Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides

advertisement
Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides
Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa
NAMA
NRP
JURUSAN
Dosen Pembimbing
: Ika Puspita Ningrum
: 1507 100 059
: Biologi
: Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si
Nengah Dwianita Kuswytasari, S.Si., M.Si
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah senyawa antikanker dari spons laut Aaptos
suberitoides memiliki pengaruh terhadap siklus sel HeLa. Penghambatan siklus sel dilihat dengan
menggunakan metode flowcytometry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak A. suberitoides 38,25
µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10% dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu
sebesar50,22%, sedangkan ekstrak A. suberitoides 15,3 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar
7,45% dan akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar 48,50%. Setelah dikombinasi dengan
cisplatin, akumulasi sel terbesar terjadi pada fase S, yaitu sebesar 25,13%.
Kata Kunci : Ekstrak Spons Aaptos suberitoides, sel HeLa, Siklus Sel
tersebut dapat menghambat ekspresi gen p53
(Prayitno et al., 2005). Gen p53 adalah gen yang
mengendalikan apoptosis (Kumar et al., 2003)
Berbagai macam senyawa telah
dikembangkan melawan kanker yang meliputi
senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit,
obat-obat radiomimetik, hormon dan senyawa
antagonis. Akan tetapi tak satupun jenis
senyawa-senyawa ini menghasilkan efek yang
memuaskan dan tanpa efek samping yang
merugikan (Astuti et al., 2005). Oleh karena itu
mulai banyak dilakukan penelitian tentang
bahan obat antikanker yang berasal dari alam.
Keunggulan obat bahan alam adalah memiliki
efek samping yang relatif kecil bila digunakan
dengan benar dan tepat (Ixora, 2007).
Keanekaragaman hayati perairan laut
Indonesia
memberi
peluang
untuk
memanfaatkan biota laut untuk pencarian
senyawa bioaktif yang baru, salah satunya
adalah spons. Penelitian yang telah ada terhadap
spons menghasilkan senyawa-senyawa baru
dengan struktur yang unik dan memiliki
aktivitas farmakologis (Astuti et al., 2005).
Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh spons
genus Aaptos adalah aaptamin yang berpotensi
sebagai senyawa antikanker (Aoki et al., 2006),
yang bekerja dengan mekanisme apoptosis
(Mayer, 2008).
Sebelum diaplikasikan kepada manusia,
senyawa bioaktif yang akan digunakan sebagai
produk farmasi harus diujikan terlebih dahulu
1. Pendahuluan
Kanker atau disebut juga dengan
karsinoma,
merupakan
penyakit
yang
disebabkan rusaknya mekanisme pengaturan
dasar perilaku sel, khususnya mekanisme
pertumbuhan dan diferensiasi sel yang diatur
oleh gen; sehingga faktor genetik diduga kuat
sebagai pencetus utama terjadinya kanker. Salah
satu jenis kanker adalah kanker leher rahim
(serviks). Kanker serviks merupakan salah satu
ancaman malignansi terbesar bagi wanita. Di
negara sedang berkembang, kanker serviks
menduduki urutan teratas bagi kanker
ginekologi wanita dan mencakup 20-30% dari
keseluruhan kanker yang menginfeksi wanita
(Edianto, 2006; Rosai, 2004). Sel kanker serviks
atau disebut juga sel HeLa terjadi akibat infeksi
Human Papillomavirus (HPV 18) sehingga
mempunyai sifat yang berbeda dengan sel
serviks normal. Sel kanker serviks yang
diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2
onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7
terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada
kultur primer keratinosit manusia, namun sel
yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik
hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral
onkogen tersebut tidak secara langsung
menginduksi pembentukan tumor, tetapi
menginduksi serangkaian proses yang pada
akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker
(Goodwin dan DiMaio, 2000). Sifat immortal
tersebut disebabkan karena kedua viral onkogen
i
kepada hewan percobaan (Doyle dan Griffiths,
2000). Uji sitotoksisitas untuk skrining senyawa
antikanker adalah metode BST (Brine Shrimp
Test) (Astuti et al., 2005). Hasil dari uji BST
dari spons yang ditemukan di perairan
Situbondo menunjukkan bahwa A. suberitoides
memiliki tingkat toksisitas yang paling tinggi
dengan nilai LC50 134.14 ± 36.61
ppm
(Nurhayati et al, 2008). Selain uji BST juga
perlu dilakukan uji sitotoksisitas secara in vitro,
yaitu mendeteksi aktivitas suatu senyawa
dengan menggunakan kultur sel (Meyer, 1982).
Uji sitotoksisitas ini merupakan uji kualitatif dan
kuantitatif dengan cara menetapkan kematian sel
(Freshney, 2000).
Uji
sitotoksik
digunakan
untuk
menentukan parameter nilai IC50 (inhibitor
concentration 50). Nilai IC50 menunjukkan nilai
konsentrasi yang menghasilkan hambatan
proliferasi sel 50 % dan menunjukkan potensi
ketoksikan suatu senyawa terhadap sel
(Meiyanto, 2006). Penelitian yang telah
dilakukan oleh Fadjri (2010) mengenai uji
sitotoksisitas ekstrak spons A. suberitoides
terhadap sel kanker HeLa didapatkan nilai IC50
sebesar 153.007 µg/mL. Selanjutnya perlu
dilakukan analisis pertumbuhan sel untuk
mengetahui fase siklus sel dimana suatu
senyawa menghambat pertumbuhan sel (Givan,
2001). Metode yang digunakan untuk
menganalisis
pertumbuhan
sel
adalah
flowcytometry. Flow cytometry adalah teknik
yang digunakan untuk menghitung dan
menganalisa
partikel
mikroskopis
yang
tersuspensi dalam aliran fluida (Cytopathol,
2009). Flow cytometry dapat digunakan untuk
menganalisa DNA content sel melalui
pewarnaan sel dengan pewarna propidium
iodide (PI) atau 4’,6’-diamino-2-phenylindole
(DAPI) (Darzynkiewicz, 1996). Menurut
Ohizumi et al., dalam Xu (2000) spons A.
suberitoides mengandung senyawa aaptamin
yang mampu menghambat pertumbuhan sel
HeLa pada fase G2.
dalam alkohol. Spikula dari kelas Demospongia
berbentuk monaxon atau tetraxon yang
mengandung silikat (Amir dan Agus, 1996).
Berikut merupakan klasifikasi dari Aaptos
suberitoides menurut Schmidt (1964) :
Domain
: Eukariota
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Porifera
Class
: Demospongiae
Ordo
: Hadromerida
Family
: Suberitidae
Genus
: Aaptos
Species
: Aaptos suberitoides
2.3 Kanker
Menurut Franks L. M. dan Teich N. M.
(1998), sel kanker itu timbul dari sel normal
tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi
menjadi ganas, karena adanya mutasi spontan
atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus
terjadinya kanker). Transformasi sel itu terjadi
karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan
dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan
atau suppressor gen (anti onkogen). Sedangkan
paparan karsinogen antara lain berbagai jenis
virus, bahan kimia dan radiasi, ultraviolet.
Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki
sifat biologis yang sama yaitu dapat
mengakibatkan
kerusakan
pada
DNA.
Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa
DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan
karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan
perubahan DNA sel (Kresno, 2003).
Apabila perbaikan DNA karena adanya
perubahan DNA tersebut gagal, maka terjadi
mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan
pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan,
perubahan
gen
yang
mengendalikan
pertumbuhan, serta penonaktifan gen supresor
kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan
timbulnya neoplasma ganas atau lebih dikenal
dengan kanker (Kumar et al., 2003).
