Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa NAMA NRP JURUSAN Dosen Pembimbing : Ika Puspita Ningrum : 1507 100 059 : Biologi : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si Nengah Dwianita Kuswytasari, S.Si., M.Si Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah senyawa antikanker dari spons laut Aaptos suberitoides memiliki pengaruh terhadap siklus sel HeLa. Penghambatan siklus sel dilihat dengan menggunakan metode flowcytometry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak A. suberitoides 38,25 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10% dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu sebesar50,22%, sedangkan ekstrak A. suberitoides 15,3 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 7,45% dan akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar 48,50%. Setelah dikombinasi dengan cisplatin, akumulasi sel terbesar terjadi pada fase S, yaitu sebesar 25,13%. Kata Kunci : Ekstrak Spons Aaptos suberitoides, sel HeLa, Siklus Sel tersebut dapat menghambat ekspresi gen p53 (Prayitno et al., 2005). Gen p53 adalah gen yang mengendalikan apoptosis (Kumar et al., 2003) Berbagai macam senyawa telah dikembangkan melawan kanker yang meliputi senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit, obat-obat radiomimetik, hormon dan senyawa antagonis. Akan tetapi tak satupun jenis senyawa-senyawa ini menghasilkan efek yang memuaskan dan tanpa efek samping yang merugikan (Astuti et al., 2005). Oleh karena itu mulai banyak dilakukan penelitian tentang bahan obat antikanker yang berasal dari alam. Keunggulan obat bahan alam adalah memiliki efek samping yang relatif kecil bila digunakan dengan benar dan tepat (Ixora, 2007). Keanekaragaman hayati perairan laut Indonesia memberi peluang untuk memanfaatkan biota laut untuk pencarian senyawa bioaktif yang baru, salah satunya adalah spons. Penelitian yang telah ada terhadap spons menghasilkan senyawa-senyawa baru dengan struktur yang unik dan memiliki aktivitas farmakologis (Astuti et al., 2005). Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh spons genus Aaptos adalah aaptamin yang berpotensi sebagai senyawa antikanker (Aoki et al., 2006), yang bekerja dengan mekanisme apoptosis (Mayer, 2008). Sebelum diaplikasikan kepada manusia, senyawa bioaktif yang akan digunakan sebagai produk farmasi harus diujikan terlebih dahulu 1. Pendahuluan Kanker atau disebut juga dengan karsinoma, merupakan penyakit yang disebabkan rusaknya mekanisme pengaturan dasar perilaku sel, khususnya mekanisme pertumbuhan dan diferensiasi sel yang diatur oleh gen; sehingga faktor genetik diduga kuat sebagai pencetus utama terjadinya kanker. Salah satu jenis kanker adalah kanker leher rahim (serviks). Kanker serviks merupakan salah satu ancaman malignansi terbesar bagi wanita. Di negara sedang berkembang, kanker serviks menduduki urutan teratas bagi kanker ginekologi wanita dan mencakup 20-30% dari keseluruhan kanker yang menginfeksi wanita (Edianto, 2006; Rosai, 2004). Sel kanker serviks atau disebut juga sel HeLa terjadi akibat infeksi Human Papillomavirus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel serviks normal. Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Goodwin dan DiMaio, 2000). Sifat immortal tersebut disebabkan karena kedua viral onkogen i kepada hewan percobaan (Doyle dan Griffiths, 2000). Uji sitotoksisitas untuk skrining senyawa antikanker adalah metode BST (Brine Shrimp Test) (Astuti et al., 2005). Hasil dari uji BST dari spons yang ditemukan di perairan Situbondo menunjukkan bahwa A. suberitoides memiliki tingkat toksisitas yang paling tinggi dengan nilai LC50 134.14 ± 36.61 ppm (Nurhayati et al, 2008). Selain uji BST juga perlu dilakukan uji sitotoksisitas secara in vitro, yaitu mendeteksi aktivitas suatu senyawa dengan menggunakan kultur sel (Meyer, 1982). Uji sitotoksisitas ini merupakan uji kualitatif dan kuantitatif dengan cara menetapkan kematian sel (Freshney, 2000). Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter nilai IC50 (inhibitor concentration 50). Nilai IC50 menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi sel 50 % dan menunjukkan potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel (Meiyanto, 2006). Penelitian yang telah dilakukan oleh Fadjri (2010) mengenai uji sitotoksisitas ekstrak spons A. suberitoides terhadap sel kanker HeLa didapatkan nilai IC50 sebesar 153.007 µg/mL. Selanjutnya perlu dilakukan analisis pertumbuhan sel untuk mengetahui fase siklus sel dimana suatu senyawa menghambat pertumbuhan sel (Givan, 2001). Metode yang digunakan untuk menganalisis pertumbuhan sel adalah flowcytometry. Flow cytometry adalah teknik yang digunakan untuk menghitung dan menganalisa partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Cytopathol, 2009). Flow cytometry dapat digunakan untuk menganalisa DNA content sel melalui pewarnaan sel dengan pewarna propidium iodide (PI) atau 4’,6’-diamino-2-phenylindole (DAPI) (Darzynkiewicz, 1996). Menurut Ohizumi et al., dalam Xu (2000) spons A. suberitoides mengandung senyawa aaptamin yang mampu menghambat pertumbuhan sel HeLa pada fase G2. dalam alkohol. Spikula dari kelas Demospongia berbentuk monaxon atau tetraxon yang mengandung silikat (Amir dan Agus, 1996). Berikut merupakan klasifikasi dari Aaptos suberitoides menurut Schmidt (1964) : Domain : Eukariota Kingdom : Animalia Phylum : Porifera Class : Demospongiae Ordo : Hadromerida Family : Suberitidae Genus : Aaptos Species : Aaptos suberitoides 2.3 Kanker Menurut Franks L. M. dan Teich N. M. (1998), sel kanker itu timbul dari sel normal tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas, karena adanya mutasi spontan atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus terjadinya kanker). Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau suppressor gen (anti onkogen). Sedangkan paparan karsinogen antara lain berbagai jenis virus, bahan kimia dan radiasi, ultraviolet. Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki sifat biologis yang sama yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA. Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan perubahan DNA sel (Kresno, 2003). Apabila perbaikan DNA karena adanya perubahan DNA tersebut gagal, maka terjadi mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang mengendalikan pertumbuhan, serta penonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan timbulnya neoplasma ganas atau lebih dikenal dengan kanker (Kumar et al., 2003). 