BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioindikator Bioindikator dari organisme digunakan untuk memonitor kesehatan dari suatu lingkungan ataupun suatu ekosistem. Ada banyak organisme ataupun sekumpulan/komunitas organisme yang dapat digunakan untuk menentukan integritas ekosistem maupun lingkungan. Beberapa organisme dapat dimonitor dalam perubahannya (kimia, fisiologis, maupun perilaku) yang menandakan adanya permasalahan di dalam ekosistemnya. Kualitas tanah merupakan kemampuan tanah yang menggambarkan ekosistem tertentu untuk keberlanjutan sistem pertanian. Kualitas tanah menunjukkan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang berperan dalam menyediakan kondisi untuk pertumbuhan tanaman, aktivitas biologi, mengatur aliran air dan sebagai filter lingkungan terhadap polutan (Doran dan Parkin, 1994). Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tanah adalah dengan mengunakan organisme dalam tanah sebagai bioindikator. Paoletti (1991) mendemonstrasikan bahwa mikroorganisme dapat digunakan sebagai bioindikator kualitas tanah akibat perubahan lingkungan di Australia. Organisme sebagai bioindikator kualitas tanah bersifat sensitif terhadap perubahan, mempunyai respon spesifik dan ditemukan melimpah di dalam tanah (Primack, 1998). Penentuan bioindikator kualitas tanah diperlukan untuk mengetahui perubahan dalam sistem tanah akibat pengelolaan yang berbeda. Perbedaan penggunaan lahan akan mempengaruhi populasi dan komposisi organisme tanah. Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya penurunan secara nyata biodiversitas organisme tanah (Crossley et al., 1992; Paoletti et al., 1992). Mengingat pentingnya peran organisme tanah dalam menjaga keseimbangan 2-1 2-2 ekosistem tanah dan masih relatif terbatasnya informasi mengenai keberadaan fauna tanah, perlu dieksplorasi potensi fauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah. Organisme tanah, termasuk di dalamnya serangga tanah, memiliki keanekaragaman yang tinggi dan masing-masing mempunyai peran dalam ekosistem. Penggunaan hewan sebagai indikator dapat dilihat dari penurunan ataupun peningkatan jumlah populasinya, ini dapat mengindikasikan kerusakan pada ekosistem yang diakibatkan oleh masuknya polutan kedalam ekosistem tersebut. Mikroorganisme dapat digunakan sebagai indicator kesehatan lingkungan (akuatik maupun terestrial). Mikroorganisme yang keberadaannya sangat banyak memudahkan dalam pengambilan sampel dibandingkan dengan organisme lainnya. Beberapa mikroorganisme menghasilkan protein baru yang dikenal dengan stress proteins, dimana protein ini dihasilkan jika mikroorganisme tersebut terpapar oleh suatu kontaminan seperti cadmium dan benzene. Protein ini dapat digunakan sebagai peringatan awal untuk mendeteksi polusi. Diharapkan informasi yang didapatkan bisa digunakan sebagai data pendukung dalam pengelolaan lahan pertanian dan dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya dan dapat dijadikan sebagai biomarker. Biomarker merupakan pengukuran parameter biologis sebagai indikasi adanya paparan senyawa toksik. Pengelolaan lingkungan terdiri dari beberapa aspek kegiatan, salah satu kegiatan yang penting adalah identifikasi bahaya pencemar yang ada di lingkungan. Biomarker merupakan salah satu metoda yang dapat dilakukan untuk monitoring kerusakan lingkungan, keuntungan dari metoda biologis dalam monitoring kerusakan lingkungan adalah sebagai berikut: Mengukur efek sesungguhnya pada lingkungan Menganalisa kecenderungan secara historis Mengamati kualitas diatas standard Mengukur seluruh efek dari berbagai sumber pencemar 2-3 Kerusakan lingkungan akan mempengaruhi kesehatan masyarakat akibat terpapar (terpajan) oleh senyawa-senyawa pencemar, diantaranya adalah senyawa kimia organik atau anorganik toksik termasuk manusia akan mengalami efek yang mengganggu kesehatan jika terpapar pencemar. Paparan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui sebagai portal of entry. Ada beberapa jenis portal of entry diantaranya: inhalasi, oral, kulit, mata, intravena, dll. Paparan pencemar menjadi suatu hal yang sangat penting dalam menentukan apakah kerusakan lingkungan mempengaruhi kesehatan manusia atau tidak. Stewart (1991) menyatakan bahwa paparan adalah jumlah senyawa (toksik/pencemar) yang berkontak dengan portal of entry dari tubuh manusia. Biomarker sendiri dapat diklasifikasikan sebagai penandaan adanya paparan, penandaan efek dan penandaan kerentanan. Biomarker sebagai penandaan paparan oleh senyawa toksik dapat digunakan dengan menganalisa cairan biologis senyawa toksik tersebut di dalam darah, urin, atau lainnya. Apabila senyawa toksik mengalami metabolisme di dalam tubuh dan menghasilkan metabolit, maka dapat dilakukan analisa adanya metabolit hasil metabolisme tersebut dalam cairan biologis. Sementara efek potensial dapat diukur dengan menganalisa perubahan dalam fungsi seluler (BPLHD, 2006). Biomarker sering digunakan sebagai penilaian terhadap pengaruh suatu aktivitas yang dapat mencemari lingkungan. Ini dapat dijadikan suatu pengetahuan atau informasi tentang pengaruh pencemaran terhadap kerusakan lingkungan biosfir (BPLHD Jawa Barat, 2006). Untuk menjaga kualitas lingkungan diperlukan suatu kegiatan monitoring, selain monitoring kualitas fisik dan kimiawi, salah satu metoda monitoring yang telah dikembangkan adalah biomarker. Prinsip di balik pendekatan biomarker adalah pengukuran parameter biologis dari suatu biota sebagai indikasi adanya paparan senyawa toksik (Rashed, 2004). Biomarker sering digunakan untuk melakukan 2-4 suatu penilaian terhadap pengaruh aktivitas yang dapat mencemari lingkungan dan menyebabkan terpaparnya biota pada suatu lingkungan. Pendekatan melalui biomarker lingkungan, memungkinkan penggunaan elemen responsif pada hewan sebagai alat untuk mengetahui dampak biologis dari paparan oleh senyawa tertentu. Respon yang terjadi dapat berupa biomolekul, biokimia, sel, atau bahkan tingkat psikologi (Peakal, 1992). Penggunaan biomarker dalam monitoring kualitas lingkungan dapat dilakukan dengan hewan yang terdapat di lingkungan tersebut. Dalam biomarker hewan yang digunakan harus memiliki sifat – sifat tertentu, antara lain (Apollania, 1978 dalam Hadisantosa, 2006): a. Hewan tersebut harus representatif terhadap lingkungan, dimana pada lingkungan tersebut ditemui adanya pencemar; b. Hewan tersebut harus tersedia, dalam arti bahwa jenis hewan yang digunakan terdapat dalam lingkungan tersebut; c. Hewan tersebut harus terseleksi kesensitifitasannya; d. Hewan tersebut harus berada dalam rantai makanan. 