1 GENDER STUDY AND WOMAN CONDITION IN

advertisement
Sri Walny Rahay
1
GENDER STUDY AND WOMAN CONDITION IN NANGGROE ACEH DARUSSALAM PROVINCE1
By : Sri Walny Rahayu 2
Abstract
Islam establish with justice value, deliberation, equality, homogenous, tolerance and peace,
contradiction and break the value of Islamic principle truly not appropriate with Islamic spirit “Rahmatan Lil
Alamin” (God mercy for whole nature).So far generally human right including woman right rule arranged in
general human right instrument, but in reality especially about woman right not arranged on list of right that
protected or not confess yet as apart of universal consensus. The consequences of it, breaking woman right
continuously occur even personal, corporation or country not fully see this as apart of breaking human right.
There is Convention on Elimination Discrimination Against Woman (CEDAW) that ratify by Indonesia In 1980
and the follow up of it’s law Number 7/1984, that include specification about woman right in Indonesia.
Real condition in Aceh after law Number 11/2006 about Aceh Government that eliminated law
Number 18/2001 about special autonomy, the action to full fill woman right still avoid and not significantly
participate in development woman not maximal involve in planning, implementation, monitoring, evaluation and
using product of development, un justice and violence against woman still happen in domestic or public life,
poverty, not optimal basic education for all, equality and gender justice (KKG) and woman empowerment, high
baby mortality (AKB) how budget be apart to improve mother health, prevent from HIV-AIDS, malaria, disease.
For this thing need gender study. Gender mean’s way or analyze tool to understand social reality in
relationship between woman and man, when got benefit equally in responsibility and social role that occur in
society. This article try to explain wrong concept that occur in society, and through gender study try to find the
way how woman and man can involve together and equal in NAD Province.
Key words: Gender Study, Condition of Woman in Nanggroe Aceh Darussalam
1
2
This Article presented On Seminar with The Title “Condition Women Realitiy “ Ferbruary , 7, 2009 at IAIN University
Sri Walny Rahayu, S.H., M.H., Principal of Center for Gender Studies Syiah Kuala University and Teaching Staff at Law faculty
Syiah Kuala University Darussalam – Banda Aceh.
Sri Walny Rahay
2
STRATEGI INTERVENSI KOMUNITAS SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN INTENSITAS DAN ESKALASI
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA BANDA ACEH DAN KABUPATEN ACEH BESAR3
A.
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Oleh
Sri Walny Rahayu4
Telah banyak instrumen hukum nasional bahkan internasional yang melarang terjadinya praktik
kekerasan terhadap perempuan (selanjutnya KTP), namun seolah-olah tidak ada korelasi antara hadirnya
hukum yang mengaturnya dengan maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih terus
berlangsung di Indonesia. Pemerintah Indonesia pada tanggal 29 Juli 1980 telah membuat komitmen di PBB,
untuk menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau The
Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women- CEDAW. Tindak lanjutnya
adalah meratifikasi CEDAW melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 (selanjutnya disebut UU No. 7
Tahun 1984), pada tanggal 24 Juli 1984.
Konvensi tersebut berkaitan dengan prinsip adanya kewajiban negara untuk menghapus berbagai
bentuk diskriminasi baik secara hukum (de jure) maupun secara kenyataan (de facto). Berdasarkan latar
belakang ini terjadi kemajuan (progress) dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan
terhadap perempuan baik yang dilakukan oleh pemerintah, maupun masyarakat sipil di berbagai negara
termasuk Indonesia. Pembatasan dari apa yang dimaksud dengan diskriminasi adalah:
“Setiap pembedaan, pengucilan, pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai
pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan
antara laki-laki dan perempuan”5
Kondisi riil yang ada menunjukkan betapa susahnya perempuan menegakkan haknya untuk keluar
sebagai mahluk subordinasi di bidang partisipasi politik, pendidikan, kesempatan mengekspresikan dan
mengaktualisasikan kemampuannya untuk bekerja dan memperoleh perlakuan yang sama di lingkup publik.
3
Tulisan ini merupakan buku bab dari Perempuan dalam Masyarkat Aceh; Memahami Beberapa Persoalan
Kekinian, telah dipresentasikan pada Seminar Realita Kondisi Perempuan tanggal 7 Pebruari 2009, Kerjasama LOGICA,
ARTI, PSW IAIN ARRANIRY dan PSG UNSYIAH.
4
Staf Pengajar Konsentrasi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Kepala Pusat Studi
Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh
5
Bagian I Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1984.
Sri Walny Rahay
3
Landasan generik yang menjadi acuan kajian ini adalah pada Pasal 16 dan Pasal 5 UU No. 7 tahun 1984
seperti yang dijelaskan oleh Rita Serena Kalibonso 6 adalah :
“KDRT adalah bentuk kekerasan yang paling berbahaya. Sebab KDRT telah lama dianggap lazim
bagi masyarakat di banyak Negara. Dalam hubungan kekeluargaan di segala umur perempuan
menderita segala macam penderitaan termasuk pemukulan, perkosaan dan bentuk-bentuk lain dari
penyerangan seksual serta mental yang dilakukan oleh sikap-sikap tradisional. Ketergantungan
ekonomi dalam hal ini memaksa perempuan untuk bertahan pada hubungan yang dijalankan
berdasarkan tindakan kekerasan. Pencabutan atau pengambil-alihan tangungjawab oleh laki-laki
dapat juga disebut sebagai bentuk kekerasan dan paksaan. Selain itu bentuk-bentuk dari kekerasan
juga menempatkan perempuan pada risiko kesehatan dan menghalangi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kehidupan keluarga dan kehidupan umum atas dasar suatu kesamaan.
Perempuan dan anak, rentan terhadap perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Jika berbicara tentang
KDRT, perempuan bahkan mengalami tindak kekerasan di dalam rumahnya sendiri yang seharusnya
memberikan suasana nyaman dan melindunginya. Hampir tidak dapat dipercaya pelaku kekerasan justru orang
yang dicintai, disayangi untuk menjaganya, seperti ayah, suami, paman, kerabat dan orang-orang di dalam
rumah sendiri. Laporan yang datang dari berbagai penjuru dunia mencatat bahwa KDRT terjadi di segala
lapisan masyarakatat. Pelaku dan korban berasal dari berbagai suku bangsa, ras, agama, kelas sosial dan
tanpa memandang tingkat pendidikan manapun.
7
Untuk konteks Indonesia, dimilikinya Undang-undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004 dapat diharapkan
sebagai babak permulaan yang baik sebagai upaya menghapus KDRT.
