IDENTIFIKASI DAN STUDI AKTIVITAS PROTEASE Bacillus sp ASAL LIMBAH CAIR RUMAH POTONG AYAM TRADISIONAL SEBAGAI KANDIDAT PENGHASIL BIODETERJEN IDENTIFY AND STUDY OF Bacillus Sp PROTEASE ACTIVITY LIQUID WASTE OF TRADITIONAL POULTRY SLAUGHTER HOUSE TO PRODUCE BIODETERGENT Mohammad H. Yusufa, Masdiana C. Padaga, Dyah A. Octavianie Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Program Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya [email protected] ABSTRAK Bacillus sp merupakan salah satu bakteri yang dapat ditemukan pada limbah cair Rumah Potong Ayam (RPA) tradisional. Bacillus sp adalah bakteri yang mampu menghasilkan protease dalam jumlah besar. Protease merupakan salah satu enzim yang dibutuhkan dalam industri bidoterjen Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan melakukan studi aktivitas protease Bacillus sp asal limbah cair RPA tradisional sebagai kandidat penghasil biodeterjen. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan isolasi bakteri, identifikasi Bacillus sp, dan uji aktivitas protease Bacillus sp secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa enam isolat Bacillus sp berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dari limbah cair RPA tradisional. Empat dari enam Bacillus sp mampu menunjukkan aktivitas protease secara kualitatif. Hasil uji kuantitatif aktivitas protease menghasilkan satu isolat Bacillus sp yang mampu menunjukkan aktivitas protease tertinggi sebesar 0,117 U/ml. Protease yang dihasilkan termasuk dalam kategori cukup tinggi dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai biodeterjen. Kata kunci : Rumah Potong Ayam, Bacillus sp, Protease, Biodeterjen ABSTRACT Bacillus sp is one of bacteria which is found in liquid waste of traditional poultry slaughter house. Bacillus sp can produce protease in considerable high amount. Protease is known as enzyme needed for biodetergent industry. This research was aimed was to identify and study Bacillus sp protease activity in liquid waste of traditional poultry slaughter house to produce biodetergent. The research steps were consisted of bacteria isolation, Bacillus sp identification, and protease activity test both qualitatively and quantitatively. The results showed that six isolates were found in liquid waste of traditional poultry slaughter house. Four of six isolates show protease activity. The highest protease activity was 0.117 U/ml indicated that the isolate has the potency to be used as biodetergent producer. Keywords : Poultry Slaughter House, Bacillus sp, Protease, Biodetergent PENDAHULUAN Rumah Potong Ayam (RPA) merupakan salah satu industri di bidang peternakan yang bergerak dalam fungsi pemotongan ayam hidup dan mengolah menjadi karkas yang siap konsumsi (Singgih dan Kariana, 2008). Dampak negatif dari industri ini yaitu menghasilkan limbah berbentuk padat dan cair. Menurut Del and Damianovic dalam Tarntip dan Thungkao (2011), pemotongan ayam akan menghasilkan limbah cair terutama di proses pemotongan dan pencucian karkas. Kandungan limbah cair RPA diantaranya adalah limbah kimia-fisik dan mikrobiologi. Mikroba yang terkandung dalam limbah cair RPA diantaranya adalah Bacillus subtilis, Bacillus thuringiensis, dan Lysinibacillus fusiformis (Tarntip dan Thungkao, 2011). Menurut Baehaki (2011), Bacillus sp merupakan salah satu jenis bakteri yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan protease. Protease merupakan satu diantara tiga kelompok enzim komersial yang diperdagangkan sebagai katalisator hayati. Protease dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi industri pangan dan non-pangan. Salah satu industri non-pangan yang memanfaatkan