stabil evolusioner partai politik di indonesia

advertisement
STABIL EVOLUSIONER
PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Studi kasus: Menjelang PEMILU 2004
Deni Khanafiah1
Tiktik Dewi Sartika2
Bandung Fe Institute
Hokky Situngkir3
Asisten Peneliti di Bandung Fe Institute, mail: [email protected]
Asisten Peneliti di Bandung Fe Institute, mail: [email protected]
3 Dept. Computational Sociology, Bandung Fe Institute, mail: [email protected], homepage:
1
2
http://www.geocities.com/quicchote
Abstrak
Gagasan utamanya adalah menggunakan memetika sebagai sistem analitis untuk melihat
bagaimana partai-partai politik yang ada di Indonesia menjelang Pemilihan Umum 2004
berformasi dalam kandidat presiden masing-masing, ideologi yang memotivasinya,
perubahan nuansa politik yang hendak dibawa, dan sebagainya ke dalam sebuah model
evolusioner yang kompak dan menggambarkan kecocokan (fitness) dari masing-masing
partai politik dalam populasi masyarakat. Strateginya adalah dengan mengubah bahasa
statistika polling ke dalam bahasa stabil evolusioner sistem dinamik. Digunakan metode
memetika sebagai piranti evolusioner-komputasional untuk melakukan ini.
Kata Kunci: memetika, partai politik, stabil evolusioner, pemilihan umum
A party of order or stability, and a party of progress or reform, are both necessary
elements of a healthy state of political life.
John Stuart Mill (1806 - 1873), “On Liberty”
1. Sistem Politik & Ketakpastian
Sebagaimana diungkapkan filsuf politik John Stuart Mill, sebuah partai dalam
kehidupan politik yang sehat berada pada nuansa keseimbangan antara kestabilan dan
keteraturan dengan situasi progres untuk melakukan perubahan. Ini tentu saja gagasan
yang menarik yang memicu keingintahuan kita untuk memandang sistem politik sebagai
salah satu aspek budaya dan peradaban manusia
Adalah tidak mengada-ada jika
dikatakan bahwa harapan manusia akan sistem politik berada pada keseimbangan di
antara kedua hal yang bertolak belakang tersebut: kestabilan dan keteraturan untuk
menggapai perubahan drastis atas nasib politik kolektif suatu bangsa serta sekaligus
munculnya kestabilan dan keteraturan dari perubahan dan ketakberaturan tersebut.
Keseimbangan inilah yang tentunya hendak diuji sekaligus dicapai dalam setiap pemilihan
umum di struktur organisasi negara modern.
Namun apakah sebenarnya sistem politik selain dari sebuah obyek kultural
manusia. Ia adalah sebuah sistem yang dibuat oleh manusia yang dibentuk dari apa yang
diterima oleh akal sehatnya (as perceived) – inkonsistensi menjadi sering terjadi dan
merupakan hal yang lumrah dalam sistem politik (Beer, 1972, 1995:5). Hal ini juga yang
mendasari pendekatan sistem politik dalam proses pemilihan yang menggunakan
pemataan kognitif kolektif dari masyarakat, dalam studi-studi psikologi sosial (Achen,
1992) yang melihat sistem politik individual sebagai sebuah sistem kotak hitam: kita
hanya bisa melihat koneksitas masukan dan keluaran, namun proses di dalamnya benarbenar tersembunyi dan hampir tak terukur (Lodge, et.al., 1990).
Di sinilah ketidakpastian dari sistem politik. Adalah tidak mungkin kita dapat
memberikan prediksi yang tepat (relatif terhadap batasan tertentu) akan suatu sistem
politik. Pertama, karena ia tersusun atas elemen-elemen yang sangat bergantung pada
abstraksi kognitif dari pengamat (observer). Artinya ia merupakan obyek abstrak yang
senantiasa berubah dalam dinamika kognitif pengamat maupun pelaku (Johnson, 1992).
Kedua, sistem politik – sebagaimana sistem sosial yang lain – tersusun atas pola kolektif
atas sistem kognitif individual manusia. Secara konkrit hal ini dapat kita kenal dalalm
fakta bahwa fenomena dan peristiwa politik kerap dikaitkan dengan pendidikan politik
2
dalam masyarakat. Apa yang kita ketahui sebagai obyek politik, pada umumnya adalah
sikap kolektif dan sebagaimana diterangkan dalam Chaitin (1991), memiliki
“penjumlahan” dari elemen-elemen kognitif penyusunnya dalam hubungan yang sangat
tidak linier (Situngkir, 2003). Ketakpastian merupakan hal yang inheren dalam sistem
politik yang secara ironis membutuhkan prakiraan dengan tingkat kepastian yang sebaikbaiknya.
Kedua hal tersebut menjadi hal yang penting dalam evolusi sistem politik, baik
tingkat negara, tingkat partai politik, maupun tingkat individual elementer sistem politik.
Makalah ini berupaya untuk menunjukkan bagaimana kita dapat memahami evolusi
sistem politik dalam arti yang sedalam-dalamnya sebagaimana diungkapkan oleh John
Stuart Mill di awal makalah ini. Makalah dibagi dalam beberapa struktur bagian. Bagian
kedua dari makalah ini akan mengetengahkan fenomena stabil evolusioner sebagai salah
satu konsekuensi logis dari evolusi dan ketakpastian yang menyertainya dengan
menunjukkan metodologi memetika sebagaimana dicetuskan oleh evolusionis Richard
Dawkins (1976, 1982). Berikutnya kita akan melihat pula bagaimana evolusi paradigmatik
sistem kepartaian menjelang pemilihan umum 2004 di Indonesia. Kita mengkonstruksi
model dari beberapa data polling yang telah tersebar di masyarakat luas melalui media
massa yang dikemas dalam konsep memetika untuk mengetengahkan keadaan multipleekuilibira dari evolusi partai politik1. Makalah akan kita akhiri dengan diskusi dan analisis
serta kemungkinan pengembangan dan implementasi metodologi yang diketengahkan
serta beberapa kesimpulan epistemologis dan metodologis dalam mendekati sistem
politik, secara khusus voting dan pemilihan umum. Perlu dicatat bahwa makalah ini sama
sekali tidak bertendensi politis – tujuannya lebih kepada pengembangan sains politik yang
interdisipliner dalam cakrawala sistem analisis memetika daripada sekadar justifikasi atas
sebuah sikap dan suasan konstelatif politik tertentu.