2.3.1 Sel Kanker HeLa
Sel Hela adalah sel yang berasal dari
sel-sel kanker serviks yang diambil dari seorang
penderita kanker serviks bernama Henrietta
Lacks. Sel ini bersifat imortal dan produktif
sehingga banyak digunakan dalam penelitian
ilmiah (Rahbari et al., 2009; Capes et al., 2010;
Watts and Denise, 2010). Sel HeLa melakukan
proliferasi dengan sangat cepat dibandingkan
dengan sel kanker lainnya. Rebecca Skloot’s
dalam The Immortal Life of Henrietta Lacks
menjelaskan bahwa sel HeLa mempunyai
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Deskripsi Spons Aaptos suberitoides
Spons Aaptos suberitoides merupakan
jenis spons yang membentuk massa lobus
globular (Voogd, 2004), lebih lanjut Brondsted
(1934) dalam Van Soest (1989) menjelaskan
struktur dari A. suberitoides adalah kumpulan
dari lobus globular osculiferus, berwana orange
kecoklatan, memiliki permukaan kasar (gambar
2.1) dan berwarna hitam apabila dimasukkan ke
ii
telomerase aktif selama pembelahan sel,
sehingga mencegah pemendekan telomere yang
menyangkut penuaan dan kematian sel (Sharrer,
2006). Transfer gen horizontal dari human
papillomavirus 18 (HPV18) ke sel serviks
manusia menghasilkan genom HeLa yang
berbeda dari genom induk dengan berbagai cara
termasuk jumlah kromosomnya (Macville et al.,
1999).
Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV
diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6
dan E7. Protein E6 dan E7 dari HPV
memodulasi protein seluler yang mengatur daur
sel. Protein E6 berikatan dengan tumor
suppressor protein p53 dan mempercepat
degradasi p53 yang diperantarai ubiquitin.
Protein E6 juga menstimulasi aktivitas enzim
telomerase. Sedangkan protein E7 dapat
mengikat bentuk aktif terhipofosforilasi dari
p105Rb dan anggota lain dari famili Rb. Ikatan
ini menyebabkan destabilisasi Rb dan pecahnya
kompleks Rb/E2F yang berperan menekan
transkripsi gen yang diperlukan untuk cell cycle
progression (DeFilippis, et al., 2003). Sebagian
besar sel kanker serviks, termasuk sel HeLa,
mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk
wild type. Jadi, gen pengatur pertumbuhan yang
aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam
sel kanker serviks. Namun, aktivitasnya
dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari
HPV (Goodwin dan DiMaio, 2000).
siklin dan CDK berkaitan dengan setiap transisi
penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini
menggunakan efeknya dengan memfosforilasi
sekelompok substrat protein tertentu (Kumar et
al., 2003).
2.4.1 Fase G1
Pada fase G1 terutama disintesis asam
ribonukleat, sel akan tumbuh, struktur
sitoplasma
tertentu akan
berdiferensiasi
(Mutschler, 1999). Selama fase ini nukleus
membesar dan volume sitoplasma meningkat
dengan cepat sehingga disebut fase sintesis,
protein yang dapat memacu pembelahan sel,
tubulin dan protein yang akan membentuk
spindel (Suryo, 2007).
2.4.2 Fase-S
Pada fase-S ini dibentuk untai DNA
baru melalui proses replikasi. Replikasi DNA
terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase.
Dengan dibentuknya DNA baru maka rantai
tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja,
2000). Pada fase S dengan pembentukan asam
deoksiribonukleat baru, jumlah kromosom akan
berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan
dipersiapkan (Mutschler, 1999). Suryo (2007)
menyebutkan bahwa pada akhir fase ini
terbentuk 2 kromatid.
2.4.3 Fase-G2
Pada fase ini dibentuk RNA, protein,
enzim, dan sebagainya untuk persiapan fase
berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase
ini disebut juga fase pramitosis dengan ciri sel
berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali
lebih banyak daripada sel fase lain dan masih
berlangsungnya sintesis DNA dan protein
(Nafrialdi dan Gan, 1995). Selain itu, pada fase
G2 kromosom sudah ada dalam bentuk
kromatida (Mutschler, 1999).
Apabila terjadi kerusakan DNA dan
DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka
proliferasi sel manuju fase M diblok dan
dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini
dilakukan oleh protein kinase ChkI yang
memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25
sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini
menyebabkan fase M diblok karena tidak
terbentuknya cdk1/siklin B sebagai regulator
menuju fase M (Cooper, 2000). Penghentian
pada fase G2 dilakukan untuk perbaikan DNA,
tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan
maka terjadi apoptosis (Freshney, 2000).
2.4 Siklus Sel
Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu
fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap 2 (G2), dan M
(Mitosis) (gambar 2.4) (Rang et al., 2003).
Lamanya siklus tersebut berbeda-beda pada
berbagai macam organisme. Pada sel normal
manusia sekitar 20-24 jam. Fase G1
membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam,
fase G2 5 jam dan fase M 1 jam. Waktu generasi
untuk kultur sel pada umumnya sama dengan sel
normal (Freshney, 2000).
Masuk dan berkembangnya sel melalui
siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada
kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang
disebut siklin. Pada tahapan tertentu siklus
sel,kadar berbagai siklin meningkat setelah
didegradasi dengan cepat saat sel bergerak
melalui siklus tersebut. Siklin menjalankan
fungsi regulasinya melalui pembentukan
kompleks dengan (sehingga akan mengaktivasi)
protein yang disintesis secara konstitutif yang
disebut kinase bergantung siklin (CDK, cyclindependent kinase). Kombinasi yang berbeda dari
2.4.4
Fase-M
Pada fase ini sintesis protein dan RNA
berkurang secara tiba-tiba dan terjadi
iii
pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan,
1995). Pembelahan menjadi dua sel ini terdiri
dari empat tahap, yaitu profase, metaphase,
anaphase, dan telofase. Pada awal fase mitosis
ditandai dengan terbentuknya benang spindel
dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom
(pusztai et al., 1996).
dihubungkan dengan pathway kematian sel
melalui regulasi protein. Pada regulasi ini
terdapat dua metode yang telah dikenali untuk
mekanisme apoptosis, yaitu : melalui
mitokondria dan penghantaran sinyal secara
langsung melalui adapter protein (Lumongga,
2008).
1. Extrinsic Pathway (di inisiasi oleh
kematian receptor)
Pathway ini diinisiasi oleh
pengikatan receptor kematian pada
permukaan sel
pada berbagai sel.
Reseptor kematian merupakan bagian
dari reseptor tumor nekrosis faktor yang
terdiri dari cytoplasmic domain,
berfungsi untuk mengirim sinyal
apoptotis. Reseptor kematian yang
diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1
yang dihubungkan dengan protein Fas
(CD95). Pada saat Fas berikatan dengan
ligandnya, membran menuju ligand
(FasL). Tiga atau lebih molekul Fas
bergabung dan cytoplasmic death
domain membentuk binding site untuk
adapter protein FADD (Fas-associated
death domain). FADD ini melekat pada
reseptor kematian dan mulai berikatan
dengan bentuk inaktif dari caspase 8.
Molekul procaspase ini kemudian
dibawa ke atas dan kemudian pecah
menjadi caspase 8 aktif. Enzym ini
kemudian mencetuskan cascade aktifasi
caspase dan kemudian mengaktifkan
procaspase lainnya dan mengaktifkan
enzym untuk mediator pada fase
eksekusi. Pathway ini dapat dihambat
oleh protein FLIP, tidak menyebabkan
pecahnya enzym procaspase 8 dan tidak
menjadi aktif (Lumongga, 2008).
