HUKUM INTERNASIONAL Vs HUKUM ISLAM

advertisement
Prolog
Hukum Internasional adalah instrumen Hukum yang mengatur “lalu-lintas” dunia, baik negara
maupun Organisasi-Organisasi Internasional.
Di masa sekarang, ternyata Hukum Internasional modern juga lebih fokus memberikan perhatian
besar kepada individu. Hal ini terlihat dari banyaknya penetapan Kesepakatan-Kesepakatan
Internasional yang mengandung konsep-konsep Internasional berkenaan dengan hak-hak
manusia dan kebebasan asasinya.
Dalam kaitannya dengan Hukum Islam, memang banyak ditemukan konsep-konsep Hukum
Internasional yang bertentangan dengan konsep-konsep Hukum Islam, terutama konsep-konsep
dalam ranah Hukum Internasional Publik. Fakta ini terungkap dengan baik oleh ‘Abdullah
Ahmad ‘al-Na’îm, salah satu Pakar Hukum Islam yang sangat intens dan cekatan mengkaji
seberapa besar “keberpihakan” Hukum Konvensional terhadap Hukum Islam dan (atau)
sebaliknya.
Tulisan ini mencoba memaparkan orientasi singkat tentang Hukum Internasional dan pemetaan
sederhana nalar kritik ‘Abdullah Ahmad ‘al-Na’îm terhadap kecilnya kadar ke-internasional-an
Hukum Internasional berikut solusi “berani”nya terkait penyelarasan kedua jenis Hukum yang
banyak berbeda haluan tersebut.
Hukum
Internasional
dalam
Pola
Pandang
Konvensional-Normatif
Layaknya epistema Hukum secara umum, Hukum Internasional juga terbagi menjadi dua sektor,
yakni
Hukum
Internasional
Publik
dan
Hukum
Internasional
Privat.
Hukum Internasional Publik sendiri didefenisikan Dr. ‘Abd al-Ghaniy Mahmûd sebagai:
“Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang mengatur hubungan antar elemen Hukum internasional,
baik negara maupun Organisasi-Organisasi Internasional, sehingga hak-hak dan kewajibankewajiban elemen Hukum Internasional tadi menjadi jelas, dan juga hubungan yang kerap
tercipta antara elemen-elemen tersebut dan antar individu menjadi terkontrol”.
Pada perkembangannya, Hukum Internasional Publik ini telah menyentuh beragam permasalahan
yang sebelumnya merupakan permasalahan Hukum Internal Dalam Negeri, ini tentu merupakan
konsekuensi logis dari meluasnya aspek Hubungan Internasional antar negara dan
membludaknya
lahan
peran
hubungan
tersebut.
Tak heran, jika saat ini, Hukum Internasional Publik semakin terspesifikasikan sesuai dengan
objeknya. Misalkan Hukum Internasional Hak-Hak Asasi Manusia, Hukum Internasional Pidana,
Hukum Internasional Administratif, Hukum Peradilan, Hukum Internasional Kemanusiaan,
Hukum Maritim, Hukum Internasional Ekonomi, Hukum Perjanjian, Hukum Lingkungan
Internasional
dan
lain
sebagainya.
Sementara Hukum Internasional Privat lebih sering dibahasakan sebagai “Hukum Hubungan-
Hubungan Khusus Internasional”, yang defenisinya menurut Dr. Ahmad ‘Abd al-Karîm Salâmah
adalah “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum dalam format tertentu yang mengatur sistem Hukum
hubungan dan keterkaitan khusus antar negara”.
Dari defenisi tersebut, bisa dicermati bahwa Hukum Hubungan-Hubungan Khusus Internasional
ini mengatur tiga aspek: Pertama, mengatur pendaya-gunaan hak-hak dan markas-markas
Hukum yang muncul dari hubungan dan keterkaitan khusus antar negara. Kedua, mengatur
penjagaan Hukum atas hak-hak dan markas-markas Hukum yang muncul dari hubungan dan
keterkaitan khusus antar negara. Ketiga, mengatur penjagaan peradilan atas hak-hak dan markasmarkas Hukum yang muncul dari hubungan dan keterkaitan khusus antar negara.
