Topik Utama KEBIJAKAN PENGELOLAAN CEKUNGAN MIGAS PROSPEK DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Ediar Usman Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan [email protected] SARI Beberapa cekungan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan daerah frontier, selain masih sulit dijangkau juga keterbatasan data dan infrastruktur pendukung yang masih minim. Daerah ini memiliki kondisi tatanan geologi yang rumit seperti struktur dan tektonik, perangkap stratigrafi (PraTersier hingga Tersier) dan kedalaman laut mencapai ribuan meter (deep sea basin). Pembentukan tatanan geologi tersebut diakomodasi oleh Sesar Sorong yang membujur dari bagian utara Papua ke arah bagian timur Sulawesi menghasilkan beberapa struktur dan perangkap stratigrafi yang lebih kecil. Diperlukan dana cukup besar untuk berinvestasi di KTI. Namun belakangan ini beberapa temuan migas di cekungan prospek telah mendorong beberapa pihak kontraktor untuk melakukan eksplorasi migas. Temuan penting adalah potensi migas di Blok Masela (Maluku) yang tergolong laut dalam, Blok Tangguh (Papua) serta beberapa blok di Cekungan Banggai-Sula seperti Lapangan Maleo, Donggi dan Senoro, serta temuan terakhir di Cekungan Bintuni (Papua). Hasil kajian diketahui daerah prospek adalah cekungan-cekungan Banggai-Sula, Salawati, Misool-Bintuni, Sawu, Akimeugah, Aru dan sekitar Palung Timor. Langkah strategis Balitbang yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan sumber daya, cadangan dan temuan adalah percepatan pemetaan geologi kelautan sistematis di seluruh wilayah laut nasional (untuk pemahaman tatanan geologi, seperti struktur, sistem tektonik dan seismik stratigrafi); peningkatan survei G&G secara tematik di daerah-daerah frontier dan cekungan prospek mengandung hidrokarbon serta melakukan kegiatan pemboran mandiri oleh pemerintah (tidak tergantung pada perusahaan kontraktor). Kata kunci : batuan benua, cekungan laut dalam, frontier, hidrokarbon, Kawasan Timur Indonesia. 1. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Sebagian besar cekungan migas di KTI merupakan daerah lautan dan sebagian kecil saja merupakan wilayah daratan. Kawasan ini secara umum masih tergolong frontier karena masih terbatasnya infrastruktur pendukung dalam eksplorasi dan eksploitasi. Keterbatasan ini menghambat upaya penemuan dan 32 peningkatan sumber daya, cadangan dan produksi migas di kawasan tersebut. Di samping itu, kondisi geologi KTI juga tergolong kompleks dan beresiko tinggi, seperti kedalaman laut mencapai ribuan meter dan sedimen cenderung homogen yang didominasi endapan sedimen laut dalam. Struktur geologi juga rumit karena dibentuk oleh sistem tektonik transisional yang telah berjalan lebih lama dibandingkan dengan Kawasan Barat M&E, Vol. 11, No. 4, Desember 2013 Topik Utama Indonesia (KBI), sehingga membentuk sistem perangkapan hidrokarbon yang lebih tua pada batuan Proterozoic - Mesozoic. Kompleksitas geologi mengakibatkan kesulitan untuk mendapatkan perangkap stratigrafi yang besar, juga mengakibatkan sistem migrasi berjalan lebih aktif (over-active), sehingga migas tidak terperangkap dengan baik, melainkan menyebar ke berbagai arah melalui struktur geologi yang dominan. Salah satu bukti kuat, di KTI ditemukan banyak rembesan migas, baik di pantai dan di dasar laut, yang diakibatkan dari intensitas tektonik di kawasan tersebut. Namun dari kegiatan eksplorasi jarang/ tidak menemukan cadangan yang besar. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut diperlukan upaya yang lebih besar dan intensif dalam kegiatan eksplorasi. Target eksplorasi tidak hanya pada sedimen Tersier, tetapi juga pada sedimen yang lebih tua seperti Mesozoic dan Paleozoic. Pengambilan data bawah permukaan harus diupayakan lebih rapat, dapat diintegrasikan dengan data bawah permukaan dari berbagai kegiatan survei sebelumnya. Kekurangan lainnya adalah terbatasnya data sumur untuk mengungkapkan kondisi geologi lebih rinci (new geological concept). Kekurangan data pemberoran ini menyulitkan dalam memahami kondisi geologi dan daerah prospek. Di samping itu, rendahnya realisasi komitmen pemboran oleh beberapa perusahaan kontraktor migas di KTI menyebabkan lambatnya peningkatan sumber daya, cadangan dan temuan migas. Memang banyak kendala dalam melakukan pemboran di kawasan tersebut, terutama yang berkenaan dengan laut dalam b. Cadangan dan Produksi Migas Indonesia Isu utama yang sedang panas saat ini adalah tentang penurunan cadangan dan produksi migas. Data total cadangan terbukti dan potensial minyak bumi Indonesia terbesar saat ini sebesar 7.408,24 MMSTB (Gambar 1), terdiri dari cadangan terbukti sebesar 3.741,33 MMSTB dan potensial 3.666,91 MMSTB, yang terdapat di Aceh (125,29 MMSTB), Sumatera Utara (116,24 MMSTB), Sumatera Tengah (3685,95 MMSTB), Sumatera Selatan (813,69 MMSTB), Natuna (108,84 MMSTB), Jawa Barat (554,43 MMSTB), Jawa Timur (969,65 MMSTB), Kalimantan (598,53 MMSB), Sulawesi (48,51 MMSTB), Maluku (27,71 MMSTB) dan Papua (66,07 MMSTB). Keterangan: MMSTB = million Stock Tank Barrel Gambar 1. Peta cadangan minyak dan gas bumi Indonesia (Sumber: Ditjen MIGAS, Status: 1 Januari 2012). Kebijakan Pengelolaan Cekungan Migas Prospek di Kawasan Timur Indonesia ; Ediar Usman 33 Topik Utama Temuan baru di KTI seluruhnya berupa gas bumi di Blok Tangguh (Papua Barat), Lapangan Sonoro, Donggi dan Maleo di Sulawesi Tengah dan Lapangan Abadi di Blok Masela (Maluku). Sedangkan untuk minyak bumi belum ada temuan baru dan masih mengandalkan produksi dari sumur-sumur tua. Pada awal tahun 2000 produksi minyak bumi Indonesia mencapai 1,456 juta barrel minyak per hari (MBOPD), pada tahun 2010 mencapai 969 KBOPD dan pada tahun 2012 tinggal 890 KBOPD. Produksi minyak bumi nasional pada tahun 2013 diperkirakan hanya sekitarnya 830850 KBOPD. Selanjutnya apabila tidak ada upaya besar untuk mempertahankan produksi, maka pada tahun 2020 diperkirakan hanya tinggal 389 KBOPD atau sekitar 45% dari produksi saat ini (Gambar 2). Artinya bila diperbandingkan dengan lambatnya temuan saat ini dan pertumbuhan konsumsi, maka kondisi ini akan mengganggu arus supply and demand migas nasional dan secara keseluruhan akan mengancam kebijakan ketahanan energi nasional dan pada akhirnya juga akan mengancam perekonomian nasional. Jika diperhitungkan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan energi, maka perlu adanya terobosan dan upaya percepatan penemuan cadangan dan produksi migas yang baru. Sebagai perbandingan, saat ini Venezuela merupakan salah satu anggota negara pengekspor minyak (OPEC) dengan cadangan terbesar minyak bumi; ekspornya mencapai 1,7 MBOPD dan saat ini juga tengah mengalami penurunan produksi dan ekspor (Kompas, 7 Maret 2013). Selanjutnya berdasarkan data terakhir KESDM (2012), bahwa sampai 21 Agustus 2012 potensi dan produksi minyak bumi Indonesia saat ini adalah: sumber daya sebesar 36.673 juta barel, cadangan sebesar 1.483 juta barel dan produksi sebesar 904.5 KBOPD. Potensi gas bumi: sumber daya sebesar 198.673 miliar kaki kubik, cadangan sebesar 107.151 miliar kaki kubik dan produksi sebesar 8.414 MMSCFD (Tabel 1). Gambar 2. Kondisi produksi migas nasional dan identifikasi isu dan langkah strategis litbang migas nasional (diadopsi dari Husen, 2012; Usman, 2009). 