Analisis Tradisi Perayaan Dongzhi Masyarakat

advertisement
1
Analisis Tradisi Perayaan Dongzhi Masyarakat
Cina benteng di Tangerang
Steven Rusny, Reki Gunawan, Sugiato Lim
Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-5327630
[email protected], [email protected], slim@binus,edu
ABSTRACT
This study explains the origin andmeaning contained in the Dongzhi celebration, explaining
how Tangerang Cina Benteng people's customs celebrate Dongzhi and review the
acculturation process of Chinese culture and local culture in the Dongzhi festival at
Tangerang Cina Benteng people's. This study is a qualitative research which combines
literature study with data analysis results in the area. The author conclusion is Tangerang
Cina Benteng people's very highly honour the customs and traditions of his ancestors in
celebrate Dongzhi festival and seen a acculturation process which became an important role
in the preservation of Dongzhi festival at Tangerang Cina Benteng people's.
Keywords: Cina Benteng ,Winter Solstice, Customs, Cultural Integration
ABSTRAK
Penelitian ini menjelaskan tentang asal mula dan makna yang terkandung di dalam
perayaaan Dongzhi,menjelaskan kebiasaan masyarakat Cina Benteng di Tangerang dalam
merayakan perayaan Dongzhi dan meninjau proses akulturasi budaya Tionghoa dan budaya
lokal dalam perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng di Tangerang. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif yang memadukan hasil studi pustaka dengan hasil data di
lapangan. Kesimpulan yang kami dapatkan adalah masyarakat Cina Benteng di Tangerang
sangat memegang teguh adat dan tradisi leluhurnya dalam merayakan perayaan Dongzhi
dan terlihat adanya sebuah proses akulturasi yang memainkan peranan penting dalam
pelestarian perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng di Tangerang.
Kata Kunci: Cina Benteng, Dongzhi, Tradisi, Akulturasi Budaya
2
Pendahuluan
Kebudayaan China kuno adalah satu dari kebudayaan paling tua dan kompleks di dunia.
Banyak bentuk kebudayaan China kuno yang masih dapat kita temukan hingga saat ini, salah satunya
adalah perayaan Dongzhi. Perayaan Dongzhi telah menyebar ke semua penjuru dunia, hal ini
disebabkan ketika orang Tionghoa merantau mereka membawa serta kebudayaan mereka ke tempat
mereka merantau termasuk juga ke Indonesia. Pada perayaan Dongzhi di Indonesia penulis melihat
bahwa di daerah Tangerang terdapat masyarakat keturunan Tionghoa yang dipanggil “Cina Benteng”
yang sangat memegang teguh adat dan tradisi leluhurnya serta merayakan perayaan Dongzhi sesuai
dengan kebiasaan yang diturunkan dari leluhur mereka. Melihat fenomena ini, maka tujuan penelitian
penulis adalah untuk menganalisis perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng di Tangerang. Kami
berharap melalui penelitian ini dapat mempelajari lebih banyak tradisi-tradisi masyarakat Cina
Benteng di Tangerang dalam merayakan perayaan Dongzhi.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif dimana penulis mengumpulkan data dari
berbagai referensi yang terkait dan diperkaya dengan data dari hasil wawancara di lapangan. Penulis
juga telah mewawancarai masyarakat Cina Benteng di Tangerang dan juga pemerhati budaya Cina
Benteng di Tangerang. Diharapkan setelah data-data telah terkumpul, baik dari buku maupun jurnal,
yang diperkaya dengan hasil wawancara di lapangan, dapat membuat skripsi ini selesai dengan tepat
waktu dan benar. Instrumen yang penulis pergunakan dalam wawancara adalah perekam, notes dan
kamera.
Prosedur Penelitian
Menentukan
topik
Mengidentifikasi
pertanyaan
penelitian
Observasi
Menentukan
metodologi
penelitian
Wawancara
Pengumpulan
data
Mengumpulkan
tinjauan pustaka
Mengumpulkan
landasan teori
Analisis data
 Bab 1
 Bab 2
 Bab 3
 Bab 4
 Bab 5
Kesimpulan
3
HASIL DAN BAHASAN
Berikut adalah hasil dan bahasan mengenai tradisi perayaan Dongzhi masyarakat Cina
Benteng di Tangerang.
