2 Tinjauan Pustaka

advertisement
2
2.1
Tinjauan Pustaka
Mitokondria
Berdasarkan hipotesis endosimbiosis mitokondria berasal dari sel eukariot yang bersimbiosis
dengan prokariot (bakteri) sehingga membentuk organel sel (Marguillis, 1981). Adanya
DNA pada mitokondria menunjukkan bahwa dahulu mitokondria merupakan entitas yang
terpisah dari sel inangnya dan hipotesis ini ditunjang oleh beberapa kemiripan mitokondria
dengan bakteri. Mitokondria ini menyerupai bakteri mulai dari bereproduksi dengan cara
membelah diri menjadi dua; memiliki sistem genetik sendiri; dan memiliki ribosom.
Ribosom mitokondria lebih mirip dengan bakteri dibandingkan dengan ribosom yang dikode
oleh inti sel eukariot (Cooper, 2000).
Gambar 2. 1 Struktur mitokondria
Mitokondria berbentuk elips dengan diameter ~5 μm dan panjang 0,5 – 1,0 μm. Strukturnya terdiri
dari membran luar, membran dalam, krista, ruang antar membran, dan matriks yang mengandung
antara lain materi genetik, mtDNA, dan ribosom (Margullis, 1981).
Gambar 2.1 adalah struktur mitokondria yang merupakan organel sel penting dalam sel
eukariot, berbentuk elips, dan memiliki empat bagian penting yaitu: (1) membran luar, (2)
ruang antar-membran, (3) membran dalam, dan (4) matriks. Membran luar yang bersifat
permeabel; ruang antar-membran tempat dihasilkannya nukleotida kinase; membran dalam
yang berlekuk-lekuk, terjadi respirasi sel dan sintesis fosfolipid; serta di dalam matriks yang
terjadi oksidasi piruvat dan siklus asam sitrat (siklus Krebs). Mitokondria pada eukariot
berjumlah sangat banyak dan esensial karena tanpa mitokondria maka sel-sel akan
mengandalkan proses anaerob untuk menghasilkan ATP.
2.2
Fungsi Mitokondria
Peranan utama mitokondria adalah sebagai organel yang menghasilkan energi bagi sel berupa
ATP. Energi yang dihasilkan merupakan hasil konversi gula melalui proses fosforilasi
oksidatif dan menghasilkan sekitar 90% energi tubuh kita sehingga seringkali disebut “the
power house”. Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa keberadaan mitokondria
sangat diperlukan bagi tubuh.
Gambar 2. 2 Tiga tahap respirasi sel dalam mitokondria
Tahap pertama adalah pembentukan fragmen berkarbon dua teraktivasi (gugus asetil dari asetil
CoA) dari piruvat (sitoplasma), asam lemak (mitokondria), atau asam amino
(sitoplasma/mitokondria). Tahap kedua adalah oksidasi fragmen karbon dari gugus asetil dalam
siklus asam sitrat (mitokondria). Tahap ketiga adalah produksi ATP melalui sistem transpor elektron
dan fosforilasi oksidatif.
Pada tahap glikolisis, dihasilkan dua molekul ATP dan molekul piruvat yang kemudian masuk
ke dalam siklus asam sitrat untuk dioksidasi menjadi CO2 dan air. Pada siklus asam sitrat ini
dihasilkan sekitar tiga puluh molekul ATP untuk setiap molekul glukosa yang masuk ke dalam
glikolisis. Proses pembentukan energi ini dikenal sebagai fosforilasi oksidatif (OXPHOS)
yang terdiri atas lima tahapan reaksi enzimatis dan melibatkan kompleks enzim pada membran
dalam mitokondria. Pada fosforilasi oksidatif, molekul berenergi tinggi NADH dan FADH2
yang dihasilkan dari katabolisme karbohidrat, lipid, dan protein, akan dijadikan substrat untuk
diubah menjadi ATP. Pada Gambar 2.2 diilustrasikan secara umum tiga tahap respirasi yang
terjadi dalam mitokondria.
16
Kompleks enzim yang terlibat dalam proses transpor elektron terdiri dari kompleks I (NADH
dehidrogenase), kompleks II (suksinat dehidrogenase), kompleks III (koenzim Q-sitokrom C
reduktase), dan kompleks IB (sitokrom oksidase). Kompleks I menerima elektron dari NADH
dan mengalirkannya menuju koenzim-Q, bersamaan dengan pemompaan proton dari matriks
menuju ruang antar-membran. Selain itu, koenzim-Q juga akan menerima elektron dari
FADH2 (kompleks II) yang dihasilkan siklus Krebs dan elektron dari kompleks III. Elektron
dari koenzim-Q ini kemudian dialirkan menuju sitokrom C dan proses ini menyebabkan empat
proton terpompa dari matriks menuju ruang antar-membran. Proses saat elektron ini dialirkan
dari sitokrom C menuju O2 dan O2 direduksi menjadi H2O, dilakukan oleh kompleks IV yang
menghasilkan dua proton untuk dipompa dari matriks menuju ruang antar-membran.
