IDENTIFIKASI CACING PARASITIK DAN PERUBAHAN

advertisement
IDENTIFIKASI CACING PARASITIK DAN PERUBAHAN
HISTOPATOLOGI PADA IKAN BUNGLON BATIK JEPARA
(Cryptocentrus leptocephalus) DARI KEPULAUAN SERIBU
ASNITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Identifikasi Cacing
Parasitik dan Perubahan Histopatologi pada Ikan Bunglon Batik Jepara
(Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu adalah karya saya sendiri
dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Puskata di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Januari 2011
Asnita
NIM B053040041
ABSTRACT
ASNITA. Parasitic Worm and Histopatological Changes of Pinkspotted Shrimp
Goby (Cryptocentrus leptocephalus) from Seribu Islands. Under direction of
RISA TIURIA and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Parasitic worm is one of pathogen cause decrease host immune
mechanism, host pathological changes and economic loss. This study aimed to (1)
identification of parasitic worm (2) histopathological changes, and (3) leukocyte
differentiation of parasitic worm infestated Pinkspotted Shrimp Goby fish. Thirty
two specimens of fish were collected from Seribu Islands. The specimens were
weighted (grams) and measured (cm). Blood smear stain with hemacolor reagent
was used to evaluate leucocytes differentiation. Tissue samples of gill and
intestine stain with Hematoxyllin Eosin (HE) were used to observe general
changes on Pinkspotted Shrimp Goby fish.
The result showed that seven species of parasitic worm were identified.
They were two monogenean (Pseudempleurosoma sp. and Benedenia sp.), two
digenean (Podocotyle sp. and
Plagioporus sp.)
and three nematodes
(Procamallanus sp., Gnathostoma sp., and Cucullanus sp.). Histopathological
observation showed that brachitis and enteritis indicated by congestion,
inflammaty cell infiltration, and very limited necrotic areas were found. Blood
smears from infestated-fish showed that there was an increase number
(percentage) of lymphocytes, eosinophils, neutrophils and basophils compared to
the uninfestated-fish. Base on this observation, parasitic worm infestation did not
cause significant damage to the host organs.
Keywords : Pinkspotted Shrimp Goby, parasitic worm,
leukocytes
histophatology,
RINGKASAN
ASNITA. Identifikasi Cacing Parasitik dan Perubahan Histopatologi pada Ikan
Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu.
Dibimbing oleh RISA TIURIA dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan jenis ikan Watchman Goby yang
bernilai ekonomis dan diekspor ke Amerika dan Eropa. Berdasarkan data
lalulintas media pembawa Hama Penyakit Ikan/Hama dan Penyakit Ikan
Karantina (HPI/HPIK) di Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta terdapat
beberapa jenis parasit yang menginfestasi ikan hias. Informasi tentang jenis-jenis
parasit dan kerusakan organ yang ditimbulkannya sangat dibutuhkan untuk
pencegahan, pengobatan dan pengendalian penyakit parasitik pada ikan hias air
laut khususnya pada ikan Bunglon Batik Jepara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) jenis-jenis cacing parasit,
(2) gambaran perubahan patologi organ-organ tubuh dan (3) gambaran umum
diferensial leukosit akibat dari adanya infestasi cacing parasitik pada ikan
Bunglon Batik Jepara.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis-jenis
cacing parasitik dan perubahan patologi serta gambaran diferensial leukosit pada
ikan Bunglon Batik Jepara sehingga dapat bermanfaat bagi para pengemar ikan
hias air laut dan pelaku usaha perikanan dalam upaya pencegahan, pengobatan
dan penanganan kesehatan ikan.
Sampel ikan diperoleh dari perairan Kepulauan Seribu dalam 2 kali
pengambilan yaitu bulan April (musim kemarau) dan September (musim hujan).
Pengambilan sampel dilakukan secara acak berdasarkan ukuran tubuh ikan.
Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 32 ekor. Pengamatan yang dilakukan
meliputi : (a) patologi anatomi, (b) pengamatan cacing parasitik, (c) penghitungan
diferensial leukosit, dan (d) histopatologi.
Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan inang definitif, inang antara beberapa
jenis cacing parasit. Jenis-jenis cacing parasitik yang ditemukan pada sampel ikan
Bunglon Batik terdiri dari 2 jenis monogenea yaitu Pseudempleurosoma sp. dan
Benedenia sp.; 2 jenis digenea yaitu Podocotyle sp. dan Plagioporus sp.; dan 3
jenis nematoda yaitu Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan
larva nematoda.
Prevalensi infestasi cacing parasitik lebih tinggi pada bulan September
dibandingkan dengan bulan April. Prevalensi infestasi cacing parasitik meningkat
dengan bertambahnya ukuran ikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ikan yang
berukuran besar lebih rentan terinfeksi cacing parasitik dibandingkan dengan ikan
yang berukuran kecil. Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara
umumnya
terdapat
di
usus
dengan
prevalensi
tertinggi
adalah
Pseudempleurosoma sp. sebesar 21,87%.
Ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik mengalami
peningkatan presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil. Peningkatan persentase
limfosit, eosinofil dan neutrofil diduga merupakan respon yang timbul akibat
adanya infestasi cacing parasitik. Selain sel limfosit, eosinofil dan neutrofil, pada
leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi oleh cacing parasitik juga
ditemukan adanya basofil.
Hasil pemeriksaan histopatologi pada organ insang terjadi kongesti,
peradangan, nekrosa, fusi dan erosi lamella. Perubahan ini menunjukkan bahwa
insang mengalami brankhitis. Skoring terhadap perubahan histopatologi insang
diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa
peradangan ringan, hemoragi ringan, dan fusi lamella sekunder. Ini menunjukkan
bahwa organ insang mengalami kerusakan derajat ringan.
Pengamatan histopatologi organ usus menunjukkan adanya lesio berupa
hyperplasia dan proliferasi sel goblet, kongesti pada lapisan muskularis, edema,
hemoragi pada lapisan muskularis, adanya Melano Macrophage Centres (MMC)
pada lapisan muskularis, adanya Eosinophilic Granular Cell (EGC) pada lamina
propria, dan adanya infestasi cacing parasitik pada bagian villi. Skoring terhadap
perubahan histopatologi usus diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan
adalah 2 yaitu berupa hiperplasia sel goblet, peradangan ringan berupa akumulasi
sel radang EGC, dan hemoragi ringan, proliferasi MMC. Skor ini menunjukkan
bahwa organ usus mengalami kerusakan derajat ringan. Tingkat lesio pada organ
usus dipengaruhi oleh jenis cacing dan intensitas infestasi cacing parasitik.
Kata kunci : Ikan Bunglon Batik Jepara, cacing parasitik, leukosit, histopatologi
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI CACING PARASITIK DAN PERUBAHAN
HISTOPATOLOGI PADA IKAN BUNGLON BATIK JEPARA
(Cryptocentrus leptocephalus) DARI KEPULAUAN SERIBU
ASNITA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister sains
pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Penelitian
:
Nama
NIM
:
:
Identifikasi Cacing Parasitik dan Perubahan Histopatologi pada
Ikan Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) dari
Kepulauan Seribu
Asnita
B053040041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Drh. Risa Tiuria, MS., Ph.D
Ketua
Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS., Ph.D
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Sains Veteriner
Prof. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS.,Ph.D
Tanggal ujian : 30 Desember 2010
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS
Tanggal lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Drh. Elok Budi Retnani, MS
PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Identifikasi Cacing
Parasitik dan Perubahan Histopatologi pada Ikan Bunglon Batik Jepara
(Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan Seribu.
Proses penelitian dan penulisan tesis ini telah mendapatkan bantuan dan
saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1.
Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan dorongan dan doa
dalam penyelesaian studi;
2.
Sekretaris Jenderal dan Sekretaris Badan Karantina Ikan, Pengendalian
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan
yang telah memberikan izin belajar;
3.
Drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. drh.
Bambang P. Priosoeryanto, MS, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan pada pembuatan
rencana, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini;
4.
Drh. R. Dody Timur Wahjuadi dari CV. Dinar Jakarta yang telah
menfasilitasi pengumpulan sampel;
5.
Rekan-rekan di Balai uji Standar Karantina Ikan dan semua pihak yang telah
membantu dan mendukung penelitian ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.
Bogor,
Januari 2011
Asnita
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dumai provinsi Riau pada tanggal 16 Oktober 1977
sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Aminullah dan Anizar.
Penulis menempuh pendidikan di SMAN 2 Dumai dan lulus pada tahun 1995.
Pada tahun 1995, penulis diterima di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan Universitas Riau Pekanbaru dan lulus sebagai sarjana
perikanan pada tahun 2000. Pada tahun 2004 penulis mendapatkan ijin dan
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Sains
Veteriner di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pusat Karantina Ikan
Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2002 sampai dengan Oktober
2010. Sejak Nopember 2010 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai staf
pada Sekretariat Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR …………...……………………………………….
xv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. xvii
PENDAHULUAN
Latar Belakang……………………………………………………….
Tujuan Penelitian………………………………………………........
Manfaat Penelitian…………………………………………………...
1
2
2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Ikan Bunglon Batik Jepara …..…………….........
Cacing Parasitik ...……………………………………………….....
Sel Darah ……………………………………………………….....
Kondisi Patologis akibat Infestasi Cacing Parasitik ………………
4
5
7
9
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………..
Bahan dan Alat …………....………………………………………..
Bahan …………….………………………………………….
Alat ………….………………………………………………
Metode Penelitian …………………………………………………..
Pengambilan Sampel…………………...……………………...
Pengukuran Sampel……………………………………………
Pengamatan Cacing Parasitik………………………………….
Pewarnaan dan Identifikasi Cacing Parasitik………………….
Pewarnaan Monogenea dan Digenea ………………….
Pewarnaan Nematoda ……………………………………
Identifikasi Cacing Parasitik …………………………….
Pengamatan Sel Darah…………………………………………
Patologi Anatomi………………………………………………
Pembuatan Sediaan Histopatologi……………………………..
Analisisa Data………………………………………………………..
12
12
12
12
13
13
13
13
14
14
15
15
15
15
16
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon Batik Jepara …………………
18
xiii
Infestasi Cacing Parasitik pada Ukuran Ikan yang Berbeda ....
Identifikasi Cacing Parasitik .....................................................
Prevalensi dan Intensitas Cacing Parasitik ...............................
Diferensial Leukosit ……………………………………………….
Patologi …………………………………………………………….
Perubahan Patologi Anatomi ……………………………...….
Perubahan Histopatologi …………………………………….
Organ Insang ……………………………………………
Organ Usus ………………………………………………
18
20
28
29
31
31
32
32
36
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan …………………………………………………………...
Saran ………………………………………………………………..
41
41
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
42
LAMPIRAN ……………………………………………………………..
48
xiv
DAFTAR TABEL
1
2
Halaman
Nilai Skor Lesio Histopatologi Organ ....................................................... 17
Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan
Bunglon Batik Jepara .................................................................................
18
Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara
berdasarkan ukuran panjang tubuh ...........................................................
19
4
Jenis-jenis cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara ……….........
28
5
Diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara ................................
29
3
xv
DAFTAR GAMBAR
1
2
Halaman
Pinkspotted Shrimp Goby (Cryptocentrus leptocephalus) ......................
4
Peta Penyebaran Pinkspotted Shrimp Goby (Cryptocentrus
leptocephalus) ………………………….................................................
5
3
Peranan ikan goby dalam sistem parasitik di Teluk Gdańsk ..................
6
4
Pseudempleurosoma sp. .........................................................................
21
5
Benedenia sp. ........................................................................................
22
6
Podocotyle sp. .........................................................................................
23
7
Plagioporus sp. .......................................................................................
23
8
Procamallanus sp. ...................................................................................
24
9
Gnathostoma sp. ......................................................................................
25
10
Cucullanus sp. .........................................................................................
25
11
Jenis dan bentuk sel darah ikan Bunglon Batik Jepara yang
terinfestasi cacing parasitik .....................................................................
30
Histogram skoring lesio histopatologi organ ikan Bunglon
Batik Jepara .............................................................................................
32
13
Jaringan insang normal ............................................................................
33
14
Lesio pada lamella sekunder berupa kongesti, Hemoragi
lamella sekunder dan infiltrasi sel radang ................................................
34
Lesio pada lamella sekunder berupa Fusi lamella sekunder
dan erosi lamella sekunder ......................................................................
34
Perubahan lamella insang berupa hyperplasia sel epithel
lamella sekunder, sel radang dan MMC ..................................................
35
17
Usus normal .............................................................................................
36
18
Perubahan pada organ usus berupa kongesti dan proliferasi
sel goblet .................................................................................................