2. Sistem Stabil Evolusioner melalui Memetika
Memetika merupakan sebuah konsep yang mengalami perjalanan dan perdebatan
yang panjang hingga tiba ke dalam jenjang metodologi saintifik yang baru dalam
mendekati sistem sosial dan evolusi budaya (Sartika, 2004). Potensi memetika memiliki
peluang yang sangat besar dalam metodologi analisis evolusi budaya semenjak pertama
kali diutarakan konsepnya oleh Richard Dawkins (1976, 1982) untuk melihat evolusi unit
1
Hal-hal teknis dan formal dalam metodologi yang digunakan dalam penyusunan makalah ini tidak
banyak disinggung, dengan memberikan keleluasaan interpretatif pembaca untuk melihat langsung
konstruksi teoretisnya dalam Situngkir (2004).
3
budaya sebagai evolusi Darwinian (genetika). Sebagai sebuah sistem dinamik yang
memiliki karakter-karakter kompleks, maka sistem politik juga merupakan sebuah sistem
yang dapat didekati sebagai sistem kompleks adaptif secara komputasional (Epstein &
Axtell, 1996), sebagaimana ditunjukkan dalam Situngkir (2004). Akibatnya, sistem sosial
politik juga pada akhirnya merupakan sistem yang jauh dari ekuilibrium, ia senantiasa
memiliki kesinambungan ekuilibria yang banyak jumlahnya dan pencarian ekuilibrium
sebagai hal yang teramalkan adalah muskil – hal ini juga merupakan konsekuensi dari dua
hal yang inheren dalam sistem politik sebagaimana diterangkan pada bagian sebelumnya.
Ini merupakan hal yang menarik tatkala kita ingin mengobservasi pola evolusi
dari sistem politik. Beberapa penelitian terdahulu yang berupaya untuk menerangkan
berbagai sistem politik sebagai aspek budaya seperti Axelrod (1997) melihat posisi agen
(=individual penyusun sistem kolektif masyarakat) dan interaksi antar sesama agen
sebagai fokus utama piranti analitik (Khanafiah & Situngkir, 2003). Hal yang berbeda
akan kita temui dengan menggunakan memetika sebagai piranti analitis – sebab yang kita
analisis bukanlah semata-mata agen dan interaksi di antaranya, namun lebih kepada
abstraksi kognitif yang kolektif yang beredar di kalangan masyarakat. Kita lebih tertarik
kepada fokus populasi ide dan abstraksi dan bagaimana ia menular, bereplikasi dalam
sistem sosial. Dalam studi memetika, hal semacam ini pernah dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda oleh de Jong (1999) untuk mengamati perkembangan
konsensus dalam masyarakat.
Dengan melihat abstraksi yang ditangkap (as perceived) oleh populasi masyarakat
sebagai semacam virus yang menyebar (Brodie, 1996), maka kita memandang unit
informasi politik sebagai elemen penyusun sistem dinamik. Seseorang bisa menganggap
bahwa A bisa menjadi seorang presiden hari ini, namun di saat yang lain ia juga bisa
menganggap B lebih sanggup. Seseorang lebih bisa menerima partai dengan ideologi dan
pesan X saat ini untuk kemudian ia lebih bisa menyepakati ideologi Y yang dibawa oleh
partai lain. Demikian seterusnya, hal ini merupakan kotak hitam sistem kognitif manusia
yang menjadi fokus kolektif dari memetika. Akhirnya, dalam evolusinya, dominasi sebuah
partai politik tidak senantiasa konstan. Dominasinya adalah sebagaiamana ia
“berfluktuasi” secara stabil (evoluionary stable). Hal inilah yang hendak kita tunjukkan dalam
makalah ini.
4
3. Partai Politik dan Pemilihan
Pada dasarnya telah begitu banyak literatur yang berbicara tentang sistem
pemilihan (election) dan analisis voting yang berkembang saat ini. Analisis dan literatur
tersebut terutama berkembang dalam diskursus statistika. Obsesi yang timbul dalam
analisis yang digunakan adalah penggunaan regresi linier dalam pengolahan data
kuesioner yang digunakan untuk melakukan pemetaan kognitif pemilih. Namun harus
diakui bahwa penggunaan analisis statistika yang berbasis demografis dan regresi linier
tidak menangkap ketidaklinieran sistem politik yang hendak didekati, dan oleh karenanya
perlu dibangun landasan teoretik sistem politik yang menerima ketidaklinieran sistem
(Achen, 1992). Dalam hal ini sistem psikologi sosial masyarakat luas harus lebih
diperhatikan daripada sekadar segregasi demografis, karena sistem politik disusun bukan
berdasarkan kondisi demografis. Sistem politik disusun berdasarkan sikap politik yang
berkenaan dengan abstraksi seseorang terhadap sikap politik tertentu.
Lodge, et.al. (1990) membagi tiga pendekatan populer di Amerika Serikat tentang
sistem pemetaan kognitif dari evaluasi rakyat terhadap kandidat pemilihan presiden, yaitu:
a. Pendekatan sosiologis (mazhab Columbia)
b. Pendekatan Sosio-psikologis (mazhab Michigan)
c. Pendekatan pilihan rasional (mazhab Rochester)
Kita akan mencoba melihat ketiga mazhab ini secara komplementer tatkala
diterapkan dalam ilmu kompleksitas yang memperhatikan ketidaklinieran sistem politik
yang hendak didekati. Pendekatan pertama dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan
pemilih dalam respon politiknya adalah status sosioekonomi, afiliasi religius, dan
keresidenannya (apakah rural atau urban). Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan
pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan pertemanan yang
dialami oleh agen pemilih secara historis. Pendekatan kedua dilandasi sistem kognitif
agen pemilih dalam menentukan pilihannya, artinya bagaimana sistem kognitif rakyat
terpetakan pada peta politik yang memang berkembang secara psikologis – hal ini sangat
berguna dalam kerangka pencarian format kampanye yang hendak digunakan dalam
sistem pemilihan. Pendekatan ketiga didasarkan pada teori pilihan rasional Anthony
Downs, yakni bahwa pemilih akan memilih secara rasional dengan melihat hal yang
paling besar mempengaruhi fungsi utilitasnya sebagai agen pemilih. Secara sederhana
langkah-langkahnya pada basis agen pemilih adalah:
a. Kalkulasi keuntungan total yang didapatkan untuk masing-masing kemenangan
kandidat bagi agen pemilih
5
b. Buat urutan kandidat mulai dari yang paling menguntungkan hingga paling tidak
menguntungkan
c. Pilihlah yang paling menguntungkan
Dengan kata lain, tiap pemilih akan memilih kandidat yang paling dekat posisi
politiknya dengan ruang isu di mana pemilih berada.
