biomarker pencemaran insektisida organofosfat dalam tanah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bioindikator
Bioindikator dari organisme digunakan untuk memonitor kesehatan dari suatu
lingkungan
ataupun
suatu
ekosistem.
Ada
banyak
organisme
ataupun
sekumpulan/komunitas organisme yang dapat digunakan untuk menentukan
integritas ekosistem maupun lingkungan. Beberapa organisme dapat dimonitor
dalam perubahannya (kimia, fisiologis, maupun perilaku) yang menandakan
adanya permasalahan di dalam ekosistemnya.
Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem
tertentu untuk keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah menunjukkan sifat
fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk
pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan sebagai filter
lingkungan terhadap polutan (Doran dan Parkin, 1994).
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tanah
adalah dengan mengunakan organisme dalam tanah sebagai bioindikator. Paoletti
(1991) mendemonstrasikan bahwa mikroorganisme dapat digunakan sebagai
bioindikator kualitas tanah akibat perubahan lingkungan di Australia. Organisme
sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan,
mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack,
1998).
Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan
dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan penggunaan
lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi organisme tanah. Pengolahan
tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem
pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata
biodiversitas organisme tanah (Crossley et al., 1992; Paoletti et al., 1992).
Mengingat pentingnya peran organisme tanah dalam menjaga keseimbangan
2-1
2-2
ekosistem tanah dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan
fauna tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna tanah sebagai bioindikator kualitas
tanah. Organisme tanah, termasuk di dalamnya serangga tanah, memiliki
keanekaragaman yang tinggi dan masing-masing mempunyai peran dalam
ekosistem.
Penggunaan hewan sebagai indikator dapat dilihat dari penurunan ataupun
peningkatan jumlah populasinya, ini dapat mengindikasikan kerusakan pada
ekosistem yang diakibatkan oleh masuknya polutan kedalam ekosistem tersebut.
Mikroorganisme dapat digunakan sebagai indicator kesehatan lingkungan (akuatik
maupun terestrial). Mikroorganisme yang keberadaannya sangat banyak
memudahkan dalam pengambilan sampel dibandingkan dengan organisme
lainnya. Beberapa mikroorganisme menghasilkan protein baru yang dikenal
dengan stress proteins, dimana protein ini dihasilkan jika mikroorganisme
tersebut terpapar oleh suatu kontaminan seperti cadmium dan benzene. Protein ini
dapat digunakan sebagai peringatan awal untuk mendeteksi polusi. Diharapkan
informasi yang didapatkan bisa digunakan sebagai data pendukung dalam
pengelolaan lahan pertanian dan dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya
dan dapat dijadikan sebagai biomarker.
Biomarker merupakan pengukuran parameter biologis sebagai indikasi adanya
paparan senyawa toksik. Pengelolaan lingkungan terdiri dari beberapa aspek
kegiatan, salah satu kegiatan yang penting adalah identifikasi bahaya pencemar
yang ada di lingkungan. Biomarker merupakan salah satu metoda yang dapat
dilakukan untuk monitoring kerusakan lingkungan, keuntungan dari metoda
biologis dalam monitoring kerusakan lingkungan adalah sebagai berikut:
ƒ
Mengukur efek sesungguhnya pada lingkungan
ƒ
Menganalisa kecenderungan secara historis
ƒ
Mengamati kualitas diatas standard
ƒ
Mengukur seluruh efek dari berbagai sumber pencemar
2-3
Kerusakan lingkungan akan mempengaruhi kesehatan masyarakat akibat terpapar
(terpajan) oleh senyawa-senyawa pencemar, diantaranya adalah senyawa kimia
organik atau anorganik toksik termasuk manusia akan mengalami efek yang
mengganggu kesehatan jika terpapar pencemar. Paparan dapat masuk ke dalam
tubuh manusia melalui sebagai portal of entry. Ada beberapa jenis portal of entry
diantaranya: inhalasi, oral, kulit, mata, intravena, dll.
Paparan pencemar menjadi suatu hal yang sangat penting dalam menentukan
apakah kerusakan lingkungan mempengaruhi kesehatan manusia atau tidak.
Stewart
(1991)
menyatakan
bahwa
paparan
adalah
jumlah
senyawa
(toksik/pencemar) yang berkontak dengan portal of entry dari tubuh manusia.
Biomarker sendiri dapat diklasifikasikan sebagai penandaan adanya paparan,
penandaan efek dan penandaan kerentanan. Biomarker sebagai penandaan paparan
oleh senyawa toksik dapat digunakan dengan menganalisa cairan biologis
senyawa toksik tersebut di dalam darah, urin, atau lainnya. Apabila senyawa
toksik mengalami metabolisme di dalam tubuh dan menghasilkan metabolit, maka
dapat dilakukan analisa adanya metabolit hasil metabolisme tersebut dalam cairan
biologis. Sementara efek potensial dapat diukur dengan menganalisa perubahan
dalam fungsi seluler (BPLHD, 2006).
Biomarker sering digunakan sebagai penilaian terhadap pengaruh suatu aktivitas
yang dapat mencemari lingkungan. Ini dapat dijadikan suatu pengetahuan atau
informasi tentang pengaruh pencemaran terhadap kerusakan lingkungan biosfir
(BPLHD Jawa Barat, 2006).
Untuk menjaga kualitas lingkungan diperlukan suatu kegiatan monitoring, selain
monitoring kualitas fisik dan kimiawi, salah satu metoda monitoring yang telah
dikembangkan adalah biomarker. Prinsip di balik pendekatan biomarker adalah
pengukuran parameter biologis dari suatu biota sebagai indikasi adanya paparan
senyawa toksik (Rashed, 2004). Biomarker sering digunakan untuk melakukan
2-4
suatu penilaian terhadap pengaruh aktivitas yang dapat mencemari lingkungan dan
menyebabkan terpaparnya biota pada suatu lingkungan.
Pendekatan melalui biomarker lingkungan, memungkinkan penggunaan elemen
responsif pada hewan sebagai alat untuk mengetahui dampak biologis dari
paparan oleh senyawa tertentu. Respon yang terjadi dapat berupa biomolekul,
biokimia, sel, atau bahkan tingkat psikologi (Peakal, 1992).
Penggunaan biomarker dalam monitoring kualitas lingkungan dapat dilakukan
dengan hewan yang terdapat di lingkungan tersebut. Dalam biomarker hewan
yang digunakan harus memiliki sifat – sifat tertentu, antara lain (Apollania, 1978
dalam Hadisantosa, 2006):
a. Hewan tersebut harus representatif terhadap lingkungan, dimana pada
lingkungan tersebut ditemui adanya pencemar;
b. Hewan tersebut harus tersedia, dalam arti bahwa jenis hewan yang
digunakan terdapat dalam lingkungan tersebut;
c. Hewan tersebut harus terseleksi kesensitifitasannya;
d. Hewan tersebut harus berada dalam rantai makanan.
2.2
Perilaku dan Kinetika Insektisida di Lingkungan
Sumber utama pencemaran lingkungan oleh insektisida adalah pengendapan
insektisida yang digunakan untuk mengendalikan hama pengganggu tanaman
pertanian serta serangga-serangga yang menimbulkan efek pada kesehatan
masyarakat. Penyebab lain bisa berasal dari penggunaan insektisida di rumah
tangga, industri, ataupun tumpahan insektisida saat proses pembuatan,
pengemasan, dan pendistribusian insektisida.
Aplikasi insektisida yang paling banyak dilakukan adalah melalui penyemprotan,
selain itu aplikasi lain bisa juga dengan cara penyebaran butiran, aplikasi langsung
ke dalam tanah, tumbuhan, dan lain-lain. Setelah diaplikasikan, insektisida dapat
menyebar ke lingkungan udara, tanah, air, tumbuhan dan manusia. Di alam
insektisida diserap oleh berbagai komponen lingkungan, kemudian terangkut
2-5
ketempat lain melalui media air, angin, atau oleh jasad hidup (Tarumingkeng,
1992). Kinetika insektisida di lingkungan dan penyebarannya dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Siklus Insektisida di Lingkungan
Sumber: Crawfor & Donigran, 1992 dalam Fadliah, 2006.
Dari Gambar 2.1 terlihat setelah aplikasi, residu insektisida akan terdapat pada
tanaman, tanah, air permukaan, organisme perairan, dan organisme tanah. Sesuai
dengan sifatnya, insektisida akan terdegradasi melalui proses alam. Insektisida
yang memasuki suatu kompartemen lingkungan akan cepat terdistribusi ke
kompartemen terdekatnya sampai terjadi keseimbangan antar fase/kompartemen.