Proses pemompaan proton dari matriks menuju ruang antar-membran mitokondria (reaksi
transpor elektron) di atas menyebabkan terbentuknya gradien elektrokimia, yaitu pH di ruang
antar-membran yang lebih rendah dibandingkan pH dalam matriks mitokondria. Perbedaan
proton ini mengandung energi potensial sehingga bila proton mengalir kembali melalui
kompleks V (ATP sintase), maka energi dilepas dan menggerakkan sintesis ATP dari ADP
dan fosfat inorganik (Browning, et al., 1982). Teori pembentukan ATP akibat adanya gradien
elektrokimia ini dikenal sebagai chemiosmotic coupling yang diilustrasikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2. 3 Proses pembentukan ATP menurut teori chemiosmotic coupling pada
matriks mitokondria
Proses transpor elektron menyebabkan terjadinya gradien pH dimana pH pada ruang antar membran
lebih rendah dibandingkan dengan pH di dalam matriks mitokondria. Gradien pH ini mengandung
energi potensial. Bila proton mengalir kembali, maka energi dilepaskan dan menggerakkan sintesis
ATP oleh ATP sintase (kompleks V) (Browning, et al., 1982).
17
2.3
DNA Mitokondria
Mitokondria memiliki materi genetik sendiri yaitu DNA mitokondria, berbentuk sirkuler
tertutup yang terdiri atas untai H (Heavy) yang memiliki basa G lebih banyak dan untai L
(Light) yang memiliki basa C lebih banyak (Wallace, 1997). DNA mitokondria manusia
(Gambar 2.4) tidak memiliki intron dan semua gen pengode terletak berdampingan (Anderson
et al., 1981, Wallace et al., 1992, Zeviani et. al., 1998). Urutan lengkapnya pertama kali
ditentukan pada tahun 1981 oleh Anderson et al. dan dikenal dengan sebutan Cambridge
Reference Sequence (CRS). DNA mitokondria pada CRS mengandung 16.569 pasang basa
dengan 37 gen pengode 13 protein, 22tRNA, dan dua rRNA. Sedangkan gen sisanya
menyediakan perintah dalam pembuatan tRNA dan rRNA. Tiga belas polipeptida ini
merupakan subunit kompleks enzim yang terlibat dalam fosforilasi oksidatif, yaitu : subunit 1,
2, 3, 4, 4L, 5, dan 6 dari kompleks I (NADH dehidrogenase); subunit b (sitokrom b) dari
kompleks III (koenzim Q - sitokrom C reduktase); subunit I, II, dan III dari kompleks IV
(sitokrom oksidase); serta subunit 6 dan 8 dari kompleks V (ATP sintase).
D-Loop
Gambar 2. 4
Struktur DNA mitokondria
mtDNA berbentuk sirkular, beruntai ganda (untai H untuk Heavy dan untai L untuk Light), berukuran
16569 pb yang terdiri dari daerah pengode (coding region) yang mengode 2 rRNA, 22 tRNA, 13
polipeptida dan daerah yang tidak mengode (non coding region) atau daerah pengontrol yang
mengandung D-loop. D-loop ini terdiri atas dua daerah dengan variasi tinggi, yaitu hypervariable
segment I (HVSI) dan hypervariable segment II (HVSII). (Anderson et al.., 1981, Wallace et al..,
1992, Zeviani et al.., 1998).
18
Secara umum, mtDNA terdiri atas daerah pengode dan daerah non-pengode. Selain daerah
pengode yang telah dijelaskan sebelumnya, DNA mitokondria juga memiliki daerah yang
tidak mengode (non-coding region) sepanjang 1122 pb. Daerah non-pengode ini mengandung
daerah yang memiliki variasi tinggi pada tiap individu yang disebut dengan displacement loop
(D-loop) sehingga seringkali digunakan untuk keperluan studi filogenetik. D-loop merupakan
daerah beruntai tiga (triple stranded), dan untai ketiga ini lebih dikenal dengan nama 7S
DNA. Terlihat pada Gambar 2.4 bahwa D-loop ini memiliki dua daerah yang sangat
bervariasi, yaitu Hypervariable Region I (HVSI) pada posisi 16024-16365 dan Hypervariable
Region II (HVSII) pada posisi 57-732. Selain D-loop juga terdapat daerah pengontrol atau
non-coding region yang mengandung origin of replication (ORI) untuk untai (OH) dan
promotor untuk untai H dan L (PL dan PH). Selain mengandung daerah dengan variasi tinggi,
daerah non coding juga memiliki tiga daerah yang lestari, yang disebut dengan Conserved
Sequence Block (CSB) I, II, dan III. Daerah yang lestari ini diduga memegang peranan penting
dalam replikasi mtDNA.
