BAB I PENDAHULUAN Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah dibanding dengan sebagian besar negara di dunia. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan. Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pasifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya. Memasuki abad ke-21 semua bangsa akan dihadapkan pada berbagai macam tantangan yang serius dan amat mendasar, utamanya berkaitan dengan kompetisi yang berdimensi global. Kompetisi global tersebut mensyaratkan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan keunggulan. Sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan keunggulan itu Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 1 merupakan faktor determinan dalam persaingan antarbangsa pada abad ke-21 nanti (Kartasasmita : 1997). Lebih lanjut Kartasamita (1997) mengatakan bahwa memasuki abad ke-21 dapat dipastikan akan terjadi perubahan-perubahan mendasar di berbagai segi kehidupan yang gejalanya sudah mulai nampak dan telah dapat kita rasakan sekarang ini. Perubahan lingkungan strategis yang ditandai oleh kecenderungan globalisasi yang berlangsung secara intensif, akseleratif, melanda semua bangsa di dunia. Proses globalisasi serupa itu dipacu oleh kemajuan di bidang teknologi informasi, transportasi, dan perdagangan bebas. Proses tersebut membawa dampak langsung terhadap berbagai bidang kehidupan, bukan saja ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik. Dalam bidang ekonomi, globalisasi ditandai oleh perdagangan bebas yang makin tidak mengenal sekat -sekat negara dan melibatkan semua bangsa di dunia. Dalam suasana itu niscaya akan terjadi kompetisi yang amat ketat, tajam, dan cenderung saling mengalahkan antara satu bangsa terhadap bangsa lainnya. Dari segi kepentingan ekonomi, globalisasi itu menciptakan peluang pasar yang besar. Karena itu, semua bangsa berkepentingan untuk bisa memanfaatkan peluang pasar yang terbuka lebar tersebut. Bagi bangsa Indonesia, permasalahan utamanya justru terletak pada kesiapan dalam memanfaatkan peluang dan memenangkan persaingan. Kunci keberhasilannya terletak pada daya saing bangsa. Karena globalisasi digerakkan oleh dua kekuatan utama yaitu teknologi dan perdagangan, maka daya saing itu akan sangat bergantung pada (1) kemampuan kita untuk menguasai teknologi dengan basis ilmu pengetahuan yang kuat, dan (2) kemampuan kita dalam membangun kelembagaan ekonomi yang efisien. Kedua hal tersebut secara imperatif menjadi faktor yang menentukan dalam usaha memenangkan kompetisi global. Dengan demikian, upaya untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan agenda pembangunan di masa depan, yang teramat penting dan mendesak untuk mendapatkan prioritas. Globalisasi juga akan mengakibatkan perubahan dalam aspek sosial budaya. Pergaulan antarbangsa dalam era globalisasi ini menyebabkan terjadinya interaksi dan persentuhan nilai-nilai budaya di antara berbagai bangsa yang beraneka ragam yang tidak bisa dihindari. Melalui interaksi tersebut akan terbuka peluang untuk saling menyerap nilai-nilai budaya asing antara satu dengan yang lainnya, sehingga terjadi proses adaptasi nilai -nilai budaya yang dibawa oleh masing-masing bangsa. Adaptasi budaya asing tersebut bisa bermakna negatif dan positif sekaligus. Ia akan bermakna negatif bilamana masyarakat Indonesia hanya menyerap nilai-nilai budaya asing yang tidak selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Kecenderungan sikap materialistik, Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 2 konsumeristik, hedonistik, individualistik, atau sekularistik adalah contoh yang negatif. Untuk menghadapinya, kita perlu memperkuat jati diri sebagai bangsa dan memperkukuh etika dan landasan moralitas masyarakat. Di pihak lain, adaptasi juga bisa bermakna positif bila mendorong masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengejar kemajuan. Misalnya etos kerja, semangat berkompetisi, sikap kemandirian, disiplin, penghargaan terhadap waktu dan sebagainya. Dalam era globalisasi juga ada potensi melemahnya keutuhan negara terutama bagi negara-negara yang dibentuk atas dasar ikatan primordial seperti etnik dan agama. Bahkan John Naisbitt membuat sinyalemen bahwa masa depan negara -bangsa yang dibentuk atas dasar kesatuan berbagai macam etnik itu sangat mungkin akan memudar, mengalami disintegrasi, dan kemudian akan kembali kepada identitas primordial semula. Dalam bahasa Naisbitt, tribalisme itu akan berkembang ketika nasionalisme dianggap tidak penting lagi. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 3 BAB II PERMASALAHAN 2.1 Permasalahan Pendidikan Di Indonesia 2.1.1 Arti Dasar Pendidikan. Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya. Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subjek dari pendidikan. Karena merupakan subjek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subjek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subjek pendidikan harus bebas untuk "ada" sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab. Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subjek-subjek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga. Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 4 2.1.2 Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami "sakit". Dunia pendidikan yang "sakit" ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada. Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan "manusia robot". Karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktikkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan "siap pakai" di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan. Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer ke dalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi hubungannya adalah guru sebagai subjek dan murid sebagai objek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 5 mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa. Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam "strategi kebudayaan Asia", sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan. 2.1.3 Kualitas Pendidikan di Indonesia Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu: 1. Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan. Dalam hal ini, intervensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik. 2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya. Dimana masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu : 1. Rendahnya kualitas sarana fisik Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 6 2. Rendahnya kualitas guru Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan. Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality). Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. 2.1.4 Rendahnya Kesejahteraan Guru Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 7 melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen. 2.1.5 Rendahnya prestasi siswa Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS : 2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney : 1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement ) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 8 Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-RepeatTIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75. 