BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH ACEH SELATAN 2.1 Keadaan Geografis Pada masa pemerintahan Belanda wilayah Aceh di bagi menjadi beberapa Afdeling. Sebelum kabupaten Aceh Selatan terbentuk masih berada di bawah Afedeling West kust van Aceh (Aceh Barat), dalam istilah Belanda dan Nizi Aceh(Aceh Barat) dalm istilah Jepang. ketika itu wilayah Aceh Selatan masih berbentuk Onder Afdeling atau kewedanaan. Pemekaran wilayah Aceh Selatan terjadi setelah satu tahun Indonesia merdeka pada tahun 1946. Pembentukan wilayah Aceh Selatan adalah gabungan dari tiga Onder Afdeling dan satu Landschap yaitu Onder Afdeling Tapak Tuan, Onder Afdeling Singkil, Onder Afdeling Z.A Landschapen Bakongan dan Landschap Blangpidie. Pada awalnya kabupaten Aceh Selatan terbagi menjadi 18 kecamatan diantaranya meliputi: 1. Kecamatan Kuala Batee, 2. Kecamatan Blangpidie, 3. Kecamatan Tangan-tangan, 4. Kecamatan Manggeng, 5. Kecamatan Labuhan Haji, 6. Kecamatan Meukek, Universitas Sumatera Utara 7. Kecamatan Sawang, 8. Kecamatan Samadua, 9. Kecamatan Tapak Tuan, 10. Kecamatan Kluet Utara, 11. Kecamatan Kluet Selatan, 12. Kecamatan Bakongan, 13. Kecamatan Trumon, 14. Kecamatan Simpang Kanan, 15. Kecamatan Simpang Kiri, 16. Kecamatan Subulussalam 17. Kecamatan Singkil, 18. Kecamatan Pulau Banyak. Pembentukkan Kabupaten Aceh Selatan didasari oleh luasnya wilayah Aceh Barat dan dengan dibentuknya kabupaten Aceh Selatan maka lebih mendekatkan masyarakat dengan pemerintah pusat daerah. Pemerintahan Belanda dan pemerintahan Jepang karena kabupaten Aceh Selatan belum ada dan masih di bawa Afdeling Westkust van Aceh. Wilayah yang berbatasan dengan wilayah tersebut adalah : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar, - Sebelah Barat berbatasan dengan Lautan Hindia, - Sebelah Timur berbatasan dengan Tanah Gayo dan Alas, - Sebelah Selatan Berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara Tetapi setelah mengalami pemekaran dan terbentuk menjadi satu kabupaten Aceh Selatan wilayah ini berbatasan dengan : - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat - Sebelah Barat berbatasan dengan dengan Samudera Hindia - Sebelah Timur berbatasan dengan Tanah Gayo dan Alas - Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara. Posisi wilayah kabupaten Aceh Selatan terletak pada 2º - 4º Lintang Utara dan 96º 98º Bujur Timur. Berada di garis pantai yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Luas wilayah kabupaten Aceh selatan 8910 kilometer persegi. Keadaan alam wilayah kabupaten Aceh Selatan beragam karena letak wilayah ada yang berbatasan langsung dengan pantai dan laut lepas dan ada juga berbatasan langsung dengan lereng gunung Leuser dan pegunungan bukit barisan. Letak wilayah yang bervariasi ini menyebabkan iklim wilayah juga bervariasi. Akan tetapi iklim yang ada termasuk ke dalam iklim tropis, musim panas terjadi sepanjang bulan Januari sampai dengan Agustus dan musim hujan terjadi September sampai dengan Desember. Kadar curah hujan mencapai 3000-3500 mm per tahun. Suhu udara berkisar antara 25º - 30º celcius di daratan dan 20º celcius di daerah pegunungan. Ada lima buah gunung tinggi yang meliputi wilayah kabupaten Aceh Selatan diantaranya berada di wilayah barat sebelah ujung kecamatan Tangan-Tangan dan Labuhan Haji terdapat gunung Leuser (3140 m), wilayah Kecamatan Meukek Universitas Sumatera Utara terdapat gunung Meukek, gunung Sigosong di kecamatan Kluet Selatan, gunung Tinjo Laot (1100 m), di kecamatan Bakongan dan gunung Kapur terletak di kecamatan