Penyalah-gunaan dan Ketergantungan Bahan Psikoaktif: Pandangan Neurosains ©World Health Organization 2004 Editor: Indrajaya Manuaba Kata Pengantar Penyalah-gunaan dan ketergantungan telah menjadi permasalahan penting menyangkut individu dan masyarakat di seluruh dunia. Laporan WHO tahun 2002 menunjukkan sebanyak 8,9% dari keseluruhan permasalahan penyakit secara global berasal dari penyalah-gunaan bahan psikoaktif (psychoactive substances). Laporan tersebut memperlihatkan tembakau menduduki 4,1%; alkohol 4%; dan illicit drugs 0,8% dari keseluruhan dampak penyakit global di tahun 2000. Kebanyakan dari dampak yang diakibatkan oleh penyalah-gunaan bahan (substance use) tersebut berikut ketergantungan (dependence) yang ditimbulkannya merupakan akibat dari beragam problema kesehatan dan sosial, termasuk HIV/AIDS, yang terjadi di banyak negara melalui penyalah-gunaan obat suntikan (injecting drug use). Laporan neurosains ini adalah prakarsa WHO yang pertamakali untuk memberikan uraian komprehensif mengenai faktor biologis yang berhubungan dengan penggunaan bahan psikoaktif dan ketergantungan obat dengan memaparkan kemajuan utama di bidang neurosains dalam 20-30 tahun terakhir. Laporan ini menggarisbawahi pengetahuan yang paling mutakhir mengenai mekanisme kerja dari jenis bahan psikoktif yang berbeda-beda, serta menjelaskan mengenai bagaimana bahan psikoaktif tersebut dapat menimbulkan terjadinya dependence syndrome. Meskipun laporan ini berfokus pada mekanisme bahan psikoaktif didalam jaringan otak, namun juga secara garis besar menguraikan mengenai faktor sosial dan lingkungan yang berpengaruh pada terjadinya ketergantungan obat. Juga diuraikan mengenai aspek neurosains dari upaya intervensi yang ada, serta terutama implikasi etika dari strategi terbaru dari intervensi biologis yang ada (new biological intervention strategies). Beragam permasalahan kesehatan dan sosial yang diakibatkan oleh penggunaan dan ketergantungan tembakau, alkohol dan bahan terlarang (illicit substances) memerlukan perhatian yang besar dari komunitas kesehatan masyarakat dan membutuhkan langkah kebijakan (policy responses) yang tepat disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat yang berbeda. Masih banyak hal yang belum diketahui dari pemahaman kita mengenai bahan psikoaktif dan ketergantungan, namun laporan ini menunjukkan bahwa kita telah melangkah maju dalam pemahaman kita mengenai mekanisme yang melatarbelakangi (the nature) permasalahan ini yang dapat dipergunakan untuk merencanakan policy responses. Laporan ini penting untuk diketahui oleh berbagai kalangan dalam profesi kesehatan, pembuat kebijakan, ilmuwan, dan pelajar. LEE Jong-wook Director General World Health Organization 1 Penyalah-gunaan bahan psikoaktif dan dampaknya terhadap kesehatan secara global Penggunaan Tembakau Penggunaan alkohol, tembakau, dan bahan lainnya yang dikendalikan peredarannya secara global menunjukkan peningkatan yang tajam dan memberikan pengaruh signifikan terhadap problema penyakit secara global. Table 1 memperlihatkan prevalensi merokok pada kelompok usia muda dan dewasa di sejumlah negara. Kebiasaan merokok meluas dengan cepat di negara berkembang dan kalangan perempuan. Dewasa ini, sebanyak 50% laki-laki dan 9% perempuan di negara berkembang merokok; dibandingkan dengan 35% laki-laki dan 22% perempuan di negara maju. China, yang terutama menjadi penyumbang signifikan terhadap epidemi merokok di negara berkembang. Data menunjukkan, konsumsi rokok per kapita di wilayah Asia dan Timur Jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lain dunia, dimana wilayah Amerika dan Eropa Timur menduduki peringkat berikutnya. Tabel 1. Prevalensi merokok pada dewasa dan remaja berdasarkan negara Penggunaan Alkohol Alkohol dan tembakau serupa bila ditinjau dari beberapa hal: keduanya merupakan bahan yang beredar legal (legal substances), keduanya tersedia secara luas hampir di seluruh dunia, dan keduanya dipasarkan secara agresif oleh perusahaan transnasional yang mengincar anak muda melalui upaya pengiklanan dan promosi. Berdasarkan laporan mengenai penggunaan alkohol oleh Global status yang diperlihatkan pada Gambar 1 dibawah ini, tingkat konsumsi alkohol menunjukkan penurunan pada duapuluh tahun terakhir di negara maju, namun meningkat di negara berkembang, terutama di wilayah Pasifik Barat, dimana tingkat konsumsi alkohol per kapita per tahun pada kelompok usia dewasa mencapai kisaran 5 sampai 9 liter alkohol murni (pure alcohol), tingkat konsumsi yang juga diperoleh sama pada wilayah bekas Uni-Soviet dahulu. Pengamatan lebih jauh menunjukkan meningkatnya konsumsi alkohol pada wilayah negara berkembang dipengaruhi oleh peningkatan konsumsi di wilayah negara Asia. Tingkat konsumsi alkohol jauh lebih rendah di wilayah Afrika, Mediterania Timur, dan Asia Tenggara. 2 Gambar 1. Usia dewasa (15+) Per Kapita dari Konsumsi Alkohol berdasarkan Status Negara Penggunaan bahan terlarang (illicit substance use) Data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menunjukkan tingginya penyalah-gunaan cocaine, heroin, cannabis dan amphetamine-type stimulants di berbagai belahan dunia. Peredaran cocaine, heroin dan cannabis bergantung pada: luas lahan (level of cultivation) yang berada di negara penghasil (source countries) dan berhasil atau tidaknya pergerakan jaringan trafficking organizations. Namun demikian, walaupun melalui peninggian tingkat aktifitas pengendalian hukum (increased levels of law enforcement activities), kenyataannya masih saja selalu terdapat ketersediaan yang mencukupi bagi pengguna. Berdasarkan perkiraan UNODC, sekitar 200 juta orang telah melakukan penyalah-gunaan (illicit use) terhadap salah satu macam dari kelompok bahan terlarang (illicit substance). Table 2 memperlihatkan bahwa cannabis merupakan bahan terlarang yang paling sering disalah-gunakan, disusul kemudian oleh amphetamines, cocaine dan opioids. Penggunaan bahan terlarang (illicit substance use) predominan merupakan aktifitas laki-laki, setelah jauh lebih tinggi diatasnya merokok dan konsumsi alkohol. Penggunaan bahan terlarang juga menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada kalangan usia muda dibandingkan usia tua. Data pada Table 2 memperlihatkan bahwa sebanyak 2,7% dari keseluruhan populasi global dan 3,9% dari kelompok usia 15 tahun keatas telah menjadi pengguna cannabis sekurang-kurangnya satu kali antara periode tahun 2000 dan 2001. Di banyak wilayah negara maju, sebagai contoh, Canada, Amerika Serikat, dan kelompok negara Eropa, lebih dari 2% kalangan usia muda dilaporkan sebagai pengguna heroin dan sebanyak hampir 5% dilaporkan sebagai penghisap cocaine selama mereka hidup. Bahkan, sebanyak 8% kalangan usia muda di wilayah Eropa Barat dan lebih dari 20% di Amerika Serikat dilaporkan menggunakan sekurang-kurangnya satu macam bahan terlarang selain cannabis. Terdapat bukti meningkatnya dengan cepat penggunaan amphetamine-type stimulants pada kalangan remaja di wilayah Asia dan Eropa. Penggunaan bahan terlarang melalui suntikan (injecting substance use) juga merupakan fenomena yang sedang meningkat pesat, berikut implikasinya terhadap penyebaran infeksi HIV ditandai oleh meningkatnya jumlah negara yang melaporkan (Box 1). 3 Tabel 2. Perkiraan prevalensi tahunan dari penggunaan bahan psikoaktif terlarang, 2000-2001. Box 1. Penggunaan bahan terlarang melalui suntikan dan HIV/AIDS Secara global, persentase dari individu pengidap HIV/AIDS yang juga menyalah-gunakan bahan psikoaktif (psychoactive substances) melalui suntikan adalah sebesar 5% atau 2,1 juta orang di lebih dari 100 negara. Secara global, proporsi dari individu dewasa pengidap HIV/AIDS yang tertular HIV melalui penyuntikan bahan psikoaktif adalah sebesar 5%, walaupun angka ini sangat bervariasi bergantung pada wilayah; yaitu sebesar 50-90% pada wilayah di Eropa Timur, Asia Tengah, Asia Timur, dan wilayah Pasifik; dan 25-50% pada wilayah di Amerika Utara dan Eropa Barat. Upaya terapi dan prevensi terhadap penyalah-gunaan bahan psikoaktif melalui suntikan dapat membantu dalam upaya pencegahan terhadap penyebaran infeksi HIV. Perawatan dan pencegahan HIV/AIDS perlu diintegrasikan kedalam upaya terapi ketergantungan obat (substance dependence treatment). Dampak buruk bahan psikoaktif dan mekanisme kerjanya Umumnya, seseorang menggunakan bahan psikoaktif oleh karena menginginkan efek dari penggunaannya, baik oleh rasa nyaman yang didapatkan maupun untuk meredakan rasa nyeri, termasuk penggunaan pada kalangan luas. Namun, penggunaan bahan psikoaktif juga membawa dampak potensi merusak, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak buruk penggunaan bahan psikoaktif dapat dibagi kedalam empat kategori (Gambar 2). Pertama: dampak kronis terhadap kesehatan. Pada alkohol meliputi sirosis hati dan risiko penyakit kronis lainnya. Untuk tembakau yang digunakan dalam bentuk rokok meliputi kanker paru, emfisema dan penyakit kronis lainnya. Melalui berbagi jarum suntuk, penggunaan heroin suntikan merupakan vektor utama penularan infeksi seperti HIV (lihat Box 1) dan virus hepatitis B dan C dibanyak negara. Kedua: terdapat dampak biologis akut dari penggunaan bahan psikoaktif terhadap kesehatan (shortterm biological health effects). Yang terpenting, untuk bahan seperti opioids dan alkohol, dampak kategori ini meliputi overdosis. Juga termasuk dalam kategori ini adalah dampak buruk dari penggunaan bahan psikoaktif terhadap kemampuan koordinasi motorik, konsentrasi dan mengambil keputusan, dimana kesemuanya sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Kejadian mengemudi setelah minum alkohol atau setelah menggunakan bahan psikoaktif tertentu merupakan contoh penting dalam kategori ini, namun dapat juga kejadian kecelakaan lainnya, bunuh diri, dan perilaku kekerasan (terutama alkohol). 