Ketiga pendekatan ini tertarik pada upaya formalisme matematis dan komputasional
dari agen pemilih dan bersifat ingatan (memori) dari agen pemilih. Namun ketiga analisis
ini hanya berguna bagi persiapan pemilihan jangka panjang. Atas dasar inilah dibentuk
pendekatan keempat, yakni sistem pemetaan agen pemilih berdasarkan impresi pemilih
terhadap kandidat. Pada pendekatan ini analis akan melakukan pendekatan yang lebih
kuat pada korelasi antara (1) informasi kandidat seperti apa yang diinginkan oleh pemilih
(dalam kampanye, dan sebagainya), serta (2) arah dan kekuatan evaluatif pemilih terhadap
kandidat. Ini merupakan bentuk pendekatan teori pilihan rasional (rational choice theory)
yang akan kita ubah pendekatannya pada bagian berikut makalah.
Pendekatan yang kita lakukan di sini akan memperluas apa yang dikemukakan
oleh Lodge, et.al. (1990) – bahwa kita melihat evolusi sistem politik sebagai evolusi unit
budaya. Unit budaya yang ditransmisikan dalam populasi warga negara inilah yang akan
kita analisis sebagai meme dalam pendekatan memetika.
4. Evolusi Partai Politik sebagai Kumpulan Memeplex
Sebagaimana
diajukan
oleh
Heylighen
(1993)
dan
digunakan
secara
komputasional dalam Situngkir (2004), maka kita akan melihat meme unit kultural
terkecil sebagai yang hendak kita dekati (sebagaimana layaknya gen dalam genetika). Tiap
meme merupakan sikap tertentu atas opsi allomeme (sebagaimana allela) “ya” dan “tidak”
atas sebuah proposisi politik yang disusun dalam kerangka pernyataan “JIKA…
MAKA…”. Beberapa buah meme pada akhirnya membentuk kumpulan meme yang
disebut sebagai memeplex, sebagai unit budaya (meme) yang direplikasikan secara
bersamaan dalam tiap interaksi agen sosial. Dalam hal ini, misalnya satu memeplex “calon
presiden pilihanku”, maka kita memiliki beberapa meme, seperti:
1. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Megawati Sukarnoputri.
2. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Amien Rais.
3. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Susilo Bambang
Yudhoyono.
4. dan seterusnya.
6
Atau memeplex “kategori partai pilihanku” yang memiliki meme seperti:
1. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang nasionalis.
2. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang islami.
3. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang demokrat.
4. dan seterusnya.
Tiap memeplex dapat diisi dengan banyak meme yang masing-masing bernilai “ya”
(dinyatakan sebagai “1”) atau “tidak” (dinyatakan sebagai “2”). Tentu dalam sebuah
kumpulan meme tertentu (disebut “deme”) bisa terdapat puluhan bahkan ratusan
memeplex – yang kita pilih berdasarkan ketersediaan data dan kemampuan
komputasional kita untuk mengolahnya.
Tabel 1
Representasi Konsep Pemilihan Partai Politik dan Memetika
Konsep Memetika
Representasi dalam Evolusi Partai Politik
Sikap “YA atau TIDAK” atas proposisi kondisional
Meme
“JIKA… MAKA…”.
Allomeme
Opsi “Ya atau Tidak” dalam meme
Kumpulan Meme yang membentuk situasi abstraksi
tertentu. Dalam makalah ini: calon presiden dari
Memeplex
partai dan kategorisasi tematik atau ideologi yang
memotivasinya.
Nilai tertentu yang dimiliki oleh memeplex
Nilai Kecocokan (fitness
berdasarkan pendapat obyek observasi (dipetakan
value)
ke bilangan Riil x = [0..1] )
Tempat segala meme berinteraksi satu sama lain
dalam konsep pertetanggaan antar agen penyusun
Kolam Meme (meme pool)
sistem sosial. Hal ini berkaitan dengan memori dari
tiap agen atas nilai kecocokan masing-masing.
Proses transmisi dari satu agen ke agen lain dengan
Replikasi
memperhatikan nilai kecocokan masing-masing
(ada kemungkinan mutasi bit tiap replikasi)
Masing-masing meme memiliki nilai kecocokan sendiri-sendiri yang pada akhirnya
menentukan mana memenangkan pemilihan2. Tentu saja, dalam praktiknya, seringkali
tiap meme tidak tunggal dalam mempengaruhi apa yang tamapk sebagai hasil konfigurasi
2
Dalam hal ini, makalah disusun dengan menggunakan hasil poling yang dilakukan oleh Majalah
TEMPO dan The International Foundation for Election System sebagaimana diterangkan lebih detail di
apendiks makalah ini. Hal ini tentu dapat dikembangkan dalam kerja implementatif lebih jauh, dengan
menambah memeplex atau menambah variasi allomeme yang digunakan dalam representasi tiap meme.
Kita memilih “0” dan “1” serta dua buah memeplex dalam simulasi atas dasar kesederhanaan model
komputasional dan ketersediaan data (penulis tidak melakukan survei langsung). Hal ini mengingat
tujuan makalah ini sebagai kerangka awal menuju penelitian berbasis survey lebih jauh.
7
meme (femetipe). Hal ini dikarenakan adanya sifat epistatik, yaitu keterhubungan antara
satu meme dengan yang lain. Jadi ada parta yang berbendarakan islam sekaligus
demokrat, dan seterusnya serta adanya saling pengaruh-mempengaruhi antar mene dalam
memeplex yang berbeda. Misalnya seorang calon presiden A tidak akan dipiliah (nilainya
“0”) karena ideologi B tertentu yang tak dapat dikompromikan, dan sebagainya. Rincian
lebih ringkas tentang representasi memetika dalam sistem pemilu kita digambarkan dalam
tabel 1.
Nilai Kecocokan
Memeplex
Interaksi
Mutasi
Evaluasi &
Seleksi
Random wheel
selection
Gambar 1
Struktur Umum Memetika yang digunakan
Dari sinilah kita mengkonstruksi model komputasional untuk dapat disimulasikan
dan dianalisis dalam kerangka penelitian atau prakiraan atas PEMILU 2004 di Indonesia.
Algoritma dan urutan dari sistem analitik yang digunakan ditunjukkan dalam gambar 1.