protease adalah industri biodeterjen. Biodeterjen adalah zat pencuci yang memanfaatkan enzim sebagai bahan aktif utama. Saat ini, penggunaan biodeterjen telah mencapai hampir di seluruh dunia karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan deterjen sintetik. Biodeterjen lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan deterjen sintetik. Hal ini didasarkan bahwa komponen utama biodeterjen adalah protease yang bersifat efisien, selektif dan mengkatalisis reaksi tanpa produk samping (Naiola, 2002). Kebutuhan biodeterjen yang meningkat menyebabkan peningkatan terhadap kebutuhan protease. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan produksi protease yang mudah serta biaya yang relatif rendah. Menurut Naiola (2002), penggunaan mikroorganisme untuk produksi protease memiliki beberapa kelebihan diantaranya mudah diproduksi dalam skala besar, waktu produksi relatif pendek serta dapat diproduksi berkesinambungan dengan biaya yang relatif rendah. Salah satu mikroorganisme yang termasuk dalam kategori di atas adalah Bacillus sp. Berdasarkan penelitian Tarntip dan Thungkao (2011) telah ditemukan isolat Bacillus sp asal limbah cair RPA sebagai biomeulsifier serta memiliki sifat proteolitik dan lipolitik. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan identifikasi dan studi aktivitas protease Bacillus sp asal limbah cair RPA tradisional untuk mengetahui potensinya sebagai penghasil biodeterjen. MATERI DAN METODE Alat dan Bahan Bahan yang diperlukan adalah Pepton HIMEDIA REF RM 001-500G, Tryptone Soya Agar (TSA) OXOID CM0131, Nutrient Broth (NB) HIMEDIA REF RM 002-500G, Skim Milk Agar Mediax Merk CRITERIONUSA, O/F Basal Medium MERCK 1.10282, oksidase stick, bahan-bahan untuk pewarnaan Gram, laktosa, glukosa, tryptone, substrat kasein, larutan buffer, TCA, tirosin. Sedangkan peralatan yang akan digunakan adalah seperangkat alat gelas, cawan petri, objek glass, vortex, spektrofotometer UVVIS 1601 (Shimadzu®), oven, inkubator, autoklaf, Laminar Air Flow (LAF) Nuaire Class II, timbangan, sentrifus. Prosedur Penelitian Isolasi Bakteri Isolasi bakteri dilakukan sesuai dengan standar metode uji mikrobiologi menrut Standar Nasional Indonesia (SNI) 6887-1:2012. Limbah cair RPA tradisional di wilayah kota Malang diambil sebanyak 60 ml yang dimasukkan ke dalam botol steril. Limbah diperlakukan pengenceran berseri 101 –10-6 menggunakan pepton water steril. Hasil pengenceran 10-2, 10-4, dan 10-6 ditanam menggunakan metode pour plate pada media Trypthone Soya Agar (TSA), diinkubasi pada suhu 30°C selama 48 jam. Hasil koloni yang ditumbuh dilakukan penghitungan koloni serta pengamatan morfologi koloni. Pemurnian bakteri dilakukan dengan menanam pada media TSA diinkubasi pada suhu 30°C selama 48 jam. Target pemurnian adalah setiap koloni yang memiliki perbedaan morfologi. Selanjutnya, dipilih 5 jenis koloni dominan untuk dilakukan karakterisasi koloni dan bakteri. Masing-masing jenis koloni sejumlah 2 sehingga diperoleh 56 isolat yang berasal dari limbah pemotongan dan limbah cucian karkas. Hasil permunian ditumbuhkan pada agar miring media TSA diinkubasi pada suhu 30°C selama 48 jam dan disimpan pada suhu -20°C. Untuk uji selanjutnya, dilakukan penanaman pada agar miring media TSA untuk mendapatkan fresh culture. Identifikasi Bacillus sp Isolat yang tumbuh di agar miring (fresh culture) diuji dengan pewarnaan Gram. Selanjutnya dilakukan identifikasi menentukan Bacillus sp menurut Barrow (1993) yaitu uji katalase, oksidase, motilitas, spora, laktosa, sukrosa dan glukosa. Uji Kualitatif Protease Uji kualitatif protease dilakukan menurut Pakpahan (2009) yaitu isolat Bacillus sp