BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian pustaka
2.1.1
Pengertian Manajemen
Istilah manajemen, terjemahannya dalam bahasa Indonesia hingga saat ini
belum ada keseragaman. Selanjutnya, bila kita mempelajari literature manajemen,
maka akan ditemukan bahwa istilah manajemen mengandung pengertian sebagai
berikut:
1. Manajemen sebagai suatu proses, Dalam Encylopedia of the Social Sience
dikatakan bahwa manajemen adalah suatu proses dengan mana
pelaksanaan
suatu
tujuan
tertentu
diselenggarakan
dan
diawasi.
Selanjutnya, Hilman mengatakan bahwa manajemen adalah fungsi untuk
mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha
individu untuk mencapai tujuan yang sama.
2. Menurut G.R. Terry, manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja,
yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang
kearah tujuan-tujuan organisasi atau maksud-maksud yang nyata.
Manajemen juga dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan maupun seni.
Seni disini dimaksudkan sebagai suatu pengetahuan bagaimana mencapai
hasil yang diinginkan atau dengan kata lain seni adalah kecakapan yang
diperoleh dari pengalaman, pengamatan dan pelajaran serta kemampuan
untuk menggunakan pengetahuan manajemen
9 10 3. Menurut James A.F.Stoner, manajemen adalah suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya anggota
organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Gambar 2.1 Fungsi Manajemen
Sumber: http://www.scribd.com/doc/4994224/ pengertian-manajemen
Gambar di atas menunjukkan bahwa manajemen adalah Suatu keadaan
terdiri dari proses yang ditunjukkan oleh garis (line) mengarah kepada :
•
Proses perencanaan (penentuan program personalia yang akan
membantu
tercapainya
sasaran
yang
telah
disusun
untuk
perusahaan itu)
•
Pengorganisasian (manajer personalia menyusun suatu organisasi
dengan merancang struktur hubungan antara pekerjaan , personalia,
dan faktor-faktor fisik)
•
Kepemimpinan (membuat atau mendapatkan karyawan melakukan
apa yang diinginkan, dan harus mereka lakukan (pemberian
perintah)
11 •
Pengendalian (fungsi manajerial yang berhubungan dengan
pengaturan kegiatan agar sesuai dengan rencana personalia yang
sebelumnya telah dirumuskan)
Di mana keempat proses tersebut mempunyai fungsi masing-masing untuk
mencapai suatu tujuan organisasi.
2.1.2
Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia) adalah ilmu dan seni
mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja secara efisien dan efektif sehingga
tercapai tujuan bersama perusahaan dan karyawan. Menurut A.F. Stoner,
Manajemen Sumber Daya Manusia adalah suatu prosedur yang berkelanjutan
yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau perusahaan dengan orangorang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan jabatan yang tepat pada saat
organisasi memerlukannya. Sedangkan Mathis dan Jackson (2006:3) menyatakan
Manajemen Sumber Daya Manusia adalah rancangan sistem-sistem formal dalam
sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan
efisien guna mencapai tujuan-tujuan organisasional.
2.1.2.1 Peran Manajemen Sumber Daya Manusia
Seperti digambarkan dalam gambar 2.2, manajemen Sumber Daya
Manusia memainkan beberapa peranan bagi organisasi, seperti berikut :
12 Gambar 2.2 Perbedaan peran Manajemen SDM
Sumber: Mathis dan Jackson, 2006:51
1. Peran Administratif
Meliputi
aktivitas-aktivitas
administrasi
seperti
program
bantuan
karyawan, administrasi pensiun, pemerikasaan latar belakang/surat
keterangan, administrasi imbalan kerja, perencanaan dan administrasi
kompensasi, dan penanganan persoalan cuti yang terkait dengan urusan
keluarga.
2. Penasihat Karyawan
Profesional-profesional SDM sebagai suara atas persoalan-persoalan
karyawan, biasanya dipandang sebagai petugas moral perusahaan.
Profesional SDM banyak menghabiskan waktu untuk menangani
manajemen krisis SDM yang berhubungan dengan masalah pekerjaan
karyawan maupun masalah yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
13 3. Operasional
Peran operasional terdiri dari beberapa aktivitas SDM berikut ini :
•
Pengadaan tenaga Kerja (Procurement)
Fungsi operasional dari manajemen personalia adalah berupa usaha
untuk memperoleh jenis dan jumlah yang tepat dari personalia
yang diperlukan untuk menyelesaikan sasaran organisasi. Hal-hal
yang dilakukan dalam kaitan ini adalah penentuan sumber daya
manusia yang dibutuhkan dan perekrutannya, seleksi, dan
penempatan .Penentuan sumber daya manusia yang diperlukan
harus berdasarkan pada tugas-tugas yang tercantum pada
rancangan pekerjaan yang ditentukan sebelumnya.
•
Pengembangan (Development)
Pengembangan merupakan peningkatan keterampilan melalui
pelatihan yang perlu untuk prestasi kerja yang tepat. Kegiatan ini
amat penting dan terus tumbuh karena perubahan-perubahan
teknologi, reorganisasi pekerjaan, tugas manajemen yang semakin
rumit.
•
Kompensasi (Compensation)
Fungsi ini dirumuskan sebagai balas jasa yang memadai dan layak
kepada personalia untuk sumbangan mereka kepada tujuan
organisasi.
