laporan singkat

advertisement
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESI
---------------------------------
LAPORAN SINGKAT
RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM
KOMISI III DPR RI DENGAN PROF.DR.MULADI, SH
--------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN)
Tahun Sidang
Masa Persidangan
Rapat ke
Sifat
Jenis Rapat
Hari/tanggal
Waktu
Tempat
Ketua Rapat
Sekretaris Rapat
Hadir
Izin
Acara
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
2012-2013
IV
Terbuka
Rapat Dengar Pendapat Umum
Senin, 27 Mei 2013
Pukul 19.35 - 21.30 WIB
Ruang Rapat Komisi III DPR RI.
DR. H.Aziz Syamsuddin, SH / Wakil Ketua Komisi III DPR RI.
Endah Sri Lestari, SH, M.Si / Kabag Set.Komisi III DPR-RI.
23 orang Anggota dari 53 orang Anggota Komisi III DPR-RI.
2 orang Anggota.
 Menerima aspirasi / masukan terkait dengan pembahasan
RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KESIMPULAN/KEPUTUSAN
I. PENDAHULUAN
Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI dibuka pukul 19.35 WIB oleh Wakil
Ketua Komisi III DPR RI, DR. H. Aziz Syamsuddin, SH dengan agenda rapat
sebagaimana tersebut diatas.
II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN
1. Makalah yang disampaikan oleh Prof.Dr.Muladi, SH, diantaranya sebagai berikut :
 KUHP Indonesia yang saat ini berlaku merupakan copy KUHP (WvS) Belanda
1881 yang berlaku tahun 1886, yang berlaku di Indonesia mulai 1 Januari 1918,
yang terus berlaku setelah kemerdekaan atas dasar pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945. Pengaruh KUHP Belanda terhadap system hukum Indonesia
sangat besar melalui asas konkordansi, doktrin dan yurisrudensi Mahkamah
Agung Belanda, termasuk MvT-nya. Di samping warna kolonialnya (peraturan
yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda; pasal-pasal
yang bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka; atau yang
bersumber dari nilai dan budaya Belanda/ barat yang individualistik dll.), KUHP
juga mengandung karakter:
1
1) Asas-asas hukum pidana didominasi oleh Aliran Klassik pasca Revolusi
Perancis sebagai hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht) yang kurang
atau tidak memperhitungkan aspek manusia/ HAM individu pelaku dan
korban tindak pidana; kepentingan Negara dan sangat publik menonjol;
2) “Juvenile Justice” (hukum pidana anak) termasuk batas minimum umum
pertanggungjawaban pidana tidak diatur; (dalam RUU KUHP 12 tahun);
3) Filosofi, pedoman dan tujuan pemidanaan semata-mata berorientasi ke
belakang atau filosofi pembalasan atau falsafah “Retributive Justice” yang
kaku (legal definition of crime, punishment fits the crime).
4) Pertimbangan kemanusiaan setelah munculnya Aliran Modern (daderstrafrecht) bersifat fragmentaris/Ad Hoc, tidak sistemik;
5) Unsur subsosialitas /merugikan kepentingan umum dan sifat melawan
hukum/tercela dalam kriminalisasi diukur atas dasar nilai-nilai formal
kolonial;
6) Faktor korban kejahatan (victim of crime) tidak dipertimbangkan dalam
sistem peradilan pidana, kecuali sebagai saksi korban;
7) Aspek budaya Indonesia yang partikularistik (ajaran sifat melawan hukum
materiil /the living law ) dikesampingkan;
8) Alternatif pidana kemerdekaan jangka pendek (alternative sanctions)
dalam sistem pemidanaan sangat minim, sehingga pidana perampasan
kemerdekaan yang destruktif menjadi primadona hakim; tindak pidana
merupakan produk suatu struktur sosial, sehingga langkah represif dalam
menanggulangi tindak pidana tidak mempertimbangkan pula langkahlangkah preventif. (Keseimbangan antara “Warmaking and Peacemaking
On Crime”);
9) Hukum yang hidup dalam masyarakat/ hukum adat dimarginalkan di luar
asas legalitas formal;
10) Pengutamaan fungsi hukum berupa kepastian hukum (legal certainty),
sehingga mengesampingkan fungsi keadilan (justice) dan kemanfaatan
(utility);
11) Pidana mati (capital punishment) menonjol sebagai pidana pokok, tanpa
alasan yang jelas, semata-mata atas dasar teori pembalasan .
Akan ternyata kemudian bahwa basis yuridis filosofis yang Berkeindonesian
dalam proses dekolonialisasi KUHP tidak akan mengesampingkan
perkembangan hukum pidana yang bersifat global yang disepakati oleh bangsabangsa beradab di Dunia, di samping keharusan untuk menyesuaikan diri
terhadap perkembangan dari kondisi sosial-politik yang bersifat nasional. (ada 4
aspirasi yang diserap : aspirasi-aspirsi suprastruktural, infrastruktural,
akepakaran dan aspirasi global).
 Kedudukan Buku I (Ketentuan Umum) yang memuat asas-asas hukum pidana
(strafrecht beginselen) (Pasal 1 s/d Pasal 211 RUU KUHP) sangat strategis
untuk dimantabkan. Perumusan asas-asas ini secara akademis dapat
dipertanggung jawabkan, karena sebagian besar didukung oleh hasil penelitian
disertasi dari para penyusunnya. Selama kurang lebih 25 tahun secara
keseluruhan RUU KUHP dikerjakan Tim melalui proses perbandingan hukim
antar Negara dan adaptasi terhadap serta doktrin, yurisprudensi dan asas-asas
hukuim yang diakui bangsa-bangsa di bawah bimbingan dan diskusi dengan
guru-guru besar hukum pidana (Indonesia dan asing) dan ahli-ahli lintas
disiplin.
 Untuk itu Buku I yang berisi asas-asas hukum pidana nasional sangat perlu
didalami dan didahulukan karena akan menjamin RUU KUHP sebagai satu
kesatuan sistem dengan karakteristik dan fungsi: “Purposive Behavior, Wholism,
Interrelatedness, Openness, Value Transformation and Control Mechanism”.
2
 RUU KUHP ini sudah melewati koridor akademis dan administrative. Tim RUU
KUHP menyadari sepenuhnya bahwa ketiga koridor tersebut harus dilalui, agar
KUHP yang akan datang sah secara yuridis, filosofis, sosiologis dan politis.