Profil data menunjukkan tingginya angka KTP selama tahun 2005 angka kekerasan naik menjadi 6.731 kasus
dari tahun sebelumnya. Sementara itu, dalam tahun 2004 KTP mengalami kenaikan hampir 100 % dari 7.787 di
tahun 2003 menjadi 14.020 pada tahun 2004. Menurut catatan Komnas Perempuan dari tahun ke tahun angka
KTP bergerak naik. Tahun 2001 tercatat 3.160 kasus mengalami peningkatan pada tahun berikutnya yaitu
tahun 2002, sebanyak 5. 163 kasus KTP. Dari sejumlah 14.020 kasus KTP sebanyak 4.310 adalah kasus
KDRT, 2.470 kasus terjadi dalam komunitas, 6.634 terjadi dalam rumah atau komunitas, 562 kasus traficking
dan 302 merupakan kasus yang pelakunya adalah oknum aparat negara. 8 Agar lebih memahami hubungan
(relasi) antara pelaku dengan korban KTP berikut ini disajikan data dalam Tabel I sebagai berikut:
Rita Serena Kolibonso, Optional Protokol Terhadap Konvensi penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, Mitra Perempuan, Jakarta, 2001
6
Sulistyowati Irianto, dalam Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan
Keadilan, NZAID bekerjamasa dengan CW UI dan Yayasan Obor, Jakarta, 2006, hlm. 311-312.
8. Jurnal Perempuan. Com. tahun 2005.
7
Sri Walny Rahay
No
1
2
3
14
5
6
7
4
TABEL I
RELASI PELAKU DENGAN KORBAN KDRT DAN KEKERASAN THADAP PEREMPUAN
Pelaku
Suami
Mantan Suami
Orang Tua/saudara/anak
Majikan
Pacar/teman dekat
Tetangga
Lainnya
Korban KDRT
77,36 %
3,08 %
6,15 %
0,22 %
86,81 %
Perempuan Korban Kekerasan
9,01 %
1,54 %
2,64 %
13,19%
Sumber data: Mitra Perempuan 2002 – 2005
Berdasarkan kasus tersebut pun diketahui beban kekerasan terhadap perempuan lebih banyak
menunjukkan kekerasan yang berlapis atau dalam berbagai bentuk seperti psikis, fisik, penelataran ekonomi
atau rumah tangga.9 Atau berdasarkan data tersebut dapat diinventarisir: 10
1. Angka KTP selalu meningkat bahkan yang terakhir terjadi kenaikan hampir 10 %
2. 80 % atau 8 (delapan) dari 10 (sepuluh) tindak KTP terjadi dalam KDRT
3. 1 (satu) dari 4 (empat) perempuan pernah mengalami tindak kekerasan selam hidupnya.
UU PKDRT yang hampir 4 (empat) tahun diundangkan sebenarnya dapat dijadikan sebagai alat untuk
menguji apakah kasus-kasus KDRT dapat diminimalisir atau bahkan tidak terjadi lagi lagi korban kekerasan
dalam rumah tangga. Namun demikian disadari sepenuhnya suatu kajian yang bertujuan untuk memajukan hak
asasi perempuan dan keadilan gender ketika disosialisasikan haruslah sangat hati-hati. Hal ini karena ketika
masuknya instrumen hukum publik ke dalam lingkup privat/domestik dan masuk ke dalam arena sosial
kehidupan masyarakat yang tadinya dianggap sangat tabu dan arena tersebut telah dipenuhi terlebih dahulu
dengan berbagai aturan yang telah ada sebelumnya yang juga memiliki aturan tersendiri yang bahkan memiliki
memiliki sanksi, maka biasanya terjadi penokan-penolakan dari masyarakat tersebut. Aturan dan sanksi
tersebut dapat bersumber dari interpretasi agama, adat, kebiasaan-kebiasaan atau pengaruh dari
perkembangan global. Artinya persepsi masyarakat terhadap penerapan, pelaksananaan, penegakan atau
penerimaan terhadap UU PKDRT ini, tidak bekerja di ruang kosong dan hampa, dia akan berbenturan,
berpengaruh dan mengadopsi antara berbagai aturan-aturan yang telah lebih dulu muncul dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia.
Khususnya di Provinsi NAD, aturan yang hidup dalam masyarakat terkait erat dengan budayanya. Di
Aceh digambarkan bahwa budayanya seperti ”Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut”. Artinya cerminan
Mitra Perempuan, Informasi Tahun 2005 Statistik Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Flyer yang diterbitkan secara kerjasama antara Komnas Perempuan dan Body Shop dalam
Sulistyowati Irianto, Loc. Cit.
9
10
Sri Walny Rahay
5
agama Islam tergambar dalam budaya orang Aceh dalam kehidupan sosialnya. Tentu saja kata-kata bijak
tersebut perlu diuji kebenarannya secara empiris dan faktual dalam kondisi real, karena ternyata data-data
tentang korban KDRT bertambah dari tahun ke tahun di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
Di Banda Aceh sendiri angka perceraian dari tahun ke tahun terjadi peningkatan terhadap perkara yang
masuk dan yang diputuskan sebagaian besar adalah cerai gugat.. Karena terjadi peningkatan intensitas dan
eskalasi terjadinya KDRT dan sebagaian besar korbannya adalah perempuan di Banda Aceh dan Aceh Besar,
oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilakukan di kedua wilayah tersebut. Sekaligus ingin mengetahui
strategi dan intervensi upaya pencegahan KDRT dan ketersediaaan fasilitas layanan pendukung KDRT yang
disediakan oleh pihak pemerintah dan segenap komunitas setelah hadirnya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004.
2.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan data yang telah diuraikan maka penelitian ini memfokuskan pada masalah yang dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pemahaman masyarakat Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh tentang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
2. Bagaimanakah strategi-strategi intervensi komunitas untuk mencegah intensitas dan eskalasi KDRT
yang berbasis pada sumberdaya lokal dan kekuatan masyarakat ?
3. Sejauhmana telah terjadi ekskalasi dan intensitas KDRT di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda
Aceh ?
4. Bagaimana sistem pendukung dan layanan yang dibutuhkan untuk menangani kasus KDRT dan
B.
apakah sistem tersebut telah bekerja dengan baik?
TINJAUAN PUSTAKA
Adapun regulasi dan kentuan lainnya yan g menjadi dasar pijakan kerangka hukum dan konsep dalam
melakukan analsisi dari penelitian ini antara lain :
1.
Regulasi Nasional Dan Internasional Yang Berhubungan Dengan PKDRT
UU PKDRT Berkaitan Erat Dengan Regulasi Lainnya Yang Sudah Ada Sebelumnya, Antara Lain :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita – CEDAW;
e. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sri Walny Rahay
f.
2.