14 •
Integrasi (Integrasi)
Integrasi merupakan usaha untuk menghasilkan suatu rekonsiliasi
(kecocokan) yang layak atas kepentingan-kepentingan perorangan
(individu), masyarakat , dan organisasi. Definisi ini berpijak atas
dasar kepercayaan bahwa masyarakat kita terdapat tumpang tindih
kepentingan yang cukup berarti.
•
Pemeliharaan (Maintenance)
Pemeliharaan merupakan usaha untuk mengabadikan angkatan
kerja
yang
mempunyai
kemauan
dan
mampu
untuk
bekerja.Terpeliharanya kemauan untuk bekerja sangat dipengaruhi
oleh komunikasi dengan para karyawan, keadaan jasmani (fisik)
karyawan, dan kesehatan serta keselamatan kerja.
•
Pemutusan hubungan kerja (Separation)
Jika
fungsi
pertama
manajemen
personalia
adalah
untuk
mendapatkan karyawan, adalah logis bahwa fungsi terakhir adalah
memutuskan hubungan kerja dan mengembalikan orang-orang
tersebut kepada masyarakat. Organisasi bertanggung jawab untuk
melaksanakan proses pemutusan hubungan kerja sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan, dan menjamin
bahwa warga masyarakat yang dikembalikan itu berada dalam
keadaan yang sebaik mungkin.
15 4. Strategis
SDM harus berfokus pada implikasi jangka panjang dari persoalan SDM
dan berperan sebagai rekan bisnis strategis perusahaan. Contoh dari peran
strategis ini adalah bagaimana demografi angkatan kerja dan kekurangan
angkatan kerja yang berubah-ubah akan mempengaruhi organisasi, dan
cara apa yang akan digunakan untuk menyampaikan kekurangankekurangan seiring berjalannya waktu.
2.1.3
Perilaku Organisasi
Berdasarkan Robbins dan Judge (2007:10), perilaku organisasi adalah
suatu bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok, dan struktur
pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan
semacam itu untuk memperbaiki keefektifan organisasi. Sedangkan Gibson, et al.
(2009:5)
menyatakan
perilaku
organisasi
adalah
bidang
studi
yang
menggambarkan teori, metode, dan prinsip-prinsip dari berbagai disiplin ilmu
yang mempelajari tentang persepsi dan kapasitas belajar individual ketika berada
dalam sebuah grup dan organisasi. Greenberg dan Baron (2003:4) mendefinisikan
perilaku organisasi sebagai bidang studi yang mempelajari tentang segala aspek
perilaku di dalam pengaturan organisasi dengan menggunakan metode ilmiah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku organisasi adalah ilmu yang
menaruh perhatian pada tindakan orang-orang sewaktu mereka bekerja.
16 Disiplin-disiplin ilmu yang menyumbang kepada bidang perilaku
organisasi berdasarkan Robbins dan Judge (2007:12); Gibson, et al. (2009:6);
Greenberg dan Baron (2003:5) :
1. Psikologi, yaitu ilmu yang berupaya mengukur, menjelaskan, dan kadangkadang mengubah perilaku manusia dan binatang-binatang lain.
2. Sosiologi, yaitu studi tentang orang-orang dalam hubungan dengan
manusia-manusia sesamanya.
3. Psikologi sosial, yaitu suatu bidang di dalam psikologi yang memadukan
konsep-konsep baik dari psikologi maupun sosiologi dan yang
memusatkan perhatian pada saling mempengaruhi antara orang-orang.
4. Antropologi, yaitu studi tentang masyarakat untuk mempelajari mengenai
manusia dan kegiatan mereka.
5. Ilmu politik, yaitu studi tentang perilaku individu dan kelompok dalam
suatu lingkungan politik.
2.1.4
Sikap
Merupakan pernyataan evaluasi – yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan – mengenai benda, orang, atatu peristiwa. Sikap itu mencerminkan
perasaan seseorang mengenai sesuatu (Robbins, 2007:53). Ada tiga komponen
dari sikap, diantaranya :
1. Komponen kognisi sikap (pemikiran) : terdiri dari keyakinan, pendapat,
pengetahuan, atau informasi yang dimiliki oleh seseorang.
17 2. Komponen afeksi sikap (perasaan) : adalah bagian sikap yang berupa
emosi atau perasaan.
3. Komponen perilaku sikap : merujuk ke kemauan untuk bertindak dengan
cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.
2.1.5
Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah perilaku individual terhadap pekerjaannya.
Organisasi yang karyawannya mendapatkan kepuasan di tempat kerja cenderung
lebih efektif daripada organisasi yang karyawannya kurang mendapatkan
kepuasan kerja (Robbins, 2007:53).
Dalam arti yang paling mendasar, (Mathis dan Jackson, 2006:121)
berpendapat kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan emosional yang
positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang.
Ketidakpuasan muncul ketika harapan seseorang tidak terpenuhi.
Sementara menurut Gibson, et al. (2009:106), kepuasan
kerja erat
kaitannya dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya. Hal ini merupakan hasil
dari persepsi karyawan atas pekerjaannya.
Dari beberapa definisi para ahli tersebut dapat diartikan bahwa kepuasan
kerja adalah suatu respon yang menggambarkan perasaan dari individu terhadap
pekerjaannya.
18 2.1.5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Kepuasan merupakan sebuah hasil yang dirasakan oleh karyawan. jika
karyawan puas dengan pekerjaannya, maka ia akan betah bekerja pada organisasi
tersebut. Dengan mengerti output yang dihasilkan, maka perlu kita ketahui
penyebab yang bisa mempengaruhi kepuasan tersebut.