34 M&E, Vol. 11, No. 4, Desember 2013 Topik Utama Tabel 1. Potensi dan produksi minyak dan gas bumi (status sd. 21 Agustus 2012) (KESDM, 2012) Uraian Minyak Bumi Gas Bumi Sumber daya Cadangan Produksi 36.673 juta barel 1.483 juta barel 904.5 ribu barel per hari 198.673 miliar kaki kubik 107.151 miliar kaki kubik 8.414 MMSCFD Penurunan cadangan dan produksi migas tersebut, tidak semata-mata disebabkan oleh kegagalan eksplorasi hidrokarbon, tetapi juga disebabkan oleh: penurunan cadangan pada cekungan-cekungan berproduksi karena rendahnya penemuan cadangan baru, menurunnya kemampuan produksi pada sumursumur yang ada secara alami, sehingga perlu update teknologi yang mendorong peningkatan produksi (cadangan belum terambil diperkirakan rata-rata 60%), makin sulitnya menemukan daerah prospek baru, di samping juga terbatasnya teknologi dan infrastruktur di daerah frontier dan laut dalam, serta menurunnya kegiatan survei migas, terutama di daerah frontier dan terbatasnya infrastruktur pendukung. c. Produksi vs Konsumsi Migas Nasional Produksi dan tingkat konsumsi migas nasional makin tidak seimbang, dengan tingkat pertumbuhan penduduk pengguna energi yang besar, dan konsumsi lainnya hasil kebijakan pemerintah itu sendiri seperti pertumbuhan industri dan otomotif berbasis energi fosil. Kondisi ini perlu diantisipasi secara nasional, tidak hanya dengan menggenjot produksi melalui peningkatan temuan sumber daya dan cadangan nasional, tetapi juga melalui pola pengelolaan energi fosil yang efisien dan konservasi energi yang ketat. Artinya penggunaan energi juga harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, serta mengubah sikap boros masyarakat menjadi lebih hemat energi. Budaya semacam ini belum tumbuh di kalangan masyarakat Indonesia bahkan cenderung berkembang dengan disparitas produksi dan konsumsi yang makin lebar. Di samping itu, pertumbuhan angka konsumsi energi fosil secara nasional tidak berorientasi pada besaran ketersediaan energi nasional, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tetapi lebih berorientasi pada pertumbuhan semata, akibatnya neraca energi nasional saat ini sudah mengkhawatirkan bahkan "krisis energi" yang akan berdampak luas dan sistemik akan mengancam pertumbuhan itu sendiri. Di samping itu, pengganti energi fosil seperti energi terbarukan (renewable energy) belum akan mampu menggantikan energi fosil setidak-tidaknya pada 10 tahun ke depan karena terbentur pada teknologi dan tingkat keekonomian yang belum efisien sehingga perlu segera diintensifkan mencari jalan keluarnya. Impian mengganti energi fosil tersebut sebagaimana visi 2525 rasanya sulit diwujudkan, karena bila melihat pengembangan energi terbarukan dari beberapa negara yang telah mengimplementasikannya menunjukkan durasi yang cukup panjang antara wacana (baca kebijakan), kelayakan, keekonomian dan pengembangan infrastruktur pendukung. Saat ini studi kelayakan, keekonomian dan pengembangan infrastruktur pendukung termasuk teknologi belum dilakukan. Peningkatan produksi melalui teknik Enhanced Oil Recovery (EOR) atau Improved Oil Recovery (IOR) dengan menginjeksi fluida tertentu yang berfungsi sebagai driving force cenderung akan mempercepat pengurasan dan mendorong sumur-sumur produksi menjadi Kebijakan Pengelolaan Cekungan Migas Prospek di Kawasan Timur Indonesia ; Ediar Usman 35 Topik Utama cepat kering serta mengalami proses penuaan lebih cepat. Dalam jangka pendek, ada kemungkinan produksi sedikit terdongkrak, namun jangka panjang penurunan produksi akan lebih cepat. Di samping itu, kebijakan ini juga cenderung "instant" dan akan berakibat pada umur produksi migas nasional secara keseluruhan juga lebih pendek. Berkenaan dengan kondisi migas nasional yang berkaitan dengan tingginya tingkat konsumsi masyarakat, sejak tahun 2004 memperlihatkan tingkat konsumsi masyarakat mulai melebihi angka produksi minyak secara nasional (Gambar 3). Disparitas tersebut terus terjadi, bahkan semakin membesar setiap tahunnya hingga mencapai angka konsumsi sekitar 1750 KBOPD (1,75 MBOPD), sementara produksi hanya sekitar 830-850 KBOPD, sehingga terjadi kekurangan sekitar lebih dari separuh angka konsumsi. Kondisi ini mengakibatkan perlunya impor minyak untuk menutupi kekurangan, akibatnya kondisi ini menambah beban keuangan negara, apalagi harga dalam negeri tidak bisa bersaing dengan harga impor. Di satu sisi harga dalam negeri relatif lebih murah, di lain pihak harga