PENGARUH SUHU PADA PROTEASE DARI Bacillus

advertisement
Prosiding Skripsi Semester Genap 2009-2010
SK-091304
PENGARUH SUHU PADA PROTEASE DARI Bacillus subtilis
Mukhamad Kosima, Surya Rosa Putrab
Jurusan Kimia FMIPA ITS Surabaya
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
ABSTRAK
Bacillus subtilis adalah salah satu bakteri yang bersifat termofilik fakultatif. Telah dilaporkan bahwa bakteri ini dapat
menghasilkan enzim protease. Protease merupakan enzim proteolitik yang mengkatalisis pemutusan ikatan peptida pada
protein. Pada penelitian ini, protease diisolasi dari Bacillus subtilis dan diuji pengaruh suhu pada aktivitasnya yaitu
pada 35oC-50oC dengan menggunakan kasein sebagai substrat. Protease dipekatkan dengan metode liofilisasi. Kadar
protein diuji dengan metode Bradford, sedangkan aktivitasnya diuji dengan metode Nakanishi menggunakan
spektrofotometer. Kadar protein diperoleh 1.68 mg tiap 1 mg sel kering. Aktivitas optimumnya adalah 0.278 U/mg dan
dicapai pada suhu 40oC
Kata kunci : Protease, Bacillus subtilis, metode Bradford, liofilisasi
1.
Pendahuluan
Enzim merupakan protein yang berfungsi sebagai
biokatalis dalam sel hidup. Kelebihan enzim
dibandingkan katalis biasa adalah (1) dapat
meningkatkan produk beribu kali lebih tinggi; (2)
bekerja pada pH yang relatif netral dan suhu yang
relatif rendah; dan (3) bersifat spesifik dan selektif
terhadap subtrat tertentu. Enzim telah banyak
digunakan dalam bidang industri pangan, farmasi dan
industri kimia lainnya. Dalam bidang pangan misalnya
amilase, invertase, glukosa-isomerase, papain, dan
bromelin, sedangkan dalam bidang kesehatan
contohnya amilase, lipase, dan protease. Enzim dapat
diisolasi dari hewan, tumbuhan dan mikroorganisme
(Boyer, 1971).
Protease merupakan enzim proteolitik yang
mengkatalisis pemutusan ikatan peptida pada protein.
Protease dibutuhkan secara fisiologi untuk kehidupan
organisme
pada
tumbuhan,
hewan
maupun
mikroorganisme (Rao et al., 1998). Penggunaan
tumbuhan sebagai sumber protease dibatasi oleh
tersedianya tanah untuk penanaman dan kondisi yang
cocok untuk pertumbuhan. Disamping itu proses
produksi protease dari tumbuhan sangat memakan
waktu. Protease tumbuhan yang dikenal antara lain
papain, bromelain, dan keratinase. Protease hewan
yang paling dikenal adalah tripsin, kimotripsin, pepsin
dan rennin. Enzim-enzim ini dapat diperoleh dalam
keadaan murni dengan jumlah besar (Boyer, 1971).
a
correspondent author, ph: +62818382398
email: [email protected]
b
email: [email protected]
Mikroorganisme adalah sumber enzim yang paling
banyak digunakan dibandingkan dengan tanaman dan
hewan. Sebagai sumber enzim, mikroorganisme lebih
menguntungkan karena pertumbuhannya cepat, dapat
tumbuh pada substrat yang murah, lebih mudah
ditingkatkan hasilnya melalui pengaturan kondisi
pertumbuhan dan rekayasa genetik, serta mampu
menghasilkan
enzim
yang
ekstrim.
Adanya
mikroorganisme yang unggul merupakan salah satu
faktor penting dalam usaha produksi enzim. Oleh
karena itu, penggalian mikroorganisme indigenous
penghasil protease perlu dilakukan di Indonesia.
Keragaman hayati yang tinggi memberikan peluang
yang besar untuk mendapatkan mikroorganisme yang
potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil
enzim.
Termofilik sebagai salah satu jenis bakteri dapat
tumbuh pada suhu tinggi di atas suhu tumbuh rata-rata
bakteri mesofil yaitu 45oC-70oC. Oleh karena memiliki
ciri khas demikian, maka bakteri ini sebagian besar
tumbuh dan hidup pada daerah bersuhu tinggi, seperti
sumber air panas, kawah gunung berapi, dan tempat
pengomposan. Keuntungan dari bakteri ini adalah
memiliki protein yang dapat bekerja pada kondisi
lingkungan dengan suhu tinggi dimana protein/ enzim
lain dapat mengalami denaturasi. Salah satu protease
termostabil dapat dihasilkan dari mikroorganisme
termofilik yaitu Bacillus subtilis.