ditumbuhkan pada media selektif agar susu skim (pH 6,5). Isolat diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Hasil positif ditandai dengan adanya zona bening disekitar tumbuhnya koloni bakteri. Sebaliknya, hasil negatif ditandai dengan tidak adanya zona bening disekitar tumbuhnya koloni bakteri. Uji Aktivitas Protease Uji aktivitas protease dilakukan menurut Baehaki (2011) yaitu dengan cara Isolat Bacillus sp yang memiliki nilai positif hasil uji kualitatif ditumbuhkan pada media pertumbuhan yaitu Nutrient Broth (NB). Selanjutnya dilakukan proses produksi protease dan pengukuran aktivitas protease. a) Produksi Protease Ekstraksi enzim protease dilakukan dengan cara sentrifugasi media pertumbuhan bakteri dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit pada suhu 4°C. Dengan teknik ini, sel akan mengendap oleh adanya gaya gravitasi sedangkan enzim tetap terdapat pada supernatan. Supernatan sebagai sampel uji aktivitas protease. b) Pengukuran Aktivitas Protease (1)Pembuatan Kurva Baku Tirosin Disiapkan 10 labu ukur dan masingmasing diisi larutan baku tirosin 20 ppm 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 mL sehingga dihasilkan konsentrasi 2,4,6,8,10,12,14,16,18,20 ppm. Setelah itu ditambah akuades sampai tanda batas kemudian tabung ditutup dengan penutupnya lalu dikocok. Selanjutnya serapan cahaya/UV pada masing-masing konsentrasi larutan baku diukur pada panjang gelombang maksimum yaitu 275 nm. Blanko yang digunakan adalah akuades. (2)Pengukuran Aktivitas Protease Langkah awal yang dilakukan adalah mencampurkan 200 µL kasein 500 ppm, 300 µL larutan bufer fosfat pH 7 dan 100 µL enzim protease lalu didiamkan 60 menit pada suhu 37˚C di atas penangas air. Kemudian ditambahkan 400 µL larutan TCA 4% didiamkan selama 30 menit pada suhu 27˚C (suhu kamar). Selanjutnya diputar dengan alat sentrifugasi 4000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil 100 µL dan diencerkan 5 kali volume sampel dengan bufer fosfat lalu diukur nilai absorbansinya pada λ maks tirosin sebesar 275 nm. Blanko yang digunakan dibuat dengan prosedur sama dengan penentuan aktivitas, tetapi untuk perlakuan penambahan TCA dilakukan secepatnya setelah penambahan larutan enzim. Adapun pengukuran aktivitas enzim protease dilakukan dengan menggunakan rumus : Aktivitas enzim = x x fp fp p Dimana : v q = volume total sampel (mL) = waktu inkubasi (mL) = faktor pengencaran = jumlah enzim (mL) HASIL DAN PEMBAHASAN Bacillus sp pada Limbah Cair Rumah Potong Ayam (RPA) Tradisional Ada lima jenis koloni dominan yang selanjutnya dilakukan karakterisasi berdasarkan pengamatan morfologi koloni dan bakteri. Hasil karakterisasi koloni dan bakteri dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik morfologi koloni dan bakteri asal limbah cair RPA tradisional Kode Isolat Morfologi Koloni Warna Bentuk Tepi 1 2 3 4 Putih Putih Putih Putih 5 Kuning bulat Rata bulat Rata bulat Rata tak tidak beraturan rata bulat Rata Rerata Morfologi Bakteri Bentuk Gram cocobacill bacill coccus bacill negatif positif negatif positif cocobacill negatif Rerata Jumlah Koloni Bakteri Limbah Limbah Cucian Pemotongan Karkas (cfu/ml)* (cfu/ml)* 27 x 102 ±14.3 35 x 103±19.2 5.3 x 102±14.3 4.4 x103±19.2 1.4 x 103±19.2 2 3.5 x 10 ±14.3 7.2 x 10 ±14.3 2 8.5 x 103±19.2 9.7 x 103±19.2 *Rerata jumlah bakteri dihitung dari duplikat sampel yang ditanam pada duplikat cawan dengan 4 ulangan. Hasil pegamatan morfologi koloni bakteri limbah cair RPA tradisional menunjukkan bahwa empat isolat berbentuk bulat dan satu isolat tidak beraturan. Hasil pengamatan karakteristik morfologi koloni Bacillus sp asal limbah cair RPA tradisional