37
12
15
16
xvi
19
20
Perubahan pada organ usus berupa hemoragi pada lapisan
mukosa dan adanya sel radang ................................................................
37
Infestasi cacing parasitic pada organ usus dan infiltrasi
EGC pada lamina propria ........................................................................
38
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Halaman
Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan
Hematoxyllin-Eosin ................................................................................. 48
Data ukuran dan perubahan makroskopis patologi
anatomi pada ikan Bunglon Batik Jepara …………….............................
50
3
Data diferensial leukosit ikan Bunglon Batik Jepara ……………………
51
4
Data skor lesio histopatologi organ ikan Bunglon Batik Jepara ………..
52
5
Analisis statistik non parametrik Chi Kuadrat (X2) ...................................
53
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan hias air laut memiliki warna menarik dan bervariasi. Hobi memelihara
ikan hias air laut didalam akuarium sudah ada sejak tahun 1880. Di Indonesia,
akuarium air laut mulai dikenal sejak zaman Hindia Belanda sekitar tahun 1922
(Susanto 2005).
Ikan hias di perairan Indonesia sangat melimpah dan beraneka ragam. Ikan
hias ini merupakan salah satu komoditi perikanan yang potensial bagi
perkembangan ekspor dari sektor non migas. Berdasarkan data Pusat Data,
Statistik dan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan,
volume ekspor ikan hias pada tahun 2008 sebesar 962.569 kg dengan nilai ekspor
mencapai US$ 8.281.913. Kontribusi ekspor ikan hias air laut terhadap nilai
ekspor ikan hias di Indonesia mencapai 65,6% dari US$ 8.281.913 (KKP 2009).
Diantara jenis-jenis ikan hias air laut yang diperdagangkan salah satunya adalah
ikan Bunglon Batik Jepara. Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan jenis ikan
Watchman Goby. Menurut Fung (2003), jenis-jenis Watchman Goby yang
bernilai
ekonomis
yaitu
Cryptocentrus cinctus (Yellow
Prawn Goby),
Cryptocentrus leptocephalus (Pink Spotted Watchman Goby), dan Cryptocentrus
lutheri (Rainbow Goby).
Ikan Bunglon Batik Jepara termasuk dalam famili Gobiidae yang hidup
didasar perairan dan umumnya memiliki ukuran tubuh yang kecil. Famili
Gobiidae dapat ditemukan diperairan laut, perairan tawar dan perairan payau di
daerah tropis dan subtropis (Burgess et al. 2007). Ikan Bunglon Batik Jepara
diperoleh dari hasil tangkapan di daerah Kepulauan Seribu dan diekspor ke
Amerika dan Eropa.
Adanya perdagangan ikan hias ini memberikan peluang terjadinya
penyebaran penyakit ikan. Untuk mendukung ekspor ikan hias ini, kesehatan ikan
yang prima menjadi salah satu faktor penting, karenanya pemeriksaan kesehatan
ikan menjadi sangat penting. Berdasarkan data lalulintas media pembawa Hama
Penyakit Ikan/Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPI/HPIK) di Balai Besar
2
Karantina Ikan Soekarno-Hatta terdapat beberapa jenis parasit yang diketahui
menginfestasi ikan hias.
Secara umum, infestasi patogen parasitik jarang mengakibatkan wabah
penyakit yang bersifat sporadis, namun hal ini dapat terjadi pada intensitas
penyerangan yang sangat tinggi dan areal terbatas. Akibat yang ditimbulkan
oleh adanya infestasi patogen parasitik secara ekonomis sangat merugikan. Selain
dapat mengakibatkan kematian, juga dapat menurunkan bobot tubuh, menurunkan
ketahanan tubuh dan kualitas sehingga ikan mudah terinfeksi oleh patogen lain
seperti jamur, bakteri dan virus (Taukhid 2007). Infestasi parasit juga dapat
menyebabkan terjadinya perubahan patologi tubuh ikan, penurunan tingkat
fekunditas pada ikan, dan mempengaruhi perkembangan benih ikan (Grabda
1991).
Untuk mencegah terjadinya dan juga upaya pengobatan serta pengendalian
penyakit parasitik pada ikan hias air laut khususnya pada ikan Bunglon Batik
Jepara, perlu adanya informasi tentang jenis-jenis parasit dan kerusakan organ
yang ditimbulkannya, walaupun informasi tentang biologi dan jenis penyakit pada
ikan Bunglon Batik Jepara masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang penentuan jenis-jenis cacing parasitik, perubahan patologi
organ serta gambaran darah dari ikan yang terinfestasi cacing parasit.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui jenis-jenis cacing parasitik yang menginfeksi ikan Bunglon
Batik Jepara;
2.
Memperoleh gambaran umum diferensial leukosit dari adanya infestasi
cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara;
3.
Mengetahui gambaran perubahan patologi organ-organ tubuh ikan Bunglon
Batik Jepara yang terinfeksi cacing parasitik.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenisjenis cacing parasitik dan perubahan patologi pada ikan Bunglon Batik Jepara
3
serta gambaran diferensial leukosit sehingga dapat bermanfaat bagi para pengemar
ikan hias air laut dan pelaku usaha perikanan dalam upaya pencegahan,
pengobatan dan penanganan kesehatan ikan.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Ikan Bunglon Batik Jepara
Ikan Bunglon Batik Jepara dikenal juga dengan nama dagang Singapore
Shrimp Goby, Pinkspotted Shrimp Goby, Pinkspotted Watchman Goby, Pinkspeckled Prawn Goby, Pink-Speckled Shrimp Goby, Leptocephalus Prawn, pink
and blue goby (LA 2009; MAE 2009; MC 2009).
Taksonomi Ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan Fish Base (2009) adalah
sebagai berikut :
Kelas
:
Actinoptergii
Ordo
:
Perciformes
Famili
:
Gobiidae
Genus
:
Cryptocentrus
Spesies
:
Cryptocentrus leptocephalus
Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan salah satu jenis ikan Watchman Goby
yang memiliki ciri-ciri mata berukuran besar yang terdapat pada bagian
dorsoventral kepala (Fung 2003). Tubuhnya berwarna abu-abu dengan pita
kemerah-merahan. Pada bagian kepala dan sirip terdapat bintik-bintik merah
muda. Selain bintik merah muda, pada bagian kepala juga terdapat bintik biru
yang berukuran lebih kecil (Gambar 1). Ikan dewasa dapat mencapai ukuran 10
cm sampai dengan 15 cm (LA 2009; MAE 2009; MC 2009).
Gambar 1
Ikan Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) (Sumber :
The Marine Center 2009).
5
Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan ikan karnivora. Jenis makanannya
yaitu zooplankton dan invertebrata yang berukuran kecil yang terdapat di dasar
perairan (MAE 2009, MC 2009). Di alam, ikan Bunglon Batik Jepara hidup di
pantai karang yang memiliki dasar perairan berlumpur, perairan pantai yang
ditumbuhi mangrove, perairan tidal daerah batu karang yang bersubstrat pasir dan
di daerah puing-puing (Garilao dan Ortańez 2009). Distribusi geografis
Pinkspotted Shrimp Goby yaitu Samudera India, Samudera Pasifik bagian barat,
Indonesia, Pulau Yaeyama, Australia, Tonga dan New Caledonia (Gambar 2)
(Fish Base 2009; MAE 2009; MC 2009; LA 2009).
Gambar 2 Peta Penyebaran Pinkspotted Shrimp
leptocephalus) (Sumber : Fish Base 2009).
Goby
(Cryptocentrus
Cacing Parasitik
Parasit memegang peranan penting dalam ekologi perairan pantai dan
ekosistem laut khususnya dalam budidaya laut. Beberapa parasit ini dapat
menyebabkan penyakit pada ikan, mempengaruhi kesehatan dan reproduksi,
sehingga ikan mudah dimangsa dan beberapa jenis parasit dapat menginfeksi
manusia (Khalil dan Polling 1997).
6
Ikan merupakan inang cocok bagi beberapa kelompok helminth seperti
Platyhelminthes, Nematoda dan Acanthocephala. Berdasarkan Williams dan Jones
(1994), Kurochkin (1984, 1985) telah mendeskripsikan lebih kurang 30.000 jenis
parasit pada hewan laut.
Ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang
paratenik parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan
ikan (Gambar 3) (Kvach 2005). Berdasarkan hasil penelitian, pada ikan Round
Goby ditemukan beberapa jenis parasit di saluran pencernaan, insang, dan kulit.
Jenis-jenis cacing parasitik yang menginfeksi saluran pencernaan antara lain
Acanthocephalus dirus (Camp et al. 1999),
minutes,
Hysterothylacium
aduncum,
Bothriocephalus sp, Dichelyne
Acanthocephalus
lucii,
dan
Pomphorhynchus laevis (Kvach dan Skóra 2006), Acanthacephaloides propinquus
(Kvach 2006). Sedangkan pada insang Round Goby ditemukan adanya infeksi
metaserkaria Cryptocotyle concavum (Kvach dan Skóra 2006).
Gambar 3 Peranan ikan goby dalam sistem parasitik di Teluk Gdańsk (Sumber :
Kvach dan Skóra 2006).
7
Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa pada
ikan goby dari jenis Pamataschistus microps dan Clupea harengus dari perairan
Belgia, Prancis dan Belanda ditemukan adanya monogenea Gyrodactylus spp.
Umumnya monogenea adalah ektoparasit, namun beberapa monogenea ada yang
dapat
beradaptasi
Pseudempleurosoma,
menjadi
endoparasit
seperti
Neodiplectanotrema,
Diplectanotrema,
Paradiplectanotrema,
Pseudodiplectanotrema, Metadiplectanotrema yang ditemukan pada organ
pharinx dan oesophagus ikan air laut (Santos et al. 2001).
Menurut Williams dan Jones (1994), tingkat prevalensi parasit di perairan
dipengaruhi oleh faktor abiotik (curah hujan, pH dan oksigen terlarut) dan faktor
biotik (makanan dan kepadatan). Sedangkan komposisi jenis fauna cacing yang
menginfeksi ikan sangat tergantung pada kondisi ekologi inang (Kvach 2005).
Sel Darah
Studi hematologi sangat berguna untuk mengetahui keadaan fisiologi hewan
pada lingkungan tertentu. Pemeriksaan darah antara lain meliputi pemeriksaan
terhadap bentuk sel darah dan pemeriksaan rutin yang dilakukan di laboratorium
klinik veteriner. Dengan memilih beberapa macam pemeriksaan rutin tersebut,
dapat digunakan sebagai prosedur “screening”. Disamping itu, pemeriksaan darah
dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran kemampuan tubuh dalam
memerangi penyakit yang diderita, juga dapat merupakan indikator parah tidaknya
keadaan penyakit tertentu, misalnya infeksi dan anemia (Sastradipradja et al.
1989). Studi tentang parameter darah ikan merupakan faktor penting untuk
mengetahui kondisi fisiologi ikan dan sebagai alat untuk mengamati perubahan
sistem pertahan tubuh ikan (Tavares-Dias et al. 2008).
Nomenclature dan prosedur pengamatan hematologi pada ikan belum baku
seperti pada mamalia. Secara umum, nomenclature hematologi pada ikan
mengikuti nomenclature yang digunakan untuk klasifikasi sel darah pada mamalia
(Jenkins 2003). Menurut Lagler et al. (1977), darah ikan tersusun atas cairan
plasma dan sel-sel darah, yang terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit) dan keping darah (trombosit).
8
Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), volume darah ikan kecil bila
dibandingkan dengan vertebrata lainnya yakni sekitar 5% dari berat badannya.
Sedangkan menurut Randall (1970), volume darah dalam tubuh ikan teleostei,
holostei dan chandrostei adalah sekitar 3% dari bobot tubuh. Pada ikan
chondrichtyes volume darah yang dimilikinya adalah sekitar 6,6% dari bobot
tubuhnya.
Darah ikan sebagian besar terdiri dari sel-sel darah merah yang jumlahnya
diperkirakan mencapai 4 juta sel/mm3. Sel darah merah ikan memiliki inti sel,
yang ukurannya bervariasi antar spesies. Sel darah merah tersebut banyak
mengandung hemoglobin dan berfungsi membawa oksigen dari insang ke
berbagai jaringan (Moyle dan Cech 1998).
