peran pusat kebudayaan Prancis dalam perkembangan diplomasi publik Prancis dan proses nation branding Prancis di Indonesia. Pusat kebudayaan suatu negara asing biasanya hanya terdapat di ibukota. Akan tetapi, Prancis telah membuka pusat kebudayaannya di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Bali. Secara umum pusat kebudayaan Prancis bisa dibagi menjadi dua, yaitu Institut Français dan Alliances Française. Menurut laman resmi Institut Français dan Alliances Française, Institut Français adalah lembaga publik yang berada di bawah Kementerian Luar Negeri sedangkan Alliances Française adalah lembaga swasta yang hadir atas inisiatif lokal, bersifat otonom, dan tunduk pada peraturan negara tempatnya berada. Menurut Richard T Arndt dalam bukunya The First Resort of Kings: American Cultural Diplomacy in the Twentienth Century, diplomasi melalui kebudayaan menjadi cara yang efektif dalam membangun komunikasi di dunia internasional (Arndt via Kim, 2011:1). Menurut Milton Cummings dalam Cultural Diplomacy and the United States Government : A Survey, diplomasi kebudayaan dilakukan melalui kegiatan budaya yang merepresentasikan negara tersebut (Cummings via Kim, 2011:5) . Maack mendefinisikan diplomasi kebudayaan sebagai aspek diplomasi yang melibatkan usaha pemerintah untuk menyebarkan kebudayaan nasionalnya kepada publik asing dengan tujuan untuk memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai nasional negara tersebut. Hal ini sebagai bagian dari usaha untuk membangun dukungan terhadap tujuan-tujuan ekonomi dan politik (Maack, 2001:59). Selain Prancis, negara-negara lain juga melakukan diplomasi melalui pembukaan semacam pusat kebudayaan, seperti yang dilakukan Inggris dengan British Council, Jerman dengan Goethe Intitute, Spanyol dengan Intituto Cervantes, dan lain-lain. Pusat-pusat kebudayaan tersebut ada yang berada di bawah naungan pemerintah negara yang bersangkutan, namun banyak juga yang bersifat otonom. Prancis termasuk negara yang paling awal membuka pusat kebudayaan. Pusat kebudayaan Prancis pertama adalah Alliances Francaise yang didirikan pada tahun 1883. Alliances Francaise adalah pusat kebudayaan yang didirikan secara swasta (Chaubet, 2004:763). Tujuan utama Alliances Francaises adalah menyebarkan bahasa Prancis baik ke koloni-koloni Prancis maupun ke negaranegara lain (Chaubet, 2004:763). Hal ini dilakukan Prancis setelah kalah dalam Perang Prusia yang membuat Prancis merasa harus memperbaiki citranya dengan cara mempromosikan bahasa dan kesastraannya melalui Alliances Française baik dalam konteks kawasan maupun konteks internasional (Nye, 2008:96). Kebudayaan Prancis kemudian menjadi komponen yang signifikan dalam diplomasi Prancis (Pells via Nye, 2008:96). Menurut pendiri Alliances Francaise, penyebaran bahasa adalah langkah nyata untuk membangun kembali kekuatan dan gengsi Prancis di dunia internasional dengan mempromosikan bahasa Prancis dalam sebuah “pertarungan memperebutkan hegemoni diantara bahasa-bahasa di dunia”. (Peroncel-Hugoz via Maack, 2001:61). Keberadaan Alliances Française dipandang mampu memperbaiki, bahkan menaikkan citra Prancis di dunia internasional, sehingga Prancis kemudian membuat suatu pusat kebudayaan yang berada di bawah pemerintah, yaitu Centre Culturel Français. Walaupun sama-sama bertujuan untuk menyebarkan kebudayaan Prancis di luar negeri, menurut laman Alliances Française dan Centre Culturel Français, kedua pusat kebudayaan tersebut mempunyai struktur organisasi yang berbeda dan fokus yang berbeda pula. Alliances Française lebih memfokuskan diri pada pengajaran bahasa Prancis (Maack, 2001:61) sedangkan Centre