2.2 Perilaku dan Kinetika Insektisida di Lingkungan Sumber utama pencemaran lingkungan oleh insektisida adalah pengendapan insektisida yang digunakan untuk mengendalikan hama pengganggu tanaman pertanian serta serangga-serangga yang menimbulkan efek pada kesehatan masyarakat. Penyebab lain bisa berasal dari penggunaan insektisida di rumah tangga, industri, ataupun tumpahan insektisida saat proses pembuatan, pengemasan, dan pendistribusian insektisida. Aplikasi insektisida yang paling banyak dilakukan adalah melalui penyemprotan, selain itu aplikasi lain bisa juga dengan cara penyebaran butiran, aplikasi langsung ke dalam tanah, tumbuhan, dan lain-lain. Setelah diaplikasikan, insektisida dapat menyebar ke lingkungan udara, tanah, air, tumbuhan dan manusia. Di alam insektisida diserap oleh berbagai komponen lingkungan, kemudian terangkut 2-5 ketempat lain melalui media air, angin, atau oleh jasad hidup (Tarumingkeng, 1992). Kinetika insektisida di lingkungan dan penyebarannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Siklus Insektisida di Lingkungan Sumber: Crawfor & Donigran, 1992 dalam Fadliah, 2006. Dari Gambar 2.1 terlihat setelah aplikasi, residu insektisida akan terdapat pada tanaman, tanah, air permukaan, organisme perairan, dan organisme tanah. Sesuai dengan sifatnya, insektisida akan terdegradasi melalui proses alam. Insektisida yang memasuki suatu kompartemen lingkungan akan cepat terdistribusi ke kompartemen terdekatnya sampai terjadi keseimbangan antar fase/kompartemen. Insektisida yang masuk ke lokasi pertanian, disamping terikat dalam tanah juga akan memasuki perairan melaui irigasi, dan dapat berpindah ke tanah di lokasi lain karena air larian. Insektisida yang terikat dalam tanah dapat mencemari air tanah. Insektisida dalam air dapat terikat pada sedimen dan juga dapat masuk ketubuh organisme perairan. Dalam komponen-komponen lingkungan ini akan terjadi reaksi perubahan insektisida secara kimia atau biokimia. Hasil reaksi ini akan mengurangi atau 2-6 menambah tingkat racun insektisida. Hal ini tergantung pada sifat kimia-fisika insektisida dan komponen lingkungannya. Reaksi kimia yang dialami insektisida di alam di antaranya adalah volatilisasi atau penguapan, adsorpsi, dan proses partisi pada dua kompartemen. 2.3 Insektisida di Tanah Dalam tanah insektisida akan mengalami proses alam. Reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh jenis tanah, kelembaban tanah, pH tanah, temperatur tanah, volatilitas pestisida, mikroorganisme, dan substansi kimia yang terkandung di dalam tanah. Oleh karenanya, laju degradasi satu jenis pestisida tertentu bergantung pada karakteristik fisik tanah, mikroorganisme tanah, dan karakteristik dari pestisida tersebut. Proses alam yang diantaranya fotolisis, volatilisasi, degradasi biologi, dan penyerapan oleh tumbuhan dan zat organik tanah. Fotolisis terjadi jika insektisida di tanah terkena cahaya matahari. Volatilisasi merupakan proses menguapnya insektisida. Kecepatan proses volatilisasi insektisida ini akan bergantung pada tekanan uapnya. Sedangkan degradasi biologi merupakan proses penguraian insektisida oleh mikroorganisme dalam tanah. Insektisida yang berada di permukaan tanah dapat terabsorpsi oleh zat organik tanah dan tumbuhan. Hujan akan melepaskan insektisida ke air tanah. Menurut Connel dan Miller (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan kinetika insektisida di tanah adalah: kemampuan absorpsi insektisida oleh partikel tanah dan zat-zat organik dalam tanah. pencucian (washing-off) oleh air hujan. penguapan oleh cahaya matahari. dekomposisi oleh cahaya matahari (photodecomposition/photodegradation). aktivitas mikroba dalam tanah. aktivitas yang terjadi karena kondisi dan sifat tanah yang katalisator. translokasi oleh komponen biologi, seperti oleh tanaman maupun hewan ke lingkungan lain. 2-7 Tanah merupakan wadah utama dalam pelepasan insektisida ke alam. Insektisida dalam tanah cenderung menumpuk pada permukaan tanah. Menurut Tarumingkeng (1992), hal ini disebabkan lapisan atas tanah memiliki kandungan organik paling banyak sehingga insektisida mudah terserap terabsorpsi dan sukar keluar. Kandungan organik yang tinggi dalam tanah juga akan menghambat terjadinya penguapan insektisida. Residu insektisida dalam tanah menunjukkan jumlah insektisida non mobile dari jumlah insektisida deposit. Proses kimia insektisida dalam tanah dapat dilihat pada Gambar 2.2. . Gambar 2.2 Interaksi dan Jalur Hilangnya Zat Organik (Insektisida) dalam Tanah Sumber : http://www.nap.edu. 2007 Jenis tanah sangat menentukan terjadinya sorpsi. Tanah yang mengandung clay atau bahan organik tinggi, kapasitas adsorpsi pestisida-nya pun tinggi. Pada tanah yang tidak mengandung mineral tinggi (moderately & very light soil), penurunan kelembaban akan mengakibatkan kenaikan tingkat adsorbsi. Namun sebaliknya pada heavy soil, penurunan kelembaban akan menyebabkan penurunan konsentrasi (molekul) pestisida yang telah teradsorpsi. 2-8 pH tanah mengatur tingkat sorpsi dan degradasi. Semakin rendah pH, maka asiditasnya semakin tinggi. Asiditas tanah mampu mengubah pestisida yang bermuatan negatif, menjadi bermuatan nol atau positif. Karena tanah bermuatan negatif, maka pestisida yang bermuatan positif akan teradsorpsi. Namun jika kondisi tanah terlalu asam (di mana konsentrasi H+ tinggi), maka molekul pestisida akan tergantikan oleh ion H+, sehingga tingkat adsorpsinya menurun. Temperatur tanah menentukan terjadi atau tidaknya reaksi. Adsorpsi pestisida (terlarut) oleh tanah, merupakan reaksi eksoterm (melepas energi) akibat adanya reaksi antara ikatan hidrogen, dan ikatan ionik. Dengan meningkatnya temperatur, maka energi pun meningkat (menerima energi), sehingga terjadi desorpsi. Degradasi disebabkan karena keberadaan alga, jamur, actinomycetes, dan bakteri di tanah. Insektisida organik yang terlarut akan langsung didegradasi oleh mikroba tertentu. Sedangkan Insektisida anorganik yang tidak terlarut (cenderung teradsorbsi), laju degradasinya mengikuti kinetika orde pertama (linear). Keberadaan mikroorganisme yang sudah beradaptasi dengan pestisida tertentu, akan mempercepat proses degradasi pestisida tersebut. Hal ini dikenal dengan sebutan enhanced microbial degradation. Adsorbsi dapat menurunkan laju degradasi biologis pestisida, tetapi sekaligus juga meningkatkan degradasi kimia. Pada degradasi ini, salah satu faktor penentu terpenting adalah pH. Sebagai contoh: pada kondisi asam, diazinon (OP) terdegradasi lebih cepat daripada kondisi netral atau basa; namun sebaliknya, laju degradasi carbofuran (karbamat) ternyata lebih lama pada kondisi asam, daripada basa (Getzin, 1968). 2.4 Insektisida Organofosfat Pestisida kelompok organofosfat adalah pestisida yang mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, contohnya Disulfoton, Parathion, Diazinon, Azodrin, Gophacide, dan lain-lain (Sudarmo, 1991). 