2.3.1 Sel Kanker HeLa Sel Hela adalah sel yang berasal dari sel-sel kanker serviks yang diambil dari seorang penderita kanker serviks bernama Henrietta Lacks. Sel ini bersifat imortal dan produktif sehingga banyak digunakan dalam penelitian ilmiah (Rahbari et al., 2009; Capes et al., 2010; Watts and Denise, 2010). Sel HeLa melakukan proliferasi dengan sangat cepat dibandingkan dengan sel kanker lainnya. Rebecca Skloot’s dalam The Immortal Life of Henrietta Lacks menjelaskan bahwa sel HeLa mempunyai 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Deskripsi Spons Aaptos suberitoides Spons Aaptos suberitoides merupakan jenis spons yang membentuk massa lobus globular (Voogd, 2004), lebih lanjut Brondsted (1934) dalam Van Soest (1989) menjelaskan struktur dari A. suberitoides adalah kumpulan dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan kasar (gambar 2.1) dan berwarna hitam apabila dimasukkan ke ii telomerase aktif selama pembelahan sel, sehingga mencegah pemendekan telomere yang menyangkut penuaan dan kematian sel (Sharrer, 2006). Transfer gen horizontal dari human papillomavirus 18 (HPV18) ke sel serviks manusia menghasilkan genom HeLa yang berbeda dari genom induk dengan berbagai cara termasuk jumlah kromosomnya (Macville et al., 1999). Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 dari HPV memodulasi protein seluler yang mengatur daur sel. Protein E6 berikatan dengan tumor suppressor protein p53 dan mempercepat degradasi p53 yang diperantarai ubiquitin. Protein E6 juga menstimulasi aktivitas enzim telomerase. Sedangkan protein E7 dapat mengikat bentuk aktif terhipofosforilasi dari p105Rb dan anggota lain dari famili Rb. Ikatan ini menyebabkan destabilisasi Rb dan pecahnya kompleks Rb/E2F yang berperan menekan transkripsi gen yang diperlukan untuk cell cycle progression (DeFilippis, et al., 2003). Sebagian besar sel kanker serviks, termasuk sel HeLa, mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Jadi, gen pengatur pertumbuhan yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel kanker serviks. Namun, aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV (Goodwin dan DiMaio, 2000). siklin dan CDK berkaitan dengan setiap transisi penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini menggunakan efeknya dengan memfosforilasi sekelompok substrat protein tertentu (Kumar et al., 2003). 2.4.1 Fase G1 Pada fase G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan tumbuh, struktur sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi (Mutschler, 1999). Selama fase ini nukleus membesar dan volume sitoplasma meningkat dengan cepat sehingga disebut fase sintesis, protein yang dapat memacu pembelahan sel, tubulin dan protein yang akan membentuk spindel (Suryo, 2007). 2.4.2 Fase-S Pada fase-S ini dibentuk untai DNA baru melalui proses replikasi. Replikasi DNA terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase. Dengan dibentuknya DNA baru maka rantai tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja, 2000). Pada fase S dengan pembentukan asam deoksiribonukleat baru, jumlah kromosom akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan dipersiapkan (Mutschler, 1999). Suryo (2007) menyebutkan bahwa pada akhir fase ini terbentuk 2 kromatid. 2.4.3 Fase-G2 Pada fase ini dibentuk RNA, protein, enzim, dan sebagainya untuk persiapan fase berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase ini disebut juga fase pramitosis dengan ciri sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis DNA dan protein (Nafrialdi dan Gan, 1995). Selain itu, pada fase G2 kromosom sudah ada dalam bentuk kromatida (Mutschler, 1999). Apabila terjadi kerusakan DNA dan DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka proliferasi sel manuju fase M diblok dan dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini dilakukan oleh protein kinase ChkI yang memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25 sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini menyebabkan fase M diblok karena tidak terbentuknya cdk1/siklin B sebagai regulator menuju fase M (Cooper, 2000). Penghentian pada fase G2 dilakukan untuk perbaikan DNA, tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan maka terjadi apoptosis (Freshney, 2000). 2.4 Siklus Sel Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap 2 (G2), dan M (Mitosis) (gambar 2.4) (Rang et al., 2003). Lamanya siklus tersebut berbeda-beda pada berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar 20-24 jam. Fase G1 membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam, fase G2 5 jam dan fase M 1 jam. Waktu generasi untuk kultur sel pada umumnya sama dengan sel normal (Freshney, 2000). Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut siklin. Pada tahapan tertentu siklus sel,kadar berbagai siklin meningkat setelah didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut. Siklin menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan (sehingga akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang disebut kinase bergantung siklin (CDK, cyclindependent kinase). Kombinasi yang berbeda dari 2.4.4 Fase-M Pada fase ini sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba dan terjadi iii pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan, 1995). Pembelahan menjadi dua sel ini terdiri dari empat tahap, yaitu profase, metaphase, anaphase, dan telofase. Pada awal fase mitosis ditandai dengan terbentuknya benang spindel dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom (pusztai et al., 1996). dihubungkan dengan pathway kematian sel melalui regulasi protein. Pada regulasi ini terdapat dua metode yang telah dikenali untuk mekanisme apoptosis, yaitu : melalui mitokondria dan penghantaran sinyal secara langsung melalui adapter protein (Lumongga, 2008). 1. Extrinsic Pathway (di inisiasi oleh kematian receptor) Pathway ini diinisiasi oleh pengikatan receptor kematian pada permukaan sel pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari reseptor tumor nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain, berfungsi untuk mengirim sinyal apoptotis. Reseptor kematian yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1 yang dihubungkan dengan protein Fas (CD95). Pada saat Fas berikatan dengan ligandnya, membran menuju ligand (FasL). Tiga atau lebih molekul Fas bergabung dan cytoplasmic death domain membentuk binding site untuk adapter protein FADD (Fas-associated death domain). FADD ini melekat pada reseptor kematian dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul procaspase ini kemudian dibawa ke atas dan kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif. Enzym ini kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian mengaktifkan procaspase lainnya dan mengaktifkan enzym untuk mediator pada fase eksekusi. Pathway ini dapat dihambat oleh protein FLIP, tidak menyebabkan pecahnya enzym procaspase 8 dan tidak menjadi aktif (Lumongga, 2008). 