Jika dilihat dari sifatnya, DNA mitokondria memiliki sifat yang berbeda dengan DNA inti
karena tidak adanya mekanisme perbaikan (repairing system) dan kandungan radikal bebas
yang tinggi pada mitokondria sehingga laju mutasi pada mtDNA ini lebih tinggi dibanding
DNA inti. Secara umum, tiga hal mendasar yang membedakan genom mitokondria dengan
genom inti yaitu (1) Tingkat polimorfisme mtDNA lebih tinggi, ditunjukkan dengan laju
mutasi yang lebih tinggi bila dibandingkan laju mutasi DNA inti; (2) Pewarisan mtDNA
spesifik, yaitu hanya diturunkan melalui garis keturunan ibu tanpa disertai dengan adanya
rekombinasi mtDNA ayah; (3) Memiliki sistem kode genetik yang berbeda dengan sistem
kode genetik DNA inti (Anderson, et al. 1981).
2.4
2.4.1
Sifat DNA Mitokondria
Pola pewarisan secara maternal
Berbeda halnya dengan DNA inti, DNA mitokondria diwariskan melalui garis keturunan ibu
(Browning, et al., 1982). Hal ini terjadi karena hampir tidak adanya rekombinasi DNA
mitokondria dari ayah dan DNA mitokondria dari ibu saat pembuahan sel telur oleh sperma.
Saat terjadi pembuahan, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hampir tidak ada DNA
mitokondria dari ayah yang masuk ke dalam sel telur. Selain itu, jumlah kopi mtDNA pada sel
sperma sangat rendah (100-500) sedangkan sel telur memiliki jumlah kopi mtDNA yang
tinggi ( ≥ 100000) (Chen et al.., 1995). Oleh karena itu, mtDNA bersifat haploid yaitu karena
diturunkan dari ibu ke seluruh keturunannya (Gambar 2.5) (Cann et al., 1987, Wallace, 1997).
19
Gambar 2. 5
Skema pewarisan DNA mitokondria
Pola pewarisan DNA mitokondria ditunjukkan dengan warna merah yang diwariskan
melalui garis keturunan ibu
2.4.2
Laju Mutasi mtDNA
Sifat lainnya DNA mitokondria adalah laju mutasinya yang tinggi sekitar 10-17 kali DNA inti
(Wallace, et al., 1997). Hal ini disebabkan karena mtDNA yang tidak memiliki mekanisme
reparasi DNA yang efisien (Bogenhagen, 1999); terletak berdekatan dengan membran dalam
mitokondria tempat berlangsungnya reaksi fosforilasi oksidatif yang menghasilkan radikal
oksigen; dan tidak memiliki protein pelindung seperti histon. Akibat tidak adanya aktivitas ini
menyebabkan pada mtDNA ini tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat menghilangkan
kesalahan replikasi sehingga mutasi pada mtDNA akan mudah terjadi. Perbedaan sifat DNA
mitokondria dengan DNA inti ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Perbedaan karakteristik DNA inti dan DNA mitokondria manusia (Sudoyo,
2003)
Karakteristik
DNA Inti
DNA Mitokondria
Ukuran
3 x 109 pb
16.569 pb
Kopi/sel
1
Bisa > 1000
Struktur
Linear
Sirkular
Pewarisan
Paternal & Maternal
Maternal
Rekombinasi
Ya
Tidak
Laju Mutasi
Rendah
Tinggi
Mutasi yang dapat terjadi pada DNA mitokondria sama halnya dengan jenis mutasi yang juga
terjadi pada DNA inti, yaitu substitusi, delesi, dan insersi. Substitusi terbagi menjadi dua jenis,
yaitu (1) substitusi transisi, yaitu perubahan nukleotida menjadi nukleotida lain yang jenis
20
basanya sama, dari purin menjadi purin atau dari pirimidin menjadi pirimidin, misalnya
substitusi A
G , C → T, dan sebaliknya, serta (2) substitusi transverse, yaitu perubahan
nukleotida menjadi nukleotida lain yang jenis basanya berbeda, dari purin menjadi pirimidin
atau sebaliknya, misalnya dari A → C dan C → G. Substitusi terjadi ketika ada perubahan
basa pada nukleotida. Insersi terjadi akibat adanya penyisipan nukleotida, sedangkan delesi
terjadi akibat adanya pengurangan nukleotida.
