DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESI --------------------------------- LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI III DPR RI DENGAN PROF.DR.MULADI, SH --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Hadir Izin Acara : : : : : : : : : : : : : 2012-2013 IV Terbuka Rapat Dengar Pendapat Umum Senin, 27 Mei 2013 Pukul 19.35 - 21.30 WIB Ruang Rapat Komisi III DPR RI. DR. H.Aziz Syamsuddin, SH / Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Endah Sri Lestari, SH, M.Si / Kabag Set.Komisi III DPR-RI. 23 orang Anggota dari 53 orang Anggota Komisi III DPR-RI. 2 orang Anggota. Menerima aspirasi / masukan terkait dengan pembahasan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) KESIMPULAN/KEPUTUSAN I. PENDAHULUAN Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI dibuka pukul 19.35 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, DR. H. Aziz Syamsuddin, SH dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas. II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN 1. Makalah yang disampaikan oleh Prof.Dr.Muladi, SH, diantaranya sebagai berikut : KUHP Indonesia yang saat ini berlaku merupakan copy KUHP (WvS) Belanda 1881 yang berlaku tahun 1886, yang berlaku di Indonesia mulai 1 Januari 1918, yang terus berlaku setelah kemerdekaan atas dasar pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Pengaruh KUHP Belanda terhadap system hukum Indonesia sangat besar melalui asas konkordansi, doktrin dan yurisrudensi Mahkamah Agung Belanda, termasuk MvT-nya. Di samping warna kolonialnya (peraturan yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda; pasal-pasal yang bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka; atau yang bersumber dari nilai dan budaya Belanda/ barat yang individualistik dll.), KUHP juga mengandung karakter: 1 1) Asas-asas hukum pidana didominasi oleh Aliran Klassik pasca Revolusi Perancis sebagai hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht) yang kurang atau tidak memperhitungkan aspek manusia/ HAM individu pelaku dan korban tindak pidana; kepentingan Negara dan sangat publik menonjol; 2) “Juvenile Justice” (hukum pidana anak) termasuk batas minimum umum pertanggungjawaban pidana tidak diatur; (dalam RUU KUHP 12 tahun); 3) Filosofi, pedoman dan tujuan pemidanaan semata-mata berorientasi ke belakang atau filosofi pembalasan atau falsafah “Retributive Justice” yang kaku (legal definition of crime, punishment fits the crime). 4) Pertimbangan kemanusiaan setelah munculnya Aliran Modern (daderstrafrecht) bersifat fragmentaris/Ad Hoc, tidak sistemik; 5) Unsur subsosialitas /merugikan kepentingan umum dan sifat melawan hukum/tercela dalam kriminalisasi diukur atas dasar nilai-nilai formal kolonial; 6) Faktor korban kejahatan (victim of crime) tidak dipertimbangkan dalam sistem peradilan pidana, kecuali sebagai saksi korban; 7) Aspek budaya Indonesia yang partikularistik (ajaran sifat melawan hukum materiil /the living law ) dikesampingkan; 8) Alternatif pidana kemerdekaan jangka pendek (alternative sanctions) dalam sistem pemidanaan sangat minim, sehingga pidana perampasan kemerdekaan yang destruktif menjadi primadona hakim; tindak pidana merupakan produk suatu struktur sosial, sehingga langkah represif dalam menanggulangi tindak pidana tidak mempertimbangkan pula langkahlangkah preventif. (Keseimbangan antara “Warmaking and Peacemaking On Crime”); 9) Hukum yang hidup dalam masyarakat/ hukum adat dimarginalkan di luar asas legalitas formal; 10) Pengutamaan fungsi hukum berupa kepastian hukum (legal certainty), sehingga mengesampingkan fungsi keadilan (justice) dan kemanfaatan (utility); 11) Pidana mati (capital punishment) menonjol sebagai pidana pokok, tanpa alasan yang jelas, semata-mata atas dasar teori pembalasan . Akan ternyata kemudian bahwa basis yuridis filosofis yang Berkeindonesian dalam proses dekolonialisasi KUHP tidak akan mengesampingkan perkembangan hukum pidana yang bersifat global yang disepakati oleh bangsabangsa beradab di Dunia, di samping keharusan untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan dari kondisi sosial-politik yang bersifat nasional. (ada 4 aspirasi yang diserap : aspirasi-aspirsi suprastruktural, infrastruktural, akepakaran dan aspirasi global). Kedudukan Buku I (Ketentuan Umum) yang memuat asas-asas hukum pidana (strafrecht beginselen) (Pasal 1 s/d Pasal 211 RUU KUHP) sangat strategis untuk dimantabkan. Perumusan asas-asas ini secara akademis dapat dipertanggung jawabkan, karena sebagian besar didukung oleh hasil penelitian disertasi dari para penyusunnya. Selama kurang lebih 25 tahun secara keseluruhan RUU KUHP dikerjakan Tim melalui proses perbandingan hukim antar Negara dan adaptasi terhadap serta doktrin, yurisprudensi dan asas-asas hukuim yang diakui bangsa-bangsa di bawah bimbingan dan diskusi dengan guru-guru besar hukum pidana (Indonesia dan asing) dan ahli-ahli lintas disiplin. Untuk itu Buku I yang berisi asas-asas hukum pidana nasional sangat perlu didalami dan didahulukan karena akan menjamin RUU KUHP sebagai satu kesatuan sistem dengan karakteristik dan fungsi: “Purposive Behavior, Wholism, Interrelatedness, Openness, Value Transformation and Control Mechanism”. 2 RUU KUHP ini sudah melewati koridor akademis dan administrative. Tim RUU KUHP menyadari sepenuhnya bahwa ketiga koridor tersebut harus dilalui, agar KUHP yang akan datang sah secara yuridis, filosofis, sosiologis dan politis. Dekolonialisasi Sebagai Misi Utama Rekodifikasi 1) Misi keluarga hukum Eropa Kontinental /Eropa Barat/Civil Law System yang mengangap kodifikasi sebagai “primary source of law”; sehingga proses “Rekodifikasi” sejak semula merupakan kelanjutan misi UU no.1 tahun 1946 yaitu misi “Dekolonialisasi” untuk menetralisasikan pengaruh kolonial pada KUHP warisan Belanda 1886 (Wvs Voor Nederlandsch-Indie, S. 1915:732) melalui: asas konkordansi; penggunaan doktrin hukum para sarjana Belanda (termasuk MvT-nya) dan melalui yurisprudensi Hoge Raad Belanda, yang sampai saat ini masih diajarkan dan didayagunakan dalam pendidikan dan praktek hukum pidana di Indonesia; 2) Pengaruh tersebut mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana: perumusan perbuatan yang dilarang (criminal act); pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility) dan sanksi hukum pidana (criminal law sanction) baik berupa pidana (punishment, straf) maupun tindakan (treatment/maatregelen); 3) Pasal V UU No.1 tahun 1946 Jo. UU No.73 tahun 1958: menggunakan Parameter Dekolonialisasi atas dasar: seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijalankan; atau bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka; atau tidak mempunyai arti lagi. Di samping penghapusan/ penyesuaian istilah-istilah, tindak pidana baru ditambahkan antara lain tindak pidana mata uang palsu; kabar bohong atau tidak pasti yang menimbulkan keonaran; Misi Rekodifikasi Lain Yang Berkembang Di Samping Misi Dekolonialisasi 1) Misi humanisasi/demokratisasi