STABIL EVOLUSIONER PARTAI POLITIK DI INDONESIA Studi kasus: Menjelang PEMILU 2004 Deni Khanafiah1 Tiktik Dewi Sartika2 Bandung Fe Institute Hokky Situngkir3 Asisten Peneliti di Bandung Fe Institute, mail: [email protected] Asisten Peneliti di Bandung Fe Institute, mail: [email protected] 3 Dept. Computational Sociology, Bandung Fe Institute, mail: [email protected], homepage: 1 2 http://www.geocities.com/quicchote Abstrak Gagasan utamanya adalah menggunakan memetika sebagai sistem analitis untuk melihat bagaimana partai-partai politik yang ada di Indonesia menjelang Pemilihan Umum 2004 berformasi dalam kandidat presiden masing-masing, ideologi yang memotivasinya, perubahan nuansa politik yang hendak dibawa, dan sebagainya ke dalam sebuah model evolusioner yang kompak dan menggambarkan kecocokan (fitness) dari masing-masing partai politik dalam populasi masyarakat. Strateginya adalah dengan mengubah bahasa statistika polling ke dalam bahasa stabil evolusioner sistem dinamik. Digunakan metode memetika sebagai piranti evolusioner-komputasional untuk melakukan ini. Kata Kunci: memetika, partai politik, stabil evolusioner, pemilihan umum A party of order or stability, and a party of progress or reform, are both necessary elements of a healthy state of political life. John Stuart Mill (1806 - 1873), “On Liberty” 1. Sistem Politik & Ketakpastian Sebagaimana diungkapkan filsuf politik John Stuart Mill, sebuah partai dalam kehidupan politik yang sehat berada pada nuansa keseimbangan antara kestabilan dan keteraturan dengan situasi progres untuk melakukan perubahan. Ini tentu saja gagasan yang menarik yang memicu keingintahuan kita untuk memandang sistem politik sebagai salah satu aspek budaya dan peradaban manusia Adalah tidak mengada-ada jika dikatakan bahwa harapan manusia akan sistem politik berada pada keseimbangan di antara kedua hal yang bertolak belakang tersebut: kestabilan dan keteraturan untuk menggapai perubahan drastis atas nasib politik kolektif suatu bangsa serta sekaligus munculnya kestabilan dan keteraturan dari perubahan dan ketakberaturan tersebut. Keseimbangan inilah yang tentunya hendak diuji sekaligus dicapai dalam setiap pemilihan umum di struktur organisasi negara modern. Namun apakah sebenarnya sistem politik selain dari sebuah obyek kultural manusia. Ia adalah sebuah sistem yang dibuat oleh manusia yang dibentuk dari apa yang diterima oleh akal sehatnya (as perceived) – inkonsistensi menjadi sering terjadi dan merupakan hal yang lumrah dalam sistem politik (Beer, 1972, 1995:5). Hal ini juga yang mendasari pendekatan sistem politik dalam proses pemilihan yang menggunakan pemataan kognitif kolektif dari masyarakat, dalam studi-studi psikologi sosial (Achen, 1992) yang melihat sistem politik individual sebagai sebuah sistem kotak hitam: kita hanya bisa melihat koneksitas masukan dan keluaran, namun proses di dalamnya benarbenar tersembunyi dan hampir tak terukur (Lodge, et.al., 1990). Di sinilah ketidakpastian dari sistem politik. Adalah tidak mungkin kita dapat memberikan prediksi yang tepat (relatif terhadap batasan tertentu) akan suatu sistem politik. Pertama, karena ia tersusun atas elemen-elemen yang sangat bergantung pada abstraksi kognitif dari pengamat (observer). Artinya ia merupakan obyek abstrak yang senantiasa berubah dalam dinamika kognitif pengamat maupun pelaku (Johnson, 1992). Kedua, sistem politik – sebagaimana sistem sosial yang lain – tersusun atas pola kolektif atas sistem kognitif individual manusia. Secara konkrit hal ini dapat kita kenal dalalm fakta bahwa fenomena dan peristiwa politik kerap dikaitkan dengan pendidikan politik 2 dalam masyarakat. Apa yang kita ketahui sebagai obyek politik, pada umumnya adalah sikap kolektif dan sebagaimana diterangkan dalam Chaitin (1991), memiliki “penjumlahan” dari elemen-elemen kognitif penyusunnya dalam hubungan yang sangat tidak linier (Situngkir, 2003). Ketakpastian merupakan hal yang inheren dalam sistem politik yang secara ironis membutuhkan prakiraan dengan tingkat kepastian yang sebaikbaiknya. Kedua hal tersebut menjadi hal yang penting dalam evolusi sistem politik, baik tingkat negara, tingkat partai politik, maupun tingkat individual elementer sistem politik. Makalah ini berupaya untuk menunjukkan bagaimana kita dapat memahami evolusi sistem politik dalam arti yang sedalam-dalamnya sebagaimana diungkapkan oleh John Stuart Mill di awal makalah ini. Makalah dibagi dalam beberapa struktur bagian. Bagian kedua dari makalah ini akan mengetengahkan fenomena stabil evolusioner sebagai salah satu konsekuensi logis dari evolusi dan ketakpastian yang menyertainya dengan menunjukkan metodologi memetika sebagaimana dicetuskan oleh evolusionis Richard Dawkins (1976, 1982). Berikutnya kita akan melihat pula bagaimana evolusi paradigmatik sistem kepartaian menjelang pemilihan umum 2004 di Indonesia. Kita mengkonstruksi model dari beberapa data polling yang telah tersebar di masyarakat luas melalui media massa yang dikemas dalam konsep memetika untuk mengetengahkan keadaan multipleekuilibira dari evolusi partai politik1. Makalah akan kita akhiri dengan diskusi dan analisis serta kemungkinan pengembangan dan implementasi metodologi yang diketengahkan serta beberapa kesimpulan epistemologis dan metodologis dalam mendekati sistem politik, secara khusus voting dan pemilihan umum. Perlu dicatat bahwa makalah ini sama sekali tidak bertendensi politis – tujuannya lebih kepada pengembangan sains politik yang interdisipliner dalam cakrawala sistem analisis memetika daripada sekadar justifikasi atas sebuah sikap dan suasan konstelatif politik tertentu. 