2. Intrinsic pathway (Mitokondrial)
Pathway ini terjadi oleh karena
adanya permeabilitas mitokondria dan
pelepasan mollekul pro-apoptosis ke
dalam sitoplasma,tanpa memerlukan
reseptor kematian. Faktor pertumbuhan
dan sinyal lainnya dapat merangsang
pembentukan
protein antiapoptosis
Bcl2,yang berfungsi sebagai regulasi
apoptosis. Protein apoptosis yang utama
adalah : Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada
keadaan normal terdapat pada membran
mitokondria dan sitoplasma. Pada saat
sel mengalami stress, Bcl-2 dan Bcl-x
menghilang dari membran mitokondria
dan digantikan oleh pro-apoptosis
2.5 Apoptosis
Apoptosis adalah program kematian sel
sebagai
respon
fisiologis
sel
untuk
mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan
tubuh. Apoptosis berperan secara esensial dalam
embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel
yang jumlahnya berlebihan. Apoptosis juga
berperan dalam memantau perubahan pada selsel kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan
pertama untuk melawan mutasi dengan
membersihkan sel-sel DNA abnormal yang
dapat menjadi ganas. Dengan demikian
apoptosis merupakan bagian dari system imun
dan juga untuk mengontrol populasi sel normal
dalam tubuh (Rang et al., 2003 dalam Meye,
2009).
Proses apoptosis diawali dengan
terkondensasinya kromatin di dalam nukleus
menjadi suatu massa yang padat dan DNA
terfragmentasi
kemudian
sitoplasmanya
menyusut (gambar 2.5). Selanjutnya terjadi
pelekukan (blebbing) pada membran sel.
Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi
menyebar menuju ke lekukan-lekukan membran
sel membentuk badan apoptosis yang akan
difagosit oleh makrofag (Doyle & Ggriffiths,
2000; King, 2000).
Proses apoptosis dikendalikan oleh
berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat berasal
dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang
termasuk pada sinyal ekstrinsik antara lain
hormon, faktor pertumbuhan, dan cytokine.
Semua sinyal tersebut harus dapat menembus
membran plasma ataupun transduksi untuk dapat
menimbulkan respon (Lumongga, 2008).
Sinyal intrinsik apoptosis merupakan
suatu respon yang diinisiasi oleh sel sebagai
respon terhadap stress dan akhirnya dapat
mengakibatkan kematian sel. Pengikatan
reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas,
radiasi, kekurangan nutrisi, infeksi virus dan
hipoksia merupakan kedaan yang dapat
menimbulkan pelepasan sinyal apoptosis
intrinsic melalui kerusakan sel (Lumongga,
2008).
Sebelum terjadi proses kematian sel
melalui enzym, sinyal apoptosis harus
iv
protein, seperti Bak, Bax. Bim. Sewaktu
kadar
Bcl-2,
Bcl-x
menurun,
permeabilitas membran mitokondria
meningkat, beberapa protein dapat
mengaktifkan cascade caspase. Salah
satu protein tersebut adalah cytochrom-c
yang diperlukan untuk proses respirasi
pada motokondria. Di dalam sitosol,
cytochrom c berikatan dengan protein
Apaf-1 (apoptosis activating factor-1)
dan mengaktifasi caspase-9. Protein
mitokondria lainnya, seperti Apoptosis
Including Factor (AIF) memasuki
sitoplasma dengan berbagai inhibitor
apoptosis yang pada keadaan normal
untuk menghambat aktivasi caspase
(Lumongga, 2008).
kombinasi dari pewarna dan eksitasi
panjang gelombang memungkinkan
estimasi multiple determinan pada
setiap sel, misalnya dapat dibedakan
antara berbagai jenis sel dalam populasi
sel campuran atau menunjukkan
hubungan antara variable seluler yang
berbeda.
Kecepatan analisis sel
Mengingat
kebutuhan
untuk
menghindari kesalahan perhitungan dan
kerusakan mekanisme dari sel yang
hendak
dianalisa,
kombinasi
konsentrasi sel dan laju aliran linear
yang umumnya digunakan pada analisa
flow cytometry yaitu 100-1000 sel per
detik.
Sehingga
apabila
ingin
mendapatkan tingkat presisi yang
memadai dalam penilaian distribusi
populasi sel yang berbeda, misalnya
jika peristiwa yang diakuisisi sebanyak
10000, maka waktu yang dibutuhkan
hanya 10-100 detik.
Kemampuan penyortiran sel
Data yang diperoleh dari pengukuran
flow cytometry dianalisa dengan cukup
cepat sehingga perlu digunakan
penyortiran sel untuk memisahkan atau
membedakan sel dengan sifat yang
diinginkan. Prosedur ini biasanya
dikenal dengan fluorescence-activated
cell sorting.
2.6 Flow cytometry
Flow cytometry adalah teknik yang
digunakan untuk menghitung dan menganalisa
partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam
aliran fluida (Cytopathol, 2009). Prinsip dasar
dari metode ini adalah berdasarkan flourosensi.
Suspensi sel atau partikel yang hendak dianalisa
disedot atau dialirkan. Aliran dikelilingi oleh
fluida yang sempit, sel akan melewati satu demi
satu melalui sinar laser terfokus (gambar 2.6).
Sinar laser akan menyerang sel tersebut. Sel
yang sesuai dengan cahaya laser dan panjang
gelombang yang tepat dapat dipancarkan
kembali
sebagai
fluoresensi
jika
sel
mengandung zat alami fluorescent satu atau
lebih fluorochrome-label antibodi melekat pada
permukaan atau struktur internal sel. Penyerapan
cahaya tergantung pada struktur internal sel dan
ukuran dan bentuknya. Cahaya fluoresensi
terdeteksi oleh serangkaian dioda. Filter optik
berfungsi untuk memblokir cahaya yang tidak
diinginkan. Hasil data disimpan melalui
komputer (Ulfah, 2010).
Flow cytometry merupakan analisis
mikroskopis yang memiliki kemampuan untuk
menganalisis sel-sel secara individu. Kelebihan
flow cytometry setidaknya ada tiga faktor utama,
yaitu multiparameter akuisisi data dan analisis
data multivariate, kecepatan analisis sel, dan
kemampuan dalam penyortiran sel (Davey dan
Douglas, 1996) :
Multiparameter akuisisi data dan
analisis data multivariate
Analisis sel secara konvensional
cenderung mengukur hanya satu
determinan suatu sampel pada satu
waktu. Namun, pada flow cytometry,
Kelemahan flow cytometry menurut
Davey dan Douglas (1996) ada dua, yaitu biaya
yang besar dan diperlukan operator yang
terampil untuk mendapatkan kinerja yang
optimal. Hite dan Ann (2001) menambahkan
kelemahan metode flow cytometry adalah
pengujian secara subyektif, yaitu operator dapat
menginterpretasi data dengan beberapa cara
yang berbeda.
3. Metodologi
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium Penelitian dan pengujian Terpadu
(LPPT) dan laboratorium patologi klinik
fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta pada bulan Januari - Juni 2011.
3.2
3.2.1
Alat dan Bahan
Alat
Alat yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah ekstraktor soxhlet, rotary
v
evaporator, autoclave, cawan porselin, inkubator
CO2, tangki nitrogen cair, tabung conical steril,
sentrifuge, timbangan analitik, lemari pendingin,
vorteks, laminar air flow cabinet, tissue culture
flask, mikropipet, blue tip, yellow tip, cell
counter, haemacytometer, 6-well plate, tabung
eppendorf, coverslip, gelas benda Poly-LLysine, gelas penutup, mikroskop inverted,
aluminium foil, tabung flowcyto, flowcytometer
FACS Calibur dan kamera.
akan didapatkan filtrat dan supernatan. Filtrat
yang
diperoleh
dievaporasi
untuk
menghilangkan etanol.
3.3.2
Pembuatan
Medium
Kultur
(Penumbuh) RPMI 1640
Medium kultur dibuat dari 20 mL Fetal
Bovine Serum (FBS) 10% yang dimasukkan ke
dalam botol steril, ditambah 2 mL penisilinstreptomisin 1%, 1mL fungizon 0,5% dan 200
mL medium RPMI 1640 murni. Medium kultur
dibuat di dalam LAF dan disimpan di dalam
lemari pendingin pada suhu ± 4°C (Nurulita &
Mahdalena, 2006; Mae et al., 2000 dalam Meye,
2009)
3.2.2
Bahan
Bahan
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah ekstrak spons Aaptos
suberitoides koleksi Laboratorium Zoologi
Jurusan Biologi FMIPA ITS yang diperoleh dari
Perairan Pesisir Situbondo Jawa Timur. Sel
kanker HeLa diperoleh dari Laboratorium
Parasitologi Kedokteran UGM Yogyakarta.
