usaha perkebunan rakyat di aceh selatan 1935

advertisement
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH ACEH SELATAN
2.1 Keadaan Geografis
Pada masa pemerintahan Belanda wilayah Aceh di bagi menjadi beberapa
Afdeling.
Sebelum kabupaten Aceh Selatan terbentuk masih berada di bawah
Afedeling West kust van Aceh (Aceh Barat), dalam istilah Belanda dan Nizi
Aceh(Aceh Barat) dalm istilah Jepang. ketika itu wilayah Aceh Selatan masih
berbentuk Onder Afdeling atau kewedanaan. Pemekaran wilayah Aceh Selatan terjadi
setelah satu tahun Indonesia merdeka pada tahun 1946.
Pembentukan wilayah Aceh Selatan adalah gabungan dari tiga Onder
Afdeling dan satu Landschap yaitu Onder Afdeling Tapak Tuan, Onder Afdeling
Singkil, Onder Afdeling Z.A Landschapen Bakongan dan Landschap Blangpidie.
Pada awalnya kabupaten Aceh Selatan terbagi menjadi 18 kecamatan diantaranya
meliputi:
1. Kecamatan Kuala Batee,
2. Kecamatan Blangpidie,
3. Kecamatan Tangan-tangan,
4. Kecamatan Manggeng,
5. Kecamatan Labuhan Haji,
6. Kecamatan Meukek,
Universitas Sumatera Utara
7. Kecamatan Sawang,
8. Kecamatan Samadua,
9. Kecamatan Tapak Tuan,
10. Kecamatan Kluet Utara,
11. Kecamatan Kluet Selatan,
12. Kecamatan Bakongan,
13. Kecamatan Trumon,
14. Kecamatan Simpang Kanan,
15. Kecamatan Simpang Kiri,
16. Kecamatan Subulussalam
17. Kecamatan Singkil,
18. Kecamatan Pulau Banyak.
Pembentukkan Kabupaten Aceh Selatan didasari oleh luasnya wilayah Aceh Barat
dan dengan dibentuknya kabupaten Aceh Selatan maka lebih mendekatkan
masyarakat dengan pemerintah pusat daerah.
Pemerintahan Belanda dan pemerintahan Jepang karena kabupaten Aceh
Selatan belum ada dan masih di bawa Afdeling Westkust van Aceh. Wilayah yang
berbatasan dengan wilayah tersebut adalah :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar,
- Sebelah Barat berbatasan dengan Lautan Hindia,
- Sebelah Timur berbatasan dengan Tanah Gayo dan Alas,
- Sebelah Selatan Berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara,
Universitas Sumatera Utara
Tetapi setelah mengalami pemekaran dan terbentuk menjadi satu kabupaten
Aceh Selatan wilayah ini berbatasan dengan :
-
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat
-
Sebelah Barat berbatasan dengan dengan Samudera Hindia
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Tanah Gayo dan Alas
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Posisi wilayah kabupaten Aceh Selatan terletak pada 2º - 4º Lintang Utara dan 96º 98º Bujur Timur. Berada di garis pantai yang berbatasan langsung dengan Samudera
Hindia. Luas wilayah kabupaten Aceh selatan 8910 kilometer persegi.
Keadaan alam wilayah kabupaten Aceh Selatan beragam karena letak
wilayah ada yang berbatasan langsung dengan pantai dan laut lepas dan ada juga
berbatasan langsung dengan lereng gunung Leuser dan pegunungan bukit barisan.
Letak wilayah yang bervariasi ini menyebabkan iklim wilayah juga bervariasi. Akan
tetapi iklim yang ada termasuk ke dalam iklim tropis, musim panas terjadi sepanjang
bulan Januari sampai dengan Agustus dan musim hujan terjadi September sampai
dengan Desember. Kadar curah hujan mencapai 3000-3500 mm per tahun. Suhu
udara berkisar antara 25º - 30º celcius di daratan dan 20º celcius di daerah
pegunungan.
Ada lima buah gunung tinggi yang meliputi wilayah kabupaten Aceh
Selatan diantaranya berada di wilayah barat sebelah ujung kecamatan Tangan-Tangan
dan Labuhan Haji terdapat gunung Leuser (3140 m), wilayah Kecamatan Meukek
Universitas Sumatera Utara
terdapat gunung Meukek, gunung Sigosong di kecamatan Kluet Selatan, gunung
Tinjo Laot (1100 m), di kecamatan Bakongan dan gunung Kapur terletak di
kecamatan Trumon dan Simpang Kanan.