Tujuan-Tujuan Hukum Internasional dan Asas-Asasnya
Piagam PBB memang merupakan satu framework normatif yang berotoritas penuh dalam
lingkup Hukum Internasional saat ini, walaupun Piagam ini tentunya tak cukup untuk mengcover semua kendala penting yang mengancam Legalitas Hukum Internasional dewasa ini.
Piagam PBB memang merupakan landasan yang bukan hanya telah mengikat beragam
persetujuan yang ditetapkan sebagai framework institutif untuk menyadari tujuan utama dan
rasionalitas Hukum Internasional, tapi juga berkomitmen untuk menetapkan swa-tekad dan
kekuasaan yang sama bagi semua masyarakat internasional, termasuk seluruh negara-negara
Islam.
Pada Pasal Pertama Piagam ini disebutkan bahwa tujuan PBB adalah sebagai berikut:
1. Menjaga keselamatan dan keamanan masyarakat internasional. Yang terimplementasi dengan
keberadaan lembaga rehabilitasi gabungan yang bertujuan mencegah dan menghilangkan
terjadinya sebab-sebab yang mengancam keselamatan, sesuai dengan konsep-konsep keadilan
Hukum
Internasional,
dalam
rangka
memecahkan
perselisihan
internasional.
2. Menumbuhkan Hubungan Internasional antar masyarakat dunia dengan asas penghormatan
atas konsep persamaan hak bangsa-bangsa, juga penetapan rehabilitasi yang sinergis terhadap
stabilitas
kedamaian
internasional.
3. Menerapkan kerja sama internasional dalam memecahkan permasalahan-permasalahan negara,
terutama yang berhubungan dengan perekonomian, kemasyarakatan, kebudayaan dan
kemanusiaan. Juga memperkuat penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasankebebasan asasi warga dunia seluruhnya tanpa membeda-bedakan kewarganegaraan, bahasa,
agama maupun gender.
Sedangkan konsep-konsep yang tercantum dalam Pasal Kedua Piagam PBB dan harus dipatuhi
oleh Organisasi PBB dan negara anggota adalah:
1. Mendirikan lembaga dengan asas persamaan kedaulatan seluruh anggotanya
2. Agar semua anggota PBB bisa terpenuhi hak-hak dan keutamaan-keutamaan yang tumbuh
karena keanggotaannya, hendaknya semua anggota melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
tercantum dalam piagam ini.
3. Semua anggota PBB berhak menggunakan kekerasan untuk memepertahankan keselamatan
wilayah
negaranya
dan
kemerdekaan
politiknya
terhadap
negara
manapun.
4. Peraturan-peraturan dalam lembaga ini juga berlaku pada negara-negara selain anggota PBB
sejauh
untuk
penjagaan
keamanan
dan
perdamaian
dunia.
5. Piagam ini tidak memberikan Hak atas PBB untuk intervensi terhadap permasalahanpermasalahan dalam negeri negara anggotanya, juga tidak membenarkan negara anggotanya
untuk membeberkan permasalahan dalam negerinya untuk diselesaikan dengan otoritas Piagam
PBB ini.
Jadi jelas terlihat, betapa pentingnya peran tujuan-tujuan dan konsep-konsep Piagam PBB ini.
Secara umum, tujuan-tujuan dan konsep-konsep di atas mengisyaratkan dua poin besar, yaitu:
Pertama, Wewenang PBB terpenting adalah menjaga perdamaian dan keamanan internasional,
karenanya, seluruh negara anggota juga harus pro-aktif menjaganya, bahkan negara-negara yang
bukan anggota juga dihimbau untuk pro-aktif. Begitu pula konsep-konsep yang melarang PBB
untuk intervensi dengan permasalahan dalam negeri setiap negara. Kedua, ketidak-patuhan atas
suatu hal yang wajib secara Hukum tidak serta merta berarti bahwa hal tersebut tidak legal secara
Hukum.
Kemana Arah “Sebenar” Hukum Internasional?
‘Al-na’îm menyebutkan pentingnya klasifikasi karakteristik dan tujuan utama Hukum
Internasional dan fenomena-fenomena yang berkembang dalam sektor Hukum Internasional
tersebut. Dengan pertimbangan bahwa kelemahan Hukum Internasional adalah belum memenuhi
standar karakteristik dan tujuannya secara substantif. Karena itulah kajian fenomena diperlukan,
sebagai pengimbang kekosongan substantif karakteristik dan tujuannya tadi.