Bahan lain yang diperlukan adalah medium
RPMI (Rosewell Park Memorial Institute) 1640
(Sigma), medium kultur (penumbuh) RPMI
1640 yang mengandung Fetal Bovin Serum
(FBS) 10%, Fungizon 0.5% (v/v) dan antibiotik
Penisilin-Streptomisin 1% (v/v), phosphate
buffered saline (PBS) 20%, dan Cisplatin
sebagai kontrol positif. Pada uji apoptosis bahan
yang digunakan adalah PBS, tripsin-EDTA
0,25%, dan reagen flow cytometry.
3.3.3
Propagasi Sel HeLa
Kultur sel HeLa diambil dari stok yang
disimpan dalam tangki cair yang diletakkan
dalam lokator pada suhu -196°C. Ampul yang
berisi sel dicairkan dalam air ± 37.7 °C,
kemudian ampul disemprot dengan alkohol
70%. Ampul dibuka dan sel dipindahkan ke
dalam tabung conical steril yang berisi 10 ml
medium RPMI 1640. Suspensi sel disentrifuge
dengan kecepatan 1500 rpm selama ± 5 menit.
Supernatan dibuang, pellet ditambah 1 ml
medium penumbuh RPMI 1640 yang
mengandung FBS 10%. Lalu diresuspensikan
perlahan sampai homogen. Selanjutnya sel
ditumbuhkan dalam beberapa (2-3) buah tissue
culture flask kecil dan diinkubasi dalam
inkubator pada suhu 37°C dengan aliran 5%
CO2 dan 95% O2. Setelah 24 jam, media diganti
dan sel ditumbuhkan sampai konfluen dan
jumlahnya cukup untuk penelitian (Ola et al.,
2008; Mae et al., 2000 dalam Meye, 2009).
3.3 Cara Kerja
3.3.1. Ekstraksi Spons Laut
Ekstraksi spons dilakukan dengan
metode yang dilakukan oleh Harada dan Kamei
(1997) dan Horikawa et al (1999). Spons
diambil dan dipotong-potong menggunakan
pisau, selanjutnya ditambahkan alkohol.
Potongan spons dikeringanginkan selama 1
minggu hingga kering. Selanjutnya potongan
spons yang telah kering dihaluskan dengan
menggunakan blender sehingga terbentuk
ekstrak kasar. Ekstrak kasar yang telah didapat
kemudian dimaserasi. Ekstrak kasar spons
dimasukkan ke dalam maserator dengan
kapasitas 2,5 kg. Ekstrak kasar spons direndam
dalam etanol sampai seluruh ekstrak spon
terendam, campuran disaring dan dihasilkan
ekstrak spons. Filtrat spons yang telah didapat
dievaporasi.
Proses
selanjutnya
yaitu
pengadukan filtrat dengan stiring magnetic
mulai dari pelarut polar hingga pelarut non
polar. Filtrat diaduk dengan pelarut kloroform
dengan
perbandingan
1:5.
Pengadukan
dilakukan dengan replikasi 3 kali selama 2 jam
untuk tiap kali replikasi. Dari proses tersebut
3.3.4
Pemanenan Sel HeLa
Setelah jumlah sel HeLa cukup atau
konfluen (± 70%), medium dibuang. Selanjutnya
dicuci dengan PBS sebanyak dua kali.
Kemudian ditambahkan tripsin 0,25% sebanyak
300 µL, dan diinkubasi selama tiga menit di
dalam inkubator. Selanjutnya ditambahkan ± 5
mL medium kultur, lalu diresuspensi secara
perlahan menggunakan pipet. Sel telah siap
digunakan untuk penelitian (CCRC, 2009).
3.3.5
Analisis Siklus Sel
3.3.5.1 Treatmen Flow cytometri
Sel ditransfer ke dalam sumuran 6 well
plate, masing-masing 1000 μL (untuk perlakuan
dan untuk kontrol sel) dengan kepadatan 5 x 105
sel/ 1000 µl media. Dibuat seri konsentrasi
vi
resuspen pellet sel dengan 500 μL PBS dingin.
Suspensi sel digabungkan dalam kedua
eppendorf ke dalam eppendorf I. Eppendorf
kosong dibilas dengan PBS, lalu ditransfer ke
eppendorf I. Eppendorf I disentrifuse dengan
kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. PBS
dibuang dengan cara dituang. Selanjutnya
ditambahkan reagen flow cytometry sebanyak
400 μL pada tiap eppendorf, diresuspen dengan
homogen. Tiap eppendorf dibungkus dengan
alumunium foil dan diberi penandaan pada
bagian atas eppendorf. Semua eppendorf
diinkubasi di waterbath 37°C, 10 menit untuk
mengaktivasi RNase. Diresuspen lagi sebelum
ditransfer ke flowcyto-tube. Suspensi sel
ditransfer ke dalam flowcyto-tube melalui filter
(kain nylon/kain kaca) menggunakan mikropipet
1 ml. Tutup flowcyto-tube dilubangi terlebih
dahulu. Selanjutnya dibaca dengan flow
cytometer FACS Calibur untuk mengetahui
profil cell cycle. Data flow cytometry dianalisis
dengan program cell quest untuk melihat
distribusi sel pada fase-fase daur sel sub G1, S,
G2/M dan sel yang mengalami poliploidi
(CCRC, 2009). Flow cytometry dilakukan
dengan pancaran cahaya 488 nm dan dengan
kecepatan medium (500 sel/detik).
sampel dan agen kemoterapi (Cisplatin) untuk
perlakuan. Seri konsentrasi terdiri dari 2
konsentrasi: ¼ IC50 dan 1/10 IC50. IC50 ekstrak
spons A. suberitoides adalah 153.007 µg/mL,
dan IC50 Cisplatin adalah 33.424 µg/mL (Fadjri,
2010). Untuk masing-masing konsentrasi sampel
dan agen kemoterapi dibuat volume 500 μL
(bisa dilebihkan sedikit). Plate yang telah berisi
sel diambil dari inkubator. Media sel dibuang
dengan menggunakan pipet Pasteur secara
perlahan-lahan. Selanjutnya dicuci dengan 500
μL PBS ke dalam semua sumuran yang terisi sel.
PBS dibuang dengan pipet Pasteur secara
perlahan-lahan. Untuk kelompok perlakuan
kombinasi : dimasukkan 500 μL seri konsentrasi
sampel ke dalam sumuran. Kemudian
tambahkan 500 μL seri konsentrasi Cisplatin
untuk kombinasi. Untuk perlakuan tunggal :
dimasukkan 500 μL seri konsentrasi sampel atau
Cisplatin ke dalam sumuran. Kemudian
ditambahkan 500 μL MK (media kultur). Untuk
kontrol sel : ditambahkan 1000 μL MK ke dalam
sumuran. Selanjutnya semua well plate
diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama 24
jam (CCRC, 2009).
3.3.5.2 Preparasi sampel untuk flow
cytometry
Pertama-tama disiapkan 2 eppendorf
untuk 1 jenis perlakuan yaitu eppendorf I dan
eppendorf II. Selanjutnya media diambil dari
sumuran dengan mikropipet 1 ml, lalu ditransfer
ke eppendorf I, jika kurang dimasukkan ke
eppendorf II. Kemudian disentrifus dengan
kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. Media
dibuang dengan cara dituang. Selanjutnya
diisikan 500 μL PBS ke dalam setiap sumuran.
PBS diambil dengan mikropipet dan ditransfer
ke dalam eppendorf I. Disentrifus kembali
dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit.