2.1.6 Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut. 2.1.7 Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masingmasing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. 2.1.8 Mahalnya biaya pendidikan Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 9 Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen. Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN. Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 10 pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin. Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negaranegara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan. 2.2 Kompetensi Guru Untuk meningkatkan profesionalisme guru di Indonesia, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang di dalamnya mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan profesi guru, diantaranya adalah berkenaan dengan kualifikasi, kompetensi, sertifikasi dan remunerasi guru. Berkenaan dengan kompetensi guru, dalam UndangUndang tersebut dikemukakan empat jenis kompetensi yang harus dikuasai guru yaitu : Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 11 1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; b. pemahaman terhadap peserta didik; c. pengembangan kurikulum/silabus; d. perancangan pembelajaran; e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; f. evaluasi hasil belajar; dan g. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang : a. mantap; b. stabil; c. dewasa; d. arif dan bijaksana; e. berwibawa; f. berakhlak mulia; g. menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; h. mengevaluasi kinerja sendiri; dan i. 3. mengembangkan diri secara berkelanjutan. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : a. berkomunikasi lisan dan tulisan; b. menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; c. bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan d. bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: a. konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/ koheren dengan materi ajar; b. materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; c. hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; d. penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 12 e. kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional, Sementara itu, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Sudrajad (2006) mengemukakan tiga jenis kompetensi yang seyogyanya dimiliki guru, yaitu : 1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, dapat memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya. 2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan peserta didik, sesama guru, maupun masyarakat luas. 3. Kompetensi personal; memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Dengan jumlah yang berbeda namun esensinya sama, Moh. Surya (Sudrajad : 2006) mengetengahkan lima jenis kompetensi guru, meliputi : 1. Kompetensi profesional, yaitu berbagai kemampuan yang diperlukan untuk dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional . Kompetensi profesional meliputi aspek kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya, dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya. 2. Kompetensi sosial, yaitu kemampuan yang diperlukan oleh seorang guru agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial. 3. Kompetensi personal, yaitu kualitas kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. 4. Kompetensi intelektual, yaitu penguasaan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tugasnya sebagai guru. 5. Kompetensi spiritual, yaitu kualitas keimanan dan ketaqwaan sebagai seorang yang beragama. Sudrajad (2006) juga menambahkan dari National Board for Profesional Teaching Skill (NBPTS) merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, di dalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu: 1. Teachers are Committed to Students and Their Learning : a. Penghargaan guru terhadap perbedaan individual peserta didik. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 13 b. Pemahaman guru tentang perkembangan belajar peserta didik. c. Perlakuan guru terhadap seluruh peserta didik secara adil, dan d. Misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir peserta didik. 2. Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students : a. Apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain. b. Kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran, c. Mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path). 3. Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning : a. Penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran. b. Menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok ( group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan peserta didik. c. Menilai kemajuan peserta didik secara teratur, dan d. Kesadaran akan tujuan utama pembelajaran. 4. Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience : a. Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik. b. Guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran. 5. Teachers are Members of Learning Communities: a. Guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya. b. Guru bekerja sama dengan tua orang peserta didik. c. Guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat. Mengutip pemikiran Davis dan Margareth A. Thomas dalam bukunya Effective Schools and Effective Teachers, Sudrajad (2006) memaparkan tentang beberapa kemampuan guru yang mencerminkan guru yang efektif, yaitu mencakup : 1. Kemampuan yang terkait dengan iklim kelas, seperti : a. Memiliki kemampuan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada peserta didik, dan ketulusan. b. Memiliki hubungan baik dengan peserta didik c. Secara tulus menerima dan memperhatikan peserta didik. d. Menunjukkan minat dan enthusias yang tinggi dalam mengajar. e. Mampu menciptakan atmosfer untuk bekerja sama dan kohesivitas dalam kelompok. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 14 f. Melibatkan peserta didik dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran. g. Mampu mendengarkan peserta didik dan menghargai hak peserta didik untuk berbicara dalam setiap diskusi; dan h. Meminimalkan friksi-friksi di kelas jika ada. 2. Kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen, seperti: a. Memiliki kemampuan secara rutin untuk mengahadapi peserta didik yang tidak memiliki perhatian, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi dalam mengajar. b. Mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berfikir yang berbeda. 3. Kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik dan penguatan ( reinforcement), yaitu : a. Mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon peserta didik. b. Mampu memberikan respon yang membantu kepada peserta didik yang lamban belajar. c. Mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban yang kurang memuaskan. d. Mampu memberikan bantuan kepada peserta didik yang diperlukan. 4. Kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, antara lain: a. Mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif. b. Mampu memperluas dan menambah pengetahuan metode-metode pengajaran. c. Mampu memanfaatkan perencanaan kelompok guru untuk menciptakan metode pengajaran. Sanaky (2006) dalam jurnalnya menulis bahwa kompetensi guru di Indonesia adalah kenyataan yang sangat menyedihkan. Hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Katakan saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar disekolah. Dari sini kemudian diklarifikasi lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962 guru SMK. Berikutnya, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidangnya. Kemudian hal lain adalah, fakta menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17.2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM guru kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index. Apabila data ini valid, maka cukup mencengankan kita yang bergelut dalam dunia pendidikan selama ini. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 15 Sebenarnya banyak cara yang dapat ditempuh dalam meningkatkan kompetensi guru, baik melalui pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan lanjut. Namun kedua cara ini belum memberikan hasil yang optimal. Untuk itu, cara yang perlu dilakukan adalah sosialisasi berbagai program pengembangan pendidikan, termasuk pengembangan kurikulum harus menjadi prioritas. Sebab kelambanan dan kekurang jelasan sosialisasi program juga berakibat lemahnya kegiatan pembelajaran. Disamping itu, juga terjadi adanya pelaksanaan kurikulum secara sendiri-sendiri, berdasarkan persepsinya masing-masing, tanpa didasarkan pada kajian teoritis dan praktis secara lebih mendalam. Untuk itu, sosialisasi program pendidikan kepada guru harus menyangkut semua perangkat yang diperlukan dalam pembelajaran. 2.3 Profesionalisme Dan Sertifikasi Guru Dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini dan merujuk UU Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005, harkat dan martabat guru mendapat apresiasi yang bermakna. Dalam UU itu diatur tentang penghargaan guru baik dalam segi profesional maupun finansial, serta perlindungan hukum dan keselamatan dalam melaksanakan tugasnya. Guru profesional akan menjadi dambaan, harapan sekaligus kewajiban bagi semua komponen pendidikan baik dari tingkat dasar sampai atas. Dijadikannya status pekerjaan guru sebagai profesi oleh pemerintah, sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap kondisi dan keberadaan guru yang dalam rentang waktu panjang kurang mendapat perhatian yang semestinya. Profesional itu sendiri adalah kata yang sangat menyanjung setiap penyandangnya. Mereka yang tersematkan kata itu, tentu akan menyesuaikan dan intropeksi diri mereka: sudah pantaskah menyandang gelar seperti itu. Selain mampu melaksanakan tugas dengan benar sesuai jabatan mereka, juga harus menguasai ilmu yang mereka tekuni dengan baik dan benar. Contoh pekerjaan profesi dapat kita lihat pada dokter, manager, banker, bisnisman, pengacara, jaksa, hakim, wartawan dan lain-lain. Semua pekerjaan profesi itu merupakan gambaran terhadap profesi guru yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai bagian dari mereka. Perlu juga dilihat di sini adalah salah satu unsur yang tertera dengan jelas, yaitu sumber penghasilan. Sumber penghasilan itu diterangkan pada ulasan UU Guru dan Dosen, bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (PP No. 19 Tahun 2005). Jadi jelas, guru profesional itu dituntut untuk memenuhi persyaratan kompetensi keilmuan, kreatif dan produktif, berkomunikasi dengan baik, menjaga etika dan moral serta melakukan pengembangan terus menerus (continues improvement). Dalam pengembangan itu, guru profesional diharuskan tidak berdasarkan pada knowledge based semata. Tetapi lebih Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 16 terfokus, atau berdasarkan competensy based. Untuk menunjang pengembangan kompetensi itu, peranan media informasi seperti internet, suratkabar, buku, seminar dan sebagainya menjadi acuan yang sangat bermakna. Sesuai aturan yang baku itu, sebenarnya menuju guru profesional tidak segampang membalik telapak tangan. Perjuangan dalam proses belajar pembelajaran, menjadi taruhan cukup berat untuk menuju penghargaan mulia tersebut. Kita sebagai guru yang selama bertahun-tahun mengajar selalu disodori hal baru dari aturan pendidikan itu sendiri. Kurikulum yang terus mengalami perubahan setiap sekitar lima tahunan, mengharuskan kita untuk bisa mengikuti iramanya. Dengan melihat sistem pembelajaran yang berbasis kompetensi, jelas keberadaan guru sekarang tidak sekadar sebagai pengajar (teacher). Tetapi dituntut juga sebagi juri (coach) sekaligus sebagai pembimbing (conselor) terhadap anak didik dalam proses belajar mengajar. Oleh karenanya, kegiatan proses belajar-pembelajaran pada model Kompetensi Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP), peran aktif siswa dalam menemukan gagasan, jawaban dan memaparkan (explore) ide mereka selama belajar menjadi tujuan utama. Bukan lagi guru yang berperan aktif, seperti penerapan kurikulum sebelumnya. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah, bisakah kita mengubah 100 persen image dan kebiasaan merecoki siswa menjadi seorang mediator, wasit atau pembimbing pada proses belajar-mengajar?. Dengan melihat proses ruang lingkup pendidikan di atas serta ditetapkannya pekerjaan guru sebagai profesi, maka langkah guru selanjutnya adalah dihadapkan adanya persyaratan untuk menilai kinerjanya selama mereka mengajar dalam bentuk portofolio. Bagi guru yang sekadar mengajar serta tidak memedulikan instrumen pendidikan, mungkin akan kaget pada persyaratan yang diberikan. Tapi bagi guru yang aktif bahwa mengajar sebagai dunianya, mereka akan santai menyambutnya. Dalam portofolio, guru wajib memaparkan berbagai komponen pendidikan yang harus mereka sebutkan. Selain kualifikasi akademik, pelatihan, pengalaman mengajar, prestasi akademik, RPP, pengalaman berorganisasi dan lain-lain. Sebagai syarat mendapatkan sertifikat seorang pendidik, ada satu komponen dalam portofolio yang perlu perhatian serius yaitu pengembangan profesi. Dalam pengembangan profesi, guru didorong aktif memberi gagasan baru dalam bentuk karya tulis baik berupa buku maupun artikel yang memikirkan perbaikan pendidikan di negeri ini. Mengapa dikatakan serius? Karena, untuk menunjang proses belajar mengajar serta menjadi guru yang produktif, seorang guru harus mengembangkan pemikiran mereka dengan cara salah satunya adalah menulis. Menulis perlu wawasan, pengetahuan juga harus mengetahui perkembangan informasi yang terus mengglobal. Di sinilah peran media massa sebagai sumber yang paling pokok ketika kita ingin mengetahui segala hal, tak terkecuali masalah perkembangan dunia pendidikan. Bagi guru sendiri Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 17 tertera dengan jelas, seorang guru harus dan selalu melakukan penggalian potensinya secara terus menerus sesuai kondisi pendidikan di masa sekarang. Mungkin sebaiknya guru atau lembaga Dinas Pendidikan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak media massa yaitu melatih guru dalah hal menulis. Selain sebagai persyaratan mendapatkan sertifikasi guru, dengan diadakanya kerja sama itu, maka potensi guru dalam mengembangkan gagasannya mengenai dunia pendidikan tidak akan mengecewakan. Bahkan, akan sangat berguna untuk menunjang kemajuan pengetahuan guru dan dunia pendidikan . Dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009 disebutkan tentang profesionalisme guru, yaitu “Pengembangan guru sebagai profesi ; merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil uji kompetensi. Sesuai dengan usaha dan prestasinya guru akan memperoleh imbal jasa, insentif, dan penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik akan dikembangkan baik untuk calon guru ( pre service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in service). Standar profesi guru akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan”. Mengacu pada peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) No 18 tahun 2007, dalam empat kompetensi guru profesional, ada 10 komponen portofolio yang harus dipenuhi seorang guru untuk lulus sertifikasi. Komponen portofolio itu adalah (1) kualifikasi akademis; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) pengalaman mengajar; (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; (5) penilaian dari atasan dan pengawas; (6) prestasi akademik; (7) karya pengembangan profesi; (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah; (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang kependidikan. Masingmasing komponen tersebut harus dibuktikan dengan dokumen atau bukti fisik, misalnya ijazah, sertifikat, piagam penghargaan, surat keputusan, atau karya cipta. Maka, tidaklah mengherankan, jika para guru, baik guru yang telah mengabdi sudah lama maupun guru yang baru diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS), bahkan calon guru atau guru yang sedang mengabdi dengan status honorer, sudah kasak-kusuk mengumpulkan berkas-berkas, seperti sertifikat pelatihan, sertifikat seminar, hingga SK kepanitiaan dan kepengurusan organisasi untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang guru yang profesional. Jumlah poin yang harus dipenuhi melalui portofolioa berupa sertifikat ini sehingga seorang guru lulus sertifikasi minimal 850. Jumlah itu dipenuhi dengan susah payah karena nilai satu sertifikat sangat kecil. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 18 2.3.1 Motivasi Ekonomi Usaha para guru untuk memenuhi 10 kompetensi yang dijadikan syarat lulus sertifikasi itu didasari pencapaian kualitas diri, dalam hal ini sistem pengajaran dan bisa juga untuk menjadi seorang guru yang berpenghasilan tinggi. Kekhawatiran terhadap motif ekonomi ini bisa terjadi dan boleh disebut sangat besar. Dengan penghasilan dua kali lipat yang diterima sekarang, setelah menjadi guru profesional seorang guru bisa menjadi kaya. Kondisi ini menjadi motifasi bahwa semua orang pasti akan berbondong-bondong meraih gelar guru profesional. Terutama bagi mereka yang sudah merasa cukup lama mengabdikan diri sebagai seorang guru. Motivasi untuk menjadi guru profesional itu bisa saja menjadi magnet bagi lulusan SMA untuk menjadi guru. Pilihan profesi guru pernah menjadi pilihan kesekian di antara berbagai profesi. Kalau motivasi ekonomi yang menggerakkan para guru mengikuti uji sertifikasi, maka akan memungkinkan terjadi kecurangan dalam proses pemenuhan 10 kompetensi. Sebut saja, penggandaan sertifikat seminar dan pelatihan dari rekan seprofesi, atau pembuatan surat keputusan (SK) kepengurusan dan kepanitiaan palsu. Jika ini benar-benar terjadi, maka secara tidak langsung, kita telah menggadaikan profesi guru yang dikenal sangat mulia. 2.3.2 Guru Kaya Guru kaya dalam arti sempit adalah guru yang memiliki harta kekayaan cukup banyak. Hidup sejahtera dan jauh dari kekurangan secara ekonomi. Kita umpamakan, bak orang kayalah. Tidak seperti predikat yang melekat pada seorang guru selama ini, diidentikkan dengan kemiskinan, atau profesi yang dipilih karena tidak ada kegiatan lain. Jika profesi guru hanya dipandang sebagai sebuah pekerjaan dan jabatan, boleh jadi pengertiannya akan mengarah ke situ. Namun, jika menukil makna guru kaya oleh Ali bin Abi Thalib, maknanya akan menjadi lain. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "guru kaya adalah guru yang senantiasa mementingkan ilmu dari pada harta, karena ilmu akan menjagamu sedangkan harta malah engkau yang akan menjaganya." Guru kaya dalam imajinasi Poule Fraire adalah guru yang mengajar dengan menegakkan humanisasi dan realitas diri peserta didik. Jika kita mengurainya, guru kaya merupakan orang yang tidak hanya memandang keberadaannya sebagai sebuah jabatan dan tidak memandang pengajarannya sebatas tuntutan pekerjaan. Ia memiliki tabungan kebaikan yang melimpah, menjadikan profesinya sebagai investasi jangka panjang, yang penilaiannya bukan dari banyaknya harta yang dikumpulkan, melainkan dari banyaknya ilmu yang diberikan dan dimanfaatkan bagi kebaikan-kebaikan generasi mendatang. Meminjam istilah Amir Tengku Ramly, menjadi guru kaya sesungguhnya adalah kemampuan untuk fokus pada jalur pendidikan yang telah menjadi pilihan, menjadikan guru sebagai profesi dan karier masa depan, mengubah cara pandang pengajaran, membangun Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 19 hubungan sinergitas dengan siswa, memberdayakan kekuatan hati ( feeling) untuk memperoleh sumber ilmu hakiki dan berhimpun sebagai tim yang saling bersinergi dalam asosiasi guru kaya. Pilihan menjadi seorang guru kaya dalam pengertian memiliki penghasilan tinggi, sah-sah saja dan bukan sebuah larangan. Sejahtera adalah kebutuhan. Karena untuk meraih kehidupan yang cukup, perlu dukungan finansial memadai. Namun, satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah visi dan misi pribadi sebagai seorang pengajar dan pendidik sejati. Kita renungkan penggalan lagu Hymne Guru, "Engkau bagaikan pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa”. 2.4 Guru Sebagai Profesi 2.4.1 Karakteristik kerja guru Semua di antara kita sudah sangat akrab dengan guru, baik sering berhubungan, membawahi ataupun jadi guru sendiri. Tetapi, berapa banyak di antara kita yang pernah merenungkan sesungguhnya bagaimana kerja guru itu? Pemahaman akan hakekat kerja guru ini sangat penting sebagai landasan dalam mengembangkan program pembinaan dan pengembangan guru. Kalau direnungkan secara mendalam, maka kita akan dapat menemukan beberapa karakteristik kerja guru, antara lain: 1. Pekerjaan guru adalah pekerjoan yang bersifat individualistis non colaboratif. 2. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang dilakukan dalam ruang yang terisolir dan menyerap seluruh waktu. 3. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang kemungkinan terjadinya kontak akademis antar guru rendah. 4. Pekerjaan guru tidak pernah mendapatkan umpan balik. 5. Pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di ruang kelas. Marilah kita bicarakan satu persatu karakteristik guru di atas. Karakteristik pertama, pekerjaan guru bersifat individualistis non colaboratif, memiliki arti bahwa guru dalam melaksanakan tugas-tugas pengajarannya memiliki tanggung jawab secara individual, tidak mungkin dikaitkan dengan tanggung jawab orang lain. Pekerjaan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar dari waktu ke waktu dihadapkan pada pengambilan keputusan dan melakukan tindakan. Dalam pengambilan keputusan dan tindakan itu harus dilaksanakan oleh guru secara mandiri. Sebagai contoh, di tengah proses belajar mengajar berlangsung terdapat siswa yang tertidur sehingga siswa yang lain berisik. Guru harus mengambil keputusan dan menentukan tindakan saat itu, dan tidak mungkin meminta pertimbangan teman guru yang lain. Oleh karena itulah, wawasan dan kecermatan sangat penting bagi seorang guru. Karakteristik kedua, pekerjaan guru adalah pekerjaan yang dilakukan dalam ruang yang terisolir dan menyerap seluruh waktu. Hal ini sudah diketahui bersama, bahwa hampir seluruh Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 20 waktu guru dihabiskan di ruang-ruang kelas bersama para siswanya. Implikasi dari hal ini adalah bahwa keberhasilan kerja guru tidak hanya ditentukan oleh kemampuan akademik, tetapi juga oleh motivasi dan dedikasi guru untuk terus dapat hidup dan menghidupkan suasana kelas. Karakteristik ketiga, pekerjaan guru adalah pekerjaan yang kemungkinan terjadinya kontak akademis antar guru rendah. Bisa dicermati, setiap hari berapa lama guru bisa berinteraksi dengan sejawat guru. Dalam interaksi ini apa yang paling banyak dibicarakan. Banyak bukti menunjukkan bahwa interaksi akademik antar guru sangat rendah. Kalau dokter ketemu dokter yang paling banyak dibicarakan adalah tentang penyakit, penemuan teknik baru dalam pengobatan. Kalau insinyur ketemu insinyur, yang dibicarakan adalah adanya teknik baru dalam membangun jembatan, penemuan untuk meningkatkan daya bangunan air, dan sebagainya. Tetapi apabila guru ketemu guru, apa yang dibicarakan? Rendahnya kontak akademik guru ini di samping dikarenakan soal waktu guru yang habis diserap di ruang-ruang kelas, kemungkinan juga karena kejenuhan guru berinteraksi akademik dengan para siswanya. Karakteristik keempat, pekerjaan guru tidak pernah mendapatkan umpan balik. Umpan balik adalah informasi baik berupa komentar ataupun kritik atas apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan proses belajar mengajar, yang diterima oleh guru. Berdasarkan umpan balik inilah guru akan dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas proses belajar mengajarnya. Muncul pertanyaan, kalau guru tidak pernah mendapatkan umpan balik, bagaimana guru dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pengajarannya? Karakteristik kelima, pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di ruang kelas. Waktu kerja guru tidak terbatas hanya di ruang-ruang kelas saja. Dalam banyak hal, justru waktu guru untuk mempersiapkan proses belajar mengajar di ruang kelas lebih lama. Berkaitan dengan padatnya waktu guru itu, muncul pertanyaan kapankah guru dapat merenungkan melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan bagi para siswanya? Di samping karakteristik pekerjaan guru, karakteristik disiplin ilmu pengetahuan sangat penting artinya untuk difahami, khususnya oleh guru sendiri. Sebab, guru harus menjiwai disiplin ilmu yang harus diajarkan. Di Amerika Serikat, misalnya, kalau ada konferensi guru-guru, orang akan segera dapat membedakan guru berdasarkan disiplin ilmu yang diajarkan: mana guru matematik dan mana guru ilmu sosial. Namun realitas menunjukkan bahwa kualitas guru belum sebagaimana yang diharapkan. Berbagai usaha yang serius dan sungguh-sungguh serta terencana harus secara terus menerus dilakukan dalam pengembangan kualitas guru. Berdasarkan karakteristik kerja guru sebagaimana dikemukakan di atas, berbagai cara pembinaan guru telah dilaksanakan. Teknik pembinaan yang telah dikembangkan dan diterapkan adalah dengan sistem PKG. Di samping itu, telah dikembangkan pula MGMP dan SKG. Untuk Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 21 meningkatkan dan memperdalam penguasaan materi telah dilaksanakan pula Kursus Pendalaman Materi (KPM), dan untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi telah dilatihkan pemanfaatan komputer dalam pengajaran matematika. 2.4.2 Tantangan Dan Kendala Profesi Guru Proses globalisasi merupakan keharusan sejarah yang tidak mungkin dihindari, dengan segala berkah dan mudhoratnya. Bangsa dan negara akan dapat memasuki era globalisasi dengan tegar apabila memiliki pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan, terutama ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas. Dalam proses belajar mengajar tersebut guru memegang peran yang penting. Guru adalah kreator proses belajar mengajar. la adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi anak didik. Kebesaran jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembaagan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Tugas utama guru adalah mengembangkan potensi siswa secara maksimal lewat penyajian mata pelajaran. Setiap mata pelajaran, dibalik materi yang dapat disajikan secara jelas, memiliki nilai dan karakteristik tertentu yang mendasari materi itu sendiri. Oleh karena itu, pada hakekatnya setiap guru dalam menyampaikan suatu mata pelajaran harus menyadari sepenuhnya bahwa seiring menyampaikan materi pelajaran, ia harus pula mengembangkan watak dan sifat yang mendasari dalam mata pelajaran itu sendiri. Materi pelajaran dan aplikasi nitai-nilai terkandung dalam mata pelajaran tersebut senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Agar guru senantiasa dapat menyesuaikan dan mengarahkan perkembangan, maka guru harus memperbaharui dan meningkatkan ilmu pengetahuan yang dipelajari secara terus menerus. Dengan kata lain, diperlukan adanya pembinaan yang sistematis dan terencana bagi para guru. 2.5 Globalisasi Mengubah Dunia Globalisasi merupakan suatu keniscayaan bagi semua bangsa. Bangsa Indonesia sudah mulai merasakan bagaimana manis dan pahitnya terbawa arus globalisasi. Gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto tidak lepas dari berkah reformasi. Sebaliknya, merebaknya kejahatan dan pornografi, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari rasa pahit globalisasi. Globalisasi akan membawa perubahan yang mencakup hampir semua aspek kehidupan, termasuk bidang teknologi, ekonomi dan sosial politik. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 22 2.5.1 Kecenderungan perkembangan teknologi Perkembangan teknologi pada akhir abad XX ini berlangsung sangat cepat, terutama bertumpu pada tiga bidang: bio-teknologi, material science atau teknologi bahan dan teknologi Elektronika dan Komputer. Perkembangan bio-teknologi telah mempengaruhi berbagai jenis produk, seperti bidang kesehatan dan obat-obatan dan bahan makan. Temuan-temuan bioteknologi akan menghasilkan berbagai produk sinthesis. Di bidang ilmu bahan, telah memungkinkan diciptakannya berbagai bahan konstruksi yang tidak perlu merusak lingkungan, karena bukan barang tambang. Temuan yang akan memiliki dampak tidak kalah pentingnya adalah di bidang elektronika. Temuan di bidang ini melahirkan berbagai produk teknologi komunikasi, robot, dan laser. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi memungkinkan transaksi business lewat kaca komputer, sedangkan pengembangan robot memungkinkan lahirnya tenaga kerja robot untuk dunia industri. Kecermatan dan disiplin kerja robot sudah barang tentu akan melebihi kemampuan tenaga kerja manusia. Perkembangan bidang komputer telah memungkinkan dimanfaatkan dalam berbagai produk, seperti pilot automatics pada pesawat terbang, menjadikan rancang bangun produk semakin cepat dan cermat, memudahkan pelayanan jasa transportasi dan berbankan. Temuan-temuan di produk laser menghasilkan kemajuan di bidang ilmu kedokteran. Berbagai operasi akan dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan sinar laser. Perkembangan laser juga merupakan fondasi untuk perkembangan teknologi komunikasi lebih lanjut. Temuan-temuan bidang teknologi akan terus berkembang karena adanya sifat saling mengkait antara temuan satu dengan temuan yang lain. Temuan di bidang bio-teknologi dikombinasikan dengan bidang material science akan mampu menghasilkan "bahan yang canggih". Bahan ini dikembangkan pada level "moleculer". Hasilnya, produk bahan baru ini akan lebih ringan, lebih kecil, lebih kuat dan lebih fleksibel, sehingga dapat digunakan sebagaimana yang diinginkan. Kombinasi ternuan bio-teknologi dan material science juga akan mempercepat perkembangan bidang komputer, dengan diketemukannya, produk sumber padat energi tinggi. Produksi-produksi elektronika memerlukan energi. Tanpa diketemukan produk sumber energi, pekembangan produk elekttronika akan terhambat. Sebaliknya, ternuan produk sumber energi yang lebih padat dan lebih tinggi kekuatannya, maka perkembangan produksi elektronika akan semakin meningkat. Temuan chip komputer akan memungkinkan seseorang membawa komputer dalam saku bajunya. Komputer tersebut sangat interaktif dan wireless. Multi fungsi terdapat dalam komputer, sebagai alat telepon, fax dan penyimpan data. Di samping itu, perkembangan industri komputer akan melahirkan "Edutainment", yakni pendidikan yang menjadi hiburan dan hiburan yang merupakan pendidikan. Dengan "Edutainment" proses pendidikan akan semakin menarik dan menghasilkan lulusan yang semakin berkualitas. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 23 2.5.2 Kecenderungan perkembangan bidang ekonomi. Keberhasilan revolusi di bidang pertanian pada akhir abad XX telah mengurangi ketergantungan bangsa-bangsa Asia akan bahan makan dari luar negeri dan bahkan pada awal abad XXI ketergantungan tersebut akan dapat dihilangkan sama sekali. Sudah barang tentu hai ini akan meningkatkan kemampuan ekonomi nasional, khususnya neraca pembayaran. Seiring dengan proses revolusi hijau, bangsa-bangsa di Asia, khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara telah memulai proses industrialisasi. Di penghujung abad XX dan memasuki abad XXI, bangsa-bangsa di Asia sedang mempercepat revolusi industri dalam jangka waktu 50 tahun yang di negara-negara Barat revolusi ini berlangsung selama 200 tahun. Pada awal abad XXI, enam dari sepuluh besar negara-negara dengan GDP tertinggi akan diduduki oleh negara-negara di Asia: China, Jepang, India, Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand. Pertumbuhan pesat yang mungkin dapat disebut sebagai keajaiban ataupun keanehan, disebabkan oleh; a) kemampuan dalam mengelola sumber daya manusia, b) kerja keras penduduknya, baik dari kalangan buruh, pengusaha, ataupun pejabat pemerintah, c) orientasi achievement ekonomi di kalangan politikus, dan, d) kemampuan memobilisasi investasi. Pada tahun-tahun mendatang, pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia akan berlangsung sekitar 6 sampai dengan 10 persen per tahun, sebaliknya negara-negara lain hanya mampu tumbuh rata-rata sekitar 2 persen. Kecenderungan pertumbuhan ini merupakan daya tarik bagi para penanam modal asing. Sifat spiralitas akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia tersebut di atas akan semakin tinggi. Perkembangan bidang bio-teknologi akan berdampak pada bidang ekonomi. Kemajuan teknologi akan meningkatkan kemampuan produktivitas dunia industri baik dari aspek teknologi industri maupun pada aspek jenis produksi. Investasi dan reinvestasi yang berlangsung secara besar-besaran yang akan semakin meningkatkan produktivitas dunia ekonomi. Di masa depan, dampak perkembangan teknologi di dunia industri akan semakin penting. Tanda-tanda telah menunjukkan bahwa akan segera muncul teknologi bisnis yang memungkinkan konsumen secara individual melakukan kontak langsung dengan pabrik sehingga pelayanan dapat dilaksanakan secara langsung dan selera individu dapat dipenuhi, dan yang lebih penting konsumen tidak perlu pergi ke toko. Namun, di sisi lain kemajuan di bidang teknologi menyebabkan juga dunia industri tidak memerlukan tenaga kerja sebanyak pada masa sebelumnya. Hasilnya, penyerapan tenaga kerja tidak sebagaimana yang diharapkan. Kecenderungan perkembangan teknologi dan ekonomi, akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan. Kualifikasi tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan akan mengalami perubahan yang cepat. Akibatnya, pendidikan yang diperlukan adalah pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja yang mampu mentransformasikan pengetahuan dan skill sesuai dengan tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 24 berubah tersebut. 2.5.3 Kecenderungan perkembangan bidang sosial politik Kemajuan di bidang teknologi yang diiringi dengan kemajuan di bidang ekonomi memiliki dampak sosio-politik dan kultural masyarakat. Kemajuan teknologi di bidang kedokteran dan kemajuaan ekonomi mampu menjadikan produk kedokteran menjadi komoditi, dan akan menyebabkan perubahan besar di bidang demografi. Angkatan kerja muda di Indonesia dan di negara-negara Asia pada urnumnya mendominasi bagian penduduk. Mereka menguasai pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengoperasikan teknologi yang modern. Hal ini merupakan hasil dari keberhasilan di bidang pendidikan yang dapat memberikan kesempatan penduduk usia sekolah untuk mengikuti pendidikan formal. Angka partisipasi pendidikan di kawasan Asia sangat tinggi. Di bidang kesehatan kemajuan yang dicapai tidak kalah dengan bidang pendidikan. Perluasan fasilitas kesehatan sudah sampai pelosok desa, sehingga tingkat kesehatan penduduk meningkat, di samping angka pertumbuhan penduduk dan kematian bayi dan anak merosot tajam. Dibandingkan dengan negaranegara Asia lain, angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi. Tetapi, diramalkan pada awal abad XXI angka tersebut turun dengan drastis. Dengan nutrisi dan kesehatan yang semakin baik, tenaga kerja Indonesia akan semakin mampu bersaing di pasar internasional, mampu memanfaatkan sistem ekonomi dan politik modern, dan menjadi tentara yang mampu mengoperasionalkan persenjataan canggih. Stabilitas politik telah dinikmati oleh sebagian besar negara-negara Asia, khususnya di Asia Timur dan Tenggara, dan lebih khusus lagi di Indonesia. Sistem pemerintahan di negaranegara sering disebut "soft authoritarian", di mana hak-hak asasi, perumahan, makan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan jaminan keselamatan dapat dipenuhi, tetapi kebebasan politik dibatasi. Memang, beberapa negara di Asia masih melaksanakan pemerintahan yang bersifat otoriter, seperti Myanmar. Pertumbuhan teknologi dan ekonomi di kawasan ini akan mendorong munculnya kelas menengah baru. Kemampuan, keterampilan serta gaya hidup mereka sudah tidak banyak berbeda dengan kelas menengah di negara-negera Barat. Dapat diramalkan, kelas menengah baru ini akan menjadi pelopor untuk menuntut kebebasan politik dan kebebasan berpendapat yang lebih besar. Perubahan politik di negara-negara Asia, ditunjukkan oleh adanya proses regenerasi kepemimpinan. Kepemimpinan generasi pertama negara-negara Asia modern, seperti Sukarno dan Nehru, sudah diganti dengan generasi kedua atau bahkan generasi ketiga. Seperti di Jepang dari generasi Yoshida, sudah diganti dengan generasi kedua, Kiichi Miyazawa dan generasi ketiga Ryutaro Hashimoto. Demikian pula, Korea Selatan, dari generasi pertama, Syngman Rhee telah diganti genersi kedua, Chun Doo Hwan dan diganti generasi ketiga Kim Yung Sam. Sudah barang Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 25 tentu peralihan generasi kepemimpinan ini akan berdampak dalam gaya dan substtansi politik yang diterapkan. Nafas kebebasan dan persamaan semakin kental. Di bidang politik internasional, juga terdapat kecenderungan tumbuh berkembangnya regionalisme. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi telah menghasilkan kesadaran regionalisme. Ditambah dengan kemajuan di bidang teknologi transportasi telah menyebabkan meningkatnya kesadaran tersebut. Kesadaran itu akan terujud dalam bidang kerjasama ekonomi, sehingga regionalisme akan melahirkan kekuatan ekonomi baru. 2.5.4 Kecenderungan perkembangan bidang kultural Secara umum, abad XXI akan ditandai dengan munculnya kekuatan ras dan budaya baru. Bangsa-bangsa Asia tidak lagi sebagai warga yang harus taat pada hukum internasional Barat yang didominasi oleh tradisi Judeo-Christian, tetapi mereka juga menuntut untuk ikut menyusun hukum itu, yang dijiwai oleh Hindu, Budha, confusianisme dan Islam. Kedua tradisi tersebut, Barat dan Asia, di samping persamaan juga memiliki perbedaan yang tajam. Tradisi Barat lebih bersifat logis dan analitis, sedangkan tradisi Asia lebih bersifat intuitif dan seringkali emosional. Tradisi Barat menekankan hak-hak, sedangkan tradisi Asia lebih menekankan kewajiban. Tradisi Barat lebih menekankan pada individu, di Asia menekankan masyarakat. Di Barat keputusan diambil dengan voting, di Asia dengan musyawarah. Kemajuan ekonomi di negara-negara Asia melahirkan fenomena yang menarik. Perkembangan dan kemajuan ekonomi telah meningkatkan rasa percaya diri dan ketahanan diri sebagai suatu bangsa akan semakin kokoh. Bangsa-bangsa Barat tidak lagi dapat melecehkan bangsa-bangsa Asia. Kekuatan baru negara-negara Asia akan mematahkan dominasi Barat di dunia intemasional. Malahan John Naisbitt dalam MegaTrend Asia, meramalkan perkembangan yang terjadi di negara-negara Asia merupakan perkembangan yang penting di dunia. Dampaknya tidak saja bagi bangsa Asia, tetapi juga bagi seluruh penghuni planet ini. Proses modernisasi yang berlangsung di Asia akan mempengaruhi perkembangan dunia pada abad XXI. Perkembangan yang cepat di bidang teknologi, diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak kalah cepatnya akan berdampak pada aspek kultural dan nilai-nilai suatu bangsa. Tekanan, kompetisi yang tajam di pelbagai aspek kehidupan sebagai konsekuensi globalisasi, akan melahirkan generasi yang disiplin, tekun dan pekerja keras. Namun, di sisi lain, kompetisi yang ketat pada era globalisasi akan juga melahirkan generasi yang secara moral mengalami kemerosotan: konsumtif, boros dan memiliki jalan pintas yang bermental "instant". Dengan kata lain, kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi, khususnya pada dua dasawarsa terakhir ini, telah mengakibatkan kemerosotan moral di kalangan warga masyarakat, khususnya di kalangan remaja dan pelajar. Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu menekankan pada upaya Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 26 pemenuhan berbagai keinginan material, telah menyebabkan sebagian warga masyarakat menjadi "kaya dalam materi tetapi rmskin dalam rohani". Di dunia pendidikan, globalisasi akan mendatangkan kemajuan yang sangat cepat, yakni munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber ilmu dan pusat pendidikan. Dampak dari hal ini adalah guru bukannya satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Hasilnya, para siswa bisa menguasai pengetahuan yang belum dikuasai oleh guru. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada era globalisasi ini, wibawa guru khususnya dan orang tua pada umumnya di mata siswa merosot. Kemerosotan wibawa orang tua dan guru dikombinasikan dengan semakin lemahnya kewibawaan tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, seperti gotong royong dan tolongmenolong telah melemahkan kekuatan-kekuatan sentripetal yang berperan penting dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibat lanjut bisa dilihat bersama, kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja dan pelajar semakin meningkat dalam berbagai bentuknya, seperti perkelahian, corat-coret, pelanggaran lalu lintas sampai tindak kejahatan. Di sisi lain, pengaruh-pengaruh pendidikan yang mengembangkan kemampuan untuk mengendalikan diri, kesabaran, rasa tanggung jawab, solidaritas sosial, memelihara lingkungan baik sosial maupun fisik, hormat kepada orang tua, dan rasa keberagamaan yang dijudkan dalam kehidupan bermasyarakat, justru semakin melemah. Para pendidik, khususnya para guru, lebih khusus lagi para pendidik dan guru yang berkecimpung pada sekolah keagamaan atau sekolah yang dikelola oleh Organisasi Keagamaan, harus mengambil perhatian masalah ini dan mencari cara-cara pemecahannya. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 27 BAB III PEMECAHAN MASALAH 3.1 Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan Di Indonesia Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu: 1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. 2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya. Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang ber-SDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat. 3.2 Mempersiapkan Guru Untuk Masa Depan Sungguhpun sudah begitu banyak upaya dan kegiatan untuk meningkatkan mutu guru, hasil-hasil evaluasi tahap akhir siswa menunjukkan bahwa nilai mereka belum mengalami kenaikan yang berarti. Kalau kita menggunakan pola pikir linier: Penataran Guru ---» Mutu Guru Meningkat ---» Kualitas Kerja Guru Meningkat ---» Mutu Siswa Meningkat Sudah barang tentu dapat disimpulkan bahwa penataran yang telah dilaksanakan telah berhasil meningkatkan mutu guru, tetapi belum berhasil meningkatkan mutu kerja guru, sehingga Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 28 mutu siswa belum meningkat. Barangkali dilihat dari semboyan PKG: Dari Guru-Oleh Guru-Untuk Guru, tujuan PKG sudah dicapai. Mungkin semboyannya perlu diubah, menjadi: Dari Guru, Oleh Guru, Untuk Guru dan Siswa. Mengapa mutu guru telah berhasil ditingkatkan tetapi kemampuan kerja guru belum meningkat? Salah satu jawaban bisa kita kembalikan pada salah satu karakteristik kerja guru, yakni guru adalah pekerjaan yang tidak pernah mendapatkan umpan balik. Hal ini logis, karena tanpa umpan balik guru tidak tahu kualitas apa yang dikerjakan, tidak tahu di mana kelemahan dan kelebihannya, dan akibatnya guru tidak tahu mana yang perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, nampaknya di samping meneruskan kegiatan pembinaan yang telah ada selama ini, pembinaan guru diarahkan untuk mengembangkan suatu sistem dan teknik bagi guru untuk bisa mendapatkan umpan balik dari apa yang dikerjakan dalam proses belajar mengajar. Dua model peningkatan mutu yang perlu dipertimbangkan adalah a) memperkuat hidden curriculum dan b) mengembangkan teknik refleksi diri (sefl-reffection). 3.2.1 Hidden curriculum Hidden curriculum adalah proses penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat pada diri siswa. Proses ini dilaksanakan lewat perilaku guru selama melaksanakan proses belajar mengajar. Untuk menanamkan sikap disiplin, guru harus memberikan contoh bagaimana perilaku mengajar yang disiplin. Misalnya, memulai dan mengakhiri pelajaran tepat pada waktunya. Kalau guru bertujuan menanamkan kerja keras pada diri siswa, maka guru memberikan tugas-tugas yang memadai bagi siswa dan segera diperiksa dan dikembalikan kepada siswa dengan umpan balik. Pengembalian tugas-tugas siswa tanpa ada umpan balik pada kertas pekerjaan secara langsung akan menanamkan sifat tidak usah kerja keras. Karena siswa beranggapan kerja mereka tidak dibaca guru. Kegiatan pembinaan yang diperlukan adalah: 1. Mengkaji secara lebih mendalam makna hidden curriculum. 