6
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Peraturan Yang Mengatur Tentang Perempuan Dan Anak Pada Tingkat Daerah (Qanun)
Berkaitan dengan isu perempuan dan masalah KDRT, Pemerintah daerah Provinsi NAD (melalui inisiator
Biro Pemberdayaan11 Perempuan dan Biro Hukum) membentuk Rancangan Qanun Provinisi antara lain:
a. Rancangan Qanun Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan;
b. Rancangan Qanun tentang Perlindungan Anak
c. Rancangan Qanun tentang Anggaran Responsif Gender
Tentu saja ketiga produk rancangan qanun tersebut diharapkan dapat cepat disahkan menjadi qanun,
dan secara legal representatif dan sensitif bagi perempuan dan anak dalam memberi persamaan hak dan
keadilan.
3.
Pendekatan Analisis Gender
Analisis gender adalah serangkaian kriteria untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek
hubungan antar jenis kelamin. Dalam melakukan identifikasi terhadap ketidakadilan ini analisis gender mulamula membuat pembedaan antara apa yang disebut "seks" dan "gender". Seks, demikian didefinisikan, adalah
pembedaan laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas ciri-ciri biologis. Sedangkan gender adalah
pembedaan laki-laki dan perempuan secara sosial.
Pada prinsipnya analisis gender tidak mempermasalahkan pembedaan-pembedaan itu selama tidak
melahirkan ketidakadilan. Akan tetapi, analisis ini melihat pembedaan secara gender (gender differences)
sangat potensial melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Oleh karena itu, langkah selanjutnya
yang dilakukan analisis gender adalah menggugat pembedaan gender, khususnya yang melahirkan
ketidakadilan.
12
Berdasarkan analisis gender, ketidakadilan gender bisa diidentifikasi melalui berbagai
manifestasi ketidakadilan, yakni: marjinalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak
penting), pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda (double burden). Hal ini
merupakan suatu kriteria untuk melihat setiap aturan sosial tentang relasi laki-laki dengan perempuan,
termasuk yang lahir dari doktrin agama.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian merupakan penelitian lanjutan untuk mencari kemutakhiran data dengan
objek penelitian yang yang lebih fokus kepada strategi dan intervensi pencegahan intensitas dan eskalsi
kekerasan dalam rumah tanga ini akan meliputi beberapa area, dapat dirinci sebagai berikut :
11
Biro PP sekarang berubah namanya menjadi Badan Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak .
Acep Sugiri dalam Harian Kompas, Mencari Teori Kesetaraan: (Analisis Gender VS Teori
Hukum Hukum Islam, Senin, 23 Agustus 2004.
12
Sri Walny Rahay
1.
7
Untuk mengetahui dan menginventarisir persepsi komunitas yang menjadi partisipan mengenai KDRT
meliputi fisik, psikis (non-fisik), seksual, dan penelantaran rumah tangga
2.
Untuk menjelaskan strategi-strategi intervensi pencegahan dan treatment berbasis pada sumberdaya
lokal dan kekuatan masyarakat yang didalamnya akan menjelaskan kekuatan, peluang dan sumberdaya
individual, komunitas dan kewenangan lokal dalam menanggulangi KDRT .
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan eskalasi dan intensitas dari berbagai bentuk KDRT (fisik, psikis,
seksual dan penelantaran rumah tangga), yang sedang terjadi atau telah terjadi dalam komunitas di
desa dan level kecamatan di kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.
4.
Untuk mengetahui dan menjelaskan sistem pendukung dan layanan yang dibutuhkan ketika menangani
kasus kekerasan KDRT.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini merupakan penyajian informasi serta rekomendasi tindakan yang harus dilakukan
oleh pemerintah, Badan PP dan Perlindungan Anak di Provinsi dan Bagian PP di Kabupaten/kota,
Legislatif, yudikatif, dan pihak-pihak lain yang terkait, beserta seluruh komunitas dalam upaya memberikan
perlindungan terhadap perempuan dan anak di NAD terhadap KDRT.
E. Metode Penelitian
1. Kategori Penelitian
Penelitian ini termasuk katagori penelitian penilaian secara cepat (rapid assessment), merupakan
penelitian yang dilaksanakan dengan mengikuti rangkaian proses pengumpulan data dengan
menggunakan berbagai metode seperti, pengkajian laporan atau data sekunder yang telah ada.
Selanjutnya mengumpulkan dan mengkaji data primer dengan menggunakan berbagai metode pengkajian
laporan-laporan yang sudah ada.
2. Jenis dan Analisis Data
a) Data primer.
Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan atau diperoleh oleh peneliti dari partisipan
dikelompokkan ke dalam partisipan anak dan orang dewasa. Partisipan dewasa, partisipan anak, unsur
profesional dan penentu kebijakan.
b) Data sekunder
Data sekunder terdiri dari berbagai informasi baik berupa data tertulis maupun rekaman film, video dan lainlain, yang berkaitan dengan fenomena KDRT. Penggunaan data sekunder adalah untuk informasi awal dan
pelengkap informasi yang telah dikumpulkan oleh peneliti dengan tujuan untuk memperkuat penemuan
Sri Walny Rahay
8
atau informasi yang telah dikaji oleh peneliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
berupa dokumen, instrumen hukum dalam bentuk undang-undang, Instruksi Presiden, peraturan
daerah/qanun, jurnal ilmiah, publikasi dari berbagai organisasi, laporan tahunan lembaga pemerintah.
c)
Penentuan lokasi dan Jangka Waktu Penelitian
Ditemukan data tingginya angka perceraian di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh yang
didominasi kasus KDRT, sehingga lokasi tersebut menjadi alasan dipilih ke 2 (dua) lokasi ini sebagai
daerah penelitian. Dengan mempertimbangkan keluasan permasalahan kekerasan, maka hanya akan
difokuskan kepada isu Strategi dan intervensi pencegahan terhadap intensitas dan eskalasi KDRT saja.
Jangka waktu dilakukan penelitian terhadap data, pertama sekali dilakukan tahun 2004 – 2006, Dengan
mengambil lokasi sampel yang sama, selanjutnya data penelitian diperbarui untuk kemutakhiran, data
diambil Tahun 2007 sampai dengan Bulan September 2008.
d)
Teknik penentuan partisipan
Teknik penentuan partisipan berdasarkan purposive sampling. Artinya penetapan seseorang/individu
untuk menjadi partisipan disebabkan karena alasan-alasan yang telah ditetapkan sesuai dengan
kebutuhan penelitian.
e)
Jenis data yang digunakan
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui library research dan data primer
yang didapat melalui field research. Data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan dari literatur,
laporan dan penelitian yang telah ada sebelumnya. Data primer untuk partisipan dewasa digunakan
instrumen Focus Group Discussion-Fokus Grup Diskusi (FGD), Wawancara Semi Terstruktur (WST.