Kepuasan kerja tergantung kesesuaian atau keseimbangan antara yang
diharapkan dengan kenyataan. Ada lima faktor penentu kepuasan kerja yang
disebut dengan Job Descriptive Index (JDI) (Gibson, et al., 2009:106), yaitu :
1. Pekerjaan itu sendiri
Tingkat
dimana
sebuah
pekerjaan
menyediakan
tugas
yang
menyenangkan, kesempatan belajar dan kesempatan untuk mendapatkan
tanggung jawab. Hal ini mejadi sumber mayoritas kepuasan kerja.
Menurut Locke, ciri-ciri intrinsik yang menentukan kepuasan kerja adalah
keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali
terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas.
2. Gaji
Menurut penelitian Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari
jumlah absolute dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji
memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan.
Upah dan gaji diakui merupakan faktor yang signifikan terhadap kepuasan
kerja. Dengan menggunakan teori keadilan Adams, orang menerima gaji
yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami
distress (ketidakpuasan). Yang penting ialah sejauh mana gaji yang
19 diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan
tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan stdanar
gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada
kepuasaan kerja.
3. Kesempatan atau promosi
Karyawan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan
memperluas pengalaman kerja, dengan terbukanya kesempatan untuk
kenaikan jabatan.
4. Supervisor
Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku
dukungan.
Menurut
Locke,
hubungan
fungsional
dan
hubungan
keseluruhan yang positif memberikan tingkat kepuasan kerja yang paling
besar dengan atasan. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana
atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan
yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada
ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai
yang serupa. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan
adalah jika kedua hubungan adalah positif.
5. Rekan kerja
Kebutuhan dasar manusia untuk melakukan hubungan sosial akan
terpenuhi dengan adanya rekan kerja yang mendukung karyawan. Jika
terjadi konflik dengan rekan kerja, maka akan berpengaruh pada tingkat
kepuasan karyawan terhadap pekerjaan.
20 2.1.5.2 Konsekuensi Kepuasan Kerja
Seorang manajer sumber daya manusia sangat berkepentingan untuk
memahami dan memenuhi berbagai dimensi kepuasan kerja serta mengantisipasi
berbagai kemungkinan konsekuensi tertutama yang bernuasa negatif. Robbins dan
Judge (2007:83) mengungkapkan dampak kepuasan kerja jika dipenuhi dapat
meningkatkan produktifitas, menurunkan absentisme, menekan perputaran kerja.
Opsi tindakan pelampiasan ketidakpuasan kerja berupa:
1. Keluar (Exit), ketidakpuasan yang diungkapkan lewat perilaku yang
diarahkan untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian posisi
baru maupun minta berhenti.
2. Suara (Voice), ketidakpuasan yang diungkapkan lewat usaha aktif dan
konstruktif untuk memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan,
membahas masalah-masalah dengan atasan dan beberapa bentuk kegiatan
serikat buruh.
3. Kesetiaan (loyalitas), ketidakpuasan yang diungkapkan dengan secara
pasif menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela
organisasi, menghadapi kritik dari luar dan mempercayai organisasi dan
manajamen untuk melakukan hal yang tepat.
4. Pengabaian
(neglect),
ketidakpuasan
yang
dinyatakan
dengan
membiarkan kondisi memburuk. Termasuk kemangkiran atau datang
terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi dan tingkat kekeliruan yang
meningkat.
21 Gambar 2.3 Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja
Sumber: Robbins dan Judge, 2007:83
2.1.5.3 Meningkatkan Kepuasan Kerja
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasan kerja
karyawannya berdasarkan Greenberg dan Baron (2003:159) :
1. Make jobs fun
Orang akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka nikmati daripada
yang membosankan. Walaupun beberapa pekerjaan memang bersifat
membosankan, tetap ada cara untuk menyuntikkan beberapa level
keasyikan ke dalam hampir setiap pekerjaan. Teknik-teknik kreatif yang
telah diterapkan misalnya mengoper buket bunga dari meja satu orang ke
yang lainnya setiap setengah jam dan mengambil gambar lucu orang lain
ketika sedang bekerja lalu memasukkannya ke papan buletin.
2. Pay people fairly
Ketika orang merasa bahwa mereka dibayar atau diberi imbalan secara
adil, maka kepuasan kerja mereka cenderung akan meningkat.
22 3. Match people to jobs that fit their interests
Semakin orang merasa bahwa mereka mampu memenuhi kesenangan atau
minat mereka saat bekerja, semakin mereka akan mendapatkan kepuasan
dari pekerjaan tersebut.
4. Avoid boring, repetitive jobs
Orang jauh lebih merasa puas terhadap pekerjaan yang memungkinkan
mereka untuk mencapai keberhasilan dengan memiliki kontrol secara
bebas tentang bagaimana mereka melakukan tugas-tugas mereka.
2.1.6
Komitmen Organisasi
Seberapa jauh komitmen karyawan terhadap organisasi tempat mereka
bekerja sangatlah menentukan organisasi itu dalam mencapai tujuannya. Beberapa
organisasi berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk
menempati posisi atau jabatan yang ditawarkan dalam iklan lowongan pekerjaan,
namun tidak jarang para pelaku organisasi masih belum memahami makna
komitmen tersebut secara sungguh–sungguh.