Culturel Français lebih berfokus pada penyebaran kebudayaan Prancis (Forster, 2010). Pada tahun 2011 Centre Culturel Français secara resmi berganti nama menjadi Institut Français. Alliances Française dan Intitut Français bersinergi membentuk suatu hubungan yang unik yang bertujuan untuk menyebarluaskan kebudayaan Prancis di dunia internasional (Forster, 2010). Di dalam laman Alliances Française dan Institut Français disebutkan bahwa di dunia terdapat sekitar seribu cabang Alliances Française dan sekitar seratus cabang Institut Français. Alliances Francais mempunyai cabang yang lebih banyak, selain karena telah ada jauh lebih dulu, juga karena pembentukannya mempunyai mekanisme yang berbeda yang membuatnya lebih mudah terbentuk dibandingkan dengan Institut Français. Pendirian pusat kebudayaan di banyak kota di Indonesia, baik di kota besar maupun kota kecil, mengindikasikan bahwa Prancis sedang giat memperkuat soft power dalam rangka memproyeksikan citra ke Indonesia. Soft power Prancis di Indonesia diperoleh dengan melaksanakan diplomasi. Jika kita melihat fenomena pendirian pusat kebudayaan Prancis tersebut, maka Prancis menggunakan kebudayaan sebagai alat untuk melaksanakan diplomasinya. Tesis ini akan memfokuskan pada diplomasi yang dilakukan oleh Institut Français karena Institut Français adalah lembaga publik di bawah pemerintah sehingga program-programnya merupakan kepanjangan dari pemerintah Prancis dalam melaksanakan diplomasi dan pembentukan citra Prancis di Indonesia. Proses pembentukan citra suatu negara bisa diibaratkan dengan pembentukan sebuah brand. Proses nation branding bukan merupakan sesuatu yang baru bagi negara. Negara selalu berusaha untuk membuat dan menyesuaikan reputasinya untuk menciptakan loyalti dan koherensi di publik domestik dan mempromosikan kekuatan dan pengaruh mereka di negara tetangga (Ollins, 2005:170). Penelitian yang dilakukan oleh Aimé Besson memberi gambaran mengenai pentingnya pusat kebudayaan bagi Prancis dalam menjalankan diplomasinya. Pembahasan dalam penelitian Aimé Besson lebih kepada lembaga pusat kebudayaan itu sendiri. Tidak dibahas secara spesifik peran pusat kebudayaan dalam kaitannya dengan hubungan antarnegara dan perannya dalam membentuk brand suatu negara. Oleh karena itu, menarik untuk mengetahui bagaimana peran pusat kebudayaan dalam pembentukan citra suatu negara di mata publik negara lain. B. Rumusan Masalah Bagaimana peran Institut Français Indonésie dalam pembentukan citra Prancis di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti peran IFI (Institut Français Indonésie) sebagai instrumen diplomasi dan nation branding Prancis di Indonesia. D. Tinjauan Pustaka Penelitian yang membahas mengenai pusat kebudayaan Prancis bukan merupakan sebuah penelitian yang baru. Penelitian-penelitin tersebut sangat beragam, mulai dari yang menyoroti segi kelembagaan hingga menghubungkannya dengan situasi politik dan hubungan bilateral Prancis dengan negara lain. Besson (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “L’institut Français : un Noveau Modèle pour l’Action Culturelle Extérieure de la France” menjelaskan evolusi pusat kebudayaan Prancis hingga bernama Institut Français. Pada awal pembentukannya, pusat kebudayaan Prancis bernama AFAA. AFAA merupakan kepanjangan tangan pemerintah Prancis dalam melaksanakan diplomasi kebudayaan di luar negeri. Ruang lingkup AFAA terbatas pada kebudayaan saja. Akan tetapi, perkembangan diplomasi membuat ruang lingkup AFAA menjadi terlalu sempit dan tidak mengakomodir politik kebudayaan Prancis. Lembaga ini kemudian mengalami berbagai transformasi hingga sekarang bernama