FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA DI DEPARTEMEN METAL FORMING DAN HEAT TREATMENT PT. DIRGANTARA INDONESIA (PERSERO) TAHUN 2015 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) OLEH : DINI RAHMAWATI 1110101000075 PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M i UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Mei 2015 Dini Rahmawati. NIM : 1110101000075 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 (xvi, 140 halaman, 14 tabel, 2 bagan, 8 lampiran) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam rancang bangun, pengembangan, dan manufacturing pesawat terbang. Kegiatan produksi saat ini didukung oleh 232 unit mesin dan peralatan. Selain itu, terdapat beberapa peralatan lainnya yang tersebar di berbagai lini perakitan, laboratorium, pelayanan dan unit pemeliharaan. Kebisingan yang ada di lingkungan kerja berkisar antara 80 – 103 dB (A). Pada studi pendahuluan, ditemukan sebanyak 93,3% dari 15 responden mengeluh sering mengalami telinga berdengung. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment sebanyak 178 orang, sedangkan sampel penelitian sebanyak 66 orang yang telah dilakukan tes pendengaran dengan alat garpu tala. Penelitian ini menggunakan analisis chi square untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan independen. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan, usia, penggunaan alat pelindung telinga dan riwayat merokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015. Untuk mengurangi risiko gangguan pendengaran sebaiknya perusahaan melakukan program konservasi pendengaran, melakukan pemeriksaan telinga (tes audiometri), melakukan pengendalian teknis, membatasi waktu kerja di area bising, maintenance mesin dan alat kerja, memberikan pelatihan penggunaan alat pelindung telinga dan memberikan pengawasan terhadap penggunaan alat pelindung telinga, memberikan pendidikan dan penyuluhan terkait bahaya merokok dan melarang pekerja menghidupkan musik saat sedang bekerja. Daftar Bacaan : 31 (1997-2014) ii ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Skripsi, May 2015 Dini Rahmawati. NIM : 1110101000075 Factors Associated with Hearing Loss On Workers in the Department of Metal Forming and Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 2015 (xvi ,140 Pages, 14 tables, 2 charts, 8 attachments) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) is one of the airlines in Asia which is experienced and competent in the design, development, and manufacturing of aircraft. The productivity of the company is currently supported by 232 units of machinery and equipment. In addition, there are several other tools scattered in various assembly lines, laboratories, services and maintenance unit. Existing noise in the working environment ranges between 80-103 dB (A). In the preliminary study, it was found as many as 93.3% of the 15 respondents complained their experiences of having sound of drone in the ears that bothers while working. This research is a quantitative research with cross sectional study design to determine the factors associated with hearing loss. The study population was all workers in the department of Metal Forming and Heat Treatment as many as 178 people, while the samples are 66 people who have a hearing test conducted by means of a tuning fork. The chi square analysis is used to examine the relationship between dependent and independent variables. The survey results revealed that there was a significant relationship between the dose of noise, age, use ear protective equipment and smoking history hearing loss in workers in the department of Metal Forming and Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia in 2015. In order to reduce the risk of hearing loss, the company should better perform the hearing conservation program, conduct examination of the ear (audiometric tests), perform technical control, limit the working time in noisy areas, carry out the maintenance of machines and working tools, provide training on the use of protective gear for ear and provide oversight of the use of ear protection, provide an education and counseling related to the dangers of smoking and prohibit workers turn the music on while working. Reading List: 31 (1997-2014) iii iv v DAFTAR RIWAYAT HIDUP Data Pribadi Nama : Dini Rahmawati Jenis Kelamin : Perempuan Tempat, Tanggal Lahir : Bekasi, 09 Mei 1992 Alamat : Kp. Karehkel RT 02/RW 02, Kec. Leuwiliang, Kab. Bogor No. Handphone : 0813-9955-3038 E-mail : [email protected] Pendidikan Formal Tahun 2010 – 2015 Nama Institusi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat 2007 – 2010 SMA Negeri 01 Leuwiliang 2004 – 2007 SMP Negeri 03 Leuwiliang 1998 - 2004 SD Negeri 01 Karehkel vi KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan semesta alam yang selalu memberikan kenikmatan tak terkira kepada makhluk-Nya. Atas segala pertolongan dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah menuntun umatnya menuju kehidupan yang penuh dengan cahaya Islam. Penulisan skripsi ini bukanlah semata-mata hasil usaha penulis sendiri melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa materi, doa, motivasi, dan bimbingan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yaitu kepada: 1. Keluarga penulis (Bapak, Mimi, Dede, dan Aa (juga Syeikh dan Ummi)) terima kasih atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang diberikan selama penulis menuntut ilmu di bangku kuliah. 2. Bapak Dr. Arif Sumantri, M.Kes, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D, selaku kepala program studi Kesehatan Masyarakat yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih baik. 4. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar, tegas, semangat, dan ikhlas untuk membimbing penulis. Terima kasih ibu atas waktu, doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tetap semangat untuk menjadi cahaya penolong bagi mahasiswa-mahasiswa lainnya ya Bu. vii 5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen pembimbing II yang selalu siap memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang positif untuk perbaikan skripsi penulis. 7. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, MKes, Ph.D selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis. 8. Ibu Meilani Anwar, SKM, M.T selaku dosen penguji sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji, membimbing, menyemangati dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis. 9. Bapak Sudaryanto dan Pak Tedi selaku K3LH dan Pak Purwadi Riwayanto selaku Manager Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia yang sudah mengijinkan dan mempermudah penulis melaksanakan penelitian ini. 10. Ibu Ayu, Pak Bambang, Pak Asep, Pak Dadi, Pak Nyoto, Pak Endang, Pak Bumi, Pak Yadi dan seluruh pekerja di PT. Dirgantara Indonesia yang telah bersedia membantu penelitian ini. 11. Kak Ami, Kak Septi, Ka Ida dan Pak Ajib yang sudang setia mendengar keluh kesah penulis dan membantu penulis dengan sabar. 12. Untuk teman-teman K3 2010, Kinoy, Weti, Cinta, Epoy, Asro, Mono, Agung, Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbals, Bang Jek, dan Masshon yang telah memberikan warna-warni dalam masa-masa kuliah. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga selamanya. Selamat berjuang menuju babak baru kehidupan teman-teman. 13. Teman-teman Kebab tersayang dan tersanjung. Kita berbeda tapi tetap “sama”. Jangan pernah lupakan persahabatan ini. Semangat meraih citacita eonni. 14. Teman-teman Kesmas UIN 2010 yang sudang membantu penulis selama ini. viii 15. Semua orang yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat dituliskan satu per satu, terima kasih dan semoga Allah membalas kebaikan kalian. Dengan memohon keridhoan Allah Swt, penulis berharap seluruh kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan Allah Swt. Aamiin. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca luas pada umumnya. Jakarta, Mei 2015 Penulis ix DAFTAR ISI Lembar Pernyataan i Abstrak ii Abstract iii Pernyataan Persetujuan Pembimbing iv Pernyataan Persetujuan Penguji v Daftar Riwayat Hidup vi Kata Pengantar vii Daftar Isi x Daftar Tabel xiv Daftar Bagan xv Daftar Lampiran xvi BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 6 1.3 Pertanyaan Penelitian 7 1.4 Tujuan Penelitian 9 1.5 1.6 1.4.1 Tujuan Umum 9 1.4.2 Tujuan Khusus 9 Manfaat Penelitian 11 1.5.1 Manfaat bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 11 1.5.2 Manfaat bagi Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 12 1.5.3 Manfaat bagi Institusi Pendidikan 12 Ruang Lingkup Penelitian 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendengaran Manusia 13 x 2.1.1 Anatomi Organ Pendengaran 13 2.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia 17 2.1.3 Mekanisme Mendengar 18 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing 2.2 2.1.4 Loss) 19 2.1.5 Pemeriksaan Pendengaran 20 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran 2.2.1 2.3 23 Dosis Kebisingan 23 2.2.1.1 Kebisisngan 23 2.2.1.2 Pengertian Dosis Kebisingan 43 2.2.2 Usia 45 2.2.3 Masa Kerja 48 2.2.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri 51 2.2.5 Riwayat Merokok 53 2.2.6 Penggunaan Obat Ototoksik 55 2.2.7 Lingkungan Tempat Tinggal 58 2.2.8 Jenis Kelamin 59 2.2.9 Hobi Terkait Bising 57 2.2.10 Riwayat Penyakit 61 Kerangka Teori 63 BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep 64 3.2 Definisi Operasional 66 3.3 Hipotesis Penelitian 70 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian 71 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 71 4.3 Populasi dan Sampel 71 4.3.1 Populasi 71 xi 4.4 4.3.2 Sampel 72 4.3.3 Metode Sampling 73 Pengumpulan Data 74 4.4.1 Sumber Data 74 4.4.2 Alur Pengumpulan Data 74 4.5 Pengolahan Data 81 4.6 Analisis Data 82 4.6.1 Analisis Univariat 82 4.6.2 Analisis Bivariat 83 BAB V HASIL 5.1 Gambaran Umum Perusahaan 85 5.1.1 Profil Perusahaan 85 5.1.2 Visi dan Misi 87 5.1.3 Kebijakan Keselamatan dan Kesejahteraan Kerja Perusahaan 87 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan 5.1.4 5.2 Heat Treatment Tahun 2015 87 Analisis Univariat 91 5.2.1 91 Gambaran Gangguan Pendengaran Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan 5.2.2 5.3 Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 Analisis Bivariat 92 97 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian 102 6.2 Gangguan Gangguan Pendengaran 102 6.3 Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran 106 6.4 Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Pendengaran 111 6.5 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran 113 6.6 Hubungan Antara Penggunaan Alat Pelindung Telinga dengan Gangguan 118 xii Pendengaran 6.7 Hubungan Antara Riwayat Merokok dengan Gangguan Pendengaran Hubungan 6.8 Antara Hobi yang Terkait Pendengaran 122 Bising dengan Gangguan 129 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 133 7.2 Saran 135 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii DAFTAR TABEL 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan 28 3.1 Definisi Operasional 66 4.1 Daftar Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment 72 4.2 Contoh Perhitungan Dosis Kebisingan 76 4.3 Gambaran Hasil Diagnosis Tes Penala 79 4.4 Daftar Kode Variabel 82 5.1 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan Heat 90 Treatment Tahun 2015 5.2 Gambaran Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming 91 dan Heat Treatment Tahun 2015 5.3 Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran 93 pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015 5.4 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang 94 Berpengaruh terhadap Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015 5.5 Alasan Tidak Menggunakan Alat Pelindung Telinga pada Pekerja di 95 Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 5.6 Gambaran Merokok pada Perokok di Departemen Metal Forming dan Heat 96 Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 5.7 Gambaran Jenis Rokok pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat 96 Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 5.8 Jenis Hobi Terkait Bising pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat 97 Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 5.9 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 xiv 98 DAFTAR BAGAN 2.1 Kerangka Teori 63 3.1 Kerangka Konsep 65 xv DAFTAR LAMPIRAN 1. Permohonan Izin Pengambilan Data 142 2. Surat Penerimaan Melaksanakan Penelitian 143 3. Struktur Organisasi PT. Dirgantara Indonesia 144 4. Denah Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia 145 5. Surat Persetujuan Subjek Penelitian 146 6. Kuesioner 147 7. Lembar Penelitian 151 8. Lembar Observasi Dosis Kebisingan 152 9. Lembar Observasi Penggunaan APT 153 10. Output SPSS 154 xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tekanan yang berasal dari faktor fisik adalah kebisingan. Kebisingan di lingkungan kerja dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Kebisingan selain mempunyai dampak pada gangguan pendengaran (auditory), dalam beberapa riset terakhir dilaporkan mampu menimbulkan gangguan yang bersifat extraauditory, seperti stres psikologik, perubahan sirkulasi darah, kelelahan dan perasaan tidak senang (annoyance) (Wagshol, 2008). Gangguan pendengaran jangka pendek yang ditimbulkan oleh bising, akan hilang dalam beberapa menit atau jam setelah meninggalkan area kebisingan tinggi. Namun, jika pekerja terpapar dengan kebisingan tinggi secara terus menerus dan berulang akan mengakibatkan gangguan pendengaran secara permanen (Soeripto, 2008). Semakin tinggi intensitas bising dan semakin lama pekerja terpajan bising, maka risiko pekerja untuk mengalami gangguan pendengaran akan semakin tinggi pula (European Agency for Safety and Health at Work, 2008). Suasana yang bising memaksa pekerja untuk berteriak saat berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang teriakan atau pembicaraan yang keras ini dapat menimbulkan salah komunikasi 1 (miscommunication) atau salah persepsi terhadap orang lain. Lebih jauh kebisingan terus menerus dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi pekerja yang akibatnya pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja (Notoatmodjo, 2003). Kebisingan di tempat kerja juga dapat mengganggu proses sosialisasi dengan lingkungan sekitar dan pada tahap tertentu dapat membuat pekerja diberhentikan dari pekerjaan sehingga akan berpengaruh pada pendapatan keluarga serta gangguan produksi, terjadinya kecelakaan kerja akibat penurunan konsentrasi, maupun kewajiban memberi kompensasi kecacatan pendengaran pekerja (Kusuma, 2004). Pengaruh utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan akibat tersebut telah diketahui dan diterima masyarakat untuk berabad-abad lamanya (Suma’mur, 2009). WHO memperkirakan di tahun 2001 terdapat 250 juta orang di dunia dengan gangguan pendengaran sedang maupun berat, angka ini meningkat menjadi lebih dari 275 juta orang di tahun 2004. Dari jumlah tersebut 80% diantaranya berada di negara berkembang. Angka ini terus meningkat sejak penelitian awal yang dilakukan oleh WHO pada tahun 1986 (Haryuna, 2013). Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi 2 asuransi, ditemukan 85% menderita tuli saraf dan dari jumlah tersebut 37% didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz. Selain itu menurut NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health) diketahui bahwa 22 juta pekerja memiliki potensi mengalami gangguan pendengaran setiap tahunnya dan 10 juta pekerja di Amerika Serikat mempunyai masalah gangguan pendengaran yang berhubungan dengan pekerjaannya. Di tahun 2007, sekitar 23.000 kasus dilaporkan sebagai gangguan pendengaran akibat kerja atau 14%. Kemudian tahun 2008, sekitar dua juta pekerja di Amerika Serikat terpajan bising di tempat kerja yang berisiko mengalami gangguan pendengaran (CDC, 2008). Di Indonesia, permasalahan bising termasuk dalam permsalahan besar di dunia industri. Hal ini terlihat dari besarnya prevalensi kejadian penurunan pendengaran akibat pajanan bising di tempat kerja. untuk perusahaan plywood, pajanan bising yang diterima pekerja berkisar 86,1-108,2 dB dengan prevalensi NIHL sebesar 31,81% (Tana dalam Akbar, 2012). Selain karena adanya bahaya seperti kebisingan di lingkungan kerja, terdapat faktor lainnya yang menyebabkan ganguan pendengaran. Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2012) terhadap para penerbang TNI AU pesawat herkules dan helikopter didapatkan hasil bahwa tingkat kebisingan pesawat merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya NIHL. Selain itu variabel jam terbang, lama kerja, umur, pemakaian APT, Hobi (Akbar, 3 2012) dan kebiasaan merokok (Mohammad, 2009; Tandiabang, 2010) berhubungan signifikan dengan gangguan pendengaran. Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa rokok meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi (Mizoue T, 2003). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa perokok berat mempunyai risiko 12 kali lebih besar mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan perokok ringan dan sedang (Tandiabang, 2010). Terdapat sekitar 500 jenis pekerjaan pada industri yang berpotensi merusak pendengaran. Salah satu jenis pekerjaan tersebut adalah industri pesawat terbang yang mampu menghasilkan kebisingan sampai 115-130 dB. PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam rancang bangun, pengembangan dan manufacturing pesawat terbang. Kegiatan produksi saat ini didukung oleh 232 unit mesin dan peralatan. Selain itu, terdapat beberapa peralatan lainnya yang tersebar di berbagai lini perakitan, laboratorium, pelayanan dan unit pemeliharaan. Salah satu departemen yang ada di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dengan kebisingan yang tinggi adalah departemen Metal Forming dan Heat Treatment. Proses pekerjaan yang dilakukan di departemen ini antara lain proses bending, press, hot press forming, folding/plong, stretching, routing cutter, crimping, rolling, tube flaring, tube bending, swaging, grooving, welding, leveling sheet. Semua proses tersebut dikerjakan dengan mesin dan alat yang menghasilkan kebisingan 4 antara 80 dB – 103 dB. Kebisingan tertinggi di departemen ini dihasilkan oleh bunyi dari unit sheet press forming yaitu pada proses membentuk sayap pesawat dengan menggunakan palu yang terbuat dari logam, agar bentuk sayap pesawat sesuai dengan kontur yang ada. Kebisingan di ruangan kedap suara ini dapat mencapai 103 dB atau lebih. Berdasarkan hasil pengukuran kebisingan dengan menggunakan Sound Level Meters (SLM) di departemen Metal Forming dan Heat Treatment didapatkan bahwa rata-rata tingkat kebisingan di titik A yaitu lokasi menggerinda pada unit sheet press forming sebesar 90,46 dB dan di titik B yaitu lokasi pemotong pada unit profile press forming sebesar 89,2 dB, bila dibandingkan dengan Permenaker tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja, maka kebisingan tersebut telah melebihi nilai ambang batas yang diizinkan yaitu sebesar 85 dB. Kebisingan yang terdapat di departemen ini cenderung kontinu. Berdasarkan observasi langsung terhadap pekerja, terdapat beberapa pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja atau beberapa pekerja terlihat melepaskan APT, lalu menggunakan APT kembali padahal kebisingan di tempat kerja telah melebihi nilai ambang batas (NAB). Tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas di departemen Metal Forming dan Heat Treatment dapat menyebabkan ganguan pendengaran pada pekerja. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember tahun 2014, melalui wawancara dengan 5 15 orang pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment diketaui bahwa 93,3% pekerja mengeluh sering mengalami telinga berdengung. Pekerja yang mengalami telinga berdengung tersebut sebanyak 86,7% merasakan telinga berdengung saat bekerja. dan 2% pekerja tetap merasa telinga berdengung saat libur bekerja. Kemudian 66,7% pekerja merasa pendengarannya menurun sejak bekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero), 86,7% pekerja merasa terganggu ketika berkerja di tempat yang bising dan 93,3% pekerja mengaku sulit berkomunikasi ketika berada di tempat kerja. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pengukuran kebisingan dengan menggunakan Sound Level Meters (SLM) diketahui bahwa tingkat kebisingan di departemen Metal Forming dan Heat Treatment sudah melebihi nilai ambang batas, dengan rata-rata tingkat kebisingan di titik A sebesar 90,46 dB dan di titik B sebesar 89,2 dB. Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan 15 pekerja diketahui bahwa 93,3% pekerja mengeluh sering mengalami telinga berdengung. Pekerja yang mengalami telinga berdengung tersebut sebanyak 86,7% merasakan telinga berdengung saat bekerja dan 2% pekerja tetap merasa telinga berdengung saat libur bekerja. Kemudian 6 66,7% pekerja merasa pendengarannya menurun sejak bekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero), 86,7% pekerja merasa terganggu ketika berkerja di tempat yang bising dan 93,3% pekerja mengaku sulit berkomunikasi ketika berada di tempat kerja. Menurut beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat sejumlah faktor risiko yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran seperti lama kerja, umur, penggunaan APT, riwayat merokok dan hobi terkait bising. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengeran di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) pada tahun 2015. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran PT. Dirgantara Indonesia (Persero)? 2. Bagaimana gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 3. Bagaimana gambaran dosis kebisingan pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 4. Bagaimana gambaran usia pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 7 5. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 6. Bagaimana gambaran penggunaan alat pelindung telinga pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 7. Bagaimana gambaran riwayat merokok pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 8. Bagaimana gambaran hobi terkait bising pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 9. Apakah terdapat hubungan antara dosis kebisingan dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 10. Apakah terdapat hubungan antara usia dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 11. Apakah terdapat hubungan antara masa kerja dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 8 12. Apakah terdapat hubungan antara penggunaan alat pelindung telinga dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 13. Apakah terdapat hubungan antara riwayat merokok dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 14. Apakah terdapat hubungan antara hobi terkait bising dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015? 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 2. Mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 3. Mengetahui gambaran dosis kebisingan pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 9 4. Mengetahui gambaran usia pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 5. Mengetahui gambaran masa kerja pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 6. Mengetahui gambaran penggunaan alat pelindung telinga pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 7. Mengetahui gambaran riwayat merokok pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 8. Mengetahui gambaran hobi terkait bising pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 9. Mengetahui hubungan antara dosis kebisingan dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 10. Mengetahui hubungan antara usia dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 10 11. Mengetahui hubungan antara masa kerja dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 12. Mengetahui hubungan antara penggunaan alat pelindung telinga dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 13. Mengetahui hubungan antara riwayat merokok dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 14. Mengetahui hubungan antara hobi terkait bising dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero) mengenai faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja sebagai salah satu indikator dari adanya gangguan kesehatan telinga yang dialami oleh pekerja, sehingga dapat dilakukan pencegahan dan penanggulangan yang lebih baik lagi di masa mendatang. 11 1.5.2 Manfaat bagi Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran kepada para pekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tentang faktor risiko yang mempengaruhi penurunan fungsi pendengaran. Tujuannya agar pekerja lebih memperhatikan faktor risiko yang dapat mempengaruhi gangguan pendengaran, sehingga dapat mengurangi angka kejadian gangguan pendengaran yang dialami pekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero). 1.5.3 Manfaat bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi untuk penelitian di masa mendatang. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015, dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2014 – Februari tahun 2015. Sampel dalam penelitian ini adalah pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran gangguan pendengaran dengan garpu tala, pengukuran dosis kebisingan dengan recall aktivitas, dan observasi penggunaan alat pelindung telinga (APT). 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendengaran Manusia 2.1.1 Anatomi Organ Pendengaran Dalam buku penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepada, dan leher jilid 2, telinga secara anatomi dan fungsional dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. 1. Telinga Luar Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat sebelah luar membran timpani. Terdiri dari daun telinga dan saluran yang menuju membran timpani, yaitu di sebelah liang telinga luar. Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang rawan yang berlekuk-lekuk ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum. Lekuk daun telinga yang utama ialah heliks dan antiheliks, tragus dan antritragus, dan konka. Gendang telinga dan kulit liang telinga mempunyai sifat membersihkan sendiri yang disebabkan oleh migrasi lapisan keratin epitelium dari membran timpani ke luar ke bagian tulang rawan. Membran timpani terdiri dari tiga 13 lapisan, lapisan skuamosa membatasi telinga luar sebelah medial, lapisan mukosa membatasi telinga tengah sebelah lateral dan jaringan fibrosa terletak diantara kedua lapisan tersebut. 2. Telinga Tengah Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara membran timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat di dalamnya beserta penunjangnya, tuba Eustachius dan sistem sel-sel udara mastoid. Batas-batas superior dan inferior membran timpani membagi kavum timpani menjadi epitimpanum atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum. Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang letaknya lebih rendah dari membran timpani. Permukaan tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran kerang karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini menutupi bulbus yugularis. Kadang-kadang suatu celah pada dinding ini menyebabkan sebagian bulbus yugularis dapat masuk ke dalam hipotimpanum. Mesotimpanum yang ada di sebelah medial dibatasi oleh kapsul optik, yang terletak lebih rendah dari nervus fasial pars timpani. Suatu penonjolan yang melengkung 14 pada bagian basal koklea terletak tepat di sebelah medial membran timpani dan disebut promontorium. Tulang-tulang pendengaran membentuk suatu sistem pengungkit dan batang yang meneruskan suatu energi mekanis getar ke cairan periotik. Sistem tersebut terdiri dari maleus (landasan) dan stapes (sanggurdi). Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum maleus anterior dan ligamen inkus pada ujung prosesus brevis. 3. Telinga Dalam Telinga dalam terletak di pars petrosa atau pars piramida tulang temporal dan terdiri dari koklea, vestibulum dan tiga buah kanalis semisirkularis. Koklea merupakan bagian telinga dalam yang terdapat pada pars petrosa tulang temporalis. Organ korti terletak pada membran basilaris yang merupakan struktur yang mengandung sel-sel reseptor pendengaran, terbentang dari basis sampai apeks koklea. Bunyi yang dilepaskan dari sumber bunyi, akan dihantarkan melalui udara sehingga mencapai aurikula. Selanjutnya diteruskan ke telinga tengah melalui meatus akustikus eksternus dan akan menggetarkan membran 15 timpani. Di sini terjadi penguatan bunyi sebesar 15 dB pada frekuensi antara 2 sampai 5 kH. Selanjutnya getaran bunyi akan melalui media padat yaitu tulang-tulang pendengaran. Dalam perjalanannya getaran bunyi akan mengalami penguatan melalui efek pengungkit rantai tulang pendengaran yang memberikan penguatan sebesar 1,3 kali dan efek hidrolik membran timpani sebesar 17 kali. Total penguatan bunyi yang terjadi sebesar 25 sampai 30 dB. Penguatan bunyi ini diperlukan agar bunyi mampu merambat terus ke perilimfe. Getaran bunyi yang telah diperkuat selanjutnya menggerakkan stapes yang menutup foramen ovale. Pada frekuensi sonik gerakan perilimfe dalam skala vestibuli menyebabkan getaran langsung ke arah skala media dan menekan membran basilaris. Gerakan membran basilaris akan menyebabkan gesekan membran tektoria terhadap rambut sel-sel sensoris. Pergerakan sel rambut menyebabkan perubahan kimiawi yang akhirnya menghasilkan listrik biologik dan reaksi biokimiawi pada sel sensorik sehingga timbul muatan listrik negatif pada dinding sel. Ujung saraf VIII yang menempel pada dasar sel sensorik akan menampung mikroponik yang terbentuk. Lintasan impuls auditori selanjutnya menuju ganglion spiralis korti, saraf VIII, nukleus koklearis di 16 medula oblongata, kolikulus superior, korpus genukulatum medial, korteks auditori di lobus temporalis serebri (Kristianto, 2012). 2.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia Proses pendengaran timbul akibat getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara yang memiliki kecepatan dan volume yang berbeda. Gelombang suara bergerak melalui rongga telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran timpani bergetar, getaran-getaran tersebut diteruskan menuju inkus dan stapes melalui maleus yang berhubungan dengan membran tersebut (Amin, 2012). Getaran yang timbul pada setiap tulang, akan menyebabkan tulang memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe dialihkan menuju endolimfe dalam saluran koklea dan rangsangan menuju organ korti selanjutnya dihantarkan ke otak. Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang enak atau tidak enak. Gelombang suara menimbulkan bunyi sebagai berikut: a. Tingkatan suara biasa 80-90 desible b. Tingkatan maksimum kegaduhan 130 desible 17 2.1.3 Mekanisme Mendengar Telinga manusia dan mekanisme pendengaran merupakan hal yang sangat luar biasa. Dalam waktu yang begitu cepat telinga dapat melakukan konversi energi mekanik menjadi respon elektrokimia. Sensitivitas telinga, kemampuannya untuk membedakan suara-suara tertentu dari suara-suara lain, membuat kinerjanya tidak dapat ditandingi oleh instrumen buatan manusia. Secara anatomis, telinga manusia terdiri dari 3 bagian utama, yaitu telinga bagian luar, bagian tengah yang berisi udara dan bagian dalam yang berisi cairan. Fungsi dari telinga bagian luar adalah untuk mengumpulkan suara, sedangkan bagian tengah untuk mengkonversi dan mengirimkan rangsangan suara ke telinga bagian dalam dimana reseptor sensorik (sel rambut) berada untuk merasakan suara (Primadona, 2012). Mekanisme mendengar dimulai ketika gelombang suara masuk ke telinga luar dan berjalan melalui jalan sempit yang disebut lubang telinga yang mengarah ke gendang telinga. Suara yang masuk membuat gendang telinga bergetar, kemudian getaran ini dikirim ke tiga tulang kecil yang berada di telinga tengah, yaitu malleus, incus dan stapes. Tulangtulang tersebut memperkuat atau meningkatkan getaran suara dan mengirimkannya ke telinga bagian dalam, disebut dengan koklea, suatu saluran yang berbentuk seperti siput dan berisi 18 cairan. Sel-sel sensoris khusus pada koklea, dikenal dengan selsel rambut, mendeteksi getaran dan mengonversikannya menjadi sinyal-sinyal listrik. Selanjutnya, sinyal-sinyal listrik ini dikirim melalui syaraf pendengaran menuju ke otak yang kemudian diterjemahkan menjadi suara yang kita kenali dan pahami (NIDCD, 2008). 2.1.4 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Arsyad et al., 2007). Gejala dari gangguan pendengaran akibat bising adalah terjadinya kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih berat percakapan yang keraspun sulit dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift). 19 1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. 2. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat terpajan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. 3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat (eksplosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan Organ corti, sel-sel rambut, stria vaskularis dll (Arsyad et al., 2007). 2.1.5 Pemeriksaan Pendengaran Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni. Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan di telinga luar atau telinga tengah, seperti 20 atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen, sumbatan tuba Eustachius serta radang telinga tengah. Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea. Berdasarkan OSHA dalam (Wibowo, 2012), pemeriksaan pendengaran pada pekerja dilakukan secara berkala setahun sekali. Sebelum diperiksa, pekerja harus dibebaskan dari kebisingan di tempat kerjanya selama 14 jam. a. Audiometer Salah satu metode untuk memeriksa pendengaran adalah dengan menggunakan audiometer nada murni karena mudah diukur, mudah diterangkan, dan mudah dikontrol. Metode ini dapat untuk mengetahui kelainan pendengaran (gangguan pendengaran campuran). Terhadap konduksi, individu saraf yang maupun diperiksa, diperdengarkan bunyi yang dapat diatur frekuensi dan intensitasnya, sehingga hasil pemeriksaan dapat berupa pendengaran normal atau dapat diketahui derajat gangguan pendengarannya (OSHA, 2008). Audiometer adalah sebuah alat pengeras yang dapat memberikan sinyal akustik pada telinga melalui teleponkepala, pengeras-suara, atau penghantar-tulang. Sinyal suara yang diberikan ialah: 21 a) Nada-bentuk-sinus dari frekuensi dan intensitas berbeda yang murni dari alat generator-nada. b) Suara-bising, yang disaring atau tidak disaring oleh pita-saringan (bandfilter). c) Pembicaraan yang dikeluarkan melalui pita-tape atau CD-player (Broek P, 2009). Hearing Threshold Limit (HTL) adalah hasil rata-rata frekuensi pada 500 Hz, 1.000 Hz, 2.000 Hz, dan 3000 Hz atau 4.000 Hz dalam dB. Pemeriksaan audiometri dalam usaha memberikan perlindungan maksimum terhadap pekerja dilakukan sebagai berikut: 1. Sebelum bekerja atau sebelum penugasan awal di daerah kerja yang bising (baseline audiogram) 2. Secara berkala (periodik/tahunan) 3. Pekerja yang terpajan kebisingan >85 dBA selama 8 jam sehari, pemeriksaan dilakukan setiap 1 tahun atau 6 bulan tergantung tingkat intensitas bising 4. Secara khusus pada waktu tertentu 5. Pada akhir masa kerja (OSHA, 2008) b. Tes Penala Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing, dan tes Stenger. 22 1. Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. 2. Tes Weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan. 3. Tes Schwabach ialah membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Untuk mendiagnosis gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss), pada pemeriksaan audiologi melalui tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik, dan Schwabach memendek. 2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran 2.2.1 Dosis Kebisingan 2.2.1.1 Kebisingan 1. Definisi Bunyi atau Suara Bunyi adalah tekanan bolak balik dan merupakan molekul dalam medium elastik yang dapat terdeteksi oleh penerima dan ditangkap sebagai perubahan tekanan. Bunyi memiliki hubungan antara frekuensi vibrasi suara, panjang gelombang, dan kecepatan (Sari, 2012). Suara didefinisikan sebagai sensasi atau rasa yang dihasilkan oleh organ pendengaran 23 manusia ketika gelombang-gelombang suara dibentuk di udara sekeliling manusia melalui getaran yang diterimanya. Gelombang suara merupakan gelombang longitudinal yang terdengar sebagai bunyi bila masuk ke telinga berada pada frekuensi 20–20.000 Hz atau disebut jangkauan suara yang dapat didengar (Djalante, 2010). 2. Pengertian Kebisingan Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI. No. Kep. 13/Men/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja menyatakan bahwa kebisingan adalah semua bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan bahaya. Polusi udara atau kebisingan dapat didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki dan mengganggu manusia. Sehingga meski kecil atau lembut suara yang terdengar, jika hal tersebut tidak diinginkan maka akan disebut kebisingan (Djalante, 2010). Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 13/Men/X/2011, Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan adalah 85 dBA untuk waktu pajanan 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap tenaga kerja adalah kebisingan, yang mampu 24 menyebabkan berkurangnya pendengaran (Depnaker, 2011). 3. Jenis-Jenis Kebisingan Berdasarkan buku Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition, pajanan kebisingan di tempat kerja dapat dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu: a. Continuous Noise Continuous noise merupakan jenis kebisingan yang memiliki tingkat dan spektrum frekuensi konstan. Kebisingan jenis ini memajan pekerja dengan periode waktu 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. b. Intermittent Noise Intermittent noise merupakan jenis kebisingan yang memajan pekerja hanya pada waktu-waktu tertentu selama jam kerja. Contoh pekerja yang mengalami pajanan kebisingan jenis ini adalah inspector atau plant supervisor yang secara periodik meninggalkan area kerjanya yang relatif tenang menuju area kerja yang bising. c. Impact Noise Impact noise disebut juga dengan kebisingan impulsif, yaitu kebisingan dengan suara hentakan yang keras dan terputus-putus kurang dari 1 detik. Contoh kebisingan 25 jenis ini adalah suara ledakan dan pukulan palu (Standard, 2002). 4. Sumber Kebisingan Sumber kebisingan bermacam-macam. Di lingkungan kerja, bising dapat bersumber dari benda-benda maupun situasi yang berada di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya bising yaitu mesin-mesin yang berada di sekitar pekerja, proses-proses kerja, peralatan pabrik, kendaraan, kegiatan manusia, suara pekerja itu sendiri, dan suara orang yang berlalu-lalang, sampai bunyi yang berasal dari luar lingkungan kerja (background noise). Kebisingan yang dihasilkan dari berbagai sumber tersebut memiliki tingkat intensitas yang berbeda dan akan memberikan dampak pada kesehatan manusia. Sehingga dalam pengujian atau pengontrolan tingkat kebisingan merupakan hal yang sangat perlu dilakukan agar tidak mengganggu kesehatan dan tidak menyebabkan kecelakaan kerja di sebuah perusahaan (Sari, 2012). 5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun 2011, Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisika di tempat 26 kerja, waktu maksimum pekerja di daerah paparan kebisingan tertentu adalah sebagai berikut : 27 Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan Waktu pemaparan per hari 8 Intensitas Kebisingan dalam dBA Jam 85 4 88 2 91 1 94 30 Menit 97 15 100 7,5 103 3,75 106 1,88 109 0,94 112 28,12 Detik 115 14,06 118 7,03 121 3,52 124 1,76 127 0,88 130 0,44 133 0,22 136 0,11 139 Catatan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat. Sumber : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Per.13/MEN/X/2011 tahun 2011 28 6. Dampak Akibat Bising Kebisingan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tenaga kerja, gangguan atau penyakit yang diakibatkan oleh bising dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Gangguan Fisiologis Kebisingan dapat menimbulkan gangguan fisiologis yaitu internal body system. Internal body system adalah sistim fisiologis yang terpenting untuk kehidupan gangguan fisiologis ini dapat menimbulkan kelelahan dada berdebar, menaikkan denyut jantung, mempercepat pernafasan pusing, sakit kepala dan kurang nafsu makan. Selain itu juga dapat meningkatkan tekanan darah, pengerutan saluran darah di kulit, meningkatkan laju metabolik, menurunkan keaktifan organ pencernaan dan ketegangan otot. Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat mengganggu, terlebih bising yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba. Gangguan dapat terjadi pada peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, basa metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada tangan dan kaki dapat menyebabkan pucat. 29 b. Gangguan Psikologis Gangguan psikologis akibat bising dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, rasa jengkel, rasa khawatir, cemas, susah tidur mudah marah dan cepat tersinggung. Menurut EPA kriteria kebisingan yang dapat mengakibatkan gangguan psikologis yaitu 55-65 dB (Arini, 2005). c. Gangguan Komunikasi Risiko potensial terhadap pendengaran terjadi apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan ini dapat menimbulkan terganggunya pekerjaan dan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian yang secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas dan kuantitas kerja. Agar pembicaraan dapat dimengerti dalam lingkungan bising, maka pembicaraan harus diperkeras dan harus dalam kata dan bahasa yang mudah dimengerti oleh penerima. Dalam ruangan kerja yang bising, pekerja akan berhubungan pada jarak yang dekat, yaitu kira-kira 1 m. Pada jarak ini komunikasi dapat dicapai dengan suara normal apabila backround noise paling tinggi 78 dB. Batas maksimal kebisingan dalam ruang kerja adalah 30 62 dB, pada level ini komunikasi masih bisa berlangsung pada jarak 2 m. d. Gangguan Pendengaran Kebisingan yang berlebihan dapat merusak sel-sel rambut di koklea, bagian dari telinga dalam dan menyebabkan kehilangan pendengaran. Di banyak negara, gangguan pendengaran akibat bising berupa NIHL merupakan penyakit yang paling umum di bidang industri yang bersifat irreversible (Primadona, 2012). Selain berpengaruh terhadap tenaga kerja, kebisingan juga memiliki pengaruh pada perusahaan atau tempat kerja. Pengaruh lingkungan bising dan gangguan pendengaran pada tempat kerja adalah: 1. Menurunnya produktivitas tenaga kerja akibat dari berkurangnya kemampuan fisik tenaga kerja, berkurangnya tingkat konsentrasi dan kelelahan akibat dari paparan bising di tempat kerja. 