Sungai-sungai panjang juga melintasi wilayah Aceh Selatan seperti Krueng
Seumayam yang membatasi kabupaten Aceh Selatan dengan kabupaten Aceh Barat,
Krueng Kuala Batee, Krueng Kluet dan Krueng Alas yang berhulu di Aceh Tenggara
dan bermuara di Singkil. Dari 18 kecamatan yang ada hanya dua kecamatan di Aceh
Selatan yang sebagian besar wilayahnya berupa rawa-rawa yaitu kecamatan Trumon
dan Kuala Batee.
Alam yang subur serta hutan Aceh Selatan yang luas memberi hasil hutan
yang menjadi komoditi ekspor ke luar negeri. Hutan Aceh Selatan menghasilkan
damar, pala, nilam, pinang, dan berbagai jenis kayu hutan. Wilayah pantai Aceh
Selatan terdiri atas pinggiran pantai yang landai dengan pasir putih, ombak-ombak
yang ganas serta tebing-tebing yang curam.
Pinggiran pantai Aceh Selatan yang berbatasan langsung dengan samudera
Hindia menjadi pelabuhan-pelabuhan kecil tempat persinggahan kapal-kapal dagang
dari luar negeri yang melintasi samudera Hindia pada zaman penjajahan. Komoditi
ekspor yang menjadi hasil kekayaan alam Aceh Selatan dapat langsung di ekspor ke
luar negeri, sehingga banyak tumbuh kota-kota kecil pelabuhan di wilayah ini. Kotakota pelabuhan yang tumbuh pada zaman penjajahan kini menjadi kecamatan yang
menjadi bagian wilayah Aceh Selatan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perjalanan kota-kota pelabuhan yang tumbuh di sepanjang pantai
Aceh Selatan mulai lumpuh setelah Jepang mulai berkuasa dan kemudian menjadi
berhenti total setelah Indonesia merdeka karena adanya jalan darat dan ada
nasionalisasi perusahan asing yang ada di Indonesia.
2.2 Keadaan Penduduk
persebaran dan asal penduduk asli Aceh Selatan dari mana asalnya tidak
pernah diketahui secara pasti. menurut legenda di masyarakat di Aceh Selatan ada
makhluk yang di sebut dengan Manteu. Ciri-ciri makhluk ini mirip dengan manusia
tanpa busana dengan tubuh ditutupi bulu tebal. Makhluk ini memiliki bentuk tubuh
kecil. Besar kemungkinan makhluk ini adalah penghuni tua wilayah Aceh Selatan dan
merupakan suku terasing yang menghuni rimba Aceh Selatan sampai ke pelosok
Aceh Tenggara. Sumber lain menyatakan bahwa suku Manteu ini memeluk agama
Islam dan menetap di hutan belantara hampir ke perbatasan Aceh Tengah dan Aceh
Tenggara.
Tentang Manteu juga di singgung oleh seorang penulis Belanda bernama
Van Langen dalam bukunya Atjehsch Staatsbestuur dan dikomentari oleh Prof. Dr.C.
Snock Hurgronje (1857-1936) dalam bukunya De Atjehers. Menurut Snock bahwa
kata Manteu atau mantra beliau menyamakan dengan suku Dayak yang hidup di
Universitas Sumatera Utara
daerah pedalaman Kalimantan, letak penduduk suku Dayak sangat jauh ke pelosok
dan sangat sulit di jangkau dalam perjalanan sehari oleh orang luar. 11
Menurut cerita dari orang tua,
12
pernah suatu waktu sepasang suami isteri
dari suku Manteu ini ditangkap oleh masyarakat dan dibawa ke hadapan Sultan Aceh.
Dengan berbagai cara, makhluk ini diajak bicara tetapi mereka tidak bersedia
memberikan informasi tentang keberadaan mereka
13
Selain penduduk asli yang
disebutkan di atas wilayah Aceh Selatan juga di datangi oleh orang-orang migran dari
luar. Menurut literatur yang ada para migran dari luar tersebut tiba di Aceh Selatan
sudah memeluk satu agama yaitu Islam. 14 Mereka datang dari berbagai daerah yang
ada di Aceh sendiri dan dari daerah lain di Nusantara. Para migran yang tiba di Aceh
Selatan menyebar ke berbagai Landschap yang ada seperti ke Susoh dan Blangpidie,
berdasarkan etnik mereka masing-masing. Walaupun mendiami Landschap yang
berbeda mereka tetap tunduk di bawah satu kekuasaan yaitu kesultanan Aceh. Mereka
ini terdiri atas orang Aceh, Melayu, Gayo, Alas, Minangkabau, Batak, dan Nias.