impor yang tinggi; dan kemampuan daya beli masyarakat yang masih rendah, sehingga pada akhirnya perlunya kebijakan impor dan subsidi. Kebijakan ini tidak populer, karena perlu pula diikuti dengan penyesuaian (kenaikan) harga dalam negeri yang terjadi berulang-ulang. Berbeda dengan minyak bumi, kondisi yang lebih baik ditunjukkan dari data tingkat konsumsi dan produksi gas nasional. Sejak tahun 1997, di samping meningkatnya konsumsi sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan industri, terjadi juga peningkatan produksi (Gambar 4). Perbedaan konsumsi dan produksi tersebut berdampak positif pada cadangan gas nasional, Gambar 3. Produksi vs konsumsi minyak bumi di Indonesia hingga saat ini (diadopsi dari Suhyar, 2013). 36 M&E, Vol. 11, No. 4, Desember 2013 Topik Utama Gambar 4. .Produksi vs konsumsi gas bumi di Indonesia hingga saat ini (diadopsi dari Suhyar, 2013). artinya kondisi ini dapat meningkatkan stok gas nasional. Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan produksi disebabkan oleh pertumbuhan angka sumber daya, cadangan dan temuan melalui kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dari hulu sampai hilir. Trend penurunan konsumsi BBG sejak tahun 2010 hingga awal tahun 2013 perlu terus dikembangkan terutama pada minyak bumi, di mana disparitas antara produksi dan konsumsi makin bertambah besar. Di samping upaya-upaya pemanfaatan energi baru terbarukan dan dengan cadangan gas alam yang relatif meningkat, pemerintah didorong untuk lebih agresif mengaktifkan program konversi BBM ke BBG untuk memperpanjang umur cadangan minyak bumi nasional. 2. DAERAH PROSPEK HIDROKARBON DI KTI a. Geologi Mikro-kontinen di KTI Beberapa penulis terdahulu sepakat, bahwa berdasarkan kesamaan geologi dalam proses tektonik dan stratigrafi, di kawasan pinggiran Laut Banda dan sekitarnya sebagai bagian dari KTI, terdapat beberapa benua mikro (microcontinent). Benua mikro tersebut secara geologi memiliki karakter dan asal batuan yang sama, yaitu Banggai-Sula, Mekongga, TukangbesiButon, Sumba, Buru-Seram, Obi-Bacan, MisoolKepala Burung, Lucipara dan Sumba (Gambar 5). Kehadiran P. Sumba di Nusa Tenggara saat ini merupakan peristiwa dramatik yang didukung oleh fenomena alam karena peran beberapa patahan yang telah mendorong busur gunung api Paleosen di tenggara Kalimantan dan terlepas dari daratan induknya Kalimantan ke arah tenggara dan menjadi P. Sumba (Hall, 2001). Keberadaan mintakat Sumba tersebut perlu kajian tersendiri mengingat pola pergerakannya cenderung "menyimpang" dari pola tektonik regional di KBI dan KTI. Jika P. Sumba benar-benar berasal dari kepingan P. Kalimantan yang terperangkap di antara busurbusur Nusa Tenggara lainnya, maka terbuka peluang untuk mendapatkan potensi migas di P. Kebijakan Pengelolaan Cekungan Migas Prospek di Kawasan Timur Indonesia ; Ediar Usman 37 Topik Utama Gambar 5. Sebaran mikro-kontinen di Kawasan Timur Indonesia, yaitu: Bangga-Sula, Mekongga, Tukangbesi-Buton, Sumba, Buru-Seram, Obi-Bacan, MisoolKepala Burung dan Lucipara sebagai daerah prospek mengandung hidrokarbon (dikompilasi dari: Hamilton, 1979; Simandjuntak, 1986; Hall, 1996 dan 2001; Usman, 2009). 38 Sumba sebagaimana daratan induknya P. Kalimantan. Hal tersebut memerlukan pembuktian dari sejarah tektonik dan stratigrafi runtunan lebih lanjut, sehingga peran P. Sumba kemungkinan sebagai salah satu kawasan pembentukan hidrokarbon. bongkah (extensional faults), yang membentuk terban Selat Torres yang memisahkan daratan Papua dari daratan interior Kraton Australia. Namun dalam pengertian lempeng kerak benua, kedua kawasan tersebut merupakan satu kesatuan sebagai Lernpeng Australia. Mikro-kontinen tersebut merupakan mintakat alokton (allochthonous terrains) yang berdasarkan runtunan batuan dan umur diperkirakan berasal dari pinggiran utara Benua Australia, terdapat juga di sekitar kawasan tengah Papua (Hamilton, 