Insektisida yang masuk ke lokasi pertanian, disamping terikat dalam tanah juga
akan memasuki perairan melaui irigasi, dan dapat berpindah ke tanah di lokasi
lain karena air larian. Insektisida yang terikat dalam tanah dapat mencemari air
tanah. Insektisida dalam air dapat terikat pada sedimen dan juga dapat masuk
ketubuh organisme perairan.
Dalam komponen-komponen lingkungan ini akan terjadi reaksi perubahan
insektisida secara kimia atau biokimia. Hasil reaksi ini akan mengurangi atau
2-6
menambah tingkat racun insektisida. Hal ini tergantung pada sifat kimia-fisika
insektisida dan komponen lingkungannya. Reaksi kimia yang dialami insektisida
di alam di antaranya adalah volatilisasi atau penguapan, adsorpsi, dan proses
partisi pada dua kompartemen.
2.3
Insektisida di Tanah
Dalam tanah insektisida akan mengalami proses alam. Reaksi-reaksi ini
dipengaruhi oleh jenis tanah, kelembaban tanah, pH tanah, temperatur tanah,
volatilitas pestisida, mikroorganisme, dan substansi kimia yang terkandung di
dalam tanah. Oleh karenanya, laju degradasi satu jenis pestisida tertentu
bergantung pada karakteristik fisik tanah, mikroorganisme tanah, dan karakteristik
dari pestisida tersebut. Proses alam yang diantaranya fotolisis, volatilisasi,
degradasi biologi, dan penyerapan oleh tumbuhan dan zat organik tanah. Fotolisis
terjadi jika insektisida di tanah terkena cahaya matahari. Volatilisasi merupakan
proses menguapnya insektisida. Kecepatan proses volatilisasi insektisida ini akan
bergantung pada tekanan uapnya. Sedangkan degradasi biologi merupakan proses
penguraian insektisida oleh mikroorganisme dalam tanah. Insektisida yang berada
di permukaan tanah dapat terabsorpsi oleh zat organik tanah dan tumbuhan. Hujan
akan melepaskan insektisida ke air tanah.
Menurut Connel dan Miller (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
dan kinetika insektisida di tanah adalah:
ƒ
kemampuan absorpsi insektisida oleh partikel tanah dan zat-zat organik dalam
tanah.
ƒ
pencucian (washing-off) oleh air hujan.
ƒ
penguapan oleh cahaya matahari.
ƒ
dekomposisi oleh cahaya matahari (photodecomposition/photodegradation).
ƒ
aktivitas mikroba dalam tanah.
ƒ
aktivitas yang terjadi karena kondisi dan sifat tanah yang katalisator.
ƒ
translokasi oleh komponen biologi, seperti oleh tanaman maupun hewan ke
lingkungan lain.
2-7
Tanah merupakan wadah utama dalam pelepasan insektisida ke alam. Insektisida
dalam
tanah
cenderung
menumpuk
pada
permukaan
tanah.
Menurut
Tarumingkeng (1992), hal ini disebabkan lapisan atas tanah memiliki kandungan
organik paling banyak sehingga insektisida mudah terserap terabsorpsi dan sukar
keluar. Kandungan organik yang tinggi dalam tanah juga akan menghambat
terjadinya penguapan insektisida. Residu insektisida dalam tanah menunjukkan
jumlah insektisida non mobile dari jumlah insektisida deposit. Proses kimia
insektisida dalam tanah dapat dilihat pada Gambar 2.2.
.
Gambar 2.2 Interaksi dan Jalur Hilangnya Zat Organik (Insektisida) dalam Tanah
Sumber : http://www.nap.edu. 2007
Jenis tanah sangat menentukan terjadinya sorpsi. Tanah yang mengandung clay
atau bahan organik tinggi, kapasitas adsorpsi pestisida-nya pun tinggi. Pada tanah
yang tidak mengandung mineral tinggi (moderately & very light soil), penurunan
kelembaban akan mengakibatkan kenaikan tingkat adsorbsi. Namun sebaliknya
pada heavy soil, penurunan kelembaban akan menyebabkan penurunan
konsentrasi (molekul) pestisida yang telah teradsorpsi.
2-8
pH tanah mengatur tingkat sorpsi dan degradasi. Semakin rendah pH, maka
asiditasnya semakin tinggi. Asiditas tanah mampu mengubah pestisida yang
bermuatan negatif, menjadi bermuatan nol atau positif. Karena tanah bermuatan
negatif, maka pestisida yang bermuatan positif akan teradsorpsi. Namun jika
kondisi tanah terlalu asam (di mana konsentrasi H+ tinggi), maka molekul
pestisida akan tergantikan oleh ion H+, sehingga tingkat adsorpsinya menurun.
Temperatur tanah menentukan terjadi atau tidaknya reaksi. Adsorpsi pestisida
(terlarut) oleh tanah, merupakan reaksi eksoterm (melepas energi) akibat adanya
reaksi antara ikatan hidrogen, dan ikatan ionik. Dengan meningkatnya temperatur,
maka energi pun meningkat (menerima energi), sehingga terjadi desorpsi.
Degradasi disebabkan karena keberadaan alga, jamur, actinomycetes, dan bakteri
di tanah. Insektisida organik yang terlarut akan langsung didegradasi oleh mikroba
tertentu. Sedangkan Insektisida anorganik yang tidak terlarut (cenderung
teradsorbsi), laju degradasinya mengikuti kinetika orde pertama (linear).
Keberadaan mikroorganisme yang sudah beradaptasi dengan pestisida tertentu,
akan mempercepat proses degradasi pestisida tersebut. Hal ini dikenal dengan
sebutan enhanced microbial degradation.
Adsorbsi dapat menurunkan laju degradasi biologis pestisida, tetapi sekaligus juga
meningkatkan degradasi kimia. Pada degradasi ini, salah satu faktor penentu
terpenting adalah pH. Sebagai contoh: pada kondisi asam, diazinon (OP)
terdegradasi lebih cepat daripada kondisi netral atau basa; namun sebaliknya, laju
degradasi carbofuran (karbamat) ternyata lebih lama pada kondisi asam, daripada
basa (Getzin, 1968).
2.4
Insektisida Organofosfat
Pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang mempunyai pengaruh yang
efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, contohnya Disulfoton,
Parathion, Diazinon, Azodrin, Gophacide, dan lain-lain (Sudarmo, 1991).
2-9
Insektisida organofosfat digunakan di bidang pertanian, rumah tangga,
perkebunan, dan kedokteran hewan. Pertanian yang menggunakan insektisida
organofosfat di antaranya jagung, kapas, gandum, dan padi. Di bidang nonpertanian insektisida organofosfat digunakan dalam mengontrol nyamuk yang
mengganggu kesehatan seperti malaria dan demam berdarah.
Penggunaan insektisida organofosfat dalam bidang pertanian bertujuan untuk
membasmi hama pengganggu, berupa serangga dengan cara merusak sistem saraf
serangga. Ada tiga jenis cara insektisida merusak sistem saraf serangga yaitu
melalui kontak denga kulit, makanan (saluran pencernaan), dan pernapasan
(inhalasi).
Golongan insektisida organofosfat (OP) sering juga disebut sebagai phosphorus
insecticide, phosphates, phosphorous esters, atau phosphoric acid esters. Secara
garis besar, senyawa-senyawa dalam golongan ini merupakan turunan dari asam
fosfat, dan dapat dibedakan menjadi:
ƒ
Turunan alifatik (misal: tetraetilpirofosfat, azodrin, diklorovos,
mevinfos, dan metamidofos).
ƒ
Turunan fenil (misal: parathion, profenofos, sulprofos).
ƒ
Turunan heterosiklik (misal: diazinon, azinfosmetil, klorpirifos).
Gambar 2.3 merupakan struktur kimia umum bagi senyawa organofosfat. R dan
R’ adalah rantai alkil, alkithio,atau grup amide. Sedangkan X adalah grup yang
labil (mudah terlepas dari rantai ikatan karbon), atau grup yang dapat terdegradasi
dengan mudah menjadi senyawa yang labil. Kalkulasi yang dilakukan berdasarkan
50 grup R dan R’ serta 10.000 grup X yang berbeda, menghasilkan ±25.000.000
senyawa toksik phophorus.
Gambar 2.3 Struktur Umum Organofosfat
2-10
Rosliana, 2001, menemukan bahwa penurunan konsentrasi klorpirifos pada tanah
terjadi akibat adanya adsorpsi dan degradasi oleh bakteri. Beberapa bakteri aerob
genus Bacillus dapat melakukan bioremediasi terhadap tanah yang tercemar
klorpirifos, dengan mengurai dan memanfaatkan sebagai sumber energi/nutrien
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangbiakannya.