Penyebaran berbagai unsur etnis pendatang yang tiba di Aceh Selatan di
beberapa Landschap ini dapat di lihat dari data statistik penduduk yang ada dibawah
ini :
11
Snock C Hurgronje. Terjmh Ng.Singarimbun Dkk. Aceh di Mata Kolonialis.1985.
Yayasan Soko Guru. Hal.21
12
13
14
Universitas Sumatera Utara
No Nama Landscap
Jumlah jiwa penduduk
Unsur penduduk
1
Kuala Batee
2212
Etnis Aceh Pidie
2
Blangpidie
4030
Etnis
Aceh
Pidie,
Melayu dan Tionghoa
3
Tangan-Tangan
1808
Etnis Aceh bercampur
dengan Melayu
4
Manggeng
2417
Etnis
Minangkabau,
Aceh dan Melayu
5
Labuhan Haji
1089
Etnis
Minangkabau,
Aceh dan Melayu
6
Meukek
2808
Etnis Aceh dan Melayu
7
Sawang
1740
Etnis
Aceh
dan
Minangkabau
8
Samadua
3045
Etnis Minangkabau dan
Aceh
9
Tapaktuan
5874
Etnis
Minangkabau,
Aceh bercampur Melayu
10
Kluet Utara
2534
Etnis
Kluet
Hasil
Campuran Antara Gayo
dan Alas
Universitas Sumatera Utara
11
Kluet Selatan
2381
Idem
12
Bakongan
1067
Etnis Aceh
13
Trumon
1739
Etnis Aceh
14
Subulussalam
1890
Etnis Gayo, Alas, Batak
Karo dan Pakpak
15
Simpang Kanan
1602
Etnis Batak bercampur
dengan Nias
16
Simpang Kiri
2045
Idem
17
Singkil
2605
Idem
18
Pulau Banyak
508
Idem
Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh Barat
Umumnya masyarakat Aceh Selatan lebih dikenal dengan istilah etnik
Aneuk Jamee dalam bahasa Indonesia bermakna etnik tetamu pendatang karena
masyarakat Aceh Selatan bukan penduduk asli. Masuknya bangsa Tionghoa ke
wilayah Aceh Selatan tidak untuk bertani dan mereka terfokus pada satu wilayah saja.
Orang tionghoa ini datang ke Aceh Selatan untuk berdagang dan menjadi cukong.
Mereka menyewa tanah untuk menjadi tempat usaha mereka.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Keadaan Sosial Ekonomi
2.3.1 Keadaan Sosial
Masyarakat Aceh Selatan yang terdiri atas berbagai unsur etnik ini
menyebabkan masyarakat yang mendiami wilayah Aceh Selatan memiliki keragaman
sistem kekerabatan yang berbeda di tiap-tiap daerah. Akan tetapi pola pemerintahan
yang ada tetap berpusat pada pemerintahan kesultanan Aceh, pemerintah Belanda,
dan Jepang, semua ini tergantung pada penguasa.
Ada persamaan di dalam etnik yang berbeda ini, yakni dalam pola
kepemimpinan yang menganut sistem kerajaan, dan pemilihan pemimpin berdasarkan
kharisma dari orang tersebut. Pola kepemimpinan hampir sama di tiap-tiap
Landschap. Tiap-tiap Landschap membagi wilayah menjadi
dua berdasarkan
letaknya. Sistem kekuasaan berada di wilayah pesisir dalam bahasa Aceh Raja di
Laot dan daratan lebih di kenal dalam bahasa Aceh Raja di Gunong, dan keduanya
memiliki batasan daerah kekuasaan yang jelas. 15
Kekuasaan Raja di Gunong dimulai dari batasan jalan besar lebih dikenal
dengan istilah sekarang adalah jalan negara sampai masuk ke dalam pelosok
pegunungan tempat masyarakat mencari nafkah, sedangkan wilayah kekuasaan Raja
di Laot adalah sepanjang pinggiran pantai sampai ke lautan sejauh masyarakat dapat
mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari. Kedua penguasa ini mengatur keamanan
dan segala urusan yang menyangkut masyarakat yang tinggal di daerah kekuasaannya
15
Hasil wawancara dengan Tengku Banta Ahmad tanggal 26 Juli 2008.
