mbipb-12312421421421412-binartidwi-641-10-e26-05-b

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Globalisasi, perkembangan teknologi baru, informasi dan pengetahuan juga
lamanya karyawan bekerja dan pertumbuhannya, semua ini merupakan beberapa
berita yang berdampak pada perkembangan bisnis dan persaingan perusahaan yang
bergerak dengan cepat dan dinamis. Peranan sumber daya manusia dalam mencapai
visi dan missi perusahaan menjadi sangat penting dan hal ini yang mempengaruhi
perlunya pelaksanaan pelatihan, tetapi juga fakta yang sering terjadi di beberapa
perusahaan jika harus mengurangi anggaran biaya, maka yang menjadi sasaran
untuk dihilangkan adalah anggaran biaya pelatihan. Banyak alasan diungkapkan
seperti pelatihan tidak efektif, pelatihan tidak berdampak kepada kinerja perusahaan
sehingga beranggapan bahwa biaya yang digunakan untuk pelatihan hanya sebagai
expense (pengeluaran) bukan investasi.
Dalam rangka meyakinkan pihak manajemen untuk mau melaksanakan
suatu program pelatihan sebagai suatu investasi, maka tidaklah cukup hanya dengan
memaparkan segi-segi persiapan, teknis pelaksanaan dan hasil perubahan perilaku
yang diharapkan terjadi setelah peserta mengikuti pelatihan tersebut. Di masa kini
tugas para manajer atau koordinator pelatihan menjadi lebih berat, karena untuk
meyakinkan para kolega mereka (manajer dari divisi lain) atau pihak manajemen
puncak (Board Of Director), seorang manajer atau koordinator pelatihan harus
dapat menghitung atau memprediksikan berapa besar nilai Return on Training
1
Investment (ROTI = Pengembalian Manfaat Investasi Pelatihan) dari sebuah
pelatihan yang akan diselenggarakan. Tentu saja untuk melakukan hal ini, seorang
manajer dituntut untuk memiliki kemampuan mengintegrasikan sistem manajemen
strategik, manajemen keuangan dan manajemen sumber daya manusia dengan
sistem pengelolaan kinerja personel sehingga dapat menterjemahkan investasi dari
program pelatihan tersebut selain ke dalam angka-angka juga keterkaitannya dalam
kemajuan bisnis perusahaan sehingga dapat dilihat dengan jelas hasil dan
perhitungannya.
Dalam menghadapi tuntutan tersebut diatas tidak jarang beberapa manajer
atau koordinator pelatihan gagal meyakinkan para koleganya sendiri ataupun pihak
manajemen, apalagi jika program pelatihan harus bersaing dengan program lain
yang diajukan oleh divisi lain yang dengan gampang menghitung nilai investasi
maupun manfaatnya. Biasanya jika terjadi hal seperti ini maka hampir dapat
dipastikan bahwa program pelatihan akan menjadi prioritas kedua. Kondisi seperti
ini seringkali membuat para manajer menjadi berkecil hati dan akhirnya
menjadi "malas" untuk mengajukan program pelatihan meskipun program tersebut
sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan.
Sebagian orang beranggapan bahwa pelatihan tidak bisa diukur dengan uang
karena hasilnya adalah berupa perubahan perilaku dari peserta pelatihan yang
seringkali untuk mengetahuinya dibutuhkan waktu yang lama dan belum tentu
perubahan tersebut semata-mata terjadi karena pelatihan. Selain itu mereka
beranggapan bahwa masih banyak cara lain untuk mengevaluasi hasil pelatihan
2
yang tidak selalu dapat dihitung dengan angka (uang). Anggapan tersebut mungkin
ada benarnya, namun jika ditelaah lebih lanjut maka bisa dikatakan bahwa pendapat
tersebut tidaklah tepat, mengingat bahwa pelatihan tidak boleh dianggap sebagai
suatu "expense" (pengeluaran), melainkan lebih sebagai investasi sumber daya
manusia di perusahaan. Sebagai suatu investasi, pihak manajemen tentu ingin
mengevaluasi seberapa besar manfaat yang dapat disumbangkan oleh programprogram pelatihan dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan
manfaat
tersebut. Oleh
karena
suatu
pelatihan
seyogyanya
dapat
diukur
keberhasilannya melalui pengukuran ROTI.