Dalam rangka memahami komitmen karyawan terhadap organisasi yang
sebenarnya, maka beberapa ahli memberikan pengertian dan pdanangan mereka.
Robbins dan Judge (2007:74) berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah
sampai tingkat mana seseorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu
dan tujuan-tujuannya, dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu.
Komitmen organisasi yang tinggi berarti terdapat kepemihakan kepada
organisasi yang tinggi pula. Komitmen sebagai prediktor kinerja seseorang
23 merupakan prediktor yang lebih baik dan bersifat global, dan bertahan dalam
organisasi sebagai suatu keseluruhan daripada kepuasan kerja semata. Seseorang
dapat tidak puas dengan pekerjaan tertentu dan menganggapnya sebagai kondisi
sementara, tapi tidak puas terhadap organisasi adalah sebagai suatu keseluruhan,
dan ketidakpuasan tersebut bila menjalar ke organisasi, dapat mendorong
seseorang untuk mempertimbangkan diri minta berhenti .
Gibson, et al.
(2009:183) memberikan pengertian bahwa komitmen
karyawan merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang
diekspresikan oleh karyawan terhadap organisasi. Sedangkan Mathis dan Jackson
(2006:122) memberikan pengertian bahwa komitmen organisasi merupakan
tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan
mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut.
Sementara Allen dan Meyer (1997) merumuskan suatu definisi mengenai
komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki
implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam
berorganisasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa komitmen memiliki arti penerimaan
individu pada tujuan dan nilai-nilai organisasi dengan cara berusaha dan berkarya
serta memiliki hasrat untuk bertahan di organisasi tersebut.
24 2.1.6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi
Allen dan Meyer dalam Robbins dan Judge (2007:74); Greenberg dan
Baron (2003:161) mengklasifikasikan komitmen organisasi ke dalam tiga
dimensi, yaitu sebagai berikut :
1. Komitmen afektif (affective commitment) yaitu keterlibatan emosi pekerja
terhadap organisasi. Komitmen ini dipengaruhi dan atau dikembangkan
apabila keterlibatan dalam organisasi terbukti menjadi pengalaman yang
memuaskan. Organisasi memberikan kesempatan untuk melakukan
pekerjaan dengan semakin baik atau menghasilkan kesempatan untuk
mendapatkan skill yang berharga.
2. Komitmen
berkesinambungan
(continuance
commitment)
yaitu
keterlibatan komitmen berdasarkan biaya yang dikeluarkan akibat
keluarnya pekerja dari organisasi. Komitmen ini dipengaruhi dan atau
dikembangkan pada saat individu melakukan investasi. Investasi tersebut
akan hilang atau berkurang nilainya apabila individu beralih dari
organisasinya.
3. Komitmen normatif (normative commitment) yaitu keterlibatan perasaan
pekerja terhadap tugas-tugas yang ada di organisasi. Komitmen normatif
dipengaruhi dan atau dikembangkan sebagai hasil dari internalisasi
tekanan normatif untuk melakukan tindakan tertentu, dan menerima
keuntungan yang menimbulkan perasaan akan kewajiban yang harus
dibalas.
25 Setiap pegawai memiliki dasar dan perilaku yang berbeda tergantung pada
komitmen organisasi yang dimilikinya. Pegawai yang memiliki komitmen
organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku yang berbeda dengan
pegawai yang berdasarkan continuance. Pegawai yang ingin menjadi anggota
suatu organisasi akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai
dengan tujuan organisasi. Sebaliknya mereka yang terpaksa menjadi anggota akan
menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya
melakukan usaha yang tidak maksimal.
Sementara itu, komitmen normative yang berkembang sebagai hasil dari
pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang
dimiliki pegawai. Komitmen normative menimbulkan perasaan kewajiban pada
pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.
Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi
dengan organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam pekerjaan dan ada loyalitas
serta afeksi positif terhadap organisasi. Komitmen dianggap penting bagi
organisasi karena : (1) Pengaruhnya pada turnover, (2) Hubungannya dengan
kinerja yang mengasumsikan bahwa individu yang memiliki komitmen cenderung
mengembangkan upaya yang lebih besar pada pekerjaan (Morrison, 1997).
2.1.6.2 Meningkatkan Komitmen Organisasi
Dessler memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem
manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan
komitmen organisasi pada diri karyawan (Luthans, 2006:250) :
26 1. Berkomitmen pada nilai utama manusia
Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang
baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.
2. Memperjelas dan mengkomunikasikan misi
Memperjelas misi dan ideologi; kharisma; menggunakan praktik
perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai stres
dan pelatihan; membentuk tradisi berdasarkan nilai; menekankan orientasi
berdasarkan nilai stres dan pelatihan;membentuk tradisi.
3. Menjamin keadilan organisasi
Memiliki
prosedur
penyampaian
keluhan
yang
komprehensif;
menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif.
4. Menciptakan rasa komunitas
Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja
sama, saling mendukung, dan kerja tim; berkumpul bersama.
5. Mendukung perkembangan karyawan
Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang pada tahun
pertama; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam;
menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada
karyawan tanpa jaminan.
2.1.7
Motivasi
Motivasi dalam manajemen ditunjukan pada sumber daya manusia
umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara
27 mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif
berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. Pentingnya
motivasi karena menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku manusia,
supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.