 Dekolonialisasi Sebagai Misi Utama Rekodifikasi
1) Misi keluarga hukum Eropa Kontinental /Eropa Barat/Civil Law System
yang mengangap kodifikasi sebagai “primary source of law”; sehingga
proses “Rekodifikasi” sejak semula merupakan kelanjutan misi UU no.1
tahun 1946 yaitu misi “Dekolonialisasi” untuk menetralisasikan pengaruh
kolonial pada KUHP warisan Belanda 1886 (Wvs Voor Nederlandsch-Indie,
S. 1915:732) melalui: asas konkordansi; penggunaan doktrin hukum para
sarjana Belanda (termasuk MvT-nya) dan melalui yurisprudensi Hoge Raad
Belanda, yang sampai saat ini masih diajarkan dan didayagunakan dalam
pendidikan dan praktek hukum pidana di Indonesia;
2) Pengaruh tersebut mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana:
perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act); pertanggung jawaban
pidana (criminal responsibility) dan sanksi hukum pidana (criminal law
sanction) baik berupa pidana (punishment, straf) maupun tindakan
(treatment/maatregelen);
3) Pasal V UU No.1 tahun 1946 Jo. UU No.73 tahun 1958: menggunakan
Parameter Dekolonialisasi atas dasar: seluruhnya atau sebagian tidak dapat
dijalankan; atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara
merdeka; atau tidak mempunyai arti lagi. Di samping penghapusan/
penyesuaian istilah-istilah, tindak pidana baru ditambahkan antara lain
tindak pidana mata uang palsu; kabar bohong atau tidak pasti yang
menimbulkan keonaran;
 Misi Rekodifikasi Lain Yang Berkembang Di Samping Misi Dekolonialisasi
1) Misi humanisasi/demokratisasi antara lain masuknya berbagai alternatif
pidana kemerdekaan, perhatian terhadap korban kejahatan, tindak pidana
terhadap HAM, berkembangnya perumusan delik secara materiil dan ajaran
sifat melawan hukum materiil dan revisi “Haatzaai Artikelen” (menjadi delik
penghinaan yang mengakibatkan terjadinya keonaran/ delik materiil) serta
pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law)
sebagai sumber hukum;
2) Misi konsolidasi mengintegrasikan perkembangan tindak pidana di luar
KUHP sejak tahun 1945 yang bersifat “massive” baik hukum pidana murni
maupun hukum pidana administratif ke dalam kodifikasi atas dasar kendali
asas-asas hukum pidana yang diatur dalam Buku I KUHP;
3) Misi adaptasi dan harmonisasi dilakukan terhadap perkembangan hukum
pidana sebagai konsekuensi kesepakatan nasional dan internasional dan/
atau antisipasi terhadap telah dan akan diratifikasinya berbagai konvensi
internasional, seperti Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan
(Konvensi Den Haag, Tokyo dan Montreal); ratifikasi terhadap Konvensi
tentang Penyiksaan (Convention Against Torture, and Other Crueal,
Inhuman or Degrading Treatment and Punishment, 1984); Tentang Human
Trafficking (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination
Against Woman), Konvensi tentang Transnational Organized Crimes,
Palermo Convention 2000; berbagai konvensi tentang terorisme (antara
lain Convention Agaimnst Terrorist Bombing, 1997 dan Convention on the
Suppression of Finanfing Terroriem , 1999; Dokumen Internasional tentang
Pencucian Uang (Dokumen FATF on Money Laundering dan “revised 40
Recommendations + 9 Special Reommendations FATF),
Konvensi
Tentang Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika (UN Convention
Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Sibstances,,1988) ,
UNCAC (Merida Convention, 2003); Konvensi tentang Cybercrime, Statuta
Roma 1998 Tentang International Criminal Court dll; beberapa delik baru
3
al. Obstruction of justice (terhadap proses peradilan), generic crime delik
lingkungan (eco-crime); UU tentang Penghapusan KDRT dll;
4) Aktualisasi: menyesuaikan diri dengan pemikiran dan konsep-konsep
hukum pidana yang berkembang (contoh : kurang lebih ada 60 UU di luar
KUHP yang mengatur pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana)
termasuk meninggalkan konsep-konsep yang tidak sesuai lagi dengan
aspirasi aktual (contoh menghapus Buku III KUHP tentang Pelanggaran
yang didasarkan atas perbedaan antara ‘rechtsdelict” dan “wetsdelict” yang
tidak konsisten dilaksanakan sebagaimana perbedaan antara “mala per se”
dan “mala prohibita” dalam system hukum Anglo Saxon) ;
 Pendekatan Pembaharuan Hukum Pidana Sejak Kemerdekaan
1) Pendekatan evolusioner: melalui amandemen pasal; mis. Pasal 156 a
KUHP tentang Penodaan Agama Jo. UU No.1/PNPS 1965; UU no.27 tahun
1999 tentang Kejahatan Berupa Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme,
Leninisme dan Marxisme Dalam Kejahatan Terhadap Keamanan Negara;
UU No.1 tahun 1960 tentang Pemberatan Pidana Penjara Tindak Pidana
Kealpaan (Pasal 359, 360 dan 188 KUHP), UU No.16 Tahun 1960, UU
No.18 tahun 1960 tentang Pidana Denda;
2) Pendekatan semi–global: melalui pengaturan tindak pidana khusus di luar
KUHP, dengan berbagai kekhususannya termasuk pengaturan hukum
pidana formil (hukum acara pidana) sekaligus; misalnya tindak pidana
Korupsi, tindak Pencucian Uang, tindak pidana Terorisme; UU
No.12/DRT/1951 tentang Senjata Api dll;
3) Pendekatan kompromi: dengan memasukkan suatu bab baru dalam KUHP
akibat ratifikasi konvensi internasional.; mis. Masuknya Bab XXIXA KUHP
tentang Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan melalui UUno. 4
Tahun 1976 akibat diratifikasinya Konvensi Den Haag 1970, Konvensi
Montreal 1971 dan Konvensi Tokyo 1963 dengan UU Jo. 2 Tahun 1976;
4) Pendekatan komplementer: dengan mendayagunakan sanksi hukum pidana
untuk mendukung ditaatinya norma dan hukum administratif (administrative
penal law) misalnya Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup,
kehutanan, perbankan, perpajakan, fidusia dan sebagainya.
 Asas Keindonesiaan:
1) Asas keseimbangan berdasarkan nilai Pancasila: Asas Moral Religious
(Ketuhanan YME); Asas Kemanusiaan (HAM dan Humanisme); Asas
Kebangsaan (Nasionalisme); Asas kerakyatan (Demokrasi) dan Asas
keadilan sosial (Ekualitas, non-diskriminatif);
2) Kondisi riil nasional: kondisi sosial, ekonomi-kultural; sosial politik dan sosial
histories/pattern maintenance (Law as Integrative Mechanism);
3) Perkembangan berbagai doktrin keilmuan dI bidang hukum pidana dan
disiplin ilmu terkait (kriminologi, viktimologi, penology, sosiologi hukum
pidana dll);
4) Perkembangan ide dasar kesepakatan internasional atau global sebagai
bahan komparasi setelah ditapis dengan nilai–nilai karakter bangsa melalui
ratifikasi dan keputusan hakim (filter : Pancasila, HAM dan Asas-asas
hukum yang diaku bangsa-bangsa).
 Formulasi Asas Keseimbangan
1) Keseimbangan monodualistik antara “kepentingan umum dan kepentingan
negara” dan “kepentingan individu”;
2) Keseimbangan antara perlindungan kepentingan negara, publik dan sosial,
kepentingan pelaku tindak pidana (individualisasi pidana) dan korban tindak
pidana (victim of crime);
3) Keseimbangan antara unsur/faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor
subyektif (orang/ batiniah/ sikap batin) (ide “daad-dader strafrecht”);
4
4) Keseimbangan antara kriteria “formal” dan “material”;
5) Keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan”, “elastisitas” atau
“fleksibilitas” dan “keadilan” serta kremanfaatan;
6) Keseimbangan nilai-nilai nasional, nilai sub-nasional dan nilai-nilai Global/
Universal;
7) Keseimbangan antara hak asasi manusia (HAM) (rights) dan kewajiban
asasi manusia (KAM) (human rights and human responsibilities); (restriction
and limitation on derogable rights); RIGHTS);
8) Keseimbangan antara pendekatan “warmaking on crime” dan “peacemaking
on crime”, karena tindak pidana merupakan produk struktur sosial.
