Penyalah-gunaan dan Ketergantungan Bahan

advertisement
Penyalah-gunaan dan Ketergantungan Bahan Psikoaktif:
Pandangan Neurosains
©World Health Organization 2004
Editor: Indrajaya Manuaba
Kata Pengantar
Penyalah-gunaan dan ketergantungan telah menjadi permasalahan penting menyangkut individu dan
masyarakat di seluruh dunia. Laporan WHO tahun 2002 menunjukkan sebanyak 8,9% dari keseluruhan
permasalahan penyakit secara global berasal dari penyalah-gunaan bahan psikoaktif (psychoactive
substances). Laporan tersebut memperlihatkan tembakau menduduki 4,1%; alkohol 4%; dan illicit drugs 0,8%
dari keseluruhan dampak penyakit global di tahun 2000. Kebanyakan dari dampak yang diakibatkan oleh
penyalah-gunaan bahan (substance use) tersebut berikut ketergantungan (dependence) yang ditimbulkannya
merupakan akibat dari beragam problema kesehatan dan sosial, termasuk HIV/AIDS, yang terjadi di banyak
negara melalui penyalah-gunaan obat suntikan (injecting drug use).
Laporan neurosains ini adalah prakarsa WHO yang pertamakali untuk memberikan uraian komprehensif
mengenai faktor biologis yang berhubungan dengan penggunaan bahan psikoaktif dan ketergantungan obat
dengan memaparkan kemajuan utama di bidang neurosains dalam 20-30 tahun terakhir. Laporan ini
menggarisbawahi pengetahuan yang paling mutakhir mengenai mekanisme kerja dari jenis bahan psikoktif
yang berbeda-beda, serta menjelaskan mengenai bagaimana bahan psikoaktif tersebut dapat menimbulkan
terjadinya dependence syndrome. Meskipun laporan ini berfokus pada mekanisme bahan psikoaktif didalam
jaringan otak, namun juga secara garis besar menguraikan mengenai faktor sosial dan lingkungan yang
berpengaruh pada terjadinya ketergantungan obat. Juga diuraikan mengenai aspek neurosains dari upaya
intervensi yang ada, serta terutama implikasi etika dari strategi terbaru dari intervensi biologis yang ada (new
biological intervention strategies).
Beragam permasalahan kesehatan dan sosial yang diakibatkan oleh penggunaan dan ketergantungan
tembakau, alkohol dan bahan terlarang (illicit substances) memerlukan perhatian yang besar dari komunitas
kesehatan masyarakat dan membutuhkan langkah kebijakan (policy responses) yang tepat disesuaikan
dengan kondisi sosial masyarakat yang berbeda. Masih banyak hal yang belum diketahui dari pemahaman kita
mengenai bahan psikoaktif dan ketergantungan, namun laporan ini menunjukkan bahwa kita telah melangkah
maju dalam pemahaman kita mengenai mekanisme yang melatarbelakangi (the nature) permasalahan ini yang
dapat dipergunakan untuk merencanakan policy responses. Laporan ini penting untuk diketahui oleh berbagai
kalangan dalam profesi kesehatan, pembuat kebijakan, ilmuwan, dan pelajar.
LEE Jong-wook
Director General
World Health Organization
1
Penyalah-gunaan bahan psikoaktif dan dampaknya terhadap kesehatan secara global
Penggunaan Tembakau
Penggunaan alkohol, tembakau, dan bahan lainnya yang dikendalikan peredarannya secara global
menunjukkan peningkatan yang tajam dan memberikan pengaruh signifikan terhadap problema penyakit
secara global. Table 1 memperlihatkan prevalensi merokok pada kelompok usia muda dan dewasa di sejumlah
negara. Kebiasaan merokok meluas dengan cepat di negara berkembang dan kalangan perempuan. Dewasa
ini, sebanyak 50% laki-laki dan 9% perempuan di negara berkembang merokok; dibandingkan dengan 35%
laki-laki dan 22% perempuan di negara maju. China, yang terutama menjadi penyumbang signifikan terhadap
epidemi merokok di negara berkembang. Data menunjukkan, konsumsi rokok per kapita di wilayah Asia dan
Timur Jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lain dunia, dimana wilayah Amerika dan Eropa Timur menduduki
peringkat berikutnya.
Tabel 1. Prevalensi merokok pada dewasa dan remaja berdasarkan negara
Penggunaan Alkohol
Alkohol dan tembakau serupa bila ditinjau dari beberapa hal: keduanya merupakan bahan yang beredar legal
(legal substances), keduanya tersedia secara luas hampir di seluruh dunia, dan keduanya dipasarkan secara
agresif oleh perusahaan transnasional yang mengincar anak muda melalui upaya pengiklanan dan promosi.
Berdasarkan laporan mengenai penggunaan alkohol oleh Global status yang diperlihatkan pada Gambar 1
dibawah ini, tingkat konsumsi alkohol menunjukkan penurunan pada duapuluh tahun terakhir di negara maju,
namun meningkat di negara berkembang, terutama di wilayah Pasifik Barat, dimana tingkat konsumsi alkohol
per kapita per tahun pada kelompok usia dewasa mencapai kisaran 5 sampai 9 liter alkohol murni (pure
alcohol), tingkat konsumsi yang juga diperoleh sama pada wilayah bekas Uni-Soviet dahulu. Pengamatan lebih
jauh menunjukkan meningkatnya konsumsi alkohol pada wilayah negara berkembang dipengaruhi oleh
peningkatan konsumsi di wilayah negara Asia. Tingkat konsumsi alkohol jauh lebih rendah di wilayah Afrika,
Mediterania Timur, dan Asia Tenggara.
2
Gambar 1. Usia dewasa (15+) Per Kapita dari Konsumsi Alkohol berdasarkan Status Negara
Penggunaan bahan terlarang (illicit substance use)
Data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menunjukkan tingginya penyalah-gunaan
cocaine, heroin, cannabis dan amphetamine-type stimulants di berbagai belahan dunia. Peredaran cocaine,
heroin dan cannabis bergantung pada: luas lahan (level of cultivation) yang berada di negara penghasil (source
countries) dan berhasil atau tidaknya pergerakan jaringan trafficking organizations. Namun demikian, walaupun
melalui peninggian tingkat aktifitas pengendalian hukum (increased levels of law enforcement activities),
kenyataannya masih saja selalu terdapat ketersediaan yang mencukupi bagi pengguna. Berdasarkan perkiraan
UNODC, sekitar 200 juta orang telah melakukan penyalah-gunaan (illicit use) terhadap salah satu macam dari
kelompok bahan terlarang (illicit substance). Table 2 memperlihatkan bahwa cannabis merupakan bahan
terlarang yang paling sering disalah-gunakan, disusul kemudian oleh amphetamines, cocaine dan opioids.
Penggunaan bahan terlarang (illicit substance use) predominan merupakan aktifitas laki-laki, setelah jauh lebih
tinggi diatasnya merokok dan konsumsi alkohol. Penggunaan bahan terlarang juga menunjukkan prevalensi
yang lebih tinggi pada kalangan usia muda dibandingkan usia tua. Data pada Table 2 memperlihatkan bahwa
sebanyak 2,7% dari keseluruhan populasi global dan 3,9% dari kelompok usia 15 tahun keatas telah menjadi
pengguna cannabis sekurang-kurangnya satu kali antara periode tahun 2000 dan 2001. Di banyak wilayah
negara maju, sebagai contoh, Canada, Amerika Serikat, dan kelompok negara Eropa, lebih dari 2% kalangan
usia muda dilaporkan sebagai pengguna heroin dan sebanyak hampir 5% dilaporkan sebagai penghisap
cocaine selama mereka hidup. Bahkan, sebanyak 8% kalangan usia muda di wilayah Eropa Barat dan lebih
dari 20% di Amerika Serikat dilaporkan menggunakan sekurang-kurangnya satu macam bahan terlarang selain
cannabis. Terdapat bukti meningkatnya dengan cepat penggunaan amphetamine-type stimulants pada
kalangan remaja di wilayah Asia dan Eropa. Penggunaan bahan terlarang melalui suntikan (injecting substance
use) juga merupakan fenomena yang sedang meningkat pesat, berikut implikasinya terhadap penyebaran
infeksi HIV ditandai oleh meningkatnya jumlah negara yang melaporkan (Box 1).
3
Tabel 2. Perkiraan prevalensi tahunan dari penggunaan bahan psikoaktif terlarang, 2000-2001.
Box 1.
Penggunaan bahan terlarang melalui suntikan dan HIV/AIDS
Secara global, persentase dari individu pengidap HIV/AIDS yang juga menyalah-gunakan bahan psikoaktif
(psychoactive substances) melalui suntikan adalah sebesar 5% atau 2,1 juta orang di lebih dari 100 negara.
Secara global, proporsi dari individu dewasa pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV melalui penyuntikan bahan
psikoaktif adalah sebesar 5%, walaupun angka ini sangat bervariasi bergantung pada wilayah; yaitu sebesar
50-90% pada wilayah di Eropa Timur, Asia Tengah, Asia Timur, dan wilayah Pasifik; dan 25-50% pada wilayah
di Amerika Utara dan Eropa Barat.
Upaya terapi dan prevensi terhadap penyalah-gunaan bahan psikoaktif melalui suntikan dapat membantu
dalam upaya pencegahan terhadap penyebaran infeksi HIV.
Perawatan dan pencegahan HIV/AIDS perlu diintegrasikan kedalam upaya terapi ketergantungan obat
(substance dependence treatment).
Dampak buruk bahan psikoaktif dan mekanisme kerjanya
Umumnya, seseorang menggunakan bahan psikoaktif oleh karena menginginkan efek dari penggunaannya,
baik oleh rasa nyaman yang didapatkan maupun untuk meredakan rasa nyeri, termasuk penggunaan pada
kalangan luas. Namun, penggunaan bahan psikoaktif juga membawa dampak potensi merusak, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Dampak buruk penggunaan bahan psikoaktif dapat dibagi kedalam empat
kategori (Gambar 2).
Pertama: dampak kronis terhadap kesehatan. Pada alkohol meliputi sirosis hati dan risiko penyakit
kronis lainnya. Untuk tembakau yang digunakan dalam bentuk rokok meliputi kanker paru, emfisema
dan penyakit kronis lainnya. Melalui berbagi jarum suntuk, penggunaan heroin suntikan merupakan
vektor utama penularan infeksi seperti HIV (lihat Box 1) dan virus hepatitis B dan C dibanyak negara.
Kedua: terdapat dampak biologis akut dari penggunaan bahan psikoaktif terhadap kesehatan (shortterm biological health effects). Yang terpenting, untuk bahan seperti opioids dan alkohol, dampak
kategori ini meliputi overdosis. Juga termasuk dalam kategori ini adalah dampak buruk dari
penggunaan bahan psikoaktif terhadap kemampuan koordinasi motorik, konsentrasi dan mengambil
keputusan, dimana kesemuanya sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kejadian
mengemudi setelah minum alkohol atau setelah menggunakan bahan psikoaktif tertentu merupakan
contoh penting dalam kategori ini, namun dapat juga kejadian kecelakaan lainnya, bunuh diri, dan
perilaku kekerasan (terutama alkohol).
4
Kategori ke-tiga dan ke-empat dari dampak buruk penggunaan bahan psikoaktif adalah dampak buruk
sosial: problema sosial akut, seperti gangguan interaksi sosial atau mengurung diri; problema sosial
kronik, seperti gangguan dalam pekerjaan atau gangguan peran dalam keluarga.
