faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran

advertisement
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA DI
DEPARTEMEN METAL FORMING DAN HEAT TREATMENT
PT. DIRGANTARA INDONESIA (PERSERO) TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH :
DINI RAHMAWATI
1110101000075
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Mei 2015
Dini Rahmawati. NIM : 1110101000075
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Pada
Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) Tahun 2015
(xvi, 140 halaman, 14 tabel, 2 bagan, 8 lampiran)
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan
penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam rancang
bangun, pengembangan, dan manufacturing pesawat terbang. Kegiatan produksi
saat ini didukung oleh 232 unit mesin dan peralatan. Selain itu, terdapat beberapa
peralatan lainnya yang tersebar di berbagai lini perakitan, laboratorium, pelayanan
dan unit pemeliharaan. Kebisingan yang ada di lingkungan kerja berkisar antara
80 – 103 dB (A). Pada studi pendahuluan, ditemukan sebanyak 93,3% dari 15
responden mengeluh sering mengalami telinga berdengung.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross
sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan
pendengaran. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja di departemen Metal
Forming dan Heat Treatment sebanyak 178 orang, sedangkan sampel penelitian
sebanyak 66 orang yang telah dilakukan tes pendengaran dengan alat garpu tala.
Penelitian ini menggunakan analisis chi square untuk melihat hubungan antara
variabel dependen dan independen. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan, usia, penggunaan alat
pelindung telinga dan riwayat merokok dengan gangguan pendengaran pada
pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia tahun 2015.
Untuk mengurangi risiko gangguan pendengaran sebaiknya perusahaan
melakukan program konservasi pendengaran, melakukan pemeriksaan telinga (tes
audiometri), melakukan pengendalian teknis, membatasi waktu kerja di area
bising, maintenance mesin dan alat kerja, memberikan pelatihan penggunaan alat
pelindung telinga dan memberikan pengawasan terhadap penggunaan alat
pelindung telinga, memberikan pendidikan dan penyuluhan terkait bahaya
merokok dan melarang pekerja menghidupkan musik saat sedang bekerja.
Daftar Bacaan : 31 (1997-2014)
ii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH
Skripsi, May 2015
Dini Rahmawati. NIM : 1110101000075
Factors Associated with Hearing Loss On Workers in the Department of Metal
Forming and Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 2015
(xvi ,140 Pages, 14 tables, 2 charts, 8 attachments)
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) is one of the airlines in Asia which is
experienced and competent in the design, development, and manufacturing of
aircraft. The productivity of the company is currently supported by 232 units of
machinery and equipment. In addition, there are several other tools scattered in
various assembly lines, laboratories, services and maintenance unit. Existing noise
in the working environment ranges between 80-103 dB (A). In the preliminary
study, it was found as many as 93.3% of the 15 respondents complained their
experiences of having sound of drone in the ears that bothers while working.
This research is a quantitative research with cross sectional study design to
determine the factors associated with hearing loss. The study population was all
workers in the department of Metal Forming and Heat Treatment as many as 178
people, while the samples are 66 people who have a hearing test conducted by
means of a tuning fork. The chi square analysis is used to examine the relationship
between dependent and independent variables. The survey results revealed that
there was a significant relationship between the dose of noise, age, use ear
protective equipment and smoking history hearing loss in workers in the
department of Metal Forming and Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia in
2015.
In order to reduce the risk of hearing loss, the company should better
perform the hearing conservation program, conduct examination of the ear
(audiometric tests), perform technical control, limit the working time in noisy
areas, carry out the maintenance of machines and working tools, provide training
on the use of protective gear for ear and provide oversight of the use of ear
protection, provide an education and counseling related to the dangers of smoking
and prohibit workers turn the music on while working.
Reading List: 31 (1997-2014)
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama
: Dini Rahmawati
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Bekasi, 09 Mei 1992
Alamat
: Kp. Karehkel RT 02/RW 02, Kec. Leuwiliang, Kab.
Bogor
No. Handphone
: 0813-9955-3038
E-mail
: [email protected]
Pendidikan Formal
Tahun
2010 – 2015
Nama Institusi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Program Studi Kesehatan Masyarakat
2007 – 2010
SMA Negeri 01 Leuwiliang
2004 – 2007
SMP Negeri 03 Leuwiliang
1998 - 2004
SD Negeri 01 Karehkel
vi
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan semesta alam yang
selalu memberikan kenikmatan tak terkira kepada makhluk-Nya. Atas segala
pertolongan dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada
Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) Tahun 2015”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada
Nabi Muhammad Saw. yang telah menuntun umatnya menuju kehidupan yang
penuh dengan cahaya Islam.
Penulisan skripsi ini bukanlah semata-mata hasil usaha penulis sendiri
melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa materi, doa,
motivasi, dan bimbingan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yaitu kepada:
1. Keluarga penulis (Bapak, Mimi, Dede, dan Aa (juga Syeikh dan Ummi))
terima kasih atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang diberikan
selama penulis menuntut ilmu di bangku kuliah.
2. Bapak Dr. Arif Sumantri, M.Kes, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D, selaku kepala program studi Kesehatan
Masyarakat yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih
baik.
4. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu
sabar, tegas, semangat, dan ikhlas untuk membimbing penulis. Terima
kasih ibu atas waktu, doa dan motivasinya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Tetap semangat untuk menjadi cahaya penolong
bagi mahasiswa-mahasiswa lainnya ya Bu.
vii
5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen pembimbing II yang
selalu siap memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku dosen penguji sidang skripsi, terima
kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang
positif untuk perbaikan skripsi penulis.
7. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, MKes, Ph.D selaku dosen penguji sidang
skripsi, terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji dan memberikan
saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.
8. Ibu Meilani Anwar, SKM, M.T selaku dosen penguji sidang skripsi, terima
kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji, membimbing, menyemangati
dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.
9. Bapak Sudaryanto dan Pak Tedi selaku K3LH dan Pak Purwadi
Riwayanto selaku Manager Departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia yang sudah mengijinkan dan
mempermudah penulis melaksanakan penelitian ini.
10. Ibu Ayu, Pak Bambang, Pak Asep, Pak Dadi, Pak Nyoto, Pak Endang, Pak
Bumi, Pak Yadi dan seluruh pekerja di PT. Dirgantara Indonesia yang
telah bersedia membantu penelitian ini.
11. Kak Ami, Kak Septi, Ka Ida dan Pak Ajib yang sudang setia mendengar
keluh kesah penulis dan membantu penulis dengan sabar.
12. Untuk teman-teman K3 2010, Kinoy, Weti, Cinta, Epoy, Asro, Mono,
Agung, Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbals, Bang Jek, dan Masshon
yang telah memberikan warna-warni dalam masa-masa kuliah. Semoga
silaturahmi kita tetap terjaga selamanya. Selamat berjuang menuju babak
baru kehidupan teman-teman.
13. Teman-teman Kebab tersayang dan tersanjung. Kita berbeda tapi tetap
“sama”. Jangan pernah lupakan persahabatan ini. Semangat meraih citacita eonni.
14. Teman-teman Kesmas UIN 2010 yang sudang membantu penulis selama
ini.
viii
15. Semua orang yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat dituliskan satu per satu, terima kasih dan semoga
Allah membalas kebaikan kalian.
Dengan memohon keridhoan Allah Swt, penulis berharap seluruh kebaikan
yang telah diberikan mendapat balasan Allah Swt. Aamiin. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca luas pada umumnya.
Jakarta, Mei 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan
i
Abstrak
ii
Abstract
iii
Pernyataan Persetujuan Pembimbing
iv
Pernyataan Persetujuan Penguji
v
Daftar Riwayat Hidup
vi
Kata Pengantar
vii
Daftar Isi
x
Daftar Tabel
xiv
Daftar Bagan
xv
Daftar Lampiran
xvi
BAB I Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
1
1.2
Rumusan Masalah
6
1.3
Pertanyaan Penelitian
7
1.4
Tujuan Penelitian
9
1.5
1.6
1.4.1
Tujuan Umum
9
1.4.2
Tujuan Khusus
9
Manfaat Penelitian
11
1.5.1
Manfaat bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
11
1.5.2
Manfaat bagi Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
12
1.5.3
Manfaat bagi Institusi Pendidikan
12
Ruang Lingkup Penelitian
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pendengaran Manusia
13
x
2.1.1
Anatomi Organ Pendengaran
13
2.1.2
Fisiologi Pendengaran Manusia
17
2.1.3
Mekanisme Mendengar
18
Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing
2.2
2.1.4
Loss)
19
2.1.5
Pemeriksaan Pendengaran
20
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran
2.2.1
2.3
23
Dosis Kebisingan
23
2.2.1.1 Kebisisngan
23
2.2.1.2 Pengertian Dosis Kebisingan
43
2.2.2
Usia
45
2.2.3
Masa Kerja
48
2.2.4
Penggunaan Alat Pelindung Diri
51
2.2.5
Riwayat Merokok
53
2.2.6
Penggunaan Obat Ototoksik
55
2.2.7
Lingkungan Tempat Tinggal
58
2.2.8
Jenis Kelamin
59
2.2.9
Hobi Terkait Bising
57
2.2.10
Riwayat Penyakit
61
Kerangka Teori
63
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1
Kerangka Konsep
64
3.2
Definisi Operasional
66
3.3
Hipotesis Penelitian
70
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Desain Penelitian
71
4.2
Waktu dan Tempat Penelitian
71
4.3
Populasi dan Sampel
71
4.3.1
Populasi
71
xi
4.4
4.3.2
Sampel
72
4.3.3
Metode Sampling
73
Pengumpulan Data
74
4.4.1
Sumber Data
74
4.4.2
Alur Pengumpulan Data
74
4.5
Pengolahan Data
81
4.6
Analisis Data
82
4.6.1
Analisis Univariat
82
4.6.2
Analisis Bivariat
83
BAB V HASIL
5.1
Gambaran Umum Perusahaan
85
5.1.1
Profil Perusahaan
85
5.1.2
Visi dan Misi
87
5.1.3
Kebijakan Keselamatan dan Kesejahteraan Kerja Perusahaan
87
Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan
5.1.4
5.2
Heat Treatment Tahun 2015
87
Analisis Univariat
91
5.2.1
91
Gambaran Gangguan Pendengaran
Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan
Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan
5.2.2
5.3
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
Analisis Bivariat
92
97
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian
102
6.2
Gangguan Gangguan Pendengaran
102
6.3
Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran
106
6.4
Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Pendengaran
111
6.5
Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran
113
6.6
Hubungan Antara Penggunaan Alat Pelindung Telinga dengan Gangguan 118
xii
Pendengaran
6.7
Hubungan Antara Riwayat Merokok dengan Gangguan Pendengaran
Hubungan
6.8
Antara Hobi yang
Terkait
Pendengaran
122
Bising dengan Gangguan
129
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
133
7.2
Saran
135
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan
28
3.1 Definisi Operasional
66
4.1 Daftar Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment
72
4.2 Contoh Perhitungan Dosis Kebisingan
76
4.3 Gambaran Hasil Diagnosis Tes Penala
79
4.4 Daftar Kode Variabel
82
5.1 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan Heat
90
Treatment Tahun 2015
5.2 Gambaran Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming
91
dan Heat Treatment Tahun 2015
5.3 Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran
93
pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015
5.4 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang
94
Berpengaruh terhadap Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen
Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015
5.5 Alasan Tidak Menggunakan Alat Pelindung Telinga pada Pekerja di
95
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) Tahun 2015
5.6 Gambaran Merokok pada Perokok di Departemen Metal Forming dan Heat
96
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
5.7 Gambaran Jenis Rokok pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat
96
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
5.8 Jenis Hobi Terkait Bising pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat
97
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
5.9 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun
2015
xiv
98
DAFTAR BAGAN
2.1 Kerangka Teori
63
3.1 Kerangka Konsep
65
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Permohonan Izin Pengambilan Data
142
2.
Surat Penerimaan Melaksanakan Penelitian
143
3.
Struktur Organisasi PT. Dirgantara Indonesia
144
4.
Denah Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
145
5.
Surat Persetujuan Subjek Penelitian
146
6.
Kuesioner
147
7.
Lembar Penelitian
151
8.
Lembar Observasi Dosis Kebisingan
152
9.
Lembar Observasi Penggunaan APT
153
10. Output SPSS
154
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu tekanan yang berasal dari faktor fisik adalah kebisingan.
Kebisingan di lingkungan kerja dapat menimbulkan gangguan terhadap
kesehatan. Kebisingan selain mempunyai dampak pada gangguan
pendengaran (auditory), dalam beberapa riset terakhir dilaporkan mampu
menimbulkan gangguan yang bersifat extraauditory, seperti stres
psikologik, perubahan sirkulasi darah, kelelahan dan perasaan tidak senang
(annoyance) (Wagshol, 2008).
Gangguan pendengaran jangka pendek yang ditimbulkan oleh
bising, akan hilang dalam beberapa menit atau jam setelah meninggalkan
area kebisingan tinggi. Namun, jika pekerja terpapar dengan kebisingan
tinggi secara terus menerus dan berulang akan mengakibatkan gangguan
pendengaran secara permanen (Soeripto, 2008). Semakin tinggi intensitas
bising dan semakin lama pekerja terpajan bising, maka risiko pekerja
untuk mengalami gangguan pendengaran akan semakin tinggi pula
(European Agency for Safety and Health at Work, 2008).
Suasana yang bising memaksa pekerja untuk berteriak saat
berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang teriakan atau
pembicaraan yang keras ini dapat menimbulkan salah komunikasi
1
(miscommunication) atau salah persepsi terhadap orang lain. Lebih jauh
kebisingan terus menerus dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi
pekerja yang akibatnya pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya
menurunkan produktivitas kerja (Notoatmodjo, 2003).
Kebisingan di tempat kerja juga dapat mengganggu proses
sosialisasi dengan lingkungan sekitar dan pada tahap tertentu dapat
membuat pekerja diberhentikan dari pekerjaan sehingga akan berpengaruh
pada pendapatan keluarga serta gangguan produksi, terjadinya kecelakaan
kerja akibat penurunan konsentrasi, maupun kewajiban memberi
kompensasi kecacatan pendengaran pekerja (Kusuma, 2004). Pengaruh
utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera
pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan akibat tersebut telah
diketahui dan diterima
masyarakat
untuk berabad-abad
lamanya
(Suma’mur, 2009).
WHO memperkirakan di tahun 2001 terdapat 250 juta orang di
dunia dengan gangguan pendengaran sedang maupun berat, angka ini
meningkat menjadi lebih dari 275 juta orang di tahun 2004. Dari jumlah
tersebut 80% diantaranya berada di negara berkembang. Angka ini terus
meningkat sejak penelitian awal yang dilakukan oleh WHO pada tahun
1986 (Haryuna, 2013). Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan
bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246
orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi
2
asuransi, ditemukan 85% menderita tuli saraf dan dari jumlah tersebut
37% didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz.
Selain itu menurut NIOSH (National Institute for Occupational
Safety and Health) diketahui bahwa 22 juta pekerja memiliki potensi
mengalami gangguan pendengaran setiap tahunnya dan 10 juta pekerja di
Amerika Serikat mempunyai masalah gangguan pendengaran yang
berhubungan dengan pekerjaannya. Di tahun 2007, sekitar 23.000 kasus
dilaporkan sebagai gangguan pendengaran akibat kerja atau 14%.
Kemudian
tahun 2008, sekitar dua juta pekerja di Amerika Serikat
terpajan bising di tempat kerja yang berisiko mengalami gangguan
pendengaran (CDC, 2008). Di Indonesia, permasalahan bising termasuk
dalam permsalahan besar di dunia industri. Hal ini terlihat dari besarnya
prevalensi kejadian penurunan pendengaran akibat pajanan bising di
tempat kerja. untuk perusahaan plywood, pajanan bising yang diterima
pekerja berkisar 86,1-108,2 dB dengan prevalensi NIHL sebesar 31,81%
(Tana dalam Akbar, 2012).
Selain karena adanya bahaya seperti kebisingan di lingkungan
kerja, terdapat faktor lainnya yang menyebabkan ganguan pendengaran.
Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2012) terhadap para penerbang TNI
AU pesawat herkules dan helikopter didapatkan hasil bahwa tingkat
kebisingan pesawat merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap
terjadinya NIHL. Selain itu variabel jam terbang, lama kerja, umur,
pemakaian
APT,
Hobi
(Akbar,
3
2012)
dan
kebiasaan
merokok
(Mohammad, 2009; Tandiabang, 2010) berhubungan signifikan dengan
gangguan pendengaran. Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa
rokok meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran pada
frekuensi tinggi (Mizoue T, 2003). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain
yang menyebutkan bahwa perokok berat mempunyai risiko 12 kali lebih
besar mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan perokok
ringan dan sedang (Tandiabang, 2010).
Terdapat sekitar 500 jenis pekerjaan pada industri yang berpotensi
merusak pendengaran. Salah satu jenis pekerjaan tersebut adalah industri
pesawat terbang yang mampu menghasilkan kebisingan sampai 115-130
dB. PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan
penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam
rancang bangun, pengembangan dan manufacturing pesawat terbang.
Kegiatan produksi saat ini didukung oleh 232 unit mesin dan peralatan.
Selain itu, terdapat beberapa peralatan lainnya yang tersebar di berbagai
lini perakitan, laboratorium, pelayanan dan unit pemeliharaan.
Salah satu departemen yang ada di PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) dengan kebisingan yang tinggi adalah departemen Metal
Forming dan Heat Treatment. Proses pekerjaan yang dilakukan di
departemen ini antara lain proses bending, press, hot press forming,
folding/plong, stretching, routing cutter, crimping, rolling, tube flaring,
tube bending, swaging, grooving, welding, leveling sheet. Semua proses
tersebut dikerjakan dengan mesin dan alat yang menghasilkan kebisingan
4
antara 80 dB – 103 dB. Kebisingan tertinggi di departemen ini dihasilkan
oleh bunyi dari unit sheet press forming yaitu pada proses membentuk
sayap pesawat dengan menggunakan palu yang terbuat dari logam, agar
bentuk sayap pesawat sesuai dengan kontur yang ada. Kebisingan di
ruangan kedap suara ini dapat mencapai 103 dB atau lebih.
Berdasarkan hasil pengukuran kebisingan dengan menggunakan
Sound Level Meters (SLM) di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment didapatkan bahwa rata-rata tingkat kebisingan di titik A yaitu
lokasi menggerinda pada unit sheet press forming sebesar 90,46 dB dan di
titik B yaitu lokasi pemotong pada unit profile press forming sebesar 89,2
dB, bila dibandingkan dengan Permenaker tahun 2011 tentang nilai
ambang batas faktor fisika di tempat kerja, maka kebisingan tersebut telah
melebihi nilai ambang batas yang diizinkan yaitu sebesar 85 dB.
Kebisingan yang terdapat di departemen ini cenderung kontinu.
Berdasarkan observasi langsung terhadap pekerja, terdapat beberapa
pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja atau
beberapa pekerja terlihat melepaskan APT, lalu menggunakan APT
kembali padahal kebisingan di tempat kerja telah melebihi nilai ambang
batas (NAB).
Tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment dapat menyebabkan
ganguan pendengaran pada pekerja. Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan pada bulan Desember tahun 2014, melalui wawancara dengan
5
15 orang pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment
diketaui bahwa 93,3% pekerja mengeluh sering mengalami telinga
berdengung. Pekerja yang mengalami telinga berdengung tersebut
sebanyak 86,7% merasakan telinga berdengung saat bekerja. dan 2%
pekerja tetap merasa telinga berdengung saat libur bekerja. Kemudian
66,7% pekerja merasa pendengarannya menurun sejak bekerja di PT.
Dirgantara Indonesia (Persero), 86,7% pekerja merasa terganggu ketika
berkerja di tempat yang bising dan 93,3% pekerja mengaku sulit
berkomunikasi ketika berada di tempat kerja.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis ingin melakukan
penelitian yang berjudul “faktor-faktor yang berhubungan dengan
gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pengukuran kebisingan dengan menggunakan Sound
Level Meters (SLM) diketahui bahwa tingkat kebisingan di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment sudah melebihi nilai ambang batas,
dengan rata-rata tingkat kebisingan di titik A sebesar 90,46 dB dan di titik
B sebesar 89,2 dB. Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan 15
pekerja diketahui bahwa 93,3% pekerja mengeluh sering mengalami
telinga berdengung. Pekerja yang mengalami telinga berdengung tersebut
sebanyak 86,7% merasakan telinga berdengung saat bekerja dan 2%
pekerja tetap merasa telinga berdengung saat libur bekerja. Kemudian
6
66,7% pekerja merasa pendengarannya menurun sejak bekerja di PT.
Dirgantara Indonesia (Persero), 86,7% pekerja merasa terganggu ketika
berkerja di tempat yang bising dan 93,3% pekerja mengaku sulit
berkomunikasi ketika berada di tempat kerja.
Menurut beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat sejumlah
faktor risiko yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran seperti
lama kerja, umur, penggunaan APT, riwayat merokok dan hobi terkait
bising. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka peneliti tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan terjadinya
gangguan pendengeran di departemen Metal Forming dan Heat Treatment
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) pada tahun 2015.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran PT. Dirgantara Indonesia (Persero)?
2. Bagaimana gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015?
3. Bagaimana gambaran dosis kebisingan pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015?
4. Bagaimana gambaran usia pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
7
5. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja di departemen Metal
Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun
2015?
6. Bagaimana gambaran penggunaan alat pelindung telinga pada pekerja
di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015?
7. Bagaimana gambaran riwayat merokok pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015?
8. Bagaimana gambaran hobi terkait bising pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015?
9. Apakah terdapat hubungan antara dosis kebisingan dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
10. Apakah terdapat hubungan antara usia dan gangguan pendengaran
pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
11. Apakah terdapat hubungan antara masa kerja dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
8
12. Apakah terdapat hubungan antara penggunaan alat pelindung telinga
dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
13. Apakah terdapat hubungan antara riwayat merokok dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
14. Apakah terdapat hubungan antara hobi terkait bising dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun
2015.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
2. Mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
3. Mengetahui
gambaran dosis kebisingan pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
9
4. Mengetahui gambaran usia pada pekerja di departemen Metal
Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015.