Pada penelitian ini dilakukan isolasi enzim
protease dari bakteri Bacillus subtilis. Substrat yang
digunakan adalah larutan kasein. Enzim yang diperoleh
sebagian dipekatkan dengan cara liofilisasi dan
diperoleh kandungan protein sebesar 0.69 mg/mL
(ekstrak liofilisasi) dan 0.61 mg/mL (ekstrak kasar).
Optimasi enzim dilakukan terhadap faktor suhu dimana
variasi suhunya adalah 30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan
50oC. Aktivitas optimum dicapai pada suhu 40oC yang
mencapai 0.192 U/mL.
2.
Bahan dan Metode
2.1 Bahan-bahan Media Tumbuh
Mikroorganisme yang digunakan dalam penelitian
ini adalah bakteri Bacillus subtilis yang diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Sains dan
Teknologi Unair Surabaya. Bahan – bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah media padat agar
nutrisi (Oxoid), media cair nutrisi (Oxoid), KH 2 PO 4,
MgSO 4 .7H 2 O, ammonium sulfat, kasein (Merck),
aquades, reagen bradford, tirosin, Larutan TCA 10%
(Bioanalitika) . Media padat yang digunakan adalah
media kompleks berupa agar nutrisi dengan takaran 40
g/L. Media cair dibuat menggunakan bahan – bahan
yang terdiri dari (g/L) : cairan nutrisi 15, KH 2 PO 4 1,
dan MgSO 4 .7H 2 O 0.5. Media tersebut dilarutkan
dalam 20 mL, 100 mL, dan 1 L aquades. Media diatur
pada pH 7 dengan menggunakan NaOH 0.1 M. Larutan
kasein 1% dibuat dengan cara kasein dilarutkan pada
buffer fosfat pH 7. Media dan larutan kasein ini
disterilisasi pada 121oC selama 15 menit.
2.2 Uji Sterilisasi Bacillus subtilis
Kandungan protein dalam enzim dilakukan
dengan metode Bradford (Bradford, 1976). Sebanyak 7
mL sampel ditambah 3 ml pereaksi Bradford,
selanjutnya campuran dihomogenkan dan diinkubasi
selama 5 menit pada suhu 30oC dan kemudian diukur
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 595 nm. Nilai absorbansi dikonversikan
dengan kurva standard BSA yang telah dibuat.
Pengukuran aktivitas enzim dilakukan dengan
metode Nakanishi (Nakanishi, 1974). Pada metode ini
kasein digunakan sebagai substrat. Sebanyak 3 mL
kasein ditambahkan dengan 0.5 mL enzim dan
diinkubasi pada 30oC selama 10 menit. Reasksi
dihentikan dengan penambahan larutan TCA sebanyak
3 mL. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi
pada panjang gelombang 275 nm. Blanko yang
digunakan adalah 3 mL kasein ditambahkan 3 mL TCA
dan 0.5 mL enzim.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Uji Sterilitas Bacillus subtilis
Bakteri Bacillus subtilis diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Airlangga Surabaya. Uji
sterilitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
apakah biakan yang ada tersebut hanya terdiri dari
spesies B. subtilis. Uji ini hanya dilakukan dengan
mengamati bentuk morfologi bakteri.
Uji sterilisasi dilakukan dengan inokulasi 2 ose
biakan dari media padat ke dalam 10 mL media cair.
Biakan diinkubasi pada suhu 45oC selama 2-3 jam.
Biakan media cair selanjutnya diambil 100 µL dan
diteteskan pada media kaca preparat steril dan dilihat
pada mikroskop dengan perbesaran 100X. Biakan
selanjutnya diamati morfologinya.
2.3 Pembuatan Kurva Pertumbuhan
Biakan media padat diambil sebanyak 2 ose dan
dimasukkan dalam 20 mL media cair. Selanjutnya
biakan diinkubasi selama 3 jam dengan shaker
incubator pada 120 rpm dan 45oC. Media berisi bakteri
yang telah dishaker selanjutnya dipindahkan ke dalam
80 mL media cair lain dan diinkubasi dengan shaker
incubator pada 120 rpm dan 45oC. Biakan diukur
dengan metode turbidimetri dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 600 nm setiap 1 jam selama
20 jam.