 Implementasi Asas Keseimbangan Dalam Tiga Permasalahan Pokok Hukum
Pidana
1) Terhadap pengaturan Pperbuatan yang dapat dipidana (criminal act) :
a. Berkaitan dengan sumber hukum/ asas legalitas, baik berdasarkan
legalitas formal (UU) sebagai landasan utama, juga didasrkan pada
legalitas material dengan memberi ruang pada “hukum yang hidup atau
hukum tidak tertulis (the living law)”; (basis yuridis: UU no.1/ DRT/ tahun
1951 Pasal 5 ayat 3 SUB b).
b. Pemberlakuan hukum pidana secara retro aktif (bertentangan dengan
asas
non-derogable
right),
terhadap
peraturan
yang
lebih
menguntungkan sebagai pasangan terhadap asas “Lex Temporis Delicti”;
c. Pengaturan tidak hanya terhadap substansi konvensi internasional yang
sudah diratifikasi, juga secara proaktif mengatur substansi konvensi yang
belum atau telah diratifikasi. Contoh terhadap Statuta Roma Th. 1998;
suap terhadap pejabat asing, “trading in influence”, suap di sektor
swasta, illicit enrichment dll. (UNCAC 1993);
d. Proses kriminalisasi yang mempertimbangkan asas-asas pembatas (the
limiting principles): asas subsidiaritas; aspek viktimologis (viktimogin dan
kriminogin); menjauhi sifat ad hoc yang berorientasi pada pembalasan
semata-mata; prinsip “cost and benefit analysis”; dukungan masyarakat;
efektivitas; asas “lex certa and precision”; prinsip diferensiasi; unsur subsosialitas; menyadari bahwa politik penegkan hukum pidana merupakan
bagian politik penegakan hukum dalam arti luas dan secara keseluruhan
merupakan bagian politik sosial, adaptasi pada perkembangan
internaional di samping selalu peka pada kenyataan sosial nasional dll;
e. Tidak membedakan lagi antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(over tredingen) yang secara kualitatif tidak konsisten ditaati;
2) Terhadap pertanggung jawaban hukum pidana (criminal responsibility):
a. Asas Culpabilitas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder
schuld/ actus non facit reum nisi mens sit rea/mens rea) yang merupakan
asas kemanusiaan sebagai pasangan asas legalitas (actus reus) yang
merupakan asas kemasyarakatan sebagai syarat pemidanaan;
b. Dimungkinkan penerapan asas “strict liability” (untuk tindak pidana
Profesi), asas “vicarious liability” (tanggung jawab diperluas mencakup
tindak pidana. Bawahan dalam batas-batas perintahnya) (Pasal 38 RUU
KUHP) dan asas pemberian maaf oleh hakim (judicial pardon) dan
pidana verbal lain (Pasal 116 RUU KUHP) sebagai pengecualian asas
tiada pidana tanpa kesalahan sebagai implementasi Sila Hikmah
Kebijaksanaan Dalam Pancasila dan pembebasan rasa bersalah sebagai
tujuan pemidanaan;
c. Asas “culpa in causa” (actio libera in causa), yang memberi kewenangan
pada hakim untuk mempertanggung jawabkan pelaku walau ada alasan
penghapus pidana, jika pelaku patut dipersalahkan atas terjadinya
alasan penghapus pidana tersebut;
5
d. Pengaturan “corporate criminal responsibility” di samping pertanggung
jawaban atas manusia alamiah (natural person) (pasal 182 RUU KUHP).
Hal ini merupakan penyesuaian terhadap perkembangn internasional
yang sudah didopsi di luar KUHP sejak tahun 1955;
3) Terhadap masalah sanksi (pidana dan/atau tindakan):
a. Perumusan tentang tujuan pemidanaan (the aims of punishment) yang
jelas dan bermakna (asas teleologis dan purposif);
b. Perumusan tentang syarat pemidanaan yang komprehensif;
c. Individualisasi pidana, sebagai imbangan pidana berat. Misalnya
pengaturan pidana mati bersyarat; (Pasal 87-89 RUU KUHP);
d. Pengaturan sanksi ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat;
e. Pengaturan tentang pedoman pemidanaan (sentencing guidelines)
(Pasal 55 ayat 1 RUU KUHP);
f. Keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan
dalam penjatuhan pidana (Pasal 12 RUU KUHP);
g. Pengaturan tentang sanksi alternatif terhadap pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek (alternative sanctions) (Pasal 71 RUU
KUHP); contoh pidana kerja sosial (community service order), Pasal 86
RUU KUHP, untuk menghindari pidana kemerdekaan jangka pendek atau
pidana denda K-I;
h. Pengaturan tersendiri atas “juvenile justice”; (Pasal 113-131 RUU KUHP);
i. Pengembangan “strafsoort, strafmaat en strafmodus” dibarengi dengan
pengembangan sistem tindakan (asas double track system);
4) Pengaturan “engagement period” atau masa adaptasi 2 tahun untuk
pemahaman atau sosialisasi baik bagi masyarakat maupun penegak
hukum; tugas juridis hukum pidana tidak hanya untuk mengawasi
mayarakat, tetapi juga mengawasi penguasa yang juga merupakan sasaran
(adresaat) norma hukum; (Pasal 766 RUU KUHP).
 Hal-hal Baru Yang Khas Indonesia
1) Salah satu tujuan pemidanaan berupa “penyelesaian konflik” yang
bersumber pada hukum adat : pengembalian keseimbangan mikro dan
makro kosmos yang terganggu (“evenwicht verstoring”);
2) Sanksi pemenuhan kewajiban adat sebagai pidana pokok terhadap
pelanggaran terhadap “the Living Law” atau pidana pengganti denda
kategori I atau pidana ganti kerugian; (Pasal 756; Pasal 67 dan Pasal 100
RUU KUHP);
3) Pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat;
4) Ajaran sifat melawan hukum materiil;
5) Pengutamaan keadilan apabila bertentangan dengan kepastian hukum;
6) Tindak Pidana Terhdap Ideologi Negara dan Larangan Penyebaran Ajaran
Komunisme/ Marxisme/ Leninisme dengan perumusan materiil, kecuali
untuk tujuan ilmiah; Hal ini merupakan konsistensi keberadaan UU No.27
tahun 1999 Jo. Tap MPRS-RI No.XXV/ MPRS Tahun 1966;
7) Perumusan “haatzaai artikelen” sebagai delik materiil (menimbulkan
keonaran masyarakat) dan penggunaan istilah “penghinaan” sebagai
pengganti “menyatakan permusuhan dan kebencian” yang sangat elastis
dan multi interpretasi ; (Pasal 284 RUU KIHP);
8) Tindak pidana “Penawaran Untuk Melakukan Kejahatan” (bukan delik
“santet”); (Pasal 293 KUHP);
9) Penyiaran berita bohong (Vide UU no.1 tahun 1946);
10) Bab tersendiri terhadap “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan
Beragama” (semacam blasphemy, Godslasteringswet) dan tidak lagi
merupakan bagian tindak pidana terhadap ketertiban umum seperti
pengaturan KUHP saat ini; (Pasal 341 s/d Pasal 348 RUU KUHP);
6
11) Revisi tentang tindak pidana perzinahan (adultary-->fornication) (Pasal 483
RUU KUHP), tindak pidana perkosaan (Pasal 488 RUU KUHP) dan
larangan hidup bersama di luar kawin atau “kumpul kebo” (cohabitation)
(Pasal 485 RUU KUHP) serta tindak pidana “incest” (Pasal 487 RUU KUHP)
dan homo seksualitas (Pasal 492 RUU KIHP);
12) Konsep ‘victimless crimes” harus dilihat dalam konteks sosial.
 Penutup
1) Politik hukum pembaharuan hukum pidana berfokus pada usaha
melembagakan nilai Keindonesiaan dan proses dekolonialisasi yang bersifat
rekodifikasi. Hal ini ternyata tidak berdiri sendiri, karena era globalisasi juga
mengharuskan dilakukannya adaptasi dan harmonisasi terhadap nilai-nilai
demokrasi dan humanisasi, nilai universal/ global yang diakui bangsabangsa beradab, fungsi konsolidasi, dan aktualisasi hukum pidana dikaitkan
dengan perkembangan sosial;
2) RUU KUHP sebagai draft akademis sudah cukup lama dirumuskan dengan
memperhatikan aspirasi supra struktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi
internasional;
3) Proses pembaharuan hukum pidana diprediksi akan memakan waktu cukup
lama, mengingat masa kerja DPR-RI yang terbatas, banyaknya pasal yang
harus dibahas (766 Pasal), koridor sosial politik yang kompleks, ditambah
masa transisi (engagement period) yang harus dilakukan dalam rangka
sosialisasi baik kepada masyarakat maupun penegak hukum. Sehubungan
dengan ini fokus pembahasan di DPR sebaiknya berorientasi pada hal-hal
yang baru dan issue aktual daripada membahas elemen-elemen buku I dan
buku II yang sudah diatur di dalam KUHP saat ini;
4) Terciptanya KUHP baru sangat monumental, karena dapat menggantikan
KUHP kolonial yang sudah berumur lebih dari 120 tahun, yang berlaku di
Indonesia sejak 1 Januari 1918;
5) Pembahasan RUU KUHP sebaiknya difokuskan pada Buku I dan berbagai
tindak pidana yang belum diatur dalam KUHP.