2. Tingginya angka absensi 3. Tingginya biaya ganti rugi dan rehabilitasi akibat gangguan pendengaran karena bising di tempat kerja yang akan berdampak pada berkurangnya keuntungan perusahaan. 31 4. Tingginya biaya pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja agar dapat melakukan pekerjaan secara rotasi akibat harus mengurangi paparan intensitas kebisingan yang tinggi (Arini, 2005). 7. Pengukuran Kebisingan Pengukuran kebisingan biasanya dinyatakan dengan satuan decibel (dB). Decibel (dB) adalah suatu unit pengukuran kuantitas resultan yang merepresentasikan sejumlah bunyi dan dinyatakan secara logaritmik. Sederhananya, skala decibel (dB) diperoleh dari 10 kali logaritma (dasar 10) perbandingan tenaga (Wilson, 1989). Satuan tingkat kebisingan (decibel) dalam skala A, yaitu kelas tingkat kebisingan yang sesuai dengan respon telinga normal. Ada dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu: a. Frekuensi Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang merambat per satuan waktu (cps = cycle per second), dengan satuan Hertz. Bunyi yang dapat diterima telinga manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara 20-20000 Hz. Apabila frekuensi kurang dari 20 Hz maka disebut infrasound dan bila frekuensi lebih dari 32 20000 Hz maka disebut ultrasound dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia. b. Intensitas Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik penerapan bunyi. Kuantitas intensitas bunyi tergantung jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas bunyi semakin tinggi. Intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmik yang disebut decibel (dB) dengan membandingkan kekuatan dasar 0.0002 dyne/cm2 (2x10-5 N/m2) yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz dan tepat menjadi ambang pendengaran manusia dengan telinga normal (Santoso, 2008). Alat untuk mengukur tingkat kebisingan adalah Sound Level Meter. Ukuran kebisingan dinyatakan dengan istilah Sound Pressure Level (SPL). Alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan yaitu Sound Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan diantara 30–130 dB dan dengan frekuensi 20–20000 Hz. Alat ini terdiri dari mikropon, alat penunjuk elektronik, amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran yaitu: 33 i. Skala A Untuk memperlihatkan kepekaan yang terbesar pada frekuensi rendah dan tinggi yang menyerupai reaksi untuk intensitas rendah (35–135 dB). ii. Skala B Untuk memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas sedang ( >40 dB) tapi sangat jarang digunakan dan mungkin tidak digunakan lagi. iii. Skala C Untuk bunyi dengan intensitas tinggi ( >45 dB) yang menghasilkan gambaran respons terhadap bising antara 20 sampai dengan 20000 Hz.. Alat ini dilengkapi dengan Oktave Band Analyzer. Intensitas bising akan semakin berkurang jika jarak dengan sumber bising semakin bertambah. 8. Metode Pengendalian Bising Pengendalian kebisingan mengelola risiko paparan adalah langkah kebisingan. untuk Berikut ini merupakan pengendalian yang dapat diterapkan untuk mengurangi paparan kebisingan: 34 1) Eliminasi Tindakan pengendalian dengan biaya yang efektif dapat dilakukan ketika suatu pabrik baru akan dibangun atau dibeli, antara lain dengan desain area instalasi dan desain serta konstruksi pabrik baru. Pabrik yang baru harus dirancang dan dibangun dengan memastikan paparan kebisingan serendah mungkin. Jika terdapat potensi kebisingan cukup tinggi, maka tindakan pengendalian teknis yang dapat diterapkan harus disertakan dalam desain. Kegiatan industri harus didesain untuk mencegah dan meminimalisi seluruh risiko baik kesehatan maupun keselamatan yang timbul akibat paparan kebisingan. Dalam perencanaan tempat kerja harus memperhatikan beberapa hal berikut ini. a) Kesepakatan dengan klien untuk pengurangan kebisingan, kebijakan sehingga dapat pengendalian melakukan kebisingan untuk mengatur kerja dan anggaran yang akan digunakan untuk pengendalian kebisingan yang efektif pada tahap desain. b) Mempertimbangkan efek tingkat kebisingan pada gedung, tata letak gedung dan lokasi area kerja relatif terhadap pabrik. 35 c) Mempertimbangkan transmisi kebisingan melalui struktur dan pipa-pipa. d) Merancang ruang kerja dan ruang kendali yang dapat meyerap suara jika diperlukan. e) Menerapkan desain akustik untuk pengendalian lingkungan eksternal dengan tujuan mengurangi tingkat kebisingan internal dan sebaliknya. f) Merancang pabrik untuk mengeliminasi atau mengendalikan beberapa risiko kesehatan atau pendengaran yang dihasilkan dari emisi kebisingan. 2) Pengendalian Teknis Pengendalian teknis untuk paparan kebisingan dapat dilakukan pada sumber dan media. Pengendalian teknis pada sumber adalah dengan menggunakan metode yang secara permanen dapat mengatasi paparan kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin atau proses kerja. Pengendalian dapat dilakukan memodifikasi, mendesain ulang dengan cara sebagian atau mengganti peralatan. Tujuan pelaksanaan pengukuran kebisingan adalah sebagai upaya untuk mengidentifikasi bagaimana dan dimana kebisingan timbul. Beberapa masalah dapat 36 diselesaikan dengan prosedur sederhana dan murah. Sumber kebisingan yang lebih sulit mungkin memerlukan saran dari para ahli. Pendekatan ini dapat memberikan hasil yang paling memuaskan. Seseorang yang memahami kebisingan dan operasional mesin atau proses dapat mempertimbangkan berbagai pilihan untuk mengendalikan kebisingan pada sumber. Pengendalian teknis untuk bahaya kebisingan dapat difokuskan pada mesin dan komponennya atau terhadap proses yang sebenarnya, termasuk sistem penanganan material. 3) Pengendalian Administratif Pengendalian administratif seharusnya dilakukan ketika paparan kebisingan tidak dapat dieliminasi atau dikendailkan secara teknis. Pengendalian administratif meliputi rotasi kerja dan redesain kerja yang bertujuan untuk membatasi jumlah pekerja yang terpapar. Berikut ini merupakan pengendalian administratif yang dapat dilakukan. a) Rotasi kerja Rotasi kerja melibatkan perubahan tugas atau pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja sehingga mereka tidak berisiko terpapar kebisingan yang tinggi, misalnya jika seorang 37 pekerja terpapar kebisingan pada level 94 dB(A) untuk satu jam, maka pekerja harus menghabiskan waktu kerjanya di area dengan kebisingan rendah sehingga pekerja tersebut tidak terpapar kebisingan lebih dari 85 dB(A) selama 8 jam. b) Program Pemeliharaan Peralatan Dalam banyak kasus, pemeliharaan mesin dan peralatan dalam kondisi baik akan mengurangi paparan kebisingan. Penurunan kebisingan mesin hingga 10 dB(A) dapat dicapai dengan cara ini. Penurunan yang lebih besar sangat bergantung peralatan. Program pada tipe mesin pemeliharaan dan harus menyertakan modifikasi dan atau tambahan, misalnya noise mufflers, vibration isolators, duct silencers. Tingkat kebisingan dapat meningkat karena kurangnya pemeliharaan, perubahan pengaturan mesin atau operasional mesin. c) Program “Buy Quite” Kesempatan untuk melalukan program “buy quite” ada ketika sedang dibuat perencanaan 38 untuk bangunan dan pengaturan tempat kerja, perluasan tempat kerja sedang dipertimbangkan, dan pabrik atau peralatan baru akan dibeli. 4) Alat Pelindung Diri Alat pelindung telinga merupakan sepasang alat yang didesain untuk menutupi atau dimasukkan ke dalam telinga pekerja untuk melindungi pekerja. APT tidak sesuai digunakan pada lingkungan kerja dengan level kebisingan rendah (55-85 dB). Pekerja atau semua orang yang berada dalam lingkungan kerja dengan kebisingan tinggi seharusnya, i. Dibekali APT ii. Dilatih cara menggunakan APT dengan benar iii. Dilatih untuk menggunakan APT pada saat terpapar kebisingan APT seharusnya tidak digunakan untuk menggantikan pengendalian teknis atau administratif. APT biasanya hanya digunakan sementara selama paparan kebisingan tidak dapat dicapai dengan menerapkan pengendalian lainnya. Pelepasan APT dalam periode waktu yang singkat pada area kebisingan tinggi dapat mengurangi efektivitas APT tersebut 39 secara signifikan dan mengakibatkan perlindungan yang tidak optimal. Program pemilihan APT merupakan hal yang penting untuk memastikan APT dapat melindungi pekerja dengan perlindungan yang dapat dipercaya. APT harus sesuai dengan standar dan mencantumkan kemampuan dalam mereduksi kebisingan atau dinyatakan dalam nilai NRR (Noise Reduction Rating). Pemilihan APT didasarkan pada: i. Derajat perlindungan yang diperlukan dalam lingkungan pekerja. ii. Kesesuaian untuk digunakan dalam jenis pekerjaan dan lingkungan tempat bekerja. iii. Kenyamanan, berat dan kekuatan mengapit dari APT yang digunakan. iv. Kesesuaian dengan pengguna. Kesesuaian individu diperlukan untuk perlindungan yang optimum. v. Keselamatan pengguna dan teman kerja. Dengan pemilihan APT yang benar, maka suara peringatan tidak akan terganggu ketika APT digunakan. 40 5) Pengendalian Lain Pengendalian lainnya yang dapat diterapkan adalah: i. Area Perlindungan Pendengaran (Hearing “Hearing Protection Protection Areas) Tanda peringatan Areas” harus dipasang di tempat kerja yang memiliki kebisingan tinggi. Batas area bising harus ditentukan dengan jelas. Tanda peringatan digunakan untuk menunjukkan area kebisingan tinggi. Tanda peringatan tambahan dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa untuk memenuhi area tersebut harus menggunakan APT. Metode ini dapat dicapai melalui: a. Pemasangan tanda peringatan sebagai media untuk menunjukkan bahwa APT wajib digunakan ketika pekerjaan sedang berlangsung. b. Menyediakan petunjuk baik tertulis maupun verbal tentang bagaimana cara mengenali keadaan dimana seseorang harus menggunakan APT. 41 c. Pengawasan yang efektif pada lokasi yang telah diidentifikasi masuk ke dalam “Hearing Protection Areas”. ii. Inspeksi dan Pemeliharaan APT yang disediakan perusahaan untuk para pekerja seharusnya diinspeksi dan dipelihara secara rutin. Perusahaan juga harus menyediakan area yang bersih untuk menympan APT ketika tidak digunakan. Fasilitas untuk membersihkan APT yang dapat digunakan kembali harus tersedia. Selain itu, pekerja juga sebaiknya melakukan pengecekkan APT secara reguler untuk mendeteksi dan melaporkan kerusakan. iii. Informasi dan Pelatihan Pekerja seharusnya sudah diberikan informasi mengenai perlunya APT sebelum mereka mulai bekerja. APT yang sesuai didasarkan pada nilai attentuion yang diperlukan untuk lingkungan dan pekerjaan yang dilakukan. Instruksi tentang cara penggunaan, pemasangan, perawatan dan diberikan secara 42 pemeliharaan reguler. seharusnya Perusahaan dan sepervisor seharusnya mendorong penggunaan APT dengan menjelaskan dan memberikan contoh individu. 2.2.1.2 Pengertian Dosis Kebisingan Pengaturan waktu maksimal pemajanan berkaitan dengan persentase dosis kebisingan yang diterima oleh pekerja yaitu mencapai 100% dosis. Rekomendasi yang diberikan NIOSH untuk exposure limit paparan kebisingan adalah 85 dB(A), untuk 8 jam per hari. Paparan yang berada di atas level tersebut dapat dianggap bahaya. Pekerjaan dengan paparan di atas 85 dB(A) harus pendapat pengendalian sehingga paparan yang diterima pekerja kurang dari kombinasi tingkat pemaparan (L) dan durasi (T), sebagaimana dihitung dengan rumus berikut: T= Keterangan: T : Lama pajanan bising yang diperkenankan (jam) L : Tingkat Kebisingan Jika tingkat kebisingan dan periode pemaparan bising yang diterima pekerja berbeda dalam sehari-sehari, maka dilakukan pengukuran dosis kebisingan. Ketentuan perhitungan secara manual yaitu jika kebisingan yang 43 diterima pekerja < 80 dB(A), maka bisa kita abaikan tanpa perlu menghitung dosis karena kebisingan berada di bawah NAB (Istantyo, 2011). Setelah diketahui tingkat kebisingannya, kemudian dicari berapa lama pekerja melakukan pekerjaan di tempat tersebut dan dihitung dengan rumus sebagai berikut: D= x 100% Keterangan: D : jumlah dosis kebisingan T : lama pajanan kebisingan (jam) Jika dari perhitungan didapatkan D < 100%, maka dosis kebisingan yang diterima adalah kurang dari NAB. Bila D = 100%, maka dosis kebisingannya berada pada NAB dan bila D > 100%, maka dosis kebisingannya berada di atas NAB (Tambunan, 2005). Semakin besar dosis bising yang diterima seorang pekerja, maka semakin besar potensi terjadi gangguan pendengaran yang ditandai dengan peningkatan nilai ambang dengar (Pratiwi, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Istantyo (2011), mendapatkan hasil bahwa dosis kebisingan terbukti memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap 44 gangguan fungsi pendengaran dengan nilai Pvalue sebesar 0,000. Sedangkan berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa nilai OR untuk variabel dosis kebisingan sebesar 19,279, artinya pekerja yang menerima dosis kebisingan lebih dari 100% atau equivalen dengan 85 dB memiliki peluang 19,279 kali lebih berisiko untuk mengalami gangguan fungsi pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menerima dosis kebisingan < 100%. 2.2.2 Usia Usia mempunyai pengaruh terhadap gangguan pendengaran. Usia lebih tua relatif akan mengalami penurunan kepekaan terhadap rangsangan suara. Penyebab paling umum terjadinya gangguan pendengaran terkait usia adalah presbycusis. Presbycusis ditandai dengan penurunan persepsi terhadap bunyi frekuensi tinggi dan penurunan kemampuan membedakan bunyi. Presbycusis diasumsikan menyebabkan kenaikan ambang dengar 0,5 dB setiap tahun, dimulai dari usia 40 tahun. Oleh karena itu, dalam perhitungan tingkat cacat maupun kompensasi digunakan faktor koreksi 0,5 dB setiap tahunnya untuk pekerja dengan usia lebih dari 40 tahun. Dalam penelitian mengenai penurunan pendengaran akibat kebisingan, 45 faktor usia harus diperhatikan sebagai salah satu faktor counfounding (perancu) yang penting (Zhang, 2010). Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan usia dapat terjadi pada telinga. Membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk di dalamnya gendang telinga menjadi kurang fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang kecil yang terdapat di telinga bagian tengah juga menjadi lebih kaku dan sel-sel rambut di telinga bagian dalam dimana koklea berada juga mulai mengalami kerusakan. Rusak atau hilangnya sel-sel rambut inilah yang menyebabkan seseorang sulit untuk mendengar suara. Perubahan-perubahan pada telinga bagian tengah dan dalam inilah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan sensitifitas pendengaran seiring dengan bertambahnya usia seseorang (Primadona, 2012). Selain itu pada orang dengan usia yang lebih tua ambang reflek akustiknya akan menurun. Reflek akustik berfungsi memberikan perlindungan terhadap rangsangan bising yang berlebihan. Pada orang tua membutuhkan rangsangan bising yang lebih tinggi untuk menimbulkan reflek akustik dibanding pada orang yang lebih muda (Tantana, 2014). Degenerasi organ pendengaran yang dimulai dari usia 40 tahun ke atas diduga mempunyai hubungan dengan faktorfaktor herediter, pola makan, metabolisme, arteriosklerosis, 46 infeksi, bising, gaya hidup sehingga bersifat multifaktor (Istantyo, 2011). Patologi dari perubahan tersebut ialah proses degenerasi yang menyebabkan perubahan struktur koklea dan nervus VIII. Pada koklea perubahan yang mencolok yaitu atrofi dan degenerasi sel-sel pada organ korti. Proses atrofi diikuti dengan perubahan vaskuler yang terjadi pada stria vaskularis. Kemudian terdapat perubahan berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan syaraf (Istantyo, 2011). Penelitian yang dilakukan Primadona (2012), mendapatkan hasil bahwa sebanyak 4 orang (26,7%) pekerja yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami penurunan pendengaran, sedangkan pada pekerja yang berusia kurang dari sama dengan 40 tahun sebanyak 1 orang (2,2%) pekerja mengalami penurunan pendengaran. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,012 (p<α) yang berarti bahwa secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia pekerja dan kejadian penurunan pendengaran. Sedangkan Olishifski melaporkan walaupun pengaruh usia terhadap pajanan bising masih dalam perdebatan, pada usia diatas 40 tahun terjadi penurunan ambang pendengaran 0,5 dBA setiap tahun, 20% dari populasi umum dengan usia 50-59 tahun mengalami kehilangan 47 pendengaran tanpa mendapat pajanan bising industri (Lusianawaty, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Baktiansyah (2004) terhadap para pekerja pria di PT X, didapatkan hasil bahwa variabel usia mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya gangguan pendengaran dengan p <0,01. Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang berusia >40 tahun dan pekerja tersebut memiliki risiko sepuluh kali lebih besar bila dibandingkan dengan pekerja berusia <40 tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tua pekerja, maka semakin besar risikonya untuk mengalami gangguan pendengaran. 2.2.3 Masa Kerja Kebisingan yang tinggi memberikan efek yang merugikan pada tenaga kerja, terutama pada indera pendengaran. Organ pendengaran yang kita miliki hanya menerima bising pada batas-batas tertentu saja. Jika batas tersebut dilampaui dan waktu paparan cukup lama, maka dapat menyebabkan daya dengar tenaga kerja menurun. Tenaga kerja memiliki risiko mengalami NIHL yang dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan tanpa disadari. Penurunan daya pendengaran tergantung dari lamanya pemaparan serta tingkat kebisingan, sehingga faktor-faktor 48 yang menimbulkan gangguan pendengaran harus dikurang (Permaningtyas, 2011). Gejala klinis penderita gangguan pendengaran akibat bising dikeluhkan pekerja setelah bekerja selama 5 tahun dan inipun baru disadari setelah pihak lain seperti istri, anak dan teman bergaul mengatakan bahwa penderita memerlukan suara yang cukup keras untuk mampu mendengar. Penelitian yang dilakukan Pratiwi pada tahun 2012, didapatkan bahwa terdapat hubungan yang sidnifikan antara lama kerja terhadap gangguan pendengaran pada penerbang pesawat herkules dan helikopter dengan p=0,015 dan nilai OR 3,48 artinya bahwa penerbang yang mempunyai lama kerja >5 tahun mempunyai risiko terjadinya gangguan pendengaran (NIHL) 3,48 kali dibandingkan dengan penerbang yang mempunyai lama kerja <5 tahun. Penelitian yang dilakukan Sari, dkk (2012), pada tenaga kerja PT. PLN (PERSERO) wilayah Kalimantan Timur sektor Mahakam, PLTD Karang Asam Samarinda, berdasarkan uji statistik dengan menggunakan chi-kuadrat, ada hubungan yang signifikan antara lama pemaparan kebisingan berdasarkan masa kerja dengan gangguan pendengaran tenaga kerja, yaitu dengan nilai chi-kuadrat sebesar 15,250 >5,991 pada taraf kesalahan 5% dengan derajat kebebasan = 1. Hal ini berarti semakin lama 49 tenaga kerja terpapar oleh kebisingan maka semakin tinggi (banyak) tenaga kerja yang mengalami gangguan pendengaran. Penelitian lain yang dilakukan pada pekerja yang berumur 75 tahun dengan pajanan bising selama 20 tahun, pada pemeriksaan mayat (post mortem) ditemukan kerusakan organ Corti berupa destruksi sel rambut dengan kerusakan terberat berasal dari bagian basal koklea. Selain itu ditemukan juga atrofi dari nervus auditoris dan degenerasi ganglion spiralis. Bagian koklea terdekat dengan tingkap lonjong menerima bunyi dengan frekuensi tinggi. Kerusakan koklea akibat frekuensi dan intensitas tinggi terpusat pada frekuensi 4000 Hz dimana keadaan ini sesuai dengan getaran terbesar pada membran basilaris dan organ Corti. Soetirto menyatakan bahwa gangguan pendengaran dapat terjadi akibat terpapar kebisingan mikro (60-70 dBA) secara terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. Terpapar bising yang intensitasnya 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam, yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz, dan yang terberat alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz. Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising, 50 antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, dan lebih lama terpapar bising (Sutopo, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Habibi pada tahun 2010 untuk mengetahui lama paparan bising terhadap kejadian NIHL pada musisi, didapatkan hasil bahwa dari 47 sampel penelitian didapatkan sebanyak 5 orang mengalami NIHL, 4 kasus terjadi pada sampel yang telah terpapar selama lebih dari lima tahun dan 1 sampel yang telah terpapar selama kurang dari setahun (Banitriono, 2012). 