5. Mengetahui gambaran masa kerja pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015.
6. Mengetahui gambaran penggunaan alat pelindung telinga pada
pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
7. Mengetahui
gambaran riwayat merokok pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
8. Mengetahui
gambaran hobi terkait bising pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
9. Mengetahui hubungan antara dosis kebisingan dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
10. Mengetahui hubungan antara usia dan gangguan pendengaran
pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
10
11. Mengetahui
hubungan antara masa kerja dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
12. Mengetahui
hubungan antara penggunaan alat pelindung
telinga dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015.
13. Mengetahui hubungan antara riwayat merokok dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
14. Mengetahui hubungan antara hobi terkait bising dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) mengenai faktor risiko yang
berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja sebagai
salah satu indikator dari adanya gangguan kesehatan telinga yang
dialami oleh pekerja, sehingga dapat dilakukan pencegahan dan
penanggulangan yang lebih baik lagi di masa mendatang.
11
1.5.2 Manfaat bagi Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
Penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran
kepada para pekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tentang
faktor risiko yang mempengaruhi penurunan fungsi pendengaran.
Tujuannya agar pekerja lebih memperhatikan faktor risiko yang
dapat mempengaruhi gangguan pendengaran, sehingga dapat
mengurangi angka kejadian gangguan pendengaran yang dialami
pekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero).
1.5.3 Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi
untuk penelitian di masa mendatang.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015,
dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2014 – Februari tahun 2015.
Sampel dalam penelitian ini adalah pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
menggunakan kuesioner, pengukuran gangguan pendengaran dengan
garpu tala, pengukuran dosis kebisingan dengan recall aktivitas, dan
observasi penggunaan alat pelindung telinga (APT).
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendengaran Manusia
2.1.1 Anatomi Organ Pendengaran
Dalam buku penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepada,
dan leher jilid 2, telinga secara anatomi dan fungsional dibagi
menjadi 3 bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam.
1. Telinga Luar
Telinga luar merupakan bagian telinga yang
terdapat sebelah luar membran timpani. Terdiri dari daun
telinga dan saluran yang menuju membran timpani, yaitu di
sebelah liang telinga luar.
Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang
rawan yang berlekuk-lekuk ditutupi oleh kulit dan
dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum.
Lekuk daun telinga yang utama ialah heliks dan antiheliks,
tragus dan antritragus, dan konka.
Gendang telinga dan kulit liang telinga mempunyai
sifat membersihkan sendiri yang disebabkan oleh migrasi
lapisan keratin epitelium dari membran timpani ke luar ke
bagian tulang rawan. Membran timpani terdiri dari tiga
13
lapisan, lapisan skuamosa membatasi telinga luar sebelah
medial, lapisan mukosa membatasi telinga tengah sebelah
lateral dan jaringan fibrosa terletak diantara kedua lapisan
tersebut.
2. Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak
di antara membran timpani dan kapsul telinga dalam,
tulang-tulang dan otot yang terdapat di dalamnya beserta
penunjangnya, tuba Eustachius dan sistem sel-sel udara
mastoid. Batas-batas superior dan inferior membran
timpani membagi kavum timpani menjadi epitimpanum
atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum.
Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang
letaknya lebih rendah dari membran timpani. Permukaan
tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran kerang
karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini
menutupi bulbus yugularis. Kadang-kadang suatu celah
pada dinding ini menyebabkan sebagian bulbus yugularis
dapat masuk ke dalam hipotimpanum.
Mesotimpanum yang ada di sebelah medial dibatasi
oleh kapsul optik, yang terletak lebih rendah dari nervus
fasial pars timpani. Suatu penonjolan yang melengkung
14
pada bagian basal koklea terletak tepat di sebelah medial
membran timpani dan disebut promontorium.
Tulang-tulang
pendengaran
membentuk
suatu
sistem pengungkit dan batang yang meneruskan suatu
energi mekanis getar ke cairan periotik. Sistem tersebut
terdiri dari maleus (landasan) dan stapes (sanggurdi).
Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan
respon rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui
suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum
maleus anterior dan ligamen inkus pada ujung prosesus
brevis.
3. Telinga Dalam
Telinga dalam terletak di pars petrosa atau pars
piramida tulang temporal dan terdiri dari koklea, vestibulum
dan tiga buah kanalis semisirkularis. Koklea merupakan
bagian telinga dalam yang terdapat pada pars petrosa tulang
temporalis. Organ korti terletak pada membran basilaris
yang merupakan struktur yang mengandung sel-sel reseptor
pendengaran, terbentang dari basis sampai apeks koklea.
Bunyi yang dilepaskan dari sumber bunyi, akan
dihantarkan melalui udara sehingga mencapai aurikula.
Selanjutnya diteruskan ke telinga tengah melalui meatus
akustikus eksternus dan akan menggetarkan membran
15
timpani. Di sini terjadi penguatan bunyi sebesar 15 dB pada
frekuensi antara 2 sampai 5 kH. Selanjutnya getaran bunyi
akan melalui media padat yaitu tulang-tulang pendengaran.
Dalam perjalanannya getaran bunyi akan mengalami
penguatan
melalui
efek
pengungkit
rantai
tulang
pendengaran yang memberikan penguatan sebesar 1,3 kali
dan efek hidrolik membran timpani sebesar 17 kali. Total
penguatan bunyi yang terjadi sebesar 25 sampai 30 dB.
Penguatan bunyi ini diperlukan agar bunyi mampu
merambat terus ke perilimfe. Getaran bunyi yang telah
diperkuat selanjutnya menggerakkan stapes yang menutup
foramen ovale. Pada frekuensi sonik gerakan perilimfe
dalam skala vestibuli menyebabkan getaran langsung ke
arah skala media dan menekan membran basilaris.
Gerakan membran basilaris akan menyebabkan
gesekan membran tektoria terhadap rambut sel-sel sensoris.
Pergerakan sel rambut menyebabkan perubahan kimiawi
yang akhirnya menghasilkan listrik biologik dan reaksi
biokimiawi pada sel sensorik sehingga timbul muatan listrik
negatif pada dinding sel. Ujung saraf VIII yang menempel
pada dasar sel sensorik akan menampung mikroponik yang
terbentuk. Lintasan impuls auditori selanjutnya menuju
ganglion spiralis korti, saraf VIII, nukleus koklearis di
16
medula oblongata, kolikulus superior, korpus genukulatum
medial, korteks auditori di lobus temporalis serebri
(Kristianto, 2012).
2.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia
Proses pendengaran timbul akibat getaran atmosfer yang
dikenal sebagai gelombang suara yang memiliki kecepatan dan
volume yang berbeda. Gelombang suara bergerak melalui
rongga telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan
membran timpani bergetar, getaran-getaran tersebut diteruskan
menuju inkus dan stapes melalui maleus yang berhubungan
dengan membran tersebut (Amin, 2012).
Getaran yang timbul pada setiap tulang, akan menyebabkan
tulang memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke
fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe
dialihkan menuju endolimfe dalam saluran koklea dan
rangsangan menuju organ korti selanjutnya dihantarkan ke
otak. Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang
enak atau tidak enak. Gelombang suara menimbulkan bunyi
sebagai berikut:
a. Tingkatan suara biasa 80-90 desible
b. Tingkatan maksimum kegaduhan 130 desible
17
2.1.3 Mekanisme Mendengar
Telinga manusia dan mekanisme pendengaran merupakan hal
yang sangat luar biasa. Dalam waktu yang begitu cepat telinga
dapat melakukan konversi energi mekanik menjadi respon
elektrokimia.
Sensitivitas
telinga,
kemampuannya
untuk
membedakan suara-suara tertentu dari suara-suara lain,
membuat kinerjanya tidak dapat ditandingi oleh instrumen
buatan manusia. Secara anatomis, telinga manusia terdiri dari 3
bagian utama, yaitu telinga bagian luar, bagian tengah yang
berisi udara dan bagian dalam yang berisi cairan. Fungsi dari
telinga bagian luar adalah untuk mengumpulkan suara,
sedangkan
bagian
tengah
untuk
mengkonversi
dan
mengirimkan rangsangan suara ke telinga bagian dalam dimana
reseptor sensorik (sel rambut) berada untuk merasakan suara
(Primadona, 2012).
Mekanisme mendengar dimulai ketika gelombang suara
masuk ke telinga luar dan berjalan melalui jalan sempit yang
disebut lubang telinga yang mengarah ke gendang telinga.
Suara yang masuk membuat gendang telinga bergetar,
kemudian getaran ini dikirim ke tiga tulang kecil yang berada
di telinga tengah, yaitu malleus, incus dan stapes. Tulangtulang tersebut memperkuat atau meningkatkan getaran suara
dan mengirimkannya ke telinga bagian dalam, disebut dengan
koklea, suatu saluran yang berbentuk seperti siput dan berisi
18
cairan. Sel-sel sensoris khusus pada koklea, dikenal dengan selsel rambut, mendeteksi getaran dan mengonversikannya
menjadi sinyal-sinyal listrik. Selanjutnya, sinyal-sinyal listrik
ini dikirim melalui syaraf pendengaran menuju ke otak yang
kemudian diterjemahkan menjadi suara yang kita kenali dan
pahami (NIDCD, 2008).
2.1.4 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced
Hearing Loss)
Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing
Loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat
terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu
yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural
koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Arsyad et al.,
2007).
Gejala dari gangguan pendengaran akibat bising adalah
terjadinya kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di
telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan
sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila
sudah lebih berat percakapan yang keraspun sulit dimengerti.
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat
menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar
sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang
dengar menetap (permanent threshold shift).
19
1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat
rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau
kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada
saraf telinga yang terpajan bising.
2. Peningkatan ambang
dengar
sementara,
merupakan
keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat
terpajan bising dengan intensitas yang cukup tinggi.
Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam.
Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari.
3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan
dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat
pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung
singkat
(eksplosif)
atau
berlangsung
lama
yang
menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea,
antara lain kerusakan Organ corti, sel-sel rambut, stria
vaskularis dll (Arsyad et al., 2007).
2.1.5 Pemeriksaan Pendengaran
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan
hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan memakai
garpu tala atau audiometer nada murni.
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif,
berarti ada kelainan di telinga luar atau telinga tengah, seperti
20
atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen,
sumbatan tuba Eustachius serta radang telinga tengah.
Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural
koklea atau retrokoklea.
Berdasarkan OSHA dalam (Wibowo, 2012), pemeriksaan
pendengaran pada pekerja dilakukan secara berkala setahun
sekali. Sebelum diperiksa, pekerja harus dibebaskan dari
kebisingan di tempat kerjanya selama 14 jam.
a. Audiometer
Salah satu metode untuk memeriksa pendengaran adalah
dengan menggunakan audiometer nada murni karena
mudah diukur, mudah diterangkan, dan mudah dikontrol.
Metode ini dapat untuk mengetahui kelainan pendengaran
(gangguan
pendengaran
campuran).
Terhadap
konduksi,
individu
saraf
yang
maupun
diperiksa,
diperdengarkan bunyi yang dapat diatur frekuensi dan
intensitasnya, sehingga hasil pemeriksaan dapat berupa
pendengaran normal atau dapat diketahui derajat gangguan
pendengarannya (OSHA, 2008).
Audiometer adalah sebuah alat pengeras yang dapat
memberikan sinyal akustik pada telinga melalui teleponkepala, pengeras-suara, atau penghantar-tulang. Sinyal
suara yang diberikan ialah:
21
a) Nada-bentuk-sinus dari frekuensi dan intensitas
berbeda yang murni dari alat generator-nada.
b) Suara-bising, yang disaring atau tidak disaring oleh
pita-saringan (bandfilter).
c) Pembicaraan yang dikeluarkan melalui pita-tape
atau CD-player (Broek P, 2009).
Hearing Threshold Limit (HTL) adalah hasil rata-rata
frekuensi pada 500 Hz, 1.000 Hz, 2.000 Hz, dan 3000 Hz
atau 4.000 Hz dalam dB. Pemeriksaan audiometri dalam
usaha memberikan perlindungan maksimum terhadap
pekerja dilakukan sebagai berikut:
1. Sebelum bekerja atau sebelum penugasan awal di
daerah kerja yang bising (baseline audiogram)
2. Secara berkala (periodik/tahunan)
3. Pekerja yang terpajan kebisingan >85 dBA selama 8
jam sehari, pemeriksaan dilakukan setiap 1 tahun
atau 6 bulan tergantung tingkat intensitas bising
4. Secara khusus pada waktu tertentu
5. Pada akhir masa kerja (OSHA, 2008)
b. Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif.
Terdapat
berbagai macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber,
tes Schwabach, tes Bing, dan tes Stenger.
22
1. Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran
melalui udara dan hantaran melalui tulang pada
telinga yang diperiksa.
2. Tes
Weber
ialah
tes
pendengaran
untuk
membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan
telinga kanan.
3. Tes Schwabach ialah membandingkan hantaran
tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang
pendengarannya normal.
Untuk mendiagnosis gangguan pendengaran akibat
bising (Noise Induced Hearing Loss), pada pemeriksaan
audiologi melalui tes penala didapatkan hasil Rinne
positif,
Weber
lateralisasi
ke
telinga
yang
pendengarannya lebih baik, dan Schwabach memendek.
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran
2.2.1 Dosis Kebisingan
2.2.1.1 Kebisingan
1. Definisi Bunyi atau Suara
Bunyi adalah tekanan bolak balik dan merupakan molekul
dalam medium elastik yang dapat terdeteksi oleh penerima
dan ditangkap sebagai perubahan tekanan. Bunyi memiliki
hubungan
antara
frekuensi
vibrasi
suara,
panjang
gelombang, dan kecepatan (Sari, 2012).
Suara didefinisikan sebagai sensasi atau rasa yang
dihasilkan oleh organ pendengaran
23
manusia
ketika
gelombang-gelombang suara dibentuk di udara sekeliling
manusia melalui getaran yang diterimanya. Gelombang
suara merupakan gelombang longitudinal yang terdengar
sebagai bunyi bila masuk ke telinga berada pada frekuensi
20–20.000 Hz atau disebut jangkauan suara yang dapat
didengar (Djalante, 2010).
2. Pengertian Kebisingan
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI. No. Kep.
13/Men/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di
Tempat Kerja menyatakan bahwa kebisingan adalah semua
bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat
proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan bahaya.
Polusi udara atau kebisingan dapat didefinisikan sebagai
suara yang tidak dikehendaki dan mengganggu manusia.
Sehingga meski kecil atau lembut suara yang terdengar,
jika hal tersebut tidak diinginkan maka akan disebut
kebisingan (Djalante, 2010).
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.
13/Men/X/2011, Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan
adalah 85 dBA untuk waktu pajanan 8 jam sehari dan 40
jam seminggu. Salah satu faktor fisik yang berpengaruh
terhadap tenaga kerja adalah kebisingan, yang mampu
24
menyebabkan
berkurangnya
pendengaran
(Depnaker,
2011).
3. Jenis-Jenis Kebisingan
Berdasarkan buku Fundamentals of Industrial Hygiene
5th Edition, pajanan kebisingan di tempat kerja dapat
dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu:
a. Continuous Noise
Continuous noise merupakan jenis kebisingan yang
memiliki tingkat dan spektrum frekuensi konstan.
Kebisingan jenis ini memajan pekerja dengan periode
waktu 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.
b. Intermittent Noise
Intermittent noise merupakan jenis kebisingan yang
memajan pekerja hanya pada waktu-waktu tertentu
selama jam kerja. Contoh pekerja yang mengalami
pajanan kebisingan jenis ini adalah inspector atau plant
supervisor yang secara periodik meninggalkan area
kerjanya yang relatif tenang menuju area kerja yang
bising.
c. Impact Noise
Impact noise disebut juga dengan kebisingan impulsif,
yaitu kebisingan dengan suara hentakan yang keras dan
terputus-putus kurang dari 1 detik. Contoh kebisingan
25
jenis ini adalah suara ledakan dan pukulan palu
(Standard, 2002).
4. Sumber Kebisingan
Sumber kebisingan bermacam-macam. Di lingkungan
kerja, bising dapat bersumber dari benda-benda maupun
situasi yang berada di dalam maupun di luar lingkungan
kerja. Beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya
bising yaitu mesin-mesin yang berada di sekitar pekerja,
proses-proses kerja, peralatan pabrik, kendaraan, kegiatan
manusia, suara pekerja itu sendiri, dan suara orang yang
berlalu-lalang, sampai bunyi yang berasal dari luar
lingkungan kerja (background noise).
Kebisingan yang dihasilkan dari berbagai sumber tersebut
memiliki tingkat intensitas yang berbeda dan akan
memberikan dampak pada kesehatan manusia. Sehingga
dalam pengujian atau pengontrolan tingkat kebisingan
merupakan hal yang sangat perlu dilakukan agar tidak
mengganggu kesehatan dan tidak menyebabkan kecelakaan
kerja di sebuah perusahaan (Sari, 2012).
5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun
2011, Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di tempat
26
kerja, waktu maksimum pekerja di daerah paparan
kebisingan tertentu adalah sebagai berikut :
27
Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu pemaparan per
hari
8
Intensitas Kebisingan dalam
dBA
Jam
85
4
88
2
91
1
94
30
Menit
97
15
100
7,5
103
3,75
106
1,88
109
0,94
112
28,12
Detik
115
14,06
118
7,03
121
3,52
124
1,76
127
0,88
130
0,44
133
0,22
136
0,11
139
Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA,
walaupun sesaat.
Sumber : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
nomor Per.13/MEN/X/2011 tahun 2011
28
6. Dampak Akibat Bising
Kebisingan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tenaga
kerja, gangguan atau penyakit yang diakibatkan oleh bising
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Gangguan Fisiologis
Kebisingan
dapat
menimbulkan
gangguan
fisiologis yaitu internal body system. Internal body
system adalah sistim fisiologis yang terpenting untuk
kehidupan gangguan fisiologis ini dapat menimbulkan
kelelahan dada berdebar, menaikkan denyut jantung,
mempercepat pernafasan pusing, sakit kepala dan
kurang
nafsu
makan.
Selain
itu
juga
dapat
meningkatkan tekanan darah, pengerutan saluran darah
di kulit, meningkatkan laju metabolik, menurunkan
keaktifan organ pencernaan dan ketegangan otot.
Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat
mengganggu, terlebih bising yang terputus-putus atau
yang datangnya secara tiba-tiba. Gangguan dapat
terjadi pada peningkatan tekanan darah, peningkatan
denyut nadi, basa metabolisme, konstruksi pembuluh
darah kecil terutama pada tangan dan kaki dapat
menyebabkan pucat.
29
b. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis akibat bising dapat berupa
rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, rasa jengkel,
rasa khawatir, cemas, susah tidur mudah marah dan
cepat tersinggung. Menurut EPA kriteria kebisingan
yang dapat mengakibatkan gangguan psikologis yaitu
55-65 dB (Arini, 2005).
c. Gangguan Komunikasi
Risiko potensial terhadap pendengaran terjadi
apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan
dengan berteriak. Gangguan ini dapat menimbulkan
terganggunya
pekerjaan
dan
kadang-kadang
mengakibatkan salah pengertian yang secara tidak
langsung dapat menurunkan kualitas dan kuantitas
kerja. Agar pembicaraan dapat dimengerti dalam
lingkungan bising, maka pembicaraan harus diperkeras
dan harus dalam kata dan bahasa yang mudah
dimengerti oleh penerima.
Dalam ruangan kerja yang bising, pekerja akan
berhubungan pada jarak yang dekat, yaitu kira-kira 1 m.
Pada jarak ini komunikasi dapat dicapai dengan suara
normal apabila backround noise paling tinggi 78 dB.
Batas maksimal kebisingan dalam ruang kerja adalah
30
62 dB, pada level ini komunikasi masih bisa
berlangsung pada jarak 2 m.
d. Gangguan Pendengaran
Kebisingan yang berlebihan dapat merusak sel-sel
rambut di koklea, bagian dari telinga dalam dan
menyebabkan kehilangan pendengaran. Di banyak
negara, gangguan pendengaran akibat bising berupa
NIHL merupakan penyakit yang paling umum di
bidang industri yang bersifat irreversible (Primadona,
2012).
Selain berpengaruh terhadap tenaga kerja, kebisingan
juga memiliki pengaruh pada perusahaan atau tempat
kerja. Pengaruh lingkungan bising dan gangguan
pendengaran pada tempat kerja adalah:
1. Menurunnya produktivitas tenaga kerja akibat dari
berkurangnya kemampuan fisik tenaga kerja,
berkurangnya tingkat konsentrasi dan kelelahan
akibat dari paparan bising di tempat kerja.
2. Tingginya angka absensi
3. Tingginya biaya ganti rugi dan rehabilitasi akibat
gangguan pendengaran karena bising di tempat
kerja yang akan berdampak pada berkurangnya
keuntungan perusahaan.
31
4. Tingginya biaya pelatihan untuk mempersiapkan
tenaga kerja agar dapat melakukan pekerjaan
secara rotasi akibat harus mengurangi paparan
intensitas kebisingan yang tinggi (Arini, 2005).
7. Pengukuran Kebisingan
Pengukuran kebisingan biasanya dinyatakan dengan
satuan decibel (dB). Decibel (dB) adalah suatu unit
pengukuran kuantitas resultan yang merepresentasikan
sejumlah
bunyi
dan
dinyatakan
secara
logaritmik.
Sederhananya, skala decibel (dB) diperoleh dari 10 kali
logaritma (dasar 10) perbandingan tenaga (Wilson, 1989).
Satuan tingkat kebisingan (decibel) dalam skala A, yaitu
kelas tingkat kebisingan yang sesuai dengan respon telinga
normal.
Ada dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu:
a. Frekuensi
Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang
merambat per satuan waktu (cps = cycle per second),
dengan satuan Hertz. Bunyi yang dapat diterima telinga
manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara
20-20000 Hz. Apabila frekuensi kurang dari 20 Hz
maka disebut infrasound dan bila frekuensi lebih dari
32
20000 Hz maka disebut ultrasound dan tidak dapat
didengar oleh telinga manusia.
b. Intensitas
Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik
penerapan bunyi. Kuantitas intensitas bunyi tergantung
jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan
getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas
bunyi semakin tinggi. Intensitas atau arus energi
persatuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu
logaritmik
yang
disebut
decibel
(dB)
dengan
membandingkan kekuatan dasar 0.0002 dyne/cm2
(2x10-5 N/m2) yaitu kekuatan dari bunyi dengan
frekuensi 1000 Hz dan tepat menjadi ambang
pendengaran manusia dengan telinga normal (Santoso,
2008).