Pada ikan teleostei yang dewasa, darahnya mengandung beberapa persen
sel darah merah yang sedang dalam pertumbuhan disebut dengan proeritrosit atau
retikulosit. Jumlah eritrosit dalam darah ikan beragam dari satu spesies ke spesies
lainnya dan dipengaruhi oleh umur, kondisi lingkungan dan musim. Eritrosit
yang masak kebanyakan terdapat dalam darah perifer. Bentuknya bulat (contoh
pada ikan Clarias batrachus), elipse, tetapi umumnya berbentuk oval. Sitoplasma
sel darah merah ikan teleost berwarna merah-coklat keunguan, merah-coklat cerah
atau merah tua sedikit kebiruan. Eritrosit yang telah masak mengandung banyak
hemoglobin dan jika dibuat preparat dengan pewarnaan Giemsa akan nampak
berwarna merah muda atau kekuningan (Yuwono 2001).
Sel darah merupakan mediator dalam mekanisme pertahan tubuh pada
hewan dan sel darah putih adalah komponen penting dalam sistem pertahan
alamiah dimana sistem pertahan tersebut akan bekerja bila ada stressor (Adam
2002, diacu dalam Jenkins 2003).
Sel darah putih (leukosit) ikan tidak berwarna dan jumlahnya sekitar 20.000150.000 sel/mm3 darah ikan. Berdasarkan ada tidaknya butir-butir (granul) dalam
sitoplasma, leukosit dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu granulosit dan
agranulosit. Granulosit terdiri dari eosinofil (acidofil), neutrofil, dan basofil.
Agranulosit terdiri atas limfosit, monosit dan trombosit (Chinabut et al. 1991).
Menurut Vazquez dan Guerrero (2007), granulosit pada ikan terdiri dari 3 jenis
9
yaitu heterofil, eosinofil dan basofil. Heterofil dan eosinofil merupakan jenis
granulosit yang umum ditemukan, sedangkan basofil jarang terdapat pada ikan.
Migrasi sel leukosit kedalam lesio inflamasi disebabkan oleh adanya
gerakan kemotaksis terhadap mediator kimia yang menyebabkan timbulnya
respon tubuh terhadap irritant (Suzuki 1992). Jumlah dan persentase komposisi
leukosit dalam sirkulasi darah ikan sangat bervariasi tergantung beberapa faktor
seperti musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit,
tahapan dari siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002).
Menurut Yuwono (2001), neutrophil merupakan 70% dari seluruh butir-butir
darah putih. Eusinophil dan basofil jumlahnya sedikit. Dalam keadaan terinfeksi
dan alergi jumlah eusinofil dalam darah meningkat. Stres dapat menyebabkan
terjadinya neutrofilia dan lymfopenia pada ikan, namun kadang-kadang hanya
ditemukan lymfopenia (Davis et al. 2008).
Hasil penelitian Suzuki 1(992) , menunjukkan bahwa basofil ikan puffer
akan bermigrasi dengan cepat dalam jumlah besar akibat adanya peradangan.
Basofil berperan dalam peradangan akut dan menghilang setelah 72 jam.
Sedangkan migrasi monosit dan makrofag berperan dalam fase peradangan kronis.
Kondisi Patologis Akibat Infestasi Cacing Parasitik
Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), luas permukaan epitel dari insang
dapat menyerupai luas dari total permukaan kulit, bahkan pada sebagian besar
spesies ikan luas permukaan epitel insang jauh melebihi kulit, hingga struktur
insang ini merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan homeostasis
lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi dalam pertukaran gas, insang juga
berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, dan pengeluaran limbahlimbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang terdiri dari lapisan yang tipis
yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama penyakit. Kerusakan ringan
pada struktur insang ikan dapat mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan
pernafasan.
Bentuk dan panjang saluran pencernaan ikan berbeda-beda tergantung
jenis makanannya (Nabib dan Pasaribu 1989). Umumnya hewan karnivora
merupakan predator (Yuwono 2001). Pada ikan karnivor, lambung berbentuk
10
kantong melengkung, memiliki banyak lipatan pada dinding dalamnya dan
ukurannya berbeda-beda (Nabib dan Pasaribu 1989). Usus hewan karnivora yang
telah memiliki sistem digesti sempurna biasanya pendek dan tidak menggulung
(Yuwono 2001). Usus mempunyai epitel silindris sederhana yang berlendir,
menutupi sub mukosa yang mengandung sel eosinofil dan dibatasi oleh
muscularis mucosa yang rapat dan lapisan fibroelastik (Nabib & Pasaribu 1989).
Jenis parasit yang berbeda dalam kondisi lingkungan yang berbeda akan
menimbulkan dampak yang berbeda terhadap inang. Endoparasit cacing jarang
menyebabkan terjadinya kematian pada inang juvenil maupun dewasa (Overstreet
1993).
Parasit yang terdapat pada ikan jika dalam jumlah sedikit tidak
menyebabkan kerusakan yang berarti. Namun jika terdapat dalam jumlah banyak,
parasit dapat menyebabkan kematian pada ikan. Migrasi parasit dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan mekanik pada jaringan dan juga memicu
terjadinya proliferasi pada jaringan inang (Hoffman 1999).
Berdasarkan hasil penelitian Jithendran et al. (2005), infestasi parasit
monogenea dari family capsalidae di insang ikan kerapu menyebabkan warna
insang pucat, banyaknya produksi mukus, adanya hemoragi. Infestasi cacing pada
insang menyebabkan terjadinya hyperplasia epithel lamella primer, hypertrofi
jaringan ikat, atrofi kapiler insang dan atrofi lamella sekunder ( Stephens et al.
2001).
Menurut Martins et al. (2004), ikan yang terinfeksi nematoda anisakidae
menunjukkan terjadinya perubahan warna insang, ginjal, hati, jantung dan gall
bladder menjadi pucat. Selain itu, ikan yang terinfestasi mengalami perubahan
patologi berupa akumulasi cairan pada rongga tubuh, lambung dan usus.
Meskipun secara umum dampak yang ditimbulkan oleh cacing parasitik nematoda
terhadap hewan laut tidak berbahaya, namum beberapa jenis nematoda sangat
patogenik dan mematikan. Ikan yang terinfestasi parasit menunjukkan perubahan
berupa kurang nafsu makan dan penurunan berat badan (Kapel et al. 2003 diacu
dalam Razi Jalali et al. 2008).
Parasit cacing yang terdapat di dalam gastrointestinal dapat menyebabkan
lesio pada lapisan mukosa, inflamasi dan kongesti kelenjar mukosa, dan hemoragi
11
pada usus yang mengakibatkan terjadinya anemia pada ikan (Roberts 2001).
Selain kerusakan mekanik berupa atrophy dan lesio pada saluran alimentary,
pembuluh darah atau saluran lainnya, parasit juga menghasilkan racun
(endotoxin/exotoxin) yang dapat mempengaruhi darah, enzim, vitamin dan
aktifitas hormonal dari inang (Poynter 1966, diacu dalam Ruhela et al. 2006).
Menurut Russo et al. (2006), patogenesitas setiap agen patogen sangat berkaitan
dengan kemampuannya dalam memproduksi enzim, toksin dan dalam mengatasi
sistem kekebalan inang.
12
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan April 2010.
Sampel diperoleh dari Kepulauan Seribu. Identifikasi cacing parasitik dilakukan
di Laboratorium Parasitologi Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta dan
Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan,
Departemen IPHK Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Analisis patologi dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi
dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan - IPB.
Bahan dan Alat
Bahan
Sampel ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan Bunglon Batik
Jepara. Bahan yang digunakan untuk identifikasi cacing parasitik terdiri dari :
aquades, larutan garam fisiologis, Alkohol Formalin Acetic acid (AFA), glycerin
jelly dan pewarnaan semichon’s Acetic Carmine. Bahan untuk pengamatan
deferensial sel leukosit adalah pewarnaan hemacolor, phosphate buffered saline
(PBS) dan entellan.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan sediaan histologi adalah
paraformaldehid 0.2% dalam PBS 0.1 M pH 7.4, normal buffer formalin 10%,
alkohol bertingkat, xylol dan paraffin histoplast dengan titik leleh 56-570C. Untuk
pewarnaan histologi digunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE).
Alat
Alat-alat yang digunakan selama masa aklimatisasi adalah akuarium dan
aerator. Sedangkan untuk pengukuran sampel digunakan timbangan analitik dan
pengaris. Untuk pengamatan cacing parasitik menggunakan 1 set alat bedah,
nampan bedah, cawan petri, botol sampel, staining jar, gelas objek dan mikroskop
stereo.
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan ulas darah yaitu 1 set alat bedah
dan gelas objek. Untuk pengamatan hasil penelitian digunakan mikroskop cahaya
13
dan kamera foto. Alat untuk pembuatan sediaan histologi adalah 1 set alat bedah,
wadah penyimpanan jaringan, tissue prosessor, tissue embedding, inkubator,
sliding microtome, waterbath dan gelas objek. Alat yang digunakan untuk
pewarnaan HE adalah staining jar, rak slide dan gelas penutup. Selanjutnya untuk
pengamatan hasil penelitian digunakan mikroskop cahaya dan kamera foto.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) kali berdasarkan musim yaitu pada
bulan April (musim kemarau) dan September (musim hujan). Sampel ikan
diperoleh dari nelayan binaan CV. Dinar yang melakukan penangkapan disekitar
perairan Kepulauan Seribu. Pengambilan
sampel ikan dilakukan berdasarkan
kelompok ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran small (S), medium (M) dan
large (L). Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak 32 ekor.
Ikan sampel selanjutnya diaklimatisasi di Laboratorium Balai Uji Standar
Karantina Ikan Jakarta selama ± 48 jam dalam akuarium dengan ukuran 40 cm x
20 cm x 24 cm. Selama aklimatisasi wadah penampungan diberi sistem sirkulasi
air yang cukup. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup ikan maka dilakukan
pemberian pakan dan pergantian air 50% setiap harinya. Pakan yang diberikan
berupa udang rebon sebanyak 2 kali sehari. Air yang digunakan sebagai media
pemeliharaan adalah air laut dengan salinitas 32-35 ppm yang diperoleh dari
instalasi penyediaan air Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta.
Pengukuran Sampel
Sampel ikan Bunglon Batik Jepara diukur panjang total (TL) menggunakan
penggaris dan berat tubuhnya ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.
Pengamatan Cacing Parasitik
Untuk mengamati cacing parasitik, spesimen cacing diambil dari kulit, sirip,
insang dan saluran pencernaan. Pengambilan spesimen cacing pada bagian kulit
dan sirip dilakukan dengan cara mengerok lendir yang terdapat pada permukaan
14
tubuh kemudian diletakkan diatas objek gelas yang telah ditetesi dengan larutan
garam fisiologis. Selanjutnya hasil kerokan lendir diamati di bawah mikroskop.
Pengamatan insang dilakukan dengan cara membuka operkulum dan
mengeluarkan insang dari rongga kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri
yang telah berisi larutan garam fisiologis. Lembar-lembar insang tersebut diamati
di bawah mikroskop dan spesimen cacing yang ditemukan difiksasi dengan
larutan Alkohol Formalin Acetic acid (AFA).
Pengamatan cacing dalam usus dilakukan dengan cara membedah ikan
kemudian saluran pencernaan dikeluarkan dari dalam tubuh dan diletakan dalam
cawan petri yang telah diisi dengan larutan garam fisiologis. Untuk pemeriksaan
parasit yang terdapat di usus, usus dibuka dan dimasukkan ke dalam larutan garam
fisiologis selama 5 – 10 menit sehingga semua isi usus lepas dan parasitnya
mengendap. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop. Parasit yang ditemukan
kemudian difiksasi dengan menggunakan larutan AFA, lalu disimpan dalam
alkohol 70% (PKP 1999).
Pewarnaan dan Identifikasi Cacing Parasitik
Pewarnaan Monogenea dan Digenea
Cacing monogenea dan digenea yang telah diisolasi selanjutnya diwarnai
menggunakan pewarnaan Semichon’s acetic carmine. Metode pewarnaan cacing
monogenea dan digenea dilakukan berdasarkan PKP (1999) yang diterapkan oleh
Balai Uji Standar Karantina Ikan. Tahapan kerja pewarnaan cacing parasitik yaitu
pencelupan spesimen pada larutan konsentrasi alkohol 70% dan 35% selama 10
menit, kemudian tambahkan pewarnaan Semichon’s acetic carmine selama 20
menit, bilas spesimen dalam larutan acid alkohol 70% selama 30 menit sampai
organ bagian dalam spesimen menjadi biru, pindahkan spesimen ke dalam larutan
alkohol bertingkat (96%, 100%, 100%) masing-masing selama 15 menit.
Selanjutnya dilakukan penjernihan spesimen pada larutan xylol selama 10 menit
kemudian dilakukan mounting dengan entellan.