Penelitian
Sandi
(2004)
menemukan bahwa dalam lahan pertanian di daerah lembang yang telah tercemar
insektisida organofosfat ditemukan bakteri-bakteri bergenus Bacillus yang dapat
mendegradasi senyawa organofosfat. Struktur senyawa organofosfat dibedakan
atas strukturnya seperti tampak pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Struktur Umum Beberapa Organofosfat
Tipe Organofosfat
Struktur
Contoh
(1)
(2)
(3)
Phosphate
Phosphonate
Dichlorvos
Chlorfenvinphos
Trichlorfon
Bromphos
Phosphorothioate
Chlorpyrifos
Diazinon
Parathion
Phosphorothiolate
Omethoate
Profenofos
Dimethoate
Phosphorodithioate
Disulfoton
Malathion
Thiometon
Phosphorothioamidate
Isofenphos
Propethamphos
Sumber: US. Environmental Protection Agency, 1999
2-11
2.4.1
Degradasi Insektisida Organofosfat
Residu merupakan bahan kimia insektisida yang terdapat di atas (teradsorpsi) atau
di dalam (terabsorpsi) suatu benda dan mengalami proses penuaan (aging),
perubahan (alterating), atau keduanya. Istilah lain yang hampir sama dengan
residu tetapi sebenarnya memiliki arti berbeda adalah deposit. Deposit merupakan
bahan kimia insektisida yang terdapat di atas permukaan (teradsorpsi) suatu bahan
pada saat segera setelah penggunaan insektisida (Tarumingkeng, 1992).Residu
insektisida dalam komponen lingkungan bisa hilang atau terurai, dalam jumlah
sedikit (ppm) residu insektisida bisa hilang sama sekali.
Degradasi insektisida merupakan penurunan konsentrasi insektisida di alam,
karena sebagian atau seluruh senyawa insektisida tersebut mengalami perubahan
struktur kimia dari bentuk asal menjadi metabolitnya. Degradasi terjadi melalui
beberapa proses, yaitu:
1. Hidrolisis terjadi jika insektisida bereaksi dengan air (H2O) membentuk
senyawa metabolitnya.
2. Fotodegradasi merupakan perubahan komposisi senyawa insektisida
karena terkena cahaya matahari.
3. Biodegradasi merupakan penguraian senyawa insektisida di alam karena
proses biologi. Biodegradasi terjadi karena ada aktivitas mikroorganisme.
4. Volatilisasi merupakan proses penguapan insektisida dari fase padat atau
cair ke fasa gas. Kemampuan volatilisasi insektisida tergantung pada titik
didihnya.
Ada empat faktor dasar yang penting dalam mempercepat proses degradasi
insektisida, khususnya di pertanian daerah tropis. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Hujan
Hujan akan membasuh insektisida dari permukaan daerah aplikasi, sebagian
besar dari daun dan batang. Kemudian insektisida jatuh ke tanah, dari tanah
bisa berpindah lagi melalui erosi, dibawa air hujan, lepas kebawah tanah,
atau mengalami evaporasi.
2-12
2. Cahaya Matahari
Cahaya matahari lebih kuat di daerah tropis, hal ini mengakibatkan
degradasi fotolitik yang lebih besar.
3. Temperatur dan Mikroorganisme
Iklim panas, aktivitas mikrooganisme dan kecepatan penguapan yang tinggi
menyebabkan penghancuran insektisida yang lebih cepat. Jika suatu
senyawa kimia mulai terdegradasi akan ada sejumlah zat yang hilang
seiring pertambahan waktu. Kemudian disusul dengan pembentukan
senyawa baru yang strukturnya lebih sederhana. Apabila ditinjau dari
toksisitasnya, senyawa baru ini bisa kurang toksik daripada senyawa asal
atau bahkan bisa lebih toksik dari senyawa asal. Penurunan konsentrasi
merupakan fungsi dari waktu, sehingga sering bertambahnya waktu maka
akan terjadi penurunan konsentrasi.
Jika suatu senyawa kimia mulai terdegradasi akan ada sejumlah zat yang hilang
seiring pertambahan waktu. Kemudian disusul dengan pembentukan senyawa baru
yang strukturnya lebih sederhana. Apabila ditinjau dari toksisitasnya, senyawa
baru ini bisa kurang toksik daripada senyawa asal atau bahkan bisa lebih toksik
dari senyawa asal. Penurunan konsentrasi merupakan fungsi dari waktu, sehingga
sering bertambahnya waktu maka akan terjadi penurunan konsentrasi.
Reaksi penurunan residu insektisida di alam terjadi dalam dua tahap, pertama
tahap disipasi (dissipation phase) dan kedua tahap persistensi persistence phase).
Penurunan residu insektisida pada tahap disipasi biasanya berlangsung cepat
sampai pada waktu tertentu. Kemudian, residu insektisida akan memasuki tahap
persistensi, yang mana penurunan residu insektisida berlangsung dalam waktu
yang relatif lama (Tarumingkeng, 1992).
2.4.1.1 Profenofos
Profenofos adalah insektisida golongan organofosfat yang terdiri dari gugus
thiophosphate). Sifat kimia fisika profenofos menurut standar internasional dapat
dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
2-13
Tabel 2.2 Karakteristik Fisik-Kimia Profenofos
Parameter
Kondisi dan Nilai
Rumus bangun
Nama IUPAC
O-(4-bromo-2-chlorophenyl)-O-ethyl-S-propyl phosphorothioate
Nama dagang
Curacron; Polycron; Selecron
Rumus molekul
C11H15O3PSBrCl
Berat molekul
373.65 g/mole
Fasa
Cairan berminyak kekuning-kuningan. Setelah emulsifikasi menjadi
fasa liquid homogen. Teremulsi jika bercampur dengan air dan
terdekompos jika bercampur dengan alkali
Titik didih
1100C
Densitas
1.46 g/cm3at 20oC
Kelarutan pada air
20 ppm (25o C)
Koefisien
partisi
Log Kow> 2 (25o C)
Oktanol-Air
KOC= 2016
Koefisien adsorpsi tanah
Waktu paruh degradsi
pada tanah
9 hari
Stabilitas
Stabil pada kondisi netral dan kondisi sedikit asam. Dan tidak stabil
pada kondisi basa
Sumber: US. Environmental Protection Agency, 1999
Dalam penggunaannya profenofos secara biokimia dapat menghambat kerja
enzim
cholinesterase.
Isomernya
mampu
menghambat
kerja
enzim
acetylcholinesterase. Dimana Insektisida dan akasarida non-sistemik yang bekerja
ketika terjadi kontak dengan kulit, termakan (masuk ke lambung), dan inhalasi (ke
2-14
sistem pernapasan). Dan kegunaan profenofos adalah untuk mengontrol serangga
(terutama Lepidopetera) dan tungau pada tanaman kapasa, tebu, kacang hijau,
kentang, tembakau, sayur-mayur,dan tanaman-tanaman lainnya.
Toksisitas profenofos terhadap mamalia secara oral berefek akut terhadap tikus
dengan LD50 = 358 mg/kg; dan terhadap kelinci dengan LD50 = 700 mg/kg.
Melalui sistem pernapasan (inhalasi) berefek akut terhadap tikus dengan LC50
(4jam) = 3mg/L udara; teratogenik terhadap tikus dengan konsentrasi paparan 0,3
mg/kg.hari. Jika kontak pada kulit dan mata: Berefek akut terhadap tikus dengan
LD50 = 3300 mg/kg; dan terhadap kelinci dengan LD50 = 472 mg/kg.
Terhadap Tanaman: Toksik terhadap tanaman ketimun, dan dapat menimbulkan
sedikit bercak-bercak merah pada tanaman kapas. Ekotoksisitas berefek akut
terhadap burung puyuh dengan LC50 (8 hari) = 70-200ppm; terhadap ikan (jenis
rainbow trout) dengan LC50 (96 jam) =0,08 mg/l dan 0,09 mg/l untuk ikan
gurame. Toksik terhadap lebah dengan LD50=0,095 ng/lebah, dan sangat toksik
terhadap crustaceae.
Profenofos merupakan insektisida yang bersifat mudah terdegradasi. Profenofos
dalam tanah akan hilang pada kondisi netral sampai basa dengan waktu paruh
beberapa hari. Degradasi klorpirifos dalam tanah akan menghasilkan produk 4bromo-2-chlorophenol
dan
chlorophenol
persisten
bersifat
O-ethyl-S-propylphosphorthioate.
di
tanah
sedangkan
4-bromo-2
O-ethyl-S-propyl
phosphorthioate belum diketahui tingkat persistensinya (US EPA, 1998).