1979; Simandjuntak, 1986; Simandjuntak dan Barber, 1996; Hall, 2001). Papua bagian selatan (termasuk New Guinea) rnerupakan pinggiran utara Benua Australia dan tidak pernah berpisah secara struktural meskipun pada kala Neogen terjadi pensesaran Kehadiran mikro kontinen di Laut Banda tidak berdiri sendiri sejak Kapur hingga Miosen Awal; melainkan suatu rangkaian kegiatan tektonik yang berhubungan dengan pergerakan Lempeng Australia dan Pasifik ke arah kepulauan Indonesia. Jalur benturan sebagai jalur orogen di KTI memiliki karakteristik dan anatomi tersendiri; tergantung dari massa kerak yang berbenturan dan kontrol tatanan tektoniknya. Pola anatomi jalur benturan tersebut adalah sisi depan (foreland), sisi belakang (hinterland) terdiri dari: M&E, Vol. 11, No. 4, Desember 2013 Topik Utama cekungan foreland, jalur lipatan dan sesar foreland, suture melange, jalur metamorfik dan busur belakang (back arc) - (Satyana, 2007). Jalur-jalur benturan ini akan dapat memberikan gambaran mengenai pergerakan mikro-kontinen sebelum dan setelah berbenturan dengan massa lainnya membentuk beberapa cekungan dengan tipe foreland dan suture tepian mikrokontinen Tipe sutura berupa sedimen ataupun fragmen dari samudera yang terangkat dan terjepit di antara ofiolit atau sedimen asal samudera; beberapa di antaranya membentuk cekungan sutura yang sempit dan rumit. Salah satu produk benturan pada busur kepulauan yang penting dalam menjelaskan kehadiran mikro-kontinen dan produk cekungan di KTI adalah Busur Sulawesi Barat dan lengan timur Sulawesi. Busur ini diinterpretasikan mempunyai bentuk dan bagian dari pinggiran Sunda pada Kenozoikum Awal, kemudian terpisah jauh dari Borneo oleh pemekaran di Selat Makassar. Pemekaran berawal pada Eosen dan membuka ke kerak samudera di utara berakhir di Selat Makassar yang menghubungkan kerak samudera di Laut Sulawesi, dan selanjutnya ke timur pada Laut Filipina bagian barat (Hall, 1996). Adanya aktifitas vulkanik berlanjut ke arah Sulawesi Selatan dan di lengan utara Sulawesi pada Miosen Awal; diinterpretasikan berhubungan dengan subduksi lempeng Samudera Hindia yang bergerak ke arah utara. Selanjutnya pada akhir Miosen, Banggai-Sula bertubrukan dengan lengan timur Sulawesi, dan pada Pliosen menempel di Busur Sulawesi. Tubrukan ini menyebabkan Sulawesi membentuk morfologi sebagaimana saat ini. Selama Miosen ini pula terjadi fragmentasi dari Kepala Burung membentuk Misool-Kepala Burung akibat dari pergerakan ke arah barat dan rotasi lempeng Laut Filipina, dan sesar strike slip mengirim fragmen-fragmen benua Kepala Burung ke atas Lempeng Laut Filipina, dan Laut Maluku tergeser ke arah barat. Peristiwa tubrukan Banggai-Sula dan beraian Misool-Kepala Burung ini menghasilkan rangkaian tumbukan kecil berhubungan dengan peran sistem Sesar Sorong. Kontraksi terakhir zona gabungan ini yaitu kerak benua dan ofiolit di Sulawesi Timur tidak terjadi hingga akhir Miosen. Seram diinterpretasikan sebagai bentuk bagian dari fragmen benua mikro Kepala Burung yang bergerak dari Australia sepanjang Kenozoikum. Tumbukan pada Palung Seram diduga sebagai awal dari pembentukan kawasan intra kontinental besar di Laut Banda. Korelasi stratigrafi antara mikro kontinen Banggai-Sula, Tukangbesi-Buton, Buru-Seram, Leher Kepala Burung dan New Guinea diperlihatkan oleh adanya batuan dasar (basement rock) dari batuan malihan, berumur Paleozoikum Akhir di daerah tersebut, dan di berbagai tempat diintrusi oleh granit PermoTrias. Batuan dasar kemudian ditutupi oleh sedimen pinggiran lempeng masif berupa endapan flisch (Kelompok Kambelangan) berumur Jura Tengah hingga akhir Kapur (Simandjuntak, 1986). Para peneliti kebumian umumnya berpendapat bahwa mikro-kontinen di KTI berasal dan terpisah dari Papua dan teralih tempatkan ke barat oleh Sesar Sorong di utara Misool mulai Kenozoikum (Crostella, 1977). Pendapat ini didasarkan pada kesamaan geologi mikrokontinen