Selanjutnya observasi dilakukan untuk melihat gambaran umum lokasi penelitian dan aktivitas
masyarakat, serta fasilitas yang tersedia di instansi terkait dalam rangka pelayanan kepada korban KDRT.
f)
Teknik Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh besar. Dari 9 (sembilan) kecamatan
yang ada di Banda Aceh dan 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Besar, ditarik sampel lokasi
penelitian sebesar 25%. Selanjutnya secara purposive dipilih 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Aceh
Besar, yaitu Kecamatan Darusalam, Jantho, Indarapuri, Darul Imarah, dan Lhoknga. Adapun di Kota
Banda Aceh penelitian dilakukan pada Kecamatan Meuraxa, Syiah Kuala, Baiturrahman. Berdasarkan
tiap kecamatan dipilih 2 (dua) desa secara purposive. Nama-nama desa yang menjadi lokasi penelitian
seperti diuraikan dalam Tabel II sebagai berikut:
Sri Walny Rahay
9
TABEL II
NAMA-NAMA DESA LOKASI PENELITIAN
Nama Kabupaten/Kota
Kecamatan
Aceh Besar
Kota Banda Aceh
Desa
 Desa Pasar Indrapuri
 Sinye
1.
Kecamatan Indrapuri
2.
Kecamatan Jantho
 Barueh
 Jantho Makmur
3.
Kecamatan Darul Imarah
 Kuta Lamreung
 Guegajah
4.
Kecamatan Lhoknga
5.
Kecamatan Darussalam
1.
Kecamatan Meuraxa
2.
Kecamatan Syiah Kuala
3.
Kecamatan Baiturrahman
 Lamkruet
 Lampaya




Lambada Peukan
Lampeudaya
Deah Baro
Deah Glumpang
 Rukoh
 Gampong Pineung
 Desa Ateuk Jawo
 Kelurahan Sukaramai
Sumber : Data Primer yang diolah, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, 2 Pebruari 2007
F. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pemahaman Masyarakat terhadap KDRT
Umumnya masyarakat mengatakan KDRT adalah melakukan pemukulan terhadap salah satu
anggota keluarga sampai melukai fisiknya atau mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas yang dapat
menyebabkan korban sakit hati. Sementara sebagian masyarakat lain seperi Keuchik Lambada Peukan
dan masyarakat Lhoknga umumnya mengatakan jika hanya terjadi perang mulut biasa tidak sampai
melukai fisik, hal itu tidak dianggap kekerasan seperti yang terjadi antara suami isteri, atau orang tua
terhadap anak. Menurut partisipas, “perang mulut” antara suami dengan isteri diibaratkan bagai aweuk
ngon beulangong atau ibarat wajan dengan centong, meskipun sama-sama membutuhkan mesti ada saja
masalah yang dihadapi.
Keuchik, imuem, serta masyarakat awam lainnya yang menjadi partisipan dalam penelitian ini belum
mengetahui bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali tentang Undang-undang PKDRT. Fakta ini
terungkap ketika pada awalnya “keuchik Desa Deah Baro” mengatakan bahwa tidak pernah ada KDRT di
desanya. Akan tetapi ketika dijelaskan lebih lanjut ternyata dia mengatakan bahwa ada bentuk-bentuk
KDRT yang dialami oleh warganya. Karena ketidakpahaman keuchik maka masalah-masalah KDRT tidak
diangap sebagai suatu perbuatan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal seharusnya ada kewajiban
Sri Walny Rahay
10
bagi negara dan komunitas untuk mencegah dan melindungi korban dari tindakan kekerasan yang
dimunculkan oleh pelaku KDRT.
Banyak juga warga masyarakat yang tidak pernah melaporkan jika terjadi KDRT.
Umumnya
masyarakat belum manerima sosialisasi UU PKDRT, kondisi seperti ini dirasakan oleh semua masyarakat
di lokasi desa sampel, bahkan Ketua KUA Kecamatan Darussalam juga mengatakan dirinya bersama staf
yang bekerja di KUA tersebut belum pernah mendapat sosialisasi mengenai UU PKDRT, dan juga UndangUndang Perlindungan anak. Sebahagian dari partisipan lainnya pernah mendengar dan melihat sepintas
sosialisasi yang dilakukan di TV, ditulis di koran. Hanya satu partisipan yaitu keuchik di Desa Deah
Glumpang pernah mengikuti pelatihan PKDRT.
Selanjutnya ada pandangan terhadap tidak perlunya cuti haid bagi perempuan yang bekerja pada
perusahaan-perusahaan. Hal tersebut karena
“haid” merupakan
kodrat perempuan.
Kecuali jika
perempuan tersebut mengalami sakit ketika haid, maka baru dia diperkenankan untuk diberikan “izin sakit”.
2. Bentuk-Bentuk KDRT yang Terjadi di Lingkungan Masyarakat
Menurut masyarakat bentuk-bentuk KDRT yang pernah terjadi pada di lingkungan mereka, seperti
perang mulut suami isteri hingga suami memukul isteri, memukul anak anak, suami tidak memberi nafkah,
suami kawin lagi. Adapun kekerasan yang dilakukan terhadap anak, menurut partisipan, hampir semua orang
pernah memukul anaknya tapi bukan memukul sampai melukai atau menyiksa, seperti kasus-kasus yang
sering dilihat di televisi. Bentuk-bentuk pemukulan menggunakan tangan dengan mencubit atau memukul di
pantat, karena anaknya bandel (nakal), atau tidak mau mendengar kata orang tuanya. Anak-anak juga suka
dpukul ketika tidak mau disuruh mandi, tidak mau belajar.
Hal ini juga diperkuat oleh partisipan anak. Semua anak yang dijadikan partisipan dalam penelitian ini
pernah mengalami KDRT dari orang tua mereka. Menurut anak, pelaku utama KDRT terhadap anak-anak
adalah ibunya. Hasil observasi di Desa Kuta Lamreung Kecamatan Darul Imarah, saat sedang melakukan
wawancara dengan seorang responden, peneliti melihat seorang ibu/tetangga dari responden yang menghardik
dan memukul anaknya dengan keras karena anak tersebut menjatuhkan pot bunga kepunyaan ibunya, karena
tanpa sengaja terkena lemparan bola dari anak tersebut.
3.
Intensitas dan Eskalasi Terjadinya KDRT
Pada dasarnya kasus KDRT dapat saja dialami oleh banyak orang, namun karena masalah tersebut
masih dianggap masyarakat sangat tabu untuk di laporkan, maka-kasus-kasus KDRT tidak banyak yang
muncul ke permukaan. Hal tersebut dikatakan oleh hampir semua partisipan dewasa yang menjadi responden
dalam penelitian ini, seperti dikatakan oleh Kapolsek, dokter puskesmas, keuchik, Imuem dan sebahagian
besar masyarakat lainnya.