antara lain masuknya berbagai alternatif pidana kemerdekaan, perhatian terhadap korban kejahatan, tindak pidana terhadap HAM, berkembangnya perumusan delik secara materiil dan ajaran sifat melawan hukum materiil dan revisi “Haatzaai Artikelen” (menjadi delik penghinaan yang mengakibatkan terjadinya keonaran/ delik materiil) serta pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) sebagai sumber hukum; 2) Misi konsolidasi mengintegrasikan perkembangan tindak pidana di luar KUHP sejak tahun 1945 yang bersifat “massive” baik hukum pidana murni maupun hukum pidana administratif ke dalam kodifikasi atas dasar kendali asas-asas hukum pidana yang diatur dalam Buku I KUHP; 3) Misi adaptasi dan harmonisasi dilakukan terhadap perkembangan hukum pidana sebagai konsekuensi kesepakatan nasional dan internasional dan/ atau antisipasi terhadap telah dan akan diratifikasinya berbagai konvensi internasional, seperti Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan (Konvensi Den Haag, Tokyo dan Montreal); ratifikasi terhadap Konvensi tentang Penyiksaan (Convention Against Torture, and Other Crueal, Inhuman or Degrading Treatment and Punishment, 1984); Tentang Human Trafficking (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Woman), Konvensi tentang Transnational Organized Crimes, Palermo Convention 2000; berbagai konvensi tentang terorisme (antara lain Convention Agaimnst Terrorist Bombing, 1997 dan Convention on the Suppression of Finanfing Terroriem , 1999; Dokumen Internasional tentang Pencucian Uang (Dokumen FATF on Money Laundering dan “revised 40 Recommendations + 9 Special Reommendations FATF), Konvensi Tentang Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika (UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Sibstances,,1988) , UNCAC (Merida Convention, 2003); Konvensi tentang Cybercrime, Statuta Roma 1998 Tentang International Criminal Court dll; beberapa delik baru 3 al. Obstruction of justice (terhadap proses peradilan), generic crime delik lingkungan (eco-crime); UU tentang Penghapusan KDRT dll; 4) Aktualisasi: menyesuaikan diri dengan pemikiran dan konsep-konsep hukum pidana yang berkembang (contoh : kurang lebih ada 60 UU di luar KUHP yang mengatur pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana) termasuk meninggalkan konsep-konsep yang tidak sesuai lagi dengan aspirasi aktual (contoh menghapus Buku III KUHP tentang Pelanggaran yang didasarkan atas perbedaan antara ‘rechtsdelict” dan “wetsdelict” yang tidak konsisten dilaksanakan sebagaimana perbedaan antara “mala per se” dan “mala prohibita” dalam system hukum Anglo Saxon) ; Pendekatan Pembaharuan Hukum Pidana Sejak Kemerdekaan 1) Pendekatan evolusioner: melalui amandemen pasal; mis. Pasal 156 a KUHP tentang Penodaan Agama Jo. UU No.1/PNPS 1965; UU no.27 tahun 1999 tentang Kejahatan Berupa Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme, Leninisme dan Marxisme Dalam Kejahatan Terhadap Keamanan Negara; UU No.1 tahun 1960 tentang Pemberatan Pidana Penjara Tindak Pidana Kealpaan (Pasal 359, 360 dan 188 KUHP), UU No.16 Tahun 1960, UU No.18 tahun 1960 tentang Pidana Denda; 2) Pendekatan semi–global: melalui pengaturan tindak pidana khusus di luar KUHP, dengan berbagai kekhususannya termasuk pengaturan hukum pidana formil (hukum acara pidana) sekaligus; misalnya tindak pidana Korupsi, tindak Pencucian Uang, tindak pidana Terorisme; UU No.12/DRT/1951 tentang Senjata Api dll; 3) Pendekatan kompromi: dengan memasukkan suatu bab baru dalam KUHP akibat ratifikasi konvensi internasional.; mis. Masuknya Bab XXIXA KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan Sarana Penerbangan melalui UUno. 4 Tahun 1976 akibat diratifikasinya Konvensi Den Haag 1970, Konvensi Montreal 1971 dan Konvensi Tokyo 1963 dengan UU Jo. 2 Tahun 1976; 4) Pendekatan komplementer: dengan mendayagunakan sanksi hukum pidana untuk mendukung ditaatinya norma dan hukum administratif (administrative penal law) misalnya Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, kehutanan, perbankan, perpajakan, fidusia dan sebagainya. Asas Keindonesiaan: 1) Asas keseimbangan berdasarkan nilai Pancasila: Asas Moral Religious (Ketuhanan YME); Asas Kemanusiaan (HAM dan Humanisme); Asas Kebangsaan (Nasionalisme); Asas kerakyatan (Demokrasi) dan Asas keadilan sosial (Ekualitas, non-diskriminatif); 2) Kondisi riil nasional: kondisi sosial, ekonomi-kultural; sosial politik dan sosial histories/pattern maintenance (Law as Integrative Mechanism); 3) Perkembangan berbagai doktrin keilmuan dI bidang hukum pidana dan disiplin ilmu terkait (kriminologi, viktimologi, penology, sosiologi hukum pidana dll); 4) Perkembangan ide dasar kesepakatan internasional atau global sebagai bahan komparasi setelah ditapis dengan nilai–nilai karakter bangsa melalui ratifikasi dan keputusan hakim (filter : Pancasila, HAM dan Asas-asas hukum yang diaku bangsa-bangsa). Formulasi Asas Keseimbangan 1) Keseimbangan monodualistik antara “kepentingan umum dan kepentingan negara” dan “kepentingan individu”; 2) Keseimbangan antara perlindungan kepentingan negara, publik dan sosial, kepentingan pelaku tindak pidana (individualisasi pidana) dan korban tindak pidana (victim of crime); 3) Keseimbangan antara unsur/faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subyektif (orang/ batiniah/ sikap batin) (ide “daad-dader strafrecht”); 4 4) Keseimbangan antara kriteria “formal” dan “material”; 5) Keseimbangan antara “kepastian hukum”, “kelenturan”, “elastisitas” atau “fleksibilitas” dan “keadilan” serta kremanfaatan; 6) Keseimbangan nilai-nilai nasional, nilai sub-nasional dan nilai-nilai Global/ Universal; 7) Keseimbangan antara hak asasi manusia (HAM) (rights) dan kewajiban asasi manusia (KAM) (human rights and human responsibilities); (restriction and limitation on derogable rights); RIGHTS); 8) Keseimbangan antara pendekatan “warmaking on crime” dan “peacemaking on crime”, karena tindak pidana merupakan produk struktur sosial. Implementasi Asas Keseimbangan Dalam Tiga Permasalahan Pokok Hukum Pidana 1) Terhadap pengaturan Pperbuatan yang dapat dipidana (criminal act) : a. Berkaitan dengan sumber hukum/ asas legalitas, baik berdasarkan legalitas formal (UU) sebagai landasan utama, juga didasrkan pada legalitas material dengan memberi ruang pada “hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis (the living law)”; (basis yuridis: UU no.1/ DRT/ tahun 1951 Pasal 5 ayat 3 SUB b). b. Pemberlakuan hukum pidana secara retro aktif (bertentangan dengan asas non-derogable right), terhadap peraturan yang lebih menguntungkan sebagai pasangan terhadap asas “Lex Temporis Delicti”; c. Pengaturan tidak hanya terhadap substansi konvensi internasional yang sudah diratifikasi, juga secara proaktif mengatur substansi konvensi yang belum atau telah diratifikasi. Contoh terhadap Statuta Roma Th. 1998; suap terhadap pejabat asing, “trading in influence”, suap di sektor swasta, illicit enrichment dll. (UNCAC 1993); d. Proses