BAB I PENDAHULUAN - SInTA UKDW

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Spiritualitas adalah istilah yang agak baru yang menandakan “kerohanian” atau
“hidup rohani”. Spritualitas bisa juga berarti semangat kerohanian atau jiwa
kerohanian. Spiritualitas menyangkut dua segi yaitu askese atau usaha melatih diri
secara teratur supaya terbuka dan peka terhadap sapaan Allah. Segi lainnya adalah
mistik yang merupakan bentuk dan tahap pertemuan pribadi dengan Allah. Makna
rohani melebihi kesanggupan untuk berhubungan dengan Tuhan atau menyadari
kehadiran Yang Ilahi dalam lingkup hidup kita. Manusia terpanggil untuk benarbenar mengenal Dia yang hadir dalam batinnya.1
Spiritualitas juga sering dikatakan sebagai gaya hidup, cara hidup, yang keluar
dari hati. Bukan gaya hidup yang semata-mata, senantiasa muncul karena meniru,
membaca buku tetapi merupakan gaya hidup, cara hidup yang benar-benar
mengungkapkan, mewujudkan apa yang ada di dalam batin. Gaya hidup yang
mengungkapkan suatu api atau semangat, suatu pengalaman batin yang mendasar,
mengungkapkan kharisma.2 Spiritualitas membentuk sikap hidup orang percaya di
dalam persekutuan dengan Allah.
Spiritualitas juga terkadang dimengerti sebagai cara mengamalkan seluruh
kehidupan sebagai seorang beriman yang berusaha merancang dan menjalankan
hidup ini semata-mata seperti yang dikehendaki Allah.3 Dan dalam kehidupan
spiritualitasnya manusia mengembangkan sikap yang tawakal (berserah diri atau
1
A.Heuken, SJ., Spiritualitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad,
Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002, p. 11.
2
Anita Nudu, ADM., “Hidup Dalam Roh : Hidup Membiara dan Spiritualitas Gereja Indonesia”
dalam Teologi dan Spiritualitas, Yogyakarta, Kanisius, 1994, p.169.
3
Scn.1, p. 12.
pasrah) yaitu sikap yang berserah sepenuhnya kepada kehendak Allah atau percaya
dengan sepenuh hati kepada kehendak Allah dan menjalani hidup ini seperti yang
dikehendaki Allah. Sikap ini juga bisa diartikan keyakinan kepada Allah, menaruh
segala-galanya di tangan Allah. Namun dalam kenyataannya sikap ini sering diartikan
keliru sehingga membuat seseorang mengerti dan memahami bahwa berserah diri
atau pasrah berarti orang pasif menerima keadaaan dengan pasrah atau sikap hidup
yang bergantung pada nasib sepenuhnya tanpa ada usaha untuk mengubah kenyataan
yang ada. Terkadang pun pemikiran bahwa walaupun manusia berusaha sekuat
apapun namun hasil akhirnya tetap Tuhan yang menentukan, sehingga merasa bahwa
usaha manusia untuk melawan nasib itu hanyalah usaha menjaring angin semata,
akhirnya membawa orang pada sikap hidup iman yang pasrah tanpa melakukan apaapa. Spiritualitas yang menunggu keajaiban dan mujizat dari Tuhan sesuai dengan
waktuNya. Akibatnya jika ada orang yang melakukan suatu usaha untuk mengubah
kenyataan yang ada, sikap itu sering dipandang sebagai suatu sikap yang melawan
kehendak Tuhan, memberontak, tidak tawakal atau pasrah. Sikap seperti itu diyakini
merupakan sikap hidup beriman yang keliru.
Padahal kepada setiap umat manusia, Tuhan memberikan akal budi dan
hikmat untuk melakukan berpikir dan melakukan sesuatu untuk memperjuangkan
hidup ke arah yang lebih baik. Namun manusia lebih banyak bersikap pasif jika
menghadapi kenyataan yang ada dan menerimanya dengan senang hati sebagai takdir.