menunjukkan warna putih serta memiliki bentuk koloni yang bulat dan tidak beraturan. Perbedaan bentuk koloni disebabkan oleh masa inkubasi. Menurut Corbin (2004), koloni Bacillus sp memiliki karakteristik umum memiliki warna krem keputihan serta dapat berbentuk bulat dan tidak beraturan pada masa inkubasi 24 - 48 jam. Limbah cucian karkas memiliki jumlah koloni bakteri dengan rerata 9.7 x103±19.2 cfu/ml (Tabel 1). Nilai ini lebih besar dibandingkan limbah pemotongan yang memiliki jumlah koloni bakteri dengan rerata 7.2 x 102±14.3 cfu/ml. Faktor besarnya jumlah koloni bakteri limbah cucian karkas dipengaruhi oleh sumber air serta tempat cucian karkas yang digunakan selama proses pencucian karkas (Tarntip dan Thungkao, 2011). Isolat bakteri yang berbentuk Bacill pada pengamatan mikroskopis yaitu koloni dengan kode isolat 2 dan 4. Jumlah koloni Bacillus sp yang ditemukan pada limbah pemotongan berjumlah 8.8 x102±14.3 cfu/ml dan limbah cucian karkas berjumlah 4.4x103±19.2 cfu/ml. Perbedaan ini dipengaruhi oleh adanya Bacillus sp yang dapat ditemukan pada air yang digunakan dalam proses pencucian karkas (Tarntip dan Thungkao, 2011). Menurut geornaras (2000) jumlah koloni Bacillus sp dapat mencapai 37.4 % dari jumlah total koloni bakteri yang diisolasi dari limbah cair RPA. Berdasarkan hasil pengamatan uji-uji identifikasi diperoleh hasil pada Tabel 2. Tabel 2. Uji identifikasi Bacillus sp Kode Isolat LC21 LC22 LP21 LP22 LP41 LP42 Keterangan Spora Gram Motilitas Aerobik + + + + + + Positif Positif Positif Positif Positif Positif + + + + + + + + + + + + Katalase Oksidase OF + + + + + + + + + + F F - Keterangan Genus Bacillus Bacillus Bacillus Bacillus Bacillus Bacillus :LC21 ( Limbah cucian karkas, jenis morfologi bakteri 2 (Tabel 5.1) ) LP41 ( Limbah pemotongan, jenis morfologi bakteri 4 (Tabel 5.1) ) O (Oksidatif), F (Fermentatif) Bacillus sp merupakan bakteri berbentuk batang, tergolong bakteri gram positif pada kultur muda, motil (reaksi nonmotil kadang terjadi), menghasilkan spora yang biasanya resisten pada panas, bersifat aerob (beberapa spesies bersifat anaerob fakultatif), katalase positif, dan oksidasi bervariasi. Tiap spesies berbeda dalam penggunaan gula, sebagian melakukan fermentasi dan sebagian tidak (Barrow, 1993). Selain Bacillus sp¸ pada limbah cair RPA tradisional ditemukan koloni bakteri yang berwarna kuning dan putih serta berbentuk cocobacill pada pengamatan mikroskopis. Hal ini diidentifikasi dan didiuga sebagai ciri-ciri bakteri Pseudomonas sp. Pada penelitian ini fokus pada pembahasan Bacillus sp walaupun populasinya lebih sedikit dibandingkan dengan populasi Pseudomonas sp. Hal ini didasarkan penelitian Tarntip dan Thungkao (2011) yang menunjukkan bahwa beberapa spesies dari genus Bacillus asal populasi limbah cair RPA yang memiliki aktivitas protease. Aktivitas Protease Bacillus sp asal Limbah Cair RPA Tradisional Isolat Bacillus sp asal limbah cair RPA dilakukan uji aktivitas protease untuk mengetahui potensinya sebagai pengahasil biodeterjen. Menurut penelitian Tarntip dan Thungkao (2011) beberapa jenis Bacillus sp yang berasal dari limbah cair RPA memiliki sifat proteolitik. Aktivitas hidrolisis secara kualitatif merupakan gambaran dari kemampuan bakteri proteolitik membentuk zona bening di sekitar isolat yang ditumbuhkan dalam media agar skim susu. Media uji kualitatif dalam penelitian ini menggunakan media agar susu. Menurut Pakpahan (2009), Susu merupakan media yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri karena mengandung banyak nutrien. Kasein merupakan protein susu yang terdiri daru fosfoprotein yang berikatan dengan kalsium membentuk garam kalsium yang disebut kalsium kalsenat. Molekul ini sangat besar dan tidak larut dalam air serta membentuk koloid. Suspensi ini berwarna putih serta mampu diamati secara langsung saat disuspensikan dalam kultur media padat. Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri merupakan tanda hilangnya partikel kasein di media susu skim. Adanya enzim proteolitik ekstraseluler bakteri, kasein akan terhidrolisis menjadi peptidapeptida dan asam amino yang larut. Enzim ekstraseluler Bacillus sp sangat efisien dalam memecah berbagai senyawa karbohidrat, lipid dan protein rantai panjang menjadi unit-unit rantai pendek atau senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Berikut ini merupakan hasil gambaran uji kualitatif protease Bacillus sp asal limbah cair RPA tradisional, LP21 LP 41 LP22 LP42 LC21 LC22 Gambar 1. Hasil Uji Aktivitas Kualitatif Protease Bacillus sp Hasil Positif (LP21, LP22, LP41, LP42) dan Hasil Negatif (LC21, C22) Zona bening yang terbentuk di sekitar koloni bakteri merupakan tanda hilangnya partikel kasein di media susu skim. Adanya enzim proteolitik ekstraseluler bakteri, kasein akan terhidrolisis menjadi peptida-peptida dan asam amino yang larut. Enzim ekstraseluler Bacillus sp sangat efisien dalam memecah berbagai senyawa karbohidrat, lipid dan protein rantai panjang menjadi unit-unit rantai pendek atau senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Berdasarkan hasil uji aktivitas kualitatif protease (Gambar 1), empat dari enam isolat Bacillus sp berhasil merombak kasein dalam media susu skim yang ditandai dengan adanya zona bening. Tabel 3. Hasil uji kualitatif dan aktivitas protease Bacillus sp Kode Isolat LC21 LC22 LP21 LP22 LP41 LP42 Aktivitas Kualitatif Protease + + + + Uji Aktivitas Protease 37°C, pH = 7 (U/ml) Tidak diuji Tidak Diuji 0,094 0,076 0,117 0,083 Keterangan : (+) Terbentuk zona bening (-) Tidak terbentuk zona bening Pembentukan zona bening pada setiap isolat sangat dipengaruhi oleh suhu dan pH selama perlakuan di laboratorium. Menurut Lehninger (2005), aktivitas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pH, konsentrasi substrat dan enzim, suhu serta adanya aktivator dan inhibitor. Metode ini tidak selalu menjadi dasar yang baik untuk melihat aktivitas enzimatisnya, sehingga perlu adanya uji lanjutan pengukuran aktivitas protease. Ada perbedaan nilai aktivitas protease berdasarkan aktivitas yang dihasilkan oleh Bacillus sp pada suhu 37°C dan pH 7 (Tabel 3). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah spesies Bacillus sp. Setiap spesies bakteri memiliki batas toleransi tertentu terhadap parameter lingkungan tertentu. Fleksibilitas mikroba dalam beradaptasi pada lingkungan yang berbeda terlihat ekspresi genetik yang berubah. Bakteri proteolitik yang berhasil bertoleransi dengan lingkungan akan menghasilkan enzim protease dengan nilai tertinggi (Sumardi, 2009). Empat isolat menunjukkan aktivitas protease (Tabel 3). Ada satu isolat yang memiliki aktivitas protease cukup tinggi pada suhu inkubasi 37°C yaitu isolat LP41 dengan aktivitas 0,117 U/ml. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai aktivitas protease penelitian Sumardi (2009) yang menggunakan suhu 40°C yaitu sebesar 0,091 U/ml. Suhu merupakan salah satu faktor vital yang mempengaruhi aktivitas protease. Menurut Baehaki (2011), pada umumnya setiap enzim memiliki aktivitas maksimum pada suhu tertentu, aktivitas enzim akan semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya suhu sampai suhu optimum tercapai. Peningkatan suhu akan mempengaruhi perubahan konformasi substrat sehingga sisi aktif substrat mengalami hambatan untuk memasuki sisi aktif enzim