Penggunaan obat dan ketergantungan dalam pandangan neurosains
Berdasarkan ICD-10, ketergantungan obat meliputi enam kriteria (lihat Box 2); seseorang yang memenuhi
sekurang-kurangnya tiga kriteria dapat di-diagnosis sebagai “pecandu” („„dependent‟‟). Kriteria diagnosis yang
dipakai oleh American Psychiatric Association juga menggunakan kriteria yang serupa. Seperti tampak dalam
Box 2, dua kriteria yang paling mudah dinilai secara biologis adalah kriteria ke-tiga dan ke-empat: withdrawal -- timbulnya gejala fisik dan psikologis yang tidak menyenangkan apabila penggunaan bahan psikoaktif
dikurangi atau dihentikan, dan tolerance --- mulai diperlukannya jumlah bahan psikoaktif yang lebih banyak
untuk mendapatkan efek yang sama, atau jumlah obat yang sama memberikan efek yang tidak memadai lagi.
Sedangkan empat kriteria lainnya meliputi elemen kognisi, yang kurang dapat diukur melalui penilaian biologis,
namun saat ini menjadi dapat dinilai menggunakan teknik neuroimaging yang lebih canggih. Penting dipahami
bahwa kriteria ketergantungan obat juga meliputi dampak penggunaannya pada kesehatan dan hubungan
sosial.
Gambar 2. Skema dampak dari penggunaan bahan psikoaktif terhadap kesehatan dan hubungan sosial
Neuroanatomi, neurobiologi, dan farmakologi
Ketergantungan obat (substance dependence) adalah kelainan berupa gangguan fungsi otak yang ditimbulkan
oleh penggunaan bahan psikoaktif. Bahan psikoaktif mempengaruhi proses persepsi, emosi dan motivasi yang
normal didalam otak. Oleh karena output dari otak adalah perilaku (behaviour) dan pikiran (thoughts), maka
gangguan fungsi otak akan memperlihatkan gejala perilaku yang sangat kompleks (highly complex behavioural
symptoms). Otak dapat mengalami banyak tipe penyakit dan trauma, dari gangguan neurologis seperti stroke
dan epilepsi, sampai penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson disease dan Alzheimer disease, dan
penyakit infeksi ataupun traumatic brain injuries. Dalam setiap kasus tersebut, gejala perilaku (behavioural
output) telah dikenali sebagai bagian dari penyakit yang dialami.
Hal yang sama berlangsung pada ketergantungan obat, gejala perilaku yang muncul sangat kompleks, namun
umumnya berhubungan dengan short-term atau long-term effects dari bahan psikoaktif terhadap otak. Gejala
tremor dari Parkinson disease, kejang dari epilepsi, bahkan melancholy dari depresi telah dikenal luas dan
5
diterima sebagai simptom dari patologi otak yang melatarbelakangi. Sebelumnya, ketergantungan obat tidak
dikenali sebagai gangguan otak (disorder of the brain), begitu juga penyakit psikiatrik dan penyakit mental.
Namun demikian, dengan kemajuan dibidang neurosains, menjadi jelas bahwa ketergantungan obat
merupakan gangguan fungsi otak seperti halnya penyakit neurologis atau kelainan psikiatrik. Teknologi dan
riset terbaru memberikan peluang untuk dapat melihat dan menilai perubahan yang terjadi dari fungsi otak, dari
tingkat melekular dan selular, sampai perubahan pada proses kognitif kompleks yang terjadi pada penggunaan
bahan psikoaktif jangka pendek dan jangka panjang.
Kemajuan penting dalam riset neurosains terhadap ketergantungan obat diperoleh dari penemuan dan
penggunaan teknik yang memungkinkan visualisasi struktur dan fungsi otak pada otak manusia hidup, yang
dikenal sebagai teknik neuroimaging. Melalui teknik ini, peneliti dapat menyaksikan perubahan yang terjadi dari
tingkat reseptor sampai perubahan global dari metabolisme dan aliran darah pada beragam regio otak.
Gambaran yang dihasilkan dapat dipantau perubahannya saat bahan psikoaktif diberikan, untuk mengetahui
dilokasi mana dari otak bahan tersebut bekerja, dan juga setelah penggunaannya dalam jangka panjang untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap fungsi otak yang normal. Salah satu contoh imaging technique adalah
magnetic resonance imaging (MRI), yang memanfaatkan medan magnet dan gelombang radio untuk
menghasilkan pencitraan struktur otak dua- atau tiga-dimensi berkualitas tinggi. Otak dapat ditampilkan dengan
sangat detail. Meskipun teknik MRI hanya menghasilkan gambar statik (static pictures) dari anatomi otak,
namun melalui teknik yang disebut functional MRI (fMRI) memungkinkan didapatkan gambaran fungsional
mengenai aktifitas otak dengan kemampuannya membandingkan oxygenated dan deoxygenated blood.
Teknik imajing lainnya yang penting dan berguna adalah positron emission tomography (PET). PET
scans memungkinkan tampilan informasi mengenai aktifitas metabolik dari regio otak tertentu. Prosedur yang
umum, individu disuntikkan menggunakan bahan radioaktif yang selanjutnya dapat dijajag melalui aliran darah
otak. Proses penjajagan tersebut dapat ditampilkan dalam citra dua- atau tiga-dimensi, dimana warna yang
berbeda pada hasil PET scan menunjukkan tingkat radioaktifitas yang berbeda (biru dan hijau menunjukkan
area dengan aktifitas radioaktif rendah, sedangkan kuning dan merah menunjukkan area dengan aktifitas
tinggi). Dengan menggunakan bahan radioaktif yang berbeda-beda, PET scans dapat digunakan untuk
memperlihatkan kondisi aliran darah, metabolisme oksigen dan glukose, serta konsentrasi obat didalam
jaringan otak hidup.
Box 2.
Kriteria ketergantungan obat (ICD-10)
Tiga atau lebih dari kriteria berikut ini harus dialami atau ditunjukkan pada suatu waktu selama satu tahun
terakhir:
1. Dorongan (desire) atau perasaan kompulsi (sense of compulsion) yang kuat untuk menggunakan bahan
psikoaktif;
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan obat (substance-taking behaviour) dalam hal
onset, penghentian, atau tingkat pemakaian;
3. Munculnya kondisi physiological withdrawal state apabila penggunaan obat dihentikan atau dikurangi,
yang ditandai oleh: gejala putus obat yang khas dari obat yang dipakai (characteristic withdrawal
syndrome); atau kembali menggunakan obat yang sama (atau yang serupa) dengan tujuan untuk
meredakan atau menghindari kemunculan gejala putus obat;
4. Munculnya kondisi tolerance, dengan menaikkan dosis pemakaian bahan psikoaktif untuk memperoleh
efek yang sebelumnya didapatkan melalui dosis yang lebih rendah;
5. Penelantaran yang semakin berat (progressive neglect) terhadap pilihan kenyamanan atau kesenangan
lainnya dengan terus-menerus menggunakan bahan psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu untuk
mendapatkan atau memakai obat atau mengembalikan efek pernah diperoleh;
6. Terus-menerus menggunakan bahan psikoaktif meskipun telah mengalami dampak yang merusak, seperti
gangguan fungsi hati akibat meminum dengan berlebihan, kondisi depresi akibat penggunaan dalam
jumlah besar, atau gangguan fungsi kognitif (substance-related impairment of cognitive functioning).
Perlu upaya terus-menerus untuk memastikan bahwa pengguna telah atau kemungkinan telah memahami
risiko dan luasnya kerusakan yang telah ia alami.
6
Brain mechanisms: neurobiologi dan neuroanatomi
Otak merupakan jaringan yang highly organized kedalam sejumlah regio yang berbeda-beda dengan fungsi
yang berbeda-beda (specialized functions). Regio otak yang dikenal sebagai hindbrain [rhombencephalon:
pons, medulla oblongata, dan cerebellum] tersusun oleh struktur yang vital untuk mempertahankan hidup,
seperti pusat kendali pernafasan dan kewaspadaan (wakefulness). Sedangkan, yang dikenal sebagai midbrain
[mesencephalon] merupakan regio yang tersusun oleh sejumlah area yang penting dalam hubungannya
dengan ketergantungan obat, oleh karena regio ini berperan dalam proses motivasi dan learning mengenai
stimuli lingkungan yang penting untuk mempertahankan hidup (important environmental stimuli), serta perilaku
bertahan (reinforcing behaviours) untuk mendapatkan kenyamanan (pleasurable) dan untuk mempertahankan
hidup (life-sustaining), seperti makan dan minum. Adapun, yang disebut forebrain [prosencephalon:
telencephalon <cortex, white matter, dan basal ganglia>, dan diencephalon] merupakan bagian otak yang jauh
lebih kompleks, dan pada manusia struktur cerebral cortex dari forebrain sangat berkembang (highly
developed), memberikan kemampuan berpikir abstrak dan kemampuan merencanakan (planning), serta
kemampuan menghubungkan pikiran dengan memori. Regio khusus pada forebrain terbukti melalui brain
imaging techniques dapat teraktifasi oleh stimuli yang memicu kondisi „„cravings‟‟ (dorongan kuat untuk
mendapatkan obat) pada individu dengan ketergantungan obat, dan regio lainnya terbukti menunjukkan fungsi
yang abnormal pada penggunaan akut atau kronik dari bahan psikoaktif dan pada ketergantungan obat.
Komunikasi didalam jaringan otak terjadi diantara satu sel neuron dengan neuron lainnya. Neuron
berkomunikasi dengan neuron lainnya menggunakan chemical messengers (molekul kimia pembawa pesan)
yang dilepaskan kedalam celah sinaps (lihat Gambar 3). Apabila suatu neuron mengalami eksitasi (meletup)
maka electrical signal akan merambat dari badan sel neuron menuju struktur memanjang (elongated process)
yang disebut axon, untuk mencapai jangkauan pendek (short distances) yaitu neuron yang berdekatan, atau
mencapai jangkauan panjang (long distances) yaitu regio lain dari otak. Pada ujung dari axon terdapat struktur
yang disebut terminal button. Untuk berkomunikasi, pesan yang berasal dari terminal button suatu axon harus
melintasi ruang celah untuk mencapai neuron terdekat. Celah antar neuron ini disebut synapse atau synaptic
cleft (celah sinaps). Molekul kimia pembawa pesan (chemical messengers) dilepaskan oleh neuron yang
mengirimkan pesan (presynaptic neuron) kepada neuron penerima pesan (postsynaptic neuron). Molekul kimia
tersebut, juga disebut neurotransmitters, memiliki struktur kimia dan fungsi spesifik, dan neurotransmiter yang
dilepaskan bergantung pada tipe neuron. Sejumlah neurotransmiter yang telah lebih banyak melewati
pembuktian (well-studied neurotransmitters) dan berhubungan dengan bahan psikoaktif adalah: dopamine,
serotonin, norepinephrine, GABA, glutamate dan endogenous opioids.
Gambar 3. Terminal button dan sinaps
7
Jaringan otak mengandung beragam tipe neurotransmiter yang berbeda-beda. Masing-masing
neurotransmiter spesifik akan berikatan dengan reseptor spesifik (specific receptor), seperti lubang kunci
dengan anak kuncinya (lihat Gambar 4). Peristiwa berikatannya neurotransmiter dengan reseptor nya akan
mengakibatkan perubahan yang berbeda-beda pada postsynaptic membrane. Reseptor dinamai berdasarkan
tipe neurotransmiter yang dapat diikat, misalnya, dopamine receptors dan serotonin receptors. Juga terdapat
sejumlah subtipe dari masing-masing tipe reseptor. Bahan psikoaktif memiliki kemampuan yang menyerupai
efek dari neurotransmiter alamiah yang ada didalam tubuh (endogenous neurotransmitters), bahkan
mengganggu fungsi normal otak dengan melakukan blokade terhadap fungsi yang normal, atau
mengakibatkan perubahan terhadap mekanisme penyimpanan (storage), pelepasan (release) dan
pembersihan (removal) neurotransmiter yang normal. Salah satu mekanisme penting dari cara kerja bahan
psikoaktif adalah: blokade terhadap mekanisme reuptake dari neurotransmiter setelah pelepasannya dari
presynaptic terminal. Reuptake adalah mekanisme normal yang diperankan oleh presynaptic membrane
dimana neurotransmiter dibersihkan dari celah sinaps. Oleh karena terjadi blokade terhadap mekanisme
reuptake, maka efek normal dari neurotransmiter menjadi berlebihan. Bahan psikoaktif yang berikatan dan
meningkatkan fungsi suatu reseptor disebut agonists, sedangkan yang berikatan untuk memblokade fungsi
normal dari suatu reseptor disebut antagonists.