B. PERUMUSAN POKOK MASALAH
Melihat kenyataan di atas maka penyusun mencoba untuk menggali teks Alkitab yang
setidaknya memperlihatkan unsur pergumulan melawan nasib. Untuk itu penyusun
mencoba untuk menggali teks Kejadian 32:1-32 yang secara tidak langsung
memperlihatkan pergumulan Yakub di dalam perjuangannya untuk mengubah
nasibnya dari seorang yang pada mulanya cuma mendapatkan berkat anak sulung dari
2
usaha licik yang dilakukannya terhadap Esau dan Ishak, menjadi sesuatu yang benarbenar miliknya. Oleh karena itu yang menjadi fokus perhatian dalam penulisan
skripsi ini adalah “Makna kisah pergumulan Yakub dengan Allah di Tepi Sungai
Yabok”
Permasalahan pokok tersebut akan diuraikan berdasarkan beberapa sub masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pembacaan terhadap Kejadian 32:1-32 dilakukan agar dapat
melihat maknanya? Untuk itu akan dilakukan penafsiran terhadap Kejadian 32:132 dengan menggunakan metode tafsir naratif.
2. Apakah makna bergumul dengan Yang Ilahi itu dalam terang kisah Kejadian
32:1-32 dalam kehidupan spiritualitas umat Kristen?
C. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Pokok tulisan ini diberi judul utama yakni :
BERGUMUL DENGAN YANG ILAHI
Suatu Analisis Naratif Tentang Pergumulan Yakub Dengan Allah Di Tepi
Sungai Yabok
Mengapa digunakan istilah “bergumul dengan” dan bukan “berkelahi
melawan”, sekalipun istilah yang terakhir itu lebih memberikan suasana heroik dalam
ceritera ini? Jawabannya ialah karena dengan istilah “bergumul dengan”, penulis
bermaksud menekankan bukan saja interaksi fisik antara manusia dengan Allah
melainkan terutama interaksi teologis atau iman antara manusia dengan Allah. Sebab
perkelahian tersebut bukan merupakan wujud permusuhan melainkan merupakan
wujud keterikatan iman dengan Yang Ilahi.
3
D. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Memahami teks Alkitab dengan metode tafsir naratif
2. Menemukan makna cerita dalam Kejadian 32:1-32
E. METODOLOGI PENULISAN
Dalam kajian terhadap penulisan skripsi ini, penyusun memakai metode tafsir naratif.
Metode tafsir ini merupakan suatu pendekat metode penafsiran Alkitab yang lebih
menekankan pada teks itu sendiri. Dalam perkembangan metode ilmu tafsir dapat
dikatakan
ada 3 (tiga) fase yaitu metode tafsir tradisional, historis kritis dan
struktural.4
Pertama, metode tafsir tradisional. Metode ini merupakan metode yang paling
banyak digunakan hingga saat ini. Orang yang menggunakan metode ini membaca
Alkitab seperti membaca suatu berita surat kabar yang melaporkan suatu peristiwa
yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Biasanya tafsiran dengan metode ini
menghasilkan uraian lengkap tentang rekontruksi historis suatu peristiwa yang
kemudian direfleksikan oleh penafsirnya. Hasil dari refleksi atau perenungan
terhadap peristiwa historis itulah yang kemudian disampaikan kepada pendengar dan
pembaca. Kedua, metode historis kritis. Dalam metode ini kitab-kitab diteliti sebagai
suatu dokumen sejarah dan secara kritis dipertanyakan “ke-sungguh-terjadi-an” dari
peristiwa-peristiwa yang ada di dalam Alkitab. Alkitab dilihat sebagai suatu kitab
yang lahir dalam proses sejarah dan karena itu selalu mempertanyakan: kapan terjadi,
siapa penulis dan kepada siapa ditulis. Hal ini dikarenakan peristiwa yang terjadi dan
waktu penulisan yang berbeda jauh. Ketiga, metode struktural. Pada prinsipnya
metode ini memusatkan perhatiannya pada teks tanpa perlu memperhitungkan
konteks. Para strukturalis berpendapat bahwa dengan mempelajari teks saja orang
4
Jakub Santoja, “Metode Exegese Narasi” dalam Majalah Theologia GEMA, No. 41, Yogyakarta,
Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, 1991, p. 41-43
4
sudah bisa menangkap maksud pengarang. Oleh karena itu dari penafsir dituntut
perhatian yang lebih pada teks yang kita miliki sekarang dan tidak dipusingkan lagi
dengan masalah latar belakang dari teks tersebut. Dalam kerangka metode inilah
kemudian lahir metode tafsir atau pendekatan naratif.
