View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
Fenomena-fenomena Budaya India/Hindu di Sulawesi Selatan dan Barat
Oleh
Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U. *
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan menginformasikan fenomena budaya di Sulawesi Selatan dan Barat yang
bercitra budaya Hindu/India yang masih dapat disaksikan sampai sekarang. Untuk mengetahui
fenomena-fenomena budaya yang dimaksud, dilakukan penelusuran beberapa sumber atau
referensi. Dari aspek linguistis diketahui bahwa sistem aksara lontarak (aksara yang digunakan
bahasa Bugis dan Makassar) terbentuk melalui pengaruh dari tulisan India walaupun tidak secara
langsung. Dari aspek antropologis diketahui bahwa konsep ketuhanan yang dianut di beberapa
tempat di Sulawesi Selatan dan Barat, yaitu Dewa Patotoe (Dewa yang yang menentukan nasib),
Dewa Seuwae (Dewa yang tunggal), Dewa Turie Ara’na (Dewa yang berkehendak tinggi)
mempunyai kemiripan dengan konsep ketuhanan yang terdapat dalam budaya Hindu, yaitu Dewa
Brahma (Dewa pencipta), Dewa Wishnu (Dewa pemelihara), Dewa Syiwa (Dewa pembinasa);
begitu pula dalam tata cara ritual atau pemujaan kepada sesuatu yang dianggap mempunyai
kekuatan yang dapat memenuhi harapan dan menolak bahaya, misalnya menyediakan sesajen
(pakrappo dalam bahasa Makassar), asap wangi (pakdupang dalam bahasa Makassar); kepada roh
nenek moyang yang harus dihormati, misalnya menyajikan makanan (assurommaca dalam bahasa
Makassar); begitu pula pembagian stratifikasi social, misalnya golongan Bangsawan (Karaeng
dalam bahasa Makassar), golongan orang biasa/merdeka (Tubarani dalam bahasa Makassar), dan
golongan Ata/budak (Pajama/suro/joak dalam bahasa Makassar) mempunyai kemiripan dengan
pembagian kasta dalam budaya India/Hindu, yaitu golongan Brahma, golongan Kesatria, golongan
Vaisya, dan golongan Sudra. Dari aspek arkeologis diketahui bahwa di Luwu Utara (Sulawesi
Selatan) dan Sempaga (Sulawesi Barat) terdapat peninggalan artefak berupa arca perunggu dan
keramik yang berisi abu sisa pembakaran mayat. Selain itu, ditemukan guci-guci terbuat dari tanah
liat berisi abu sisa pembakaran ketika masyarakat menggali tanah untuk mencari barang antik
(saladong dalam bahasa Makassar).
KATA KUNCI: fenomena budaya, aksara, dewa, kasta, artefak
_______________
*Staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
1
Fenomena-fenomena Budaya India/Hindu di Sulawesi Selatan dan Barat
A. Pendahuluan
Perpindahan orang atau sekelompok orang dari suatu negara ke negara lain biasa
disebut imigrasi, orangnya disebut imigran. Adapun perpindahan orang atau sekelompok
orang dari suatu daerah ke daerah (pulau) lain biasa disebut transmigrasi, orangnya
disebut transmigran. Terjadinya perpindahan, baik yang berupa imigrasi maupun
transmigrasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang dimaksud, yakni
terjadinya gejolak politik di tempat asal; tujuan mencari komoditas dagang atau
memperluas jaringan perniagaan; tujuan menyebarkan agama (misi agama); ekspansi
wilayah kekuasaan; dan gejala alam berupa gempa bumi.
Kedatangan orang atau sekelompok orang di suatu tempat, sudah barang tentu,
secara eksplisit terbawa pula kebudayaannya. Kebudayaan yang dibawa dapat berwujud
sistem budaya (adat isitiadat); sistem sosial (tata cara berperilaku); dan artefak (bendabenda budaya) (Koentjaraningrat, 1990: 186-7; Wiranata, 2002: 103). Para pendatang
tersebut, tentu saja, akan bergaul secara luas dan intensif sehingga di antara mereka
(pendatang dan penduduk setempat) melakukan kontak budaya (akulturasi) dan asimilasi.