Gambar 4. Dua tipe chemical synapses
Diagram pertama memperlihatkan pengikatan neurotransmiter yang mengakibatkan terbukanya suatu ligand-gated
ion channel. Diagram ke-dua memperlihatkan pengikatan neurotransmiter yang menimbulkan terjadinya aktifasi
terhadap suatu G protein-coupled receptor sehingga mengakibatkan terbukanya suatu ion channel oleh peran suatu
second messenger.
Psikofarmakologi ketergantungan obat berdasarkan klas bahan psikoaktif
Dari yang paling banyak beredar, bahan psikoaktif dapat dikelompokkan kedalam: depressants (mis., alkohol,
sedatif/hipnotik, volatile solvents), stimulants (mis., nikotin, cocaine, amphetamines, ecstasy), opioids (mis.,
morphine dan heroin), dan hallucinogens (mis., PCP, LSD, cannabis).
Bahan psikoaktif yang berbeda memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk menimbulkan efek
didalam jaringan otak. Masing-masing berikatan dengan tipe reseptor yang berbeda, dan dapat meningkatkan
atau menurunkan aktifitas suatu neuron melalui sejumlah mekanisme yang berbeda. Sehingga, masing-masing
dapat menimbulkan efek perilaku (behavioural effects) yang berbeda, memiliki kecepatan terjadinya kondisi
tolerance yang berbeda, withdrawal symptoms yang berbeda, serta short-term dan long-term effects yang
berbeda (Table 4). Namun, bahan psikoaktif memiliki persamaan dalam hal pengaruhnya terhadap regio
penting dalam jaringan otak yang terlibat dalam proses motivasi, dan hal ini merupakan kemampuan yang
signifikan berdasarkan teori terjadinya ketergantungan obat.
8
Table 4. Ringkasan efek bahan psikoaktif
Bahan
psikoaktif
Ethanol
Mekanisme kerja utama
Tolerance dan withdrawal
Penggunaan jangka-lama
Meningkatkan inhibitory effects
dari neurotransmiter GABA dan
menurunkan excitatory effects dari
neurotransmiter glutamate.
Reinforcing effects sangat mungkin
ditimbulkan oleh pengaruhnya
dalam meningkatkan aktifitas pada
mesolimbic dopamine pathway.
Gangguan fungsi dan
perubahan struktur otak,
terutama pada prefrontal
cortex; gangguan kognitif;
pengkisutan volume otak.
Hipnotik dan
sedatif
Meningkatkan aktifitas dari
endogenous inhibitory
neurotransmitters.
Nikotin
Mengaktifasi nicotinic cholinergic
receptors. Meningkatkan sintesis
dan pelepasan neurotransmiter
dopamine.
Opioids
Mengaktifasi reseptor yang
disebut mu dan delta opioid
receptors. Kedua reseptor ini
banyak tersebar di area otak yang
terlibat merespon bahan
psikoaktif, seperti area yang
disebut mesolimbic dopamine
pathway.
Tolerance terjadi oleh adanya peningkatan
metabolismenya di hepar, dan adanya
perubahan pada reseptornya didalam
jarangan otak.
Withdrawal pada penggunaan kronik
ditandai oleh: badan tidak tenang
(shaking), berkeringat, lemas, agitasi, sakit
kepala, mual, muntah, kejang, delirium
tremens.
Tolerance terjadi dengan cepat pada
hampir semua efeknya (kecuali efek anticonvulsant), oleh adanya perubahan pada
reseptornya.
Withdrawal ditandai oleh: ansietas,
terjaga (arousal), tidak bisa diam
(restlessness), insomnia, mudah terkejut
(excitability), kejang.
Tolerance terjadi oleh faktor metabolik,
dan adanya perubahan pada reseptornya.
Withdrawal ditandai oleh: iritabilitas,
perilaku tidak menyenangkan (hostility),
ansietas, galau (dysphoria), depresi, detak
jantung melambat, nafsu makan
meningkat.
Tolerance terjadi oleh adanya perubahan
pada reseptornya (short-term dan longterm receptor changes), dan adanya
adaptasi pada mekanisme intracellular
signaling.
Withdrawal dapat sangat berat, ditandai
oleh: mata berair (watering eyes), hidung
berair (runny nose), menguap,
berkeringat, tidak bisa diam, menggigil,
kram, nyeri otot.
Gangguan memori.
Dampak merokok terhadap
kesehatan telah diketahui
luas; sulit membedakan
efek nikotin dari efek
komponen lain didalam
tembakau.
Adanya perubahan pada
reseptor opioid dan
transmiter peptida (longterm changes); adanya
adaptasi terhadap reward,
learning, dan stress
responses.
Neurobiological dan biobehavioural basis terjadinya ketergantungan obat
Ketergantungan obat sebagai learning process yang melibatkan key brain regions
Terjadinya ketergantungan obat dapat dipandang sebagai bagian dari learning process, dengan pemahaman
bahwa adanya perubahan yang semakin nyata pada perilaku merupakan akibat dari interaksi dengan bahan
psikoaktif berikut lingkungan yang menyertainya. Seseorang menggunakan dan selanjutnya mengalami efek
yang ditimbulkan oleh bahan psikoaktif, yang dirasakan sebagai highly rewarding atau reinforcing (sangat
nikmat dan menyenangkan), yang mana bahan tersebut mengaktifasi sirkuit didalam jaringan otak yang pada
gilirannya mengakibatkan kecenderungan yang semakin besar perilaku tersebut diulangi kembali.
Namun demikian, efek menyenangkan (rewarding effects) semata yang timbulkan oleh bahan
psikoaktif tidak dapat menerangkan semua perubahan perilaku yang berhubungan dengan ketergantungan
obat (Box 2). Begitu juga, ketergantungan fisik (physical dependence) terhadap bahan psikoaktif, seperti yang
ditunjukkan pada gejala withdrawal apabila penggunaan dihentikan, merupakan faktor yang melatarbelakangi
penggunaan dan ketergantungan obat; namun tidak merupakan satu-satunya faktor yang dapat menjelaskan
terjadinya ketergantungan obat, terlebih apabila kondisi ini menetap, terutama setelah periode panjang
penghentian penggunaannya. Apa yang melatarbelakangi bahan psikoaktif sampai menimbulkan seseorang
9
Tabel 4. (lanjutan)
Bahan
psikoaktif
Cannabinoids
Cocaine
Amphetamines
Ecstasy
Inhalants
Hallucinogens
Mekanisme kerja utama
Tolerance dan withdrawal
Penggunaan jangka-lama
Mengaktifasi cannabinoid
receptors. Juga
meningkatkan aktifitas
neurotransmiter
dopamine pada
mesolimbic pathway.
Cocaine memblokade
mekanisme uptake dari
neurotransmiter seperti
dopamine, sehingga
menimbulkan
pemanjangan efek
dopamine.
Meningkatkan pelepasan
neurotransmiter
dopamine pada nerve
terminals dan
menghambat mekanisme
reuptake dari dopamine
dan neurotransmiter lain
yang berhubungan.
Meningkatkan pelepasan
dan memblokade
mekanisme reuptake dari
neurotransmiter
serotonin.
Tolerance terjadi dengan cepat
terhadap hampir semua efeknya.
Wtihdrawal jarang dijumpai,
kemungkinan oleh karena
panjangnya waktu paruh (long
half-life) dari cannabinoids.
Kemungkinan dapat terjadi shortterm acute tolerance.
Sedikit bukti terjadinya
withdrawal, namun kondisi
depresi umum dijumpai pada
pecandu yang menghentikan
penggunaan.
Tolerance terjadi dengan cepat
terhadap efek perilaku dan
fisiologis nya.
Withdrawal ditandai oleh:
fatigue, depresi, ansietas, dan
kondisi craving yang berat.
Paparan jangka-lama (long-term exposure)
dengan cannabis dapat mengakibatkan
long-lasting cognitive impairment. Juga
terdapat risiko eksaserbasi gangguan
mental.
Dapat terjadi tolerance pada
sejumlah individu.
Gejala withdrawal yang paling
sering adalah: depresi dan
insomnia.
Paling besar pengaruhnya
pada inhibitory
transmitters, serupa
dengan sedatif dan
hipnotik. Mengaktifasi
mesolimbic dopamine
pathway.
Bahan yang berbeda dari
klas psikoaktif ini bekerja
pada reseptor yang
berbeda, seperti:
serotonin, glutamate, dan
acetylcholine receptors.
Dapat terjadi sejumlah tolerance,
meskipun sulit diperkirakan.
Terdapat peningkatan risiko
kejang selama withdrawal.
Kerusakan brain serotonin systems
mengakibatkan gangguan perilaku dan
fisiologis. Long-term psychiatric dan
physical problems seperti: gangguan
memori, gangguan dalam proses
mengambil keputusan dan pengendalian
diri, paranoia, depresi, dan serangan
panik.
Adanya perubahan mekanisme pengikatan
dan fungsi dari reseptor dopamine;
penurunan fungsi kognitif; gangguan
psikiatrik dan neurologis.
Tolerance terjadi dengan cepat
terhadap efek fisik dan psikologis.
Tidak ada bukti terjadinya
withdrawal.
Dijumpai adanya cognitive deficits,
abnormalitas pada regio tertentu dari area
kortikal, gangguan fungsi motorik, dan
penurunan ketangkasan motorik (reaction
times).
Gangguan tidur, ansietas, penurunan
nafsu makan, adanya perubahan pada
reseptor dopamine jaringan otak,
perubahan metabolik regional jaringan
otak, gangguan motorik dan kognitif.
Acute atau chronic psychiatric episodes,
kondisi flashback atau re-experiencing dari
efek obat jauh setelah menggunakan obat.
kehilangan pekerjaannya dan keluarganya demi mendapatkan obat ini? Proses apa yang melatarbelakangi
perilaku menggunakan obat (substance-taking behaviour), pada individu tertentu, sampai memperlihatkan pola
kompulsif (compulsive patterns) dari substance-seeking dan substance-taking behaviour dengan mengabaikan
hampir semua aktifitas lain, dan apa penyebab dari ketidak-mampuan menghentikan penggunaan, yaitu
kondisi relapse? Tampaknya terdapat complex interplay dari faktor psikologis, neurobiologis, dan sosial yang
melatarbelakangi keadaan ini.
10
Biobehavioural processes yang melatarbelakangi ketergantungan obat
Otak memiliki sistem yang memberikan tuntunan (guide) dan arahan (direct) pada perilaku dalam mencermati
stimuli penting untuk mempertahankan hidup (survival). Sebagai contoh, stimuli yang berhubungan dengan
makanan, air, dan pasangan lawan jenis kesemuanya akan mengaktifasi jaras spesifik (specific pathways),
yang selanjutnya akan menguatkan (reinforce) perilaku untuk mendapatkan target yang bersangkutan. Bahan
psikoaktif secara artifisial juga mengaktifasi jaras yang sama, namun dengan sangat kuat, sehingga
mengakibatkan peninggian motivasi untuk meneruskan perilaku tersebut. Jadi, berdasarkan teori ini
(biobehavioural process), ketergantungan obat merupakan akibat dari interaksi kompleks antara efek fisiologis
(physiological effects) dari bahan psikoaktif terhadap area otak yang berperan dalam proses motivasi dan
emosi, berkombinasi dengan proses „„learning‟‟ terhadap hubungan antara bahan psikoaktif dengan efek yang
dialami saat menggunakannya (substance-related cues).