 Beberapa Lampiran, sebagai berikut:
1. issue-issue aktual yang pada dasarnya merupakan penerapan
keseimbangan
prinsip
A. Pasal 341 s/d Pasal 347 RUU KUHP tentang TP Terhadap Agama dan
Kehidupan Beragama;
Tindak pidana ini merupakan perbaikan dari Pasal 156a KUHP Jo. UU
No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau
Penodaan Agama. Pasal 4 UU tersebut yang semula merupakan
Penpres memasukkan/ menyisipkan dalam KUHP satu pasal baru yaitu
Pasal 156a KUHP yang berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan:
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau
penodaan terhadap agama yang dianut di indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun
juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
UU tersebut diundangkan pada tanggal 27 Januari 1965, 8 bulan
sebelum G-30-S/ PKI. Orang-orang PKI yang atheis sering
melakukan perbuatan di atas.
Perbuatan yang dilarang dalam UU ini adalah :
a. Perbuatan yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat
untuk memusuhi atau menghina; dengan demikian uraian baik lisan
maupun tertulis yang dilakukan secara obyektif, zakelijk, ilmiah
7
mengenai suatu agama yang disertai dengan usaha untuk
menghindari adanya kata-kata yang bersifat permusuhan atau
penghinaan, bukanlah tindak pidana;
b. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut, di samping
mengganggu ketenteraman orang beragama, pada dasarnya
mengkhianati Sila Pertama Pancasila secara total, dan oleh
karenanya harus dipidana;
c. Agar aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan
masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran atau hukum
agama jangan melakukan perbuatan yang melanggar hukum,
memecah persatuan nasional dan menodai agama.
Apabila kriminalisasi perbuatan tersebut dalam KUHP dimasukkan dalam
“Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (offences against public order)
untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban umum di kalangan
penduduk akibat perbuatan yang memecah belah dan mengacaukan,
Tim Perumus RUU KUHP menganggapnya tidak tepat. Di negara
Pancasila yang BerkeTuhanan YME, determinan agama dengan
masyarakat
yang
ekstra
pluralistik,
rasa
keagamaan
dan
ketenteraman/ketertiban hidup beragama merupakan kepentingan hukum
yang sangat besar dan sensitive, yang harus memperoleh dilindungi dan
memperoleh tempat lebih terhormat dari pada sekedar bagian dari
ketertiban umum, sehingga harus diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab
VII (Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama), yang
meliputi:
I. Tindak pidana terhadap agama yang meliputi:
1. Penghinaan terhadap agama;
2. Penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama;
II. Tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah,
yang meliputi:
1. Gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan
keagamaan;
2. Perusakan tempat ibadah.
Perbedaannya dengan KUHP, di samping diletakkan sebagai bab
tersendiri dalam RUU, karena agama (religionscuhtztheorie), rasa
(gefuhlachutztheorie) keagamaan dan tatatertib (friedenschutztheorie)
dalam kehidupan beragama dilihat sebagai kepentingan hukum yang
besar, juga tidak digunakannya lagi kata-kata yang multi tafsir (KUHP)
yang bertentangan dengan prinsip “lex certa” yaitu “permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan”. Dalam RUU KUHP kata-kata tersebut
diganti dengan istilah “Penghinaan”, yang memiliki konotasi hukum jelas
yaitu merendahkan martabat, nama baik , kehormatan dan bersifat
ofensif.
Para penggiat HAM akan menganggap kriminalisasi terhadap
“defamation of religion/ blasphemy/Godslastering” ini bertentangan
dengan HAM yaitu “freedom of expresison and freedom of opinion” dan
mebahayakan pers/ jurnalis dan para aktivis organisasi. Bahkan di PBB
sendiri sejak 1999 terjadi polarisasi tentang hal ini (Negara-Negara Islam
dan negara berkembang yang setuju kriminalisasi vs Negara demokrasi
Barat yang menentang kriminalisasi).
Bagi yang menentang, mereka beranggapan bahwa kriminalisasi
terhadap penghinaan agama bertentangan dengan Kovenan Hak Sipil
dan Politik 1966 (ICCPR), sedangkan yang mendukung kriminalisasi
berasumsi bahwa “freedom of expression and freedom of opinion”
MERUPAKAN “deorgable rights” yang dapat dibatasi dengan undang8
undang apabila bertentangan dengan hak dan kebebasan orang lain, dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis (Pasal 238J UUD NRI tahun 1945).
ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) 1966, Article
19 (3) berbunyi:
“3.The exercise of the rights provided in paragraph 2 (freedom of
expression) carries with special duties and responsibilities. It may
therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as
are provided by law and are necessary:
a. For respect of the rights and reputations of others;
b. For the protection of national security or of public orders (ordre
public) or of public health or morals”.
Pengaturan yang bermakna restriksi dan limitasi cukup rasional
mengingat bahwa target penodaan agama adalah HAM yang disebut
“freedom of religion” (Article 18 ICCPR) yang masuk kategori SALAH
SATU “non-derogable rights”, yang merupakan HAM yang tidak dapat
diingkari atau dibatasi dalam kondisi apapun, sekalipun negara dalam
situasi “internal unrest, civil war or public emergency”.
Jurnalis dan pers tidak perlu khawatir dituduh melakukan delik pers,
karena wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tidak dapat
serta merta dikenai sanksi sesuai KUHP. Tetapi harus melalui
mekanisme UU Pers. UU No.40 tahun 1999 dan MOU antara Dewan
Pers dan Polri.
Beberapa contoh pengaturan dinegara lain: di Negara-negara Islam
“blasphemy”/penistaan agama merupakan kejahatan berat (Afganistan,
Algeria, Malaysia, Bangladesh, Mesir dll.); di Australia tidak uniform,
berbeda antara jurisdiksi yang satu dan yang lain; DI Austria dan Brazil
perbuatan tersebut dipidana; demikian pula di Canada, Denmark,
Finlandia, Jerman, Yunani, Belanda dll. Di Amerika dan UK (England and
Wales) kejahatan blasphemy didekriminalisasi karena berkaitan dengan
kebebasan berbicara dan berekspresi, bahkan di AS KRIMINALISASI
dianggap melanggar konstitusi. Di negara-negara maju Barat dan Asia
Timur seperti Jepang dan Taiwan ketentuan tentang larangan blaspgemy
“de facto is dead letter ”.
Sebenarnya sebelum adanya pengaturan sebagai mana dirumuskan
dalam Pasal 156a KUHP di atas, terhadap golongan penduduk negara
yang berbeda karena RAS, Agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan
atau keadaan hukum negaranya, sudah dipikirkan perlindungannya dari
perbuatan yang menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan
(Pasal 156 KUHP). Ketentuan ini dalam RUU KUHP tetap dipertahankan
sebagai tindak pidana terhadap ketertiban umum pada Pasal 286 dan
287 RUU KUHP, dengan menegaskan perbuatan penghinaan. Di sini
targetnya bukan agama tetapi golongan penduduk. Golongan penduduk
diperluas meliputi: RAS, kebangsaan, etnik, warna kulit, agama, atau
terhadap kelompok berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau
cacat fisik. Pasal 287 mengatur delik penyiarannya.