Demikian pula kedatangan orang India/Hindu di Nusantara, sudah barang tentu,
membawa budayanya. Ada beberapa hipotesis yang dikemukakan para ahli tentang proses
masuknya budaya Hindu-Budhha ke Nusantara. Hipotesis I mengungkapkan bahwa kaum
Brahmana yang diundang oleh penguasa Indonesia untuk menobatkan raja dan memimpin
upacara keagamaan, sekaligus menyebarkan agama dan budaya Hindu di Nusantara;
pendapat ini didukung oleh Van Leur. Hipotesis II mengungkapkan bahwa kaum Kesatria
yang kalah dalam perang meninggalkan India; di antara mereka ada yang ada sampai ke
Indonesia; sekaligus menyebarkan agama dan budaya Hindu; hipotesis ini didukung oleh
F.D.K. Bosch. Hipotesis III mengungkapkan bahwa yang berperan dalam penyebaran
agama dan budaya Hindu di Nusantara adalah kaum pedagang (Waisya); kaum pedagang
ini menjalin hubungan dengan para penguasa dan rakyat sehingga mempermudah
terjadinya proses penyebaran; salah seorang pendukung hipotesis ini adalah N.J. Krom.
Selanjutnya, Hipotesis IV mengungkapkan bahwa kaum Sudra sebagai orang buangan
akibat peperangan mengikuti jejak kaum Waisya meninggalkan India dan ada yang
sampai ke Nusantara; kaum inilah memberi andil dalam penyebaran agama dan budaya
Hindu di Nusantara; pendukung hipotesis ini adalah Von van Faber. Selain pendapat
tersebut, ada teori yang disebut Teori Arus Balik menyatakan bahwa yang menyebarkan
agama dan budaya Hindu di Nusantara adalah orang-orang Indonesia sendiri. Banyak
pemuda Indonesia yang belajar agama Hindu dan Budha di India; setelah memperoleh
ilmu, mereka kembali ke Indonesia untuk menyebarkannya. Informasi tentang penyebaran
budaya Hindu di Nusantara dapat diketahui melalui prasasti-prasasti di Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-7 Masehi dalam restilestarinilovekorea.blogspot.com/2010/08/prosesmasuk-dan-berkembangnya-pengaruh.html);(www.slideshare.net/hypeerion/teorimasuknya-hindu).
Penyebaran agama dan budaya Hindu, khususnya di Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat sampai saat ini belum ditemukan sumber-sumber atau literatur yang dapat
memberikan informasi. Sebagai konsekuensi dari ketiadaan sumber yang dapat memberi
informasi, maka sampai sekarang belum diketahui siapa yang menyebarkan dan kapan
proses penyebarannya mulai terjadi. Namun demikian, banyak fenomena budaya
India/Hindu di Sulawesi Selatan atau pun Sulawesi Barat yang ditemukan, baik berupa
aksara (bahasa), konsep ketuhanan, tata cara pelaksanaan upacara ritual, penggolongan
stratifikasi social, dan benda-benda budaya yang dapat diinterpretasi sebagai pengaruh
agama dan budaya Hindu.
2
B. Fenomena-fenomena Budaya India/Hindu di Sulawesi Selatan dan Barat
Seperti telah disebutkan pada pendahuluan bahwa banyak fenomena budaya
India/Hindu yang dapat disaksikan, baik yang ada di lapangan maupun di perpustakaan.
Fenomena-fenomena tersebut diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut.
1. Asal usul Aksara Lontarak
Sebelum menelusuri asal usul aksara lontarak yang digunakan dalam bahasa
Bugis dan bahasa Makassar, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu mengapa dinamai
aksara lontarak. Dinamai aksara lontarak karena memang dulu peristiwa-peristiwa ditulis
pada daun lontar. Frasa daun lontar sepadan dengan raung = daun dan talak = lontar
menjadi rauttalak atau rontalak dalam bahasa Makassar. Kata rontalak mengalami proses
metatesis menjadi lontarak (Djirong, 1972: 10; Abidin, 1983:109).
Dalam perkembangan selanjutnya, kata lontarak mengandung arti bermacammacam sesuai dengan konteks kalimatnya. Manyambeang (1996: 32) merincinya seperti
berikut.
(a) Lontarak dapat berarti aksara, seperti dalam kalimat:
Appilajariki lontarak.
‘belajar dia lontarak’
(dia belajar huruf lontarak)
(b) Lontarak dapat berarti naskah, seperti dalam kalimat:
Ciniki ri lontaraka.
‘lihat ia di lontarak’
(lihatlah di lontarak)
(c) Lontarak dapat berarti bacaan, seperti dalam kalimat:
Iaminne lontarakna I Kukang.