Menurut Luthans (2006:270) motivasi adalah proses sebagai langkah awal
seseorang melakukan tindakan akibat kekurangan secara fisik dan psikis atau
dengan kata lain adalah suatu dorongan yang ditunjukan untuk memenuhi tujuan
tertentu. Mathis dan Jackson (2006,:114) berpendapat motivasi adalah keinginan
dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak.
Sementara Gibson, et al. (2009:130) juga memiliki pendapat yang serupa
bahwa motivasi merupakan pendorong karyawan untuk bertindak dan berperilaku
secara langsung.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan dorongan
dari dalam (diri sendiri) atau internal tention, hal yang menyebabkan,
menyalurkan dan merupakan latar belakang yang melandasi perilaku seseorang.
Di dalam lingkungan perusahaan sangat dibutuhkan motivasi kerja. Pada
hakekatnya motivasi karyawan dan pengusaha berbeda karena ada perbedaan
kepentingan, maka perlu diciptakan motivasi yang searah untuk mencapai tujuan
bersama dalam rangka kelangsungan usaha dan ketenangan kerja sehingga apa
yang menjadi kehendak dan dicita–citakan kedua belah pihak dapat diwujudkan.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik membutuhkan
motivasi dari setiap karyawan. Karyawan yang memiliki motivasi yang tinggi
28 akan dapat melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik, dibandingkan dengan
karyawan yang tidak memiliki motivasi (Mas’ud, 2004:39).
2.1.7.1 Teori-teori tentang Motivasi
Setiap pendekatan untuk memahami motivasi berbeda-beda karena teori
yang berbeda mengembangkan pdanangan dan model mereka sendiri. Setiap
pendekatan memberi kontribusi pada pamahaman motivasi manusia dan beberapa
pendekatan tersebut antara lain (Mathis dan Jackson (2006:115); Robbins
(2007:129; dan Gibson, et al. (2009:134)):
1. Hierarki Kebutuhan Maslow
Dalam teori ini, Maslow mengelompokkan kebutuhan manusia menjadi
lima kategori yang naik dalam urutan tertentu. Sebelum kebutuhan yang
lebih mendasar terpenuhi, seseorang tidak akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan yang lebih tinggi. Hierarki Maslow yang terkenal terdiri atas :
(1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan keselamatan dan keamanan, (3)
kebutuhan akan kebersamaan dan kasih sayang, (4) kebutuhan akan
penghargaan, (5) kebutuhan akan aktualisasi diri.
2. Teori Motivasi/Higiene Herzberg
Teori ini mengasumsikan bahwa sekelompok faktor, motivator (Prestasi,
Pengakuan, Pekerjaan itu sendiri, Tanggung jawab, dan Kemauan),
menyebabkan tingkat kepuasan dan motivasi kerja yang tinggi. Akan
tetapi, faktor-faktor higiene (Hubungan antarpersonal, Administrasi /
29 kebijakan perusahaan, Pengawasan, Gaji, dan Kondisi kerja), dapat
menimbulkan ketidakpuasan kerja.
3. Teori Kebutuhan McClelland
Menurut McClelland, motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan
diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Teori ini
berpendapat bahwa, semua karyawan mempunyai cadangan energi
potensial. Bagaimana energi ini dilepaskan dan digunakan, tergantung
pada kekuatan dorongan motivasi seseorang dan situasi serta peluang yang
tersedia. Teori ini mengemukakan bahwa ada tiga kebutuhan yang menjadi
motif utama dalam pekerjaan. Ketiga kebutuhan itu meliputi kebutuhan
akan pencapaian prestasi ( need for achievement, nAch), yakni dorongan
untuk unggul, untuk berprestasi menurut serangkaian standar, dan
berusaha keras supaya berhasil; kebutuhan akan kekuasaan ( need for
power, nPow), kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dengan
cara yang sebenarnya tidak akan mereka lakukan jika dipaksa, keinginan
untuk diakui dan keinginan memiliki dampak atau kesan pada orang lain;
serta kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation, nAff), yakni keinginan
akan hubungan antar-pribasi yan bersahabat dan erat.
2.1.7.2 Meningkatkan Motivasi Kerja
Beberapa strategi yang dapat digunakan untuk memotivasi karyawan
menurut Tella, Ayeni, dan Poppola (2007), sebagai berikut :
30 1. Salary, Wages dan Conditions of Service
Ada empat komponen utama dari struktur gaji yang harus diperhatikan,
diantaranya : (1) tingkatan pekerjaan, (2) pembayaran, (3) penghargaan
atas sesuatu, dan (4) tunjangan.
2. Staff Training
Hal ini akan memberikan karyawan kesempatan mengembangkan diri
untuk menghadapi tantangan baru dan kebutuhan akan tugas-tugas yang
dijalani.
3. Information Availibility dan Communication
Pemberian informasi akan konsekuensi dari setiap tindakan karyawan
dengan membdaningkan tindakan mereka pada rekan kerjanya. Ketika
karyawan memiliki rekan untuk berjalan bersama, karyawan akan bergerak
lebih cepat untuk mencapai tujuan.
4. Combine Tasks dan Loads Jobs Vertically
Akan lebih baik jika perusahaan memberi kesempatan karyawan untuk
dapat mencoba tugas-tugas yang beragam dengan tambahan tanggung
jawab dan wewenang untuk menyelesaikannya. Hal ini akan meningkatkan
kemampuan para karyawan untuk bekerja. Selain itu, berdasarkan polling
Finnegan (1993), autonomi menjadi salah satu hal terpenting yang di cari
para karyawan di bandingkan dengan bayaran tinggi (tanpa melewati
batas).