Al-na’îm berpendapat bahwa tujuan dan urgensi keberadaan Hukum Internasional adalah untuk
mengatur hubungan antar masyarakat internasional dengan standar persamaan dan keadilan, agar
tercipta rasa aman dan makmur bagi setiap elemen yang tercakup di dalamnya. Dan negara
adalah salah satu elemen utama yang diatur Hukum Internasional tersebut, karena negara sendiri
terdiri dari elemen-elemen yang memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional, di
samping juga setiap negara memang berkesempatan untuk berinteraksi dengan elemen
internasional secara lebih luas.
Atas dasar inilah al-Na’îm beranggapan bahwa tolak ukur utama legalitas Hukum Internasional
sebenarnya serupa dengan Hukum Dalam Negeri, yakni bagaimana menyeimbangkan
kemaslahatan setiap individu dan (atau) negara dalam memerankan kebebasan individunya
dengan kemaslahatan kolektif untuk mewujudkan keadilan menyeluruh yang paripurna. Kerena
pada kenyataannya, kontradiksi antara Hukum Internasional dan Hukum Dalam Negeri memang
sering terjadi dengan sebab ketidak-samaan lahan terapan kedua jenis Hukum tersebut.
Betapapun hal ini tidak akan menafikan persamaan tujuan utama kedua Hukum tadi.
Di samping, al-Na’îm juga menganggap bahwa sekumpulan konsep Hukum Internasional—
berikut semua unsurnya, harus ditetapkan, diamandemen dan dimodifikasi sesuai dengan Asas
Legalitas tadi.
Dalam membangun nalar kritiknya terhadap kecilnya keberpihakan Hukum Internasional
terhadap
Hukum
Islam,
al-Na’îm
bepijak
pada
premis
berikut:
Benarkah
Hukum
Internasional
Kontemporer
Telah
Berskala
Internasional?
Premis ini memang selalu diwacanakan al-Na’îm ketika menyuarakan gagasannya seputar teori
maupun fenomena Internasional yang kerap dianalisanya melalui pendekatan Hukum Islam.
Al-na’îm senantiasa mengakui legalitas dan keampuhan Hukum Internasional sebagai sebuah
instrumen Hukum yang harus ada, demi tercipta dan terjaganya keamanan dan stabilitas Hak
Asasi Manusia di semua penjuru dunia. Tapi al-Na’îm juga tetap keras mengkritik bahwa selama
ini timbul pencitraan bahwa Hukum Internasional adalah murni produk Barat, sementara yang
lainnya hanya berperan sebagai pelaksana dan (bahkan) pengikut saja. Menurutnya harus ada
pembangunan image building yang baru, di mana Hukum ini harus bisa dipandang sebagai
Hukum Internasional sebenarnya, yang diproduksi, ditetapkan dan dipatuhi oleh setiap
komponennya.
Pada historisnya, Hukum Eropa memang lebih menghegemoni sistem Hukum Internasional saat
ini. Meskipun Hukum Eropa ini terbukti lebih komprehensif relevansinya untuk dijadikan
Hukum Internasional dibanding sistem Hukum-sistem Hukum yang ada sebelumnya, semisal
Hukum Hamurabi, Hukum Romawi, Hukum Islam dan lain-lain, al-Na’îm tetap berpendapat
bahwa hal ini tidak akan cukup untuk dijadikan standar penetapannya sebagai Hukum
Internasional. Di samping juga, corak sistem Hukum Eropa yang sempit yang kerap disebut
sebagai “Hukum Internasional Tradisional” menurut al-Na’îm cenderung menjustifikasi
pendudukan militer dan kolonialisasi di sebagian besar Asia dan hampir keseluruhan Afrika.
Warga dan (atau) negara selain Eropa tak pernah benar-benar menjadi subjek Hukum
Internasional hingga terjadinya proses dekolonialisasi pasca perang dunia kedua. Di mana sejak
ini Amerika dan Australia mulai dipertimbangankan eksistensinya sebagai subjek Hukum
Internasional.