Secara formal dapat dituliskan bahwa jika kita menyatakan himpunan C sebagai
memeplex atau himpunan meme yang merepresentasikan sesuatu, maka terdapat fungsi
evolusioner µ yang memetakan:
µ : C × xm → C *
(1)
8
dengan C * sebagai konfigurasi meme yang paling dominan dalam kolam meme yang
hendak kita dekati, dan bahwa
C* ⊂ C
(2)
yang dalam prosesnya dikuasai oleh kemungkinan adanya faktor mutasi bit ( x m ) dari tiap
meme yang direpresentasikan3.
Secara sederhana kita dapat menggambarkan konfigurasi algoritmik dari sistem
memetika yang kita gunakan untuk menganalisis sistem politik ini sebagai:
mulai
tÅ0;
inisialisasi populasi P(t);
evaluasi P(t);
saat (tidak dihentikan) lakukan
pilih tetangga untuk interaksi dari P(t);
interaksi_pembandingan_fitnes P(t);
hasilkan C(t) sebagai keluaran;
evaluasi C(t);
Pilih P(t+1) dari C(t) dan P(t);
tÅt+1;
berhenti
berhenti
Suatu hal yang perlu dicatatat, adalah populasi memeplex tidak sama dengan
populasi manusia. Populasi memeplex merupakan abstraksi dari orang banyak terhadap
partai yang hendak dipilih dalam pemilihan. Itulah sebabnya sebagaimana diterangkan
lebih lanjut dalam apendiks makalah ini kita memilih nilai kecocokan (fitness value) dari
beberapa hasil poling yang dilakukan dan hasilnya telah diterbitkan di berbagai media
massa.
Dari algoritma di atas (sebagaimana juga digambarkan dalam gambar 1) kita
melakukan beberapa simulasi uuntuk melihat konfigurasi memeplex partai mana yang
dominan dalam keadaan stabil evolusioner.
5. Simulasi & Diskusi
Dalam simulasi yang digunakan, kita memilih dua memeplex, yaitu “kandidat
presiden yang dicalonkan partai” dan “latar belakang ideologis dari masing-masing
partai”. Kedua memeplex ini adalah menampilkan deme yang sama, yaitu kecocokan
3
Pada dasarnya hal ini dapat dibandingkan dengan pemrograman evolusioner optimasi seperti
algoritma genetika (Gen & Cheng, 1997), namun terdapat beberapa perbedaan tertentu karena evolusi
memetika tidak sama dengan evolusi genetika sebagaimana digambarkan Sartika (2004). Dalam studi
politik, model genetika seperti ini pernah dilakukan dalam kerja terdahulu (Situngkir & Hariadi, 2003).
9
(fitness) partai dengan apa yang dilihat dan diinginkan oleh masyarakat banyak. Semakin
besar nilai kecocokan deme sebuah partai tentu ia menjadi lebih mungkin memenangkan
pemilihan secara umum. Hal ini menjadi menarik karena diskusi kita tidak lagi bersandar
sebagaimana kerja-kerja terdahulu yang mendasarkan diri pada teori pilihan rasional
(rational choice theory) yang menganggap bahwa seluruh agen yang berinteraksi berusaha
untuk
memaksimisasi
ganjaran
(pay-off)
yang
diperolehnya
dalam
tiap
kali
iterasi/permainan dilakukan (Frank, 1957, 1998). Dalam hal ini fungsi utilitas dari tiap
agen digantikan dengan konfigurasi meme dalam memeplex tertentu.
arah evolusi
Gambar 2
Kondisi stabil evolusioner dari memeplex latar belakang ideologi partai
Dari simulasi yang kita lakukan, diperoleh hasil yang cukup menarik. Untuk
memeplex “latar belakang ideologi partai”, kita menggunakan hasil survey yang dilakukan
oleh The International Foundation of Election System yang paparan hasil penelitiannya
ditunjukkan oleh apendiks 1 dari makalah ini. Tiap partai dikategorikan sebagai partai
yang dipandang sebagai partai yang “sekuler”, “religius”, “demokrat”, dan “lainnya”.
Kategori “lainnya” menggunakan referensi yang ditunjukkan oleh peneliti survey tersebut
10
sebagai “pro pemerintahan yang sekarang” yang kita anggap satu kategori dengan yang
ada di luar ketiga kategori yang lain. Nilai kecocokan masing-masing kategori kita
dapatkan melalui hasil poling yang dilakukan sebagaimana dibahas dalam apendiks –
sementara nilai kecocokan untuk kombinasi dari kategori yang ada kita hitung
sebagaimana dijelaskan dalam apendiks 1. Kombinasi nilai fitness masing-masing
kombinasu ditunjukkan dalam tabel 2. Hasil simulasi yang kita lakukan ditunjukkan
dalam gambar 2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa terdapat kategori-kategori
ideologis partai-partai yang pada akhirnya punah (extinct) karena nilai kecocokannya
yang sangat kecil.
Tabel 2
Konfigurasi Platform Partai yang Mungkin dan Nilai Kecocokannya
(1=dipilih; 0 tidak dipilih)
Konfigurasi Platform suatu partai
Nilai
Kecocokan
Sekuler
Religius Demokrat Yang Lain
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0.065
2
0
0
1
0
0.1175
3
0
1
0
0
0.0325
4
1
0
0
0
0.035
5
0
0
1
1
0.1825
6
0
1
1
0
0.15
7
1
1
0
0
0.0675
8
0
1
0
1
0.0975
9
1
0
1
0
0.1525
10
1
0
0
1
0.1
11
0
1
1
1
0.215
12
1
1
1
0
0.185
13
1
0
1
1
0.2175
14
1
1
0
1
0.1325
15
1
1
1
1
0.25
16
Memeplex yang berhasil mendominasi (sebagaimana digambarkan dalam
gambar 3) secara relatif pada dasarnya menunjukkan keinginan kolektif dari
masyarakat dalam membentuk tatanan kehidupan berbangsa. Artinya, partai-partai
dengan kategori kombinatorial latar belakang tertentulah yang diinginkan publik.
Pada hasil simulasi yang kita lakukan, kita mendapati bahwa ternyata sistem stabil
evolusioner memberikan kesempatan partai dengan latar belakang “religius &
lainnya” sebagai dominan utama. Hal ini menunjukkan religiusitas yang tinggi
11
sekaligus keinginan untuk mencapai kestabilan sistem pemerintahan. Memeplex yang
lain adalah partai dengan latar belakang “religius, demokrat, dan yang lainnya”,
diikuti dengan kombinasi “sekuler, religius, dan latar belakang lainnya”. Meski tidak
mutlak mendominasi, partai yang menerima semua latar belakang juga termasuk
dominan dalam kondisi stabil evolusioner simulasi yang kita lakukan.