PBS dibuang dengan cara dituang. Diulangi
pencucian dengan PBS sekali lagi. Kemudian
ditambahkan 150 μL tripsin-EDTA 0,25%, lalu
diinkubasi di inkubator selama 3 menit. Langkah
selanjutnya ditambahkan 1 ml MK pada tiap
sumuran, diresuspensi sampai sel lepas satu per
satu, dan diamati di bawah mikroskop. MK
untuk menginaktivasi tripsin. Setelah sel terlepas
satu-satu, sel ditransfer ke eppendorf I dan/ II.
PBS ditambahkan kembali sebanyak 500 μl ke
dalam sumuran untuk mengambil sisa sel,
kemudian ditransfer ke dalam eppendorf II.
Semua eppendorf disentrifus dengan kecepatan
2000 rpm selama 3 menit. MK/PBS dibuang
dengan cara dituang, kemudian ditambahkan dan
3.4
Analisis Data
Analisa data dilakukan secara deskriptif,
yaitu dengan membandingkan antara perlakuan
dengan kontrol. Analisis siklus sel dilakukan
pada fase siklus sel dimana terjadi akumulasi sel
terbesar pada masing-masing perlakuan.
4. Hasil dan Pembahasan
Kultur sel HeLa sering digunakan
sebagai model dalam penelitian karena tumbuh
lebih cepat sehingga mampu memproduksi lebih
banyak sel dalam satu flask dan merupakan sel
manusia yang umum digunakan untuk
kepentingan kultur sel. Kultur sel HeLa
memiliki sifat semi melekat. Hal ini disebabkan
karena sel kultur melepas suatu protein matriks
ekstraseluler sehingga menyebabkan sel–sel
tersebut menempel satu sama lain dan menempel
pada dasar microplate (Syaifuddin, 2007).
Uji sitotoksisitas diawali dengan
menumbuhkan sel HeLa hingga konfluen (7080% memenuhi dinding flask) pada medium
RPMI 1640-serum. Menurut Freshney (2000)
dalam medium ini terkandung nutrisi yang
cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino,
vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa.
Serum yang ditambahkan mengandung hormonvii
hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel.
Albumin berfungsi sebagai protein transport,
lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan
mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim.
Setelah sel yang akan digunakan sebagai
model uji jumlahnya cukup kemudian dilakukan
pemanenan sel yang dilanjutkan dengan
pencucian menggunakan PBS. Hal ini bertujuan
untuk membersihkan serum yang terkandung
dalam medium RPMI karena serum ini dapat
menghambat
kerja
tripsin.
Selanjutnya
dilakukan penambahan tripsin untuk melepas sel
dari dasar tabung dan dilanjutkan dengan
penambahan medium RPMI sehingga diperoleh
suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan ke
dalam microplate.
Setelah sel dalam microplate siap,
kemudian
dilakukan
penambahan
seri
konsentrasi ekstrak spons A. suberitoides,
cisplatin, kombinasi ekstrak A. suberitoides dan
cisplatin serta kontrol. Setelah inkubasi 24 jam
dan diamati di bawah mikroskop maka terlihat
adanya perubahan dari morfologi sel. Morfologi
sel kontrol dan setelah perlakuan dapat dilihat
pada gambar 4.1. Pengamatan mikroskopis
menunjukkan adanya perbedaan morfologi pada
sel HeLa kontrol dan perlakuan. Sel kontrol
tampak berbentuk seperti daun, menempel di
dasar sumuran, sedangkan sel dengan perlakuan
ekstrak A. suberitoides, cisplatin, dan kombinasi
terdapat sel yang mati. Sel yang mati tampak
berubah bentuknya, keruh dan mengapung.
Akumulasi sel pada siklus sel
merupakan salah satu target utama agen
antikanker. Pada penelitian ini pengamatan
siklus
sel
dilakukan
dengan
metode
flowcytometry. Dengan metode ini, dapat dilihat
distribusi sel pada masing-masing fase dalam
siklus sel setelah perlakuan, sehingga dapat
diperkirakan jalur penghambatan ekstrak A.
suberitoides serta kombinasinya dengan
cisplatin dalam menghambat siklus sel. Fasefase dalam siklus sel normal memiliki perbedaan
pada jumlah set kromosom yaitu fase G1 jumlah
set kromosomnya adalah 2n. Berlanjut pada fase
S, jumlah set kromosomnya antara 2n dan 4n
karena terjadi proses replikasi, sedangkan pada
fase G2 dan M, replikasi telah sempurna
membentuk set kromosom 4n. Begitu juga yang
terjadi pada sel HeLa, dimana pada fase G1
memiliki 2 set kromosom (2n), pada fase G2
antara 2n-4n, dan pada fase G2/M adalah 4n
(Collins et al., 1997). Dengan adanya
fluorochrome yang memiliki kemampuan
berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti
propium iodide maka tiap sel yang memiliki
jumlah set kromosom yang berbeda akan
memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda.
Semakin banyak set kromosom maka intensitas
fluoresensi akan semakin besar. Alat yang
digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi
tiap sel pada penelitian ini adalah FACS
(Fluorescence Activated Cell Sorting) atau
flowcytometer (Givan, 2001). Profil siklus sel
Hela dan distribusi sel HeLa setelah perlakuan
dapat dilihat pada gambar 4.2 dan table 4.1.
Salah satu kelemahan dari flow
cytometry dalam analisis siklus sel adalah
pengukuran yang bersifat subyektif, yaitu
operator dapat menginterpretasi data dengan
beberapa cara yang berbeda. Pada analisa siklus
sel dengan metode flow cytometry, tidak ada
aturan baku untuk menetapkan range intensitas
fluoresensi untuk menentukan fase-fase dalam
siklus sel, sehingga terdapat kesulitan dalam
menentukan dimana 2n (fase G0/G1) berakhir
dan dimana dimulainya fase S. Begitu pula
untuk menentukan dimana akhir dari fase S dan
dimulainya fase G2/M (4n). Metode yang paling
sederhana untuk menentukan range intensitas
fluoresensi disebut peak reflect method, dimana
puncak dari G0/G1 diasumsikan terdistribusi
simetris di sekitar puncak tertinggi. Berdasarkan
asumsi ini, lebar dari puncak G0/G1, dari
puncak tertinggi ke arah kiri (fluoresen rendah)
dicopy ke kanan (fluoresen tinggi). Hal yang
sama dilakukan pada puncak G2/M. Selanjutnya
area yang berada di tengah-tengah antara kedua
wilayah tersebut (antara G0/G1 dan G2/M)
dianggap sebagai fase S (Givan, 2001). Metode
untuk menentukan range intensitas fluoresensi
untuk menentukan fase siklus sel ini dilakukan
pada sel kontrol atau tanpa perlakuan,
sedangkan untuk sel dengan perlakuan,
penentuan fase-fase siklus sel mengikuti yang
telah ditetapkan pada kontrol.
Terdapat satu masalah penting dalam
analisa siklus sel menggunakan flow cytometry
yaitu kemungkinan terjadi agregat atau
pengelompokan sel. Dua sel pada fase G1 yang
berkumpul saat penyinaran akan memantulkan
flouresen dua kali DNA content normal, dan
tampak seperti satu sel yang berada pada fase
G2/M. Salah satu cara mendiagnosa adanya
sampel yang berkelompok adalah dengan
melihat puncak pada posisi 6n (merupakan hasil
tiga inti yang berkelompok). Apabila ditemukan
tiga sel yang berkelompok, maka secara statistik,
dua sel yang berkelompok akan lebih banyak.
Pada gambar 4.2 sel yang berada pada posisi 6n
viii
(angka 600 pada sumbu x histogram) sangat
rendah, ini menunjukkan double cell atau sel
yang berkelompok ketika penyinaran sangat
kecil, sehingga data yang didapatkan cukup
valid.
