DEMOKRASI DAN KAMPANYE POLITIK MELALUI PENCITRAAN BERBASIS DIMENSI BUDAYA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG DI INDONESIA Yulia Sariwaty S [email protected] Abstrak Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dibangun, dimana rakyat memiliki hak untuk menentukan secara politik siapa yang diberi kekuasaan untuk memerintah melalui mekanisme pemilihan umum. Dalam penyelenggaraan system demokrasi, salah satu unsur yang amat penting adalah partisipasi masyarakat, karena dalam partisipasi terkandung unsur mekanisme komunikasi politik antara aktor politik dengan publik sebagai konstituennya. Semarak dinamika politik di Indonesia dapat dilihat melalui pesta demokrasi yang diadakan dari tingkat pusat hingga daerah. Setiap daerah seakan berlomba dalam melahirkan kandidat yang mengklaim dirinya paling tepat menjadi pemimpin. Guna menarik simpati masyarakat, mereka melancarkan berbagai strategi termasuk membangun pencitraan dalam kampanye. Kata Kunci: Demokrasi, Kampanye, Politik, Pencitraan, Budaya. Abstract Democracy is a political system who build, when the public have right to political purpose who must be given authority to govern through election mechanism. On democratic system implemetation, one of important point is public participation, because participation be found element on political communication mechanism. Political dynamics in Indonesia can be witnessed through party of democracy that can organized from centre level to buttom district. Every district as like compete to born new candidate who claim their can be right leader. For make public interesting, their making various strategy including build of image on campaign. Key Words: Democracy, Campaign, Politic, Image, Culture PENDAHULUAN Demokrasi adalah sebuah konsep bentuk penyelenggaraan negara, yang memberikan ruang hak bagi setiap rakyat yang menjadi warga negara turut menentukan keputusan dari kebijakan secara politik. Guna memahami definisi demokrasi, maka dapat merujuk kepada dua kata dalam bahasa Yunani yaitu demos artinya rakyat dan kratos berasal dari kata dasar kratein yang artinya pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi memiliki artian “pemerintahan oleh rakyat”, yaitu satu sistem pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat melalui wakil-wakil mereka yang dipilih dalam pemilihan umum.(Schmitter & Karl,1991) Dalam penyelenggaraan sistem demokrasi, salah satu unsur yang amat penting ialah penyertaan politik (political participation) yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan umum yang demokratik. Demokrasi langsung (direct democracy) seperti yang pernah dijalankan oleh masyarakat Atena di Yunani, rasanya tidak mungkin jika diimplementasikan dalam kondisi sekarang ini, hal tersebut dikarenakan jumlah penduduk yang sangat banyak dan semakin kompleksnya kondisi kehidupan sosial masyarakat. Oleh sebab itu, tidak salah jika founding fathers Indonesia telah mengisyaratkan jika negara Indonesia menganut sistem demokrasi tidak langsung yang diwujudkan dengan cara memilih calon anggota legislatif di semua tingkatan dalam suatu pemilihan umum, yang akan mewakili rakyat di parlemen. Pada suatu penyelenggaraan pemilihan umum yang demokrasi, kampanye merupakan kunci utama seorang kandidat pemimpin dalam memperkenalkan dirinya dan menyampaikan ideide atau gagasan politiknya kepada masyarakat. Kampanye akan menjadi sarana komunikasi politik guna menantikan respon publik. Bagi masyarakat yang merasa setuju dengan idea tau gagasan sang calon maka akan direspon dengan dukungan suara saat penyelenggaraan pemberian hak suara. Menonjolkan catatan kesuksesan diri sendiri di masa lalu saat melakukan kampanye, mungkin merupakan hal yang wajar di dunia barat. Tetapi bagi orang Indonesia, hal tersebut dirasa bertentangan dengan palsafah ilmu padi, yang mengajarkan kita “semakin berisi maka semakin merunduk”, artinya budaya bangsa