2-9 Insektisida organofosfat digunakan di bidang pertanian, rumah tangga, perkebunan, dan kedokteran hewan. Pertanian yang menggunakan insektisida organofosfat di antaranya jagung, kapas, gandum, dan padi. Di bidang nonpertanian insektisida organofosfat digunakan dalam mengontrol nyamuk yang mengganggu kesehatan seperti malaria dan demam berdarah. Penggunaan insektisida organofosfat dalam bidang pertanian bertujuan untuk membasmi hama pengganggu, berupa serangga dengan cara merusak sistem saraf serangga. Ada tiga jenis cara insektisida merusak sistem saraf serangga yaitu melalui kontak denga kulit, makanan (saluran pencernaan), dan pernapasan (inhalasi). Golongan insektisida organofosfat (OP) sering juga disebut sebagai phosphorus insecticide, phosphates, phosphorous esters, atau phosphoric acid esters. Secara garis besar, senyawa-senyawa dalam golongan ini merupakan turunan dari asam fosfat, dan dapat dibedakan menjadi: Turunan alifatik (misal: tetraetilpirofosfat, azodrin, diklorovos, mevinfos, dan metamidofos). Turunan fenil (misal: parathion, profenofos, sulprofos). Turunan heterosiklik (misal: diazinon, azinfosmetil, klorpirifos). Gambar 2.3 merupakan struktur kimia umum bagi senyawa organofosfat. R dan R’ adalah rantai alkil, alkithio,atau grup amide. Sedangkan X adalah grup yang labil (mudah terlepas dari rantai ikatan karbon), atau grup yang dapat terdegradasi dengan mudah menjadi senyawa yang labil. Kalkulasi yang dilakukan berdasarkan 50 grup R dan R’ serta 10.000 grup X yang berbeda, menghasilkan ±25.000.000 senyawa toksik phophorus. Gambar 2.3 Struktur Umum Organofosfat 2-10 Rosliana, 2001, menemukan bahwa penurunan konsentrasi klorpirifos pada tanah terjadi akibat adanya adsorpsi dan degradasi oleh bakteri. Beberapa bakteri aerob genus Bacillus dapat melakukan bioremediasi terhadap tanah yang tercemar klorpirifos, dengan mengurai dan memanfaatkan sebagai sumber energi/nutrien bagi pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Penelitian Sandi (2004) menemukan bahwa dalam lahan pertanian di daerah lembang yang telah tercemar insektisida organofosfat ditemukan bakteri-bakteri bergenus Bacillus yang dapat mendegradasi senyawa organofosfat. Struktur senyawa organofosfat dibedakan atas strukturnya seperti tampak pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Struktur Umum Beberapa Organofosfat Tipe Organofosfat Struktur Contoh (1) (2) (3) Phosphate Phosphonate Dichlorvos Chlorfenvinphos Trichlorfon Bromphos Phosphorothioate Chlorpyrifos Diazinon Parathion Phosphorothiolate Omethoate Profenofos Dimethoate Phosphorodithioate Disulfoton Malathion Thiometon Phosphorothioamidate Isofenphos Propethamphos Sumber: US. Environmental Protection Agency, 1999 2-11 2.4.1 Degradasi Insektisida Organofosfat Residu merupakan bahan kimia insektisida yang terdapat di atas (teradsorpsi) atau di dalam (terabsorpsi) suatu benda dan mengalami proses penuaan (aging), perubahan (alterating), atau keduanya. Istilah lain yang hampir sama dengan residu tetapi sebenarnya memiliki arti berbeda adalah deposit. Deposit merupakan bahan kimia insektisida yang terdapat di atas permukaan (teradsorpsi) suatu bahan pada saat segera setelah penggunaan insektisida (Tarumingkeng, 1992).Residu insektisida dalam komponen lingkungan bisa hilang atau terurai, dalam jumlah sedikit (ppm) residu insektisida bisa hilang sama sekali. Degradasi insektisida merupakan penurunan konsentrasi insektisida di alam, karena sebagian atau seluruh senyawa insektisida tersebut mengalami perubahan struktur kimia dari bentuk asal menjadi metabolitnya. Degradasi terjadi melalui beberapa proses, yaitu: 1. Hidrolisis terjadi jika insektisida bereaksi dengan air (H2O) membentuk senyawa metabolitnya. 2. Fotodegradasi merupakan perubahan komposisi senyawa insektisida karena terkena cahaya matahari. 3. Biodegradasi merupakan penguraian senyawa insektisida di alam karena proses biologi. Biodegradasi terjadi karena ada aktivitas mikroorganisme. 4. Volatilisasi merupakan proses penguapan insektisida dari fase padat atau cair ke fasa gas. Kemampuan volatilisasi insektisida tergantung pada titik didihnya. Ada empat faktor dasar yang penting dalam mempercepat proses degradasi insektisida, khususnya di pertanian daerah tropis. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Hujan Hujan akan membasuh insektisida dari permukaan daerah aplikasi, sebagian besar dari daun dan batang. Kemudian insektisida jatuh ke tanah, dari tanah bisa berpindah lagi melalui erosi, dibawa air hujan, lepas kebawah tanah, atau mengalami evaporasi. 2-12 2. Cahaya Matahari Cahaya matahari lebih kuat di daerah tropis, hal ini mengakibatkan degradasi fotolitik yang lebih besar. 3. Temperatur dan Mikroorganisme Iklim panas, aktivitas mikrooganisme dan kecepatan penguapan yang tinggi menyebabkan penghancuran insektisida yang lebih cepat. Jika suatu senyawa kimia mulai terdegradasi akan ada sejumlah zat yang hilang seiring pertambahan waktu. Kemudian disusul dengan pembentukan senyawa baru yang strukturnya lebih sederhana. Apabila ditinjau dari toksisitasnya, senyawa baru ini bisa kurang toksik daripada senyawa asal atau bahkan bisa lebih toksik dari senyawa asal. Penurunan konsentrasi merupakan fungsi dari waktu, sehingga sering bertambahnya waktu maka akan terjadi penurunan konsentrasi. Jika suatu senyawa kimia mulai terdegradasi akan ada sejumlah zat yang hilang seiring pertambahan waktu. Kemudian disusul dengan pembentukan senyawa baru yang strukturnya lebih sederhana. Apabila ditinjau dari toksisitasnya, senyawa baru ini bisa kurang toksik daripada senyawa asal atau bahkan bisa lebih toksik dari senyawa asal. Penurunan konsentrasi merupakan fungsi dari waktu, sehingga sering bertambahnya waktu maka akan terjadi penurunan konsentrasi. Reaksi penurunan residu insektisida di alam terjadi dalam dua tahap, pertama tahap disipasi (dissipation phase) dan kedua tahap persistensi persistence phase). Penurunan residu insektisida pada tahap disipasi biasanya berlangsung cepat sampai pada waktu tertentu. Kemudian, residu insektisida akan memasuki tahap persistensi, yang mana penurunan residu insektisida berlangsung dalam waktu yang relatif lama (Tarumingkeng, 1992). 2.4.1.1 Profenofos Profenofos adalah insektisida golongan organofosfat yang terdiri dari gugus thiophosphate). Sifat kimia fisika profenofos menurut standar internasional dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut. 2-13 Tabel 2.2 Karakteristik Fisik-Kimia Profenofos Parameter Kondisi dan Nilai Rumus bangun Nama IUPAC O-(4-bromo-2-chlorophenyl)-O-ethyl-S-propyl phosphorothioate Nama dagang Curacron; Polycron; Selecron Rumus molekul C11H15O3PSBrCl Berat molekul 373.65 g/mole Fasa Cairan berminyak kekuning-kuningan. Setelah emulsifikasi menjadi fasa liquid homogen. Teremulsi jika bercampur dengan air dan terdekompos jika bercampur dengan alkali Titik didih 1100C Densitas 1.46 g/cm3at 20oC Kelarutan pada air 20 ppm (25o C) Koefisien partisi Log Kow> 2 (25o C) Oktanol-Air KOC= 2016 Koefisien adsorpsi tanah Waktu paruh degradsi pada tanah 9 hari Stabilitas Stabil pada kondisi netral dan kondisi sedikit asam. Dan tidak stabil pada kondisi basa Sumber: US. Environmental Protection Agency, 1999 Dalam penggunaannya profenofos secara biokimia dapat menghambat kerja enzim cholinesterase. Isomernya mampu menghambat kerja enzim acetylcholinesterase. Dimana Insektisida dan akasarida non-sistemik yang bekerja ketika terjadi kontak dengan kulit, termakan (masuk ke lambung), dan inhalasi (ke 2-14 sistem pernapasan). Dan kegunaan profenofos adalah untuk mengontrol serangga (terutama Lepidopetera) dan tungau pada tanaman kapasa, tebu, kacang hijau, kentang, tembakau, sayur-mayur,dan tanaman-tanaman lainnya. Toksisitas profenofos terhadap mamalia secara oral berefek akut terhadap tikus dengan LD50 = 358 mg/kg; dan terhadap kelinci dengan LD50 = 700 mg/kg. Melalui sistem