Minggu V BAB V IDENTITAS INDONESIA PENDAHULUAN Pada

advertisement
Minggu V
BAB V
IDENTITAS INDONESIA1
A. PENDAHULUAN
Pada pertemuan kelima ini mahasiswa sudah harus mulai membawa isu nasional
ke dalam pembahasan mengenai ilmu antropologi di Indoenesia. Sejarah mengenai
pencarian identitas Indonesia antara 1900 dan 1930 mengikuti suatu periode yang cepat
dan bebas dari dan agak berlawanan dengan program reformasi pemerintah kolonial,
meskipun inspirasi idelogisnya datang dari Barat. W.F. Wertheim (1964:211-237)
percaya bahwa Program Politik Etik yang setengah hati untuk transformasi total
masyarakat Indonesia telah menjadi daya dorong gerakan pencarian identitas itu. Namun
demikian ketidak-pastian mengenai bahasa justeru memicu pencarian identitas baru
dengan cara menutup-nutupi identitasnya sendiri dengan meminjam dari tempat lain
(untuk memperkaya miliknya). Konstruksi “Indonesia” kemudian merupakan apropriasi
sesuatu yang anonim/aneh (Siegel 1986), dan tentu saja tidak semestinya mengubah
struktur yang lama. Oleh karena itu sifatnya dinamik dan diskursif.
Kira-kira sejajar dengan Siegel, Benedict Anderson (2004:29-45) berargumentasi
bahwa pembentukan suatu identitas kolektif, antara seseorang dan jamak/unversalitas/
kolektivitas/komunitas-nya tidaklah mengikuti suatu logika serial yang tunggal.
Mengenai nasionalisme, misalnya, Anderson mengungkapkan bahwa subjektivitas
kolektif (universal) melibatkan dua logika serial yang sangat berbeda. Pertama adalah
logika serial yang terikat, yang diturunkan dari sensus (kategorisasi), diterapkan dan
dihitung oleh aparat Negara. Mengikuti logika ini, identitas nasional seseorang tertentu
(misalnya untuk memilih dan dipilih) tergantung pada imposisi kategori-kategori sensus
(buatan Negara), misalnya kelamin, umur, tempat lahir, kesukubangsaan, warna kulit dll.
Mengacu pada James C Scott (1998), saya menyebut serial ini sebagai identitas yang
terregimentasi, karena itu diatur oleh angka dan diletakkan dalam sel baris dan kolom
seperti halnya regimen tetara. Logika serial yang kedua itu tidak terikat dan tidak
tercacah. Mengikuti serial ini imajinasi nasionalistik seseorang tergantung pada
akumulasi pengetahuan yang dikumpulkannya dari media. Siapa pun dapat
mengimajinasikan dirinya hampir sesuka hati menggunakan serialitas (klasifikasi)
universal yang ada seperti sebagai revolusioner, nasionalis, aktivis, sosialis, yuppie, punk,
metal, hard rocker, bahkan intelektual dll. Oleh karena itu banyak varian
nasionalisme. Dalam praktek sehari-hari, orang dipaksa oleh ketegangan hubungan
antara kedua serialitas itu untuk menampilkan ekspresi politik identitasnya secara taktis
dan diskursif.
Siegel (1997) mengklaim bahwa sejarah bangsa Indonesia berasal dari efekefek yang terjadi akibat hubungan-hubungan yang dimungkinkan oleh kehadiran
lingua franca. Kita tahu kehadiran bangsa Indonesia ditopang kuat oleh keberadaan
bahasa Indonesia yang asal mulanya adalah dari bahasa melayu pasar. Sebagai lingua
franca bahasa Indonesia beroperasi di antara orang-orang yang berbeda-beda bahasa dan
1
Topik bahasan minggu ke V dalam mata kuliah pengantar antropologi ini merujuk pada referensi tulisan
PM.Laksono (2011). “Memahami Kebudayaan (Indonesia) Dari Perspektif Antropologi”. Bahan Untuk pembahasan
RUU Kebudayaan dari Pendamping Ahli Komisi X DPR untuk Pembahasan RUU Kebudayaan.