Sri Walny Rahay
11
Berikut intensitas dan eskalasi KDRT yang dapat diidentifikasi oleh masyarakat baik yang terjadi di
Kota Banda Aceh, maupun Kabupaten Aceh Besar yaitu:
a. Pertengkaran suami isteri sangat sering terjadi dan hampir di semua keluarga;
b. Pemukulan (mencubit) anak oleh ibunya sangat sering terjadi ditemukan hampir di semua keluarga yang
dijadikan partisipan;
c. Pemukulan (menampar) yang dilakukan oleh suami terhadap isteri sering tapi pada keluarga-keluarga
tertentu kusus di Desa Deyah Baro Kecamatan Meraxa tergolong sering dan banyak ibu-ibu yang
mengalaminya;
d. Pemukulan yang dilakukan oleh ayah terhadap anaknya sering dilakukan namun pada keluarga-keluarga
tertentu.
e. Nafkah yang dirasakan tidak cukup, banyak dialami oleh hampir di semua keluarga di semua desa objek
teliti
f.
Suami berpoligami di desa-desa tidak banyak, bisa dihitung dengan sebelah jari.
g. Suami berselingkuh hanya orang tertentu fenomena kusus di desa Lamreung dan Guegajah;
h. Isteri berselingkuh 2 (dua) kasus fenomena kusus di Desa Lamreung dan Guegajah.
Berdasarkan data primer diketahui memang terjadi peningkatan setelah tsunami. Hal ini dapat dilihat
berdasarkan data yang ada pada Mahkamah Syar’iyah. Kenaikan frekuensi angka perceraian terjadi baik di
Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, maupun Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar. Angka
perceraian dapat menjadi salah satu tolok ukur adanya kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang
mengakibatkan banyak pasangan melakukan cerai talak (pihak suami) maupun cerai gugat (pihak isteri).
Selain KDRT, alasan suami melakukan ”poligami” paling dominan terjadinya perceraian secara ”cerai gugat”
berdasarkan perkara yang masuk atau yang diputuskan di Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota yang dijadikan
lokasi penelitian. Adapun angka perceraian yang terjadi di dua kabupaten/kota yaitu Banda Aceh dan Aceh
Besar dapat dilihat dalam Tabel III dan Tabel IV sebagai berikut:
TABEL III : ANGKA PERCERAIAN PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
Tahun
Perkara Masuk
Cerai Talak
Cerai Gugat
27
106
45
120
54
150
Perkara yang Diputuskan
Cerai Talak
Cerai Gugat
25
83
56
105
49
157
2005
2006
2007
2008
(sampai bulan
63
103
46
36
September )
Sumber data : Data primer diolah pada Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, hasil penelitian dilakukan
2008.
September
Data angka perceraian Kota Banda Aceh dimulai tahun 2005 sampai September 2008. Hal ini karena
data sebelum tahun 2005 tidak dapat ditemukan lagi, karena kantor Mahkamah Syar’iyahnya terkena dampak
Sri Walny Rahay
12
tsunami, yang mengakibatkan hancur dan musnahnya semua data dan dokumen yang ada. Jika dianalisis data
Tabel III diketahui, terjadi peningkatan yang tajam angka perceraian pada tahun 2005 -2006, justru paling
banyak dilakukan oleh pihak perempuan yang melakukan cerai gugat, dari 106 menjadi 120 kasus. Begitupun
dengan jumlah kasus-kasus yang diputus dari 83 kasus menjadi 105 kasus. Peningkatan kasus perceraian
masih terjadi, baik kasus cerai talak maupun cerai gugat. Meskipun secara angka perkara yang masuk dari
kasus cerai gugat masih signifikan terjadi peningkatan jumlah pada tahun 2007 dari 120 kasus menjadi 150
kasus dibandingkan cerai talak dari 45 menjadi 54 kasus. Perkara yang diputuskan berdasarkan cerai gugat
juga lebih banyak yaitu 105 kasus menjadi 157. Sedangkan kasus yang diputuskan berdasarkan cerai talak
mengalami penurunan dari 56 kasus menjadi 49. Kondisi ini menajdi terbalik ketika tahun 2008 kasus yang
diputuskan berdarkan cerai gugat turun drastis dari 157 kasus menjadi 36. Begitupun kasus yang diputus
berdasarkan cerai talak dari 49 kasus menjadi 46 kasus.
Latar belakang penyebab suami melakukan melakukan “cerai talak” terhadap isterinya Kota Banda
Aceh adalah :
a. Karena tidak harmonis
b. Perselisihan (cekcok terus menerus)
Alasan isteri melakukan cerai gugat terhadap suaminya adalah sebagai berikut:
a. Suami tidak bertanggung jawab/meninggalkan kewajiban
b. Suami berpoligami
c. Suami berselingkuh
d. Suami suka memukul isteri dan anak.
Angka perceraian pada Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar seperti pada Tabel IV di bawah
ini:
TABEL IV : ANGKA PERCERAIAN PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH KABUPATEN ACEH BESAR
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
Perkara Masuk
Cerai Talak
Cerai Gugat
63
21
57
17
85
24
49
102
30
92
Perkara yang Diputuskan
Cerai Talak
Cerai Gugat
43
15
56
15
74
21
35
90
36
71
Sumber data : Mahkamah Syar’iyah Kabupaten Aceh Besar, data primer diolah, Nopember 2006 – Januari 2007.
Berdasarkan perkara yang masuk, sejak tahun 2004
sampai dengan September 2008 terjadi
intensitas dan eskalasi yang cukup tajam dari kasus cerai gugat. Tahun 2007 dari 24 kasus sebelumnya
menjadi 102 kasus dan yang diputus berdasarkan cerai gugat juga terjadi peningkatan yang cukup serius. Dari
Sri Walny Rahay
13
21 menjadi 90 buah kasus. Sampai September 2008 sudah 92 kasus cerai gugat yang masuk dan yang diputus
berdasarkan cerai gugat 71 kasus. Hal ini dapat saja bertambah sampai akhir tahun 2008.
Alasan-alasan yang menjadi penyebab terjadinya cerai talak dari pihak suami lebih disebabkan tidak
adanya keharmonisan dalam rumah tangga, sedangkan alasan isteri menggugat cerai suaminya sangat
bervariasi :
a. Suami tidak bertanggung jawab/meninggalkan kewajiban
b. Poligami
c. Kawin paksa
d. Adanya gangguan pihak ke tiga
Dari alasan-alasan gugat talak dan gugat cerai baik yang terjadi di Kota Banda Aceh, maupun Kabupaten
Aceh Besar dapat diketahui bahwa pihak perempuan (isteri) mengalami KDRT yang variatif berlapis bentuknya.