kriminalisasi yang mempertimbangkan asas-asas pembatas (the limiting principles): asas subsidiaritas; aspek viktimologis (viktimogin dan kriminogin); menjauhi sifat ad hoc yang berorientasi pada pembalasan semata-mata; prinsip “cost and benefit analysis”; dukungan masyarakat; efektivitas; asas “lex certa and precision”; prinsip diferensiasi; unsur subsosialitas; menyadari bahwa politik penegkan hukum pidana merupakan bagian politik penegakan hukum dalam arti luas dan secara keseluruhan merupakan bagian politik sosial, adaptasi pada perkembangan internaional di samping selalu peka pada kenyataan sosial nasional dll; e. Tidak membedakan lagi antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (over tredingen) yang secara kualitatif tidak konsisten ditaati; 2) Terhadap pertanggung jawaban hukum pidana (criminal responsibility): a. Asas Culpabilitas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld/ actus non facit reum nisi mens sit rea/mens rea) yang merupakan asas kemanusiaan sebagai pasangan asas legalitas (actus reus) yang merupakan asas kemasyarakatan sebagai syarat pemidanaan; b. Dimungkinkan penerapan asas “strict liability” (untuk tindak pidana Profesi), asas “vicarious liability” (tanggung jawab diperluas mencakup tindak pidana. Bawahan dalam batas-batas perintahnya) (Pasal 38 RUU KUHP) dan asas pemberian maaf oleh hakim (judicial pardon) dan pidana verbal lain (Pasal 116 RUU KUHP) sebagai pengecualian asas tiada pidana tanpa kesalahan sebagai implementasi Sila Hikmah Kebijaksanaan Dalam Pancasila dan pembebasan rasa bersalah sebagai tujuan pemidanaan; c. Asas “culpa in causa” (actio libera in causa), yang memberi kewenangan pada hakim untuk mempertanggung jawabkan pelaku walau ada alasan penghapus pidana, jika pelaku patut dipersalahkan atas terjadinya alasan penghapus pidana tersebut; 5 d. Pengaturan “corporate criminal responsibility” di samping pertanggung jawaban atas manusia alamiah (natural person) (pasal 182 RUU KUHP). Hal ini merupakan penyesuaian terhadap perkembangn internasional yang sudah didopsi di luar KUHP sejak tahun 1955; 3) Terhadap masalah sanksi (pidana dan/atau tindakan): a. Perumusan tentang tujuan pemidanaan (the aims of punishment) yang jelas dan bermakna (asas teleologis dan purposif); b. Perumusan tentang syarat pemidanaan yang komprehensif; c. Individualisasi pidana, sebagai imbangan pidana berat. Misalnya pengaturan pidana mati bersyarat; (Pasal 87-89 RUU KUHP); d. Pengaturan sanksi ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat; e. Pengaturan tentang pedoman pemidanaan (sentencing guidelines) (Pasal 55 ayat 1 RUU KUHP); f. Keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam penjatuhan pidana (Pasal 12 RUU KUHP); g. Pengaturan tentang sanksi alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek (alternative sanctions) (Pasal 71 RUU KUHP); contoh pidana kerja sosial (community service order), Pasal 86 RUU KUHP, untuk menghindari pidana kemerdekaan jangka pendek atau pidana denda K-I; h. Pengaturan tersendiri atas “juvenile justice”; (Pasal 113-131 RUU KUHP); i. Pengembangan “strafsoort, strafmaat en strafmodus” dibarengi dengan pengembangan sistem tindakan (asas double track system); 4) Pengaturan “engagement period” atau masa adaptasi 2 tahun untuk pemahaman atau sosialisasi baik bagi masyarakat maupun penegak hukum; tugas juridis hukum pidana tidak hanya untuk mengawasi mayarakat, tetapi juga mengawasi penguasa yang juga merupakan sasaran (adresaat) norma hukum; (Pasal 766 RUU KUHP). Hal-hal Baru Yang Khas Indonesia 1) Salah satu tujuan pemidanaan berupa “penyelesaian konflik” yang bersumber pada hukum adat : pengembalian keseimbangan mikro dan makro kosmos yang terganggu (“evenwicht verstoring”); 2) Sanksi pemenuhan kewajiban adat sebagai pidana pokok terhadap pelanggaran terhadap “the Living Law” atau pidana pengganti denda kategori I atau pidana ganti kerugian; (Pasal 756; Pasal 67 dan Pasal 100 RUU KUHP); 3) Pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat; 4) Ajaran sifat melawan hukum materiil; 5) Pengutamaan keadilan apabila bertentangan dengan kepastian hukum; 6) Tindak Pidana Terhdap Ideologi Negara dan Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme/ Marxisme/ Leninisme dengan perumusan materiil, kecuali untuk tujuan ilmiah; Hal ini merupakan konsistensi keberadaan UU No.27 tahun 1999 Jo. Tap MPRS-RI No.XXV/ MPRS Tahun 1966; 7) Perumusan “haatzaai artikelen” sebagai delik materiil (menimbulkan keonaran masyarakat) dan penggunaan istilah “penghinaan” sebagai pengganti “menyatakan permusuhan dan kebencian” yang sangat elastis dan multi interpretasi ; (Pasal 284 RUU KIHP); 8) Tindak pidana “Penawaran Untuk Melakukan Kejahatan” (bukan delik “santet”); (Pasal 293 KUHP); 9) Penyiaran berita bohong (Vide UU no.1 tahun 1946); 10) Bab tersendiri terhadap “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama” (semacam blasphemy, Godslasteringswet) dan tidak lagi merupakan bagian tindak pidana terhadap ketertiban umum seperti pengaturan KUHP saat ini; (Pasal 341 s/d Pasal 348 RUU KUHP); 6 11) Revisi tentang tindak pidana perzinahan (adultary-->fornication) (Pasal 483 RUU KUHP), tindak pidana perkosaan (Pasal 488 RUU KUHP) dan larangan hidup bersama di luar kawin atau “kumpul kebo” (cohabitation) (Pasal 485 RUU KUHP) serta tindak pidana “incest” (Pasal 487 RUU KUHP) dan homo seksualitas (Pasal 492 RUU KIHP); 12) Konsep ‘victimless crimes” harus dilihat dalam konteks sosial. Penutup 1) Politik hukum pembaharuan hukum pidana berfokus pada usaha melembagakan nilai Keindonesiaan dan proses dekolonialisasi yang bersifat rekodifikasi. Hal ini ternyata tidak berdiri sendiri, karena era globalisasi juga mengharuskan dilakukannya adaptasi dan harmonisasi terhadap nilai-nilai demokrasi dan humanisasi, nilai universal/ global yang diakui bangsabangsa beradab, fungsi konsolidasi, dan aktualisasi hukum pidana dikaitkan dengan perkembangan sosial; 2) RUU KUHP sebagai draft akademis sudah cukup lama dirumuskan dengan memperhatikan aspirasi supra struktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional; 3) Proses pembaharuan hukum pidana diprediksi akan memakan waktu cukup lama, mengingat masa kerja DPR-RI yang terbatas, banyaknya pasal yang harus dibahas (766 Pasal), koridor sosial politik yang kompleks, ditambah masa transisi (engagement period) yang harus dilakukan dalam rangka sosialisasi baik kepada masyarakat maupun penegak hukum. Sehubungan dengan ini fokus pembahasan di DPR sebaiknya berorientasi pada hal-hal yang baru dan issue aktual daripada membahas elemen-elemen buku I dan buku II yang sudah diatur di dalam KUHP saat ini; 4) Terciptanya KUHP baru sangat monumental, karena dapat menggantikan KUHP kolonial yang sudah berumur lebih dari 120 tahun, yang berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 1918; 5) Pembahasan RUU KUHP sebaiknya difokuskan pada Buku I dan berbagai tindak pidana yang belum diatur dalam KUHP. Beberapa Lampiran, sebagai berikut: 1. issue-issue aktual yang pada dasarnya merupakan penerapan keseimbangan prinsip A. Pasal 341 s/d Pasal 347 RUU KUHP tentang TP Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama; Tindak pidana ini merupakan perbaikan dari Pasal 156a KUHP Jo. UU No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Pasal 4 UU tersebut yang semula merupakan Penpres memasukkan/ menyisipkan dalam KUHP satu pasal baru yaitu Pasal 156a KUHP yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap agama yang dianut di indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” UU tersebut diundangkan pada tanggal 27 Januari 1965, 8 bulan sebelum G-30-S/ PKI. Orang-orang PKI yang atheis sering melakukan perbuatan di atas. Perbuatan yang dilarang dalam UU ini adalah : a. Perbuatan yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina; dengan demikian uraian baik lisan maupun tertulis yang dilakukan secara obyektif, zakelijk, ilmiah 7 mengenai suatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana; b. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut, di samping mengganggu ketenteraman orang beragama, pada dasarnya mengkhianati Sila Pertama Pancasila secara total, dan oleh karenanya harus dipidana; c. Agar aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran atau hukum agama jangan melakukan perbuatan yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. Apabila kriminalisasi perbuatan tersebut dalam KUHP dimasukkan dalam “Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (offences against public order) untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk akibat perbuatan yang memecah belah dan mengacaukan, Tim Perumus RUU KUHP menganggapnya tidak tepat. Di negara Pancasila yang BerkeTuhanan YME, determinan agama dengan masyarakat yang ekstra pluralistik, rasa keagamaan dan ketenteraman/ketertiban hidup beragama merupakan kepentingan hukum yang sangat besar dan sensitive, yang harus memperoleh dilindungi dan memperoleh tempat lebih terhormat dari pada sekedar bagian dari ketertiban umum, sehingga harus diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab VII (Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama), yang meliputi: I. Tindak pidana terhadap agama yang meliputi: 1. Penghinaan terhadap agama; 2. Penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama; II. Tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah, yang meliputi: 1. Gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan; 2. Perusakan tempat ibadah. Perbedaannya dengan KUHP, di samping diletakkan sebagai bab tersendiri dalam RUU, karena agama (religionscuhtztheorie), rasa (gefuhlachutztheorie) keagamaan dan tatatertib (friedenschutztheorie) dalam kehidupan beragama dilihat sebagai kepentingan hukum yang besar, juga tidak digunakannya lagi kata-kata yang multi tafsir (KUHP) yang bertentangan dengan prinsip “lex certa” yaitu “permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan”. Dalam RUU KUHP kata-kata tersebut diganti dengan istilah “Penghinaan”, yang memiliki konotasi hukum jelas yaitu merendahkan martabat, nama baik , kehormatan dan bersifat ofensif. Para penggiat HAM akan menganggap kriminalisasi terhadap “defamation of religion/ blasphemy/Godslastering” ini bertentangan dengan HAM yaitu “freedom of expresison and freedom of opinion” dan mebahayakan pers/ jurnalis dan para aktivis organisasi. Bahkan di PBB sendiri sejak 1999 terjadi polarisasi tentang hal ini (Negara-Negara Islam dan negara berkembang yang setuju kriminalisasi vs Negara demokrasi Barat yang menentang kriminalisasi). Bagi yang menentang, mereka beranggapan bahwa kriminalisasi terhadap penghinaan agama bertentangan dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR), sedangkan yang mendukung kriminalisasi berasumsi bahwa “freedom of expression and freedom of opinion” MERUPAKAN “deorgable rights” yang dapat dibatasi dengan undang8 undang apabila bertentangan dengan hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Pasal 238J UUD NRI tahun 1945). ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) 1966, Article 19 (3) berbunyi: “3.The exercise of the rights provided in paragraph 2 (freedom of expression) carries with special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: a. For respect of the rights and reputations of others; b. For the protection of national security or of public orders (ordre public) or of public health or morals”. Pengaturan yang bermakna restriksi dan limitasi cukup rasional mengingat bahwa target penodaan agama adalah HAM yang disebut “freedom of religion” (Article 18 ICCPR) yang masuk kategori SALAH SATU “non-derogable rights”, yang merupakan HAM yang tidak dapat diingkari atau dibatasi dalam kondisi apapun, sekalipun negara dalam situasi “internal unrest, civil war or public emergency”. Jurnalis dan pers tidak perlu khawatir dituduh melakukan delik pers, karena wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tidak dapat serta merta dikenai sanksi sesuai KUHP. Tetapi harus melalui mekanisme UU Pers. UU No.40 tahun 1999 dan MOU antara Dewan Pers dan Polri. Beberapa contoh pengaturan dinegara lain: di Negara-negara Islam “blasphemy”/penistaan agama merupakan kejahatan berat (Afganistan, Algeria, Malaysia, Bangladesh, Mesir dll.); di Australia tidak uniform, berbeda antara jurisdiksi yang satu dan yang lain; DI Austria dan Brazil perbuatan tersebut dipidana; demikian pula di Canada, Denmark, Finlandia, Jerman, Yunani, Belanda dll. Di Amerika dan UK (England and Wales) kejahatan blasphemy didekriminalisasi karena berkaitan dengan kebebasan berbicara dan berekspresi, bahkan di AS KRIMINALISASI dianggap melanggar konstitusi. Di negara-negara maju Barat dan Asia Timur seperti Jepang dan Taiwan ketentuan tentang larangan blaspgemy “de facto is dead letter ”. Sebenarnya sebelum adanya pengaturan sebagai mana dirumuskan dalam Pasal 156a KUHP di atas, terhadap golongan penduduk negara yang berbeda karena RAS, Agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau keadaan hukum negaranya, sudah dipikirkan perlindungannya dari perbuatan yang menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan (Pasal 156 KUHP). Ketentuan ini dalam RUU KUHP tetap dipertahankan sebagai tindak pidana terhadap ketertiban umum pada Pasal 286 dan 287 RUU KUHP, dengan menegaskan perbuatan penghinaan. Di sini targetnya bukan agama tetapi golongan penduduk. Golongan penduduk diperluas meliputi: RAS, kebangsaan, etnik, warna kulit, agama, atau terhadap kelompok berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik. Pasal 287 mengatur delik penyiarannya. B. Pasal 265 s/d Pasal 266 RUU KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Kedua Pasal di atas merupakan pengulangan Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP. Kedua pasal ini bukan delik aduan. Yang menarik adalah bahwa atas dasar putusan MK tgl. 4 Desember 2006, pasal penghinaan 9 terhadap Presiden tersebut dalam Pasal-pasal 134, 136 bis dan pasal 137 KUHP dicabut/ dihapuskan, karena dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sebenarnya Pasal-pasal tersebut telah mengalami seleksi atas dasar UU No.1 tahun 1946 dan tetap berlaku karena dianggap tidak bertentangan dengan kedudukan RI sebagai negara merdeka. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid), karena amat rentan pada tafsir, apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau merupakan penghinaan terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Hal tersebut dianggap secara kontitusional bertentangan dengan Pasal 28d ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (perlakuan yang sama di hadapan hukum/ equality before the law) dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang dijamin Pasal 28f UUD NRI Tahun 1945 (hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia). Sebenarnya istilah menghina dan kritik bisa dibedakan. Menghina adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau merendahkan martabat, termasuk menista (smaad); menista dengan surat (smaadschrift), memfitnah (laster), mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht), tuduhan secara memfitnah (lasterlijuke verdachtmaking) dan penghinaan ringan (eenvoudige belediging). Kriminalisasi bukan dengan maksud mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda. Dengan demikian penghinaan merupakan “mala per se”. Apabila dilakukan demi kepentingan umum, membela diri, dan mengandung kebenaran orang tidak dapat dipidana (complete defence). Menghina (defamation and insult) is something that is both offensive and untrue. Criticism or valid criticism is true and while often uncomfortable is not a legitimate cause for offense. KECUALI DI NEGARA-NEGARA TERTENTU di berbagai negara barat (baik di lingkungan civil law system maupun common law system), kriminalisasi dilakukan terhadap penghinaan terhadap bangsa, kepala negara, termasuk kepalanegara sahabat dan diplomat asing, badan, pejabat dan lembaga publik, baik pada saat menjalankan fungsi resminya atau karena fungsi tersebut, di samping kemungkinan diajukannya gugat perdata. Apa yang dinamakan “freedom of expression” merupakan “derogable rights”. Delik pers juga harus diproses sesuai dengan UU pers atas dasar MOU antara Dewan Pers dan Polri. Khusus mengenai penghinaan terhadap presiden dan atau wakil presiden/ kepala negara dan/ atau wakil kepala negara, merupakan kejanggalan apabila tidak ada pengaturan khusus. Penghinaan terhadap kepala negara dan wakil kepala negara sahabat yang sedang menjalankan tugas kenegaran di RI; penghinaan terhadap pemerintah; penghinaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan dan lambang negara; dan bahkan penghinaan terhadap orang mati, dikriminalisasikan secara khusus. Dari segi sosiologis, politik, hukum dan tata negara, presiden dan wapres berbeda dari orang biasa mengingat posisi dan statusnya tidak berlaku asas “equality before the law”. Sudah saatnya transisi demokrasi 10 dimantabkan dengan konsolidasi demokrasi yang bermartabat, bukan didasarkan atas euforia semata-mata. Contoh pengaturan (kriminalisasi) di beberapa negara demokratis di eropa, baik yang berbentuk kerajaan maupun republik, tentang penghinaan terhadap Presiden dan simbol-simbol negara yang lain: Belgia: kriminalisasi penghinaan terhadap raja, kepala negara asing, anggota badan legislatif, menteri, anggota mahkamah konstitusi, pejabat administrasi pengadilan, dan pejabat negara dalam tugas aktif; Republik czeck: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, negara, pejabat negara, lembaga negara, terhadap pemerintah, parlemen, dan mahkamah konstitusi; Perancis: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, pengadilan, angkatan bersenjata, lembaga konstituional, administrator publik, menteri, anggota parlemen, dan pejabat publik. Kebenaran merupakan alasan penghapus pidana; Jerman: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, kepala negara asing, anggota pemerintah asing, diplomat asing, bendera dan simbol kedaulatan terhadap republik federal, salah satu negara bagian, konstitusi, warna bendera, pakaian tentara, dan lagu kebangsaan; Portugal: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, yang dapat dihentikan oleh kehendak presiden, terhadap republik, bendera, lagu kebangsaan, dan simbol kedaulatan; Spanyol: kriminalisasi penghinaan terhadap keluarga kerajaan, pemerintah, angkatan bersenjata, dan lembaga konstitusional; Yunani: kriminalisasi penghinaan terhadap presiden, kepala negara dan diplomat asing; Belanda: kriminalisasi penghinaan terhadap raja, suami atau isteri raja, kepala negara/ pemerintah negara sahabat atau anggotanya; Catatan : 1) Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi di atas, 4 hakim melakukan “dissenting opinion”; 2) Dalam memberikan keputusan semestinya MK berfikir bahwa pasalpasal di atas (pasal 341 dan 347 RUU KUHP) merupakan suatu sistem, sehingga tidak menimbulkan kejanggalan-kejanggalan dalam arti luas, tidak hanya menyangkut presiden/wapres saja; C. Tindak pidana “Penawaran Untuk Melakukan Tindak Pidana” yang merupkan bagian dari Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum. Sekali lagi bukan tindak pidana “santet” atau tindak pidana metafisis; Tindak pidana ini merupakan tindak pidana baru khas Indonesia yang perlu dikriminalisasikan karena sangat kriminogin dan sangat viktimogin. Tindak pidana ini sukar dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan semata-mata, sebab aspek kriminogin dan viktimoginnya multidimensional. Teks Pasal 293 RUU KUHP adalah sebagai berikut: “(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima tahun atau denda paling banyak kategori IV); 11 (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu pertiga). Dalam Penjelasan Pasal 293 RUU KUHP dinyatakan sebagai berikut: “Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara umum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet); Di samping itu kriminalisasi juga dimaksudkan untuk melindungi berbagai kepentingan sebagai berikut: a. Kepentingan individual; mencegah praktik penipuan; b. Kepentingan sosial: melindungi rasa keagamaan dan keterteraman hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik; c. Titik berat dari tindak pidana ini adalah dominasi unsur pencegahan (crime prevention) dan melindungi calon korban (potential victim) dan mungkin juga calon pelaku terhadap maraknya main hakim sendiri; d. Perumusan delik semacam ini juga terjadi pada pasal 163 bis yang mengatur penganjuran yang gagal (mislukte uitlokking); e. Tindak pidana tersebut merupakan delik terhadap ketertiban umum (public order) dalam bentuk ketertiban dan ketenteraman kehidupan sosial; Kesimpulan: a. Pasal 293 RUU KUHP bukan memidana pelaku santet; b. Tindak pidana pada Pasal 293 RUU KUHP merupakan delik formil delik yang menitik beratkan pada perbuatan materiilnya, bukan akibatnya; c. Dalam KUHP masih terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan larangan