2. Secara sadar merancang pelaksanaan hidden curriculum. 3. Mengidentifikasi momen untuk melaksanakan hidden curriculum. 3.2.2 Self-reflection Self-reflection adalah suatu kegiatan untuk mengevaluasi proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan untuk mendapatkan umpan balik dari apa yang telah dilakukan. Umpan balik tersebut antara lain berupa: a) pemahaman siswa tentang apa yang telah disampaikan, b) perilaku guru yang tidak efisien dan tidak efektif, c) perilaku guru yang efisien dan efektif, d) perilaku yang perlu diperbaiki, e) perilaku yang diinginkan oleh siswa dan, f) perilaku yang seharusnya dikerjakan. Berdasarkan self-reflection inilah guru akan memperbaiki perilaku dalam proses belajar mengajar. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 29 Paling tidak ada dua cara bagi guru untuk melakukan self-reflection, yakni: a) guru menampung pendapat siswa pada setiap akhir kuartal dan, b) guru malaksanakan action research. Cara yang pertama dilakukan lewat cara guru mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang mengungkap bagaimana perilaku selama mengajar, dan memberikan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk dijawab oleh siswa. Berdasarkan jawaban tersebut guru akan mendapatkan gambaran diri pada waktu melaksanakan proses belajar mengajar. Action research, sebagai cara kedua, merupakan kegiatan meneliti sambil mengajar atau mengajar yang diteliti. Siapa yang mengajar dan siapa yang meneliti? Guru sendiri yang melakukan keduanya datam waktu yang sama. 3.3 Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus : 1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, 2. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, 3. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus: 1. Mematuhi kode etik profesi, 2. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, 3. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, 4. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, 5. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, 6. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen). Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 30 semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup. 3.4 Peningkatan SDM melalui Pendidikan dan Pelatihan Guru (Teacher's Training) Salah satu fungsi dan peran pendidikan tinggi adalah melatih dan menyiapkan guru bagi pendidikan di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Pembekalan kemampuan pedagogik guru yang sangat penting bagi pendidikan dasar dan menengah telah dilakukan dengan cukup baik melalui program studi kependidikan. Dengan semakin meningkatnya tuntutan akan kemampuan kompetensi maka kebutuhan akan kemampuan kompetensi guru terhadap bidang ilmu yang diampunya menjadi sangat penting. Untuk memenuhi kebutuhan akan kemampuan kompetensi tersebut, lulusan sarjana S1 ataupun S2 dalam bidang ilmu yang relevan perlu diberdayakan untuk menjadi guru di sekolah menengah melalui pelatihan dan pembekalan yang memadai dalam aspek kependidikan. Sementara lulusan S1 bidang kependidikan perlu terus ditingkatkan kemampuannya agar mampu meningkatkan kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah. Perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat memerlukan fondasi pendidikan dan pembelajaran ilmu dasar yang kuat bagi peserta didik. Paradigma pembekalan kompetensi ilmu dan ketrampilan tak lagi cukup, karena lapangan kerja terus berubah dengan ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Metode pembelajaran yang selama ini dipraktekkan di hampir semua jenjang pendidikan di Indonesia masih didasarkan pada metode konvensional yang terpusat pada pengajaran satu arah, pada transfer pengetahuan. Bagi pendidikan tinggi, hal tersebut tak lagi memadai untuk membekali lulusan dengan kemampuan untuk terus belajar sepanjang hayat dan memanfaatkan khasanah pengetahuan dunia. Hal ini telah dibahas dalam World Conference on Higher Education yang diselenggarakan oleh Unesco pada bulan Oktober tahun 1998 di Paris, bahwa penyelenggaraan pendidikan (tinggi) harus menyentuh empat pilar, yaitu learning to know (ranah kognitif), learning to be (ranah afektif), learning to do (ranah psikomotorik), dan learning to live together (ranah kooperatif). Pendidikan yang berarti pengajaran disertai internalisasi saintifik ilmu pengetahuan serta keterkaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang akan melandasi penerapan ilmu pengetahuan tersebut, seyogyanya menjadi alternatif baru dalam penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi. Tak hanya di perguruan tinggi, kemampuan daya nalar yang analitis dan kritis perlu dikembangkan sejak usia dini. Hal tersebut tentunya membutuhkan pendekatan baru dalam pembekalan pendidikan para guru sekolah dasar dan menengah (Depdiknas : 2004) Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 31 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Faktor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia. Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu: 1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan. 2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Globalisasi merupakan suatu keniscayaan bagi semua bangsa. merebaknya kejahatan dan pornografi, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari rasa pahit globalisasi. Globalisasi akan membawa perubahan yang mencakup hampir semua aspek kehidupan, termasuk bidang teknologi, ekonomi dan sosial politik. Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 32 DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008, Problematika Seputar Guru, Situs http://pakguruonline.pendidikan.net/ problematika_sptr_guru_24.html, diakses 30 Mei 2008. Anonim, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan Anonim, Undang- undang RI No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional Anonim, Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005, Guru dan Dosen Depdiknas, 2004, Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003 –2010, Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, Jakarta Situs http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/16907/465/, diakses 6 Juni 2008 Situs http://www.tribun-timur.com/view.php?id=53350&jenis=Opini, diakses 6 Juni 2008 Kartasasmita, Ginanjar., 1997, Membangun SDM Menghadapi Persaingan Antar Bangsa Memasuki Abad Ke-21 : Harapan pada HMI, Sambutan pada HUT HMI Ke-50, Jakarta Kwartolo, Yuli., 2006, Berbagai Permasalahan Dalam Undang-undang Guru dan Dosen, Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 6 Tahun V Sanaky, Hujair AH., 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi , Jurnal Pendidikan Islam Sanaky, Hujair AH., 2006, Kompetnsi dan Sertifikasi Guru : Sebuah Pemikiran, Jurnal Pendidikan Islam Sudrajad, Akhmad., 2006, Pokok-pokok Materi Perkuliahan Psikologi Pendidikan, FKIP Universitas Kuningan, Jakarta Teori & Kebijakan Pendidikan (TKW-6201) – Kelompok 3 33