Gambar 3
Beberapa memeplex “latar belakang ideologi partai” yang mencapai dominasi
Hal yang relevan juga kita lihat dalam simulasi yang kita lakukan untuk calon
presiden yang diajukan partai. Dalam hal ini kita menggunakan hasil poling yang
dilakukan oleh Majalah TEMPO dengan memilih kandidat presiden pilihan responden,
yakni “Amien Rais”, “Megawati Sukarnoputri”, “Susilo Bambang Yudhoyono”, dan
“yang lainnya”. Kita memilih empat kandidat presiden hanya dan hanya untuk
simplifikasi model4. Kita menggunakan nilai kecocokan dari masing-masing kandidat
sebagaimana dijelaskan dalam apendiks 2. Penyusunan nilai kecocokan di sini agak
berbeda dengan yang dilakukan untuk memeplex “latar belakang ideologi”. Artinya, nilai
kecocokan maksimum dari tiap memeplex tidaklah semudah merata-ratakan nilai
kecocokan dari masing-masing. Dalam hal ini, kita menggunakan pilihan acak (roulette
wheel selection) untuk konfigurasi partai dengan 3 dan 4 kandidat sekaligus. Hal ini tentu
dapat diterima akal sehat mengingat partai yang memiliki platform yang jelas dan disukai
masyarakat tentu memiliki kandidat pemimpin bangsa yang jelas pula. Artinya, dalam
4
Kita tentu saja dapat memperlebar memeplex ini dalam implementasi model.
12
tiap iterasi, untuk partai dengan kandidat lebih dari dua nilai kecocokannya akan
senantiasa berubah – akhirnya partai buatan dalam simulasi diarahkan untuk memilih
maksimal dua kandidat dari empat yang ditawarkan. Tabel 3 menunjukkan data nilai
kecocokan yang kita gunakan dalam simulasi.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Tabel 3
Konfigurasi Kandidat Presiden dan Nilai Kecocokannya
(1=dipilih; 0 tidak dipilih)
Kandidat Presiden
Nilai Kecocokan
A.R.
M.S.
S.B.Y.
Yang Lain
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0.277241
0
0
1
0
0.318541
0
1
0
0
0.175308
1
0
0
0
0.22891
0
0
1
1
0.297891
0
1
1
0
0.2469245
1
1
0
0
0.202109
0
1
0
1
0.2262745
1
0
1
0
0.2737255
1
0
0
1
0.2530755
0
1
1
1
Pilihan roda acak
1
1
1
0
Pilihan roda acak
1
0
1
1
Pilihan roda acak
1
1
0
1
Pilihan roda acak
1
1
1
1
Pilihan roda acak
A.R.=Amien Rais, M.S.=Megawati Sukarnoputri, S.B.Y.=Susilo Bambang Yudhoyono
Hasilnya adalah sebagaimana yang ditunjukkan dalam gambar 4. Terlihat
beberapa memeplex mendominasi dan partai yang bersangkutan mendapatkan posisi
yang lebih fit di antara populasi. Dari simulasi yang kita lakukan diperoleh dominasi
memeplex atas konfigurasi masing-masing oleh pilihan terhadap “A.R. (=Amien Rais)”
dengan “kandidat lainnya”, “M.S. (Megawati Sukarnoputri)” dengan “kandidat lainnya”,
serta “S.B.Y. (Susilo Bambang Yudhoyono)” dengan “kandidat lainnya”. Hal ini
digambarkan secara jelas pada gambar 5.
Pada gambar 5 tersebut terlihat pula bahwa terdapat konfigurasi memeplex yang
juga mendominasi, yaitu bentuk-bentuk koalisi antara kandidat “A.R.” dengan “S.B.Y.”
serta koalisi antara kandidat “M.S.” dengan “S.B.Y.”. Dalam kondisi stabil evolusioner
terlihat terdapat adanya korelasi negatif kecocokan (fitness) antara korelasi antara
13
kandidat “A.R.” dengan “S.B.Y.” serta koalisi antara kandidat “M.S.” dengan “S.B.Y.”.
Keberadaan kandidat “S.B.Y.” dalam korelasi negatif di sini tentu menjadi fenomena
yang sangat menarik jika kita kaitkan dengan situasi aktual yang ada. Tiga kandidat yang
memiliki kekuatan yang hampir sama namun kombinasi antara keduanya memberikan
kondisi stabil evolusioner yang benar-benar mencerminkan sikap antagonisme antara satu
komposisi dengan komposisi yang lain.
arah evolusi
Gambar 4
Hasil simulasi untuk kandidat presiden yang diajukan partai
Gambar 5
Beberapa memeplex “kandidat presiden” yang mendominasi
14
Namun diskusi kita tentu tidak akan berusaha untuk memberikan justifikasi
apapun terhadap sistem politik yang hendak didekati melainkan menawarkan bentuk
metodologi evolusioner dalam analisis kecocokan (fitness) partai politik sebagai bentuk
deme dari komposisi dan konfigurasi memeplex yang menyusunnya. Hal ini kita
diskusikan lebih jauh pada bagian berikutnya.
6. Diskusi dan Kemungkinan Pengembangan
Tentu menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana dengan beberapa kandidat lain
yang juga tentu memiliki kekuatan yang perlu diperhitungkan dalam model evolusioner
yang dibangun. Muncul pula pertanyaan tentang aspek-aspek memeplex dari partai politik
yang lain seperti misalnya program yang dikampanyekan, efektivitas dan frekuensi
kampanye yang dilakukan, proses yang digunakan dalam memilih dan menetapkan calon
legislatif, dan sebagainya yang kombinasi keseluruhannya akan menggambarkan seberapa
cocok keberadaan sebuah partai politik di sistem kognitif kolektif masyarakat.
Model yang ditawarkan dalam makalah ini tidak mencakup keseluruhan hal itu
mengingat keterbatasan data yang kita miliki. Namun satu hal yang perlu dicatat di sini
adalah bahwa konstruksi model yang ditawarkan memberikan kesempatan untuk lepas
dari dilematika penyusunan fungsi ganjaran dari tiap orang tatkala ia harus menentukan
pilihan, penentuan memori dari pemilih, dan seterusnya yang harus sedemikian tepat
(exact) ditetapkan dalam model-model konvensional berbasis agen tersebut.