sebagai mata pencaharian sebagai peramal, penafir mimpi, menyatakan peruntungan seseorang (Pasal 545 KUHP); larangan menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Demikian pula yang mengajarkan ilmu-ilmu atau kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri (Pasal 546 KUHP; dan pasal 547 KUHP yang memuat larangan bagi saksi di bawah sumpah memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti. D. Tindak pidana kesusilaan: zina, kumpul kebo, homoseksualitas dan incest. a. Perzinahan/ pemukahan (adultary, overspel) (Pasal 483 RUU KUHP). Dalam pasal ini terjadi perluasan pengertian “zina” setelah mendengarkan aspirasi tokoh-tokoh agama Islam. Dalam KUHP (WvS) Pasal 284 KUHP , yang dikatakan zina adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Persetubuhan harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak; dalam Pasal 483 RUU KUHP pengertian “zina” diperluas mencakup “laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan 12 b. c. d. e. persetubuhan” (fornication). Baik KUHP maupun RUU KUHP mengkategorikan perzinahan sebagai delik aduan (klacktdelict). Apabila dalam KUHP yang berhak mengadukan adalah suami/ isteri yang merasa tercemar atau dirugikan, maka dalam RUU KUHP ditambahkan “pihak ketiga yang tercemar” sebagai pihak yang boleh mengadu. Di sini terjadi pergeseran pemahaman “Victimless Crimes” mencakup korban dalam arti sosial; Demikian pula terhadap perbuatan “kumpul kebo” (cohabitation) atau hidup bersama di luar perkawinan sah (Pasal 485 RUU KUHP). Nikah siri secara Islam tidak ternasuk kumpul kebo. Delik ini sebaiknya juga delik aduan, karena beberapa daerah memungkinkn secara adat dilakukannya perbuatan ini (the living law). Di sini juga terjadi perluasan “crimes without victim” termasuk korban sosialkolektif, tidak hanya individual; Perkosaan. Hal ini mencakup: unsur bertentangan dengan kehendak, tanpa persetujuan, persetujuan dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai, tertipu, dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya; termasuk apa yang disebut “statutory rape” Pasal 488 ayat (1) huruf (E) RUU KUHP yang menyatakan “termasuk perkosaan lakilaki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 tahun dengan persetujuannya”; juga termasuk perkosaan adalah perkosaan dengan cara “anal sex” atau “oral sex”, memasukkan “artificial organ” dalam vagina atau anus wanita, dalam keadaan tersebut di atas; “Incest” (sumbang): persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke saamping sampai derajat ketiga (Pasal 487 RUU KUHP); Homoseksual: orang yang melakukan perbuat cabul dengan orang lain yang sana jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun; ini penegasan kembali Pasal 292 KUHP; E. Konsep “the living law”. a. Hal ini sangat menonjol sehubungan dengan perumusan Pasal 2 RUU KUHP sebagai berikut: 1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. 2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, HAM, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa (catatan: sebagai “margins of appreciation”); Contoh: Tindak pidana melarikan gadis di bali dan lombok bisa diatasi dengan hukum adat, tetapi perbuatan adat “pengayauan” di masyarakat dayak sulit dipertahankan. b. Sehubungan dengan itu Pasal 756 RUU KUHP menyatakan bahwa “setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang tidak tertulis dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana adalah tindak pidana”; tindak pidana sebagaimana dimaskud diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf E Jo Pasal 100 (pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dalam Pasal 100 ayat (2) merupakan Pidana 13 Pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagai mana dalam Pasal 2 ayat (1); Sanksi ini dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I (Rp.6 juta rupiah) dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk denda, jika kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana; pidana pengganti tersebut dapat juga berupa pidana ganti kerugian; c. Konsep penghormatan atas hukum yang hidup terlihat juga dalam rumusan tujuan pemidanaan (the aim of punishment) berupa “menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Konsep ini bersumber dari falsafah “even wichtverstoring” hukum adat; (Pasal 54 RUU KUHP); d. Perlu dicatat bahwa aspirasi tersebut pernah dirumuskan pula pada UU no.1 DRT. Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acaraacara Pengadilan Sipil, yang intinya: “Suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebgai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam KUHP sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak boleh lebih dari 3 bulan penjara dan/ atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud maka dapat dijatuhi pidana pengganti setinggi-tingginya 10 tahun penjara. Bagi hukuman yang tidak selaras dengan zaman yang tindak pidananya ada bandingannya dalam KUHP sipil maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama; F. Sikap terhadap pidana mati. Di tengah-tengah sikap pro dan kontra terhadap pidana mati, baik di masyarakat internnasional (kelompok negara abolisionist, 100 negara; kelompok retensionist, 40 negara; kelompok retensionist untuk kondisi khusus (mis. Dalam keadaan perang), 7 negara; abolisionist in practice/ de facto selama 10 tahun (moratorium); maupun di tingkat nasional, maka diambil sikap kompromi dengan: a. Menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok khusus, yang selalu diancamkan secara alternatif, yang dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat (Pasal 66 dan Pasal 87 RUU KUHP); b. Pidana mati dapat ditunda selama 10 tahun (pidana mati bersyarat/ conditional capital punishment), reaksi masyarakat tidak terlalu besar; rasa menyesal; kedudukan terpidana dalam penyertaan tidak terlalu penting; ada alasan yang meringankan; apabila ybs. Bersikap terpuji selama masa percobaan dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. (Pasal 89 RUU KUHP); c. Jika permohonan grasi ditolak, tetapi pidana mati tidak dieksekusi selama 10 tahun, pidana mati dapat diubah menjdi pidana seumur hidup dengan kepres (Pasal 90 RUU KUHP). G. Pengaturan pidana denda secara kategoris. a. Untuk mengatasi nilai mata uang yang bersifat fluktuatif, pidana denda diatur secara kategoris (paling sedikit Rp.100 ribu; K-I maksimum Rp.6 juta; K-II maksimum Rp.30 juta; K-III maksimum Rp.120 juta; K- 14 IV maksimum Rp.300 juta ; K-V Rp.1.200 juta; dan K-VI maksimum Rp.12 miliar. (Pasal 80 RUU KUHP); b. Jika terjadi perubahan nilai mata uang, besarnya pidana denda ditetapkan dengan praturan pemerintah. Beberapa hal lainnya yang menjadi pokok-pokok pembahasan, diantaranya sebagai berikut : Dasar-dasar karakter pembentukan RUU KUHP misalnya tujuan pemidanaan berdasarkan penghukuman (punishment), aspek budaya Indonesia yang partikularistik, atau pengaturan pidana mati. Namun ternyata pada basis yuridis filosofis, rekodifikasi ini tetap memperhatikan