Institut Français. Penelitian ini juga menjelaskan peran Institut Français dalam politik kebudayaan Prancis di luar negeri. Pusat kebudayaan tidak hanya digunakan dalam pengenalan kebudayaan Prancis kepada publik internasional tetapi juga digunakan untuk masuk ke negara tertentu ketika hubungan bilateral sedang memburuk. Octaviati (2011) dalam “Diplomasi Kebudayaan Prancis di Cina melalui Alliances Française Periode 1989-2009” menjelaskan mengenai peran Alliances Française dalam dinamika hubungan bilateral Cina-Prancis. Hubungan bilateral Prancis dan Cina sempat memburuk akibat Peristiwa Tianamen yang menjadi sorotan dunia internasional. Di tengah memburuknya hubungan kedua negara, pembukaan Alliances Française di Cina tetap berlanjut. Alliances Française-Alliances Française ini kemudian membantu memperbaiki hubungan Prancis dengan Cina. Penelitian Octaviati menyoroti peran Alliances Française dalam normalisasi hubungan Cina dan Prancis setelah Peristiwa Tianamen. Jika Besson dan Octaviati berfokus pada pusat kebudayaan dalam diplomasi Prancis di luar negeri, maka Loïc (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “La Diplomatie Culturelle Française : La Culture Face à Des Nouveaux Enjeux” menjelaskan bagaimana kebudayaan Prancis bisa menjadi kekuatan dalam melaksanakan diplomasi Prancis di luar negeri. Penelitian ini juga membahas sejarah diplomasi kebudayaan Prancis melalui pusat kebudayaannya. Prancis bukan merupakan negara satu-satunya yang menerapkan strategi ini sehingga Prancis harus mempunyai cara atau terobosan untuk bersaing dengan negara lain. Diplomasi kebudayaan tidak hanya ditentukan oleh lembaga tetapi juga diplomat atau individu yang mencerminkan citra negara. Penelitian Marta Osojnik (2009) yang berjudul “Cultural Diplomacy and the European Union : Key Characters and Historical Development” membahas mengenai peran individu dalam pelaksanaan diplomasi kebudayaan. Individu-individu yang dimaksud adalah tokoh-tokoh yang mempromosikan penggunaan diplomasi kebudayaan. Osojnik mengambil kasus pembentukan Uni Eropa. Osojnik menyebut dua tokoh yang berperan dalam pembentukan Uni Eropa, yaitu Robert Schuman dari Jerman dan Charles de Gaulle dari Prancis. Diplomasi kebudayaan mempunyai peran dalam pembentukan Uni Eropa, tetapi diplomasi kebudayaan tidak akan berkembang jika Uni Eropa tidak terbentuk. Penelitian Marta Osojnik melihat peran aktor non-negara dalam diplomasi kebudayaan. Robert Schuman dan Charles de Gaulle dilihat tidak dalam kapasitasnya sebagai perwakilan negara tertentu tetapi sebagai tokoh internasional yang menjadi milik publik. Pandanganpandangan individu-individu ini terhadap diplomasi kebudayaan membawa efek yang besar bagi Eropa pada umumnya dan Uni Eropa pada khususnya. Penelitian-penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya melihat pentingnya peran aktor non-negara dalam pelaksanaan diplomasi kebudayaan. Baik pusat kebudayaan maupun tokoh penting mempunyai hubungan dengan pemerintah tetapi juga dipandang sebagai milik publik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini akan mengangkat hubungan bilateral dua negara, yaitu Prancis dan Indonesia. Diplomasi kebudayaan yang dilakukan oleh Prancis di Indonesia kemudian dikaitkan dengan citra yang dibangun Prancis di dunia internasional. Alasan memilih Prancis dalam penelitian ini adalah sejarah panjang Prancis dalam diplomasi kebudayaan dan nation branding. Prancis adalah negara di Eropa yang pertama-tama melakukan nation branding. Proses image branding dan re-branding yang dilakukan Prancis terutama di Eropa sejak Revolusi Prancis dinilai berhasil. Nation