Universitas Sumatera Utara
dan mengutip pajak dari masyarakat untuk kemudian pajak tersebut disetor kepada
pemerintah pusat yakni pada sultan. Penerima pajak kemudian berubah setalah
berganti pemerintah yang berkuasa di Aceh yaitu Belanda sejak menguasai istana di
Koetarajda tahun 1903 dan kekuasaan Jepang tahun 1942.
Lapisan sosial dalam masyarakat adat yang ada di Aceh Selatan dalam
istilah adat aneuk jamee tidak begitu jelas setelah kemerdekaan Indonesia. Lain
halnya ketika zaman kesultanan Aceh sampai runtuh tahun 1903, pemerintahan
Belanda berakhir tahun 1942 dan kemudian digantikan pemerintahan Jepang sampai
tahun 1945. Di masa kedua pemerintahan ini kekerabatan dan pelapisan sosial terlihat
jelas dan terasa.
Pada masa sebelum kemerdekaaan Indonesia, golongan Datuk dan
kerabatnya adalah golongan tertinggi dalam lapisan masyarakat kemudian golongan
Uleebbalang dan kaum Ulama berada pada lapisan kedua sedangkan lapiasan paling
bawah adalah rakyat biasa. Pada masa setlah kemerdekaan Indonesia pola pelapisan
status sosial berubah, golongan sosial masyarakat berdasarkan kekayaan, pendidikan,
dan, kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh garis keturunan. 16
Pola pelapisan sosial ini berubah seiring dengan perkembangan zaman
seiring dengan masyarakat telah memperoleh pendidikan dan sistem yang berlaku
dalam masyarakat bukan pelapisan sosial tertutup sehingga masyarakat dapat dengan
mudah untuk mengubah status sosial mereka. Golongan yang berada diatas adalah
16
M.Isa Sulaiman. Adat dan Upacara Perkawinan di Daerah Adat Istiadat Aneuk
Jamee.1978. Pusat Dokumentasi Aceh.
Universitas Sumatera Utara
mereka yang patut untuk dijadikan sebagai pemimpin dan pemikiran berdasarkan
keturunan tetapi tidak mampu memegang amanat yang diembannya ditakutkan oleh
masyarakat akan membawa kehancuran bagi kampungnya.
Bentuk kesatuan hidup masyarakat terkecil bagi penduduk aneuk jamee
disebut kampung. Tiap kampung ditandai dengan sebuah surau atau meunasah, jika
disitu tidak terdapat mesjid. Surau menjadi sarana beribadah disamping sebagai pusat
kegiatan kampung seperti tempat bermusyawarah dan penyelesaian masalah yang
dihadapi oleh kampung tersebut.
Setelah Indonesia merdeka setiap kampung dikepalai oleh seorang kepala
desa dalam bahasa aceh dikenal dengan nama “kechik”. Selain itu seorang “kechik”
juga berfungsi sebagai pemimpin adat, juga terdapat pemimpin lain dalam
masyarakat yang bertugas mendampingi “kechik” dalam kegiatan sehari-hari.
Pemimpin tersebut antara lain “Teungku Meunasah” dan ”Ketua Pemuda”. Teungku
Meunasah selain bertugas sebagai imam mesjid, kadangkala juga bertindak sebagai
qadhi yang mendampingi kantor urusan agama kecamatan (kuakec). Ketuda pemuda
adalah seorang yang memimpin para pemuda kampung dan menggerakkan para
pemuda untuk bergotong-royong ketika ada acara kepemudaan, pesta perkawinan dan
kematian.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh secara umum dan khususnya
masyarakat Aceh Selatan tidak dikenal adanya istilah rodi, akan tetapi dalam
kehidupan sehari-sehari cara rodi karena para pemuka rakyat yang kedudukan status
sosial berada di bawah raja kecil yang berkuasa memiliki hak untuk mengerahkan
Universitas Sumatera Utara
rakyat untuk mengerjakan pekerjaan baik itu untuk kepentingan pribadi mereka
maupun untuk kepentingan masyarakat umum seperti pembangunan Mesjid,
Meunasah, perbaikan jalan dan jembatan. 17
Istilah rodi yang dimaksud diatas tidak sepenuhnya seperti rodi yang dikenal
oleh masyarakat banyak, bahwa masyarakat melakukan kerja paksa yang diikuti
dengan siksaan fisik. Pekerjaan rodi yang ada semacam gotong-royong dan pekerjaan
yang dilakukan tidak memberatkan rakyat hanya bertempat pada wilayah yang
memang digunakan setiap hari oleh masyarakat. Jika daerah yang akan dikerjakan
jauh dari pemukiman masyarakat maka pekerjaan itu tidak dilakukan dan jika ada
masyarakat yang akan pindah ke satu daerah yang baru maka biaya yang diperlukan
dipakai dari kas yang ada untuk membantu biaya yang dibutuhkan.