Mesolimbic dopamine pathway
Meskipun setiap klas bahan psikoaktif memiliki mekanisme kerja utama farmakologis yang spesifik (Tabel 4),
namun kebanyakan dapat juga mengaktifasi struktur mesolimbic dopamine pathway (lihat Gambar 5),
walaupun melalui mekanisme berbeda bergantung pada bahan psikoaktif yang digunakan. Struktur sirkuit
mesolimbic dopamine pathway berada didalam area otak yang disebut midbrain, merupakan sistem yang
paling kuat berperan memicu dependence-producing potential pada penggunaan bahan psikoaktif (Wise RA,
Drug-activation of brain reward pathways. Drug and Alcohol Dependence, 51:13—22, 1998). Dua area otak yang sangat penting
dalam hubungannya dengan ketergantungan obat adalah ventral tegmental area (VTA), dan regio penghubung
yang dikenal sebagai nucleus accumbens. VTA merupakan area yang tersusun padat oleh neuron yang
mengandung neurotransmiter dopamine. Badan sel dari populasi neuron ini mengirimkan proyeksi [axon]
menuju regio otak yang berperan dalam proses emosi, berpikir, memori, serta perilaku merencanakan
(planning) dan memutuskan (executing). Sedangkan nucleus accumbens merupakan area otak yang sangat
penting peranannya dalam proses motivasi dan learning, serta meletupkan (signalling) motivational value dari
suatu stimuli (Robbins TW, Everitt BJ, Neurobehavioural mechanisms of reward and motivation. Current Opinion in Neurobiology, 6:228—
236,1996; Cardinal RN et al., Emotion and motivation: the role of the amygdala, ventral striatum, and prefrontal cortex. Neuroscience and
Biobehavioral Reviews, 26: 321—352, 2002). Bahan psikoaktif terbukti meningkatkan pelepasan neurotransmiter
dopamine pada nucleus accumbens, yang merupakan peristiwa penting dalam penguatan perilaku
(reinforcement).
Motivation dan incentive
Motivation dan incentive merupakan konsep penting dalam memahami fenomena ketergantungan obat.
Struktur mesolimbic dopamine pathway terbukti sangat berperan dalam motivational processes: dengan kata
lain, stimuli yang dikenali penting dalam mempertahankan hidup akan ditandai sebagai special importance
didalam otak. Motivasi merupakan bagian dari kemampuan atensi dan perilaku (attentional and behavioural
resources) menghadapi predicted consequences (kemungkinan manfaat) dari suatu stimuli. Sedangkan
incentives adalah stimuli yang dapat membangkitkan respon berdasarkan predicted consequences yang
dimiliki. Sebagai contoh, apabila seseorang tidak dalam kondisi lapar, maka stimuli visual dan olfaktorik yang
berhubungan dengan makanan (incentives) akan memberikan efek yang kecil terhadap perilaku atau atensi
nya (motivation). Namun, apabila orang tersebut dalam keadaan lapar, maka bayangan dan bau makanan
akan menggugah individu tersebut untuk memperhatikan (attention), serta melangkah untuk mendapatkan
makanan tersebut. Apabila individu tersebut dalam kondisi kelaparan dan tidak memiliki kemampuan untuk
mendapatkan makanan, ia bahkan bisa mencuri atau melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan makanan.
Konsep ini dikenal sebagai incentive-motivational responding, atau perilaku (responding) yang ditimbulkan oleh
incentive value dari suatu stimulus dan motivasi untuk mendapatkannya.
Pada ketergantungan bahan psikoaktif, bahan psikoaktif telah berulang-kali mengaktifasi motivational
systems dari otak yang dalam keadaan normal semestinya hanya diaktifasi oleh stimuli penting untuk
mempertahankan hidup seperti makanan, air, keadaan bahaya, dan pasangan lawan jenis. Dengan kata lain,
otak “dikelabui” oleh bahan psikoaktif dengan merespon/berperilaku layaknya bahan psikoaktif berikut stimuli
yang menyertainya merupakan kebutuhan biologis. Melalui paparan berulang, asosiasi tersebut menjadi
semakin kuat, memicu behavioural dan neurochemical response yang semakin kuat. Kondisi ini dikenal
sebagai incentive sensitization, dimana bahan psikoaktif beserta stimuli yang berhubungan dengan
penggunaannya mengakibatkan peningkatan motivational dan behavioural significance (Robinson TE, Berridge KC,
The psychology and neurobiology of addiction: an incentive-sensitization view. Addiction, 95(Suppl 2):S91--S117, 2000). Melalui
associative learning processes, motivasi untuk menggunakan bahan psikoaktif dapat teraktifasi dengan kuat
11
oleh stimuli (lingkungan, kalangan, objek) yang berhubungan dengan penggunaan bahan psikoaktif,
mengakibatkan timbulnya dorongan kuat (craving) yang bisa mengabaikan orang lain dan kembali relapse
menggunakan bahan psikoaktif, bahkan walaupun telah cukup lama menghentikan penggunaan. Hal ini juga
memberikan pemahaman mengapa gejala putus obat semata tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan
spektrum dari ketergantungan obat, sebab meskipun seseorang telah dalam kondisi completely withdrawn dari
bahan psikoaktif tertentu masih dapat mengalami relapse dalam merespon beragam situasi yang berbeda.
Dalam memahami ketergantungan obat, perlu diingat bahwa sepanjang perjalanan hidup banyak
orang pernah mencoba menggunakan beragam bahan yang tergolong potentially dependence-producing
substances, namun kebanyakan diantaranya tidak mengalami ketergantungan obat. Juga terdapat perbedaan
individual dalam hal kerentanan (susceptibility) untuk mengalami ketergantungan obat yang dilatarbelakangi
oleh faktor lingkungan dan genetik.
Gambar 5. Mesolimbic dopamine pathway
Box 3. Faktor risiko dan protektif dari penggunaan bahan psikoaktif
Faktor risiko
Faktor protektif
Lingkungan
Lingkungan
Peredaran bahan psikoaktif
Situasi perekonomian
Kemiskinan
Kendali masyarakat (situational control)
Pergeseran sosial
Dukungan sosial
Budaya kalangan (peer culture)
Integrasi sosial
Pekerjaan
Peristiwa berdampak positif di masyarakat
Norma budaya, perilaku
Peraturan dalam peredaran bahan dan obat,
tembakau dan alkohol
Individual
Individual
Disposisi genetik
Coping skills yang memadai
Korban tindak kekerasan terhadap anak (child
Mandiri (self-efficacy)
abuse)
Pemahaman risiko
Gangguan kepribadian (personality disorders)
Optimisme
Keretakan dalam keluarga dan problema
Perilaku yang berhubungan dengan kesehatan
ketergantungan
Kemampuan menghadapi tekanan sosial
Rendahnya kemampuan di sekolah
Perilaku hidup sehat
Pengucilan sosial (social deprivation)
Depresi dan perilaku bunuh diri
12
Dasar Genetik dari Perbedaan Individual Kerentanan terhadap Ketergantungan Obat.
Terdapat banyak faktor individual, kultural, biologis, sosial dan lingkungan yang mempengaruhi peningkatan
atau penurunan risiko seseorang untuk mengkonsumsi suatu bahan psikoaktif, begitu juga tingkat
keparahannya. Meskipun faktor-faktor yang diperlihatkan pada Box 3 lebih berhubungan dengan faktor yang
mempengaruhi mulainya penggunaan suatu bahan psikoaktif (initiation) ketimbang ketergantungan obat,
namun banyak dari faktor yang disebutkan umum dijumpai pada kedua fenomena. Salah satu aspek dari riset
dalam neurosains adalah meneliti bagaimana suatu bahan psikoaktif bekerja dengan latarbelakang genetik
yang umum diturunkan (common biological inheritance) pada semua manusia. Aspek berlawanan dari riset
genetik yang diteliti adalah mengenai perbedaan mekanisme kerja dari bahan psikoaktif antara satu individu
dengan individu lainnya yang dipengaruhi oleh adanya perbedaan genetik. Dengan demikian, disamping
adanya faktor sosial dan kultural, perbedaan genetik dapat menjelaskan adanya variasi yang cukup nyata dari
penggunaan dan ketergantungan terhadap bahan psikoaktif diantara masing-masing individu. Meskipun tidak
sederhana untuk dapat mengidentifikasi gen yang bertanggung-jawab melatari variasi tersebut.
Meskipun beberapa penyakit disebabkan oleh kelainan gen tunggal (single gene), seperti Huntington’s
disease, namun bebarapa penyakit lainnya, yang dikenal sebagai complex disorders, tampaknya disebabkan
oleh interaksi dari sejumlah gen dengan faktor lingkungan. Ketergantungan obat adalah salah satu contoh dari
penyakit kompleks seperti itu. Dengan demikian, paparan oleh bahan psikoaktif akan menimbulkan dampak
yang jauh lebih buruk pada mereka yang memiliki/membawa genetic vulnerability (kerentanan genetik) untuk
terjadinya ketergantungan obat dibandingkan mereka yang tidak memilikinya. Inilah yang juga menyebabkan
riset genetik dari ketergantungan obat lebih rumit, meskipun telah didapatkan kemajuan besar dalam beberapa
tahun belakangan dalam identifikasi gen yang bertanggung-jawab menimbulkan ketergantungan obat.
Penelitian mengenai pola yang diturunkan (inheritance) dalam keluarga, pada identical dan fraternal twins, dan
pada individu yang dibesarkan melalui adopsi, memberikan informasi mengenai besarnya pengaruh faktor
yang diturunkan dalam terjadinya ketergantungan obat. Fokus lain dari penelitian adalah mengenai
diturunkannya perilaku individual tertentu (inheritance of related traits), untuk mengidentifikasi regio dari gen
yang berperan penting. Penelitian terhadap gen tertentu (candidate gene) menyasar` gen yang dinilai
bertanggung-jawab dan terlibat dalam ketergantungan obat, seperti gen dari reseptor opioid (opioid receptor
genes) pada ketergantungan terhadap opioid.
Terdapat bukti adanya faktor diturunkan yang signifikan (significant heritability) pada penggunaan
tembakau diantara populasi yang berbeda, jenis kelamin yang berbeda, dan kelompok usia yang berbeda (25,
26). Hasil studi mengesankan adanya banyak gen berbeda melatar-belakangi terjadinya persistence of
smoking (27- 29). Gen yang berperan dalam metabolisme nikotin merupakan faktor risiko penting untuk
perilaku merokok; dan adanya variasi pada gen ini kemungkinan menjadi penentu utama dari tingginya kadar
nikotin otak dan akumulasinya.
Terdapat faktor diturunkan yang signifikan (significant heritability) dari ketergantungan terhadap
alkohol, begitu juga heritabilitas dari frekuensi dan kuantitas konsumsi alkohol (30-37). Gen yang kemungkinan
penting melatari hal tersebut adalah gen yang terlibat dalam metabolisme alkohol (38), dan gen dari reseptor
untuk neurotransmiter GABA(38), serotonin (39), dan dopamine (38). Variasi genetik dari ensim yang
memetabolisme alkohol (alcohol metabolizing enzymes) juga telah diidentifikasi kemungkinan melatarbelakangi sejumlah variasi dari perilaku konsumsi alkohol (40-42). Terdapat bukti dari sejumlah studi bahwa
heritabilitas dari ketergantungan terhadap opioid adalah tinggi, diperkirakan hampir 70% (43); hal ini
kemungkinan dilatarbelakangi melalui diturunkannya opioid receptors atau opioid metabolizing enzymes yang
berbeda.