Kandungan terpenoid ini kemungkinan memiliki
aktivitas serupa dengan ircinin dan beraksi lebih
dominan sehingga terjadi G1 arrest. Menurut
Choi et al., (2005) ircinin menyebabkan G1
arrest melalui induksi p21 dan p27, dimana p21
dan p27 merupakan protein yang termasuk
dalam inhibitor CDK (CDKIs). Ekspresi p21
dan p27 menyebabkan penurunan kadar cyclin D
sehingga tidak terjadi aktivasi CDK4 dan
CDK6. Aktivasi CDK4 dan CDK6 berfungsi
untuk fosforilasi protein Rb (retinoblastoma),
sehingga apabila terjadi pemblokiran aktivasi
CDK4 dan CDK6 maka tidak terjadi fosforilasi
protein Rb. Rb yang tidak terfosforilasi akan
berikatan dengan faktor transkripsi E2F
mengikat DNA dan menghambat transkripsi gen
yang produknya diperlukan untuk fase S siklus
sel sehingga sel tertahan di fase G1 atau terjadi
G1 arrest (Kumar et al., 2003).
Cisplatin digunakan sebagai kontrol
positif pada penelitian ini karena Cisplatin
merupakan agen kemoterapi dalam pengobatan
kanker serviks (Mardiani, 2010). Akumulasi sel
terbesar pada perlakuan cispatin konsentrasi
8,35 µg/ml (¼ IC50) terjadi pada fase S yaitu
sebesar 24,28%, sedangkan pada perlakuan
cisplatin konsentrasi 3,34 µg/ml (1/10 IC50)
terjadi pada fase G1 sebesar 24,50%.
Koprinarova et al. (2010) menyebutkan bahwa
perlakuan menggunakan cisplatin menyebabkan
terjadi arrest pada fase G1 dan S pada siklus sel.
Ho (1995) menjelaskan bahwa progresi siklus
sel dikontrol oleh cyclin-dependent kinases
(cdks). CDKs merupakan kontrol pusat dan
pembatas pada regulasi tiap fase siklus sel. cdks
yang esensial untuk transisi dari fase G1 ke fase
S adalah CDK2 dan CDK3. Salah satu substrat
utama CDK yang mengontrol progresi G1/S
adalah penekan (suppressor) tumor, protein
retinoblastoma (Rb). Rb menghentikan siklus sel
dengan cara mengikat faktor transkripsi E2F,
dan membatasi potensi untuk transaktivasi gen
yang diperlukan untuk melewati fase G1
sehingga terjadi G1 arrest (Ho, 1995).
Sedangkan kerja cisplatin dalam menghambat
sintesis DNA merupakan hasil dari penahanan
fase S (S arrest) karena terjadi pemblokiran
elongasi DNA (Koprinarova et al., 2010). Lebih
lanjut Sorenson dan Alan (1988) menyebutkan
bahwa cisplatin mereduksi penggabungan
timidin,
uridin
dan
leusin
menjadi
makromolekul sehingga terjadi penghambatan
sintesis DNA.
Perlakuan kombinasi ekstrak A.
suberitoides dan cisplatin dilakukan untuk
Tabel 4.1 Distribusi sel HeLa setelah perlakuan
dengan berbagai konsentrasi ekstrak A. suberitoides,
cisplatin, dan kombinasi keduanya
Jenis
Perlakuan
Kad
ar
Kontrol
0
Ekstrak A. ¼
suberitoides IC50
1/10
IC50
Cisplatin
¼
IC50
1/10
IC50
Kombinasi
¼
Cisplatin – IC50
Ekstrak A. - ¼
suberitoides IC50
Fase Sel (%)
subG
G1
S
1
6,41 46,44 8,04
10,00 48,50 8,25
G2/
M
8,53
7,98
7,45
50,22
8,03
8,22
8,34
23,76
9,35
24,50
7,55
21,13
24,2
8
22,1
9
25,1
3
11,1
7
12,5
2
17,6
5
Akumulasi sel terbesar pada perlakuan
ekstrak A. suberitoides pada konsentrasi 38,25
µg/ml (¼ IC50) adalah pada fase G1 sebesar
48,50%. Pada perlakuan ekstrak A. suberitoides
dengan konsentrasi 15,30 µg/ml (1/10 IC50)
akumulasi terbesar juga terjadi pada fase G1
yaitu sebesar 50,22%. Apabila dibandingkan
dengan kontrol, efek perlakuan ekstrak pada fase
G1 tidak jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan
bahwa ekstrak A. suberitoides pada konsentrasi
1/10 IC50 dan ¼ IC50 tidak menunjukkan
pengaruh pada siklus sel HeLa. Menurut Xu
(2000) spons A. suberitoides mengandung
senyawa alkaloid utama yaitu aaptamin dan
derivatnya.
Aaptamin
murni
mampu
menyebabkan G2 arrest pada sel HeLa, namun
pada penelitian ini akumulasi sel terbesar adalah
pada fase G1 sehingga kemungkinan terjadi
penahanan fase G1 sel HeLa oleh ekstrak A.
suberitoides. Pada percobaan ini ekstrak A.
suberitoides yang digunakan masih merupakan
ekstrak kasar (crude extract) sehingga
kemungkinan ada senyawa lain yang mekanisme
aksinya menghambat fase G1, dimana menurut
Nurhayati (2010) spons A. suberitoides tidak
hanya mengandung senyawa alkaloid, namun
juga terpenoid. Ircinin merupakan salah satu
senyawa terpenoid yang dilaporkan aksinya
menyebabkan G1 arrest pada sel kanker kulit
(Mayer dan Kirk, 2008 dan Choi et al., 2005).
ix
mengetahui bagaimana pengaruh kombinasi
tersebut terhadap siklus sel HeLa. Pada
perlakuan kombinasi, akumulasi terbesar adalah
pada fase S yaitu 25,13%, dimana pada fase S
terjadi sintesis DNA. Telah disebutkan
sebelumnya bahwa target utama antikanker
cisplatin adalah DNA dimana cisplatin akan
menghambat sintesis DNA, sehingga terjadi S
arrest. Selain itu spons A. suberitoides
mengandung senyawa derivat dari aaptamin,
yaitu histidin yang juga berfungsi untuk
menghambat sintesis DNA (Tsukamoto et al.,
2010). Oleh karena itu pada perlakuan
kombinasi ini kemungkinan terjadi kerja sinergis
antara cisplatin dan ekstrak spons A.
suberitoides dalam menghambat fase S pada sel
HeLa. Pada perlakuan kombinasi sel yang
berada pada fase G2/M paling banyak
dibandingkan perlakuan yang lain, hal ini
kemungkinan karena efek DNA repair. Adanya
mekanisme kontrol cek point pada transisi fase
G1/S dan G2/M mencegah adanya perubahan
genetik dengan memastikan bahwa kerusakan
DNA telah diperbaiki sebelum replikasi DNA
pada fase S dan pembelahan pada fase M.
Apabila kerusakan DNA tidak berhasil
diperbaiki oleh sistem cek point, maka daur sel
akan berhenti pada fase G2/M. apabila
kerusakan DNA dapat diperbaiki maka daur sel
akan berlanjut. Setelah fase M, sel dapat masuk
ke fase G1 atau G0 (Dipaola, 2002). Senyawa
hymenialdisine dari beberapa spesies sponge
seperti Phakellia mauritiana, Pseudaxinyssa
cantharella dan Agelas longissima dilaporkan
memiliki aksi DNA repair melalui mekanisme
inhibitor CHK1 yang merupakan protein yang
berperan pada cek point transisi fase G1/S dan
G2/M (Meijer et al., 2000 dan Lord et al., 2006).
Pada ekstrak A. suberitoides kemungkinan
memiliki
kandungan
senyawa
dengan
mekanisme aksi seperti hymenialdisine sehingga
terjadi DNA repair pada perlakuan kombinasi.
Setelah DNA diperbaiki, maka sel dapat
melanjutkan ke fase selanjutnya dalam siklus
sel. Oleh karena itu pada perlakuan kombinasi,
sel yang berada pada fase G2/M lebih banyak
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak A.
suberitoides tunggal.