2.4 Produksi dan Karakterisasi Protease
Kultur awal yang telah diinkubasi sebanyak 20
mL dimasukkan ke dalam 1L media cair dan diinkubasi
pada inkubator bergoyang selama 8 jam pada 120rpm,
45oC. Setelah itu disentrifuge dan diambil supernatan
sebagai ekstrak kasar protease. Ekstrak kasar yang
didapat diukur volumenya kemudian diliofilisasi
hingga mengalami pemekatan ± 3 kali.
Gambar 3.1 Biakan bakteri pada perbesaran 100X
Foto mikroskopik pada Gambar 3.1 menunjukkan
adanya bakteri yang berbentuk batang (basil), dan tidak
dijumpai adanya morfologi bakteri lain sehingga dari
biakan yang ada menunjukkan bahwa spesies yang ada
hanyalah Bacillus subtilis, dimana bakteri ini memiliki
morfologi berupa batang (Noirot, 2007).
3.2 Pembiakan Bacillus subtilis
Sel Bacillus subtilis yang digunakan dalam
produksi enzim adalah pada saat fase log. Oleh karena
itu diperlukan data untuk mengetahui fase pertumbuhan
dari
bakteri
tersebut
melalui
data
kurva
pertumbuhannya. Data kurva pertumbuhan dibuat
dengan biakan pada media padat bakteri diinokulasi
pada media cair yang digunakan sebagai kultur awal.
Kultur awal media cair ini bertujuan untuk
menyeragamkan usia bakteri dari biakan padat.
Kurva pertumbuhan diperoleh dengan metode
turbidimetri, yaitu melihat jumlah bakteri dengan
mengukur densitas optik pada panjang gelombang 600
nm (DO 600 ) sebagai fungsi waktu dimana pengukuran
dilakukan selama 20 jam dengan selang waktu 1 jam.
Prinsip dasar metoda turbidimetri adalah, jika cahaya
mengenai sel, maka cahaya dipantulkan dan cahaya
yang tidak mengenai sel akan diteruskan. Jumlah
cahaya yang diteruskan proporsional (berbanding lurus)
dengan transmitan, sedangkan cahaya yang dipantulkan
berbanding terbalik dengan transmitan atau berbanding
lurus dengan absorbansi.
Gambar 3.2 Kurva pertumbuhan B. subtilis
Dari kurva pertumbuhan Bacillus subtilis pada
Gambar 3.2, dapat dilihat bahwa Bacillus subtilis
melakukan adaptasi pada fase lag selama ± 4 jam.
Waktu adaptasi ini dapat dikatakan singkat. Hal ini
dikarenakan media starter untuk pertumbuhan awal
bakteri sama dengan media produksi, akibatnya usia sel
relatif seragam atau homogen, karena transter ini hanya
bertujuan untuk menghomologkan umur bakteri agar
seragam. Setelah mengalami fase adaptasi, sel mulai
membelah dengan kecepatan yang sangat rendah
karena baru selesai tahap penyesuaian diri. Fase ini
merupakan fase pertumbuhan awal.
Setelah mengalami fase adaptasi, maka bakteri
akan memasuki fase log. Fase log adalah fase dimana
bakteri mengalami pertumbuhan yang sangat cepat, dan
dapat dikatakan pada fase ini bakteri mengalami
pertumbuhan eksponensial. Selain itu, kebutuhan akan
energi bagi bakteri pada fase ini lebih tinggi
dibandingkan pada fase lainnya. Oleh karena itu, pada
fase ini bakteri banyak memproduksi zat-zat metabolit
yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan
nutrisinya. Pada penelitian ini, fase log bakteri terjadi
pada jam ke-5 hingga jam ke-13. Oleh karena itu
dilakukan isolasi protease pada jam ke-8 sebagai
pertengahan dari fase log bakteri.
Kerapatan optik menurun setelah jam ketigabelas.
Pada fase ini bakteri mulai memasuki fase kematian.
Kematian ini terjadi karena zat makanan yang
diperlukan bakteri berkurang dan hasil ekskresi bakteri
telah bertimbun dalam medium, sehingga menganggu
pembiakan dan pertumbuhan bakteri selanjutnya.
Pengamatan terhadap kurva pertumbuhan Bacillus
subtilis telah dilakukan oleh Susanti (2003) dimana
fase lognya dimulai pada jam ke-2. Data densitas optik
pada Gambar 3.3 menunjukkan perbedaan dimana pada
kurva pertumbuhan yang diteliti oleh Elvi Susanti
memiliki rentang densitas optik antara 0-4, sedangkan
pada penelitian ini hanya berada pada rentang 0-0.7.