1 Asal mula dan makna perayaan Dongzhi
1.1 Asal mula perayaan Dongzhi
Dongzhi adalah hari dimana matahari tepat di atas garis balik Lintang Selatan, pada hari itu
siang hari menjadi lebih pendek dan malam hari menjadi lebih panjang. Setelah Dongzhi berlalu, siang
hari dan malam hari sedikit demi sedikit akan kembali normal seperti biasa. (张君,2012:63)
Dongzhi adalah salah satu perayaan yang paling awal ditetapkan dari 24 posisi matahari yang ada, dan
dirayakan setiap tahun setiap tanggal 22 atau 23 Desember dalam kalendar lunar (bulan).(闫磊,
2009:45)
Dalam masyarakat tradisional China, Dongzhi adalah salah satu waktu yang penting, Orangorang tidak hanya menganggap Dongzhi sebagai perubahan koordinat semata, melainkan juga
Dongzhi pada zaman kuno telah lama dianggap sebagai festival Tahun Baru, yang dikenal sebagai
"Tahun baru kedua" atau "Tahun kecil."(萧放,2010:86)
Di China Dongzhi juga dikenal dengan “Nanzhi”, “Changzhi”, dan “Zhijie”, karena Dongzhi
tidak hanya merupakan hari untuk memperingati kutub negatif tiba pada titik maksimalnya, melainkan
juga memperingati awal munculnya kutub positif. Selain itu juga dikenal dengan perayaan “matahari
pada titik lintang selatan.” (张茜,2011:77) Sedangkan di Indonesia, Dongzhi dikenal dengan “Tang
Cek” (Minnan) atau “Ko Tung” (Hakka).
Di masa Dinasti Zhou, ada catatan yang menyebutkan tentang persembahyangan kepada Tian
(Tuhan) pada hari Dongzhi, karena bulan pertama pada kalender Zhou adalah bulan ke-11 dalam
kalender Xia, maka pada masa Dinasti Zhou tidak ada perbedaan dalam merayakan Dongzhi dan tahun
baru, sampai kemudian pada masa Kaisar Wu Di dari Dinasti Han kembali menggunakan Kalender
Xia, maka perayaan tahun baru dan Dongzhi pun dipisahkan. Jadi bisa dikatakan perayaan Dongzhi
sebagai sebuah hari raya yang mandiri mulai ada sejak masa Dinasti Han.
Dinasti Zhou meninggalkan catatan mengenai Dongzhi dalam kitab Liji dan Shijing. Di kitab
Liji disebutkan pada bab Wangzhi bagian ketiga pasal ke 5 “Upacara sembahyang yang dilakukan di
kuil leluhur oleh Tianzi (Raja) dan para Rajamuda pada musim semi dinamai Yue, yang dilaksanakan
pada musim panas dinamai Di, yang dilaksanakan pada musim rontok dinamai Chang, dan yang
dilaksanakan pada musim dingin dinamai Zheng.”(Liji, 2011:132)
Di kitab Liji disebutkan pada bab Jitong pasal ke 24 “Upacara sembahyang diselenggarakan
pada empat musim. Upacara sembahyang pada musim semi dinamai Yue, upacara sembahyang pada
musim panas disebut Di, upacara sembahyang pada musim rontok dinamai Chang,dan upacara
sembahyang pada musim dingin disebut Zheng. Upacara sembahyang Yue dan Di mengungkapkan
kebenaran sifat Yang (positif, terang atau mengembang), upacara sembahyang Chang dan Zheng
mengungkapkan kebenaran sifat Yin (negatif, gelap, suram atau mengkerut).”(Li Ji, 2011:541)
Sedangkan, di kitab Shijing pada sanjak Tianbao berbunyi “Dipersembahkan segenap sajian,
dengan wajah menunjukkan bakti. Musim panas, semi, dingin dan gugur, Kehadapan Tuhan dan
leluhur yang telah mendahulu.” (Shijing, 2011:231)
Sejarah perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng di Tangerang telah ada sejak lama. Asal
mula perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng diperkirakan telah ada sejak tahun 1407 ketika
imigran Tionghoa yang dipimpin oleh Tjen Tjie Lung mendarat di Teluk Naga, Tangerang. Hal ini
tertulis dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang.
