hubungan hukum dan kekuasaan

advertisement
KEKUASAAN DALAM KONTEKS NEGARA HUKUM
(Kajian Filosofis dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)
(Dipublikasikan dalam “Jurnal Yustika” Media Hukum dan Keadilan, Universitas
Surabaya, ISSN: 1410-7724, Vol. 12 No. 2, Desember 2009, h. 183-192)
Abdul Rokhim1
Abstract
Philosophically, power in the rule of law can be seen from three perspectives. In the
Ontology perspective, power is the ability to force the idea to other parties. According
Epistemology perspective, good or bad it depends on how to use this authority.
Furthermore, axiology perspective said that power not only deceive by physically
conquered or capital but also arise from human being aspect as a Spinoza thought.
Key Words: Philosophy; Power; Rule of Law
Pendahuluan
Ide tentang “negara hukum” telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam sistem
hukum yang berbeda-beda. Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang sangat
berpengaruh di dunia terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu konsep
“rechtsstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental (abad XIX) dan konsep “rule of law”
yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Kedua konsep tersebut berkaitan dengan
tipologi negara dipandang dari segi hubungan antara negara (pemerintah) sebagai pihak
yang memerintah atau yang mengusai dan warga negara sebagai pihak yang diperintah atau
yang dikuasai.
Konsep rechtsstaat yang bertumpu pada sistem civil law lahir dari suatu perjuangan
panjang menentang absolutisme kekuasaan negara (machtstaat), sedangkan konsep rule of
law bertumpu pada sistem common law yang bersifat memutus perkara yang didelegasikan
kepada hakim berdasarkan hukum kebiasaan di Inggris (common custom of England).
Meskipun, antara konsep rechtsstaat dan rule of law mempunyai perbedaan latar belakang
historis, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak
kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan
negara.2
Tulisan singkat ini secara filosofis mendiskusikan tentang kekuasaan dalam konteks
negara hukum ditinjau dari aspek ontologis (mengenai hakikat dan sumber kekuasaan),
aspek epistemologis (tentang rule of law sebagai cara atau metode untuk membatasi
kekuasaan), dan dari aspek aksiologis (mengenai pandangan kaum idealis dan empiris
tentang hubungan hukum dan kekuasaan).
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans, Malang,
2003, h. 8-9.
2
1
Aspek Ontologi: Hakikat dan Sumber Kekuasaan
Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa Belanda)
dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis). Dalam Black’s Law Dictionary,
istilah kekuasaan (power) berarti: “The right, ability, authority, or faculty of doing
something. . . . A power is an ability on the part of a person to produce a change in a given
legal relation by doing or not doing a given act”.3 Istilah kekuasaan berbeda maknanya
dengan kewenangan. Dalam literatur berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang
disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau
bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum
publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan-hubungan hukum.4
Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah kemampuan
untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan, baik
dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang
diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap
suatu bidang pemerintahan tertentu.
Apakah hakikat kekuasaan (power) itu? Apakah kekuasaan itu identik dengan
kekuatan (force)? Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering bersumber dari wewenang formal
(formal authority) yang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang dalam
suatu bidang tertentu. Hal ini berarti kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuanketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. Mengingat bahwa hukum itu
memerlukan paksaan bagi penaatan ketentuan-ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa
hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain
akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka.
Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar Kusumaatmadja
digambarkan sebagai berikut: “hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya,
sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer,
kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan bahwa: “hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.5 Secara analitik dapatlah
dikatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi dari masyarakat yang teratur.
Kekuatan fisik (force) dan wewenang resmi (formal authority) merupakan dua sumber
kekuasaan.
Persoalannya, apakah kekuasaan itu adalah wewenang dan kekuatan fisik? Tidak,
wewenang formal dan kekuatan fisik bukan satu-satunya sumber kekuasaan. Memang
dalam kenyataan, orang yang memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih
berkuasa dari pada orang yang berwenang atau memiliki kekuatan fisik. Kekayaan (uang)
atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber kekuasaan yang penting,
sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran, moral yang tinggi dan pengetahuan
pun tak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber kekuasaan. Jadi, kekuasaan adalah
3
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed., West Publishing Co., St. Paul Minn., 1990,
h. 1169.