15
Pewarnaan Nematoda
Metode pewarnaan cacing nematoda dilakukan berdasarkan PKP (1999)
yang dimodifikasi. Tahapan kerja pewarnaan cacing Nematoda yaitu pencelupan
spesimen pada larutan konsentrasi alkohol 70%, 80% dan 90 % selama 15 menit,
kemudian tambahkan minyak cengkeh selama 20 menit, bilas spesimen dalam
larutan alkohol 70%, pindahkan spesimen ke dalam larutan alkohol bertingkat
(96%, 100%, 100%) masing-masing selama 15 menit. Kemudian dilakukan
mounting dengan glycerin jelly.
Identifikasi Cacing Parasitik
Tingkat infestasi cacing parasitik ditentukan dengan mengidentifikasi dan
menghitung prevalensi dan intensitas cacing yang ditemukan di insang dan usus.
Identifikasi jenis cacing mengacu pada Velasquez (1975), Moller dan Anders
(1983), Williams dan Jones (1994), Hoffman (1999), De dan Maity (2000) dan
Santos et al. (2001).
Pengamatan Sel darah
Parameter darah yang diamati yaitu diferensial leukosit. Pengamatan
diferensial leukosit melalui preparat ulas darah dilakukan untuk menentukan
prosentase tiap jenis leukosit yang ada dalam darah.
Pembuatan ulas darah dilakukan dengan cara sampel ikan Bunglon Batik
Jepara dianesthesia menggunakan MS 222 selama kurang lebih 3 menit,
selanjutnya bagian batang ekor (caudal penducle) dipotong dengan menggunakan
pisau bedah yang steril, kemudian darah ditempatkan pada gelas objek pertama,
gelas objek kedua digeser ke arah yang berlawanan hingga membentuk lapisan
tipis darah. Preparat dibiarkan kering oleh udara, kemudian diwarnai dengan
menggunakan larutan hemacolor.
Tahapan pewarnaan hemacolor yaitu slide ulas darah ditetesi dengan larutan
I selama 5 detik, kemudian tetesi larutan II selama 3 detik dan selanjutnya ditetesi
larutan III selama 6 detik. Untuk selanjutnya, cuci slide ulas darah dengan larutan
PBS dan rendam selama 20 menit. Setelah preparat dikeringkan dengan tissue
(kertas penyerap), lalu ditetesi entellan dan ditutup dengan cover glass kemudian
16
jenis-jenis leukosit dan trombosit dihitung sampai berjumlah 100 sel ((Martins et
al. 2004).
Patologi Anatomi (PA)
Sampel ikan dinekropsi dengan cara membuat sayatan dari bagian anal
hingga bagian posterior insang. Pada saat nekropsi semua kelainan diamati dan
dicatat. Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan secara makroskopis. Sebagian
insang dan usus dimasukan dalam larutan Normal Buffer formalin untuk
pemeriksaan histopatologi.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Jaringan insang dan usus difiksasi di dalam Buffer Neutral Formalin (BNF)
10% selama 48 jam. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam tissue cassette
untuk proses pembuatan sediaan histopatologi dengan menggunakan alat
automatic tissue processor. Proses pembuatan sediaan histopatologi melalui
tahapan dehidrasi di dalam larutan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90% dan 95%),
penjernihan (clearing) dilakukan dengan larutan xylol (I dan II). Selanjutnya
dilakukan proses infiltrasi paraffin cair ke dalam jaringan. Pembuatan blok
jaringan dilakukan dengan menggunakan tissue embedding console. Blok
dipotong menggunakan dengan microtom dengan ketebalan 4-5 µm.
Hasil
sayatan jaringan diletakkan pada gelas objek dan diinkubasi dalam inkubator
dengan suhu 370C selama satu malam.
Sebelum pewarnaan, sayatan jaringan insang dan usus selanjutnya
dideparafinisasi dan rehidrasi (lampiran 1). Setelah kedua tahap tersebut,
dilakukan proses pewarnaan dengan metode hematoxyllin dan eosin (HE)
(Humason 1972).
Preparat yang telah diwarnai diamati di bawah mikroskop cahaya untuk
melihat lesio histopatologi pada insang dan usus. Analisis perubahan histopatologi
dilakukan dengan menggunakan metode skoring yang mengacu pada Camargo
dan Martinez (2007) yang dimodifikasi. Skor lesio ditentukan berdasarkan
perubahan patologi yang ditemukan. Hasil skoring digunakan sebagai pendukung
17
dalam menentukan derajat keparahan organ dan status penyakit. Penentuan nilai
skor yang diamati dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai skor lesio histopatologi organ
Skor Kriteria
Lesio
1
2
3
4
Organ
Insang
Kongesti
Hyperplasia epithel
Hemoragi ringan
Peradangan ringan
Fusi lamella sekunder
Nekrosa ringan
Hemoragi sedang
Peradangan sedang
Nekrosa sedang
Hemoragi berat
Peradangan berat
Nekrosa berat
Usus
Kongesti
Hiperplasia sel goblet
Edema
Hemoragi ringan
Peradangan ringan
Nekrosa ringan
Hemoragi sedang
Peradangan sedang
Nekrosa sedang
Hemoragi berat
Peradangan berat
Nekrosa berat
Analisis Data
Analisis data infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan Bunglon
Batik Jepara menggunakan metode statistik non parametrik Chi Kuadrat (X2)
(Simbolon 2009) sedangkan data prevalensi dan intensitas cacing parasitik,
morfologi dan jumlah sel leukosit serta skoring lesio organ insang dan usus
dianalisis secara deskriptif. Data ditampilkan dalam bentuk tabel dan histogram.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon Batik Jepara
Infestasi Cacing Parasitik pada Ukuran Ikan yang Berbeda
Total jumlah sampel ikan yang diamati sebanyak 32 ekor. Untuk mengetahui
kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang total dan berat ikan. Dari
32 sampel diperoleh ukuran panjang total terendah yaitu 7 cm dan panjang total
tertinggi 11 cm dengan berat terendah 2,1 g dan berat tertinggi 8,9 g. Ukuran
panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam 3 kelompok sesuai dengan
ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran S (<8,5 cm), M (8,5 -10 cm) dan L
(>10 cm). Data ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara secara lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengamatan infestasi cacing parasitik berdasarkan
ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan Bunglon
Batik Jepara
Jumlah Sampel yang diamati
Jumlah Sampel terinfestasi cacing
Prevalensi (%)
Chi Kuadrat (X2) = 5,991
Ukuran Panjang
S
M
L
17
8
7
8
4
3
47,06
50
42,86
Data pada Tabel 2 menunjukkan hubungan
Jumlah
32
15
46,88
prevalensi infestasi cacing
parasitik dengan ukuran panjang tubuh ikan Bunglon Batik Jepara. Total sampel
yang diamati 32 ekor dan 15 sampel terinfestasi cacing parasitik (46,88%).
Prevalensi infestasi cacing parasitik dari setiap kelompok ukuran sampel relatif
tinggi. Hasil uji statistik non parametrik Chi Kuadrat (X2) menunjukkan bahwa
nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan lebih rendah dari nilai Chi Kuadrat tabel (Chi
Kuadrat = 5,991). Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara ukuran panjang
ikan dengan prevalensi infestasi cacing parasitik.
Berdasarkan waktu pengambilan sampel, jumlah sampel ikan yang diamati
terdiri dari 20 ekor pada bulan April dan 12 ekor pada bulan September. Jumlah
dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan
19
April yaitu S, M dan L. Pada bulan September ukuran panjang sampel ikan terdiri
dari ukuran S dan M. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik
Jepara yang diamati pada bulan April dan September disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan
ukuran panjang tubuh
Bulan
Ukuran
Panjang
Jumlah
Ikan
yang
Diamati
Jumlah
Ikan yang
Terinfestasi
Jumlah
Total
Cacing
Parasitik
Prevalensi
(%)
Intensitas
Cacing
Parasitik
S
M
L
7
6
7
20
2
2
3
7
13
6
5
24
28,57
33,33
42,86
35
6,50 (6-7)
3 (2-4)
1,67 (1-2)
3,40 (1-7)
S
M
L
10
2
12
6
2
8
18
14
32
60
100
66,66
3 (1-7)
7 (2-11)
4 (1-11)
April
Jumlah
September
Jumlah
Data hasil penelitian menunjukkan prevalensi infestasi parasit pada bulan
April lebih rendah daripada bulan September. Prevalensi terendah infestasi cacing
parasitik pada bulan April ditemukan pada ikan yang berukuran S yaitu sebesar
28,57%, kemudian meningkat menjadi 33,33% pada ikan ukuran M, dan
prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran L yaitu sebesar 42,86%. Pada bulan
September, prevalensi infestasi cacing parasitik terendah pada ikan dengan ukuran
S yaitu 60% dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran M sebesar 100%.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan prevalensi infestasi
cacing parasitik seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Prevalensi infestasi
cacing parasitik relatif tinggi pada ikan berukuran lebih besar (M dan L). Hasil
pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Akinsanya et al. (2007) yang
menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil lebih sering terinfestasi parasit
dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar. Namun hasil penelitian ini
selaras dengan Poulin (2000) diacu dalam Dezfuli et al. (2001) bahwa adanya
kecenderungan akumulasi parasit pada inang dari waktu ke waktu sehingga parasit
sering ditemukan pada inang yang lebih besar daripada inang yang lebih kecil.
20
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya tingkat infestasi cacing parasitik
pada ikan berukuran besar diduga karena adanya pengaruh jenis makanan yang
dikonsumsi ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bush et al. (2001) diacu dalam
Tavares et al. (2005) bahwa ikan yang lebih besar sering mengalami perubahan
jenis makanan sehingga lebih mudah terpapar oleh parasit. Selain kebiasaan
makanan (feeding habit), tingkat aktifitas yang tinggi dari ikan dewasa juga
merupakan salah satu faktor penyebab tingginya infestasi parasit pada ikan
dewasa dibandingkan dengan juvenil. Ikan dewasa lebih aktif mencari makan dan
kontak dengan makanan
lebih banyak sehingga cenderung lebih mudah
terinfestasi parasit (Ayanda 2008).
Identifikasi Cacing Parasitik
Total jumlah sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati sebanyak 32
ekor dan 15 ekor terinfestasi cacing parasitik. Dari hasil pengamatan 15 sampel
ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik ditemukan 7 jenis
cacing parasitik dan larva nematoda. Jenis-jenis cacing parasitik terdiri dari 2
monogenea, Pseudempleurosoma sp. dan Benedenia sp.; 2 digenea, Podocotyle
sp. dan Plagioporus sp.; dan 3 nematoda Procamallanus sp., Gnathostoma sp.,
Cucullanus sp. dan larva nematoda.
Deskripsi masing-masing cacing parasitik diuraikan sebagai berikut :
Monogenea
Pseudempleurosoma sp. (Gambar 4)
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Monogenea
Ordo
: Dactylogyrida
Famili
: Ancyrocephalidae
Genus
: Pseudempleurosoma
Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki 1 pasang head organ yang bentuknya
belum sempurna; memiliki 2 pasang bintik mata; pharinx berbentuk
bulat; sistem genital terdiri dari cirrus sac, ovary dan testis. Testis
berbentuk oval dan terdapat dibawah ovary; vitellaria terdapat
disepanjang tubuh; Haptor berbentuk rudimeter, memiliki 14 hook, 2
21
pasang anchor (1 pasang menyerupai marginal hook), memiliki 2
pasang transfer bar (1 pasang jarang terlihat); memiliki 2 anchor root
(inner root dan dorsal root).
ho
es
ph
o
v
h
a
Gambar 4
Pseudempleurosoma sp. Keterangan gambar : ho-head organ; eseyes spot; ph-pharinx; o-ovary; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor.
Benedenia sp. (Gambar 5)
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Monogenea
Ordo
: Dactylogyrida
Famili
: Capsalidae
Genus
: Pseudempleurosoma
Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; pada bagian anterior terdapat 1 pasang
sucker; memiliki 2 pasang bintik mata; ukuran bintik mata pada
bagian anterior lebih kecil dibandingkan dengan posterior; memiliki
pharinx; ovary berada ditengah, testis berjumlah 1 pasang dan
22
terdapat dibawah ovary, memiliki vagina; haptor berbentuk
cakra/bulat, memiliki 14 hook, 2 pasang anchor.
os
e
ph
v
h
a
Gambar 5
Benedenia sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; e-eyes spot; phpharinx; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor.
Digenea
Podocotyle sp. (Gambar 6)
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Digenea
Famili
: Opecoelidae
Genus
: Podocotyle
Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum.
Acetabulum berukuran lebih besar dari pada pharinx dan posisinya
dibagian tengah tubuh. Pada bagian atas acetabulum tertutup oleh
pinggiran yang berbentuk lipatan dari sucker;
usus memanjang
sampai ke bagian posterior; vitellaria berada di belakang tubuh;
saluran excretory memanjang hingga bagian anterior ovary.