2.2.4 Penggunaan Alat Pelindung Telinga Pengendalian kebisingan terutama ditujukan kepada mereka yang dalam kesehariannya menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode pengendaliannya dengan memanfaatkan alat bantu yang bisa mereduksi tingkat kebisingan yang masuk ke telinga bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam (Pratama, 2010). Pada penelitian yang dilakukan Balai Hiperkes terhadap 23 orang pekerja di PT Kurnia Jati, salah satu masalah yang berkaiatan dengan gangguan pendengaran akibat bising pada tenaga kerja adalah rendahnya kesadaran tenaga kerja yaitu 85% tidak menggunakan alat pelindung pendengaran, masih 51 kurangnya tingkat kepedulian pengusaha dalam menangani masalah kebisingan dan gangguan pendengaran pada tenaga kerja, yaitu kurangnya penyediaan alat pelindung diri pendengaran bagi tenaga kerja dan tidak dilakukannya pemeriksaan tenaga kerja secara berkala (Arini, 2005). Sedangkan penelitian yang dilakukan Miristha (2009), hubungan APT dengan terjadinya keluhan pendengaran berat diperoleh bahwa operator alat berat yang menggunakan APT sebanyak 14 orang (56,0%) dan operator alat berat yang tidak menggunakan APT sebanyak 10 orang (52,6%). Hasil uji statistik diperoleh pvalue = 0,0001, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara proporsi penggunaan APT dengan terjadinya keluhan pendengaran berat. Menurut John J. Standard dalam buku Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition, APT merupakan penghalang akustik (acoustical barrier) yang dapat mengurangi jumlah energi suara yang melewati lubang telinga menuju ke reseptor di dalam telinga (Standard, 2002). Dapat dikatakan bahwa dengan memakai APT di area kerja yang bising dapat mengurangi pajanan yang diterima pekerja dan mengurangi risiko terjadinya penurunan pendengaran akibat bising, 52 demikian pula sebaliknya. Dengan syarat APT tersebut dipakai secara disiplin dan benar oleh pekerja. Tipe APT yang sering digunakan saat ini adalah tipe insert/plug dan muff. Tipe insert/plug digunakan dengan cara memasukkannya ke lubang telinga, sedangkan tipe muff digunakan dengan cara menutup/mengurung (enclose) daun telinga. Efektifitas dari pemakaian APT bergantung pada beberapa faktor yang berhubungan dengan cara bunyi ditansmisikan melalui atau disekitar APT tersebut. Menurut John J. Standard dalam buku Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition, jenis APT dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi, yaitu enclosure (entire head), aural insert, superaural dan circumaural (Standard, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Miristha (2009) terhadap operator alat berat, didapatkan hasil bahwa penggunaan APT berhubungan sangat signifikan dengan keluhan pendengaran berat pada pekerja, dengan nilai pvalue 0,0001. 2.2.5 Riwayat Merokok Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, rokok merupakan hasil olahan tembakau yang dibungkus, termasuk cerutu ataupun bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nocotiana Rustica, dan spesies lainnya, atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa 53 bahan tambahan. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup melalui mulut pada ujung lainnya (Aula, 2010). Rokok merupakan salah satu zat yang paling sering ditemui dan memberikan efek ototoksik pada fungsi sel rambut dan menimbulkan nicotine-like receptors pada sel rambut. Secara tidak langsung merokok mempengaruhi suplai pembuluh darah ke koklea. Tembakau mengandung hidrogen sianida dan bahan asfiksian yang dapat mengganggu fungsi stria vaskularis bila terpapar dengan jumlah yang besar (Tantana, 2014). Merokok memberikan implikasi sebagai bahan ototoksik langsung dikarenakan efek dari nikotin atau menyebabkan iskemia melalui pembuluh darah, produksi karboksi-hemoglobin, kekentalan darah atau juga spasme melalui arteriosklerotik. Insufiensi sistem sirkulasi darah pada organ koklea yang disebabkan oleh merokok inilah penyebab gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif dan paling sering timbul pada usia tua (presbycusis). Efek rokok terhadap pendengaran juga terjadi melalui mekanisme anti oksidatif yang ditimbulkan atau melalui gangguan suplai darah ke sistem auditori. Banyak penelitian klinis yang membuktikan bahwa merokok berhubungan signifikan terhadap gangguan pendengaran (Istantyo, 2011). 54 Penelitian yang dilakukan oleh Tandiabang dkk (2010) untuk melihat risiko kebiasaan merokok dan terhadap gangguan fungsi pendengaran pekerja di PT. X Provinsi Sulawesi Selatan menemukan bahwa ada hubungan antara kelompok perokok dengan gangguan pendengaran. Sedangkan melalui analisis multivariat diketahui bahwa perokok berat paling berisiko terhadap timbulnya gangguan fungsi pendengaran pekerja di PT. X Provinsi Sulawesi Selatan. 2.2.6 Penggunaan Obat Ototoksik Obat ototoksik adalah semua obat-obatan yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan pendengaran fungsional pada telinga dalam meliputi obat golongan aminoglikosida, loop diuretik, salisilat, obat malaria, obat anti tumor (Tantana, 2014). Obat-obatan yang bersifat racun pada telinga (ototoksik) dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran menjadi rusak, dan terjadi tuli sensorineural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terjadi gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural dan gangguan keseimbangan (Istantyo, 2011). Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksik sangat sering ditemukan, diakibatkan pemberian gentamisin dan streptomisin. Prosesnya secara perlahan-lahan dan beratnya 55 sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjalnya. Antibiotika aminoglikosida dan loop diuretik adalah dua dari obat-obat ototoksik yang banyak ditemukan memiliki potensi bahaya. Kerusakan yang ditimbulkan akibat preparat ototoksik adalah: a. Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis obat ototoksik. b. Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan labirin vestibular, akibat gangguan antiboitika aminoglikosida sel rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi mulai dari basal kokle dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks. c. Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi sel epitel sensori. Beberapa obat-obatan yang diketahui dapat mempengaruhi pendengaran adalah sebagai berikut. 1. Aminoglikosida, obat jenis ini menyebabkan tuli bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan hilangnya sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Dapat juga terjadi tuli unilateral dan disertai gangguan vestibular. Obat-obatan tersebut adalah Streptomisin, Neomisin, Kanamisin, Gentamisin, Tobramisin, Nentilmisin dan Sisomisisin. Pemakaian 56 Streptomisin memerlukan perhatian khusus karena obat ini masih digunakan sebagai terapi anti-tuberkulosis kategori II. 2. Eritromisin, gejala pemberian eritromisisn intravena terhadap telinga adalah kurang pendengaran subjektif tinitus yang meniup dan kadang disertai vertigo. Antibiotik lainnya yaitu Vankomisin, Viomisisn, Capreomisin, Minosiklin dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang memiliki gangguan fungsi ginjal. 3. Loop Diuretics, obat jenis ini dapat menghambat reabsorpsi elektrolit-elektrolit dan air pada cabang naik dari lengkungan Henle. 4. Obat anti inflamasi, salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensorineural berfrekuensi tinggi dan tinnitus. 5. Obat anti malaria, kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan. 6. Obat anti tumor, gejala yang ditimbulkan CIS platinum sebagai obat anti ototoksik adalah tuli subjektif, tinnitus dan otalgia, tetapi dapat juga disertai dengan gangguan keseimbangan. 57 7. Obat tetes telinga, obat ini banyak yang mengandung antibiotika golongan aminoglikosida seperti: Neomisin dan Polimiksin B. 2.2.7 Lingkungan Tempat Tinggal Menurut Rosenlund (2001), faktor lingkungan tempat tinggal seseorang sangat mempengaruhi nilai ambang pendengarannya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada responden yang tinggal dekat bandara dengan kebisingan di atas 55 dB dari 27 responden terdapat 4 orang dengan hearing loss dan dari 124 responden yang tempat tinggalnya mempunyai kebisingan > 72 dB terdapat 23 orang yang mengalami hearing loss. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap nilai ambang pendengaran seseorang (Arini, 2005). Sumber bising tidak hanya berasal dari lingkungan kerja saja akan tetapi dapat juga dari bidang hiburan dan rekreasi. Penelitian Adenan pada tahun 2003 terhadap 43 orang penduduk yang bertempat tinggal di sekitar landasan bandara Polonia Medan pada jarak lebih kurang 500 meter dengan lama hunian sekitar 5 tahun dan rentang usia 20-42 tahun diperoleh hasil sebanyak 50% menderita tuli saraf akibat bising. Penelitian yang dilakukan oleh Limbong pada tahun 2002 mengenai pencemaran udara dan kebisingan sumber energi 58 diesel, tingkat kebisingan sebagai dampak dari kegiatan PLTD Bitung diperoleh bahwa di seluruh lokasi pengukuran pada jarak 100 meter ke bawah telah melewati ambang batas baku mutu kebisingan yang diperbolehkan (Banitriono, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Chairani (2004) terhadap tenaga kerja yang terpajan bising lebih dari 85 dB di pabrik sepatu X, mendapatkan hasil bahwa tempat tinggal memiliki hubungan dengan gangguan pendengaran akibat bising (p = 0.039). Angka kejadian gangguan kemampuan pendengaran semakin menurun dengan semakin jauhnya dari sumber bising, hal ini terjadi karena intensitas berbanding terbalik dengan kuadrat jarak, sehingga semakin jauh dari sumber bising maka intensitas bising tersebut akan semakin menurun (Banitriono, 2012). 2.2.8 Jenis Kelamin Progresifitas penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada umumnya lebih cepat terjadi pada lakilaki dibandingkan dengan perempuan. Gangguan pendengaran yang terjadi pada laki-laki ambangnya lebih tinggi dibanding pada perempuan. Kejadian gangguan pendengaran pun presentasenya lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. 59 Berdasarkan penelitian Tantana (2014) pada pemain gamelan didapatkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara faktor jenis kelamin dengan gangguan pendengaran akibat bising gamelan dengan nilai chi square 16,10; nilai p<0,01. 2.2.9 Hobi Terkait Bising Beberapa penelitian mengemukakan bahwa hobi terkait bising seperti mendengarkan musik keras-keras dapat mengakibatkan ketulian. Royal National Institute For Deaf People (RNID), sebuah lembaga kehormatan Inggris yang meneliti masalah ketulian, melakukan survei pada sejumlah klub malam, ternyata klub tersebut memiliki tingkat kebisingan mencapai 120 dB (Djunafar, 2000). Telinga pengunjung klub malam tersebut tentunya terpapar suara yang jauh di atas ambang batas selama berjam-jam. Kebisingan yang ditimbulkan dari suara walkman dengan menggunakan ear phone secara terus menerus dengan volume maksimal setara dengan suara mesin bor yang intensitasnya mencapai 96 dB. Bahkan hasil penelitian di Australia menyebutkan, anak-anak yang sering mendengarkan walkman sejak usia 10-an tahun, kemungkinan akan menderita tuli pada usia 30-an tahun. 60 Sedangkan berdasarkan National Safety Council (1986) dalam Pratiwi (2012) beberapa hobi para pekerja dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran, misalnya hobi yang berkaitan dengan lingkungan bertekanan tinggi seperti menyelam (hiperbarik), hobi yang berkaitan dengan pajanan bising tinggi misalnya menembak dengan senjata api, balap motor/mobil, mendengarkan musik keras dan lain-lain. Makin banyak hobi yang berhubungan dengan bising makin besar terjadinya risiko gangguan pendengaran. 2.2.10 Riwayat Penyakit Riwayat penyakit merupakan kondisi kesehatan telinga pendengar seperti otitis media dan tinnitus yang sedang diderita. 1. Otitis Media Yaitu suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah yang terjadi akibat infeksi bakteri Streptococcus pneumonia, Haemopilus influenza, atau Staphylococcus aureus. Otitis media juga dapat timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang biasanya diobati dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis media serosa) yang dapat diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa antibiotik (Pratama, 2010). 61 2. Tinnitus Tinnitus adalah suara berdengung di satu atau kedua telinga. Tinnitus dapat timbul pada penimbunan kotoran telinga atau presbiakus, kelebihan aspirin dan infeksi telinga (Pratama, 2010). 62 2.3 Kerangka Teori Dosis Kebisingan Usia Pekerja Masa Kerja Penggunaan APT Riwayat Merokok Gangguan Penggunaan Obat Ototoksik Pendengaran Lingkungan Tempat Tinggal Jenis Kelamin Hobi Terkait Bising Riwayat Penyakit Bagan 2. 1 Kerangka Teori 63 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah variabel dependen berupa gangguan pendengaran, dengan variabel independen yang terdiri dari dosis kebisingan, usia, masa kerja, penggunaan alat pelindung telinga, riwayat merokok, dan hobi terkait bising. Variabel yang tidak diteliti adalah : 3. Jenis Kelamin : tidak diteliti karena seluruh pekerja adalah laki-laki atau homogen. 4. Lingkungan Tempat Tinggal : tidak diteliti karena peluang bias recall, hal ini dikarenakan terdapat perbedaan akurasi ketika sampel melaporkan paparan. 8. Penggunaan Obat Ototoksik : tidak diteliti karena memiliki peluang bias recall yang besar karena sulit untuk mengingat obat yang telah digunakan dalam waktu yang cukup lama. 9. Riwayat Penyakit : tidak diteliti karena peluang bias recall yaitu kesalahan responden dalam memberikan informasi. 64 Bagan 3.1 Kerangka Konsep Dosis Kebisingan Usia Masa Kerja Gangguan Pendengaran Penggunaan APT Riwayat Merokok Hobi Terkait Bising 65 3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Variabel Hasil Ukur Skala Ukur Variabel Dependen Gangguan Perubahan pada tingkat pendengaran Pendengaran yang mengakibatkan kesulitan dalam Garpu Tala Pemeriksaan gangguan berkehidupan normal, biasanya pendengaran dalam hal memahami pembicaraan yang disebabkan terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja 66 0. Gangguan Pendengaran 1. Normal Ordinal Variabel Independen Dosis Jumlah paparan tingkat kebisingan Sound Level Pengukuran Kebisingan aktual berbanding dengan lamanya Meter, waktu kontak dengan kebisingan yang diizinkan. dan Kuesioner Kalkulator, 1. Lebih dari NAB Ordinal (≥100%) 2. Kurang dari NAB dan (<100%) Kuesioner (NIOSH, 1998) Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Usia Jumlah tahun lahir para pekerja, Kuesioner Wawancara 0. > 40 tahun Ordinal yang dihitung sejak tanggal lahir 1. ≤ 40 tahun sampai dengan ulang tahun terakhir (Primadona, 2012) pekerja pada saat pengambilan data dilakukan. Masa kerja Lama bekerja yang dijalani sebagai Kuesioner pekerja di PT. Dirgantara Indonesia 67 Wawancara 0. ≥ 5 tahun Ordinal (Persero) dihitung sejak awal 1. < 5 tahun terdaftar menjadi pekerja sampai (Pratiwi, 2012) pengambilan data dilakukan. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Penggunaan Suatu perilaku yang dilakukan oleh Lembar Observasi 0. Tidak menggunakan Ordinal alat pekerja untuk melindungi telinga Observasi pelindung dari paparan kebisingan di tempat telinga kerja. APT 1. Menggunakan APT (Miristha, 2009) (APT) Riwayat Kegiatan mengonsumsi bahan Kuesioner Merokok tembakau dan hasil olahannya, baik berat (201->600 dilakukan pada saat bekerja atau pun batang) tidak bekerja. Wawancara 0. Perokok sedang- 1. Perokok ringan (1200 batang) 68 Ordinal 2. Bukan perokok (0 batang) Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Hobi terkait Kegemaran pekerja di waktu luang Kuesioner Wawancara 0. Ya bising untuk melakukan aktivitas yang ada 1. Tidak hubungannya dengan pajanan bising seperti mendengarkan musik, clubbing, karaoke, nonton film bisokop, menyelam, berbelanja, dan menembak. 69 Skala Ukur Ordinal 3.3 Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 2. Terdapat hubungan antara usia dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 3. Terdapat hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 4. Terdapat hubungan antara penggunaan alat pelindung telinga dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 5. Terdapat hubungan antara riwayat merokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 6. Terdapat hubungan antara hobi terkait bising dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. 70 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan jenis studi analitik yang bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional, karena peneliti ingin melihat hubungan antara variabel independen berupa faktorfaktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran dengan variabel dependen berupa gangguan pendengaran yang dialami pekerja pada waktu yang bersamaan. 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember tahun 2014 – Februari tahun 2015 di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yang terletak di Jl. Pajajaran 154 Bandung, 04174 Bandung, Jawa Barat. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan elemen/subjek riset (Murti, 1997). Dalam penelitian ini populasi adalah seluruh pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) yaitu sebanyak 178 orang. Berikut ini adalah data jumlah pekerja di masingmasing unit: 71 Tabel 4.1 Daftar Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment No. Nama Unit Jumlah Pekerja 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Manager 1 Sheet Press Forming 62 Profile Press Forming 39 Stretch Forming 41 Heat Treatment 10 Tube Bending and Welding 13 PP dan Scheduling 12 178 Total Sumber : SDM PT Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2014 4.3.2 Sampel Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda dua proporsi (Lemeshow, 1997) seperti berikut: Keterangan: n : besar sampel minimun dalam penelitian P : rata-rata P1 dan P2 yaitu (P1 + P2)/2, P1 : 0,35 (proporsi pekerja yang menerima dosis kebisingan ≥ = 0.25 100% di PT Indonesia Power UBP Suralaya oleh Istantyo tahun 2011) P2 : 0,15 (proporsi pekerja yang menerima dosis kebisingan < 100% di PT Indonesia Power UBP Suralaya oleh Istantyo tahun 2011) Z : nilai Z pada derajat kemaknaan, 95% = 1.96 Z : nilai Z pada kekuatan uji power 1, 96% = 1.64 2 72 n = 60 Sampel minimal yaitu 60 orang. Untuk menghindari drop out atau jawaban responden yang missing maka jumlah sampel ditambah, sehingga menjadi 66 orang. 4.3.3 Metode Sampling Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Systematic Random Sampling. Cara ini dapat dilaksanakan apabila populasi tidak begitu banyak variasinya dan secara geografis tidak terlalu menyebar. Teknik ini merupakan modifikasi dari simple random sampling. Caranya adalah membagi jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah sampel yang diinginkan hasilnya adalah interval sampel (Notoadmojo, 2010). Maksud dari penggunaan metode ini adalah agar sampel tersebar secara merata di setiap unit. Syarat dari metode ini yaitu harus ada sampling frame, karakteristik populasinya cukup homogen, dan populasinya secara geografis tidak terlalu menyebar (Sabri, 2011). Berikut ini adalah penghitungan interval/kelipatan untuk Systematic Random Sampling. = Berdasarkan perhitungan tersebut, kelipatan yang didapat sebesar 3. Maka dari sampel pertama akan didapatkan sampel kedua yang terdapat pada urutan ke-3 setelah sampel pertama di dalam sampling frame, yaitu 1, 4, 7, 10 dst. 73 4.4 Pengumpulan Data 4.4.1 Sumber Data Merupakan subjek dari mana data diperoleh (Arikunto,2010). Dalam penelitian ini terdapat dua sumber data yaitu: a. Data Primer Data primer merupakan sumber data langsung yang diperoleh melalui pengukuran garpu tala untuk menentukan gangguan pendengaran pada pekerja dan penyebaran kuesioner yang berisi pertanyaan terkait variabel yang diteliti kepada para pekerja. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang didapatkan dari perusahaan seperti profil perusahaan dan data karyawan PT. Dirgantara Indonesia (Persero). 4.4.2 Alur Pengumpulan Data Alur pengambilan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Variabel a. Gangguan Pendengaran Pengukuran gangguan pendengaran dilakukan dengan menggunakan garpu tala. b. Dosis Kebisingan Pengukuran waktu paparan kebisingan menggunakan lembar observasi untuk menilai lamanya pekerja berada di wilayah tersebut. Intensitas kebisingan yang diterima diukur dengan menggunakan alat Sound Level Meter melalui metode observasi 74 pada setiap pekerja. Setelah didapatkan waktu lamanya pekerja melalukan pekerjaan di tempat tersebut dan intensitas kebisingan yang diterima kemudian dilakukan perhitungan dosis kebisingan. Untuk pengukuran dosis kebisingan dihitung menggunakan kalkulator. Pengukuran dosis kebisingan dihitung menggunakan kalkulator (Soeripto, 2008 ), dengan rumus : D= x 100% Keterangan : D : jumlah dosis kebisingan C : konsentrasi (jam) T : lama pajanan kebisingan yang diizinkan (jam) Sebagai contoh, seorang pekerja A mulai bekerja di suatu ruangan dengan intensitas suara sebesar 91 dB selama 1 jam, kemudian pindah ke ruangan dengan intensitas 100 dB selama 15 menit, kemudian pekerja pindah menuju ruangan dengan kebisingan 106 dB selama 15 menit. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari lamanya waktu bekerja yang diizinkan sesuai dengan intensitas bising tersebut. 75 Tabel 4.2 Contoh Perhitungan Dosis Kebisingan Untuk tepajan pada intensitas bising Lamanya waktu terpajan yang diizinkan 91 dB 100 dB 106 dB Sumber : Soeripto (2008) 2 jam 15 menit 3,75 menit Maka apabila hasil pembacaan dimasukkan ke dalam rumus akan dihasilkan : = +1+4 = 5,50 Jadi berdasarkan perhitungan tersebut, dosis kebisingan yang diterima responden sebesar 5,50 x 100% yaitu 550%, dosis kebisingan tersebut telah melebihi nilai ambang batas yang diizinkan yaitu sebesar 100%. c. Riwayat Merokok Data riwayat merokok didapatkan melalui kuesioner, dengan pertanyaan berupa lamanya merokok dan jumlah batang rokok yang dihisap dalam sehari. Klasifikasi perokok ditetapkan berdasarkan indeks Brikmann, dengan rumus sebagai berikut: Lama merokok (tahun) x Jumlah batang rokok yang dihisap per hari Bila hasilnya, 0 batang = bukan perokok 1-200 batang = perokok ringan 201- > 600 batang = perokok sedang - perokok berat 76 d. Usia, Masa Kerja, dan Hobi Terkait Bising Variabel usia, masa kerja, dan hobi terkait bising didapatkan melalui penyebaran kuesioner kepada para pekerja. e. Penggunaan Alat Pelindung Telinga Data untuk varibel penggunaan alat pelindung telinga didapatkan melalui observasi yang dilakukan oleh penulis terhadap seluruh pekerja. 2. Instrumen Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Garpu Tala Pemeriksaan pendengaran dengan garpu tala atau penala merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala seperti tes Rinne, tes Weber, dan tes Schwabach. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher edisi ke - 6, cara melakukan tes penala adalah sebagai berikut (Soepardi,2007). 1) Tes Rinne Tes Rinne dilakukan dengan cara menggetarkan penala, kemudian tangkai penala diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak terdengar bunyi, penala dipegang di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Bila bunyi masih terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-). 77 2) Tes Weber Tes Weber dilakukan dengan cara penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakkan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi. 3) Tes Schwabach Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa. Untuk mendiagnosis gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss), pada pemeriksaan audiologi melalui tes penala didapatkan hasil Rinne positif Weber 78 lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik, dan Schwabach memendek. Berikut ini merupakan tabel 4.3 tentang gambaran hasil diagnosis tes penala. Tabel 4.3 Gambaran Hasil Diagnosis Tes Penala Tes Rinne Positif Negatif Positif Tes Weber Tidak ada lateralisasi Lateralisasi ke telinga yang sakit Lateralisasi ke telinga yang sehat Tes Schwabach Sama dengan pemeriksa Memanjang Memendek Diagnosis Normal Tuli konduktif Tuli sensorineural Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, tes Rinne masih bisa positif Sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Kepala dan Tenggorokan FKUI, 2007 b. Sound Level Meter Pengukuran tingkat kebisingan di lingkungan tempat kerja diukur dengan menggunakan alat Sound Level Meter (SLM) Krisbow tipe KW06-291. SLM adalah instrumen dasar yang digunakan untuk mengukur getaran suara di udara. Alat ini dapat mengukur tingkat kebisingan antara 30-130 dB dengan frekuensi 16-20.000 Hz. Pengukuran terhadap tenaga kerja menggunakan skala A pada SLM karena pada skala tersebut frekuensinya sama dengan frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia. Alat SLM biasanya dilengkapi dengan tiga skala ukuran: 79 1) Skala A untuk mengukur respon karakteristik telinga untuk tingkat kebisingan yang rendah 35–135 dB. 2) Skala B untuk tingkat kebisingan sedang 40–135 dB. 3) Skala C untuk tingkat kebisingan yang lebih tinggi 45–135 dB. Berikut ini merupakan cara menggunakan Sound Level Meter untuk pengukuran intensitas kebisngan. 1. Hidupkan alat dengan menekan tombol On kemudian pindahkan tombol fungsi ke posisi “dB”. 2. Lakukan pengukuran pada titik sampling yang telah ditentukan. 3. Sesuaikan jarak pengukuran dan arahkan mikrofon ke sumber bising dalam posisi horizontal. 4. Tekan tombol Select : select A dan dB, C dan dB, Lo dan dB, serta Hi dan dB. 5. Untuk respon cepat, sangat cocok untuk mengukur teriakan, ledakan, dan mesin dengan suara tertinggi dari sumber bising. 6. Level bising akan diperlihatkan pada monitor. 7. Catat hasil pengukuran 8. Matikan Sound Level Meter bila telah selesai digunakan dan simpan secara aman. 80 c. Kuesioner Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara pembagian kuesioner kepada pekerja yang menjadi sampel penelitian, sebelumnya peneliti menjelaskan terlebih dahulu maksud dan tujuan penelitian serta cara pengisian kuesioner yang benar. 4.5 Pengolahan Data Data yang telah terkumpul kemudian diolah melalui serangkaian langkah sistematik. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengolah data yaitu: a. Penyuntingan data (Editing) Setelah data didapatkan dan sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pengecekan ulang (edit) pada data isian formulir dan kuesioner untuk memastikan bahwa semua data yang diperlukan telah terisi dan menghilangkan keraguan dari peneliti. Jika masih terdapat pertanyaan yang belum terisi maka peneliti akan menanyakannya kembali melalui telepon atau sms kepada responden terkait. b. Pemberian kode (Coding) Untuk memudahkan proses analisis, maka dilakukan pemberian kode pada setiap data yaitu dengan cara mengubah data bentuk huruf menjadi data bentuk angka. Tahap coding dilakukan pada jawaban kuesioer pada variabel dependen maupun independen. 81 Tabel 4.4 Daftar Kode Variabel No Variabel 1 Dosis Kebisingan 2 Usia 3 Masa Kerja 4 Penggunaan APT 5 Riwayat Merokok 6 Hobi terkait bising Kode 0. 1. 1. 2. 1) 2) 1. 2. 0. 1. 2. 1. 2. Lebih dari NAB (≥ 100%) Kurang dari NAB (< 100%) > 40 tahun ≤ 40 tahun ≥ 5 tahun < 5 tahun Tidak menggunakan APT Menggunakan APT Perokok berat - Perokok sedang Perokok ringan Bukan Perokok Ya Tidak c. Pemasukan data (Data entry) Data entry merupakan proses pemasukan data ke dalam sistem perangkat lunak komputer untuk pengolahan lebih lanjut. d. Pembersihan data (Data Cleaning) Data cleaning merupakan proses pengecekan kembali data yang telah dimasukan (entry) untuk memastikan bahwa data tersebut telah dimasukkan dengan benar. Hal ini dilakukan untuk melihat dan menemukan apabila terdapat kesalahan yang dilakukan peneliti pada saat memasukkan data. Setelah tahap ini selesai, kemudian dilakukan proses analisis data. 4.7 Analisis Data 4.7.1 Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi guna mendeskripsikan variabel independen (dosis 82 kebisingan, masa kerja, usia, riwayat merokok, hobi terkait bising, alat pelindung telinga) dan dependen (gangguan pendengaran) yang diteliti. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabel dan narasi singkat. 4.7.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian dengan cara mengetahui hubungan antara variabel independen (dosis kebisingan, masa kerja, usia, riwayat merokok, hobi terkait bising, alat pelindung telinga) dan variabel dependen (gangguan pendengaran). Analisis data dilakukan dengan uji statistik chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Rumus chi-square (Sabri, 2014): X= dF = (k-1)(b-1) Keterangan : X : chi-square E : nilai ekspektasi B : jumlah baris O : nilai observasi K : jumlah kolom Derajat signifikansi ( ) pada penelitian ini ditetapkan sebesar 5 % (0.05). Terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apabila hasil perhitungan didapatkan nilai p lebih kecil dari 83 nilai alpha (p ≤ ). Sebaliknya, apabila didapatkan nilai p lebih besar dari nilai alpha (p > ), maka tidak terdapat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Kekuatan hubungan anatara variabel dependen dan independen dapat dilihat melalui nilai Odd Ratio (OR). Bila nilai OR = 1 artinya tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Jika nilai OR < 1, artinya variabel independen sebagai faktor protektof terhadap variabel dependen dan jika OR > 1 artinya variabel independen sebagai faktor risiko terhadap variabel dependen. 84 BAB V HASIL 5.1 Gambaran Umum Perusahaan 5.1.1 Profil Perusahaan PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam rancang bangun, pengembangan, dan manufacturing pesawat terbang. Diawali dengan membangun dasar penguasaan teknologi melalui lisensi, perusahaan industri yang berdiri pada 23 Agustus 1976 ini memproduksi helikopter dan pesawat terbang, diantaranya NBO-105, Super puma NAS332 dan NC-212. Tiga tahun kemudian perusahaan mengintegrasikan teknologinya bersama CASA merancang dan memproduksi CN-235. Kemudian dalam rangka memantapkan kehadirannya dalam industri kedirgantaraan dunia serta meningkatkan kemampuan sebagai industri pesawat terbang, kerjasama internasional ditandatangani. Kerjasama tersebut antara lain dengan Boeing Company, menghasilkan komponen pesawat Boeing, serta dengan Bell Helicopter Textron, memproduksi NBELL-412. Selanjutnya dengan penguasaan teknologi serta keahlian yang terus berkembang, PT. Dirgantara Indonesia merancang 85 bangun N250, generasi pesawat penumpang subsonic dengan daya angkut 64-68 penumpang dengan fly by wire system. Prototype pertamanya telah berhasil diterbangkan pertama kalinya pada tanggal 10 Agustus 1995 dan telah menjalani sekitar 600 jam uji terbang. Kemudian diteruskan dengan mengembangkan N2130 pesawat jet transonic dengan inovasi baru, dalam tahap preliminary design. Namun, kedua program tersebut terhenti karena adanya kendala pendanaan. Pada tahun 1998 sebagai dampak dari krisis ekonomi dan moneter pada tahun sebelumnya, industri ini mempersiapkan paradigma baru. Melalui paradigma ini, PT. Dirgantara Indonesia lebih berorientasi bisnis dengan memanfaatkan teknologi yang telah diserap selama tiga windu, sebagai ujung tombak dalam menghasikan produk dan jasa. PT. Dirgantara Indonesia telah berhasil sebagai industri manufaktur dan memiliki diversifikasi produknya, tidak hanya bidang pesawat terbang tetapi juga dalam bidang lain, seperti teknologi infomasi, telekomunikasi, otomotif, maritim, militer otomasi dan kontrol, minyak dan gas, turbin industri, teknologi simulasi, dan engineering services. 86 5.1.2 Visi dan Misi A. Visi Menjadi perusahaan industri kelas dunia dalam industri dirgantara yang berbasis pada penguasaan teknologi tinggi dan mampu bersaing dalam pasar global dengan mengandalkan keunggulan biaya. B. Misi 1. Menjalankan usaha dengan selalu berorientasi pada aspek bisnis dan komersial serta dapat menghasilkan produk dan jasa yang memiliki keunggulan biaya. 2. Sebagai pusat keuntungan bidang industri dirgantara terutama dalam rekayasa, rancang bangun manufaktur, produksi dan pemeliharaan untuk kepentingan komersial dan militer serta untuk aplikasi diluar industri dirgantara. 3. Menjadikan perusahaan sebagai kelas dunia di industri global yang mampu bersaing dan mampu melakukan aliansi stategi dengan industri dirgantara lainnya. 5.1.3 Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perusahaan PT. Dirgantara Indonesia berupaya menerapkan SMK3, salah satunya dapat dilihat dengan upaya membangun dan memelihara komitmen. PT. Dirgantara Indonesia memiliki kebijakan perusahaan yang dimaksudkan sebagai ketentuan- 87 ketentuan atau arahan-arahan dalam mengelola keselamatan dan kesehatan kerja, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dan mitra kerja, serta lingkungannya. Kebijakan dengan Nomor Dokumen 00-PTD-19A yang dikeluarkan pada tanggal 19 Oktober 2009 tersebut, meliputi upaya perusahaan dalam merencanakan, menerapkan, mengendalikan dan melakukan perbaikan pengelolaan K3LH. Isi dari kebijakan perusahaan sebagai berikut: 1. Perusahaan melaksanakan K3LH secara terintegrasi dalam aktivitas di tempat kerja sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku dan standar yang berlaku. 2. Perusahaan menyusun, melaksanakan, mendokumentasikan, dan memelihara sistem manajemen K3LH yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan, penyakit akibat kerja dan pencemaran lingkungan serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. 3. Perusahaan menyusun rencana program pencegahan pengurangan dan penanggulangan bahaya kecelakaan kerja, kebakaran, peledakan, gangguan kesehatan akibat kerja dan pencemaran lingkungan. 4. Perusahaan melaksanakan kegiatan K3LH secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan mekanisme 88 pendukung yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran K3LH. 5. Perusahaan melaksanakan inspeksi, pengukuran, atau pengajuan, pemantauan dan/atau audit K3LH. 6. Perusahaan melakukan perbaikan pengelolaan K3LH berdasarkan hasil pengukuran, pemantauan dan audit. 7. Perusahaan menumbuhkan, mengembangkan dan memelihara kesadaran karyawan dan mitra kerja dalam melaksanakan pekerjaannya sesuai norma K3LH. 8. Perusahaan membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) untuk mengelola pelaksanaan program K3LH. 9. Perusahaan menetapkan bahwa strategi, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan K3LH dikoordinasikan secara terpusat. Seluruh kebijakan tersebut ditandatangani langsung oleh Direktur Utama PT. Dirgantara Indonesia. Namun, kebijakan sistem manajemen K3 PT. Dirgantara Indonesia tidak dapat dilampirkan karena merupakan dokumen rahasia perusahaan. 89 5.1.4 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015 Salah satu potensi bahaya terbesar yang ada di departemen Metal Forming dan Heat Treatment adalah paparan kebisingan yang melebihi nilai ambang batas sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Per.13/MEN/X/2011 tahun 2011. Berikut ini merupakan gambaran tingkat kebisingan di departemen Metal Forming dan Heat Treatment tahun 2015. Tabel 5.1 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015 Intensitas No. Unit Kebisingan (dB) 1. 2 3 4 5 6 Sheet Press Forming Profile Press Forming Heat Treatment PP and Scheduling Stretch Forming Tube Bending and Welding 80 – 102 80 – 103 < 85 < 85 80 – 98 75 – 89 Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa empat unit dalam departemen Metal Forming dan Heat Treatment memiliki intensitas kebisingan melebihi nilai ambang batas (NAB), sedangkan dua unit memiliki tingkat kebisingan di bawah nilai ambang batas. 90 5.2 Analisis Univariat Analisis Univariat dilakuakan untuk melihat distribusi frekuensi dan statistik deskriptif dari masing-masing variabel. Variabel tersebut adalah gangguan pendengaran, dosis kebisingan, usia, masa kerja, penggunaan APT, riwayat merokok dan hobi terkait bising. 5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui gangguan pendengaran pada penelitian ini menggunakan data primer yaitu pemeriksaan dengan garpu tala atau tes penala yang dilakukan pada bulan Januari tahun 2015. Pada tes penala untuk mendiagnosis gangguan pendengaran akibat bising didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Berikut ini adalah hasil analisis distribusi frekuensi pada variabel dependen gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. Tabel 5.2 Gambaran Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia Tahun 2015 Variabel Kategori N % Gangguan Pendengaran Gangguan Normal Total 91 45 68,2 21 66 31,8 100 Berdasarkan tabel 5.2, diketahui bahwa sebanyak 45 pekerja (68,2%) mengalami gangguan pendengaran. Sedangkan 21 pekerja (31,8%) memiliki pendengaran normal. 5.2.2 Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 Berikut ini adalah tabel 5.3 tentang hasil analisis distribusi frekuensi pada variabel independen berupa dosis kebisingan, usia, masa kerja, penggunaan APT, riwayat merokok dan hobi terkait bising. 92 Tabel 5.3 Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT Dirgantara Indonesia Tahun 2015 Variabel Dosis Kebisingan Usia Masa Kerja Penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) Riwayat Merokok Hobi terkait bising Kategori N % Lebih dari NAB (≥100%) 53 80,3 Kurang dari NAB (<100%) 13 19,7 >40 tahun 20 30,3 ≤40 tahun 46 69,7 ≥5 tahun 52 78,8 <5 tahun 14 21,2 Tidak Menggunakan APT 38 57,6 Menggunakan APT 28 42,4 Perokok berat - Perokok sedang 10 15,2 Perokok ringan 23 34,8 Bukan Perokok 33 50,0 Ya 52 78,8 Tidak 14 21,2 1. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar pekerja terpapar kebisingan lebih dari Nilai Ambang Batas (NAB) atau ≥100% yaitu sebanyak 53 pekerja (80,3%). 2. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar pekerja berusia ≤40 tahun yaitu sebanyak 46 pekerja (69,7%). 93 3. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar pekerja memiliki masa kerja ≥5 tahun yaitu sebanyak 52 pekerja (78,8%). 4. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT) ketika bekerja, yaitu sebanyak 38 pekerja dari 66 pekerja (57,6%). Sedangkan jenis alat pelindung telinga yang digunakan pekerja dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut ini adalah: Tabel 5.4 Gambaran Jenis Alat Pelindung Telinga pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 No. Jenis Alat Frekuensi Presentase Pelindung Telinga (%) 1. Earmuff 3 10,7 2. Earplug 25 89,3 28 100,0 Total Berdasarkan tabel 5.4 diketahui 89,3% pekerja menggunakan alat pelindung telinga jenis earplug. Sedangkan alasan pekerja tidak menggunakan alat pelindung telinga (APT) dapat dilihat pada tabel berikut ini: 94 5.5 Tabel 5.5 Alasan Tidak Menggunakan Alat Pelindung Telinga pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 No. Alasan Tidak Menggunakan APT Frekuensi Presentase (%) 1. Tidak Tersedia 3 10,7 2. APT Rusak 3 10,7 3. APT Tidak Nyaman 20 71,4 4. Lainnya 2 7,2 28 100,0 Total Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa sebanyak 71,4% pekerja yang tidak menggunakan APT beralasan bahwa APT yang tersedia tidak nyaman digunakan. 5. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar pekerja merupakan bukan perokok yaitu sebanyak 33 pekerja (50%). Sedangkan pekerja yang merupakan perokok dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini: 95 mantan Tabel 5.6 Gambaran Status Merokok pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 No. Merokok Frekuensi Presentase (%) 1. Pernah 20 60,6 2. Tidak Pernah 13 39,4 Total 33 100,0 Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa sebanyak 60,6% pekerja pernah merokok. Sedangkan jenis rokok yang dikonsumsi pekerja dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut ini: Tabel 5.7 Gambaran Jenis Rokok pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 No. Jenis Rokok Frekuensi Presentase (%) 1. Kretek 3 9,1 2. Filter 30 90,9 33 100,0 Total Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa sebanyak 90,9% pekerja mengkonsumsi jenis rokok filter. 6. Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa sebagian besar pekerja memiliki hobi yang terkait dengan bising, yaitu sebanyak 52 pekerja dari 66 pekerja ( 78,8%). Sedangkan jenis hobi terkait bising yang banyak digemari pekerja dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut ini: 96 Tabel 5.8 Jenis Hobi Terkait Bising pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 No. Hobi Terkait Bising Frekuensi Presentase (%) 1. Mendengarkan Musik 44 72,13 2. Karaoke 3 4,92 3. Nonton Film Bioskop 7 11,47 4. Diving/Menyelam 4 6,56 5. Berbelanja 2 3,28 6. Menembak 1 1,64 Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebanyak 72,13% pekerja memiliki hobi mendengarkan musik. 5.3 Analisis Bivariat Distribusi hubungan antara variabel independen dengan gangguan pendengaran pada pekerja di PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut ini: 97 5.9 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia Tahun 2015 Gangguan Pendengaran Variabel Kategori Lebih dari Dosis NAB (≥100%) Kebisingan Kurang dari Gangguan Normal Total N % n % n % 42 79,2 11 20,8 53 100 OR (95% CI) 12.727 (2,983-54,311) 3 23,1 10 76,9 13 100 >40 tahun 18 90 2 10 20 100 6.333 ≤40 tahun 27 58,7 19 41,3 46 100 (1,312-30,575) ≥5 tahun 36 69,2 16 30,8 52 100 1.250 <5 tahun 9 64,3 5 35,7 14 100 (0,361-4,327) 30 78,9 8 21,1 38 100 NAB (<100%) Usia Masa Kerja Penggunaan Tidak Alat Menggunakan Pelindung APT Telinga Menggunakan (APT) APT 53,6 13 46,4 28 100 8 80,0 2 20,0 10 100 11 47,8 12 52,2 23 100 26 78,8 7 21,2 33 100 0,000 0,026 0,753 3.250 (1,107-9,541) 15 Pvalue 0,055 Perokok berat - Perokok Riwayat sedang Merokok Perokok ringan Bukan Perokok 0,034 Hobi Terkait Ya 35 67,3 17 32,7 52 100 0.824 Bising Tidak 10 71,4 4 28,6 14 100 (0,225-3010) 98 1,000 1. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5.9, deketahui bahwa sebanyak 79,2% pekerja yang terpapar dosis kebisingan melebihi nilai ambang batas (≥100%) mengalami gangguan pendengaran. Sedangkan sebanyak 23,1% pekerja yang terpapar dosis kebisingan di bawah nilai ambang batas (≤100%) mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar 0,000 atau ≤0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis keeratan hubungan diperoleh OR = 12,727 (2,983-54,311), artinya pekerja yang menerima dosis kebisingan melebihi nilai ambang batas (≥100%) berpeluang 12,727 kali untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menerima dosis kebisingan di bawah nilai ambang batas (≤100%). 2. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa sebanyak 90% pekerja yang berusia >40 tahun mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar 0,026 atau ≤0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan gangguan pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis kekuatan hubungan diperoleh OR = 6.333 (1,312-30,575), 99 artinya pekerja yang berusia >40 tahun berpeluang 6.333 kali untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang berusia ≤40 tahun. 3. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa sebanyak 69,2% pekerja yang memiliki masa kerja ≥5 mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar 0,753 atau >0,05. Maka dapat disimpulkan signifikan bahwa antara tidak masa terdapat kerja hubungan dengan yang gangguan pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis keeratan hubungan diperoleh OR = 1.250, artinya pekerja yang memiliki masa kerja ≥5 tahun berpeluang 1.250 kali untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang memiliki masa kerja <5 tahun. 4. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa sebanyak 78,9% pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga (APT) mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar 0,055 atau ≤0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan alat pelindung telinga (APT) dengan gangguan pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis kekuatan hubungan diperoleh OR = 3.250 (1,107-9,541), artinya pekerja yang 100 tidak menggunakan alat pelindung telinga (APT) berpeluang 3.250 kali mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan alat pelindung telinga (APT). 5. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa sebanyak 80% pekerja yang memiliki riwayat merokok kategori sedang dan berat mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar 0,034 atau ≤0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat merokok dengan gangguan pendengaran. 6. Berdasarkan hasil analsis pada tabel 5.9, diketahui bahwa sebanyak 67,3% pekerja yang memiliki hobi terkait bising mengalami gangguan pendengaran. Hasil uji statistik diperoleh pvalue sebesar 1,000 atau >0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara hobi terkait bising dengan gangguan pendengaran. Sedangkan berdasarkan analisis kekuatan hubungan diperoleh OR = 0.824 (0,225-3010), artinya pekerja yang memiliki hobi terkait bising berpeluang 0.824 kali dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki hobi terkait bising. 101 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Desain ini meneliti hubungan antara paparan dan penyakit pada populasi dalam satu waktu yang sama. Sehingga peneliti sulit untuk mencegah atau mengendalikan kesalahan sistematis (bias) yang berpotensi terjadi pada desain studi ini. 2. Peneliti menggunakan garpu tala pada saat mengidentifikasi gangguan pendengaran pada pekerja. Jika dibandingkan dengan tes audiometrik, garpu tala memiliki sensitifitas yang kurang baik. Garpu tala tidak dapat mengidentifikasi gangguan pendengaran kurang dari 30 dB. Sedangkan menurut teori, penurunan pendengaran antara 25 dB dan 40 dB sudah termasuk penurunan gangguan pendengaran ringan. 6.2 Gambaran Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Soepardi, 2007). Sedangkan menurut Ballenger (1997), ketulian akibat kerja didefinisikan sebagai gangguan pendengaran pada satu atau kedua telinga, sebagian atau seluruhnya, 102 yang timbul pada masa kerja atau sebagai akibat pekerjaan seseorang. Termasuk juga trauma akustik maupun ketulian akibat bising. Ahli fisika mendefinisikan bising sebagai suara yang disebabkan oleh gelombang akustik dengan intensitas dan frekuensi yang acak (random). Seperti yang terdapat dalam industri, bising merupakan suara yang tidak diinginkan dan merupakan energi yang terbuang (Ballenger, 1997). Di departemen Metal Forming dan Heat Treatment terdapat berbagai sumber bising yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran pada pekerja. Sumber bising tersebut berasal dari mesin dan proses kerja menggunakan alat seperti palu, gerinda, dan router. Sedangkan proses kerja yang banyak menimbulkan kebisingan yaitu bending dan welding, stretching dan pressing. Semua proses tersebut dikerjakan dalam suatu ruang tertutup yang ada di departemen Metal Forming dan Heat Treatment. Berdasarkan pengukuran kebisingan diketahui bahwa paparan kebisingan minimal yang ada sebesar 80 dB dan paparan tertinggi yaitu 103 dB. Paparan tersebut terjadi terus-menerus selama pekerja melakukan pekerjaannya. Sedangkan pekerjaan dengan kebisingan tertinggi ada pada proses pembentukan sayap pesawat dengan palu. Kebisingan yang tinggi dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada pekerja dibutuhkan suatu pemeriksaan, yaitu pemeriksaan hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah garpu tala. 103 Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif, hal ini menandakan terdapat kelainan di telinga luar atau telinga tengah, seperti atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen, sumbatan tuba Eustachius serta radang telinga tengah. Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural koklea atau retrokoklea. Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20 sampai 18.000 Hz. Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz. Oleh karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024 dan 2048 Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan secara kualitatif. Bila salah satu frekuensi ini terganggu penderita akan sadar adanya gangguan pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala tersebut, maka hanya digunakan garpu tala 512 Hz, karena penggunaannya tidak terlalu dipengaruhi oleh kebisingan sekitar. Berdasarkan tes garpu tala yang dilakukan peneliti kepada para pekerja ditemukan pada distribusi frekuensi gangguan pendengaran yang dialami pekerja diketahui bahwa sebanyak 45 pekerja (68,2%) mengalami gangguan pendengaran, dan sebanyak 21 pekerja (31,8%) memiliki pendengaran yang normal. Berdasarkan hasil univariat tersebut dapat diketahui bahwa perbandingan antara pekerja yang mengalami gangguan pendengaran dengan pekerja yang pendengarannya normal adalah 2:1, hal ini menunjukkan perlu adanya perhatian khusus dari perusahaan terhadap kesehatan pendengaran para pekerja. 104 Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat dan beratnya ketulian akibat kerja, yaitu intensitas atau kerasnya bunyi (Sound Pressure Level), periode pemaparan per hari, masa kerja, umur pekerja, penggunaan alat pelindung telinga, riwayat merokok dan hobi yang terkait dengan bising. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh bising dapat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Anak-anak dan orang dewasa dengan gangguan pendengaran mempunyai keterbatasan dalam aktivitas sosialnya, menurunkan produktifitas hidup, atau mendukung terkena masalah psikologis, seperti merasa terisolasi dan disingkirkan, sebagaimana orang yang depresi atau mengalami gangguan kognitif (Kim, 2009). Saran yang dapat diberikan kepada perusahaan adalah sebaiknya perusahaan melakukan pemeriksaan telinga (tes audiometri) secara berkala kepada para pekerja. Hal ini dilakukan agar perusahaan dapat mengetahui pekerja yang mengalami gangguan pendengaran dan dapat melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan dari masalah tersebut. Pemeriksaan audiometri sangat bermanfaat, berguna untuk pemeriksaan screening pendengaran dan merupakan penunjang utama diagnostik fungsi pendengaran. Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan di fasilitas kesehatan di lini terdepan (Bashiruddin, 2009). Sedangkan untuk pekerja yang sudah mengalami gangguan pendengaran, bila memungkinkan pekerja tersebut dipindahkan ke area kerja yang tidak bising. Hal ini dimaksudkan agar pekerja tidak mengalami gangguan 105 pendengaran yang lebih parah lagi. Namun jika hal tersebut tidak memungkinkan, perusahaan dapat mengurangi waktu pemajanan bising terhadap tenaga kerja dengan cara mengatur jam kerja mereka, sehingga kebisingan yang diterima masih dalam batas aman. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu melakukan pengujian variabel lain yang berhubungan dengan gangguan pendengaran seperti penggunaan obat ototoksik, lingkungan tempat tinggal, jenis kelamin dan riwayat penyakit. 6.3 Hubungan Antara Dosis Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja melakukan pekerjaannya di departemen Metal Forming dan Heat Treatment berupa proses pengerjaan rangkaian pesawat menggunakan mesin dan hand tools seperti palu, rooter dan gerinda. Kondisi dari bengkel Metal Forming dan Heat Treatment diketahui memiliki bahaya kebisingan tinggi diatas nilai ambang batas. Exposure limit yang direkomendasikan oleh NIOSH untuk bahaya kebisingan adalah 85 dB equivalen dengan 100% dosis selama 8 jam per hari (NIOSH, 1998). Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Soepardi, 2007). Mekanisme terjadinya kebisingan dimulai dari bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel syaraf pendengar dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan oleh getaran dari sumber bunyi. Gelombang 106 tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya dan pada saat bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki karena mengganggu atau timbul diluar kemauan orang yang bersangkutan, maka bunyi tersebut dinyatakan sebagai kebisingan (Pradana, 2013). Pengukuran dosis kebisingan dilakukan apabila kebisingan yang memapar pekerja terdiri dari periode yang berbeda begitu pun dengan tingkat kebisingannya (Istantyo, 2011). Peleliti menentukan dosis kebisingan yang diterima pekerja didasarkan pada jenis pekerjaan dan lamanya pekerja melakukan pekerjaan tersebut yang didapat melalui kuesioner (recall aktivitas). Pengukuran dosis kebisingan dengan menggunakan recall aktivitas dilakukan karena pekerja melakukan pekerjaan yang sama dari hari ke hari, sehingga dapat diasumsikan bahwa recall aktivitas dapat menggambarkan dosis kebisingan harian yang diterima pekerja. Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan penulis berdasarkan data kuesioner, pengukuran dilakukan di titik-titik pekerja berada dibantu oleh supervisor atau leader dari tiap unit di depertemen Metal Forming dan Heat Treatment. Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan pada jam 09.00 WIB sampai dengan jam 11.00 WIB, kemudian pada jam 13.00 WIB sampai dengan jam 15.00 WIB. Hal ini dikarenakan pada jam tersebut merupakan jam operasional pekerja. Pada tabel 5.3 diketahui bahwa distribusi frekuensi pekerja yang menerima dosis kebisingan lebih dari NAB (≥100%) sebanyak 53 dari 66 pekerja (80,3%). Sedangkan 13 dari 66 pekerja (19,7%) menerima paparan kebisingan kurang dari NAB (<100%). Sementara pada tabel 5.4, dapat diketahui bahwa 107 terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,000). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Istantyo (2011), yang mendapatkan hasil bahwa dosis kebisingan terbukti memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap gangguan fungsi pendengaran dengan nilai pvalue sebesar 0,000. Berdasarkan nilai OR pada analisis multivariat untuk variabel dosis kebisingan sebesar 19,279, artinya pekerja yang menerima dosis kebisingan lebih dari 100% atau equivalen dengan 85 dB memiliki peluang 19,279 kali lebih berisiko untuk mengalami gangguan fungsi pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menerima dosis kebisingan <100%. Bising berpengaruh terhadap tenaga kerja, sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan secara umum, antara lain gangguan pendengaran, fisiologi, serta gangguan psikologi. Bising menimbulkan kerusakan di telinga dalam. Lesinya sangat bervariasi dari disosiasi organ Corti, ruptur membran, perubahan stereosilia dan organel subseluler. Selain itu bising juga menimbulkan efek pada sel ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada observasi kerusakan organ Corti dengan menggunakan mikroskop elektron didapatkan hasil bahwa sel-sel sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di telinga dalam (Soepardi, 2007). 108 Jenis kerusakan yang timbul pada struktur organ tertentu tergantung pada intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian dengan intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan sel rambut. Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serat aferen. Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi yang lebih keras disertai waktu pajanan yang lebih lama akan menimbulkan kerusakan pada struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan robekan di membran Reisner. Pajanan bising dengan efek destruksi yang tidak begitu besar menyebabkan terjadinya ‘floppy silia’ yang sebagian masih reversibel. Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur ‘rootlet’ silia pada lamina retikularis. Melalui penelitian eksperimental diketahui bahwa nada murni dengan frekuensi tinggi dan intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah basal (mid basal end) koklea dan frekuensi rendah merusak struktur dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar dan intensitas tinggi akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputus dan degenerasi sel-sel rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat menunjukkan adanya degenerasi, baik pada sel rambut luar maupun sel rambut dalam dan atau hilangnya seluruh organ Corti (Ballenger, 1997). 109 Upaya untuk menanggulangi masalah kebisingan di tempat kerja yaitu perusahaan sebaiknya membentuk program konservasi pendengaran. Menurut Mahmud (2009), jika kebisingan di area lingkungan kerja telah melebihi 85 dB, maka industri tersebut wajib menerapkan program konservasi pendengaran. Program Konservasi Pendengaran merupakan rangkaian kegiatan yang sistematik dan bertujuan untuk mencegah terjadinya ketulian pada para pekerja yang terpapar kebisingan tinggi (OSHA, 2002). Terdapat delapan elemen dalam program konservasi pendengaran sesuai dengan ketentuan Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan (2006) yaitu, monitoring pajanan bising, pengendalian secara teknik, pengendalian administratif, pelatihan dan pendidikan pekerja, audiometri, evaluasi dan dokumentasi, dan audit program. Upaya pengendalian kebisingan dengan mereduksi bising dari sumber perlu dilakukan. Contoh dengan memasang pembatas atau tameng atau perisai yang dikombinasikan dengan peredam suara yang dipasang di langit-langit. Hal ini dapat digunakan saat proses pengerjaan menggerinda kerangka sayap pesawat yang dapat menibulkan bising dengan frekuensi tinggi, yang dapat mengganggu setiap orang di area tersebut. Selain itu untuk proses menggerinda dapat dilindungi dengan sekat perisai pada kedua sisinya dan menempatkan “baffels” penyerap suara pada langit-langit. Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pembatasan pemaparan bising dengan mengontrol lingkungan mesin atau perlindungan diri pekerja yang terpapar bising dengan menggunakan alat pelindung telinga. Kedua cara 110 ini mampu untuk menghilangkan atau mengurangi bising yang masuk ke telinga dalam. 6.4 Hubungan Antara Usia Dengan Gangguan Pendengaran Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan nilai ambang dengar. Pekerja dengan usia di atas 40 tahun, diketahui dapat mengalami penurunan fungsi pendengaran yang disebut presbikusis. Presbikusis merupakan berkurangnya kemampuan mendengar seiring dengan bertambahnya usia. Tuli sensorineural pada orang tua ini berhubungan dengan terjadinya atrofi pada organ akhir, degenerasi saraf, perubahan vaskuler dan stria vaskularis atau perubahan lain di telinga dalam (Ballenger, 1997). Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa 20 dari 66 pekerja (30,3%) berusia >40 tahun. Sedangkan 46 dari 66 pekerja (69,7%) berusia ≤40 tahun. Berdasarkan analisis bivariat pada tabel 5.9, diketahui bahwa usia memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,026). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Baktiansyah (2004) terhadap para pekerja pria di PT X, didapatkan hasil bahwa variabel usia mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap terjadinya gangguan pendengaran dengan p < 0,01. Gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada pekerja yang berusia >40 tahun dan pekerja tersebut memiliki risiko sepuluh kali lebih besar bila dibandingkan dengan pekerja berusia <40 tahun. 111 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tua pekerja maka semakin besar risikonya untuk mengalami gangguan pendengaran. Bunch (1937) dalam Ballenger (1997) menekankan bahwa presbikusis adalah gabungan efek pemaparan bising harian selama bertahun-tahun, yang menyebabkan kerusakan secara bertahap. Dalam proses penuaan, akan terjadi perubahan anatomi dan mekanisme hemodinamik pembuluh darah mulai dari pembuluh darah aorta sampai dengan pembuluh darah perifer. Perubahan yang terjadi berupa penebalan dinding pembuluh darah, berkurangnya elastisitas yang menimbulkan kekakuan, dan sklerotis pembuluh darah sekaligus peningkatan tahanan intravaskuler. Faktor usia diketahui berdampak terhadap sistem pendengaran mulai dari telinga bagian luar sampai ke tingkat tertinggi dari auditory cortex. Kejadian presbikusis diduga memiliki hubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau dengan kata lain bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran secara berangsur-angsur merupakan efek kumulatif dari faktorfaktor tersebut (Soepardi, 2007). Pada usia lanjut kelenjar-kelenjar serumen mengalami atrofi sehingga produksi kelenjar serumen berkurang dan menyebabkan serumen mengering, sehingga menyebabkan tumpukan serumen yang mengakibatkan tuli konduktif. Membran timpani yang bertambah tebal dan kaku juga akan mengakibatkan gangguan konduksi, demikian juga halnya dengan kekakuan yang terjadi pada persendian tulang-tulang pendengaran (Istantyo, 2010). 112 Saran bagi perusahaan yaitu sebaiknya perusahan mengurangi keterpaparan kebisingan kepada para pekerja yang sudah berusia lebih dari 40 tahun, yakni dengan membatasi waktu kerja mereka di area kebisingan tinggi sehingga tidak melebihi nilai ambang batas yang diizinkan. Sedangkan untuk mencegah gangguan pendengaran pada bekerja kurang dari 40 tahun, perusahaan dapat memberikan alat pelindung diri yang disertai dengan pelatihan APT tersebut. Pengendalian lain yang dapat perusahaan lakukan yaiu pengukuran dosis kebisingan secara teratur agar paparan kebisingan yang diterima pekerja bisa terawasi dengan baik (di bawah NAB). Hasil pengukuran tersebut kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan dijadikan media analisis dalam proses evaluasi dan perencanaan penanggulangan tingkat kebisingan. 6.5 Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Gangguan Pendengaran Masa kerja merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat penurunan pendengaran. Masa kerja berpengaruh besar terhadap kondisi temporary threshold shift (TTS) yang dialami pekerja. Ketika kelompok pekerja yang menderita TTS banyak dengan masa kerja pekerja yang lama maka akan meningkatkan jumlah gangguan pendengaran pada pekerja. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 52 dari 66 (78,8%) responden memiliki masa kerja ≥5 tahun, dan 14 dari 66 (21,2%) responden memiliki masa kerja <5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah bekerja di tempat yang bising selama lebih dari sama dengan 5 tahun. Sedangkan berdasarkan analisis bivariat dapat 113 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue=0,753). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2012) yang meneliti penerbang TNI AU, dalam penelitiannya didapatkan hubungan yang bermakna antara lama kerja >5 tahun dengan kejadian NIHL (p=0,015), dengan risiko terjadinya NIHL 3,48 kali lebih besar pada penerbang dengan lama kerja >5 tahun dibandingkan dengan penerbang dengan lama kerja <5 tahun. Berdarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar pekerja memiliki masa kerja yang cukup lama yakni >5 tahun. Pekerja juga cenderung melakukan pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu, jarang sekali perusahaan melakukan mutasi kepada para pekerjanya. Hal ini dikarenakan untuk suatu proses kerja diperlukan keahlian yang mumpuni dari seorang pekerja sehingga tidak mungkin pekerjaan tersebut dilakukan oleh orang lain yang belum terbiasa. Bahkan pada sebagian besar pekerja telah melakukan pekerjaan yang sama selama puluhan tahun. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara masa kerja dan gangguan pendengaran. Jika dilihat dari variabel usia diketahui bahwa sebagian besar pekerja berusia ≤40 tahun yaitu sebanyak 46 pekerja (69,7%) dari 66 pekerja. Hal ini memungkinkan bahwa tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan gangguan pendengaran disebabkan karena 114 sebagian besar pekerja masih berusia di bawah 40 tahun. Sehingga pekerja tersebut masih memiliki pendengaran yang baik. Selain karena variabel usia, hubungan yang tidak bermakna antara masa kerja dan gangguan pendengaran mungkin terjadi karena keterbatasan garpu tala yang digunakan dalam proses pemeriksaan gangguan pendengaran. Garpu tala memiliki sensitifitas yang kurang baik jika dibandingkan dengan tes audiometrik. Garpu tala tidak dapat mendeteksi penurunan pendengaran kurang dari 30 dB. Pada tes rinne tuli konduktif <30 dB masih dianggap positif (normal). Padahal secara teori penurunan antara 25 dB – 40 dB sudah termasuk ke dalam derajat ketulian ringan. Pada masa kerja ≥5 tahun dan usia sekitar 40 tahun lebih kemungkinan penurunan yang terjadi adalah penurunan pendengaran ringan yaitu sekitar 25 dB – 40 dB. Jadi sebagian pekerja dengan masa kerja ≥5 tahun dan berusia lebih dari 40 tahun yang telah mengalami gangguan pendengaran ringan tidak terdeteksi menderita gangguan pendengaran (Kusumawati, 2012). Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran, walaupun bukan merupakan faktor yang terkait langsung dengan kebisingan di tempat kerja. Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan usia dapat terjadi pada telinga. Membran yang ada di telinga bagian tengah, termasuk di dalamnya gendang telinga menjadi kurang fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang kecil yang terdapat di telinga bagian tengah juga menjadi lebih kaku dan sel-sel rambut di telinga bagian dalam dimana koklea berada juga mulai mengalami 115 kerusakan. Rusak atau hilangnya sel-sel rambut inilah yang menyebabkan seseorang sulit untuk mendengar suara. Perubahan-perubahan pada telinga bagian tengah dan dalam inilah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan sensitifitas pendengaran seiring dengan bertambahnya usia seseorang (Primadona, 2012). Selain itu pada orang dengan usia yang lebih tua ambang reflek akustiknya akan menurun. Reflek akustik berfungsi memberikan perlindungan terhadap rangsangan bising yang berlebihan. Pada orang tua membutuhkan rangsangan bising yang lebih tinggi untuk menimbulkan reflek akustik dibanding pada orang yang lebih muda (Tantana, 2014). Menurut Encyclopedia of Occupational Health and Safety, adanya gangguan pendengaran akibat kebisingan akan terlihat pada seseorang yang sudah bekerja selama lebih dari 3-4 tahun di lingkungan kerja yang bising. Sedangkan menurut Suyono (1995), dengan paparan kebisingan >85 dB (A) ada kemungkinan bahwa setelah 5 tahun bekerja, 1% pekerja akan memperlihatkan sedikit gangguan pendengaran. Soetirto menyatakan bahwa gangguan pendengaran dapat terjadi akibat terpapar kebisingan mikro (60-70 dBA) secara terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. Terpapar bising yang intensitasnya 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam, yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000 Hz dan yang terberat alat Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz. Banyak hal yang 116 mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi dan lebih lama terpapar bising (Sutopo, 2007). Meskipun variabel masa kerja tidak berhubungan dengan gangguan pendengaran tetapi pekerja yang memiliki masa kerja ≥5 tahun lebih banyak yang mengalami gangguan pendengaran yaitu sebanyak 36 orang pekerja. Sedangkan pekerja yang memiliki masa kerja <5 tahun dan mengalami gangguan pendengaran sebanyak 9 orang. Berdasarkan hasil tersebut maka diperlukan suatu upaya penanggualangan gangguan pendengaran pada pekerja. Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan perusahaan untuk pekerja adalah dengan mereduksi kebisingan yang tinggi baik disebabkan oleh mesin atau alat kerja. Perusahaan juga dapat melakukan pemeliharaan terhadap mesin secara teratur, karena bahaya kebisingan akan tercipta bahkan menjadi lebih buruk akibatnya kurangnya pemeliharaan/perawatan. Kebisingan gerinda (gemertak) yang dijadikan tools di departemen Metal Forming dan Heat Treatment juga terjadi karena pelumas yang kurang. Perusahaan juga dapat memodifikasi alat kerja agar kebisingan yang ditimbulkan alat tersebut tidak melebihi NAB kebisingan, selain itu melalui pengendalian secara administratif perusahaan bisa melakukan pengaturan jam kerja sehingga dosis kebisingan yang diterima pekerja tidak melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan. 117 6.6 Hubungan Antara Penggunaan Gangguan Pendengaran Alat Pelindung Telinga Dengan Penggunaan alat pelindung telinga (APT) merupakan langkah terakhir dalam hirarki pengendalian kebisingan di tempat kerja. Penggunaan alat pelindung telinga dapat mengurangi tingkat kebisingan beberapa dBA tergantung dari jenis dan noise reduction rate dari alat pelindung telinga tersebut. Meskipun pengendalian ini mungkin tidak lebih efektif jika dibandingkan dengan melakukan engineering ataupun administrative control pengendalian ini banyak diterapkan karena relatif lebih murah dan mudah untuk dilakukan (Pujiriani, 2008). Berdasarkan hasil observasi dapat diketahui bahwa 38 dari 66 pekerja (57,6%) tidak menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja, sedangkan 28 dari 66 pekerja (42,4%) menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.9, dapat diketahui bahwa penggunaan alat pelindung telinga memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,055). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Istantyo (2010), yang menyatakan bahwa APT merupakan variabel yang paling berpengaruh dengan gangguan pendengaran. Pekerja yang tidak menggunakan APT memiliki resiko sebesar 65,297 kali untuk menderita gangguan pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menggunakan APT. Hal ini menandakan bahwa APT dapat mencegah timbulnya gangguan pendengaran. 118 Berdasarkan hasil observasi terlihat bahwa terdapat perilaku buruk pekerja yaitu tidak selalu menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja di tempat yang bising (sering melepas APT). Pekerja tersebut beralasan bahwa APT yang diberikan tidak nyaman (71,4% pekerja) dan kadang menimbulkan sakit kepala. Walaupun alat pelindung telinga tersebut tidak nyaman seharusnya pekerja tetap menggunakannya untuk mengurangi paparan bising kontinu yang diterima pekerja, mengingat perusahaan belum dapat memberikan pengendalian lain untuk mengurangi tingkat kebisingan di lingkungan kerja. Berdasarkan hasil observasi ditemukan pekerja yang menggunakan pelindung telinga berupa kapas dan headset. Alat tersebut tidak sesuai digunakan karena kapas dan headset bukanlah alat pelindung telinga. Kapas kering hanya berperan sedikit atau tidak sama sekali dalam melindungi telinga (Ballenger, 1997), tetapi kapas ini banyak dipakai. Begitupun dengan headset yang digunakan oleh pekerja ternyata digunakan juga untuk mendengarkan musik saat bekerja di tempat bising. Sehingga kebisingan yang diterima pekerja akan lebih besar. Dilihat dari jenis APT yang disediakan oleh perusahaan, PT. Dirgantara Indonesia (Persero) sudah menyediakan alat pelindung pendengaran yang tepat yaitu earmuff dan earplug untuk para pekerja. Earmuff (tutup telinga) dapat menutupi seluruh telinga eksternal dan digunakan untuk mengurangi bising sebesar 40-50 dB. Earplug (sumbat telinga) digunakan dengan cara dimasukan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai membran timpani dan dapat mengurangi bising sampai dengan 30 119 dB. Earmuff dirancang untuk menutupi telinga luar. Pada frekuensi di atas 1000 Cps, earmuff memberikan proteksi yang sama dengan earplug. Untuk frekuensi di bawah 1000 Cps, telah dibuat earmuff khusus yang memberi perlindungan lebih dari earplug. Earplug merupakan APT yang paling banyak digunakan di departemen Metal Forming dan Heat Treatment yaitu digunakan oleh 89,3% pekerja. Meskipun sudah menyediakan APT namun di dalam pemakaiannya perusahaan belum memperhatikan Noise Reduction Rating (NRR) yang dimiliki alat tersebut. Selama ini pemberian APT kepada para pekerja hanya berdasarkan kenyamanan saja, tidak melihat pada efektivitas APT dalam mereduksi kebisingan. Pemilihan earplug dan earmuff atau pun keduanya tergantung pada situasi pekerjaan. Disesuaikan dengan besar ruangan bekerja apakah terlalu sempit sehingga tidak mungkin menggunakan earmuff dan apakah pekerja juga harus menggunakan helm selain APT. Ada keuntungan dan kerugian pada penggunaan earmuff atau earplug dan sebelum ditentukan pilihan, semua keadaan lingkungan dari pekerjaan tertentu harus dipertimbangkan (Ballenger, 1997). Selain itu pemilihan APT juga harus memperhatikan beberapa hal berikut yaitu derajat perlindungan yang diperlukan dalam tempat kerja, kesesuaian dengan jenis pekerjaan dan lingkungan tempat kerja, kenyamanan digunakan, kesesuaian dengan pekerja serta keselamatan pekerja dan teman kerja (Shofwati, 2009). 120 Pengawasan terhadap penggunaan APT juga kurang ketat, yang berarti pekerja boleh memakai APT dan boleh tidak memakai APT. Karena pemakaian APT masih dianggap sebagai himbauan saja, pekerja yang tidak menggunakannya tidak diberikan sanksi apapun. Berdasarkan kuesioner yang diberikan kepada para pekerja diketahui bahwa sebagian besar pekerja mengaku bahwa perusahaan belum memberikan pelatihan terkait penggunaan APT. Pelatihan APT tidak diberikan setiap tahun, sehingga banyak pekerja yang belum mendapatkan pelatihan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa perilaku menggunakan APT yang tidak sesuai tersebut dikarena faktor ketidaktahuan pekerja. Ketidaktahuan mengenai fungsi penggunaan APT ini dapat berakibat pada kelalaian pekerja dalam menggunakan APT sehingga menambah risiko terjadinya gangguan pendengaran. Belum adanya alat peredam maupun penggantian alat kerja yang menimbulkan suara bising tinggi, menyebabkan APT menjadi sebuah pencegahan tunggal bagi pekerja dari kehilangan pendengaran. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah memberikan pelatihan terkait penggunaan alat pelindung telinga. Pelatihan harus diberikan agar pekerja menyadari pentingnya alat pelindung telinga bagi kesehatan mereka, sehingga dampak buruk berupa gangguan pendengaran dapat dicegah. Pelatihan tersebut dapat berisi tentang pengendalian bising, pemakaian alat pelindung telinga dan pemeriksaan audiometri. Selain itu, perusahaan juga dapat memberikan pengawasan terhadap penggunaan alat pelindung telinga kepada pekerja dan memberikan kebijakan 121 yang ketat terhadap pekerja yang tidak menggunakan APT di area kerja yang bising. Pengawasan berguna untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat bising sedangkan kebijakan akan membuat pekerja lebih memperhatikan kesehatan dirinya saat bekerja. Menurut Nurrahman (2003), adanya kebijakan perusahaan tentang penggunaan alat pelindung diri terhadap perilaku maka ditemukan adanya penurunan presentase perilaku penggunaan APD yang kurang baik. Berdasarkan program konservasi pendengaran, pemilihan, penggunaan, perawatan dan penggantian APT perlu diperhatikan. Tersedianya APT akan berguna untuk mereduksi kebisingan yang terdapat di lingkungan kerja. Selain itu, penggunaan APT juga dapat melindungi saluran telinga dari infiltrasi beberapa jenis bahan kerja yang berbahaya (Benjamin, 2007). 6.7 Hubungan Antara Riwayat Merokok Dengan Gangguan Pendengaran Merokok memberikan implikasi sebagai bahan ototoksik langsung dikarenakan efek dari nikotin atau menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin, spasme pembuluh darah, kekentalan darah atau juga melalui arteriosklerotik. Insufiensi sistem sirkulasi darah pada organ koklea yang disebabkan oleh merokok inilah penyebab gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif dan paling sering timbul pada usia tua (presbycusis). Berdasarkan analisis univariat pada tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 10 dari 66 (15,2%) pekerja merupakan perokok berat- perokok sedang, 23 dari 66 (34,8%) pekerja merupakan perokok ringan dan 33 dari 66 (50,0%) pekerja 122 adalah bukan perokok. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.9 diketahui bahwa riwayat merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,034). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tandiabang (2010) dengan menggunakan desain studi kasus kontrol menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kelompok perokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja PT. X Provinsi Sulawesi Selatan. Melalui analisis multivariat diketahui bahwa dari semua variabel, perokok berat (p = 0.006<0.05) yang mempunyai pengaruh risiko yang bermakna terhadap timbulnya gangguan fungsi pendengaran. Penelitian lainnya yang dilakukan Baktiansyah (2004), mengenai hubungan merokok dengan gangguan pendengaran di PT X diketahui bahwa pekerja yang diklasifikasikan sebagai perokok berat/sedang mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan gangguan pendengaran (p=0,007). Dengan OR 5,40 mengindikasikan bahwa perokok sedang-berat mempunyai risiko 5,4 kali lebih besar untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan perokok ringan. Rokok mengandung nikotin dan karbonmonoksida yang mempunyai efek mengganggu peredaran darah, bersifat ototoksik secara langsung dan merusak sel saraf organ koklea. Karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan hemoglobin) sehingga hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Seperti diketahui, ikatan 123 antara hemoglobin dengan CO jauh lebih kuat ratusan kali dibanding dengan oksigen. Akibatnya, terjadi gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek karbonmonoksida lainnya adalah spasme pembuluh darah, kekentalan darah dan arteriosklerotik. Mizoue et al. (2002) meneliti pengaruh merokok dan bising terhadap gangguan pendengaran melalui data pemeriksaan kesehatan 4.624 pekerja pabrik baja di Jepang. Hasilnya memperlihatkan gambaran yang signifikan berupa terganggunya fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi akibat merokok dengan risiko tiga kali lebih besar. Insufisiensi sistem sirkulasi darah koklea yang diakibatkan oleh merokok menjadi penyebab gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif. Pembuluh darah yang menyuplai darah ke koklea tidak mempunyai kolateral sehingga tidak memberikan alternatif suplai darah melalui jalur lain. Tandiabang (2010) menyatakan bahwa derajat merokok diduga menjadi faktor risiko gangguan pendengaran. Riwayat merokok berdasarkan indeks Brikmann dibagi menjadi 4 kelompok yaitu bukan perokok, perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat. Namun dalam penelitian ini peneliti hanya mengelompokkan riwayat merokok menjadi 3 yaitu bukan perokok, perokok ringan dan perokok sedang–berat. Pembagian tersebut didasarkan pada perkalian antara lama merokok (tahun) dengan jumlah batang rokok yang dihisap tiap harinya. Hasil analisis univariat untuk kategori bukan perokok menunjukkan bahwa pekerja yang bukan perokok sebanyak 33 pekerja (50%) dan dari 45 pekerja 124 yang mengalami gangguan pendengaran terdapat 26 pekerja yang termasuk bukan perokok. Tingginya angka bukan perokok yang mengalami gangguan pendengaran bisa terjadi karena pekerja tersebut sebelumnya merupakan mantan perokok. Dari 33 orang pekerja yang bukan perokok diketahui sebanyak 20 pekerja merupakan mantan perokok (60,6%). Risiko negatif yang ditimbulkan oleh rokok merupakan suatu reaksi yang lama tergantung kepada tingkat ototoksik yang diterima tubuh akibat pajanan rokok tersebut dan kerentanan individu. Jika ototoksik yang diterima tubuh sudah sangat besar maka akan mempengaruhi kesehatan termasuk pendengaran. Sedangkan untuk perokok ringan, diketahui bahwa dari 45 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran terdapat sebanyak 11 pekerja yang termasuk kategori perokok ringan. Penelitian Nakanishi menemukan bahwa perokok ringan memiliki risiko 1,82 kali (95% CI 0,92 – 3,59) untuk mengalami gangguan pendengaran namun risiko tersebut tidak bermakna. Penelitian Nakishi hanya menyimpulkan bahwa perokok ringan dapat menjadi faktor pemberat untuk timbulnya gangguan pendengaran yang disebabkan oleh faktor lain ataupun jika perokok ringan berkembang menjadi berat maka kemungkinan gangguan pendengaran akan timbul. Tidak adanya keterkaitan ini disebabkan efek pengaruh rokok dan komponen-komponennya terhadap sistem tubuh secara umum termasuk risiko negatif terhadap sistem pendengaran merupakan suatu proses yang lama (degenerasi) dan tergantung jumlah pajanan serta kerentanan individu. Selain itu, tubuh manusia sendiri (terlebih pada usia muda) memiliki kemampuan eliminasi dan adaptasi zat-zat 125 toksik misalnya karbonmonoksida dan nikotin dalam jumlah dan batas tertentu (ambang batas) yang masuk kedalam tubuh. Namun kemampuan sistem pertahanan ini pun seiring dengan waktu akan semakin menurun dan pada akhirnya zat-zat toksik tersebut akan mengakibatkan gangguan juga terhadap tubuh manusia (Tandiabang, 2010). Hasil untuk perokok sedang-berat, diketahui bahwa dari 45 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran terdapat sebanyak delapan pekerja yang termasuk kategori perokok sedang-berat. Menurut Tandiabang (2010), perokok berat memiliki hubungan yang bermakna dengan gangguan pendengaran. Hubungan tersebut dapat dijelaskan oleh penelitian eksperimental pada binatang percobaan yang dilakukan Irvine (2007) di University of California yang memperlihatkan bahwa kadar nikotin yang sangat tinggi (30–60 mg) di dalam darah dapat mengganggu fungsi fisiologis neurotransmiter saraf yaitu asetilkolin yang juga terdapat di dalam sistem persarafan telinga. Nikotin menempati (mengikat) reseptor-reseptor asetilkolin dipermukaan sel saraf atau dengan kata lain nikotin bersifat competitor terhadap asetilkolin, selain dapat pula merusak reseptor-reseptor asetilkolin tersebut terutama jika pajanan terjadi pada masa prenatal. Sehingga kebiasaan merokok dalam dosis besar dan waktu yang lama akan bersifat toksik bagi fungsi pendengaran dan pada akhirnya mengganggu fungsi pendengaran baik langsung (toksik nikotin) maupun tidak langsung (proses degenerasi). Sampai saat ini, telah dilaporkan bahwa mekanisme kehilangan pendengaran akibat kebisingan terjadi meliputi distorsi dan kehilangan 126 struktur normal karena kerusakan Stereosilia setelah terpapar kebisingan, dan kerusakan sel-sel rambut organ Corti karena kerusakan DNA (akibat peningkatan kadar radikal bebas beracun dan spesies oksigen reaktif yang dihasilkan selama terpapar kebisingan), degradasi lipid dan protein dan percepatan apoptosis. Mekanisme merokok mempengaruhi organ pendengaran termasuk ototoxicity langsung nikotin dan iskemia koklea akibat meningkatnya tingkat carboxyhemoglobin, vasokonstriksi, dan peningkatan viskositas darah akibat merokok. Selain itu, ditandai juga dengan berkurangnya suplai darah ke koklea dari pembuluh darah tunggal dan kurangnya sirkulasi kolateral. Hal ini juga ditandai dengan aktivitas metabolisme sel-sel rambut yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sangat rentan terhadap cedera iskemik. Berdasarkan hal tersebut, perokok yang bekerja di tempat kerja yang bising akan lebih rentan terhadap gangguan pendengaran dibandingkan dengan bukan perokok karena keterlibatan kompleks mekanisme ini (Sung et al., 2013). Penelitian eksperimental Mami Iida pada tahun 1998 di Jepang memperlihatkan bahwa jumlah kadar nikotin di dalam darah menentukan efeknya terhadap serebrovaskular. Pada kadar nikotin rendah (<30 mg) ataupun waktu paparan singkat, tubuh dapat beradaptasi (mekanisme pertahanan) sehingga efek nikotin terhadap serebrovaskular tidak muncul. Namun, jika kadar nikotin semakin tinggi (kadar toksik nikotin 0,5 – 1,0 (mg/kgBB), waktu pajanan yang lama, ataupun respon tubuh menurun 127 (mekanisme eliminasi dan adaptasi melemah), maka efek nikotin terhadap serebrovaskular akan memperlihatkan dampak. Sebanyak 90,9% pekerja di PT. Dirgantara Indonesia mengkonsumsi rokok filter dan 9,1% pekerja mengkonsumsi rokok kretek. Berdasarkan bahan dan ramuan, rokok digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu rokok kretek, yakni rokok yang memiliki ciri khas adanya campuran cengkeh pada tembakau rajangan yang menghasilkan bunyi kretek-kretek ketika dihisap dan rokok putih yaitu rokok dengan atau tanpa filter menggunakan tembakau virginia iris atau tembakau lainnya tanpa menggunakan cengkeh, digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan tambahan kecuali yang tidak diijinkan berdasarkan ketentuan Pemerintah RI. Rokok kretek di Indonesia sangat populer karena memiliki kandungan tar dan nikotin cukup tinggi dibandingkan dengan produk rokok lainnya (Kurniawan dan TNR, 2003) yaitu sampai 60 mg nikotin dan 40 mg tar. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pekerja yang mengkonsumsi rokok jenis kretek lebih berisiko untuk terkena gangguan pendengaran dibandingkan dengan mengkonsumsi rokok jenis filter. Hal ini dikarenakan kadar nikotin yang tinggi di dalam rokok jenis kretek. Meskipun penelitian ini telah membagi kelompok perokok berdasarkan indeks Brikmann yang pengelompokkannya berdasarkan pada jumlah batang yang dihisap per hari dan lamanya merokok (tahun), namun terdapat kekurangan penelitian yaitu peneliti tidak menganalisis pekerja yang pernah merokok (telah berhenti merokok pada saat penelitian ini dilakukan). 