pernapasan (inhalasi) berefek akut terhadap tikus dengan LC50 (4jam) = 3mg/L udara; teratogenik terhadap tikus dengan konsentrasi paparan 0,3 mg/kg.hari. Jika kontak pada kulit dan mata: Berefek akut terhadap tikus dengan LD50 = 3300 mg/kg; dan terhadap kelinci dengan LD50 = 472 mg/kg. Terhadap Tanaman: Toksik terhadap tanaman ketimun, dan dapat menimbulkan sedikit bercak-bercak merah pada tanaman kapas. Ekotoksisitas berefek akut terhadap burung puyuh dengan LC50 (8 hari) = 70-200ppm; terhadap ikan (jenis rainbow trout) dengan LC50 (96 jam) =0,08 mg/l dan 0,09 mg/l untuk ikan gurame. Toksik terhadap lebah dengan LD50=0,095 ng/lebah, dan sangat toksik terhadap crustaceae. Profenofos merupakan insektisida yang bersifat mudah terdegradasi. Profenofos dalam tanah akan hilang pada kondisi netral sampai basa dengan waktu paruh beberapa hari. Degradasi klorpirifos dalam tanah akan menghasilkan produk 4bromo-2-chlorophenol dan chlorophenol persisten bersifat O-ethyl-S-propylphosphorthioate. di tanah sedangkan 4-bromo-2 O-ethyl-S-propyl phosphorthioate belum diketahui tingkat persistensinya (US EPA, 1998). Hidrolisis adalah jalur utama menghilangnya profenofos di alam. Fotolisis bukanlah proses utama dalam degradasi profenofos. Proses biotik, metabolisme secara aerobik ataupun anaerobik, menjadi jalur utama menghilangnya profenofos setelah hidrolisis terjadi di tahap awal (US EPA,1998). Secara rinci, proses degradasi profenofos terjadi karena reaksi-reaksi hidrolisis, fotolisis, dan aktivitas mikroorganisme. 2-15 a. Hidrolisis Hidrolisis merupakan jalur utama degradasi profenofos. Dalam studi yang dilakukan EPA tahun 1999, hidrolisis profenofos memiliki waktu paruh 104108 hari pada pH 5, 24-62 hari pada pH 7, dan 7-8 hari pada pH 9. Produk utama degradasi profenofos adalah 4-bromo-2-chlorophenol dan Oethyl- Spropyl phosphorthioate. Degradasi ini terjadi dalam keadaan tanpa penyinaran dan temperatur 250C. Pada pH 5, konsentrasi profenofos menurun dari 95% menjadi 77% setelah 30 hari, konsentrasi 4-bromo-2-chlorophenol meningkat sampai 5% setelah 30 hari. Pada pH 7 konsentrasi profenofos menurun dari 96% menjadi 67% setelah 30 hari, 4-bromo-2-chlorophenol meningkat sampai 23% setelah 30 hari. Pada pH 9, konsentrasi profenofos tersisa 10% setelah 24 jam aplikasi, 4-bromo-2-chlorophenol meningkat dengan cepat mencapai 80% setelah 24 jam aplikasi. b. Fotolisis Seperti telah dijelaskan sebelumnya, fotolisis bukan jalur utama degradasi profenofos. Dalam studi yang dilakukan EPA (2000), sampel larutan profenofos dengan pH 5 disimpan dalam keadaan diberi cahaya. Larutan terdegradasi dengan waktu paruh 51 hari. Larutan yang sama, tetapi dalam keadaan tidak disinari memiliki waktu paruh 60 hari. Kecepatan degradasi antara diberi cahaya dengan tidak diberi cahaya tidak menunjukkan perbedaan berarti. Profenofos terdegradasi dari 92% menjadi 60% dalam keadaan tersinari, dan dari 92% menjadi 63% dalam keadaan gelap. c. Aktivitas mikroorganisme Dalam studi yang sama, profenofos yang diaplikasikan sebesar 10.9 ppm, pada tanah lanau berpasir dengan pH 7.8, terdegradasi dengan waktu paruh 1.9 hari. Produk utama degradasinya adalah: (1) 4-bromo-2- chlorophenol, konsentrasi hari pertama adalah 11% kemudian meningkat menjadi 79% pada hari ke 120. Pada hari ke-270-360 konsentrasinya menurun menjadi 32%; (2) BCPEE [4bromo-2-chlorophenol ethyl ether], pada hari kelima konsentrasinya meningkat dari 2% menjadi 13% pada hari ke 90 dan 42% pada hari ke 270-360; dan (3) THPME [2-thioethylenecarboxy-4 hydroxyphenyl methyl ether], pada hari ke 180-270 mencapai konsentrasi maksimum sebesar 10%. (US EPA, 1998) 2-16 Tabel 2.3 Parameter dan Nilai Degradasi profenofos Parameter degradasi Nilai Hidrolisis: pH 5 t1/2 = 104-108 hari pH 7 t1/2 = 24-62 hari pH 9 t1/2 = 0.33 hari Fotolisis: di air stabil di tanah stabil Aktivitas Mikroorganisme di tanah: aerobik t1/2 = 104-108 hari; pada pH 7.8 anaerobik t1/2 = 3 hari; pada pH 7.8 Aktivitas mikroorganisme t1/2 = 3 hari; pada pH 7.3 anaerobik di air Sumber: US EPA, 1998 Mobilitas dari senyawa profenofos cukup tinggi dengan nilai konstanta Freundlich (Kads) = 4,6 untuk pasir; 7,5 untuk tanah lempung berpasir; 17,0 untuk tanah lempung; dan 89,3 untuk tanah liat pekat. Sedangkan nilai konstanta desorbsi bervariasi mulai dari 6,2 untuk pasir; 128,1 untuk tanah liat pekat. Tingkat adsorbsi umumnya meningkat dengan peningkatan kandungan materi organik, dan kandungan tanah liat di tanah. Laju volatilitas rata-rata profenofos (pengamatan laboratorium selama 30 hari) mencapai 6,13 x 10-3 μg/cm2/jam, dengan tekanan uap rata- rata =3,46 x 10-6 mm Hg. Senyawa turunan 4-bromo-2-klorofenol adalah residu yang paling volatil dari metabolit-metabolit lainnya. 2.4.1.2 Klorpirifos Klorpirifos adalah insektisida golongan organofosfat yang bersifat non sistemik (WHO,2002) yang bekerja ketika terjadi kontak dengan kulit, termakan (masuk ke lambung), dan terhirup (masuk ke sistem pernafasan). Penerapan klorpirifos pada bibit dan tumbuhan dilakukan dengan penyemprotan langsung atau tidak 2-17 langsung. Penggunaan utama klorpirifos adalah mengontrol lalat, nyamuk (dalam bentuk larva dan dewasa), berbagai jenis hama pertanian, hama rumah tangga (Blattellidae,Muscidae,Isoptera), dan larva dalam air (WHO,2002). Dalam mengontrol hama pertanian, klorpirifos adalah Coleoptera, Diptera, Homoptera dan Lepidoptera. Penerapan klorpirifos pada tanah dilakukan sebelum tanah digunakan untuk pra penanaman ataupun saat penanaman. Penggunaan klorpirifos dapat menghambat kerja enzim cholinesterase. Merupakan insektisida non-sistemik yang bekerja ketika terjadi kontak dengan kulit, termakan (masuk ke lambung), dan terhirup (masuk ke sistem pernafasan). Klorpirifos dapat diterapkan langsung ke tanah, maupun ke berbagai jenis tanaman seperti tanaman jeruk, strawberi, pisang, sayur-mayur, kentang, tembakau, bunga matahari, kacang, padi, jagung, tomat, kelapa, kapas, asparagus, jamur, dan vegetasi hutan. Penerapan dimaksudkan untuk mengendalikan Coleoptera, Diptera, Homoptera, dan Lepidoptera, serta mengontrol keberadaan hama seperti nyamuk (larva dan dewasa), Blattellidae, Muscidae, dan Isoptera. 2-18 Tabel 2.4 Karakteristik Fisik-Kimia Klorpirifos Parameter Kondisi dan Nilai Rumus bangun Nama IUPAC o,o-diethyl-o-(3-5-6-trichloro-2 pyridinyl)phosphorothioate Dursban, Lorsban, Dowcow, Nama dagang Eradex, Piridane Rumus molekul C9H11Cl3NO3PS Berat molekul 350,6 Fasa Kristal tak berwarna dengan bau belerang Titik leleh 42 – 43,2oC Tekanan uap 2,03 x 10-5mm Hg (25oC) Titik didih >3000C 1.51 g/mL pada 21°C Densitas 1.44 g/mL pada 25°C Kelarutan pada air 1,4 mg/L (25°C) Kelarutan pada pelarut lain: a. benzene b. aseton a.900 mg/L (25°C) c. toluene b.6300 mg/L (25°C) d. n-Hexane c.> 400 g/L (20°C) e. acetonitrile d.> 400 g/L (20° C) f. dikloro ethana e.680 g/100 g (23°C) g. kloroform f.