Indonesia mengajarkan agar senantiasa untuk selalu merunduk bagaimanapun hebat atau suksesnya kita sebagai manusia. Akan tetapi realitanya, cara-cara berkampanye calon-calon pemimpin daerah di Indonesia umumnya dilakukan dengan cara menyindir, bahkan menyerang secara langsung dengan mempopulerkan jargon yang menjatuhkan konsep diri rival politiknya. Padahal beberapa studi komunikasi antar budaya menunjukkan, jika karakter bangsa Asia cenderung untuk menghindari konfrontasi langsung demi menjaga kehormatan agar orang lain tidak kehilangan muka dan tidak dipermalukan secara langsung di depan umum. Oleh sebab itu, perlu adanya kajian analisis untuk mengetahui sebab terjadinya pergeseran nilai budaya lokal dalam melakukan kampanye dalam pemilihan kepala derah di Indonesia, apakah hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman para calon kandidat yang mengadopsi gaya kampanye dari budaya luar tanpa memandang kesesuaiannya dengan masyarakat kita? Memang tidak bisa dipungkiri, jika efektifitas komunikasi politik akan sangat ditentukan oleh kesamaan persepsi antara para kandidat dengan masyarakat sebagai konstituen. Ketika seorang kandidat mendapat suara terbanyak, kemungkinan besar karena telah melakukan keberhasilan dalam komunikasi politik dengan kemampuan menjangkau area kesamaan persepsi antara dirinya dengan masyarakat. Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa nilai-nilai yang diusung oleh kandidat yang dipilih berada di dalam wilayah nilai budaya yang dimiliki masyarakat. KERANGKA TEORITIS Pendekatan teori budaya (cultural theory) berdasarkan pada hasil penelitian dari para ahli di beberapa negara Amerika Latin, Eropa Timur dan Asia Timur, menurut Ronald Inglehart kesimpulannya menunjukkan bahwa, “Cultural factors played an important role in the problems, they were encountering with democratization. Simply adopting a democratic constitution was not enough. Cultural factors have been omitted from most empirical analyses of democracy partly because, until now, we have not had reliable measures of them from more than a handful of countries. When cultural factors are taken into account, as in the work of Inglehart 1990, 1997, and Putnam 1993, they seem to play an important role. (Harrison & Huntington, 2000). Pendapat Morris Janowitz dan Dwaine Marvick (1956) mengatakan, bahwa dalam teori sosial perlu adanya perhatian khusus berkaitan dengan kondisi sosial seperti pendidikan yang berfungsi dalam mendukung sistem politik demokrasi. (S.M Lipset, 1959) Dalam prakteknya, nilai budaya apapun yang dianut oleh masyarakat, jika ia dominan maka akan berperanan dalam masyarakat. Nilainilai yang dominan itu, biasanya lebih dari satu aliran budaya. Dalam memahami nilai-nilai budaya yang dominan (dominant culture) di dalam satu masyarakat sangat penting, tidak sahaja untuk mengetahui arah sosial dan politik ke masa depan, tetapi juga untuk memberi ramalan-ramalan yang akan terjadi di masa mendatang. Selain itu, penting pula memahami nilai budaya yang dominan di masyarakat karena dalam proses pembangunan dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan masyarakat demi mencapai satu kemajuan. Dalam konteks komunikasi politik, kampanye merupakan segala kegiatan yang bersifat membujuk. Intinya, di dalam kampanye terjadi serangkaian tindakan komunikasi yang ditujukan guna membujuk sejumlah besar khalayak. Di sini terlihat bahwa untuk mencapai efek yang diharapkan, penting sekali untuk mengenal siapa khalayak, apa yang dinilai penting dan tidak penting oleh khalayak. Dengan kata lain perlu untuk menggali budaya dari khalayak yang akan dipersuasi. Berdasarkan pendapat dari Chales U. Larson kampanye di bagi ke dalam beberapa jenis yakni: pertama, Product-oriented campaign yaitu kampanye yang berorientasi pada produk dan bersifat komersial. Kedua, candidate-oriented campaign yaitu kampanye yang berorientasi bagi calon (kandidat) untuk