dengan Kepala Burung di Papua, dan keberadaan batuan ofiolit sebagai produk Samudera di bagian tengah Papua, Halmahera, Sulawesi dan Kalimantan Selatan; dapat menjelaskan peran Lempeng Pasifik ke arah Kepulauan Indonesia (Sopaheluwakan, 2007). Pada Awal Kapur dicirikan oleh suatu fragmen pada hampir semua mikro kontinen di KTI. Pada Kapur Akhir terjadi pengendapan kalsilutit dan batugamping kapuran (ooze) di pinggiran semua mikro kontinen (Simandjuntak, 1986; Hartono, 1990). Dengan demikian pada zaman Kapur benua-benua mikro sudah terpisah dari Papua dan pinggiran utara Benua Australia. Pemberaian dan alih-tempat pada Awal Kapur berlangsung di darat (di atas permukaan laut) sehingga tidak memungkinkan terjadi pengendapan batuan sedimen. Di penghujung Kapur Tengah, alihtempat mikro kontinen berlangsung di bawah permukaan laut (submarin) sehingga Kebijakan Pengelolaan Cekungan Migas Prospek di Kawasan Timur Indonesia ; Ediar Usman 39 Topik Utama memungkinkan pengendapan kalsilutit (Formasi Tanamu) pada Kapur Akhir (Simandjuntak, 1996). Sejak kala Eosen di seluruh kawasan tersebut terjadi pembentukan karbonat paparan, yang menerus hingga Neogen di Papua - New Guinea. Sedangkan di hampir semua mikrokontinen, pengendapan karbonat paparan terjadi secara tidak menerus hingga Awal Miosen. Hal ini disebabkan kegiatan tektonik pemberaian dan alih-tempat beberapa mikro kontinen, telah memunculkan beberapa fragmen-fragmen kepulauan yang lebih kecil di Laut Banda pada Paleosen, Oligo-Miosen dan Miosen Tengah. Oleh sebab itu, kehadiran lensa batugamping kemudian dikenal sebagai perangkap hidrokarbon di Misool-Kepala Burung dan Banggai-Sula yang prospek hidrokarbon (Darman and Sidi, 2000). Pemahaman tentang proses evolusi mikrokontinen dan hubungannya dengan sedimen asal samudera yang terangkat perlu diketahui, karena hingga saat ini, pemahaman tentang daerah prospek hidrokarbon hanya ditemukan di daerah dengan tipe batuan kontinen (mikrokontinen), sedang tipe samudera seperti cekungan di Laut Banda masih belum terbukti mengandung migas. b. Aspek Ekonomi KTI dan Mikro Kontinen Berdasarkan penjelasan di atas, daerah potensial dan prospek migas di Kawasan Timur Indonesia adalah Cekungan Banggai-Sula, Salawati, Bintuni, Misool, Tukangbesi-Buton, Akimeugah dan Palung Aru. Pada tulisan ini, dan berdasarkan kajian geologi dan geofisika, Cekungan BanggaiSula merupakan daerah paling prospek untuk kegiatan eksplorasi di masa mendatang (Gambar 6). Kesimpulan ini didasarkan pada data seismik, graviti, struktur, rembesan dan tingkat kematangan (Panuju, 2006; Satyana, 2011; Usman dkk., 2012). Data tersebut menunjukkan sedimen yang tebal, besaran perangkap (leads) yang besar dan pola Gambar 6. Prospek eksplorasi migas di Cekungan Banggai-Sula dan sekitarnya (Satyana, 2011). 40 M&E, Vol. 11, No. 4, Desember 2013 Topik Utama struktur yang memungkinkan berkembangkan sistem migrasi dan perangkapan. Di samping itu Cekungan Banggai-Sula sebagai mikrokontinen telah terbukti mengandung gas, dan telah berproduksi pada lapangan Senoro, Donggi dan Maleo. Berdasarkan data di atas, diperoleh daerah prospek di selatan P. Banggai dan P. Peleng atau sekitar pantai bagian selatan Teluk Tolo. Hasil analisis kimia diperoleh jenis kerogen tipe III merupakan ciri gas bumi (Satyana, 2011). Cekungan Banggai-Sula dapat menjadi titik awal perlunya mempercepat kegiatan eksplorasi di daerah-daerah prospek secara geologi, geofisika dan geokimia, sehingga akan mempercepat peningkatan cadangan dan produksi migas nasional. Hasil kajian Cekungan Banggai-Sula untuk mendukung data usulan Wilayah Kerja Migas telah dapat diidentifikasi beberapa daerah prospek untuk eksplorasi lebih rinci sebagai dasar dalam usulan Wilayah Kerja Migas di Cekungan Banggai-Sula. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan yang mengatur kegiatan pengembangan dan pengelolaannya dari hulu sampai hilir dalam bentuk Inpres dan/atau Permen ESDM tentang Percepatan Peningkatan Cadangan dan Produksi Migas Melalui Peningkatan Peran Litbang Lembaga Pemerintah dan Swasta. Kebijakan ini perlu segera dilakukan dan ditindaklanjuti, sehingga upaya dan gerakan secara nasional dapat segera dimulai. c. Kebijakan Strategis Litbang di KTI Kebijakan litbang migas di KTI diarahkan sebagai upaya untuk memperoleh data geologi dan geofisika sebagai dasar dalam penentuan daerah potensi hidrokarbon dengan prioritas pada daerah mikro kontinen dan daerah prospek lainnya. Kegiatan ini diharapkan dapat mendukung program-program: 1) Percepatan pemetaan geologi kelautan sistematis di seluruh wilayah laut nasional, terutama di kawasan laut dalam, seperti di Kawasan Timur Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Negara RI. Kegiatan tersebut difokuskan untuk survei dan pemetaan tatanan geologi, seperti struktur, sistem tektonik dan seismik stratigrafi. 2) Kegiatan survei G&G secara tematik, terpadu antar instansi dan difokuskan di daerah-daerah frontier dan cekungan prospek mengandung hidrokarbon dilakukan dalam rangka mendukung peran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai centre point dalam meningkatkan sumber daya, cadangan dan lifting migas nasional. 3) Kegiatan pengeboran sumur-sumur eksplorasi secara mandiri oleh pemerintah melalui realisasi dana APBN perlu dilakukan, sehingga akan memberikan akselerasi positif data geologi, geofisika dan potensi migas. Ketergantungan kegiatan pemboran pada perusahaan kontraktor mengakibatkan sasaran percepatan peningkatan sumber daya, cadangan dan temuan tidak tercapai dikarenakan adanya kehati-hatian dan konsep lama kondisi geologi di KTI yang memerlukan pemahaman baru. 4) Berdasarkan kajian akademis potensi migas (terutama gas bumi) di Cekungan BanggaiSula, perlu adanya gerakan nasional dalam percepatan peningkatan cadangan dan produksi migas nasional. Untuk itu diusulkan adanya kebijakan sebagai turunan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (dan rencana revisinya) dalam bentuk Inpres dan/ atau Permen ESDM tentang Percepatan Peningkatan Cadangan dan Produksi Migas Melalui Peningkatan Peran Litbang Lembaga Pemerintah dan Swasta Secara Terpadu. Selanjutnya, melalui pemahaman sejarah dan perkembangan geologi mikro kontinen dan daerah prospek lainnya di KTI melalui data baru, diharapkan diperoleh konsep baru daerah prospek untuk ditawarkan sebagai WK Migas. Kebijakan Pengelolaan Cekungan Migas Prospek di Kawasan Timur Indonesia ; Ediar Usman 41 Topik Utama 3. KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA Cekungan di KTI merupakan daerah frontier, selain masih sulit dijangkau juga keterbatasan data dan infrastruktur pendukung yang masih minim. Tatanan geologi daerah ini tergolong rumit seperti struktur dan tektonik, perangkap stratigrafi (Pra-Tersier-Tersier) dan kedalaman laut mencapai ribuan meter (deep sea basin). Beberapa temuan migas di KTI telah mendorong beberapa pihak kontraktor untuk melakukan eksplorasi migas. Temuan penting adalah potensi migas di Blok Masela (Maluku) yang tergolong laut dalam, Blok Tangguh (Papua) serta beberapa blok di Cekungan Banggai-Sula seperti Lapangan Maleo, Donggi dan Senoro. Hasil kajian diketahui daerah prospek adalah cekungan-cekungan Banggai-Sula, Salawati, Misool-Bintuni, Tukangbesi-Buton, Akimeugah, Aru dan sekitar Palung Timor. Crostella, S.E, 1977, Geosyncline and Plate Tectonic in Eastern Indonesia, American Association of Petroleum Geol, Bull, 61(61): 2063-2081. Langkah strategis litbang yang perlu dilakukan adalah percepatan pemetaan geologi kelautan sistematis di seluruh wilayah laut nasional (untuk pemahaman tatanan geologi, seperti struktur, sistem tektonik dan seismik stratigrafi); peningkatan survei G&G secara tematik di daerah-daerah frontier dan cekungan prospek mengandung hidrokarbon serta melakukan kegiatan pemboran