Balada Warga Indonesia Penderita Gangguan Jiwa Oleh : Subagyo Kamis, 08 Januari 2015 20:08 KOPI - Saya akan menceritakan balada orang gila ini dengan cara berfikir orang awam pada umumnya, yang tentu saja banyak salah pengertian dan salah perlakuan sehingga lebih banyak membuat kemudharatan dari kebaikan terhadap si penderita dan keluarganya. Tentu saja dengan harapan bahwa ada upaya yang positif dan tidak berbelit-belit dari masyarakat yang dimotori oleh institusi tempat rakyat awam mengharapkan perlakuan yang benar dari Pemerintah sebagai esensi kekuatan masyarakat. Masyarakat menganggap orang yang menderita gangguan ini jiwa lebih kepada rasa jengkel, jijik, menghindar, sampai ke pengusiran dari lingkungan, pengucilan dan pemasungan. Sedang para sanak familinya lebih banyak mengucilkan dari menolong, ataupun tidak mengerti bagaimana menolongnya. Paling paling hanya memberi sedekah sekedarnya dan mengusirnya secara halus maupun kasar layaknya seorang pengemis. Kami orang awam tahu bahwa gangguan jiwa itu “gila” dan memberi aib keluarga. Kami masyarakat juga mulai tahu bahwa kegilaan itu bila dirunut lebih mendalam sangat dipicu oleh ketimpangan masyarakat. Jadi makin timpang masyarakat, kasus gangguan jiwa makin meningkat. Dari itu masyarakat selalu menghubungkan penyakit ini dengan ajaran agama, mengenai gradasi rezeki dan nasib manusia yang sangat timpang, maka yang dianggap pakar dalam agama sekaligus pasti mampu mengobati gangguan ini, artinya bisa menjadikan si pendertia tenang jiwanya. Apa kenyataannya demikian ? Ternyata tidak selalu. Konsekuensinya, esensi dari masyarakat yaitu Negara yang nyata dari pemerintahannya harus waspada dan lebih sungguh-sungguh menangani gangguan ini, bila semakin merasa masyarakatnya masih timpang. Karena dalam periode di mana diperlukan pengerahan “fund and force” untuk membangun Negara, 1 – 2 % dari jumlah penduduk, usia produktif menderita gangguan jiwa bisa mencapai 8% pada umur produktif akan menjadikan spiral menurun dari kekuatan ekonomi masyarakat karena penanganan yang salah. Maka Negara nampak sangat primitif, dana dan tenaga sanak famili bila ada, yang diharapkan 1/5 Balada Warga Indonesia Penderita Gangguan Jiwa Oleh : Subagyo Kamis, 08 Januari 2015 20:08 Negara, terbuang tidak produktif. Penanganan oleh Negara memang sudah dituangkan dalam konstitusi dasar UUD tahun 1945, hanya pelaksanaannya bisa menyimpang sejauh pengertian pelaksanaannya yang memang masih rendah derajad kebudayaan sang pelaku birokrasi. Gangguan jiwa bahasa halus dari kata “gila” khalayak umum lebih senang membedakan gangguan jiwa dengan “stress ringan” atau “stress berat” padahal keduanya juga masih termasuk gangguan jiwa. Anggapan umum stress masih lebih terhormat dari gila, bedanya hanya bila stress itu ada pemicunya, kebanyakan pemicu ini adalan kondisi kehidupan yang dirasa berat, tak tertanggungkan, sedangkan gila itu pemicunya dari dalam penderita itu sendiri, atau nyaris tanpa pemicu apa-apa dari luar dirinya, sekali lagi ini pandangan umum, jadi umum menganggap stress biasa maupun berat masih bisa ditenangkan atau disembuhkan, pulih seperti semula. Sedang selain itu semua gangguan jiwa ya gila, dari jenis ini ada yang sangat sulit disembuhkan dengan obat pharmasi ada yang bisa ditenangkan dengan obat , durasi keadaan normal tidak ada yang bisa mengatakan bila tanpa obat dokter. Meskipun kenyataannya disiplin ilmu mengenai gangguan jiwa ini termasuk cabang ilmu kedokteran yang paling ketinggalan, tapi setidaknya gangguan jiwa sudah dipilah-pilah antara neurosis dan pschychosis, malah sekarang dipisahkan antara kafedra saraf dan kafedra ganggugan jiwa. Malah sudah ditandai dasar material di otak yang mengendalikan berbagai kegiatan otak, misalnya yang barusan mendapatkan hadiah Nobel adalah penemuan material di otak yang menjadi dasar mengingat lokasi/tempat atau GPS (geo positioning system) pada computer. Ilmu Kedokteran juga telah mengklasifikasi gangguan jiwa, akan tetapi umum atau masyarakat belum mendapat pengertian secara semestinya mengenai itu misalnya