4
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997, h. 153.
5
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Binacipta, Jakarta, t.t., h. 4-5.
2
fenomena yang beraneka ragam bentuknya dan banyak macam sumbernya. Hanya, pada
hakekatnya kekuasaan itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan
kehendaknya atas pihak lain.
Aspek Epistemologi: Rule of Law Sebagai Cara Membatasi Kekuasaan
Menurut pengamatan sejarah, kekuasaan itu mempunyai suatu sifat yang khas, yakni
ia cenderung untuk merangsang bagi yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi.
Kekuasaan haus akan lebih banyak lagi kekuasan.6 Dalam kaitannya dengan kekuasaan
(power), Lord Acton telah memperingatkan bahwa: “Power tends to corrupt; and
absolute power tends to corrupt absolutly” (Semakin besar kekuasaan, akan semakin
besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan). 7 Karena itu, dalam konsep negara
hukum, sumber untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan serta batas-batasnya harus
secara jelas diatur dan dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan.
Inilah esensi kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law; rechtsstaat). Oleh
karena itu, dalam perspektif sosiologis, ide rule of law mengandung makna bahwa otoritas
harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan dengan cara-cara
hukum.8
Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu sendiri sangat tergantung
dari bagaimana cara menggunakan kekuasaan. Artinya, baik buruknya kekuasaan
senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah
ditentukan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya
kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak masyarakat. Karena bagi pemegang
kekuasaan diperlukan syarat antara lain kejujuran dan rasa pengabdian yang tinggi terhadap
kepentingan masyarakat.9 Ia merupakan suatu yang mutlak bagi kehidupan masyarakat
yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur (seperti negara).10 Akan tetapi karena
sifat dan hakikatnya, supaya baik dan bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan
batas-batasnya. Sekali ditetapkan, hendaknya pengaturan kekuasaan dipegang teguh. Inilah
inti dari pengertian bahwa kekuasaan itu harus tunduk pada hukum.
Mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan
begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu. Seorang pemegang
kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service).
Sebaliknya, mengenai sikap orang yang dikuasai, di satu pihak ia mempunyai kewajiban
tunduk pada penguasa (the duty of civil obedience), tetapi di pihak lain ia pun harus sadar
akan haknya untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap diri11 dan harta bendanya.
Yang dimaksud “penguasa” dalam hal ini tidak lain adalah pemerintah yang menjalankan
fungsi pemerintahan dalam suatu negara.
Adapun tugas “penguasa” menurut van Apeldoorn, dibagi dalam empat bidang
perundang-undangan, peradilan, polisi, dan pemerintahan. Tugas penguasa di bidang
6
Ibid., h. 6.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1993, h. 52.
8
A.A.G. Peters dan Koesriani S., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1990, h. 52.
9
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, h.
71.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977, h. 19.
11
Ibid., h. 7.
7
3
perundang-undangan adalah membentuk undang-undang dalam arti materiil, yakni
menentukan peraturan-peraturan yang umum mengikat. Di bidang peradilan, menetapkan
hukum dalam hal-hal yang konkrit. Di bidang kepolisian, tugas penguasa adalah
pengawasan dari penguasa atas paksaan yang dilakukannya, supaya orang-orang mentaati
hukum yang telah ditetapkan. Sedang, di bidang pemerintahan, tugas penguasa adalah
mencakup semua tindakan penguasa yang tidak termasuk perundang-undangan, peradilan,
dan polisi.12 Istilah “tugas penguasa” dalam hal ini mencakup seluruh tugas “negara” yang
dijalankan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), maka hukum ditempatkan
sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi
hukum). Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedaulatan hukum” yang menempatkan hukum
pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan guiding principle bagi segala aktivitas organorgan negara, pemerintahan, pejabat-pejabat beserta rakyatnya. Pemerintahan yang
berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum dan tidak
berdasarkan kepada kemauan manusianya. Sudikno Mertokusumo mengatakan dengan
sebutan “the governance not by man but by law”.13 Hal ini sejalan dengan prinsip
“pembagian kekuasaan pemerintahan (distribution of power) yang dianut oleh UUD 1945”
yang dimaksudkan untuk membatasi dan mencegah kemungkinan penumpukan maupun
penyalahgunaan kekuasaan pada badan/lembaga atau pejabat penyelenggara
pemerintahan.14
Kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam konteks rule of law oleh Roberto M.