Dan dalam sekejap, pasca proses dekolonialisasi ini, Sistem Hukum Eropa tersebut telah
ditetapkan menjadi Hukum Internasional yang sah yang mengatur pengakuan kekuasaan nasional
berikut daerah kekuasaannya di seluruh dunia, termasuk di negara-negara Islam. Bukan hanya
itu, sistem Hukum ini juga ternyata telah ditetapkan sebagai instrumen pengatur permasalahanpermasalahan internasional dalam skala tak terbatas di berbagai sektor, seumpama sektor
perdagangan, kesehatan, pariwisata, lingkungan dan lain sebagainya.
Pasca proses dekolonialisasi ini, keterlibatan masyarakat internasional memang perlahan mulai
merata, di mana mereka mulai berpeluang untuk mengamandemen dan memodifikasi Hukum
Internasional secara berkesinambungan. Dalam artian, Hukum Internasional yang dahulunya
tidak terlalu berkadar “internasional” ini perlahan-lahan bertambah kadar ke-internasional-annya.
Untuk masalah ini, kerap muncul pertanyaan: “Kaidah falsafatis apa dan praktek nyata yang
bagaimana yang sebaiknya digunakan untuk mengatur Hukum Internasional mendatang?”
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa dalam konsep Hukum
Internasional, memang ditemukan pola pemusatan kekuatan antar Negara dan pola pemberlakuan
efektifnya, dan jelas bahwa faktor-faktor dan asas ideologi serupa ini besar urgensinya untuk
memahami kekuatan dan dinamika internal dalam negeri dan dinamika eksternal luar negeri
dalam Hubungan Internasional, yang darinya proses pembentukan dan pemberlakuan Hukum
Internasional bisa diwujudkan. Dan manfaat pola pikir serupa ini adalah memfokuskan perhatian
kita sepenuhnya terhadap norma-norma akhlak Hubungan Internasional dan tujuan Hukum
Internasional sebagai poin turunannya, tentu dengan tidak mengabaikan apa-apa yang harus
diperhatikan dalam mendeskripsikan suatu fenomena tertentu.
Dan tak bisa diingkari bahwa negara kerap terobsesi untuk mengutamakan kemaslahatan dalam
negerinya sendiri. Hal ini tentu potensial untuk menimbulkan perombakan. Menurut al-Na’îm,
kekuatan politik yang berperan pada suatu negara lah yang banyak mendorong kecendrungan
tersebut. Dan dalam konteks stabilitas Hukum Internasional, kecendrungan tersebut akan
berpengaruh pada stabilitas substansinya, khususnya dalam tataran pembatasan hak untuk
menggunakan kekerasan, penjagaan terhadap hak-hak manusia, dan lain lain.
Dan akibat yang paling tampak dari realitas di atas adalah semakin bertambahnya kadar keinternasional-an Hukum Internasional dibanding dahulu. Dan peranan negara adalah kekuatan
utama dalam proses modifikasi konsep-konsep Hukum Internasional tersebut. Di samping juga
pertambahan kadar ke-internasional-an tersebut semakin memperbesar kecendrungan
perselisihan dalam menentukan tujuan-tujuan utamanya. Dan pernyataan semacam ini tak berarti
pengabaian terhadap permasalahan-permasalahan khusus yang berkenaan dengan konsep-konsep
dan teori-teori tertentu dalam Hukum Internasional. Juga tidak meniscayakan pengecilan risiko
yang muncul karena kecendrungan Negara untuk meniadakan yang dikehendakinya dan
mengabaikan yang dikehendakinya dari konsep-konsep Hukum Internasional. Dan terkait hal ini
al-Na’îm berpendapat bahwa mengokohkan perkembangan konstruktif seperti yang terjadi
hingga sekarang adalah sesuatu yang urgen dan perlu dikontrol untuk kepentingan mendatang.
Hal ini meniscayakan pemahaman akan tujuan-tujuan Hukum Internasional berikut asas-asasnya
yang telah dipaparkan di sub-pembahasan terdahulu.
Hukum Islam dan Hukum Internasional
Untuk menghipotesa seberapa jauh keselarasan Hukum Internasional terhadap Hukum Islam, alNa’îm menegaskan urgennya pemahaman Hukum Islam berikut aspek sejarahnya yang meliputi
pemahaman dan pemetaan Kaidah-Kaidah Islam lintas zaman. Karena ini akan terkait erat
dengan kaidah-kaidah Hukum yang berlaku dalam tataran Hukum Internasional.