branding tersebut kemudian tidak hanya ditujukan kepada negara-negara Eropa saja tetapi juga dunia internasional pada umumnya (Ollins, 2005:170-172). E. Kerangka Konseptual Marta Osojnik dalam Cultural Diplomacy and the European Union : Key Characters and Historical Development mendefinisikan diplomasi sebagai seni atau praktek menuju hubungan internasional, seperti dalam menegosiasikan aliansi, pakta, dan persetujuan; keahlian dalam berhubungan dengan orang. Sedangkan kebudayaan mengacu pada kumpulan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, perilaku, arti, hirarki, gagasan tentang waktu, peran, hubungan antar-ruang, konsep alam semesta, dan objek material dan kepemilikan yang didapat oleh sekelompok orang selama bergenerasi melalui usaha individu atau kolektif (Osojnik, 2009:2). Kebudayaan merupakan salah satu cara dalam melakukan diplomasi publik. Di dalam konteks diplomasi publik, kebudayaan adalah serangkaian usaha aktor internasional untuk mempromosikan kebudayaan negaranya, memberi pengaruh kepada opini publik, dan membangun integritas dan kredibilitas melalui pertukaran kebudayaan. Jika kebudayaan dimaknai dalam konteks diplomasi publik, maka diplomasi kebudayan merupakan praktek-praktek diplomasi publik melalui acara-acara kebudayaan, pameran kesenian, dan berbagai macam festival internasional (Kim, 2011:3) Milton Cummings mendefinisikan diplomasi kebudayaan sebagai pertukaran ide, informasi, seni, dan aspek kebudayaan lainnya diantara negaranegara dan rakyat mereka untuk memperkuat kesepahaman. Diplomasi kebudayaan direpresentasikan dalam kegiatan-kegiatan budaya yang bisa merepresentasikan negara dan mempengaruhi publik asing walaupun terdapat perbedaan politis antarnegara (Kim, 2011:5). Menurut Richard T Arndt dalam The First Resort of Kings: American Cultural Diplomacy in the Twentienth Century, diplomasi kebudayaan merupakan diplomasi yang efektif dalam hubungan internasional antarnegara. Diplomasi kebudayaan juga terbukti membantu dalam membangun fondasi berbasis rasa saling percaya antarmanusia. Hal ini kemudian menjadi dasar hubungan antarmanusia yang akan bisa bertahan melewati berbagai perubahan kepemimpinan di pemerintahan. Diplomasi kebudayaan akan bisa menjangkau tokoh-tokoh berpengaruh dalam masyarakat yang menjadi sasaran yang tidak akan bisa dicapai melalui cara-cara formal melalui fungsi diplomatik. Diplomasi kebudayaan bisa mengatasi perbedaan-perbedaan dalam kebijakan antara negara yang satu dengan yang lainnya dan membentuk platform netral bagi hubungan antarmasyarakat. Ketika hubungan diplomatik sedang terganggu atau tidak ada hubungan diplomatik, maka diplomasi kebudayaan berperan sebagai sarana yang fleksibel dan diterima semua pihak (Kim, 2011:1-2). Diplomasi kebudayaan memfokuskan pada publik sebagai sasaran utamanya. Menurut Mette Lending, hubungan antara diplomasi publik dan pertukaran kebudayaan bisa digambarkan sebagai sebuah komunikasi antarnegara. Pertukaran kebudayaan bukan hanya mengenai seni dan budaya tetapi juga mengkomunikasikan pemikiran-pemikiran yang dianut oleh negara tersebut, jurnalisme, dan masalah-masalah yang menjadi perdebatan nasional di negara tersebut. Oleh karena itu, sisi tradisional dari pertukaran kebudayaan kemudian menjadi bagian dari cara berkomunikasi di dalam dunia internasional. Kenyataan ini kemudian menghasilkan konsep baru dari diplomasi publik yang merupakan reaksi dari hubungan antara kebudayaan, pers, dan aktivitas-aktivitas pertukaran informasi (Lending, 2000 : 13-14). Paul Sharp mendefinisikan diplomasi publik sebagai sebuah proses untuk melakukan kontak langsung dengan masyarakat negara