4 Kategori ke-tiga dan ke-empat dari dampak buruk penggunaan bahan psikoaktif adalah dampak buruk sosial: problema sosial akut, seperti gangguan interaksi sosial atau mengurung diri; problema sosial kronik, seperti gangguan dalam pekerjaan atau gangguan peran dalam keluarga. Penggunaan obat dan ketergantungan dalam pandangan neurosains Berdasarkan ICD-10, ketergantungan obat meliputi enam kriteria (lihat Box 2); seseorang yang memenuhi sekurang-kurangnya tiga kriteria dapat di-diagnosis sebagai “pecandu” („„dependent‟‟). Kriteria diagnosis yang dipakai oleh American Psychiatric Association juga menggunakan kriteria yang serupa. Seperti tampak dalam Box 2, dua kriteria yang paling mudah dinilai secara biologis adalah kriteria ke-tiga dan ke-empat: withdrawal -- timbulnya gejala fisik dan psikologis yang tidak menyenangkan apabila penggunaan bahan psikoaktif dikurangi atau dihentikan, dan tolerance --- mulai diperlukannya jumlah bahan psikoaktif yang lebih banyak untuk mendapatkan efek yang sama, atau jumlah obat yang sama memberikan efek yang tidak memadai lagi. Sedangkan empat kriteria lainnya meliputi elemen kognisi, yang kurang dapat diukur melalui penilaian biologis, namun saat ini menjadi dapat dinilai menggunakan teknik neuroimaging yang lebih canggih. Penting dipahami bahwa kriteria ketergantungan obat juga meliputi dampak penggunaannya pada kesehatan dan hubungan sosial. Gambar 2. Skema dampak dari penggunaan bahan psikoaktif terhadap kesehatan dan hubungan sosial Neuroanatomi, neurobiologi, dan farmakologi Ketergantungan obat (substance dependence) adalah kelainan berupa gangguan fungsi otak yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan psikoaktif. Bahan psikoaktif mempengaruhi proses persepsi, emosi dan motivasi yang normal didalam otak. Oleh karena output dari otak adalah perilaku (behaviour) dan pikiran (thoughts), maka gangguan fungsi otak akan memperlihatkan gejala perilaku yang sangat kompleks (highly complex behavioural symptoms). Otak dapat mengalami banyak tipe penyakit dan trauma, dari gangguan neurologis seperti stroke dan epilepsi, sampai penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson disease dan Alzheimer disease, dan penyakit infeksi ataupun traumatic brain injuries. Dalam setiap kasus tersebut, gejala perilaku (behavioural output) telah dikenali sebagai bagian dari penyakit yang dialami. Hal yang sama berlangsung pada ketergantungan obat, gejala perilaku yang muncul sangat kompleks, namun umumnya berhubungan dengan short-term atau long-term effects dari bahan psikoaktif terhadap otak. Gejala tremor dari Parkinson disease, kejang dari epilepsi, bahkan melancholy dari depresi telah dikenal luas dan 5 diterima sebagai simptom dari patologi otak yang melatarbelakangi. Sebelumnya, ketergantungan obat tidak dikenali sebagai gangguan otak (disorder of the brain), begitu juga penyakit psikiatrik dan penyakit mental. Namun demikian, dengan kemajuan dibidang neurosains, menjadi jelas bahwa ketergantungan obat merupakan gangguan fungsi otak seperti halnya penyakit neurologis atau kelainan psikiatrik. Teknologi dan riset terbaru memberikan peluang untuk dapat melihat dan menilai perubahan yang terjadi dari fungsi otak, dari tingkat melekular dan selular, sampai perubahan pada proses kognitif kompleks yang terjadi pada penggunaan bahan psikoaktif jangka pendek dan jangka panjang. Kemajuan penting dalam riset neurosains terhadap ketergantungan obat diperoleh dari penemuan dan penggunaan teknik yang memungkinkan visualisasi struktur dan fungsi otak pada otak manusia hidup, yang dikenal sebagai teknik neuroimaging. Melalui teknik ini, peneliti dapat menyaksikan perubahan yang terjadi dari tingkat reseptor sampai perubahan global dari metabolisme dan aliran darah pada beragam regio otak. Gambaran yang dihasilkan dapat dipantau perubahannya saat bahan psikoaktif diberikan, untuk mengetahui dilokasi mana dari otak bahan tersebut bekerja, dan juga setelah penggunaannya dalam jangka panjang untuk mengetahui pengaruhnya terhadap fungsi otak yang normal. Salah satu contoh imaging technique adalah magnetic resonance imaging (MRI), yang memanfaatkan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan pencitraan struktur otak dua- atau tiga-dimensi berkualitas tinggi. Otak dapat ditampilkan dengan sangat detail. Meskipun teknik MRI hanya menghasilkan gambar statik (static pictures) dari anatomi otak, namun melalui teknik yang disebut functional MRI (fMRI) memungkinkan didapatkan gambaran fungsional mengenai aktifitas otak dengan kemampuannya membandingkan oxygenated dan deoxygenated blood. Teknik imajing lainnya yang penting dan berguna adalah positron emission tomography (PET). PET scans memungkinkan tampilan informasi mengenai aktifitas metabolik dari regio otak tertentu. Prosedur yang umum, individu disuntikkan menggunakan bahan radioaktif yang selanjutnya dapat dijajag melalui aliran darah otak. Proses penjajagan tersebut dapat ditampilkan dalam citra dua- atau tiga-dimensi, dimana warna yang berbeda pada hasil PET scan menunjukkan tingkat radioaktifitas yang berbeda (biru dan hijau menunjukkan area dengan aktifitas radioaktif rendah, sedangkan kuning dan merah menunjukkan area dengan aktifitas tinggi). Dengan menggunakan bahan radioaktif yang berbeda-beda, PET scans dapat digunakan untuk memperlihatkan kondisi aliran darah, metabolisme oksigen dan glukose, serta konsentrasi obat didalam jaringan otak hidup. Box 2. Kriteria ketergantungan obat (ICD-10) Tiga atau lebih dari kriteria berikut ini harus dialami atau ditunjukkan pada suatu waktu selama satu tahun terakhir: 1. Dorongan (desire) atau perasaan kompulsi (sense of compulsion) yang kuat untuk menggunakan bahan psikoaktif; 2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan obat (substance-taking behaviour) dalam hal onset, penghentian, atau tingkat pemakaian; 3. Munculnya kondisi physiological withdrawal state apabila penggunaan obat dihentikan atau dikurangi, yang ditandai oleh: gejala putus obat yang khas dari obat yang dipakai (characteristic withdrawal syndrome); atau kembali menggunakan obat yang sama (atau yang serupa) dengan tujuan untuk meredakan atau menghindari kemunculan gejala putus obat; 4. Munculnya kondisi tolerance, dengan menaikkan dosis pemakaian bahan psikoaktif untuk memperoleh efek yang sebelumnya didapatkan melalui dosis yang lebih rendah; 5. Penelantaran yang semakin berat (progressive neglect) terhadap pilihan kenyamanan atau kesenangan lainnya dengan terus-menerus menggunakan bahan psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu untuk mendapatkan atau memakai obat atau mengembalikan efek pernah diperoleh; 6. Terus-menerus menggunakan bahan psikoaktif meskipun telah mengalami dampak yang merusak, seperti gangguan fungsi hati akibat meminum dengan berlebihan, kondisi depresi akibat penggunaan dalam jumlah besar, atau gangguan fungsi kognitif (substance-related impairment of cognitive functioning). Perlu upaya terus-menerus untuk memastikan bahwa pengguna telah atau kemungkinan telah memahami risiko dan luasnya kerusakan yang telah ia alami. 6 Brain mechanisms: neurobiologi dan neuroanatomi Otak merupakan jaringan yang highly organized kedalam sejumlah regio yang berbeda-beda dengan fungsi yang berbeda-beda (specialized functions). Regio otak yang dikenal sebagai hindbrain [rhombencephalon: pons, medulla oblongata, dan cerebellum] tersusun oleh struktur yang vital untuk mempertahankan hidup, seperti pusat kendali pernafasan dan kewaspadaan (wakefulness). Sedangkan, yang dikenal sebagai midbrain [mesencephalon] merupakan regio yang tersusun oleh sejumlah area yang penting dalam hubungannya dengan ketergantungan obat, oleh karena regio ini berperan dalam proses motivasi dan learning mengenai stimuli lingkungan yang penting untuk mempertahankan hidup (important environmental stimuli), serta perilaku bertahan (reinforcing behaviours) untuk mendapatkan kenyamanan (pleasurable) dan untuk mempertahankan hidup (life-sustaining), seperti makan dan minum. Adapun, yang disebut forebrain [prosencephalon: telencephalon <cortex, white matter, dan basal ganglia>, dan diencephalon] merupakan bagian otak yang jauh lebih kompleks, dan pada manusia struktur cerebral cortex dari forebrain sangat berkembang (highly developed), memberikan kemampuan berpikir abstrak dan kemampuan merencanakan (planning), serta kemampuan menghubungkan pikiran dengan memori. Regio khusus pada forebrain terbukti melalui brain imaging techniques dapat teraktifasi oleh stimuli yang memicu kondisi „„cravings‟‟ (dorongan kuat untuk mendapatkan obat) pada individu dengan ketergantungan obat, dan regio lainnya terbukti menunjukkan fungsi yang abnormal pada penggunaan akut atau kronik dari bahan psikoaktif dan pada ketergantungan obat. Komunikasi didalam jaringan otak terjadi diantara satu sel neuron dengan neuron lainnya. Neuron berkomunikasi dengan neuron lainnya menggunakan chemical messengers (molekul kimia pembawa pesan) yang dilepaskan kedalam celah sinaps (lihat Gambar 3). Apabila suatu neuron mengalami eksitasi (meletup) maka electrical signal akan merambat dari badan sel neuron menuju struktur memanjang (elongated process) yang disebut axon, untuk mencapai jangkauan pendek (short distances) yaitu neuron yang berdekatan, atau mencapai jangkauan panjang (long distances) yaitu regio lain dari otak. Pada ujung dari axon terdapat struktur yang disebut terminal button. Untuk berkomunikasi, pesan yang berasal dari terminal button suatu axon harus melintasi ruang celah untuk mencapai neuron terdekat. Celah antar neuron ini disebut synapse atau synaptic cleft (celah sinaps). Molekul kimia pembawa pesan (chemical messengers) dilepaskan oleh neuron yang mengirimkan pesan (presynaptic neuron) kepada neuron penerima pesan (postsynaptic neuron). Molekul kimia tersebut, juga disebut neurotransmitters, memiliki struktur kimia dan fungsi spesifik, dan neurotransmiter yang dilepaskan bergantung pada tipe neuron. Sejumlah neurotransmiter yang telah lebih banyak melewati pembuktian (well-studied neurotransmitters) dan berhubungan dengan bahan psikoaktif adalah: dopamine, serotonin, norepinephrine, GABA, glutamate dan endogenous opioids. Gambar 3. Terminal button dan sinaps 7 Jaringan otak mengandung beragam tipe neurotransmiter yang berbeda-beda. Masing-masing neurotransmiter spesifik akan berikatan dengan reseptor spesifik (specific receptor), seperti lubang kunci dengan anak kuncinya (lihat Gambar 4). Peristiwa berikatannya neurotransmiter dengan reseptor nya akan mengakibatkan perubahan yang berbeda-beda pada postsynaptic membrane. Reseptor dinamai berdasarkan tipe neurotransmiter yang dapat diikat, misalnya, dopamine receptors dan serotonin receptors. Juga terdapat sejumlah subtipe dari masing-masing tipe reseptor. Bahan psikoaktif memiliki kemampuan yang menyerupai efek dari neurotransmiter alamiah yang ada didalam tubuh (endogenous neurotransmitters), bahkan mengganggu fungsi normal otak dengan melakukan blokade terhadap fungsi yang normal, atau mengakibatkan perubahan terhadap mekanisme penyimpanan (storage), pelepasan (release) dan pembersihan (removal) neurotransmiter yang normal. Salah satu mekanisme penting dari cara kerja bahan psikoaktif adalah: blokade terhadap mekanisme reuptake dari neurotransmiter setelah pelepasannya dari presynaptic terminal. Reuptake adalah mekanisme normal yang diperankan oleh presynaptic membrane dimana neurotransmiter dibersihkan dari celah sinaps. Oleh karena terjadi blokade terhadap mekanisme reuptake, maka efek normal dari neurotransmiter menjadi berlebihan. Bahan psikoaktif yang berikatan dan meningkatkan fungsi