Alat untuk mengukur tingkat kebisingan adalah
Sound Level Meter. Ukuran kebisingan dinyatakan
dengan istilah Sound Pressure Level (SPL). Alat yang
digunakan untuk mengukur kebisingan yaitu Sound
Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan diantara
30–130 dB dan dengan frekuensi 20–20000 Hz. Alat ini
terdiri dari mikropon, alat penunjuk elektronik,
amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran yaitu:
33
i.
Skala A
Untuk
memperlihatkan kepekaan yang
terbesar pada frekuensi rendah dan tinggi
yang menyerupai reaksi untuk intensitas
rendah (35–135 dB).
ii.
Skala B
Untuk memperlihatkan kepekaan telinga
terhadap bunyi dengan intensitas sedang (
>40 dB) tapi sangat jarang digunakan dan
mungkin tidak digunakan lagi.
iii.
Skala C
Untuk bunyi dengan intensitas tinggi ( >45
dB) yang menghasilkan gambaran respons
terhadap bising antara 20 sampai dengan
20000 Hz.. Alat ini dilengkapi dengan
Oktave Band Analyzer.
Intensitas bising akan semakin berkurang jika jarak
dengan sumber bising semakin bertambah.
8. Metode Pengendalian Bising
Pengendalian kebisingan
mengelola
risiko
paparan
adalah
langkah
kebisingan.
untuk
Berikut
ini
merupakan pengendalian yang dapat diterapkan untuk
mengurangi paparan kebisingan:
34
1) Eliminasi
Tindakan pengendalian dengan biaya yang efektif
dapat dilakukan ketika suatu pabrik baru akan dibangun
atau dibeli, antara lain dengan desain area instalasi dan
desain serta konstruksi pabrik baru. Pabrik yang baru
harus dirancang dan dibangun dengan memastikan
paparan kebisingan serendah mungkin. Jika terdapat
potensi kebisingan cukup tinggi, maka tindakan
pengendalian teknis yang dapat diterapkan harus
disertakan dalam desain. Kegiatan industri harus
didesain untuk mencegah dan meminimalisi seluruh
risiko baik kesehatan maupun keselamatan yang timbul
akibat paparan kebisingan. Dalam perencanaan tempat
kerja harus memperhatikan beberapa hal berikut ini.
a) Kesepakatan dengan klien untuk pengurangan
kebisingan,
kebijakan
sehingga
dapat
pengendalian
melakukan
kebisingan
untuk
mengatur kerja dan anggaran yang akan
digunakan untuk pengendalian kebisingan yang
efektif pada tahap desain.
b) Mempertimbangkan efek tingkat kebisingan
pada gedung, tata letak gedung dan lokasi area
kerja relatif terhadap pabrik.
35
c) Mempertimbangkan
transmisi
kebisingan
melalui struktur dan pipa-pipa.
d) Merancang ruang kerja dan ruang kendali yang
dapat meyerap suara jika diperlukan.
e) Menerapkan desain akustik untuk pengendalian
lingkungan eksternal dengan tujuan mengurangi
tingkat kebisingan internal dan sebaliknya.
f) Merancang pabrik untuk mengeliminasi atau
mengendalikan beberapa risiko kesehatan atau
pendengaran
yang
dihasilkan
dari
emisi
kebisingan.
2) Pengendalian Teknis
Pengendalian teknis untuk paparan kebisingan dapat
dilakukan pada sumber dan media. Pengendalian teknis
pada sumber adalah dengan menggunakan metode yang
secara permanen dapat mengatasi paparan kebisingan
yang ditimbulkan oleh mesin atau proses kerja.
Pengendalian
dapat
dilakukan
memodifikasi,
mendesain
ulang
dengan
cara
sebagian
atau
mengganti peralatan.
Tujuan pelaksanaan pengukuran kebisingan adalah
sebagai upaya untuk mengidentifikasi bagaimana dan
dimana kebisingan timbul. Beberapa masalah dapat
36
diselesaikan dengan prosedur sederhana dan murah.
Sumber
kebisingan
yang
lebih
sulit
mungkin
memerlukan saran dari para ahli. Pendekatan ini dapat
memberikan hasil yang paling memuaskan. Seseorang
yang memahami kebisingan dan operasional mesin atau
proses dapat mempertimbangkan berbagai pilihan untuk
mengendalikan kebisingan pada sumber. Pengendalian
teknis untuk bahaya kebisingan dapat difokuskan pada
mesin dan komponennya atau terhadap proses yang
sebenarnya, termasuk sistem penanganan material.
3) Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif seharusnya dilakukan
ketika paparan kebisingan tidak dapat dieliminasi atau
dikendailkan secara teknis. Pengendalian administratif
meliputi rotasi kerja dan redesain kerja yang bertujuan
untuk membatasi jumlah pekerja yang terpapar. Berikut
ini merupakan pengendalian administratif yang dapat
dilakukan.
a) Rotasi kerja
Rotasi kerja melibatkan perubahan tugas
atau pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja
sehingga
mereka
tidak
berisiko
terpapar
kebisingan yang tinggi, misalnya jika seorang
37
pekerja terpapar kebisingan pada level 94 dB(A)
untuk
satu
jam,
maka
pekerja
harus
menghabiskan waktu kerjanya di area dengan
kebisingan rendah sehingga pekerja tersebut
tidak terpapar kebisingan lebih dari 85 dB(A)
selama 8 jam.
b) Program Pemeliharaan Peralatan
Dalam banyak kasus, pemeliharaan mesin
dan
peralatan
dalam
kondisi
baik
akan
mengurangi paparan kebisingan. Penurunan
kebisingan mesin hingga 10 dB(A) dapat dicapai
dengan cara ini. Penurunan yang lebih besar
sangat
bergantung
peralatan.
Program
pada
tipe
mesin
pemeliharaan
dan
harus
menyertakan modifikasi dan atau tambahan,
misalnya noise mufflers, vibration isolators,
duct
silencers.
Tingkat
kebisingan
dapat
meningkat karena kurangnya pemeliharaan,
perubahan pengaturan mesin atau operasional
mesin.
c) Program “Buy Quite”
Kesempatan untuk melalukan program “buy
quite” ada ketika sedang dibuat perencanaan
38
untuk bangunan dan pengaturan tempat kerja,
perluasan tempat kerja sedang dipertimbangkan,
dan pabrik atau peralatan baru akan dibeli.
4) Alat Pelindung Diri
Alat pelindung telinga merupakan sepasang alat
yang didesain untuk menutupi atau dimasukkan ke
dalam telinga pekerja untuk melindungi pekerja. APT
tidak sesuai digunakan pada lingkungan kerja dengan
level kebisingan rendah (55-85 dB). Pekerja atau semua
orang yang berada dalam lingkungan kerja dengan
kebisingan tinggi seharusnya,
i.
Dibekali APT
ii.
Dilatih cara menggunakan APT dengan benar
iii.
Dilatih untuk menggunakan APT pada saat
terpapar kebisingan
APT
seharusnya
tidak
digunakan
untuk
menggantikan pengendalian teknis atau administratif.
APT biasanya hanya digunakan sementara selama
paparan kebisingan tidak dapat
dicapai dengan
menerapkan pengendalian lainnya. Pelepasan APT
dalam periode waktu yang singkat pada area kebisingan
tinggi dapat mengurangi efektivitas APT tersebut
39
secara signifikan dan mengakibatkan perlindungan
yang tidak optimal.
Program pemilihan APT merupakan hal yang
penting untuk memastikan APT dapat melindungi
pekerja dengan perlindungan yang dapat dipercaya.
APT harus sesuai dengan standar dan mencantumkan
kemampuan
dalam
mereduksi
kebisingan
atau
dinyatakan dalam nilai NRR (Noise Reduction Rating).
Pemilihan APT didasarkan pada:
i.
Derajat perlindungan yang diperlukan dalam
lingkungan pekerja.
ii.
Kesesuaian untuk
digunakan
dalam
jenis
pekerjaan dan lingkungan tempat bekerja.
iii.
Kenyamanan, berat dan kekuatan mengapit dari
APT yang digunakan.
iv.
Kesesuaian
dengan
pengguna.
Kesesuaian
individu diperlukan untuk perlindungan yang
optimum.
v.
Keselamatan
pengguna
dan
teman
kerja.
Dengan pemilihan APT yang benar, maka suara
peringatan tidak akan terganggu ketika APT
digunakan.
40
5) Pengendalian Lain
Pengendalian lainnya yang dapat diterapkan adalah:
i.
Area
Perlindungan
Pendengaran
(Hearing
“Hearing
Protection
Protection Areas)
Tanda
peringatan
Areas” harus dipasang di tempat kerja yang
memiliki kebisingan tinggi. Batas area bising
harus ditentukan dengan jelas.
Tanda
peringatan
digunakan
untuk
menunjukkan area kebisingan tinggi. Tanda
peringatan tambahan dapat digunakan untuk
menunjukkan bahwa untuk memenuhi area
tersebut harus menggunakan APT. Metode ini
dapat dicapai melalui:
a. Pemasangan tanda peringatan sebagai
media untuk menunjukkan bahwa APT
wajib digunakan ketika pekerjaan sedang
berlangsung.
b. Menyediakan
petunjuk
baik
tertulis
maupun verbal tentang bagaimana cara
mengenali keadaan dimana seseorang
harus menggunakan APT.
41
c. Pengawasan yang efektif pada lokasi
yang telah diidentifikasi masuk ke dalam
“Hearing Protection Areas”.
ii.
Inspeksi dan Pemeliharaan
APT yang disediakan perusahaan untuk para
pekerja seharusnya diinspeksi dan dipelihara
secara
rutin.
Perusahaan
juga
harus
menyediakan area yang bersih untuk menympan
APT ketika tidak digunakan. Fasilitas untuk
membersihkan APT yang dapat digunakan
kembali harus tersedia. Selain itu, pekerja juga
sebaiknya melakukan pengecekkan APT secara
reguler untuk mendeteksi dan melaporkan
kerusakan.
iii.
Informasi dan Pelatihan
Pekerja
seharusnya
sudah
diberikan
informasi mengenai perlunya APT sebelum
mereka mulai bekerja. APT
yang sesuai
didasarkan pada nilai attentuion yang diperlukan
untuk lingkungan dan pekerjaan yang dilakukan.
Instruksi tentang cara penggunaan, pemasangan,
perawatan
dan
diberikan
secara
42
pemeliharaan
reguler.
seharusnya
Perusahaan
dan
sepervisor seharusnya mendorong penggunaan
APT dengan menjelaskan dan memberikan
contoh individu.
2.2.1.2 Pengertian Dosis Kebisingan
Pengaturan waktu maksimal pemajanan berkaitan
dengan persentase dosis kebisingan yang diterima oleh
pekerja yaitu mencapai 100% dosis. Rekomendasi yang
diberikan
NIOSH
untuk
exposure
limit
paparan
kebisingan adalah 85 dB(A), untuk 8 jam per hari.
Paparan yang berada di atas level tersebut dapat dianggap
bahaya. Pekerjaan dengan paparan di atas 85 dB(A) harus
pendapat pengendalian sehingga paparan yang diterima
pekerja kurang dari kombinasi tingkat pemaparan (L) dan
durasi (T), sebagaimana dihitung dengan rumus berikut:
T=
Keterangan:
T : Lama pajanan bising yang diperkenankan (jam)
L : Tingkat Kebisingan
Jika tingkat kebisingan dan periode pemaparan bising
yang diterima pekerja berbeda dalam sehari-sehari, maka
dilakukan pengukuran dosis kebisingan. Ketentuan
perhitungan secara manual yaitu jika kebisingan yang
43
diterima pekerja < 80 dB(A), maka bisa kita abaikan
tanpa perlu menghitung dosis karena kebisingan berada
di bawah NAB (Istantyo, 2011). Setelah diketahui
tingkat kebisingannya, kemudian dicari berapa lama
pekerja melakukan pekerjaan di tempat tersebut dan
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
D=
x 100%
Keterangan:
D : jumlah dosis kebisingan
T : lama pajanan kebisingan (jam)
Jika dari perhitungan didapatkan D < 100%, maka
dosis kebisingan yang diterima adalah kurang dari NAB.
Bila D = 100%, maka dosis kebisingannya berada pada
NAB dan bila D > 100%, maka dosis kebisingannya
berada di atas NAB (Tambunan, 2005).
Semakin besar dosis bising yang diterima seorang
pekerja, maka semakin besar potensi terjadi gangguan
pendengaran yang ditandai dengan peningkatan nilai
ambang dengar (Pratiwi, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Istantyo (2011),
mendapatkan hasil bahwa dosis kebisingan terbukti
memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap
44
gangguan fungsi pendengaran dengan nilai Pvalue
sebesar
0,000.
Sedangkan
berdasarkan
analisis
multivariat diketahui bahwa nilai OR untuk variabel
dosis kebisingan sebesar 19,279, artinya pekerja yang
menerima dosis kebisingan lebih dari 100% atau
equivalen dengan 85 dB memiliki peluang 19,279 kali
lebih berisiko untuk mengalami gangguan fungsi
pendengaran
dibandingkan
dengan
pekerja
yang
menerima dosis kebisingan < 100%.
2.2.2 Usia
Usia
mempunyai
pengaruh
terhadap
gangguan
pendengaran. Usia lebih tua relatif akan mengalami penurunan
kepekaan terhadap rangsangan suara. Penyebab paling umum
terjadinya
gangguan
pendengaran
terkait
usia
adalah
presbycusis. Presbycusis ditandai dengan penurunan persepsi
terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan
membedakan bunyi. Presbycusis diasumsikan menyebabkan
kenaikan ambang dengar 0,5 dB setiap tahun, dimulai dari usia
40 tahun. Oleh karena itu, dalam perhitungan tingkat cacat
maupun kompensasi digunakan faktor koreksi 0,5 dB setiap
tahunnya untuk pekerja dengan usia lebih dari 40 tahun. Dalam
penelitian mengenai penurunan pendengaran akibat kebisingan,
45
faktor usia harus diperhatikan sebagai salah satu faktor
counfounding (perancu) yang penting (Zhang, 2010).
Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan usia
dapat terjadi pada telinga. Membran yang ada di telinga bagian
tengah, termasuk di dalamnya gendang telinga menjadi kurang
fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang
kecil yang terdapat di telinga bagian tengah juga menjadi lebih
kaku dan sel-sel rambut di telinga bagian dalam dimana koklea
berada juga mulai mengalami kerusakan. Rusak atau hilangnya
sel-sel rambut inilah yang menyebabkan seseorang sulit untuk
mendengar suara. Perubahan-perubahan pada telinga bagian
tengah dan dalam inilah yang dapat menyebabkan terjadinya
penurunan
sensitifitas
pendengaran
seiring
dengan
bertambahnya usia seseorang (Primadona, 2012). Selain itu
pada orang dengan usia yang lebih tua ambang reflek
akustiknya
akan
menurun.
Reflek
akustik
berfungsi
memberikan perlindungan terhadap rangsangan bising yang
berlebihan. Pada orang tua membutuhkan rangsangan bising
yang lebih tinggi untuk menimbulkan reflek akustik dibanding
pada orang yang lebih muda (Tantana, 2014).
Degenerasi organ pendengaran yang dimulai dari usia 40
tahun ke atas diduga mempunyai hubungan dengan faktorfaktor herediter, pola makan, metabolisme, arteriosklerosis,
46
infeksi, bising, gaya hidup sehingga bersifat multifaktor
(Istantyo, 2011).
Patologi dari perubahan tersebut ialah proses degenerasi
yang menyebabkan perubahan struktur koklea dan nervus VIII.
Pada koklea perubahan yang mencolok yaitu atrofi dan
degenerasi sel-sel pada organ korti. Proses atrofi diikuti dengan
perubahan vaskuler yang terjadi pada stria vaskularis.
Kemudian terdapat perubahan berupa berkurangnya jumlah dan
ukuran sel-sel ganglion dan syaraf (Istantyo, 2011).
Penelitian yang dilakukan Primadona (2012), mendapatkan
hasil bahwa sebanyak 4 orang (26,7%) pekerja yang berusia
lebih dari 40 tahun mengalami penurunan pendengaran,
sedangkan pada pekerja yang berusia kurang dari sama dengan
40 tahun sebanyak 1 orang (2,2%) pekerja mengalami
penurunan pendengaran. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,012 (p<α) yang berarti bahwa secara statistik terdapat
hubungan yang bermakna antara usia pekerja dan kejadian
penurunan pendengaran. Sedangkan Olishifski melaporkan
walaupun pengaruh usia terhadap pajanan bising masih dalam
perdebatan, pada usia diatas 40 tahun terjadi penurunan
ambang pendengaran 0,5 dBA setiap tahun, 20% dari populasi
umum dengan usia 50-59 tahun mengalami kehilangan
47
pendengaran
tanpa
mendapat
pajanan
bising
industri
(Lusianawaty, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Baktiansyah (2004)
terhadap para pekerja pria di PT X, didapatkan hasil bahwa
variabel usia mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap
terjadinya gangguan pendengaran dengan p <0,01. Gangguan
pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang berusia
>40 tahun dan pekerja tersebut memiliki risiko sepuluh kali
lebih besar bila dibandingkan dengan pekerja berusia <40
tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin
tua pekerja, maka semakin besar risikonya untuk mengalami
gangguan pendengaran.
2.2.3 Masa Kerja
Kebisingan yang tinggi memberikan efek yang merugikan
pada tenaga kerja, terutama pada indera pendengaran. Organ
pendengaran yang kita miliki hanya menerima bising pada
batas-batas tertentu saja. Jika batas tersebut dilampaui dan
waktu paparan cukup lama, maka dapat menyebabkan daya
dengar tenaga kerja menurun.
Tenaga kerja memiliki risiko mengalami NIHL yang dapat
terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan tanpa
disadari. Penurunan daya pendengaran tergantung dari lamanya
pemaparan serta tingkat kebisingan, sehingga faktor-faktor
48
yang menimbulkan gangguan pendengaran harus dikurang
(Permaningtyas, 2011).
Gejala klinis penderita gangguan pendengaran akibat bising
dikeluhkan pekerja setelah bekerja selama 5 tahun dan inipun
baru disadari setelah pihak lain seperti istri, anak dan teman
bergaul mengatakan bahwa penderita memerlukan suara yang
cukup keras untuk mampu mendengar.
Penelitian yang dilakukan Pratiwi pada tahun 2012,
didapatkan bahwa terdapat hubungan yang sidnifikan antara
lama kerja terhadap gangguan pendengaran pada penerbang
pesawat herkules dan helikopter dengan p=0,015 dan nilai OR
3,48 artinya bahwa penerbang yang mempunyai lama kerja >5
tahun mempunyai risiko terjadinya gangguan pendengaran
(NIHL) 3,48 kali dibandingkan dengan penerbang yang
mempunyai lama kerja <5 tahun.
Penelitian yang dilakukan Sari, dkk (2012), pada tenaga
kerja PT. PLN (PERSERO) wilayah Kalimantan Timur sektor
Mahakam, PLTD Karang Asam Samarinda, berdasarkan uji
statistik dengan menggunakan chi-kuadrat, ada hubungan yang
signifikan antara lama pemaparan kebisingan berdasarkan masa
kerja dengan gangguan pendengaran tenaga kerja, yaitu dengan
nilai chi-kuadrat sebesar 15,250 >5,991 pada taraf kesalahan
5% dengan derajat kebebasan = 1. Hal ini berarti semakin lama
49
tenaga kerja terpapar oleh kebisingan maka semakin tinggi
(banyak) tenaga kerja yang mengalami gangguan pendengaran.
Penelitian lain yang dilakukan pada pekerja yang berumur
75 tahun dengan pajanan bising selama 20 tahun, pada
pemeriksaan mayat (post mortem) ditemukan kerusakan organ
Corti berupa destruksi sel rambut dengan kerusakan terberat
berasal dari bagian basal koklea. Selain itu ditemukan juga
atrofi dari nervus auditoris dan degenerasi ganglion spiralis.
Bagian koklea terdekat dengan tingkap lonjong menerima
bunyi dengan frekuensi tinggi. Kerusakan koklea akibat
frekuensi dan intensitas tinggi terpusat pada frekuensi 4000 Hz
dimana keadaan ini sesuai dengan getaran terbesar pada
membran basilaris dan organ Corti.
Soetirto menyatakan bahwa gangguan pendengaran dapat
terjadi akibat terpapar kebisingan mikro (60-70 dBA) secara
terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. Terpapar bising
yang intensitasnya 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan
kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam,
yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai
dengan 6000 Hz, dan yang terberat alat Corti untuk reseptor
bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz. Banyak hal yang
mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising,
50
antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi
tinggi, dan lebih lama terpapar bising (Sutopo, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Habibi pada tahun 2010
untuk mengetahui lama paparan bising terhadap kejadian NIHL
pada musisi, didapatkan hasil bahwa dari 47 sampel penelitian
didapatkan sebanyak 5 orang mengalami NIHL, 4 kasus terjadi
pada sampel yang telah terpapar selama lebih dari lima tahun
dan 1 sampel yang telah terpapar selama kurang dari setahun
(Banitriono, 2012).
2.2.4 Penggunaan Alat Pelindung Telinga
Pengendalian kebisingan terutama ditujukan kepada mereka
yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena
daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah
pendengaran
(telinga
bagian
dalam),
maka
metode
pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa
mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian
luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam
(Pratama, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan Balai Hiperkes terhadap 23
orang pekerja di PT Kurnia Jati, salah satu masalah yang
berkaiatan dengan gangguan pendengaran akibat bising pada
tenaga kerja adalah rendahnya kesadaran tenaga kerja yaitu
85% tidak menggunakan alat pelindung pendengaran, masih
51
kurangnya tingkat kepedulian pengusaha dalam menangani
masalah kebisingan dan gangguan pendengaran pada tenaga
kerja, yaitu kurangnya penyediaan alat pelindung diri
pendengaran bagi tenaga kerja dan tidak dilakukannya
pemeriksaan tenaga kerja secara berkala (Arini, 2005).
Sedangkan penelitian yang dilakukan Miristha (2009),
hubungan APT dengan terjadinya keluhan pendengaran berat
diperoleh bahwa operator alat berat yang menggunakan APT
sebanyak 14 orang (56,0%) dan operator alat berat yang tidak
menggunakan APT sebanyak 10 orang (52,6%). Hasil uji
statistik diperoleh pvalue = 0,0001, maka dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara proporsi
penggunaan APT dengan terjadinya keluhan pendengaran
berat.