mandiri oleh pemerintah (tidak tergantung pada perusahaan kontraktor). Peningkatan peran penelitian dan pengembangan ESDM sebagaimana Peraturan Menteri ESDM No: 18 Tahun 2010 (Pasal 685). Mendorong peningkatkan kegiatan pemboran pengembangan, work over, well service dan optimasi fasilitas. Selanjutnya adalah pengembangan lapangan baru di daerah existing produksi, sehingga mempercepat temuan baru dan menambah cadangan. Peningkatan kualitas dan kualitas penelitian dan pengembangan harus diikuti peningkatan kegiatan pemboran di daerah frontier, geokimia, analisis sumur dan reservoir/jebakan. Kegiatan lainnya adalah kajian konsep-konsep baru yang relavan dengan daerah-daerah tertentu untuk mempercepat pemahaman wilayah prospek. 42 Darman, H. and Sidi, F.H., 2000, An outline of The Geology of Indonesia, Indonesian Association of Geologist, Jakarta: 192pp. Hall, R., 1996, The Plate Tectonics of Cenozoic SE Asia and the Distribution of Land and Sea. In Hall, R. and Blundell, D.J. (ed), 1996, Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society Press, Special Publication No.106. Hall, R., 2001, Southeast Asian Plate Tectonics 55 - 0 Ma, in: http://www.gl.rhul.ac.uk/seasia/ welcome.html, Southeast Asia Research Group, Hamilton, W., 1979, Tectonic of the Indonesian Region, US Geological Surveys, Prof. Paper, Washinton. Hartono, H.M.S, 1990. Terbentuknya Busur Vulkanik Banda, Jurnal Geologi Indonesia 13(2), IAGI: 105-112. Husen, M., 2012. Pertamina Perspective, Pengembangan Wilayah Timur Indonesia, Bahan Presentasi Kerjasama Balitbang ESDM - PT. Pertamina (Persero) 4 April 2012 Jakarta: 26hal. KESDM, 2012. Peta Cadangan Minyak Bumi, h t t p : / / w w w. m i g a s . e s d m . g o . i d / d a t a kemigasan/5/Peta-Cadangan. Kompas, 2013. Ketidakpastian di Venezuela. Presiden Hugo Chavez Mininggal, Industri Minyak Terancam, Harian Kompas, 7 Maret 2013, Jakarta: hal.1 Panuju, 2006. Evaluasi Potensi Hdrokarbon daerah Banggai-Sula, Bahan Presentasi Workshop Potensi Hidrokarbon di Indonesia. Puslitbang Teknologi Migas "Lemigas", Jakarta: 35 hal. Satyana, A.H., 2007, Sumbangsih Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi Terhadap M&E, Vol. 11, No. 4, Desember 2013 Topik Utama Pengetahuan Geologi Indonesia: Data dan Pandangan Baru Geodinamika Indonesia, Publikasi Khusus Geologi Indonesia: Dinamika dan Produknya 2(33), Pusat Survei Geologi: 1-26. Satyana, A.H., 2011, Banggai-Sula: Evaluasi Potensi dan Risiko Migas. Bahan Presentasi Lokakarya Potensi & Risiko Migas Indonesia, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Jakarta, 27 - 29 Juli 2011: 25hal. Simantjuntak, T.O., 1986, Struktur Duplek (Dwi Unsur) Sesar Sungkup Jurus Mendatar di Lengan Timur Sulawesi, Prosiding PIT XV IAGI. Simandjuntak, T.O. and Barber, A.J., 1996, Contrasting Tektonic Styles in the Neogene Orogenic Belt of Indonesia, Tectonic Evolution of Southeast Asia: in Hall, R. and Blundel, D.J. eds, The Geological Society of London. Sopaheluwakan, J., 2007, Geodinamika Indonesia dan Kelangsungan Hidup Manusia: dari Ilmu-Ilmu Kebumian ke IlmuIlmu Sistem Kebumian, Publikasi Khusus Geologi Indonesia: Dinamika dan Produknya 1(33), Pusat Survei Geologi, Bandung: 1-27. Suhyar, R., 2013, Bahan Presentasi Kepala Badan Geologi pada Rapat Tim Teknis Penyiapan Konsep Resources Strategic Plan, Badan Geologi Jakarta, Juli 2013. Usman, E., 2009, Sejarah Kawasan Timur Indonesia dan Arti Strategis Dalam Mendukung Eksplorasi Migas: Peran Kapal Peneliti Geomarin III. Majalah Mineral & Energi, 7(1), Balitbang ESDM, Jakarta: hal.46-56. Usman, E., Djaja, A.W., Wijaya, P.H., Ilahude, D., Rachmat, B., Yusuf, M. dan Pertala, A.W. 2012. Studi Cekungan Banggai-Sula untuk Mendukung Data Usulan Wilayah Kerja Migas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Laporan Intern, Bandung: 68 hal. Kebijakan Pengelolaan Cekungan Migas Prospek di Kawasan Timur Indonesia ; Ediar Usman 43