Trumon dan Simpang Kanan. Sungai-sungai panjang juga melintasi wilayah Aceh Selatan seperti Krueng Seumayam yang membatasi kabupaten Aceh Selatan dengan kabupaten Aceh Barat, Krueng Kuala Batee, Krueng Kluet dan Krueng Alas yang berhulu di Aceh Tenggara dan bermuara di Singkil. Dari 18 kecamatan yang ada hanya dua kecamatan di Aceh Selatan yang sebagian besar wilayahnya berupa rawa-rawa yaitu kecamatan Trumon dan Kuala Batee. Alam yang subur serta hutan Aceh Selatan yang luas memberi hasil hutan yang menjadi komoditi ekspor ke luar negeri. Hutan Aceh Selatan menghasilkan damar, pala, nilam, pinang, dan berbagai jenis kayu hutan. Wilayah pantai Aceh Selatan terdiri atas pinggiran pantai yang landai dengan pasir putih, ombak-ombak yang ganas serta tebing-tebing yang curam. Pinggiran pantai Aceh Selatan yang berbatasan langsung dengan samudera Hindia menjadi pelabuhan-pelabuhan kecil tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari luar negeri yang melintasi samudera Hindia pada zaman penjajahan. Komoditi ekspor yang menjadi hasil kekayaan alam Aceh Selatan dapat langsung di ekspor ke luar negeri, sehingga banyak tumbuh kota-kota kecil pelabuhan di wilayah ini. Kotakota pelabuhan yang tumbuh pada zaman penjajahan kini menjadi kecamatan yang menjadi bagian wilayah Aceh Selatan. Universitas Sumatera Utara Dalam perjalanan kota-kota pelabuhan yang tumbuh di sepanjang pantai Aceh Selatan mulai lumpuh setelah Jepang mulai berkuasa dan kemudian menjadi berhenti total setelah Indonesia merdeka karena adanya jalan darat dan ada nasionalisasi perusahan asing yang ada di Indonesia. 2.2 Keadaan Penduduk persebaran dan asal penduduk asli Aceh Selatan dari mana asalnya tidak pernah diketahui secara pasti. menurut legenda di masyarakat di Aceh Selatan ada makhluk yang di sebut dengan Manteu. Ciri-ciri makhluk ini mirip dengan manusia tanpa busana dengan tubuh ditutupi bulu tebal. Makhluk ini memiliki bentuk tubuh kecil. Besar kemungkinan makhluk ini adalah penghuni tua wilayah Aceh Selatan dan merupakan suku terasing yang menghuni rimba Aceh Selatan sampai ke pelosok Aceh Tenggara. Sumber lain menyatakan bahwa suku Manteu ini memeluk agama Islam dan menetap di hutan belantara hampir ke perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Tentang Manteu juga di singgung oleh seorang penulis Belanda bernama Van Langen dalam bukunya Atjehsch Staatsbestuur dan dikomentari oleh Prof. Dr.C. Snock Hurgronje (1857-1936) dalam bukunya De Atjehers. Menurut Snock bahwa kata Manteu atau mantra beliau menyamakan dengan suku Dayak yang hidup di Universitas Sumatera Utara daerah pedalaman Kalimantan, letak penduduk suku Dayak sangat jauh ke pelosok dan sangat sulit di jangkau dalam perjalanan sehari oleh orang luar. 11 Menurut cerita dari orang tua, 12 pernah suatu waktu sepasang suami isteri dari suku Manteu ini ditangkap oleh masyarakat dan dibawa ke hadapan Sultan Aceh. Dengan berbagai cara, makhluk ini diajak bicara tetapi mereka tidak bersedia memberikan informasi tentang keberadaan mereka 13 Selain penduduk asli yang disebutkan di atas wilayah Aceh Selatan juga di datangi oleh orang-orang migran dari luar. Menurut literatur yang ada para migran dari luar tersebut tiba di Aceh Selatan sudah memeluk satu agama yaitu Islam. 