DNA polimerase γ untuk replikasi DNA mitokondria merupakan DNA polimerase yang tidak
mempunyai aktivitas proofreading (eksonuklease) sehingga mtDNA ini tidak memiliki sistem
perbaikan untuk menghilangkan kesalahan replikasi dan mudah terjadi mutasi. Mutasi yang
terjadi akan diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga semakin jauh
hubungan kekerabatan antara dua individu, maka semakin jauh pula jumlah perbedaan mutasi.
Variasi basa atau polimorfisme yang disebabkan mutasi disebut dengan Single Nucleotide
Polymorphism (SNP) yang dapat terjadi pada daerah pengode (coding region) maupun daerah
bukan pengode (noncoding region).
2.5
Mitochondrial Disease
Mitochondrial disease merupakan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan mitokondria,
biasanya muncul sebagai akibat dari terjadinya disfungsi mitokondria dalam proses
pengubahan energi (ATP) pada tahap respirasi. Tahap respirasi di mitokondria merupakan
metabolisme aerob yang penting karena jaringan dan organ tubuh kita bergantung pada energi
yang dihasilkan dari metabolisme aerob ini. Mitochondrial disease ini juga memiliki ciri khas
yang unik karena sifat penyakitnya yang seringkali diturunkan dan dihubungkan dengan
mitokondria karena mitokondria sebagai organel sel yang penting bagi sel tubuh. Oleh karena
itu, jaringan dan organ tubuh yang terlibat dengan mitochondrial disease ini biasanya
merupakan jaringan yang membutuhkan energi banyak dan bergantung pada metabolisme
aerob tersebut (Wallace, 1997).
Lebih dari 70 polipeptida berbeda yang berinteraksi dengan membran dalam mitokondria
untuk membentuk suatu sistem rantai respirasi. Sebagian besar subunit enzim ini disintesis
oleh DNA inti di sitosol, tetapi 13 subunit esensial justru dikode oleh DNA mitokondria. Pada
struktur DNA mitokondria (Gambar 2.4), daerah ND1-ND6 dan ND4L mengode tujuh subunit
dari kompleks I. Cyt b merupakan satu-satunya mtDNA yang mengode subunit kompleks III.
COX I hingga III mengode subunit kompleks IV (sitokrom c oksidase atau COX), dan gen
ATPase 6 serta ATPase 8 mengode dua subunit dari kompleks V. Dua gen RNA ribosom (12S
dan 16S rRNA) dan 22 gen RNA transpor berada di antara gen pengode protein. Gen tRNA
dan rRNA ini menyediakan komponen RNA yang penting bagi sintesis protein di dalam
21
mitokondria. OH dan OL merupakan origin of replication dari untai H (heavy) dan untai L
(Light).
Masing-masing sel manusia saat lahir mengandung ribuan kopian mtDNA yang biasanya
identik (homoplasmi). Manusia dengan penyakit “mitochondrial disease” yang merupakan
hasil mutasi DNA mitokondria biasanya adalah campuran dari mutan dan wild-type DNA
mitokondria pada sel-selnya (heteroplasmi). Suatu studi mengatakan bahwa proporsi mutan
DNA harus melebihi tingkat kritis tertentu sebelum sel akhirnya mengekspresikan
keabnormalan biokimia dari rantai respirasi pada mitokondria. Mutasi mutan DNA
mitokondria bisa bervariasi antar individu dalam satu keluarga bahkan juga bisa bervariasi
antar jaringan dan organ dalam satu individu. Contohnya adalah pada individu yang memiliki
mutasi 8993T>G lebih tinggi akan memperlihatkan penyakit Leigh syndrome dibandingkan
memperlihatkan penyakit neurogenic weakness with ataxia and retinitis pigmentosa (NARP).
Secara umum beberapa penyakit yang disebabkan kecacatan mitokondria (mitochondrial
disease) ini dapat dilihat pada Tabel 2.2 yang diklasifikasikan berdasarkan genetik.