Konsep Balanced Scorecard diciptakan oleh Robert S. Kaplan seorang
profesor dari Harvard Business School dan David P. Norton dari kantor akuntan
publik USA, sejak diuji cobakan pada tahun 1990 konsep Balanced Scorecard terus
berkembang sejalan dengan perkembangan penerapan konsep tersebut. Balanced
Scorecard telah mengalami evolusi perkembangannya (1) Balanced Scorecard
sebagai perbaikan atas sistem pengukuran kinerja eksekutif, (2) Balanced Scorecard
sebagai kerangka perencanaan strategik dan (3) Balanced Scorecard sebagai basis
sistem terpadu pengelolaan kinerja personel.
Program pengembangan karyawan (people development) adalah merupakan
faktor kunci kesuksesan (key success factor) dalam menjalankan bisnis, salah satu
yang dilakukan diantaranya adalah pelaksanaan program pelatihan.
Untuk
membuktikan bahwa program pelatihan dalam rangka pengembangan sumber daya
3
manusia di perusahaan tersebut adalah merupakan suatu investasi dalam
menjalankan usahanya mencapai visi dan missi, maka pada kesempatan ini peneliti
mencoba memanfaatkan konsep Balanced Scorecard dalam memberikan kerangka
yang jelas untuk mengukur ROTI atau pengembalian manfaat investasi pelatihan
melalui berbagai perwujudan keuangan maupun non-keuangan.
Satu dari jenis pelatihan yang sering diselenggarakan oleh perusahaan
beberapa tahun terakhir ini adalah pengembangan manajemen (management
development) dan kepemimpinan eksekutif (executive leadership). Hal ini hampir
dilakukan pada berbagai sektor industri dari mulai keuangan, bank sampai
manufaktur, komunikasi, utilisasi, dan lainnya. Pelatihan manajemen adalah bagian
sangat penting untuk meningkatkan kinerja organisasi.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk menjawab pertanyaan manajemen
bahwa pelatihan adalah suatu investasi bukan suatu pengeluaran (expense) maka
dilakukan pengukuran ROTI pada studi kasus pelatihan manajerial. Kegiatan
pelatihan manajerial ini digunakan sebagai contoh dalam melakukan analisis
verifikasi dan validasi terhadap rancangan pengukuran ROTI. Pada penelitian ini
mengaplikasikan, adopsi dan adaptasi konsep Balanced Scorecard pada proses
rancangan pengukuran ROTI. Permasalahan pokok penelitian ini akan diuraikan lebih
lanjut dalam bentuk pertanyaan sebagaiberikut:
4
1. Bagaimana memberikan masukan kepada manajemen untuk perbaikan
rancangan dan metode evaluasi efektivitas pelatihan pengukuran ROTI
sehingga intangibles asset dapat terukur sebagai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap bisnis?
2. Bagaimana melakukan pengukuran ROTI (Return on Training Investment)?
1.3.
Tujuan Penelitian
Pada tahap awal penelitian dilakukan analisis sebab akibat (cause effect
analysis), hal ini untuk mengetahui peta strategis bahwa sebuah pelatihan sebagai
suatu investasi, analisis ini akan mudah dilakukan dengan menggunakan tool dan
konsep Balanced Scorecard. Setelah mengetahui peta strategis dan analisis sebab
akibat dari kegiatan pelatihan, kemudian dibuat sebuah rancangan pengukuran ROTI
dengan
menggunakan
pendekatan
konsep
Balanced
Scorecard,
rancangan
pengukuran ROTI ini kemudian diuji coba pada studi kasus yang hanya fokus pada
salah satu pelatihan manajerial yaitu “ Total Quality Management for Managers” di
PT. XYZ.
Analisis kehandalan dari hasil rancangan pengukuran ROTI dilakukan
validasi dan verifikasi data yang diperoleh dan dilihat berdasarkan empat perspektif
Balanced Scorecard yaitu: perspektif pelanggan, perspektif pertumbuhan dan
pembelajaran, perspektif proses bisnis internal dan perspektif keuangan.
Pada penelitian ini uji coba rancangan pengukuran ROTI hanya dilakukan
satu kali sehingga untuk dapat sebagai best practice nantinya maka perlu di rumuskan
peran kunci keberhasilan dari pengukuran ROTI.
5
Tujuan yang akan dicapai dari fokus utama penelitian adalah :
1.
Merumuskan cause effect (sebab akibat) yang ditimbulkan dari kegiatan
pelatihan yang dilakukan terkait cost - benefit (biaya dan manfaat) terhadap
bisnis.
2.
Merancang sebuah pengukuran ROTI (Return on Training Investment) fokus
pada jenis pelatihan manajerial
3.
Merumuskan peran kunci keberhasilan pelatihan
6
Untuk Selengkapnya Tersedia Di Perpustakaan MB-IPB
7
Download