perkembangan dari dunia dan kondisi sosial seperti humanisasi (HAM atau pelanggaran berat). Sebagai perkembangannya, terdapat misi humanisasi, konsolidasi, adaptasi dan harmonisasi (misalnya konvensi internasional), dan aktualisasi, seperti contohnya pertanggungjawaban dari korporasi. Pendekatan-pendekatan yang ada juga hadir yakni seperti pendekatan evolusioner dan pendekatan komplomenter (sanksi pidana di dalam undang-undang). Asas Keindonesiaan yang menonjol diantara yang lainnya ada yakni asas keseimbangan nilai Pancasila (contoh: demokrasi dan keadilan sosial), Kondisi riil Nasional, Doktrin Keilmuan, dan kesepakatan internasional atau global. Formulasi Asas keseimbangan, misalnya kepentingan umum dan individu, publik dan sosial; faktor obyektif dan subyektif; formal dan material (kriteria); kepastian hukum dan keadilan; nasional dan global; HAM dan Kewajiban Asasi; pendekatan warmaking on crime dan peacemaking on crime. Implementasi dari asas tersebut dapat dibagi menjadi tiga permasalahan pokok yakni pengaturan tindak pidana; yakni sumber hukum (dapat juga the living law/ hukum yang hidup), pemberlakuan hukum pidana secara retroaktif dan lebih menguntungkan; pengaturan terhadap substansi konvensi internasional yang telah diratifikasi/belum (misalnya Statuta Roma); adanya asas-asas pembatas dan menjauhi sifat pembalasan; dan tidak ada pembedaan kejahatan dan pelanggaran. Terhadap pertanggungjawaban hukum pidana dimasukkan pula asas culpabilitas (tiada pidana tanpa kesalahan); strict liability, culpa in causa; dan corporate criminal responsibility. Perumusan hukum pidana juga memperhatikan tujuan pemidanaan yang jelas, pidana mati bersyarat, pedoman pemidanaan, keseimbangan culpa, pengenaan sanksi alternatif, pengaturan tersendiri atas juvenile justiec, dan strafsoort. Selain itu adanya pengaturan mengenai engagement period atau masa adaptasi 2 tahun. Hal-hal baru yang khas di Indonesia, yakni penyelesaian konflik berdasar hukum adat, pidana denda, atau pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat; ajaran sifat melawan hukum secara materiil, pengutamaan keadilan daripada kepastian hukum; tindak pidana terhadap ideologi dan penghinaan terhadap pemerintah; tindak pidana penawaran untuk melakukan kejahatan (misalnya pada pengaturan santet); penyiaran berita bohong; tindak pidana terhadap agama; dan revisi terhadap pengaturan mengenai perzinahan, perkosaan diperluas (yakni juga bersetubuh dengan anak dibawah umur 14 tahun dianggap sebagai perkosaan atau memasukan benda asing), larangan kumpul kebo (cohabitation), incest, dan homo; dan konsep victimless crimes (yang harus dilihat dari konteks sosial tanpa memandang korban). Politik pembaharuan hukum didasarkan pula pada upaya rekodifikasi dan adaptasi terhadap asas-asas dan nilai-nilai yang hidup. Rekomendasi untuk fokus pembahasan agar berorientasi terhadap hal-hal baru dan issue yang aktual. Issue-issue aktual yakni Pasal 341 s/d Pasal 347 yakni tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; Pasal 265 s/d 266 tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (perlu perhatian juga walaupun 15 terhadap putusan MK – yang didalamnya terdapat 4 hakim Mahkamah Konstitusi yang memberikan Dissenting Opinion; dan pengenaan asas nasionalitas pasif terkait tindak pidana ini); Tindak pidana penawaran untuk melakukan tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana santet atau metafisis (delik Formil), tindak pidana kesusilaan, konsep the living law, pidana mati bersyarat (pidana pokok khusus yang dapat ditunda selama 10 tahun dan diubah), dan pengaturan pidana denda secara kategoris. Bahwa penyusunan RUU KUHP berdasarkan asas Keindonesiaan, yaitu Asas keseimbangan berdasarkan nilai Pancasila: Asas Moral Religious (Ketuhanan YME); Asas Kemanusiaan (HAM dan Humanisme); Asas Kebangsaan (Nasionalisme); Asas kerakyatan (Demokrasi) dan Asas keadilan sosial (Ekualitas, non-diskriminatif); Kondisi riil nasional: kondisi sosial, ekonomi- kultural; sosial politik dan sosial histories/pattern maintenance (Law as Integrative Mechanism); Perkembangan berbagai doktrin keilmuan dI bidang hukum pidana dan disiplin ilmu terkait (kriminologi, viktimologi, penology, sosiologi hukum pidana dll); Perkembangan ide dasar kesepakatan internasional atau global sebagai bahan komparasi setelah ditapis dengan nilai–nilai karakter bangsa melalui ratifikasi dan keputusan hakim (filter : Pancasila, HAM dan Asas-asas hukum yang diaku bangsa-bangsa ); Khusus mengenai penghinaan terhadap presiden dan atau wakil presiden/ kepala negara dan/ atau wakil kepala negara, merupakan kejanggalan apabila tidak ada pengaturan khusus. Penghinaan terhadap kepala negara dan wakil kepala negara sahabat yang sedang menjalankan tugas kenegaran di RI; penghinaan terhadap pemerintah; penghinaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan dan lambang negara; dan bahkan penghinaan terhadap orang mati, dikriminalisasikan secara khusus. Bahwa Pasal 293 RUU KUHP bukan memidana pelaku santet. Namun pada pasal 293 RUU KUHP merupakan delik formil delik yang menitik beratkan pada perbuatan materiilnya, bukan akibatnya. Dalam KUHP masih terdapat pasal-pasal yang berkaitan dengan larangan sebagai mata pencaharian sebagai peramal, penafir mimpi, menyatakan peruntungan seseorang (Pasal 545 KUHP); larangan menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Demikian pula yang mengajarkan ilmu-ilmu atau kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri (Pasal 546 KUHP; dan pasal 547 KUHP yang memuat larangan bagi saksi di bawah sumpah memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti. Bahwa menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok khusus, yang selalu diancamkan secara alternatif, yang dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat (Pasal 66 dan Pasal 87 RUU KUHP). Bahwa pidana mati dapat ditunda selama 10 tahun (pidana mati bersyarat/ conditional capital punishment), reaksi masyarakat tidak terlalu besar; rasa menyesal; kedudukan terpidana dalam penyertaan tidak terlalu penting; ada alasan yang meringankan; apabila yang bersangkutan bersikap terpuji selama masa percobaan dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. (Pasal 89 RUU KUHP). Jika permohonan grasi ditolak, tetapi pidana mati tidak dieksekusi selama 10 tahun, pidana mati dapat diubah menjdi pidana seumur hidup dengan kepres (Pasal 90 RUU KUHP). Bahwa seseorang yang tidak mengetahui hasil akan tindak pidana akan tetapi tetap dijerat hukum. Apakah hal-hal seperti ini masih relevan. Dalam kaitannya pertanggungjawaban korporasi bahwa KUHAP belum memuat, apakah setelah dikodifikasi, maka undang-undang yang lain dinyatakan tidak berlaku lagi. 16 Bagaimana untuk mengklasifikasi living law dalam RUU KUHAP dan KUHP. Bahwa tidak ada agama yang mengijinkan perbuatan homoseks, akan tetapi dalam RUU terdapat pasal terkait dengan tindakan homoseks tidak diijinkan untuk anak dibawah umur 18, bagaimana untuk