Masyarakat Cina Benteng kemudian hidup menyebar ke seluruh daerah Tangerang yang
menyebabkan perayaan Dongzhi juga ikut tersebar secara merata ke seluruh Tangerang. Pada tahun
1684 masyarakat Cina Benteng Tangerang membangun Boen Tek Bio sebagai pusat kegiatan spiritual
masyarakat Cina Benteng Tangerang. Boen Tek Bio berperan penting dalam perkembangan perayaan
Dongzhi, karena bagi masyarakat yang tidak mengerti tentang perayaan Dongzhi dapat bertanya
secara langsung di Boen Tek Bio.
Masyarakat Cina Benteng Tangerang sebagian besar adalah keturunan orang Minnan dari
provinsi Fujian jadi banyak kebiasaan masyarakat Cina Benteng dalam perayaan Dongzhi yang sama
dengan kebiasaan orang Minnan .
Perayaan Dongzhi di masyarakat Cina Benteng Tangerang mengalami beberapa perubahan,
perubahan tersebut merupakan salah satu cara untuk melestarikan perayaan Dongzhi dari perubahan
jaman dan juga sebagai salah satu bentuk akulturasi yang memperkaya kebudayaan Cina Benteng
Tangerang itu sendiri. Masyarakat cina benteng percaya jika perubahan tersebut membuat perayaan
4
Dongzhi Tangerang mempunyai sebuah ciri khas yang tidak ditemui di komunitas Tionghoa lain di
Indonesia.
Jika pada masa lalu masyarakat Cina Benteng di tangerang merayakan Dongzhi dengan
melakukan sembahyang di rumah dan kelenteng, maka pada tahun 1967 ketika Presiden Soeharto
mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat
Tionghoa, membuat perayaan Dongzhi tidak lagi dirayakan di kelenteng melainkan hanya dalam
kalangan keluarga saja. Sebagian kecil masyarakat Cina Benteng Tangerang yang melakukan pindah
agama pada masa itu juga memberikan dampak pada perkembangan perayaan Dongzhi di kalangan
masyarakat Cina Benteng Tangerang.
Namun pada tahun 2000, setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 6 tahun 2000 yang membuat masyarakat Cina Benteng Tangerang
kembali dapat merayakan Dongzhi secara leluasa .
1.2 Makna perayaan Dongzhi
Di Indonesia Dongzhi juga dikenal dengan nama sembahyang Dongzhi. Hari sembahyang
Dongzhi memiliki makna khusus bagi umat Khonghucu di Indonesia. Agama Khonghucu percaya
pada hari Dongzhi, Nabi Khonghucu memulai perjalanan untuk menyebarkan ajarannya keseluruh
penjuru China dan juga untuk memperingati hari wafatnya Mengzi. Selain itu Dongzhi juga dikenal
sebagai “hari Genta Rohani.”(王爱平:172)
Selain itu makna Dongzhi juga terdapat dalam kitab Li Ji, Pada bab Za Ji sub bab B bagian
kedua pasal ke 24, Meng Xianzi berkata: “Pada bulan Zhengyue (Cia Gwee) saat matahari di garis
balik selatan, itu saat melakukan sembahyang kepada Shang Di (Tuhan Yang Maha Kuasa). Pada
bulan ketujuh, saat matahari di garis balik utara, itu saat melakukan sembahyang kepada leluhur.”(Liji,
2011:468)
Sedangkan didalam kitab Zhouli pada bab Chunguan Zongbo dikatakan “Sampai pada hari
Dongzhi, diundanglah malaikat langit dan roh leluhur dan diadakan sembayang untuk mereka. Sampai
hari Xiazhi, diundanglah malaikat bumi dan roh yang ada di alam semesta dan diadakan sembahyang
untuk mereka. Untuk Membebaskan negara-negara dan penduduknya dari bencana, kelaparan dan
penyakit.”(周礼: 56)
Jadi, makna dari Dong Zhi sebenarnya adalah untuk berterima kasih dan bersyukur karena
Tian (Tuhan) telah banyak memberikan karunia-Nya kepada manusia dan manusia pun berharap dapat
dijauhkan dari berbagai bencana. Bagi umat Khonghucu, hari Dongzhi merupakan hari yang penting,
karena perayaan Dongzhi bukan hanya sebuah perayaan tradisional, melainkan sebuah hari yang
mempunyai hubungan erat dengan sejarah agama Khonghucu.