Melalui memetika, kita merepresentasikan data keputusan individual agen pemilih
sebagai bit-bit yang kemampuan evolusioner telah inheren di dalamnya. Inilah yang tak
dimiliki oleh model-model konvensional tersebut. Di sisi lain, reduksi yang kita lakukan
juga menjadi lebih hati-hati karena tidak berangkat dari asumsi dan pertanyaan klasik
seperti: apakah masyarakat Indonesia memilih sebuah partai atau kandidat secara rasional
dengan memandang program kerja yang ditawarkan? Sejauh mana memori agen pemilih
di Indonesia untuk memilih sebuah partai? Dan berbagai pertanyaan lain yang secara
konvensional erat kaitannya dengan proses pemilihan dan keputusan politik.
Model yang kita tawarkan dalam makalah ini pada akhirnya harus diakui masih
memiliki kekurangan untuk dijadikan acuan dan bahan analitik keputusan partai dalam
menentukan strategi pemenangannya, namun secara metodologis harus diakui baru dan
memiliki peluang yang baik untuk dijadikan acuan kerja-kerja penelitian sistem politik di
15
Indonesia dan negara-negara lain di dunia dengan hasil dan kemampuan justifikasi ilmiah
yang lebih baik.
7. Catatan Kesimpulan
Memetika adalah sebuah perangkat analisis yang lahir dari perkawinan teoretik
analisis biologi evolusioner dalam bahasa matematika dan komputasional sebagai piranti
yang memperkaya sistem analitik fisika sosial yang ada selama ini, melalui berbagai alat
analitik seperti teori pilihan rasional (rational choice theory), rasionalitas terbatas (bounded
rationality), dan sebagainya yang tujuannya adalah memberikan kesimpulan stabil
evolusioner dengan memandang sistem sosial dan politik sebagai sistem yang kompleks
adaptif. Makalah ini menunjukkan secara implementatif akan kemungkinan pencapaian
kondisi stabil evolusioner untuk kemudian dianalisis.
Dari hasil simulasi ditunjukkan bahwa beberapa hal menarik dari sistem politik
(khas Indonesia) dengan segala karakteristik partai politik, sistem kogntif pemilih, dan
sistem politiknya dapat ditarik dengan menggunakan memetika. Ide politik dipandang
sebagai meme yang bereplikasi dan populasi meme (dikenal sebagai kolam meme, meme
pool) yang dikendarai oleh tiap agen penganutnya dalam menentukan pilihannya atas
sebuah partai. Dengan melakukan poling yang lebih komprehensif untuk kemudian
diolah sebagai memeplex, kita tentu dapat memberikan analisis yang setidaknya
memberikan kita kemampuan untuk melihat kecocokan (fitness) dari partai politik dengan
masyarakat di mana ia tumbuh menjelang pemilihan umum 2004 yang akan datang. Ini
tentu saja merupakan pengembangan lebih lanjut dari apa yang dilaporkan dalam makalah
ini.
Metodologi memetika menjadikan sistem politik yang dianalisis menjadi lebih
mudah mendapati kondisi stabil evolusioner tanpa memperdebatakan hal-hal yang sangat
lokal (yang sulit dijangkau oleh perangkat teoretis seperti sekarang ini) seperti rasionalitas
pemilih dan deviasinya, keterbatasan informasi yang diperoleh pemilih, panjang pendek
memori pemilih, konstruksi teori permainan (game theoretic) fungsi utilitas, dan sebagainya.
Ini menunjukkan bagaimana memetika dapat digunakan untuk memberikan analisis yang
dinamis dari sistem pengumpulan data yang bersifat statik dari variabel-variabel yang
berkovariasi.
16
Pengakuan
Bagi seorang warga negara, tak ada hal yang paling membahagiakan daripada percaya
bahwa sistem politiknya adalah hal yang membahagiakan. Ketiga penulis mengucapkan
terima kasih kepada Prof. Yohanes Surya atas bantuan finansial selama riset ini
dijalankan, juga kepada seluruh rekan-rekan BFI atas dukungannya.
Referensi Sumber Ilmiah :
1. Achen, Christopher H. (1992). “Social Psychology, Demographic Variables, and
Linear Regression: Breaking the Iron Triangle in Voting Research”. Political
Behavior 14(3):195-211. Kluwer Academic Publishers.
2. Axelrod, R. (1997). “The Dissemination of Culture: A Model with Local
Convergence and Global Polarization”. The Journal of Conflict Resolution 41(2):20326. Sage Publications.
3. Beer, Stafford. (1972, 1995). Brain of the Firm 2nd Edition. John Wiley & Sons.
4. Brodie, R. (1996). Viruses of the Mind: The New Science of the Meme. Integral Press.
5. Chaitin, Gregory J. (1991). “Algorithmic Information & Evolution”. Dalam
Solbirg, O. T. (1991). Perspectives on Biological Complexity. Pp.51-60. IUBS Press.
6. Dawkins R. (1976, 1982). The selfish gene. Oxford University Press.
7. de Jong, Martin. (1999). “Survival of the Institutionally Fittest Concepts”. Journal
of Memetics - Evolutionary Models of Information Transmission, 4. URL: http://jomemit.cfpm.org/1999/vol3/de_jong_m.html
8. Epstein, J.M., dan Axtell, R. (1996). Growing Artificial Societies: Social Science from the
Bottom Up. The Brookings Institution Press dan MIT Press.
9. Evans, Raymond. (2003). Sejarah Pemilu & Partai Politik di Indonesia. PT. Siem &
Co.
10. Frank, Steven A. (1957, 1998). Foundations of Social Evolution. Princeton University
Press.
11. Gen, Mitsuo & Cheng, Runwei. Genetic Algorithms & Engineering Design. Wiley
Publication.
12. Heylighen F. (1993): "Selection Criteria for the Evolution of Knowledge",
Proceeding 13th International Congress on Cybernetics. International Association of
Cybernetics. p. 524-528
13. Johnson, Richard. (1992). “Party Identification and Campaign Dynamics”,
Political Behavior 14(3): 311-331. Kluwer Academic Publishers.
14. Khanafiah, Deni & Situngkir, Hokky. (2003). Metabolism of Social System: N-Person
Iterated Prisoner Dilemma Analysis in Random Boolean Network. Working Paper
WPV2003. Bandung Fe Institute.
15. Lodge, Milton., Stroh, Patrick., & Wahlke, John. (1990). “Black-Box Model of
Candidate Evaluation”. Political Behavior 12(1):5-18. Kluwer Academic Publishers.