Akumulasi sel pada fase subG1 yang
diasumsikan sebagai apoptosis paling tinggi
adalah pada perlakuan ekstrak A. suberitoides
konsentrasi ¼ IC50 (38,25 µg/ml) yaitu sebesar
10,00%. Aoki et al., (2006) menyatakan bahwa
senyawa aaptamin yang terdapat pada sponge A.
suberitoides mengaktivasi promoter p21 yang
merupakan target dari gen p53. Aktivasi ini
menyebabkan aktivasi protein proapoptosis
seperti Bax, Bak, dan Bad. Selanjutnya
mitokondria melepas cytokrom c. Sitokrom
selanjutnya akan mengaktivasi caspase cascade
melalui aktivasi protein adaptor Apaf-1 yang
akan mengaktivasi procaspase 9 (Simstein et al.,
2003). Procaspase 9 selanjutnya akan
mengaktivasi caspase 9 yang merupakan caspase
inisiator. Caspase inisiator ini akan mengaktivasi
caspase efektor yang berperan dalam apoptosis.
Yang tergolong caspase efektor adalah caspase
3, caspase 6, dan caspase 7 (Kiaris, 2006). Pada
perlakuan kombinasi ekstrak A. suberitoides
dengan cisplatin, akumulasi pada fase subG1
sebesar 7,55%. Telah dijelaskan sebelumnya
bahwa pada perlakuan kombinasi kemungkinan
terdapat efek DNA repair. Abeloff et al. (2004)
menyebutkan bahwa efek DNA repair dapat
menurunkan angka apoptosis. Oleh karena itu
akumulasi sel pada fase subG1 pada perlakuan
kombinasi nilainya lebih kecil daripada
perlakuan ekstrak A. suberitoides dosis tunggal.
5. Kesimpulan
Ekstrak A. suberitoides 38,25 µg/mL
menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10%
dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu
sebesar 50,22%, sedangkan ekstrak A.
suberitoides
15,3
µg/mL
menyebabkan
terjadinya apoptosis sebesar 7,45% dan
akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar
48,50%.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
menggunakan ekstrak Aaptos suberitoides
dengan konsentrasi yang lebih tinggi agar
pengaruh ekstrak terhadap siklus sel HeLa dapat
terlihat dengan lebih jelas. Selain itu ekstrak
spons A. suberitoides yang digunakan untuk
penelitian perlu dimurnikan terlebih dahulu
menjadi bentuk senyawa murni sehingga
memiliki aktivitas biologi yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abeloff, M., Arnitage J., Niederhuber J., Kastan
M., dan McKenna W. 2004. Clinical
Oncology 3rd ed. Elsevier Churchill
Livingstone: Philadelphia.
Ahmad, T., Panrerengi, A., dan Suryati, E. 2000.
”Potensi Sponge Penghasil Bakterisida
dan Fungisida Alami Belum Banyak
Dimanfaatkan”. Warta Penelitian
Perikanan Indonesia 8 (3) : 34-45.
x
Darzynkiewicz, Z. 1996. Detection of
Apoptosis by Flow cytometry. pada
"Educational Program of the 26th
Congress of the International Society of
Hematology". Singapura.
Davey, H. dan Douglas K. 1996. Flow
Cytometry and Cell Sorting of
Heterogeneous Microbial opulations :
the Importance of Single-Cell Analyses.
Microbiological Reviews 60 (4) : 641696.
DeFillippis, R.A., Goodwin, E.C., Wu, L., dan
DiMaio, D. 2003. “Endogenous Human
Papillomavirus E6 and E7 Proteins
Differentially Regulate Proliferation,
Senescence, and Apoptosis in Hela
Cervical Carcinoma Cells”. Journal of
Virology 77 (2) : 1551-1563.
Dipaola, R. 2002. “To Arrest or Not To G2-M
cell Cycle Arrest”. Clinical Cancer
Research 8 : 3311-3314.
Dolezel, J., Binarova P., dan Lucretti S. 1989.
“Analysis of nuclear DNA content in
plant cells by flow cytometry”. Biologia
Plantarum 31: 113 – 120.
Doyle, A., dan Griffiths, J. B. 2000. Cell and
Tissue Culture for Medical Research.
John Willey and Sons Ltd. : New York.
Edianto, D. 2006. Kanker Serviks. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo :
Jakarta.
Fadjri, H. T. 2010. Sitotoksisitas Ekstrak
Spons Laut Aaptos suberitoides
Terhadap Sel Kanker HeLa Secara In
Vitro. Prodi Biologi ITS : Surabaya.
Franks L.M dan Teich N.M. 1998. Cellular and
Molecular Biology of Cancer, Third
edition Oxford University Press Inc. :
New York.
Freshney, R. 2000. Culture of Animal Cells: A
Manual of Basic Technique, Fourth
Ed. A John Wiley and Sons, Inc. : USA.
Givan, A.L., 2001. Flow Cytometry First
Principles. Wiley-Liss, Inc. : New
York.
Goodwin, E., dan DiMaio, D. 2000. “Repression
of human papillomavirus oncogenes in
Hela cervical carcinoma cells causes the
orderly reactivation of dormant tumor
suppressor pathways”. Biochemistry 97
(23) : 12513-12518.
Hite, R. dan Ann M. 2001. Strengths and
Weakness
of
Flow
Cytometry.
<URL:http://www.unc.edu>. 19 Juli
2011.
American Type Culture Collection (ATTC).
2001. MTT Proliferation Assay.
Instruction. P.O.Bx 1549, Manasan
USA.
Amir, I. dan Agus B. 1996. “ Mengenal Spons
Laut (Demospongia) Secara Umum”.
Oseana 21 (2) : 15-31.
Aoki, S., Dexin K., Hideaki S., Yoshihiro S.,
Toshiyuki S., Andi S., dan Motomasa K.
2006. “Aaptamin, a Spongean Alkaloid,
Activates p21 Promoter in a p53Independent Manner”. Biochemical and
Biophysical
Research
Communications 342 : 101-106.
Astuti, P., Alam, G., Hartati, M.S., Sari, D., dan
Wahyuono, S. 2005. “Uji sitotoksik
senyawa alkaloid dari spons Petrosia sp:
potensial
pengembangan
sebagai
Antikanker”.
Majalah
Farmasi
Indonesia 16 (1) : 58 – 62.
Burger, F. J. 1970. “Aaptos”. South African
Medical Journal 44 : 899.
Capes, D., Theodosopoulos G., dan Atkin I.
2010. “Check your cultures! A list of
cross-contaminated or misidentified cell
lines”. Int J Cancer 127 (1) : 1–8.
CCRC (Cancer Chemoprevention Research
Center). 2009. Preparasi Sampel
untuk
Flowcytometry.
<URL:http://www.ccrc.farmasi.ugm.ac.i
d >.
Choi, H., Yung H., Su-Bog Y., Eunok I., Jee H.,
dan Nam D. 2005. “Ircinin-1 Induces
Cell Cycle Arrest and Apoptosis in SKMEL-2 Human Melanoma Cells”.
Molecular Carcinogenesis 44 (3) :
162-173
Collins, J., David E., dan Carrington S. 1997.
Structure of Parental Deoxyribonucleic
Acid of Synchronized HeLa Cells.
Biochemistry 16 (25) : 5438-5444.
Cooper, G. M. 2000. The Cell A Molecular
Approach.
Second
Edition.
<URL:http://www.ncbi.nih.gow/books>
Cytopathol, D. 2009. “Evaluation of flow
cytometric immunophenotyping and
DNA analysis for detection of malignant
cells in serosal cavity fluids”. Juli 37 (7)
: 498-504.
Danaei, G., Eric L., dariush M., Ben T., jurgen
R., Christopher J., dan Majid, E. 2005.
Cancer. <URL:http://www.who.int>.
xi
European Journal of Cancer 44:
2357–2387.