tertentu untuk membantu meraih kepentingan dan memperluas nilai-nilai yang dianut oleh negara yang melakukan diplomasi publik tersebut. Diplomasi publik menjadi sesuatu yang penting karena pada saat ini semua negara saling tergantung secara ekonomi. Kemajuan teknologi komunikasi juga turut memberi andil diplomasi publik bisa dilakukan. Diplomasi publik juga dianggap sebagai sebuah pilihan yang lebih disukai karena peningkatan paham demokrasi di dunia internasional (Sharp, 2005 : 106). Perkembangan dunia internasional membuat munculnya aktor-aktor baru dalam dunia internasional. Fokus diplomasi kemudian tidak hanya pemerintah saja tetapi juga publik dan aktor-aktor non-negara. Konsep diplomasi publik kemudian berubah. Diplomasi publik dulunya hanya berperan dalam menyampaikan pesan, mempromosikan negara, atau menjalin hubungan langsung dengan publik asing untuk kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan negara tersebut. Diplomasi publik kemudian dimaknai sebagai suatu usaha untuk menjalin hubungan dengan aktor-aktor non-negara di negara yang menjadi sasaran diplomasi publik dan memfasilitasi hubungan antara aktor nonpemerintah di negara asal dengan negara sasaran (Melissen, 2005 : 22). Era teknologi informasi dewasa ini juga memberikan pemahaman yang baru dalam pelaksanaan diplomasi publik. Jika pada era sebelumnya yang berperan adalah birokrat, maka kemajuan teknologi informasi memberikan peran terhadap media sebagai penyedia informasi untuk mengambil peran dalam pelaksanaan diplomasi. Terbukanya akses informasi membuat diplomasi publik mengalami perubahan. Jika sebelumnya diplomasi publik yang dilakukan oleh negara hanya berjalan satu arah, yaitu pemberian info-info terkait kebijakankebijakan negara tersebut, maka sekarang publik mengambil peranan aktif dalam menanggapi strategi kebijakan luar negeri suatu negara. Media bukan lagi sebagai alat strategi kebijakan luar negeri. Media sekarang bisa mempengaruhi arah kebijakan luar negeri (Hocking, 2005 : 30). Oleh karena pentingnya diplomasi publik, maka diplomasi publik kini menjadi sebuah isu di kementerian luar negeri di banyak negara. Setiap negara, baik negara besar maupun negara kecil, membuat kebijakan terkait penggunaan diplomasi publik. Hal ini bisa dilihat sebagai gejala meningkatnya penggunaan soft power dalam kerja sama internasional atau jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, sebagai perubahan dalam praktek diplomasi yang kemudian menuntut adanya transparansi dan kerja sama transnasional. Diplomasi publik kemudian tidak hanya dilihat sebagai sebuat instrumen semata, tetapi juga sebuah bagian dalam perubahan yang terjadi di dunia internasional (Melissen, 2005 : 8). Diplomasi publik mempunyai perbedaan dengan diplomasi tradisional. Diplomasi publik digunakan untuk menyasar publik internasional secara umum, seperti kelompok-kelompok tidak resmi, organisasi, maupun individu-individu (Melissen, 2005:5). Di dalam pembahasan mengenai diplomasi publik, ada suatu konsep yang berkaitan erat dengan pelaksanaan diplomasi publik, yaitu nation branding (Melissen, 2005: 16). Membangun citra bukan sebuah hal baru dalam politik internasional. Menurut John Hertz, setengah dari politik kekuasaan adalah pembentukan citra (Hocking, 2005 : 31). Dampak dari globalisasi adalah negara menjadi semakin mirip antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, branding adalah mengenai pembentukan citra diri dan identitas yang membuat negara tersebut bisa dibedakan dengan negara lainnya (Melissen, 2005:19-20). cara ini termasuk ke dalam soft power. Konsep soft power diperkenalkan oleh Joseph Nye