B. Pasal 265 s/d Pasal 266 RUU KUHP tentang Penghinaan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua Pasal di atas merupakan pengulangan Pasal 134 dan Pasal 137
KUHP. Kedua pasal ini bukan delik aduan. Yang menarik adalah bahwa
atas dasar putusan MK tgl. 4 Desember 2006, pasal penghinaan
9
terhadap Presiden tersebut dalam Pasal-pasal 134, 136 bis dan pasal
137 KUHP dicabut/ dihapuskan, karena dianggap bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945. Sebenarnya Pasal-pasal tersebut telah
mengalami seleksi atas dasar UU No.1 tahun 1946 dan tetap berlaku
karena dianggap tidak bertentangan dengan kedudukan RI sebagai
negara merdeka.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut bisa
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid), karena amat
rentan pada tafsir, apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau
pikiran merupakan kritik atau merupakan penghinaan terhadap Presiden
dan/ atau Wakil Presiden. Hal tersebut dianggap secara kontitusional
bertentangan dengan Pasal 28d ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
(perlakuan yang sama di hadapan hukum/ equality before the law) dan
pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan
informasi yang dijamin Pasal 28f UUD NRI Tahun 1945 (hak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia).
Sebenarnya istilah menghina dan kritik bisa dibedakan. Menghina adalah
perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau merendahkan
martabat, termasuk menista (smaad); menista dengan surat
(smaadschrift), memfitnah (laster), mengadu secara memfitnah
(lasterlijke aanklacht),
tuduhan secara memfitnah (lasterlijuke
verdachtmaking) dan penghinaan ringan (eenvoudige belediging).
Kriminalisasi bukan dengan maksud mengurangi kebebasan mengajukan
kritik ataupun pendapat yang berbeda. Dengan demikian penghinaan
merupakan “mala per se”. Apabila dilakukan demi kepentingan umum,
membela diri, dan mengandung kebenaran orang tidak dapat dipidana
(complete defence).
Menghina (defamation and insult) is something that is both offensive and
untrue. Criticism or valid criticism is true and while often uncomfortable is
not a legitimate cause for offense. KECUALI DI NEGARA-NEGARA
TERTENTU di berbagai negara barat (baik di lingkungan civil law
system maupun common law system), kriminalisasi dilakukan terhadap
penghinaan terhadap bangsa, kepala negara, termasuk kepalanegara
sahabat dan diplomat asing, badan, pejabat dan lembaga publik, baik
pada saat menjalankan fungsi resminya atau karena fungsi tersebut, di
samping kemungkinan diajukannya gugat perdata. Apa yang dinamakan
“freedom of expression” merupakan “derogable rights”. Delik pers juga
harus diproses sesuai dengan UU pers atas dasar MOU antara Dewan
Pers dan Polri.
Khusus mengenai penghinaan terhadap presiden dan atau wakil
presiden/ kepala negara dan/ atau wakil kepala negara, merupakan
kejanggalan apabila tidak ada pengaturan khusus. Penghinaan terhadap
kepala negara
dan wakil kepala negara sahabat yang sedang
menjalankan tugas kenegaran di RI; penghinaan terhadap pemerintah;
penghinaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan dan
lambang negara; dan bahkan penghinaan terhadap orang mati,
dikriminalisasikan secara khusus.
Dari segi sosiologis, politik, hukum dan tata negara, presiden dan wapres
berbeda dari orang biasa mengingat posisi dan statusnya tidak berlaku
asas “equality before the law”. Sudah saatnya transisi demokrasi
10
dimantabkan dengan konsolidasi demokrasi yang bermartabat, bukan
didasarkan atas euforia semata-mata.
Contoh pengaturan (kriminalisasi) di beberapa negara demokratis di
eropa, baik yang berbentuk kerajaan maupun republik, tentang
penghinaan terhadap Presiden dan simbol-simbol negara yang lain:
 Belgia: kriminalisasi penghinaan terhadap raja, kepala negara asing,
anggota badan legislatif, menteri, anggota mahkamah konstitusi,
pejabat administrasi pengadilan, dan pejabat negara dalam tugas
aktif;
 Republik czeck: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, negara,
pejabat negara, lembaga negara, terhadap pemerintah, parlemen,
dan mahkamah konstitusi;
 Perancis: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, pengadilan,
angkatan bersenjata, lembaga konstituional, administrator publik,
menteri, anggota parlemen, dan pejabat publik. Kebenaran
merupakan alasan penghapus pidana;
 Jerman: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, kepala negara
asing, anggota pemerintah asing, diplomat asing, bendera dan simbol
kedaulatan terhadap republik federal, salah satu negara bagian,
konstitusi, warna bendera, pakaian tentara, dan lagu kebangsaan;
 Portugal: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, yang dapat
dihentikan oleh kehendak presiden, terhadap republik, bendera, lagu
kebangsaan, dan simbol kedaulatan;
 Spanyol: kriminalisasi penghinaan terhadap keluarga kerajaan,
pemerintah, angkatan bersenjata, dan lembaga konstitusional;
 Yunani: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, kepala negara
dan diplomat asing;
 Belanda: kriminalisasi penghinaan terhadap raja, suami atau isteri
raja, kepala negara/ pemerintah negara sahabat atau anggotanya;
Catatan :
1) Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi di atas, 4 hakim melakukan
“dissenting opinion”;
2) Dalam memberikan keputusan semestinya MK berfikir bahwa pasalpasal di atas (pasal 341 dan 347 RUU KUHP) merupakan suatu
sistem, sehingga tidak menimbulkan kejanggalan-kejanggalan dalam
arti luas, tidak hanya menyangkut presiden/wapres saja;
C. Tindak pidana “Penawaran Untuk Melakukan Tindak Pidana” yang
merupkan bagian dari Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum. Sekali
lagi bukan tindak pidana “santet” atau tindak pidana metafisis;
Tindak pidana ini merupakan tindak pidana baru khas Indonesia yang
perlu dikriminalisasikan karena sangat kriminogin dan sangat viktimogin.
Tindak pidana ini sukar dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan
semata-mata,
sebab
aspek
kriminogin
dan
viktimoginnya
multidimensional.
Teks Pasal 293 RUU KUHP adalah sebagai berikut:
“(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,
memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau
memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena
perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan
mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima tahun atau denda paling banyak kategori IV);
11
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau
menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka
pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu pertiga).
Dalam Penjelasan Pasal 293 RUU KUHP dinyatakan sebagai berikut:
“Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat
yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara
umum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini
dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik
main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap
seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet);
Di samping itu kriminalisasi juga dimaksudkan untuk melindungi berbagai
kepentingan sebagai berikut:
a. Kepentingan individual; mencegah praktik penipuan;
b. Kepentingan sosial: melindungi rasa keagamaan dan keterteraman
hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik;
c. Titik berat dari tindak pidana ini adalah dominasi unsur pencegahan
(crime prevention) dan melindungi calon korban (potential victim) dan
mungkin juga calon pelaku terhadap maraknya main hakim sendiri;
d. Perumusan delik semacam ini juga terjadi pada pasal 163 bis yang
mengatur penganjuran yang gagal (mislukte uitlokking);
e. Tindak pidana tersebut merupakan delik terhadap ketertiban umum
(public order) dalam bentuk ketertiban dan ketenteraman kehidupan
sosial;
Kesimpulan:
a. Pasal 293 RUU KUHP bukan memidana pelaku santet;
b. Tindak pidana pada Pasal 293 RUU KUHP merupakan delik formil
delik yang menitik beratkan pada perbuatan materiilnya, bukan
akibatnya;
c. Dalam KUHP masih terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan
larangan sebagai mata pencaharian sebagai peramal, penafir mimpi,
menyatakan peruntungan seseorang (Pasal 545 KUHP); larangan
menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai
persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda
yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Demikian pula yang
mengajarkan ilmu-ilmu atau kesaktian yang bertujuan menimbulkan
kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan
bahaya bagi diri sendiri (Pasal 546 KUHP; dan pasal 547 KUHP yang
memuat larangan bagi saksi di bawah sumpah memakai jimat-jimat
atau benda-benda sakti.