14 Mereka datang dari berbagai daerah yang ada di Aceh sendiri dan dari daerah lain di Nusantara. Para migran yang tiba di Aceh Selatan menyebar ke berbagai Landschap yang ada seperti ke Susoh dan Blangpidie, berdasarkan etnik mereka masing-masing. Walaupun mendiami Landschap yang berbeda mereka tetap tunduk di bawah satu kekuasaan yaitu kesultanan Aceh. Mereka ini terdiri atas orang Aceh, Melayu, Gayo, Alas, Minangkabau, Batak, dan Nias. Penyebaran berbagai unsur etnis pendatang yang tiba di Aceh Selatan di beberapa Landschap ini dapat di lihat dari data statistik penduduk yang ada dibawah ini : 11 Snock C Hurgronje. Terjmh Ng.Singarimbun Dkk. Aceh di Mata Kolonialis.1985. Yayasan Soko Guru. Hal.21 12 13 14 Universitas Sumatera Utara No Nama Landscap Jumlah jiwa penduduk Unsur penduduk 1 Kuala Batee 2212 Etnis Aceh Pidie 2 Blangpidie 4030 Etnis Aceh Pidie, Melayu dan Tionghoa 3 Tangan-Tangan 1808 Etnis Aceh bercampur dengan Melayu 4 Manggeng 2417 Etnis Minangkabau, Aceh dan Melayu 5 Labuhan Haji 1089 Etnis Minangkabau, Aceh dan Melayu 6 Meukek 2808 Etnis Aceh dan Melayu 7 Sawang 1740 Etnis Aceh dan Minangkabau 8 Samadua 3045 Etnis Minangkabau dan Aceh 9 Tapaktuan 5874 Etnis Minangkabau, Aceh bercampur Melayu 10 Kluet Utara 2534 Etnis Kluet Hasil Campuran Antara Gayo dan Alas Universitas Sumatera Utara 11 Kluet Selatan 2381 Idem 12 Bakongan 1067 Etnis Aceh 13 Trumon 1739 Etnis Aceh 14 Subulussalam 1890 Etnis Gayo, Alas, Batak Karo dan Pakpak 15 Simpang Kanan 1602 Etnis Batak bercampur dengan Nias 16 Simpang Kiri 2045 Idem 17 Singkil 2605 Idem 18 Pulau Banyak 508 Idem Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh Barat Umumnya masyarakat Aceh Selatan lebih dikenal dengan istilah etnik Aneuk Jamee dalam bahasa Indonesia bermakna etnik tetamu pendatang karena masyarakat Aceh Selatan bukan penduduk asli. Masuknya bangsa Tionghoa ke wilayah Aceh Selatan tidak untuk bertani dan mereka terfokus pada satu wilayah saja. Orang tionghoa ini datang ke Aceh Selatan untuk berdagang dan menjadi cukong. Mereka menyewa tanah untuk menjadi tempat usaha mereka. Universitas Sumatera Utara 2.3 Keadaan Sosial Ekonomi 2.3.1 Keadaan Sosial Masyarakat Aceh Selatan yang terdiri atas berbagai unsur etnik ini menyebabkan masyarakat yang mendiami wilayah Aceh Selatan memiliki keragaman sistem kekerabatan yang berbeda di tiap-tiap daerah. Akan tetapi pola pemerintahan yang ada tetap berpusat pada pemerintahan kesultanan Aceh, pemerintah Belanda, dan Jepang, semua ini tergantung pada penguasa. Ada persamaan di dalam etnik yang berbeda ini, yakni dalam pola kepemimpinan yang menganut sistem kerajaan, dan pemilihan pemimpin berdasarkan kharisma dari orang tersebut. Pola kepemimpinan hampir sama di tiap-tiap Landschap. Tiap-tiap Landschap membagi wilayah menjadi dua berdasarkan letaknya. Sistem kekuasaan berada di wilayah pesisir dalam bahasa Aceh Raja di Laot dan daratan lebih di kenal dalam bahasa Aceh Raja di Gunong, dan keduanya memiliki batasan daerah kekuasaan yang jelas. 15 Kekuasaan Raja di Gunong dimulai dari batasan jalan besar lebih dikenal dengan istilah sekarang adalah jalan negara sampai masuk ke dalam pelosok pegunungan tempat masyarakat mencari nafkah, sedangkan wilayah kekuasaan Raja di Laot adalah sepanjang pinggiran pantai sampai ke lautan sejauh masyarakat dapat mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari. Kedua penguasa ini mengatur keamanan dan segala urusan yang menyangkut masyarakat yang tinggal di daerah kekuasaannya 15 Hasil wawancara dengan Tengku Banta Ahmad tanggal 26 Juli 2008. Universitas Sumatera Utara dan mengutip pajak dari masyarakat untuk kemudian pajak tersebut disetor kepada pemerintah pusat yakni pada sultan. Penerima pajak kemudian berubah setalah berganti pemerintah yang berkuasa di Aceh