sebagai sebuah pendekatan lain untuk membuat suatu negara melakukan apa yang negara lain inginkan tanpa melalui ancaman atau bujukan karena soft power berhubungan dengan kemampuan suatu negara untuk membentuk preferensi negara lain, baik melalui budaya, ekonomi, kebijakan-kebijakan politik, dan lain sebagainya (Nye, 2005 : 5) Soft power tidak bisa disamakan dengan pengaruh karena penggunaan hard power seperti ancaman bisa digunakan dalam mempengaruhi negara lain. Walaupun penggunaan bujukan-bujukan adalah salah satu cara yang digunakan dalam soft power, soft power sendiri tidak bisa disederhanakan hanya sebagai sebuah praktek membujuk negara lain. Soft power secara sederhananya bisa dikatakan sebagai semacam kemampuan suatu pihak untuk menimbulkan rasa tertarik pihak lain (Nye, 2005 : 6). Hard power dan soft power sama-sama digunakan untuk mempengaruhi perilaku pihak lain. Perbedaannya terletak pada jenis perilaku yang digunakan dan sifat sumber daya yang digunakan. Hard power bersifat memerintah dengan mengubah apa yang pihak lain lakukan. Cara yang digunakan bisa berupa paksaan atau bujukan. Sedangkan soft power lebih bersifat kooptif, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi keinginan pihak lain. Cara yang digunakan adalah membuat pihak lain tertarik melalui budaya dan nilai-nilai, bahkan memanipulasi agenda politik agar pihak yang dimanipulasi merasa bahwa agenda politiknya sendiri yang telah ditetapkan tidak bisa dilakukan karena dianggap tidak realistis (Nye, 2005 : 7). Menurut Nye, ada tiga sumber soft power suatu negara, yaitu kebudayaan, nilai-nilai politik yang dianut negara tersebut, dan kebijakan luar negeri dalam kaitannya dengan legitimasi negara tersebut di dunia internasional dan kekuasaan moral yang dipunyai negara tersebut (Nye, 2005 : 11). Ketika berbicara mengenai kebudayaan, Nye membedakannya ke dalam high culture dan popular culture. High culture adalah produk-produk budaya yang dianggap elit, seperti kesastraan, pendidikan, seni, dan lain-lain. Popular culture berhubungan dengan kebudayaan-kebudayaan populer yang bersifat menarik massa. Kebudayaan yang bisa digunakan sebagai soft power adalah kebudayaan yang sifatnya universal sehingga antara negara yang satu dengan negara yang lain berbagi nilai-nilai yang sama. Jika kebudayaannya bersifat spesifik dan khusus, hal tersebut tidak bisa digunakan sebagai soft power (Nye, 2005-11) F. Argumen utama Pendirian pusat kebudayaan Prancis di beberapa kota di Indonesia menarik untuk dicermati. Prancis tidak hanya membuka pusat kebudayaan di ibukota maupun di kota besar seperti Bandung dan Surabaya yang biasanya menjadi tempat tujuan pembukaan pusat kebudayaan, tetapi juga di kota berskala menengah seperti Yogyakarta dan Balikpapan. Selain dalam bentuk yang berdiri sendiri, Prancis juga berafiliasi dengan universitas-universitas untuk membentuk semcam pusat kebudayaan Prancis. Pembukaan pusat-pusat kebudayaan tersebut, baik langsung di bawah pemerintah Prancis maupun melalui kerjasama dengan institusi lain, merupakan salah satu upaya Prancis untuk menjalankan soft power di Indonesia. Soft power tersebut dijalankan melalui diplomasi kebudayaan. Oleh karena itu, pembukaan pusat kebudayaan adalah langkah penting bagi Prancis dalam melakukan diplomasi kebudayaannya di Indonesia. Diplomasi kebudayaan dipilih karena merupakan suatu proses diplomasi jangka panjang yang efeknya akan bertahan lama dan relatif tidak terpengaruh pada perubahan hubungan politik antarnegara. Pembukaan pusat kebudayaan kemudian menjadi sebuah fondasi untuk membangun suatu komunikasi antara Indonesia dan Prancis dan menimbulkan