Materi Bahan Ajar Mata Diklat Etika Publik (Diklat PraJabatan) KOMUNIKASI: ANTARA ETIKA DAN ESTETIKA Oleh: Wardjito Soeharso Dalam ilmu komunikasi dikenal ada lima paradigma model, atau bentuk, yaitu: (1) intrapersonal communication, (2) interpersonal communication, (3) small group atau organizational communication, (4) intercultural communication, dan (5) mass communication. Intrapersonal communication adalah bentuk paling sederhana komunikasi. Model ini menunjuk ketika orang berkomunikasi dengan diri sendiri, yaitu ketika orang berdialog dengan hatinurani. Komunikasi intrapersonal terjadi ketika orang dihadapkan pada berbagai pilihan, sehingga dia harus menentukan salah satu dari berbagai pilihan itu. Atau ketika orang dihadapkan pada satu kondisi tertentu dan harus mengambil sikap atau keputusan. Kata orang bijak, hatinurani tidak pernah bohong, sehingga bila kita berkonsultasi dengan hatinurani, dia selalu memberikan pertimbangan secara jujur. Nah, orang berdialog atau berkomunikasi dengan hatinurani tentunya juga dengan maksud memperoleh pertimbangan yang jujur, sehingga ketika harus menentukan pilihan atau membuat keputusan, hasilnya pun akan menjadi yang terbaik baginya. Karena komunikasi intrapersonal sifatnya semacam evaluasi internal yang mendalam, banyak ahli komunikasi yang berbeda pendapat. Ada yang berpendapat komunikasi intrapersonal sudah memnjadi bagian dari paradigma komunikasi, walau pun dalam bentuk yang sangat sederhana, karena komunikasi belum melibatkan adanya pihak lain. Sementara yang lain berpendapat, komunikasi intrapersonal tidak termasuk dalam paradigma komunikasi karena secara teoretis komunikasi selalu ada dua pihak berbeda yang terlibat. Penganut paham ini melihat hatinurani bukanlah pihak berbeda dengan diri sendiri. Model komunikasi berikutnya adalah interpersonal communication. Model ini menunjuk komunikasi yang terjadi antara dua pihak atau lebih, dan komunikasi berjalan secara langsung (direct). Komunikasi model ini hanya melihat komunikasi sebagai proses penyampaian pesan (message) dari komunikator ke komunikan dengan melihat bagaimana hasil yang terjadi pada komunikan. Komunikator lebih banyak dilihat sebagai subyek dan komunikan sebagai obyek. Pelopor aliran ini yang paling dominan adalah Wilbur Schramm dengan model teorinya yang sangat terkenal: hypodermic theory (teori jarum suntik). Model komunikasi yang lebih kompleks adalah small group atau organizational communication. Komunikasi kelompok kecil atau komunikasi organisasi menunjuk pada proses komunikasi yang terjadi dalam lingkup kelompok kecil atau organisasi. Dalam sebuah organisasi pasti terdapat “aturan main” yang harus ditaati oleh semua anggotanya, termasuk bagaimana tata cara berkomunikasi. Oleh karena itu, komunikasi organisasi lebih banyak mengatur dan muncul sebagai norma dan aturan yang harus ditaati oleh semua anggota organisasi. Apabila ada anggota organisasi yang tidak taat terhadap norma dan aturan, pasti akan muncul masalah di sana. Model komunikasi berikutnya, yang cukup rumit adalah intercultural communication. Komunikasi lintas budaya menjadi sangat kompleks dan rumit karena budaya menjadi variabel kajian yang sangat penting untuk melihat efektifitas komunikasi. Komunikasi model ini melihat bagaimana budaya menjadi sangat berpengaruh dalam komunikasi. Budaya, yang di dalamnya terdapat nilai, dan nilai dipercaya menjadi fundamental karena cara berpikir, bersikap, dan berperilaku manusia, yang selanjutnya selalu mewarnai kehidupan manusia, sesuai situasi dan kondisi lingkungan yang membentuknya. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap budaya manusia lain sangat bermakna untuk mengurangi atau meminimalisasi munculnya kesalahpahaman (misunderstanding) antara komunikator dan komunikan dalam berkomunikasi. Pada prinsipnya, setiap manusia membawa budaya dan kebiasaan yang berbeda. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi, pengetahuan dan pemahaman tentang budaya dan kebiasaan orang lain menjadi suatu keharusan, agar komunikasi dapat berjalan lancar tanpa kendala yang berarti. Misalnya: orang Indonesia masih memegang nilai bahwa tangan kiri itu “tidak baik”, sementara orang Barat memegang nilai yang berbeda tentang tangan kiri. Orang Barat menilai tangan kanan dan kiri sama baiknya, sehingga dalam berinteraksi dengan orang lain, mereka tidak pernah ragu memakai tangan kiri. Bila orang Indonesia tidak punya pengetahuan dan pemahaman ini, ketika berkomunikasi dengan orang Barat, dan orang Barat tersebut memakai tangan kiri ketika menyerahkan sesuatu, tentu si orang Indonesia akan merasa sangat tidak nyaman, merasa dilecehkan. Model komunikasi yang paling kompleks adalah komunikasi massa. Model komunikasi ini melibatkan peran media massa. Artinya, komunikasi yang dilakukan dengan memanfaatkan media massa, seperti suratkabar (media cetak), radio, televisi (media elektronik), komputer (multi media), disebut sebagai komunikasi massa. Dalam komunikasi ini media massa berfungsi sebagai jembatan atau perantara untuk menyampaikan pesan. Sesuai fungsinya, media massa dapat disebut sebagi “gate keeper” atau penjaga gawang. Ketika menyampaikan pesan kepada komunikan, komunikator harus berhubungan terlebih dahulu dengan media massa, dan media massa memiliki hak untuk menentukan komunikator dan pesan seperti apa yang boleh disampaikan melaluinya. Ciri khas komunikasi melalui media massa adalah, komunikator tidak mampu lagi mengidentifikasi komunikan, karena komunikan sudah bersifat massal, umum. Jadi kalau seseorang menulis di sebuah suratkabar, dia tidak tahu lagi siapa saja yang membaca tulisannya. Begitu pula, bila seseorang tampil di radio atau televisi, dia tidak tahu lagi siapa saja yang menontonnya. Karena jangkauan komunikan yang sangat massal dan umum inilah, maka komunikasi dengan memanfaatkan media massa disebut sebagai komunikasi massa. Komunikasi Adalah Hubungan Antar Manusia Dari lima paradigma komunikasi itu, yang manakah yang akan dipilih untuk berkomunikasi? Sudah barang tentu, komunikasi itu bersifat kontekstual. Artinya, model komunikasi seperti apa yang akan dipakai, sepenuhnya tergantung kebutuhan dilihat dari situasi dan kondisi yang melibatkannya. Komunikasi intrapersonal dipakai ketika kita dihadapkan pada berbagai pilihan dan kita dituntut untuk membuat keputusan. Komunikasi interpersonal dipakai ketika kita berkomunikasi secara langsung dengan pihak lain. Komunikasi organisasi dipakai dalam konteks komunikasi dalam organisasi, yang sifatnya serba formal, harus mengikuti norma dan aturan yang berlaku dalam organisasi. Komunikasi lintas budaya dipakai ketika kita bertemu dan berinteraksi dengan orang atau kelompok lain yang memiliki kebiasaan dan budaya berbeda dengan kita. Sedang komunikasi massa dipakai ketika kita ingin menyampaikan pesan atau informasi kepada khalayak, dengan meminta bantuan media massa untuk meneruskan pesan kita tersebut. Jadi, pada dasarnya kelima model komunikasi itu dapat kita pakai secara simultan, berbarengan, dalam suatu situasi tertentu. Walaupun tiap model komunikasi memiliki ciri-ciri tersendiri, yang paling penting untuk dipahami adalah: bahwa aktifitas komunikasi yang dilakukan manusia adalah sebuah usaha untuk mencapai kesepahaman terhadap ide/gagasan tertentu yang menjadi pesan dari proses komunikasi itu. Dengan demikian, yang disebut sebagai komunikasi itu sebenarnya tidak lain adalah aktifitas manusia dalam menyampaikan ide/gagasan dan perasaan atau emosi, kepada orang lain, melalui alat yang disebut sebagai media. Artinya, komunikasi adalah sebuah peristiwa ketika manusia saling berhubungan. Komunikasi adalah hubungan antar manusia, dan dalam hubungan tersebut terjadi saling tukar menukar pesan, yang isinya berupa ide/gagasan dan perasaan atau emosi. Karena komunikasi itu aktifitas manusia ketika saling bertukar ide/gagasan dan perasaan, maka ada banyak hal yang