Pendekatan naratif merupakan pendekatan yang relatif baru, sebagai suatu
alternatif atas metode-metode penafsiran Alkitab yang dikenal sebelumnya.
Pendekatan ini dilakukan berdasarkan suatu premis awal bahwa Alkitab sebenarnya
merupakan suatu cerita besar tentang tindakan Allah di dalam dunia sejak penciptaan
langit dan bumi serta segala isinya (Kejadian 1-2) sampai dengan penciptaan kembali
suatu langit dan bumi yang baru (Wahyu 21) dan kedatangan Tuhan Yesus pada kali
yang kedua (Wahyu 22). Dengan demikian, menurut Sientje Marentek-Abrams,
pendekatan Alkitab secara naratif merupakan suatu alternatif yang layak
diperhitungkan. Apalagi menurut penelitian yang cermat, telah ditemukan bahwa
kurang lebih dua pertiga bagian tulisan-tulisan di dalam Perjanjian Lama dikemas
dalam bentuk cerita atau narasi. Allah, Pencipta manusia dan seisi dunia ini
disaksikan dalam Alkitab melalui suatu bentuk narasi atau cerita yang khas. Melalui
bentuk sastra yang sama yaitu sastra narasi, kehidupan dan pengalaman orang-orang
Israel sebagai umat Allah diceritakan. Bukan hanya di dalam Perjanjian Lama saja, di
dalam Perjanjian Baru pun dijumpai banyak uraian mengenai penyelamatan Allah
yang diceritakan dalam bentuk narasi. Yesus tidak mengungkapkan pengampunan
Allah dalam uraian yang abstrak, sebaliknya Ia berulang-ulang menggunakan bentuk
cerita atau narasi ketika menyampaikan pesan Allah mengenai cinta kasih kepada
para pendengarnya. Yesus menjelaskan tentang anak yang hilang (Lukas 15 : 11-32)
dalam bentuk cerita untuk menjelaskan berita kasih dan pengampunan. Yesus adalah
narator yang piawai (ulung) sehingga membuat para pendengar kagum dan mulai
mengikuti Dia. Malahan mereka yang tidak masuk sekutuNya pun terpesona dengan
“aliran-aliran air hidup” yang diceritakan Yesus sehingga dengan pasrah mengatakan:
“belum pernah seorang manusia berkata seperti itu” (Yohanes 7:38,46). Dari mulut
Yesus, cerita-cerita yang biasa menjadi perumpamaan mengenai Kerajaan Allah.
5
Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa bentuk sastra narasi tidaklah
secara kebetulan saja dijumpai di dalam Alkitab. Sebaliknya para penulis Alkitab
telah menggunakan bentuk sastra tersebut untuk menyatakan iman mereka kepada
Allah yang mereka percayai. Dengan kata lain, mereka telah menggunakan narasi
sebagai sarana berteologi dalam konteks mereka. Bahan-bahan sumber untuk
mengungkapkan teologi mereka, diambil dari budaya yang ada pada mereka maupun
di sekitar mereka yang mereka kenal dekat. Melalui sarana yang berbentuk cerita atau
narasi, berita Alkitab diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia tanpa harus hilang
dari analisis yang terpisah-pisah. Melalui narasi, makna cerita diperoleh melalui
cerita itu sendiri.5
Alasan lain untuk memperhitungkan pendekatan naratif, menurut MarentekAbrams, adalah kenyataan bahwa narasi merupakan suatu bentuk sastra yang sangat
dikenal di dalam hidup masyarakat. Semua kelompok umur dekat dan menyukai
narasi sebab narasi mudah dicerna, tidak terkesan menggurui tetapi sebaliknya
menawarkan
pandangan
atau
pendapat.
Narasi
berfungsi
sebagai
sarana
berkomunikasi yang menghubungkan dunia fiksi dan dunia nyata dari pendengar dan
pembaca melalui pesan yang terkandung di dalam cerita atau narasi tersebut.