kedekatan dengan masyarakat Indonesia. Ketika kedekatan tersebut sudah terbangun, maka akan lebih mudah bagi Prancis di masa yang akan datang untuk melaksanakan kebijakan politiknya di Indonesia. G. Metodologi Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Data primer yang digunakan adalah angket dan wawancara dengan narasumber. Data sekunder yang digunakan adalah buku-buku, dokumen-dokumen, jurnal, dan lain-lain yang berkaitan dengan topik penelitian. Penelitian dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta. Kedua kota ini dipilih karena mewakili dua tipe kota yang berbeda. Jakarta dipilih sebagai perwakilan kota besar, sedangkan Yogyakarta dipilih karena mewakili kota menengah. Kedua kota ini mempunyai dinamika yang berbeda sehingga diharapkan hasil yang didapatkan bisa mewakili kalangan anak muda di Indonesia. Penelitian dengan menggunakan metode wawancara dilakukan pada direktur IFI pusat di Indonesia. Wawancara pada direktur IFI dilakukan untuk mengetahui mengenai kebijakan pemerintah Prancis di Indonesia dan peran IFI di Indonesia. Wawancara dilakukan dengan metode terbuka untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Dengan metode tersebut diharapkan informasi yang didapatkan akan lebih banyak. Penelitian ini mengambil sampel pada orang-orang yang mengambil kursus di IFI dan orang-orang yang datang di acara-acara kebudayaan yang diselenggarakan oleh IFI. Di Jakarta terdapat dua IFI yaitu di Thamrin dan Wijaya. Sampel diambil di IFI Thamrin karena IFI Thamrin adalah IFI pusat sedangkan IFI Wijaya adalah cabang dari IFI Thamrin. IFI Thamrin juga lebih besar daripada IFI Wijaya. Oleh karena itu, diharapkan sampel yang didapat di IFI Thamrin lebih beragam dan mampu mengakomodir berbagai kalangan masyarakat yang mengikuti kursus bahasa Prancis di IFI. Penelitian yang dilakukan terhadap peserta kursus menggunakan sistem angket. Sistem ini dipilih karena merupakan cara yang tepat dilakukan di dalam kelas pada waktu kelas sedang berlangsung. Sampel yang diambil sebanyak 50 peserta kursus dari IFI Jakarta dan 50 peserta kursus dari Yogyakarta. Tingkatan kelas peserta kursus yang mengisi angket bervariasi, mulai dari tingkat pemula sampai tingkat lanjut. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan sebaran yang lebih merata. Terdapat dua belas pertanyaan yang diajukan, enam pertanyaan berkisar tentang IFI dan enam pertanyaan mengenai Prancis. Penelitian yang dilakukan terhadap orang-orang yang datang ke acara IFI dilakukan dengan metode wawancara. Metode ini dipilih untuk mendapatkan informasi dan memberikan ruang bagi peneliti untuk menjelaskan pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepada responden. Hal ini untuk mengantisipasi kuantitas interaksi responden yang beragam dengan acara kebudayaan yang diselenggarakan oleh IFI. H. Sistematika Penyajian Penelitian ini akan terbagi ke dalam lima bab, yaitu : Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen utama, dan metodologi penelitian. Bab II akan membahas mengenai hubungan antara kebudayaan, diplomasi publik, dan nation branding. Pada bab ini juga akan dibahas bagaimana peran pusat kebudayaan dalam diplomasi suatu negara. Bab III akan membahas mengenai evolusi instrumen diplomasi publik Prancis dan peran IFI dalam diplomasi dan proses pembentukan citra Prancis di Indonesia. Bab IV akan membahas mengenai citra yang terbentuk di mata publik Indonesia tentang Prancis. Publik Indonesia diwakili oleh orang-orang yang mengikuti kursus di IFI dan orang-orang yang datang ke acara kebudayaan IFI. Bab V berisi penutup dan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.