Mengingat bahwa umat Islam telah banyak yang mengupayakan celah aplikasi Hukum Islam
baik di ranah internal dalam negeri maupun eksternal luar negeri.
Tapi sebelum merumuskannya, penting juga untuk menyinggung otoritas dan fenomena
Hubungan Internasional dalam perspektif Islam, bukan hanya pada saat al-Qur’an dan Hadits
diturunkan, tapi juga pada masa proses modifikasi Hukum Islam oleh para Pakar Hukum Islam
terdahulu hingga benar-benar menjadi Sistem Hukum yang komprehensif seperti sekarang.
Dimensi Historis Hukum Islam
Al-na’îm menyebutkan bahwa Islam memang pertama kali diturunkan dalam fase dan corak
masyarakat yang keras. Dan muslim era awal-awal memang menggunakan kekerasan untuk
bertahan hingga muslim mampu menguasai Jazirah Arab sebelum wafatnya Rasulullah SAW.
Dan standar nilai yang berlaku saat itu memang penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan.
Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan ini juga menjadi tradisi yang berlaku antar
elemen politik dan dan beragam kekuatan di beberapa daerah, di antaranya dua kekuatan
Ambaratur di sebelah timur Jazirah Arabiah dan sebelah baratnya, yakni Ambaratur dan
Bizantium. Karena itu, berdirinya Negara Islam pertama kali di Jazirah Arab pada abad ke-tujuh
memang tercapai dengan kekerasan dan penaklukan. Di sinilah penggunaan kekerasan menjadi
ketetapan bagi muslim untuk menaklukan non-muslim.
Sementara, motif perang antar golongan dalam Jazirah Arab dan antar kesatuan politik di daerah
adalah masalah perebutan gelar kemuliaan, golongan, perselisihan antar daerah serta perebutan
materi. Dan Hukum Islam sendiri sebenarnya telah membatasi hak untuk menggunakan
kekerasan dalam hubungan antar Negara hanya pada pembelaan diri dan penyebaran Islam. Dua
sebab inilah yang kemudian dikenali sebagai dua asas legal untuk melaksanakan perang sampai
kini.
Fenomena historis ini terus berlangsung sepanjang proses pembentukan Hukum Islam. Menurut
al-Na’îm, dalam rentang seribu tahun setelahnya, kita harus bisa melihat teks-teks dasar dalam
Qur’an dan Hadits yang terkait dengan masalah ini. Begitu juga kaidah-kaidah dan batasanbatasan yang diadopsi oleh para Pakar Hukum Islam dari dua sumber Hukum ini di abad
Delapan dan Sembilan, sebagai alat utuk menyebar-luaskan Islam pada masa itu. Karena negara
Islam diwajibkan untuk menerapkan Hukum Islam, maka jika ada yang menentang kebenaran
Islam, kaum muslim diwajibkan untuk menggunakan kekerasan.
Dari sini, perlu ditekankan poin pengecualian dan pembatasan. Sebenarnya konsep-konsep dan
tradisi-tradisi yang terbentuk untuk mengatur hubungan antar beragam kesatuan politik sebelum
munculnya Hukum Internasional Modern tidak benar-benar diperhitungkan kadar keinternasional-annya seperti pada pemaknaan dewasa ini. Karena menurut al-Na’îm itu hanya
pengecualian dalam Konsep Persamaan Hukum dan Pola Interaksi Ideal, agar setiap Sistem
Hukum dianggap sebagai sistem Internasional. Karenanya, cabang Hukum Islam yang oleh
Pakar Islam terdahulu disebut “al-Siyar” sejalan dengan pemahaman Hukum Internasional di
masa sekarang.
Legalitas penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional di masa lalu tidak berarti
legalitas juga di masa sekarang. Jika dahulu penggunaan kekerasan legal dilakukan dalam rangka
menghadapi kekerasan yang mengancam, maka demikian juga sekarang, penggunaan ini hanya
dilegalkan apabila ada bahaya yang jelas-jelas mengancam keselamatan penghuni dan wilayah
suatu negara.