D. Tindak pidana kesusilaan: zina, kumpul kebo, homoseksualitas dan
incest.
a. Perzinahan/ pemukahan (adultary, overspel)
(Pasal 483 RUU
KUHP).
Dalam pasal ini terjadi perluasan pengertian “zina” setelah
mendengarkan aspirasi tokoh-tokoh agama Islam. Dalam KUHP
(WvS) Pasal 284 KUHP , yang dikatakan zina adalah persetubuhan
yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan
perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.
Persetubuhan harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh
ada paksaan dari salah satu pihak; dalam Pasal 483 RUU KUHP
pengertian “zina” diperluas mencakup “laki-laki dan perempuan yang
masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan
12
b.
c.
d.
e.
persetubuhan” (fornication). Baik KUHP maupun RUU KUHP
mengkategorikan perzinahan sebagai delik aduan (klacktdelict).
Apabila dalam KUHP yang berhak mengadukan adalah suami/ isteri
yang merasa tercemar atau dirugikan, maka dalam RUU KUHP
ditambahkan “pihak ketiga yang tercemar” sebagai pihak yang boleh
mengadu. Di sini terjadi pergeseran pemahaman “Victimless Crimes”
mencakup korban dalam arti sosial;
Demikian pula terhadap perbuatan “kumpul kebo” (cohabitation) atau
hidup bersama di luar perkawinan sah (Pasal 485 RUU KUHP).
Nikah siri secara Islam tidak ternasuk kumpul kebo. Delik ini
sebaiknya juga delik aduan, karena beberapa daerah memungkinkn
secara adat dilakukannya perbuatan ini (the living law). Di sini juga
terjadi perluasan “crimes without victim” termasuk korban sosialkolektif, tidak hanya individual;
Perkosaan. Hal ini mencakup: unsur bertentangan dengan kehendak,
tanpa persetujuan, persetujuan dicapai melalui ancaman untuk
dibunuh atau dilukai, tertipu, dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya; termasuk apa yang disebut “statutory rape” Pasal 488 ayat
(1) huruf (E) RUU KUHP yang menyatakan “termasuk perkosaan lakilaki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia
di bawah 14 tahun dengan persetujuannya”; juga termasuk
perkosaan adalah perkosaan dengan cara “anal sex” atau “oral sex”,
memasukkan “artificial organ” dalam vagina atau anus wanita, dalam
keadaan tersebut di atas;
“Incest” (sumbang): persetubuhan dengan seseorang
yang
diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam
garis lurus atau ke saamping sampai derajat ketiga (Pasal 487 RUU
KUHP);
Homoseksual: orang yang melakukan perbuat cabul dengan orang
lain yang sana jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga
belum berumur 18 tahun; ini penegasan kembali Pasal 292 KUHP;
E. Konsep “the living law”.
a. Hal ini sangat menonjol sehubungan dengan perumusan Pasal 2 RUU
KUHP sebagai berikut:
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RUU
KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, HAM, dan prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa (catatan:
sebagai “margins of appreciation”);
Contoh: Tindak pidana melarikan gadis di bali dan lombok bisa
diatasi dengan hukum adat, tetapi perbuatan adat
“pengayauan” di masyarakat dayak sulit dipertahankan.
b. Sehubungan dengan itu Pasal 756 RUU KUHP menyatakan bahwa
“setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang
tidak tertulis dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan sanksi pidana adalah tindak pidana”; tindak pidana
sebagaimana dimaskud diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf E Jo Pasal 100 (pemenuhan
kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat) yang dalam Pasal 100 ayat (2) merupakan Pidana
13
Pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan
memenuhi ketentuan sebagai mana dalam Pasal 2 ayat (1); Sanksi ini
dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I (Rp.6 juta rupiah)
dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk denda, jika kewajiban
adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana; pidana
pengganti tersebut dapat juga berupa pidana ganti kerugian;
c. Konsep penghormatan atas hukum yang hidup terlihat juga dalam
rumusan tujuan pemidanaan (the aim of punishment) berupa
“menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat. Konsep ini bersumber dari falsafah “even wichtverstoring”
hukum adat; (Pasal 54 RUU KUHP);
d. Perlu dicatat bahwa aspirasi tersebut pernah dirumuskan pula pada
UU no.1 DRT. Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acaraacara Pengadilan Sipil, yang intinya:
“Suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
sebgai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam KUHP
sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak boleh lebih
dari 3 bulan penjara dan/ atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai
hukuman pengganti bilamana hukuman adat dimaksud dianggap
sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa,
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan menurut pikiran hakim
melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang
dimaksud maka dapat dijatuhi pidana pengganti setinggi-tingginya 10
tahun penjara. Bagi hukuman yang tidak selaras dengan zaman yang
tindak pidananya ada bandingannya dalam KUHP sipil maka dianggap
diancam dengan hukuman yang sama;
F. Sikap terhadap pidana mati.
Di tengah-tengah sikap pro dan kontra terhadap pidana mati, baik di
masyarakat internnasional (kelompok negara abolisionist, 100 negara;
kelompok retensionist, 40 negara; kelompok retensionist untuk kondisi
khusus (mis. Dalam keadaan perang), 7 negara; abolisionist in practice/
de facto selama 10 tahun (moratorium); maupun di tingkat nasional,
maka diambil sikap kompromi dengan:
a. Menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok khusus, yang selalu
diancamkan secara alternatif, yang dijatuhkan sebagai upaya terakhir
untuk mengayomi masyarakat (Pasal 66 dan Pasal 87 RUU KUHP);
b. Pidana mati dapat ditunda selama 10 tahun (pidana mati bersyarat/
conditional capital punishment), reaksi masyarakat tidak terlalu besar;
rasa menyesal; kedudukan terpidana dalam penyertaan tidak terlalu
penting; ada alasan yang meringankan; apabila ybs. Bersikap terpuji
selama masa percobaan dapat diubah menjadi pidana seumur hidup
atau pidana penjara 20 tahun. (Pasal 89 RUU KUHP);
c. Jika permohonan grasi ditolak, tetapi pidana mati tidak dieksekusi
selama 10 tahun, pidana mati dapat diubah menjdi pidana seumur
hidup dengan kepres (Pasal 90 RUU KUHP).
G. Pengaturan pidana denda secara kategoris.
a. Untuk mengatasi nilai mata uang yang bersifat fluktuatif, pidana denda
diatur secara kategoris (paling sedikit Rp.100 ribu; K-I maksimum
Rp.6 juta; K-II maksimum Rp.30 juta; K-III maksimum Rp.120 juta; K-
14
IV maksimum Rp.300 juta ; K-V Rp.1.200 juta; dan K-VI maksimum
Rp.12 miliar. (Pasal 80 RUU KUHP);
b. Jika terjadi perubahan nilai mata uang, besarnya pidana denda
ditetapkan dengan praturan pemerintah.
Beberapa hal lainnya yang menjadi pokok-pokok pembahasan, diantaranya
sebagai berikut :
 Dasar-dasar karakter pembentukan RUU KUHP misalnya tujuan pemidanaan
berdasarkan penghukuman (punishment), aspek budaya Indonesia yang
partikularistik, atau pengaturan pidana mati. Namun ternyata pada basis yuridis
filosofis, rekodifikasi ini tetap memperhatikan perkembangan dari dunia dan
kondisi sosial seperti humanisasi (HAM atau pelanggaran berat). Sebagai
perkembangannya, terdapat misi humanisasi, konsolidasi, adaptasi dan
harmonisasi (misalnya konvensi internasional), dan aktualisasi, seperti
contohnya pertanggungjawaban dari korporasi. Pendekatan-pendekatan yang
ada juga hadir yakni seperti pendekatan evolusioner dan pendekatan
komplomenter (sanksi pidana di dalam undang-undang).
 Asas Keindonesiaan yang menonjol diantara yang lainnya ada yakni asas
keseimbangan nilai Pancasila (contoh: demokrasi dan keadilan sosial), Kondisi
riil Nasional, Doktrin Keilmuan, dan kesepakatan internasional atau global.