anak diatas 18 tahun. Meminta penjelasan, terkait dengan cara untuk mengatur dan menyatukan hukum adat yang seringkali bertentangan antara hukum di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Meminta penjelasan terkait dengan parameter terpidana yang divonis hukuman mati akan tetapi setelah 10 tahun berkelakuan baik maka hukumannya dapat dikurangi / diubah. Siapakah yang berhak melakukan penilaian terhadap kelakukan baik. Terkait dengan masalah pencurian pulsa, apakah dapat/perlu diatur dalam RUU tentang KUHP. Apabila dilakukan kodifikasi, apakah hal yang umum menghapus hal yang khusus, atau hal khusus yang menghapus hal yang umum. Bahwa banyaknya masyarakat yang percaya bahwa santet mempunyai banyak dampak negatifnya, maka dirasa perlu untuk diberikan penekanan, dimana delik santet berbeda dengan delik penipuan. Meminta penjelasan terkait beberapa hal seperti kasus operasi kelamin, gelar palsu, gratifikasi seks, pasal penghinaan terhadap presiden, homoseksual, penyadapan, hakim pemeriksa pendahuluan dan kumpul kebo. Bahwa dalam KUHP, yang cukup radikal adalah masalah perzinahan, menurut definisi lama bahwa perzinahan menggunakan delik untung dan rugi. Sedangkan dalam RUU KUHP perzinahan didefinisikan dengan aturan agama dan moral. Dan apabila perzinahan ini diterapkan maka perlu dibentuk polisi syariah, karena tidak mungkin dilakukan oleh polisi umum. Terkait dengan hukum qanun yang seringkali lebih tinggi daripada hukum pidana nasional, apakah dibolehkan dalam suatu negara terdapat 2 (dua) hukum dan hukum daerah dapat mengalahkan hukum yang bersifat nasional. Dalam kaitan dengan culpabilitas dan crime responsibility, apakah hal tersebut masih relevan dalam hal saat ini telah berlaku UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dinilai bertentangan dengan prinsip tersebut. Dijelaskan bahwa dalam tindak pidana pencucian uang harus ada predicate crime yang harus dibuktikan dan perlunya pemberlakukan asas pembuktian terbalik. Terkait Corporate Crime Responsibility, apakah hal ini kemudian perlu diatur dalam RUU KUHP dan kemudian menon-aktifkan UU yang lain (dinyatakan tidak berlaku). Dijelaskan bahwa dahulu pengurusnya saja yang terkena, namun sekarang korporasinya juga dapat dipidana yakni dengan syarat dilakukan secara individual kolektif yang membutuhkan korporasi yang mana dilakukan oleh orang yang duduk dalam jabatan fungsional dan memerlukan jabatan tersebut untuk mengendalikan atau mengambil keputusan dalam ruang lingkup pekerjaaannya. Pidana dapat dikenakan pada korporasi seperti denda, pengambilalihan aset, atau pengawasan dalam negara atau perbaikan (Pasal 59 RUU KUHP). Crimes for corporation or corporation for crime perlu semuanya diatur. Terkait masalah berlakunya ”the living law” yang bervariasi dan dapat saling bertentangan satu sama lain, apakah dimungkinkan kodifikasi terhadap hal ini. Dijelaskan bahwa UU lain masih dapat diberlakukan (Bab V RUU KUHP). secara personal Prof. Dr. Muladi tidak setuju bila secara gamblang penggunaan the living law diberlakukan. 17 Berdasarkan pernyataan bahwa the living law yang berbeda dengan hukum adat, kemudian bagaimana menentukan pembedaaanya, Prof Muladi menjelaskan bahwa hal ini memang sedikit sulit. Maka hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang ada, misalnya ahli adalah Ketua atau tokoh besar adat. Terkait dengan tindak pidana homoseks, konsep yang masih diterima adalah di atas umur 18 tahun diperbolehkan, sedangkan ajaran agama manapun tidak memperbolehkan hubungan ini, dan masih sama dengan konsep pedofilia yang telah ada. Selain itu juga apabila terjadi operasi transgender, Prof Muladi berpendapat bahwa semua agama memang tidak ada yang memperbolehkan. Terkait dengan tindak pidana asusila misalnya melarikan wanita, yang terkadang diperbolehkan dalam suatu daerah serta konsep perzinahan yang telah berubah konsep, maka pasal-pasal mengenai fornication dapat menyebabkan terjadinya penggerebekan di hotel-hotel. Begitu pula dengan kumpul kebo, maka perlu pengertian atau definisi yang pasti. Prof Muladi menjelaskan bahwa pasal ini memang sulit namun masih dapat diberlakukan yakni dengan sosialisasi. Jadi tidak semata-mata polisi kemudian melakukan penggerebekan. Perlu diketahui bahwa Kawin kontrak tidak termasuk dalam ruang lingkup pasal ini. Adanya konsep dari negara lain asas kolonialisme dan pemberian maaf dari korban dapat menunda pidana mati tersebut dan mengenai penundaan pidana mati selama 10 tahun, kemudian siapa atau otoritas yang dapat mengawasi hal ini (telah berkelakuan baik), Prof Muladi berpendapat bahwa hal ini perlu melihat dari pengalaman-pengalaman yang ada yakni asas kepastian hukum pada revolusi Perancis dan asas modernitas yang lebih humanis. Pada dasarnya setuju dengan penggunaan asas restorative justice. Pro dan Kontra terjadi terhadap pemberlakuan pidana mati sehingga disepakati untuk pidana mati dijatuhkan secara selektif dan bersyarat. Perilaku dari si pelaku selama masa hukuman dapat diamati dan dicermati. Mengenai tindak pidana yang terkait dengan keagamaan, seperti Ahmadiyah, apakah itu masuk dalam lingkupnya, Prof Muladi berjelaskan bahwa pasal ini mengatur mengenai kekhususan perilaku penodaan terhadap agama. Jadi sepanjang tidak melakukan penodaan dan penistaan terhadap agama yang berlaku tidak dilarang. Terkait pasal penghinaan terhadap Presiden, dikaitkan dengan Putusan MK yang final dan mengikat. Bagaimana dengan modifikasi terhadap pasal tersebut dengan membatasi dari segi pelapor. Prof Muladi menjelaskan bahwa pasal ini di berbagai negara diberlakukan. Mengenai pemidanaan terhadap gelar-gelar palsu, Prof.Dr. Muladi menjelaskan bahwa sebenarnya pasal ini diambil dari dunia pendidikan dan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mengenai pemidanaan ternak, Prof Muladi menjelaskan bahwa pasal ini diambil dari UU tentang KUHP yang lama. Soal gratifikasi seks, apakah bisa dirumuskan dalam delik, Prof Muladi berjelaskan bahwa di negara seperti Singapura, gratifikasi seks disebutkan dalam putusan. Mungkin tidak perlu diatur secara spesifik, namun lebih diserahkan pada hakim-hakim dalam membuat putusan. Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan mengenai penyadapan, apakah pasal-pasal terkait juga akan otomatis batal. Terkait juga dengan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan, apakah juga berlaku kepada KPK, Prof Muladi menjelaskan bahwa harus ada jalan keluar terhadap keabsolutan putusan Mahkamah Konstitusi. Perlu sebenarnya sebuah pengaturan yang jelas mengenai hukum acara yang menghormati hak-hak orang. 18 III. PENUTUP RDPU Komisi III dengan Prof. Dr. Muladi, SH tidak mengambil kesimpulan / keputusan, namun semua hal yang berkembang dalam rapat menjadi masukan bagi Komisi III DPR RI dalam penyusunan DIM fraksi-fraksi serta pembahasan RUU tentang KUHP dan KUHAP lebih lanjut. Rapat ditutup tepat pukul 21.30 WIB PIMPINAN KOMISI III DPR RI WAKIL KETUA, DR.H.AZIZ SYAMSUDDIN, SH 19