16. Saari, Donald, G. (1994). Geometry of Voting. Springer-Verlag.
17. Sartika, Tiktik Dewi. (2004). Tracing Cultural Evolution through Memetics. Working
Paper WPF2004. Bandung Fe Institute.
17
18. Situngkir, Hokky & Hariadi, Yun. (2003). Dinamika Evolusioner Kontrak Sosial di
Indonesia. Working Paper WPK2003. Bandung Fe Institute.
19. Situngkir, Hokky (2003). “Powers of the Governmental State as Feedback
Control System”. Journal of Social Complexity 1(1): 7-17. Bandung Fe Institute.
20. Situngkir, Hokky. (2004). On Selfish Memes: Culture as Complex Adaptive System.
Working Paper WPG2004. Bandung Fe Institute.
Referensi Sumber Data :
1. Majalah Tempo, edisi 29 Desember 2003-4 Januari 2004
2. Wagner, Steven. Summary of Public Opinion Preceding the Parliamentary Elections in
Indonesia – 1999. The International Fooundation of Election Systems. United
States Agency for International Development (USAID).
18
APENDIKS 1
PENYUSUNAN DATA KECOCOKAN MEMEPLEX “LATAR BELAKANG
PARTAI”
Untuk tipe platform yang akan menentukan performa (kecocokan) dari suatu partai. Kita
mengambil data dari analisis karakteristik opini publik yang berkaitan dengan keterlibatan
publik dalam bidang politik, terutama dalam kepartaian, yang dilakukan oleh IFES dalam
Summary of Public Opinion Preceding the Parliamentary Elections in Indonesia: 1999♣. IFES
memdefinisikan 5 kelompok responden yang dilakukan dengan metode cluster analysis
group yang didasarkan pada kesamaan tanggapan atau jawabannya. Kelompok tersebut
didefinisikan menjadi 5 kelompok (gambar), yaitu:
1. Pro-pemerintah berkuasa (26% dari jumlah populasi nasional)
Karakteristik:
•
Percaya ekonomi akan membaik
•
Paling diutamakan dalam pelayanan pemerintah
•
Percaya akan adanya peningkatan kualitas hidup di Indonesia
•
Pengkonsumsi informasi dan opini yang luas
•
Usia relatif muda (dibawah 40 tahun)
2. Religius non-demokrat (13% dari jumlah populasi nasional)
Relijius
•
Tidak tertarik dalam demokrasi
•
Kurang mengkonsumsi informasi
•
Mendapatkan kemudahan dalam pelayanan pemerintah
•
Masyarakat pedesaan
•
Kebanyakan wanita tua
3. Sekuler non-Demokrat (14% dari jumlah populasi nasional)
Karakteristik:
•
Kurang tertarik terhadap demokrasi
•
Kurang religius
•
Kebanyakan masyarakat pedesaan
•
Bukan pengkonsumsi informasi
♣
Karakterisasi dilakukan dengan didasarkan pada quesioner yang berisi 140 pertanyaan. Diisi melalui
interview dilokasi tempat tinggal responden dan dilakukan terhadap 1507 orang dewasa di seluruh
Indonesia secara random.
19
•
Secara intelektual jauh dari pembangunan nasional
•
Percaya bahwa perubahan tidak akan membawa peningkatan terhadap
kualitas hidup di Indonesia
4. Pro-demokrasi -Menginginkan perubahan (21% jumlah populasi nasional)
Karakteristik:
•
Percaya bahwa perubahan akan membawa perbaikan kualitas hidup;
•
Mendapatkan akses dalam pelayanan pemerintah;
•
Pro-demokrasi
•
Pengkonsumsi informasi yang baik,
•
Kebanyakan pemuda
5. Demokrat –Menolak Perubahan (26% dari jumlah populasi nasional)
Karakteristik
•
Pro-demokrasi
•
Percaya ekonomi akan bertambah buruk
•
Kebanyakan meyakini perubahan akan mengurangi kualitas hidup di
Indonesia
•
Pengkonsumsi informasi dan opini yang luas;
•
Kebanyakan pemuda dan merupakan masyarakat perkotaan;
Demokrat
Tidak menolak
Perubahan
26%
Prodemokrate
Ingin
Perubahan
Secepatnya
21%
Sekuler Nondemokrat 14%
Propemerintah
berkuasa
26%
Religius Nondemokrat 13%
Susunan dasar kelompok di Indonesia. Menggambarkan besar relatif
dari lima pengkelompokan yang muncul dari analisis yang dilakukan.
20
Adanya pengelompokkan populasi ke dalam karakteristik tertentu di atas, kita
terjemahkan sebagai sebuah kemungkinan dipakainya suatu platform/ideologi tertentu
yang sesuai oleh suatu partai, untuk menarik massa pemilihnya. Nilai kecocokan (fitness)
suatu platform tertentu yang dipilih oleh suatu partai sebagai identitasnya tersebut
diasumsikan sebanding dengan besar relatif populasi yang menyusunnya. Empat tipe
platform partai kemudian di susun dengan memanfaat data tersebut, yaitu:
1. Religius, mengusung identitas keagamaan tertentu
2. Demokrat, yang mengusung isu demokratisasi. Ada 2 tipe demokrat dari data di
atas, dan dikarenakan keduanya sama-sama pro-demokrasi, maka kami
kategorikan dalam satu kategori, yaitu demokrat.
3. Sekuler, dan
4. Yang Lain, misalnya pro-status quo, dan sebagainya.
Karena kontribusi nilai kecocokan suatu platform yang dipilih oleh suatu partai
sebanding dengan besar relatif populasi nasional yang mengusungnya, maka kontribusi
nilai fitness dari masing-masing platform yang mungkin dipilih akan sama dengan
persentase besarnya populasi (dalam desimal) sebagaimana digambarkan tabel:
Kontribusi Nilai fitness Partai berdasarkan platform yang diusungnya
% besar kelompok
Platform Partai
Yang
Sekuler Religius Demokrat
Lain♦
Besar relatif kelompok
14%
13%
47%
26
Nilai kefitnessan
0.14
0.13
0.47
0.26
Suatu partai bisa mempunyai satu platform atau kombinasi dari platform yang ada. Jika
asumsi kemungkinan platform terdiri atas 4 tipe, maka konfigurasi platform suatu partai
yang mungkin terjadi akan berjumlah 24=16, dengan nilai fitness dari konfigurasi tersebut
adalah jumlah dari tipe-tipe platform yang digunakan/dipilil oleh suatu partai.