‘inilah buku bacaan I kukang’
(inilah buku bacaan (yang berjudul) I Kukang)
(d) Lontarak dapat berarti catatan, seperti dalam kalimat:
Boyai ri lontarak bilanga.
‘carilah pada lontara bilang’
(carilah pada catatan harian)
Selanjutnya, dari hasil penelusuran pustaka yang tersedia dijumpai beberapa
pendapat tentang perkembangan aksara Bugis-Makassar. Pendapat-pendapat tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a). H. Kern (1882) berpendapat bahwa aksara Bugis-Makassar bersumber dari huruf
Sanskrit yang disebut Dewanagari. Aksara Dewanagari dapat dilihat sebagai berikut.
3
b) Kridalaksana (1982: xx) menyusun silsilah aksara yang penting, seperti berikut.
Berdasarkan silsilah tersebut terlihat bahwa aksara Bugis Makassar bersumber
dari aksara Pallawa. Boechari (dalam Kridalaksana, 1982: xxi) menggambarkan aksara
Pallawa seperti berikut.
c)
Hole (1882) menunjukkan bentuk aksara yang dikemukakan oleh Matthes dan Raffles
seperti berikut.
(1) Bentuk aksara yang dikemukakan Matthes
4
(2) Bentuk yang dikemukakan Raffles
Bentuk aksara yang dikemukakan, baik Matthes maupun Raffles biasa juga
disebut lontarak kuno. Lontarak kuno tersebut terbagi dua kategori, yaitu ada yang disebut
lontarak jangang-jangang dan lontarak bilang-bilang. Bila dibandingkan antara lontarak
kuno dengan lontarak baru dapat dikatakan jauh berbeda sehingga perlu dipertanyakan
apakah lontarak kuno yang mengalami proses perubahan sehingga menjadi lontarak baru.
Mattulada (dalam Manyambeang, 1996: 29) merasa yakin bahwa aksara Bugis
Makassar berasal dari aksara Dewanagari yang diperbaharui oleh Daeng Pamatte.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam lontarak Patturioloang ri Tugowaya (naskah
sejarah Gowa) seperti yang disinyalir Manyambeang (1996) dan Djirong (1972) yang
berbunyi sebagai berikut.
… iapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri
bunduka. Sabannarakna minne karaenga nikana Daeng Pamatte. Dia
sabannarak, dia Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki
lontarak Mangkasarak.
(… Dialah raja yang mula-mula membuat peraturan, hukum dalam perang.
Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Dia syahbandar, dia juga
Tumailalang (Menteri Dalam Negeri), dia jugalah Daeng Pamatte yang membuat
lontarak).
Dalam petikan lontarak di atas terdapat kata ampareki, yang dapat berarti
‘membuat atau menciptakan’, ‘menjadikan atau menyederhanakan’. Jadi, apabila kata
ampareki diartikan membuat/menciptakan, dapatlah diasumsikan bahwa aksara BugisMakassar kuno dibuat oleh Daeng Pamatte. Penyebutan Daeng Pamatte (sapaan dalam
bahasa Makassar) ada kemungkinan panggilan atau sapaan terhadap Matthes. Selanjutnya,
jika kata ampareki diartikan ‘menyederhanakan/memodifikasi’, dapat diasumsikan bahwa
Daeng Pamatte menyederhanakan atau memodifikasi dari aksara yang sudah ada
sebelumnya (aksara Dewanagari/Pallawa).
Selanjutnya, bila diperhatikan sistem tulisan lontarak, Pallawa, Kawi, Bali, Batak,
Kerinci, dan Lampung dapat dikatakan seasal dari system tulisan India. Aksara-aksara
tersebut mempunyai tipologis yang sama, yaitu jenis aksara abugida. Ciri khas utama yang
dimiliki oleh aksara jenis abugida adalah setiap abjad ditambah dengan grafem vocal <a>
(Choe Tae Young, 2011: 91). Selain itu, semua variasi dan lingkungan pelambangan bunyi
dalam abjad-abjadnya hampir sama.
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa system aksara
lontarak merupakan turunan tidak langsung dari aksara India/Pallawa, tetapi melalui
pengaruh aksara-aksara di Sumatera (Kumar dan Mcglynn dalam Cho Tae Young, 2011: 90).
5
2. Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan dalam budaya Hindu terdapat dua aliran yang sangat berlainan,
yaitu aliran keesaan dan aliran perbilangan (Wajdi dalam Shalaby, 1998: 25).