yaitu Belanda sejak menguasai istana di Koetarajda tahun 1903 dan kekuasaan Jepang tahun 1942. Lapisan sosial dalam masyarakat adat yang ada di Aceh Selatan dalam istilah adat aneuk jamee tidak begitu jelas setelah kemerdekaan Indonesia. Lain halnya ketika zaman kesultanan Aceh sampai runtuh tahun 1903, pemerintahan Belanda berakhir tahun 1942 dan kemudian digantikan pemerintahan Jepang sampai tahun 1945. Di masa kedua pemerintahan ini kekerabatan dan pelapisan sosial terlihat jelas dan terasa. Pada masa sebelum kemerdekaaan Indonesia, golongan Datuk dan kerabatnya adalah golongan tertinggi dalam lapisan masyarakat kemudian golongan Uleebbalang dan kaum Ulama berada pada lapisan kedua sedangkan lapiasan paling bawah adalah rakyat biasa. Pada masa setlah kemerdekaan Indonesia pola pelapisan status sosial berubah, golongan sosial masyarakat berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan, kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh garis keturunan. 16 Pola pelapisan sosial ini berubah seiring dengan perkembangan zaman seiring dengan masyarakat telah memperoleh pendidikan dan sistem yang berlaku dalam masyarakat bukan pelapisan sosial tertutup sehingga masyarakat dapat dengan mudah untuk mengubah status sosial mereka. Golongan yang berada diatas adalah 16 M.Isa Sulaiman. Adat dan Upacara Perkawinan di Daerah Adat Istiadat Aneuk Jamee.1978. Pusat Dokumentasi Aceh. Universitas Sumatera Utara mereka yang patut untuk dijadikan sebagai pemimpin dan pemikiran berdasarkan keturunan tetapi tidak mampu memegang amanat yang diembannya ditakutkan oleh masyarakat akan membawa kehancuran bagi kampungnya. Bentuk kesatuan hidup masyarakat terkecil bagi penduduk aneuk jamee disebut kampung. Tiap kampung ditandai dengan sebuah surau atau meunasah, jika disitu tidak terdapat mesjid. Surau menjadi sarana beribadah disamping sebagai pusat kegiatan kampung seperti tempat bermusyawarah dan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh kampung tersebut. Setelah Indonesia merdeka setiap kampung dikepalai oleh seorang kepala desa dalam bahasa aceh dikenal dengan nama “kechik”. Selain itu seorang “kechik” juga berfungsi sebagai pemimpin adat, juga terdapat pemimpin lain dalam masyarakat yang bertugas mendampingi “kechik” dalam kegiatan sehari-hari. Pemimpin tersebut antara lain “Teungku Meunasah” dan ”Ketua Pemuda”. Teungku Meunasah selain bertugas sebagai imam mesjid, kadangkala juga bertindak sebagai qadhi yang mendampingi kantor urusan agama kecamatan (kuakec). Ketuda pemuda adalah seorang yang memimpin para pemuda kampung dan menggerakkan para pemuda untuk bergotong-royong ketika ada acara kepemudaan, pesta perkawinan dan kematian. Dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh secara umum dan khususnya masyarakat Aceh Selatan tidak dikenal adanya istilah rodi, akan tetapi dalam kehidupan sehari-sehari cara rodi karena para pemuka rakyat yang kedudukan status sosial berada di bawah raja kecil yang berkuasa memiliki hak untuk mengerahkan Universitas Sumatera Utara rakyat untuk mengerjakan pekerjaan baik itu untuk kepentingan pribadi mereka maupun untuk kepentingan masyarakat umum seperti pembangunan Mesjid, Meunasah, perbaikan jalan dan jembatan. 17 Istilah rodi yang dimaksud diatas tidak sepenuhnya seperti rodi yang dikenal oleh masyarakat banyak, bahwa masyarakat melakukan kerja paksa yang diikuti dengan siksaan fisik. Pekerjaan rodi yang ada semacam gotong-royong dan pekerjaan yang dilakukan tidak memberatkan rakyat hanya bertempat pada wilayah yang memang digunakan setiap hari oleh masyarakat. Jika daerah yang akan dikerjakan jauh dari pemukiman masyarakat maka pekerjaan itu tidak dilakukan dan jika ada masyarakat yang akan pindah ke satu daerah yang baru maka biaya yang diperlukan dipakai dari kas yang ada untuk membantu biaya yang dibutuhkan. 