Sebagai penegasan, al-Na’îm menekankan bahwa muslim tidak diperbolehkan untuk menjadikan
sejarah sebagai sumber Hukum Islam, baik dahulu maupun mendatang. Juga tidak menyetujui alQur’an dan Sunnah sebagai landasan Hukum Islam yang disama-ratakan baik dahulu, kini dan
mendatang. Karena al-Na’îm mengira bahwa sejarah hanyalah frame tempat dua sumber Hukum
Islam (al-Qur’an dan Sunnah) tersebut ditetapkan. Dengan kata lain, al-Na’îm mengafirmasi
bahwa sebagaimana Qur’an dan Sunnah telah menjadi Sumber Hukum dalam rangka
memecahkan permasalahan yang terjadi zaman dahulu, al-Qur’an dan Sunnah juga harus
menjadi Sumber Hukum Modern yang bisa memecahkan permasalahan-permasalahan masa kini.
Dari paparan dimensi historis di atas, ada beberapa kaidah-kaidah penting dalam Hukum Islam
yang bertentangan dengan Hukum Internasional, yakni masalah permusuhan terhadap nonmuslim dan penggunaan kekerasan terhadap non-muslim, regulasi penggunaan kekerasan dan
perjanjian damai.
Hal-Hal yang Kontroversial antara Kaidah Hukum Islam dan Substansi Hukum
Internasional
Kaidah-kaidah Hukum Internasional memang banyak yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
Hukum Islam. Khususnya yang berhubungan dengan problematika perdamaian. Bukan hanya
pada permasalahan-permasalahan yang telah tersepakati dan berstatus jelas dalam Islam, tapi
juga pada permasalahan yang masih debatable dalam lingkup Pakar Hukum Islam sendiri.
Menurut al-Na’îm, Hukum Islam berkeseberangan langsung dengan Piagam PBB, di mana
Piagam PBB melarang penggunaan kekerasan dalam Hubungan Internasional kecuali untuk
membela kedaulatan, keselamatan warga dan wilayah negaranya. Sementara Hukum Islam
melegalkan penggunaan kekerasan untuk menyebarkan ajaran Islam atau membela ajaran Islam
di negara-negara Islam lainnya. Begitu pula kecendrungan untuk berpegang pada Hukum Islam
yang selalu membenarkan permusuhan terus-menerus terhadap negara-negara non-muslim, yang
menurut al-Na’îm sangat bertentangan dengan asas dasar Hukum Internasional modern
seluruhnya.
Sebenarnya, permasalahan ini telah menjadi isu global di kalangan Pakar Hukum Islam, terutama
yang berkaitan dengan perang berkepanjangan antara negara Islam dan non-Islam, tapi
penyelesaian yang diupayakan dan dicapai baru sebatas penghentian perang temporal melalui
legalisasi perjanjian damai, yang tentunya masih belum bersepakat penuh dengan konsep Hukum
Internasional.
Di antara fenomena internasional yang menjadi objek analisa al-Na’îm adalah fenomena perang
Iran-Irak dan Terorisme Internasional. Kedua fenomena ini tentu memiliki status Hukum berbeda
di depan masing-masing Hukum Internasional dan Hukum Islam, seperti yang disinggu
sebelumnya.
Tanggung-Jawab Mutual untuk Kemaslahatan Bersama
Al-na’îm menegaskan bahwa metode terbaik dalam mewujudkan kemaslahatan bersama antara
Hukum Internasional dengan Hukum Islam adalah dengan merefleksikan ulang realitas
perdamaian umat muslim dan non-muslim zaman dahulu. Yakni dengan: Pertama, karena
mengingat terjadinya peperangan terus-menerus antara muslim dan non-muslim, maka kita perlu
mencontoh keharmonisan muslim dan non-muslim zaman dahulu yang senantiasa hidup damai
berdampingan dengan non-muslim. Kedua, dengan penolakan perjanjian antara muslim dan nonmuslim yang diharamkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Ketiga, dengan menerima prasaranaprasarana kerjasama internasional dan mengatasi perselisihan melalui hubungan diplomasi dan
peradilan.
Dan cara satu-satunya untuk menerapkan pembenahannya menurut al-Na’îm adalah dengan
mengganti ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang secara tersirat telah memerintahkan penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan Islam di antara non-muslim dan mewajibkannya juga terhadap
muslim-muslim yang murtad, dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang menyeru pada
penggunaan prasarana aman dalam mewujudkan dua maksud tersebut sebagai landasan Hukum
Islam. Dengan begini, secara tidak langsung akan tercapailah standar utama yang meniscayakan
pemahaman atas Qur’an dan Hadits tanpa mengabaikan aspek sejarahnya.