2. Sistem Stabil Evolusioner melalui Memetika Memetika merupakan sebuah konsep yang mengalami perjalanan dan perdebatan yang panjang hingga tiba ke dalam jenjang metodologi saintifik yang baru dalam mendekati sistem sosial dan evolusi budaya (Sartika, 2004). Potensi memetika memiliki peluang yang sangat besar dalam metodologi analisis evolusi budaya semenjak pertama kali diutarakan konsepnya oleh Richard Dawkins (1976, 1982) untuk melihat evolusi unit 1 Hal-hal teknis dan formal dalam metodologi yang digunakan dalam penyusunan makalah ini tidak banyak disinggung, dengan memberikan keleluasaan interpretatif pembaca untuk melihat langsung konstruksi teoretisnya dalam Situngkir (2004). 3 budaya sebagai evolusi Darwinian (genetika). Sebagai sebuah sistem dinamik yang memiliki karakter-karakter kompleks, maka sistem politik juga merupakan sebuah sistem yang dapat didekati sebagai sistem kompleks adaptif secara komputasional (Epstein & Axtell, 1996), sebagaimana ditunjukkan dalam Situngkir (2004). Akibatnya, sistem sosial politik juga pada akhirnya merupakan sistem yang jauh dari ekuilibrium, ia senantiasa memiliki kesinambungan ekuilibria yang banyak jumlahnya dan pencarian ekuilibrium sebagai hal yang teramalkan adalah muskil – hal ini juga merupakan konsekuensi dari dua hal yang inheren dalam sistem politik sebagaimana diterangkan pada bagian sebelumnya. Ini merupakan hal yang menarik tatkala kita ingin mengobservasi pola evolusi dari sistem politik. Beberapa penelitian terdahulu yang berupaya untuk menerangkan berbagai sistem politik sebagai aspek budaya seperti Axelrod (1997) melihat posisi agen (=individual penyusun sistem kolektif masyarakat) dan interaksi antar sesama agen sebagai fokus utama piranti analitik (Khanafiah & Situngkir, 2003). Hal yang berbeda akan kita temui dengan menggunakan memetika sebagai piranti analitis – sebab yang kita analisis bukanlah semata-mata agen dan interaksi di antaranya, namun lebih kepada abstraksi kognitif yang kolektif yang beredar di kalangan masyarakat. Kita lebih tertarik kepada fokus populasi ide dan abstraksi dan bagaimana ia menular, bereplikasi dalam sistem sosial. Dalam studi memetika, hal semacam ini pernah dilakukan dengan pendekatan yang berbeda oleh de Jong (1999) untuk mengamati perkembangan konsensus dalam masyarakat. Dengan melihat abstraksi yang ditangkap (as perceived) oleh populasi masyarakat sebagai semacam virus yang menyebar (Brodie, 1996), maka kita memandang unit informasi politik sebagai elemen penyusun sistem dinamik. Seseorang bisa menganggap bahwa A bisa menjadi seorang presiden hari ini, namun di saat yang lain ia juga bisa menganggap B lebih sanggup. Seseorang lebih bisa menerima partai dengan ideologi dan pesan X saat ini untuk kemudian ia lebih bisa menyepakati ideologi Y yang dibawa oleh partai lain. Demikian seterusnya, hal ini merupakan kotak hitam sistem kognitif manusia yang menjadi fokus kolektif dari memetika. Akhirnya, dalam evolusinya, dominasi sebuah partai politik tidak senantiasa konstan. Dominasinya adalah sebagaiamana ia “berfluktuasi” secara stabil (evoluionary stable). Hal inilah yang hendak kita tunjukkan dalam makalah ini. 4 3. Partai Politik dan Pemilihan Pada dasarnya telah begitu banyak literatur yang berbicara tentang sistem pemilihan (election) dan analisis voting yang berkembang saat ini. Analisis dan literatur tersebut terutama berkembang dalam diskursus statistika. Obsesi yang timbul dalam analisis yang digunakan adalah penggunaan regresi linier dalam pengolahan data kuesioner yang digunakan untuk melakukan pemetaan kognitif pemilih. Namun harus diakui bahwa penggunaan analisis statistika yang berbasis demografis dan regresi linier tidak menangkap ketidaklinieran sistem politik yang hendak didekati, dan oleh karenanya perlu dibangun landasan teoretik sistem politik yang menerima ketidaklinieran sistem (Achen, 1992). Dalam hal ini sistem psikologi sosial masyarakat luas harus lebih diperhatikan daripada sekadar segregasi demografis, karena sistem politik disusun bukan berdasarkan kondisi demografis. Sistem politik disusun berdasarkan sikap politik yang berkenaan dengan abstraksi seseorang terhadap sikap politik tertentu. Lodge, et.al. (1990) membagi tiga pendekatan populer di Amerika Serikat tentang sistem pemetaan kognitif dari evaluasi rakyat terhadap kandidat pemilihan presiden, yaitu: a. Pendekatan sosiologis (mazhab Columbia) b. Pendekatan Sosio-psikologis (mazhab Michigan) c. Pendekatan pilihan rasional (mazhab Rochester) Kita akan mencoba melihat ketiga mazhab ini secara komplementer tatkala diterapkan dalam ilmu kompleksitas yang memperhatikan ketidaklinieran sistem politik yang hendak didekati. Pendekatan pertama dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status sosioekonomi, afiliasi religius, dan keresidenannya (apakah rural atau urban). Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis. Pendekatan kedua dilandasi sistem kognitif agen pemilih dalam menentukan pilihannya, artinya bagaimana sistem kognitif rakyat terpetakan pada peta politik yang memang berkembang secara psikologis – hal ini sangat berguna dalam kerangka pencarian format kampanye yang hendak digunakan dalam sistem pemilihan. Pendekatan ketiga didasarkan pada teori pilihan rasional Anthony Downs, yakni bahwa pemilih akan memilih secara rasional dengan melihat hal yang paling besar mempengaruhi fungsi utilitasnya sebagai agen pemilih. Secara sederhana langkah-langkahnya pada basis agen pemilih adalah: a. Kalkulasi keuntungan total yang didapatkan untuk masing-masing kemenangan kandidat bagi agen pemilih 5 b. Buat urutan kandidat mulai dari yang paling menguntungkan hingga paling tidak menguntungkan c. Pilihlah yang paling menguntungkan Dengan kata lain, tiap pemilih akan memilih kandidat yang paling dekat posisi politiknya dengan ruang isu di mana pemilih berada. Ketiga pendekatan ini tertarik pada upaya formalisme matematis dan komputasional dari agen pemilih dan bersifat ingatan (memori) dari agen pemilih. Namun ketiga analisis ini hanya berguna bagi persiapan pemilihan jangka panjang. Atas dasar inilah dibentuk pendekatan keempat, yakni sistem pemetaan agen pemilih berdasarkan impresi pemilih terhadap kandidat. Pada pendekatan ini analis akan melakukan pendekatan yang lebih kuat pada korelasi antara (1) informasi kandidat seperti apa yang diinginkan oleh pemilih (dalam kampanye, dan sebagainya), serta (2) arah dan kekuatan evaluatif pemilih terhadap kandidat. Ini merupakan bentuk pendekatan teori pilihan rasional (rational choice theory) yang akan kita ubah pendekatannya pada bagian berikut makalah. Pendekatan yang kita lakukan di sini akan memperluas apa yang dikemukakan oleh Lodge, et.al. (1990) – bahwa kita melihat evolusi sistem politik sebagai evolusi unit budaya. Unit budaya yang ditransmisikan dalam populasi warga negara inilah yang akan kita analisis sebagai meme dalam pendekatan memetika. 4. Evolusi Partai Politik sebagai Kumpulan Memeplex Sebagaimana diajukan oleh Heylighen (1993) dan digunakan secara komputasional dalam Situngkir (2004), maka kita akan melihat meme unit kultural terkecil sebagai yang hendak kita dekati (sebagaimana layaknya gen dalam genetika). Tiap meme merupakan sikap tertentu atas opsi allomeme (sebagaimana allela) “ya” dan “tidak” atas sebuah proposisi politik yang disusun dalam kerangka pernyataan “JIKA… MAKA…”. Beberapa buah meme pada akhirnya membentuk kumpulan meme yang disebut sebagai memeplex, sebagai unit budaya (meme) yang direplikasikan secara bersamaan dalam tiap interaksi agen sosial. Dalam hal ini, misalnya satu memeplex “calon presiden pilihanku”, maka kita memiliki beberapa meme, seperti: 1. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Megawati Sukarnoputri. 2. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Amien Rais. 3. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Susilo Bambang Yudhoyono. 4. dan seterusnya. 6 Atau memeplex “kategori partai pilihanku” yang memiliki meme seperti: 1. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang nasionalis. 2. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang islami. 3. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang demokrat. 4. dan seterusnya. Tiap memeplex dapat diisi dengan banyak meme yang masing-masing bernilai “ya” (dinyatakan sebagai “1”) atau “tidak” (dinyatakan sebagai “2”). Tentu dalam sebuah kumpulan meme tertentu (disebut “deme”) bisa terdapat puluhan bahkan ratusan memeplex – yang kita pilih berdasarkan ketersediaan data dan kemampuan komputasional kita untuk mengolahnya. Tabel 1 Representasi Konsep Pemilihan Partai Politik dan Memetika Konsep Memetika Representasi dalam Evolusi Partai Politik Sikap “YA atau TIDAK” atas proposisi kondisional Meme “JIKA… MAKA…”. Allomeme Opsi “Ya atau Tidak” dalam meme Kumpulan Meme yang membentuk situasi abstraksi tertentu. Dalam makalah ini: calon presiden dari Memeplex partai dan kategorisasi tematik atau ideologi yang memotivasinya. Nilai tertentu yang dimiliki oleh memeplex Nilai Kecocokan (fitness berdasarkan pendapat obyek observasi (dipetakan value) ke bilangan Riil x = [0..1] ) Tempat segala meme berinteraksi satu sama lain dalam konsep pertetanggaan antar agen penyusun Kolam Meme (meme pool) sistem sosial. Hal ini berkaitan dengan memori dari tiap agen atas nilai kecocokan masing-masing. Proses transmisi dari satu agen ke agen lain dengan Replikasi memperhatikan nilai kecocokan masing-masing (ada kemungkinan mutasi bit tiap replikasi) Masing-masing meme memiliki nilai kecocokan sendiri-sendiri yang pada akhirnya menentukan mana memenangkan pemilihan2. Tentu saja, dalam praktiknya, seringkali tiap meme tidak tunggal dalam mempengaruhi apa yang tamapk sebagai hasil konfigurasi 2 Dalam hal ini, makalah disusun dengan menggunakan hasil poling yang dilakukan oleh Majalah TEMPO dan The International Foundation for Election System sebagaimana diterangkan lebih detail di apendiks makalah ini. Hal ini tentu dapat dikembangkan dalam kerja implementatif lebih jauh, dengan menambah memeplex atau menambah variasi allomeme yang digunakan dalam representasi tiap meme. Kita memilih “0” dan “1” serta dua buah memeplex dalam simulasi atas dasar kesederhanaan model komputasional dan ketersediaan data (penulis tidak melakukan survei langsung). Hal ini mengingat tujuan makalah ini sebagai kerangka awal menuju penelitian berbasis survey lebih jauh. 7 meme (femetipe). Hal ini dikarenakan adanya sifat epistatik, yaitu keterhubungan antara satu meme dengan yang lain. Jadi ada parta yang berbendarakan islam sekaligus