Menurut John J. Standard dalam buku Fundamentals of
Industrial Hygiene 5th Edition, APT merupakan penghalang
akustik (acoustical barrier) yang dapat mengurangi jumlah
energi suara yang melewati lubang telinga menuju ke reseptor
di dalam telinga (Standard, 2002). Dapat dikatakan bahwa
dengan memakai APT di area kerja yang bising dapat
mengurangi pajanan yang diterima pekerja dan mengurangi
risiko terjadinya penurunan pendengaran akibat bising,
52
demikian pula sebaliknya. Dengan syarat APT tersebut dipakai
secara disiplin dan benar oleh pekerja.
Tipe APT yang sering digunakan saat ini adalah tipe
insert/plug dan muff. Tipe insert/plug digunakan dengan cara
memasukkannya ke lubang telinga, sedangkan tipe muff
digunakan dengan cara menutup/mengurung (enclose) daun
telinga. Efektifitas dari pemakaian APT bergantung pada
beberapa faktor yang berhubungan dengan cara bunyi
ditansmisikan melalui atau disekitar APT tersebut. Menurut
John J. Standard dalam buku Fundamentals of Industrial
Hygiene 5th Edition, jenis APT dapat dibagi menjadi 4
klasifikasi, yaitu enclosure (entire head), aural insert,
superaural dan circumaural (Standard, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Miristha (2009) terhadap
operator alat berat, didapatkan hasil bahwa penggunaan APT
berhubungan sangat signifikan dengan keluhan pendengaran
berat pada pekerja, dengan nilai pvalue 0,0001.
2.2.5 Riwayat Merokok
Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, rokok merupakan hasil
olahan tembakau yang dibungkus, termasuk cerutu ataupun
bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana
Tabacum, Nocotiana Rustica, dan spesies lainnya, atau
sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa
53
bahan tambahan. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan
dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup melalui mulut
pada ujung lainnya (Aula, 2010).
Rokok merupakan salah satu zat yang paling sering ditemui
dan memberikan efek ototoksik pada fungsi sel rambut dan
menimbulkan nicotine-like receptors pada sel rambut. Secara
tidak langsung merokok mempengaruhi suplai pembuluh darah
ke koklea. Tembakau mengandung hidrogen sianida dan bahan
asfiksian yang dapat mengganggu fungsi stria vaskularis bila
terpapar dengan jumlah yang besar (Tantana, 2014).
Merokok memberikan implikasi sebagai bahan ototoksik
langsung dikarenakan efek dari nikotin atau menyebabkan
iskemia
melalui
pembuluh darah,
produksi
karboksi-hemoglobin,
kekentalan darah
atau
juga
spasme
melalui
arteriosklerotik. Insufiensi sistem sirkulasi darah pada organ
koklea yang disebabkan oleh merokok inilah penyebab
gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif
dan paling sering timbul pada usia tua (presbycusis).
Efek rokok terhadap pendengaran juga terjadi melalui
mekanisme anti oksidatif yang ditimbulkan atau melalui
gangguan suplai darah ke sistem auditori. Banyak penelitian
klinis yang membuktikan bahwa merokok berhubungan
signifikan terhadap gangguan pendengaran (Istantyo, 2011).
54
Penelitian yang dilakukan oleh Tandiabang dkk (2010) untuk
melihat risiko kebiasaan merokok dan terhadap gangguan
fungsi pendengaran pekerja di PT. X Provinsi Sulawesi Selatan
menemukan bahwa ada hubungan antara kelompok perokok
dengan gangguan pendengaran. Sedangkan melalui analisis
multivariat diketahui bahwa perokok berat paling berisiko
terhadap timbulnya gangguan fungsi pendengaran pekerja di
PT. X Provinsi Sulawesi Selatan.
2.2.6 Penggunaan Obat Ototoksik
Obat ototoksik adalah semua obat-obatan yang dapat
menimbulkan terjadinya gangguan pendengaran fungsional
pada telinga dalam meliputi obat golongan aminoglikosida,
loop diuretik, salisilat, obat malaria, obat anti tumor (Tantana,
2014).
Obat-obatan yang bersifat racun pada telinga (ototoksik)
dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran
menjadi
rusak,
dan terjadi tuli
sensorineural.
Setelah
pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terjadi
gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural dan gangguan
keseimbangan (Istantyo, 2011).
Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksik
sangat sering ditemukan, diakibatkan pemberian gentamisin dan
streptomisin. Prosesnya secara perlahan-lahan dan beratnya
55
sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta
keadaan fungsi ginjalnya. Antibiotika aminoglikosida dan loop
diuretik adalah dua dari obat-obat ototoksik yang banyak
ditemukan
memiliki
potensi
bahaya.
Kerusakan
yang
ditimbulkan akibat preparat ototoksik adalah:
a. Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi
pada penggunaan semua jenis obat ototoksik.
b. Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi
pada organ corti dan labirin vestibular, akibat gangguan
antiboitika
aminoglikosida
sel
rambut
luar
lebih
terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan
degeneratif ini terjadi mulai dari basal kokle dan berlanjut
terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks.
c. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder
akibat adanya degenerasi sel epitel sensori.
Beberapa obat-obatan yang diketahui dapat mempengaruhi
pendengaran adalah sebagai berikut.
1. Aminoglikosida, obat jenis ini menyebabkan tuli bilateral
dan bernada tinggi, sesuai dengan hilangnya sel-sel rambut
pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral
dan disertai gangguan vestibular. Obat-obatan tersebut
adalah Streptomisin, Neomisin, Kanamisin, Gentamisin,
Tobramisin, Nentilmisin dan Sisomisisin. Pemakaian
56
Streptomisin memerlukan perhatian khusus karena obat ini
masih digunakan sebagai terapi anti-tuberkulosis kategori
II.
2. Eritromisin,
gejala
pemberian
eritromisisn
intravena
terhadap telinga adalah kurang pendengaran subjektif tinitus
yang meniup dan kadang disertai vertigo. Antibiotik lainnya
yaitu Vankomisin, Viomisisn, Capreomisin, Minosiklin
dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada
pasien yang memiliki gangguan fungsi ginjal.
3. Loop Diuretics, obat jenis ini dapat menghambat reabsorpsi
elektrolit-elektrolit
dan
air
pada
cabang
naik
dari
lengkungan Henle.
4. Obat anti inflamasi, salisilat termasuk aspirin dapat
mengakibatkan tuli sensorineural berfrekuensi tinggi dan
tinnitus.
5. Obat anti malaria, kina dan klorokuin adalah obat anti
malaria yang biasa digunakan.
6. Obat anti tumor, gejala yang ditimbulkan CIS platinum
sebagai obat anti ototoksik adalah tuli subjektif, tinnitus dan
otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan
keseimbangan.
57
7. Obat tetes telinga, obat ini banyak yang mengandung
antibiotika golongan aminoglikosida seperti: Neomisin dan
Polimiksin B.
2.2.7 Lingkungan Tempat Tinggal
Menurut Rosenlund (2001), faktor lingkungan tempat
tinggal
seseorang
sangat
mempengaruhi
nilai
ambang
pendengarannya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada
responden yang tinggal dekat bandara dengan kebisingan di
atas 55 dB dari 27 responden terdapat 4 orang dengan hearing
loss dan dari 124 responden yang tempat tinggalnya
mempunyai kebisingan > 72 dB terdapat 23 orang yang
mengalami hearing loss. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
lingkungan
sangat
berpengaruh terhadap
nilai
ambang
pendengaran seseorang (Arini, 2005).
Sumber bising tidak hanya berasal dari lingkungan kerja
saja akan tetapi dapat juga dari bidang hiburan dan rekreasi.
Penelitian Adenan pada tahun 2003 terhadap 43 orang
penduduk yang bertempat tinggal di sekitar landasan bandara
Polonia Medan pada jarak lebih kurang 500 meter dengan lama
hunian sekitar 5 tahun dan rentang usia 20-42 tahun diperoleh
hasil sebanyak 50% menderita tuli saraf akibat bising.
Penelitian yang dilakukan oleh Limbong pada tahun 2002
mengenai pencemaran udara dan kebisingan sumber energi
58
diesel, tingkat kebisingan sebagai dampak dari kegiatan PLTD
Bitung diperoleh bahwa di seluruh lokasi pengukuran pada
jarak 100 meter ke bawah telah melewati ambang batas baku
mutu kebisingan yang diperbolehkan (Banitriono, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Chairani (2004) terhadap
tenaga kerja yang terpajan bising lebih dari 85 dB di pabrik
sepatu X, mendapatkan hasil bahwa tempat tinggal memiliki
hubungan dengan gangguan pendengaran akibat bising (p =
0.039).
Angka
kejadian
gangguan
kemampuan
pendengaran
semakin menurun dengan semakin jauhnya dari sumber bising,
hal ini terjadi karena intensitas berbanding terbalik dengan
kuadrat jarak, sehingga semakin jauh dari sumber bising maka
intensitas bising tersebut akan semakin menurun (Banitriono,
2012).
2.2.8 Jenis Kelamin
Progresifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia
dan jenis kelamin, pada umumnya lebih cepat terjadi pada lakilaki dibandingkan dengan perempuan. Gangguan pendengaran
yang terjadi pada laki-laki ambangnya lebih tinggi dibanding
pada perempuan.
Kejadian gangguan pendengaran pun
presentasenya lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan.
59
Berdasarkan penelitian Tantana (2014) pada pemain gamelan
didapatkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi
square bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara
statistik antara faktor jenis kelamin dengan gangguan
pendengaran akibat bising gamelan dengan nilai chi square
16,10; nilai p<0,01.
2.2.9 Hobi Terkait Bising
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa hobi terkait
bising
seperti
mendengarkan
musik
keras-keras
dapat
mengakibatkan ketulian. Royal National Institute For Deaf
People (RNID), sebuah lembaga kehormatan Inggris yang
meneliti masalah ketulian, melakukan survei pada sejumlah
klub malam, ternyata klub tersebut memiliki tingkat kebisingan
mencapai 120 dB (Djunafar, 2000). Telinga pengunjung klub
malam tersebut tentunya terpapar suara yang jauh di atas
ambang
batas
selama
berjam-jam.
Kebisingan
yang
ditimbulkan dari suara walkman dengan menggunakan ear
phone secara terus menerus dengan volume maksimal setara
dengan suara mesin bor yang intensitasnya mencapai 96 dB.
Bahkan hasil penelitian di Australia menyebutkan, anak-anak
yang sering mendengarkan walkman sejak usia 10-an tahun,
kemungkinan akan menderita tuli pada usia 30-an tahun.
60
Sedangkan berdasarkan National Safety Council (1986)
dalam Pratiwi (2012) beberapa hobi para pekerja dapat
mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran, misalnya
hobi yang berkaitan dengan lingkungan bertekanan tinggi
seperti menyelam (hiperbarik), hobi yang berkaitan dengan
pajanan bising tinggi misalnya menembak dengan senjata api,
balap motor/mobil, mendengarkan musik keras dan lain-lain.
Makin banyak hobi yang berhubungan dengan bising makin
besar terjadinya risiko gangguan pendengaran.
2.2.10 Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit merupakan kondisi kesehatan telinga
pendengar seperti otitis media dan tinnitus yang sedang
diderita.
1. Otitis Media
Yaitu suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga
tengah
yang
terjadi
akibat
infeksi
bakteri
Streptococcus pneumonia, Haemopilus influenza, atau
Staphylococcus aureus. Otitis media juga dapat timbul
akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang biasanya
diobati dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis
media serosa) yang dapat diobati dengan antihistamin
dengan atau tanpa antibiotik (Pratama, 2010).
61
2. Tinnitus
Tinnitus adalah suara berdengung di satu atau kedua
telinga. Tinnitus dapat timbul pada penimbunan kotoran
telinga atau presbiakus, kelebihan aspirin dan infeksi
telinga (Pratama, 2010).
62
2.3 Kerangka Teori
Dosis Kebisingan
Usia Pekerja
Masa Kerja
Penggunaan APT
Riwayat Merokok
Gangguan
Penggunaan Obat
Ototoksik
Pendengaran
Lingkungan Tempat
Tinggal
Jenis Kelamin
Hobi Terkait Bising
Riwayat Penyakit
Bagan 2. 1 Kerangka Teori
63
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah variabel dependen berupa
gangguan pendengaran, dengan variabel independen yang terdiri dari dosis
kebisingan, usia, masa kerja, penggunaan alat pelindung telinga, riwayat
merokok, dan hobi terkait bising.
Variabel yang tidak diteliti adalah :
3. Jenis Kelamin : tidak diteliti karena seluruh pekerja adalah laki-laki
atau homogen.
4. Lingkungan Tempat Tinggal : tidak diteliti karena peluang bias recall,
hal ini dikarenakan terdapat perbedaan akurasi ketika sampel
melaporkan paparan.
8. Penggunaan Obat Ototoksik : tidak diteliti karena memiliki peluang
bias recall yang besar karena sulit untuk mengingat obat yang telah
digunakan dalam waktu yang cukup lama.
9. Riwayat Penyakit : tidak diteliti karena peluang bias recall yaitu
kesalahan responden dalam memberikan informasi.
64
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Dosis Kebisingan
Usia
Masa Kerja
Gangguan
Pendengaran
Penggunaan APT
Riwayat Merokok
Hobi Terkait Bising
65
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Variabel
Hasil Ukur
Skala Ukur
Variabel Dependen
Gangguan
Perubahan pada tingkat pendengaran
Pendengaran
yang mengakibatkan kesulitan dalam
Garpu Tala
Pemeriksaan
gangguan
berkehidupan normal, biasanya
pendengaran
dalam hal memahami pembicaraan
yang disebabkan terpajan oleh bising
yang cukup keras dalam jangka
waktu yang cukup lama dan biasanya
diakibatkan oleh bising lingkungan
kerja
66
0. Gangguan
Pendengaran
1. Normal
Ordinal
Variabel Independen
Dosis
Jumlah paparan tingkat kebisingan
Sound Level Pengukuran
Kebisingan
aktual berbanding dengan lamanya
Meter,
waktu kontak dengan kebisingan
yang diizinkan.
dan Kuesioner
Kalkulator,
1. Lebih dari NAB Ordinal
(≥100%)
2. Kurang dari NAB
dan
(<100%)
Kuesioner
(NIOSH, 1998)
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Usia
Jumlah tahun lahir para pekerja,
Kuesioner
Wawancara
0. > 40 tahun
Ordinal
yang dihitung sejak tanggal lahir
1. ≤ 40 tahun
sampai dengan ulang tahun terakhir
(Primadona, 2012)
pekerja pada saat pengambilan data
dilakukan.
Masa kerja
Lama bekerja yang dijalani sebagai
Kuesioner
pekerja di PT. Dirgantara Indonesia
67
Wawancara
0. ≥ 5 tahun
Ordinal
(Persero) dihitung sejak awal
1. < 5 tahun
terdaftar menjadi pekerja sampai
(Pratiwi, 2012)
pengambilan data dilakukan.
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
Penggunaan
Suatu perilaku yang dilakukan oleh
Lembar
Observasi
0. Tidak menggunakan
Ordinal
alat
pekerja untuk melindungi telinga
Observasi
pelindung
dari paparan kebisingan di tempat
telinga
kerja.
APT
1. Menggunakan APT
(Miristha, 2009)
(APT)
Riwayat
Kegiatan mengonsumsi bahan
Kuesioner
Merokok
tembakau dan hasil olahannya, baik
berat (201->600
dilakukan pada saat bekerja atau pun
batang)
tidak bekerja.
Wawancara
0. Perokok sedang-
1. Perokok ringan (1200 batang)
68
Ordinal
2. Bukan perokok (0
batang)
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Hobi terkait
Kegemaran pekerja di waktu luang
Kuesioner
Wawancara
0. Ya
bising
untuk melakukan aktivitas yang ada
1. Tidak
hubungannya dengan pajanan bising
seperti mendengarkan musik,
clubbing, karaoke, nonton film
bisokop, menyelam, berbelanja, dan
menembak.
69
Skala Ukur
Ordinal
3.3 Hipotesis
1. Terdapat
hubungan
antara
dosis
kebisingan
dengan
gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
2. Terdapat hubungan antara usia dengan gangguan pendengaran pada
pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
3. Terdapat hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada
pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
4. Terdapat hubungan antara penggunaan alat pelindung telinga dengan
gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
5. Terdapat
hubungan
antara
riwayat
merokok
dengan
gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
6. Terdapat hubungan antara hobi terkait bising dengan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
70
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis studi analitik yang bertujuan untuk melihat
hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel
dependen. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional, karena
peneliti ingin melihat hubungan antara variabel independen berupa faktorfaktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran dengan variabel
dependen berupa gangguan pendengaran yang dialami pekerja pada waktu
yang bersamaan.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember tahun 2014 – Februari tahun
2015 di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yang terletak di Jl. Pajajaran 154
Bandung, 04174 Bandung, Jawa Barat.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan elemen/subjek riset (Murti, 1997).
Dalam penelitian ini populasi adalah seluruh pekerja di departemen Metal
Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yaitu
sebanyak 178 orang. Berikut ini adalah data jumlah pekerja di masingmasing unit:
71
Tabel 4.1 Daftar Pekerja di Departemen Metal Forming
dan Heat Treatment
No.
Nama Unit
Jumlah Pekerja
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Manager
1
Sheet Press Forming
62
Profile Press Forming
39
Stretch Forming
41
Heat Treatment
10
Tube Bending and Welding
13
PP dan Scheduling
12
178
Total
Sumber : SDM PT Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2014
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus besar sampel
untuk uji hipotesis beda dua proporsi (Lemeshow, 1997) seperti berikut:
Keterangan:
n
: besar sampel minimun dalam penelitian
P
: rata-rata P1 dan P2 yaitu (P1 + P2)/2,
P1
: 0,35 (proporsi pekerja yang menerima dosis kebisingan ≥
= 0.25
100% di PT Indonesia Power UBP Suralaya oleh Istantyo
tahun 2011)
P2
: 0,15 (proporsi pekerja yang menerima dosis kebisingan <
100% di PT Indonesia Power UBP Suralaya oleh Istantyo
tahun 2011)
Z
: nilai Z pada derajat kemaknaan, 95% = 1.96
Z
: nilai Z pada kekuatan uji power 1, 96% = 1.64
2
72
n = 60
Sampel minimal yaitu 60 orang. Untuk menghindari drop out atau
jawaban responden yang missing maka jumlah sampel ditambah,
sehingga menjadi 66 orang.
4.3.3 Metode Sampling
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Systematic Random
Sampling. Cara ini dapat dilaksanakan apabila populasi tidak begitu
banyak variasinya dan secara geografis tidak terlalu menyebar. Teknik ini
merupakan modifikasi dari simple random sampling. Caranya adalah
membagi jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah sampel
yang diinginkan hasilnya adalah interval sampel (Notoadmojo, 2010).
Maksud dari penggunaan metode ini adalah agar sampel tersebar secara
merata di setiap unit. Syarat dari metode ini yaitu harus ada sampling
frame, karakteristik populasinya cukup homogen, dan populasinya secara
geografis tidak terlalu menyebar (Sabri, 2011). Berikut ini adalah
penghitungan interval/kelipatan untuk Systematic Random Sampling.
=
Berdasarkan perhitungan tersebut, kelipatan yang didapat sebesar 3.
Maka dari sampel pertama akan didapatkan sampel kedua yang terdapat
pada urutan ke-3 setelah sampel pertama di dalam sampling frame, yaitu 1,
4, 7, 10 dst.
73
4.4 Pengumpulan Data
4.4.1 Sumber Data
Merupakan subjek dari mana data diperoleh (Arikunto,2010). Dalam
penelitian ini terdapat dua sumber data yaitu:
a. Data Primer
Data primer merupakan sumber data langsung yang diperoleh
melalui
pengukuran garpu
tala
untuk
menentukan gangguan
pendengaran pada pekerja dan penyebaran kuesioner yang berisi
pertanyaan terkait variabel yang diteliti kepada para pekerja.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang didapatkan dari perusahaan
seperti profil perusahaan dan data karyawan PT. Dirgantara Indonesia
(Persero).
4.4.2 Alur Pengumpulan Data
Alur pengambilan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Variabel
a. Gangguan Pendengaran
Pengukuran gangguan pendengaran dilakukan dengan
menggunakan garpu tala.
b. Dosis Kebisingan
Pengukuran waktu paparan kebisingan menggunakan
lembar observasi untuk menilai lamanya pekerja berada di wilayah
tersebut. Intensitas kebisingan yang diterima diukur dengan
menggunakan alat Sound Level Meter melalui metode observasi
74
pada setiap pekerja. Setelah didapatkan waktu lamanya pekerja
melalukan pekerjaan di tempat tersebut dan intensitas kebisingan
yang diterima kemudian dilakukan perhitungan dosis kebisingan.
Untuk pengukuran dosis kebisingan dihitung menggunakan
kalkulator.
Pengukuran dosis kebisingan dihitung
menggunakan
kalkulator (Soeripto, 2008 ), dengan rumus :
D=
x 100%
Keterangan :
D : jumlah dosis kebisingan
C : konsentrasi (jam)
T : lama pajanan kebisingan yang diizinkan (jam)
Sebagai contoh, seorang pekerja A mulai bekerja di suatu
ruangan dengan intensitas suara sebesar 91 dB selama 1 jam,
kemudian pindah ke ruangan dengan intensitas 100 dB selama 15
menit, kemudian pekerja pindah menuju ruangan dengan
kebisingan 106 dB selama 15 menit. Hal pertama yang harus
dilakukan adalah mencari lamanya waktu bekerja yang diizinkan
sesuai dengan intensitas bising tersebut.
75
Tabel 4.2 Contoh Perhitungan Dosis Kebisingan
Untuk tepajan pada
intensitas bising
Lamanya waktu
terpajan yang diizinkan
91 dB
100 dB
106 dB
Sumber : Soeripto (2008)
2 jam
15 menit
3,75 menit
Maka apabila hasil pembacaan dimasukkan ke dalam rumus
akan dihasilkan :
=
+1+4 = 5,50
Jadi berdasarkan perhitungan tersebut, dosis kebisingan
yang diterima responden sebesar 5,50 x 100% yaitu 550%, dosis
kebisingan tersebut telah melebihi nilai ambang batas yang
diizinkan yaitu sebesar 100%.
c. Riwayat Merokok
Data riwayat merokok didapatkan melalui kuesioner,
dengan pertanyaan berupa lamanya merokok dan jumlah batang
rokok yang dihisap dalam sehari. Klasifikasi perokok ditetapkan
berdasarkan indeks Brikmann, dengan rumus sebagai berikut:
Lama merokok (tahun) x Jumlah batang rokok yang dihisap per hari
Bila hasilnya,
0 batang
= bukan perokok
1-200 batang
= perokok ringan
201- > 600 batang
= perokok sedang - perokok berat
76
d. Usia, Masa Kerja, dan Hobi Terkait Bising
Variabel usia, masa kerja, dan hobi terkait bising
didapatkan melalui penyebaran kuesioner kepada para pekerja.
e. Penggunaan Alat Pelindung Telinga
Data untuk varibel penggunaan alat pelindung telinga
didapatkan melalui observasi yang dilakukan oleh penulis terhadap
seluruh pekerja.
2. Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Garpu Tala
Pemeriksaan pendengaran dengan garpu tala atau penala
merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala
seperti tes Rinne, tes Weber, dan tes Schwabach. Dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher edisi
ke - 6, cara melakukan tes penala adalah sebagai berikut
(Soepardi,2007).
1) Tes Rinne
Tes Rinne dilakukan dengan cara menggetarkan penala,
kemudian tangkai penala diletakkan di prosesus mastoid,
setelah tidak terdengar bunyi, penala dipegang di depan telinga
kira-kira 2,5 cm. Bila bunyi masih terdengar disebut Rinne
positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-).
77
2) Tes Weber
Tes Weber dilakukan dengan cara penala digetarkan dan
tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di verteks,
dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu).
Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu
telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak
dapat dibedakkan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih
keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.
3) Tes Schwabach
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus
mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai
penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga
pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih
dapat
mendengar
disebut
Schwabach
memendek,
bila
pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang
dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus
mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat
mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila
pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya
disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.
Untuk mendiagnosis gangguan pendengaran akibat bising
(Noise Induced Hearing Loss), pada pemeriksaan audiologi
melalui tes penala didapatkan hasil Rinne positif Weber
78
lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik, dan
Schwabach memendek. Berikut ini merupakan tabel 4.3
tentang gambaran hasil diagnosis tes penala.
Tabel 4.3 Gambaran Hasil Diagnosis Tes Penala
Tes
Rinne
Positif
Negatif
Positif
Tes Weber
Tidak ada
lateralisasi
Lateralisasi
ke telinga
yang sakit
Lateralisasi
ke telinga
yang sehat
Tes
Schwabach
Sama dengan
pemeriksa
Memanjang
Memendek
Diagnosis
Normal
Tuli konduktif
Tuli
sensorineural
Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, tes Rinne masih bisa positif
Sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Kepala dan
Tenggorokan FKUI, 2007
b. Sound Level Meter
Pengukuran tingkat kebisingan di lingkungan tempat kerja
diukur dengan menggunakan alat Sound Level Meter (SLM)
Krisbow tipe KW06-291. SLM adalah instrumen dasar yang
digunakan untuk mengukur getaran suara di udara. Alat ini dapat
mengukur tingkat kebisingan antara 30-130 dB dengan frekuensi
16-20.000 Hz. Pengukuran terhadap tenaga kerja menggunakan
skala A pada SLM karena pada skala tersebut frekuensinya sama
dengan frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia. Alat
SLM biasanya dilengkapi dengan tiga skala ukuran:
79
1) Skala A untuk mengukur respon karakteristik telinga untuk
tingkat kebisingan yang rendah 35–135 dB.
2) Skala B untuk tingkat kebisingan sedang 40–135 dB.
3) Skala C untuk tingkat kebisingan yang lebih tinggi 45–135
dB.
Berikut ini merupakan cara menggunakan Sound
Level Meter untuk pengukuran intensitas kebisngan.
1. Hidupkan alat dengan menekan tombol On kemudian
pindahkan tombol fungsi ke posisi “dB”.
2. Lakukan pengukuran pada titik sampling yang telah
ditentukan.
3. Sesuaikan jarak pengukuran dan arahkan mikrofon ke
sumber bising dalam posisi horizontal.
4. Tekan tombol Select : select A dan dB, C dan dB, Lo
dan dB, serta Hi dan dB.
5. Untuk respon cepat, sangat cocok untuk mengukur
teriakan, ledakan, dan mesin dengan suara tertinggi dari
sumber bising.
6. Level bising akan diperlihatkan pada monitor.
7. Catat hasil pengukuran
8. Matikan Sound Level Meter bila telah selesai digunakan
dan simpan secara aman.
80
c. Kuesioner
Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara pembagian
kuesioner kepada pekerja yang menjadi sampel penelitian,
sebelumnya peneliti menjelaskan terlebih dahulu maksud dan
tujuan penelitian serta cara pengisian kuesioner yang benar.
4.5 Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul kemudian diolah melalui serangkaian langkah
sistematik. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengolah data yaitu:
a. Penyuntingan data (Editing)
Setelah data didapatkan dan sebelum diolah terlebih dahulu
dilakukan pengecekan ulang (edit) pada data isian formulir dan kuesioner
untuk memastikan bahwa semua data yang diperlukan telah terisi dan
menghilangkan keraguan dari peneliti. Jika masih terdapat pertanyaan
yang belum terisi maka peneliti akan menanyakannya kembali melalui
telepon atau sms kepada responden terkait.
b. Pemberian kode (Coding)
Untuk memudahkan proses analisis, maka dilakukan pemberian
kode pada setiap data yaitu dengan cara mengubah data bentuk huruf
menjadi data bentuk angka. Tahap coding dilakukan pada jawaban
kuesioer pada variabel dependen maupun independen.
81
Tabel 4.4 Daftar Kode Variabel
No
Variabel
1
Dosis Kebisingan
2
Usia
3
Masa Kerja
4
Penggunaan APT
5
Riwayat Merokok
6
Hobi terkait bising
Kode
0.
1.
1.
2.
1)
2)
1.
2.
0.
1.
2.
1.
2.
Lebih dari NAB (≥ 100%)
Kurang dari NAB (< 100%)
> 40 tahun
≤ 40 tahun
≥ 5 tahun
< 5 tahun
Tidak menggunakan APT
Menggunakan APT
Perokok berat - Perokok sedang
Perokok ringan
Bukan Perokok
Ya
Tidak
c. Pemasukan data (Data entry)
Data entry merupakan proses pemasukan data ke dalam sistem
perangkat lunak komputer untuk pengolahan lebih lanjut.
d. Pembersihan data (Data Cleaning)
Data cleaning merupakan proses pengecekan kembali data yang
telah dimasukan (entry) untuk memastikan bahwa data tersebut telah
dimasukkan dengan benar. Hal ini dilakukan untuk melihat dan
menemukan apabila terdapat kesalahan yang dilakukan peneliti pada saat
memasukkan data. Setelah tahap ini selesai, kemudian dilakukan proses
analisis data.
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi
dan proporsi guna mendeskripsikan variabel independen (dosis
82
kebisingan, masa kerja, usia, riwayat merokok, hobi terkait bising, alat
pelindung telinga) dan dependen (gangguan pendengaran) yang
diteliti. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabel dan narasi
singkat.
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian
dengan cara mengetahui hubungan antara variabel independen (dosis
kebisingan, masa kerja, usia, riwayat merokok, hobi terkait bising, alat
pelindung telinga) dan variabel dependen (gangguan pendengaran).
Analisis data dilakukan dengan uji statistik chi-square dengan tingkat
kemaknaan α = 0,05.
Rumus chi-square (Sabri, 2014):
X=
dF = (k-1)(b-1)
Keterangan :
X
: chi-square
E
: nilai ekspektasi
B
: jumlah baris
O
: nilai observasi
K
: jumlah kolom
Derajat signifikansi ( ) pada penelitian ini ditetapkan sebesar 5 %
(0.05). Terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen apabila hasil perhitungan didapatkan nilai p lebih kecil dari
83
nilai alpha (p ≤ ). Sebaliknya, apabila didapatkan nilai p lebih besar
dari nilai alpha (p > ), maka tidak terdapat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.
Kekuatan hubungan anatara variabel dependen dan independen
dapat dilihat melalui nilai Odd Ratio (OR). Bila nilai OR = 1 artinya
tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen. Jika nilai OR < 1, artinya variabel independen sebagai
faktor protektof terhadap variabel dependen dan jika OR > 1 artinya
variabel independen sebagai faktor risiko terhadap variabel dependen.
84
BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Umum Perusahaan
5.1.1 Profil Perusahaan
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu
perusahaan penerbangan di Asia yang berpengalaman dan
berkompetensi dalam rancang bangun, pengembangan, dan
manufacturing pesawat terbang. Diawali dengan membangun
dasar penguasaan teknologi melalui lisensi, perusahaan industri
yang berdiri pada 23 Agustus 1976 ini memproduksi helikopter
dan pesawat terbang, diantaranya NBO-105, Super puma NAS332
dan
NC-212.
Tiga
tahun
kemudian
perusahaan
mengintegrasikan teknologinya bersama CASA merancang dan
memproduksi CN-235.
Kemudian dalam rangka memantapkan kehadirannya dalam
industri kedirgantaraan dunia serta meningkatkan kemampuan
sebagai industri pesawat terbang, kerjasama internasional
ditandatangani. Kerjasama tersebut antara lain dengan Boeing
Company, menghasilkan komponen pesawat Boeing, serta
dengan Bell Helicopter Textron, memproduksi NBELL-412.
Selanjutnya dengan penguasaan teknologi serta keahlian
yang terus berkembang, PT. Dirgantara Indonesia merancang
85
bangun N250, generasi pesawat penumpang subsonic dengan
daya angkut 64-68 penumpang dengan fly by wire system.
Prototype pertamanya telah berhasil diterbangkan pertama
kalinya pada tanggal 10 Agustus 1995 dan telah menjalani
sekitar 600 jam uji terbang. Kemudian diteruskan dengan
mengembangkan N2130 pesawat jet transonic dengan inovasi
baru, dalam tahap preliminary design. Namun, kedua program
tersebut terhenti karena adanya kendala pendanaan.
Pada tahun 1998 sebagai dampak dari krisis ekonomi dan
moneter pada tahun sebelumnya, industri ini mempersiapkan
paradigma baru. Melalui paradigma ini, PT. Dirgantara
Indonesia lebih berorientasi bisnis dengan memanfaatkan
teknologi yang telah diserap selama tiga windu, sebagai ujung
tombak dalam menghasikan produk dan jasa.
PT. Dirgantara Indonesia telah berhasil sebagai industri
manufaktur dan memiliki diversifikasi produknya, tidak hanya
bidang pesawat terbang tetapi juga dalam bidang lain, seperti
teknologi infomasi, telekomunikasi, otomotif, maritim, militer
otomasi dan kontrol, minyak dan gas, turbin industri, teknologi
simulasi, dan engineering services.
86
5.1.2 Visi dan Misi
A. Visi
Menjadi perusahaan industri kelas dunia dalam industri
dirgantara yang berbasis pada penguasaan teknologi tinggi
dan
mampu
bersaing
dalam
pasar
global
dengan
mengandalkan keunggulan biaya.
B. Misi
1. Menjalankan usaha dengan selalu berorientasi pada
aspek bisnis dan komersial serta dapat menghasilkan
produk dan jasa yang memiliki keunggulan biaya.
2. Sebagai pusat keuntungan bidang industri dirgantara
terutama dalam rekayasa, rancang bangun manufaktur,
produksi dan pemeliharaan untuk kepentingan komersial
dan militer serta untuk aplikasi diluar industri dirgantara.
3. Menjadikan perusahaan sebagai kelas dunia di industri
global yang mampu bersaing dan mampu melakukan
aliansi stategi dengan industri dirgantara lainnya.
5.1.3 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perusahaan
PT. Dirgantara Indonesia berupaya menerapkan SMK3,
salah satunya dapat dilihat dengan upaya membangun dan
memelihara komitmen. PT. Dirgantara Indonesia memiliki
kebijakan perusahaan yang dimaksudkan sebagai ketentuan-
87
ketentuan atau arahan-arahan dalam mengelola keselamatan dan
kesehatan kerja, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan
bagi tenaga kerja dan mitra kerja, serta lingkungannya.
Kebijakan dengan Nomor Dokumen 00-PTD-19A yang
dikeluarkan pada tanggal 19 Oktober 2009 tersebut, meliputi
upaya
perusahaan
dalam
merencanakan,
menerapkan,
mengendalikan dan melakukan perbaikan pengelolaan K3LH.
Isi dari kebijakan perusahaan sebagai berikut:
1. Perusahaan melaksanakan K3LH secara terintegrasi dalam
aktivitas di tempat kerja sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku dan standar yang berlaku.
2. Perusahaan menyusun, melaksanakan, mendokumentasikan,
dan memelihara sistem manajemen K3LH yang terintegrasi
dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan,
penyakit akibat kerja dan pencemaran lingkungan serta
terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
3. Perusahaan
menyusun
rencana
program
pencegahan
pengurangan dan penanggulangan bahaya kecelakaan kerja,
kebakaran, peledakan, gangguan kesehatan akibat kerja dan
pencemaran lingkungan.
4. Perusahaan melaksanakan kegiatan K3LH secara efektif
dengan mengembangkan kemampuan dan mekanisme
88
pendukung yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan
sasaran K3LH.
5. Perusahaan melaksanakan inspeksi, pengukuran, atau
pengajuan, pemantauan dan/atau audit K3LH.
6. Perusahaan melakukan perbaikan pengelolaan K3LH
berdasarkan hasil pengukuran, pemantauan dan audit.
7. Perusahaan
menumbuhkan,
mengembangkan
dan
memelihara kesadaran karyawan dan mitra kerja dalam
melaksanakan pekerjaannya sesuai norma K3LH.
8. Perusahaan membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3) untuk mengelola pelaksanaan
program K3LH.
9. Perusahaan menetapkan bahwa strategi, perencanaan,
pelaksanaan
dan
pengendalian
kegiatan
K3LH
dikoordinasikan secara terpusat.
Seluruh kebijakan tersebut ditandatangani langsung oleh
Direktur Utama PT. Dirgantara Indonesia. Namun, kebijakan
sistem manajemen K3 PT. Dirgantara Indonesia tidak dapat
dilampirkan karena merupakan dokumen rahasia perusahaan.
89
5.1.4 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal
Forming dan Heat Treatment Tahun 2015
Salah satu potensi bahaya terbesar yang ada di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment adalah paparan kebisingan
yang melebihi nilai ambang batas sesuai dengan Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
nomor
Per.13/MEN/X/2011 tahun 2011. Berikut ini merupakan
gambaran tingkat kebisingan di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment tahun 2015.
Tabel 5.1 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen
Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015
Intensitas
No.
Unit
Kebisingan (dB)
1.
2
3
4
5
6
Sheet Press Forming
Profile Press Forming
Heat Treatment
PP and Scheduling
Stretch Forming
Tube Bending and Welding
80 – 102
80 – 103
< 85
< 85
80 – 98
75 – 89
Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa empat unit
dalam departemen Metal Forming dan Heat Treatment memiliki
intensitas kebisingan melebihi nilai ambang batas (NAB),
sedangkan dua unit memiliki tingkat kebisingan di bawah nilai
ambang batas.
90
5.2 Analisis Univariat
Analisis Univariat dilakuakan untuk melihat distribusi frekuensi dan
statistik deskriptif dari masing-masing variabel. Variabel tersebut adalah
gangguan pendengaran, dosis kebisingan, usia, masa kerja, penggunaan
APT, riwayat merokok dan hobi terkait bising.
5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui gangguan
pendengaran pada penelitian ini menggunakan data primer yaitu
pemeriksaan dengan garpu tala atau tes penala yang dilakukan
pada bulan Januari tahun 2015. Pada tes penala untuk
mendiagnosis gangguan pendengaran akibat bising didapatkan
hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Berikut
ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi pada variabel
dependen gangguan pendengaran pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015.
Tabel 5.2 Gambaran Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment
PT. Dirgantara Indonesia Tahun 2015
Variabel
Kategori
N
%
Gangguan
Pendengaran
Gangguan
Normal
Total
91
45
68,2
21
66
31,8
100
Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa sebanyak 45 pekerja
(68,2%) mengalami gangguan pendengaran. Sedangkan 21
pekerja (31,8%) memiliki pendengaran normal.
5.2.2 Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal
Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) Tahun 2015
Berikut ini adalah tabel 5.3 tentang hasil analisis distribusi
frekuensi pada variabel independen berupa dosis kebisingan,
usia, masa kerja, penggunaan APT, riwayat merokok dan hobi
terkait bising.
92
Tabel 5.3 Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment
PT Dirgantara Indonesia Tahun 2015
Variabel
Dosis Kebisingan
Usia
Masa Kerja
Penggunaan Alat
Pelindung Telinga
(APT)
Riwayat Merokok
Hobi terkait bising
Kategori
N
%
Lebih dari NAB (≥100%)
53
80,3
Kurang dari NAB (<100%)
13
19,7
>40 tahun
20
30,3
≤40 tahun
46
69,7
≥5 tahun
52
78,8
<5 tahun
14
21,2
Tidak Menggunakan APT
38
57,6
Menggunakan APT
28
42,4
Perokok berat - Perokok sedang
10
15,2
Perokok ringan
23
34,8
Bukan Perokok
33
50,0
Ya
52
78,8
Tidak
14
21,2
1. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar
pekerja terpapar kebisingan lebih dari Nilai Ambang Batas
(NAB) atau ≥100% yaitu sebanyak 53 pekerja (80,3%).
2. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar
pekerja berusia ≤40 tahun yaitu sebanyak 46 pekerja
(69,7%).
93
3. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar
pekerja memiliki masa kerja ≥5 tahun yaitu sebanyak 52
pekerja (78,8%).
4. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar
pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT)
ketika bekerja, yaitu sebanyak 38 pekerja dari 66 pekerja
(57,6%).
Sedangkan jenis alat pelindung telinga yang
digunakan pekerja dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut ini
adalah:
Tabel 5.4
Gambaran Jenis Alat Pelindung Telinga pada Pekerja
di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
No.
Jenis Alat
Frekuensi
Presentase
Pelindung Telinga
(%)
1.
Earmuff
3
10,7
2.
Earplug
25
89,3
28
100,0
Total
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui 89,3% pekerja
menggunakan alat pelindung telinga jenis earplug.
Sedangkan alasan pekerja tidak menggunakan alat
pelindung telinga (APT) dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
94
5.5
Tabel 5.5 Alasan Tidak Menggunakan Alat Pelindung
Telinga pada Pekerja di Departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
Tahun 2015
No.
Alasan Tidak
Menggunakan APT
Frekuensi
Presentase
(%)
1.
Tidak Tersedia
3
10,7
2.
APT Rusak
3
10,7
3.
APT Tidak Nyaman
20
71,4
4.
Lainnya
2
7,2
28
100,0
Total
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa sebanyak
71,4% pekerja yang tidak menggunakan APT beralasan
bahwa APT yang tersedia tidak nyaman digunakan.
5. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar
pekerja merupakan bukan perokok yaitu sebanyak 33
pekerja (50%).
Sedangkan
pekerja
yang
merupakan
perokok dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini:
95
mantan
Tabel 5.6 Gambaran Status Merokok pada Pekerja di
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
No.
Merokok
Frekuensi
Presentase
(%)
1.
Pernah
20
60,6
2.
Tidak Pernah
13
39,4
Total
33
100,0
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa sebanyak
60,6% pekerja pernah merokok.
Sedangkan jenis rokok yang dikonsumsi pekerja
dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut ini:
Tabel 5.7 Gambaran Jenis Rokok pada Pekerja di
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
No.
Jenis Rokok
Frekuensi
Presentase
(%)
1.
Kretek
3
9,1
2.
Filter
30
90,9
33
100,0
Total
Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa
sebanyak 90,9% pekerja mengkonsumsi jenis rokok filter.
6. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar
pekerja memiliki hobi yang terkait dengan bising, yaitu
sebanyak 52 pekerja dari 66 pekerja ( 78,8%).
Sedangkan jenis hobi terkait bising yang banyak
digemari pekerja dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut ini:
96
Tabel 5.8 Jenis Hobi Terkait Bising pada Pekerja di
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
No.
Hobi Terkait Bising
Frekuensi
Presentase
(%)
1.
Mendengarkan Musik
44
72,13
2.
Karaoke
3
4,92
3.
Nonton Film Bioskop
7
11,47
4.
Diving/Menyelam
4
6,56
5.
Berbelanja
2
3,28
6.
Menembak
1
1,64
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa
sebanyak 72,13% pekerja memiliki hobi mendengarkan
musik.
5.3 Analisis Bivariat
Distribusi hubungan antara variabel independen dengan gangguan
pendengaran pada pekerja di PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 dapat
dilihat pada tabel 5.8 berikut ini:
97
5.9 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran
pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia Tahun 2015
Gangguan Pendengaran
Variabel
Kategori
Lebih dari
Dosis
NAB (≥100%)
Kebisingan
Kurang dari
Gangguan
Normal
Total
N
%
n
%
n
%
42
79,2
11
20,8
53
100
OR
(95% CI)
12.727
(2,983-54,311)
3
23,1
10
76,9
13
100
>40 tahun
18
90
2
10
20
100
6.333
≤40 tahun
27
58,7
19
41,3
46
100
(1,312-30,575)
≥5 tahun
36
69,2
16
30,8
52
100
1.250
<5 tahun
9
64,3
5
35,7
14
100
(0,361-4,327)
30
78,9
8
21,1
38
100
NAB (<100%)
Usia
Masa Kerja
Penggunaan
Tidak
Alat
Menggunakan
Pelindung
APT
Telinga
Menggunakan
(APT)
APT
53,6
13
46,4
28
100
8
80,0
2
20,0
10
100
11
47,8
12
52,2
23
100
26
78,8
7
21,2
33
100
0,000
0,026
0,753
3.250
(1,107-9,541)
15
Pvalue
0,055
Perokok berat
- Perokok
Riwayat
sedang
Merokok
Perokok ringan
Bukan
Perokok
0,034
Hobi Terkait
Ya
35
67,3
17
32,7
52
100
0.824
Bising
Tidak
10
71,4
4
28,6
14
100
(0,225-3010)
98
1,000
1. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5.9, deketahui bahwa
sebanyak 79,2% pekerja yang terpapar dosis kebisingan
melebihi nilai ambang batas (≥100%) mengalami gangguan
pendengaran. Sedangkan sebanyak 23,1% pekerja yang
terpapar dosis kebisingan di bawah nilai ambang batas
(≤100%) mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji
statistik diperoleh pvalue sebesar 0,000 atau ≤0,05. Maka
dapat
disimpulkan
bahwa
terdapat
hubungan
yang
signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan
pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis keeratan
hubungan diperoleh OR = 12,727 (2,983-54,311), artinya
pekerja yang menerima dosis kebisingan melebihi nilai
ambang batas (≥100%) berpeluang 12,727 kali untuk
mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan
pekerja yang menerima dosis kebisingan di bawah nilai
ambang batas (≤100%).
2. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa
sebanyak 90% pekerja yang berusia >40 tahun mengalami
gangguan pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue
sebesar 0,026 atau ≤0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan
gangguan pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis
kekuatan hubungan diperoleh OR = 6.333 (1,312-30,575),
99
artinya pekerja yang berusia >40 tahun berpeluang 6.333
kali untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan
dengan pekerja yang berusia ≤40 tahun.
3. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa
sebanyak 69,2% pekerja yang memiliki masa kerja ≥5
mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik
diperoleh pvalue sebesar 0,753 atau >0,05. Maka dapat
disimpulkan
signifikan
bahwa
antara
tidak
masa
terdapat
kerja
hubungan
dengan
yang
gangguan
pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis keeratan
hubungan diperoleh OR = 1.250, artinya pekerja yang
memiliki masa kerja ≥5 tahun berpeluang 1.250 kali untuk
mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan
pekerja yang memiliki masa kerja <5 tahun.
4. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa
sebanyak 78,9% pekerja yang tidak menggunakan alat
pelindung
telinga
(APT)
mengalami
gangguan
pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar
0,055 atau ≤0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara
penggunaan
alat
pelindung telinga (APT) dengan gangguan pendengaran.
Sedangkan
berdasarkan
analisis
kekuatan
hubungan
diperoleh OR = 3.250 (1,107-9,541), artinya pekerja yang
100
tidak
menggunakan
alat
pelindung
telinga
(APT)
berpeluang 3.250 kali mengalami gangguan pendengaran
dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan alat
pelindung telinga (APT).
5. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa
sebanyak 80% pekerja yang memiliki riwayat merokok
kategori
sedang
dan
berat
mengalami
gangguan
pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar
0,034 atau ≤0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara riwayat merokok dengan
gangguan pendengaran.
6. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa
sebanyak 67,3% pekerja yang memiliki hobi terkait bising
mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik
diperoleh pvalue sebesar 1,000 atau >0,05. Maka dapat
disimpulkan
bahwa
tidak
terdapat
hubungan
yang
signifikan antara hobi terkait bising dengan gangguan
pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis kekuatan
hubungan diperoleh OR = 0.824 (0,225-3010), artinya
pekerja yang memiliki hobi terkait bising berpeluang 0.824
kali dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki hobi
terkait bising.
101
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Desain ini
meneliti hubungan antara paparan dan penyakit pada populasi dalam satu
waktu yang sama. Sehingga peneliti sulit untuk mencegah atau
mengendalikan kesalahan sistematis (bias) yang berpotensi terjadi pada
desain studi ini.
2. Peneliti menggunakan garpu tala pada saat mengidentifikasi gangguan
pendengaran pada pekerja. Jika dibandingkan dengan tes audiometrik,
garpu tala memiliki sensitifitas yang kurang baik. Garpu tala tidak dapat
mengidentifikasi gangguan pendengaran kurang dari 30 dB. Sedangkan
menurut teori, penurunan pendengaran antara 25 dB dan 40 dB sudah
termasuk penurunan gangguan pendengaran ringan.
6.2 Gambaran Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) ialah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan
oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural
koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Soepardi, 2007). Sedangkan
menurut Ballenger (1997), ketulian akibat kerja didefinisikan sebagai
gangguan pendengaran pada satu atau kedua telinga, sebagian atau seluruhnya,
102
yang timbul pada masa kerja atau sebagai akibat pekerjaan seseorang.
Termasuk juga trauma akustik maupun ketulian akibat bising.
Ahli fisika mendefinisikan bising sebagai suara yang disebabkan oleh
gelombang akustik dengan intensitas dan frekuensi yang acak (random).
Seperti yang terdapat dalam industri, bising merupakan suara yang tidak
diinginkan dan merupakan energi yang terbuang (Ballenger, 1997).
Di departemen Metal Forming dan Heat Treatment terdapat berbagai
sumber bising yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran pada pekerja.
Sumber bising tersebut berasal dari mesin dan proses kerja menggunakan alat
seperti palu, gerinda, dan router. Sedangkan proses kerja yang banyak
menimbulkan kebisingan yaitu bending dan welding, stretching dan pressing.
Semua proses tersebut dikerjakan dalam suatu ruang tertutup yang ada di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment. Berdasarkan pengukuran
kebisingan diketahui bahwa paparan kebisingan minimal yang ada sebesar 80
dB dan paparan tertinggi yaitu 103 dB. Paparan tersebut terjadi terus-menerus
selama pekerja melakukan pekerjaannya. Sedangkan pekerjaan dengan
kebisingan tertinggi ada pada proses pembentukan sayap pesawat dengan palu.
Kebisingan yang tinggi dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Untuk
mengetahui adanya gangguan pendengaran pada pekerja dibutuhkan suatu
pemeriksaan, yaitu pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang
dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni. Alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah garpu tala.
103
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, hal ini
menandakan terdapat kelainan di telinga luar atau telinga tengah, seperti
atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen, sumbatan tuba
Eustachius serta radang telinga tengah. Kelainan di telinga dalam
menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea.
Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20 sampai 18.000
Hz. Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz.
Oleh karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024
dan 2048 Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan
secara kualitatif. Bila salah satu frekuensi ini terganggu penderita akan sadar
adanya gangguan pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga
garpu tala tersebut, maka hanya digunakan garpu tala 512 Hz, karena
penggunaannya tidak terlalu dipengaruhi oleh kebisingan sekitar.
Berdasarkan tes garpu tala yang dilakukan peneliti kepada para pekerja
ditemukan pada distribusi frekuensi gangguan pendengaran yang dialami
pekerja diketahui bahwa sebanyak 45 pekerja (68,2%) mengalami gangguan
pendengaran, dan sebanyak 21 pekerja (31,8%) memiliki pendengaran yang
normal. Berdasarkan hasil univariat tersebut dapat diketahui bahwa
perbandingan antara pekerja yang mengalami gangguan pendengaran dengan
pekerja yang pendengarannya normal adalah 2:1, hal ini menunjukkan perlu
adanya perhatian khusus dari perusahaan terhadap kesehatan pendengaran
para pekerja.
104
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat dan
beratnya ketulian akibat kerja, yaitu intensitas atau kerasnya bunyi (Sound
Pressure Level), periode pemaparan per hari, masa kerja, umur pekerja,
penggunaan alat pelindung telinga, riwayat merokok dan hobi yang terkait
dengan bising.
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh bising dapat berpengaruh
pada kehidupan sehari-hari. Anak-anak dan orang dewasa dengan gangguan
pendengaran mempunyai keterbatasan dalam aktivitas sosialnya, menurunkan
produktifitas hidup, atau mendukung terkena masalah psikologis, seperti
merasa terisolasi dan disingkirkan, sebagaimana orang yang depresi atau
mengalami gangguan kognitif (Kim, 2009).
Saran yang dapat diberikan kepada perusahaan adalah sebaiknya
perusahaan melakukan pemeriksaan telinga (tes audiometri) secara berkala
kepada para pekerja. Hal ini dilakukan agar perusahaan dapat mengetahui
pekerja yang mengalami gangguan pendengaran dan dapat melakukan upaya
pencegahan dan penanggulangan dari masalah tersebut. Pemeriksaan
audiometri sangat bermanfaat, berguna untuk pemeriksaan screening
pendengaran dan merupakan penunjang utama diagnostik fungsi pendengaran.
Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan di fasilitas kesehatan di lini
terdepan (Bashiruddin, 2009).
Sedangkan untuk pekerja yang sudah mengalami gangguan pendengaran,
bila memungkinkan pekerja tersebut dipindahkan ke area kerja yang tidak
bising. Hal ini dimaksudkan agar pekerja tidak mengalami gangguan
105
pendengaran yang lebih parah lagi. Namun jika hal tersebut tidak
memungkinkan, perusahaan dapat mengurangi waktu pemajanan bising
terhadap tenaga kerja dengan cara mengatur jam kerja mereka, sehingga
kebisingan yang diterima masih dalam batas aman.
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu melakukan pengujian variabel
lain yang berhubungan dengan gangguan pendengaran seperti penggunaan
obat ototoksik, lingkungan tempat tinggal, jenis kelamin dan riwayat penyakit.
6.3 Hubungan Antara Dosis Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran
Pekerja melakukan pekerjaannya di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment berupa proses pengerjaan rangkaian pesawat menggunakan mesin
dan hand tools seperti palu, rooter dan gerinda. Kondisi dari bengkel Metal
Forming dan Heat Treatment diketahui memiliki bahaya kebisingan tinggi
diatas nilai ambang batas. Exposure limit yang direkomendasikan oleh NIOSH
untuk bahaya kebisingan adalah 85 dB equivalen dengan 100% dosis selama 8
jam per hari (NIOSH, 1998).
Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) ialah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan
oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural
koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Soepardi, 2007).
Mekanisme terjadinya kebisingan dimulai dari bunyi atau suara didengar
sebagai rangsangan pada sel syaraf pendengar dalam telinga oleh gelombang
longitudinal yang ditimbulkan oleh getaran dari sumber bunyi. Gelombang
106
tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya dan pada saat
bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki karena mengganggu atau timbul
diluar kemauan orang yang bersangkutan, maka bunyi tersebut dinyatakan
sebagai kebisingan (Pradana, 2013).
Pengukuran dosis kebisingan dilakukan apabila kebisingan yang memapar
pekerja terdiri dari periode yang berbeda begitu pun dengan tingkat
kebisingannya (Istantyo, 2011). Peleliti menentukan dosis kebisingan yang
diterima pekerja didasarkan pada jenis pekerjaan dan lamanya pekerja
melakukan pekerjaan tersebut yang didapat melalui kuesioner (recall
aktivitas). Pengukuran dosis kebisingan dengan menggunakan recall aktivitas
dilakukan karena pekerja melakukan pekerjaan yang sama dari hari ke hari,
sehingga dapat diasumsikan bahwa recall aktivitas dapat menggambarkan
dosis kebisingan harian yang diterima pekerja. Pengukuran intensitas
kebisingan dilakukan penulis berdasarkan data kuesioner, pengukuran
dilakukan di titik-titik pekerja berada dibantu oleh supervisor atau leader dari
tiap unit di depertemen Metal Forming dan Heat Treatment. Pengukuran
intensitas kebisingan dilakukan pada jam 09.00 WIB sampai dengan jam
11.00 WIB, kemudian pada jam 13.00 WIB sampai dengan jam 15.00 WIB.
Hal ini dikarenakan pada jam tersebut merupakan jam operasional pekerja.
Pada tabel 5.3 diketahui bahwa distribusi frekuensi pekerja yang menerima
dosis kebisingan lebih dari NAB (≥100%) sebanyak 53 dari 66 pekerja
(80,3%). Sedangkan 13 dari 66 pekerja (19,7%) menerima paparan kebisingan
kurang dari NAB (<100%). Sementara pada tabel 5.4, dapat diketahui bahwa
107
terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment
PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,000).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Istantyo
(2011), yang mendapatkan hasil bahwa dosis kebisingan terbukti memiliki
hubungan yang sangat signifikan terhadap gangguan fungsi pendengaran
dengan nilai pvalue sebesar 0,000. Berdasarkan nilai OR pada analisis
multivariat untuk variabel dosis kebisingan sebesar 19,279, artinya pekerja
yang menerima dosis kebisingan lebih dari 100% atau equivalen dengan 85
dB memiliki peluang 19,279 kali lebih berisiko untuk mengalami gangguan
fungsi pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menerima dosis
kebisingan <100%.
Bising berpengaruh terhadap tenaga kerja, sehingga dapat menimbulkan
berbagai
gangguan kesehatan
secara
umum,
antara
lain
gangguan
pendengaran, fisiologi, serta gangguan psikologi. Bising menimbulkan
kerusakan di telinga dalam. Lesinya sangat bervariasi dari disosiasi organ
Corti, ruptur membran, perubahan stereosilia dan organel subseluler. Selain itu
bising juga menimbulkan efek pada sel ganglion, saraf, membran tektoria,
pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada observasi kerusakan organ Corti
dengan menggunakan mikroskop elektron didapatkan hasil bahwa sel-sel
sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di telinga dalam
(Soepardi, 2007).
108
Jenis kerusakan yang timbul pada struktur organ tertentu tergantung pada
intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian dengan intensitas
bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan waktu
pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan sel rambut.
Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serat
aferen.
Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan
ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi yang lebih keras
disertai waktu pajanan yang lebih lama akan menimbulkan kerusakan pada
struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan
robekan di membran Reisner. Pajanan bising dengan efek destruksi yang tidak
begitu besar menyebabkan terjadinya ‘floppy silia’ yang sebagian masih
reversibel. Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur ‘rootlet’ silia pada
lamina retikularis.
Melalui penelitian eksperimental diketahui bahwa nada murni dengan
frekuensi tinggi dan intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah
basal (mid basal end) koklea dan frekuensi rendah merusak struktur dekat
apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar dan intensitas tinggi akan
menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang melayani
nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputus dan degenerasi sel-sel
rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat
menunjukkan adanya degenerasi, baik pada sel rambut luar maupun sel
rambut dalam dan atau hilangnya seluruh organ Corti (Ballenger, 1997).
109
Upaya untuk menanggulangi masalah kebisingan di tempat kerja yaitu
perusahaan sebaiknya membentuk program konservasi pendengaran. Menurut
Mahmud (2009), jika kebisingan di area lingkungan kerja telah melebihi 85
dB,
maka
industri tersebut
wajib
menerapkan program konservasi
pendengaran. Program Konservasi Pendengaran merupakan rangkaian
kegiatan yang sistematik dan bertujuan untuk mencegah terjadinya ketulian
pada para pekerja yang terpapar kebisingan tinggi (OSHA, 2002). Terdapat
delapan elemen dalam program konservasi pendengaran sesuai dengan
ketentuan Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan (2006)
yaitu, monitoring pajanan bising, pengendalian secara teknik, pengendalian
administratif, pelatihan dan pendidikan pekerja, audiometri, evaluasi dan
dokumentasi, dan audit program.
Upaya pengendalian kebisingan dengan mereduksi bising dari sumber
perlu dilakukan. Contoh dengan memasang pembatas atau tameng atau perisai
yang dikombinasikan dengan peredam suara yang dipasang di langit-langit.
Hal ini dapat digunakan saat proses pengerjaan menggerinda kerangka sayap
pesawat yang dapat menibulkan bising dengan frekuensi tinggi, yang dapat
mengganggu setiap orang di area tersebut. Selain itu untuk proses
menggerinda dapat dilindungi dengan sekat perisai pada kedua sisinya dan
menempatkan “baffels” penyerap suara pada langit-langit.
Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pembatasan pemaparan
bising dengan mengontrol lingkungan mesin atau perlindungan diri pekerja
yang terpapar bising dengan menggunakan alat pelindung telinga. Kedua cara
110
ini mampu untuk menghilangkan atau mengurangi bising yang masuk ke
telinga dalam.
6.4 Hubungan Antara Usia Dengan Gangguan Pendengaran
Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan
nilai ambang dengar. Pekerja dengan usia di atas 40 tahun, diketahui dapat
mengalami penurunan fungsi pendengaran yang disebut presbikusis.
Presbikusis merupakan berkurangnya kemampuan mendengar seiring dengan
bertambahnya usia. Tuli sensorineural pada orang tua ini berhubungan dengan
terjadinya atrofi pada organ akhir, degenerasi saraf, perubahan vaskuler dan
stria vaskularis atau perubahan lain di telinga dalam (Ballenger, 1997).
Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa 20 dari 66 pekerja
(30,3%) berusia >40 tahun. Sedangkan 46 dari 66 pekerja (69,7%) berusia ≤40
tahun. Berdasarkan analisis bivariat pada tabel 5.9, diketahui bahwa usia
memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan pendengaran pada
pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,026).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Baktiansyah
(2004) terhadap para pekerja pria di PT X, didapatkan hasil bahwa variabel
usia mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya gangguan
pendengaran dengan p < 0,01. Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi
pada pekerja yang berusia >40 tahun dan pekerja tersebut memiliki risiko
sepuluh kali lebih besar bila dibandingkan dengan pekerja berusia <40 tahun.
111
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tua pekerja maka
semakin besar risikonya untuk mengalami gangguan pendengaran.
Bunch (1937) dalam Ballenger (1997) menekankan bahwa presbikusis
adalah gabungan efek pemaparan bising harian selama bertahun-tahun, yang
menyebabkan kerusakan secara bertahap. Dalam proses penuaan, akan terjadi
perubahan anatomi dan mekanisme hemodinamik pembuluh darah mulai dari
pembuluh darah aorta sampai dengan pembuluh darah perifer. Perubahan yang
terjadi berupa penebalan dinding pembuluh darah, berkurangnya elastisitas
yang menimbulkan kekakuan, dan sklerotis pembuluh darah sekaligus
peningkatan tahanan intravaskuler. Faktor usia diketahui berdampak terhadap
sistem pendengaran mulai dari telinga bagian luar sampai ke tingkat tertinggi
dari auditory cortex.
Kejadian presbikusis diduga memiliki hubungan dengan faktor-faktor
herediter, pola makan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya
hidup atau dengan kata lain bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi
pendengaran secara berangsur-angsur merupakan efek kumulatif dari faktorfaktor tersebut (Soepardi, 2007).
Pada usia lanjut kelenjar-kelenjar serumen mengalami atrofi sehingga
produksi kelenjar serumen berkurang dan menyebabkan serumen mengering,
sehingga menyebabkan tumpukan serumen yang mengakibatkan tuli
konduktif. Membran timpani yang bertambah tebal dan kaku juga akan
mengakibatkan gangguan konduksi, demikian juga halnya dengan kekakuan
yang terjadi pada persendian tulang-tulang pendengaran (Istantyo, 2010).
112
Saran
bagi
perusahaan
yaitu
sebaiknya
perusahan
mengurangi
keterpaparan kebisingan kepada para pekerja yang sudah berusia lebih dari 40
tahun, yakni dengan membatasi waktu kerja mereka di area kebisingan tinggi
sehingga tidak melebihi nilai ambang batas yang diizinkan. Sedangkan untuk
mencegah gangguan pendengaran pada bekerja kurang dari 40 tahun,
perusahaan dapat memberikan alat pelindung diri yang disertai dengan
pelatihan APT tersebut. Pengendalian lain yang dapat perusahaan lakukan
yaiu pengukuran dosis kebisingan secara teratur agar paparan kebisingan yang
diterima pekerja bisa terawasi dengan baik (di bawah NAB). Hasil
pengukuran tersebut kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan dijadikan
media analisis dalam proses evaluasi dan perencanaan penanggulangan tingkat
kebisingan.
6.5 Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Gangguan Pendengaran
Masa kerja merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat
penurunan pendengaran. Masa kerja berpengaruh besar terhadap kondisi
temporary threshold shift (TTS) yang dialami pekerja. Ketika kelompok
pekerja yang menderita TTS banyak dengan masa kerja pekerja yang lama
maka akan meningkatkan jumlah gangguan pendengaran pada pekerja.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 52 dari
66 (78,8%) responden memiliki masa kerja ≥5 tahun, dan 14 dari 66 (21,2%)
responden memiliki masa kerja <5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar responden telah bekerja di tempat yang bising selama lebih
dari sama dengan 5 tahun. Sedangkan berdasarkan analisis bivariat dapat
113
diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja
dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue=0,753).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pratiwi (2012) yang meneliti penerbang TNI AU, dalam penelitiannya
didapatkan hubungan yang bermakna antara lama kerja >5 tahun dengan
kejadian NIHL (p=0,015), dengan risiko terjadinya NIHL 3,48 kali lebih besar
pada penerbang dengan lama kerja >5 tahun dibandingkan dengan penerbang
dengan lama kerja <5 tahun.
Berdarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar pekerja
memiliki masa kerja yang cukup lama yakni >5 tahun. Pekerja juga cenderung
melakukan pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu, jarang sekali
perusahaan melakukan mutasi kepada para pekerjanya. Hal ini dikarenakan
untuk suatu proses kerja diperlukan keahlian yang mumpuni dari seorang
pekerja sehingga tidak mungkin pekerjaan tersebut dilakukan oleh orang lain
yang belum terbiasa. Bahkan pada sebagian besar pekerja telah melakukan
pekerjaan yang sama selama puluhan tahun.
Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara masa
kerja dan gangguan pendengaran. Jika dilihat dari variabel usia diketahui
bahwa sebagian besar pekerja berusia ≤40 tahun yaitu sebanyak 46 pekerja
(69,7%) dari 66 pekerja. Hal ini memungkinkan bahwa tidak adanya
hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran disebabkan karena
114
sebagian besar pekerja masih berusia di bawah 40 tahun. Sehingga pekerja
tersebut masih memiliki pendengaran yang baik.
Selain karena variabel usia, hubungan yang tidak bermakna antara masa
kerja dan gangguan pendengaran mungkin terjadi karena keterbatasan garpu
tala yang digunakan dalam proses pemeriksaan gangguan pendengaran. Garpu
tala memiliki sensitifitas yang kurang baik jika dibandingkan dengan tes
audiometrik. Garpu tala tidak dapat mendeteksi penurunan pendengaran
kurang dari 30 dB. Pada tes rinne tuli konduktif <30 dB masih dianggap
positif (normal). Padahal secara teori penurunan antara 25 dB – 40 dB sudah
termasuk ke dalam derajat ketulian ringan. Pada masa kerja ≥5 tahun dan usia
sekitar 40 tahun lebih kemungkinan penurunan yang terjadi adalah penurunan
pendengaran ringan yaitu sekitar 25 dB – 40 dB. Jadi sebagian pekerja dengan
masa kerja ≥5 tahun dan berusia lebih dari 40 tahun yang telah mengalami
gangguan
pendengaran
ringan
tidak
terdeteksi
menderita
gangguan
pendengaran (Kusumawati, 2012).
Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko yang berhubungan dengan
terjadinya gangguan pendengaran, walaupun bukan merupakan faktor yang
terkait langsung dengan kebisingan di tempat kerja. Beberapa perubahan yang
terkait dengan pertambahan usia dapat terjadi pada telinga. Membran yang ada
di telinga bagian tengah, termasuk di dalamnya gendang telinga menjadi
kurang fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang kecil
yang terdapat di telinga bagian tengah juga menjadi lebih kaku dan sel-sel
rambut di telinga bagian dalam dimana koklea berada juga mulai mengalami
115
kerusakan. Rusak atau hilangnya sel-sel rambut inilah yang menyebabkan
seseorang sulit untuk mendengar suara. Perubahan-perubahan pada telinga
bagian tengah dan dalam inilah yang dapat menyebabkan terjadinya
penurunan sensitifitas pendengaran seiring dengan bertambahnya usia
seseorang (Primadona, 2012). Selain itu pada orang dengan usia yang lebih
tua ambang reflek akustiknya akan menurun. Reflek akustik berfungsi
memberikan perlindungan terhadap rangsangan bising yang berlebihan. Pada
orang tua membutuhkan rangsangan bising yang lebih tinggi untuk
menimbulkan reflek akustik dibanding pada orang yang lebih muda (Tantana,
2014).
Menurut Encyclopedia of Occupational Health and Safety, adanya
gangguan pendengaran akibat kebisingan akan terlihat pada seseorang yang
sudah bekerja selama lebih dari 3-4 tahun di lingkungan kerja yang bising.
Sedangkan menurut Suyono (1995), dengan paparan kebisingan >85 dB (A)
ada kemungkinan bahwa setelah 5 tahun bekerja, 1% pekerja akan
memperlihatkan sedikit gangguan pendengaran.
Soetirto menyatakan bahwa gangguan pendengaran dapat terjadi akibat
terpapar kebisingan mikro (60-70 dBA) secara terus-menerus dalam waktu
yang cukup lama. Terpapar bising yang intensitasnya 85 dB atau lebih dapat
mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam,
yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang
berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz dan yang terberat alat
Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz. Banyak hal yang
116
mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising, antara lain
intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi dan lebih lama terpapar
bising (Sutopo, 2007).
Meskipun variabel masa kerja tidak berhubungan dengan gangguan
pendengaran tetapi pekerja yang memiliki masa kerja ≥5 tahun lebih banyak
yang mengalami gangguan pendengaran yaitu sebanyak 36 orang pekerja.
Sedangkan pekerja yang memiliki masa kerja <5 tahun dan mengalami
gangguan pendengaran sebanyak 9 orang. Berdasarkan hasil tersebut maka
diperlukan suatu upaya penanggualangan gangguan pendengaran pada
pekerja.
Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan perusahaan untuk pekerja
adalah dengan mereduksi kebisingan yang tinggi baik disebabkan oleh mesin
atau alat kerja. Perusahaan juga dapat melakukan pemeliharaan terhadap
mesin secara teratur, karena bahaya kebisingan akan tercipta bahkan menjadi
lebih buruk akibatnya kurangnya pemeliharaan/perawatan. Kebisingan gerinda
(gemertak) yang dijadikan tools di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment juga terjadi karena pelumas yang kurang.
Perusahaan juga dapat memodifikasi alat kerja agar kebisingan yang
ditimbulkan alat tersebut tidak melebihi NAB kebisingan, selain itu melalui
pengendalian secara administratif perusahaan bisa melakukan pengaturan jam
kerja sehingga dosis kebisingan yang diterima pekerja tidak melebihi nilai
ambang batas yang ditetapkan.
117
6.6 Hubungan Antara Penggunaan
Gangguan Pendengaran
Alat
Pelindung Telinga
Dengan
Penggunaan alat pelindung telinga (APT) merupakan langkah terakhir
dalam hirarki pengendalian kebisingan di tempat kerja. Penggunaan alat
pelindung telinga dapat mengurangi tingkat kebisingan beberapa dBA
tergantung dari jenis dan noise reduction rate dari alat pelindung telinga
tersebut. Meskipun pengendalian ini mungkin tidak lebih efektif jika
dibandingkan dengan melakukan engineering ataupun administrative control
pengendalian ini banyak diterapkan karena relatif lebih murah dan mudah
untuk dilakukan (Pujiriani, 2008).
Berdasarkan hasil observasi dapat diketahui bahwa 38 dari 66 pekerja
(57,6%) tidak menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja, sedangkan
28 dari 66 pekerja (42,4%) menggunakan alat pelindung telinga ketika
bekerja. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.9, dapat diketahui
bahwa penggunaan alat pelindung telinga memiliki hubungan yang signifikan
dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,055).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Istantyo
(2010), yang menyatakan bahwa APT merupakan variabel yang paling
berpengaruh dengan gangguan pendengaran. Pekerja yang tidak menggunakan
APT memiliki resiko sebesar 65,297 kali untuk menderita gangguan
pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan APT. Hal ini
menandakan bahwa APT dapat mencegah timbulnya gangguan pendengaran.
118
Berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa terdapat perilaku buruk pekerja
yaitu tidak selalu menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja di tempat
yang bising (sering melepas APT). Pekerja tersebut beralasan bahwa APT
yang diberikan tidak nyaman (71,4% pekerja) dan kadang menimbulkan sakit
kepala. Walaupun alat pelindung telinga tersebut tidak nyaman seharusnya
pekerja tetap menggunakannya untuk mengurangi paparan bising kontinu
yang diterima pekerja, mengingat perusahaan belum dapat memberikan
pengendalian lain untuk mengurangi tingkat kebisingan di lingkungan kerja.
Berdasarkan hasil observasi ditemukan pekerja yang menggunakan
pelindung telinga berupa kapas dan headset. Alat tersebut tidak sesuai
digunakan karena kapas dan headset bukanlah alat pelindung telinga. Kapas
kering hanya berperan sedikit atau tidak sama sekali dalam melindungi telinga
(Ballenger, 1997), tetapi kapas ini banyak dipakai. Begitupun dengan headset
yang digunakan oleh pekerja ternyata digunakan juga untuk mendengarkan
musik saat bekerja di tempat bising. Sehingga kebisingan yang diterima
pekerja akan lebih besar.
Dilihat dari jenis APT yang disediakan oleh perusahaan, PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) sudah menyediakan alat pelindung pendengaran yang
tepat yaitu earmuff dan earplug untuk para pekerja. Earmuff (tutup telinga)
dapat menutupi seluruh telinga eksternal dan digunakan untuk mengurangi
bising sebesar 40-50 dB. Earplug (sumbat telinga) digunakan dengan cara
dimasukan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak
mencapai membran timpani dan dapat mengurangi bising sampai dengan 30
119
dB. Earmuff dirancang untuk menutupi telinga luar. Pada frekuensi di atas
1000 Cps, earmuff memberikan proteksi yang sama dengan earplug. Untuk
frekuensi di bawah 1000 Cps, telah dibuat earmuff khusus yang memberi
perlindungan lebih dari earplug.
Earplug merupakan APT yang paling banyak digunakan di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment yaitu digunakan oleh 89,3% pekerja.
Meskipun sudah menyediakan APT namun di dalam pemakaiannya
perusahaan belum memperhatikan Noise Reduction Rating (NRR) yang
dimiliki alat tersebut. Selama ini pemberian APT kepada para pekerja hanya
berdasarkan kenyamanan saja, tidak melihat pada efektivitas APT dalam
mereduksi kebisingan.
Pemilihan earplug dan earmuff atau pun keduanya tergantung pada situasi
pekerjaan. Disesuaikan dengan besar ruangan bekerja apakah terlalu sempit
sehingga tidak mungkin menggunakan earmuff dan apakah pekerja juga harus
menggunakan helm selain APT. Ada keuntungan dan kerugian pada
penggunaan earmuff atau earplug dan sebelum ditentukan pilihan, semua
keadaan lingkungan dari pekerjaan tertentu harus dipertimbangkan (Ballenger,
1997). Selain itu pemilihan APT juga harus memperhatikan beberapa hal
berikut yaitu derajat perlindungan yang diperlukan dalam tempat kerja,
kesesuaian dengan jenis pekerjaan dan lingkungan tempat kerja, kenyamanan
digunakan, kesesuaian dengan pekerja serta keselamatan pekerja dan teman
kerja (Shofwati, 2009).
120
Pengawasan terhadap penggunaan APT juga kurang ketat, yang berarti
pekerja boleh memakai APT dan boleh tidak memakai APT. Karena
pemakaian APT masih dianggap sebagai himbauan saja, pekerja yang tidak
menggunakannya tidak diberikan sanksi apapun. Berdasarkan kuesioner yang
diberikan kepada para pekerja diketahui bahwa sebagian besar pekerja
mengaku bahwa perusahaan belum memberikan pelatihan terkait penggunaan
APT. Pelatihan APT tidak diberikan setiap tahun, sehingga banyak pekerja
yang belum mendapatkan pelatihan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan
bahwa perilaku menggunakan APT yang tidak sesuai tersebut dikarena faktor
ketidaktahuan pekerja. Ketidaktahuan mengenai fungsi penggunaan APT ini
dapat berakibat pada kelalaian pekerja dalam menggunakan APT sehingga
menambah risiko terjadinya gangguan pendengaran. Belum adanya alat
peredam maupun penggantian alat kerja yang menimbulkan suara bising
tinggi, menyebabkan APT menjadi sebuah pencegahan tunggal bagi pekerja
dari kehilangan pendengaran.
Upaya pengendalian yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah
memberikan pelatihan terkait penggunaan alat pelindung telinga. Pelatihan
harus diberikan agar pekerja menyadari pentingnya alat pelindung telinga bagi
kesehatan mereka, sehingga dampak buruk berupa gangguan pendengaran
dapat dicegah. Pelatihan tersebut dapat berisi tentang pengendalian bising,
pemakaian alat pelindung telinga dan pemeriksaan audiometri.
Selain itu, perusahaan juga dapat memberikan pengawasan terhadap
penggunaan alat pelindung telinga kepada pekerja dan memberikan kebijakan
121
yang ketat terhadap pekerja yang tidak menggunakan APT di area kerja yang
bising.
Pengawasan
berguna
untuk
mencegah
terjadinya
gangguan
pendengaran akibat bising sedangkan kebijakan akan membuat pekerja lebih
memperhatikan kesehatan dirinya saat bekerja. Menurut Nurrahman (2003),
adanya kebijakan perusahaan tentang penggunaan alat pelindung diri terhadap
perilaku maka ditemukan adanya penurunan presentase perilaku penggunaan
APD yang kurang baik.
Berdasarkan program konservasi pendengaran, pemilihan, penggunaan,
perawatan dan penggantian APT perlu diperhatikan. Tersedianya APT akan
berguna untuk mereduksi kebisingan yang terdapat di lingkungan kerja. Selain
itu, penggunaan APT juga dapat melindungi saluran telinga dari infiltrasi
beberapa jenis bahan kerja yang berbahaya (Benjamin, 2007).
6.7 Hubungan Antara Riwayat Merokok Dengan Gangguan Pendengaran
Merokok memberikan implikasi sebagai bahan ototoksik langsung
dikarenakan efek dari nikotin atau menyebabkan iskemia melalui produksi
karboksi-hemoglobin, spasme pembuluh darah, kekentalan darah atau juga
melalui arteriosklerotik. Insufiensi sistem sirkulasi darah pada organ koklea
yang disebabkan oleh merokok inilah penyebab gangguan pendengaran pada
frekuensi tinggi yang progresif dan paling sering timbul pada usia tua
(presbycusis).
Berdasarkan analisis univariat pada tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 10
dari 66 (15,2%) pekerja merupakan perokok berat- perokok sedang, 23 dari 66
(34,8%) pekerja merupakan perokok ringan dan 33 dari 66 (50,0%) pekerja
122
adalah bukan perokok. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.9
diketahui bahwa riwayat merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan
gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,034).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tandiabang (2010) dengan menggunakan desain studi kasus kontrol
menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kelompok
perokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja PT. X Provinsi Sulawesi
Selatan. Melalui analisis multivariat diketahui bahwa dari semua variabel,
perokok berat (p = 0.006<0.05) yang mempunyai pengaruh risiko yang
bermakna terhadap timbulnya gangguan fungsi pendengaran. Penelitian
lainnya yang dilakukan Baktiansyah (2004), mengenai hubungan merokok
dengan gangguan pendengaran di PT X diketahui bahwa pekerja yang
diklasifikasikan sebagai perokok berat/sedang mempunyai hubungan yang
sangat signifikan dengan gangguan pendengaran (p=0,007). Dengan OR 5,40
mengindikasikan bahwa perokok sedang-berat mempunyai risiko 5,4 kali
lebih besar untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan
perokok ringan.
Rokok mengandung nikotin dan karbonmonoksida yang mempunyai efek
mengganggu peredaran darah, bersifat ototoksik secara langsung dan merusak
sel saraf organ koklea. Karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui
produksi karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan hemoglobin) sehingga
hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Seperti diketahui, ikatan
123
antara hemoglobin dengan CO jauh lebih kuat ratusan kali dibanding dengan
oksigen. Akibatnya, terjadi gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea
dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek karbonmonoksida lainnya
adalah spasme pembuluh darah, kekentalan darah dan arteriosklerotik.
Mizoue et al. (2002) meneliti pengaruh merokok dan bising terhadap
gangguan pendengaran melalui data pemeriksaan kesehatan 4.624 pekerja
pabrik baja di Jepang. Hasilnya memperlihatkan gambaran yang signifikan
berupa terganggunya fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi akibat
merokok dengan risiko tiga kali lebih besar. Insufisiensi sistem sirkulasi darah
koklea yang diakibatkan oleh merokok menjadi penyebab gangguan
pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif. Pembuluh darah yang
menyuplai darah ke koklea tidak mempunyai kolateral sehingga tidak
memberikan alternatif suplai darah melalui jalur lain.
Tandiabang (2010) menyatakan bahwa derajat merokok diduga menjadi
faktor risiko gangguan pendengaran. Riwayat merokok berdasarkan indeks
Brikmann dibagi menjadi 4 kelompok yaitu bukan perokok, perokok ringan,
perokok sedang dan perokok berat. Namun dalam penelitian ini peneliti hanya
mengelompokkan riwayat merokok menjadi 3 yaitu bukan perokok, perokok
ringan dan perokok sedang–berat. Pembagian tersebut didasarkan pada
perkalian antara lama merokok (tahun) dengan jumlah batang rokok yang
dihisap tiap harinya.
Hasil analisis univariat untuk kategori bukan perokok menunjukkan bahwa
pekerja yang bukan perokok sebanyak 33 pekerja (50%) dan dari 45 pekerja
124
yang mengalami gangguan pendengaran terdapat 26 pekerja yang termasuk
bukan perokok. Tingginya angka bukan perokok yang mengalami gangguan
pendengaran bisa terjadi karena pekerja tersebut sebelumnya merupakan
mantan perokok. Dari 33 orang pekerja yang bukan perokok diketahui
sebanyak 20 pekerja merupakan mantan perokok (60,6%). Risiko negatif yang
ditimbulkan oleh rokok merupakan suatu reaksi yang lama tergantung kepada
tingkat ototoksik yang diterima tubuh akibat pajanan rokok tersebut dan
kerentanan individu. Jika ototoksik yang diterima tubuh sudah sangat besar
maka akan mempengaruhi kesehatan termasuk pendengaran.
Sedangkan untuk perokok ringan, diketahui bahwa dari 45 pekerja yang
mengalami gangguan pendengaran terdapat sebanyak 11 pekerja yang
termasuk kategori perokok ringan. Penelitian Nakanishi menemukan bahwa
perokok ringan memiliki risiko 1,82 kali (95% CI 0,92 – 3,59) untuk
mengalami gangguan pendengaran namun risiko tersebut tidak bermakna.
Penelitian Nakishi hanya menyimpulkan bahwa perokok ringan dapat menjadi
faktor pemberat untuk timbulnya gangguan pendengaran yang disebabkan
oleh faktor lain ataupun jika perokok ringan berkembang menjadi berat maka
kemungkinan gangguan pendengaran akan timbul. Tidak adanya keterkaitan
ini disebabkan efek pengaruh rokok dan komponen-komponennya terhadap
sistem tubuh secara umum termasuk risiko negatif terhadap sistem
pendengaran merupakan suatu proses yang lama (degenerasi) dan tergantung
jumlah pajanan serta kerentanan individu. Selain itu, tubuh manusia sendiri
(terlebih pada usia muda) memiliki kemampuan eliminasi dan adaptasi zat-zat
125
toksik misalnya karbonmonoksida dan nikotin dalam jumlah dan batas tertentu
(ambang batas) yang masuk kedalam tubuh. Namun kemampuan sistem
pertahanan ini pun seiring dengan waktu akan semakin menurun dan pada
akhirnya zat-zat toksik tersebut akan mengakibatkan gangguan juga terhadap
tubuh manusia (Tandiabang, 2010).
Hasil untuk perokok sedang-berat, diketahui bahwa dari 45 pekerja yang
mengalami gangguan pendengaran terdapat sebanyak delapan pekerja yang
termasuk kategori perokok sedang-berat. Menurut Tandiabang (2010),
perokok berat memiliki hubungan yang bermakna dengan gangguan
pendengaran.
Hubungan
tersebut
dapat
dijelaskan
oleh
penelitian
eksperimental pada binatang percobaan yang dilakukan Irvine (2007) di
University of California yang memperlihatkan bahwa kadar nikotin yang
sangat tinggi (30–60 mg) di dalam darah dapat mengganggu fungsi fisiologis
neurotransmiter saraf yaitu asetilkolin yang juga terdapat di dalam sistem
persarafan telinga. Nikotin menempati (mengikat) reseptor-reseptor asetilkolin
dipermukaan sel saraf atau dengan kata lain nikotin bersifat competitor
terhadap asetilkolin, selain dapat pula merusak reseptor-reseptor asetilkolin
tersebut terutama jika pajanan terjadi pada masa prenatal. Sehingga kebiasaan
merokok dalam dosis besar dan waktu yang lama akan bersifat toksik bagi
fungsi pendengaran dan pada akhirnya mengganggu fungsi pendengaran baik
langsung (toksik nikotin) maupun tidak langsung (proses degenerasi).
Sampai saat ini, telah dilaporkan bahwa mekanisme kehilangan
pendengaran akibat kebisingan terjadi meliputi distorsi dan kehilangan
126
struktur normal karena kerusakan Stereosilia setelah terpapar kebisingan, dan
kerusakan sel-sel rambut organ Corti karena kerusakan DNA (akibat
peningkatan kadar radikal bebas beracun dan spesies oksigen reaktif yang
dihasilkan selama terpapar kebisingan), degradasi lipid dan protein dan
percepatan apoptosis. Mekanisme merokok mempengaruhi organ pendengaran
termasuk
ototoxicity
langsung
nikotin
dan
iskemia
koklea
akibat
meningkatnya tingkat carboxyhemoglobin, vasokonstriksi, dan peningkatan
viskositas darah akibat merokok. Selain itu, ditandai juga dengan
berkurangnya suplai darah ke koklea dari pembuluh darah tunggal dan
kurangnya sirkulasi kolateral. Hal ini juga ditandai dengan aktivitas
metabolisme sel-sel rambut yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sangat rentan
terhadap cedera iskemik. Berdasarkan hal tersebut, perokok yang bekerja di
tempat kerja yang bising akan lebih rentan terhadap gangguan pendengaran
dibandingkan
dengan
bukan
perokok
karena
keterlibatan
kompleks
mekanisme ini (Sung et al., 2013).
Penelitian eksperimental Mami Iida pada tahun 1998 di Jepang
memperlihatkan bahwa jumlah kadar nikotin di dalam darah menentukan
efeknya terhadap serebrovaskular. Pada kadar nikotin rendah (<30 mg)
ataupun waktu paparan singkat, tubuh dapat beradaptasi (mekanisme
pertahanan) sehingga efek nikotin terhadap serebrovaskular tidak muncul.
Namun, jika kadar nikotin semakin tinggi (kadar toksik nikotin 0,5 – 1,0
(mg/kgBB), waktu pajanan yang lama, ataupun respon tubuh menurun
127
(mekanisme eliminasi dan adaptasi melemah), maka efek nikotin terhadap
serebrovaskular akan memperlihatkan dampak.
Sebanyak 90,9% pekerja di PT. Dirgantara Indonesia mengkonsumsi
rokok filter dan 9,1% pekerja mengkonsumsi rokok kretek. Berdasarkan bahan
dan ramuan, rokok digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu rokok kretek,
yakni rokok yang memiliki ciri khas adanya campuran cengkeh pada
tembakau rajangan yang menghasilkan bunyi kretek-kretek ketika dihisap dan
rokok putih yaitu rokok dengan atau tanpa filter menggunakan tembakau
virginia iris atau tembakau lainnya tanpa menggunakan cengkeh, digulung
dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan tambahan kecuali yang
tidak diijinkan berdasarkan ketentuan Pemerintah RI. Rokok kretek di
Indonesia sangat populer karena memiliki kandungan tar dan nikotin cukup
tinggi dibandingkan dengan produk rokok lainnya (Kurniawan dan TNR,
2003) yaitu sampai 60 mg nikotin dan 40 mg tar. Berdasarkan uraian tersebut
dapat diketahui bahwa pekerja yang mengkonsumsi rokok jenis kretek lebih
berisiko untuk terkena gangguan pendengaran dibandingkan dengan
mengkonsumsi rokok jenis filter. Hal ini dikarenakan kadar nikotin yang
tinggi di dalam rokok jenis kretek.
Meskipun penelitian ini telah membagi kelompok perokok berdasarkan
indeks Brikmann yang pengelompokkannya berdasarkan pada jumlah batang
yang dihisap per hari dan lamanya merokok (tahun), namun terdapat
kekurangan penelitian yaitu peneliti tidak menganalisis pekerja yang pernah
merokok (telah berhenti merokok pada saat penelitian ini dilakukan).
128
Seseorang yang pernah merokok kemungkinan dapat menyimpan residu dari
zat-zat toksik di dalam tubuhnya, hal ini memungkinkan adanya bias dalam
penelitian. Penelitian yang akan datang sebaiknya memperhatikan hal tersebut.