2. Intrinsic pathway (Mitokondrial) Pathway ini terjadi oleh karena adanya permeabilitas mitokondria dan pelepasan mollekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma,tanpa memerlukan reseptor kematian. Faktor pertumbuhan dan sinyal lainnya dapat merangsang pembentukan protein antiapoptosis Bcl2,yang berfungsi sebagai regulasi apoptosis. Protein apoptosis yang utama adalah : Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada keadaan normal terdapat pada membran mitokondria dan sitoplasma. Pada saat sel mengalami stress, Bcl-2 dan Bcl-x menghilang dari membran mitokondria dan digantikan oleh pro-apoptosis 2.5 Apoptosis Apoptosis adalah program kematian sel sebagai respon fisiologis sel untuk mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan tubuh. Apoptosis berperan secara esensial dalam embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel yang jumlahnya berlebihan. Apoptosis juga berperan dalam memantau perubahan pada selsel kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan pertama untuk melawan mutasi dengan membersihkan sel-sel DNA abnormal yang dapat menjadi ganas. Dengan demikian apoptosis merupakan bagian dari system imun dan juga untuk mengontrol populasi sel normal dalam tubuh (Rang et al., 2003 dalam Meye, 2009). Proses apoptosis diawali dengan terkondensasinya kromatin di dalam nukleus menjadi suatu massa yang padat dan DNA terfragmentasi kemudian sitoplasmanya menyusut (gambar 2.5). Selanjutnya terjadi pelekukan (blebbing) pada membran sel. Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi menyebar menuju ke lekukan-lekukan membran sel membentuk badan apoptosis yang akan difagosit oleh makrofag (Doyle & Ggriffiths, 2000; King, 2000). Proses apoptosis dikendalikan oleh berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat berasal dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang termasuk pada sinyal ekstrinsik antara lain hormon, faktor pertumbuhan, dan cytokine. Semua sinyal tersebut harus dapat menembus membran plasma ataupun transduksi untuk dapat menimbulkan respon (Lumongga, 2008). Sinyal intrinsik apoptosis merupakan suatu respon yang diinisiasi oleh sel sebagai respon terhadap stress dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel. Pengikatan reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas, radiasi, kekurangan nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan kedaan yang dapat menimbulkan pelepasan sinyal apoptosis intrinsic melalui kerusakan sel (Lumongga, 2008). Sebelum terjadi proses kematian sel melalui enzym, sinyal apoptosis harus iv protein, seperti Bak, Bax. Bim. Sewaktu kadar Bcl-2, Bcl-x menurun, permeabilitas membran mitokondria meningkat, beberapa protein dapat mengaktifkan cascade caspase. Salah satu protein tersebut adalah cytochrom-c yang diperlukan untuk proses respirasi pada motokondria. Di dalam sitosol, cytochrom c berikatan dengan protein Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengaktifasi caspase-9. Protein mitokondria lainnya, seperti Apoptosis Including Factor (AIF) memasuki sitoplasma dengan berbagai inhibitor apoptosis yang pada keadaan normal untuk menghambat aktivasi caspase (Lumongga, 2008). kombinasi dari pewarna dan eksitasi panjang gelombang memungkinkan estimasi multiple determinan pada setiap sel, misalnya dapat dibedakan antara berbagai jenis sel dalam populasi sel campuran atau menunjukkan hubungan antara variable seluler yang berbeda. Kecepatan analisis sel Mengingat kebutuhan untuk menghindari kesalahan perhitungan dan kerusakan mekanisme dari sel yang hendak dianalisa, kombinasi konsentrasi sel dan laju aliran linear yang umumnya digunakan pada analisa flow cytometry yaitu 100-1000 sel per detik. Sehingga apabila ingin mendapatkan tingkat presisi yang memadai dalam penilaian distribusi populasi sel yang berbeda, misalnya jika peristiwa yang diakuisisi sebanyak 10000, maka waktu yang dibutuhkan hanya 10-100 detik. Kemampuan penyortiran sel Data yang diperoleh dari pengukuran flow cytometry dianalisa dengan cukup cepat sehingga perlu digunakan penyortiran sel untuk memisahkan atau membedakan sel dengan sifat yang diinginkan. Prosedur ini biasanya dikenal dengan fluorescence-activated cell sorting. 2.6 Flow cytometry Flow cytometry adalah teknik yang digunakan untuk menghitung dan menganalisa partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Cytopathol, 2009). Prinsip dasar dari metode ini adalah berdasarkan flourosensi. Suspensi sel atau partikel yang hendak dianalisa disedot atau dialirkan. Aliran dikelilingi oleh fluida yang sempit, sel akan melewati satu demi satu melalui sinar laser terfokus (gambar 2.6). Sinar laser akan menyerang sel tersebut. Sel yang sesuai dengan cahaya laser dan panjang gelombang yang tepat dapat dipancarkan kembali sebagai fluoresensi jika sel mengandung zat alami fluorescent satu atau lebih fluorochrome-label antibodi melekat pada permukaan atau struktur internal sel. Penyerapan cahaya tergantung pada struktur internal sel dan ukuran dan bentuknya. Cahaya fluoresensi terdeteksi oleh serangkaian dioda. Filter optik berfungsi untuk memblokir cahaya yang tidak diinginkan. Hasil data disimpan melalui komputer (Ulfah, 2010). Flow cytometry merupakan analisis mikroskopis yang memiliki kemampuan untuk menganalisis sel-sel secara individu. Kelebihan flow cytometry setidaknya ada tiga faktor utama, yaitu multiparameter akuisisi data dan analisis data multivariate, kecepatan analisis sel, dan kemampuan dalam penyortiran sel (Davey dan Douglas, 1996) : Multiparameter akuisisi data dan analisis data multivariate Analisis sel secara konvensional cenderung mengukur hanya satu determinan suatu sampel pada satu waktu. Namun, pada flow cytometry, Kelemahan flow cytometry menurut Davey dan Douglas (1996) ada dua, yaitu biaya yang besar dan diperlukan operator yang terampil untuk mendapatkan kinerja yang optimal. Hite dan Ann (2001) menambahkan kelemahan metode flow cytometry adalah pengujian secara subyektif, yaitu operator dapat menginterpretasi data dengan beberapa cara yang berbeda. 