Aliran keesaan dapat disepadankan dengan konsep monoteisme; dan aliran perbilangan
dapat disejajarkan dengan konsep politeisme. Dikatakan aliran perbilangan atau politeisme
karena memuja banyak Dewa. Mereka mempercayai banyak dewa, namun di tengah-tengah
perbilangan mereka konsisten kepada pengesaan Tuhan.
Apabila mereka menyeru, memuji salah satu dari tuhan-tuhan atau meghadiahkan
kepadanya sesuatu korban, mereka menghadapinya dengan seluruh perasaan dan pikiran
hingga hilang dari pandangan mereka gambaran tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang lain
sehingga tuhan itu sajalah yang menjadi tuhan mereka. Mereka menamainya dengan segala
nama yang baik, melabeli dengan sifat-sifat yang sempurna; dan mereka berbicara dengannya
sebagai tuhan segala tuhan dan dewa dengan penuh hormat dan takzim.
Selanjutnya, Wajdi (dalam Shalaby (1998: 27) menjelaskan bahwa pada kira-kira
abad ke-9 SM terjadi evolusi pemikiran dalam agama Hindu. Hasil evolusi pemikiran
tersebut menunjukkan sampainya mereka ke tingkat pengesaan. Mereka mengumpulkan
tuhan-tuhan di dalam satu tuhan saja dan memutuskan bahwa dia itulah yang mengeluarkan
alam dari zatnya sendiri, dan dialah yang memeliharanya hingga membinasakan dan
mengembalikannya semua kepadanya. Mereka menamakan tuhan ini dengan tiga nama, yaitu
Brahma (dia sebagai pencipta); Wishnu (dia sebagai pemelihara); dan Syiwa (dia sebagai
pembinasa). Konsep ini dinamakan ketigaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam ketigaan.
Artinya, tuhan yang satu lahir dengan tiga rupa mengikut tugas-tugasnya, yaitu mencipta,
memelihara, dan membinasakan, tetapi sebenarnya dia adalah satu. Siapa yang menyembah
salah satu dari yang tiga, maka seolah-olah dia menyembah mereka semua atau menyembah
yang tunggal maha tinggi.
Konsep ketigaan yang telah dijelaskan di atas merupakan hasil evolusi pemikiran
sehingga tidak disebutkan dalam Weda. Tuhan-tuhan yang disebut dalam Weda banyak
bilangannya, tetapi semuanya berpadu di dalam tiga tuhan yang terkemuka, yaitu Varuna di
langit; Indra di udara; dan Agni di bumi (lihat juga Lestarini dalam
restilestarinilovekorea.blogspot.com/2010/08).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep ketuhanan dalam
agama/budaya Hindu adalah Henoteisme. Yang dimaksud dengan henoteisme adalah
keyakinan kepada satu tuhan tanpa mengingkari adanya dewa lain dan makhluk halus (Tim,
2003: 914).
Selanjutnya, Konsep ketuhanan henoteisme dijumpai juga dalam budaya Sulawesi
Selatan. Sistem kepercayaan orang Bugis-Makassar pada zaman pra-Islam, sebenarnya sudah
menganut suatu kepercayaan kepada satu dewa yang tunggal dengan penyebutan beberapa
nama seperti Patoto-e (= Dia yang menentukan nasib), Dewata Seuwa-e (Dewa yang
tunggal), dan Turi-e Ara’na (Dewa yang berkehendak tinggi/mencipta) (Mattulada, 1990:
271).
Konsep ketuhanan seperti itu terdapat dalam ajaran Attorioloang dan Tolotang.
Selanjutnya, ajaran Attorioloang dan Tolotang mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa
yang disebut Patoto-e (Tuhan yang menentukan nasib atas segala sesuatunya) atau Puang
Mappancaji-e (bahasa Bugis) artinya Tuhan Yang Maha Menciptakan segala sesuatunya
(Latief dalam Bandung, 2009: 76). Dalam masyarakat Makassar disebut Karaeng
Mappajaria (Tuhan Yang Maha Pencipta) atau dikenal juga dengan sebutan Karaeng Loe
(Tuhan Yang Mahabesar). Perlu ditambahkan bahwa khususnya ajaran Tolotang yang ada di
Kabupaten Sidenreng Rappang memilih menjadi penganut agama Hindu ketika Departemen
Agama Provinsi Sulawesi Selatan melakukan verifikasi agama-agama di Sulawesi Selatan.