Hidrolisis adalah jalur utama menghilangnya profenofos di alam. Fotolisis
bukanlah proses utama dalam degradasi profenofos. Proses biotik, metabolisme
secara aerobik ataupun anaerobik, menjadi jalur utama menghilangnya profenofos
setelah hidrolisis terjadi di tahap awal (US EPA,1998). Secara rinci, proses
degradasi profenofos terjadi karena reaksi-reaksi hidrolisis, fotolisis, dan aktivitas
mikroorganisme.
2-15
a. Hidrolisis
Hidrolisis merupakan jalur utama degradasi profenofos. Dalam studi yang
dilakukan EPA tahun 1999, hidrolisis profenofos memiliki waktu paruh 104108 hari pada pH 5, 24-62 hari pada pH 7, dan 7-8 hari pada pH 9. Produk
utama degradasi profenofos adalah 4-bromo-2-chlorophenol dan Oethyl- Spropyl phosphorthioate. Degradasi ini terjadi dalam keadaan tanpa penyinaran
dan temperatur 250C. Pada pH 5, konsentrasi profenofos menurun dari 95%
menjadi 77% setelah 30 hari, konsentrasi 4-bromo-2-chlorophenol meningkat
sampai 5% setelah 30 hari. Pada pH 7 konsentrasi profenofos menurun dari
96% menjadi 67% setelah 30 hari, 4-bromo-2-chlorophenol meningkat sampai
23% setelah 30 hari. Pada pH 9, konsentrasi profenofos tersisa 10% setelah 24
jam aplikasi, 4-bromo-2-chlorophenol meningkat dengan cepat mencapai 80%
setelah 24 jam aplikasi.
b. Fotolisis
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, fotolisis bukan jalur utama degradasi
profenofos. Dalam studi yang dilakukan EPA (2000), sampel larutan
profenofos dengan pH 5 disimpan dalam keadaan diberi cahaya. Larutan
terdegradasi dengan waktu paruh 51 hari. Larutan yang sama, tetapi dalam
keadaan tidak disinari memiliki waktu paruh 60 hari. Kecepatan degradasi
antara diberi cahaya dengan tidak diberi cahaya tidak menunjukkan perbedaan
berarti. Profenofos terdegradasi dari 92% menjadi 60% dalam keadaan tersinari,
dan dari 92% menjadi 63% dalam keadaan gelap.
c. Aktivitas mikroorganisme
Dalam studi yang sama, profenofos yang diaplikasikan sebesar 10.9 ppm, pada
tanah lanau berpasir dengan pH 7.8, terdegradasi dengan waktu paruh 1.9 hari.
Produk utama degradasinya adalah: (1) 4-bromo-2- chlorophenol, konsentrasi
hari pertama adalah 11% kemudian meningkat menjadi 79% pada hari ke 120.
Pada hari ke-270-360 konsentrasinya menurun menjadi 32%; (2) BCPEE [4bromo-2-chlorophenol ethyl ether], pada hari kelima konsentrasinya meningkat
dari 2% menjadi 13% pada hari ke 90 dan 42% pada hari ke 270-360; dan (3)
THPME [2-thioethylenecarboxy-4 hydroxyphenyl methyl ether], pada hari ke
180-270 mencapai konsentrasi maksimum sebesar 10%. (US EPA, 1998)
2-16
Tabel 2.3 Parameter dan Nilai Degradasi profenofos
Parameter degradasi
Nilai
Hidrolisis:
pH 5
t1/2 = 104-108 hari
pH 7
t1/2 = 24-62 hari
pH 9
t1/2 = 0.33 hari
Fotolisis:
di air
stabil
di tanah
stabil
Aktivitas
Mikroorganisme di tanah:
aerobik
t1/2 = 104-108 hari;
pada pH 7.8
anaerobik
t1/2 = 3 hari; pada
pH 7.8
Aktivitas mikroorganisme
t1/2 = 3 hari; pada pH 7.3
anaerobik di air
Sumber: US EPA, 1998
Mobilitas dari senyawa profenofos cukup tinggi dengan nilai konstanta Freundlich
(Kads) = 4,6 untuk pasir; 7,5 untuk tanah lempung berpasir; 17,0 untuk tanah
lempung; dan 89,3 untuk tanah liat pekat. Sedangkan nilai konstanta desorbsi
bervariasi mulai dari 6,2 untuk pasir; 128,1 untuk tanah liat pekat. Tingkat
adsorbsi umumnya meningkat dengan peningkatan kandungan materi organik, dan
kandungan tanah liat di tanah. Laju volatilitas rata-rata profenofos (pengamatan
laboratorium selama 30 hari) mencapai 6,13 x 10-3 μg/cm2/jam, dengan tekanan
uap rata- rata =3,46 x 10-6 mm Hg. Senyawa turunan 4-bromo-2-klorofenol adalah
residu yang paling volatil dari metabolit-metabolit lainnya.
2.4.1.2 Klorpirifos
Klorpirifos adalah insektisida golongan organofosfat yang bersifat non sistemik
(WHO,2002) yang bekerja ketika terjadi kontak dengan kulit, termakan (masuk ke
lambung), dan terhirup (masuk ke sistem pernafasan). Penerapan klorpirifos pada
bibit dan tumbuhan dilakukan dengan penyemprotan langsung atau tidak
2-17
langsung. Penggunaan utama klorpirifos adalah mengontrol lalat, nyamuk (dalam
bentuk larva dan dewasa), berbagai jenis hama pertanian, hama rumah tangga
(Blattellidae,Muscidae,Isoptera), dan larva dalam air (WHO,2002). Dalam
mengontrol hama pertanian, klorpirifos adalah Coleoptera, Diptera, Homoptera
dan Lepidoptera. Penerapan klorpirifos pada tanah dilakukan sebelum tanah
digunakan untuk pra penanaman ataupun saat penanaman.
Penggunaan
klorpirifos
dapat
menghambat
kerja
enzim
cholinesterase.
Merupakan insektisida non-sistemik yang bekerja ketika terjadi kontak dengan
kulit, termakan (masuk ke lambung), dan terhirup (masuk ke sistem pernafasan).
Klorpirifos dapat diterapkan langsung ke tanah, maupun ke berbagai jenis
tanaman seperti tanaman jeruk, strawberi, pisang, sayur-mayur, kentang,
tembakau, bunga matahari, kacang, padi, jagung, tomat, kelapa, kapas, asparagus,
jamur, dan vegetasi hutan. Penerapan dimaksudkan untuk mengendalikan
Coleoptera, Diptera, Homoptera, dan Lepidoptera, serta mengontrol keberadaan
hama seperti nyamuk (larva dan dewasa), Blattellidae, Muscidae, dan Isoptera.
2-18
Tabel 2.4 Karakteristik Fisik-Kimia Klorpirifos
Parameter
Kondisi dan Nilai
Rumus bangun
Nama IUPAC
o,o-diethyl-o-(3-5-6-trichloro-2
pyridinyl)phosphorothioate
Dursban, Lorsban, Dowcow,
Nama dagang
Eradex, Piridane
Rumus molekul
C9H11Cl3NO3PS
Berat molekul
350,6
Fasa
Kristal tak berwarna dengan bau belerang
Titik leleh
42 – 43,2oC
Tekanan uap
2,03 x 10-5mm Hg (25oC)
Titik didih
>3000C
1.51 g/mL pada 21°C
Densitas
1.44 g/mL pada 25°C
Kelarutan pada air
1,4 mg/L (25°C)
Kelarutan pada pelarut lain:
a. benzene
b. aseton
a.900 mg/L (25°C)
c. toluene
b.6300 mg/L (25°C)
d. n-Hexane
c.> 400 g/L (20°C)
e. acetonitrile
d.> 400 g/L (20° C)
f. dikloro ethana
e.680 g/100 g (23°C)
g. kloroform
f.> 400 g/L (20°C)
g.6300 mg/L (25°C)
Koefisien partisi Oktanol-Air
Log Kow = 4,7 (20oC)
Log Kow= 4,76 (25oC)
Koefisien adsorpsi tanah
Koc = 9930
Waktu paruh degradsi pada tanah
22 hari
Stabilitas
Laju hidrolisis meningkat dengan pertambahan pH dan juga
dengan kehadiran logam tembaga
Sumber: The Pesticide Manual, 2002; FAO, 2004 dan
www.inchem.org/documents/jmpr.
2-19
Toksisitas klorpirifos terhadap mamalia secara oral (termakan) akan berefek akut
terhadap tikus dengan LD50 = 135-163 mg/kg, terhadap guinea pigs dengan LD50
= 504 mg/kg dan terhadap kelinci dengan LD50 = 1000 – 2000 mg/kg. Kontak
pada kulit dan mata akan berefek akut terhadap tikus dengan LD50 > 2000 mg/kg
dan terhadap kelinci dengan LD50 = 2000 mg/kg. Jika terinhalasi akan berefek
akut terhadap tikus dengan LC50 (4 – 6 jam) > 0,2 mg/L teratogenik terhadap tikus
dengan konsentrasi paparan 0,03 mg/kg.hari dan terhadap anjing 0,01 mg/kg.hari.