suatu reseptor disebut agonists, sedangkan yang berikatan untuk memblokade fungsi normal dari suatu reseptor disebut antagonists. Gambar 4. Dua tipe chemical synapses Diagram pertama memperlihatkan pengikatan neurotransmiter yang mengakibatkan terbukanya suatu ligand-gated ion channel. Diagram ke-dua memperlihatkan pengikatan neurotransmiter yang menimbulkan terjadinya aktifasi terhadap suatu G protein-coupled receptor sehingga mengakibatkan terbukanya suatu ion channel oleh peran suatu second messenger. Psikofarmakologi ketergantungan obat berdasarkan klas bahan psikoaktif Dari yang paling banyak beredar, bahan psikoaktif dapat dikelompokkan kedalam: depressants (mis., alkohol, sedatif/hipnotik, volatile solvents), stimulants (mis., nikotin, cocaine, amphetamines, ecstasy), opioids (mis., morphine dan heroin), dan hallucinogens (mis., PCP, LSD, cannabis). Bahan psikoaktif yang berbeda memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk menimbulkan efek didalam jaringan otak. Masing-masing berikatan dengan tipe reseptor yang berbeda, dan dapat meningkatkan atau menurunkan aktifitas suatu neuron melalui sejumlah mekanisme yang berbeda. Sehingga, masing-masing dapat menimbulkan efek perilaku (behavioural effects) yang berbeda, memiliki kecepatan terjadinya kondisi tolerance yang berbeda, withdrawal symptoms yang berbeda, serta short-term dan long-term effects yang berbeda (Table 4). Namun, bahan psikoaktif memiliki persamaan dalam hal pengaruhnya terhadap regio penting dalam jaringan otak yang terlibat dalam proses motivasi, dan hal ini merupakan kemampuan yang signifikan berdasarkan teori terjadinya ketergantungan obat. 8 Table 4. Ringkasan efek bahan psikoaktif Bahan psikoaktif Ethanol Mekanisme kerja utama Tolerance dan withdrawal Penggunaan jangka-lama Meningkatkan inhibitory effects dari neurotransmiter GABA dan menurunkan excitatory effects dari neurotransmiter glutamate. Reinforcing effects sangat mungkin ditimbulkan oleh pengaruhnya dalam meningkatkan aktifitas pada mesolimbic dopamine pathway. Gangguan fungsi dan perubahan struktur otak, terutama pada prefrontal cortex; gangguan kognitif; pengkisutan volume otak. Hipnotik dan sedatif Meningkatkan aktifitas dari endogenous inhibitory neurotransmitters. Nikotin Mengaktifasi nicotinic cholinergic receptors. Meningkatkan sintesis dan pelepasan neurotransmiter dopamine. Opioids Mengaktifasi reseptor yang disebut mu dan delta opioid receptors. Kedua reseptor ini banyak tersebar di area otak yang terlibat merespon bahan psikoaktif, seperti area yang disebut mesolimbic dopamine pathway. Tolerance terjadi oleh adanya peningkatan metabolismenya di hepar, dan adanya perubahan pada reseptornya didalam jarangan otak. Withdrawal pada penggunaan kronik ditandai oleh: badan tidak tenang (shaking), berkeringat, lemas, agitasi, sakit kepala, mual, muntah, kejang, delirium tremens. Tolerance terjadi dengan cepat pada hampir semua efeknya (kecuali efek anticonvulsant), oleh adanya perubahan pada reseptornya. Withdrawal ditandai oleh: ansietas, terjaga (arousal), tidak bisa diam (restlessness), insomnia, mudah terkejut (excitability), kejang. Tolerance terjadi oleh faktor metabolik, dan adanya perubahan pada reseptornya. Withdrawal ditandai oleh: iritabilitas, perilaku tidak menyenangkan (hostility), ansietas, galau (dysphoria), depresi, detak jantung melambat, nafsu makan meningkat. Tolerance terjadi oleh adanya perubahan pada reseptornya (short-term dan longterm receptor changes), dan adanya adaptasi pada mekanisme intracellular signaling. Withdrawal dapat sangat berat, ditandai oleh: mata berair (watering eyes), hidung berair (runny nose), menguap, berkeringat, tidak bisa diam, menggigil, kram, nyeri otot. Gangguan memori. Dampak merokok terhadap kesehatan telah diketahui luas; sulit membedakan efek nikotin dari efek komponen lain didalam tembakau. Adanya perubahan pada reseptor opioid dan transmiter peptida (longterm changes); adanya adaptasi terhadap reward, learning, dan stress responses. Neurobiological dan biobehavioural basis terjadinya ketergantungan obat Ketergantungan obat sebagai learning process yang melibatkan key brain regions Terjadinya ketergantungan obat dapat dipandang sebagai bagian dari learning process, dengan pemahaman bahwa adanya perubahan yang semakin nyata pada perilaku merupakan akibat dari interaksi dengan bahan psikoaktif berikut lingkungan yang menyertainya. Seseorang menggunakan dan selanjutnya mengalami efek yang ditimbulkan oleh bahan psikoaktif, yang dirasakan sebagai highly rewarding atau reinforcing (sangat nikmat dan menyenangkan), yang mana bahan tersebut mengaktifasi sirkuit didalam jaringan otak yang pada gilirannya mengakibatkan kecenderungan yang semakin besar perilaku tersebut diulangi kembali. Namun demikian, efek menyenangkan (rewarding effects) semata yang timbulkan oleh bahan psikoaktif tidak dapat menerangkan semua perubahan perilaku yang berhubungan dengan ketergantungan obat (Box 2). Begitu juga, ketergantungan fisik (physical dependence) terhadap bahan psikoaktif, seperti yang ditunjukkan pada gejala withdrawal apabila penggunaan dihentikan, merupakan faktor yang melatarbelakangi penggunaan dan ketergantungan obat; namun tidak merupakan satu-satunya faktor yang dapat menjelaskan terjadinya ketergantungan obat, terlebih apabila kondisi ini menetap, terutama setelah periode panjang penghentian penggunaannya. Apa yang melatarbelakangi bahan psikoaktif sampai menimbulkan seseorang 9 Tabel 4. (lanjutan) Bahan psikoaktif Cannabinoids Cocaine Amphetamines Ecstasy Inhalants Hallucinogens Mekanisme kerja utama Tolerance dan withdrawal Penggunaan jangka-lama Mengaktifasi cannabinoid receptors. Juga meningkatkan aktifitas neurotransmiter dopamine pada mesolimbic pathway. Cocaine memblokade mekanisme uptake dari neurotransmiter seperti dopamine, sehingga menimbulkan pemanjangan efek dopamine. Meningkatkan pelepasan neurotransmiter dopamine pada nerve terminals dan menghambat mekanisme reuptake dari dopamine dan neurotransmiter lain yang berhubungan. Meningkatkan pelepasan dan memblokade mekanisme reuptake dari neurotransmiter serotonin. Tolerance terjadi dengan cepat terhadap hampir semua efeknya. Wtihdrawal jarang dijumpai, kemungkinan oleh karena panjangnya waktu paruh (long half-life) dari cannabinoids. Kemungkinan dapat terjadi shortterm acute tolerance. Sedikit bukti terjadinya withdrawal, namun kondisi depresi umum dijumpai pada pecandu yang menghentikan penggunaan. Tolerance terjadi dengan cepat terhadap efek perilaku dan fisiologis nya. Withdrawal ditandai oleh: fatigue, depresi, ansietas, dan kondisi craving yang berat. Paparan jangka-lama (long-term exposure) dengan cannabis dapat mengakibatkan long-lasting cognitive impairment. Juga terdapat risiko eksaserbasi gangguan mental. Dapat terjadi tolerance pada sejumlah individu. Gejala withdrawal yang paling sering adalah: depresi dan insomnia. Paling besar pengaruhnya pada inhibitory transmitters, serupa dengan sedatif dan hipnotik. Mengaktifasi mesolimbic dopamine pathway. Bahan yang berbeda dari klas psikoaktif ini bekerja pada reseptor yang berbeda, seperti: serotonin, glutamate, dan acetylcholine receptors. Dapat terjadi sejumlah tolerance, meskipun sulit diperkirakan. Terdapat peningkatan risiko kejang selama withdrawal. Kerusakan brain serotonin systems mengakibatkan gangguan perilaku dan fisiologis. Long-term psychiatric dan physical problems seperti: gangguan memori, gangguan dalam proses mengambil keputusan dan pengendalian diri, paranoia, depresi, dan serangan panik. Adanya perubahan mekanisme pengikatan dan fungsi dari reseptor dopamine; penurunan fungsi kognitif; gangguan psikiatrik dan neurologis. Tolerance terjadi dengan cepat terhadap efek fisik dan psikologis. Tidak ada bukti terjadinya withdrawal. Dijumpai adanya cognitive deficits, abnormalitas pada regio tertentu dari area kortikal, gangguan fungsi motorik, dan penurunan ketangkasan motorik (reaction times). Gangguan tidur, ansietas, penurunan nafsu makan, adanya perubahan pada reseptor dopamine jaringan otak, perubahan metabolik regional jaringan otak, gangguan motorik dan kognitif. Acute atau chronic psychiatric episodes, kondisi flashback atau re-experiencing dari efek obat jauh setelah menggunakan obat. kehilangan pekerjaannya dan keluarganya demi mendapatkan obat ini? Proses apa yang melatarbelakangi perilaku menggunakan obat (substance-taking behaviour), pada individu tertentu, sampai memperlihatkan pola kompulsif (compulsive patterns) dari substance-seeking dan substance-taking behaviour dengan mengabaikan hampir semua aktifitas lain, dan apa penyebab dari ketidak-mampuan menghentikan penggunaan, yaitu kondisi relapse? Tampaknya terdapat complex interplay dari faktor psikologis, neurobiologis, dan sosial yang melatarbelakangi keadaan ini. 10 Biobehavioural processes yang melatarbelakangi ketergantungan obat Otak memiliki sistem yang memberikan tuntunan (guide) dan arahan (direct) pada perilaku dalam mencermati stimuli penting untuk mempertahankan hidup (survival). Sebagai contoh, stimuli yang berhubungan dengan makanan, air, dan pasangan lawan jenis kesemuanya akan mengaktifasi jaras spesifik (specific pathways), yang selanjutnya akan menguatkan (reinforce) perilaku untuk mendapatkan target yang bersangkutan. Bahan psikoaktif secara artifisial juga mengaktifasi jaras yang sama, namun dengan sangat kuat, sehingga mengakibatkan peninggian motivasi untuk meneruskan perilaku tersebut. Jadi, berdasarkan teori ini (biobehavioural process), ketergantungan obat merupakan akibat dari interaksi kompleks antara efek fisiologis (physiological effects) dari bahan psikoaktif terhadap area otak yang berperan dalam proses motivasi dan emosi, berkombinasi dengan proses „„learning‟‟ terhadap hubungan antara bahan psikoaktif dengan efek yang dialami saat menggunakannya (substance-related cues). Mesolimbic dopamine pathway Meskipun setiap klas bahan psikoaktif memiliki mekanisme kerja utama farmakologis yang spesifik (Tabel 4), namun kebanyakan dapat juga mengaktifasi struktur mesolimbic dopamine pathway (lihat Gambar 5), walaupun melalui mekanisme berbeda bergantung pada bahan psikoaktif yang digunakan. Struktur sirkuit mesolimbic dopamine pathway berada didalam area otak yang disebut midbrain, merupakan sistem yang paling kuat berperan memicu dependence-producing potential pada penggunaan bahan psikoaktif (Wise RA, Drug-activation of brain reward pathways. Drug and Alcohol Dependence, 51:13—22, 1998). Dua area otak yang sangat penting dalam hubungannya dengan ketergantungan obat adalah ventral tegmental area (VTA), dan regio penghubung yang dikenal sebagai nucleus accumbens. VTA merupakan area yang tersusun padat oleh neuron yang mengandung neurotransmiter dopamine. Badan sel dari populasi neuron ini mengirimkan proyeksi [axon] menuju regio otak yang berperan dalam proses emosi, berpikir, memori, serta perilaku merencanakan (planning) dan memutuskan (executing). Sedangkan nucleus accumbens merupakan area otak yang sangat penting peranannya dalam proses motivasi dan learning, serta meletupkan (signalling) motivational value dari suatu stimuli (Robbins TW, Everitt BJ, Neurobehavioural mechanisms of reward and motivation. Current Opinion in Neurobiology, 6:228— 236,1996; Cardinal RN et al., Emotion and motivation: the role of the amygdala, ventral striatum, and prefrontal cortex. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 26: 321—352, 2002). Bahan psikoaktif terbukti meningkatkan pelepasan neurotransmiter dopamine pada nucleus accumbens, yang merupakan peristiwa penting dalam penguatan perilaku (reinforcement). Motivation dan incentive Motivation dan incentive merupakan konsep penting dalam memahami fenomena ketergantungan obat. Struktur mesolimbic dopamine pathway terbukti sangat berperan dalam motivational processes: dengan kata lain, stimuli yang dikenali penting dalam mempertahankan hidup akan ditandai sebagai special importance didalam otak. Motivasi merupakan bagian dari kemampuan atensi dan perilaku (attentional and behavioural resources) menghadapi predicted consequences (kemungkinan manfaat) dari suatu stimuli. Sedangkan incentives adalah stimuli yang dapat membangkitkan respon berdasarkan predicted consequences yang dimiliki. Sebagai contoh, apabila seseorang tidak dalam kondisi lapar, maka stimuli visual dan olfaktorik yang berhubungan dengan makanan (incentives) akan memberikan efek yang kecil terhadap perilaku atau atensi nya (motivation). Namun, apabila orang tersebut dalam keadaan lapar, maka bayangan dan bau makanan akan menggugah individu tersebut untuk memperhatikan (attention), serta melangkah untuk mendapatkan makanan tersebut. Apabila individu tersebut dalam kondisi kelaparan dan tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan makanan, ia bahkan bisa mencuri atau melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan makanan. Konsep ini dikenal sebagai incentive-motivational responding, atau perilaku (responding) yang ditimbulkan oleh incentive value dari suatu stimulus dan motivasi untuk mendapatkannya. Pada ketergantungan bahan psikoaktif, bahan psikoaktif telah berulang-kali mengaktifasi motivational systems dari otak yang dalam keadaan normal semestinya hanya diaktifasi oleh stimuli penting untuk mempertahankan hidup seperti makanan, air, keadaan bahaya, dan pasangan lawan jenis. Dengan kata lain, otak “dikelabui” oleh bahan psikoaktif dengan merespon/berperilaku layaknya bahan psikoaktif berikut stimuli yang menyertainya merupakan kebutuhan biologis. Melalui paparan berulang, asosiasi tersebut menjadi semakin kuat, memicu behavioural dan neurochemical response yang semakin kuat. Kondisi ini dikenal sebagai incentive sensitization, dimana bahan psikoaktif beserta stimuli yang berhubungan dengan penggunaannya mengakibatkan peningkatan motivational dan behavioural significance (Robinson TE, Berridge KC, The psychology and neurobiology of addiction: an incentive-sensitization view. Addiction, 95(Suppl 2):S91--S117, 2000). Melalui associative learning processes, motivasi untuk menggunakan bahan psikoaktif dapat teraktifasi dengan kuat 11 oleh stimuli (lingkungan, kalangan, objek) yang berhubungan dengan penggunaan bahan psikoaktif, mengakibatkan timbulnya dorongan kuat (craving) yang bisa mengabaikan orang lain dan kembali relapse menggunakan bahan psikoaktif, bahkan walaupun telah cukup lama menghentikan penggunaan. Hal ini juga memberikan pemahaman mengapa gejala putus obat semata tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan spektrum dari ketergantungan obat, sebab meskipun seseorang telah dalam kondisi completely withdrawn dari bahan psikoaktif tertentu masih dapat mengalami relapse dalam merespon beragam situasi yang berbeda. Dalam memahami ketergantungan obat, perlu diingat bahwa sepanjang perjalanan hidup banyak orang pernah mencoba menggunakan beragam bahan yang tergolong potentially dependence-producing substances, namun kebanyakan diantaranya tidak mengalami ketergantungan obat. Juga terdapat perbedaan individual dalam hal kerentanan (susceptibility) untuk mengalami ketergantungan obat yang dilatarbelakangi oleh faktor lingkungan dan genetik. Gambar 5. Mesolimbic dopamine pathway Box 3. Faktor risiko dan protektif dari penggunaan bahan psikoaktif Faktor risiko Faktor protektif Lingkungan Lingkungan Peredaran bahan psikoaktif Situasi perekonomian Kemiskinan Kendali masyarakat (situational control) Pergeseran sosial Dukungan sosial Budaya kalangan (peer culture) Integrasi sosial Pekerjaan Peristiwa berdampak positif di masyarakat Norma budaya, perilaku Peraturan dalam peredaran bahan dan obat, tembakau dan alkohol Individual Individual Disposisi genetik Coping skills yang memadai Korban tindak kekerasan terhadap anak (child Mandiri (self-efficacy) abuse) Pemahaman risiko Gangguan kepribadian (personality disorders) Optimisme Keretakan dalam keluarga dan problema Perilaku yang berhubungan dengan kesehatan ketergantungan Kemampuan menghadapi tekanan sosial Rendahnya kemampuan di sekolah Perilaku hidup sehat Pengucilan sosial (social deprivation) Depresi dan perilaku bunuh diri 12 Dasar Genetik dari Perbedaan Individual Kerentanan terhadap Ketergantungan Obat. Terdapat banyak faktor individual, kultural, biologis, sosial dan lingkungan yang mempengaruhi peningkatan atau penurunan risiko seseorang untuk mengkonsumsi suatu bahan psikoaktif, begitu juga tingkat keparahannya. Meskipun faktor-faktor yang diperlihatkan pada Box 3 lebih berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi mulainya penggunaan suatu bahan psikoaktif (initiation) ketimbang ketergantungan obat, namun banyak dari faktor yang disebutkan umum dijumpai pada kedua fenomena. Salah satu aspek dari riset dalam neurosains adalah meneliti bagaimana suatu bahan psikoaktif bekerja dengan latarbelakang genetik yang umum diturunkan (common biological inheritance) pada semua manusia. Aspek berlawanan dari riset genetik yang diteliti adalah mengenai perbedaan mekanisme kerja dari bahan psikoaktif antara satu individu dengan individu lainnya yang dipengaruhi oleh adanya perbedaan genetik. Dengan demikian, disamping adanya faktor sosial dan kultural, perbedaan genetik dapat menjelaskan adanya variasi yang cukup nyata dari penggunaan dan ketergantungan terhadap bahan psikoaktif diantara masing-masing individu. Meskipun tidak sederhana untuk dapat mengidentifikasi gen yang bertanggung-jawab melatari variasi tersebut. Meskipun beberapa penyakit disebabkan oleh kelainan gen tunggal (single gene), seperti Huntington’s disease, namun bebarapa penyakit lainnya, yang dikenal sebagai complex disorders, tampaknya disebabkan oleh interaksi dari sejumlah gen dengan faktor lingkungan. Ketergantungan obat adalah salah satu contoh dari penyakit kompleks seperti itu. Dengan demikian, paparan oleh bahan psikoaktif akan menimbulkan dampak yang jauh lebih buruk pada mereka yang memiliki/membawa genetic vulnerability (kerentanan genetik) untuk terjadinya ketergantungan obat dibandingkan mereka yang tidak memilikinya. Inilah yang juga menyebabkan riset genetik dari ketergantungan obat lebih rumit, meskipun telah didapatkan kemajuan besar dalam beberapa tahun belakangan dalam identifikasi gen yang bertanggung-jawab menimbulkan ketergantungan obat. Penelitian mengenai pola yang diturunkan (inheritance) dalam keluarga, pada identical dan fraternal twins, dan pada individu yang dibesarkan melalui adopsi, memberikan informasi mengenai besarnya pengaruh faktor yang diturunkan dalam terjadinya ketergantungan obat. Fokus lain dari penelitian adalah mengenai diturunkannya perilaku individual tertentu (inheritance of related traits), untuk mengidentifikasi regio dari gen yang berperan penting. Penelitian terhadap gen tertentu (candidate gene) menyasar` gen yang dinilai bertanggung-jawab dan terlibat dalam ketergantungan obat, seperti gen dari reseptor opioid (opioid receptor genes) pada ketergantungan terhadap opioid. Terdapat bukti adanya faktor diturunkan yang signifikan (significant heritability) pada penggunaan tembakau diantara populasi yang berbeda, jenis kelamin yang berbeda, dan kelompok usia yang berbeda (25, 26). Hasil studi mengesankan adanya banyak gen berbeda melatar-belakangi terjadinya persistence of smoking (27- 29). Gen yang berperan dalam metabolisme nikotin merupakan faktor risiko penting untuk perilaku merokok; dan adanya variasi pada gen ini kemungkinan menjadi penentu utama dari tingginya kadar nikotin otak dan akumulasinya. Terdapat faktor diturunkan yang signifikan (significant heritability) dari ketergantungan terhadap alkohol, begitu juga heritabilitas dari frekuensi dan kuantitas konsumsi alkohol (30-37). Gen yang kemungkinan penting melatari hal tersebut adalah gen yang terlibat dalam metabolisme alkohol (38), dan gen dari reseptor untuk neurotransmiter GABA(38), serotonin (39), dan dopamine (38). Variasi genetik dari ensim yang memetabolisme alkohol (alcohol metabolizing enzymes) juga telah diidentifikasi kemungkinan melatarbelakangi sejumlah variasi dari perilaku konsumsi alkohol (40-42). Terdapat bukti dari sejumlah studi bahwa heritabilitas dari ketergantungan terhadap opioid adalah tinggi, diperkirakan hampir 70% (43); hal ini kemungkinan dilatarbelakangi melalui diturunkannya opioid receptors atau opioid metabolizing enzymes yang berbeda. Juga terdapat pengaruh genetik pada penggunaan dan ketergantungan terhadap kombinasi alkohol, tembakau dan bahan psikoaktif lainnya yang digunakan secara bersama-sama (30, 43-48). Salah satu perkiraan adalah bahwa terdapat peningkatan risiko delapan kali lipat untuk terjadinya ketergantungan obat diantara pertalian keluarga dari mereka yang mengalami ketergantungan obat dibandingkan dengan kelompok kontrol, apabila estimasi ini diterapkan pada beragam jenis bahan psikoaktif, termasuk opioids, cannabis, sedatives dan cocaine (49, 50). Temuan genetik tersebut menunjukkan adanya data yang menjanjikan bisa diperoleh dari riset genetik. Data genetik yang diperoleh tersebut dapat memperdalam pemahaman kita mengenai asal-muasal penyebab dari ketergantungan obat, serta variasi risiko pada masing-masing individu. Apabila gen yang melatar-belakangi predisposisi untuk terjadinya ketergantungan obat telah diidentifikasi, maka masalah utama mengenai bagaimana fungsi dari gen yang teridentifikasi tersebut berinteraksi dengan lingkungan sehingga menimbulkan pengaruh terjadinya ketergantungan bisa selanjutnya dipahami (51). Data ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengembangkan alat diagnostik baru (novel diagnostic tools), serta terapi farmakologis. 