demokrat, dan seterusnya serta adanya saling pengaruh-mempengaruhi antar mene dalam memeplex yang berbeda. Misalnya seorang calon presiden A tidak akan dipiliah (nilainya “0”) karena ideologi B tertentu yang tak dapat dikompromikan, dan sebagainya. Rincian lebih ringkas tentang representasi memetika dalam sistem pemilu kita digambarkan dalam tabel 1. Nilai Kecocokan Memeplex Interaksi Mutasi Evaluasi & Seleksi Random wheel selection Gambar 1 Struktur Umum Memetika yang digunakan Dari sinilah kita mengkonstruksi model komputasional untuk dapat disimulasikan dan dianalisis dalam kerangka penelitian atau prakiraan atas PEMILU 2004 di Indonesia. Algoritma dan urutan dari sistem analitik yang digunakan ditunjukkan dalam gambar 1. Secara formal dapat dituliskan bahwa jika kita menyatakan himpunan C sebagai memeplex atau himpunan meme yang merepresentasikan sesuatu, maka terdapat fungsi evolusioner µ yang memetakan: µ : C × xm → C * (1) 8 dengan C * sebagai konfigurasi meme yang paling dominan dalam kolam meme yang hendak kita dekati, dan bahwa C* ⊂ C (2) yang dalam prosesnya dikuasai oleh kemungkinan adanya faktor mutasi bit ( x m ) dari tiap meme yang direpresentasikan3. Secara sederhana kita dapat menggambarkan konfigurasi algoritmik dari sistem memetika yang kita gunakan untuk menganalisis sistem politik ini sebagai: mulai tÅ0; inisialisasi populasi P(t); evaluasi P(t); saat (tidak dihentikan) lakukan pilih tetangga untuk interaksi dari P(t); interaksi_pembandingan_fitnes P(t); hasilkan C(t) sebagai keluaran; evaluasi C(t); Pilih P(t+1) dari C(t) dan P(t); tÅt+1; berhenti berhenti Suatu hal yang perlu dicatatat, adalah populasi memeplex tidak sama dengan populasi manusia. Populasi memeplex merupakan abstraksi dari orang banyak terhadap partai yang hendak dipilih dalam pemilihan. Itulah sebabnya sebagaimana diterangkan lebih lanjut dalam apendiks makalah ini kita memilih nilai kecocokan (fitness value) dari beberapa hasil poling yang dilakukan dan hasilnya telah diterbitkan di berbagai media massa. Dari algoritma di atas (sebagaimana juga digambarkan dalam gambar 1) kita melakukan beberapa simulasi uuntuk melihat konfigurasi memeplex partai mana yang dominan dalam keadaan stabil evolusioner. 5. Simulasi & Diskusi Dalam simulasi yang digunakan, kita memilih dua memeplex, yaitu “kandidat presiden yang dicalonkan partai” dan “latar belakang ideologis dari masing-masing partai”. Kedua memeplex ini adalah menampilkan deme yang sama, yaitu kecocokan 3 Pada dasarnya hal ini dapat dibandingkan dengan pemrograman evolusioner optimasi seperti algoritma genetika (Gen & Cheng, 1997), namun terdapat beberapa perbedaan tertentu karena evolusi memetika tidak sama dengan evolusi genetika sebagaimana digambarkan Sartika (2004). Dalam studi politik, model genetika seperti ini pernah dilakukan dalam kerja terdahulu (Situngkir & Hariadi, 2003). 9 (fitness) partai dengan apa yang dilihat dan diinginkan oleh masyarakat banyak. Semakin besar nilai kecocokan deme sebuah partai tentu ia menjadi lebih mungkin memenangkan pemilihan secara umum. Hal ini menjadi menarik karena diskusi kita tidak lagi bersandar sebagaimana kerja-kerja terdahulu yang mendasarkan diri pada teori pilihan rasional (rational choice theory) yang menganggap bahwa seluruh agen yang berinteraksi berusaha untuk memaksimisasi ganjaran (pay-off) yang diperolehnya dalam tiap kali iterasi/permainan dilakukan (Frank, 1957, 1998). Dalam hal ini fungsi utilitas dari tiap agen digantikan dengan konfigurasi meme dalam memeplex tertentu. arah evolusi Gambar 2 Kondisi stabil evolusioner dari memeplex latar belakang ideologi partai Dari simulasi yang kita lakukan, diperoleh hasil yang cukup menarik. Untuk memeplex “latar belakang ideologi partai”, kita menggunakan hasil survey yang dilakukan oleh The International Foundation of Election System yang paparan hasil penelitiannya ditunjukkan oleh apendiks 1 dari makalah ini. Tiap partai dikategorikan sebagai partai yang dipandang sebagai partai yang “sekuler”, “religius”, “demokrat”, dan “lainnya”. Kategori “lainnya” menggunakan referensi yang ditunjukkan oleh peneliti survey tersebut 10 sebagai “pro pemerintahan yang sekarang” yang kita anggap satu kategori dengan yang ada di luar ketiga kategori yang lain. Nilai kecocokan masing-masing kategori kita dapatkan melalui hasil poling yang dilakukan sebagaimana dibahas dalam apendiks – sementara nilai kecocokan untuk kombinasi dari kategori yang ada kita hitung sebagaimana dijelaskan dalam apendiks 1. Kombinasi nilai fitness masing-masing kombinasu ditunjukkan dalam tabel 2. Hasil simulasi yang kita lakukan ditunjukkan dalam gambar 2. Pada gambar tersebut terlihat bahwa terdapat kategori-kategori ideologis partai-partai yang pada akhirnya punah (extinct) karena nilai kecocokannya yang sangat kecil. Tabel 2 Konfigurasi Platform Partai yang Mungkin dan Nilai Kecocokannya (1=dipilih; 0 tidak dipilih) Konfigurasi Platform suatu partai Nilai Kecocokan Sekuler Religius Demokrat Yang Lain 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0.065 2 0 0 1 0 0.1175 3 0 1 0 0 0.0325 4 1 0 0 0 0.035 5 0 0 1 1 0.1825 6 0 1 1 0 0.15 7 1 1 0 0 0.0675 8 0 1 0 1 0.0975 9 1 0 1 0 0.1525 10 1 0 0 1 0.1 11 0 1 1 1 0.215 12 1 1 1 0 0.185 13 1 0 1 1 0.2175 14 1 1 0 1 0.1325 15 1 1 1 1 0.25 16 Memeplex yang berhasil mendominasi (sebagaimana digambarkan dalam gambar 3) secara relatif pada dasarnya