Terhadap mamalia yang lain, insektisida ini tidak diketahui memiliki efek
teratogenik.
Proses utama dalam degradasi klorpirifos adalah metabolisme aerobik dan
anaerobik. Hidrolisis, fotolisis, dan volatilisasi tidak terlihat menjadi proses utama
dalam degradasi klorpirifos (US EPA-Fate and Environmental Risk Assessment
Chlorpyrifos, 2000). Hasil utama degradasi klorpirifos adalah 3,5,6-trichloro 2pyridinol (TCP), yang lebih lanjut akan terurai menjadi senyawa asam organic dan
karbon dioksida (FAO/WHO, 2000). Klorpirifos terserap (terabsorpsi) secara kuat
kedalam tanah dan tidak bisa langsung terlepas. Karena sifat alami klorpirifos
yang non polar, klorpirifos memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan di alam
memiliki kecendrungan untuk membagi fasa dari fasa aqueous menjadi fasa
organik (WHO, 2004). Secara khusus, proses degradasi klorpirifos di alam terjadi
melalui reaksi hidrolisis, fotolisis, dan aktivitas mikroorganisme. Penjelasan
proses tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hidrolisis klorpirifos dalam larutan pada kondisi netral, asam dan basa
memiliki waktu paruh masing-masing sekitar 72, 73, dan 16 hari. Produk
utama degradasi klorpirifos adalah TCP dan O-ethyl O-(3,5,6-trichloro-2pyridinol) phosphorothioate, dengan persentase masing-masing lebih dari 48
dan 13% dari total aplikasi. TCP dan O-ethyl O-(3,5,6-trichloro-2-pyridinol)
phosphorothioate bersifat resisen terhadap proses hidrolisis.
b. Fotodegradasi tidak menjadi proses utama degradsi klorpirifos di tanah, karena
waktu paruh dengan cahaya matahari sama dengan waktu paruh tanpa cahaya
matahari. Produk utama degradasi klorpirifos di tanah adalah TCP.
2-20
Fotodegradasi TCP di tanah berlangsung cepat, 50% TCP terdegradasi dalam 8
jam setelah aplikasi.
c. Klorpirifos didegradasi oleh mikroorganisme aerobik dalam tanah lanau
berpasir dengan waktu paruh 180 hari. Produk utama degradsinya adalah TCP.
Setelah 365 hari TCP mencapai konsentrasi maksimum sebesar 32% dari total
aplikasi. (US EPA, 1999).
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dibuat tabel ringkasan parameter dan
nilai degradasi profenofos di alam.
Tabel 2.5 Parameter dan Nilai Degradasi Klorpirifos
Parameter degradasi
Nilai
Hidrolisis:
pH 5

t1/2 = 73 hari
pH 7
t1/2 = 72 hari
pH 9
t1/2 =16 hari
Fotolisis:
di air
stabil
di tanah
stabil
Aktivitas Mikroorganisme di tanah:
aerobik

t1/2
anaerobik
=
11-180
hari t1/2 = 39-51
hari
Aktivitas mikroorganisme aerobik di
air
Tidak ada data
Sumber: US EPA, 1999
Dari konstanta Freundlich yang diperoleh, senyawa klorpirifos teradsorbsi dengan
sangat baik di tanah, tidak mudah tedesorbsi.
Menurut Racke (1993),
biodegradasi klorpirifos dalam tanah sangat bergantung pada jenis tanah dan
faktor lingkungan. Yang dimaksud faktor lingkungan di sini adalah kelembaban,
2-21
pH, kandungan senyawa organik, dan formula insektisidanya. Klorpirifos sendiri
bersifat immobile di dalam tanah, tetap hasil degradasinya yang berupa TCP dapat
terlindikan, terutama jenis alkalin (Racke, 1993).
Jalur urutan degradasi klorpirifos mencapai produk turunannya dapat dilihat pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Pathway Degradasi Klorpirifos
Sumber : http://www.dowargo.com/chlorp/ap/science/meta.htm
2.4.1.3 Diazinon
Diazinon merupakan jenis insektisida organofosfat yang digunakan untuk
pertanian dan non pertanian (rumah dan taman). Diazinon adalah insektisida nonsistemik yang diaplikasikan pada buah-buahan, tanaman hortikultura, kentang,
padi, tebu, tembakau dan lain-lain. Tabel 2.6 merupakan sifat fisik dan kimia
diazinon.
2-22
Tabel 2.6 Karakteristik Fisik-Kimia Diazinon
Parameter
Kondisi dan Nilai
Rumus bangun
Nama IUPAC
[O,O-diethyl-O-(2-isopropyl-6-methyl-4pyrimidinyl)phosphorothioate]
Nama Dagang
Diazinon , Spectracide,Basudin
Rumus molekul
C12H21N2O3PS
Berat Molekul
304,36
Fasa
Tak bewarna
Titik didih
83-84o C
Tekanan Uap
8.25 x 10-5 mm Hg (25oC)
Konstanta Henry, KH
1.09E-7 atm m3/mol (25°C)
Kelarutan dalam air
40 mg/L (25°C)
Kow
3.81
Koc
2.28
Stabilitas
Hidrolisis meningkat pada pH>6
Sumber: US. Environmental Protection Agency, 2000
Diazinon merupakan senyawa organofosfat yang relatif tidak persisten di dalam
tanah. Diazinon yang diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui degradasi
secara kimiawi dan biologi. Sekitar 46 % dari diazinon yang ditambahkan ke
tanah akan hilang dalam 2 minggu. Jika diazinon dilepaskan ke dalam tanah, tidak
akan terikat secara kuat dengan tanah dan diharapkan akan menunjukkan
mobilitas yang cukup (sedang).
Hidrolisis menjadi lebih lambat pada pH > 6, tetapi cukup signifikan di tanah.
Produk utama dari hidrolisis adalah 2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxypyrimidine.
Namun, jika tidak cukup air pada kondisi asam, tetraetil dithio- and thiopirofosfat
diproduksi, keduanya lebih toksik dari diazinon. Biodegradasi diharapkan menjadi
2-23
proses utama menghilangnya diazinon dengan waktu paruh < 1,2 dan 5 minggu
pada tanah yang tidak steril sedangkan pada tanah yang steril waktu paruh adalah
6, 6,5, dan 12,5 minggu. Secara keseluruhan, persistensi di dalam tanah dalam
rentang waktu 3-14 minggu. Fotolisis cukup signifikan pada permukaan tanah,
tetapi evaporasi dari permukaan tanah bukan merupakan transport yang
signifikan.
2.4.2
Efek Insektisida Organofosfat terhadap organisme
Insektisida organofosfat pertama kali ditemukan oleh Lange dan Kreuger (1932).
Insektisida organofosfat bersifat neurotoksik, atau disebut juga racun saraf.
Neurotoksik terjadi karena terhambatnya kerja enzim asetilkolinesterase (AChE).
Enzim yang berperan dalam penerusan rangsangan syaraf. AChE berperan sebagai
katalis yang dapat mengikat asetilkolin dan menguraikannya menjadi asetil dan
kolin. Asetilkolin berfungsi mengantar impuls saraf dari sel saraf ke sel otot atau
ke sel saraf lain. Setelah impuls sampai maka asetilkolin harus diuraikan menjadi
asetil dan kolin. Penguraian asetilkolin bertujuan untuk menghentikan pengiriman
rangsangan dalam saraf.
Peracunan dapat terjadi karena gangguan dalam fungsi susunan syaraf yang akan
menyebabkan kematian atau dapat pulih kembali. Umur residu dari organofosfat
ini tidak berlangsung lama sehingga peracunan kronis terhadap lingkungan
cenderung tidak terjadi karena faktor-faktor lingkungan mudah menguraikan
senyawa-senyawa organofosfat menjadi komponen yang tidak beracun. Walaupun
demikian senyawa ini merupakan racun akut sehingga dalam penggunaannya
faktor-faktor keamanan sangat perlu diperhatikan. Karena bahaya yang
ditimbulkannya dalam lingkungan hidup tidak berlangsung lama, sebagian besar
insektisida dan sebagian fungisida yang digunakan saat ini adalah dari golongan
organofosfat dan karbamat.
Dalam bidang pertanian, insektisida organofosfat digunakan untuk membunuh
hama pengganggu, berupa serangga, dengan cara merusak sistem saraf serangga.