berpengaruh di dalamnya. Komunikasi itu dikatakan berhasil atau efektif bila memenuhi syarat-syarat tertentu. Laswell menyodorkan hal-hal yang berpengaruh itu antara lain adalah: adanya persesuaian antara komunikator dan komunikan (pengirim dan penerima pesan), dalam hal intelektualitas, budaya, agenda, dan interest. Semakin dekat tingkat intelektual, budaya, agenda, dan interest komunikator dan komunikan, akan semakin mudah keduanya berinteraksi dalam komunikasi. Bila memang ada gap atau jarak di antara keduanya mengenai hal-hal tersebut, komunikator perlu menyesuaikan diri dengan kondisi komunikan agar komunikasi berjalan lebih lancar. Bila antara komunikator dengan komunikan sudah muncul persesuaian itu, hal kedua yang harus diperhatikan adalah pesan yang disampaikan. Pesan akan semakin cepat dan mudah dimengerti oleh komunikan bila komunikator melakukan rekayasa terhadap pesan sebelum pesan itu dikirimkan. Rekayasa pesan pada dasarnya mengemas atau membungkus pesan sedemikian rupa agar pesan menjadi lebih menarik, lebih mudah dipahami. Bagaimana cara mengemas pesan supaya lebih menarik? Tentu saja, semua tergantung kreatifitas komunikator. Pesan itu dapat dikemas dari sisi format, struktur, isi, komposisi, dsb. Misalnya, untuk melakukannya menyampaikan dengan berbagai perasaan cara: cinta, langsung seseorang menyatakan dapat perasaan cintanya (yang tentunya kurang “greget”), menyampaikannya dengan bahasa “bunga”, atau menuliskannya dalam bentuk puisi yang indah. Menyampaikan rasa cinta dengan bahasa bunga dan puisi adalah sebuah bentuk rekayasa pesan supaya pesan lebih baik diterima oleh komunikan. Dengan demikian, semakin jelas bahwa komunikasi sebagai aktifitas manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya tidak pernah lepas dari budaya manusia itu sendiri. Budaya adalah totalitas dari karya (baik berupa perilaku sebagai perwujudan olah pikir dan olah rasa maupun bentuk konkrit produk manusia), yang diperoleh dari proses belajar. Oleh karenanya, dalam budaya selalu melekat “nilai” untuk mengukur yang ada di dalamnya. Dalam budaya, dikenal adanya 2 (dua) nilai dasar sebagai alat pengukur itu, yakni: etika, sebagai pengukur benar atau salah, dan estetika, sebagai pengukur baik atau buruk. Dengan adanya nilai itulah, kemudian manusia mengenal suatu perilaku itu benar dan baik, sehingga bisa diterima, atau suatu perilaku itu salah dan buruk, sehingga tidak bisa diterima atau ditolak. Komunikasi sebagai bagian dari aktifitas manusia, juga tidak bebas dari nilai itu. Ada norma-norma yang perlu diketahui dan dipahami sehingga dalam berkomunikasi manusia dapat berinteraksi dengan baik dan benar, dalam artian dapat saling menerima kehadirannya dengan sama enaknya. Kalau komunikasi itu dilandasi dengan nilai etika dan estetika yang disepakati dalam budayanya, komunikasi itu akan berlangsung dengan mudah, lancar, dan menyenangkan. Sebaliknya, bila komunikasi itu mengabaikan nilai etika dan estetika, dapat dipastikan komunikasi itu akan mengalami hambatan sehingga berlangsung dengan susah, tersendat, dan tidak menyenangkan. Dari setiap model atau paradigma komunikasi, tentu berlaku etika dan estetika yang berbeda. Dalam komunikasi interpersonal, etika dan estetika yang berlaku adalah etika dan estetika yang mengatur hubungan antar individu dalam suatu kelompok masyarakat. Sopan santun adalah salah satu etika dan estetika yang menjadi ukuran untuk kualitas hubungan antar individu dalam masyarakat kita. Sedang dalam model komunikasi organisasi, etika dan estetika itu muncul lebih banyak dalam bentuk aturan yang sifatnya resmi, formal, dan baku. Komunikasi langsung, misalnya, dilakukan dalam bentuk rapat, briefing, forum, seminar, dsb. Sedang komunikasi tertulis dilakukan dalam bentuk nota dinas, memo (internal), dan surat dinas (eksternal). Jadi kalau ada anggota organisasi berkomunikasi dengan tidak memperhatikan aturan yang berlaku itu, pasti yang bersangkutan akan berhadapan