Bagi masyarakat Cina Benteng Tangerang, perayaan Dongzhi dimaknai sebagai hari untuk
berterima kasih dan bersyukur atas semua karunia Tian (Tuhan). Selain itu, masyarakat Cina Benteng
Tangerang juga meminta agar dijauhkan dari bencana dan bahaya lainnya.
Bagi masyarakat Cina Benteng Tangerang, Dongzhi dahulu bermakna sebagai perayaan yang
menandai datangnya musim dingin, namun Karena di Indonesia tidak ada musim dingin maka
generasi muda masyarakat Cina Benteng Tangerang menganggap perayaan Dongzhi hanya sekadar
perayaan biasa saja.
Dengan tetap menjaga makna spiritual dari perayaan Dongzhi, masyarakat Cina Benteng
Tangerang yakin bahwa melalui perayaan Dongzhi generasi muda Cina Benteng akan senantiasa ingat
akan kemuliaan yang telah Tuhan karuniakan dan juga dapat memperdalam kehidupan spiritual
mereka.
2
Tradisi masyarakat Cina Benteng di Tangerang dalam merayakan Dongzhi
Terhadap perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng di Tangerang penulis menemukan
beberapa aspek penting yang menarik dalam perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng Tangerang.
Antara lain : ritual sembahyang, makanan khas Dongzhi dan pantangan dan kebiasaan hari raya
Dongzhi.
2.1 Ritual sembahyang Dongzhi di kalangan masyarakat Cina Benteng di Tangerang
Ritus merupakan wujud konkret dari kehidupan beragama. Agar dunia menjadi tempat yang
at home (seperti di rumah), ritus perlu diadakan. Melalui ritus manusia mengaktualisasikan kehadiran
Yang Ilahi. (Maran, 2000:79) Prosesi sembahyang Dongzhi di dalam agama Khonghucu mempunyai
makna syukur dan yakin kepada Tian (Tuhan Yang Maha Esa). (Winarso, 2008)
Ritual sembahyang Dongzhi yang dilakukan masyarakat Cina Benteng Tangerang adalah
sembayang di altar Tian (Tuhan), altar Shenming (orang suci) dan altar leluhur dengan memberikan
5
sajian berupa onde atau tangyuan. Sebelum melakukan ritual persembahyangan masyarakat Cina
Benteng Tangerang harus berpuasa dan membersihkan diri terlebih dahulu, dan waktu sembahyang
Dongzhi adalah pada saat dini hari sekitar pukul 03.00-05.00. Ritual persembahyangan lazimnya
dipimpin oleh kepala keluarga. Pada saat sembahyang disajikan 6 butir onde kecil yang berwarna
merah dan 6 butir onde kecil yang berwarna putih, di dalam sajian juga diletakkan 1 butir onde
berwarna merah yang berukuran besar. onde kecil berjumlah 12 melambangkan jumlah bulan dalam
satu tahun sedangkan onde besar melambangkan besarnya kebahagiaan dan keberuntungan yang telah
diberikan oleh Tian (Tuhan) kepada manusia dalam satu tahun. Setelah persembahyangan Dongzhi
selesai masyarakat Cina Benteng Tangerang biasanya akan menempelkan onde pada sekitar kusen
pintu rumah, menempelkan onde di sekitar pintu rumah adalah sebagai simbol bahwa masyarakat Cina
Benteng Tangerang telah selesai melakukan upacara persembahyangan Dongzhi.