Ada tiga jenis cara racun insektisida organofosfat merusak sistem saraf serangga,
2-24
pertama racun kontak, kedua racun perut, dan terakhir racun pernapasan. Racun
kontak terjadi apabila insektisida organofosfat mengenai kulit atau permukaan
tubuh serangga kemudian diserap oleh tubuh serangga lalu menyerang sistem
saraf, sedangkan racun perut terjadi apabila insektisida organofosfat merusak
sistem saraf target setelah masuk ke dalam sistem pencernaan. Racun perut ini
sangat efektif untuk mengontrol jenis serangga mengunyah dan menghisap. Dan
terakhir racun pernapasan, bekerja dengan cara masuk melalui pernapasan atau
terhisap
kedalam
sistem
pernapasan
serangga.
Penggunaan
insektisida
organofosfat dapat menyebabkan kontaminasi pada air dan merusak tanaman dan
binatang yang bukan merupakan target penerapan insektisida.
2.5
Organisme Dalam Tanah
Organisme dalam suatu lingkungan bertautan erat sekali dengan sekelilingnya,
sehingga mereka membentuk bagian dari lingkungan sendiri. Tumbuhan dan
hewan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti iklim dan
substrat. Pengaruh lingkungan terhadap komunitas hidup yang menunjang adalah
hasil aksi yang saling terkait. Interaksi suatu organisme dan lingkungan
menentukan ukuran populasi dan penyebarannya.
Kehidupan dalam tanah terdiri atas bentuk-bentuk makro seperti akar tanaman,
keong, cacing, nematoda, hewan penggali dan arthropoda, serta bentuk-bentuk
renik seperti protozoa, bakteri, aktinomisetes, jamur dan ganggang. Ukuran
makhluk yang sangat kecil memungkinkan bagi sejumlah basar makhluk itu
menghuni ruang-ruang yang sangat kecil.
2.5.1
Mikroorganisme Dalam Tanah
Keanekaragaman hayati dalam tanah dapat dilihat dari organisme yang hidup
dalam tanah tersebut. organisme-organisme ini berhubungan antara satu dengan
yang lainnya dan membentuk suatu interaksi. golongan-golongan utama (besar)
yang menyusun populasi mikrobiologis tanah yaitu bakteri(autotrof, heterotrof),
aktinomisetes, fungi, protozoa, nematoda dan cacing tanah. Organisme ini
meningkatkan pemasukan dan penyimpanan dari air, pencegahan erosi,
2-25
kandungan nutrisi dalam tanah dan kemampuan untuk medegradasi bahan
organik.
Tabel 2.7 Jumlah Maksimum Biomass Organisme Di Tanah Yang Sangat Subur
Jenis organisme
Bacteria
kelimpahan
Biomass
(no/m2)
(g/m2)
3 x 1014
300
Fungi
400
Protozoa
5 x 108
38
Nematodes
107
12
105
132
Mites
2 x 105
3
Springtails
5 x 104
5
Earthworms
and
related forms
Other
(snails,
invertebrates
millipedes, 2 x 103
36
etc)
Sumber: B.N. Richards (1974)
Keanekaragaman organisme dalam tanah mencerminkan simbiosis organisme
hidup didalamnya. Organisme ini saling berhubungan dengan satu sama lain dan
dengan membentuk suatu hubungan aktivitas biologi. Tanah merupakan bagian
biologis paling kompleks di bumi. kumbang, springtails, cacing, laba-laba, semut,
nematodes, jamur, bakteri, dan organisme lainnya ini meningkatkan masukan air,
menjaga erosi, nutrisi, dan mendegradasi senyawa organik. Dari variasi yang
sangat kompleks tersebut menyebabkan kesetimbangan dari rantai makanan.
2.5.1.1 Peran Bakteri Pada Ekosistem Tanah
Bakteri tanah dapat menguntungkan bila kehadirannya berperan dalam siklus
mineral, fiksasi nitrogen, perombakan residu pestisida, proses menyuburkan
tanah, perombakan limbah berbahaya, biodegradasi, bioremidasi, mineralisasi,
dekomposisi, dan lain-lain. Tanah dikatakan subur bila mempunyai kandungan
2-26
dan keragaman biologi yang tinggi. Bakteri tanah dapat juga merugikan bila
kehadirannya berperan dalam proses denitrifikasi, dan sebagai jasad penyebab
penyakit.
Peranan bakteri, khususnya bakteri yang hidup bersimbiosis dan yang hidup non
simbiosis dalam tanah berperan dalam memfiksasi atau menambatkan nitrogen
dari udara. Bakteri dan fungi berperan pula dalam siklus mineral atau daur mineral
seperti S, C, dan P. Kehadiran bakteri tersebut di dalam tanah, khususnya tanah
pertanian dan pertambangan mempunyai nilai ekonomi baik dalam menyuburkan
tanah, penyediaan mineral yang dibutuhkan oleh tanaman maupun dalam
pengelolaan endapan mineral. Juga berperan dalam pembentukan agregat tanah
dan dapat menentukan kesehatan tanah (suppressive / conducive terhadap
munculnya penyakit terutama penyakit tular tanah-soil borne pathogen).
Bakteri yang hidup dalam tanah memegang peranan penting dalam meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini berkaitan dengan kemampuannya
mengikat nitrogen dari udara dan mengubah amonium menjadi nitrat. Termasuk
dalam golongan ini bakteri berbentuk basil yang mampu membentuk spora. Selain
bakteri yang berbentuk batang, terdapat pula bakteri berbentuk kokus, dan vibrio.
Beberapa contoh bakteri tersebut adalah :
•
Clostridium pasteurianum adalah bakteri yang memfiksasi nitrogen dalam
keadaan anaerob.
•
Azotobacter chroococcum adalah bakteri yang dapat mengikat nitrogen
dalam keadaan aerob.
•
Nitrobacter yaitu bakteri yang dapat mengubah amonium menjadi nitrat.
•
Radicicolas yaitu bakteri yang hidup bersimbiosis dengan Leguminosae.
•
Bacillus, dapat mengikat nitrogen, membentuk spora, rentang pH 2 – 8
dengan rentang temperatur -50C – 750C, meliputi 7 – 67%.
•
Pseudomonas, terdiri dari 3 – 15%, beberapa spesiesnya bersifat patogen.
Di antara organisme tanah yang mengadakan persaingan, bakteri autotrof
dianggap merupakan organisme yang paling menonjol. Bakteri fotosintetik
2-27
memiliki kemampuan menggunakan amonia yang terbawa air hujan, hidrogen,
dan metana sebagai sumber energinya. Sejumlah simbiosis tertentu dimungkinkan
bakteri pembentuk nitrat menggunakan nitrit yang dihasilkan oleh bakteri
pengoksidasi amonia.
Masalah utama yang timbul adalah adanya dampak negatif atas kehadiran
senyawa rekalsitran di lingkungan, yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme.
Hal ini terjadi karena mikroorganisme dalam biosfir tidak pernah berhubungan
dengan senyawa-senyawa tersebut pada sejarah evolusi sebelumnya.
Selama revolusi kehidupannya mikroorganisme belum berpengalaman dalam
menguraikan senyawa yang belum dikenal sebelumnya, karena tidak memiliki
enzim yang diperlukan untuk mendegradasi senyawa rekalsitran atau bahan
pencemar lainnya. Hanya dengan proses diagenesis, yaitu proses perubahan
kimiawi, biokimia, dan fisika, lambat laun mikroorganisme tersebut dapat
beradaptasi, kemudian akhirnya mampu melakukan degradasi. Dalam proses
adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim dan plasmid yang dibutuhkan unutk
mendegradasi senyawa rekalsitran (Sa’id dan Haris, 1992). Hal ini didukung oleh
kemajuan bidang genetika modern, biologi molekuler, dan biologi seluler,
sehingga sudah banyak terlihat mikroorganisme alamiah yang mampu
mendegradasi polutan rekalsitran. Hal ini diduga karena mikroorganisme di alam
memiliki plasmid, yaitu organela dalam sel yang dapat berfungsi sebagai penyandi
berbagai enzim pengurai insektisida. Hanya saja jumlahnya sangat rendah (kurang
dari 100 / 106 – 102 sel per gram tanah) sehingga tidak mencukupi fungsinya
untuk memperbaiki media yang tercemar. Sehingga peranan bakteri dalam tanah
adalah sebagai berikut:
a. Siklus energi
-
Sumber energi utama adalah matahari yang diubah oleh tanaman melalui
proses fotosintesis menjadi bahan organik
-
Beberapa mikroorganisme mampu melakukan fotosinthesis (menangkap
energi matahari: algae)
2-28
-
Sumber energi yang lain adalah hasil oksidasi-reduksi mineral anorganik: S
dan Fe
-
-
Energi dalam bahan organik dimanfaatkan oleh organisme/mikroorganisme
-
Organisme dekomposer: milipede dll.