Unger didefinisikan lewat gagasan tentang sifat netral (neutrality), seragam (uniformity),
dan dapat diprediksikan (predictability). Penggunaan kekuasaan pemerintah harus
berlangsung di dalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori
orang dan tindakan.15 Segenap peraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara
seragam. Kehendak pembuat undang-undang (lawgiver) harus diwujudkan lewat peraturanperaturan umum.
Pembuat undang-undang (legislator) tidak dapat menghukum ataupun memihak
individu-individu tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari melakukan kontrol
personal secara langsung. Pelaksana undang-undang (administrator) berurusan dengan
individu hanya sebatas aturan-aturan yang ditentukan, dan aturan-aturan ini bukan dia yang
membuatnya. Maka, berdasarkan pemikiran ini, pelaksana undang-undang terhindar dari
upaya penggunaan kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Sebab, untuk
bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang harus ada orang lain
dengan kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan dalam pelaksanaannya
membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif. Pejabat ini adalah hakim
(judge).16
12
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, h. 301.
I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam Mewujudkan
Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung, 2005, h. 21.
14
Ibid., h. 21-22.
15
Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusamedia,
Bandung, 2007, h. 234.
16
Ibid., h. 235.
13
4
Jika pelaksana hukum juga merangkap sebagai hakim, maka mungkin saja makna
aturan-aturan hukum yang wajib dilaksanakannya malah “dipelintir” sedemikian rupa agar
sesuai dengan tujuan-tujuan pribadinya. Selain itu, bisa pula timbul kekacauan dalam
metode administratif dan metode peradilan, sebab masing-masing metode memiliki
keutamaan sendiri dan tidak bisa diabaikan demi penyelenggaraan negara dengan sebaikbaiknya.
Perhatian pelaksana hukum terpusat pada sarana terefektif untuk mewujudkan tujuantujuan kebijakan yang sudah ditentukan di dalam batasan-batasan hukum. Baginya, rule of
law adalah kerangka tempat pengambilan keputusan dilaksanakan. Sebaliknya, bagi hakim,
hukum disahkan dari batas luar ke pusat perhatian. Hukum adalah bidang kajian utama bagi
aktivitasnya. Ajudikasi membutuhkan jenis perdebatan tersendiri; integritasnya menuntut
institusi dan personel khusus.
Supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada tindakan
penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga disyaratkan adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di samping peradilan yang
bebas, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan supremasi hukum.
Pada abad ke-17 dan 18, pandangan John Locke mengenai hak-hak asasi manusia
dan asas pemisahan kekuasaan semakin diperkuat oleh pemikiran Montesquieu yang
menghendaki pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ legislatif, eksekutif
dan yudisial, serta pemikiran J.J. Rousseau tentang paham “kedaulatan rakyat”. Asas
pemisahan kekuasaan dan paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut boleh
dikatakan sangat besar pengaruhnya terhadap berdirinya negara-negara modern di Eropa
Kontinental dan Anglo-Saxon pada abad ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik
yang panjang dan revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan
hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi negara-negara hasil dari revolusi
tersebut.17
Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke maupun Montesquieu
sama-sama membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang, tetapi ada perbedaannya. John
Locke mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber dari tiga kekuasaan negara, yaitu
kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan
kekuasaan federatif (federative power). Sedang Montesquieu melalui ajaran Trias Politica
membelah seluruh kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of power; separation
du pouvoir) dalam tiga bidang (tritochomy), yakni bidang legislatif, eksekutif dan
yudikatif.18 Ajaran Trias Politika didasarkan pada pemikiran bahwa kekuasaan negara harus
dipisahkan (separation of powers) dan tidak boleh berada dalam satu tangan (concentration
of powers).
Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap unsur “power” dalam
negara itu dalam dua bidang pokok, yakni: “legislatio” yang meliputi “law creating
function”; dan “legis executio”, yang meliputi: (1) legislative power dan (2) judicial
power.19
17
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, h. 45.
18
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985, h. 20.
19
Ibid.
5
Tugas “legis executio” menurut Kelsen bersifat luas, yakni melaksanakan “the
constitution” beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif.
Dengan demikian, ia mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh “judicial
power”. Selanjutnya Kelsen membagi kekuasaan administratif itu dalam dua bidang, yaitu:
(a) “political function” yang disebutnya “government” dan meliputi tugas kepolisian; serta
(b) “administrative function” (Verwaltung; Bestuur). Pembagian kekuasaan negara dalam
dua bidang ini disebutnya “dichotomy”.20
Demikian juga pendirian Hans Nawiasky. Menurut pendapatnya, seluruh kegiatan
negara juga dibagi menjadi dua bidang, yakni: (1) Normgebung dan Normvollziehung.
Yang dimaksud normgebung adalah: “der Schaffung von Rechtsnormen” (pembentukan
norma-norma hukum) dan termasuk juga pengundangannya (der Erlasz von Gesetzen),
yang sifatnya bebas dalam memilih obyeknya menurut keperluan (inhaltlich frei).
Sedangkan, Normvollziehung merupakan fungsi pelaksanaan undang-undang (eksekutif)
yang terikat pada norma-norma atau undang-undang yang harus dijalankannya (inhaltlich
gebunden). Selanjutnya, Nawiasky membagi fungsi Normvollziehung ke dalam dua bagian,
yaitu: (1) Verwaltung atau pemerintahan (“pangreh”); dan (2) Rechtsplege atau peradilan.
Dengan demikian, pendirian ini sangat dekat dengan teori “dichotomy”-nya Kelsen.21
Adanya pemisahan kekuasaan itu dimaksudkan untuk lebih menjamin hak-hak
kebebasan warga masyarakat dalam kehidupan bernegara. Kendatipun demikian, dalam
prakteknya ajaran pemisahan kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen.
Pemisahan kekuasaan secara absolut yang meniadakan sistem pengawasan atau
keseimbangan (checks and balance) antara cabang kekuasaan yang satu dengan cabang
kekuasaan yang lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dalam lingkungan masingmasing cabang kekuasaan itu.22
Negara Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politika sebagaimana dikemukakan
oleh Montesquieu yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan (separation of power).
Berdasarkan UUD 1945, Negara Indonesia hanya mengenal sistem “pembagian kekuasaan”
(division of powers)23 yang menekankan adanya pembagian fungsi-fungsi pemerintahan,
bukan pada pemisahan organ-organnya. Adapun UUD 1945 menggunakan istilah-istilah
yang berasal dari ajaran Trias Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive
power dan judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD 1945 menganut ajaran
tersebut. Penggunaan peristilahan itu sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan
semata mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh UUD 1945.24
Meskipun Montesquieu hanya membagi dalam tiga cabang kekuasaan, tetapi dalam
praktek ada negara-negara tertentu yang mempunyai lebih dari tiga cabang kekuasaan yang
dimaksud. Di antaranya adalah Indonesia yang ternyata mempunyai 6 (enam), bahkan
lebih, cabang kekuasaan negara yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang ada
(MPR, DPR, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
20
Ibid., h. 20-21.
Ibid., h. 7.
22
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, PSH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999, h. 9-10.
23
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, h. 15-16.
24
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelengga-raan
Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, h. 116.
21
6
dan Presiden).25 Di samping itu, dalam amandemen UUD 1945 juga dikenal lembaga
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY).
Aspek Aksiologi: Pandangan Kaum Idealis dan Empiris tentang Hubungan Hukum
dan Kekuasaan
Pandangan tentang hubungan hukum dan kekuasaan itu sebenarnya tidaklah tunggal.