3. Metodologi 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan pengujian Terpadu (LPPT) dan laboratorium patologi klinik fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada bulan Januari - Juni 2011. 3.2 3.2.1 Alat dan Bahan Alat Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraktor soxhlet, rotary v evaporator, autoclave, cawan porselin, inkubator CO2, tangki nitrogen cair, tabung conical steril, sentrifuge, timbangan analitik, lemari pendingin, vorteks, laminar air flow cabinet, tissue culture flask, mikropipet, blue tip, yellow tip, cell counter, haemacytometer, 6-well plate, tabung eppendorf, coverslip, gelas benda Poly-LLysine, gelas penutup, mikroskop inverted, aluminium foil, tabung flowcyto, flowcytometer FACS Calibur dan kamera. akan didapatkan filtrat dan supernatan. Filtrat yang diperoleh dievaporasi untuk menghilangkan etanol. 3.3.2 Pembuatan Medium Kultur (Penumbuh) RPMI 1640 Medium kultur dibuat dari 20 mL Fetal Bovine Serum (FBS) 10% yang dimasukkan ke dalam botol steril, ditambah 2 mL penisilinstreptomisin 1%, 1mL fungizon 0,5% dan 200 mL medium RPMI 1640 murni. Medium kultur dibuat di dalam LAF dan disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu ± 4°C (Nurulita & Mahdalena, 2006; Mae et al., 2000 dalam Meye, 2009) 3.2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak spons Aaptos suberitoides koleksi Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA ITS yang diperoleh dari Perairan Pesisir Situbondo Jawa Timur. Sel kanker HeLa diperoleh dari Laboratorium Parasitologi Kedokteran UGM Yogyakarta. Bahan lain yang diperlukan adalah medium RPMI (Rosewell Park Memorial Institute) 1640 (Sigma), medium kultur (penumbuh) RPMI 1640 yang mengandung Fetal Bovin Serum (FBS) 10%, Fungizon 0.5% (v/v) dan antibiotik Penisilin-Streptomisin 1% (v/v), phosphate buffered saline (PBS) 20%, dan Cisplatin sebagai kontrol positif. Pada uji apoptosis bahan yang digunakan adalah PBS, tripsin-EDTA 0,25%, dan reagen flow cytometry. 3.3.3 Propagasi Sel HeLa Kultur sel HeLa diambil dari stok yang disimpan dalam tangki cair yang diletakkan dalam lokator pada suhu -196°C. Ampul yang berisi sel dicairkan dalam air ± 37.7 °C, kemudian ampul disemprot dengan alkohol 70%. Ampul dibuka dan sel dipindahkan ke dalam tabung conical steril yang berisi 10 ml medium RPMI 1640. Suspensi sel disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama ± 5 menit. Supernatan dibuang, pellet ditambah 1 ml medium penumbuh RPMI 1640 yang mengandung FBS 10%. Lalu diresuspensikan perlahan sampai homogen. Selanjutnya sel ditumbuhkan dalam beberapa (2-3) buah tissue culture flask kecil dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C dengan aliran 5% CO2 dan 95% O2. Setelah 24 jam, media diganti dan sel ditumbuhkan sampai konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian (Ola et al., 2008; Mae et al., 2000 dalam Meye, 2009). 3.3 Cara Kerja 3.3.1. Ekstraksi Spons Laut Ekstraksi spons dilakukan dengan metode yang dilakukan oleh Harada dan Kamei (1997) dan Horikawa et al (1999). Spons diambil dan dipotong-potong menggunakan pisau, selanjutnya ditambahkan alkohol. Potongan spons dikeringanginkan selama 1 minggu hingga kering. Selanjutnya potongan spons yang telah kering dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga terbentuk ekstrak kasar. Ekstrak kasar yang telah didapat kemudian dimaserasi. Ekstrak kasar spons dimasukkan ke dalam maserator dengan kapasitas 2,5 kg. Ekstrak kasar spons direndam dalam etanol sampai seluruh ekstrak spon terendam, campuran disaring dan dihasilkan ekstrak spons. Filtrat spons yang telah didapat dievaporasi. Proses selanjutnya yaitu pengadukan filtrat dengan stiring magnetic mulai dari pelarut polar hingga pelarut non polar. Filtrat diaduk dengan pelarut kloroform dengan perbandingan 1:5. Pengadukan dilakukan dengan replikasi 3 kali selama 2 jam untuk tiap kali replikasi. Dari proses tersebut 3.3.4 Pemanenan Sel HeLa Setelah jumlah sel HeLa cukup atau konfluen (± 70%), medium dibuang. Selanjutnya dicuci dengan PBS sebanyak dua kali. Kemudian ditambahkan tripsin 0,25% sebanyak 300 µL, dan diinkubasi selama tiga menit di dalam inkubator. Selanjutnya ditambahkan ± 5 mL medium kultur, lalu diresuspensi secara perlahan menggunakan pipet. Sel telah siap digunakan untuk penelitian (CCRC, 2009). 3.3.5 Analisis Siklus Sel 3.3.5.1 Treatmen Flow cytometri Sel ditransfer ke dalam sumuran 6 well plate, masing-masing 1000 μL (untuk perlakuan dan untuk kontrol sel) dengan kepadatan 5 x 105 sel/ 1000 µl media. Dibuat seri konsentrasi vi resuspen pellet sel dengan 500 μL PBS dingin. Suspensi sel digabungkan dalam kedua eppendorf ke dalam eppendorf I. Eppendorf kosong dibilas dengan PBS, lalu ditransfer ke eppendorf I. Eppendorf I disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. PBS dibuang dengan cara dituang. Selanjutnya ditambahkan reagen flow cytometry sebanyak 400 μL pada tiap eppendorf, diresuspen dengan homogen. Tiap eppendorf dibungkus dengan alumunium foil dan diberi penandaan pada bagian atas eppendorf. Semua eppendorf diinkubasi di waterbath 37°C, 10 menit untuk mengaktivasi RNase. Diresuspen lagi sebelum ditransfer ke flowcyto-tube. Suspensi sel ditransfer ke dalam flowcyto-tube melalui filter (kain nylon/kain kaca) menggunakan mikropipet 1 ml. Tutup flowcyto-tube dilubangi terlebih dahulu. Selanjutnya dibaca dengan flow cytometer FACS Calibur untuk mengetahui profil cell cycle. Data flow cytometry dianalisis dengan program cell quest untuk melihat distribusi sel pada fase-fase daur sel sub G1, S, G2/M dan sel yang mengalami poliploidi (CCRC, 2009). Flow cytometry dilakukan dengan pancaran cahaya 488 nm dan dengan kecepatan medium (500 sel/detik). sampel dan agen kemoterapi (Cisplatin) untuk perlakuan. Seri konsentrasi terdiri dari 2 konsentrasi: ¼ IC50 dan 1/10 IC50. IC50 ekstrak spons A. suberitoides adalah 153.007 µg/mL, dan IC50 Cisplatin adalah 33.424 µg/mL (Fadjri, 2010). Untuk masing-masing konsentrasi sampel dan agen kemoterapi dibuat volume 500 μL (bisa dilebihkan sedikit). Plate yang telah berisi sel diambil dari inkubator. Media sel dibuang dengan menggunakan pipet Pasteur secara perlahan-lahan. Selanjutnya dicuci dengan 500 μL PBS ke dalam semua sumuran yang terisi sel. PBS dibuang dengan pipet Pasteur secara perlahan-lahan. Untuk kelompok perlakuan kombinasi : dimasukkan 500 μL seri konsentrasi sampel ke dalam sumuran. Kemudian tambahkan 500 μL seri konsentrasi Cisplatin untuk kombinasi. Untuk perlakuan tunggal : dimasukkan 500 μL seri konsentrasi sampel atau Cisplatin ke dalam sumuran. Kemudian ditambahkan 500 μL MK (media kultur). Untuk kontrol sel : ditambahkan 1000 μL MK ke dalam sumuran. Selanjutnya semua well plate diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama 24 jam (CCRC, 2009). 