2.3.2 Keadaan Ekonomi Mata pencaharian masyarakat Aceh Selatan terbagi berdasarkan letak tepat tinggal masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang mendiami wilayah Aceh Selatan terbagi dua wilayah yaitu wilayah pesisir dan wilayah daratan. Masyarakat yang mendiami wilayah pesisir membangun tempat tinggal dekat pantai dan umumnya mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah daratan dan membangun tempat tingggal dilereng gunung mempunyai mata pencaharian sebagai petani, untuk tanaman yang mereka tanami 17 J.Kreemer Atjeh II . Masalah Rodi, Penghasilan Kepala-Kepala Daerah Kenegerian dan Hukum Tanah di Aceh. Terjmahan Aboe Bakar.1978. Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Universitas Sumatera Utara adalah tanaman keras dan tanaman musiman tergantung pada komoditi yang sedang memiliki harga di pasaran. Akan tetapi walaupun demikian hampir semua masyarakat Aceh memiliki mata pencaharian sebagai petani, karena semua masyarakat di Aceh mempunyai tanah persawahan dan kebun untuk digarap. Sedangkan yang bekerja sebagai pedagang adalah orang-orang cina, umumnya mereka datang sebagai penjual emas, penjahit ataupun sebagai pedagang. Dapat dilihat pada lampiran surat kontrak penyewaan tanah yang dilakukan oleh orang cina dengan pemerintah setempat. Pada umumnya orang-orang cina ini tinggal dan menjalankan usahanya di Landschap Blangpidie. Para kepala kenegerian yang ada di Aceh mendapat penghasilan melalui hasil pajak yang dipungut dari rakyat, selain itu mereka juga umumnya memiliki tanah yang luas untuk digarap tapi tidak dikerjakan sendiri oleh para penguasa kecil ini melainkan disewakan kepada penduduk yang mau mengerjakan, sistem pembayaran dilakukan dengan membagi hasil panen yang didapat dan perhitungan berdasarkan luas tanah yang sewakan. Kepala kenegerian ini juga memiliki usaha lain yaitu sebagai pengumpul hasil bumi yang dijual oleh para petani baru kemudian dijual kembali kembali kepada pembeli asing. Akan tetapi para kepala kenegerian tidak berhak mengatur banyaknya pajak yang dikutip tetapi sudah diatur oleh Gubernemen dari pusat yaitu sebanyak 5% dari Universitas Sumatera Utara tiap jumlah harga barang. 18 Para petani di Aceh pada masa pemerintah kolonial Belanda berkuasa dianjurkan untuk menanami beberapa jenis tanaman saja seperti pala, kelapa yang diolah menjadi kopra dan pinang, disamping itu tanaman nilam juga ditanami oleh masyarakat Aceh Selatan. Pemerintah kolonial Belanda tidak hanya menganjurkan saja untuk menanami jenis tanaman yang akan menjadi komoditi ekspor tersebut, akan tetapi pihak kolonial memberi pinjaman modal dan membentuk sebuah badan penyuluhan pertanian yang bertugas memberikan penerangan dan penyuluhan dalam bidang pertanian (Landbouwvoorlichtingcients). 19 Dengan adanya upaya sistem peningkatan perkebunan yang dilakukan maka akan semakin meningkatkan dan mengembangkan usaha-usaha pertanian yang dilakukan oleh rakyat. Petani Aceh Selatan tidak begitu mengalami kesulitan ekonomi ketika pemerintahan kolonial Belanda karena mereka tetap dapat mencari nafkah tanpa ada gangguan dari pihak Belanda, ini disebabkan karena ada kerjasama yang dilakukan dalam penjualan hasil perkebunan mereka. Kondisi seperti ini tidak selamanya terjadi karena Belanda menampakkan kerjasama hanya pada awalnya saja lambat laut pihak kolonial Belanda mulai memberlakukan sistem monopoli perdagangan terhadap para petani. 