6
Selain mempercayai adanya Tuhan Patoto-e atau Puang Mappancaji-e, mereka juga
mempercayai adanya Tuhan-tuhan lain sebagai pembantunya. Tuhan-tuhan dalam ajaran
Attorioloang dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu (1) Dewa yang berada di langit
yang disebut Dewata Bittarae; (2) Dewa yang berada di bumi yang disebut Dewata Malinoe;
(3) Dewa yang berada di bawah air yang disebut Dewa Uwae.
Selain fenomena budaya di atas, dijumpai konsep henoteisme pada komunitas
nelayan Makassar di Galesong, Kab. Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka
meyakini Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Pencipta segala yang ada di alam semesta
ini adalah Allah Subuhanahu Wataala. Akan tetapi, pada sisi lain mereka juga
mempercayai bahwa segala sesuatu, khususnya berkaitan dengan lingkungan sekitar laut
mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan
usaha manusia dalam mempertahankan hidup (dinamisme). Dengan kata lain, dalam
menjalankan aktivitas kenelayanannya, mereka masih meyakini adanya kekuatan yang
dapat memengaruhi usahanya selain Tuhan (Maknun, 2005: 81). Tenaga atau kekuatan
yang ada pada setiap aspek lingkungan laut disebut pajaga (bahasa Makassar), misalnya
pajaga jekne (penjaga air), pajaga anging (penjaga angin), pajaga biseang (penjaga
perahu) Begitu pula masih ada sekelompok orang yang mempercayai ruh-ruh nenek
moyang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsep ketuhanan masyarakat
Sulawesi Selatan mempunyai kesamaan dengan konsep ketuhanan dalam agama/budaya
Hindu, yaitu henoteisme.
3. Upacara Ritual
Seperti telah disebutkan di atas bahwa masih terdapat beberapa kelompok
masyarakat di Sulawesi Selatan dan Barat mempercayai adanya dewa-dewa atau ruhruh yang memenuhi alam sekeliling, tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka
selalu waspada dan menjaga hubungan baik dengan tuhan atau yang dianggap tuhan agar
harapannya selalu dikabulkan dan dihindarkan dari segala bahaya yang mungkin akan
terjadi.
Penganut ajaran Attorioloang atau pun Tolotang meyakini bahwa pelbagai dewa di
langit dan salah satunya adalah dewa angin yang disebut Sangiang Pajung. Dewa ini
senantiasa tidak marah dan tetap bermurah hati terhadap kehidupan manusia. Agar dewa
tetap lembut hati, mesti dilakukan upacara ritual untuk memberikan sesajian. Upacara
ritual untuk memberikan sesajian biasa disebut mappenre sokko patanrupa artinya
menyajikan nasi ketan empat warna, yaitu merah, putih, kuning, dan hitam. Sesajian ini
ditempatkan di suatu tempat yang disebut balasuji, kemudian sesajian ini dinaikkan ke
rakkeang ‘loteng rumah’. Selain itu, ada lagi upacara ritual yang dinamakan mappanok
inanre artinya menurunkan sesajian ke air untuk menghormati dewa air yang disebut
Dewa Uwae. Acara ritual dalam ajaran Tolotang dilakukan dengan perantaraan
seseorang yang dianggap keturunan dewa yang disebut Uwa (Bandung, 2009: 78).
Selanjutnya, masyarakat nelayan Makassar di Galesong juga selalu melakukan acara
ritual, baik menjelang turun ke laut maupun pada saat berada di tengah laut. Sebelum
turun ke laut, mereka melakukan upacara ritual di rumah yang disebut songkabala
(bermohon terhindar dari marabahaya). Sesajiannya terdiri dari kaddominnyak (nasi
ketan yang diproses dengan santan kelapa), dupa, lilin. Ketika berada di laut, mereka
memberikan sesajian kepada penjaga Pulau Sanrobengi, penjaga angin, penjaga laut/air,
penjaga ikan, penjaga perahu, penjaga pasir. Upacara ritual ini dilakukan dengan tujuan
agar para penjaga sudi kiranya memberikan rezeki yang banyak kepada para nelayan.
7
Mereka berpandangan bahwa memang Tuhan Yang Maha Pencipta, tetapi yang
membagi-bagi rezeki itu adalah para penjaga. Sesajian yang diberikan kepada para
penjaga/dewa disebut pakrappo (bahasa Makassar). Pakrappo ini terdiri dari telur ayam
dan daun sirih.