Juga terdapat pengaruh genetik pada penggunaan dan ketergantungan terhadap kombinasi alkohol,
tembakau dan bahan psikoaktif lainnya yang digunakan secara bersama-sama (30, 43-48). Salah satu
perkiraan adalah bahwa terdapat peningkatan risiko delapan kali lipat untuk terjadinya ketergantungan obat
diantara pertalian keluarga dari mereka yang mengalami ketergantungan obat dibandingkan dengan kelompok
kontrol, apabila estimasi ini diterapkan pada beragam jenis bahan psikoaktif, termasuk opioids, cannabis,
sedatives dan cocaine (49, 50).
Temuan genetik tersebut menunjukkan adanya data yang menjanjikan bisa diperoleh dari riset
genetik. Data genetik yang diperoleh tersebut dapat memperdalam pemahaman kita mengenai asal-muasal
penyebab dari ketergantungan obat, serta variasi risiko pada masing-masing individu. Apabila gen yang
melatar-belakangi predisposisi untuk terjadinya ketergantungan obat telah diidentifikasi, maka masalah utama
mengenai bagaimana fungsi dari gen yang teridentifikasi tersebut berinteraksi dengan lingkungan sehingga
menimbulkan pengaruh terjadinya ketergantungan bisa selanjutnya dipahami (51). Data ini selanjutnya dapat
dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan alat diagnostik baru (novel diagnostic tools), serta terapi
farmakologis.
13
Dengan demikian, pemeriksaan melalui genetic screening, sesuai dengan temuan dari riset genetik,
potensial dapat mengidentifikasi subkelompok dalam populasi yang memiliki kemungkinan besar mengalami
ketergantungan obat atau dampak buruk dari bahan psikoaktif tertentu. Akan tetapi, pendekatan seperti ini
dapat memunculkan banyak isu ranah etika, sebab identifikasi yang didapatkan lebih merupakan probabilitas
ketimbang suatu identifikasi pasti. Tindak-lanjut yang dapat dilakukan terhadap skrining yang menunjukkan
positif dapat meliputi: peringatan terhadap individu yang bersangkutan (atau terhadap orang-tua individu yang
bersangkutan atau pengasuhnya, pada kasus anak), serta intervensi preventif seperti therapeutic education
atau intervensi lain yang bertujuan menurunkan kerentanan terhadap penggunaan atau ketergantungan
terhadap bahan psikoaktif. Tentu saja pendekatan ini memunculkan implikasi etik yang penting seperti
stigmatisasi, privasi, dan kebersediaan menjalani terapi.
Perbedaan genetik dapat mempengaruhi banyak aspek dari penggunaan bahan psikoaktif, sebagai
contoh, pada efek menyenangkan yang subjektif (subjective pleasurable effects). Faktor genetik juga dapat
sangat berpengaruh terhadap toksisitas dari suatu bahan psikoaktif, baik dalam hal overdosis maupun efek
kroniknya terhadap kesehatan. Genetik juga mempengaruhi: intensitas efek dari bahan psikoaktif pada formula
atau dosis tertentu, munculnya kondisi ketergantungan obat, withdrawal, dan craving. Disamping itu,
ketergantungan terhadap bahan psikoaktif memiliki kesamaan kerentanan (neurobiological commonalities)
dengan sejumlah bentuk penyakit mental lainnya, yang mengesankan adanya strategi umum terapi dan
prevensi yang sama dalam mengatasi keduanya.
Komorbiditas dari Ketergantungan Obat dan Kelainan Mental
Terdapat peningkatan temuan komorbiditas, atau keadaan yang muncul bersamaan (co-occurrence), dari
kondisi ketergantungan obat pada individu yang memiliki kelainan mental dibandingkan dengan individu yang
tanpa memiliki gangguan mental samasekali. Temuan ini menunjukkan adanya baik eurobiological basis yang
sama pada keduanya, maupun adanya interaksi efek pada tingkatan tertentu. Riset terhadap penyebab
kelainan mental dan ketergantungan bahan psikoaktif akan memberikan peluang bagi strategi dan prevensi
menghadapi keduanya. Ada sejumlah hipotesis mengenai mengapa kelainan mental dan ketergantungan obat
bisa terjadi:
1.
2.
3.
Kemungkinan terdapat neurobiological basis yang serupa dari keduanya;
Penggunaan bahan psikoaktif membantu meringankan gejala dari gangguan mental atau
meringankan efek samping dari pengobatan yang diberikan;
Penggunaan bahan psikoaktif dapat memicu kemunculan gangguan mental atau mengakibatkan
perubahan biologis dengan elemen umum berupa gangguan mental.
Terdapat sejumlah pembuktian terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Yang menarik adalah bahwa
efek dari kebanyakan bahan psikoaktif dapat menyerupai gangguan psikiatrik (psychiatric-like syndromes).
Sebagai contoh, amphetamines dan cocaine dapat memicu kemunculan psychotic-like symptoms. Bahan
halusinogenik dapat menimbulkan halusinasi, yang merupakan aspek penting dari sejumlah psikosis. Lebih
jauh lagi, bahan psikoaktif dapat terus-menerus mengubah mood states seseorang, menimbulkan baik
euphoric dan happy feelings, atau sebaliknya memicu depressive symptoms, terutama selama dalam kondisi
substance withdrawal. Bahan psikoaktif dapat mengubah fungsi kognitif, yang juga merupakan ciri utama dari
sejumlah kelainan mental. Keseluruhan faktor tersebut mengesankan adanya latarbelakang neurobiologis yang
sama (common neurobiological substrates) pada baik kelainan mental maupun kondisi ketergantungan obat.
Sejumlah studi yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 50% orang dengan gangguan mental
juga mengalami ketergantungan obat dibandingkan dengan 6% pada populasi umum; dan risiko untuk
mengalami ketergantungan obat 4,5 kali lebih tinggi pada orang dengan gangguan mental dibandingkan orang
dengan tanpa kelainan mental (52). Sangat jelas, terdapat tumpang-tindih yang nyata diantara kedua kondisi
ini. Angka lifetime prevalence (kecanduan kronik) dari populasi dengan ketergantungan alkohol adalah 22%
bagi mereka yang disertai dengan gangguan mental dibandingkan 14% pada populasi umum; dan risiko untuk
mengalami ketergantungan alkohol apabila seseorang juga memiliki gangguan mental adalah 2,3 kali lebih
tinggi dibandingkan apabila seseorang tidak memiliki gangguan mental (52). Penelitian yang dilakukan di
Amerika Serikat 20 tahun belakangan ini mengindikasikan bahwa lifetime rates dari major depressive disorder
adalah sebesar 38-44% pada populasi dengan ketergantungan alkohol dibandingkan dengan hanya sebesar
7% pada populasi yang tidak ketergantungan alkohol (35, 53-61). Lebih jauh lagi, sebanyak 80% populasi
dengan ketergantungan alkohol memiliki gejala depresif (52, 62-64). Individu dengan ketergantungan alkohol
3,3 kali lebih tinggi untuk juga memiliki schizophrenia, sedangkan individu dengan schizophrenia memiliki
kemungkinan 3,8 kali lebih besar untuk mengalami ketergantungan alkohol dibanding populasi umum (52).
14
Populasi dengan kelainan mental memiliki persentase lebih tinggi, terutama mereka yang memiliki
schizophrenia, untuk berperilaku merokok dibandingkan dengan populasi umum. Bergantung pada kelainan
mental tertentu, didapatkan sebanyak 26-88% penderita gangguan psikiatrik berperilaku merokok,
dibandingkan sebesar 20-30% pada populasi umum (65-67). Terdapat sejumlah tautan (close links) antara
major depressive disorder dan perilaku merokok. Di Amerika Serikat, hampir 60% perokok berat memiliki
riwayat kelainan mental (67, 68), dan insiden dari major depressive disorder diantara perokok adalah dua-kali
lipat dibandingkan bukan perokok (65). Lebih jauh lagi, perokok yang memiliki riwayat clinical depression
(depresi yang nyata secara klinis) hanya separuhnya saja dibandingkan perokok tanpa riwayat yang sama
yang berhasil berhenti merokok (14% versus 28%) (65). Data epidemiologis menunjukkan bahwa lifetime rates
dari major depressive disorder adalah sebesar 32% pada kelompok pengguna cocaine, dan hanya sebesar 8 13% pada mereka yang bukan pengguna cocaine (52, 54, 56, 58, 69).
Juga terdapat komorbiditas yang tinggi (high degree of comorbidity) antara schizophrenia dengan
penggunaan psychostimulant. Penggunaan psikostimulan dijumpai 2-5 kali lebih tinggi pada penderita
schizophrenia dibandingkan mereka yang tanpa schizophrenia, dan lebih sering dibandingkan populasi
gangguan psikiatrik lainnya (70). Jadi, tampak cukup jelas bahwa ketergantungan obat memiliki pertautan
dengan kelainan mental. Meskipun kebanyakan penelitian mengenai komorbiditas dari keduanya dilakukan
hanya pada sejumlah negara dan validitas kultural dari data yang didapatkan tidak diketahui, namun riset
neurosains mengenai terapi dan prevensi terhadap satu jenis gangguan tetap akan memberikan manfaat
terhadap jenis gangguan lainnya.
Terapi dan prevensi: kaitannya dengan neurosains dan masalah etika
Riset dibidang neurosains telah menghasilkan sejumlah kemajuan berupa upaya intervensi farmakologis
maupun perilaku dalam terpai terhadap ketergantungan obat. Banyak yang telah menunjukkan keberhasilan
yang nyata, sementara lainnya masih menyisakan kontroversi dari sudut pandang etika. Sejumlah upaya terapi
baru telah didapatkan, dan melalui penelitian lanjutan, kemajuan terapi menjadi semakin besar. Tampaknya,
kombinasi antara pharmacological dan behavioural therapies akan menjadi modalitas terapi yang paling efektif
dalam mengatasi kondisi ketergantungan obat. Sejumlah pertanyaan dalam menilai kesuksesan terapi yang
diberikan adalah: apakah upaya terapi dinyatakan sukses hanya apabila complete abstinence telah tercapai?
Atau, apakah menurunnya jumlah, frekuensi, atau harmful use dari bahan psikoaktif yang digunakan sudah
memadai dalam menilai keberhasilan upaya terapi? Terapi farmakologis yang mutakhir disajikan pada Tabel 5.
Tipe terapi
Terdapat beragam terapi farmakologis dan terapi perilaku berikut masing-masing pembuktian efikasinya.
Dalam hal intervensi farmakologis, salah satu pilihan adalah pemberian obat atau prosedur yang dapat, melalui
satu atau beberapa mekanisme kerja, menghentikan mekanisme kerja dari bahan psikoaktif pada tubuh,
sehingga menghilangkan efek menyenangkan (positive rewards) dari penggunaan bahan psikoaktif atau
menimbulkan ketidak-nyamanan (aversive) penggunaannya. Sebagai contoh, golongan opioid receptor
blockers seperti naloxone dan naltrexone, menimbulkan pengurangan rewarding effects dari penggunaan
opioids dan alkohol (lihat Table 5). Contoh lainnya adalah disulfiram, yang bekerja dengan mengganggu
metabolisme alkohol, sehingga menimbulkan ketidak-nyamanan penggunaannya. Namun demikian, tipe terapi
ini hanya efektif apabila penderita menjalankannya. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa problema utama
dari pendekatan terapi seperti ini adalah kepatuhan penderita (patient compliance): mereka yang memiliki
riwayat penggunaan bahan psikoaktif yang berat seringkali tidak bisa melaksanakan komitmen untuk
menjalankan terapi farmakologis.