 Formulasi Asas keseimbangan, misalnya kepentingan umum dan individu,
publik dan sosial; faktor obyektif dan subyektif; formal dan material (kriteria);
kepastian hukum dan keadilan; nasional dan global; HAM dan Kewajiban
Asasi; pendekatan warmaking on crime dan peacemaking on crime.
 Implementasi dari asas tersebut dapat dibagi menjadi tiga permasalahan pokok
yakni pengaturan tindak pidana; yakni sumber hukum (dapat juga the living law/
hukum yang hidup), pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dan lebih
menguntungkan; pengaturan terhadap substansi konvensi internasional yang
telah diratifikasi/belum (misalnya Statuta Roma); adanya asas-asas pembatas
dan menjauhi sifat pembalasan; dan tidak ada pembedaan kejahatan dan
pelanggaran.
 Terhadap pertanggungjawaban hukum pidana dimasukkan pula asas
culpabilitas (tiada pidana tanpa kesalahan); strict liability, culpa in causa; dan
corporate criminal responsibility.
 Perumusan hukum pidana juga memperhatikan tujuan pemidanaan yang jelas,
pidana mati bersyarat, pedoman pemidanaan, keseimbangan culpa,
pengenaan sanksi alternatif, pengaturan tersendiri atas juvenile justiec, dan
strafsoort. Selain itu adanya pengaturan mengenai engagement period atau
masa adaptasi 2 tahun.
 Hal-hal baru yang khas di Indonesia, yakni penyelesaian konflik berdasar
hukum adat, pidana denda, atau pengakuan hukum yang hidup dalam
masyarakat; ajaran sifat melawan hukum secara materiil, pengutamaan
keadilan daripada kepastian hukum; tindak pidana terhadap ideologi dan
penghinaan terhadap pemerintah; tindak pidana penawaran untuk melakukan
kejahatan (misalnya pada pengaturan santet); penyiaran berita bohong; tindak
pidana terhadap agama; dan revisi terhadap pengaturan mengenai perzinahan,
perkosaan diperluas (yakni juga bersetubuh dengan anak dibawah umur 14
tahun dianggap sebagai perkosaan atau memasukan benda asing), larangan
kumpul kebo (cohabitation), incest, dan homo; dan konsep victimless crimes
(yang harus dilihat dari konteks sosial tanpa memandang korban).
 Politik pembaharuan hukum didasarkan pula pada upaya rekodifikasi dan
adaptasi terhadap asas-asas dan nilai-nilai yang hidup. Rekomendasi untuk
fokus pembahasan agar berorientasi terhadap hal-hal baru dan issue yang
aktual.
 Issue-issue aktual yakni Pasal 341 s/d Pasal 347 yakni tindak pidana terhadap
agama dan kehidupan beragama; Pasal 265 s/d 266 tentang penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden (perlu perhatian juga walaupun
15












terhadap putusan MK – yang didalamnya terdapat 4 hakim Mahkamah
Konstitusi yang memberikan Dissenting Opinion; dan pengenaan asas
nasionalitas pasif terkait tindak pidana ini); Tindak pidana penawaran untuk
melakukan tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana santet atau
metafisis (delik Formil), tindak pidana kesusilaan, konsep the living law, pidana
mati bersyarat (pidana pokok khusus yang dapat ditunda selama 10 tahun dan
diubah), dan pengaturan pidana denda secara kategoris.
Bahwa penyusunan RUU KUHP berdasarkan asas Keindonesiaan, yaitu Asas
keseimbangan berdasarkan nilai Pancasila: Asas Moral Religious (Ketuhanan
YME); Asas Kemanusiaan (HAM dan Humanisme); Asas Kebangsaan
(Nasionalisme); Asas kerakyatan (Demokrasi) dan Asas keadilan sosial
(Ekualitas, non-diskriminatif);
Kondisi riil nasional: kondisi sosial, ekonomi- kultural; sosial politik dan sosial
histories/pattern maintenance (Law as Integrative Mechanism);
Perkembangan berbagai doktrin keilmuan dI bidang hukum pidana dan disiplin
ilmu terkait (kriminologi, viktimologi, penology, sosiologi hukum pidana dll);
Perkembangan ide dasar kesepakatan internasional atau global
sebagai
bahan komparasi setelah ditapis dengan nilai–nilai karakter bangsa melalui
ratifikasi dan keputusan hakim (filter : Pancasila, HAM dan Asas-asas hukum
yang diaku bangsa-bangsa );
Khusus mengenai penghinaan terhadap presiden dan atau wakil presiden/
kepala negara dan/ atau wakil kepala negara, merupakan kejanggalan apabila
tidak ada pengaturan khusus. Penghinaan terhadap kepala negara dan wakil
kepala negara sahabat yang sedang menjalankan tugas kenegaran di RI;
penghinaan terhadap pemerintah; penghinaan terhadap bendera kebangsaan,
lagu kebangsaan dan lambang negara; dan bahkan penghinaan terhadap
orang mati, dikriminalisasikan secara khusus.
Bahwa Pasal 293 RUU KUHP bukan memidana pelaku santet. Namun pada
pasal 293 RUU KUHP merupakan delik formil delik yang menitik beratkan pada
perbuatan materiilnya, bukan akibatnya.
Dalam KUHP masih terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan larangan
sebagai mata pencaharian sebagai peramal, penafir mimpi, menyatakan
peruntungan seseorang (Pasal 545 KUHP); larangan menjual, menawarkan,
menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau
dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan
gaib. Demikian pula yang mengajarkan ilmu-ilmu atau kesaktian yang bertujuan
menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa
kemungkinan bahaya bagi diri sendiri (Pasal 546 KUHP; dan pasal 547 KUHP
yang memuat larangan bagi saksi di bawah sumpah memakai jimat-jimat atau
benda-benda sakti.
Bahwa menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok khusus, yang selalu
diancamkan secara alternatif, yang dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk
mengayomi masyarakat (Pasal 66 dan Pasal 87 RUU KUHP).
Bahwa pidana mati dapat ditunda selama 10 tahun (pidana mati bersyarat/
conditional capital punishment), reaksi masyarakat tidak terlalu besar; rasa
menyesal; kedudukan terpidana dalam penyertaan tidak terlalu penting; ada
alasan yang meringankan; apabila yang bersangkutan bersikap terpuji selama
masa percobaan dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana
penjara 20 tahun. (Pasal 89 RUU KUHP).
Jika permohonan grasi ditolak, tetapi pidana mati tidak dieksekusi selama 10
tahun, pidana mati dapat diubah menjdi pidana seumur hidup dengan kepres
(Pasal 90 RUU KUHP).
Bahwa seseorang yang tidak mengetahui hasil akan tindak pidana akan tetapi
tetap dijerat hukum. Apakah hal-hal seperti ini masih relevan.
Dalam kaitannya pertanggungjawaban korporasi bahwa KUHAP belum
memuat, apakah setelah dikodifikasi, maka undang-undang yang lain
dinyatakan tidak berlaku lagi.
16
 Bagaimana untuk mengklasifikasi living law dalam RUU KUHAP dan KUHP.
 Bahwa tidak ada agama yang mengijinkan perbuatan homoseks, akan tetapi
dalam RUU terdapat pasal terkait dengan tindakan homoseks tidak diijinkan
untuk anak dibawah umur 18, bagaimana untuk anak diatas 18 tahun.
 Meminta penjelasan, terkait dengan cara untuk mengatur dan menyatukan
hukum adat yang seringkali bertentangan antara hukum di suatu daerah
berbeda dengan daerah lainnya.
 Meminta penjelasan terkait dengan parameter terpidana yang divonis
hukuman mati akan tetapi setelah 10 tahun berkelakuan baik maka
hukumannya dapat dikurangi / diubah. Siapakah yang berhak melakukan
penilaian terhadap kelakukan baik.