menunjukkan keinginan kolektif dari masyarakat dalam membentuk tatanan kehidupan berbangsa. Artinya, partai-partai dengan kategori kombinatorial latar belakang tertentulah yang diinginkan publik. Pada hasil simulasi yang kita lakukan, kita mendapati bahwa ternyata sistem stabil evolusioner memberikan kesempatan partai dengan latar belakang “religius & lainnya” sebagai dominan utama. Hal ini menunjukkan religiusitas yang tinggi 11 sekaligus keinginan untuk mencapai kestabilan sistem pemerintahan. Memeplex yang lain adalah partai dengan latar belakang “religius, demokrat, dan yang lainnya”, diikuti dengan kombinasi “sekuler, religius, dan latar belakang lainnya”. Meski tidak mutlak mendominasi, partai yang menerima semua latar belakang juga termasuk dominan dalam kondisi stabil evolusioner simulasi yang kita lakukan. Gambar 3 Beberapa memeplex “latar belakang ideologi partai” yang mencapai dominasi Hal yang relevan juga kita lihat dalam simulasi yang kita lakukan untuk calon presiden yang diajukan partai. Dalam hal ini kita menggunakan hasil poling yang dilakukan oleh Majalah TEMPO dengan memilih kandidat presiden pilihan responden, yakni “Amien Rais”, “Megawati Sukarnoputri”, “Susilo Bambang Yudhoyono”, dan “yang lainnya”. Kita memilih empat kandidat presiden hanya dan hanya untuk simplifikasi model4. Kita menggunakan nilai kecocokan dari masing-masing kandidat sebagaimana dijelaskan dalam apendiks 2. Penyusunan nilai kecocokan di sini agak berbeda dengan yang dilakukan untuk memeplex “latar belakang ideologi”. Artinya, nilai kecocokan maksimum dari tiap memeplex tidaklah semudah merata-ratakan nilai kecocokan dari masing-masing. Dalam hal ini, kita menggunakan pilihan acak (roulette wheel selection) untuk konfigurasi partai dengan 3 dan 4 kandidat sekaligus. Hal ini tentu dapat diterima akal sehat mengingat partai yang memiliki platform yang jelas dan disukai masyarakat tentu memiliki kandidat pemimpin bangsa yang jelas pula. Artinya, dalam 4 Kita tentu saja dapat memperlebar memeplex ini dalam implementasi model. 12 tiap iterasi, untuk partai dengan kandidat lebih dari dua nilai kecocokannya akan senantiasa berubah – akhirnya partai buatan dalam simulasi diarahkan untuk memilih maksimal dua kandidat dari empat yang ditawarkan. Tabel 3 menunjukkan data nilai kecocokan yang kita gunakan dalam simulasi. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Tabel 3 Konfigurasi Kandidat Presiden dan Nilai Kecocokannya (1=dipilih; 0 tidak dipilih) Kandidat Presiden Nilai Kecocokan A.R. M.S. S.B.Y. Yang Lain 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0.277241 0 0 1 0 0.318541 0 1 0 0 0.175308 1 0 0 0 0.22891 0 0 1 1 0.297891 0 1 1 0 0.2469245 1 1 0 0 0.202109 0 1 0 1 0.2262745 1 0 1 0 0.2737255 1 0 0 1 0.2530755 0 1 1 1 Pilihan roda acak 1 1 1 0 Pilihan roda acak 1 0 1 1 Pilihan roda acak 1 1 0 1 Pilihan roda acak 1 1 1 1 Pilihan roda acak A.R.=Amien Rais, M.S.=Megawati Sukarnoputri, S.B.Y.=Susilo Bambang Yudhoyono Hasilnya adalah sebagaimana yang ditunjukkan dalam gambar 4. Terlihat beberapa memeplex mendominasi dan partai yang bersangkutan mendapatkan posisi yang lebih fit di antara populasi. Dari simulasi yang kita lakukan diperoleh dominasi memeplex atas konfigurasi masing-masing oleh pilihan terhadap “A.R. (=Amien Rais)” dengan “kandidat lainnya”, “M.S. (Megawati Sukarnoputri)” dengan “kandidat lainnya”, serta “S.B.Y. (Susilo Bambang Yudhoyono)” dengan “kandidat lainnya”. Hal ini digambarkan secara jelas pada gambar 5. Pada gambar 5 tersebut terlihat pula bahwa terdapat konfigurasi memeplex yang juga mendominasi, yaitu bentuk-bentuk koalisi antara kandidat “A.R.” dengan “S.B.Y.” serta koalisi antara kandidat “M.S.” dengan “S.B.Y.”. Dalam kondisi stabil evolusioner terlihat terdapat adanya korelasi negatif kecocokan (fitness) antara korelasi antara 13 kandidat “A.R.” dengan “S.B.Y.” serta koalisi antara kandidat “M.S.” dengan “S.B.Y.”. Keberadaan kandidat “S.B.Y.” dalam korelasi negatif di sini tentu menjadi fenomena yang sangat menarik jika kita kaitkan dengan situasi aktual yang ada. Tiga kandidat yang memiliki kekuatan yang hampir sama namun kombinasi antara keduanya memberikan kondisi stabil evolusioner yang benar-benar mencerminkan sikap antagonisme antara satu komposisi dengan komposisi yang lain. arah evolusi Gambar 4 Hasil simulasi untuk kandidat presiden yang diajukan partai Gambar 5 Beberapa memeplex “kandidat presiden” yang mendominasi 14 Namun diskusi kita tentu tidak akan berusaha untuk memberikan justifikasi apapun terhadap sistem politik yang hendak didekati melainkan menawarkan bentuk metodologi evolusioner dalam analisis kecocokan (fitness) partai politik sebagai bentuk deme dari komposisi dan konfigurasi memeplex yang menyusunnya. Hal ini kita diskusikan lebih jauh pada bagian berikutnya. 