Tabel 2. 2 Klasifikasi genetik dari Mitochondrial Disorder yang disebabkan adanya
kecacatan DNA mitokondria
Penyakit
Gen
LHON
(Leber's hereditary optic neuropathy)
Pengode protein
NARP atau Leigh syndrome
(Neuropathy, ataxia, retinitis pigmentosa, and
ptosis)
Exercise intolerance and myoglubinuria
MELAS
(Mitochondrial encephalomyopathy with lactic
acidosis and stroke-like episode)
MERRF
(Myoclonus epilepsy with ragged-red fibers)
CPEO
(chronic progressive external ophthalmoplegia)
tRNA
Myopathy
tRNA
Encephalomyopathy
tRNA
Cardiomyopathy
tRNA
MIDD
(Maternally Inherited Diabetes and Deafness)
tRNA
Mutasi
G11778A,
T14484C,
G3460A
Pengode protein
T8993G/C
Pengode protein
Mutasi Cyt b
A3243G,
T3271C,
A3251G
A8344G,
T8356C
A3243G,
T4274C
T14709C,
A12320G
G1606A,
T10010C
A3243G,
A4269G
A3243G,
C12258A
tRNA
tRNA
22
2.5.1
MIDD (Maternally Inherited Diabetes and Deafness)
Maternally Inherited Diabetes and Deafness (MIDD) ini merupakan klasifikasi penyakit
dengan kombinasi gejala diabetes dan tuli (deafness) dan diwariskan berdasarkan garis
keturunan ibu. Telah banyak publikasi menyatakan bahwa penyakit ini terjadi karena adanya
”single defect” pada pengode genetik di DNA mitokondria. Cacat genetik yang terjadi pada
DNA mitokondria akan berpengaruh pada sintesis protein dalam mitokondria sehingga
akhirnya berdampak pada proses konversi energi. Jaringan tubuh yang memiliki resiko
terbesar akibat defisiensi energi ini adalah telinga dan pankreas sehingga berakhir pada
timbulnya gejala diabetes dan ketulian. Penyakit MIDD ini timbul jika sifat DNA mitokondria
pada penderita adalah heteroplasmi, yaitu ketika mtDNA mutan mencapai tingkat tertentu
hingga mitokondria dapat dikatakan mengalami kecacatan.
MIDD merupakan mitochondrial disease yang disebabkan adanya mutasi pada gen tRNALeu
yaitu mutasi A3243G. Mutasi A3243G juga menjadi salah satu kecacatan yang berkaitan
dengan penyakit MELAS (Mitochondrial Encephalomyopathy with Lactic Acidosis and
Stroke-like episode). Mutasi yang terjadi pada posisi 3243 ini diduga mengarah kepada
disfungsi mitokondria yaitu pengurangan protein sintesis yang dikode oleh mtDNA sehingga
terjadi ketidak-seimbangan protein yang dikode oleh DNA inti dengan protein yang dikode
oleh genom mitokondria. Beberapa publikasi juga melaporkan bahwa mutasi A3243G ini
memang menyebabkan timbul gejala diabetes karena terjadi penurunan sekresi insulin oleh sel
beta-pankreas atau terjadi perubahan sensor glukosa pada sel beta pankreas sendiri.
2.6
Teknologi PCR
PCR atau Polymerase Chain Reaction merupakan teknik in vitro tanpa menggunakan
organisme hidup untuk mengamplifikasi daerah spesifik suatu DNA yang dibatasi oleh
sepasang primer (oligonukleotida pendek) menggunakan enzim DNA polimerase dan dNTP
sebagai monomernya (Innis and Gelfand, 1990). Metode yang meraih nobel tahun 1993 ini
mampu memperbanyak sampel DNA yang sedikit menjadi lebih dari satu miliar kopi. Metode
PCR ini memiliki keunggulan dibandingkan teknik amplifikasi DNA lainnya yaitu sensitif
(hanya dengan sebuah fragmen kecil maka proses sudah dapat berjalan), cepat (dapat
dilakukan dengan waktu kurang dari satu hari), dan aman (tidak menggunakan bahan
radioaktif dan larutan organik berbahaya). Melalui metode perbanyakan DNA ini akan
mempermudah pekerjaan peneliti untuk menganalisis DNA. Selain itu, metode PCR ini juga
membantu peneliti dalam pembuatan suatu mutasi yang disebut dengan metode site directed
mutagenesis atau mutasi terarah.
23
Bahan-bahan yang dibutuhkan agar reaksi amplifikasi dapat berjalan adalah:
1. DNA templat, diperoleh dari sampel yang mengandung fragmen DNA yang
diinginkan untuk diperbanyak atau diamplifikasi.
2. Taq buffer (buffer PCR), sebagai penyedia dan penjaga suasana kimia dalam larutan
agar enzim polimerase dapat berfungsi dengan baik.