3.3.5.2 Preparasi sampel untuk flow cytometry Pertama-tama disiapkan 2 eppendorf untuk 1 jenis perlakuan yaitu eppendorf I dan eppendorf II. Selanjutnya media diambil dari sumuran dengan mikropipet 1 ml, lalu ditransfer ke eppendorf I, jika kurang dimasukkan ke eppendorf II. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. Media dibuang dengan cara dituang. Selanjutnya diisikan 500 μL PBS ke dalam setiap sumuran. PBS diambil dengan mikropipet dan ditransfer ke dalam eppendorf I. Disentrifus kembali dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. PBS dibuang dengan cara dituang. Diulangi pencucian dengan PBS sekali lagi. Kemudian ditambahkan 150 μL tripsin-EDTA 0,25%, lalu diinkubasi di inkubator selama 3 menit. Langkah selanjutnya ditambahkan 1 ml MK pada tiap sumuran, diresuspensi sampai sel lepas satu per satu, dan diamati di bawah mikroskop. MK untuk menginaktivasi tripsin. Setelah sel terlepas satu-satu, sel ditransfer ke eppendorf I dan/ II. PBS ditambahkan kembali sebanyak 500 μl ke dalam sumuran untuk mengambil sisa sel, kemudian ditransfer ke dalam eppendorf II. Semua eppendorf disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. MK/PBS dibuang dengan cara dituang, kemudian ditambahkan dan 3.4 Analisis Data Analisa data dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan antara perlakuan dengan kontrol. Analisis siklus sel dilakukan pada fase siklus sel dimana terjadi akumulasi sel terbesar pada masing-masing perlakuan. 4. Hasil dan Pembahasan Kultur sel HeLa sering digunakan sebagai model dalam penelitian karena tumbuh lebih cepat sehingga mampu memproduksi lebih banyak sel dalam satu flask dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel. Kultur sel HeLa memiliki sifat semi melekat. Hal ini disebabkan karena sel kultur melepas suatu protein matriks ekstraseluler sehingga menyebabkan sel–sel tersebut menempel satu sama lain dan menempel pada dasar microplate (Syaifuddin, 2007). Uji sitotoksisitas diawali dengan menumbuhkan sel HeLa hingga konfluen (7080% memenuhi dinding flask) pada medium RPMI 1640-serum. Menurut Freshney (2000) dalam medium ini terkandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung hormonvii hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport, lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim. Setelah sel yang akan digunakan sebagai model uji jumlahnya cukup kemudian dilakukan pemanenan sel yang dilanjutkan dengan pencucian menggunakan PBS. Hal ini bertujuan untuk membersihkan serum yang terkandung dalam medium RPMI karena serum ini dapat menghambat kerja tripsin. Selanjutnya dilakukan penambahan tripsin untuk melepas sel dari dasar tabung dan dilanjutkan dengan penambahan medium RPMI sehingga diperoleh suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan ke dalam microplate. Setelah sel dalam microplate siap, kemudian dilakukan penambahan seri konsentrasi ekstrak spons A. suberitoides, cisplatin, kombinasi ekstrak A. suberitoides dan cisplatin serta kontrol. Setelah inkubasi 24 jam dan diamati di bawah mikroskop maka terlihat adanya perubahan dari morfologi sel. Morfologi sel kontrol dan setelah perlakuan dapat dilihat pada gambar 4.1. Pengamatan mikroskopis menunjukkan adanya perbedaan morfologi pada sel HeLa kontrol dan perlakuan. Sel kontrol tampak berbentuk seperti daun, menempel di dasar sumuran, sedangkan sel dengan perlakuan ekstrak A. suberitoides, cisplatin, dan kombinasi terdapat sel yang mati. Sel yang mati tampak berubah bentuknya, keruh dan mengapung. Akumulasi sel pada siklus sel merupakan salah satu target utama agen antikanker. Pada penelitian ini pengamatan siklus sel dilakukan dengan metode flowcytometry. Dengan metode ini, dapat dilihat distribusi sel pada masing-masing fase dalam siklus sel setelah perlakuan, sehingga dapat diperkirakan jalur penghambatan ekstrak A. suberitoides serta kombinasinya dengan cisplatin dalam menghambat siklus sel. Fasefase dalam siklus sel normal memiliki perbedaan pada jumlah set kromosom yaitu fase G1 jumlah set kromosomnya adalah 2n. Berlanjut pada fase S, jumlah set kromosomnya antara 2n dan 4n karena terjadi proses replikasi, sedangkan pada fase G2 dan M, replikasi telah sempurna membentuk set kromosom 4n. Begitu juga yang terjadi pada sel HeLa, dimana pada fase G1 memiliki 2 set kromosom (2n), pada fase G2 antara 2n-4n, dan pada fase G2/M adalah 4n (Collins et al., 1997). Dengan adanya fluorochrome yang memiliki kemampuan berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti propium iodide maka tiap sel yang memiliki jumlah set kromosom yang berbeda akan memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak set kromosom maka intensitas fluoresensi akan semakin besar. Alat yang digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi tiap sel pada penelitian ini adalah FACS (Fluorescence Activated Cell Sorting) atau flowcytometer (Givan, 2001). Profil siklus sel Hela dan distribusi sel HeLa setelah perlakuan dapat dilihat pada gambar 4.2 dan table 4.1. Salah satu kelemahan dari flow cytometry dalam analisis siklus sel adalah pengukuran yang bersifat subyektif, yaitu operator dapat menginterpretasi data dengan beberapa cara yang berbeda. Pada analisa siklus sel dengan metode flow cytometry, tidak ada aturan baku untuk menetapkan range intensitas fluoresensi untuk menentukan fase-fase dalam siklus sel, sehingga terdapat kesulitan dalam menentukan dimana 2n (fase G0/G1) berakhir dan dimana dimulainya fase S. Begitu pula untuk menentukan dimana akhir dari fase S dan dimulainya fase G2/M (4n). Metode yang paling sederhana untuk menentukan range intensitas fluoresensi disebut peak reflect method, dimana puncak dari G0/G1 diasumsikan terdistribusi simetris di sekitar puncak tertinggi. Berdasarkan asumsi ini, lebar dari puncak G0/G1, dari puncak tertinggi ke arah kiri (fluoresen rendah) dicopy ke kanan (fluoresen tinggi). Hal yang sama dilakukan pada puncak G2/M. Selanjutnya area yang berada di tengah-tengah antara kedua wilayah