budayanya tanpa menjadi milik seseorangpun. Bagi hampir semua penduduk Indonesia
bahasa Indonesia adalah bahasa kedua, malah masih banyak warga Indonesia yang tidak
dapat berbahasa Indonesia. Untuk menggunakan bahasa Indonesia banyak orang harus
menterjemahkan maksud hatinya. Seperti halnya teknologi yang tersedia bagi seseorang
untuk menggunakannya atau, lebih penting lagi bagi kita, bagi siapa yang mulai
berfantasi untuk menggunakannya, lingua franca adalah suatu alat, suatu titik antara.
Jadi pemahaman kekhususan sejarah Indonesia tergantung pada pemahaman
tentang suatu titik tengah yang memproduksi efek-efek kultural (Siegel 1997: 8-9),.
Sejarah revolusi Indonesia dapat dianggap sebagai suatu kekecualian. Ini terjadi
karena pembebasan hasrat, misalnya hasrat untuk merdeka tidak terjadi pada hubunganhubungan antara orang-orang terjajah dengan tuannya, tetapi pada hubungannya dengan
dunia. Banyak contoh yang menunjukkan betapa para jenderal dan elite Indonesia yang
ketika berbicara dengan rekan-rekannya selalu dengan bahasa Belanda daripada dengan
bahasa Indonensia. Perjuangan Kartini juga dikenal tidak memusuhi Belanda, tetapi
perjuangan menterjemahkan nilai emansipasi yang universal untuk menentang
ketertindasan perempuan jawa oleh kaumnya sendiri. Jadi revolusi Indonesia
menghasilkan suatu yang tidak sepenuhnya asing tetapi juga tidak sepenuhnya domestik,
yaitu semacam budaya yang seolah-olah berasal dari negeri antah berantah tanpa alamat,
tidak barat tidak timur. Itulah kira-kira posisi masyarakat-masyarakat dan tentu saja
bahasa-bahasa lama Indonesia di dalam Negara Indonesia paska kemerdekaan.2
Melalui penterjemahan dalam lingua franca dan simbol-simbol global itu,
budaya-budaya lokal kemudian mencari pengakuan atas keberadaannya. Orangorang pribumi mengadopsi pakaian Barat bukan untuk menjadi Belanda tetapi untuk
mengglobalkan diri, yaitu menggunakan simbol-simbol, yang walau bukan milik siapa
pun, agar dapat merasa memiliki jimat atau sumber kekuatan. Suatu saat pernah seorang
anak laki-laki penutur asli bahasa jawa tamatan SD yang ingin unjuk kemampuan bahasa
Indonesianya dengan susah payah berkata kepada isteri saya: “Bu ini saya mau
mengembalikan anda.” Isteri saya sempat bengong: “Hei apa?” Dengan gugup ia
mencoba memperbaiki budi bahasanya kini dalam bahasa jawa: “Niki kulo ajeng
mangsulke anda.” Maksudnya ia mau mengembalikan tangga yang baru saja dipinjamnya
untuk memperbaiki genteng rumahnya yang melorot. Proses alih bahasa semacam ini
terus berlangsung dengan cepat dan penuh ketegangan di berbagai sektor hidup, termasuk
yang sering dilakukan para ilmuwan gagap berbahasa (Indonesia/Inggeris). Di sini orang
mendomestikkan jagad baru mereka. Dalam kasus di Solo yang diamati oleh Siegel
(1986: 87-116), misalnya pentas ludruk Srimulat mendomestikkan Dracula (hantu asing)
yang justeru populer karena keasingannya. Judul-judul pentas mereka ada dalam bahasa
asing, Indonesia dan campuran seperti: Killer of Play Papa; Violent Papa; Bulan Madu
dengan Mayat Hidup; Yang Binal yang Berontak; Kunci Nafsu Dracula; Gadis
Metropolitan; Hot Love Kuntilanak. Di sini budaya lama (soal hantu dan demit) tidak
lantas mati oleh kedatangan unsur budaya baru tetapi bertahan secara kreatif
(melawan hirarki bahasa baru).