Masyarakat Minnan di Taiwan juga mempunyai kebiasaan sembayang kepada leluhur pada
saat perayaan Dongzhi. Setelah persembahyangan Dongzhi selesai orang-orang biasanya akan
menempelkan satu dua onde atau Tangyuan di pintu, jendela, kursi, meja, tempat tidur, lemari, dll.
Masyarakat Cina Benteng dan masyarakat Minnan Taiwan mempunyai beberapa kebiasaan
yang sama dalam perayaan Dongzhi, hal ini membuktikan bahwa imigran Tionghoa yang pertama kali
datang ke Tangerang sebagian besar memiliki hubungan erat dengan orang Minnan. Oleh karena itu,
kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Minnan di Taiwan memiliki banyak kesamaan dengan
masyarakat Cina Benteng Tangerang.
Sementara itu, bagi masyarakat Cina Benteng Tangerang yang telah memeluk agama Katolik,
Kristen dan Islam pada saat perayaan Dongzhi hanya membuat onde saja, mereka tidak lagi
melakukan upacara persembahyangan seperti yang dilakukan masyarakat Cina Benteng Tangerang
yang lain.
2.2 Makanan khas Dongzhi di kalangan masyarakat Cina Benteng di Tangerang
Makan onde juga merupakan kebiasaan tradisional pada saat Dongzhi, Onde adalah makanan
yang disiapkan pada Saat Dongzhi dan terbuat dari tepung ketan. Di beberapa tempat di China bagian
selatan mempunyai kebiasaan makan onde pada hari Dongzhi, makan onde melambangkan
bertambahnya satu tahun usia kita.
Kuliner khas yang biasa disajikan dalam perayaan Dong Zhi di kalangan masyarakat Cina
Benteng adalah Tangyuan atau onde. Onde yang dibuat masyarakat Cina Benteng umumnya terbuat
dari tepung ketan dan dimakan dengan kuah yang dibuat dari gula putih. Onde yang umumnya dibuat
oleh masyarakat Cina Benteng terdiri dari 2 jenis, yakni onde yang berukuran kecil yang berwarna
merah dan putih, dan onde yang berukuran besar yang berwarna merah. Warna merah dan putih pada
onde yang berukuran kecil melambangkan unsur Yin dan Yang, sedangkan warna merah pada onde
yang berukuran besar melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan.Namun seiring perkembangan
jaman, onde yang dibuat pun memiliki beragam warna.
Cara masyarakat Cina Benteng makan onde sangat unik yakni makan onde berukuran kecil
sesuai dengan usia yang memakan. Namun, jika tidak mampu lagi makan onde berukuran kecil dalam
jumlah banyak dikarenakan usia lanjut, maka disarankan makan onde berukuran besar. Karena satu
butir onde berukuran besar menurut masyarakat Cina Benteng sendiri melambangkan usia 10 tahun,
jadi jika umur seseorang 70 tahun maka orang tersebut cukup makan 7 butir onde yang berukuran
besar.
2.3 Pantangan dan Kepercayaan Hari Raya Dongzhi Masyarakat Cina Benteng di Tangerang
Bagi masyarakat Cina Benteng Tangerang, jika ada keluarga yang dalam keadaan berduka
cita tidak diperkenankan membuat onde. Karena jika mereka melakukannya, orang yang dikabunginya
dan yang kini berada di dunia lain akan lengket matanya. Akan tetapi, keluarga yang dalam keadaan
berduka cita boleh menerima onde yang diberikan oleh keluarga lain atau tetangga dan keluarga
tersebut kemudian akan memberikan sekoteng sebagai bentuk terima kasih karena telah diberikan
onde.