Pilihan lainnya dari terapi farmakologis adalah menggunakan obat yang memiliki efek menyerupai efek
bahan psikoaktif yang menimbulkan ketergantungan, dengan tanpa menimbulkan sejumlah dampak yang lebih
buruk; tipe terapi ini disebut substitution treatment, atau maintenance treatment. Pilihan terapi farmakologis ini
paling luas diuji dan digunakan untuk mengatasi ketergantungan opioids, dengan menggunakan codeine,
methadone, buprenorphine dan bahan lainnya untuk mensubstitusi heroin atau golongan opioids lainnya,
dengan sasaran menurunkan penggunaan ilegal opioid dan kriminalitas yang menyertai, kematian, dan
penyakit yang diakibatkan oleh dampak dari ketergantungan obat. Methadone dan buprenorphine, dua obat
yang paling banyak dipakai, juga diberikan dalam jangka pendek (short-term basis) untuk mendetoksifikasi
kondisi ketergantungan opioids. Namun demikian, banyak diantara pengguna bahan psikoaktif yang hanya
menjalani detoksifikasi --- tanpa memandang metode detoksifikasi yang digunakan --- menjadi terpuruk
sebagai pecandu berat (heavy substance use). Terapi substitusi merupakan upaya terapi yang bertujuan
menurunkan atau menghentikan illicit opioid use (penggunaannya dengan cara melanggar hukum, penyalah-
15
gunaan) melalui upaya menstabilkan (stabilizing) penggunanya sepanjang diperlukan, dengan cara membantu
mereka menghindari pola atau kebiasaan penggunaan sebelumnya berikut dampak buruk yang
ditimbulkannya, termasuk berbagi peralatan suntik. Terapi yang paling banyak dilakukan, yaitu: methadone
maintenance, telah terbukti melalui ratusan penelitian ilmiah sebagai efektif dalam menurunkan substancerelated harm dengan tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan. Dibandingkan dengan
kelompok pengguna ilegal opioids (illegal users), kelompok individu yang menjalani methadone maintenance
treatment terbukti lebih sedikit menjalani waktunya di penjara dan rumah sakit, memiliki tingkat integrasi sosial
yang lebih baik dan angka infeksi HIV yang lebih rendah, lebih sedikit melakukan tindakan kriminal, dan masa
hidup lebih panjang (71).
Terapi substitusi seringkali dipandang kontroversial dari sudut etika. Satu sisi, dipandang melanggar
etika dimana negara atau kaum profesional turut berperan dalam mempertahankan kondisi ketergantungan
obat, meskipun menggunakan rejimen substitusi. Dilain pihak, bukti yang menunjukkan adanya penurunan
dampak buruknya pada masyarakat (mis., tindakan kriminal) atau pada individu pengguna (mis., infeksi HIV)
melalui pemberian rejimen substitusi, adalah tidak bertentangan dengan etika.
Bagi tipe terapi yang mengurangi efek dari bahan psikoaktif atau yang menimbulkan ketidaknyamanan (aversive), isu etika yang penting adalah kesediaan (consent) penderita menjalani terapi, dan etika
untuk tidak memaksakan terapi (ethics of coerced treatment). Penggunaan modalitas immunoterapi, seperti
terhadap ketergantungan cocaine (lihat Table 5), terutama dampak terapi yang bersifat ireversibel, akan
memunculkan isu etika yang sulit. Riset neurosains menemukan bahwa efek bahan psikoaktif memanfaatkan
banyak jaras (pathways) didalam jaringan otak yang sama dengan yang digunakan dalam aktifitas lainnya
pada manusia, sehingga temuan ini juga akan memunculkan pertanyaan mengenai seberapa banyak rasa
nyaman atau aktifitas lainnya yang akan dipengaruhi oleh obat yang diberikan dalam terapi. Begitu juga,
penerapan modalitas terapi berupa genetic modifications akan memunculkan sejumlah isu etika yang sama
sehubungan dengan adanya perubahan permanen yang dpat ditimbulkannya.
Disamping terapi farmakologis, pada ketergantungan obat juga diterapkan upaya terapi perilaku
(behavioural therapies). Terdapat hubungan yang menarik antara proses belajar (learning processes) dengan
upaya terapi ini yang menyangkut efek dari bahan psikoaktif terhadap jaringan otak. Modalitas motivational dan
cognitive therapies didesain untuk bekerja pada proses motivasional (motivational processes) yang sama
didalam otak yang telah dipengaruhi oleh bahan psikoaktif. Tipe terapi ini merupakan upaya terapi untuk
menggantikan motivasi menggunakan bahan psikoaktif dengan motivasi yang berhubungan dengan perilaku
lain. Perlu dipahami bahwa terapi perilaku juga mengandalkan prinsip yang sama dari proses learning dan
motivation yang dipakai dalam menjelaskan terjadinya ketergantungan obat. Sebagai contoh, pendekatan
contingency management dalam terapi perilaku menggunakan prinsip positive reinforcement dan punishment
untuk membangun perilaku. Sedangkan cognitive behavioural therapies dan relapse prevention dapat
membantu penderita dalam membentuk new stimulus-response associations (asosiasi baru menghadapi
stimulus) tanpa melalui penggunaan bahan psikoaktif ataupun craving. Prinsip-prinsip terapi perilaku tersebut
diterapkan untuk mendapatkan kondisi „„unlearn’’ terhadap dependence-related behaviour (perilaku yang
berhubungan dengan ketergantungan obat) dan sebaliknya kondisi “to learn” terhadap respon yang lebih
adaptif. Jadi, mekanisme neurobiologis yang sama ketika terjadi ketergantungan obat dipakai untuk
menjalankan proses learning yang mengatasi ketergantungan terhadap bahan psikoaktif itu sendiri.
Informasi dalam Box 4 merupakan ringkasan dari tipe psikoterapi dan intervensi perilaku (behavioural
interventions) yang biasa dijalankan (72).
Kesimpulan dan Implikasi bagi public health policy
Laporan ini menguraikan kemajuan pemahaman kita dalam dekade belakangan ini, mengenai neurosains dari
penggunaan bahan psikoaktif dan kondisi ketergantungan obat yang ditimbulkannya, serta sejumlah isu etika
yang ditimbulkan oleh kemajuan tersebut. Badan organisasi dan profesi yang bersangkutan harus menjalankan
peran penting dalam mengatasi tantangan yang ada baik di tingkat global maupun regional. Dampak global
dari penyakit dan disabilitas cukup besar ditimbulkan dari penggunaan bahan psikoaktif; sedangkan dampak
global dari penggunaan bahan psikoaktif cukup besar ditimbulkan oleh kondisi ketergantungan obat.
Penggunaan tembakau dan alkohol merupakan penyumbang yang paling menonjol dari dampak total yang
ditimbulkan oleh kondisi ketergantungan bahan psikoaktif. Dengan demikian, upaya yang bertujuan
menurunkan dampak buruk dari penggunaan tembakau, alkohol dan bahan psikoaktif lain merupakan bagian
penting dari health policy.
16
Tabel 5. Terapi farmakologis ketergantungan obat
Bahan psikoaktif
Terapi
Efikasi
Alkohol
Acamprosate merupakan bahan
sintetik dengan struktur kimia
menyerupai asam amino alamiah.
Bekerja dengan mengembalikan
aktifitas neuronal yang normal,
dimana telah mengalami
hipereksitasi karena terpapar kronik
oleh alkohol.
Secara keseluruhan, penderita yang
mendapatkan terapi acamprosate
memperlihatkan peningkatan
signifikan dalam hal: menyelesaikan
pengobatan, periode semenjak
aktifitas minum yang pertamakali,
abstitence rate dan/atau durasi
kumulatif dari abstinence,
dibandingkan penderita yang
mendapatkan plasebo (73).
Naltrexone: memblokade reseptor
opioid.
Naltrexone efektif dalam mengurangi
relaps, dan membantu penderita
untuk tetap abstinence, serta
menurunkan jumlah konsumsi
alkohol (74).
Disulfiram menghambat metabolisme
normal dari acetylaldehyde, suatu
metabolit dari alkohol. Dengan
meningkatnya kadar acetylaldehyde
akan menimbulkan rasa tidak
nyaman sehingga menghentikan
konsumsi alkohol (aversive) (75).
Efikasi dari disulfiram bervariasi, dan
penggunaannya dipersulit oleh
perlunya melakukan titrasi dosis
dengan cermat, dan kepatuhan yang
tinggi dari penderita (75).
Nicotine substitution: nicotine patch
atau gum.
Semua nicotine-replacement
therapies efektif dalam
menghentikan merokok, dan
dibarengi dengan peningkatan upaya
kampanye di media mengenai
bahaya merokok, menghasilkan
peningkatan nyata henti merokok.
Bupropion: merupakan
norepinephrine dan dopamine
reuptake inhibitor yang lemah, serta
nicotinic receptor blocker.
Bupropion meningkatkan abstinence
rate dari perokok, terutama apabila
dikombinasi dengan nicotinereplacement therapy (76, 77)
Immunoterapi: telah berhasil dibuat
vaksin yang dapat mencegah nikotin
bekerja didalam jaringan otak.
Vaksin belum menjalani uji klinis. Uji
menggunakan tikus coba
memperlihatkan hasil yang
menjanjikan.
Nikotin
Neurosains merupakan bidang yang berkembang pesat sarat dengan riset ilmiah. Meskipun dasar
pengetahuan yang didapatkan masih jauh dari lengkap, namun telah diperoleh sejumlah data penting yang
potensial dapat dipergunakan sebagai dasar dalam menyusun policies yang bertujuan menurunkan dampak
buruk penyakit dan disabilitas yang berhubungan dengan penggunaan bahan psikoaktif. Rekomendasi berikut
ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik serta membantu pemegang keputusan dalam
menjalankan tugasnya:

Semua bahan psikoaktif dapat merusak kesehatan, bergantung kepada cara menggunakannya, jumlah
yang digunakan, dan seberapa sering digunakan. Dampak buruknya terhadap kesehatan berbeda-beda
diantara jenis bahan psikoaktif yang ada, sehingga bentuk upaya kesehatan masyarakat yang dijalankan
juga perlu proporsional dengan health-related harm yang ditimbulkannya.
17
Tabel 5. (lanjutan)
Bahan psikoaktif
Terapi
Efikasi
Heroin
Methadone: synthetic opioid agonist.
Methadone maintenance treatment adalah aman
dan sangat efektif dalam menghentikan
penggunaan heroin, terutama apabila dikombinasi
dengan behavioural therapies atau konseling dan
upaya suportif lainnya.
Buprenorphine: partial agonist pada
mu opioid receptor, dan weak
antagonist pada kappa opioid receptor.
Masa kerja relatif lama dan safety profile yang
baik.
Levo-alpha-acetyl-methadol
(LAAM): opioid sintetik.
Opioid sintetik dengan masa kerja panjang yang
dapat dipakai mengatasi ketergantungan heroin,
namun obat ini hanya memerlukan waktu minum
tiga kali semingu, sehingga bahkan setiap orang
dapat dengan mudah menggunakan terapi ini.
Naltrexone: memblokade efek dari
morphine, heroin, dan golongan opioid
lainnya dengan bekerja sebagai
agonist pada opioid receptor.
Terapi ini dimulai setelah penderita terlebih dahulu
mendapatkan terapi detoksifikasi yang diawasi
medis (medically supervised detoxification), sebab
naltrexone tidak memberikan perlindungan
terhadap efek dari withdrawal, dan dapat memicu
withdrawal symptoms pada penderita
ketergantungan. Naltrexone sendiri tidak memiliki
efek subjektif atau potensial menimbulkan
ketergantungan obat. Masalah yang umum adalah
penderita tidak patuh minum obat. Sehingga untuk
mencapai favourable treatment outcome
diperlukan: hubungan terapeutik yang positif,
terapi dan konseling yang efektif, serta
pemantauan kepatuhan penderita.
GBR 12909: merupakan inhibitor dari
dopamine uptake yang melawan efek
dari cocaine pada mesolimbic
dopamine neuron dari tikus (78), serta
terbukti menghentikan perilaku
menggunakan cocaine pada rhesus
monkeys (79).
Uji klinis terhadap obat ini sedang direncanakan.
Immunoterapi: cocaine didalam aliran
darah dinonaktifkan oleh cocaine
specific antibodies yang
menghalanginya melintasi BBB untuk
masuk kedalam jaringan otak.