> 400 g/L (20°C) g.6300 mg/L (25°C) Koefisien partisi Oktanol-Air Log Kow = 4,7 (20oC) Log Kow= 4,76 (25oC) Koefisien adsorpsi tanah Koc = 9930 Waktu paruh degradsi pada tanah 22 hari Stabilitas Laju hidrolisis meningkat dengan pertambahan pH dan juga dengan kehadiran logam tembaga Sumber: The Pesticide Manual, 2002; FAO, 2004 dan www.inchem.org/documents/jmpr. 2-19 Toksisitas klorpirifos terhadap mamalia secara oral (termakan) akan berefek akut terhadap tikus dengan LD50 = 135-163 mg/kg, terhadap guinea pigs dengan LD50 = 504 mg/kg dan terhadap kelinci dengan LD50 = 1000 – 2000 mg/kg. Kontak pada kulit dan mata akan berefek akut terhadap tikus dengan LD50 > 2000 mg/kg dan terhadap kelinci dengan LD50 = 2000 mg/kg. Jika terinhalasi akan berefek akut terhadap tikus dengan LC50 (4 – 6 jam) > 0,2 mg/L teratogenik terhadap tikus dengan konsentrasi paparan 0,03 mg/kg.hari dan terhadap anjing 0,01 mg/kg.hari. Terhadap mamalia yang lain, insektisida ini tidak diketahui memiliki efek teratogenik. Proses utama dalam degradasi klorpirifos adalah metabolisme aerobik dan anaerobik. Hidrolisis, fotolisis, dan volatilisasi tidak terlihat menjadi proses utama dalam degradasi klorpirifos (US EPA-Fate and Environmental Risk Assessment Chlorpyrifos, 2000). Hasil utama degradasi klorpirifos adalah 3,5,6-trichloro 2pyridinol (TCP), yang lebih lanjut akan terurai menjadi senyawa asam organic dan karbon dioksida (FAO/WHO, 2000). Klorpirifos terserap (terabsorpsi) secara kuat kedalam tanah dan tidak bisa langsung terlepas. Karena sifat alami klorpirifos yang non polar, klorpirifos memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan di alam memiliki kecendrungan untuk membagi fasa dari fasa aqueous menjadi fasa organik (WHO, 2004). Secara khusus, proses degradasi klorpirifos di alam terjadi melalui reaksi hidrolisis, fotolisis, dan aktivitas mikroorganisme. Penjelasan proses tersebut adalah sebagai berikut: a. Hidrolisis klorpirifos dalam larutan pada kondisi netral, asam dan basa memiliki waktu paruh masing-masing sekitar 72, 73, dan 16 hari. Produk utama degradasi klorpirifos adalah TCP dan O-ethyl O-(3,5,6-trichloro-2pyridinol) phosphorothioate, dengan persentase masing-masing lebih dari 48 dan 13% dari total aplikasi. TCP dan O-ethyl O-(3,5,6-trichloro-2-pyridinol) phosphorothioate bersifat resisen terhadap proses hidrolisis. b. Fotodegradasi tidak menjadi proses utama degradsi klorpirifos di tanah, karena waktu paruh dengan cahaya matahari sama dengan waktu paruh tanpa cahaya matahari. Produk utama degradasi klorpirifos di tanah adalah TCP. 2-20 Fotodegradasi TCP di tanah berlangsung cepat, 50% TCP terdegradasi dalam 8 jam setelah aplikasi. c. Klorpirifos didegradasi oleh mikroorganisme aerobik dalam tanah lanau berpasir dengan waktu paruh 180 hari. Produk utama degradsinya adalah TCP. Setelah 365 hari TCP mencapai konsentrasi maksimum sebesar 32% dari total aplikasi. (US EPA, 1999). Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat dibuat tabel ringkasan parameter dan nilai degradasi profenofos di alam. Tabel 2.5 Parameter dan Nilai Degradasi Klorpirifos Parameter degradasi Nilai Hidrolisis: pH 5 t1/2 = 73 hari pH 7 t1/2 = 72 hari pH 9 t1/2 =16 hari Fotolisis: di air stabil di tanah stabil Aktivitas Mikroorganisme di tanah: aerobik t1/2 anaerobik = 11-180 hari t1/2 = 39-51 hari Aktivitas mikroorganisme aerobik di air Tidak ada data Sumber: US EPA, 1999 Dari konstanta Freundlich yang diperoleh, senyawa klorpirifos teradsorbsi dengan sangat baik di tanah, tidak mudah tedesorbsi. Menurut Racke (1993), biodegradasi klorpirifos dalam tanah sangat bergantung pada jenis tanah dan faktor lingkungan. Yang dimaksud faktor lingkungan di sini adalah kelembaban, 2-21 pH, kandungan senyawa organik, dan formula insektisidanya. Klorpirifos sendiri bersifat immobile di dalam tanah, tetap hasil degradasinya yang berupa TCP dapat terlindikan, terutama jenis alkalin (Racke, 1993). Jalur urutan degradasi klorpirifos mencapai produk turunannya dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Pathway Degradasi Klorpirifos Sumber : http://www.dowargo.com/chlorp/ap/science/meta.htm 2.4.1.3 Diazinon Diazinon merupakan jenis insektisida organofosfat yang digunakan untuk pertanian dan non pertanian (rumah dan taman). Diazinon adalah insektisida nonsistemik yang diaplikasikan pada buah-buahan, tanaman hortikultura, kentang, padi, tebu, tembakau dan lain-lain. Tabel 2.6 merupakan sifat fisik dan kimia diazinon. 2-22 Tabel 2.6 Karakteristik Fisik-Kimia Diazinon Parameter Kondisi dan Nilai Rumus bangun Nama IUPAC [O,O-diethyl-O-(2-isopropyl-6-methyl-4pyrimidinyl)phosphorothioate] Nama Dagang Diazinon , Spectracide,Basudin Rumus molekul C12H21N2O3PS Berat Molekul 304,36 Fasa Tak bewarna Titik didih 83-84o C Tekanan Uap 8.25 x 10-5 mm Hg (25oC) Konstanta Henry, KH 1.09E-7 atm m3/mol (25°C) Kelarutan dalam air 40 mg/L (25°C) Kow 3.81 Koc 2.28 Stabilitas Hidrolisis meningkat pada pH>6 Sumber: US. Environmental Protection Agency, 2000 Diazinon merupakan senyawa organofosfat yang relatif tidak persisten di dalam tanah. Diazinon yang diaplikasikan akan hilang dari tanah melalui degradasi secara kimiawi dan biologi. Sekitar 46 % dari diazinon yang ditambahkan ke tanah akan hilang dalam 2 minggu. Jika diazinon dilepaskan ke dalam tanah, tidak akan terikat secara kuat dengan tanah dan diharapkan akan menunjukkan mobilitas yang cukup (sedang). Hidrolisis menjadi lebih lambat pada pH > 6, tetapi cukup signifikan di tanah. Produk utama dari hidrolisis adalah 2-isopropyl-4-methyl-6-hydroxypyrimidine. Namun, jika tidak cukup air pada kondisi asam, tetraetil dithio- and thiopirofosfat diproduksi, keduanya lebih toksik dari diazinon. Biodegradasi diharapkan menjadi 2-23 proses utama menghilangnya diazinon dengan waktu paruh < 1,2 dan 5 minggu pada tanah yang tidak steril sedangkan pada tanah yang steril waktu paruh adalah 6, 6,5, dan 12,5 minggu. Secara keseluruhan, persistensi di dalam tanah dalam rentang waktu 3-14 minggu. Fotolisis cukup signifikan pada permukaan tanah, tetapi evaporasi dari permukaan tanah bukan merupakan transport yang signifikan. 2.4.2 Efek Insektisida Organofosfat terhadap organisme Insektisida organofosfat pertama kali ditemukan oleh Lange dan Kreuger (1932). Insektisida organofosfat bersifat neurotoksik, atau disebut juga racun saraf. Neurotoksik terjadi karena terhambatnya kerja enzim asetilkolinesterase (AChE). Enzim yang berperan dalam penerusan rangsangan syaraf. AChE berperan sebagai katalis yang dapat mengikat asetilkolin dan menguraikannya menjadi asetil dan kolin. Asetilkolin berfungsi mengantar impuls saraf dari sel saraf ke sel otot atau ke sel saraf lain. Setelah impuls sampai maka asetilkolin harus diuraikan menjadi asetil dan kolin. Penguraian asetilkolin bertujuan untuk menghentikan pengiriman rangsangan dalam saraf. Peracunan dapat terjadi karena gangguan dalam fungsi susunan syaraf yang akan menyebabkan kematian atau dapat pulih kembali. Umur residu dari organofosfat ini tidak berlangsung lama sehingga peracunan kronis terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi karena faktor-faktor lingkungan mudah menguraikan senyawa-senyawa organofosfat menjadi komponen yang tidak beracun. Walaupun demikian senyawa ini merupakan racun akut sehingga dalam penggunaannya faktor-faktor keamanan sangat perlu diperhatikan. Karena bahaya