Ada juga kepercayaan dalam masyarakat Cina Benteng Tangerang jika ada wanita yang
sedang hamil maka wanita tersebut akan membakar sebutir onde, jika onde yang dibakar itu merekah
maka anak yang sedang dikandungnya adalah perempuan dan jika onde yang dibakar tidak merekah
maka anak yang sedang dikandungnya adalah laki-laki. Masyarakat Minnan di Taiwan juga
mempunyai tradisi yang sama seperti ini.
3 Akulturasi Budaya dalam Perayaan Dongzhi Masyarakat Cina Benteng di Tangerang
3.1 Pengadopsian Budaya Lokal dalam Merayakan Dongzhi di Masyarakat Cina Benteng di
Tangerang
6
Masyarakat Cina Benteng di Tangerang mengadopsi beberapa budaya lokal yang disesuaikan
dengan budaya Tionghoa dalam perayaan Dongzhi. Sebagai Contoh, jika ada keluarga yang dalam
keadaan berduka cita tidak diperkenankan membuat onde. Maka keluarga tersebut boleh menerima
onde yang diberikan oleh keluarga lain atau tetangga dan keluarga tersebut kemudian akan
memberikan sekoteng sebagai bentuk terima kasih karena telah diberikan onde. Sekoteng yang dibuat
oleh masyarakat Cina Benteng di Tangerang berbeda dari sekoteng yang biasa penulis temukan di
Jakarta, karena sekoteng yang dibuat oleh masyarakat Cina Benteng Tangerang terdiri dari pacar cina
dan dimakan dengan kuah yang terbuat dari gula putih. Leluhur masyarakat Cina Benteng Tangerang
pada masa lalu melihat kehidupan masyarakat lokal yang memberikan sesuatu kepada orang yang
telah memberikan sesuatu kepada mereka sebagai balas jasa, kemudian mengadopsi budaya lokal
tersebut ketika orang-orang Tionghoa diberikan sesuatu oleh orang lain. Hal ini kemudian mereka
wariskan kepada keturunanya secara terus-menerus, ini menunjukan bahwa masyarakat Cina Benteng
Tangerang telah menyerap unsur kebudayaan masyarakat lokal yang dipakai untuk memperkaya
kebudayaan masyarakat Cina Benteng Tangerang sendiri.
Akulturasi budaya masyarakat Cina Benteng Tangerang tidak hanya terlihat pada perayaan
Dongzhi saja, melainkan juga tampak pada bahasa, kesenian, pakaian dan aspek-aspek lainnya. Ini
menjelaskan bahwa sebenarnya budaya masyarakat Cina Benteng Tangerang merupakan hasil dari
akulturasi budaya yang tidak meninggalkan dasar-dasar dari kebiasaan yang diturunkan oleh
leluhurnya.
Dari bahasa yang digunakan orang Cina Benteng Tangerang terdapat banyak bahasa serapan
dari bahasa Betawi. Dari kesenian bisa dilihat music gambang kromong yang merupakan perpaduan
antara alat musik setempat, China, dan Eropa. Dari pakaian bisa dilihat dari pakaian pengantin
perempuan masyarakat Cina Benteng Tangerang yang mendapat sentuhan dari budaya lokal.
3.2 Pelestarian perayaan Dongzhi di masyarakat Cina Benteng di Tangerang
Beberapa karakteristik budaya yang bisa diteliti diantaranya dalah budaya itu dipelajari,
budaya itu dibagikan, budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi, budaya itu didasarkan pada
simbol, budaya itu dinamis dan budaya itu sistem yang terintegrasi. (Samovar, Porter, and McDaniel :
2010,31-49)Pada karakteristik budaya di atas inilah penulis menganggap pelestarian perayaan
Dongzhi masyarakat Cina Benteng Tangerang bisa ditampilkan.
Budaya itu dipelajari. Sadar atau tidak masyarakat Cina Benteng Tangerang sebenarnya telah
mempelajari kebudayaan mereka sejak mereka kecil, ini dibuktikan karena mereka masih menjalani
perayaan Dongzhi sesuai dengan apa dilakukan orang tua mereka pada saat mereka masih kecil.