3. Primer, yang digunakan terdiri dari primer forward (maju) dan reverse (balik) yang
urutannya merupakan komplemen dari masing-masing untai DNA.
4. dNTP, sebagai sumber nukleotida untuk memperpanjang rantai DNA primer yang
menjadi daerah awal berjalannya proses perbanyakan.
5. Enzim Taq polimerase, yaitu enzim yang diisolasi dari bakteri termofilik dan
berfungsi sebagai katalis perpanjangan rantai (polimerisasi). Serupa halnya dengan
DNA polimerase yang ada dalam tubuh kita saat proses replikasi.
6. MgCl2, sebagai kofaktor enzim yang esensial dalam reaksi amplifikasi. Untuk
mendapatkan hasil perbanyakan yang baik maka biasanya dilakukan optimasi
konsentrasi MgCl2 untuk setiap primer dan templat yang digunakan.
Secara umum cara kerja PCR terbagi menjadi 3 tahap yang digambarkan dalam Gambar 2.6.
Tahap pertama adalah pemisahan DNA untai ganda menjadi untai tunggal karena terjadi
pemutusan ikatan hidrogen basa-basanya pada suhu tinggi (94-96oC) selama minimum lima
menit. Suhu yang tinggi ini biasanya merupakan suhu tertentu di atas titik leleh DNA tersebut.
Lalu diikuti dengan tahapan kedua, yaitu penempelan primer pada templat DNA yang
umumnya dilakukan pada suhu 45-60°C atau 5°C dibawah temperatur denaturasi, dengan
waktu kurang lebih satu menit. Biasanya suhu penempelan ini juga dapat dihitung berdasarkan
nilai melting temperature (Tm) dari primer yang digunakan. Temperatur yang digunakan diatur
sedemikian rupa sehingga tidak terlalu rendah. Jika temperatur terlalu rendah maka dapat
mengakibatkan terjadinya penempelan primer yang salah pada DNA tersebut. Konsentrasi
primer juga dibuat cukup tinggi untuk mencegah terjadinya penempelan templat kembali.
Pada tahapan ketiga adalah tahapan perpanjangan rantai yang umumnya dilakukan pada suhu
sekitar 72°C atau tergantung jenis polimerase yang digunakan agar enzim polimerase bekerja
optimal. Waktu yang dibutuhkan pada tahap pemanjangan ini tergantung pada panjang
fragmen yang diamplifikasi dan kecepatan reaksi (processity) dari enzim DNA polymerase
yang digunakan. Tahap reaksi polimerisasi dilakukan oleh enzim Taq polimerase
menggunakan dNTP sebagai monomernya dan dimulai dari ujung 3’ primer sepanjang templat
DNA hingga terbentuk untai DNA baru. Perpanjangan rantai ini selalu berjalan dari arah 5’ ke
3’. Rantai baru akan menjadi templat untuk reaksi berikutnya. Ketiga tahap tersebut sama
24
dengan satu siklus, dan proses akan terus berjalan selama beberapa siklus sampai mencapai
jumlah DNA yang diinginkan. Siklus yang dibutuhkan oleh sampel bergantung dari templat
dan jenis primer yang digunakan. Hal yang harus diperhatikan adalah pada proses penempelan
primer dan suhu perpanjangan rantai, karena proses inilah yang menjadi penentu apakah DNA
tersebut berhasil teramplifikasi atau tidak. Tahap terakhir dari PCR adalah tahap pemantapan
yang merupakan tahap untuk meyakinkan bahwa rantai DNA telah teramplifikasi semuanya.
Suhu pada tahap ini berada pada kisaran 72OC. Bila ada rantai yang belum teramplifikasi
dengan sempurna maka rantai tersebut akan terurai kembali sehingga tidak mengganggu
proses selanjutnya yaitu sekuensing. Skema PCR secara umum tergambar pada Gambar 2.6.
Gambar 2. 6
Skema PCR
Garis biru melambangkan template, garis merah melambangkan primer, garis hijau melambangkan
rantai baru. (1)Tahap denaturasi. (2)Tahap penempelan primer. (3)Tahap perpanjangan rantai,
P=Polimerase. (4)Siklus pertama selesai dengan dihasilkannya dua pasang DNA yang akan
menjadi template di reaksi berikutnya.
2.7
Rujukan Analisis MtDNA
Analisis
urutan
nukleotida
pada
fragmen
DNA
mitokondria
dilakukan
dengan
membandingkan urutan nukleotida sampel terhadap urutan nukleotida standar pada basis data
revised Cambridge Reference Sequence (rCRS) oleh Andrews et al. (1999) yang merupakan
perbaikan dari basis data original Cambridge Reference Sequence (CRS) (Anderson et al.,
1981). Data rCRS ini terakhir diperbaharui pada 7 Mei 2008. Selain itu urutan nukleotida
25
sampel juga dibandingkan terhadap data-data sekunder yang didapat dari basis data mutasi
pada Mitomap.