 Terkait dengan masalah pencurian pulsa, apakah dapat/perlu diatur dalam
RUU tentang KUHP. Apabila dilakukan kodifikasi, apakah hal yang umum
menghapus hal yang khusus, atau hal khusus yang menghapus hal yang
umum.
 Bahwa banyaknya masyarakat yang percaya bahwa santet mempunyai
banyak dampak negatifnya, maka dirasa perlu untuk diberikan penekanan,
dimana delik santet berbeda dengan delik penipuan.
 Meminta penjelasan terkait beberapa hal seperti kasus operasi kelamin, gelar
palsu, gratifikasi seks, pasal penghinaan terhadap presiden, homoseksual,
penyadapan, hakim pemeriksa pendahuluan dan kumpul kebo.
 Bahwa dalam KUHP, yang cukup radikal adalah masalah perzinahan, menurut
definisi lama bahwa perzinahan menggunakan delik untung dan rugi.
Sedangkan dalam RUU KUHP perzinahan didefinisikan dengan aturan agama
dan moral. Dan apabila perzinahan ini diterapkan maka perlu dibentuk polisi
syariah, karena tidak mungkin dilakukan oleh polisi umum.
 Terkait dengan hukum qanun yang seringkali lebih tinggi daripada hukum
pidana nasional, apakah dibolehkan dalam suatu negara terdapat 2 (dua)
hukum dan hukum daerah dapat mengalahkan hukum yang bersifat nasional.
 Dalam kaitan dengan culpabilitas dan crime responsibility, apakah hal tersebut
masih relevan dalam hal saat ini telah berlaku UU tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang yang dinilai bertentangan dengan prinsip tersebut.
 Dijelaskan bahwa dalam tindak pidana pencucian uang harus ada predicate
crime yang harus dibuktikan dan perlunya pemberlakukan asas pembuktian
terbalik.
 Terkait Corporate Crime Responsibility, apakah hal ini kemudian perlu diatur
dalam RUU KUHP dan kemudian menon-aktifkan UU yang lain (dinyatakan
tidak berlaku).
 Dijelaskan bahwa dahulu pengurusnya saja yang terkena, namun sekarang
korporasinya juga dapat dipidana yakni dengan syarat dilakukan secara
individual kolektif yang membutuhkan korporasi yang mana dilakukan oleh
orang yang duduk dalam jabatan fungsional dan memerlukan jabatan tersebut
untuk mengendalikan atau mengambil keputusan dalam ruang lingkup
pekerjaaannya. Pidana dapat dikenakan pada korporasi seperti denda,
pengambilalihan aset, atau pengawasan dalam negara atau perbaikan (Pasal
59 RUU KUHP). Crimes for corporation or corporation for crime perlu
semuanya diatur.
 Terkait masalah berlakunya ”the living law” yang bervariasi dan dapat saling
bertentangan satu sama lain, apakah dimungkinkan kodifikasi terhadap hal ini.
Dijelaskan bahwa UU lain masih dapat diberlakukan (Bab V RUU KUHP).
secara personal Prof. Dr. Muladi tidak setuju bila secara gamblang
penggunaan the living law diberlakukan.
17
 Berdasarkan pernyataan bahwa the living law yang berbeda dengan hukum
adat, kemudian bagaimana menentukan pembedaaanya, Prof Muladi
menjelaskan bahwa hal ini memang sedikit sulit. Maka hakim harus menggali
nilai-nilai hukum yang ada, misalnya ahli adalah Ketua atau tokoh besar adat.
 Terkait dengan tindak pidana homoseks, konsep yang masih diterima adalah
di atas umur 18 tahun diperbolehkan, sedangkan ajaran agama manapun tidak
memperbolehkan hubungan ini, dan masih sama dengan konsep pedofilia
yang telah ada. Selain itu juga apabila terjadi operasi transgender, Prof Muladi
berpendapat bahwa semua agama memang tidak ada yang memperbolehkan.
 Terkait dengan tindak pidana asusila misalnya melarikan wanita, yang
terkadang diperbolehkan dalam suatu daerah serta konsep perzinahan yang
telah berubah konsep, maka pasal-pasal mengenai fornication dapat
menyebabkan terjadinya penggerebekan di hotel-hotel. Begitu pula dengan
kumpul kebo, maka perlu pengertian atau definisi yang pasti. Prof Muladi
menjelaskan bahwa pasal ini memang sulit namun masih dapat diberlakukan
yakni dengan sosialisasi. Jadi tidak semata-mata polisi kemudian melakukan
penggerebekan. Perlu diketahui bahwa Kawin kontrak tidak termasuk dalam
ruang lingkup pasal ini.
 Adanya konsep dari negara lain asas kolonialisme dan pemberian maaf dari
korban dapat menunda pidana mati tersebut dan mengenai penundaan pidana
mati selama 10 tahun, kemudian siapa atau otoritas yang dapat mengawasi
hal ini (telah berkelakuan baik), Prof Muladi berpendapat bahwa hal ini perlu
melihat dari pengalaman-pengalaman yang ada yakni asas kepastian hukum
pada revolusi Perancis dan asas modernitas yang lebih humanis. Pada
dasarnya setuju dengan penggunaan asas restorative justice. Pro dan Kontra
terjadi terhadap pemberlakuan pidana mati sehingga disepakati untuk pidana
mati dijatuhkan secara selektif dan bersyarat. Perilaku dari si pelaku selama
masa hukuman dapat diamati dan dicermati.
 Mengenai tindak pidana yang terkait dengan keagamaan, seperti Ahmadiyah,
apakah itu masuk dalam lingkupnya, Prof Muladi berjelaskan bahwa pasal ini
mengatur mengenai kekhususan perilaku penodaan terhadap agama. Jadi
sepanjang tidak melakukan penodaan dan penistaan terhadap agama yang
berlaku tidak dilarang.
 Terkait pasal penghinaan terhadap Presiden, dikaitkan dengan Putusan MK
yang final dan mengikat. Bagaimana dengan modifikasi terhadap pasal
tersebut dengan membatasi dari segi pelapor. Prof Muladi menjelaskan bahwa
pasal ini di berbagai negara diberlakukan.
 Mengenai pemidanaan terhadap gelar-gelar palsu, Prof.Dr. Muladi
menjelaskan bahwa sebenarnya pasal ini diambil dari dunia pendidikan dan
UU tentang Sistem Pendidikan Nasional.
 Mengenai pemidanaan ternak, Prof Muladi menjelaskan bahwa pasal ini
diambil dari UU tentang KUHP yang lama.
 Soal gratifikasi seks, apakah bisa dirumuskan dalam delik, Prof Muladi
berjelaskan bahwa di negara seperti Singapura, gratifikasi seks disebutkan
dalam putusan. Mungkin tidak perlu diatur secara spesifik, namun lebih
diserahkan pada hakim-hakim dalam membuat putusan.
 Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan mengenai penyadapan, apakah
pasal-pasal terkait juga akan otomatis batal. Terkait juga dengan konsep
Hakim Pemeriksa Pendahuluan, apakah juga berlaku kepada KPK, Prof Muladi
menjelaskan bahwa harus ada jalan keluar terhadap keabsolutan putusan
Mahkamah Konstitusi. Perlu sebenarnya sebuah pengaturan yang jelas
mengenai hukum acara yang menghormati hak-hak orang.
18
III. PENUTUP
RDPU Komisi III dengan Prof. Dr. Muladi, SH tidak mengambil kesimpulan /
keputusan, namun semua hal yang berkembang dalam rapat menjadi masukan bagi
Komisi III DPR RI dalam penyusunan DIM fraksi-fraksi serta pembahasan RUU
tentang KUHP dan KUHAP lebih lanjut.
Rapat ditutup tepat pukul 21.30 WIB
PIMPINAN KOMISI III DPR RI
WAKIL KETUA,
DR.H.AZIZ SYAMSUDDIN, SH
19
Download