13 Dengan demikian, pemeriksaan melalui genetic screening, sesuai dengan temuan dari riset genetik, potensial dapat mengidentifikasi subkelompok dalam populasi yang memiliki kemungkinan besar mengalami ketergantungan obat atau dampak buruk dari bahan psikoaktif tertentu. Akan tetapi, pendekatan seperti ini dapat memunculkan banyak isu ranah etika, sebab identifikasi yang didapatkan lebih merupakan probabilitas ketimbang suatu identifikasi pasti. Tindak-lanjut yang dapat dilakukan terhadap skrining yang menunjukkan positif dapat meliputi: peringatan terhadap individu yang bersangkutan (atau terhadap orang-tua individu yang bersangkutan atau pengasuhnya, pada kasus anak), serta intervensi preventif seperti therapeutic education atau intervensi lain yang bertujuan menurunkan kerentanan terhadap penggunaan atau ketergantungan terhadap bahan psikoaktif. Tentu saja pendekatan ini memunculkan implikasi etik yang penting seperti stigmatisasi, privasi, dan kebersediaan menjalani terapi. Perbedaan genetik dapat mempengaruhi banyak aspek dari penggunaan bahan psikoaktif, sebagai contoh, pada efek menyenangkan yang subjektif (subjective pleasurable effects). Faktor genetik juga dapat sangat berpengaruh terhadap toksisitas dari suatu bahan psikoaktif, baik dalam hal overdosis maupun efek kroniknya terhadap kesehatan. Genetik juga mempengaruhi: intensitas efek dari bahan psikoaktif pada formula atau dosis tertentu, munculnya kondisi ketergantungan obat, withdrawal, dan craving. Disamping itu, ketergantungan terhadap bahan psikoaktif memiliki kesamaan kerentanan (neurobiological commonalities) dengan sejumlah bentuk penyakit mental lainnya, yang mengesankan adanya strategi umum terapi dan prevensi yang sama dalam mengatasi keduanya. Komorbiditas dari Ketergantungan Obat dan Kelainan Mental Terdapat peningkatan temuan komorbiditas, atau keadaan yang muncul bersamaan (co-occurrence), dari kondisi ketergantungan obat pada individu yang memiliki kelainan mental dibandingkan dengan individu yang tanpa memiliki gangguan mental samasekali. Temuan ini menunjukkan adanya baik eurobiological basis yang sama pada keduanya, maupun adanya interaksi efek pada tingkatan tertentu. Riset terhadap penyebab kelainan mental dan ketergantungan bahan psikoaktif akan memberikan peluang bagi strategi dan prevensi menghadapi keduanya. Ada sejumlah hipotesis mengenai mengapa kelainan mental dan ketergantungan obat bisa terjadi: 1. 2. 3. Kemungkinan terdapat neurobiological basis yang serupa dari keduanya; Penggunaan bahan psikoaktif membantu meringankan gejala dari gangguan mental atau meringankan efek samping dari pengobatan yang diberikan; Penggunaan bahan psikoaktif dapat memicu kemunculan gangguan mental atau mengakibatkan perubahan biologis dengan elemen umum berupa gangguan mental. Terdapat sejumlah pembuktian terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Yang menarik adalah bahwa efek dari kebanyakan bahan psikoaktif dapat menyerupai gangguan psikiatrik (psychiatric-like syndromes). Sebagai contoh, amphetamines dan cocaine dapat memicu kemunculan psychotic-like symptoms. Bahan halusinogenik dapat menimbulkan halusinasi, yang merupakan aspek penting dari sejumlah psikosis. Lebih jauh lagi, bahan psikoaktif dapat terus-menerus mengubah mood states seseorang, menimbulkan baik euphoric dan happy feelings, atau sebaliknya memicu depressive symptoms, terutama selama dalam kondisi substance withdrawal. Bahan psikoaktif dapat mengubah fungsi kognitif, yang juga merupakan ciri utama dari sejumlah kelainan mental. Keseluruhan faktor tersebut mengesankan adanya latarbelakang neurobiologis yang sama (common neurobiological substrates) pada baik kelainan mental maupun kondisi ketergantungan obat. Sejumlah studi yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 50% orang dengan gangguan mental juga mengalami ketergantungan obat dibandingkan dengan 6% pada populasi umum; dan risiko untuk mengalami ketergantungan obat 4,5 kali lebih tinggi pada orang dengan gangguan mental dibandingkan orang dengan tanpa kelainan mental (52). Sangat jelas, terdapat tumpang-tindih yang nyata diantara kedua kondisi ini. Angka lifetime prevalence (kecanduan kronik) dari populasi dengan ketergantungan alkohol adalah 22% bagi mereka yang disertai dengan gangguan mental dibandingkan 14% pada populasi umum; dan risiko untuk mengalami ketergantungan alkohol apabila seseorang juga memiliki gangguan mental adalah 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan apabila seseorang tidak memiliki gangguan mental (52). Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat 20 tahun belakangan ini mengindikasikan bahwa lifetime rates dari major depressive disorder adalah sebesar 38-44% pada populasi dengan ketergantungan alkohol dibandingkan dengan hanya sebesar 7% pada populasi yang tidak ketergantungan alkohol (35, 53-61). Lebih jauh lagi, sebanyak 80% populasi dengan ketergantungan alkohol memiliki gejala depresif (52, 62-64). Individu dengan ketergantungan alkohol 3,3 kali lebih tinggi untuk juga memiliki schizophrenia, sedangkan individu dengan schizophrenia memiliki kemungkinan 3,8 kali lebih besar untuk mengalami ketergantungan alkohol dibanding populasi umum (52). 14 Populasi dengan kelainan mental memiliki persentase lebih tinggi, terutama mereka yang memiliki schizophrenia, untuk berperilaku merokok dibandingkan dengan populasi umum. Bergantung pada kelainan mental tertentu, didapatkan sebanyak 26-88% penderita gangguan psikiatrik berperilaku merokok, dibandingkan sebesar 20-30% pada populasi umum (65-67). Terdapat sejumlah tautan (close links) antara major depressive disorder dan perilaku merokok. Di Amerika Serikat, hampir 60% perokok berat memiliki riwayat kelainan mental (67, 68), dan insiden dari major depressive disorder diantara perokok adalah dua-kali lipat dibandingkan bukan perokok (65). Lebih jauh lagi, perokok yang memiliki riwayat clinical depression (depresi yang nyata secara klinis) hanya separuhnya saja dibandingkan perokok tanpa riwayat yang sama yang berhasil berhenti merokok (14% versus 28%) (65). Data epidemiologis menunjukkan bahwa lifetime rates dari major depressive disorder adalah sebesar 32% pada kelompok pengguna cocaine, dan hanya sebesar 8 13% pada mereka yang bukan pengguna cocaine (52, 54, 56, 58, 69). Juga terdapat komorbiditas yang tinggi (high degree of comorbidity) antara schizophrenia dengan penggunaan psychostimulant. Penggunaan psikostimulan dijumpai 2-5 kali lebih tinggi pada penderita schizophrenia dibandingkan mereka yang tanpa schizophrenia, dan lebih sering dibandingkan populasi gangguan psikiatrik lainnya (70). Jadi, tampak cukup jelas bahwa ketergantungan obat memiliki pertautan dengan kelainan mental. Meskipun kebanyakan penelitian mengenai komorbiditas dari keduanya dilakukan hanya pada sejumlah negara dan validitas kultural dari data yang didapatkan tidak diketahui, namun riset neurosains mengenai terapi dan prevensi terhadap satu jenis gangguan tetap akan memberikan manfaat terhadap jenis gangguan lainnya. Terapi dan prevensi: kaitannya dengan neurosains dan masalah etika Riset dibidang neurosains telah menghasilkan sejumlah kemajuan berupa upaya intervensi farmakologis maupun perilaku dalam terpai terhadap ketergantungan obat. Banyak yang telah menunjukkan keberhasilan yang nyata, sementara lainnya masih menyisakan kontroversi dari sudut pandang etika. Sejumlah upaya terapi baru telah didapatkan, dan melalui penelitian lanjutan, kemajuan terapi menjadi semakin besar. Tampaknya, kombinasi antara pharmacological dan behavioural therapies akan menjadi modalitas terapi yang paling efektif dalam mengatasi kondisi ketergantungan obat. Sejumlah pertanyaan dalam menilai kesuksesan terapi yang diberikan adalah: apakah upaya terapi dinyatakan sukses hanya apabila complete abstinence telah tercapai? Atau, apakah menurunnya jumlah, frekuensi, atau harmful use dari bahan psikoaktif yang digunakan sudah memadai dalam menilai keberhasilan upaya terapi? Terapi farmakologis yang mutakhir disajikan pada Tabel 5. Tipe terapi Terdapat beragam terapi farmakologis dan terapi perilaku berikut masing-masing pembuktian efikasinya. Dalam hal intervensi farmakologis, salah satu pilihan adalah pemberian obat atau prosedur yang dapat, melalui satu atau beberapa mekanisme kerja, menghentikan mekanisme kerja dari bahan psikoaktif pada tubuh, sehingga menghilangkan efek menyenangkan (positive rewards) dari penggunaan bahan psikoaktif atau menimbulkan ketidak-nyamanan (aversive) penggunaannya. Sebagai contoh, golongan opioid receptor blockers seperti naloxone dan naltrexone, menimbulkan pengurangan rewarding effects dari penggunaan opioids dan alkohol (lihat Table 5). Contoh lainnya adalah disulfiram, yang bekerja dengan mengganggu metabolisme alkohol, sehingga menimbulkan ketidak-nyamanan penggunaannya. Namun demikian, tipe terapi ini hanya efektif apabila penderita menjalankannya. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa problema utama dari pendekatan terapi seperti ini adalah kepatuhan penderita (patient compliance): mereka yang memiliki riwayat penggunaan bahan psikoaktif yang berat seringkali tidak bisa melaksanakan komitmen untuk menjalankan terapi farmakologis. Pilihan lainnya dari terapi farmakologis adalah menggunakan obat yang memiliki efek menyerupai efek bahan psikoaktif yang menimbulkan ketergantungan, dengan tanpa menimbulkan sejumlah dampak yang lebih buruk; tipe terapi ini disebut substitution treatment, atau maintenance treatment. Pilihan terapi farmakologis ini paling luas diuji dan digunakan untuk mengatasi ketergantungan opioids, dengan menggunakan codeine, methadone, buprenorphine dan bahan lainnya untuk mensubstitusi heroin atau golongan opioids lainnya, dengan sasaran menurunkan penggunaan ilegal opioid dan kriminalitas yang menyertai, kematian, dan penyakit yang diakibatkan oleh dampak dari ketergantungan obat. Methadone dan buprenorphine, dua obat yang paling banyak dipakai, juga diberikan dalam jangka pendek (short-term basis) untuk mendetoksifikasi kondisi ketergantungan opioids. Namun demikian, banyak diantara pengguna bahan psikoaktif yang hanya menjalani detoksifikasi --- tanpa memandang metode detoksifikasi yang digunakan --- menjadi terpuruk sebagai pecandu berat (heavy substance use). Terapi substitusi merupakan upaya terapi yang bertujuan menurunkan atau menghentikan illicit opioid use (penggunaannya dengan cara melanggar hukum, penyalah- 15 gunaan) melalui upaya menstabilkan (stabilizing) penggunanya sepanjang diperlukan, dengan cara membantu mereka menghindari pola atau kebiasaan penggunaan sebelumnya berikut dampak buruk yang ditimbulkannya, termasuk berbagi peralatan suntik. Terapi yang paling banyak dilakukan, yaitu: methadone maintenance, telah terbukti melalui ratusan penelitian ilmiah sebagai efektif dalam menurunkan substancerelated harm dengan tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan. Dibandingkan dengan kelompok pengguna ilegal opioids (illegal users), kelompok individu yang menjalani methadone maintenance treatment terbukti lebih sedikit menjalani waktunya di penjara dan rumah sakit, memiliki tingkat integrasi sosial yang lebih baik dan angka infeksi HIV yang lebih rendah, lebih sedikit melakukan tindakan kriminal, dan masa hidup lebih panjang (71). Terapi substitusi seringkali dipandang kontroversial dari sudut etika. Satu sisi, dipandang melanggar etika dimana negara atau kaum profesional turut berperan dalam mempertahankan kondisi ketergantungan obat, meskipun menggunakan rejimen substitusi. Dilain pihak, bukti yang menunjukkan adanya penurunan dampak buruknya pada masyarakat (mis., tindakan kriminal) atau pada individu pengguna (mis., infeksi HIV) melalui pemberian rejimen substitusi, adalah tidak bertentangan dengan etika. Bagi tipe terapi yang mengurangi efek dari bahan psikoaktif atau yang menimbulkan ketidaknyamanan (aversive), isu etika yang penting adalah kesediaan (consent) penderita menjalani terapi, dan etika untuk tidak memaksakan terapi (ethics of coerced treatment). Penggunaan modalitas immunoterapi, seperti terhadap ketergantungan cocaine (lihat Table 5), terutama dampak terapi yang bersifat ireversibel, akan memunculkan isu etika yang sulit. Riset neurosains menemukan bahwa efek bahan psikoaktif memanfaatkan banyak jaras (pathways) didalam jaringan otak yang sama dengan yang digunakan dalam aktifitas lainnya pada manusia, sehingga temuan ini juga akan memunculkan pertanyaan mengenai seberapa banyak rasa nyaman atau aktifitas lainnya yang akan dipengaruhi oleh obat yang diberikan dalam terapi. Begitu juga, penerapan modalitas terapi berupa genetic modifications akan memunculkan sejumlah isu etika yang sama sehubungan dengan adanya perubahan permanen yang dpat ditimbulkannya. Disamping terapi farmakologis, pada ketergantungan obat juga diterapkan upaya terapi perilaku (behavioural therapies). Terdapat hubungan yang menarik antara proses belajar (learning processes) dengan upaya terapi ini yang menyangkut efek dari bahan psikoaktif terhadap jaringan otak. Modalitas motivational dan cognitive therapies didesain untuk bekerja pada proses motivasional (motivational processes) yang sama didalam otak yang telah dipengaruhi oleh bahan psikoaktif. Tipe terapi ini merupakan upaya terapi untuk menggantikan motivasi menggunakan bahan psikoaktif dengan motivasi yang berhubungan dengan perilaku lain. Perlu dipahami bahwa terapi perilaku juga mengandalkan prinsip yang sama dari proses learning dan motivation yang dipakai dalam menjelaskan terjadinya ketergantungan obat. Sebagai contoh, pendekatan contingency management dalam terapi perilaku menggunakan prinsip positive reinforcement dan punishment untuk membangun perilaku. Sedangkan cognitive behavioural therapies dan relapse prevention dapat membantu penderita dalam membentuk new stimulus-response associations (asosiasi baru menghadapi stimulus) tanpa melalui penggunaan bahan psikoaktif ataupun craving. Prinsip-prinsip terapi perilaku tersebut diterapkan untuk mendapatkan kondisi „„unlearn’’ terhadap dependence-related behaviour (perilaku yang berhubungan dengan ketergantungan obat) dan sebaliknya kondisi “to learn” terhadap respon yang lebih adaptif. Jadi, mekanisme neurobiologis yang sama ketika terjadi ketergantungan obat dipakai untuk menjalankan proses learning yang mengatasi ketergantungan terhadap bahan psikoaktif itu sendiri. Informasi dalam Box 4 merupakan ringkasan dari tipe psikoterapi dan intervensi perilaku (behavioural interventions) yang biasa dijalankan (72). Kesimpulan dan Implikasi bagi public health policy Laporan ini menguraikan kemajuan pemahaman kita dalam dekade belakangan ini, mengenai neurosains dari penggunaan bahan psikoaktif dan kondisi ketergantungan obat yang ditimbulkannya, serta sejumlah isu etika yang ditimbulkan oleh kemajuan tersebut. Badan organisasi dan profesi yang bersangkutan harus menjalankan peran penting dalam mengatasi tantangan yang ada baik di tingkat global maupun regional. Dampak global dari penyakit dan disabilitas cukup besar ditimbulkan dari penggunaan bahan psikoaktif; sedangkan dampak global dari penggunaan bahan psikoaktif cukup besar ditimbulkan oleh kondisi ketergantungan obat. Penggunaan tembakau dan alkohol merupakan penyumbang yang paling menonjol dari dampak total yang ditimbulkan oleh kondisi ketergantungan bahan psikoaktif. Dengan demikian, upaya yang bertujuan menurunkan dampak buruk dari penggunaan tembakau, alkohol dan bahan psikoaktif lain merupakan bagian penting dari health policy. 16 Tabel 5. Terapi farmakologis ketergantungan obat Bahan psikoaktif Terapi Efikasi Alkohol Acamprosate merupakan bahan sintetik dengan struktur kimia menyerupai asam amino alamiah. Bekerja dengan mengembalikan aktifitas neuronal yang normal, dimana telah mengalami hipereksitasi karena terpapar kronik oleh alkohol. Secara keseluruhan, penderita yang mendapatkan terapi acamprosate memperlihatkan peningkatan signifikan dalam hal: menyelesaikan pengobatan, periode semenjak aktifitas minum yang pertamakali, abstitence rate dan/atau durasi kumulatif dari abstinence, dibandingkan penderita yang mendapatkan plasebo (73). Naltrexone: memblokade reseptor opioid. Naltrexone efektif dalam mengurangi relaps, dan membantu penderita untuk tetap abstinence, serta menurunkan jumlah konsumsi alkohol (74). Disulfiram menghambat metabolisme normal dari acetylaldehyde, suatu metabolit dari alkohol. Dengan meningkatnya kadar acetylaldehyde akan menimbulkan rasa tidak nyaman sehingga menghentikan konsumsi alkohol (aversive) (75). Efikasi dari disulfiram bervariasi, dan penggunaannya dipersulit oleh perlunya melakukan titrasi dosis dengan cermat, dan kepatuhan yang tinggi dari penderita (75). Nicotine substitution: nicotine patch atau gum. Semua nicotine-replacement therapies efektif dalam menghentikan merokok, dan dibarengi dengan peningkatan upaya kampanye di media mengenai bahaya merokok, menghasilkan peningkatan nyata henti merokok. Bupropion: merupakan norepinephrine dan dopamine reuptake inhibitor yang lemah, serta nicotinic receptor blocker. Bupropion meningkatkan abstinence rate dari perokok, terutama apabila dikombinasi dengan nicotinereplacement therapy (76, 77) Immunoterapi: telah berhasil dibuat vaksin yang dapat mencegah nikotin bekerja didalam jaringan otak. Vaksin belum menjalani uji klinis. Uji menggunakan tikus coba memperlihatkan hasil yang menjanjikan. Nikotin Neurosains merupakan bidang yang berkembang pesat sarat dengan riset ilmiah. Meskipun dasar pengetahuan yang didapatkan masih jauh dari lengkap, namun telah diperoleh sejumlah data penting yang potensial dapat dipergunakan sebagai dasar dalam menyusun policies yang bertujuan menurunkan dampak buruk penyakit dan disabilitas yang berhubungan dengan penggunaan bahan psikoaktif. Rekomendasi berikut ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik serta membantu pemegang keputusan dalam menjalankan tugasnya: Semua bahan psikoaktif dapat merusak kesehatan, bergantung kepada cara menggunakannya, jumlah yang digunakan, dan seberapa sering digunakan. Dampak buruknya terhadap kesehatan berbeda-beda diantara jenis bahan psikoaktif yang ada, sehingga bentuk upaya kesehatan masyarakat yang dijalankan juga perlu proporsional dengan health-related harm yang ditimbulkannya. 17 Tabel 5. (lanjutan) Bahan psikoaktif Terapi Efikasi Heroin Methadone: synthetic opioid agonist. Methadone maintenance treatment adalah aman dan sangat efektif dalam menghentikan penggunaan heroin, terutama apabila dikombinasi dengan behavioural therapies atau konseling dan upaya suportif lainnya. Buprenorphine: partial agonist pada mu opioid receptor, dan weak antagonist pada kappa opioid receptor. Masa kerja relatif lama dan safety profile yang baik. Levo-alpha-acetyl-methadol (LAAM): opioid sintetik. Opioid sintetik dengan masa kerja panjang yang dapat dipakai mengatasi ketergantungan heroin, namun obat ini hanya memerlukan waktu minum tiga kali semingu, sehingga bahkan setiap orang dapat dengan mudah menggunakan terapi ini. Naltrexone: memblokade efek dari morphine, heroin, dan golongan opioid lainnya dengan bekerja sebagai agonist pada opioid receptor. Terapi ini dimulai setelah penderita terlebih dahulu mendapatkan terapi detoksifikasi yang diawasi medis (medically supervised detoxification), sebab naltrexone tidak memberikan perlindungan terhadap efek dari withdrawal, dan dapat memicu withdrawal symptoms pada penderita ketergantungan. Naltrexone sendiri tidak memiliki efek subjektif atau potensial menimbulkan ketergantungan obat. Masalah yang umum adalah penderita tidak patuh minum obat. Sehingga untuk mencapai favourable treatment outcome diperlukan: hubungan terapeutik yang positif, terapi dan konseling yang efektif, serta pemantauan kepatuhan penderita. GBR 12909: merupakan inhibitor dari dopamine uptake yang melawan efek dari cocaine pada mesolimbic dopamine neuron dari tikus (78), serta terbukti menghentikan perilaku menggunakan cocaine pada rhesus monkeys (79). Uji klinis terhadap obat ini sedang direncanakan. Immunoterapi: cocaine didalam aliran darah dinonaktifkan oleh cocaine specific antibodies yang menghalanginya melintasi BBB untuk masuk kedalam jaringan otak. Uji klinis sedang berjalan. Melakukan slow tapering terhadap dosis penggunaan, dikombinasi dengan terapi perilaku. Efektif. Cocaine Sedatives/hypnotics Penggunaan bahan psikoaktif bisa dipahami disebabkan oleh pleasurable effects yang ditimbulkannya, serta pengaruh sosial yang ditimbulkan oleh kalangan pengguna (peer pressure) dan social context dari penggunaannya. Pengalaman menggunakan bahan psikoaktif saja tidak berperan penting dalam menimbulkan kondisi ketergantungan, melainkan semakin sering dan semakin banyak jumlah penggunaan akan semakin tinggi risiko terjadinya ketergantungan obat. 18 Dampak buruk sosial tidak hanya timbul dari kelompok individu yang telah mengalami ketergantungan obat; dampak buruk juga dapat timbul dari non dependent individuals, dari intoksikasi akut dan overdosis, serta dari prosedur pemakaian (mis., prosedur penyuntikan yang tidak aman). Sehingga diperlukan adanya effective public health policies and programmes yang memiliki kemungkinan bisa dijalankan, serta