Menurut al-Na’îm, seluruh ayat al-Qur’an dan Hadits yang menetapkan penggunaan kekerasan
dalam menyebarkan Islam kepada kaum non-muslim dan muslim yang murtad berkembang
subur dalam fatrah madaniah. Dan para Pakar Hukum Islam terdahulu berpendapat bahwa teksteks madaniah zaman dahulu dan konsep pemerintahan negara Islam yang berlandaskan pada
teks-teks tersebut telah dihapus. Dari perspektif Hukum, semua teks-teks dan konsep
pemerintahan tersebut bertentangan dengan apa yang yang dibawa Rasulullah SAW dengan
risalah terakhirnya di Madinah.
Al-na’îm menghipotesa lebih lanjut bahwa muslimin mulai memiliki kekuatan sejak di Madinah
ini, yang terus diperbesar dengan melebarkan daerah kekuasaannya dan menyebarkan ajaran
Islam melalui kekerasan tersebut.
Dengan melihat pada aspek sejarah yang membangkitkan semangat para Pakar Hukum
sebelumnya akan arti pentingnya penafsiran sumber-sumber Islam dan rancang bangun
penjelasan Hukum Islam dalam format sistem Hukum yang komprehensif, al-Na’îm tetap
menegaskan bahwa pemahaman dan pengaplikasian serupa ini menjadi logis dan urgen. Karena
mungkin saja Islam tak akan bertahan andaikan penggunaan kekerasan dalam menyebarkan
dakwah dan menjaga kesatuan dan stabilitas muslim tidak dibolehkan pada saat itu. Hal itu
dikarenakan ketidak-mungkinan untuk menjaga keselamatan masyarakat di saat kekerasan dan
yang berkuasa. Hanya saja, aspek historis yang ditafsirkan dan diterapkan dalam frame sumbersumber Islam di masa awal-awal telah berganti secara berkesinambungan, yang kemudian
mengisyaratkan pentingnya amandemen Hukum yang teradopsi dari sumber-sumber tersebut.
Oleh karena itulah al-Na’îm melihat penting dan logisnya untuk menerapkan “pembolakbalikan” amandemen, yakni dengan menjadikan apa-apa yang legal saat ini untuk diamandemen,
lalu menjadikan yang teramandemen di masa lalu legal kembali di waktu sekarang.
Dan al-Na’îm yakin bahwa dengan begini, kaum muslim seluruhnya akan menemukan pola
keimanan yang lebih mudah terhadap Islam, yang terwujud dengan perdamaian dan kebebasan
yang purna, yang jauh lebih baik dibanding dengan penggunaan kekerasan ataupun ancaman
untuk menggunakannya. Berikut juga pola umat islami yang mengikatkan ruh keadilan dan
legalitas yang sungguh-sungguh antar individunya, yang juga jauh lebih baik dibanding pola
umat yang selalu berselisih dan sibuk bereformasi. Keyakinan al-Na’îm yang serupa ini
mengindikasikan dengan jelas bahwa al-Na’îm tegas mengafirmasi lebih tingginya kadar teksteks Makkiah dibanding teks-teks Madaniah, artinya, bahwa sampel-sampel teks Madaniah yang
berkenaan dengan hubungan antar golongan dan antar Negara lah yang berwajah temporal,
bukan teks-teks Makkiyah seperti yang dikira oleh para Pakar Hukum Islam terdahulu.
Dan pemahaman serupa ini bisa diterima dengan landasan bahwa ini akan berkontribusi besar
terhadap penciptaan keselarasan Hukum Islam dengan substansi Hukum Internasional. Yang
berarti penolakan Hukum Islam terhadap penggunaan kekerasan dalam penyebaran Islam dan
penjagaan kesatuan umat Islam. Di sinilah al-Na’îm menjelaskan arti pentingnya Pola Interaksi
Ideal, yang akan mendukung negara-negara Islam masa kini untuk mengakui kedaulatan semua
negara—baik negara Islam maupun bukan Negara Islam sesuai dengan corak kedaulatan yang
dianutnya. Yang mana Pola Interaksi Ideal ini telah diwajibkan kepada seluruh negara Islam
melalui Pasal (2) Piagam PBB. Dan menurut al-Na’îm, pola interaksi ideal ini tak akan
terlaksana dengan baik jika saja muslim belum berupaya mengamandemen Hukum Islam dan
menggantinya dengan corak Hukum Islam yang pernah ada dalam sejarahnya tadi.