23
os
v
a
ds
ev
Gambar 6 Podocotyle sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; ac-acetabulum;
ds-digestive system; ev-excretory vesicle; v-vitellaria. Skala 100 µm.
Plagioporus sp. (Gambar 7)
Filum
: Platyhelminthes
Kelas
: Digenea
Famili
: Opecoelidae
Genus
: Plagioporus
Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; memiliki oral sucker, pharinx dan
acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada oral sucker
dan posisinya equatorial; vitellaria menyebar disepanjang tubuh;
memiliki excretory vesicle yang berbentuk tubular.
Gambar 7 Plagioporus sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; a-acetabulum; evexcretory vesicle.
24
Nematoda
Procamallanus sp. (Gambar 8)
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Famili
: Camallanidae
Genus
: Procamallanus
Deskripsi : Buccal capsul menyatu; memiliki nerve ring, oesophagus dan
intestine; bagian ekor berukuran kecil dan pada bagian ujung
terdapat mucrones yang berukuran kecil.
A
B
bc
oes
cg
i
Gambar 8
m
Procamallanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bcbuccal capsul; oes-oesophagus; i-intestine. (B) Bagian posterior : cgcaudal glands; m-mucrones.
Gnathostoma sp. (Gambar 9)
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Famili
: Gnathostomatidae
Genus
: Gnathostoma
Deskripsi : Bagian kepala seperti balon dan memiliki kumpulan hook; memiliki
oesophagus; tubuh diliputi dengan lapisan cuticular.
25
A
B
h
a
oes
Gambar 9 Gnathostoma sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : h-head;
oes-oesophagus. (B) bagian posterior: a-anus. Skala 100 µm.
Cucullanus sp. (Gambar 10)
Filum
:
Nemathelminthes
Kelas
:
Nematoda
Famili
:
Cucullanidae
Genus
:
Cucullanus
Deskripsi :
Tidak terdapat chitin pada bagian buccal capsul; usus sederhana;
memiliki ovary, bersifat ovipar, telur memiliki selaput yang tipis
dan tersebar pada bagian tengah tubuh sampai ke bagian posterior.
B
A
bc
nr
t
Gambar 10 Cucullanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal
capsul; nr-nerve ring. (B) Bagian posterior : t-tail. Skala 100 µm.
26
Berdasarkan hasil identifikasi, cacing parasitik yang ditemukan pada ikan
Bunglon Batik Jepara yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu sebanyak 7
jenis yang terdiri dari monogenea, digenea dan nematoda. Hasil pengamatan ini
berbeda dengan hasil penelitian Kvach (2005), dari 10 jenis ikan goby yang
diamati ditemukan 24 jenis cacing parasitik dari kelompok digenea, cestoda,
nematode dan acanthocephala dan tidak ditemukan cacing monogenea.
Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa terdapat
infestasi monogenea Gyrodactylus spp. pada ikan goby dari jenis Pamataschistus
microps dan Clupea harengus dari perairan Belgia, Prancis dan Belanda.
Perbedaan jenis-jenis cacing parasitik dari hasil penelitian ini terjadi karena jenis
ikan goby dan
lingkungan geografis yang diamati berbeda. Menurut Kvach
(2005), komposisi jenis fauna cacing dari kelompok ikan goby yang diamati
sangat tergantung pada kondisi geografis dan ekologi inang.
Cacing parasitik yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara
berdasarkan habitat pada tubuh inang terdiri dari ektoparasit dan endoparasit.
Jenis ektoparasit yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara yaitu Benedenia
sp. Menurut Ogawa et al. (1995) diacu dalam Jithendran et al. (2005), diantara
genus Benedenia, B. epinepheli dan B. hawaiensis merupakan spesies yang
memiliki kisaran inang yang sangat luas. Sekitar 25 jenis ikan dapat berperan
sebagai inang dari B. epinepheli. Benedenia sp. merupakan salah satu jenis
monogenea yang ditemukan pada ikan air laut dan menginfeksi insang. Selain
menginfeksi insang, monogenea dari family capsalidae juga menginfeksi kulit
(Jithendran et al. 2005).
Endoparasit yang ditemukan pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari
monogenea : Pseudempleurosoma sp.; digenea : Podocotyle sp., Plagioporus sp.;
dan nematoda : Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva
nematoda. Dari hasil penelitian, pada usus ikan Bunglon Batik Jepara ditemukan
endoparasit Pseudempleurosoma sp. yang termasuk dalam kelompok monogenea.
Menurut Santos et al. (2001), umumnya monogenea merupakan ektoparasit.
Namun beberapa monogenea ada yang dapat beradaptasi menjadi endoparasit
seperti
Diplectanotrema,
Pseudempleurosoma,
Neodiplectanotrema,
27
Paradiplectanotrema,
Pseudodiplectanotrema,
Metadiplectanotrema
yang
ditemukan pada organ pharinx dan oesophagus ikan air laut.
Jenis endoparasit yang menginfeksi ikan Bunglon Batik Jepara umumnya
dari dari kelompok nematoda yaitu 4 jenis. Nematoda ini ditemukan di usus dan
rongga tubuh ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moller dan Anders (1986)
bahwa nematoda sering ditemukan menempel pada dinding usus, lambung dan
lumen.
Pada ikan Bunglon Batik Jepara, juga ditemukan cacing parasitik jenis
Gnathostoma sp. yang termasuk dalam jenis parasit zoonosis. Infestasi
Gnathostoma sp. pada rongga tubuh ikan Bunglon Batik Jepara diduga berasal
dari makanan. Ikan Bunglon Batik Jepara termasuk dalam kelompok ikan
karnivora dan jenis makanannya antara lain zooplankton dan invertebrata yang
berukuran kecil yang terdapat di dasar perairan (MAE 2009, MC 2009). Mengacu
pada Hoffman (1999), inang antara pertama dari cacing nematoda adalah
invertebrata seperti copepoda, insekta dan polychaeta.
Gnathostoma spinigerum merupakan cacing parasitik penyebab penyakit
“creeping disease” yang dapat menimbulkan kerusakan serius pada jaringan
tubuh manusia. Meskipun cacing parasitik ini tidak berkembang menjadi dewasa
pada tubuh manusia, Gnathostoma spinigerum dapat bertahan hidup selama
beberapa tahun didalam tubuh manusia dan bermigrasi keberbagai organ seperti
otot, paru-paru dan kornea. Penyebaran cacing parasitik pada manusia terjadi
melalui konsumsi ikan air tawar mentah (Miyazaki 1960 diacu dalam Moller dan
Anders 1983). Menurut Akester (1988) diacu dalam Hoffman (1999), infestasi
Gnathostoma spinigerum di Mexico berasal dari konsumsi ikan air tawar yang
diasinkan.
Hasil penelitian ini merupakan data awal infestasi Gnathostoma sp. yang
terjadi pada ikan hias laut sehingga belum diperoleh informasi lebih lanjut
mengenai peranan ikan Bunglon Batik Jepara dalam penyebaran cacing zoonosis
Gnathostoma sp. di perairan laut. Menurut Hoffman (1999),
Gnathostoma
merupakan jenis parasit di perairan tawar yang menginfeksi dinding lambung dan
esophagus mamalia. Tahap larva, Gnathostoma terdapat pada copepoda dan ikan.
Infestasi Gnathostoma sp. pada ikan Bunglon Batik Jepara diduga karena
28
pengaruh perubahan iklim. Menurut Dobson dan Carper (1992), perubahan iklim
dapat mempengaruhi penyebaran parasit dan penyakit di daerah tropis. Perubahan
iklim memungkinkan parasit dengan siklus hidup heteroxenic memanfaatkan
inang yang baru dari habitat yang berbeda.
Prevalensi dan Intensitas Cacing Parasitik
Pengukuran prevalensi dan intensitas dilakukan untuk mengetahui tingkat
infestasi masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara.
Prevalensi dan intensitas masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik
Jepara disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis-jenis cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara
No
1
2
3
Jenis Cacing Parasitik
Monogenea
Pseudempleurosoma sp.
Benedenia sp.
Digenea
Podocotyle sp.
Plagioporus sp.
Nematoda
Procamallanus sp.
Gnathostoma sp.
Cucullanus sp.
Larva Nematoda
Lokasi
Jumlah
Ikan yang
Terinfestasi
Prevalensi
(%)
Intensitas
Cacing
Usus
Insang
8
4
21,87
12,5
2,71 (1 – 6)
1,75 (1 – 3)
Usus
Usus
1
1
3,10
3,10
3 (0 – 3)
1 (0 – 1)
Usus
Usus
Usus
Usus
2
1
1
4
6,25
3,10
3,10
12,5
1 (0 – 1)
1 (0 – 1)
2 (0 – 2)
5 (1 – 11)
Lokasi infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara lebih
banyak di usus. Jenis cacing parasitik di usus ikan Bunglon Batik Jepara yaitu
Pseudempleurosoma sp., Podocotyle sp., , Plagioporus sp., Procamallanus sp.,
Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda sedangkan cacing parasitik
di insang yaitu Benedenia sp.
Prevalensi dan intensitas cacing parasitik yang terdapat diusus lebih tinggi
daripada di insang. Pseudempleurosoma sp. merupakan monogenea yang terdapat
di usus yang memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebesar 21,87%. Jumlah parasit di
usus cukup tinggi karena terkait dengan aktifitas pencernaan makanan di usus
yang kemungkinan menyebabkan terjadinya perpindahan kista atau telur parasit
29
dari makanan dan kemudian berkembang di saluran pencernaan. Sedangkan
sedikitnya jumlah parasit yang ditemukan di insang mungkin disebabkan oleh
adanya gerakan air kedalam insang secara terus menerus sehingga tidak
mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup parasit. (Onyedineke et al.
2010). Hal sesuai dengan hasil penelitian bahwa dari kelompok nematoda yang
terdapat di usus, larva nematoda memiliki prevalensi tinggi yaitu 12,5%. Selain
prevalensi yang tinggi, intensitas larva nematoda juga tinggi yaitu sebesar 5 (111). Berdasarkan Luque dan Poulin (2004), kelimpahan larva nematoda pada
inang dipengaruhi oleh jenis makanan. Kelimpahan larva nematoda lebih tinggi
pada ikan predator dibandingkan dengan ikan herbivor dan pemakan plankton.
Adanya infestasi beberapa jenis cacing parasitik menunjukkan bahwa ikan
Bunglon Batik Jepara merupakan inang defenitif, inang antara atau inang
paratenik beberapa jenis parasit. Hal ini sesuai dengan pendapat Kvach (2005),
ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang paratenik
parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan ikan.
Diferensial Leukosit
Pengamatan diferensial leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi
leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Sampel
yang diamati terdiri dari 3 sampel darah ikan yang diasumsikan tidak terinfestasi
cacing parasitik dan 5 sampel darah ikan yang terinfestasi cacing parasitik. Data
diferensial leukosit dapat dilihat pada Lampiran 3.
Leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari limfosit, monosit,
eosinofil, neutrofil
dan basofil (Gambar 11). Hasil pengamatan diferensial
leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara
Jenis Leukosit
Trombosit
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Neutrofil
Basofil
Kondisi Ikan
Tidak Terinfestasi (%)
Terinfestasi (%)
62,3
38,4
23,3
42,4
6,3
6
2,7
3,4
5,3
7,8
1,8
30
a. Basofil
b. Eosinofil
c. Trombosit
d. Neutrofil
c
Gambar 11 Jenis dan bentuk sel darah (tanda panah) ikan Bunglon Batik Jepara
yang terinfestasi cacing parasitik. Keterangan gambar (a) : basofil;
(b) : eosinofil; (c): trombosit; (d) : neutrofil.
Komposisi leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara berbeda. Tabel 5
menunjukkan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak
terinfeksi cacing parasitik terdiri dari 23,3% limfosit, 6,3% monosit, 2,7%
eosinofil, dan 5,3% neutrofil sedangkan komposis leukosit
pada ikan yang
terinfeksi cacing parasitik yaitu 42,4 % limfosit, 7,8% neutrofil, 6% monosit,
3,4% eosinofil dan 1,8% basofil. Jumlah dan persentase komposisi leukosit dalam
sirkulasi darah ikan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit, dan
tahapan siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002).
Pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara
menunjukkan bahwa persentase eosinofil dan basofil rendah. Pada ikan Bunglon
Batik Jepara yang tidak terinfestasi cacing parasitik tidak ditemukan adanya sel
basofil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tavares-Dias et al. (2008) bahwa hanya
sedikit jenis ikan yang memiliki eosinofil atau basofil, dan jarang sekali
31
ditemukan ikan yang memiliki sel eosinofil dan basofil secara bersama dalam
sirkulasi leukosit.
Ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik mengalami
penurunan jumlah trombosit, namun presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil
meningkat. Leukosit merupakan komponen sel yang berperan dalam respon
kekebalan tubuh. Peningkatan presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil diduga
merupakan respon yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Jenkins
(2003) menyatakan bahwa peningkatan jumlah neutrofil mengindikasikan
terjadinya stres atau adanya infeksi penyakit. Neutrofil merupakan jenis leukosit
yang pertama kali bermigrasi ke lokasi infeksi parasit dan pada ikan yang
terinfeksi cacing parasitik D. dendriticum juga terdapat jumlah neutrofil dan
limfosit yang tinggi (Rahkonen dan Pasternack 1999). Selain itu, infestasi cacing
parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang
terinfeksi (Martins et al. 2004).
Selain sel limfosit, eosinofil dan neutrofil, pada leukosit ikan Bunglon Batik
Jepara yang terinfestasi oleh cacing parasitik juga ditemukan adanya basofil.
Basofil yang terdapat pada ikan Bunglon Batik Jepara berperan dalam mengatasi
inflamasi yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Suzuki
(1992), pada ikan puffer terjadi migrasi basofil dalam jumlah besar akibat adanya
peradangan.
Patologi
Perubahan Patologi Anatomi
Berdasarkan pengamatan perubahan makroskopis PA pada ikan Bunglon
Batik Jepara umumnya dalam keadaan normal. Perubahan makroskopis PA yang
diamati pada organ sirip, insang, kulit dan hati berupa sirip rontok, insang pucat,
warna tubuh menjadi pudar, dan hati pucat. Jenis parasit yang berbeda dalam
kondisi lingkungan yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda
terhadap inang (Overstreet 1993). Hasil penelitian Martins et al. (2004)
menunjukkan bahwa insang, hati, jantung dan kantung empedu ikan yang
terinfeksi cacing nematoda mengalami perubahan warna menjadi pucat. Data
perubahan makroskopis PA secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2.
32
Secara umum, perubahan makroskopis PA yang diamati pada ikan
Bunglon Batik Jepara tidak spesifik menunjukan perubahan yang disebabkan oleh
infestasi cacing parasitik.
Perubahan Histopatologi
Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan patologi yang
disebabkan oleh infestasi cacing parsitik pada organ insang dan usus ikan
Bunglon Batik Jepara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat lesio
mikroskopis pada organ yang terinfeksi cacing parasitik. Lesio mikroskopis organ
insang dan usus di skor untuk melihat derajat keparahan. Skor histopatologi organ
insang dan usus disajikan pada Gambar 12.
20
Jumlah organ
16
Insang
12
Usus
8
4
0
1
2
Skor Lesio
3
4
Gambar 12 Histogram skor lesio histopatologi organ ikan Bunglon Batik Jepara.
Gambar 12 merupakan data hasil pengamatan skor lesio organ insang dan
usus yang terdiri dari skor 1, 2, 3 dan 4. Skor lesio 1 menunjukkan derajat
keparahan sangat ringan, skor 2 adalah lesio dengan derajat keparahan ringan,
skor lesio 3 menunjukkan derajat keparahan sedang dan skor lesio 4
menggambarkan derajat keparahan berat. Berdasarkan data histogram diatas, skor
lesio terbanyak yang ditemukan pada organ insang dan usus adalah 2 dengan
derajat keparah ringan.
Organ Insang
Jaringan insang normal dituangkan pada Gambar 13. Hasil pemeriksaan HP
menunjukkan terjadinya kongesti (Gambar 14), peradangan (Gambar 16), fusi dan
33
erosi lamella sekunder (Gambar 15). Dari perubahan diatas disimpulkan bahwa
insang mengalami brankhitis. Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti,
hemoragi, proliferasi sel khlorid dan infiltrasi sel radang. Menurut Noga (2000),
lesio brankhitis dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi parasit.
Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan Parameter terjadinya nekrosa
seperti ekskresi lendir berlebihan dan penggabungan (fusi) lamella merupakan
suatu indikasi adanya respon sistem kekebalan tubuh terhadap cacing parasitik.
Kerusakan pada sel epithel insang disebabkan oleh haptor monegenea yang
menempel pada lamella sekunder ikan Bunglon Batik Jepara. Sekresi yang
dihasilkan parasit menyebabkan kerusakan sel epithel (Buchmann 1999). Menurut
Camargo dan Martinez (2007), perubahan lapisan epithelial, hyperplasia dan
hypertrofi sel epithel, fusi lamella sekunder merupakan mekanisme pertahan
tubuh ikan.
Menurut Leong (2001) diacu dalam Jithendran et al. (2005), infeksi
monogenea B. epinepheli tidak hanya menyebabkan terjadinya hemoragi dan lesio
abrasif, tetapi juga dapat menyebabkan kematian pada ikan laut yang
dibudidayakan karena nekrosa berat pada jaringan insang sehingga mengganggu
sistem pernafasan.
Gambar 13 Jaringan insang normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.
34
*
Gambar 14 Lesio lamella sekunder berupa kongesti yang menyebabkan
pembengkakan pada ujung lamella sekunder (tanda panah) dan
hemoragi lamella sekunder (tanda asterik). Pewarnaan HE. Skala 50
µm.
*
Gambar 15
Lesio pada lamella sekunder berupa akumulasi sel radang sehingga
menyebabkan fusi lamella sekunder (tanda asterik) dan erosi
lamella sekunder (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.
35
*
Gambar 16 Perubahan lamella insang berupa hyperplasia sel epithel lamella
sekunder (tanda asterik), sel radang (tanda kepala anak panah) dan
MMC (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 10 µm.
Perubahan pada insang digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan
derajat keparahannya. skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti dan
hyperplasia epithel; skor 2 ditandai dengan fusi lamella sekunder, hemoragi
peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan
nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat.
Skoring terhadap perubahan histopatologi insang diperoleh bahwa skor
terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa peradangan ringan, hemoragi
ringan, dan fusi lamella sekunder. Ini menunjukkan bahwa organ insang
mengalami kerusakan derajat ringan.
Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), insang merupakan hal yang penting
dalam penyelenggaraan homeostasis lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi
dalam pertukaran gas, insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam
dan air, dan pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang
terdiri dari lapisan yang tipis yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama
36
penyakit. Kerusakan ringan pada struktur insang ikan dapat mengganggu
pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan.
Organ Usus
Dari hasil pengamatan histopatologi, lesio yang terjadi pada organ usus
adalah hyperplasia dan proliferasi sel goblet, kongesti pada lapisan muskularis,
edema, hemoragi pada lapisan muskularis (Gambar 19), adanya MMC pada
lapisan muskularis, adanya Eosinophilic Granular Cell (EGC) pada lamina propria
dan infiltrasi cacing parasitik pada villi (Gambar 20).
Usus ikan yang terinfeksi cacing parasitik menunjukkan enteritis. Enteritis
diindikasikan oleh adanya infiltrasi sel radang (limfosit dan EGC) di mukosa.
Jaringan usus normal dapat dilihat pada Gambar 17. Alat penempel dan sekresi
yang dihasilkan cacing parasitik menyebabkan sel-sel pada mukosa mengalami
peradangan yang diindikasikan dengan kongesti (Gambar 18) dan infiltrasi EGC.
Infiltrasi sel radang terjadi pada lapisan mukosa dan lamina propria usus yang
mengandung pembuluh darah.
Gambar 17
Usus normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.
37
Gambar 18
Perubahan pada organ usus berupa kongesti (tanda kepala anak
panah) dan proliferasi sel goblet (tanda panah). Pewarnaan HE.
Skala 20 µm.
Gambar 19
Perubahan pada organ usus berupa hemoragi pada lapisan mukosa
(tanda panah) dan adanya sel radang (tanda kepala anak panah).
Pewarnaan HE. Skala 50 µm.
38
Gambar 20
Infestasi cacing parasitik pada organ usus (tanda panah) dan
infiltrasi EGC pada lamina propria (tanda kepala anak panah).
Pewarnaan HE. Skala 50 µm.
Perubahan histopatologi pada organ usus diduga karena adanya infestasi
cacing parasitik. Menurut Roberts (2001), parasit cacing yang terdapat di dalam
gastrointestinal dapat menyebabkan lesio pada lapisan mukosa, inflamasi dan
kongesti kelenjar mukosa, dan hemoragi pada usus yang mengakibatkan
terjadinya anemia pada ikan. Umumnya cacing parasitik pada saluran pencernaan
ikan bersifat patogenik. Perubahan patologi oleh cacing berupa kerusakan yang
disebabkan oleh organ penempel (Akinsanya dan Otubanjo 2006).
Adanya cacing parasitik pada permukaan villi akan memacu terjadi produksi
mukus sebagai bentuk pertahan diri terhadap infestasi cacing parasitik. Menurut
McGavin et al. (2001), hiperplasia sel goblet pada epitel saluran cerna merupakan
reaksi pertahanan awal terhadap berbagai kerusakan yang ada di saluran cerna.
Sel goblet merupakan sel penghasil mukus. Hiperplasia sel goblet menyebabkan
produksi mukus berlebihan yang berfungsi melindungi epitel permukaan dari agen
penyebab kerusakan.
39
Selain produksi mukus yang berlebihan, adanya infestasi cacing parasitik
pada villi usus juga memicu terjadinya proliferasi MMC dan infiltrasi sel radang
EGC. Proliferasi MMC merupakan indikasi adanya reaksi pertahanan tubuh pada
ikan (Roberts 2001). Peradangan berupa infiltrasi EGC merupakan respon yang
diberikan ikan terhadap alergen. EGC merupakan bagian dari respon inflamasi
pada inang yang disebabkan oleh infeksi parasit (Reite 1998 diacu dalam Dezfuli
et al. 2000).
Hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan radang pada usus. Peradangan
pada dasarnya merupakan suatu mekanisme perlindungan yang reaksinya bisa
merupakan indikasi awal terjadinya suatu penyakit. Keberadaan EGC yang rusak
di dalam jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya
makrofag secara kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan
menghancurkan mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan (Tizard
1982). Peradangan didefenisikan rangkaian reaksi yang terjadi pada suatu jaringan
apapun penyebabnya termasuk yang diakibatkan agen patogen (Nabib dan
Pasaribu 1989).
Perubahan histopatologi berupa kongesti mengindikasikan adanya kenaikan
jumlah darah di dalam pembuluh darah, kapiler darah tampak melebar penuh terisi
eritrosit. Hemoragi mengindikasikan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik
keluar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh, tampak adanya bintik hemoragi di
lapisan mukosa pada organ tubuh. Perdarahan yang terbatas disebut hematoma.
Bila perdarahan meluas akan terjadi purpura, dan eritrosit terlihat di luar
pembuluh darah (Robert 2001). Pada penelitian ini, cacing parasitik terbukti
menyebabkan gangguan sirkulasi darah yaitu dengan timbulnya kongesti dan
hemoragi pada usus ikan Bunglon Batik Jepara.
Perubahan pada usus digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat
keparahannya. Skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti, hiperplasia sel
goblet dan edema; skor 2 ditandai dengan hemoragi, peradangan dan nekrosa
ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4
ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat.
Skoring terhadap perubahan histopatologi usus diperoleh bahwa skor
terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa hiperplasia sel goblet,
40
peradangan ringan berupa akumulasi sel radang EGC, hemoragi ringan, dan
proliferasi MMC. Ini menunjukkan bahwa organ usus mengalami kerusakan
derajat ringan.
Ringannya tingkat lesio pada organ usus dipengaruhi oleh jenis dan tingkat
intensitas infestasi cacing parasitik pada ikan. Berdasarkan data pengamatan, jenis
cacing parasitik yang terdapat pada usus ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari
monogenea, digenea dan nematoda. Menurut Dezfuli et al. (2003), kerusakan
yang disebabkan oleh cacing parasitik sangat berkaitan erat dengan intensitas
infeksi dan dalamnya penetrasi parasit pada jaringan inang. Trematoda, cestoda
dan nematoda yang terdapat di usus secara umum tidak menyebabkan kerusakan
parah pada saluran pencernaan vertebrata.
41
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pemeriksaan dapat disimpulkan sebagai
berikut :
(1)
Cacing parasitik yang terdapat pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari
monogenea yaitu Pseudempleurosoma sp. dan Benedenea sp.; digenea yaitu
Podocotyle sp. dan Plagioporus sp.; dan nematoda yaitu Procamallanus sp.,
Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda.