dengan masalah. Bahkan dalam personal labelling pun, organisasi sudah memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh anggotanya. Dalam organisasi, kaum laki-laki dipanggil “bapak” dan kaum wanita dipanggil “ibu” tanpa melihat yang bersangkutan sudah menikah atau belum. Jadi, dalam konteks komunikasi organisasi, kaum laki-laki aturannya dipanggil “Pak” dan kaum wanita dipanggil “Bu”. Bila ada orang yang memanggil dengan sebutan yang berbeda, pasti akan berhadapan dengan masalah. Contohnya, waktu anggota DPR RI, Ruhut Sitompul memanggil Mantan Wapres Jusuf Kalla dengan sebutan “Daeng”, dalam sebuah rapat resmi, walau dengan maksud memberikan penghormatan, tetapi sebutan itu menjadi tidak pas, tidak sesuai, dan menyalahi aturan berkomunikasi dalam organisasi. Mestinya, Ruhut tetap menyebut Wapres Yusuf Kalla dengan sebutan “Pak”. Wapres Yusuf Kalla sendiri waktu itu terlihat “tidak nyaman” dengan sebutan daeng yang disampaikan oleh Ruhut. Dalam konteks komunikasi lintas budaya, nilai yang muncul dalam bentuk etika dan estetika itu akan semakin kompleks dan rumit. Masalahnya, setiap budaya memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga nilai-nilai yang dianut pun sering berbeda satu dengan lainnya. Suatu perilaku dianggap benar dan baik oleh budaya yang satu, tapi bisa saja dipandang sebagai perilaku yang salah dan buruk oleh budaya yang lain. Oleh karena itu, dalam komunikasi lintas budaya, pemahaman terhadap nilai dan perilaku budaya lain menjadi sangat penting. Hal itu untuk menghindari munculnya kesalahpahaman karena memaknai pesan dan perilaku yang salah dalam komunikasi. Misalnya: tangan kiri dalam budaya Jawa dipandang sebagai tangan yang tidak baik, sehingga tidak boleh dipakai untuk berinteraksi dengan orang lain. Memberikan sesuatu dengan tangan kiri, dalam budaya Jawa dilihat sebagai perilaku tidak mengenal etika, dan mencederai rasa estetika. Tetapi, bagi budaya Barat, tangan kiri tidak ada bedanya dengan tangan kanan, sehingga memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri, tidak menjadi masalah. Nah, bila orang Jawa bertemu orang Amerika, dan dia tidak paham nilai budaya ini, dia akan merasa tersinggung bila orang Amerika memberikan sesuatu padanya dengan tangan kiri. Padahal, bagi si orang Amerika, itu tidak berarti apa-apa. Begitu pula dengan model komunikasi massa, di dalamnya terdapat nilainilainya sendiri. Ada etika dan estetika yang perlu diketahui dan dipahami oleh mereka yang memanfaatkannya. Etika dan Estetika dalam Beda Pendapat Akhir-akhir ini, ada yang menarik dalam perkembangan politik dan demokrasi di negeri tercinta. Pemerintah di satu sisi, dan kelompok oposisi di sisi lain, sering saling melontarkan kritik yang tajam. Perbedaan pendapat yang muncul tidak lagi sekedar ungkapan ketidak setujuan, tetapi sudah mengarah pada hujatan, makian, berupa idiom-idiom yang jelas memperlihatkan kebencian. Beda pendapat bukan dilihat sebagai warna demokrasi, tetapi disikapi sebagai konflik. Tidak heran, bila yang terjadi kemudian adalah situasi yang menguarkan suasana panas. Demonstrasi dengan wacana melawan sehingga harus berakibat rusuh dan bentrok dengan aparat. Di gedung parlemen sendiri, para legislator tidak cukup berdebat beradu argumen untuk mencari solusi, bahkan ikut-ikutan berebut hujatan dan makian, sambil menggebrak meja segala. Apakah sebenarnya yang terjadi? Semua itu menunjukkan kita sebagai bangsa ternyata sudah mulai tidak teguh lagi dalam memegang nilai-nilai, terutama etika dan estetika dalam berkomunikasi. Kita lupa bahwa dalam organisasi ada norma dan aturan yang harus diikuti. Kita lupa bahwa pesan harus dikemas agar lebih mudah dan enak untuk dimengerti dan dipahami. Kalau kita masih ingat akan nilai-nilai itu, segala bentuk hujatan, makian, dan perilaku yang mencerminkan konflik dan kebencian, tentunya tetap harus dikemas sedemikian rupa sehingga cara menampilkannya pun dapat diterima etika dan estetika.