2.7.1
Cambridge Reference Sequence
Cambridge Reference Sequence (CRS) adalah urutan mtDNA manusia yang ditentukan
pertama kali oleh Anderson, et al. (1981). Kini CRS telah diperbaharui oleh Andrews et al.
(1999) dengan beberapa perbaikan sehingga urutan mtDNA ini dipublikasikan pada revised
Cambridge Reference Sequence (rCRS). Publikasi organisasi genom DNA mitokondria
pertama ini terdiri dari rRNA 12S, rRNA 16S, 22 tRNA, dan 13 gen pengode polipeptida, dan
daerah yang tidak mengode protein yaitu D-loop. Pada data di rCRS dilakukan pengulangan
sequencing oleh peneliti lain sebanyak tiga kali karena ditemukan beberapa ketidaksesuaian.
Dalam pengulangan berikutnya, dilaporkan bahwa publikasi original mengandung sebelas
kesalahan sequencing, termasuk satu tambahan pasangan basa di posisi 3107. Hasil perbaikan
yang dipublikasikan oleh Andrews, et al. pada tahun 1999 ini tetap mempertahankan nomor
urutan nukleotida untuk menghindari kebingungan. Urutan mtDNA yang menjadi referensi ini
berasal dari ras eropa yang termasuk dalam Haplogrup H.
Dalam studi yang berkaitan dengan mtDNA manusia misalnya studi antropologi dan studi
penentuan mutasi yang berkaitan dengan penyakit, urutan CRS juga digunakan sebagai urutan
nukleotida mtDNA standar (Marzuki et al., 1991). CRS hanyalah merupakan sebuah urutan
yang dijadikan acuan atau standar dan bukan dokumen mtDNA manusia terdahulu sehingga
perbedaan ini bukan berarti mutasi dalam keadaan yang sesungguhnya. Gambar 2.7
menunjukkan urutan nukleotida Cambridge Reference Sequence daerah 2900-4000 (daerah
yang akan diamplifikasi dan dianalisis pada penelitian ini) yang diambil dari Mitomap. Urutan
nukleotida yang digunakan sebagai standar dalam penelitian ini adalah modifikasi atau revisi
terbaru Cambridge Reference Sequence (REFSEQ AC_000021.2 gi:115315570 dan GenBank
J01415.2 gi:113200490 (Mitomap, 2008).
26
Gambar 2. 7
Fragmen yang akan dianalisis dan diamplifikasi, yaitu posisi 2900-3800
Urutan nukleotida posisi 2900-3800 sebagai daerah yang akan diamplifikasi untuk menganalisis
daerah mutasi pada posisi 3243 diambil dari data Cambridge Reference Sequence.
2.7.2
Mitomap
Penelitian mengenai polimorfisme yang terjadi pada daerah pengode dan menimbulkan
penyakit ataupun polimorfisme yang terjadi pada daerah non-pengode seperti D-loop serta
penelitian mengenai keragaman mtDNA manusia telah banyak dilakukan. Mutasi-mutasi yang
teramati
dicatat
dalam
suatu
basis
data
yang
dapat
diakses
melalui
situs
http://www.mitomap.org. Basis data ini berisi mutasi-mutasi termasuk mutasi substitusi, delesi
dan insersi yang terjadi di daerah pengode maupun non-pengode, yang menyebabkan penyakit
maupun tidak, posisi mutasi tersebut, serta sumber publikasinya. Mitomap menggunakan
pembacaan urutan nukleotida DNA mitokondria untuk mendapatkan informasi-informasi
mengenai struktur DNA mitokondria, fungsi, mutasi-mutasi patogen, karakteristik klinis,
kaitan variasinya dengan populasi, dan interaksi antar gen. Gambar 2.8 menunjukkan tampilan
Mitomap yang berisi daftar mutasi (substitusi basa) yang berkaitan dengan penyakit.
27
Gambar 2. 8
Tampilan Mitomap untuk mutasi yang terkait dengan penyakit
Mitomap ini menunjukkan daftar mutasi yang dapat menyebabkan penyakit dan sudah
dipublikasikan. Sumber publikasi dapat dilihat pada kolom ‘Reference’
(http://www.mitomap.org) dengan tanggal akses 5 Juni 2008.