-
Mikroorganisme dekomposer: jamur dan bakteri
Mikroorganisme yang tumbuh di rhizosfer memanfaatkan energi dalam
eksudat akar: bakteri Azotobacter
b. Siklus hara
Mikroorganisme mempunyai peran yang sangat penting dalam siklus hara
karena:
1. Ukurannya yang kecil sehingga mempunyai rasio permukaan:volume yang
sangat besar
⇒ memungkinkan pertukaran material (hara) dari sel ke lingkungannya
dengan sangat cepat
2. Reproduksi yang sangat cepat (dalam hitungan menit)
3. Distribusi keberadaan yang sangat luas
Macam-macam siklus hara penting
1.
Siklus Nitrogen
-
Pool N terbesar di udara sebagai gas N2
-
N menjadi tersedia melalui proses fiksasi (kimia maupun mikrobiologis)
(nitrogen fixer: rhizobium dll)
-
N organik (dalam jaringan mahluk hidup - bentuk protein, asam amino dan
asam nukleat) menjadi N anorganik melalui proses mineralisasi NH4+
(ammonium) == MO dekomposer
-
NH4+
mengalami Nitrifikasi oleh Nitrosomonas, Nitrosococcus dan
Nitrosovibrio
-
NO2- menjadi NO3- oleh Nitrobacter dan Nitrococcus
-
NO3- mengalami Denitrifikasi menjadi NO2- oleh Pseudomonas, Bacillus
dan Alcaligenes
-
N anorganik dapat diasimilasi oleh mikroorganisme = Imobilisasi.
2-29
2.
-
Siklus Sulfur
Oksidasi sulfur menjadi sulfat oleh Thiobacillus, Arthrobacter dan
Bacillus
2H2S + O2 → 2S + 2H2O
2S + 2H2O + 3O2 → 2SO42- + 4H+
S2O32- + H2O + 2O2 → 2SO42- + 2H+
-
Reduksi Sulfat menjadi sulfida (S2-) oleh Desulphovibrio desulphuricans
2SO42- + 4H2 → S2- + 4H2O
3.
-
Siklus fosfor
Fosfor di alam dalam bentuk terikat sebagai Ca-fosfat, Fe- atau Al-fosfat,
fitat atau protein
-
Mikroorganisme (Bacillus, Pseudomonas, Xanthomonas, Aerobacter
aerogenes) dapat melarutkan P menjadi tersedia bagi tanaman
c. Pembentukan agregat tanah
-
Organisme tanah menghasilkan polimer organik (misal humic dan fulvic
acids) yang mengikat partikel lempung menjadi mikro agregat
-
Pembentukan mikroagregat menjadi makro agregat dimediasi oleh bahan
organik dan berbagai jenis mikro dan makroorganisme (bakteri, jamurterutama jamur VAM, algae, cacing, semut, serangga dsb.).
2.5.1.2 Morfologi Bakteri
Bakteri adalah suatu kelompok mikroorganisme prokariotik bersel tunggal yang
berukuran relatif kecil, tidak memiliki selaput inti, dan bersifat kosmopolit.
Bakteri terlihat dalam bentuk penataan yang sederhana. Reproduksi khas dengan
pembelahan biner. Motilitas umumnya dengan flagela. Beberapa spesies
menghasilkan endospora. Pada umumnya memiliki dinding sel yang kaku karena
terdiri dari peptidoglikan. Beberapa spesies mampu melakukan proses
fotosintesis, yaitu bakterioklorofil (Pelczar dan Chan, 1986).
2-30
Gambar 2.5 Morfologi Sel Bakteri
Sumber: Pustekkom, 2005
2.5.1.2.1
Ukuran
Satuan ukuran bakteri ialah mikrometer, yang setara dengan 1/1000 mm atau 10-3
mm. Bakteri yang berbentuk bola (kokus) mempunyai diameter yang berkisar
0,75 – 1,25 µm. Basillus atau bentuk batang mempunyai lebar 0,5 – 1 µm dan
panjang 2 – 3 µm. Sel beberapa spesies bakteri amat panjang; panjangnya dapat
melebihi 100 µm dan diameternya berkisar 0,1 – 0,2 µm. Sekelompok bakteri
yang dikenal sebagai mikoplasma, ukurannya khas amat kecil – demikian kecilnya
sehingga hampir-hampir tak tampak di bawah mikroskop cahaya (Pelczar dan
Chan, 1986).
2.5.1.2.2
Bentuk Bakteri
Menurut bentuknya (Gupte, 1990), bakteri dibagi dalam :
Kokus (berasal dari kata kokkos yang artinya arbei)
ƒ
Kokus bergerombol – stafilokokus
ƒ
Kokus berantai – streptokokus
ƒ
Kokus berpasangan – diplokokus
ƒ
Kokus berkelompok empat-empat – tetrada
ƒ
Kokus berkelompok delapan-delapan – sarsina
Berbentuk silinder atau batang yang disebut basil (berasal dari kata baculus yang
berarti batang). Jenis-jenis bakteri berbentuk batang :
1. Pada beberapa kuman, lebarnya dan panjangnya hampir sama, disebut
kokobasil, misalnya Brucella.
2. Tersusun seperti huruf Cina, misalnya pada Corynebacterium.
2-31
3. Vibrio : berbentuk seperti koma, batang bengkok, dan berasal dari nama
gerakannya yang bervibrasi (bergetar).
4. Spiroketa : (dari kata sferia yang berarti ulir, chaete berarti rambut).
Ukurannya relatif lebih panjang, tipis dan fleksibel, dan mempunyai
beberapa lekukan.
5. Aktinomisetes : (actis berarti berkas sinar, mykes berarti jamur)
merupakan bakteri berbentuk filamen bercabang, disebut demikian karena
mirip pancaran sinar matahari.
6. Mikoplasma merupakan organisme yang tidak mempunyai dinding sel
karenanya tidak memiliki bentuk yang stabil, seringkali berupa bulatan
atau bentuk lonjong dengan filamen diantaranya.
2.5.1.2.3
Flagelum
Embel-embel seperti rambut yang teramat tipis mencuat menembus dinding sel
dan bermula dari tubuh dasar, suatu struktur granular tepat di bawah membran sel
di dalam sitoplasma, disebut flagelum (jamak, flagela). Flagelum menyebabkan
motilitas (pergerakan) pada sel bakteri. Flagelum terdiri dari tiga bagian : tubuh
dasar, struktur seperti kait, dan sehelai filamen panjang di luar dinding sel
(Pelczar dan Chan, 1986). Jumlah dan susunan flagel bersifat khas pada tiap
bakteri. Menurut Gupte (1990) susunannya pada badan bakteri dapat berupa :
ƒ
Monotrikh. Satu flagel pada salah satu ujung organisme, misalnya pada
Vibrio, Pseudomonas, Spirillum, dan lain-lain.
ƒ
Amfitrikh. Satu flagel pada tiap-tiap ujung kuman, misalnya pada
Alcaligenes faecalis.
ƒ
Lopotrikh. Satu berkas flagel pada salah satu ujung, misalnya pada
Pseudomonas.
ƒ
Peritrikh. Beberapa flagel tersebar pada seluruh permukaan bakteri,
misalnya Escherichia coli dan Salmonella.
2.5.1.3 Lingkungan Sebagai Habitat Bagi Bakteri
Bakteri terdapat dimana-mana, ada di berbagai habitat. Satu gram tanah dapat
mengandung beberapa ribu sampai beberapa juta. Sebagian besar adalah sapotrof
2-32
atau parasit, dan sejumlah kecil adalah autotrof, yang memperoleh energi dari
proses oksidasi atau dari cahaya (karena adanya bakterioklorofil). Pada tanah,
aktivitasnya berperan penting dalam perombakan bahan organik yang sudah mati
dan mengembalikan mineral-mineral untuk pertumbuhan tumbuhan tingkat tinggi.
Beberapa diantaranya merupakan sumber antibiotik. Sebagai agen penyakit
tumbuhan, maka bakteri kurang berperan dibandingkan jamur; namun mereka
menjadi penyebab banyak penyakit pada hewan dan manusia (misalnya dipteria,
tuberculosis, tifoid, beberapa macam pneumonia). Pada air subterania (air tanah)
dan mata air sangat miskin nutrien. Oleh karena itu, koloni mikroflora hanya
beberapa tipe saja, tumbuhan tingkat tinggi dan binatang hampir tidak ada (Yusup,
2002)
Lingkungan sebagai habitat bagi mahluk hidup mempunyai berbagai faktor –
faktor abiotik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup
bakteri. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah temperatur, intensitas cahaya,
pH, kelembaban tanah, air, dan tekanan osmosis.