2
Di Indonesia terdapat kira-kira 742 bahasa di antara 237 juta penduduk. Hanya 13 bahasa dipergunakan oleh lebih
dari sejuta orang. Jadi 729 bahasa lainnya dipergunakan oleh kurang dari sejuta orang, bahkan 169 bahasa di
antaranya dipergunakan oleh kurang dari 500 orang. (http://didikbudiarto.wordpress.com/2008/08/13/indonesiarepublik-dengan-742-bahasa/ )
Dari maestro antropologi struktural Claude Levi-Strauss (1995) kita bisa belajar
betapa posisi para penutur bahasa Indonesia sebagai lingua franca itu jadi seperti posisi
pasien dalam kompleks syamanisme, yang tidak jelas juntrung sakitnya dan tidak mampu
membahasakannya, kecuali dengan jalan menerima pembahasaan seorang syaman yang
diterima oleh masyarakatnya. Pengalaman patologis si pasien itu tak terperikan, seperti
tidak ada kata yang tepat untuk mengartikulasikanya, sementara bahasa ‘kolektif’ (omong
kosong) yang keluar dari mulut syaman mungkin itu-itu saja, biasa-biasa normal. Pasien
dalam situasi penuh arti yang tak terungkapkan, sementara kata-kata dalam tindak tanduk
syaman menderas kurang arti. Pasien tidak dapat menyembuhkan diri sendiri karena tidak
mampu menstrukturkan kegalauan yang menyakitkan ke dalam bahasa. Padahal syaman
pun hanya dapat samara-samar saja memahami si pasien. Bahasa syaman menjadi sumber
simbolisme sosial bagi pasien untuk menemukan koherensi-koherensi bagi sakit yang
dialaminya, sehingga ia mampu mengintegrasikan pengalamannya yang menyimpang dan
unik pada suatu sintesis yang normal (“kesembuhan”).3
B. PENYAJIAN
Setelah mendapatkan penjelasan dari diskusi/dialog yang telah dilakukan
bersama-sama, mahasiswa diharapkan dapat memahami pencarian identitas Indonesia
yang ternyata bukan berasal dari asli milik dirinya, tetapi lebih pada merupakan hasil
kreatif dari mengolah akulturasi yang terjadi antar etnis lokal di Indonesia. Mahasiswa
diharapkan dapat menjelaskan bagaimana kebudayaan yang dinamis ini terus mengalami
perkembangan sesuai dengan akulturasi yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan
demikian mahasiswa diharapkan menemukan kunci mengenai bagaimana mengolah
kreativitas dalam rangka mengembangkan kebudayaan untuk identitas Indonesia.
Aktivitas: Diskusi
Tugas: Mahasiswa diminta untuk membaca materi untuk pertemuan selanjutnya dan
membuat pertanyaan kritis atas pembacaannya serta terlibat aktif dalam diskusi di kelas.
C. PENUTUP
 Tes formatif dan kunci tes formatif: mahasiswa diminta untuk membaca setiap materi
sesuai topik bahasan setiap minggunya dan membuat pertanyaan kritis dari hasil
membaca materi tersebut dan memberikan contoh yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari.
 Petunjuk penilaian dan umpan balik:
Kriteria pertanyaan bernilai A: pertanyaan kritis yang merupakan hasil dari review materi
serta memiliki bobot untuk berpikir secara reflektif terkait
dengan isu sosial.
Kriteria pertanyaan bernilai B: pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam
materi.
Kriteria pertanyaan bernilai C: hanya menyuguhkan review tanpa membuat pertanyaan
kritis.
 Tindak lanjut: akumulasi nilai
3
Levi-Strauss meminjam istilah abreaksi dari kalangan psikologi untuk menjelaskan proses kesembuhan si pasien.
Download