memberikan penurunan signifikan terhadap keseluruhan dampak yang berhubungan dengan penggunaan bahan psikoaktif. Box 4. Tipe psikoterapi (psychotherapies) dan intervensi perilaku (behavioural interventions) Cognitive behavioural therapies Upaya terapi ini berfokus pada: a) b) c) d) Mengubah proses kognitif sehingga menghasilkan kondisi maladaptive behaviours terhadap penggunaan; Memutus rantai perilaku (behavioural chain) terhadap stimulus/peristiwa yang mengakibatkan penggunaan bahan psikoaktif; Membantu penderita agar berhasil mengatasi kondisi acute atau chronic substance craving; Mendorong (promoting) dan menguatkan (reinforcing) kemampuan sosial (social skills) dan perilaku yang sesuai agar dapat menjaga dan meneruskan kondisi substance free. Prinsip dasar dari cognitive therapy adalah bahwa dengan identifikasi dan modifikasi terhadap pola pikir maladaptif (maladaptive thinking patterns) yang ada, maka penderita selanjutnya mampu mengurangi atau menghilangkan negative feelings and behaviours yang dialami (mis., penggunaan bahan psikoaktif). Relapse prevention Adalah suatu pendekatan terapi yang menggunakan cognitive behavioural techniques untuk membantu penderita membangun kemampuan yang lebih besar dalam hal self-control sehingga mampu menghindarkan relaps. Adapun specific relapse prevention strategies meliputi: mengidentifikasi dan membicarakan adanya kondisi ambivalen (ambivalence), mengidentifikasi pencetus emosi dan lingkungan (emotional and environment triggers) yang membangkitkan kondisi craving dan penggunaan bahan psikoaktif, dan membangun dan memberikan specific coping strategies yang dapat mengatasi internal maupun external stressors. Contingency management Adalah terapi perilaku (behavioural treatment) yang menggunakan penilaian kemungkinan akibat sebelum melakukan sesuatu (predetermined positive or negative consequences), dengan menerapkan reward terhadap perilaku berhenti menggunakan (abstinence) atau punish (sehingga dapat mencegah) terhadap perilaku menggunakan bahan psikoaktif kembali. Termasuk rewards, misalnya memberikan vouchers (mis., tiket bioskop) apabila hasil pemeriksaan sampel urine negatif (substance-free), dan diikutkan berpartisipasi dalam kegiatan yang positif (community reinforcement). Sedangkan punish misalnya, adanya pemberitahuan kepada pengadilan, pemilik perusahaan tempat bekerja, atau anggota keluarga. Motivational enhancement therapy Modalitas terapi ini menggunakan prinsip pendekatan empatik dimana pemberi terapi membantu memotivasi penderita dengan: menasehati penderita mengenai untung dan ruginya suatu perilaku tertentu; menggali tujuan hidup berikut hambatan atau keraguan (ambivalence) untuk mencapai tujuan tersebut; serta mendengarkan keluhan sambil memberikan refleksi (listening reflectively). Motivational enhancement therapy terbukti cukup efektif dalam terapi terhadap ketergantungan obat. Ketergantungan obat (substance dependence) adalah kondisi/penyakit kompleks dengan mekanisme biologis yang menimbulkan pengaruh pada otak dan pada kapasitasnya dalam mengendalikan perilaku penggunaan bahan psikoaktif yang bersangkutan. Ketergantungan obat tidak hanya ditentukan oleh faktor biologis dan genetik, namun juga dipengaruhi oleh faktor sosial, kultural dan lingkungan. Sampai saat ini belum ada cara yang dapat mengidentifikasi individu mana yang akan mengalami ketergantungan obat – baik sebelum maupun setelah memulai penggunaannya. Ketergantungan obat bukan merupakan bentuk kegagalan kemampuan pikiran (of will) maupun kegagalan dari kekuatan suatu karakter (of strength of character), melainkan merupakan gangguan medis (medical disorder) yang dapat mengenai individu manapun. Ketergantungan obat merupakan gangguan 19 kronik yang berulang (chronic and relapsing disorder), dan seringkali bersamaan dengan gangguan fisik dan mental lainnya. Terdapat komorbiditas yang signifikan dari kondisi ketergantungan obat bersamaan dengan sejumlah gangguan mental lainnya; oleh karena itu penilaian, terapi, dan riset terhadap ketergantungan obat paling efektif apabila menggunakan pendekatan yang terintegrasi. Pemahaman terapi dan prevensi terhadap kondisi gangguan metal atau ketergantungan obat tertentu dapat dipakai untuk menjalankan strategi terapi dan prevensi terhadap kondisi gangguan mental atau ketergantungan obat lainnya. Oleh karena itu, perhatian mengenai adanya kemungkinan komorbiditas dari suatu substance use disorders dengan gangguan mental lain sangat diperlukan sebagai bagian dari menjalankan good practice dalam upaya terapi dan intervensi baik terhadap kondisi gangguan mental maupun ketergantungan obat. Upaya terapi terhadap ketergantungan obat tidak hanya bertujuan menghentikan penggunaannya – melainkan merupakan suatu proses terapi yang mengupayakan perubahan perilaku (behaviour changes), intervensi psikososial (psychosocial interventions), dan seringkali, melalui pemberian obat psikotropik pengganti (substitute psychotropic drugs). Ketergantungan obat dapat diatasi dan ditangani secara costeffective, sebagai upaya penyelamatan hidup, memperbaiki kondisi kesehatan dari individu dan keluarga yang bersangkutan, serta menurunkan biaya sosial yang ditimbulkan. Upaya terapi yang ada harus dapat dijangkau oleh keseluruhan dari mereka yang membutuhkan. Telah ada intervensi efektif yang dapat diintegrasikan kedalam sistem kesehatan yang ada, termasuk kedalam pusat kesehatan primer masyarakat. Sektor kesehatan perlu menyediakan upaya terapi paling murah yang dapat dijalankan (most cost-effective treatments). Salah satu halangan besar dalam menjalankan upaya terapi terhadap mereka yang mengalami ketergantungan obat dan problema ikutan yang menyertai adalah stigma dan diskriminasi yang mengucilkan mereka. Dengan tanpa memandang tingkat keparahan dari penggunaannya dan jenis bahan psikoaktif yang digunakan, mereka memiliki hak individual yang sama untuk memperoleh kesehatan, pendidikan, dan peluang pekerjaan, serta kembali kedalam kehidupan sosial, seperti juga hak yang didapatkan individu lainnya. Upaya riset dibidang neurosains harus dilanjutkan dan diperluas melalui pengembangan riset pada ilmu sosial, prevensi, terapi, dan bahkan sampai pada bidang yang menyangkut kebijakan (policy research). Upaya penurunan dampak dari penggunaan bahan psikoaktif berikut gangguan yang berhubungan harus berpegang pada prinsip evidence-based policies and programmes yang merupakan hasil dari riset beserta aplikasinya. Pustaka: 1. Room R et al. (2001) Cross-cultural views on stigma, valuation, parity and societal values towards disability. In: U¨ stu¨n TB et al., eds. Disability and culture: universalism and diversity. Seattle, WA, Hogrefe & Huber:247--291. 2. Mackay J, Eriksen M (2002) The tobacco atlas. Geneva, World Health Organization. 3. WHO (1999) Global status report on alcohol. Geneva, World Health Organization. 4. Room R et al. (2002) Alcohol and the developing world: a public health perspective. Helsinki, Finnish Foundation for Alcohol Studies. 5. UNODC (2003) Global illicit drug trends 2003. NewYork, NY, United Nations Office on Drugs and Crime. 6. Murray CJ, LopezAD(1996) Global health statistics. Global burden of disease and injury series. Vol. 2. Geneva, World Health Organization. 7. WHO (2002) The world health report 2002. Geneva, World Health Organization. 8. Babor T et al. (2003) No ordinary commodity: alcohol and public policy. Oxford, Oxford University Press. 9. WHO (1992) The ICD-10 classification of mental and behavioural disorders: clinical descriptions and diagnostic guidelines. Geneva, World Health Organization. 10. Aine CJ (1995) A conceptual overview and critique of functional neuro-imaging techniques in humans. I. MRI/fMRI and PET. Critical Reviews in Neurobiology, 9:229-309. 11. Volkow ND, Rosen B, Farde L (1997) Imaging the living human brain: magnetic resonance imaging and positron emission tomography. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 94:2787--2788. 12. Gatley SJ, VolkowND(1998) Addiction and imaging of the living human brain. Drug and Alcohol Dependence, 51:97--108. 13. Volkow ND et al. (2001a) Low level of brain dopamine D2 receptors in methamphetamine abusers: association with metabolism in the orbitofrontal cortex. American Journal of Psychiatry, 158:2015--2021. 14. Volkow ND et al. (2001b) Association of dopamine transporter reduction with psychomotor impairment in methamphetamine abusers. American Journal of Psychiatry, 158:377--382. 15. Kalant H (2001) The pharmacology and toxicology of „„ecstasy‟‟ (MDMA) and related drugs. Canadian Medical Association Journal, 165:917--928. 16. Montoya AG et al. (2002) Long-term neuropsychiatric consequences of „„ecstasy‟‟ (MDMA): a review. Harvard Review of Psychiatry, 10:212--220. 20 17. Wise RA (1998) Drug-activation of brain reward pathways. Drug and Alcohol Dependence, 51:13--22. 18. Robbins TW, Everitt BJ (1996) Neurobehavioural mechanisms of reward and motivation. Current Opinion in Neurobiology, 6:228--236. 19. Cardinal RN et al. (2002) Emotion and motivation: the role of the amygdala, ventral striatum, and prefrontal cortex. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 26: 321--352. 20. Robinson TE, Berridge KC (2000) The psychology and neurobiology of addiction: an incentive-sensitization view. Addiction, 95(Suppl 2):S91--S117. 21. Schmid H (2000) Protektive faktoren. [Protective factors.] In: Uchtenhagen A, Zieglga¨nsberger W, eds. Suchtmedizin: konzepte, strategien und therapeutsches management. [Addiction medicine: concepts, strategies and therapeutic management.] Munich, Urban & Fischer Verlag:226--234. 22. Lloyd C (1998) Risk factors for problem drug use: identifying vulnerable groups. Drugs: Education Prevention and Policy, 5:217-232. 23. Uchtenhagen A (2000a) Determinanten fu¨r drogenkonsum und --abha¨ngigkeit. [Determinants of drug use and addiction.] In: Uchtenhagen A, Zieglga¨nsberger W, eds. Suchtmedizin: konzepte, strategien und therapeutsches management. [Addiction medicine: concepts, strategies and therapeutic management.] Munich, Urban & Fischer Verlag:193--195. 24. Uchtenhagen A (2000b) Risikofaktoren und schutzfaktoren: eine u¨bersicht. [Risk and protective factors: an overview.] In: Uchtenhagen A, Zieglga¨nsberger W, eds. Suchtmedizin: konzepte, strategien und therapeutsches management. [Addiction medicine: concepts, strategies and therapeutic management.] Munich, Urban & Fischer Verlag:195--198. 25. Cheng LS, Swan GE, Carmelli D (2000) A genetic analysis of smoking behavior in family members of older adult males. Addiction, 95:427--435. 26. McGue M, Elkins I, Iacono WG (2000) Genetic and environmental influences on adolescent substance use and abuse. American Journal of Medical Genetics, 96:671--677. 