2.3.2 Keadaan Ekonomi
Mata pencaharian masyarakat Aceh Selatan terbagi berdasarkan letak tepat
tinggal masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang mendiami wilayah Aceh Selatan
terbagi dua wilayah yaitu wilayah pesisir dan wilayah daratan. Masyarakat yang
mendiami wilayah pesisir membangun tempat tinggal dekat pantai dan umumnya
mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, sedangkan masyarakat yang
tinggal di daerah daratan dan membangun tempat tingggal dilereng gunung
mempunyai mata pencaharian sebagai petani, untuk tanaman yang mereka tanami
17
J.Kreemer Atjeh II . Masalah Rodi, Penghasilan Kepala-Kepala Daerah Kenegerian dan
Hukum Tanah di Aceh. Terjmahan Aboe Bakar.1978. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
Universitas Sumatera Utara
adalah tanaman keras dan tanaman musiman tergantung pada komoditi yang sedang
memiliki harga di pasaran.
Akan tetapi walaupun demikian hampir semua masyarakat Aceh memiliki
mata pencaharian sebagai petani, karena semua masyarakat di Aceh mempunyai
tanah persawahan dan kebun untuk digarap. Sedangkan yang bekerja sebagai
pedagang adalah orang-orang cina, umumnya mereka datang sebagai penjual emas,
penjahit ataupun sebagai pedagang. Dapat dilihat pada lampiran surat kontrak
penyewaan tanah yang dilakukan oleh orang cina dengan pemerintah setempat. Pada
umumnya orang-orang cina ini tinggal dan menjalankan usahanya di Landschap
Blangpidie.
Para kepala kenegerian yang ada di Aceh mendapat penghasilan melalui
hasil pajak yang dipungut dari rakyat, selain itu mereka juga umumnya memiliki
tanah yang luas untuk digarap tapi tidak dikerjakan sendiri oleh para penguasa kecil
ini melainkan disewakan kepada penduduk yang mau mengerjakan, sistem
pembayaran dilakukan dengan membagi hasil panen yang didapat dan perhitungan
berdasarkan luas tanah yang sewakan. Kepala kenegerian ini juga memiliki usaha lain
yaitu sebagai pengumpul hasil bumi yang dijual oleh para petani baru kemudian
dijual kembali kembali kepada pembeli asing.
Akan tetapi para kepala kenegerian tidak berhak mengatur banyaknya pajak
yang dikutip tetapi sudah diatur oleh Gubernemen dari pusat yaitu sebanyak 5% dari
Universitas Sumatera Utara
tiap jumlah harga barang.
18
Para petani di Aceh pada masa pemerintah kolonial
Belanda berkuasa dianjurkan untuk menanami beberapa jenis tanaman saja seperti
pala, kelapa yang diolah menjadi kopra dan pinang, disamping itu tanaman nilam
juga ditanami oleh masyarakat Aceh Selatan.
Pemerintah kolonial Belanda tidak hanya menganjurkan saja untuk
menanami jenis tanaman yang akan menjadi komoditi ekspor tersebut, akan tetapi
pihak kolonial memberi pinjaman modal dan membentuk sebuah badan penyuluhan
pertanian yang bertugas memberikan penerangan dan penyuluhan dalam bidang
pertanian (Landbouwvoorlichtingcients). 19 Dengan adanya upaya sistem peningkatan
perkebunan yang dilakukan maka akan semakin meningkatkan dan mengembangkan
usaha-usaha pertanian yang dilakukan oleh rakyat.