Berikut dapat diperlihatkan kasus-kasus KDRT yang terjadi di berbagai instansi terkait :
Sumber data
Tahun 2004 –
Sept’08
Rumah Sakit
Umum Jantho
TABEL V
INTENSITAS DAN ESKALASI KDRT
Jumlah K\asus KDRT
Thn
Thn Thn
Thn
2004 2005 2006 2007
1
Pelaku
Thn
2008
1
Pengadilan
Negeri Jantho
4
3
1
1
Rumkit Kesdam
1
1
1
KUA Kec
Baiturrahman
Polsek
1
1
5
1
Korban
Bentuk KDRT
Dipukul di muka sampai
bernanah
Dimarahi, dihina, disentil,
kepala dipukul dengan
centong, muka dipukul
dengan botol, ditampar di
hidung dan mulut
Kekerasan Fisik
Suami
Istri
Suami
Istri
Suami,
kakak/saudara
istri,adik
Kekerasan Fisisk
Puting payudara digigit
Masuk Kelereng dalam
Hidung anak
Vagina pecah
Tersiram air panas, minyak
goreng akibat kelalaian ibu
Memar karena kena pukul
Cekcok, suami tidak
bertanggung jawab pada
anak, istri, mencurigai
suami/istri, tidak memberi
nafkah lahir batin.
Pemukulan
suami
Suami
anak
Istri
Istri
Ibu
Suami
Ibu
Istri
anak
istri
Suami
Suami
Istri
suami
Isteri
Penganiayaan fisik
(pemukulan), kekerasan
seksual, Penelantaran
ekonomi dan poligami
Pemukulan, Penelantaran
suami
Istri
Suami
Istri
Baiturrahman
Ruang
Pelayanan
Khusus (RPK)
Polres Banda
Aceh
14
18
Sri Walny Rahay
14
24
Pusat
Pelayanan
Terpadu (PPT)
Rumkit
Bhayangkara
6
1
17
17
KUA Kecamatan
Darul Imarah
Puskesmas
Lampeuneurut
3
Pemukulan, pengancaman
Penganiayaan fisik (pipi
ditampar, dipukul dikepala
sampai berdarah dengan
botol, ditendang, dicekik,
punggung ditinju, kepala
dipukul)
Kekerasan psikis dimakimaki dan dikatai dengan
kasar sampai menyebut
orangtua korban tidak
punya otak, dihina)
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik dan
ancaman
Suami, istri
suami
Istri, suami
Istri
suami
Istri
Suami
Suami
Istri
Istri
Suami tidak memberi
nafkah selama setahun,
suami poligami, tidak ada
kecocokan
suami
Istri
Suami poligami, istri
menghina suami, suami
impotent, suami tidak
bertanggungjawab dan tidak
memberi nafkah, suami
selingkuh, suami sering
marah dan mengucapkan
kata talak, suami memaksa
berhubungan saat istri
sedang haids.
7
kasus
pelakunya suami
dan
1
kasus
pelakunya istri
7
kasus
korbannya
istri dan
1
kasus
korbannya
suami
Selingkuh, penelantaran
RT, memukul, memaki dan
menghina
Tidak emberi nafkah
terhadap istri, istri mengatur
suami dan terlalu dominan
Memberi cabai pada
pakaian dlam istri, memukul
di tulang rusuk, tidak
percaya pada istri
Penyiksaan fisik (gigi
goyang akibat ditampar,
bibir pecah, pipi bengkak,
kepala bengkak, tangan
memar)
Suami
Istri
8
16
29
18
2
Suami/ istri
Dominan suami
dibandingkan istri
Suami
Istri
Suami
Istri
Penyiksaan fisik
(pendarahan pada mata,
luka memar pada daerah
wajah)
Suami
Istri
Kekerasan fisik (dipukul di
daerah kepala, kepala
bengkak, wajah lebam)
Suami, anak tiri
laki-laki, mantan
suami
Istri
1
Puskesmas
Lhoknga
2
Sri Walny Rahay
Puskesmas
Kecamatan
Darussalam
Polsek
Darussalam
15
1
Kasus Luka memar di
bagian muka akibat di
suami
Isteri
suami
Isteri
suami
Isteri
suami
isteri
tampar suami,
1
Kasus memar di bagian
dagu akibat kena
tendangan
1
Stres akibat tekanan
mental, suami selalu marahmarah.
1
Kasus memar di bagian
dagu akibat kena
tendangan
Sumber : Data Primer yang diolah Agustus – September 2008.
Berdasarkan Tabel V di atas diketahui bahwa, sebagaian besar perempuan dan anak merupakan
korban dan mengalami kekerasan yang berlapis dalam rumah tangga.
Seorang perempuan/istri dapat
mengalami kekerasan fisik, non fisik, seksual bahkan ekses dari suami yang melakukan poligami
menelantarkan rumah tangganya. Data KDRT yang masuk ke Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Banda Aceh
tahun 2006 terjadi peningkatan lebih dari 4 (empat) kali jumlah kasus yang masuk pada tahun 2005, yaitu dari 4
(empat) kasus menjadi 26 kasus yang 100 persen korbannya adalah perempuan.
4.
STRATEGI INTERVENSI PENCEGAHAN INTENSITAS DAN ESKALASI TERHADAP KDRT SERTA
FASILITAS LAYANAN PENDUKUNG
Pada dasarnya semua adat istiadat di Aceh bersendikan Islam yang diibaratkan seperti, adat ngon
agama ibarat zat ngon sifeut. Jika terjadi KDRT di Provinsi NAD lebih disebabkan karena penyimpangan
perilaku yang dapat terjadi di negara mana saja dan di daerah mana saja bukan karena adat Aceh-nya yang
keras. Dengan demikian penyimpangan perilaku dengan timbulnya KDRT sebenarnya juga penyimpangan dari
adat istiadat Aceh.
Di tengah masih kuatnya nilai-nilai patriarkhal yang dianggap sebagai nilai satu-satunya di masyarakat,
terdapat peluang untuk mengubah situasi yang tidak demokratis itu. Peluang tersebut ada pada masyarakat
sendiri. Tetapi, untuk memanfaatkan peluang tersebut, masyarakat, lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif,
mesti diubah perspektifnya lebih dulu.
Artinya peran semua elemen masyarakat sangat besar dalam
penanganan kekerasan terhadap perempuan. Penyelesaian kasus KDRT menurut hukum adat, bersendikan
simbol mukim adalah mesjid, simbol gampong adalah meunasah. Hal ini berarti, semua persoalan-persoalan
masyarakat termasuk KDRT diselesaikan oleh tokoh-tokoh gampong seperti tuha peut atau tuha lapan namun
Sri Walny Rahay
16
penyelesaiannya dilakukan di meunasah atau di mesjid. Meunasah/mesjid punya nuansa tersendiri untuk
menyelesaikan setiap persoalan gampong dibandingkan dengan penyelesaiannya yang dilakukan di luar
tersebut.