27. Bergen AW et al. (1999) A genome-wide search for loci contributing to smoking and alcohol dependence. Genetic Epidemiology, 17(Suppl.1):S55--S60. 28. Straub RE et al. (1999) Susceptibility genes for nicotine dependence: a genome scan and follow up in an independent sample suggest that regions on chromosomes 2, 4, 10, 16, 17 and 18 merit further study. Molecular Psychiatry, 4:129--144. 29. Duggirala R, Almasy L, Blangero J (1999) Smoking behavior is under the influence of a major quantitative trait locus on human chromosome 5q. Genetic Epidemiology, 17 Suppl 1:S139--S144. 30. Carmelli D et al. (1992) Genetic influence on smoking: a study of male twins. New England Journal of Medicine, 327:829--833. 31. Enoch MA, Goldman D (2001) The genetics of alcoholism and alcohol abuse. Current Psychiatry Reports, 3:144--151. 32. Han C, McGue MK, IaconoWG(1999) Lifetime tobacco, alcohol and other substance use in adolescent Minnesota twins: univariate and multivariate behavioral genetic analyses. Addiction, 94:981--993. 33. Heath AC et al. (1997) Genetic and environmental contributions to alcohol dependence risk in a national twin sample: consistency of findings in women and men. Psychological Medicine, 27:1381--1396. 34. Johnson EO et al. (1998) Extension of a typology of alcohol dependence based on relative genetic and environmental loading. Alcoholism: Clinical and Experimental Research, 22:1421--1429. 35. Kendler KS et al. (1994) A twin-family study of alcoholism in women. American Journal of Psychiatry, 151:707--715. 36. Prescott CA, Kendler KS (1999) Genetic and environmental contributions to alcohol abuse and dependence in a populationbased sample of male twins. American Journal of Psychiatry, 156:34--40. 37. Prescott CA, Aggen SH, Kendler KS (1999) Sex differences in the sources of genetic liability to alcohol abuse and dependence in a population-based sample of US twins. Alcoholism: Clinical and Experimental Research, 23:1136--1144. 38. Long JC et al. (1998) Evidence for genetic linkage to alcohol dependence on chromosomes 4 and 11 from an autosome-wide scan in an American Indian population. American Journal of Medical Genetics, 81:216--221. 39. Lappalainen J et al. (1998) Linkage of antisocial alcoholism to the serotonin 5-HT1B receptor gene in two populations. Archives of General Psychiatry, 55:989--994. 40. Agarwal DP(2001) Genetic polymorphisms of alcohol metabolizing enzymes. Pathology and Biology (Paris), 49:703--709. 41. Li TK (2000) Pharmacogenetics of responses to alcohol and genes that influence alcohol drinking. Journal of Studies on Alcohol, 61:5--12. 42. Ramchandani VA, Bosron WF, Li TK (2001) Research advances in ethanol metabolism. Pathology and Biology (Paris), 49:676-682. 43. Tsuang MT et al. (2001) The Harvard Twin Study of Substance Abuse: what we have learned. Harvard Review of Psychiatry, 9:267--279. 44. Daeppen JB et al. (2000) Clinical correlates of cigarette smoking and nicotine dependence in alcohol-dependent men and women: the Collaborative Study Group on the Genetics of Alcoholism. Alcohol and Alcoholism, 35:171--175. 45. Hopfer CJ, Stallings MC, Hewitt JK (2001) Common genetic and environmental vulnerability for alcohol and tobacco use in a volunteer sample of older female twins. Journal of Studies on Alcohol, 62:717--723. 46. Reed T et al. (1994) Correlations of alcohol consumption with related covariates and heritability estimates in older adult males over a 14- to 18-year period: the NHLBI Twin Study. Alcoholism: Clinical and Experimental Research, 18:702--710. 47. Swan GE, CarmelliD, Cardon LR (1996) The consumption of tobacco, alcohol, and coffee in Caucasian male twins: a multivariate genetic analysis. Journal of Substance Abuse, 8:19--31. 48. Swan GE, Carmelli D, Cardon LR (1997) Heavy consumption of cigarettes, alcohol and coffee in male twins. Journal of Studies on Alcohol, 58:182--190. 49. Merikangas KR et al. (1998) Familial transmission of substance use disorders. Archives of General Psychiatry, 55:973--979. 50. Bierut LJ et al. (1998) Familial transmission of substance dependence: alcohol, marijuana, cocaine, and habitual smoking: a report from the Collaborative Study on the Genetics of Alcoholism. Archives of General Psychiatry, 55:982--988. 51. Swan GE (1999) Implications of genetic epidemiology for the prevention of tobacco use. Nicotine and Tobacco Research, 1(Suppl. 1):S49--S56. 52. Regier DA et al. (1990) Comorbidity of mental disorders with alcohol and other drug abuse: results from the Epidemiological Catchment Area (ECA) Study. Journal of the American Medical Association, 264:2511--2518. 21 53. Myers JK et al. (1984) Six-month prevalence of psychiatric disorders in three communities, 1980 to 1982. Archives of General Psychiatry, 41:959--967. 54. Robins LN et al. (1984) Lifetime prevalence of specific psychiatric disorders in three sites. Archives of General Psychiatry, 41:949--958. 55. Rounsaville BJ et al. (1982) Heterogeneity of psychiatric disorders in treated opiate addicts. Archives of General Psychiatry, 39:161--168. 56. Rounsaville BJ et al. (1987) Psychopathology as a predictor of treatment outcome in alcoholics. Archives of General Psychiatry, 44:505--513. 57. Rounsaville BJ et al. (1991) Psychiatric diagnoses of treatment-seeking cocaine abusers. Archives of General Psychiatry, 48:43-51. 58. Robins LN, Regier DA, eds (1991) Psychiatric disorders in America: the Epidemiologic Catchment Area Study. New York, NY, The Free Press. 59. Miller NS et al. (1996b) Prevalence of depression and alcohol and other drug dependence in addictions treatment populations. Journal of Psychoactive Drugs, 28:111--124. 60. Schuckit MA et al. (1997a) Comparison of induced and independent major depressive disorders in 2,945 alcoholics. American Journal of Psychiatry, 154:948--957. 61. Schuckit MA et al. (1997b) The life-time rates of three major mood disorders and four major anxiety disorders in alcoholics and controls. Addiction, 92:1289--1304. 62. Schuckit MA (1985) The clinical implications of primary diagnostic groups among alcoholics. Archives of General Psychiatry, 42:1043--1049. 63. Roy A et al. (1991) Depression among alcoholics: relationship to clinical and cerebrospinal fluid variables. Archives of General Psychiatry, 48:428--432. 64. Kessler RC et al. (1996) The epidemiology of co-occurring addictive and mental disorders: implications for prevention and service utilization. American Journal of Orthopsychiatry, 66:17--31. 65. GlassmanAHet al. (1990) Smoking, smoking cessation, and major depression. Journal of the American Medical Association, 264:1546--1549. 66. Breslau N (1995) Psychiatric comorbidity of smoking and nicotine dependence. Behavior Genetics, 25:95--101. 67. Hughes JR et al. (1986) Prevalence of smoking among psychiatric outpatients. American Journal of Psychiatry, 143:993--997. 68. Glassman AH et al. (1988) Heavy smokers, smoking cessation, and clonidine: results of a double-blind, randomized trial. Journal of the American Medical Association, 259:2863--2866. 69. Kessler RC et al. (1994) Lifetime and 12-month prevalence of DSM-III-R psychiatric disorders in the United States: results from the National Comorbidity Survey. Archives of General Psychiatry, 51:8--19. 70. Le Duc PA, Mittleman G (1995) Schizophrenia and psychostimulant abuse: a review and re-analysis of clinical evidence. Psychopharmacology, 121:407--427. 71. Subata E (2002) Injecting drug users, HIV/AIDS treatment and primary care in Central and Eastern Europe and the former Soviet Union: results of a region-wide survey. http://www.eurasianet.org/health.security/presentations/emilis.ppt 72. American Journal of Psychiatry (1995) Practice guidelines for the treatment of patients with substance use disorders: alcohol, cocaine, opioids. American Journal of Psychiatry, 152:1--59. 73. ason BJ et al. (1996) A double-blind, placebo-controlled trial of desipramine for primary alcohol dependence stratified on the presence or absence of major depression. Journal of the American Medical Association, 275:761--767. 74. Streeton C, Whelan G. (2001) Naltrexone, a relapse prevention maintenance treatment of alcohol dependence: a meta-analysis of randomized controlled trials. Alcohol and Alcoholism, 36:544-552. 75. Kranzler H.R (2000) Pharmacotherapy of alcoholism: gaps in knowledge and opportunities for research. Alcohol and Alcoholism, 35:537--547. 76. Hurt RD et al. (1997) A comparison of sustained-release buproprion and placebo for smoking cessation. New England Journal of Medicine, 337:1195--1202. 77. Jorenby DE et al. (1999) A controlled trial of sustained-release buproprion, a nicotine patch, or both for smoking cessation. New England Journal of Medicine, 340:685--691. 78. Baumann MH et al. (1994) GBR12909 attenuates cocaine-induced activation of mesolimbic dopamine neurons in the rat. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics, 271:1216--1222. 79. Rothman RB, Glowa JR (1995)Areview of the effects of dopaminergic agents on humans, animals, and drug-seeking behavior, and its implications for medication development: focus on GBR 12909. Molecular Neurobiology, 11:1--19. 80. Brody BA (1998) The ethics of biomedical research: an international perspective. Oxford, Oxford University Press. 81. Jonsen AR (1998) The birth of bioethics. Oxford, Oxford University Press. 82. Beauchamp TL, Childress JF (2001) Principles of biomedical ethics. Oxford, Oxford University Press. 83. Davidoff F et al. (2001) Sponsorship, authorship, and accountability. New England Journal of Medicine, 345:825--827. 84. de Angelis CD, Fontanarosa PB, Flanagin A(2001) Reporting financial conflicts of interest and relationships between investigators and research sponsors. Journal of the American Medical Association, 286:89--91. 85. Reidenberg MM (2001) Releasing the grip of big pharma. Lancet, 358:664. 86. Gerstein DR, Harwood HJ (1990) Treating drug problems. Vol. 1. A study of effectiveness and financing of public and private drug treatment systems. Washington, DC, National Academy Press. 87. National Research Council (2001) Informing America‟s policy on illegal drugs: what we don‟t know keeps hurting us. Washington, DC, National Academy Press. 88. Cohen PJ (1997) Immunization for prevention and treatment of cocaine abuse: legal and ethical implications. Drug and Alcohol Dependence, 48:167--174. 89. Hall W (1997) The role of legal coercion in the treatment of offenders with alcohol and heroin problems. Australian and New Zealand Journal of Criminology, 30:103--120. 90. Spooner C et al. (2001) An overview of diversion strategies for drug-related offenders. Drug and Alcohol Review, 20:281--294. 22