Meijer, L., Thunnissen, A. White, Garnier,
Nikolic, Tsai, Walter, K. Cleverley,
Salinas, Y. Wu, Biemat, Mandelkow, S.
Kim dan G. Pettit. “Inhibition of CyclinDependent Kinases, GSK-3β and CK1
by HYmenialdisine, a Marine Sponge
Constituent”. Chemistry and Biology 7
: 51-63.
Meiyanto, E., Supardjan, Muhammad D., dan
Dewi A. 2006. “Efek antiproliferatif
Pentagamavunon-0 terhadap Sel Kanker
Payudara T47D”. Jurnal Kedokteran
Yarsi 14 1.
Meye, E. 2009. Sitotoksisitas dan Efek
Ekstrak Etanol Kulit Buah Jambu
Mente (Anacardium occidentale L.)
Terhadap Sel Mieloma. Fakultas
Biologi UGM. Yogyakarta.
Meyer, F., Putnam, Jacobsen N., dan Mc.
Laughlin. 1982. “Brine Shrimp: A
Convenient General Bioassay for Active
Lant Constituents”. Plant Medica 45.
Mutschler, E. 1999. Dinamika Obat, Ed. V,
cetakan ketiga. ITB Press: Bandung.
Nafrialdi, Gan Sulistia. 1995. Antikanker,
Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4.
Farmakologi
Fakultas
Kedokteran
Indonesia : Jakarta.
Prayitno, A., Ruben D., Istar Y., dan Ambar M.
2005. ”Ekspresi Protein p53, Rb, dan cmyc pada Kanker Serviks Uteri dengan
Pengecatan
Immunohistokimia”.
Biodiversitas 6 (3) : 157-159.
Pusztai, L., dan lewis E. 1996. Cell
Proliferation in Cancer, Regulatory
Mechanism of Neoplastic Cell
Growth. Oxford University Press
Oxford : New York.
Rahbari R., Tom S., Modes V., Pam C., Catriona
M., dan Richard M. 2009. "A novel L1
Retrotransposon Marker for HeLa Cell
Line Identification”. Biotechniques 46
(4): 277–84.
Rang, H., M. Dole, Ritter, dan Moore. 2003.
Pharmachology. 5th ed. Churchill
Livingstone : New York.
Rosai, I, 2004. Surgical Pathology, 9 th ed. St
louis, Missouri: Mosby.
Sagar, L. 2005. Intro to Myeloma.
<URL:http://www.mulltiplemyeloma.or
g>.
Ho, Duncan. 1995. The Biochemical and Cell
Cycle Effects of the Antitumour Drug
Fostriecin. University of British
Columbia : Columbia.
Hooper, J.N.A. 1997. Sponge Guide: Guide to
Sponge Collection and Identification.
Quensland Museum : Brisbane.
Ixora. 2007. Antikanker yang Alami.
<URL:http://www.ixoranet.com/index.p
hp>. 12 Oktober 2010.
Kiaris,
H.
2006.
Understanding
Carcinogenesis: an Introduction to
the Molecular Basis of Cancer.
Willey-vch Verlag GmbH & Co. KGaA
: Weinhem.
King, S. B. 1996. Cancer Biology second
edition. Pearson Education : London.
Koprinarova, M., Petya M., Ivan I., Boyka A.,
dan George R. 2010. “Sodium Butyrate
Enhances the Cytotoxic Effect of
Cisplatin by Abrogating the Cisplatin
Imposed Cell Cycle Arrest”. BMC
molevular Biology.
Kresno, S. 2003. Ilmu Dasar Onkologi. PT
Quparada Makuda Perkasa: Jakarta.
Kumar, V., Ramzi S., dan Stanley L. 2003.
Robbins Basic Pathology 7th ed.
Elsevier Inc. : New York.
Leland, H., hartwell, T., dan Hunt, P. M. 2001.
Key Regulators of the Cell Cycle.
<URL:http://www.nobelprizes/medicine
>.
Lord, C., michelle D., dan Alan A. 2006.
“Targeting the Double-Strand DNA
Break Repair Pathway as a Therapeutic
Strategy”. Clinical Cancer Research
12 (15) : 4463-4468.
Lumongga, F. 2008. Apoptosis. USU: Medan.
Macville M, Schröck E, Padilla-Nash H, et al.
1999. “Comprehensive and definitive
molecular cytogenetic characterization
of HeLa cells by spectral karyotyping”.
Cancer Res. 59 (1) : 141–150.
Mardiani, R. 2010. Evaluasi penggunaan
Antiemetika pada Pasien kanker
Serviks dengan Terapi Sitostatika di
Instalasi Rawat Inap RSUD. Dr.
Moewardi Surakarta pada tahun
2009. Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta : Surakarta.
Mayer, M. S., dan Kirk R. 2008. “Marine
pharmacology
in
2005–2006:
Antitumour and cytotoxic compounds”.
xii
Spermonde Archipelago”. Boll. Mus.
Ist. Biol. Univ. Genova 68: 253-261.
Xu, L. 2000. Novel G2 Cell Cycle Checkpoint
Inhibitors and Antimitotic Agents
Isolated Through Two New HTS
Bioassays. University of British:
Columbia.
Zachary, I. 2003. Determination of Cell
Number. In : Hughes, D and Mehmet,
H (eds). Cell Proliferation and
Apoptosis. BIOS Scientific Publisher
Limited.
Schmidt, O. 1864. Supplement der Spongien
des Adriatischen Meeres Enthaltend
Die Histologie und Systematiche
Erganzungen. Wilhelm Engelmann:
Leipzig.
Sharrer, T. 2006. “HeLa Herself”. The Scientist
20 (7): 22.
Simstein, R., Burow M., Parker A., Weldon C,
dan Beckman B. 2003. “Apoptosis,
Chemoresistance, and Breast Cancer.
Insight from the MCF7 Cell Model
System”. Experimental biology and
medicine 228 : 995-1003.
Sorenson, C. dan Alan E. “Influence of cisDiaminedichloroplatinum(II) on DNA
Synthesis and Cell Cycle Progression in
Excision Repair Proficient and Deficient
Chinese Hamster Ovary Cells”. Cancer
Research 48 : 6703-6707.
Sukardja, 2000. Onkologi Klinik Edisi 2.
Airlangga University Press: Jakarta.
Suryati, E., Parenrengi A., dan Rosmiati. 2000.
“Penapisan Serta Analisis Kandungan
Bioaktif Sponge Clathria sp. yang
efektif sebagai Antibiofouling pada
teritif (Balanus amphitrit)”. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 5 (3).
Suryo. 2007. Genetika Manusia. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Syaifuddin, M. 2007. “Gen Penekan Tumor p53,
Kanker dan Radiasi Pengion”. Buletin
Alara, 8 (3) : 119 – 128.
Tsukamoto, S., rumi Y., Makiko Y., Kohei S.,
Tsuyoshi I., Henki R., Remy E., Nicole
J., dan Rob W. “Aaptamine, an Alkaloid
from the Sponge Aaptos suberitoides,
Functions as a Proteasome Inhibitor”.
Bioorganic and Medicinal Chemistry
Letters 20 : 3341-3343.
Ulfah, Maria. 2010. “Flow cytometry untuk
Evaluasi Aktifitas Obat Antiplasmodial
pada
Gametosit
Plasmodium
falciparum”. Malaria Journal 9:49.
Van Soest, R.M.W. 1989. “The Indonesian
Sponge
Fauna:
Status
Report”.
Netherland Journal of Sea Research
23 (2) : 223-230.
Watts, Denise Watson. 2010. “HeLa Cancer
Cells Killed Henrietta Lacks. Then They
Made Her Immortal”. The VirginianPilot 1 : 12–14.
Voogd, N., Leontine E., Bert W., Alfian N., dan
Robert W. 2004. “Sponge Interactions
with Spatial Competitors in the
xiii
Download