Sampai saat ini juga telah ada LSM nasional/lokal/Internasional yang telah membuat layanan-layanan
untuk perempuan korban kekerasan seperti women crisis center, lembaga bantuan hukum, rumah lindung
(shelter), atau pendampingan korban, jumlahnya masih jauh dari memadai dari kebutuhan. Apalagi jumlah
perempuan korban kekerasan tidak selalu berada di kota-kota besar. Pekerja sosial menjadi penting dalam hal
ini menjadi penting, yang dibantu oleh segenap elemen komunitas dan pemerintah gampong yang ada. Dapat
dicontohkan bagaimana upaya yang dilakukan komunitas tersebut, dalam mencegah dan menangulangi
perempuan dan anak-anak korban kekerasan yang berada jauh dari lokasi dari pusat informasi, komunikasi dan
transportasi yang sulit. Dapat dibayangkan bagaimana jika perempuan dan anak di daerah tersebut menjadi
korban KDRT.
Selain hal tersebut, korban kekerasan membutuhkan bukan hanya pengobatan secara fisik, tetapi juga
penanganan masalah psikososial dan hukum dengan pendampingan untuk mengatasi trauma. Dengan kata
lain, penanganan korban kekerasan memerlukan layanan terpadu multidisiplin.
a.
Badan Pemberdayaan Perempuan, bagian Pemberdayaan Perempuan Kabupaten/kota
Badan PP dan Perlindungan anak, atau bagian PP di kabupaten/kota telah melakukan sejumlah
kegiatan dalam rangka mencegah segala bentuk KTP termasuk KDRT dan kekerasan terhadap anak.
Diantaranya adalah sosialisasi Undang-Undang PKDRT, dan Undang-Undang Perlindungan Anak ke
berbagai kabupaten kota, ke barak-barak pengungsi korban tsunami, sosialisasi ke dinas-dinas terkait di
kabupaten kota. Sosialisasi juga dilakukan diberbagai media cetak dan elektronik, seperti radio, televisi,
buklet-buklet dan juga dalam bentuk buku yang telah disebar-luaskan ke berbagai daerah di Provinsi NAD.
Di Kota Banda Aceh dan Jantho Kabupaten Aceh Besar juga telah dibangun Pusat Pelayanan Terpadu
Perberdayaan Perempuan (P2TP2). Konsep P2TP2 adalah salah satu bentuk layanan dalam upaya
pemenuhan kebutuhan peningkatan pendidikan, kesehatan, ekonomi, penanggulangan tindak kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan anak serta peningkatan posisi dan kondisi peremuan dalam
masyarakat. Selain itu P2TP2 berperan sebagai wadah pelayanan pemberdayaan perempuan dan anak
berbasis masyarakat.
b.
Poltabes Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
Telah melakukan sosialisasi kepada segenap jajarannya terutama Kapolsek-Kapolsek yang ada di
kecamatan, mengenai UU PKDRT dan juga Undang-Undang Perlindungan Anak. Poltabes juga telah
Sri Walny Rahay
17
menyediakan Ruang Pelayanan Kusus (RPK) berikut peningkatan kualitas sumber daya Polisi Wanita
(Polwan) yang akan menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk
didalamnya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Adapun di Kabupaten Aceh Besar, pelayanan yang
diberikan terhadap KTP khususnya fungsi RPK belum semaksimal di Kota Banda Aceh. Sumber daya
Polwan yang memahami masalah kekerasan masih sangat terbatas.
c.
Polsek – Polsek yang ada Di Kecamatan
Pihak kepolisian sendiri cenderung mendamaikan kembali jika terjadi KDRT pada tingkat gampong
yang dilaporkan kepada mereka. Seperi kasus yang terjadi di Polsek Darussalam yaitu suami yang menendang
isterinya hingga memar di bagian dagunya, oleh karena banyak hal yang dipertimbangkan disamping faktor
isteri yang sedang hamil, suami tersebut nampaknya tidak dengan sengaja menendang isterinya, namun
kepada suami yang bersangkutan dikenakan sanksi wajib lapor. Pihak polsek sendiri sudah pernah juga
melakukan sosialisasi PKDRT ke beberapa tempat tapi diakui masih sangat kurang. Jika terjadi kasus KDRT
sebaiknya masyarakat yang ingin melapor ke pihak kepolisian, polsek Darussalam menganjurkan untuk
melapor ke Poltabes saja yang ada di Jambo Tape. Hal ini disebabkan di Polsek sendiri tidak ada fasilitas
seperti RPK dan SDM (polwan) yang sebaiknya menangani kasus KDRT karena biasanya korban utama KDRT
adalah perempuan.
d.
Potensi puskesmas di Kecamatan
Petugas kesehatan memegang posisi strategis, tetapi ada hambatan, yaitu petugas kurang responsif
dan belum memahami perannya. Selain itu, petugas kesehatan memang kurang terampil seperti luput dalam
pendokumentasian kasus kekerasan secara baik. Selain itu bagaimana mereka dapat memberi tin dak lanjut
sepertyi konseling, perawatan dan melakukan rujukan. Sikap yang masih dipengaruhi budaya dan sikap sosial
yang memandang negatif terhadap perempuan korban, alokasi dana yang terbatas bagi penanganan KDRT,
karena puskesmas tersebut juga punya skala prioritas seperti penurunan angka kematian ibu dan balita,
demam berdarah.
e.
Peran Kantor Urusan Agama di Kecamatan
Hampir semua Kantor urusan agama kecamatan (Kuakec) pernah menasehati/membimbing sejumlah
pasangan suami isteri yang berselisih atas permintaan keuchik gampong.
Jumlah secara otentik tidak
terdokumentasi dengan baik, kecuali Kuakec Baiturrahman dan Darul Imarah yang memiliki data sekunder.Jika
suami-isteri betul-betul ingin berpisah, mereka langsung ke Mahkamah Syar’iyah. Penyebab dari perselisihan
Sri Walny Rahay
18
suami isteri sering tidak terungkap di Kuakec. karena pada prinsipnya mereka datang karena mau berdamai
dan tidak mau memberitahukan aib pasangannya masing-masing.
f.
Upaya Penyelesaian Kasus KDRT Pada Tingkat Gampong
Menurut keuchik, dan masyarakat di semua desa yang dijadikan sampel dalam penelitian ini serta
diperkuat lagi oleh hasil wawancara dengan Ketua Majelis adat Aceh (MAA), seharusnya jika terjadi
pertengkaran hebat antara suami isteri sampai menjurus kepada pemukulan penyelesaian yang harus
ditempuh pada tingkat gampong adalah mengadu ke keuchik, yang akan menyelesaikan bersama-sama
anggota tuha peut.
g.
Membangun jaringan
Membangun jaringan multi sektor untuk sosialisasi dan advokasi mencegah dan menanggulangi KDRT
berikut legislasinya perlu dilakukan secara berkelanjutan. Inti dari membangun jaringan di antara organisasi
non pemerintah dan ormas perempuan dengan mengajak kelompok akademisi, penyintas, tokoh agama, adat,
segenap elemen masyarakat, birokrat, aparat penegak hukum, legislatif serta media massa adalah membagi
tugas masing-masing ”siapa melakukan apa”. ” Dalam hal ini termasuk berjaringan dan memiliki akses terhadap
produk perundang-undangang setingkat daerah (qanun) atau legislasi nasional bahkan juga memiliki akses
dalam sistem perencanaan dan penganggaran pemerintah, sehingga dapat melihat celah di mana bisa
melakukan advokasi kebijakan yang sensitif gender.