Antara kaum idealis yang berorientasi pada das sollen dan kaum empiris yang lebih melihat
hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang berbeda. Namun, kedua pandangan
itu sama-sama sependapat bahwa dalam konteks rechtsstaat atau rule of law (“negara
hukum”) seharusnya hukum itu supreme atas kekuasaan. Ketika kita melihat teori yang
ditawarkan oleh Roscue Pound, bahwa “law as a tool as social engineering”, maka kita
akan melihat bahwa hukum harus mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tetapi, manakala
kita mengacu ajaran Von Savigny, yang mengatakan bahwa “hukum berubah jika
masyarakatnya berubah”, maka hukum semestinya harus mampu mengikuti perkembangan
dan memenuhi tuntutan masyarakat.
Kenyataan-kenyataan di lapangan secara empirik menunjukkan juga betapa hukum
seringkali tidak memiliki otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah dari pada energi
sub-sistem politik, sehingga dapat dilihat bukan hanya materi hukum itu yang sarat dengan
cerminan “konfigurasi kekuasaan”, melainkan juga penegakannya kerapkali dintervensi
oleh kekuasaan, sehingga hukum sebagai penunjuk atau rel menjadi terabaikan. Dari
kenyataan empirik yang seperti itulah kemudian muncul teori tentang “hukum sebagai
produk politik”, yang menurut Mahfud MD materi hukum itu tidak lain merupakan
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan yang kemudian
dimenangkan oleh pemegang kekuasaan politik yang dominan atau kompromi politik antar
faksi-faksi yang bersaing.26
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka bagi orang yang melakukan telaah
tentang hukum akan menemukan minimal dua model yang dapat digunakan untuk menilai
hubungan hukum dan kekuasaan, yaitu: pertama, hukum menentukan dan mempengaruhi
kekuasaan (politik) yang menyertai wawasan negara hukum yang das sollen; di sini hukum,
terutama hukum dasar (konstitusi) menjadi pemberi batas yang tegas atas lingkup
kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kedua, hukum dipengaruhi,
ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik (kekuasaan) seperti yang sering terlihat di
dalam kenyataan empirik (das sein); di sini hukum lebih dijadikan sebagai alat justifikasi
(pembenar) atas kehendak-kehendak pemegang kekuasaan politik yang dominan, sehingga
hukum tidak dapat memainkan perannya sebagai alat kontrol dan penjaga batas kekuasaan.
Dalam kajian ini, tidak perlu dipertentangkan mana yang benar di antara kedua model
ini. Sebab, yang namanya teori biasanya hanya memotret apa yang ada dan terjadi secara
ajeg. Dalam konteks inilah dua model atau pandangan mengenai hubungan hukum dan
kekuasaan dapat diberi tempat. Sehingga kebenarannya menjadi benar menurut model dan
asumsi yang dipergunakan oleh sang analisis; tinggal model mana yang akan dipergunakan.
Idealnya, memang hukum dan kekuasaan, paling tidak, saling melengkapi. Dalam arti,
hukum harus ditegakkan dengan kekuasaan, agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya,
25
Bagir Manan, Op. Cit., h. 11.
Moh. Mahfud MD, “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi”, dalam Dahlan Thaib dan
Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH-UII, Yogyakarta, 1998, h. 48.
26
7
kekuasaan harus dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum, agar tidak sewenang-wenang.
Dalam konteks inilah bisa dipahami pernyataan, bahwa “hukum tanpa kekuasaan ibarat
burung tanpa sayap” (artinya tak bisa bergerak), sedang “kekuasaan tanpa hukum ibarat
buldozer tanpa rem” (artinya liar dan tanpa kendali).27 Tetapi, apa yang ideal itu kerapkali
tidak realistik, sehingga kerapkali pula terlihat bahwa kekuasaan menjadi supreme atas
hukum. Dalam kenyataan justru sangat banyak kasus di mana hukum sangat bergantung
dan ditentukan oleh kekuasaan, sehingga timbul berbagai kondisi yang lebih realistik sejak
zaman dulu yang melihat hukum sebagai wujud dari keinginan penguasa belaka. Keinginan
ini menurut John Austin dinyatakan secara rasional oleh penguasa, yang bagi pihak lain
merupakan hal yang harus dilakukan atau dihindari (a wish . . . by rational being, that
another . . . shall do or forbear).28
Apeldoorn mencatat, paling tidak, ada empat pengikut paham empirik yang
mengatakan bahwa hukum identik dengan kekuasaan itu sendiri. Pertama, kaum Sophist di
Yunani mengatakan bahwa keadilan itu tidak lain dari apa yang berfaedah bagi orang yang
lebih kuat. Kedua, Lasalle mengatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah undangundang dasar tertulis yang sebenarnya hanya merupakan secarik kertas, melainkan
merupakan hubungan kekuasaan yang nyata; orang kecil bisa menjadi bagian dari
konstitusi hanya kekecualian dan dalam keadaan yang luar biasa, yaitu pada waktu revolusi.