Perbedaan yang signifikan ini terjadi karena medium
yang digunakan pada penelitian Susanti menggunakan
media susu skim sehingga memiliki turbiditas yang
lebih besar. Panjang gelombang yang digunakan dalam
pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 600
nm, namun alasan pengukuran densitas optik pada
panjang gelombang tersebut tidak pernah dijelaskan
secara pasti.
Gambar 3.3 Kurva pertumbuhan Bacillus subtilis
(Susanti, 2003)
3.3 Karakterisasi Protease
Tabel 3.1 menunjukkan hasil karakterisasi dari
protease yang diperoleh dari Bacillus subtilis. Protease
dipisahkan dari media produksi dengan cara
disentrifugasi pada 8000 rpm. Hasil sentrifugasi berupa
supernatan dipisahkan dari endapannya. Supernatan ini
, yang selanjutnya disebut dengan ekstrak kasar enzim
dipekatkan dengan metode liofilisasi dengan
pemekatan 3 kali. Metode liofilisasi bertujuan untuk
memekatkan ekstrak kasar dalam keadaan dingin
sehingga tidak merusak struktur zat yang dipekatkan
tersebut (Susanti, 2003).
Tabel 3.1 Karakterisasi Protease
Aktivitas Protease
Sel
Kering
(mg/mL)
Kadar
Protein
(mg/mL)
0.41
0.69
Aktivitas
(U/mL
enzim)
0.094
Aktivitas
Spesifik
(U/mg
protein)
0.136
Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode
Bradford. Metode Bradford didasarkan pada pengikatan
secara langsung zat warna Coomassine Brilliant Blue
G250 (CBBG) oleh protein yang mengandung residu
asam amino dengan rantai samping aromatik (Tirosine,
Tryptophan dan Phenylalanine) atau bersifat basa
(Arginine, Histidine dan Leucine) (Georgiou, 2008)
seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.4. Reagen
CBBG bebas berwarna merah-kecoklatan (λmaks 465
nm), sedangkan dalam suasana asam reagen CBBG
akan berada dalam bentuk anion yang akan mengikat
protein membentuk warna biru (λmaks 595 nm).
Jumlah CBBG yang terikat pada protein proporsional
dengan muatan positif yang ditemukan pada protein
(Markwell, 2007).
Panjang
gelombang
maksimum
Bradford
ditentukan dengan menggunakan larutan standar
Bovine Serum Albumine (BSA) 2 mg/mL. Larutan
standar diukur dengan reagen Bradford pada variasi
panjang gelombang antara 560-620 nm dengan selang 5
nm. Hal ini karena warna komplementer atau warna
yang diserap oleh larutan adalah biru dimana warna
biru memiliki daerah panjang gelombang antara 575615 nm (Khopkar, 1994).
Gambar 3.4 Struktur CBBG-protein (Georgiou, 2008)
Hasil pengukuran kadar protein selanjutnya
diinterpolasikan terhadap kurva standard protein,
dimana protein yang digunakan adalah Bovine Serum
Albumine (BSA). Kurva standar BSA dibuat dengan
beberapa variasi konsentrasi BSA. Variasi konsentrasi
tersebut dipilih berdasarkan kandungan protein dalam
sampel, dimana variasi konsentrasi BSA dalam kurva
standar haruslah mencakup konsentrasi protein dalam
sampel yang diuji. Variasi konsentrasi yang digunakan
dalam kurva standar adalah 0.1 mg/mL; 0.2 mg/mL;
0.3 mg/mL; 0.4 mg/mL; 0.5 mg/mL; 0.6 mg/mL; dan
0.7 mg/mL. Absorbansi yang diperoleh dari masingmasing konsentrasi diplotkan sebagai ordinat,
sedangkan konsentrasi sebagai axis.