Selain itu, ada lagi kelompok masyarakat yang selalu melakukan upacara ritual
appalili artinya mengarak/mengelilingi. Dalam acara ritual ini dilakukan
penyembelihan binatang berupa kerbau atau kambing sebagai persembahan kepada ruh
nenek moyang. Sebelum disembelih, binatang itu terlebih dahulu diarak mengelilingi
rumah, tempat ruh nenek moyang bersemayam. Adapun rangkaian upacara ritual
tersebut, yaitu orang yang dituakan berpakaian adat, diiringi bunyi gendang, asap
wangi/dupa, nasi ketan, lilin, dan memercikkan darah hewan ke tempat bersemayam ruh
nenek moyang.
Dengan demikian, pola tingkah laku masyarakat atau fenomena budaya seperti itu
dapat dikatakan bahwa mempunyai citra budaya Hindu. Dikatakan demikian karena
acara ritual dengan memberikan sesajian kepada dewa dan ruh nenek moyang menjadi
keyakinan dalam agama/budaya Hindu.
4. Stratifikasi Sosial
Friedericy (dalam Mattulada, 1990: 269) menggambarkan stratifikasi sosial lama
Bugis Makassar berdasarkan buku kesusasteraan asli La Galigo. Menurutnya terdapat
tiga lapisan pokok, yaitu (1) Anakarung (anak Karaeng dalam bahasa Makassar) adalah
lapisan kaum kerabat raja-raja; (2) Tumaradeka/Biasa ialah lapisan orang merdeka yang
merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan; (3) Ata adalah lapisan orang
budak, orang yang dipekerjakan karena tidak dapat membayar hutang.
Sesudah kedatangan kolonial Belanda dan Islam di wilayah Sulawesi Selatan,
stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat sudah hilang, terutama lapisan ketiga.
Secara struktural golongan Ata memang sudah tidak dikenal lagi pada zaman sekarang,
namun secara fungsional masih didapati, baik di desa maupun di kota dengan isitlah
pembantu rumah tangga (dalam bahasa Makassar disebut pajama ‘pekerja’), misalnya
pajama tana ‘pekerja sawah’, pajama sassa ‘pekerja mencuci/tukang cuci’, pajama batu
‘pekerja batu/buruh bangunan’.
Seperti dikatakan di atas bahwa pembagian pelapisan masyarakat Bugis Makassar
bersumber dari kesusasteraan La Galigo. Sure La Galigo disusun jauh sebelum
kedatangan Islam di Sulawesi Selatan sehingga biasa disebut zaman Hindu atau zaman
pra-Islam. Selanjutnya, dalam budaya Hindu dikenal kaum Brahmana (anggota
masyarakat yang gemar dengan ilmu pengetahuan, termasuk para pendeta) dalam
masyarakat Makassar dikenal sebutan Tupanrita. Kaum Kesatria adalah kaum yang
kegemarannya pemerintahan, kekuasaan, dan peperangan; dalam masyarakat Makassar
dikenal istilah Tubarani. Kaum Waisya adalah orang-orang yang gemar akan harta
benda, golongan pedagang, dan petani. Kaum Sudra adalah orang-orang yang hanya
mengandalkan otot semata, tidak memiliki keterampilan apa pun; dalam masyarakat
Makassar dikenal isitilah pajama kasarak ‘pekerja kasar’.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa fenomena budaya, khususnya
berkaitan dengan stratifikasi sosial dianggap bernuansa budaya Hindu. Adanya nuansa
budaya Hindu tersebut bukan pengaruh langsung, melainkan melalui susastra atau Sure
La Galigo.
8
5. Peninggalan Artefak
Diperoleh informasi melalui (restiletarinilovekorea.blogspot.com/2010/08/prosesmasuk-dan berkembangnya-pengaruh.html) bahwa selain pendapat yang telah disebutkan
terlebih dahulu (hipotesis I-IV), ada teori yang disebut Teori Arus Balik. Para ahli
menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha di
India. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali ke Indonesia untuk
menyebarkannya. Dengan demikian, para ahli cenderung berpendapat bahwa masuknya
budaya Hindu ke Indonesia dibawa dan disebarluaskan oleh orang-orang Indonesia
sendiri. Sebagai bukti arkeologis disebutkan, adanya penemuan arca perunggu Buddha
di daerah Sempaga (Mamuju, Sulawesi Barat).