kepentingan kampanye politik, dimana pelaku kampanye berupaya meraih dukungan yang sebanyak-banyaknya melalui kampanye politik. Ketiga, ideological or cause-oriented campaign yaitu kampanye yang bersifat lebih khusus dan berdimensi perubahan sosial. (Ruslan, 2008:25) Saat kampanye, para calon kandidat akan berusaha membentuk citra yang bisa diciptakan melalui berbagai media massa. Menurut Rosady Ruslan, citra adalah tujuan utama dan sekaligus merupakan reputasi dan prestasi yang hendak dicapai bagi dunia hubungan masyarakat atau public relations. Pengertian citra itu sendiri sifatnya abstrak tetapi wujudnya bisa dirasakan dari hasil penilaian baik atau buruk. Seperti penerimaan dan tanggapan baik positif maupun negatif dari khalayak sasaran, dalam hal ini para konstituen dan masyarakat luas pada umumnya. (Ruslan, 2008:75) Kampanye sering dijadikan output dalam perencanaan yang dilakukan public relations, karena kampanye biasanya dirancang untuk tujuan khusus. Oleh sebab itu perlu dirancang prosedur yang tidak biasa pula. Sayangnya belum ada sebuah dasar pemikiran yang menjadi bingkai ciri komunikasi budaya yang kemudian diterapkan dalam berkampanye. (Lattimore, Baskin, Heiman, Toth & Van Leuven, 2004:117). METODE PENELITIAN Dalam melakukan kajian analisis artikel ini, penulis mempergunakan metode penelitian kualitatif melalui konsep analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan suatu gejala, peristiwa, Fenomena tertentu, kejadian yang menjadi perhatian. Penulis berusaha menggambarkan dan menjelaskan hubungan kausalitas dari objek dan fakta secara aktual. Pengumpulan data dilakukan dengan cara library research (riset perpustakaan) dari berbagai sumber relevan yang bersumber dari buku, jurnal, media massa, artikel. PEMBAHASAN Guna memperkuat sistem demokrasi yang dianutnya, Indonesia telah merubah sistem pemilihan kepala daerah, meliputi gubernur dan bupati/ walikota. Sejak Kemerdekaan, kepala daerah dipilih melalui mekanisme pemilihan di dewan perwakilan daerah setempat. Perubahan terjadi pada tahun 2004, berdasarkan UndangUndang No. 32 tahun 2004 mengenai ketentuan penyelenggaraan kepala daerah secara langsung. Keberhasilan pelaksanaan pemilihan kepala daerah bila dilihat dari indikator kuantitatif masih belum mencerminkan kualitas pelaksanaan pesta demokrasi yang sebenarnya. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah masih menyisakan akar perselisihan mendasar baik di tingkat kebijakan maupun pada ranah kelembagaan. Hal-hal yang seringkali menjadi sumber konflik dalam setiap penyelenggaraan kepala daerah, meliputi: dampak dari pemekaran daerah, ketidakseimbangan jumlah penduduk asli dan pendatang, money politics, dan fanatisme golongan, ketidakpahaman terhadap metode riset ilmiah, administrasi kependudukan, dan lain sebagainya. Kemajemukan yang dimiliki Bangsa Indonesia, baik suku, ras, agama dan budaya merupakan wujud kekayaan yang dimiliki bangsa ini. Latar belakang kesukuan seringkali masih berpengaruh besar bagi masyarakat dibeberapa daerah dalam mencari sosok pemimpin untuk daerahnya, meskipun di beberapa daerah perkotaan, hal tersebut sudah tidak begitu dipermasalahkan lagi, karena orientasi masyarakat di perkotaan lebih menitikberatkan pada pesanpesan atas kebijakan politik yang akan dilakukan nantinya jika terpilih, serta kemampuan komunikasi politik sang calon kandidat saat menyampaikan pesan tersebut. Kampanye adalah sebuah upaya yang diorganisasi suatu kelompok (agen perubahan) yang ditujukan untuk mempersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi, membuang ide, sikap dan perilaku tertentu. Kampanye politik merupakan sebuah peristiwa yang didramatisasi. (Changara, 2011:229) Richard A. Joslyn melukiskan kampanye politik tidak bedanya dengan sebuah adegan drama yang dipentaskan oleh para actor politik. (Changara, 2011:230) Seorang komunikator politik berlatar belakang seorang bangsawan dan berlimpah