golongan paranoid, golongan schisophrenic golongan maniac, golongan phobia dan lain lainya, yang tentu saja menggolongkan juga tingkat bahayanya terhadap masyarakat, karena penyakit gangguan jiwa dalah penyakit masyarakat dengan kata lain gangguan ini menyebabkan orang jadi bersifat menyebal dari kaidah bermasyarakat secara umum dan hampir tidak bisa mengikuti kaidah umum hidup bermasyarakat. Sangat mengganggu kehidupan normal dan harmony masyarakat. Misalnya ”kleptomania” kecenderungan suka mencuri, alangkah fatalnya bila pencuri kambuhan ini dianggap kejahatan yang dihukum badan, bukan diobati seperti penyakit. Lha, apa yang bisa diperbuat masyarakat untuk menangkal gangguan harmony pergaulan yang sudah sangat tegang oleh keadaan ekonomi yang timpang ini ? Yang selalu jadi kendala adalah hubungan antara Negara dengan masyarakat. Negara menjadi nyata bagi masyarakat dengan adanya institusi pemerintahan baik yang 2/5 Balada Warga Indonesia Penderita Gangguan Jiwa Oleh : Subagyo Kamis, 08 Januari 2015 20:08 administratif, pengawasan dan pengendalian demi kepentingan umum, maupun keamanan. Dari menteri ke Lurah/Kepala Desa, dan institusi teknis seperti rumah sakit, kelistrikan, jalan dan pemeliharaannya, polisi dan sebagainya yang dibiayai Negara Pemerintahan Pusat dan Daerah – yang sayangnya sudah enampuluh lima tahun merdeka ini masih sangat rentan terhadap panyalahgunaan wewenang di semua tingkat dan korupsi berjama’ah alias penjarahan uang Negara oleh aparatnya sendiri di semua bidang. Masyarakat mengikuti sistem yang diciptakan oleh Pelaksana Pemerintahan Negara, meskipun undang-undang masih harus “di-ingat”. Peraturan Negara dan Daerah sampai ke Undang Undang Dasar bisa dibengkokkan ditafsirkan seenak perut Penguasa demi kepentingan pribadi dan golongan. Sebagian kecil dari praktek itu adalah Rumah Sakit mewah di Jakarta yang menuntut pasiennya hungga mencederai perasaan umum, demi menangguk uang. Begitu pula penampungan orang sakit jiwa, banyak usaha untuk menangguk dana dari Pemerintah Daerah maupun donatur swasta untuk mencuci uang curian, yang pasti keluarga dari si penderita gangguan jiwa yang diincar, yang lolos beroperasi bukan demi kepentingan penderita, tapi demi uang Sedangkan institusi pemerintahan menyediakan pelayanan medik bagi penderita, bagi yang miskin malah gratis tapi dengan kehati-hatian mereka yang luar biasa, aturan demi kemudahan oknum oknumnya, membuktikan kebersihannya dari dakwaan makan duit yang ini ( tapi yang lain mana kita tahu ?). Akibatnya sudah dapat ditebak administrasi yang rumit. Uang masyarakat yang digunakan untuk obat-obatan, jasa profesional dokter ahli (dengan tarif Rp 100.000,- s.d Rp 150.000,-) sekali visite, makan dan perawatan inap. Ini diberikan gratis, meskipun dengan administrasi super ketat. bagi penderita gangguan jiwa yang miskin. (Sedangkan nilai seluruhnya bila harus bayar bisa mencapai lebih dari Rp. 60.000,- s.d Rp.150.000,- sehari belum termasuk obat-obatan, penyembuhan gangguan jiwa makan waktu yang lama, baik miskin atau tidak. Upaya mendapatkan surat keterangan miskin Tentu saja yang berkepentingan tidak bakal bisa mendapatkan dengan upaya sendiri surat sakti ini. Yang pertama dibutuhkan surat pengantar dari Ketua RT- Rukun Tetangga, petugas administrasi Pemerintahan paling depan dari sektor administrasi Kependudukan, sukarelawan dipilih warga, diantara mereka. Kemudian dikuatkan oleh Ketua RW hasil pemilihan bertingkat para ketua-ketua RT, mereka ini dipilih para RT tanpa kualifikasi yang khusus. Harus cukup sopan terhadap mereka, meskipun level mereka mungkin hanya golongan satu atau dua di 3/5 Balada Warga Indonesia Penderita Gangguan Jiwa Oleh : Subagyo Kamis, 08 Januari 2015 20:08 PNS, atau pegawai rendah di swasta, kecuali itu harus pagi pagi sekali sebelum mereka berangkat kerja, atau selesai maghrib, kapan mereka tidak pergi. Terus ke ke Kelurahan, Oleh pegawai kelurahan diterima di bagian registrasi, harus membawa Kartu Keluarga di mana nama penderita sudah tercantum. Anehnya pengantar itu menyatakan bahwa saya si pembawa