Selain itu, Budianto (dalam Fadillah dan Sumantri (Ed.), 2000: 111) dijelaskan
bahwa terdapat makam orang Jawa di Malangke, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi
Sulawesi Selatan, masyarakat di sana menyebutnya Tampung Jawa. Dalam penggalian
arkeologis tersebut ditemukan fragmen keramik, gerabah, logam, tulang, kerang, manikmanik, alat batu, dan tanah liat bakar. Dengan ditemukannya bukti arkelogis tersebut
menunjukkan adanya hubungan Kedatuan Luwu dengan Kerajaan luar. Berdasarkan
penemuan susunan batu batanya, diperkirakan mendapat pengaruh dari Majapahit.
Namun, dikatakan masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
Pada tahun 1970 sampai dengan 1980-an terjadi penggalian secara illegal di
kalangan masyarakat karena tergiur oleh nilai tinggi barang antik (dalam bahasa Makassar
disebut saladong). Dalam penggalian tersebut digunakan alat yang terbuat dari besi bulat
(tongkat besi) berukuran kira-kira 8-10 mm dengan panjang kurang lebih dua meter; alat
tersebut dalam bahasa Makassar pa’ucuk ‘pencucuk’. Salah satu ciri lokasi, tempat
kemungkinan adanya peninggalan barang-barang kuno antara lain terdapat pohon besar
yang sudah berumur. Ketika ciri itu ditemukan di suatu tempat, mulailah dilakukan
penusukan ke dalam tanah dengan tongkat besi. Jika alat tusuk (tongkat besi) tersebut
terbentur suatu benda yang diperkirakan barang kuno, mulailah dilakukan penggalian.
Namun, hasil penggalian kadang-kadang hanya berupa guci yang terbuat dari tanah liat.
Guci tersebut pada umumnya berisi abu yang menunjukkan seperti sisa pembakaran
mayat. Masyarakat menamainya sisa peninggalan budaya Hindu.
Dengan adanya bukti arkelogis ditemukan di beberapa tempat di Sulawesi Selatan
dan Barat, seperti yang dijelaskan di atas, menunjukan adanya citra atau nuansa budaya
Hindu dalam fenomena budaya Sulawesi Selatan dan Barat. Dengan kata lain, fenomenafenomena budaya Sulawesi Selatan dan Barat mendapat pengaruh dari budaya Hindu.
Namun demikian, sudah barang tentu, fenomena budaya Sulawesi Selatan dan Barat yang
bercitra budaya Hindu masih perlu investigasi yang lebih lanjut dan mendalam.
C. Penutup
Pada bagian ini diberikan beberapa catatan sebagai kesimpulan dan saran.
Keduanya secara berturut-turut dipaparkan sebagai berikut.
1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan
tentang adanya citra atau nuansa budaya Hindu dalam beberapa aspek budaya di Sulawesi
Selatan dan Barat seperti berikut.
a. Sistem aksara yang digunakan dalam bahasa Bugis dan bahasa Makassar, yang
disebut aksara lontarak merupakan turunan dari aksara Pallawa melalui aksara-aksara
di Sumatera. Sistem abjad aksara lontarak mengikuti system abjad, misalnya bahasa
9
Batak, yaitu ka, ga, nga. Selain itu, aksara lontarak secara tipologi setipe dengan
aksara Pallawa, Kawi, Batak, kerinci, dan Lampaung, yaitu termasuk jenis aksara
abugida.
b. Konsep ketuhanan yang disebut paham henoteisme dalam budaya Hindu dapat juga
dijumpai dalam kepercayaan Attoriolong dan Tolotang. Mereka mempercayai Tuhan
Yang Maha Tunggal dan Maha Pencipta. Akan tetapi, mereka menyembah juga dewadewa yang bersemayan di alam sekitar serta memuja ruh nenek moyang.
c. Citra atau nuansa stratifikasi sosial dalam budaya Hindu dapat pula dijumpai dalam
stratifikasi social lama dalam masyarakat Sulawesi Selatan.
d. Penemuan arkeologis berupa arca perunggu di Sempaga (Kabupaten Mamuju,
Provinsi Sulawesi Barat), susunan batu bata di Makam Tampung Jawa (Malangke,
Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan), guci yang berisi abu sisa
pembakaran mayat. Bukti arkeologis ini menunjukkan bahwa jauh sebelum Islam
masuk ke Sulawesi Selatan, kelompok masyarakat, terutama Kedatuan Luwu pernah
menjaling hubungan dengan kerajaan luar, sebagaimana tercantum dalam
Negarakertagama (1365 M).