Uji klinis sedang berjalan.
Melakukan slow tapering terhadap
dosis penggunaan, dikombinasi
dengan terapi perilaku.
Efektif.
Cocaine
Sedatives/hypnotics

Penggunaan bahan psikoaktif bisa dipahami disebabkan oleh pleasurable effects yang ditimbulkannya,
serta pengaruh sosial yang ditimbulkan oleh kalangan pengguna (peer pressure) dan social context dari
penggunaannya. Pengalaman menggunakan bahan psikoaktif saja tidak berperan penting dalam
menimbulkan kondisi ketergantungan, melainkan semakin sering dan semakin banyak jumlah penggunaan
akan semakin tinggi risiko terjadinya ketergantungan obat.
18

Dampak buruk sosial tidak hanya timbul dari kelompok individu yang telah mengalami ketergantungan
obat; dampak buruk juga dapat timbul dari non dependent individuals, dari intoksikasi akut dan overdosis,
serta dari prosedur pemakaian (mis., prosedur penyuntikan yang tidak aman). Sehingga diperlukan adanya
effective public health policies and programmes yang memiliki kemungkinan bisa dijalankan, serta
memberikan penurunan signifikan terhadap keseluruhan dampak yang berhubungan dengan penggunaan
bahan psikoaktif.
Box 4. Tipe psikoterapi (psychotherapies) dan intervensi perilaku (behavioural interventions)
Cognitive behavioural therapies
Upaya terapi ini berfokus pada:
a)
b)
c)
d)
Mengubah proses kognitif sehingga menghasilkan kondisi maladaptive behaviours terhadap penggunaan;
Memutus rantai perilaku (behavioural chain) terhadap stimulus/peristiwa yang mengakibatkan penggunaan bahan
psikoaktif;
Membantu penderita agar berhasil mengatasi kondisi acute atau chronic substance craving;
Mendorong (promoting) dan menguatkan (reinforcing) kemampuan sosial (social skills) dan perilaku yang sesuai agar
dapat menjaga dan meneruskan kondisi substance free.
Prinsip dasar dari cognitive therapy adalah bahwa dengan identifikasi dan modifikasi terhadap pola pikir maladaptif
(maladaptive thinking patterns) yang ada, maka penderita selanjutnya mampu mengurangi atau menghilangkan negative
feelings and behaviours yang dialami (mis., penggunaan bahan psikoaktif).
Relapse prevention
Adalah suatu pendekatan terapi yang menggunakan cognitive behavioural techniques untuk membantu penderita membangun
kemampuan yang lebih besar dalam hal self-control sehingga mampu menghindarkan relaps. Adapun specific relapse
prevention strategies meliputi:



mengidentifikasi dan membicarakan adanya kondisi ambivalen (ambivalence),
mengidentifikasi pencetus emosi dan lingkungan (emotional and environment triggers) yang membangkitkan kondisi
craving dan penggunaan bahan psikoaktif, dan
membangun dan memberikan specific coping strategies yang dapat mengatasi internal maupun external stressors.
Contingency management
Adalah terapi perilaku (behavioural treatment) yang menggunakan penilaian kemungkinan akibat sebelum melakukan sesuatu
(predetermined positive or negative consequences), dengan menerapkan reward terhadap perilaku berhenti menggunakan
(abstinence) atau punish (sehingga dapat mencegah) terhadap perilaku menggunakan bahan psikoaktif kembali. Termasuk
rewards, misalnya memberikan vouchers (mis., tiket bioskop) apabila hasil pemeriksaan sampel urine negatif (substance-free),
dan diikutkan berpartisipasi dalam kegiatan yang positif (community reinforcement). Sedangkan punish misalnya, adanya
pemberitahuan kepada pengadilan, pemilik perusahaan tempat bekerja, atau anggota keluarga.
Motivational enhancement therapy
Modalitas terapi ini menggunakan prinsip pendekatan empatik dimana pemberi terapi membantu memotivasi penderita
dengan: menasehati penderita mengenai untung dan ruginya suatu perilaku tertentu; menggali tujuan hidup berikut hambatan
atau keraguan (ambivalence) untuk mencapai tujuan tersebut; serta mendengarkan keluhan sambil memberikan refleksi
(listening reflectively). Motivational enhancement therapy terbukti cukup efektif dalam terapi terhadap ketergantungan obat.


Ketergantungan obat (substance dependence) adalah kondisi/penyakit kompleks dengan mekanisme
biologis yang menimbulkan pengaruh pada otak dan pada kapasitasnya dalam mengendalikan perilaku
penggunaan bahan psikoaktif yang bersangkutan. Ketergantungan obat tidak hanya ditentukan oleh faktor
biologis dan genetik, namun juga dipengaruhi oleh faktor sosial, kultural dan lingkungan. Sampai saat ini
belum ada cara yang dapat mengidentifikasi individu mana yang akan mengalami ketergantungan obat –
baik sebelum maupun setelah memulai penggunaannya.
Ketergantungan obat bukan merupakan bentuk kegagalan kemampuan pikiran (of will) maupun
kegagalan dari kekuatan suatu karakter (of strength of character), melainkan merupakan gangguan medis
(medical disorder) yang dapat mengenai individu manapun. Ketergantungan obat merupakan gangguan
19





kronik yang berulang (chronic and relapsing disorder), dan seringkali bersamaan dengan gangguan fisik
dan mental lainnya.
Terdapat komorbiditas yang signifikan dari kondisi ketergantungan obat bersamaan dengan sejumlah
gangguan mental lainnya; oleh karena itu penilaian, terapi, dan riset terhadap ketergantungan obat paling
efektif apabila menggunakan pendekatan yang terintegrasi. Pemahaman terapi dan prevensi terhadap
kondisi gangguan metal atau ketergantungan obat tertentu dapat dipakai untuk menjalankan strategi
terapi dan prevensi terhadap kondisi gangguan mental atau ketergantungan obat lainnya. Oleh karena itu,
perhatian mengenai adanya kemungkinan komorbiditas dari suatu substance use disorders dengan
gangguan mental lain sangat diperlukan sebagai bagian dari menjalankan good practice dalam upaya
terapi dan intervensi baik terhadap kondisi gangguan mental maupun ketergantungan obat.
Upaya terapi terhadap ketergantungan obat tidak hanya bertujuan menghentikan penggunaannya –
melainkan merupakan suatu proses terapi yang mengupayakan perubahan perilaku (behaviour changes),
intervensi psikososial (psychosocial interventions), dan seringkali, melalui pemberian obat psikotropik
pengganti (substitute psychotropic drugs). Ketergantungan obat dapat diatasi dan ditangani secara costeffective, sebagai upaya penyelamatan hidup, memperbaiki kondisi kesehatan dari individu dan keluarga
yang bersangkutan, serta menurunkan biaya sosial yang ditimbulkan.
Upaya terapi yang ada harus dapat dijangkau oleh keseluruhan dari mereka yang membutuhkan. Telah
ada intervensi efektif yang dapat diintegrasikan kedalam sistem kesehatan yang ada, termasuk kedalam
pusat kesehatan primer masyarakat. Sektor kesehatan perlu menyediakan upaya terapi paling murah yang
dapat dijalankan (most cost-effective treatments).
Salah satu halangan besar dalam menjalankan upaya terapi terhadap mereka yang mengalami
ketergantungan obat dan problema ikutan yang menyertai adalah stigma dan diskriminasi yang
mengucilkan mereka. Dengan tanpa memandang tingkat keparahan dari penggunaannya dan jenis bahan
psikoaktif yang digunakan, mereka memiliki hak individual yang sama untuk memperoleh kesehatan,
pendidikan, dan peluang pekerjaan, serta kembali kedalam kehidupan sosial, seperti juga hak yang
didapatkan individu lainnya.
Upaya riset dibidang neurosains harus dilanjutkan dan diperluas melalui pengembangan riset pada ilmu
sosial, prevensi, terapi, dan bahkan sampai pada bidang yang menyangkut kebijakan (policy research).
Upaya penurunan dampak dari penggunaan bahan psikoaktif berikut gangguan yang berhubungan harus
berpegang pada prinsip evidence-based policies and programmes yang merupakan hasil dari riset beserta
aplikasinya.
Pustaka:
1. Room R et al. (2001) Cross-cultural views on stigma, valuation, parity and societal values towards disability. In: U¨ stu¨n TB et al.,
eds. Disability and culture: universalism and diversity. Seattle, WA, Hogrefe & Huber:247--291.
2. Mackay J, Eriksen M (2002) The tobacco atlas. Geneva, World Health Organization.
3. WHO (1999) Global status report on alcohol. Geneva, World Health Organization.
4. Room R et al. (2002) Alcohol and the developing world: a public health perspective. Helsinki, Finnish Foundation for Alcohol
Studies.
5. UNODC (2003) Global illicit drug trends 2003. NewYork, NY, United Nations Office on Drugs and Crime.
6. Murray CJ, LopezAD(1996) Global health statistics. Global burden of disease and injury series. Vol. 2. Geneva, World Health
Organization.
7. WHO (2002) The world health report 2002. Geneva, World Health Organization.
8. Babor T et al. (2003) No ordinary commodity: alcohol and public policy. Oxford, Oxford University Press.
9. WHO (1992) The ICD-10 classification of mental and behavioural disorders: clinical descriptions and diagnostic guidelines.
Geneva, World Health Organization.
10. Aine CJ (1995) A conceptual overview and critique of functional neuro-imaging techniques in humans. I. MRI/fMRI and PET.
Critical Reviews in Neurobiology, 9:229-309.
11. Volkow ND, Rosen B, Farde L (1997) Imaging the living human brain: magnetic resonance imaging and positron emission
tomography. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 94:2787--2788.
12. Gatley SJ, VolkowND(1998) Addiction and imaging of the living human brain. Drug and Alcohol Dependence, 51:97--108.
13. Volkow ND et al. (2001a) Low level of brain dopamine D2 receptors in methamphetamine abusers: association with metabolism
in the orbitofrontal cortex. American Journal of Psychiatry, 158:2015--2021.
14. Volkow ND et al. (2001b) Association of dopamine transporter reduction with psychomotor impairment in methamphetamine
abusers. American Journal of Psychiatry, 158:377--382.
15. Kalant H (2001) The pharmacology and toxicology of „„ecstasy‟‟ (MDMA) and related drugs. Canadian Medical Association
Journal, 165:917--928.
16. Montoya AG et al. (2002) Long-term neuropsychiatric consequences of „„ecstasy‟‟ (MDMA): a review. Harvard Review of
Psychiatry, 10:212--220.
20
17. Wise RA (1998) Drug-activation of brain reward pathways. Drug and Alcohol Dependence, 51:13--22.
18. Robbins TW, Everitt BJ (1996) Neurobehavioural mechanisms of reward and motivation. Current Opinion in Neurobiology,
6:228--236.
19. Cardinal RN et al. (2002) Emotion and motivation: the role of the amygdala, ventral striatum, and prefrontal cortex.
Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 26: 321--352.
20. Robinson TE, Berridge KC (2000) The psychology and neurobiology of addiction: an incentive-sensitization view. Addiction,
95(Suppl 2):S91--S117.
21. Schmid H (2000) Protektive faktoren. [Protective factors.] In: Uchtenhagen A, Zieglga¨nsberger W, eds. Suchtmedizin: konzepte,
strategien und therapeutsches management. [Addiction medicine: concepts, strategies and therapeutic management.] Munich,
Urban & Fischer Verlag:226--234.
22. Lloyd C (1998) Risk factors for problem drug use: identifying vulnerable groups. Drugs: Education Prevention and Policy, 5:217-232.
23. Uchtenhagen A (2000a) Determinanten fu¨r drogenkonsum und --abha¨ngigkeit. [Determinants of drug use and addiction.] In:
Uchtenhagen A, Zieglga¨nsberger W, eds. Suchtmedizin: konzepte, strategien und therapeutsches management. [Addiction
medicine: concepts, strategies and therapeutic management.] Munich, Urban & Fischer Verlag:193--195.