surat ini miskin, untuk membiayai si penderita yang namanya si Anu. Surat ini sudah di verifikasi oleh RSJ pemerintah, bisa dipakai. saya tidak mengeti kemudian akan terbit kartu miskin entah atas nama siapa, atau penderita atau saya. bila atas nama saya akan menjadi problem nantinya bagi saya, sedang si Penderita gangguan jiwa tidak teregister bahwa dia memang miskin dan bila kambuh pasti membutuhkannya. Dari Kelurahan si penderita sudah tidak mampu mengurus sendiri karena penyakitnya, alias harus dikerjakan oleh sanak familinya atau orang yang peduli. Dari kelurahan ke Puskesmas terdekat bagaimana caranya untuk membawa si penderita terserah, dari Puskesmas diberi surat pengantar ke RSJ Pemerintah oleh petugas. Dari Kelurahan dan dari Puskesmas pengantar tadi harus dibawa ke kantor BPJS dulu, untuk mendapat keterangan. Jarak kantor BPJS dengan Kelurahan dan Puskesmas di kota kami Surabaya ada 15 kilometer, sedang dari BPJS diberi keterangan bahwa surat miskin ini barlaku hanya satu bulan sesudah itu ada kartu miskin atas nama (penderita atau sanak familinya ? ), karena identitas penderita sudah diregister dalam komputernya yang tentu saja permanent kecuali si penderita mendadak dapat rejeki besar yang nomplok Alhamdulillah. Not so fast kenyataanya ndak begitu, petugas informasi BPJS menyilahkan famili untuk menanyakan ke RSJ pemerintah, apakah surat pengantar ini sudah cukup. Ternyata petugas verifikasi RSJ (Rumah Sakit Jiwa), menyatakan bahwa surat pengantar dari Puskesmas bukan yang dimaksud oleh RSJ, tapi form yang lain, yaitu mengandung rujukan dan surat pengantar untuk warga yang dinyatakan miskin oleh Pak Luran harus dilegalisir, oh ini membingungkan, maksudnya difotocopy hingga 15 lembar dan fotocopynya ditanda tangan dan dicap oleh pak Lurah. Terus harus kembali juga ke Puskesmas untuk minta rujukan dengan form yang sudah ada. Ini satu sistem administrasi yang foolproof tapi yang menjadi korban adalah mereka yang di pingpong, karena waktu pemberi surat pengantar dari Puskesmas, si pemberi rujukan sudah tahu bahwa RSJ Menur pasti minta rujukan, Pak Lurah ya sudah tahu bahwa surat pengantarnya untuk bukti bahwa si penderita miskin dan dibayar oleh Pemerintah Kota Madya, mungkin Pak Lurah tahu juga bahwa RSJ Menur membutuhkan tanda tangan legalisasi fotocopy surat miskin ini bahkan dibutuhkan ratusan lembar, sebab setiap langkah perlakuan terhadap pasien miskin yang makan ongkos harus ada surat keterangan miskin yang 4/5 Balada Warga Indonesia Penderita Gangguan Jiwa Oleh : Subagyo Kamis, 08 Januari 2015 20:08 fotocopynya dilegalisir, artinya fotocopy saja terlalu gampang dibuat untuk pembenaran pengeluaran fiktif. Sampai segitunya RS-Jiwa ini ya ?, tapi ya pantaslah, ini pengaruh lingkungan. Persoalannya penderita sakit jiwa itu sudah miskin karena tidak ada yang mau peduli, masih harus putar keliling menuruti sistim administrasi sistem ban berjalan, di mana yang jalan itu rakyat yang membutuhkan dan jalan tidak dekat alias mengitari kota. Sistem ini populer dan berlaku di setiap kebutuhan administratiif warga negara di Negara ini. Waras atau gila. Di sini yang paling waras adalah pejabat pemerintahan yang harusnya melayani publik, tapi berhubung mereka cetakan Orde Baru sampai ke tulang sungsum, mereka ya sepeti itu, hobbynya membuat susah rakyat. Jelas sistem yang telah digaris oleh Presiden Joko Widodo tidak begitu, Itulah ironinya mereka diajak ber-revolusi mental artinya mental membantu rakyat, atau bekerja dengan nurani Bisakah ? Rupanya PNS pelayanan publik ini bekerja untuk mengikuti sistem lama yang memandulkan segenap pikiran sehat, dan saya khawatir karena sulitnya revolusi mental birokrat, lambat-laun akan menjadikan Presiden yang baru ini jadi bahan tertawaan. Mengapa ? karena revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo ternyata tidak dapat mengelupas kerak mental karat yang sudah tertanam sejak era Orde Baru dimana birokrat adalah salah satu tiang kelanggengan kekuasaan feodalistis. (*) Oleh : Ir. Subagyo, M.Sc, Blogger di www.idesubagyo.blogspot.com 5/5