3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization UPAYA-UPAYA PEGADAIAN SYARIAH DALAM MENGENTASKAN PRAKTIK RIBA S. Purnamasari (FSI UNISKA Muhammad Arsyad Al-Banjary Banjarmasin KalSel Indonesia) [email protected] ABSTRAK Gadai adalah salah satu kategori dari perjanjian hutang-piutang dimana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berhutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap hutangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan tetapi dikuasai oleh penerima gadai. Praktek seperti ini sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Rasulullah sendiri penah melakukannya. Gadai memiliki nilai sosial yang sangat tinggi dan dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong. Namun dalam kenyataannya, gadai yang ada pada saat ini, khususnya di Indonesia dalam prakteknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan Riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara ketat menentukan adanya bunga gadai, yaitu adanya tambahan sejumlah uang tertentu dari pokok hutang pada waktu membayar hutang. Hal ini jelas akan merugikan bagi pemberi gadai sebab ia harus menambahkan jumlah uangnya untuk melunasi hutangnya. Namun jika hal ini tidak diberlakukan maka pihak penerima gadai akan mengalami kerugian misalnya karena inflasi, atau pelunasan berlarut-larut, sementara barang jaminan tidak laku. Hadirnya pegadaian sebagai suatu lembaga keuangan bukan bank di Indonesia, yang bertugas menyalurkan pembiayaan dengan memberikan pinjaman dana kepada masyarakat luas yang membutuhkan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Sebab dengan hadirnya lembaga tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat dalam praktik-praktik yang sangat merugikan. Lembaga pegadaian di Indonesia ternyata sampai saat ini belum terlepas dari berbagai persoalan. Jika ditinjau dari syari’at islam, dalam aktivitas pegadaian masih terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syara’, diantaranya yaitu masih terdapatnya unsur riba, qimar, gharar yang cenderung merugikan salah satu pihak. Oleh karena itu perlu adanya rekonstruksi sistem operasionalnya supaya pegadaian yang selama ini berlaku ditengah masyarakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan pokoknya, serta benar-benar berfungsi sebagai lembaga keuangan non bank yang memberikan kemaslahatan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Key words: Pegadaian, Syariah, Riba, qimar, gharar ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 205 A. Pendahuluan Paradigma pembangunan ekonomi saat ini didominasi sistem ekonomi konvensional yang berbasis bunga telah menggurita, mewarnai seluruh aspek ekonomi dan keuangan masyarakat, termasuk masyarakat islam. Ekonomi yang berbasis bunga tidak hanya dipraktekkan dalam lembaga ekonomi dan keuangan yang bernama bank tetapi juga mewarnai lembaga ekonomi dan keuangan non bank seperti pegadaian syariah. Di Indonesia, MUI telah mengeluarkan Fatwa No. 25/DSN- MUI/VI/2002 tentang pegadaian syariah/rahn sebagai salah satu upaya untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat muslim dalam bidang jasa keuangan lembaga non bank. Rahn atau pegadaian syariah ini dipandang sebagai salah satu bentuk pelayanan yang bisa dioperasikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, ada bermacam-macam cara untuk mendapatkan uang dan salah satunya dengan cara gadai / rahn ()الرهن. Para ulama’ berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tanpa mengetahui hukum dasar gadai tersebut. Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya, maka orang tersebut mengadaikan barang yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Praktek semacam ini dalam khazanah fiqh disebut dengan praktek rahn/gadai. Dalam kehidupan bisnis baik klasik dan modern, masalah pegadaian tidak terlepas dari masalah perekonomian. Selain alasan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, juga dikarenakan kecenderungan membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam Islam diberlakukan syari’at gadai. B. Pembahasan a. Lahirnya Pegadaian Syariah Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang harus diemban oleh pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP/103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah. Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah. e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 206 b. Pengertian Rahn Menurut bahasa, gadai/ ar-rahn ( )الرهنberarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn ( )الرهنadalah terkurung atau terjerat.1 Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah: a) b) c) d) Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.2 Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.3 Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.4 Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.5 Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn, diantaranya adalah a. Menurut ulama Syafi’iyah: Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang. b. Menurut ulama Hanabilah : Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman.6 c. Sifat Rahn Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma/tabarruk sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan. Rahn juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.7 d. Dasar Hukum Rahn Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (borg) adalah firman Allah Swt. َّ ضا َف ْل ُيؤَ ِّد الَّذِي ْاؤ ُتمِنَ أَ َما َن َته َو ْل َي َّت ِق َّللاَ َر َّب ُه ۗ َو ََل ً ض ُكم َب ْع ُ ض ٌة ۖ َفإِنْ أَمِنَ َب ْع َ جدُوا َكاتِ ًبا َف ِرهَانٌ َّم ْق ُبو َ َوإِن ُكن ُت ْم َعلَ ٰى ِ س َف ٍر َولَ ْم َت َّ ش َها َد َة ۚ َو َمن َي ْك ُت ْم َها َفإِ َّن ُه آثِ ٌم َق ْل ُب ُه ۗ َو َّ َت ْك ُت ُموا ال ُ َّللا ُ ِب َما َت ْع َملُونَ َعلِي ٌم Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya 1 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis, (Kairo: Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi, 1990), h. 123 2 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar fiqh muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang 1984), h. 86-87 3 Sayyid Sabiq dalam fiqih al- sunnah, h. 187 4 Sulaiman Rasyid. Fiqh islam, (Jakarta: al-Tahiriyah, 1973), h. 295. 5 Ahmad Azhar Basyir, Riba,Hutang-piutang dan Gadai,cet. Ke II, (Bandung:Al- Ma’arif,1983), h. 50 6 Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 159-160. 7 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 105. e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 207 (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya.“(Qs. al-Baqarah: 283). Syaikh Muhammad Ali as-Sayis berpendapat, bahwa ayat Al-Qur’an tersebut adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi hutang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang rahn ()الرهن. Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata: َ ِى َوأَ َخ َذ ِم ْن ُه ِيرا ً شع ٍّ لَ َقدْ َرهَنَ ال َّن ِب ُّى – صل َّللا عليه وسلم – د ِْر ًعا لَ ُه بِا ْل َمدِي َن ِة ِع ْن َد َيهُود: س – رضى َّللا عنه – قال ٍ َعنْ أَ َن Artinya: “Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (Hr. Ahmad). Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan nonmuslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada ke khawatiran bagi yang memberi piutang. Para ulama semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (al-Zuhaili, alFiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181). Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan Al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadis di atas.8 Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSNMUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut. a. Ketentuan Umum : 1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun ( barang ) sampai semua hutang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. 4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan marhun a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi hutangnya. b. Apabila rahin tetap tidak melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi. c. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. 8 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), h. 139. e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 208 d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin. b. Ketentuan Penutup 1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya. e. Rukun dan Syarat Gadai Rahn atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu: 1. Akad dan ijab Kabul 2. Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang ber-akad adalah ahli tasyarruf.9 3. Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji hutang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai” 4. Ada hutang, disyaratkan keadaan hutang telah tetap. Menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain: 1. Dapat diperjualbelikan 2. Bermanfaat 3. Jelas 4. Milik rahin 5. Bisa diserahkan 6. Tidak bersatu dengan harta lain 7. Dipegang oleh rahin 8. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.10 Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu: 1. Orangnya sudah dewasa. 2. Berpikiran sehat. 3. Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai. 4. Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga (surat tanah atau surat rumah).11 f. Pengambilan Manfaat Barang Gadai Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqaha dan Ahmad. 9 , yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumayyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. 10 Ibid, h. 162 11Ibid, h.256 e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 209 Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barangbarang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada hutang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersbada:“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( Hr. Harits bin Abi Usamah). Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut. Rasulullah Saw bersabda: ْ ب َو َي ْ ب إِ َذا َكانَ َم ْرهُو ًنا َولَبَنُ الد َِّّر ُي ب َن َف َق ُت ُه ُ ش َر ُ ب إِ َذا َكانَ َم ْرهُو ًنا َو َعلَى الَّذِى َي ْر َك ُ ش َر ُ ال َّظ ْه ُر ُي ْر َك Artinya: “Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”. Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai tersebut ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang dibolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.12 Adapun Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvesonal adalah sebagai berikut: Gadai dalam fiqh gadai (rahn) adalah perjanjian suatu barang sebagai tanggungan hutang, atau menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman, sehingga dengan adanya tanggungan hutang ini seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.13 Pegadaian Konvensional (umum) adalah suatu hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai hutang, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelematankanya setelah barang itu digadaikan.14 Adapun persamaan gadai konvensional dengan gadai syariah adalah seperti berikut: 1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang; 2. Adanya agunan (barang jaminan) sebagai jaminan hutang; 3. Barang yang digadaikan ditanggung pemberi gadai; 4. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang. Selain itu persamaan dalam prosedur untuk memperoleh kredit pun sama-sama sangat sederhana/mudah dan singkat (masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama yaitu kurang lebih 15 menit saja. Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti pinjaman saja dengan waktu proses yang juga singkat). 12 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2002), h. 108-109 13 Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syarah, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 78 14 Ibid h. 78 e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 210 Di samping beberapa persamaan dari beberapa segi, namun jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi, dan pendanaan maka Pegadaian Syariah dan Pegadaian konvensional sangatlah berbeda, yaitu: 1. Landasan Konsep Pegadaian Syariah berdasarkan al-quran dan hadits sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. 2. Teknik Transaksi Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu: a. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas hutang nasabah. b. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat dideskripsikan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga di sini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang. Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan : 1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan . 2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman. 3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman. e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 211 Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk : 1. Melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan, 2. Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi, 3. Membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu 1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. 2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian: hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan 3. Gadai syariah dilakukan secara suka rela tanpa mecari keuntungan semata, seadangkan gadai konvensional dilakukan untuk menarik keuntungan dengan sistem bunga. 3. Pendanaan Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerjasama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja. g. Perlakuan Bunga dan Riba dalam Perjanjian Gadai Aktivitas perjanjian gadai yang selama ini telah berlaku, yang pada dasarnya adalah perjanjian hutang-piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai ditemukan bahwa harus memberikan tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok hutang, pada waktu membayar hutang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin. Hal ini lebih sering disebut bunga gadai dan ini merupakan perbuatan yang dilarang syara’. Karena itu aktivitas perjajian gadai dalam Islam tidak membenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena larangan syara’, dan pihak yang terbebani, yaitu pihak e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 212 penggadai akan merasa teraniaya dan tertekan, karena selain harus mengembalikan hutangnya, dia juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.15 Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari pegadaian tersebut tentu sudah bersifat komersil, artinya pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa.16 Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada pada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’.17 Mengenai riba itu, Afzalurahman dalam Muhammad Skholikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba, di dalamnya terdapat tiga unsur berikut:18 1. Kelebihan dari pokok pinjaman 2. Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; 3. Sejumlah tambahan itu disyaratkan dalam transaksi h. Upaya-Upaya Pegadaian Syariah Dalam Mengentaskan Praktik Riba Riba merupakan salah satu yang harus diperangi oleh masyarakat muslim, karena itu seluruh umat muslim harus berusaha untuk mengurangi bahkan memberantas segala bentuk-bentuk dari praktek riba dalam segala bidang. Adapun cara yang dapat dilakukan oleh pegadaian syari’ah dalam mengentaskan praktik riba di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Menyuburkan dan memakmurkan sedekah, karena memang sedekah sangat dianjurkan sekali dalam agama Islam (QS Al- Baqarah : 276) 2. Dana dari sedekah tersebut digunakan untuk memfasilitasi segala bidang-bidang yang telah terkena praktik riba, sehingga dengan bantuan dari dana sedekah tersebut masyarakat dituntut untuk menggunakan uangnya untuk keperluan–keperluan yang produktif saja dan bukan digunakan untuk keperluan yang bersifat konsumtif. 3. Mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai penggunaan dana syariah yang dapat digunakan untuk mendanai proyek dan kegiatan yang bisa didanai secara syariah, misalnya mengenai asuransi syariah dan perkreditan syariah. 4. Pegadaian syariah harus innovative, tidak boleh secara langsung tanpa filter mengadopsi apa yang ada pada pegadaian konvensional dengan cara meniru dan diganti istilah/nama Islam. Tetapi harus menghasilkan produk baru yang spesifik dan sesuai dengan kaidah syariah. Pegadaian syariah yang dikembangkan harus academically justified. Artinya harus bisa dibuktikan secara ilmiah dengan ilmu ekonomi. Pelaku pegadaian syariah harus secara kuat dan ketat menjalankannya secara professionally delivered baik dari segi produk, pelayanan maupun pelaksanaannya. Ada juga upaya-upaya lain: a. Bersifat preventif (pencegahan). Diantaranya sebagaimana berikut: 1. Menjelaskan kepada masyarakat tentang bahaya riba dalam kehidupan. 2. Muamalah antara sesama manusia di dalam hal bisnis. Antara satu pihak dengan pihak yang lain, dibolehkan mengambil keuntungan dengan jual-beli. Tetapi 15 Muhammad Skholikhul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Salemba Diniyah. 2003, h. 61 16 Ibid 17 ibid 18 Ibid. 64 e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 213 dalam riba, uang diambil tanpa adanya pengganti (barang) dan ini merupakan suatu perbuatan yang dhalim. b. Upaya yang sifatnya kuratif (memberi solusi). Diantaranya sebagai berikut: Memotifasi umat untuk berlomba dalam mengerjakan kebaikan dan melakukan edukasi publik/membuat program edukasi masyarakat dan sosialisasi dalam kehidupan sehari-hari, melalui sistem informasi terpadu untuk meningkatkan SDI (sumber Daya Insani) dan pemahaman masyarakat tentang pegadaian syariah; 2 Membolehkan syirkatu ‘il-mudharabah (serikat dagang), yaitu kapital dari seseorang kemudian digolongkan (diusahakan) oleh orang lain. Keuntungan dibagi dua sesuai dengan jumlah yang telah disepakati bersama. Jika rugi, maka penanggung kerugian adalah orang yang mempunyai kapital. Sedang orang yang mengelolakannya, ia tidak ikut menanggung, karena cukup baginya dengan pengorbanan waktu dan tenaga dalam mengembangkan modal tersebut. 3 Memperkenankan penjualan as-salam, yaitu penjualan suatu barang dengan pembayaran didahulukan. Maka, barangsiapa yang sangat memerlukan uang, ia dapat menjual sesuatu pada musim dihasilkannya dengan harga yang sesuai, dengan persyaratan yang sesuai. 4 Didirikannya lembaga-lembaga qiradh yang baik, secara individual atau kolektif, bahkan di bawah pengelolaan pemerintah, untuk merealisasikan prinsip solidaritas sosial antar umat manusia. 5 Membuka lembaga-lembaga zakat untuk menolong orang yang tidak dapat membayar hutang, membantu orang yang tidak punya, atau orang asing yang kehabisan bekal. 6 Pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dengan pembangunan ekonomi terhadap masyarakat miskin sehingga mereka dapat terhindar dari hutang- piutang yang menggunakan sistem riba. 7 Harus ada upaya-upaya aktif, sinergi dan kontinyu yang dilakukan oleh pakar ekonomi Islam dalam wadah berkumpulnya para profesional/praktisi ekonomi syariah yang akan menyelaraskan dan menjembatani antara perkembangan teoriteori ekonomi islam dengan implementasinya di lapangan sehingga dapat mendirikan pegadaian syariah yang benar-benar syariah untuk mengantisipasi terjadinya dampak riba di dalam pegadaian. c. Upaya refresif (penegakan hukum) Adanya peluang untuk daerah-daerah dalam melarang praktek riba pada berbagai jenisnya di dalam masyarakat karena telah adanya keistimewaan dalam pemberlakuan syariat Islam. Salah satu penegakan syariat Islam yaitu dengan mengharamkan praktek riba dalam kehidupan masyarakat secara umum. 1 Dari pembahasan di atas, dapatlah dianalisa bahwa riba (dalam hal ini bunga) pada hakikatnya adalah haram, hal ini dipertegas dalam al-Qur’an surah Al- Baqarah : 275 (Sesungguhnya jual beli itu tidak sama dengan riba). Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” pandangan ini juga yang mendorong maraknya pegadaian syariah dimana konsepnya adalah murni tabarruk dengan akad ijarah/sewa tempat bukan dengan memperoleh keuntungan dengan cara pengambilan/adanya bunga seperti pada pegadaian konvensional. Praktek seperti ini haram hukumnya, karena menurut sebagian pendapat (termasuk majelis ulama Indonesia) bunga termasuk ke dalam riba. e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 214 C. PENUTUP Rahn adalah “Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang”, Rahn termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad. Dalam dasar hukum gadai, ada dalil-dalil yang melandasi diperbolehkannya gadai yang bersal dari Al-Qur’an dan hadis. Rukun gadai yaitu akad dan ijab kabul, akid, barang yang dijadikan jaminan (borg). Syarat gadai orangnya sudah dewasa, berpikiran sehat, barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad, barang yang dapat dijadikan jaminan. Pengambilan manfaat pada barang-barang gadai seperti hewan dan kendaraan ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat. Pertama, berupa hutang karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelum tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seseorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu dengan yang dipinjamnya. Tetapi Malik membolehkan hal ini. Ketiga, barang yang digadaikan tidak sedang dalam proses pembayaran yang akan terjadi, baik wajib atau tidak seperti gadai dalam kitabah. Pendapat ini mirip dengan madzab Maliki. Adapun cara yang dapat dilakukan oleh pegadaian syari’ah dalam mengentaskan praktik riba diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Menyuburkan dan memakmurkan sedekah, karena memang sedekah sangat dianjurkan sekali dalam agama Islam (QS Al- Baqarah : 276) 2. Dana dari sedekah tersebut digunakan untuk memfasilitasi segala bidang-bidang yang telah terkena praktik riba, sehingga dengan bantuan dari dana sedekah tersebut masyarakat dituntut untuk menggunakan uangnya untuk keperluan–keperluan yang produktif saja dan bukan digunakan untuk keperluan yang bersifat konsumtif. 3. Mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai penggunaan dana syariah yang dapat digunakan untuk mendanai proyek dan kegiatan yang bisa didanai secara syariah, misalnya mengenai asuransi syariah dan perkreditan syariah. 4. Pegadaian syariah harus innovative, tidak boleh secara langsung tanpa filter mengadopsi apa yang ada pada pegadaian konvensional dengan cara meniru dan diganti istilah/nama Islam. Tetapi harus menghasilkan produk baru yang spesifik dan sesuai dengan kaidah syariah. Pegadaian syariah yang dikembangkan harus academically justified. Artinya harus bisa dibuktikan secara ilmiah dengan ilmu ekonomi. Pelaku pegadaian syariah harus secara kuat dan ketat menjalankannya secara professionally delivered baik dari segi produk, pelayanan maupun pelaksanaannya. Ada juga upaya-upaya lain yaitu upaya bersifat preventif, kuratif, dan refresif. e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 215 Daftar Pustaka Adrian, Sutedi. (2011). Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta Ahmad, Azhar Basyir. ,(1983). Riba,Hutang-piutang dan Gadai,cet. Ke II. Bandung: Al- Ma’arif Buchari, Alma dan Donni, Juni Priansa. (2009). Manajemen Bisnis Syariah. Bandung: Alfabeta DSN MUI. (2006). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Jakarta: DSN MUI–Bank Indonesia Hasbi, Ash-Shiddieqy. (1984). Pengantar fiqh muamalah. Jakarta: Bulan Bintang Hendi, Suhendi. (2005). Fiqih Muamalah, Cet.I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Ibnu, Rusyd. (1990). Bidayah al-Mujtahid wa Nihaya al-Muqtashid. Birut: Dar al-Jiil Muhammad, Skholikhul Hadi. (2003). Pegadaian Syari’ah. Jakarta: Salemba Diniyah Nurul, Huda dan Mohamad, Heykal. (2010). Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Perpustakaan Nasional KDT. (2009). Himpunan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Ekonomi Syariah. Yogyakarta: Pustaka Zeedny Rahmat, Syafei. (2006). Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia Sasli, Rais. (2005). Pegadaian Syariah Konsep dan Operasional Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: UI Press Sayyid, Sabiq. (1990). Fiqh al-Sunnah al-Majadallad al-Tsalis. Kairo: Dar al-fath lil I’lam al-‘Arabi Sulaiman, Rasyid. (1973). Fiqh islam. Jakarta: al-Tahiriyah Syafei, Rachmat. ( 2006). Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia Syekh, Abdurrahman As-Sa’adi, dkk. (2008). Fiqih Jual Beli. Jakarta: Senayan Publishing e-Proceeding of the 3rd International Conference on Arabic Studies and Islamic Civilization ICASIC2016 (e-ISBN 978-967-0792-08-8). 14-15 March 2016, Kuala Lumpur, Malaysia. Organized by http://WorldConferences.net 216