6. Diskusi dan Kemungkinan Pengembangan Tentu menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana dengan beberapa kandidat lain yang juga tentu memiliki kekuatan yang perlu diperhitungkan dalam model evolusioner yang dibangun. Muncul pula pertanyaan tentang aspek-aspek memeplex dari partai politik yang lain seperti misalnya program yang dikampanyekan, efektivitas dan frekuensi kampanye yang dilakukan, proses yang digunakan dalam memilih dan menetapkan calon legislatif, dan sebagainya yang kombinasi keseluruhannya akan menggambarkan seberapa cocok keberadaan sebuah partai politik di sistem kognitif kolektif masyarakat. Model yang ditawarkan dalam makalah ini tidak mencakup keseluruhan hal itu mengingat keterbatasan data yang kita miliki. Namun satu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa konstruksi model yang ditawarkan memberikan kesempatan untuk lepas dari dilematika penyusunan fungsi ganjaran dari tiap orang tatkala ia harus menentukan pilihan, penentuan memori dari pemilih, dan seterusnya yang harus sedemikian tepat (exact) ditetapkan dalam model-model konvensional berbasis agen tersebut. Melalui memetika, kita merepresentasikan data keputusan individual agen pemilih sebagai bit-bit yang kemampuan evolusioner telah inheren di dalamnya. Inilah yang tak dimiliki oleh model-model konvensional tersebut. Di sisi lain, reduksi yang kita lakukan juga menjadi lebih hati-hati karena tidak berangkat dari asumsi dan pertanyaan klasik seperti: apakah masyarakat Indonesia memilih sebuah partai atau kandidat secara rasional dengan memandang program kerja yang ditawarkan? Sejauh mana memori agen pemilih di Indonesia untuk memilih sebuah partai? Dan berbagai pertanyaan lain yang secara konvensional erat kaitannya dengan proses pemilihan dan keputusan politik. Model yang kita tawarkan dalam makalah ini pada akhirnya harus diakui masih memiliki kekurangan untuk dijadikan acuan dan bahan analitik keputusan partai dalam menentukan strategi pemenangannya, namun secara metodologis harus diakui baru dan memiliki peluang yang baik untuk dijadikan acuan kerja-kerja penelitian sistem politik di 15 Indonesia dan negara-negara lain di dunia dengan hasil dan kemampuan justifikasi ilmiah yang lebih baik. 7. Catatan Kesimpulan Memetika adalah sebuah perangkat analisis yang lahir dari perkawinan teoretik analisis biologi evolusioner dalam bahasa matematika dan komputasional sebagai piranti yang memperkaya sistem analitik fisika sosial yang ada selama ini, melalui berbagai alat analitik seperti teori pilihan rasional (rational choice theory), rasionalitas terbatas (bounded rationality), dan sebagainya yang tujuannya adalah memberikan kesimpulan stabil evolusioner dengan memandang sistem sosial dan politik sebagai sistem yang kompleks adaptif. Makalah ini menunjukkan secara implementatif akan kemungkinan pencapaian kondisi stabil evolusioner untuk kemudian dianalisis. Dari hasil simulasi ditunjukkan bahwa beberapa hal menarik dari sistem politik (khas Indonesia) dengan segala karakteristik partai politik, sistem kogntif pemilih, dan sistem politiknya dapat ditarik dengan menggunakan memetika. Ide politik dipandang sebagai meme yang bereplikasi dan populasi meme (dikenal sebagai kolam meme, meme pool) yang dikendarai oleh tiap agen penganutnya dalam menentukan pilihannya atas sebuah partai. Dengan melakukan poling yang lebih komprehensif untuk kemudian diolah sebagai memeplex, kita tentu dapat memberikan analisis yang setidaknya memberikan kita kemampuan untuk melihat kecocokan (fitness) dari partai politik dengan masyarakat di mana ia tumbuh menjelang pemilihan umum 2004 yang akan datang. Ini tentu saja merupakan pengembangan lebih lanjut dari apa yang dilaporkan dalam makalah ini. Metodologi memetika menjadikan sistem politik yang dianalisis menjadi lebih mudah mendapati kondisi stabil evolusioner tanpa memperdebatakan hal-hal yang sangat lokal (yang sulit dijangkau oleh perangkat teoretis seperti sekarang ini) seperti rasionalitas pemilih dan deviasinya, keterbatasan informasi yang diperoleh pemilih, panjang pendek memori pemilih, konstruksi teori permainan (game theoretic) fungsi utilitas, dan sebagainya. Ini menunjukkan bagaimana memetika dapat digunakan untuk memberikan analisis yang dinamis dari sistem pengumpulan data yang bersifat statik dari variabel-variabel yang berkovariasi. 16 Pengakuan Bagi seorang warga negara, tak ada hal yang paling membahagiakan daripada percaya bahwa sistem politiknya adalah hal yang membahagiakan. Ketiga penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Yohanes Surya atas bantuan finansial selama riset ini dijalankan, juga kepada seluruh rekan-rekan BFI atas dukungannya. Referensi Sumber Ilmiah : 1. Achen, Christopher H. (1992). “Social Psychology, Demographic Variables, and Linear Regression: Breaking the Iron Triangle in Voting Research”. Political Behavior 14(3):195-211. Kluwer Academic Publishers. 2. Axelrod, R. (1997). “The Dissemination of Culture: A Model with Local Convergence and Global Polarization”. The Journal of Conflict Resolution 41(2):20326. Sage Publications. 3. Beer, Stafford. (1972, 1995). Brain of the Firm 2nd Edition. John Wiley & Sons. 4. Brodie, R. (1996). Viruses of the Mind: The New Science of the Meme. Integral Press. 5. Chaitin, Gregory J. (1991). “Algorithmic Information & Evolution”. Dalam Solbirg, O. T. (1991). Perspectives on Biological Complexity. Pp.51-60. IUBS Press. 6. Dawkins R. (1976, 1982). The selfish gene. Oxford University Press. 7. de Jong, Martin. (1999). “Survival of the Institutionally Fittest Concepts”. Journal of Memetics - Evolutionary Models of Information Transmission, 4. URL: http://jomemit.cfpm.org/1999/vol3/de_jong_m.html 8. Epstein, J.M., dan Axtell, R. (1996). Growing Artificial Societies: Social Science from the Bottom Up. The Brookings Institution Press dan MIT Press. 9. Evans, Raymond. (2003). Sejarah Pemilu & Partai Politik di Indonesia. PT. Siem & Co. 10. Frank, Steven A. (1957, 1998). Foundations of Social Evolution. Princeton University Press. 