yang ditimbulkannya dalam lingkungan hidup tidak berlangsung lama, sebagian besar insektisida dan sebagian fungisida yang digunakan saat ini adalah dari golongan organofosfat dan karbamat. Dalam bidang pertanian, insektisida organofosfat digunakan untuk membunuh hama pengganggu, berupa serangga, dengan cara merusak sistem saraf serangga. Ada tiga jenis cara racun insektisida organofosfat merusak sistem saraf serangga, 2-24 pertama racun kontak, kedua racun perut, dan terakhir racun pernapasan. Racun kontak terjadi apabila insektisida organofosfat mengenai kulit atau permukaan tubuh serangga kemudian diserap oleh tubuh serangga lalu menyerang sistem saraf, sedangkan racun perut terjadi apabila insektisida organofosfat merusak sistem saraf target setelah masuk ke dalam sistem pencernaan. Racun perut ini sangat efektif untuk mengontrol jenis serangga mengunyah dan menghisap. Dan terakhir racun pernapasan, bekerja dengan cara masuk melalui pernapasan atau terhisap kedalam sistem pernapasan serangga. Penggunaan insektisida organofosfat dapat menyebabkan kontaminasi pada air dan merusak tanaman dan binatang yang bukan merupakan target penerapan insektisida. 2.5 Organisme Dalam Tanah Organisme dalam suatu lingkungan bertautan erat sekali dengan sekelilingnya, sehingga mereka membentuk bagian dari lingkungan sendiri. Tumbuhan dan hewan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti iklim dan substrat. Pengaruh lingkungan terhadap komunitas hidup yang menunjang adalah hasil aksi yang saling terkait. Interaksi suatu organisme dan lingkungan menentukan ukuran populasi dan penyebarannya. Kehidupan dalam tanah terdiri atas bentuk-bentuk makro seperti akar tanaman, keong, cacing, nematoda, hewan penggali dan arthropoda, serta bentuk-bentuk renik seperti protozoa, bakteri, aktinomisetes, jamur dan ganggang. Ukuran makhluk yang sangat kecil memungkinkan bagi sejumlah basar makhluk itu menghuni ruang-ruang yang sangat kecil. 2.5.1 Mikroorganisme Dalam Tanah Keanekaragaman hayati dalam tanah dapat dilihat dari organisme yang hidup dalam tanah tersebut. organisme-organisme ini berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan membentuk suatu interaksi. golongan-golongan utama (besar) yang menyusun populasi mikrobiologis tanah yaitu bakteri(autotrof, heterotrof), aktinomisetes, fungi, protozoa, nematoda dan cacing tanah. Organisme ini meningkatkan pemasukan dan penyimpanan dari air, pencegahan erosi, 2-25 kandungan nutrisi dalam tanah dan kemampuan untuk medegradasi bahan organik. Tabel 2.7 Jumlah Maksimum Biomass Organisme Di Tanah Yang Sangat Subur Jenis organisme Bacteria kelimpahan Biomass (no/m2) (g/m2) 3 x 1014 300 Fungi 400 Protozoa 5 x 108 38 Nematodes 107 12 105 132 Mites 2 x 105 3 Springtails 5 x 104 5 Earthworms and related forms Other (snails, invertebrates millipedes, 2 x 103 36 etc) Sumber: B.N. Richards (1974) Keanekaragaman organisme dalam tanah mencerminkan simbiosis organisme hidup didalamnya. Organisme ini saling berhubungan dengan satu sama lain dan dengan membentuk suatu hubungan aktivitas biologi. Tanah merupakan bagian biologis paling kompleks di bumi. kumbang, springtails, cacing, laba-laba, semut, nematodes, jamur, bakteri, dan organisme lainnya ini meningkatkan masukan air, menjaga erosi, nutrisi, dan mendegradasi senyawa organik. Dari variasi yang sangat kompleks tersebut menyebabkan kesetimbangan dari rantai makanan. 2.5.1.1 Peran Bakteri Pada Ekosistem Tanah Bakteri tanah dapat menguntungkan bila kehadirannya berperan dalam siklus mineral, fiksasi nitrogen, perombakan residu pestisida, proses menyuburkan tanah, perombakan limbah berbahaya, biodegradasi, bioremidasi, mineralisasi, dekomposisi, dan lain-lain. Tanah dikatakan subur bila mempunyai kandungan 2-26 dan keragaman biologi yang tinggi. Bakteri tanah dapat juga merugikan bila kehadirannya berperan dalam proses denitrifikasi, dan sebagai jasad penyebab penyakit. Peranan bakteri, khususnya bakteri yang hidup bersimbiosis dan yang hidup non simbiosis dalam tanah berperan dalam memfiksasi atau menambatkan nitrogen dari udara. Bakteri dan fungi berperan pula dalam siklus mineral atau daur mineral seperti S, C, dan P. Kehadiran bakteri tersebut di dalam tanah, khususnya tanah pertanian dan pertambangan mempunyai nilai ekonomi baik dalam menyuburkan tanah, penyediaan mineral yang dibutuhkan oleh tanaman maupun dalam pengelolaan endapan mineral. Juga berperan dalam pembentukan agregat tanah dan dapat menentukan kesehatan tanah (suppressive / conducive terhadap munculnya penyakit terutama penyakit tular tanah-soil borne pathogen). Bakteri yang hidup dalam tanah memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal ini berkaitan dengan kemampuannya mengikat nitrogen dari udara dan mengubah amonium menjadi nitrat. Termasuk dalam golongan ini bakteri berbentuk basil yang mampu membentuk spora. Selain bakteri yang berbentuk batang, terdapat pula bakteri berbentuk kokus, dan vibrio. Beberapa contoh bakteri tersebut adalah : • Clostridium pasteurianum adalah bakteri yang memfiksasi nitrogen dalam keadaan anaerob. • Azotobacter chroococcum adalah bakteri yang dapat mengikat nitrogen dalam keadaan aerob. • Nitrobacter yaitu bakteri yang dapat mengubah amonium menjadi nitrat. • Radicicolas yaitu bakteri yang hidup bersimbiosis dengan Leguminosae. • Bacillus, dapat mengikat nitrogen, membentuk spora, rentang pH 2 – 8 dengan rentang temperatur -50C – 750C, meliputi 7 – 67%. • Pseudomonas, terdiri dari 3 – 15%, beberapa spesiesnya bersifat patogen. Di antara organisme tanah yang mengadakan persaingan, bakteri autotrof dianggap merupakan organisme yang paling menonjol. Bakteri fotosintetik 2-27 memiliki kemampuan menggunakan amonia yang terbawa air hujan, hidrogen, dan metana sebagai sumber energinya. Sejumlah simbiosis tertentu dimungkinkan bakteri pembentuk nitrat menggunakan nitrit yang dihasilkan oleh bakteri pengoksidasi amonia. Masalah utama yang timbul adalah adanya dampak negatif atas kehadiran senyawa rekalsitran di lingkungan, yang sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Hal ini terjadi karena mikroorganisme dalam biosfir tidak pernah berhubungan dengan senyawa-senyawa tersebut pada sejarah evolusi sebelumnya. Selama revolusi kehidupannya mikroorganisme belum berpengalaman dalam menguraikan senyawa yang belum dikenal sebelumnya, karena tidak memiliki enzim yang diperlukan untuk mendegradasi senyawa rekalsitran atau bahan pencemar lainnya. Hanya dengan proses diagenesis, yaitu proses perubahan kimiawi, biokimia, dan fisika, lambat laun mikroorganisme tersebut dapat beradaptasi, kemudian akhirnya mampu melakukan degradasi. Dalam proses adaptasi tersebut terjadi sintesis enzim dan plasmid yang dibutuhkan unutk mendegradasi senyawa rekalsitran (Sa’id dan Haris, 1992). Hal ini didukung oleh kemajuan bidang genetika modern, biologi molekuler, dan biologi seluler, sehingga sudah banyak terlihat mikroorganisme alamiah yang mampu mendegradasi polutan rekalsitran. Hal ini diduga karena mikroorganisme di alam memiliki plasmid, yaitu organela dalam sel yang dapat berfungsi sebagai penyandi berbagai