Enzim protease ditentukan konsentrasi proteinnya
dengan cara sampel hasil liofilisasi diambil 7 ml dan
ditambahkan 3 ml reagen Bradfod, lalu diinkubasi
selama 5 menit. Setelah waktu inkubasi, adsorbansi
larutan enzim protease bebas ditentukan pada panjang
gelombang maksimum (λ maks = 595 nm) sebanyak dua
kali. Nilai absorbansi yang diperoleh yaitu 0.288 dan
0.287 dan kedua harga absorbansi tersebut diambil ratarata yaitu 0.2875. Hasil adsorbansi yang diperoleh
diinterpolasikan pada persamaan garis dari kurva
standar BSA yang telah dibuat sehingga diperoleh
konsentrasi enzim protease yang terukur sebesar 0.48
mg/mL. Untuk mengetahui konsentrasi sebenarnya
maka konsentrasi terukur dikalikan dengan faktor kali
10/7 akibat penambahan reagen Bradford sehingga
didapatkan konsentrasi enzim protease sebenarnya
adalah 0.69 mg/mL.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh
Mardhiah (2009), diperoleh sel kering untuk inkubasi
sel selama 8 jam sebesar 0.41 mg/mL. Oleh karena itu,
bila dibandingkan dengan kadar protein yang diperoleh
maka akan dihasilkan 1.68 mg protein tiap 1 mg sel
kering.
Aktivitas ekstrak kasar enzim diuji dengan
menggunakan metode Nakanishi (1974). Metode ini
menggunakan kasein sebagai substrat. Kasein
ditambahkan dengan sejumlah enzim ekstrak liofilisasi.
Substrat kasein diambil sebanyak 3 mL dan
ditambahkan 0.5 mL enzim. Kontrol yang digunakan
adalah larutan yang sama seperti pada pengujian
sampel, namun berbeda dalam urutan penambahannya.
Protease yang ada akan menghidrolisis kasein
menjadi asam amino. Besarnya aktivitas protease
ditentukan berdasarkan jumlah tirosin yang dihasilkan
dari hidrolisis kasein yang dapat ditentukan secara
spektrofotometri pada panjang gelombang 275 nm.
Nilai 275 nm merupakan panjang gelombang
maksimum untuk penyerapan sinar UV oleh asam
amino aromatik seperti tirosin, tripthofan, dan
fenilalanin. Larutan yang mengandung sedikit asam
amino aromatik mempunyai absorptivitas rendah pada
panjang gelombang 275 nm (Sulastri, 2008).
Aktivitas enzim protease dinyatakan dalam unit.
Satu unit aktivitas enzim dinyatakan sebagai banyaknya
ml enzim yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 mg
tirosin dalam setiap menit dari substrat kasein 1%
(w/v). Pengukuran aktivitas enzim dilakukan dengan
menginterpolasikan nilai absorbansi yang diperoleh ke
dalam persamaan linier kurva standar tirosin, kemudian
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Tabel 3.2 Pengaruh Suhu Pada Aktivitas Protease
Ae = x.V
a.b
Suhu
Inkubasi
(°C)
di mana:
Aktivitas Protease
Aktivitas (U/mL
enzim)
Aktivitas
Spesifik (U/mg
protein)
A e = aktivitas enzim (mg/mL menit)
30
0.094
0.136
x = konsentrasi tirosin (mg/mL)
35
0.124
0.180
40
0.192
0.278
45
0.135
0.196
50
0.125
0.181
V = volume total sampel tiap tabung (mL)
a = volume enzim (mL)
b = waktu reaksi (menit)
(Nakanishi, 1974)
Berdasarkan tabel 3.1, terlihat bahwa ekstrak
liofilisasi memiliki kadar protein 0.69 mg/mL, dengan
aktivitasnya 0.094 U/mL serta aktivitas spesifik sebesar
0.136 U/mg. Merujuk pada penelitian yang dilakukan
oleh Susanti (2003), hasil liofilisasi menunjukkan nilai
yang berbeda. Hasil liofilisasi menunjukkan kadar
protein sebesar 22.825 mg/mL dengan aktivitas 2.356
U/mL. Perbedaan yang signifikan pada kadar protein
ini terjadi akibat penggunaan media yang berbeda
dimana penelitian Susanti menggunakan media susu
skim yang memberikan efek kandungan protein yang
tinggi pada hasil liofilisasinya.
Nilai aktivitas protease juga berbeda dengan
penelitian Susanti dimana pada penelitian ini diperoleh
aktivitas hasil liofilisasi sebesar 0.094 U/mL.
Perbedaan ini terjadi akibat suhu inkubasi yang lebih
rendah dimana pada penelitian ini hanya 30oC
sedangkan penelitian rujukan protease diinkubasi pada
37oC. Rendahnya suhu inkubasi mengakibatkan
kecilnya energi kinetik yang dihasilkan sehingga
menurunkan intensitas tumbukan antara substrat dan
enzim.
Penentuan aktivitas enzim juga dilakukan dengan
variasi suhu untuk memperoleh suhu optimum. Variasi
suhu dilakukan saat inkubasi kasein oleh enzim
protease dimana enzim yang digunakan merupakan
ekstrak liofilisasi. Variasi yang digunakan adalah 30oC,
35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC.