Budaya itu dibagikan. Bisa penulis katakan bahwa budaya perayaan Dongzhi pada
masyarakat Cina Benteng Tangerang bisa bertahan hingga saat ini karena budaya itu telah dibagikan
oleh leluhur masyarakat Cina Benteng Tangerang kepada keturunannya. Dimana kebudayaan itu
menjadi ciri khas masyarakat Cina Benteng Tangerang yang berbeda dari kelompok masyarakat
Tionghoa yang lain.
Budaya itu diturunkan dari generasi ke generasi. Masyarakat Cina Benteng Tangerang masih
bisa merayakan Dong Zhi karena perayaan ini merupakan warisan turun-temurun dari leluhur
masyarakat Cina Benteng Tangerang .
Budaya itu didasarkan pada simbol. Perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng di
Tangerang sering disimbolkan dengan upacara sembahyang Dongzhi dan onde yang dibuat oleh
masyarakat Cina Benteng Tangerang.
Budaya itu dinamis. Perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng di Tangerang selalu
mengikuti perkembangan jaman. Hal ini bertujuan agar perayaan Dongzhi dapat bertahan sesuai
perubahan jaman. Ini dibuktikan dengan dibuatnya onde yang beraneka warna dan dimakan dengan
kuah yang beragam.
Budaya itu sistem yang terintegrasi. Pada perayaan Dongzhi masyarakat Cina Benteng
Tangerang ada bagian-bagian budaya yang saling berhubungan dan masih dipertahankan sampai saat
ini, seperti upacara sembahyang yang berkaitan erat dengan onde yang dibuat sebagai sajian di altar
sembahyang.
3.3 Peranan akulturasi budaya dalam pelestarian perayaan Dongzhi di kalangan masyarakat
Cina Benteng di Tangerang
Akulturasi budaya memberikan peranan penting dalam perayaan Dongzhi masyarakat Cina
Benteng Tangerang karena mempererat hubungan persaudaran di antara masyarakat Cina Benteng
Tangerang. Hal ini terlihat ketika masyarakat Cina Benteng Tangerang ada yang tidak bisa membuat
onde karena mereka sedang berduka cita maka keluarga yang lain atau tetangga akan memberikan
7
keluarga tersebut onde dan kemudian keluarga yang sedang berduka cita tersebut akan memberikan
sekoteng sebagai bentuk ucapan terima kasih karena telah diberikan onde.
Ini juga membuktikan bahwa dengan menyerap unsur budaya lokal dapat memperkaya
unsur-unsur budaya masyarakat Cina Benteng Tangerang sehingga budaya mereka dapat bertahan dari
perubahan jaman.
Simpulan dan Saran
Perayaan Dongzhi pada awalnya merupakan persembahyangan besar yang menandai musim
dingin pada masa Dinasti Zhou dan juga dirayakan sebagai hari tahun baru pada masa itu.
Sembahyang Dongzhi pada masa Dinasti Zhou dikenal dengan nama sembahyang Zheng. Akan tetapi
sejak masa Dinasti Han sampai sekarang perayaan Dongzhi tidak lagi dirayakan sebagai hari tahun
baru karena Kaisar Wu dari Dinasti Han telah mengunakan kalender Dinasti Xia yang dikenal juga
dengan kalender Xia. Makna perayaan Dongzhi sendiri adalah sebagai wujud syukur atas kemuliaan,
kebesaran dan kasih Tuhan kepada manusia, wujud syukur itu diwujudkan manusia dengan cara
bersembahyang di depan altar Tian (Tuhan), Shenming (orang suci) dan para leluhur.
Masyarakat Cina Benteng Tangerang mempunyai tradisi yang unik dibandingkan dengan
masyarakat Tionghoa lain di Indonesia. Masyarakat Cina Benteng Tangerang telah mengadopsi
kebudayaan lokal dan membentuk kebudayaan yang mempunyai ciri khas tersendiri. Akulturasi
dengan budaya lokal juga membuat kebudayaan masyarakat Cina Benteng semakin menarik untuk
dikaji.