enzim pengurai insektisida. Hanya saja jumlahnya sangat rendah (kurang dari 100 / 106 – 102 sel per gram tanah) sehingga tidak mencukupi fungsinya untuk memperbaiki media yang tercemar. Sehingga peranan bakteri dalam tanah adalah sebagai berikut: a. Siklus energi - Sumber energi utama adalah matahari yang diubah oleh tanaman melalui proses fotosintesis menjadi bahan organik - Beberapa mikroorganisme mampu melakukan fotosinthesis (menangkap energi matahari: algae) 2-28 - Sumber energi yang lain adalah hasil oksidasi-reduksi mineral anorganik: S dan Fe - - Energi dalam bahan organik dimanfaatkan oleh organisme/mikroorganisme - Organisme dekomposer: milipede dll. - Mikroorganisme dekomposer: jamur dan bakteri Mikroorganisme yang tumbuh di rhizosfer memanfaatkan energi dalam eksudat akar: bakteri Azotobacter b. Siklus hara Mikroorganisme mempunyai peran yang sangat penting dalam siklus hara karena: 1. Ukurannya yang kecil sehingga mempunyai rasio permukaan:volume yang sangat besar ⇒ memungkinkan pertukaran material (hara) dari sel ke lingkungannya dengan sangat cepat 2. Reproduksi yang sangat cepat (dalam hitungan menit) 3. Distribusi keberadaan yang sangat luas Macam-macam siklus hara penting 1. Siklus Nitrogen - Pool N terbesar di udara sebagai gas N2 - N menjadi tersedia melalui proses fiksasi (kimia maupun mikrobiologis) (nitrogen fixer: rhizobium dll) - N organik (dalam jaringan mahluk hidup - bentuk protein, asam amino dan asam nukleat) menjadi N anorganik melalui proses mineralisasi NH4+ (ammonium) == MO dekomposer - NH4+ mengalami Nitrifikasi oleh Nitrosomonas, Nitrosococcus dan Nitrosovibrio - NO2- menjadi NO3- oleh Nitrobacter dan Nitrococcus - NO3- mengalami Denitrifikasi menjadi NO2- oleh Pseudomonas, Bacillus dan Alcaligenes - N anorganik dapat diasimilasi oleh mikroorganisme = Imobilisasi. 2-29 2. - Siklus Sulfur Oksidasi sulfur menjadi sulfat oleh Thiobacillus, Arthrobacter dan Bacillus 2H2S + O2 → 2S + 2H2O 2S + 2H2O + 3O2 → 2SO42- + 4H+ S2O32- + H2O + 2O2 → 2SO42- + 2H+ - Reduksi Sulfat menjadi sulfida (S2-) oleh Desulphovibrio desulphuricans 2SO42- + 4H2 → S2- + 4H2O 3. - Siklus fosfor Fosfor di alam dalam bentuk terikat sebagai Ca-fosfat, Fe- atau Al-fosfat, fitat atau protein - Mikroorganisme (Bacillus, Pseudomonas, Xanthomonas, Aerobacter aerogenes) dapat melarutkan P menjadi tersedia bagi tanaman c. Pembentukan agregat tanah - Organisme tanah menghasilkan polimer organik (misal humic dan fulvic acids) yang mengikat partikel lempung menjadi mikro agregat - Pembentukan mikroagregat menjadi makro agregat dimediasi oleh bahan organik dan berbagai jenis mikro dan makroorganisme (bakteri, jamurterutama jamur VAM, algae, cacing, semut, serangga dsb.). 2.5.1.2 Morfologi Bakteri Bakteri adalah suatu kelompok mikroorganisme prokariotik bersel tunggal yang berukuran relatif kecil, tidak memiliki selaput inti, dan bersifat kosmopolit. Bakteri terlihat dalam bentuk penataan yang sederhana. Reproduksi khas dengan pembelahan biner. Motilitas umumnya dengan flagela. Beberapa spesies menghasilkan endospora. Pada umumnya memiliki dinding sel yang kaku karena terdiri dari peptidoglikan. Beberapa spesies mampu melakukan proses fotosintesis, yaitu bakterioklorofil (Pelczar dan Chan, 1986). 2-30 Gambar 2.5 Morfologi Sel Bakteri Sumber: Pustekkom, 2005 2.5.1.2.1 Ukuran Satuan ukuran bakteri ialah mikrometer, yang setara dengan 1/1000 mm atau 10-3 mm. Bakteri yang berbentuk bola (kokus) mempunyai diameter yang berkisar 0,75 – 1,25 µm. Basillus atau bentuk batang mempunyai lebar 0,5 – 1 µm dan panjang 2 – 3 µm. Sel beberapa spesies bakteri amat panjang; panjangnya dapat melebihi 100 µm dan diameternya berkisar 0,1 – 0,2 µm. Sekelompok bakteri yang dikenal sebagai mikoplasma, ukurannya khas amat kecil – demikian kecilnya sehingga hampir-hampir tak tampak di bawah mikroskop cahaya (Pelczar dan Chan, 1986). 2.5.1.2.2 Bentuk Bakteri Menurut bentuknya (Gupte, 1990), bakteri dibagi dalam : Kokus (berasal dari kata kokkos yang artinya arbei) Kokus bergerombol – stafilokokus Kokus berantai – streptokokus Kokus berpasangan – diplokokus Kokus berkelompok empat-empat – tetrada Kokus berkelompok delapan-delapan – sarsina Berbentuk silinder atau batang yang disebut basil (berasal dari kata baculus yang berarti batang). Jenis-jenis bakteri berbentuk batang : 1. Pada beberapa kuman, lebarnya dan panjangnya hampir sama, disebut kokobasil, misalnya Brucella. 2. Tersusun seperti huruf Cina, misalnya pada Corynebacterium. 2-31 3. Vibrio : berbentuk seperti koma, batang bengkok, dan berasal dari nama gerakannya yang bervibrasi (bergetar). 4. Spiroketa : (dari kata sferia yang berarti ulir, chaete berarti rambut). Ukurannya relatif lebih panjang, tipis dan fleksibel, dan mempunyai beberapa lekukan. 5. Aktinomisetes : (actis berarti berkas sinar, mykes berarti jamur) merupakan bakteri berbentuk filamen bercabang, disebut demikian karena mirip pancaran sinar matahari. 6. Mikoplasma merupakan organisme yang tidak mempunyai dinding sel karenanya tidak memiliki bentuk yang stabil, seringkali berupa bulatan atau bentuk lonjong dengan filamen diantaranya. 2.5.1.2.3 Flagelum Embel-embel seperti rambut yang teramat tipis mencuat menembus dinding sel dan bermula dari tubuh dasar, suatu struktur granular tepat di bawah membran sel di dalam sitoplasma, disebut flagelum (jamak, flagela). Flagelum menyebabkan motilitas (pergerakan) pada sel bakteri. Flagelum terdiri dari tiga bagian : tubuh dasar, struktur seperti kait, dan sehelai filamen panjang di luar dinding sel (Pelczar dan Chan, 1986). Jumlah dan susunan flagel bersifat khas pada tiap bakteri. Menurut Gupte (1990) susunannya pada badan bakteri dapat berupa : Monotrikh. Satu flagel pada salah satu ujung organisme, misalnya pada Vibrio, Pseudomonas, Spirillum, dan lain-lain. Amfitrikh. Satu flagel pada tiap-tiap ujung kuman, misalnya pada Alcaligenes faecalis. Lopotrikh. Satu berkas flagel pada salah satu ujung, misalnya pada Pseudomonas. Peritrikh. Beberapa flagel tersebar pada seluruh permukaan bakteri, misalnya Escherichia coli dan Salmonella. 2.5.1.3 Lingkungan Sebagai Habitat Bagi Bakteri Bakteri terdapat dimana-mana, ada di berbagai habitat. Satu gram tanah dapat mengandung beberapa ribu sampai beberapa juta. Sebagian besar adalah sapotrof 2-32 atau parasit, dan sejumlah kecil adalah autotrof, yang memperoleh energi dari proses oksidasi atau dari cahaya (karena adanya bakterioklorofil). Pada tanah, aktivitasnya berperan penting dalam perombakan bahan organik yang sudah mati dan mengembalikan mineral-mineral untuk pertumbuhan tumbuhan tingkat tinggi. Beberapa diantaranya merupakan sumber antibiotik. Sebagai agen penyakit tumbuhan, maka bakteri kurang berperan dibandingkan jamur; namun mereka menjadi penyebab banyak penyakit pada hewan dan manusia (misalnya dipteria, tuberculosis, tifoid, beberapa macam pneumonia). Pada air subterania (air tanah) dan mata air sangat miskin nutrien. Oleh karena itu, koloni mikroflora hanya beberapa tipe saja, tumbuhan tingkat tinggi dan binatang hampir tidak ada (Yusup, 2002) Lingkungan sebagai habitat bagi mahluk hidup mempunyai berbagai faktor – faktor abiotik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup bakteri. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah temperatur, intensitas cahaya, pH, kelembaban tanah, air, dan tekanan osmosis. Temperatur memiliki efek langsung maupun tidak langsung pada aktivitas biologi dalam tanah. Efek langsung yaitu terhadap laju reaksi fisik dalam tanah dan efek tidak langsung adalah mempengaruhi aktivitas mikroba tanah melalui aspek lain seperti laju pelapukan mineral, laju difusi, potensi redoks, aktivitas air dan lainlain. Temperatur bersama kelembaban tanah, merupakan faktor yang menentukan mineralisasi N dalam tanah, yakni dengan meningkatnya air dan temperatur dalam tanah akan meningkatkan dekomposisi bahan organik. Bakteri dapat bertahan hidup dengan rentang suhu yang luas, tetapi rentang untuk tumbuh dan melakukan aktivitas hidup berada di antara 0-90 0C. Para peneliti telah menemukan bahwa tiap-tiap organisme mempunyai temperatur minimum yaitu dibawah temperatur ini pertumbuhan tidak akan terjadi lagi, temperatur optimum yaitu pertumbuhan terjadi sangat cepat, dan temperatur maksimum yaitu suatu pertumbuhan dinilai tidak memungkinkan lagi. Ketiga zona temperatur 2-33 tersebut disebut sebagai temperatur kardinal. Batasan kardinal temperature pada tiap organisme berbeda-beda kisarannya. Bakteri yang tumbuh pada 0 sampai 30°C dikelompokan kedalam bakteri psikrofil; mesofil, yang tumbuh pada 25 sampai 40°C ; dan termofil , yang tumbuh pada suhu 50° atau lebih. Beberapa bakteri mempunyai temperatur optimal yang kecil seperti pada 5 sampai 10 °C dan beberapa lagi pada temperatur tinggi seperti pada 90 hingga 100°C. Beberapa bakteri telah ditemukan dan diisolasi dari air laut antartika yang mempunyai temperatur optimum yang cukup ekstrim yakni 4°C, dan bakteri tersebut masih dapat tumbuh pada suhu –2,5°C. Beberapa bakteri anaerob telah diisolasi dari lubang hidrotermal di laut dalam dengan temperatur optimumnya pada suhu 105°C. Bakteri yang tumbuh pada kisaran suhu 55 sampai 70°C yakni bakteribakteri thermofil seperti dari genus Bacillus, Clostridium, Thermoactinomyces, dan Methanobacterium. Intensitas cahaya adalah hal yang cukup penting juga karena mempengaruhi keberadaan bakteri fotoautrotopik. Bakteri fotoautrotopik memerlukan cahaya sebagai sumber energinya yang juga akan berpengaruh terhadap kelangsungan berbagai organime yang terdapat pada ekosistem tersebut. Sinar ultraviolet merupakan komponen tidak terlihat yang terkandung pada cahaya matahari. Akibat negatif radiasi sinar ultraviolet adalah (1) membunuh sel (2) menunda pertumbuhan dan (3) mengubah hereditas akibat mutasi gen (Salle.1961). Kemasaman tanah (pH) merupakan sifat fisik-kimia yang paling banyak diteliti pengaruhnya terhadap ekologi mikroba. Salah satu konsekuensi yang sangat penting dari pH tanah adalah pengaruhnya terhadap kelarutan hara (keracunan dan kekurangan), unsur Fe, Mn dan Zn akan berkurang ketersediaannya pada pH tinggi, dan akan bersifat racun bila pH di bawah 5. Hara P kurang tersedia pada pH rendah maupun tinggi. Pada pH rendah umumnya dijumpai dominasi fungi sedangkan bakteri (termasuk aktinomycetes) umumnya dominan pada pH 6-8. Permukaan koloid tanah biasanya memiliki pH yang lebih rendah 2 unit atau lebih dari pH larutan. 2-34 pH daerah rizosfer sebagian dikontrol oleh sumber hara nitrogen bagi tanaman. Dekomposisi bahan organik oleh mikroba cenderung meningkatkan kemasaman tanah akibat asam organik yang dihasilkan. pH optimum bagi kebanyakan bakteri berkisar antara 6,5 dan 7,5. Beberapa spesies dapat tumbuh pada keadaan yang sangat asam ataupun sangat basa. Dari mulai pH minimum ± 0,5, hingga pH maksimum ± 9,5. Namun bisa saja bakteri dapat tumbuh diluar kisaran pH tersebut. Bakteri yang dapat tumbuh pada pH yang netral yakni pada pH 7,0 disebut bakteri neutrofilik. Bakteri yang tumbuh pada pH asam disebut bakteri asidofilik. Bakteri yang tumbuh pada pH basa disebut bakteri alkalofilik. Beberapa bakteri dapat tumbuh pada pH yang sangat ekstrim seperti Thiobacillus thiooxidans yang mempunyai pH optimum 2,5 dan masih tetap dapat tumbuh mendekati pH 0 sekalipun. Ada juga bakteri yang dapat tumbuh dengan kebasaan yang ekstrim yakni pada pH 10 hingga 12 yakni pada archaebacterium yakni Halobacterium , dalam lingkungan yang bersifat asin (Paul and Batzing, 1987). Keasaman tanah merupakan faktor penentu bagi aktivitas bakteri karena berkaitan dengan reaksi-reaksi enzimatis. Semakin rendah atau tinggi dari pH netral maka akan menghambat aktivitas-aktivitas reaksinya. Bila bakteri dikultivasi di dalam suatu medium yang pH-nya mula-mula disesuaikan, maka digunakan larutan penyangga (buffer) untuk mempertahankan nilai pH yang normal, yaitu kombinasi garam-garam fosfat, seperti KH2PO4 dan K2HPO4. Kelembaban tanah merupakan faktor yang menentukan mineralisasi N dalam tanah. Dalam tiap gram tanah, yang berkandungan sekitar 0,3 % bahan organik paling sedikit ditemukan 17.000 organisma, yang kebanyakannya terdiri dari bakteri yang hidup bersama dengan sekitar 10-15 %. Aktinomisetes dan 0,56-2,0 % cendawan. Tanah lainnya yang berkandungan sekitar 0,45 % bahan organik rata-rata per gramnya dihuni oleh 59.666 organisma, kebanyakan juga terdiri dari bakteri, sedang Aktinomisetes hanya terdapat sekitar 0,61 % dan cendawan sekitar 0,27 %. Kenaikan kelembaban akan meningkatkan jumlah bakteri sampai 80 %. Bakteri dapat dibedakan dan diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan akan oksigen. Bakteri yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya disebut 2-35 bakteri aerob. Bakteri aerob obligat tidak akan tumbuh apabila tidak tersedianya oksigen pada lingkungannya. Bakteri anaerob yakni bakteri yang tumbuh tanpa oksigen molekuler , bakteri ini tumbuh biasanya dengan menggunakan senyawa kimia lain seperti dengan melakukan fermentasi, respirasi anaerob maupun kemosintesis. Bakteri anaerobik fakultatif yakni bakteri yang tumbuh dalam keadaan aerob ataupun anaerobik. Dan bakteri mikroaerofilik yakni bakteri yang dapat tumbuh dengan optimal apabila tersedia sedikit oksigen atmosferik. 2.5.1.4 Total Plate Count Terdapat beberapa cara untuk menentukan jumlah bakteri dalam sebuah sampel. Cara yang paling sering digunakan adalah cara perhitungan koloni pada lempeng pembiakan (Plate Count). Disamping itu dapat juga dilakukan perhitungan langsung secara mikroskopis. Metode plate count termasuk ke dalam perhitungan tidak langsung, karena menghitung bakteri yang telah diinkubasi terlebih dahulu, setelah ditanam pada medium dengan pengenceran tertentu. Pengenceran dimaksudkan agar jumlah koloni tidak terlalu banyak sehingga masih dapat dihitung. Hasil hitungan yang dapat dianggap valid menurut Usman (1986) adalah 30 – 300 koloni pada setiap lempeng pembiakan dengan tingkat pengenceran tertentu. Sedangkan menurut Salle (1961), perhitungan dengan menggunakan plate count beragam dari 200.000 hingga 100.000.000 per gram tanah. Brock (1984) menyatakan bahwa pada lingkungan alaminya bakteri memiliki rentang jumlah yang luas, dari beberapa ratus sel per ml hingga 109-1010 per ml.