Dari tabel 3.2 dan gambar 3.6 menunjukkan
bahwa aktivitas optimum enzim protease dicapai pada
suhu 40oC dengan aktivitas 0.192 U/mL. Hasil suhu
optimum ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh El-Safey dkk (2004), yaitu suhu
optimum enzim pada 40oC, namun sedikit berbeda dari
penelitian yang dilakukan oleh Palaniswamy (2008).
Aktivisas optimum dari protease yang dihasilkan dari
fungi strain Aspergillus niger seperti yang
dilaporkannya mencapai 89 U/mL pada suhu 45oC
seperti yang terlihat pada gambar 4.5. Aktivitas yang
tinggi ini disebabkan perolehan enzim ekstraseluler
yang diisolasi dari fungi lebih tinggi dibandingkan dari
mikroba lainnya. Pemisahan enzim dari miselium fungi
dapat dilakukan dengan penyaringan sederhana,
sementara dari mikroba lainnya seperti bakteri
dilakukan dengan sentrifugasi.
Gambar 3.5 Kurva aktivitas enzim protease pada
variasi suhu (Palaniswamy, 2008)
Gambar 3.6 Pengaruh suhu pada aktivitas protease
Peningkatan suhu menyebabkan aktivitas enzim
meningkat. Hal ini disebabkan oleh suhu yang makin
tinggi akan meningkatkan energi kinetik, sehingga
menambah intensitas tumbukan antara substrat dan
enzim. Tumbukan yang sering terjadi akan
mempermudah pembentukan kompleks enzim-substrat,
sehingga produk yang terbentuk makin banyak. Pada
suhu optimum, tumbukan antara enzim dan substrat
sangat efektif, sehingga pembentukan kompleks enzimsubstrat makin mudah dan produk yang terbentuk
meningkat. Peningkatan suhu lebih lanjut akan
menurunkan aktivitas enzim. Hal ini disebabkan karena
enzim mengalami denaturasi. Enzim mengalami
perubahan konformasi pada suhu terlalu tinggi,
sehingga substrat terhambat dalam memasuki sisi aktif
enzim.
4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pada penentuan kurva
pertumbuhannya, Bacillus subtilis yang digunakan
dalam penelitian ini, menunjukkan sifat pertumbuhan
dengan fase adaptasi yang relatif cepat yaitu 4 jam.
Protease yang dihasilkan dari bakteri ini memiliki
kandungan protein yang lebih tinggi 1.1 kali setelah
mengalami pemekatan 3 kali, dengan kandungan
protein ekstrak liofilisasinya sebesar 0.69 mg/mL.
Pengaruh suhu terlihat pada penentuan aktivitas
dimana variasi suhu yang digunakan adalah 30oC-50oC
dengan menggunakan kasein sebagai substrat. Aktivitas
tertinggi diperoleh sebesar 0.192 U/mL dan dicapai
pada suhu 40oC.
5.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Surya Rosa
Putra, M.S., selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan pemahaman dan bimbingan dalam
penulisan prosiding ini.
6.
Daftar Pustaka
Boyer, H. W., and Carlton. B. C., (1971), Production
of Two Proteolytic Enzymes by A
Transformable Strain of Bacillus subtilis,
Arch. Biochem. Biophys, 128:442-455
Bradford, (1976), A Rapid and Sensitive Method for
Quantitation of Microgram Quantities of
Protein Utilizing the Principle of ProteinDye-Binding, Anal Biochem; 72:248-54
Markwell, J., (2007), Assay for Determination of
Protein Concentration, In: Current Protocols
in Protein Science, John Wiley & Sons, New
York
Nakanishi, T., Minamiura, N., and Yamamoto, T.
(1974) Agricultural Biological Chemistry 38,
37-44
Noirot, P., (2007), Replication of the Bacillus subtilis
Chromosome,
Bacillus:
Cellular
and
Molecular Biology, Graumann P, ed., Caister
Academic Press
Rao, M.B., (1998), Molecular and Biotechnological
Aspects of Microbial Proteases Microbiology
and Molecular Biology Rev, Sci Am, 62 : 597635
Sulastri, S., (2008), Pemanfaatan Protease dari Akar
Nanas pada Proses Pembuatan Virgin
Coconut Oil (VCO), ITB
Susanti, V.H, (2003), Isolasi dan Karakterisasi
Protease dari Bacillus subtilis 1012M15,
FKIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Download