tersebut (antara G0/G1 dan G2/M) dianggap sebagai fase S (Givan, 2001). Metode untuk menentukan range intensitas fluoresensi untuk menentukan fase siklus sel ini dilakukan pada sel kontrol atau tanpa perlakuan, sedangkan untuk sel dengan perlakuan, penentuan fase-fase siklus sel mengikuti yang telah ditetapkan pada kontrol. Terdapat satu masalah penting dalam analisa siklus sel menggunakan flow cytometry yaitu kemungkinan terjadi agregat atau pengelompokan sel. Dua sel pada fase G1 yang berkumpul saat penyinaran akan memantulkan flouresen dua kali DNA content normal, dan tampak seperti satu sel yang berada pada fase G2/M. Salah satu cara mendiagnosa adanya sampel yang berkelompok adalah dengan melihat puncak pada posisi 6n (merupakan hasil tiga inti yang berkelompok). Apabila ditemukan tiga sel yang berkelompok, maka secara statistik, dua sel yang berkelompok akan lebih banyak. Pada gambar 4.2 sel yang berada pada posisi 6n viii (angka 600 pada sumbu x histogram) sangat rendah, ini menunjukkan double cell atau sel yang berkelompok ketika penyinaran sangat kecil, sehingga data yang didapatkan cukup valid. Kandungan terpenoid ini kemungkinan memiliki aktivitas serupa dengan ircinin dan beraksi lebih dominan sehingga terjadi G1 arrest. Menurut Choi et al., (2005) ircinin menyebabkan G1 arrest melalui induksi p21 dan p27, dimana p21 dan p27 merupakan protein yang termasuk dalam inhibitor CDK (CDKIs). Ekspresi p21 dan p27 menyebabkan penurunan kadar cyclin D sehingga tidak terjadi aktivasi CDK4 dan CDK6. Aktivasi CDK4 dan CDK6 berfungsi untuk fosforilasi protein Rb (retinoblastoma), sehingga apabila terjadi pemblokiran aktivasi CDK4 dan CDK6 maka tidak terjadi fosforilasi protein Rb. Rb yang tidak terfosforilasi akan berikatan dengan faktor transkripsi E2F mengikat DNA dan menghambat transkripsi gen yang produknya diperlukan untuk fase S siklus sel sehingga sel tertahan di fase G1 atau terjadi G1 arrest (Kumar et al., 2003). Cisplatin digunakan sebagai kontrol positif pada penelitian ini karena Cisplatin merupakan agen kemoterapi dalam pengobatan kanker serviks (Mardiani, 2010). Akumulasi sel terbesar pada perlakuan cispatin konsentrasi 8,35 µg/ml (¼ IC50) terjadi pada fase S yaitu sebesar 24,28%, sedangkan pada perlakuan cisplatin konsentrasi 3,34 µg/ml (1/10 IC50) terjadi pada fase G1 sebesar 24,50%. Koprinarova et al. (2010) menyebutkan bahwa perlakuan menggunakan cisplatin menyebabkan terjadi arrest pada fase G1 dan S pada siklus sel. Ho (1995) menjelaskan bahwa progresi siklus sel dikontrol oleh cyclin-dependent kinases (cdks). CDKs merupakan kontrol pusat dan pembatas pada regulasi tiap fase siklus sel. cdks yang esensial untuk transisi dari fase G1 ke fase S adalah CDK2 dan CDK3. Salah satu substrat utama CDK yang mengontrol progresi G1/S adalah penekan (suppressor) tumor, protein retinoblastoma (Rb). Rb menghentikan siklus sel dengan cara mengikat faktor transkripsi E2F, dan membatasi potensi untuk transaktivasi gen yang diperlukan untuk melewati fase G1 sehingga terjadi G1 arrest (Ho, 1995). Sedangkan kerja cisplatin dalam menghambat sintesis DNA merupakan hasil dari penahanan fase S (S arrest) karena terjadi pemblokiran elongasi DNA (Koprinarova et al., 2010). Lebih lanjut Sorenson dan Alan (1988) menyebutkan bahwa cisplatin mereduksi penggabungan timidin, uridin dan leusin menjadi makromolekul sehingga terjadi penghambatan sintesis DNA. Perlakuan kombinasi ekstrak A. suberitoides dan cisplatin dilakukan untuk Tabel 4.1 Distribusi sel HeLa setelah perlakuan dengan berbagai konsentrasi ekstrak A. suberitoides, cisplatin, dan kombinasi keduanya Jenis Perlakuan Kad ar Kontrol 0 Ekstrak A. ¼ suberitoides IC50 1/10 IC50 Cisplatin ¼ IC50 1/10 IC50 Kombinasi ¼ Cisplatin – IC50 Ekstrak A. - ¼ suberitoides IC50 Fase Sel (%) subG G1 S 1 6,41 46,44 8,04 10,00 48,50 8,25 G2/ M 8,53 7,98 7,45 50,22 8,03 8,22 8,34 23,76 9,35 24,50 7,55 21,13 24,2 8 22,1 9 25,1 3 11,1 7 12,5 2 17,6 5 Akumulasi sel terbesar pada perlakuan ekstrak A. suberitoides pada konsentrasi 38,25 µg/ml (¼ IC50) adalah pada fase G1 sebesar 48,50%. Pada perlakuan ekstrak A. suberitoides dengan konsentrasi 15,30 µg/ml (1/10 IC50) akumulasi terbesar juga terjadi pada fase G1 yaitu sebesar 50,22%. Apabila dibandingkan dengan kontrol, efek perlakuan ekstrak pada fase G1 tidak jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak A. suberitoides pada konsentrasi 1/10 IC50 dan ¼ IC50 tidak menunjukkan pengaruh pada siklus sel HeLa. Menurut Xu (2000) spons A. suberitoides mengandung senyawa alkaloid utama yaitu aaptamin dan derivatnya. Aaptamin murni mampu menyebabkan G2 arrest pada sel HeLa, namun pada penelitian ini akumulasi sel terbesar adalah pada fase G1 sehingga kemungkinan terjadi penahanan fase G1 sel HeLa oleh ekstrak A. suberitoides. Pada percobaan ini ekstrak A. suberitoides yang digunakan masih merupakan ekstrak kasar (crude extract) sehingga kemungkinan ada senyawa lain yang mekanisme aksinya menghambat fase G1, dimana menurut Nurhayati (2010) spons A. suberitoides tidak hanya mengandung senyawa alkaloid, namun juga terpenoid. Ircinin merupakan salah satu senyawa terpenoid yang dilaporkan aksinya menyebabkan G1 arrest pada sel kanker kulit (Mayer dan Kirk, 2008 dan Choi et al., 2005). ix mengetahui bagaimana pengaruh kombinasi tersebut terhadap siklus sel HeLa. Pada perlakuan kombinasi, akumulasi terbesar adalah pada fase S yaitu 25,13%, dimana pada fase S terjadi sintesis DNA. Telah disebutkan sebelumnya bahwa target utama antikanker cisplatin adalah DNA dimana cisplatin akan menghambat sintesis DNA, sehingga terjadi S arrest. Selain itu spons A. suberitoides mengandung senyawa derivat dari aaptamin, yaitu histidin yang juga berfungsi untuk menghambat sintesis DNA (Tsukamoto et al., 2010). Oleh karena itu pada perlakuan kombinasi ini kemungkinan terjadi kerja sinergis antara cisplatin dan ekstrak spons A. suberitoides dalam menghambat fase S pada sel HeLa. Pada perlakuan kombinasi sel yang berada pada fase G2/M paling banyak dibandingkan perlakuan yang lain, hal ini kemungkinan karena efek DNA repair. Adanya mekanisme kontrol cek point pada transisi fase G1/S dan G2/M mencegah adanya perubahan genetik dengan memastikan bahwa kerusakan DNA telah diperbaiki sebelum replikasi DNA pada fase S dan pembelahan pada fase M. Apabila kerusakan DNA tidak berhasil diperbaiki oleh sistem cek point, maka daur sel akan berhenti pada fase G2/M. apabila kerusakan DNA