materi, cenderung akan melakukan komunikasi politik dengan gaya bahasa serta kalimat-kalimat bermetafora yang terasa tinggi dan berjarak dari masyarakat. Gaya elitis dan arogan merupakan bentuk komunikasi berjarak dengan masyarakat, hal yang disampaikan seringkali sarat dengan pesan-pesan implisit, multi tafsir, serta pantang dipertanyakan, apalagi dikritik. Seorang elit politik yang membangun jarak antar kelas sosial merupakan indikasi dari masyarakat dikategorikan dalam high power distance, yaitu budaya yang menempatkan anggota masyarakat berdasarkan prinsip ketidaksetaraan (inequality), dimana status seseorang pemimpin atau penguasa merupakan keistimewaan seperti yang tercermin dalam konsep priyayi dan masyarakat marjinal. (Lustig & Koester, 2010:114) Kontras dengan budaya high power distance, beberapa aktor politik ada yang berhasil merebut simpati konstituen, justru mereduksi jarak dengan masyarakat dengan cara melakukan pendekatan terhadap konstituen melalui low power distance yang bersifat egaliter. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran konsep dalam upaya pencitraan, yang dibangun dengan nilainilai kaum priyayi sudah tidak diminati lagi. Sebaliknya citra pemimpin yang lebih bernilai dan diminati oleh konstituen, justru yang tidak berjarak dan berada dekat di tengah-tengah masyarkat seperti orang biasa. Kerendahan hati, merupakan sikap dimana seseorang mengesampingkan ekspresi pencapaian pribadi. Di dalam hasil kajian analisis Hofstede, hal itu merupakan salah satu ciri dari dimensi budaya masyarakat yang mengedepankan nilainilai femininitas (femininity), dimana dukungan sosial dan kepedulian diyakini lebih penting daripada pencapaian, sikap asertif dan arogan yang lazim di masyarakat berorientasi nilai maskulinitas (masculinity). (Lustig & Koester, 2010: 118-119). Di berbagai wilayah di Indonesia, pada umumnya setiap menghadapi masalah, masyarakat akan mencari solusi atau jalan keluarnya melalui musyawarah, artinya mencari penyelesaian dengan sikap peduli terhadap pihakpihak yang terlibat. Tidak jarang, di daerahdaerah pedesaan masih bisa kita temukan sebuah bangunan semacam tempat pertemuan yang menjadi tempat berkumpul. Tempat tersebut menjadi sebuah simbol adanya itikad masyarakat untuk duduk bersama dan melakukan sebuah permusyawaratan dalam menghadapi setiap persoalan-persoalan kemasyarakatan termasuk memilih pemimpin. Di tempat tersebut pula biasanya masyarakat akan melakukan dialog termasuk berdebat dalam sebuah forum resmi. Semua keputusan yang diambil melalui forum akan menjadi sebuah kesepakatan untuk dipatuhi. Hal tersebut diatas, menunjukkan jika model dialog politik yang diterapkan ditengahtengah masyarakat Indonesia menjadi ciri utama dan cerminan masyarakat kita dalam mengamalkan sila ke 4 dasar negara kita, Pancasila. Model ini menjadi sebuah catatan penting dan menarik dalam menggali identitas budaya masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan kepedulian dan dukungan sosial, karena perdebatan mengenai siapa yang pantas menjadi pemimpin tidak selamanya harus di letakkan dalam suatu panggung tontonan. Tentu cara seperti ini juga baik, agar calon pemilih dapat melihat kualitas seorang kandidat melalui tampilannya langsung di hadapan masyarakat sebagai pemberi amanah kekuasaan. Merunut kembali pada tata kebiasaan yang berlaku dalam budaya masyarakat kita yang rendah hati dan berusaha menghindari perselisihan dan persaingan, jika dihadapkan pada realita kontemporer telah terjadi pergeseran nilai. Saat ini, dalam setiap kampanye di tanah air, calon pemimpin seringkali lebih memilih melakukan komunikasi satu arah melalui pertemuan akbar pada sebuah lapangan dengan menghadirkan masyarakat berjumlah besar. Dalam situasi seperti itu, tentunya sulit untuk terjalinnya komunikasi dua arah, karena komunikan tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan feedback atas pesan politik yang