Petani Aceh Selatan tidak begitu mengalami kesulitan ekonomi ketika
pemerintahan kolonial Belanda karena mereka tetap dapat mencari nafkah tanpa ada
gangguan dari pihak Belanda, ini disebabkan karena ada kerjasama yang dilakukan
dalam penjualan hasil perkebunan mereka. Kondisi seperti ini tidak selamanya terjadi
karena Belanda menampakkan kerjasama hanya pada awalnya saja lambat laut pihak
kolonial Belanda mulai memberlakukan sistem monopoli perdagangan terhadap para
petani.
18
19
De Kreemer. Ibid. Hlm 10
J.Jongejans, Lands en Volk van Atjeh Vroeger en Nu. (Baar Hollandia Drukerij), 1939.
Hlm. 187
Universitas Sumatera Utara
Pembangunan sarana umum seperti jalan, jembatan serta pelabuhan sebagai
tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang asing seperti NISM dan KPM (NV Kliniklijke
Peketvaartmaatsppij). Biaya pembangunan sarana umum ini diambil dari dana kas
kenegrian sebagaimana yang telah dilakukan ketika sebelum masuknya kolonial
Belanda ke Aceh Selatan. Peningkatan ekonomi penduduk juga dilakukan oleh
kolonial Belanda untuk menarik simpati masyarakat dengan cara pemberian pinjaman
modal kepada masyarakat, umumnya masyarakat yang melakukan peminjaman
modal dari pihak kolonial Belanda adalah mereka para penguasa setempat yang
memiliki tanah yang luas.
Melalui peminjaman modal ini pihak kolonial mulai memberlakukan sistem
tanam paksa secara tidak langsung dengan cara menganjurkan kepada para petani
kebun yang berada di pinggir pantai untuk menanam pohon kelapa sebagai bahan
baku untuk dijadikan kopra yang pada saat itu menjadi kebutuhan ekspor ke luar
negeri.
Adapun jenis tanaman yang menjadi komoditi ekspor yang dibudidayakan
oleh petani adalah pala, pinang dan nilam yang pada masa itu memiliki nilai jual yang
di pasar internasional. Penanaman padi hanya untuk kebutuhan pangan saja, akan
tetapi karena diusahakan dengan sistem penanaman yang benar, maka hasil panen
untuk padi pun mengalami surplus sehingga cukup untuk diekspor.
Kondisi ekonomi penduduk pada masa penjajahan Belanda mengalami
peningkatan karena melimpahnya hasil panen mereka, walaupun sebenarnya
penduduk juga berperang melawan penjajahan yang bagi mereka harus diperangi.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi perlawanan masyarakat berusaha dikurangi oleh pemerintah Belanda dengan
cara mengambil hati rakyat melalui peningkatan ekonomi dan perbaikan sarana
umum.
Walaupun Belanda sudah berusaha mengambil hati rakyat dengan cara
ekonomi, akan tetapi rakyat tetap saja melawan Belanda, pemberontakan banyak
terjadi didaerah-daerah tertentu yang ada di Aceh Selatan. Bagi rakyat Aceh melawan
Belanda dan kemudian mati dalam peperangan adalah mati syahid.
Kondisi ekonomi yang membaik itu kemudian berbanding terbalik ketika
pemerintah Jepang mulai berkuasa di Aceh Selatan. Jepang berkuasa tidak berusaha
meningkatkan ekonomi daerah jajahannya, akan tetapi pemerintah Jepang banyak
menghacurkan sarana umum seperti jembatan dan jalan-jalan dengan cara dibom
untuk menghalau perlawanan dari musuh. Pihak Jepang tidak berusaha untuk
meningkatkan produksi perkebunan yang selama ini menjadi andalan wilayah ini,
tetapi memeras penduduk dengan kewajiban memenuhi kebutuhan pangan bagi
tentara Jepang yang berperang.
Pada masa Jepang tidak banyak yang dapat diceritakan karena yang terjadi
hanya kelaparan, ketakutan dan peperangan yang dialami rakyat Aceh Selatan.
Kehidupan ekonomi rakyat Aceh Selatan mengalami lumpuh total dan rakyat
memenuhi kebutuhan pangan dari hasil simpanan yang ada.
Perubahan mulai dialami kembali setelah Indonesia merdeka dan pemulihan
ekonomi mulai di rencanakan oleh pemerintah. Kondisi ekonomi mulai dilakukan
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya perbaikan sarana umum yang menunjang perbaikan ekonomi seperti
perbaikan jalan, jembatan dan irigasi.
Universitas Sumatera Utara
Download