G.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
adalah sebagai berikut :
1.
Strategi atau treatment yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota selama ini belum cukup
maksimal, bagi penanganan KDRT, meskipun telah melibatkan berbagai komponen masyarakat, LSM,
tokoh ulama dan adat.
2.
Intensitas dan eskalasi KDRT dalam masyarakat yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan
frekuensi yang meningkat pasca tsunami. Bentuk-bentuk KDRT yang diterima oleh perempuan secara
berlapis (kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi) bahkan bentuk tersebut
berbarengan terjadinya. Salah satu alasan dominan dalam masalah gugat cerai yang dilakukan oleh
perempuan/istri kepada suaminya, karena suami melakukan poligami. Sehingga ditemukan fakta
bahwa, poligami memiliki relasi kuat dengan masalah KDRT, di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar.
3.
Relasi antara korban dengan pelaku baik kekerasan terhadap perempuan maupun anak-anak, adalah
orang-orang yang dikenal baik oleh korban, bahkan memiliki hubungan darah.
Sri Walny Rahay
4.
Masalah KDRT masih dianggap wilayah tertutup/privacy sifatnya.
19
Hampir semua partisipan
menyatakan bahwa komunitas baru bertindak jika diminta oleh korban. Inisiatif untuk mencegah KDRT
di tingkat gampong dilakukan oleh keuchik, tuha peut, tuha lapan. Belum ada inisiatif penanganan
masalah KDRT oleh pemerintahan gampong, karena mereka
Saran-saran
1.
Program sosialisasi KDRT berikut legislasi yang mengaturnya juga memperhatikan komunitas
gampong, mukim, berikut pemerintahannya. Program KDRT termasuk bagaimana mencegah dan
mengatasi korban KDRT sampai pendampingan korabn dan pelaku di bidang agama yang dilakukan
oleh tokoh agama/adat di gampong, atau mukim.
2.
Puskesmas merupakan garda terdepan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan
termasuk KDRT. Diperlukan sejumlah sarana dan prasarana yang memadai berikut kemampuan
tenaga medis yang baik untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Adanya
sejumlah pelatihan, workshop atau pendidikan lainnya bagi meningkatkan keterampilan tenaga medis
untuk hal tersebut. Hal ini tentu saja disertai dengan adanya anggaran yang cukup bagi puskesmaspuskesmas dalam menangani masalah kekerasan.
3.
Perlu adanya koordinasi dan konsolidasi terhadap jaringan yang bekerja untuk menangani masalah
kekerasan terhadap perempuan, dimana KDRT termasuk salah satu dari kekerasan tersebut.
4.
Diperlukan perluasan wilayah jaringan program penanganan kekerasan terhadap perempuan dengan
melibatkan seluruh komponen masyarakat, LSM, Ormas, dan lain-lain, sehingga tidak hanya terfokus di
wilayah yang mudah dijangkau oleh sarana komunikasi, transportasi dan teknologi, tetapi menyebar ke
lokasi-lokasi yang sulit dijangkau oleh hal-hal tersebut.
Sri Walny Rahay
20
A.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Aceh Dalam Angka, 2004.
BAPPEDA Propinsi NAD, 2005.
Gadis Arivia, (2003) Filsafat Perspektif Feminis, YJP, Jakarta.
Hasyim, MK, CS, (1997), Peri Bahasa Aceh , Penerbit Dinas P&K Daerah Istimewa Aceh.
Mansour Faqih (1996), Mengeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Nursyahbani Katjasungkana dan Mumtahanah, (2002), Kasus-kasus Hukum Kekerasan Terhadap
Perempuan, LBH Apik, Jakarta.
Rita Serena Kolibonso (2001), Optional Protokol Terhadap Konvensi penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, Mitra Perempuan, Jakarta.
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, (2004), Budaya Masyarakat Aceh, Badan
Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh.
Perpustakaan Provinsi
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi (ed), (1989), Metode Penelitian Survei. Edisi ke-2, Yogyayakarta,
Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, Universitas Gajah Mada. Seri Metodologi No. 6.
Sulistyowati Irianto, (2006), dalam Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan, NZAID bekerjamasa dengan CW UI dan Yayasan Obor, Jakarta.
Sulistyowati Irianto dan L.I. Nurtjahyo (2006), Perempuan di Persidangan: Pemantauan Peradilan
Berperspektif Perempuan, Obor, Jakarta.
Tapi Omas Ihromi, et. al (ed), Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (2000), Alumni, Bandung.
B.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan atau The Convention on The Elimination of All Forms
of Discrimination against Women- CEDAW.
Republik Indonesia UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Republik Indonesia, UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).
Sri Walny Rahay
21
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita – CEDAW
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
D. HASIL PENELITIAN
Unicef (2006), Assesment of Child Abuse, Exploitation and Trafficking in NAD Province and Nias
After Tsunami, dilaksanakan oleh Tim Peneliti PSG Unsyiah dibantu sepenuhnya oleh Emmy
LS, Retno dan Rino Antarini.
Satker BRR NAD-NIAS (2006), Kondisi Riil Perempuan di 16 Kabupaten/Kota Provinsi NAD,
Dilaksanakan oleh Tim Peneliti Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Syiah Kuala.
C.
MAKALAH/JURNAL/HARIAN
Acep Sugiri dalam Harian Kompas, Mencari Teori Kesetaraan: (Analisis Gender VS Teori Hukum
Hukum Islam, Senin, 23 Agustus 2004.
Flyer yang diterbitkan secara kerjasama antara Komnas Perempuan dan Body Shop dalam Sulistyowati
Irianto.
Harian Kompas, 10 Mei 2004.
Husein Muhammad, (2006), Perempuan dalam Pandangan Agama, Makalah disampaikan dalam
Pelatihan Penyadaran Gender di KPMM, tanggal 20-23 Juli.
Mitra Perempuan, Informasi Tahun 2005 Statistik Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ratna Batara Munti dalam Jurnal Perempuan No. 45, (2006), Sejauh mana Nagara Memperhatikan
Masalah Perempuan? (Cedaw dan pertanyaan Tentang kebijakan-kebijakan Negara), YJP,
Jakarta.
__________________, dalam Jurnal Perempuan No. 45, (2006), Diskriminasi itu Bernama Kekerasan
Terhadap Perempuan, YJP, Jakarta.
E.
SUMBER INTERNET
Jurnal Perempuan. Com. tahun 2005.
Download