18 19 De Kreemer. Ibid. Hlm 10 J.Jongejans, Lands en Volk van Atjeh Vroeger en Nu. (Baar Hollandia Drukerij), 1939. Hlm. 187 Universitas Sumatera Utara Pembangunan sarana umum seperti jalan, jembatan serta pelabuhan sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang asing seperti NISM dan KPM (NV Kliniklijke Peketvaartmaatsppij). Biaya pembangunan sarana umum ini diambil dari dana kas kenegrian sebagaimana yang telah dilakukan ketika sebelum masuknya kolonial Belanda ke Aceh Selatan. Peningkatan ekonomi penduduk juga dilakukan oleh kolonial Belanda untuk menarik simpati masyarakat dengan cara pemberian pinjaman modal kepada masyarakat, umumnya masyarakat yang melakukan peminjaman modal dari pihak kolonial Belanda adalah mereka para penguasa setempat yang memiliki tanah yang luas. Melalui peminjaman modal ini pihak kolonial mulai memberlakukan sistem tanam paksa secara tidak langsung dengan cara menganjurkan kepada para petani kebun yang berada di pinggir pantai untuk menanam pohon kelapa sebagai bahan baku untuk dijadikan kopra yang pada saat itu menjadi kebutuhan ekspor ke luar negeri. Adapun jenis tanaman yang menjadi komoditi ekspor yang dibudidayakan oleh petani adalah pala, pinang dan nilam yang pada masa itu memiliki nilai jual yang di pasar internasional. Penanaman padi hanya untuk kebutuhan pangan saja, akan tetapi karena diusahakan dengan sistem penanaman yang benar, maka hasil panen untuk padi pun mengalami surplus sehingga cukup untuk diekspor. Kondisi ekonomi penduduk pada masa penjajahan Belanda mengalami peningkatan karena melimpahnya hasil panen mereka, walaupun sebenarnya penduduk juga berperang melawan penjajahan yang bagi mereka harus diperangi. Universitas Sumatera Utara Kondisi perlawanan masyarakat berusaha dikurangi oleh pemerintah Belanda dengan cara mengambil hati rakyat melalui peningkatan ekonomi dan perbaikan sarana umum. Walaupun Belanda sudah berusaha mengambil hati rakyat dengan cara ekonomi, akan tetapi rakyat tetap saja melawan Belanda, pemberontakan banyak terjadi didaerah-daerah tertentu yang ada di Aceh Selatan. Bagi rakyat Aceh melawan Belanda dan kemudian mati dalam peperangan adalah mati syahid. Kondisi ekonomi yang membaik itu kemudian berbanding terbalik ketika pemerintah Jepang mulai berkuasa di Aceh Selatan. Jepang berkuasa tidak berusaha meningkatkan ekonomi daerah jajahannya, akan tetapi pemerintah Jepang banyak menghacurkan sarana umum seperti jembatan dan jalan-jalan dengan cara dibom untuk menghalau perlawanan dari musuh. Pihak Jepang tidak berusaha untuk meningkatkan produksi perkebunan yang selama ini menjadi andalan wilayah ini, tetapi memeras penduduk dengan kewajiban memenuhi kebutuhan pangan bagi tentara Jepang yang berperang. Pada masa Jepang tidak banyak yang dapat diceritakan karena yang terjadi hanya kelaparan, ketakutan dan peperangan yang dialami rakyat Aceh Selatan. Kehidupan ekonomi rakyat Aceh Selatan mengalami lumpuh total dan rakyat memenuhi kebutuhan pangan dari hasil simpanan yang ada. Perubahan mulai dialami kembali setelah Indonesia merdeka dan pemulihan ekonomi mulai di rencanakan oleh pemerintah. Kondisi ekonomi mulai dilakukan Universitas Sumatera Utara dengan adanya perbaikan sarana umum yang menunjang perbaikan ekonomi seperti perbaikan jalan, jembatan dan irigasi. Universitas Sumatera Utara