dapat diperbaiki maka daur sel akan berlanjut. Setelah fase M, sel dapat masuk ke fase G1 atau G0 (Dipaola, 2002). Senyawa hymenialdisine dari beberapa spesies sponge seperti Phakellia mauritiana, Pseudaxinyssa cantharella dan Agelas longissima dilaporkan memiliki aksi DNA repair melalui mekanisme inhibitor CHK1 yang merupakan protein yang berperan pada cek point transisi fase G1/S dan G2/M (Meijer et al., 2000 dan Lord et al., 2006). Pada ekstrak A. suberitoides kemungkinan memiliki kandungan senyawa dengan mekanisme aksi seperti hymenialdisine sehingga terjadi DNA repair pada perlakuan kombinasi. Setelah DNA diperbaiki, maka sel dapat melanjutkan ke fase selanjutnya dalam siklus sel. Oleh karena itu pada perlakuan kombinasi, sel yang berada pada fase G2/M lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan ekstrak A. suberitoides tunggal. Akumulasi sel pada fase subG1 yang diasumsikan sebagai apoptosis paling tinggi adalah pada perlakuan ekstrak A. suberitoides konsentrasi ¼ IC50 (38,25 µg/ml) yaitu sebesar 10,00%. Aoki et al., (2006) menyatakan bahwa senyawa aaptamin yang terdapat pada sponge A. suberitoides mengaktivasi promoter p21 yang merupakan target dari gen p53. Aktivasi ini menyebabkan aktivasi protein proapoptosis seperti Bax, Bak, dan Bad. Selanjutnya mitokondria melepas cytokrom c. Sitokrom selanjutnya akan mengaktivasi caspase cascade melalui aktivasi protein adaptor Apaf-1 yang akan mengaktivasi procaspase 9 (Simstein et al., 2003). Procaspase 9 selanjutnya akan mengaktivasi caspase 9 yang merupakan caspase inisiator. Caspase inisiator ini akan mengaktivasi caspase efektor yang berperan dalam apoptosis. Yang tergolong caspase efektor adalah caspase 3, caspase 6, dan caspase 7 (Kiaris, 2006). Pada perlakuan kombinasi ekstrak A. suberitoides dengan cisplatin, akumulasi pada fase subG1 sebesar 7,55%. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada perlakuan kombinasi kemungkinan terdapat efek DNA repair. Abeloff et al. (2004) menyebutkan bahwa efek DNA repair dapat menurunkan angka apoptosis. Oleh karena itu akumulasi sel pada fase subG1 pada perlakuan kombinasi nilainya lebih kecil daripada perlakuan ekstrak A. suberitoides dosis tunggal. 5. Kesimpulan Ekstrak A. suberitoides 38,25 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10% dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu sebesar 50,22%, sedangkan ekstrak A. suberitoides 15,3 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 7,45% dan akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar 48,50%. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan ekstrak Aaptos suberitoides dengan konsentrasi yang lebih tinggi agar pengaruh ekstrak terhadap siklus sel HeLa dapat terlihat dengan lebih jelas. Selain itu ekstrak spons A. suberitoides yang digunakan untuk penelitian perlu dimurnikan terlebih dahulu menjadi bentuk senyawa murni sehingga memiliki aktivitas biologi yang lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA Abeloff, M., Arnitage J., Niederhuber J., Kastan M., dan McKenna W. 2004. Clinical Oncology 3rd ed. Elsevier Churchill Livingstone: Philadelphia. Ahmad, T., Panrerengi, A., dan Suryati, E. 2000. ”Potensi Sponge Penghasil Bakterisida dan Fungisida Alami Belum Banyak Dimanfaatkan”. Warta Penelitian Perikanan Indonesia 8 (3) : 34-45. x Darzynkiewicz, Z. 1996. Detection of Apoptosis by Flow cytometry. pada "Educational Program of the 26th Congress of the International Society of Hematology". Singapura. Davey, H. dan Douglas K. 1996. Flow Cytometry and Cell Sorting of Heterogeneous Microbial opulations : the Importance of Single-Cell Analyses. Microbiological Reviews 60 (4) : 641696. DeFillippis, R.A., Goodwin, E.C., Wu, L., dan DiMaio, D. 2003. “Endogenous Human Papillomavirus E6 and E7 Proteins Differentially Regulate Proliferation, Senescence, and Apoptosis in Hela Cervical Carcinoma Cells”. Journal of Virology 77 (2) : 1551-1563. Dipaola, R. 2002. “To Arrest or Not To G2-M cell Cycle Arrest”. Clinical Cancer Research 8 : 3311-3314. Dolezel, J., Binarova P., dan Lucretti S. 1989. “Analysis of nuclear DNA content in plant cells by flow cytometry”. Biologia Plantarum 31: 113 – 120. Doyle, A., dan Griffiths, J. B. 2000. Cell and Tissue Culture for Medical Research. John Willey and Sons Ltd. : New York. Edianto, D. 2006. Kanker Serviks. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo : Jakarta. Fadjri, H. T. 2010. Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Sel Kanker HeLa Secara In Vitro. Prodi Biologi ITS : Surabaya. Franks L.M dan Teich N.M. 1998. Cellular and Molecular Biology of Cancer, Third edition Oxford University Press Inc. : New York. Freshney, R. 2000. Culture of Animal Cells: A Manual of Basic Technique, Fourth Ed. A John Wiley and Sons, Inc. : USA. Givan, A.L., 2001. Flow Cytometry First Principles. Wiley-Liss, Inc. : New York. Goodwin, E., dan DiMaio, D. 2000. “Repression of human papillomavirus oncogenes in Hela cervical carcinoma cells causes the orderly reactivation of dormant tumor suppressor pathways”. Biochemistry 97 (23) : 12513-12518. Hite, R. dan Ann M. 2001. Strengths and Weakness of Flow Cytometry. <URL:http://www.unc.edu>. 19 Juli 2011. American Type Culture Collection (ATTC). 2001. MTT Proliferation Assay. Instruction. P.O.Bx 1549, Manasan USA. Amir, I. dan Agus B. 1996. “ Mengenal Spons Laut (Demospongia) Secara Umum”. Oseana 21 (2) : 15-31. Aoki, S., Dexin K., Hideaki S., Yoshihiro S., Toshiyuki S., Andi S., dan Motomasa K. 2006. “Aaptamin, a Spongean Alkaloid, Activates p21 Promoter in a p53Independent Manner”. Biochemical and Biophysical Research Communications 342 : 101-106. Astuti, P., Alam, G., Hartati, M.S., Sari, D., dan Wahyuono, S. 2005. “Uji sitotoksik senyawa alkaloid dari spons Petrosia sp: potensial pengembangan sebagai Antikanker”. Majalah Farmasi Indonesia 16 (1) : 58 – 62. Burger, F. J. 1970. “Aaptos”. South African Medical Journal 44 : 899. Capes, D., Theodosopoulos G., dan Atkin I. 2010. “Check your cultures! A list of cross-contaminated or misidentified cell lines”. Int J Cancer 127 (1) : 1–8. CCRC (Cancer Chemoprevention Research Center). 