11. Gen, Mitsuo & Cheng, Runwei. Genetic Algorithms & Engineering Design. Wiley Publication. 12. Heylighen F. (1993): "Selection Criteria for the Evolution of Knowledge", Proceeding 13th International Congress on Cybernetics. International Association of Cybernetics. p. 524-528 13. Johnson, Richard. (1992). “Party Identification and Campaign Dynamics”, Political Behavior 14(3): 311-331. Kluwer Academic Publishers. 14. Khanafiah, Deni & Situngkir, Hokky. (2003). Metabolism of Social System: N-Person Iterated Prisoner Dilemma Analysis in Random Boolean Network. Working Paper WPV2003. Bandung Fe Institute. 15. Lodge, Milton., Stroh, Patrick., & Wahlke, John. (1990). “Black-Box Model of Candidate Evaluation”. Political Behavior 12(1):5-18. Kluwer Academic Publishers. 16. Saari, Donald, G. (1994). Geometry of Voting. Springer-Verlag. 17. Sartika, Tiktik Dewi. (2004). Tracing Cultural Evolution through Memetics. Working Paper WPF2004. Bandung Fe Institute. 17 18. Situngkir, Hokky & Hariadi, Yun. (2003). Dinamika Evolusioner Kontrak Sosial di Indonesia. Working Paper WPK2003. Bandung Fe Institute. 19. Situngkir, Hokky (2003). “Powers of the Governmental State as Feedback Control System”. Journal of Social Complexity 1(1): 7-17. Bandung Fe Institute. 20. Situngkir, Hokky. (2004). On Selfish Memes: Culture as Complex Adaptive System. Working Paper WPG2004. Bandung Fe Institute. Referensi Sumber Data : 1. Majalah Tempo, edisi 29 Desember 2003-4 Januari 2004 2. Wagner, Steven. Summary of Public Opinion Preceding the Parliamentary Elections in Indonesia – 1999. The International Fooundation of Election Systems. United States Agency for International Development (USAID). 18 APENDIKS 1 PENYUSUNAN DATA KECOCOKAN MEMEPLEX “LATAR BELAKANG PARTAI” Untuk tipe platform yang akan menentukan performa (kecocokan) dari suatu partai. Kita mengambil data dari analisis karakteristik opini publik yang berkaitan dengan keterlibatan publik dalam bidang politik, terutama dalam kepartaian, yang dilakukan oleh IFES dalam Summary of Public Opinion Preceding the Parliamentary Elections in Indonesia: 1999♣. IFES memdefinisikan 5 kelompok responden yang dilakukan dengan metode cluster analysis group yang didasarkan pada kesamaan tanggapan atau jawabannya. Kelompok tersebut didefinisikan menjadi 5 kelompok (gambar), yaitu: 1. Pro-pemerintah berkuasa (26% dari jumlah populasi nasional) Karakteristik: • Percaya ekonomi akan membaik • Paling diutamakan dalam pelayanan pemerintah • Percaya akan adanya peningkatan kualitas hidup di Indonesia • Pengkonsumsi informasi dan opini yang luas • Usia relatif muda (dibawah 40 tahun) 2. Religius non-demokrat (13% dari jumlah populasi nasional) Relijius • Tidak tertarik dalam demokrasi • Kurang mengkonsumsi informasi • Mendapatkan kemudahan dalam pelayanan pemerintah • Masyarakat pedesaan • Kebanyakan wanita tua 3. Sekuler non-Demokrat (14% dari jumlah populasi nasional) Karakteristik: • Kurang tertarik terhadap demokrasi • Kurang religius • Kebanyakan masyarakat pedesaan • Bukan pengkonsumsi informasi ♣ Karakterisasi dilakukan dengan didasarkan pada quesioner yang berisi 140 pertanyaan. Diisi melalui interview dilokasi tempat tinggal responden dan dilakukan terhadap 1507 orang dewasa di seluruh Indonesia secara random. 19 • Secara intelektual jauh dari pembangunan nasional • Percaya bahwa perubahan tidak akan membawa peningkatan terhadap kualitas hidup di Indonesia 4. Pro-demokrasi -Menginginkan perubahan (21% jumlah populasi nasional) Karakteristik: • Percaya bahwa perubahan akan membawa perbaikan kualitas hidup; • Mendapatkan akses dalam pelayanan pemerintah; • Pro-demokrasi • Pengkonsumsi informasi yang baik, • Kebanyakan pemuda 5. Demokrat –Menolak Perubahan (26% dari jumlah populasi nasional) Karakteristik • Pro-demokrasi • Percaya ekonomi akan bertambah buruk • Kebanyakan meyakini perubahan akan mengurangi kualitas hidup di Indonesia • Pengkonsumsi informasi dan opini yang luas; • Kebanyakan pemuda dan merupakan masyarakat perkotaan; Demokrat Tidak menolak Perubahan 26% Prodemokrate Ingin Perubahan Secepatnya 21% Sekuler Nondemokrat 14% Propemerintah berkuasa 26% Religius Nondemokrat 13% Susunan dasar kelompok di Indonesia. Menggambarkan besar relatif dari lima pengkelompokan yang muncul dari analisis yang dilakukan. 20 Adanya pengelompokkan populasi ke dalam karakteristik tertentu di atas, kita terjemahkan sebagai sebuah kemungkinan dipakainya suatu platform/ideologi tertentu yang sesuai oleh suatu partai, untuk menarik massa pemilihnya. Nilai kecocokan (fitness) suatu platform tertentu yang dipilih oleh suatu partai sebagai identitasnya tersebut diasumsikan sebanding dengan besar relatif populasi yang menyusunnya. Empat tipe platform partai kemudian di susun dengan memanfaat data tersebut, yaitu: 1. Religius, mengusung identitas keagamaan tertentu 2. Demokrat, yang mengusung isu demokratisasi. Ada 2 tipe demokrat dari data di atas, dan dikarenakan keduanya sama-sama pro-demokrasi, maka kami kategorikan dalam satu kategori, yaitu demokrat. 