31 2.1.8
Kinerja
Perusahaan yang sangat berorientasi pada profit, banyak yang memdanang
bahwa karyawan adalah mesin pencetak uang sehingga perusahaan lupa untuk
memberikan maintenance dengan baik. Padahal karyawan itu sendiri adalah
sebuah investasi yang perlu untuk selalu dipelihara agar dapat berproduksi dengan
semaksimal mungkin. Konsep tentang kinerja diungkapkan oleh Dessler
(2000:87) yang mendefinisikan kinerja sebagai prestasi kerja yakni perbandingan
antara hasil kerja yang secara nyata dengan standar kerja yang ditetapkan.
Sementara menurut Gibson, et al. (2009:371), job performance adalah hasil dari
pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi, efisiensi dan kinerja kefektifan
kinerja lainnya. Dengan demikian, kinerja menfokuskan pada hasil kerjanya.
Mathis dan Jackson (2006:378), mendefinisikan bahwa kinerja pada
dasarnya adalah apa yang dilakukan dan tidak dilakukan karyawan.
Berdasarkan beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja
merupakan hasil kerja yang dapat dicapai pegawai dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan organisasi dalam upaya
mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi bersangkutan.
2.1.8.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Atmosoeprapto (2001:58), kinerja adalah perbandingan antara
keluaran (ouput) yang dicapai dengan masukan (input) yang diberikan. Selain itu,
kinerja juga merupakan hasil dari efisiensi pengelolaan masukan dan efektivitas
pencapaian sasaran. Oleh karena itu, efektivitas dan efisiensi pekerjaan yang
32 tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula. Untuk memperoleh kinerja
yang tinggi dibutuhkan sikap mental yang memiliki pdanangan jauh ke depan.
Seseorang harus mempunyai sikap optimis, bahwa kualitas hidup dan kehidupan
hari esok lebih baik dari hari ini.
Sedangkan menurut menurut Sulistiyani dan Rosidah (2003:223),
penilaian kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha, dan
kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Pendapat lainnya dikemukakan
oleh Furtwengler (2002:79) yang mengemukakan bahwa untuk meningkatkan
kinerja pegawai, maka organisasi perlu melakukan perbaikan kinerja.
Adapun perbaikan kinerja yang perlu diperhatikan oleh organisasi adalah
faktor kecepatan, kualitas, layanan, dan nilai. Selain keempat faktor tersebut, juga
terdapat faktor lainnya yang turut mempengaruhi kinerja pegawai, yaitu
ketrampilan interpersonal, mental untuk sukses, terbuka untuk berubah,
kreativitas,
terampil
berkomunikasi,
inisiatif,
serta
kemampuan
dalam
merencanakan dan mengorganisir kegiatan yang menjadi tugasnya.
Menurut Bernardin dan Russel (1993:382) terdapat 6 kriteria untuk
menilai kinerja karyawan, yaitu:
1. Quality yaitu Tingkatan dimana proses atau penyesuaian pada cara yang
ideal di dalam melakukan aktifitas atau memenuhi aktifitas yang sesuai
harapan.
2. Quantity yaitu Jumlah yang dihasilkan diwujudkan melalui nilai mata
uang, jumlah unit, atau jumlah dari siklus aktifitas yang telah diselesaikan.
33 3. Timeliness yaitu Tingkatan di mana aktifitas telah diselesaikan dengan
waktu yang lebih cepat dari yang ditentukan dan memaksimalkan waktu
yang ada untuk aktifitas lain.
4. Cost effectiveness yaitu Tingkatan dimana penggunaan sumber daya
perusahaan berupa manusia, keuangan, dan teknologi dimaksimalkan
untuk mendapatkan hasil yang tertinggi atau pengurangan kerugian dari
tiap unit.
5. Need for supervision yaitu Tingkatan dimana seorang karyawan dapat
melakukan pekerjaannya tanpa perlu meminta pertolongan atau bimbingan
dari atasannya.
6. Interpersonal impact yaitu Tingkatan di mana seorang karyawan merasa
percaya diri, punya keinginan yang baik, dan bekerja sama di antara rekan
kerja.
Pendapat lain dikemukakan oleh Dessler (2000, p514) yang menyatakan
bahwa dalam melakukan penilaian terhadap kinerja para pegawai, maka harus
diperhatikan 5 (lima) faktor penilaian kinerja yaitu :
1. Kualitas
pekerjaan
meliputi
akurasi,
ketelitian,
penampilan
dan
penerimaan keluaran.
2. Kuantitas pekerjaan meliputi volume keluaran dan kontribusi.
3. Supervisi yang diperlukan meliputi membutuhkan saran, arahan, atau
perbaikan.
4. Kehadiran meliputi regularitas, dapat dipercayai/diandalkan dan ketepatan
waktu.
34 5. Konservasi meliputi pencegahan, pemborosan, kerusakan, pemeliharaan
peralatan.
Sementara menurut Mathis dan Jackson (2006:378), Kinerja karyawan
adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi
kepada organisasi yang antara lain termasuk (1) kuantitas keluaran, (2) kualitas
keluaran, (3) jangka waktu keluaran, (4) kehadiran di tempat kerja, dan (5) Sikap
kooperatif.