Saran pengendalian yang dapat diberikan kepada perusahaan yaitu dengan
memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan terkait bahaya yang
ditimbulkan oleh rokok. Upaya penyuluhan merupakan suatu usaha dalam
memberikan sikap selamat, sikap konstruktif dan menghilangkan prasangka
yang merugikan. Selama ini perusahaan belum memberlakukan larangan
merokok di tempat kerja, sehingga perusahaan dapat memberlakukan
peraturan mengenai larangan merokok di tempat kerja dan memberikan sanksi
tegas pada pekerja yang melanggar larangan tersebut. Dengan demikian,
selama 8 jam kerja pekerja akan terbebas dari rokok sehingga diharapkan akan
mengurangi konsumsi rokok pekerja.
6.8 Hubungan Antara Hobi Terkait Bising Dengan Gangguan Pendengaran
Hobi atau kebiasaan memberikan kontribusi pada status pendengaran
pekerja. Hobi terkait bising atau kebiasaan yang menambah pajanan bising
pada pekerja pastinya akan meningkatkan penurunan pendengaran. Selain
hobi atau kebiasaan yang menambah pajanan bising, ada beberapa hobi atau
kebiasaan lain yang meningkatkan penurunan pendengaran yaitu hobi atau
kebiasaan yang mempengarusi fungsional telinga, diantaranya adalah diving
atau menyelam.
Berdasarkan analisis univariat pada tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 52
dari 66 pekerja (78,8%) memiliki hobi terkait bising, sedangkan 14 dari 66
129
pekerja (21,2%) tidak memiliki hobi terkait bising. Berdasarkan analisis
bivariat diketahui bahwa hobi tidak memiliki hubungan yang signifikan
dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Akbar (2012), yang mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan proporsi
penurunan pendengaran dengan hobi terkait bising pekerja (ada hubungan
yang signifikan antara penurunan pendengaran dengan hobi pekerja). Dari
hasil analisis diperoleh pula nilai PR=1.579, artinya pekerja yang memiliki
hobi terkait bising mempunyai peluang 1.579 kali lebih besar untuk
mengalami penurunan pendengaran.
Ketidaksesuaian hasil penelitian ini kemungkinan karena usia pekerja yang
relatif masih muda. Sebagian besar pekerja di PT. Dirgantara Indonesia
berusia kurang dari 40 tahun yaitu sebanyak 46% pekerja. Usia merupakan
faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran. Semakin tua usia
maka akan semakin banyak dosis kebisingan yang diterima pekerja baik itu
dari pajanan pekerjaan atau pun karena hobi terkait bising.
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa hobi terkait bising seperti
mendengarkan musik keras-keras, clubbing, karaoke, menyelam, dan
menembak dapat mengakibatkan ketulian. Royal National Institute For Deaf
People (RNID) dalam Djunafar (2010), sebuah lembaga kehormatan Inggris
yang meneliti masalah ketulian, melakukan survei pada sejumlah klub malam,
ternyata klub tersebut memiliki tingkat kebisingan mencapai 120 dB. Dalam
130
Krismadies (2013) disebutkan bahwa puncak bising dari menembak bisa
mencapai 140 sampai 160 dB dan level kebisingan bisokop bisa sekitar 100
sampai 110 dB bahkan terkadang lebih tinggi.
Melalui kuesioner diketahui bahwa sebagian besar pekerja memiliki hobi
terkait dengan bising, diantaranya adalah mendengarkan musik (72,13%),
menonton di bioskop (11,47%), diving/menyelam (6,56%), karaoke (4,92%),
berbelanja (3,21%) dan menembak (1,64%). Berdasarkan observasi penulis
ada kebiasaan pekerja yang kurang baik saat mereka bekerja, yaitu mereka
sering sekali mendengarkan musik secara keras melalui alat pemutar musik
yang ada di tempat kerja. Hal ini dapat terlihat pada beberapa unit dalam
departemen Metal Forming dan Heat Treatment.
Dengan kebiasaan tersebut, sebenarnya pekerja telah menambah pajanan
kebisingan yang mereka terima. Jika selama ini kebisingan di tempat kerja
mampu mencapai 103 dB, kemudian ditambah dengan suara pemutar musik
yang harus lebih keras dari kebisingan yang ada di tempat kerja agar terdengar
oleh telinga, maka risiko pekerja untuk mengalami gangguan pendengaran
akan semakin tinggi.
Gangguan pendengaran tak lepas dari faktor-faktor yang dapat
memicunya. Tingkat paparan bising (Laeq, 8h) dalam mendengarkan musik
menggunakan headset merupakan faktor penting sebagai pencetus terjadinya
gangguan pendengaran (Muslim, 2012). Berdasarkan observasi yang
dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa banyak pekerja yang menggunakan
headset untuk mendengarkan musik pada saat bekerja di tempat bising.
131
Terkait dengan tingkat keseringan dalam mendengarkan musik menggunakan
headset, dalam penelitian yang dilakukan oleh Vogel (2009), menyatakan
bahwa keseringan mendengarkan musik mempunyai keterkaitan erat terhadap
prilaku beresiko (Risky Behaviors) yang dapat memicu terjadinya gangguan
pendengaran daripada prilaku protektif (Protective Behaviours). Prilaku
beresiko yang berpotensial memicu gangguan pendengaran diantaranya adalah
mendengarkan musik menggunakan headset dengan volume ¾ dari volume
maksimal, menaikkan volume alat pemutar musik setelah mendengarkan dan
menggunakan jenis headset tipe earbud.
Upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan melarang
pekerja untuk menghidupkan alat pemutar musik di lingkungan kerja, karena
hal ini dapat mengganggu proses kerja dan berpengaruh terhadap gangguan
pendengaran. Selain itu perusahaan juga dapat memberikan promosi kesehatan
pendengaran pada pekerja agar mereka menyadari bahaya dari hobi-hobi yang
terkait dengan bising tersebut.
132
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
1. Gambaran
gangguan
pendengaran
pada
pekerja
di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu terdapat 45
pekerja (68,2%) yang mengalami gangguan pendengaran
dan 21 pekerja (31,8%) memiliki pendengaran yang
normal.
2. Hasil univariat dari variabel independen yaitu faktor-faktor
yang berhubungan dengan gangguan pendengaran (dosis
kebisingan, usia, masa kerja, riwayat merokok, penggunaan
APT dan hobi terkait bising) adalah sebagai berikut:
a. Gambaran dosis kebisingan pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu pekerja yang
terpapar dosis kebisingan lebih dari NAB (≥100%)
sebanyak 53 pekerja (80,3%), sedangkan pekerja yang
menerima dosis kebisingan kurang dari NAB (<100%)
sebanyak 13 pekerja (19,7%).
b. Gambaran usia pada pekerja di departemen Metal
Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
133
(Persero) tahun 2015 yaitu pekerja berusia >40 tahun
sebanyak 20 pekerja (30,3%), sedangkan pekerja yang
berusia ≤40 tahun sebanyak 46 pekerja (69,7%).
c. Gambaran masa kerja pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu pekerja dengan
masa kerja ≥5 tahun sebanyak 52 pekerja (78,8%),
sedangkan pekerja dengan masa kerja <5 tahun
sebanyak 14 pekerja (21,2%).
d. Gambaran
riwayat
merokok
pada
pekerja
di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu
pekerja dengan kategori perokok berat – perokok
sedang sebanyak 10 pekerja (15,2%), perokok ringan
sebanyak 23 pekerja (34,8%), sedangkan pekerja yang
bukan perokok sebanyak 33 pekerja (50%).
e. Gambaran penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT)
pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun
2015 yaitu pekerja yang tidak menggunakan alat
pelindung telinga sebanyak 38 pekerja (57,6%),
sedangkan pekerja yang menggunakan alat pelindung
telinga sebanyak 28 pekerja (42,4%).
134
f. Gambaran hobi terkait
bising pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu
pekerja yang memiliki hobi terkait bising sebanyak 52
pekerja (78,8%), sedangkan pekerja yang tidak
memiliki hobi terkait bising sebanyak 14 pekerja
(21,2%).
3. Variabel yang berpengaruh dengan gangguan pendengaran
pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015
yaitu dosis kebisingan, usia, penggunaan alat pelindung
telinga dan riwayat merokok.
7.2 Saran
1. Perusahaan
sebaiknya
membentuk
program
konservasi
pendengaran yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
ketulian pada pekerja yang terpapar kebisingan tinggi.
2. Melakukan pemeriksaan telinga (tes audiometri) secara berkala
kepada para pekerja.
3. Melakukan pengendalian kebisingan dengan mereduksi bising
dari sumber seperti memasang pembatas atau tameng atau
perisai yang dikombinasikan dengan peredam suara yang
dipasang di langit-langit.
135
4. Perusahaan dapat mengurangi waktu pemajanan bising
terhadap tenaga kerja dengan cara mengatur jam kerja mereka
sehingga kebisingan yang diterima masih dalam batas aman.
5. Melakukan pengukuran dosis kebisingan secara teratur agar
pajanan kebisingan yang diterima pekerja bisa terawasi dengan
baik.
6. Memodifikasi alat kerja agar kebisingan yang ditimbulkan alat
tersebut tidak melebihi NAB kebisingan
7. Memberikan pelatihan terkait penggunaan alat pelindung
telinga, memberikan pengawasan terhadap penggunaan alat
pelindung telinga dan memberikan sanksi kepada pekerja yang
tidak menggunakan alat pelindung telinga.
8. Memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan terkait
bahaya yang ditimbulkan oleh rokok dan memberlakukan
peraturan mengenai larangan merokok di tempat kerja.
9. Melarang pekerja untuk menghidupkan alat pemutar musik di
tempat kerja.
136
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. N. m. (2012). Gambaran Determinan Gangguan Pendengaran pada
Pekerja Perawatan KRL Depo Depok Tahun 2012. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Arini, E. Y. (2005). Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan
pendengaran tipe sensorineural tenaga kerja unit produksi di PT. Kurnia
Jati Utama Semarang. Universitas Diponogoro Semarang, Semarang.
Ballenger, John Jacob. (1997). Peyakit Telinga, Hidung, Teggorok, Kepala, dan
Leher Jilid Dua edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara.
Banitriono, R. (2012). Hubungan Antara Kemampuan Pendengaran dan Radius
Rumah pada Warga Masyarakat di Sekitar PLTD Siantan Hilir. Universitas
Tanjungpura, Pontianak.
Bashiruddin, J. (2009). Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang
Terpajan Bising Industri. Maj Kedokt Indon, Volum: 59(NO 1), 14-19.
Broek P, L. F. (2009). Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan
Telinga, Ed.12. Jakarta: EGC.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2011).
Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
137
dan
Transmigrasi
Nomor
Per.13/Men/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika
dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Djalante, S. (2010). Analisis Tingkat Kebisingan di Jalan Raya yang
Menggunakan
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APIL) (Studi kasus:
Simpang Ade Swalayan). Jurnal SMARTek, Vol. 8 (No. 4), 280 - 300.
European Agency for Safety and Health at Work. (2008). What Problem Can
Noise
Cause.
Diunduh
dari
http://osha.europa.eu/en/topics/noise/index_html/problems_noise_cause_ht
ml. Diakses pada tanggal 20 Maret 2015, pukul 19.19 WIB.
Istantyo, D. (2011). Pengaruh Dosis Kebisingan dan Faktor Determinan Lainnya
terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran pada Pekerja Bagian Operator
PLTU Unit 1-4 PT Indonesia Power UBP Suralaya Tahun 2011. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jakarta.
Kim, Myung Gu. (2009). Hearing Threshold of Korean Adolescents Associated
with the Use of Personal Music Players. Yonsei Medical journal: Yonsei
University College of Medicine.
Krismadies. (2013). Analisis Gangguan Pendengaran Pada Pekerja yang Terpajan
Bising di PT X November 2012. Universitas Indonesia, Depok.
Lusianawaty, d. (2002). Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Pekerja
Perusahaan Baja di Pulau Jawa. Kedokteran Trisakti, Vol. 21(No.3), 84-90.
138
Murti, Bhisma. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
NIDCD.
(2008).
Noise-Induced
Hearing
Loss.
http://www.nidcd.nih.gov/health/hearing/pages/noise.aspx.
Diunduh
dari
Diakses pada
tanggal 1 April 2015, pukul 12.34 WIB.
NIOSH. (1998). Criteria For A Recommended Standard Occupational Noise
Exposure Revised Criteria 1998. US Departement of Health and Human
Services, NIOSH: OHIO.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
P.K., Suma’mur. (2009) . Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
(HIPERKES). Jakarta : CV. Sagung Seto.
Permaningtyas, L., dkk. (2011). Hubungan Lama Masa Kerja dengan Kejadian
Noise-Induced Hearing Loss pada Pekerja Home Industry Knalpot di
Kelurahan Purbalingga LOR. Mandala of Health, Vol. 5(No. 3).
Primadona, A. (2012). Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Penurunan Pendengaran pada Pekerja di PT. Pertamina Geothermal
Energy Area Kamojang Tahun 2012. Universitas Indonesia, Depok.
Rambe, Andriana Yunita Murni. (2003).Gangguan Pendengaran Akibat Bising.
USU Digital Library: FK Bagian Ilmu Penyakit THT Universitas Sumatra
Utara.
139
Roestam, Ambar W. (2004) .Program Konservasi Pendengaran Tempat Kerja.
Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: FKUI Jakarta.
Sabri, Luknis. Hatono, Susanto Priyo. (2014). Statistik Kesehatan. Jakarta:
Rajawali Press.
Santoso, B. (2008). Analisis Kebisingan pada Proses Produksi Gula pada Stasiun
Makanan, Putaran, dan Power House di PG Bungamayang, Lampung.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sari, d. (2012). Pemetaan Tingkat Kebisingan dan Hubungan Lama Pemaparan
Terhadap Gangguan Pendengaran pada PT PLN (Persero) Sektor Mahakam
Samarinda. Fisika Mulawarman, Vol.8(No.1), 9-18.
Shofwati, Iting. Satar, Yuli Prapanca. (2009). Hygiene Industri. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Soepardi. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Soeripto. (2008). Hygiene Industri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Sutopo, M., dkk. (2007). Hubungan Antara Intensitas Kebisingan Aktivitas
Penerbangan di Bandara Adi Sucipto dengan Nilai Ambang Pendengaran
pada Anak. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 23(No. 1), 12-20.
140
Standard, John J.. 2002. Chapter 9 : Industrial Noise, dalam Barbara A. Plog dan
Patricia J. Quinlan (editor), Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition.
United States of America : National Safety Council.
Tantana, O. (2014). Hubungan Antara Jenis Kelamin, Intensitas Bising, dan Masa
Paparan dengan Risiko terjadinya Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Gamelan Bali pada Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan. Universitas
Udayana, Denpasar.
141
Lampiran 1
142
Lampiran 2
143
Lampiran 3
144
Lampiran 4 Denah Departemen
Gambar 1. Denah Metal Forming dan Heat Treatment
: titik pengukuran kebisingan di Metal Forming dan Heat Treatment
145
Lampiran 5
Surat Persetujuan sebagai Subyek Penelitian
Dengan hormat,
Sehubungan dengan sedang dilakukannya penelitian mengenai “FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) Tahun 2015”, Saya Mahasiswi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai
peneliti, bermaksud melakukan pengambilan data primer dengan membagikan
kuesioner untuk kemudian diisi oleh pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero).
Kuesioner diisi dengan cara menjawab pertanyaan secara singkat dan jelas.
Setelah terisi lengkap, harap kuesioner ini dikembalikan kepada peneliti.
Peneliti mengharapkan para pekerja dapat menjawab sendiri semua
pertanyaan dalam kuesioner ini dengan jujur sesuai dengan kondisi sebenarnya di
tempat kerja, sehingga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk
kedepannya. Perlu diketahui bahwa pengisian kuesioner ini tidak akan
berpengaruh pada nama baik dan pekerjaan para pekerja. Semua jawaban yang
diberikan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian dan akan dijaga
kerahasiaannya. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama :
Alamat :
Menyatakan setuju menjadi subyek penelitian, dengan catatan bila suatu saat
merasa dirugikan, maka berhak membatalkan persetujuan ini.
Bandung,
2015
Pembuat Pernyataan
(
146
)
Lampiran 6
KUESIONER
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT Dirgantara Indonesia (Persero)
Tahun 2015
Tanggal Pengisian :
I.
Identitas Pekerja
1. Nomor Responden : ………………………….............(diisi oleh Peneliti)
2. Nama
Lengkap
:
……………………………………………………….........
3. No.hp
:
............................................................................................................
4. Departemen
:
..................................................................................................
:
5. Unit/bagian
...................................................................................................
II.
Gejala Gangguan Pendengaran
1. Apakah Anda sering merasakan telinga Anda berdengung/berdenging?
a. Ya
b. Tidak
2. Di saat kapan Anda merasakan telinga Anda berdengung/berdenging?
a. Saat bekerja
b. Setelah selesai bekerja
3. Apakah Anda juga merasakan telinga Anda berdengung saat libur /cuti/
off kerja ?
a. Ya
b. Tidak
4. Menurut Anda, apakah setelah bekerja di PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) pendengaran Anda menurun?
a. Ya, Sejak tahun.......................................
b. Tidak
5. Jika YA, menurut Anda apa yang menyebabkan Anda mengalami
penurunan pendengaran?
a. Kebisingan di tempat kerja
b. Memiliki riwayat penyakit telinga
c. Memiliki hobi yang berhubungan dengan kebisingan
d. Lainnya, sebutkan…………………………………………
6. Menurut Anda, bagaimana sifat gangguan/penurunan pendengaran yang
Anda rasakan?
a. Kadang-kadang
b. Menetap
7. Apakah Anda merasa terganggu saat bekerja dalam suasana bising?
147
a. Ya
b. Tidak
8. Apakah Anda mengalami kesulitan berkomunikasi / berbicara dengan
orang lain?
a. Ya
b. Tidak (jika jawaban “Tidak” lanjut ke bagian III)
9. Menurut Anda kesulitan berkomunikasi disebabkan oleh apa?
a. Suara terlalu kecil
b. Anda kurang mendengar
c. Suasana berisik
d. Lain-lain, Sebutkan:……………………………….
III.
IV.
V.
Usia
Tanggal
Lahir
:
1. Tempat
.................................................................................
Masa Kerja
1. Mulai kapan anda bekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero)?
Sebutkan ........................
2. Apakah sebelum anda bekerja di departemen ini, anda pernah bekerja di
departemen lainnya?
a. Ya. Pada departemen ..............................
b. Tidak
3. Apakah anda pernah bekerja di tempat/perusahaan lain sebelum bekerja
di PT Dirgantara Indonesia (Persero)?
a. Ya
b. Tidak (lanjut ke bagian V)
4. Di departemen apa anda bekerja? Sebutkan...............................
5. Apakah di tempat kerja anda terdahulu memiliki bahaya kebisingan?
a. Ya
b. Tidak
6. Mulai kapan anda bekerja di tempat tersebut? Sebutkan......................
7. Sampai kapan anda bekerja di tempat tersebut? Sebutkan......................
Riwayat Merokok
1. Apakah saat ini anda merokok?
a. Ya (jawab pertanyaan 1-4)
b. Tidak (lanjut ke pertanyaan nomor 5)
2. Kapan anda mulai merokok? Tahun............................
3. Rata-rata berapa batang rokok yang anda habiskan dalam sehari?
Sebutkan ........................... batang
4. Jenis rokok apa yang sering anda konsumsi?
a. Kretek
b. Filter
5. Apakah anda pernah merokok?
a. Ya
148
b. Tidak (lanjut ke bagian VI)
6. Mulai kapan anda merokok? Sebutkan..............................
7. Rata-rata berapa batang rokok yang anda habiskan dalam sehari pada saat
itu? Sebutkan ........................... batang
8. Kapan anda berhenti merokok? Tahun...............................
VI.
Hobi
1. Apakah anda memiliki hobi yang berhubungan dengan suara bising?
a. Ya
b. Tidak
2. Di bawah ini, manakah hobi yang sering anda lakukan? (jawaban boleh
lebih dari satu)
a. Mendengarkan musik
b. Dugem
c. Karaoke
d. Nonton film bioskop
e. Diving/menyelam
f. Berbelanja
g. Menembak
h. Lain-lain, sebutkan.........
VII.
Penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT)
1. Apakah perusahaan menyediakan Alat Pelindung Telinga (APT)?
a. Tidak
b. Ya
2. Apakah anda diberikan pelatihan/training mengenai penggunaan Alat
Pelindung Telinga (APT)?
a. Tidak
b. Ya
3. Apakah anda menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT) ketika
bekerja?
a. Tidak (lanjut ke pertanyaan nomor 5)
b. Ya
4. Apa jenis Alat Pelindung Telinga (APT) yang anda gunakan?
a. Earmuff
b. Earplug
c. Headset
d. Kapas
5. Mengapa anda tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT)?
a. Tidak Tersedia
b. APT rusak
c. APT tidak nyaman digunakan
d. Lainnya.....
VIII. Dosis Kebisingan
Isi kolom di bawah ini dengan pekerjaan yang anda lakukan hari ini.
149
No.
Jam
1
Jam ke-1
2
Jam ke-2
3
Jam ke-3
4
Jam ke-4
5
Jam ke-5
6
Jam ke-6
7
Jam ke-7
8
Jam ke-8
Proses kerja /
jenis pekerjaan
150
Mesin / alat yang
digunakan
Area Kerja
Lampiran 7
LEMBAR PEMERIKSAAN
Nama
:
Unit/bagian
:
Tes Penala
Tes untuk mengetahui jenis gangguan pendengaran
Jenis Tes
a.
b.
Kiri
Rinne (+)
Normal / tuli saraf
Rinne (-)
Tuli konduktif
Weber
Lateralisasi ke telinga sakit (konduktif)
Lateralisasi ke telinga sehat (saraf)
c.
Schwabach Memanjang (konduktif)
Memendek (saraf)
Hasil Pemeriksaan
1. Rinne
:
2. Weber
:
3. Schwabach
:
Keterangan
151
Kanan
Lampiran 8
Lembar Observasi Dosis Kebisingan
Nama :
Departemen :
No. Waktu
Jenis
Kebisingan
Pekerjaan
(dB)A
152
Dosis
Lampiran 9
Lembar Obervasi Penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT)
Nama :
Unit :
No. Pertanyaan
1.
Keterangan
Apakah pekerja menggunakan APT
saat bekerja di tempat bising?
2.
Jenis
APT
apa
yang
pekerja
gunakan?
3.
Apakah Pekerja diberikan training
tentang APT?
153
Lampiran 10
Output Uji Univariat
154
155
Output Uji Bivariat
156
157
158
159
160
Download