Atas dasar inilah, al-Na’îm menghimbau semua elemen muslim dengan berbagai ideologinya
untuk terbuka dan patuh terhadap Hukum Internasional jika menginginkan keselarasan antara
Hukum Islam dan Hukum Internasional. Sehingga akan tercipta dinamika selaras antar negara
muslim dan non-muslim dalam kepatuhan yang sama terhadap Hukum Internasional.
Epilog
Metode al-Na’îm untuk membeberkan faktor ketidak-selarasan Hukum Islam dengan Hukum
Internasional memang genial dan kapabel untuk memper-sewajahkan permasalahanpermasalahan Internasional yang berbeda status dalam pandangan kedua jenis hukum tersebut.
Dalam pendekatannya dengan Hukum Islam, al-Na’îm tak canggung-canggung menggugat
relevansi teks-teks Madaniah yang menurutnya merupakan pendorong utama munculnya
interpretasi teks yang salah terhadap teks-teks yang melegalkan penggunaan kekerasan dalam
Hubungan Internasional. Tak hanya menggugat, al-Na’îm juga rupanya menyeru untuk
membebaskan pemaknaan atas Qur’an dan Sunnah sebagai sumber Hukum Islam dari “andil”
sejarahnya. Al-na’îm menginginkan teks-teks yang melegalkan penggunaan kekerasan tersebut
cukup menjadi prasasti sejarah saja. Sudah saatnya mewacanakan teks-teks yang lain yang lebih
sinergis dengan kemaslahatan internasional.
Hanya saja, ada yang kurang bernas dari nalar kritik al-Na’îm ketika mempertanyakan kadar keinternasional-an Hukum Internasional. Rupanya pola pikir al-Na’îm untuk menjawab seberapa
besar kadar tersebut tak setajam kritismenya ketika bertanya. Kritisnya pertanyaan tersebut
serasa terpatahkan ketika al-Na’îm harus berbenturan dengan realitas bahwa pola Hukum
Internasional saat ini telah lebih baik memperlibatkan seluruh elemen anggotanya. Al-na’îm
seperti berapologi dengan menghadirkan pertanyaan lain yang sedikit sekali keberpihakannya
pada pertanyaan pertamanya.
Overall, upaya al-Na’îm dalam memberikan ruang keselarasan antara Hukum Islam dan Hukum
Internasional adalah salah satu upaya besar untuk mendialektikakan sumber-sumber Hukum
Islam dengan tuntutan pesatnya fenomena kriminalitas internasional dewasa ini, khususnya
dalam ranah Hukum Internasional Publik. Pola pendekatan ini—seperti yang diafirmasi oleh alNa’îm sendiri, juga merupakan upaya besar untuk menetralisir kelemahan mendasar Hukum
Internasional yang kerap kurang tanggap terhadap fenomena kriminalitas yang berkembang.
Referensi:
[1] ‘Abd al-Ghaniy Mahmûd, al-Qânûn al-Dauliy al-‘Âm, Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, Cairo,
2004-2005
[2] Dr. Ahmad ‘Abd al-Karîm Salâmah, al-Tanâzu’ al-Dauliy li al-Qawânîn wa al-Murâfa’ât alMadaniyyah al-Dauliyyah, Dâr al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, Cairo
[3] ‘Abdullah Ahmad al-Na’îm, “Why Should Muslims Abandon Jihad ? Human Rights and The
Future of International Law” dalam “Third World Quarterly”, vol. 27, no. 5, 2006
[4] ‘Abdullah Ahmad al-Na’îm, Nahwa Tathwîr al-Tasyrî’ al-Islâmiy, Sînâ li al-Nasyr, Cairo,
cet. I, 1994
[5] ‘Abdullah Ahmad al-Na’îm, “Islamic Ambivalence to Political Violence: Islamic Law and
International Terrorism” dalam “German Year Book of International Law”, vol. 31, 1989
Download