3. Sekuler, dan 4. Yang Lain, misalnya pro-status quo, dan sebagainya. Karena kontribusi nilai kecocokan suatu platform yang dipilih oleh suatu partai sebanding dengan besar relatif populasi nasional yang mengusungnya, maka kontribusi nilai fitness dari masing-masing platform yang mungkin dipilih akan sama dengan persentase besarnya populasi (dalam desimal) sebagaimana digambarkan tabel: Kontribusi Nilai fitness Partai berdasarkan platform yang diusungnya % besar kelompok Platform Partai Yang Sekuler Religius Demokrat Lain♦ Besar relatif kelompok 14% 13% 47% 26 Nilai kefitnessan 0.14 0.13 0.47 0.26 Suatu partai bisa mempunyai satu platform atau kombinasi dari platform yang ada. Jika asumsi kemungkinan platform terdiri atas 4 tipe, maka konfigurasi platform suatu partai yang mungkin terjadi akan berjumlah 24=16, dengan nilai fitness dari konfigurasi tersebut adalah jumlah dari tipe-tipe platform yang digunakan/dipilil oleh suatu partai. Nilai fitness = ♦ 1 ∑ Kontribusi fitness tiap platform 4 Yang lain merepresentasikan besarnya kelompok pro-pemerintah berkuasa yang besarnya 26%. 21 APENDIKS 2 PENYUSUNAN DATA KECOCOKAN PRESIDEN DARI PARTAI” MEMEPLEX “KANDIDAT Data untuk penentuan kecocokan kandidat Presiden didasarkan pada hasil poling yang dilakukan Majalah Tempo yang diterbitkan pada edisi 29 Desember 2003-4 Januari 2004∗. Alasan orang memilih presiden dikategorikan menjadi 8 kriteria, (setiap orang boleh memilih lebih dari 1), yaitu: Hasil Polling Majalah Tempo. Kriteria calon presiden Indonesia No Alasan memilih presiden tertentu % 1 Jujur,bersih, bebas korupsi 54.51 2 Mampu membawa Indonesia keluar dari Krisis 43.48 3 Pemimpin beragama Islam 29.72 4 Berpendidikan Tinggi 27.09 5 Indonesia perlu pemimpin berpengalaman 25.77 6 Indonesia perlu figur pemimpin Sipil 18.78 7 Indonesia perlu figur Militer 16.76 8 Calon lain tidak memenuhi syarat 12.46 Dari kedelapan alasan tersebut, kita memakai alasan 1 sampai dengan alasan 7 saja yang diasumsikan mempengaruhi performa seorang calon presiden. Tiap alasan kita asumsikan mempunyai bobot tertentu (dari 0 sampai 1) yang sebanding dengan besarnya persentase responden yang memilih alasan tersebut sebagai alasan yang menentukan calon presiden yang dipilihnya. Bobot Kriteria= persentase responden yang memilih kriteria tersebut (dalam desimal ) jumlah persentase seluruh kriteria (dalam desimal ) ∗ Metodologi jajak pendapat dilaksanakan pada tanggal 5 hinga 12 Desember 2003. Data dikumpulkan dari 1.000 responden di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan Makasar. Dengan menggunakan ukuran sampel 1.000 tersebut, estimasi terhadap nilai parameter mempunyai margin of error 4-6 %. Sampling dilakukan dengan metode stratified random samplin. Analisis data sampel diboboti berdasarkan sensus penduduk tahun 2002 (BPS), untuk kota-kota tempat jajak pendapat dilasanakan (Tempo, 2003.Hal 65). 22 No 1 2 3 4 5 6 7 Bobot Tiap Kriteria Alasan memilih presiden tertentu Jujur,bersih, bebas korupsi Mampu membawa Indonesia keluar dari Krisis Pemimpin beragama Islam Berpendidikan Tinggi Indonesia perlu pemimpin berpengalaman Indonesia perlu figur pemimpin Sipil Indonesia perlu figur Militer Jumlah % (dalam desimal) 0.5451 0.4348 0.2972 0.2709 0.2577 0.1878 0.1676 2.1611 Bobot 0.2520 0.2015 0.1376 0.1253 0.1192 0.0883 0.0775 1 Figur Calon Presiden yang diambil sebagai sampel adalah 3 calon presiden yang menempati 3 teratas yang banyak dipilih oleh responden berdasarkan ke 7 alasan tersebut, yaitu Amien Rais, S.B Yudhoyono dan Megawati, selebihnya diasumsikan sebagai calon lain. Data prosentase responden yang memilih calon-calon presiden berdasarkan alasan di atas adalah sebagai berikut: Hasil Polling Majalah Tempo. Persentase jumlah responden yang memilih kandidat presiden No Kriteria Alasan % Responden yang Memilih Capres (dalam desimal) AR M SBY YL 1 Jujur,bersih, bebas korupsi 0.63 0.38 0.63 0.80 2 Mampu membawa Indonesia keluar dari Krisis 0.33 0.44 0.65 0.47 3 Pemimpin beragama Islam 0.28 0.10 0.45 0.36 4 Berpendidikan Tinggi 0.46 0.10 0.38 0.30 5 Indonesia perlu pemimpin berpengalaman 0.16 0.31 0.40 0.32 6 Indonesia perlu figur pemimpin Sipil 0.24 0.33 0.03 0.22 7 Indonesia perlu figur Militer 0.04 0.04 0.75 0.01 Untuk menentukan ke-fitness-an Calon Presiden berdasarkan pada pendapatan responden tersebut. Di sini diasumsikan bahwa ke-fitness-an sebanding dengan responden yang memilih calon presiden tersebut sesuai dengan bobot dari masing-masing kriteria. Kontribusi Nilai Fitness = % responden yang memilih(dalam desimal ) x Bobot tiap kriteria dan Rata-rata kontribusi nilai fitness yang diberikan oleh setiap calon presiden terhadap kontribusi fitness partainya = ∑ 7 23 Untuk memudahkan perhitutangan, rata-rata kontribusi nilai fitness dibuat dalam skala 0 sampai dengan 1 dengan cara sebagai berikut: Rata-rata kotribusi fitness dalam skala [0,1.0] = Rata − rata kontribusi fitness tiap kandidat ∑ rata − rata kontribusi fitness sehingga diperoleh tabel: Konversi kontribusi nilai fitness tiap calon presiden Kontribusi Nilai Fitness No Kriteria Alasan AR M SBY YL 1 Jujur,bersih, bebas korupsi 0.1589 0.0958 0.1588 0.2016 Mampu membawa Indonesia 2 0.0665 0.0887 0.1310 0.0947 keluar dari Krisis 3 Pemimpin beragama Islam 0.0385 0.0138 0.0619 0.0495 4 Berpendidikan Tinggi 0.0576 0.0125 0.0476 0.0376 Indonesia perlu pemimpin 5 0.0370 0.0477 0.0381 berpengalaman 0.0191 Indonesia perlu figur pemimpin 6 0.0292 0.0026 0.0194 Sipil 0.0212 7 Indonesia perlu figur Militer 0.0031 0.0031 0.0581 0.0007 Rata-Rata Kontribusi Fitness 0.0521 0.0399 0.0725 0.0631 Rata-rata kontribusi Fitness dalam 0.22891 0.175308 0.318541 0.277241 skala 0 sampai dengan1 24