Pendapat Bernardin dan Russel di atas hampir sama dengan yang
dikemukakan oleh Dessler dan juga Mathis. Dimana ketiganya menitikberatkan
pada kualitas dan kuantitas kerja yang dihasilkan anggota organisasi. Selain itu
juga pada pengawasan, karakter personal pegawai, dan kehadiran. Seorang
pegawai yang mempunyai ciri-ciri faktor yang baik seperti yang dikemukakan di
atas, maka dapat dipastikan kinerja yang hasilkan akan lebih baik.
2.1.9 Hubungan antar Variabel
2.1.9.1 Hubungan Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan
Salah satu
masalah kontroversial dalam kepuasan kerja adalah
hubungannya dengan kinerja kerja. bertahun-tahun yang lalu, penelitian
mengindikasikan hubungan yang lemah antara kepuasan dan kinerja dengan ratarata korelasi hanya sebesar 0,15 (Iaffaldano dan Muchinsky, 1985) dalam Kim
(2005). Namun, analisis konseptual dan metodologi empiris dan praktis
memperdebatkan hasil tersebut. Penelitian yang dilakukan (Heskett, et al. 1994
dan Way, Sturman, dan Raab 2010), menunjukkan bahwa dengan meningkatkan
35 kepuasan kerja karyawan dapat menjadikan kinerja karyawan sekaligus kinerja
organisasi lebih baik.
Selain itu, sebuah Meta-Analisis yang lebih rumit dilakukan oleh Tim
Jugde dan rekannya (2001) dengan menggunakan 312 sampel dan kombinasi N
54,417, menemukan korelasi sebenarnya menjadi 0,30. Dengan demikian hasil
analisis ini menunjukkan hubungan yang jauh lebih kuat antara kepuasan kerja
dan kinerja karyawan. Kaitan kepuasan kerja dengan kinerja karyawan juga
dikemukakan oleh Ostroff (1992) yang ditunjukkan oleh keadaan perusahaan
dimana karyawan yang lebih terpuaskan cenderung lebih efektif daripada
perusahaan-perusahaan dengan karyawan yang kurang terpuaskan. Begitu pula
hasil penelitian dari McNeese–Smith (1996) dalam Devi (2009) yang
menunjukkan hubungan antara kepuasan kerja yang berpengaruh signifikan dan
positif terhadap kinerja karyawan (berkorelasi r = 0.25 dan p = 0.001).
2.1.9.2 Hubungan Komitmen Organisasi dan Kinerja Karyawan
Banyak penelitian organisasi dan manajer menaruh perhatian khusus pada
komitmen organisasi dengan keyakinan bahwa organisasi dengan karyawan yang
berkomitmen akan meraih kinerja yang superior dalam waktu yang lama (Bentein,
et al. 2005; Jaros, et al. 1993; Luchak dan Gellatly 2007; Meyer, Becker, dan
Vdanenberghe 2004). Hal ini didukung oleh Harrison dan Hubard (1998) dalam
Devi (2009) yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki keterlibatan tinggi
dalam bekerja (komitmen) tidak mempunyai keinginan untuk keluar dari
36 perusahaan dan ini merupakan modal dasar untuk mendorong produktivitas ke
arah yang lebih tinggi.
Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan McNeese – Smith (1996)
dalam Devi (2009) yang mengungkapkan bahwa komitmen karyawan terhadap
organisasi yang tinggi akan berpengaruh terhadap kinerja karyawan (berkorelasi r
= 0.31 dan p = 0 .001). Adanya komitmen yang tepat akan memberikan motivasi
yang tinggi
dan memberikan dampak yang positif terhadap kinerja suatu
pekerjaan.
2.1.9.3 Hubungan Kepuasan Kerja, Motivasi Kerja, dan Kinerja Karyawan
Sejauh ini cara yang paling umum menyelidiki hubungan kepuasan kerja
dan kinerja kerja adalah dengan melibatkan penggunaan variabel moderator.
Menurut Hersey dan Blanchard (1988) dalam Hong dan Waheed, (2011), motivasi
dan kepuasan merupakan suatu hal yang sangat berbeda dalam hal penghargaan
(reward) dan kinerja. Para peneliti menunjukkan motivasi merupakan
konsekuensi dari harapan masa depan sedangkan kepuasan merupakan
konsekuensi dari peristiwa masa lalu (Carr, 2005 dalam Hong dan Waheed, 2011).
Huselid (1995) dalam Hong dan Waheed (2011) percaya bahwa jika pekerja tidak
termotivasi, turnover akan meningkat dan karyawan akan menjadi frustrasi dan
tidak produktif. Berbagai peneliti lain yang telah menyelidiki motivasi dan
kepuasan kerja juga mendukung pernyataan tersebut (Robbins, 2007; Parsons dan
Broadbridge, 2006). Oleh karena itu, motivasi dan kepuasan tidak identik dengan
satu sama lain. Sangat penting untuk menjelaskan perbedaan konsep antara
37 motivasi dan kepuasan sehingga lebih mudah untuk memahami bahwa motivasi
mengarah ke kepuasan, yang akhirnya mengarah pada peningkatan kinerja (Hong
dan Waheed, 2011).