2009. Preparasi Sampel untuk Flowcytometry. <URL:http://www.ccrc.farmasi.ugm.ac.i d >. Choi, H., Yung H., Su-Bog Y., Eunok I., Jee H., dan Nam D. 2005. “Ircinin-1 Induces Cell Cycle Arrest and Apoptosis in SKMEL-2 Human Melanoma Cells”. Molecular Carcinogenesis 44 (3) : 162-173 Collins, J., David E., dan Carrington S. 1997. Structure of Parental Deoxyribonucleic Acid of Synchronized HeLa Cells. Biochemistry 16 (25) : 5438-5444. Cooper, G. M. 2000. The Cell A Molecular Approach. Second Edition. <URL:http://www.ncbi.nih.gow/books> Cytopathol, D. 2009. “Evaluation of flow cytometric immunophenotyping and DNA analysis for detection of malignant cells in serosal cavity fluids”. Juli 37 (7) : 498-504. Danaei, G., Eric L., dariush M., Ben T., jurgen R., Christopher J., dan Majid, E. 2005. Cancer. <URL:http://www.who.int>. xi European Journal of Cancer 44: 2357–2387. Meijer, L., Thunnissen, A. White, Garnier, Nikolic, Tsai, Walter, K. Cleverley, Salinas, Y. Wu, Biemat, Mandelkow, S. Kim dan G. Pettit. “Inhibition of CyclinDependent Kinases, GSK-3β and CK1 by HYmenialdisine, a Marine Sponge Constituent”. Chemistry and Biology 7 : 51-63. Meiyanto, E., Supardjan, Muhammad D., dan Dewi A. 2006. “Efek antiproliferatif Pentagamavunon-0 terhadap Sel Kanker Payudara T47D”. Jurnal Kedokteran Yarsi 14 1. Meye, E. 2009. Sitotoksisitas dan Efek Ekstrak Etanol Kulit Buah Jambu Mente (Anacardium occidentale L.) Terhadap Sel Mieloma. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Meyer, F., Putnam, Jacobsen N., dan Mc. Laughlin. 1982. “Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for Active Lant Constituents”. Plant Medica 45. Mutschler, E. 1999. Dinamika Obat, Ed. V, cetakan ketiga. ITB Press: Bandung. Nafrialdi, Gan Sulistia. 1995. Antikanker, Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Farmakologi Fakultas Kedokteran Indonesia : Jakarta. Prayitno, A., Ruben D., Istar Y., dan Ambar M. 2005. ”Ekspresi Protein p53, Rb, dan cmyc pada Kanker Serviks Uteri dengan Pengecatan Immunohistokimia”. Biodiversitas 6 (3) : 157-159. Pusztai, L., dan lewis E. 1996. Cell Proliferation in Cancer, Regulatory Mechanism of Neoplastic Cell Growth. Oxford University Press Oxford : New York. Rahbari R., Tom S., Modes V., Pam C., Catriona M., dan Richard M. 2009. "A novel L1 Retrotransposon Marker for HeLa Cell Line Identification”. Biotechniques 46 (4): 277–84. Rang, H., M. Dole, Ritter, dan Moore. 2003. Pharmachology. 5th ed. Churchill Livingstone : New York. Rosai, I, 2004. Surgical Pathology, 9 th ed. St louis, Missouri: Mosby. Sagar, L. 2005. Intro to Myeloma. <URL:http://www.mulltiplemyeloma.or g>. Ho, Duncan. 1995. The Biochemical and Cell Cycle Effects of the Antitumour Drug Fostriecin. University of British Columbia : Columbia. Hooper, J.N.A. 1997. Sponge Guide: Guide to Sponge Collection and Identification. Quensland Museum : Brisbane. Ixora. 2007. Antikanker yang Alami. <URL:http://www.ixoranet.com/index.p hp>. 12 Oktober 2010. Kiaris, H. 2006. Understanding Carcinogenesis: an Introduction to the Molecular Basis of Cancer. Willey-vch Verlag GmbH & Co. KGaA : Weinhem. King, S. B. 1996. Cancer Biology second edition. Pearson Education : London. Koprinarova, M., Petya M., Ivan I., Boyka A., dan George R. 2010. “Sodium Butyrate Enhances the Cytotoxic Effect of Cisplatin by Abrogating the Cisplatin Imposed Cell Cycle Arrest”. BMC molevular Biology. Kresno, S. 2003. Ilmu Dasar Onkologi. PT Quparada Makuda Perkasa: Jakarta. Kumar, V., Ramzi S., dan Stanley L. 2003. Robbins Basic Pathology 7th ed. Elsevier Inc. : New York. Leland, H., hartwell, T., dan Hunt, P. M. 2001. Key Regulators of the Cell Cycle. <URL:http://www.nobelprizes/medicine >. Lord, C., michelle D., dan Alan A. 2006. “Targeting the Double-Strand DNA Break Repair Pathway as a Therapeutic Strategy”. Clinical Cancer Research 12 (15) : 4463-4468. Lumongga, F. 2008. Apoptosis. USU: Medan. Macville M, Schröck E, Padilla-Nash H, et al. 1999. “Comprehensive and definitive molecular cytogenetic characterization of HeLa cells by spectral karyotyping”. Cancer Res. 59 (1) : 141–150. Mardiani, R. 2010. Evaluasi penggunaan Antiemetika pada Pasien kanker Serviks dengan Terapi Sitostatika di Instalasi Rawat Inap RSUD. Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2009. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta : Surakarta. Mayer, M. S., dan Kirk R. 2008. “Marine pharmacology in 2005–2006: Antitumour and cytotoxic compounds”. xii Spermonde Archipelago”. Boll. Mus. Ist. Biol. Univ. Genova 68: 253-261. Xu, L. 2000. Novel G2 Cell Cycle Checkpoint Inhibitors and Antimitotic Agents Isolated Through Two New HTS Bioassays. University of British: Columbia. Zachary, I. 2003. Determination of Cell Number. In : Hughes, D and Mehmet, H (eds). Cell Proliferation and Apoptosis. BIOS Scientific Publisher Limited. Schmidt, O. 1864. Supplement der Spongien des Adriatischen Meeres Enthaltend Die Histologie und Systematiche Erganzungen. Wilhelm Engelmann: Leipzig. Sharrer, T. 2006. “HeLa Herself”. The Scientist 20 (7): 22. Simstein, R., Burow M., Parker A., Weldon C, dan Beckman B. 2003. “Apoptosis, Chemoresistance, and Breast Cancer. Insight from the MCF7 Cell Model System”. Experimental biology and medicine 228 : 995-1003. Sorenson, C. dan Alan E. “Influence of cisDiaminedichloroplatinum(II) on DNA Synthesis and Cell Cycle Progression in Excision Repair Proficient and Deficient Chinese Hamster Ovary Cells”. Cancer Research 48 : 6703-6707. Sukardja, 2000. Onkologi Klinik Edisi 2. Airlangga University Press: Jakarta. Suryati, E., Parenrengi A., dan Rosmiati. 2000. “Penapisan Serta Analisis Kandungan Bioaktif Sponge Clathria sp. yang efektif sebagai Antibiofouling pada teritif (Balanus amphitrit)”. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5 (3). Suryo. 2007. Genetika Manusia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Syaifuddin, M. 2007. “Gen Penekan Tumor p53, Kanker dan Radiasi Pengion”. Buletin Alara, 8 (3) : 119 – 128. Tsukamoto, S., rumi Y., Makiko Y., Kohei S., Tsuyoshi I., Henki R., Remy E., Nicole J., dan Rob W. “Aaptamine, an Alkaloid from the Sponge Aaptos suberitoides, Functions as a Proteasome Inhibitor”. Bioorganic and Medicinal Chemistry Letters 20 : 3341-3343. Ulfah, Maria. 2010. “Flow cytometry untuk Evaluasi Aktifitas Obat Antiplasmodial pada Gametosit Plasmodium falciparum”. Malaria Journal 9:49. Van Soest, R.M.W. 1989. “The Indonesian Sponge Fauna: Status Report”. Netherland Journal of Sea Research 23 (2) : 223-230. Watts, Denise Watson. 2010. “HeLa Cancer Cells Killed Henrietta Lacks. Then They Made Her Immortal”. The VirginianPilot 1 : 12–14. Voogd, N., Leontine E., Bert W., Alfian N., dan Robert W. 2004. “Sponge Interactions with Spatial Competitors in the xiii