(2)
Prevalensi dari infestasi cacing parasitik pada bulan September yaitu musim
hujan lebih tinggi dibandingkan dengan bulan April (musim kemarau).
Umumnya infestasi cacing parasitik terjadi di organ usus. Prevalensi cacing
parasitik semakin meningkat dengan bertambahnya ukuran tubuh.
(3)
Leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari limfosit, monosit,
eosinofil, neutrofil dan basofil. Infestasi cacing parasitik menyebabkan
terjadinya peningkatan persentase sel limfosit, eosinofil, neutrofil dan
basofil pada ikan Bunglon Batik Jepara.
(4)
Infestasi cacing parasitik menimbulkan kerusakan ringan pada jaringan
insang dan usus ikan Bunglon Batik Jepara. Lesio histopatologi berupa
kongesti pada lamella sekunder dan usus, hemoragi lamella sekunder, fusi
dan erosi lamella sekunder, dan infiltrasi sel radang pada lemella sekunder
dan usus.
Saran
Dari hasil penelitian dapat disarankan yaitu :
(1)
Menerapkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk identifikasi
cacing parasitik secara rinci sampai tingkat spesies.
(2)
Dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui cara pencegahan dan
pengobatan infestasi cacing endoparasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara
yang aman bagi ikan dan lingkungan.
(3)
Dilakukan pengamatan infestasi cacing parasitik pada spesies Watchman
Goby lainnya.
42
DAFTAR PUSTAKA
Adam SM. 2002. Biological indicators of aquatic ecosystem stress. Bethesda,
MD, American Fisheries Society. Di dalam : Jenkins JA. 2003. Pallid
Sturgeon in the Lower Mississippi Region : Hematology and Genome
Information. USGS Open File Report 03-406.
Akester M. 1988. Nematoda Infections from Fish. Aquacult. News (Univ. Stirling,
Scotland). 5 hlm. Di dalam: Hoffman GL. 1999. Parasites of North
American Freshwater Fishes. Second edition. Comstock Publishing
Associates.
Akinsanya B, Otubanjo OA. 2006. Helminth Parasit of Clarias gariepinus
(Clariidae) in Lekki Lagoon, Lagos, Nigeria. Rev Bio Trop (Int J Trop Biol)
54(1):93-99.
Akinsanya B, Otubanjo OA, Ibidapo CA. 2007. Helminth Bioload of Chrysichthys
nigrodigitatus (Lacepede 1802) from Lekki Lagoon Lagos, Nigeria. Turkish
Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 7:83-87.
Ayanda OI. 2009. Comparison of parasitic helminthes infection between the sexes
of Clarias gariepinus from ASA dam Ilorin, north-central Nigeria. Scientific
Research and Essay 4(4):357-360.
Buchmann K. 1999. Immune mechanisms in fish skin against monogeneans – a
model. Folia Parasitologica 46:1-9.
Burgess WE, Axelrod HR, Hunziker III RE. 2007. Dr. Burgess’s Atlas of Marine
Aquarium Fishes. 3 rd Edition. TFH Publication, Inc
Bush AO, Fernandez JC, Esch GW, Seed JR. 2001. Parasitism : the diversity and
ecology of animal parasites. Cambridge University Press, Cambridge. 566p.
Di dalam: Tavares LER, Luque JL, Bicudo AJA. 2005. Community ecology
of metazoan parasites of the anchovy Anchoa tricolor (Osteichthyes:
Engraulidae) from coastal zone of the State of Rio de Janeiro, Brazil. Braz J
Biol 65(3).
Camargo MMP, Martinez CBR. 2007. Histopatology of gills, kidney and liver of
a Neotropical fish caged in an urban stream. Neotropical Ichthyology
5(3):327-336.
Chinabut S., Limsuwan C, Kitsawat P. 1991. Histology of Walking Catfish,
Clarias batrachus. IDRC.
Davis AK, Maney DL, Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to measure
stress in vertebrates : a review for ecologist. Functional Ecology 22:760772.
43
De NC, Maity RN. 2000. Development of Procamallanus saccorbranchi
(Nematoda: Camallanidae), a parasite of freshwater fish in India. Folia
Parasitologica 47:2216-226.
Dezfuli BS, Giari L, Arrighi S, Domeneghini C, Bosi G. 2003. Influence of
enteric helminthes on distribution of intestinal endocrine cells belonging to
the diffuse endocrine system in brown trout, Salmo trutta L. Journal of
Fish Diseases 26:155-166.
Dobson A, Carper R. 1992. Global Warming and Potential Changes in HostParasite and Disease-Vector Relationships. New Haven, CT: Yale
University Press.
Fish
Base. 2009. Species summary Cryptocentrus leptocephalus.
http://www.fishbase.ph/Summary/SpeciesSummary.cfm. [3 Maret 2009].
Fung J. 2003. Tank-Bred Watchman Gobies : Essential Fish for Every Reef
Aquarium. http://www.ProAquatic.com. [11 Juni 2008].
Garilao CV, Ortanez AK. 2009. Cryptocentrus leptocephalus Bleeker, 1876.
http://www.fishbase.org/Summary/speciesSummary.php?. [3 April 2009].
Grabda E. 1991. Marine Fish Parasitology. PWN – Polish Scientific Publisher –
Warszawa.
Hoffman GL. 1999. Parasites of North American Freshwater Fishes. Second
edition. Comstock Publishing Associates.
Homatowska A, Wajtaszek J, Adamowicz A. 2002. Haematological Indices and
Circulating Blood Picture in The Sunbleak, Leucaspius delineatus (Heckel,
1843). Zoologica Poloniae 47/3-4:57-68.
Humason GL. 1972. Animal Tissue Techniques. 3 rd Ed. Freeman WH and Co. San
Fransisco, USA. Hlm 1-20.
Huyse T, Malmberg G. 2004. Molecular and morphological comparisons between
Gyrodactylus ostendicus n. Sp. (Monogenea: Gyrodactylidae) on
Pamatoschistus microps (Kroyer) and G. harengi Malmberg, 1957 on
Clupea harengus membras L. Systematic Parasitology 58:105-113.
Jenkins JA. 2003. Pallid Sturgeon in the Lower Mississippi Region : Hematology
and Genome Information. USGS Open File Report 03-406.
Jithendran KP, Vijayan KK, Alavandi SV dan Kailasam M. 2005. Benedenia
epinepheli (Yamaguti 1937), A Monogenean Parasite in Captive
Broodstock of Grouper, Epinephelus tauvina (Forskal). Asian Fisheries
Science 18:121-126.
44
Kalil LF, Polling K. 1997. Checklist of the Helminth Parasites of African
Freshwater Fishes. University of the North Departement of Zoology.
Republic of South Africa. 184 hlm.
Kapel CMO, Measures L, Moeller LN, Forbes L, Gajadhar A. 2003. Experimental
Trichinella Infection in Seals. Int. J. Parasitol. 33: 1463-1470. Di dalam:
Razi Jalali MH, Mazaheri Y, Peyghan R. 2008. Acanthocheilus rotundatus
(Nematoda: Acanthocheilidae) from the intestine of shark (Carcharhinus
macloti) in Persian Gulf, Iran. Iranian Journal of Veterinary Research,
Shiraz University 9(2):178-180.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Statistik Ekspor Hasil
Perikanan 2008. Buku I. Pusat Data, Statistik dan Informasi Sekretariat
Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan. 520 hlm.
Kvach Y. 2005. A comparative analysis of helminth fauna and infection of ten
species of gobiid fishes (Actinopterigii : Gobiidae) in the North-Western
Black Sea. Acta Ichthyol Piscat 35(2):103-110.
Kvach Y. 2006. A morphological study of Acanthocephaloides propinquus
(Acanthocephala, Arhythmacanthidae) parasiting gobiid fishes (Teleostei,
Gobiidae) in the North-Western Black Sea. Acta Parasitologica 51(1):
59-64.
Kvach Y, Skóra KE. 2006. Metazoa parasites of the invasive round goby
Apollonia melanostoma (Neogobius melanostomus) (Pallas) (Gobiidae :
Osteichthyes) in the Gulf of Gdansk, Baltic Sea, Poland : Comparison with
the Black Sea. Parasitol Res. DOI 10.1007/s00436-006-0311-z.
[LA]
Live
Aquaria.
2009.
Pinkspotted
http://www.LiveAquaria..com. [3 Maret 2009].
Shrimp
Goby.
Lagler KF, Bardach JE, Miller RR dan Passino DR. 1977. Ichthyology. Jhon
Willey and Sons Inc. New York.
Leong TS. 2001. Chronology of diseases in cultured marine finfishes.
Aquaculture Asia 6:10-13. Di dalam: Jithendran KP, Vijayan KK, Alavandi
SV dan Kailasam M. 2005. Benedenia epinepheli (Yamaguti 1937), A
Monogenean Parasite in Captive Broodstock of Grouper, Epinephelus
tauvina (Forskal). Asian Fisheries Science 18:121-126.
Luque JL, Poulin R. 2004. Use of fish as intermediate hosts by helminth parasites:
A comparative analysis. Acta Parasitologica 49:353-361.
[MAE] Microcosm Aquarium Explorer. 2009. Pinkspotted Shrimp Goby.
http://en.microcosmaquariumexplorer.com. [3 Maret 2009].
45
Martins ML, Tavares-Dias M, Fujimoto RY, Onaka EM, Nomura DT. 2004.
Hematological alteration of Leporinus macrocephalus (Osteichtyes:
Anostomidae) naturally infected by Goezia leporini (Nematoda:
Anisakidae) in fish pond. Aqr. Bras. Med. Vet. Zootec 56(5):640-646.
[MC] The Marine Center. 2009. Watchman Goby : Pink/Blue Spotted.
http://www.themarinecenter.com. [3 Maret 2009].
McGavin MD, Carlton WW, Zachary JF. 2001. Thomson’s Special Veterinary
Pathology, Third Edition. Mosby Inc. St. Louis
Miyazaki I. 1960. On the genus Gnathostoma and human gnathostomiasis, with
special reference to Japan. Exp.Parasit. 9:338-370. Di dalam: Moller H,
Anders K. 1983. Deseases and Parasites of Marine Fishes. Moller-Kiel.
Moller H, Anders K. 1983. Deseases and Parasites of Marine Fishes. MollerKiel.
Moyle PB, Cech JJ. 1988. Fish an Introduction to Ichthyology. Prentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Depdikbud, Dirjendikti,
PAU Bioteknologi, IPB, Bogor.
Noga EJ. 2000. Fish Disease : Diagnosis and Treatment. Iowa State Press, A
Blackwell Publishing Company, Iowa.
Ogawa K, Bondad-Reantaso MG, Wakabayashi H. 1995. Redescription of
Benedenia epinepheli (Yamaguti 1937) Meserve (1938) (Monogenea
Capsalidae) from cultured and aquarium marine fishes of Japan. Canadian
Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 52:62-70. Di dalam: Jithendran
KP, Vijayan KK, Alavandi SV, Kailasam M. 2005. Benedenia epinepheli
(Yamaguti 1937), A Monogenean Parasite in Captive Broodstock of
Grouper, Epinephelus tauvina (Forskal). Asian Fisheries Science 18:121126.
Onyedineke NE, Obi U, Ofoegbu PU, Ukogo I. 2010. Helminth Parasites of some
Freshwater Fish from River Niger at Illushi, Edo State, Nigeria. Journal of
American Science 6(3):16-21.
Overstreet RM. 1993. Parasitic Diseases of Fishes and Their Relationship with
Toxicants and Other Enviromental Factors. Di dalam: Couch JA, Fournie
JW, editor. Advance in Fisheries Science, Pathobiology of Marine and
Estuarine Organism. CRC Press. Hlm 111-156.
[PKP] Pusat Karantina Pertanian. 1999. Petunjuk Teknis Teknik
Pengembangbiakan dan Penyimpanan Spesimen HPI/HPIK (Parasit,
Mikotik, Bakteri dan Virus). Hlm 5-23.
46
Poulin R. 2000. Variation in the intraspesific relationship between fish length and
intensity of parasitic infection: biological and statistical causes. Journal of
Fish Biology 56:123-137. Di dalam: Dezfuli BS, Giari L, De Biaggi S,
Poulin R. 2001. Associations and interactions among intestinal helminthes
of the brown trout, Salmo trutta, in northern Italy. Journal of Helminthology
75:331-336.
Poynter D. 1966. Some tissue reactions to the nematode parasites of animals. In :
Advances in Parasitology (Ben Daws, ed.) Academic Press. London & New
York. 14:321-328. Di dalam: Ruhela S, Pandey AK, Khare AK. 2006.