128 Seseorang yang pernah merokok kemungkinan dapat menyimpan residu dari zat-zat toksik di dalam tubuhnya, hal ini memungkinkan adanya bias dalam penelitian. Penelitian yang akan datang sebaiknya memperhatikan hal tersebut. Saran pengendalian yang dapat diberikan kepada perusahaan yaitu dengan memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan terkait bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Upaya penyuluhan merupakan suatu usaha dalam memberikan sikap selamat, sikap konstruktif dan menghilangkan prasangka yang merugikan. Selama ini perusahaan belum memberlakukan larangan merokok di tempat kerja, sehingga perusahaan dapat memberlakukan peraturan mengenai larangan merokok di tempat kerja dan memberikan sanksi tegas pada pekerja yang melanggar larangan tersebut. Dengan demikian, selama 8 jam kerja pekerja akan terbebas dari rokok sehingga diharapkan akan mengurangi konsumsi rokok pekerja. 6.8 Hubungan Antara Hobi Terkait Bising Dengan Gangguan Pendengaran Hobi atau kebiasaan memberikan kontribusi pada status pendengaran pekerja. Hobi terkait bising atau kebiasaan yang menambah pajanan bising pada pekerja pastinya akan meningkatkan penurunan pendengaran. Selain hobi atau kebiasaan yang menambah pajanan bising, ada beberapa hobi atau kebiasaan lain yang meningkatkan penurunan pendengaran yaitu hobi atau kebiasaan yang mempengarusi fungsional telinga, diantaranya adalah diving atau menyelam. Berdasarkan analisis univariat pada tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 52 dari 66 pekerja (78,8%) memiliki hobi terkait bising, sedangkan 14 dari 66 129 pekerja (21,2%) tidak memiliki hobi terkait bising. Berdasarkan analisis bivariat diketahui bahwa hobi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2012), yang mendapatkan hasil bahwa ada perbedaan proporsi penurunan pendengaran dengan hobi terkait bising pekerja (ada hubungan yang signifikan antara penurunan pendengaran dengan hobi pekerja). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai PR=1.579, artinya pekerja yang memiliki hobi terkait bising mempunyai peluang 1.579 kali lebih besar untuk mengalami penurunan pendengaran. Ketidaksesuaian hasil penelitian ini kemungkinan karena usia pekerja yang relatif masih muda. Sebagian besar pekerja di PT. Dirgantara Indonesia berusia kurang dari 40 tahun yaitu sebanyak 46% pekerja. Usia merupakan faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran. Semakin tua usia maka akan semakin banyak dosis kebisingan yang diterima pekerja baik itu dari pajanan pekerjaan atau pun karena hobi terkait bising. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa hobi terkait bising seperti mendengarkan musik keras-keras, clubbing, karaoke, menyelam, dan menembak dapat mengakibatkan ketulian. Royal National Institute For Deaf People (RNID) dalam Djunafar (2010), sebuah lembaga kehormatan Inggris yang meneliti masalah ketulian, melakukan survei pada sejumlah klub malam, ternyata klub tersebut memiliki tingkat kebisingan mencapai 120 dB. Dalam 130 Krismadies (2013) disebutkan bahwa puncak bising dari menembak bisa mencapai 140 sampai 160 dB dan level kebisingan bisokop bisa sekitar 100 sampai 110 dB bahkan terkadang lebih tinggi. Melalui kuesioner diketahui bahwa sebagian besar pekerja memiliki hobi terkait dengan bising, diantaranya adalah mendengarkan musik (72,13%), menonton di bioskop (11,47%), diving/menyelam (6,56%), karaoke (4,92%), berbelanja (3,21%) dan menembak (1,64%). Berdasarkan observasi penulis ada kebiasaan pekerja yang kurang baik saat mereka bekerja, yaitu mereka sering sekali mendengarkan musik secara keras melalui alat pemutar musik yang ada di tempat kerja. Hal ini dapat terlihat pada beberapa unit dalam departemen Metal Forming dan Heat Treatment. Dengan kebiasaan tersebut, sebenarnya pekerja telah menambah pajanan kebisingan yang mereka terima. Jika selama ini kebisingan di tempat kerja mampu mencapai 103 dB, kemudian ditambah dengan suara pemutar musik yang harus lebih keras dari kebisingan yang ada di tempat kerja agar terdengar oleh telinga, maka risiko pekerja untuk mengalami gangguan pendengaran akan semakin tinggi. Gangguan pendengaran tak lepas dari faktor-faktor yang dapat memicunya. Tingkat paparan bising (Laeq, 8h) dalam mendengarkan musik menggunakan headset merupakan faktor penting sebagai pencetus terjadinya gangguan pendengaran (Muslim, 2012). Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa banyak pekerja yang menggunakan headset untuk mendengarkan musik pada saat bekerja di tempat bising. 131 Terkait dengan tingkat keseringan dalam mendengarkan musik menggunakan headset, dalam penelitian yang dilakukan oleh Vogel (2009), menyatakan bahwa keseringan mendengarkan musik mempunyai keterkaitan erat terhadap prilaku beresiko (Risky Behaviors) yang dapat memicu terjadinya gangguan pendengaran daripada prilaku protektif (Protective Behaviours). Prilaku beresiko yang berpotensial memicu gangguan pendengaran diantaranya adalah mendengarkan musik menggunakan headset dengan volume ¾ dari volume maksimal, menaikkan volume alat pemutar musik setelah mendengarkan dan menggunakan jenis headset tipe earbud. Upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan melarang pekerja untuk menghidupkan alat pemutar musik di lingkungan kerja, karena hal ini dapat mengganggu proses kerja dan berpengaruh terhadap gangguan pendengaran. Selain itu perusahaan juga dapat memberikan promosi kesehatan pendengaran pada pekerja agar mereka menyadari bahaya dari hobi-hobi yang terkait dengan bising tersebut. 132 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu terdapat 45 pekerja (68,2%) yang mengalami gangguan pendengaran dan 21 pekerja (31,8%) memiliki pendengaran yang normal. 2. Hasil univariat dari variabel independen yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran (dosis kebisingan, usia, masa kerja, riwayat merokok, penggunaan APT dan hobi terkait bising) adalah sebagai berikut: a. Gambaran dosis kebisingan pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu pekerja yang terpapar dosis kebisingan lebih dari NAB (≥100%) sebanyak 53 pekerja (80,3%), sedangkan pekerja yang menerima dosis kebisingan kurang dari NAB (<100%) sebanyak 13 pekerja (19,7%). b. Gambaran usia pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia 133 (Persero) tahun 2015 yaitu pekerja berusia >40 tahun sebanyak 20 pekerja (30,3%), sedangkan pekerja yang berusia ≤40 tahun sebanyak 46 pekerja (69,7%). c. Gambaran masa kerja pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu pekerja dengan masa kerja ≥5 tahun sebanyak 52 pekerja (78,8%), sedangkan pekerja dengan masa kerja <5 tahun sebanyak 14 pekerja (21,2%). d. Gambaran riwayat merokok pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu pekerja dengan kategori perokok berat – perokok sedang sebanyak 10 pekerja (15,2%), perokok ringan sebanyak 23 pekerja (34,8%), sedangkan pekerja yang bukan perokok sebanyak 33 pekerja (50%). e. Gambaran penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga sebanyak 38 pekerja (57,6%), sedangkan pekerja yang menggunakan alat pelindung telinga sebanyak 28 pekerja (42,4%). 134 f. Gambaran hobi terkait bising pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu pekerja yang memiliki hobi terkait bising sebanyak 52 pekerja (78,8%), sedangkan pekerja yang tidak memiliki hobi terkait bising sebanyak 14 pekerja (21,2%). 3. Variabel yang berpengaruh dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015 yaitu dosis kebisingan, usia, penggunaan alat pelindung telinga dan riwayat merokok. 7.2 Saran 1. Perusahaan sebaiknya membentuk program konservasi pendengaran yang bertujuan untuk mencegah terjadinya ketulian pada pekerja yang terpapar kebisingan tinggi. 2. Melakukan pemeriksaan telinga (tes audiometri) secara berkala kepada para pekerja. 3. Melakukan pengendalian kebisingan dengan mereduksi bising dari sumber seperti memasang pembatas atau tameng atau perisai yang dikombinasikan dengan peredam suara yang dipasang di langit-langit. 135 4. Perusahaan dapat mengurangi waktu pemajanan bising terhadap tenaga kerja dengan cara mengatur jam kerja mereka sehingga kebisingan yang diterima masih dalam batas aman. 5. Melakukan pengukuran dosis kebisingan secara teratur agar pajanan kebisingan yang diterima pekerja bisa terawasi dengan baik. 6. Memodifikasi alat kerja agar kebisingan yang ditimbulkan alat tersebut tidak melebihi NAB kebisingan 7. Memberikan pelatihan terkait penggunaan alat pelindung telinga, memberikan pengawasan terhadap penggunaan alat pelindung telinga dan memberikan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga. 8. Memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan terkait bahaya yang ditimbulkan oleh rokok dan memberlakukan peraturan mengenai larangan merokok di tempat kerja. 9. Melarang pekerja untuk menghidupkan alat pemutar musik di tempat kerja. 136 DAFTAR PUSTAKA Amin, M. N. m. (2012). Gambaran Determinan Gangguan Pendengaran pada Pekerja Perawatan KRL Depo Depok Tahun 2012. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Arini, E. Y. (2005). Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran tipe sensorineural tenaga kerja unit produksi di PT. Kurnia Jati Utama Semarang. Universitas Diponogoro Semarang, Semarang. Ballenger, John Jacob. (1997). Peyakit Telinga, Hidung, Teggorok, Kepala, dan Leher Jilid Dua edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara. Banitriono, R. (2012). Hubungan Antara Kemampuan Pendengaran dan Radius Rumah pada Warga Masyarakat di Sekitar PLTD Siantan Hilir. Universitas Tanjungpura, Pontianak. Bashiruddin, J. (2009). Program Konservasi Pendengaran pada Pekerja yang Terpajan Bising Industri. Maj Kedokt Indon, Volum: 59(NO 1), 14-19. Broek P, L. F. (2009). Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga, Ed.12. Jakarta: EGC. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Tenaga Kerja 137 dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Djalante, S. (2010). Analisis Tingkat Kebisingan di Jalan Raya yang Menggunakan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APIL) (Studi kasus: Simpang Ade Swalayan). Jurnal SMARTek, Vol. 8 (No. 4), 280 - 300. European Agency for Safety and Health at Work. (2008). What Problem Can Noise Cause. Diunduh dari http://osha.europa.eu/en/topics/noise/index_html/problems_noise_cause_ht ml. Diakses pada tanggal 20 Maret 2015, pukul 19.19 WIB. Istantyo, D. (2011). Pengaruh Dosis Kebisingan dan Faktor Determinan Lainnya terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran pada Pekerja Bagian Operator PLTU Unit 1-4 PT Indonesia Power UBP Suralaya Tahun 2011. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta. Kim, Myung Gu. (2009). Hearing Threshold of Korean Adolescents Associated with the Use of Personal Music Players. Yonsei Medical journal: Yonsei University College of Medicine. Krismadies. (2013). Analisis Gangguan Pendengaran Pada Pekerja yang Terpajan Bising di PT X November 2012. Universitas Indonesia, Depok. Lusianawaty, d. (2002). Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Pekerja Perusahaan Baja di Pulau Jawa. Kedokteran Trisakti, Vol. 21(No.3), 84-90. 138 Murti, Bhisma. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. NIDCD. (2008). Noise-Induced Hearing Loss. http://www.nidcd.nih.gov/health/hearing/pages/noise.aspx. Diunduh dari Diakses pada tanggal 1 April 2015, pukul 12.34 WIB. NIOSH. (1998). Criteria For A Recommended Standard Occupational Noise Exposure Revised Criteria 1998. US Departement of Health and Human Services, NIOSH: OHIO. Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. P.K., Suma’mur. (2009) . Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta : CV. Sagung Seto. Permaningtyas, L., dkk. (2011). Hubungan Lama Masa Kerja dengan Kejadian Noise-Induced Hearing Loss pada Pekerja Home Industry Knalpot di Kelurahan Purbalingga LOR. Mandala of Health, Vol. 5(No. 3). Primadona, A. (2012). Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Penurunan Pendengaran pada Pekerja di PT. Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang Tahun 2012. Universitas Indonesia, Depok. Rambe, Andriana Yunita Murni. (2003).Gangguan Pendengaran Akibat Bising. USU Digital Library: FK Bagian Ilmu Penyakit THT Universitas Sumatra Utara. 139 Roestam, Ambar W. (2004) .Program Konservasi Pendengaran Tempat Kerja. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: FKUI Jakarta. Sabri, Luknis. Hatono, Susanto Priyo. (2014). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Press. Santoso, B. (2008). Analisis Kebisingan pada Proses Produksi Gula pada Stasiun Makanan, Putaran, dan Power House di PG Bungamayang, Lampung. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sari, d. (2012). Pemetaan Tingkat Kebisingan dan Hubungan Lama Pemaparan Terhadap Gangguan Pendengaran pada PT PLN (Persero) Sektor Mahakam Samarinda. Fisika Mulawarman, Vol.8(No.1), 9-18. Shofwati, Iting. Satar, Yuli Prapanca. (2009). Hygiene Industri. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Soepardi. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI. Soeripto. (2008). Hygiene Industri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Sutopo, M., dkk. (2007). Hubungan Antara Intensitas Kebisingan Aktivitas Penerbangan di Bandara Adi Sucipto dengan Nilai Ambang Pendengaran pada Anak. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 23(No. 1), 12-20. 140 Standard, John J.. 2002. Chapter 9 : Industrial Noise, dalam Barbara A. Plog dan Patricia J. Quinlan (editor), Fundamentals of Industrial Hygiene 5th Edition. United States of America : National Safety Council. Tantana, O. (2014). Hubungan Antara Jenis Kelamin, Intensitas Bising, dan Masa Paparan dengan Risiko terjadinya Gangguan Pendengaran Akibat Bising Gamelan Bali pada Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan. Universitas Udayana, Denpasar. 141 Lampiran 1 142 Lampiran 2 143 Lampiran 3 144 Lampiran 4 Denah Departemen Gambar 1. Denah Metal Forming dan Heat Treatment : titik pengukuran kebisingan di Metal Forming dan Heat Treatment 145 Lampiran 5 Surat Persetujuan sebagai Subyek Penelitian Dengan hormat, Sehubungan dengan sedang dilakukannya penelitian mengenai “FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015”, Saya Mahasiswi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai peneliti, bermaksud melakukan pengambilan data primer dengan membagikan kuesioner untuk kemudian diisi oleh pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Kuesioner diisi dengan cara menjawab pertanyaan secara singkat dan jelas. Setelah terisi lengkap, harap kuesioner ini dikembalikan kepada peneliti. Peneliti mengharapkan para pekerja dapat menjawab sendiri semua pertanyaan dalam kuesioner ini dengan jujur sesuai dengan kondisi sebenarnya di tempat kerja, sehingga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk kedepannya. Perlu diketahui bahwa pengisian kuesioner ini tidak akan berpengaruh pada nama baik dan pekerjaan para pekerja. Semua jawaban yang diberikan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian dan akan dijaga kerahasiaannya. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Alamat : Menyatakan setuju menjadi subyek penelitian, dengan catatan bila suatu saat merasa dirugikan, maka berhak membatalkan persetujuan ini. Bandung, 2015 Pembuat Pernyataan ( 146 ) Lampiran 6 KUESIONER Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 Tanggal Pengisian : I. Identitas Pekerja 1. Nomor Responden : ………………………….............(diisi oleh Peneliti) 2. Nama Lengkap : ………………………………………………………......... 3. No.hp : ............................................................................................................ 4. Departemen : .................................................................................................. : 5. Unit/bagian ................................................................................................... II. Gejala Gangguan Pendengaran 1. Apakah Anda sering merasakan telinga Anda berdengung/berdenging? a. Ya b. Tidak 2. Di saat kapan Anda merasakan telinga Anda berdengung/berdenging? a. Saat bekerja b. Setelah selesai bekerja 3. Apakah Anda juga merasakan telinga Anda berdengung saat libur /cuti/ off kerja ? a. Ya b. Tidak 4. Menurut Anda, apakah setelah bekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) pendengaran Anda menurun? a. Ya, Sejak tahun....................................... b. Tidak 5. Jika YA, menurut Anda apa yang menyebabkan Anda mengalami penurunan pendengaran? a. Kebisingan di tempat kerja b. Memiliki riwayat penyakit telinga c. Memiliki hobi yang berhubungan dengan kebisingan d. Lainnya, sebutkan………………………………………… 6. Menurut Anda, bagaimana sifat gangguan/penurunan pendengaran yang Anda rasakan? a. Kadang-kadang b. Menetap 7. Apakah Anda merasa terganggu saat bekerja dalam suasana bising? 147 a. Ya b. Tidak 8. Apakah Anda mengalami kesulitan berkomunikasi / berbicara dengan orang lain? a. Ya b. Tidak (jika jawaban “Tidak” lanjut ke bagian III) 9. Menurut Anda kesulitan berkomunikasi disebabkan oleh apa? a. Suara terlalu kecil b. Anda kurang mendengar c. Suasana berisik d. Lain-lain, Sebutkan:………………………………. III. IV. V. Usia Tanggal Lahir : 1. Tempat ................................................................................. Masa Kerja 1. Mulai kapan anda bekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero)? Sebutkan ........................ 2. Apakah sebelum anda bekerja di departemen ini, anda pernah bekerja di departemen lainnya? a. Ya. Pada departemen .............................. b. Tidak 3. Apakah anda pernah bekerja di tempat/perusahaan lain sebelum bekerja di PT Dirgantara Indonesia (Persero)? a. Ya b. Tidak (lanjut ke bagian V) 4. Di departemen apa anda bekerja? Sebutkan............................... 5. Apakah di tempat kerja anda terdahulu memiliki bahaya kebisingan? a. Ya b. Tidak 6. Mulai kapan anda bekerja di tempat tersebut? Sebutkan...................... 7. Sampai kapan anda bekerja di tempat tersebut? Sebutkan...................... Riwayat Merokok 1. Apakah saat ini anda merokok? a. Ya (jawab pertanyaan 1-4) b. Tidak (lanjut ke pertanyaan nomor 5) 2. Kapan anda mulai merokok? Tahun............................ 3. Rata-rata berapa batang rokok yang anda habiskan dalam sehari? Sebutkan ........................... batang 4. Jenis rokok apa yang sering anda konsumsi? a. Kretek b. Filter 5. Apakah anda pernah merokok? a. Ya 148 b. Tidak (lanjut ke bagian VI) 6. Mulai kapan anda merokok? Sebutkan.............................. 7. Rata-rata berapa batang rokok yang anda habiskan dalam sehari pada saat itu? Sebutkan ........................... batang 8. Kapan anda berhenti merokok? Tahun............................... VI. Hobi 1. Apakah anda memiliki hobi yang berhubungan dengan suara bising? a. Ya b. Tidak 2. Di bawah ini, manakah hobi yang sering anda lakukan? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Mendengarkan musik b. Dugem c. Karaoke d. Nonton film bioskop e. Diving/menyelam f. Berbelanja g. Menembak h. Lain-lain, sebutkan......... VII. Penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) 1. Apakah perusahaan menyediakan Alat Pelindung Telinga (APT)? a. Tidak b. Ya 2. Apakah anda diberikan pelatihan/training mengenai penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT)? a. Tidak b. Ya 3. Apakah anda menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT) ketika bekerja? a. Tidak (lanjut ke pertanyaan nomor 5) b. Ya 4. Apa jenis Alat Pelindung Telinga (APT) yang anda gunakan? a. Earmuff b. Earplug c. Headset d. Kapas 5. Mengapa anda tidak menggunakan Alat Pelindung Telinga (APT)? a. Tidak Tersedia b. APT rusak c. APT tidak nyaman digunakan d. Lainnya..... VIII. Dosis Kebisingan Isi kolom di bawah ini dengan pekerjaan yang anda lakukan hari ini. 149 No. Jam 1 Jam ke-1 2 Jam ke-2 3 Jam ke-3 4 Jam ke-4 5 Jam ke-5 6 Jam ke-6 7 Jam ke-7 8 Jam ke-8 Proses kerja / jenis pekerjaan 150 Mesin / alat yang digunakan Area Kerja Lampiran 7 LEMBAR PEMERIKSAAN Nama : Unit/bagian : Tes Penala Tes untuk mengetahui jenis gangguan pendengaran Jenis Tes a. b. Kiri Rinne (+) Normal / tuli saraf Rinne (-) Tuli konduktif Weber Lateralisasi ke telinga sakit (konduktif) Lateralisasi ke telinga sehat (saraf) c. Schwabach Memanjang (konduktif) Memendek (saraf) Hasil Pemeriksaan 1. Rinne : 2. Weber : 3. Schwabach : Keterangan 151 Kanan Lampiran 8 Lembar Observasi Dosis Kebisingan Nama : Departemen : No. Waktu Jenis Kebisingan Pekerjaan (dB)A 152 Dosis Lampiran 9 Lembar Obervasi Penggunaan Alat Pelindung Telinga (APT) Nama : Unit : No. Pertanyaan 1. Keterangan Apakah pekerja menggunakan APT saat bekerja di tempat bising? 2. Jenis APT apa yang pekerja gunakan? 3. Apakah Pekerja diberikan training tentang APT? 153 Lampiran 10 Output Uji Univariat 154 155 Output Uji Bivariat 156 157 158 159 160