2.8
Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang memiliki kecenderungan
diturunkan secara genetik, berasal dari kata Yunani διαβαίνειν (diabaínein), "tembus" atau
"pancuran air", dan kata Latin mellitus, “rasa manis”. Umumnya dikenal sebagai kencing
manis dan merupakan penyakit yang ditandai dengan hiperglisemia (peningkatan kadar gula
darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Adapun sumber lain yang
menyebutkan bahwa Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglisemia kronik yang disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal sehingga menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah. Hiperglisemia sendiri dapat
menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis serta komplikasi jangka lama termasuk penyakit
kardiovaskular, kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang
dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan
gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar
gula darah buruk.
28
2.8.1
Jenis Diabetes Mellitus
Menurut World Health Organization (WHO) terdapat tiga jenis penyakit Diabetes Mellitus,
yaitu tipe-1, tipe-2, dan gestational diabetes atau diabetes saat kehamilan. Pada jenis diabetes
tipe-1 atau biasa disebut insulin-dependent diabetes (IDDM, diabetes yang tergantung pada
insulin), dicirikan dengan kurangnya produksi insulin atau bahkan hilangnya sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin
pada tubuh. Penyebab utama hilangnya sel beta pankreas ini adalah kesalahan reaksi
autoimunitas, yaitu suatu reaksi tubuh penderita sendiri yang menghancurkan sel beta
pankreas. Autoimunitas ini dapat terjadi karena dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Diabetes tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa. Diabetes tipe-1 ini
hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin dengan pengawasan teliti terhadap tingkat
glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Penderita diabetes tipe-1 juga rentan
terjadi ketoasidosis, yaitu suatu keadaan saat darah menjadi asam akibat dihasilkannya keton
ketika sel lemak dipecah sebagai sumber energi selain glukosa.
Diabetes Mellitus tipe-2 seringkali disebut non-insulin-dependent Diabetes Mellitus (NIDDM,
diabetes yang tidak bergantung pada insulin), terjadi karena kombinasi dari kecacatan sekresi
insulin dan resistensi jaringan tubuh terhadap insulin atau berkurangnya sensitivitas reseptor
insulin terhadap insulin di membran sel. Pada tahap awal gejala yang paling utama adalah
berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin
di dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatas dengan berbagai cara yaitu dengan
mengonsumsi obat Anti-Diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin.
Hampir 55% penderita diabetes tipe-2 ini mengalami obesitas atau kegemukan. Diabetes tipe2 ini dapat diderita oleh orang dewasa ataupun anak-anak dan terkadang tidak menunjukkan
gejala-gejala selama beberapa tahun.
Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2006,
seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan
pada tes sewaktu >200 mg/dL. Tingkat glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus
sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dL, 4-6 mmol/L). Angka di atas 200 mg/dL
(10 mmol/L) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu
sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dL (15 mmol/L) biasanya
membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Peningkatan kadar
gula darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin
sehingga mencegah kenaikan kadar gula darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula
darah menurun secara perlahan.
29
2.8.2
Gejala Diabetes
Gejala awal berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi mencapai
160-180 mg/dL sehingga glukosa akan dikeluarkan melalui urin. Jika kadarnya lebih tinggi
lagi maka ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa
yang hilang. Oleh karena ginjal menghasilkan urin dalam jumlah yang berlebihan, maka
penderita sering buang air (urin) dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibatnya adalah
penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Ketika
sejumlah besar kalori hilang ke dalam urin sehingga penderita mengalami penurunan berat
badan, maka penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan
(polifagi). Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan
tubuh selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang gula darahnya kurang terkontrol
lebih peka terhadap infeksi.
Pada penderita diabetes tipe-1, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan
cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula dalam
darah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan glukosa tanpa peranan
insulin, maka sel-sel ini akan mengambil energi dari sumber yang lain yaitu sel lemak. Ketika
sel lemak dipecah dan menghasilkan keton maka darah pun akan bersifat asam, gejala ini
disebut ketoasidosis. Gejala awal ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan buang urin
yang berlebihan, mual, muntah, lelah, dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan
menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah, serta
bau napas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan selanjutnya, ketoasidosis
diabetikum dapat berkembang menjadi koma dalam waktu hanya beberapa jam.
Pada penderita diabetes tipe-2 justru tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun.
Ketika kekurangan insulin semakin parah maka timbul gejala sering buang air kecil dan sering
merasa haus. Jika kadar gula darah sangat tinggi (lebih dari 1.000 mg/dL biasanya terjadi
akibat stres), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat dan menyebabkan kebingungan
mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar
non-ketotik.
30
Download