Selain itu masyarakat Cina Benteng Tangerang sendiri masih memegang teguh warisan
leluhurnya seperti upacara sembahyang dan tatacaranya. Menurut mereka upacara sembahyang adalah
salah satu cara untuk berterima kasih atas limpahan karunia Tian (Tuhan) serta sebagai cara untuk
mendekatkan diri ke Tian (Tuhan). Masyarakat Cina Benteng Tangerang juga berharap agar
kebudayaan masyarakat Cina Benteng Tangerang tidak hilang karena perkembangan jaman dan
berharap agar generasi muda dapat terus mewarisi kebudayaan masyarakat Cina Benteng Tangerang.
Penulis berharap penelitian ini dapat menambah pengetahuan pembaca dan diharapkan
banyak manfaat yang bisa didapat dari penelitian ini. Penulis juga sangat mengharapkan generasi
muda dapat terus melestarikan kebudayaan mereka, karena di dalam kebudayaan mereka terdapat
identitas mereka yang sebenarnya. Penulis sadar di dalam penelitian ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
agar penelitian ini dapat lebih baik di waktu yang akan datang.
Referensi
K,J., & Hay,K.T. (2010). Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Lan,N.J. (2013). Peradaban Tionghoa Selayang Pandang. Jakarta: Gramedia.
Maran,R.R. (2000). Manusia & Kebudayaan Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
MATAKIN. (2011). Li Ji. Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan.
MATAKIN. (2010). Shi Jing. Jakarta: Penerbit Pelita Kebajikan.
Mintargo,B.S. (2000). Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Universitas Trisakti.
Samovar,L.A.,Porter,L.E.,McDaniel,E.R. (2010). Komunikasi Lintas Budaya, Communication
Between Cultures (Eds, 7). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Wibisono,Lily. (Ed.). (2006). Etnik Tionghoa di Indonesia. Jakarta: PT. Intisari Mediatama.
Winarso,H.A. (2008). Keimanan Dalam Agama Konghucu, Suatu Tinjauan Teologi dan
Peribadahannya. Semarang: Daharaprize.
姜洪.实用民俗礼仪[M].无锡: 湖南科学技术出版社, 2011
刘波王.礼记[M].南京市:东南大学出版社, 2010
刘波王.诗经[M].南京市:东南大学出版社, 2010
刘波王. 周礼[M]. 南京市:东南大学出版社, 2010
任耕耘.传统节日[M]. 合肥市:黄山书社, 2008
王爱平. 印度尼西亚孔教的祭天仪式[J]. 世界宗教研, 2011, (4) : 172
萧放. 冬至大如年[J]. 民俗志, 2010, (1) : 86
闫磊. 中国传统节日[J]. 黑河学刊, 2009, (9) : 45
张君. 冬至节的文化学解析[J]. 江汉论坛, 2012, (1) : 63
张茜. 冬至节俗及其饮食文化的变迁[J]. 成都航空职业技术学院学报, 2011, (4)
8
Riwayat Penulis
Reki Gunawan, lahir di kota Pangkalpinang Bangka, 13 Maret 1991. Penulis menamatkan pendidikan
SMA di SMA 1 Koba pada tahun 2008. Penulis juga pernah aktif di Himanda (Himpunan Mahasiswa
Sastra China) sebagai anggota dan KBMK (Keluarga Besar Mahasiswa Khonghucu) sebagai pendiri
sekaligus anggota.
Steven Rusny, lahir di kota Banda Aceh, 14 oktober 1988. Penulis menamatkan pendidikan SMA di
SMA Galatia II Jelambar pada tahun 2007. Penulis juga pernah aktif di Himanda (Himpunan
Mahasiswa Sastra China) sebagai anggota.
Sugiato Lim, lahir di kota Mentok Bangka, 20 Juli 1988. Menamatkan S1 di BLCU Chinese Language
and Culture pada 2010 dan S2 di BLCU Master of Teaching Chinese to Speakers of Other Language
pada 2012. Saat ini bekerja sebagai FM SCC Sastra China Universitas Bina Nusantara.
Download