24. Uchtenhagen A (2000b) Risikofaktoren und schutzfaktoren: eine u¨bersicht. [Risk and protective factors: an overview.] In:
Uchtenhagen A, Zieglga¨nsberger W, eds. Suchtmedizin: konzepte, strategien und therapeutsches management. [Addiction
medicine: concepts, strategies and therapeutic management.] Munich, Urban & Fischer Verlag:195--198.
25. Cheng LS, Swan GE, Carmelli D (2000) A genetic analysis of smoking behavior in family members of older adult males.
Addiction, 95:427--435.
26. McGue M, Elkins I, Iacono WG (2000) Genetic and environmental influences on adolescent substance use and abuse. American
Journal of Medical Genetics, 96:671--677.
27. Bergen AW et al. (1999) A genome-wide search for loci contributing to smoking and alcohol dependence. Genetic Epidemiology,
17(Suppl.1):S55--S60.
28. Straub RE et al. (1999) Susceptibility genes for nicotine dependence: a genome scan and follow up in an independent sample
suggest that regions on chromosomes 2, 4, 10, 16, 17 and 18 merit further study. Molecular Psychiatry, 4:129--144.
29. Duggirala R, Almasy L, Blangero J (1999) Smoking behavior is under the influence of a major quantitative trait locus on human
chromosome 5q. Genetic Epidemiology, 17 Suppl 1:S139--S144.
30. Carmelli D et al. (1992) Genetic influence on smoking: a study of male twins. New England Journal of Medicine, 327:829--833.
31. Enoch MA, Goldman D (2001) The genetics of alcoholism and alcohol abuse. Current Psychiatry Reports, 3:144--151.
32. Han C, McGue MK, IaconoWG(1999) Lifetime tobacco, alcohol and other substance use in adolescent Minnesota twins:
univariate and multivariate behavioral genetic analyses. Addiction, 94:981--993.
33. Heath AC et al. (1997) Genetic and environmental contributions to alcohol dependence risk in a national twin sample:
consistency of findings in women and men. Psychological Medicine, 27:1381--1396.
34. Johnson EO et al. (1998) Extension of a typology of alcohol dependence based on relative genetic and environmental loading.
Alcoholism: Clinical and Experimental Research, 22:1421--1429.
35. Kendler KS et al. (1994) A twin-family study of alcoholism in women. American Journal of Psychiatry, 151:707--715.
36. Prescott CA, Kendler KS (1999) Genetic and environmental contributions to alcohol abuse and dependence in a populationbased sample of male twins. American Journal of Psychiatry, 156:34--40.
37. Prescott CA, Aggen SH, Kendler KS (1999) Sex differences in the sources of genetic liability to alcohol abuse and dependence
in a population-based sample of US twins. Alcoholism: Clinical and Experimental Research, 23:1136--1144.
38. Long JC et al. (1998) Evidence for genetic linkage to alcohol dependence on chromosomes 4 and 11 from an autosome-wide
scan in an American Indian population. American Journal of Medical Genetics, 81:216--221.
39. Lappalainen J et al. (1998) Linkage of antisocial alcoholism to the serotonin 5-HT1B receptor gene in two populations. Archives
of General Psychiatry, 55:989--994.
40. Agarwal DP(2001) Genetic polymorphisms of alcohol metabolizing enzymes. Pathology and Biology (Paris), 49:703--709.
41. Li TK (2000) Pharmacogenetics of responses to alcohol and genes that influence alcohol drinking. Journal of Studies on Alcohol,
61:5--12.
42. Ramchandani VA, Bosron WF, Li TK (2001) Research advances in ethanol metabolism. Pathology and Biology (Paris), 49:676-682.
43. Tsuang MT et al. (2001) The Harvard Twin Study of Substance Abuse: what we have learned. Harvard Review of Psychiatry,
9:267--279.
44. Daeppen JB et al. (2000) Clinical correlates of cigarette smoking and nicotine dependence in alcohol-dependent men and
women: the Collaborative Study Group on the Genetics of Alcoholism. Alcohol and Alcoholism, 35:171--175.
45. Hopfer CJ, Stallings MC, Hewitt JK (2001) Common genetic and environmental vulnerability for alcohol and tobacco use in a
volunteer sample of older female twins. Journal of Studies on Alcohol, 62:717--723.
46. Reed T et al. (1994) Correlations of alcohol consumption with related covariates and heritability estimates in older adult males
over a 14- to 18-year period: the NHLBI Twin Study. Alcoholism: Clinical and Experimental Research, 18:702--710.
47. Swan GE, CarmelliD, Cardon LR (1996) The consumption of tobacco, alcohol, and coffee in Caucasian male twins: a
multivariate genetic analysis. Journal of Substance Abuse, 8:19--31.
48. Swan GE, Carmelli D, Cardon LR (1997) Heavy consumption of cigarettes, alcohol and coffee in male twins. Journal of Studies
on Alcohol, 58:182--190.
49. Merikangas KR et al. (1998) Familial transmission of substance use disorders. Archives of General Psychiatry, 55:973--979.
50. Bierut LJ et al. (1998) Familial transmission of substance dependence: alcohol, marijuana, cocaine, and habitual smoking: a
report from the Collaborative Study on the Genetics of Alcoholism. Archives of General Psychiatry, 55:982--988.
51. Swan GE (1999) Implications of genetic epidemiology for the prevention of tobacco use. Nicotine and Tobacco Research,
1(Suppl. 1):S49--S56.
52. Regier DA et al. (1990) Comorbidity of mental disorders with alcohol and other drug abuse: results from the Epidemiological
Catchment Area (ECA) Study. Journal of the American Medical Association, 264:2511--2518.
21
53. Myers JK et al. (1984) Six-month prevalence of psychiatric disorders in three communities, 1980 to 1982. Archives of General
Psychiatry, 41:959--967.
54. Robins LN et al. (1984) Lifetime prevalence of specific psychiatric disorders in three sites. Archives of General Psychiatry,
41:949--958.
55. Rounsaville BJ et al. (1982) Heterogeneity of psychiatric disorders in treated opiate addicts. Archives of General Psychiatry,
39:161--168.
56. Rounsaville BJ et al. (1987) Psychopathology as a predictor of treatment outcome in alcoholics. Archives of General Psychiatry,
44:505--513.
57. Rounsaville BJ et al. (1991) Psychiatric diagnoses of treatment-seeking cocaine abusers. Archives of General Psychiatry, 48:43-51.
58. Robins LN, Regier DA, eds (1991) Psychiatric disorders in America: the Epidemiologic Catchment Area Study. New York, NY,
The Free Press.
59. Miller NS et al. (1996b) Prevalence of depression and alcohol and other drug dependence in addictions treatment populations.
Journal of Psychoactive Drugs, 28:111--124.
60. Schuckit MA et al. (1997a) Comparison of induced and independent major depressive disorders in 2,945 alcoholics. American
Journal of Psychiatry, 154:948--957.
61. Schuckit MA et al. (1997b) The life-time rates of three major mood disorders and four major anxiety disorders in alcoholics and
controls. Addiction, 92:1289--1304.
62. Schuckit MA (1985) The clinical implications of primary diagnostic groups among alcoholics. Archives of General Psychiatry,
42:1043--1049.
63. Roy A et al. (1991) Depression among alcoholics: relationship to clinical and cerebrospinal fluid variables. Archives of General
Psychiatry, 48:428--432.
64. Kessler RC et al. (1996) The epidemiology of co-occurring addictive and mental disorders: implications for prevention and
service utilization. American Journal of Orthopsychiatry, 66:17--31.
65. GlassmanAHet al. (1990) Smoking, smoking cessation, and major depression. Journal of the American Medical Association,
264:1546--1549.
66. Breslau N (1995) Psychiatric comorbidity of smoking and nicotine dependence. Behavior Genetics, 25:95--101.
67. Hughes JR et al. (1986) Prevalence of smoking among psychiatric outpatients. American Journal of Psychiatry, 143:993--997.
68. Glassman AH et al. (1988) Heavy smokers, smoking cessation, and clonidine: results of a double-blind, randomized trial.
Journal of the American Medical Association, 259:2863--2866.
69. Kessler RC et al. (1994) Lifetime and 12-month prevalence of DSM-III-R psychiatric disorders in the United States: results from
the National Comorbidity Survey. Archives of General Psychiatry, 51:8--19.
70. Le Duc PA, Mittleman G (1995) Schizophrenia and psychostimulant abuse: a review and re-analysis of clinical evidence.
Psychopharmacology, 121:407--427.
71. Subata E (2002) Injecting drug users, HIV/AIDS treatment and primary care in Central and Eastern Europe and the former
Soviet Union: results of a region-wide survey. http://www.eurasianet.org/health.security/presentations/emilis.ppt
72. American Journal of Psychiatry (1995) Practice guidelines for the treatment of patients with substance use disorders: alcohol,
cocaine, opioids. American Journal of Psychiatry, 152:1--59.
73. ason BJ et al. (1996) A double-blind, placebo-controlled trial of desipramine for primary alcohol dependence stratified on the
presence or absence of major depression. Journal of the American Medical Association, 275:761--767.
74. Streeton C, Whelan G. (2001) Naltrexone, a relapse prevention maintenance treatment of alcohol dependence: a meta-analysis
of randomized controlled trials. Alcohol and Alcoholism, 36:544-552.
75. Kranzler H.R (2000) Pharmacotherapy of alcoholism: gaps in knowledge and opportunities for research. Alcohol and Alcoholism,
35:537--547.
76. Hurt RD et al. (1997) A comparison of sustained-release buproprion and placebo for smoking cessation. New England Journal of
Medicine, 337:1195--1202.
77. Jorenby DE et al. (1999) A controlled trial of sustained-release buproprion, a nicotine patch, or both for smoking cessation. New
England Journal of Medicine, 340:685--691.
78. Baumann MH et al. (1994) GBR12909 attenuates cocaine-induced activation of mesolimbic dopamine neurons in the rat.
Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics, 271:1216--1222.
79. Rothman RB, Glowa JR (1995)Areview of the effects of dopaminergic agents on humans, animals, and drug-seeking behavior,
and its implications for medication development: focus on GBR 12909. Molecular Neurobiology, 11:1--19.
80. Brody BA (1998) The ethics of biomedical research: an international perspective. Oxford, Oxford University Press.
81. Jonsen AR (1998) The birth of bioethics. Oxford, Oxford University Press.
82. Beauchamp TL, Childress JF (2001) Principles of biomedical ethics. Oxford, Oxford University Press.
83. Davidoff F et al. (2001) Sponsorship, authorship, and accountability. New England Journal of Medicine, 345:825--827.
84. de Angelis CD, Fontanarosa PB, Flanagin A(2001) Reporting financial conflicts of interest and relationships between
investigators and research sponsors. Journal of the American Medical Association, 286:89--91.
85. Reidenberg MM (2001) Releasing the grip of big pharma. Lancet, 358:664.
86. Gerstein DR, Harwood HJ (1990) Treating drug problems. Vol. 1. A study of effectiveness and financing of public and private
drug treatment systems. Washington, DC, National Academy Press.
87. National Research Council (2001) Informing America‟s policy on illegal drugs: what we don‟t know keeps hurting us.
Washington, DC, National Academy Press.
88. Cohen PJ (1997) Immunization for prevention and treatment of cocaine abuse: legal and ethical implications. Drug and Alcohol
Dependence, 48:167--174.
89. Hall W (1997) The role of legal coercion in the treatment of offenders with alcohol and heroin problems. Australian and New
Zealand Journal of Criminology, 30:103--120.
90. Spooner C et al. (2001) An overview of diversion strategies for drug-related offenders. Drug and Alcohol Review, 20:281--294.
22
Download