Nilai fitness =
♦
1
∑ Kontribusi fitness tiap platform
4
Yang lain merepresentasikan besarnya kelompok pro-pemerintah berkuasa yang besarnya 26%.
21
APENDIKS 2
PENYUSUNAN
DATA
KECOCOKAN
PRESIDEN DARI PARTAI”
MEMEPLEX
“KANDIDAT
Data untuk penentuan kecocokan kandidat Presiden didasarkan pada hasil poling yang
dilakukan Majalah Tempo yang diterbitkan pada edisi 29 Desember 2003-4 Januari 2004∗.
Alasan orang memilih presiden dikategorikan menjadi 8 kriteria, (setiap orang boleh
memilih lebih dari 1), yaitu:
Hasil Polling Majalah Tempo. Kriteria calon presiden Indonesia
No Alasan memilih presiden tertentu
%
1
Jujur,bersih, bebas korupsi
54.51
2
Mampu membawa Indonesia keluar dari Krisis
43.48
3
Pemimpin beragama Islam
29.72
4
Berpendidikan Tinggi
27.09
5
Indonesia perlu pemimpin berpengalaman
25.77
6
Indonesia perlu figur pemimpin Sipil
18.78
7
Indonesia perlu figur Militer
16.76
8
Calon lain tidak memenuhi syarat
12.46
Dari kedelapan alasan tersebut, kita memakai alasan 1 sampai dengan alasan 7 saja yang
diasumsikan mempengaruhi performa seorang calon presiden. Tiap alasan kita asumsikan
mempunyai bobot tertentu (dari 0 sampai 1) yang sebanding dengan besarnya persentase
responden yang memilih alasan tersebut sebagai alasan yang menentukan calon presiden
yang dipilihnya.
Bobot Kriteria=
persentase responden yang memilih kriteria tersebut (dalam desimal )
jumlah persentase seluruh kriteria (dalam desimal )
∗
Metodologi jajak pendapat dilaksanakan pada tanggal 5 hinga 12 Desember 2003. Data dikumpulkan
dari 1.000 responden di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan Makasar. Dengan menggunakan
ukuran sampel 1.000 tersebut, estimasi terhadap nilai parameter mempunyai margin of error 4-6 %.
Sampling dilakukan dengan metode stratified random samplin. Analisis data sampel diboboti
berdasarkan sensus penduduk tahun 2002 (BPS), untuk kota-kota tempat jajak pendapat dilasanakan
(Tempo, 2003.Hal 65).
22
No
1
2
3
4
5
6
7
Bobot Tiap Kriteria
Alasan memilih presiden tertentu
Jujur,bersih, bebas korupsi
Mampu membawa Indonesia keluar dari Krisis
Pemimpin beragama Islam
Berpendidikan Tinggi
Indonesia perlu pemimpin berpengalaman
Indonesia perlu figur pemimpin Sipil
Indonesia perlu figur Militer
Jumlah
% (dalam
desimal)
0.5451
0.4348
0.2972
0.2709
0.2577
0.1878
0.1676
2.1611
Bobot
0.2520
0.2015
0.1376
0.1253
0.1192
0.0883
0.0775
1
Figur Calon Presiden yang diambil sebagai sampel adalah 3 calon presiden yang
menempati 3 teratas yang banyak dipilih oleh responden berdasarkan ke 7 alasan
tersebut, yaitu Amien Rais, S.B Yudhoyono dan Megawati, selebihnya diasumsikan
sebagai calon lain. Data prosentase responden yang memilih calon-calon presiden
berdasarkan alasan di atas adalah sebagai berikut:
Hasil Polling Majalah Tempo. Persentase jumlah responden yang memilih
kandidat presiden
No Kriteria Alasan
% Responden yang Memilih
Capres (dalam desimal)
AR
M
SBY
YL
1 Jujur,bersih, bebas korupsi
0.63
0.38
0.63
0.80
2 Mampu membawa Indonesia keluar dari
Krisis
0.33
0.44
0.65
0.47
3 Pemimpin beragama Islam
0.28
0.10
0.45
0.36
4 Berpendidikan Tinggi
0.46
0.10
0.38
0.30
5 Indonesia perlu pemimpin berpengalaman
0.16
0.31
0.40
0.32
6 Indonesia perlu figur pemimpin Sipil
0.24
0.33
0.03
0.22
7 Indonesia perlu figur Militer
0.04
0.04
0.75
0.01
Untuk menentukan ke-fitness-an Calon Presiden berdasarkan pada pendapatan responden
tersebut. Di sini diasumsikan bahwa ke-fitness-an sebanding dengan responden yang
memilih calon presiden tersebut sesuai dengan bobot dari masing-masing kriteria.
Kontribusi Nilai Fitness =
% responden yang memilih(dalam desimal ) x Bobot tiap kriteria
dan
Rata-rata kontribusi nilai fitness yang diberikan oleh setiap calon presiden terhadap
kontribusi fitness
partainya = ∑
7
23
Untuk memudahkan perhitutangan, rata-rata kontribusi nilai fitness dibuat dalam
skala 0 sampai dengan 1 dengan cara sebagai berikut:
Rata-rata kotribusi fitness dalam skala [0,1.0] =
Rata − rata kontribusi fitness tiap kandidat
∑ rata − rata kontribusi fitness
sehingga diperoleh tabel:
Konversi kontribusi nilai fitness tiap calon presiden
Kontribusi Nilai Fitness
No
Kriteria Alasan
AR
M
SBY
YL
1
Jujur,bersih, bebas korupsi
0.1589
0.0958
0.1588
0.2016
Mampu membawa Indonesia
2
0.0665
0.0887
0.1310
0.0947
keluar dari Krisis
3
Pemimpin beragama Islam
0.0385
0.0138
0.0619
0.0495
4
Berpendidikan Tinggi
0.0576
0.0125
0.0476
0.0376
Indonesia perlu pemimpin
5
0.0370
0.0477
0.0381
berpengalaman
0.0191
Indonesia perlu figur pemimpin
6
0.0292
0.0026
0.0194
Sipil
0.0212
7
Indonesia perlu figur Militer
0.0031
0.0031
0.0581
0.0007
Rata-Rata Kontribusi Fitness
0.0521
0.0399
0.0725
0.0631
Rata-rata kontribusi Fitness dalam
0.22891
0.175308 0.318541 0.277241
skala 0 sampai dengan1
24
Download