Betapapun sederhananya, narasi selalu mempunyai pesan bagi pembaca dan
pendengar. Narasi juga menjadi alat pendidikan dan kritik sosial yang menghasilkan
pemahaman serta nilai-nilai baru. Dalam keadaan tertentu, narasi adalah ungkapan
pengalaman manusia yang paling dalam. Narasi Alkitab adalah salah satu contoh
narasi sebagai sarana pengungkapan iman. Melalui narasi para penulis atau
pengumpul bahan-bahan lisan tentang pengalaman yang dalam dari umat Israel,
menjelaskan iman mereka baik secara pribadi, dalam persekutuan dengan umat
maupun dengan Tuhan.6
5
Sientje Marentek-Abram, “Narasi Yusuf Di Dalam Kejadian 37-50 Sebagai Model Teologi
Naratif Di Dalam Perjanjian Lama” dalam Jurnal Berteologi Perempuan Indonesia SOPHIA, Jakarta,
Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi Di Indonesia, 2000, p. 58-59.
6
Sda, p.59
6
Narasi Alkitab, khususnya narasi Perjanjian Lama yang menjadi fokus dalam
studi ini, dapat dipelajari dan dianalisa sebagaimana layaknya karya sastra pada
umumnya. Narasi Alkitab mempunyai struktur, bentuk dan komponen-komponen
sebagaimana dijumpai dalam karya sastra pada umumnya. Hal ini disebabkan Alkitab
bukan hanya kesaksian tentang Firman Allah, bukan hanya kumpulan kerja teologi,
tetapi juga merupakan suatu karya sastra yang maha indah. Pendekatan naratif adalah
suatu pendekatan dalam menafsir Alkitab, yang memberi perhatian khusus kepada
unsur-unsur cerita di dalam teks sehingga kekayaan yang dijumpai dalam teks
diungkap lebih tajam. Melalui pendekatan ini penceritaan mendapat tempat yang
penting. Pendekatan naratif membebaskan penafsir dari beban penafsiran yang terlalu
tergantung pada latar belakang kitab-kitab atau surat-surat yang mengakibatkan pesan
teks kurang diberi perhatian. Di samping itu pendekatan naratif juga memberikan
kemungkinan kerja sama dengan pendekatan lainnya. Walaupun demikian,
pendekatan naratif pun memiliki kelemahan yaitu penafsir bisa saja jatuh pada
“proses imajinatif” yang kadang sukar untuk dihindari. Akan tetapi dengan tetap setia
pada pesan yang ada dalam teks serta hubungannya dengan bagian Alkitab yang lebih
luas maka proses imajinatif dalam pendekatan naratif justru akan memperkaya
pemahaman teks atau perikop yang ditafsir.7
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan mengikuti sistematika sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Bagian ini berisi latar belakang masalah, perumusan pokok masalah,
alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metodologi penulisan dan
sistematika penulisan.
7
Scn. 5, p. 59
7
BAB II
TAFSIR NARATIF KEJADIAN 32 : 1- 32
Bagian ini berisi tafsir naratif terhadap Kejadian 32 : 1 – 32. Proses ini
dilakukan dengan pembacaan cermat terhadap kisah dalam Kejadian
32 : 1 – 32 lalu diikuti dengan mencari tahu tempat Kejadian 32 di
dalam narasi Yakub, menganalisa komponen-komponen narasi dalam
kisah tersebut dan kesimpulan dari hasil analisa tersebut. Adapun
komponen-komponen narasi yang akan dianalisa meliputi: struktur
(perbuatan atau tindakan, penokohan, setting atau latar, sudut
pandang), plot atau alur cerita, karakterisasi, kontras dan konflik,
waktu dan gaya atau style serta narator.
BAB III
MAKNA BERGUMUL DENGAN YANG ILAHI
Bagian ini berisi tentang uraian mengenai makna “bergumul dengan
Yang Ilahi” dalam terang kisah pergumulan Yakub dengan Allah di
tepi sungai Yabok. Pembahasan bagian ini tidak terlepas dari
hubungan makna tersebut dengan kehidupan spiritualitas umat Kristen
pada umumnya.
BAB IV
KESIMPULAN
Bagian ini berisi kesimpulan atas semua pembahasan yang telah
dilakukan dalam bab-bab sebelumnya.
8
Download