2.1.9.4 Hubungan Komitmen Organisasi, Motivasi Kerja, dan Kinerja
Karyawan
Penelitian yang dilakukan oleh Nyhan (1999) dalam Astuti (2005)
terhadap pegawai pemerintah mengungkapkan bahwa komitmen karyawan pada
organisasi disamakan dengan motivasi untuk memberikan layanan terhadap
masyarakat yang dimiliki pegawai pemerintah. Sekaligus menjadikan komitmen
organisasi bernilai bagi efektifitas organisasi. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Romeck (1990) dalam Astuti (2005) bahwa karyawan yang
memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir
dalam organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi.
Dari sudut pandang motivasi, komitmen organisasi secara teoritis
berasosiasi dengan kinerja karyawan (Hunt, et al., 1985, Birnbaum dan Somers,
1998) dalam Samad (2011). Sebagai contoh, sifat dasar dari motivasi adalah
dorongan untuk bertindak ke arah pencapaian tujuan (Steers, 1977) dalam
Decotiis dan Summers (1987) dan satu ataupun banyak tujuan masih termasuk ke
dalam tujuan organisasi. Karena itu, motivasi dapat dipandang sebagai komitmen
untuk mencapai tujuan organisasi.
Namun, menurut penelitian empiris Ingram, et al. (1989) dan Sager dan
Johnston (1989) dalam Samad (2011) menyatakan bahwa komitmen organisasi
38 dan kinerja karyawan memiliki hubungan yang sangat kecil. Begitu juga dengan
penelitian Mathieu dan Zajac (1990) yang menemukan bahwa korelasi antara
komitmen organisasi dan kinerja karyawan relatif rendah tetapi positif.
Jadi, komitmen organisasi mungkin berhubungan dengan beberapa
personal outcomes, tetapi sifat hubungannya masih harus di teliti lebih lanjut
(Decotiis dan Summers, 1987).
2.2
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini meliputi variabel komitmen organisasi, kepuasan kerja,
motivasi, dan kinerja kayawan. Berdasarkan pada uraian mengenai variabelvariabel tersebut yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka peneliti
mendefinisikan variabel-variabel tersebut sebagai berikut :
•
•
•
•
•
•
•
•
Komitmen Organisasi
Affective
Continuance
Normative
Kinerja Karyawan
Kuantitas
keluaran
• Kualitas keluaran
• Jangka waktu
keluaran
• Kehadiran di
tempat kerja
• Sikap kooperatif
•
Kepuasan Kerja
Pekerjaan itu sendiri
Gaji
Kesempatan atau
promosi
Supervisor
Rekan kerja
•
•
•
Motivasi Kerja
Achievement
Power
Affiliation
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran
Sumber: Peneliti (2012)
39 2.3
Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji guna memenuhi tujuan-tujuan di dalam
penelitian ini terdiri dari tujuh buah hipotesis yang dijelaskan berikut ini :
• Pengujian mengenai apakah kepuasan kerja berpengaruh secara langsung
terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero).
Hipotesis 1:
Ho: Variabel kepuasan kerja tidak berpengaruh positif terhadap variabel
kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
Ha: Variabel kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap variabel kinerja
karyawan dari PT. PLN (Persero)
• Pengujian mengenai apakah motivasi kerja dan kepuasan kerja berpengaruh
terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero).
Hipotesis 2:
Ho: Variabel motivasi kerja dan kepuasan kerja tidak memiliki pengaruh
positif terhadap variabel kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
Ha: Variabel motivasi kerja dan kepuasan kerja memiliki pengaruh positif
terhadap variabel kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
• Pengujian mengenai apakah motivasi kerja dapat memoderasi hubungan antara
kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero).
Hipotesis 3:
Ho: Variabel motivasi kerja tidak dapat memoderasi hubungan antara variabel
kepuasan kerja terhadap variabel kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
40 Ha: Variabel motivasi kerja dapat memoderasi hubungan antara variabel
kepuasan kerja terhadap variabel kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
• Pengujian mengenai apakah komitmen organisasi berpengaruh secara langsung
terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero).
Hipotesis 4:
Ho: Variabel komitmen organisasi tidak memiliki pengaruh positif terhadap
variabel kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
Ha: Variabel komitmen organisasi memiliki pengaruh positif terhadap variabel
kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
• Pengujian mengenai apakah motivasi kerja dan komitmen organisasi
berpengaruh secara langsung terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN
(Persero).
Hipotesis 5:
Ho: Variabel motivasi kerja dan komitmen organisasi tidak memiliki pengaruh
positif terhadap variabel kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
Ha: Variabel motivasi kerja dan komitmen organisasi
memiliki pengaruh
positif terhadap variabel kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
• Pengujian mengenai apakah motivasi kerja dapat memoderasi hubungan antara
komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero).
Hipotesis 6:
Ho: Variabel motivasi kerja tidak dapat memoderasi hubungan antara variabel
komitmen organisasi terhadap variabel kinerja karyawan dari PT. PLN
(Persero)
41 Ha: Variabel motivasi kerja dapat memoderasi hubungan antara variabel
komitmen organisasi terhadap variabel kinerja karyawan dari PT. PLN
(Persero)
• Pengujian mengenai apakah motivasi kerja, komitmen organisasi, dan
kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero).
Hipotesis 7:
Ho: Variabel motivasi kerja, komitmen organisasi, dan kepuasan kerja tidak
berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
Ha: Variabel motivasi kerja, komitmen organisasi, dan kepuasan kerja
berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan dari PT. PLN (Persero)
Download