Histopathological changes in intestine of Clarias batrachus induced by
experimental Procamallanus infection. J. Ecophysiol Occup. Hlth. 6.
Rahkonen R, Pasternack M. 1999. Effect of experimental Diphyllobothrium
dendriticum infection on the blood leucocyte pattern of brown trout at two
temperature levels. Boreal Environment Research 3:381-386.
Randall DJ. 1970. Gas Exchange in Fish. London Academic Press.
Razi Jalali MH, Mazaheri Y, Peyghan R. 2008. Acanthocheilus rotundatus
(Nematoda: Acanthocheilidae) from the intestine of shark (Carcharhinus
macloti) in Persian Gulf, Iran. Iranian Journal of Veterinary Research
Shiraz University 9(2):178-180.
Reite OB. 1998. Mast cells/granule cells of the teleostean fish: a review focusing
on staining properties and functional responses. Fish Sellfish Immunol.
8:489-531. Di dalam: Dezfuli BS, Giari L, Arrighi S, Domeneghini C dan
Bosi G. 2003. Influence of enteric helminthes on distribution of intestinal
endocrine cells belonging to the diffuse endocrine system in brown trout,
Salmo trutta L. Journal of Fish Diseases 26:155-166.
Roberts RJ. 2001. Fish Pathology. 3rd Edn. W.B Sounders, London & Phildelphia.
Santos CP, Mourao ED, dan Cardenas MQ. 2001. Pseudempleurosoma gibsoni n.
sp., a New Ancyrocephalid Monogenean from Paralonchurus bransiliensis
(Sciaenidae) from off the Southeastern Coast of Brazil. Mem Inst Oswaldo
Cruz, Rio de Janeiro 96(2):215-219.
Sastradipradja D, Sikar SHS, Widjajakusuma R, Ungerer T, Maad A, Nasution H,
Suriawinata R, dan Hamzah R. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi
Veteriner. Depdikbud, Dirjendikti, PAU Ilmu Hayat, IPB, Bogor.
Simbolon H. 2009. Statistika. Graha Ilmu. 350 hlm.
Stephens FJ, Cleary JJ, Jenkins G, Jones JB, Raidal SS dan Thomas JB. 2001.
Treatments to control Haliotrema abaddon in the West Australian dhufish
Glaucosoma hebraicum. Aquaculture in press.
47
Susanto H. 2005. Ikan Hias Air Laut. Penebar Swadaya. 85 hlm.
Suzuki Y. 1992. Basophil Migration in Acute Imflammation in Puffer Fish.
Nippon Suisan Gakkaishi. 58(11), 2005-2007.
Taukhid. 2007. Penyakit Parasitik pada Ikan. [Materi Pelatihan Dasar Karantina
Ikan]. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Tavares-Dias M, Moraes FR, Imoto ME. 2008. Hematological Parameters in Two
Neotropical Freshwater Teleost, Leporinus macrocephalus (Anastomidae)
and Prochilodus lineatus (Prochilodontidae). Biosci J 24(3):96-101.
Tizard I. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran
Hewan Ontorio, Universitas Guelph. WB. Saunders Company. Ontorio,
Canada. Hlm. 18-31.
Velasquez CC. 1975. Digenetic Trematodes of Philippine Fishes. The University
of Philippine Press Quezon City.
Vazquez GR, Guerrero GA. 2007. Charaacteritation of blood cells dan
hematological parameters in Cichlasoma dimerus (Teleostei, Perciformes).
Tissue and cell. 39:151-160.
Williams H, Jones A. 1994. Parasitic Worms of Fish. Taylor & Francis
Publishers. 593 hlm.
Yuwono E. 2001. Fisiologi Hewan I. Departemen Pendidikan Nasional
Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Biologi.
48
Lampiran 1 Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan HematoxyllinEosin
Proses pembuatan sediaan histopatologi dan pewarnaan Hematoxyllin-Eosin :
1. Fiksasi
Jaringan yang akan dibuat sediaan histopatologi difiksasi dalam larutan Buffer
Neutral Formalin (BNF) 10% minimal 48 jam hingga mengeras (matang).
Sampel organ yang terfiksasi dengan sempurna ditrimming setebal ± 0,5 cm.
Potongan kemudian dimasukan dalam tissue cassette untuk dimasukan dalam
tissue processor automatis.
2. Dehidrasi
Proses dehidrasi dimaksudkan untuk menarik air dari jaringan dan mencegah
terjadinya pengerutan sampel yang diuji. Dehidrasi dilakukan dengan cara
merendaman sampel dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat
(70%, 80%, 90%, 95% dan alkohol absolut). Proses perendaman pada masingmasing konsentrasi alkohol dilakukan selama 2 jam. Proses dehidrasi
dilakukan dengan menggunakan mesin otomatis yaitu automatic tissue
processor (Sakura).
3. Clearing
Proses clearing atau penjernihan dilakukan 2 tahap dengan menggunakan
xylol I dan xylol II. Penggunaan xylol dimaksudkan untuk melarutkan alkohol
dan parafin.
4. Infiltrasi
Infiltrasi atau impregnasi adalah proses pengisian parafin ke dalam pori-pori
jaringan. Pengisian pori-pori ini dimaksudkan untuk mengeraskan jaringan
agar mudah dipotong dengan pisau mikrotom. Parafin yang digunakan adalah
parafin histoplast.
5. Embedding dan Blocking
Embedding atau blocking adalah proses penanaman jaringan dalam blok
parafin. Parafin yang digunakan parafin histoplast. Proses embedding
dilakukan dengan menggunakan alat tissue embedding console.
49
6. Sectioning
Sectioning adalah proses pemotongan jaringan dengan menggunakan
mikrotom dengan ketebalan 4 – 5 µm. Pemotongan dilakukan dengan alat
rotary microtome Spencer. Sediaan kemudian di letakan pada gelas objek dan
disimpan dalam inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam.
7. Pewarnaan Hematoxyllin-Eosin
Sebelum melakukan pewarnaan, preparat histopatologi dideparafinisasi
dengan larutan xylol (I dan II) selama dua menit. Kemudian dilakukan proses
rehidrasi dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam alkohol bertingkat
(Alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 80%). Perendaman dalam alkohol
95% dan 80% dilakukan selama 1 menit. Kemudian sediaan dicuci dengan air
yang mengalir (air kran) selama 1 menit. Sediaan diwarnai dengan pewarna
Mayer’s Hematoxyllin dengan tahapan sebagai berikut :
a) Preparat direndam dalam larutan Mayer’s Hematoxyllin selama 8 menit;
b) Dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 30 detik;
c) Dicelupkan ke dalam larutan larutan Lithium Carbonat selama 15 – 30
detik;
d) Dicuci dengan air mengalir (air kran) selama 2 menit;
e) Preparat direndam dalam larutan Eosin selama 2 - 3 menit;
f) Cuci dengan air mengalir (air kran) selama 30 – 60 detik;
g) Preparat dicelupkan ke dalam larutan alkohol 95% dan alkohol absolut
sebanyak 10 kali celupan, absolut II selama dua menit, xylol I selama satu
menit dan xylol II selama dua menit.
8. Mounting
Setelah tahapan pewarnaan, sediaan ditetesi perekat Permount (Fischer, USA)
dan ditutup dengan cover glass.
50
Lampiran 2 Data ukuran dan perubahan makroskopis patologi anatomi pada ikan
Bunglon Batik Jepara
No
W (g)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
TL
(cm)
10,5
11
7,4
9
7,9
7,2
8
9
10,5
10,8
8,2
10,3
10,5
10,4
7
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
8,5
8,6
8,5
9
8
8
7,5
8
7,6
7,3
8,2
8,1
7
7,5
7,5
9
8,5
4,8
5
4,1
4,5
3,6
3,7
2,7
3,8
3,1
3
4,1
3,5
2,1
3
2,6
4,7
4
6,4
7,7
2,4
4,9
2,8
2,3
3
5,1
8,7
8,9
3,8
8
8,2
8,9
2,4
Patologi Anatomi
Sirip dorsal gripis
Normal
Normal
Sirip dorsal gripis
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Insang merah tua, hati gelap, mata buram, warna
tubuh pudar
Normal
Normal
Normal
Insang pucat
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Hati dan insang pucat
Insang pucat
Normal
Hati pucat
Hati pucat
Normal
Normal
51
Lampiran 3 Data diferensial leukosit ikan Bunglon Batik Jepara
No
Kode
Tidak Terinfestasi
cacing parasitik
G.20
1
G.21
2
G.25
3
Jumlah Total
Rata-rata (%)
Terinfestasi cacing
parasitik
1
G.13
2
G.16
3
G.22
4
G.27
5
G.30
Jumlah Total
Rata-rata (%)
Jumlah sel
Monosit
Eosinofil
Trombosit
Limfosit
Neutrofil
Basofil
74
58
55
187
62,3
16
26
28
70
23,3
6
6
7
19
6,3
1
3
4
8
2,7
3
7
6
16
5,3
-
33
55
45
24
35
192
50
36
36
55
35
212
5
5
5
3
12
30
3
1
3
7
3
17
8
3
7
8
13
39
1
1
4
3
9
38,4
42,4
6
3,4
7,8
1,8
52
Lampiran 4 Data skor lesio histopatologi organ ikan Bunglon Batik Jepara
No
Perubahan Histopatologi
1
Bunglon Batik Jepara 01
2
Bunglon Batik Jepara 02
3
Bunglon Batik Jepara 03
4
Bunglon Batik Jepara 04
5
Bunglon Batik Jepara 05
6
Bunglon Batik Jepara 06
7
Bunglon Batik Jepara 07
8
Bunglon Batik Jepara 08
9
Bunglon Batik Jepara 09
10
Bunglon Batik Jepara 10
11
Bunglon Batik Jepara 11
12
Bunglon Batik Jepara 12
13
Bunglon Batik Jepara 13
14
Bunglon Batik Jepara 14
15
Bunglon Batik Jepara 15
16
Bunglon Batik Jepara 16
17
Bunglon Batik Jepara17
18
Bunglon Batik Jepara 18
19
Bunglon Batik Jepara 19
20
Bunglon Batik Jepara 20
21
Bunglon Batik Jepara 21
22
Bunglon Batik Jepara 22
23
Bunglon Batik Jepara 23
24
Bunglon Batik Jepara 24
25
Bunglon Batik Jepara 25
26
Bunglon Batik Jepara 26
27
Bunglon Batik Jepara 27
28
Bunglon Batik Jepara 28
29
Bunglon Batik Jepara 29
30
Bunglon Batik Jepara 30
31
Bunglon Batik Jepara 31
32
Bunglon Batik Jepara 32
Keterangan : TD = Tidak diamati
Skor Organ
Insang
2
2
3
2
1
3
2
2
2
2
2
3
3
2
3
2
3
2
2
3
2
3
2
2
3
3
2
3
3
3
2
TD
Usus
TD
1
TD
TD
2
TD
1
TD
TD
2
2
TD
2
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
TD
2
2
TD
53
Lampiran 5 Analisis statistik non parametrik Chi Kuadrat (X2)
Ukuran
Kondisi
ikan
S
Tidak
terinfestasi
cacing
Terinfestasi
cacing
M
L
S
fo
9
fh
17.17/32=9,03
fo
4
fh
17.8/32=4,25
fo
4
fh
17.7/32=3,72
17
fo
8
17
fh
15.17/32=7,97
fo
4
8
fh
15.8/32=3,75
fo
3
7
fh
15.7/32=3,28
15
32
(fo-fh)2
fh
X2 =
å
X2 =
(9-9,03)2 +
9,03
X2 =
0,0001 + 0,0147 + 0,0211 + 0,0001 + 0,0147 + 0,0211
X2 =
0,0718
(4-4,25)2 +
4,25
(4-3,72)2 +
3,72
(8-7,97)2 +
9,03
(4-3,75)2 +
3,75
(3-3,28)2
3,28
Keterangan :
X2 = Chi Kuadrat
fo = frekuensi yang diamati
fh = frekuensi yang diharapkan
Hipotesis
Ho : Tidak ada hubungan antara ukuran tubuh ikan dengan prevalensi infestasi
cacing parasitik
Ha : Ada hubungan antara ukuran tubuh ikan dengan prevalensi infestasi cacing
parasitik
X2hitung
= 0,0718
X2tabel(0,95;2) = 5,991
Kesimpulan
Harga Chi Kuadrat (X2) hitung lebih kecil dari harga Chi Kuadrat (X2) tabel, maka
hipotesis nol diterima dan hipotesis alternatif ditolak. Hal ini berarti tidak ada
hubungan antara ukuran tubuh ikan dengan prevalensi infestasi cacing parasitik.
Download