Temperatur memiliki efek langsung maupun tidak langsung pada aktivitas biologi
dalam tanah. Efek langsung yaitu terhadap laju reaksi fisik dalam tanah dan efek
tidak langsung adalah mempengaruhi aktivitas mikroba tanah melalui aspek lain
seperti laju pelapukan mineral, laju difusi, potensi redoks, aktivitas air dan lainlain. Temperatur bersama kelembaban tanah, merupakan faktor yang menentukan
mineralisasi N dalam tanah, yakni dengan meningkatnya air dan temperatur dalam
tanah akan meningkatkan dekomposisi bahan organik.
Bakteri dapat bertahan hidup dengan rentang suhu yang luas, tetapi rentang untuk
tumbuh dan melakukan aktivitas hidup berada di antara 0-90 0C. Para peneliti
telah menemukan bahwa tiap-tiap organisme mempunyai temperatur minimum
yaitu dibawah temperatur ini pertumbuhan tidak akan terjadi lagi, temperatur
optimum yaitu pertumbuhan terjadi sangat cepat, dan temperatur maksimum yaitu
suatu pertumbuhan dinilai tidak memungkinkan lagi. Ketiga zona temperatur
2-33
tersebut disebut sebagai temperatur kardinal. Batasan kardinal temperature pada
tiap organisme berbeda-beda kisarannya. Bakteri yang tumbuh pada 0 sampai
30°C dikelompokan kedalam bakteri psikrofil; mesofil, yang tumbuh pada 25
sampai 40°C ; dan termofil , yang tumbuh pada suhu 50° atau lebih. Beberapa
bakteri mempunyai temperatur optimal yang kecil seperti pada 5 sampai 10 °C
dan beberapa lagi pada temperatur tinggi seperti pada 90 hingga 100°C. Beberapa
bakteri telah ditemukan dan diisolasi dari air laut antartika yang mempunyai
temperatur optimum yang cukup ekstrim yakni 4°C, dan bakteri tersebut masih
dapat tumbuh pada suhu –2,5°C. Beberapa bakteri anaerob telah diisolasi dari
lubang hidrotermal di laut dalam dengan temperatur optimumnya pada suhu
105°C. Bakteri yang tumbuh pada kisaran suhu 55 sampai 70°C yakni bakteribakteri thermofil seperti dari genus Bacillus, Clostridium, Thermoactinomyces,
dan Methanobacterium.
Intensitas cahaya adalah hal yang cukup penting juga karena mempengaruhi
keberadaan bakteri fotoautrotopik. Bakteri fotoautrotopik memerlukan cahaya
sebagai sumber energinya yang juga akan berpengaruh terhadap kelangsungan
berbagai organime yang terdapat pada ekosistem tersebut. Sinar ultraviolet
merupakan komponen tidak terlihat yang terkandung pada cahaya matahari.
Akibat negatif radiasi sinar ultraviolet adalah (1) membunuh sel (2) menunda
pertumbuhan dan (3) mengubah hereditas akibat mutasi gen (Salle.1961).
Kemasaman tanah (pH) merupakan sifat fisik-kimia yang paling banyak diteliti
pengaruhnya terhadap ekologi mikroba. Salah satu konsekuensi yang sangat
penting dari pH tanah adalah pengaruhnya terhadap kelarutan hara (keracunan dan
kekurangan), unsur Fe, Mn dan Zn akan berkurang ketersediaannya pada pH
tinggi, dan akan bersifat racun bila pH di bawah 5. Hara P kurang tersedia pada
pH rendah maupun tinggi. Pada pH rendah umumnya dijumpai dominasi fungi
sedangkan bakteri (termasuk aktinomycetes) umumnya dominan pada pH 6-8.
Permukaan koloid tanah biasanya memiliki pH yang lebih rendah 2 unit atau lebih
dari pH larutan.
2-34
pH daerah rizosfer sebagian dikontrol oleh sumber hara nitrogen bagi tanaman.
Dekomposisi bahan organik oleh mikroba cenderung meningkatkan kemasaman
tanah akibat asam organik yang dihasilkan. pH optimum bagi kebanyakan bakteri
berkisar antara 6,5 dan 7,5. Beberapa spesies dapat tumbuh pada keadaan yang
sangat asam ataupun sangat basa. Dari mulai pH minimum ± 0,5, hingga pH
maksimum ± 9,5. Namun bisa saja bakteri dapat tumbuh diluar kisaran pH
tersebut. Bakteri yang dapat tumbuh pada pH yang netral yakni pada pH 7,0
disebut bakteri neutrofilik. Bakteri yang tumbuh pada pH asam disebut bakteri
asidofilik. Bakteri yang tumbuh pada pH basa disebut bakteri alkalofilik. Beberapa
bakteri dapat tumbuh pada pH yang sangat ekstrim seperti Thiobacillus
thiooxidans yang mempunyai pH optimum 2,5 dan masih tetap dapat tumbuh
mendekati pH 0 sekalipun. Ada juga bakteri yang dapat tumbuh dengan kebasaan
yang ekstrim yakni pada pH 10 hingga 12 yakni pada archaebacterium yakni
Halobacterium , dalam lingkungan yang bersifat asin (Paul and Batzing, 1987).
Keasaman tanah merupakan faktor penentu bagi aktivitas bakteri karena berkaitan
dengan reaksi-reaksi enzimatis. Semakin rendah atau tinggi dari pH netral maka
akan menghambat aktivitas-aktivitas reaksinya. Bila bakteri dikultivasi di dalam
suatu medium yang pH-nya mula-mula disesuaikan, maka digunakan larutan
penyangga (buffer) untuk mempertahankan nilai pH yang normal, yaitu kombinasi
garam-garam fosfat, seperti KH2PO4 dan K2HPO4. Kelembaban tanah merupakan
faktor yang menentukan mineralisasi N dalam tanah. Dalam tiap gram tanah, yang
berkandungan sekitar 0,3 % bahan organik paling sedikit ditemukan 17.000
organisma, yang kebanyakannya terdiri dari bakteri yang hidup bersama dengan
sekitar 10-15 %. Aktinomisetes dan 0,56-2,0 % cendawan. Tanah lainnya yang
berkandungan sekitar 0,45 % bahan organik rata-rata per gramnya dihuni oleh
59.666 organisma, kebanyakan juga terdiri dari bakteri, sedang Aktinomisetes
hanya terdapat sekitar 0,61 % dan cendawan sekitar 0,27 %. Kenaikan
kelembaban akan meningkatkan jumlah bakteri sampai 80 %.
Bakteri dapat dibedakan dan diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan akan
oksigen. Bakteri yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya disebut
2-35
bakteri aerob. Bakteri aerob obligat tidak akan tumbuh apabila tidak tersedianya
oksigen pada lingkungannya. Bakteri anaerob yakni bakteri yang tumbuh tanpa
oksigen molekuler , bakteri ini tumbuh biasanya dengan menggunakan senyawa
kimia lain seperti dengan melakukan fermentasi, respirasi anaerob maupun
kemosintesis.
Bakteri anaerobik fakultatif yakni bakteri yang tumbuh dalam
keadaan aerob ataupun anaerobik. Dan bakteri mikroaerofilik yakni bakteri yang
dapat tumbuh dengan optimal apabila tersedia sedikit oksigen atmosferik.
2.5.1.4 Total Plate Count
Terdapat beberapa cara untuk menentukan jumlah bakteri dalam sebuah sampel.
Cara yang paling sering digunakan adalah cara perhitungan koloni pada lempeng
pembiakan (Plate Count). Disamping itu dapat juga dilakukan perhitungan
langsung secara mikroskopis. Metode plate count termasuk ke dalam perhitungan
tidak langsung, karena menghitung bakteri yang telah diinkubasi terlebih dahulu,
setelah ditanam pada medium dengan pengenceran tertentu. Pengenceran
dimaksudkan agar jumlah koloni tidak terlalu banyak sehingga masih dapat
dihitung.
Hasil hitungan yang dapat dianggap valid menurut Usman (1986) adalah 30 – 300
koloni pada setiap lempeng pembiakan dengan tingkat pengenceran tertentu.
Sedangkan menurut Salle (1961), perhitungan dengan menggunakan plate count
beragam dari 200.000 hingga 100.000.000 per gram tanah. Brock (1984)
menyatakan bahwa pada lingkungan alaminya bakteri memiliki rentang jumlah
yang luas, dari beberapa ratus sel per ml hingga 109-1010 per ml.
Download