2. Saran-saran
Dari hasil penelusuran berbagai sumber atau referensi didapati masih terdapat
perbedaan pandangan di antara para ahli tentang asal usul aksara lontarak. Ada yang
berpendapat bahwa aksara lontarak terbentuk dari falsafah orang Bugis-Makassar sendiri,
yaitu Sulapak Appak (segi empat), yang lainnya berpendapat dibuat oleh Daeng Pamatte,
dan lainnya lagi berpendapat terbentuk dari aksara Pallawa melalui aksara dari Sumatera.
Para peneliti arkeologi yang selama ini melakukan investigasi di beberapa tempat
di Sulawesi Selatan dan Barat dan berhasil menemukan bukti-bukti arkelogis, tetapi
mereka masih menhgambil kesimpulan spekulasi tentang proses kedatangan budaya
Hindu di Sulawesi Selatan.
Oleh karena itu, melalui forum yang terhormat ini, dalam hal ini, GLOBAL
ASSOCIATION OF INDO-ASEAN STUDIES dan HANKUK UNIVERSITY OF
FOREIGN STUDIES KOREA agar dapat melakukan penelitian dengan bekerja sama
dengan Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin dalam rangka
menjawab secara akademis permasalahan tersebut.
10
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, H.W; Mattulada; Soebadio H
1987
Budaya dan Manusia Indonesia. Yogyakarta: Hanindita
Graha Widya.
Bandung, A.B. Takko
2009
Cho Tae Young
2011
“Agama Tolotang di Tanah Bugis: Kajian Sistem
Kepercayaan, Ritual dan Ajarannya”. Makassar: Pusat
Kajian Multikultural dan Pengembangan Regional PKP
Unhas.
“Aksara Serang sebagai Wadah Pembinaan Tamadun
Islam di Sulawesi Selatan: Kajian Gramatologi.
Disertasi Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Djirong, Daeng Ngewa
1972
Fonemik bahasa Makassar. Ujung Pandang: Lembaga
Bahasa Nasional Cabang III Ujung Pandang.
Gelb, I.J.
1952
Hall, D.G.E.
1977
Hakim, Budianto
2000
Idaikkadar, N.M.
1979
Koentjaraningrat
1990
A Study of Writing: The Foundation of Gramatology.
Chicago: The university of Chicago Press.
A History of South-East Asia. Hongkong: The
Continental Printing, Ltd.
“Fragmen Bata di Tampung Jawa, Malangke: Jejak Gilde
Majapahit di Ibukota Luwu”. Dalam Fadillah dan
Sumantri (Ed.), Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi,
Sejarah, dan Atropologi. Makassar: Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin Kerja Sama dengan Institut
Etnografi Indonesia.
Latar Belakang Kebudayaan Hindu. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti
1982
Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Lestarini, Resti
2010
“Proses Masuk dan Berkembangnya Pengaruh HinduBuddha di Indonesia”. Resti lestarini love korea.
blogspot.com/2010/08
11
Maknun, Tadjuddin
2010
Mattulada
1981
Mattulada
1991
Musa, Hasyim Haji
1999
Museum Pusat
1976
Sedyawati, Edi
2010
Shalaby, Ahmad
1998
Sujarwa
2005
Wiranata, I Gede A.B.
2002
“Lontarak: Arti, Asa Usul dan Nilai Budaya yang
Dikandungnya”. Dalam Kennedi Nurham (Ed.) Industri
Budaya dan Budaya Industri. Jakarta: Kemenbudpar RI.
“Kebudayaan Bugis Makassar. Dalam Koentjaraningrat
(Ed.) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Menyusuri Jejak Kehadira.n Makassar dalam Sejarah.
Makassar: Hasanuddin University Press.
Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi. Kuala Lumpur:
Dewan bahasa dan Pustaka.
“Mengenal Aneka Ragam Tulisan Daerah di Indonesia”.
Jakarta: Direktorat Museum, Ditjen Kebudayaan P dan
K.
Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi,
Sejarah.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Seni,
dan
Perbandingan Agama-agama Besar di India: Hindu,
Jaina, dan Buddha. Jakarta: Bumi Aksara.
Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif
Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Antropologi Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Www.slideshare.net/hyperion/teori-masuknya-hindu
12
Download