Ketiga, Gumplowics mengatakan bahwa hukum itu berdasar penaklukan yang lemah oleh
yang kuat, ia merupakan susunan definisi yang dibentuk pihak yang kuat untuk
mempertahankan kekuasaannya. Keempat, bahkan sebagian dari pengikut aliran
positivisme berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang
yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum itu merupakan hak orang
yang terkuat.29
Dari aspek aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena
diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan
sebagaimana yang diajarkan oleh Spinoza terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati
manusia. Hukum dapat timbul dari kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia
berkembang menjadi kekuasaan susila (kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa
atas suara hati orang. Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum, karena ia bercitacitakan keadilan, artinya bercita-cita memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi
bagiannya. Mengapa dikatakan “bercita-citakan”, karena keadilan yang sungguh-sungguh
tak dapat dicapai oleh hukum, karena pertama, hukum terpaksa mengorbankan keadilan
sekedarnya untuk mencapai tujuannya (bersifat kompromi), dan kedua, hukum itu dibuat
manusia yang tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara
mutlak. Keadilan, menurut falsafah bangsa Romawi, adalah kehendak yang tetap dan yang
tak ada akhirnya, untuk memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia est
constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere).30
27
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2005, h. 8.
28
Hilaire McCoubrey dan Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, 2nd Ed., Blackstone Press,
London, 1996, h. 15.
29
L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., h. 57-58.
30
Ibid., h. 67.
8
Kesimpulan
Kajian tentang kekuasaan dalam konteks negara hukum secara filosofis dapat dilihat
dari tiga aspek, yaitu aspek ontologis, epistemologis dan filosofis.
Dari aspek ontologis, pada hakekatnya kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang
untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum, sumber
dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan dalam koridor
hukum. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu
sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Dari aspek epistemologis, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat
mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum
juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan. Legislator tidak dapat
menghukum individu-individu secara langsung. Administrator atau pejabat eksekutif
berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-aturan yang ditentukan, supaya ia terhindar
dari upaya penggunaan kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Untuk bertindak
dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, harus ada pejabat lain dengan
kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, yang dalam pelaksanaannya
membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif. Pejabat ini adalah hakim,
yang memiliki kekuasaan mengadili menurut (prosedur) hukum.
Secara aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena
diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan
terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia. Hukum dapat timbul dari
kekuasaan, termasuk kekuatan fisik, asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan susila
(kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang. Kekuasaan susila
tersebut membentuk hukum, karena ia bercita-citakan keadilan. Meskipun, keadilan yang
sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum, karena hukum itu dibuat manusia yang
tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara mutlak. Dalam
perspektif ini, hukum tidak bebas nilai, karena terkait dengan hati nurani (moral), termasuk
di dalamnya nilai-nilai keadilan.
9
DAFTAR PUSTAKA
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001
Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, PSH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 6th Ed., West Publishing Co., St. Paul
Minnesota, 1990
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam
Mewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2002
McCoubrey, Hilaire dan Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence, 2nd Ed., Blackstone
Press, London, 1996
Mahfud MD, Moh., “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi”, dalam Dahlan
Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH-UII, Yogyakarta, 1998
Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1997
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1993
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, Binacipta, Jakarta, t.t.
10
Mukthie Fadjar, A., Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans,
Malang, 2003
Peters, A.A.G., dan Koesriani S., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1990
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977
Unger, Roberto M., Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern,
Nusamedia, Bandung, 2007
11
12
13
Download