disampaikan. Sedangkan komunikasi dua arah menjadi inti kekuatan dalam melakukan komunikasi politik. Salah satu model kampanye baru yang efektif sempat dilakukan Presiden Joko Widodo sebelum terpilih, saat mengikuti pemilihan kepala daerah langsung DKI Jakarta. Disaat banyak kandidat melakukan kampanye satu arah dan bersifat top-bottom, beliau justru melakukan kampanye politik dengan cara berkeliling, terjun langsung menghampiri konstituennya dan mendengar keinginginan masyarakat Jakarta yang akan memilihnya. Melalui kegiatan kampanye dialogis seperti itu, seorang calon pemimpin daerah akan mendapatkan dua keuntungan, yaitu dapat mengetahui secara langsung permasalahan di masyarakat serta bisa memberikan usulan atau mencarikan solusinya lewat kebijakan saat terpilih nantinya. Kegiatan kampanye dengan terjun langsung mendekati konstituennya seperti itu, memiliki nilai lebih di mata masyarakat karena menunjukkan suatu kepedulian sosok calon pemimpin dengan langsung terlibat dalam kehidupan masyarakat, dan merupakan strategi dalam penerapan teknik soft propaganda. Komunikasi tidak dilakukan secara asertif tetapi cenderung persusiaf dan merupakan ciri dari nilai feminitas yang bersifat memelihara dan peduli. (Lustig & Kester, 2010: 118-119). Berdasarkan analisis tersebut terlihat bahwa masyarakat Indonesia masih berorientasi pada nilai-nilai femininitas, sehingga tidak mengherankan jika masyarakat sejauh ini menjatuhkan pilihan serta dukungannya kepada kandidat yang mengusung nilai-nilai tersebut. Pencitraan dekat dengan rakyat, nilai-nilai femininitas patut menjadi pertimbangan bagi para pembuat strategi kampanye dan partai politik dalam membuat pencitraan yang tepat bagi kandidat-kandidat calon pemimpin daerah. KESIMPULAN Sebagaimana suatu penyelenggaraan pemilihan umum, dalam pemilihan kepala daerah pun kampanye politik merupakan suatu kesempatan penting bagi para kontestan calon kepala daerah dalam melakukan komunikasi politik dengan masyarakat, terutama calon pemilih yang akan memberikan hak suaranya untuk mendukung calon yang sesuai dalam mewakili harapannya. Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung ditahun 2017 mendatang. Pelaksanaan kampanye di beberapa daerah telah di mulai. Untuk perbaikan mekanisme kampanye, sebaiknya para kandidat calon kepala daerah meninggalkan cara-cara lama yaitu negative campaign yang masih diadopsi di negara-negara Barat pada umumnya. Masyarakat Indonesia memiliki budaya yang bernilai luhur dalam pelaksanaan mekanisme komunikasi politik sendiri sebagaimana di isyaratkan dalam sila ke-4 Pancasila. Kondisi masyarakat yang majemuk dan cenderung masih mengagungkan nilai-nilai falsafah adat istiadat leluhur merupakan poin penting dalam memahami kondisi psikologi masyarakat Indonesia. Dalam melakukan kampanye politik, sebaiknya para kandidat calon kepala daerah, seharusnya belajar membangun pencitraan berdasarkan nilai-nilai budaya, dalam hal ini pencitraan yang mereduksi jarak kekuasaan dan berorientasi pada nilai femininitas. REFERENSI Cangara, Hafied. 2011. Komunikasi Politik Konsep, Teori dan Strategi. Jakarta:PT Rajagrafindo Persada. Harrison, Lawrence E., dan Samuel P. Huntington. 2000. Culture Matters How Values Shape Human Progress. NewYork: Basic Books. Lattimore, Otis Baskin, Suzette T. Heiman, Elizabeth L. Toth & James Van Leuven. 2004. Public Relations The Profession and The Practice. New York:Mc Graw Hill. Lipset, S.M. 1959. Political Man, London:Heinemann Educational Books Ltd. Lustig, Myron W. & Jolene Koester. 2010. Intercultural Competence Interpersonal Communication Across Cultures, 6th ed. Boston: Pearson Education Inc. Ruslan, Rosady. 2008. Management Public Relations & Media Komunikasi, Konsep dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Schmitter, C., dan Terry Lynn Karl. 1991. What Democary is Philippe … and is not”, dalam Journal of Democarcy, Vol. 2, No. 3 Tahun 1991.