dan menyebabkan turunnya aktivitas enzim. Selain suhu, aktivitas protease sangat dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH). Aktivitas protease tertinggi Bacillus sp pada pH 7 yaitu 0,117 U/ml (Tabel 3). Nilai ini lebih besar dibandingkan penelitian Baehaki (2011) yang mendapatkan nilai aktivitas protease sebesar 0,1 U/ml pada pH 7. Perubahan pH yang ekstrim akan menyebabkan enzim mengalami denaturasi. Hal ini menyebabkan gangguan terhadap berbagai interaksi non kovalen yang menjaga kestabilan struktur 3 dimensi enzim (Baehaki, 2011). Protease merupakan salah satu kebutuhan vital bagi industri biodeterjen. Penggunaan protease untuk biodeterjen dapat berupa enzim kasar atau enzim murni. Menurut Amara (2009), protease kasar yang dihasilkan oleh bakteri memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai biodeterjen dalam bentuk tunggal maupun kombinasi. Mekanisme kerja protease dalam biodeterjen yaitu menghilangkan noda dengan menghidrolisisnya menjadi peptida-peptida kecil. Protease yang dihasilkan oleh Bacillus sp asal limbah cair RPA sangat memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai biodeterjen. Biodeterjen dapat dijadikan sebagai upaya alternatif penanganan limbah cair RPA tradisional secara biologis. Penanganan limbah secara biologis memanfaatkan metabolisme bakteri dalam memecah material organik limbah. Limbah cair RPA merupakan limbah cair yang mengandung material protein yang tinggi. Biodeterjen bekerja dengan melakukan pemecahan molekul-molekul protein melalui aktivitas protease. Selain itu, biodeterjen mampu melakukan upaya menekan pertumbuhan bakteri pada lingkungan limbah cair RPA tradisional. Sehingga, biodeterjen merupakan salah satu zat pencuci yang ramah dan aman bagi lingkungan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diatas maka disimpulkan bahwa Limbah cair Rumah Potong Ayam (RPA) tradisional mengandung mikroba jenis Bacillus sp. Sebagian besar Bacillus sp ditemukan pada limbah cair jenis limbah cucian karkas yaitu 4.4 x 103 ±19.2 cfu/ml. Empat dari enam Bacillus sp asal limbah cair RPA tradisional memiliki kemampuan menghasilkan protease dalam uji kualitatif dan uji aktivitas protease dengan satu isolat yang mampu menunjukkan aktivitas tertinggi sebesar 0,117 U/ml pada suhu 37°C dan pH 7. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada direktorat jenderal DIKTI karena telah memberikan pembiayaan penelitian ini sehingga penelitian ini mampu selesai sesuai dengan yang diharapkan. Terima kasih kepada Laboratorium Sentral Ilmu Hayati, Mikrobiologi Program Kedokteran Hewan, serta Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya yang telah menjadi tempat penelitian. Terima kasih kepada dosen pembimbing serta rekan-rekan peneliti atas dukungan serta bantuan dalam kerjasama yang baik untuk penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Amara, A.A., R.S. Soheir dan M.S.A. Shabeb. 2009. The Possibility to Use Bacterial Protease and Lipase as Biodetergent. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry 4 (2): 104-114 Anonim. 2012. SNI ISO 6887-1 : Penyiapan Contoh Uji, Suspensi Awal, Dan Pengenceran Awal Untuk Pengujian Mikrobiologi. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Baehaki, A., Rinto dan B. Arif. 2011. Isolasi dan Karekterisasi Protease dari Bakteri Tanah Rawa Indralaya, Sumatera Selatan. J. Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XXII (1) : 1016 Corbin, B.D. 2004. Identification and Characterization Bacillus thuringiensis. J. Bacteriol. 186 : 7736–7744. Geornaras. 2000. Bacterial Populations Associated with Poultry Processing in a South Africa abattoir. J. Food Microbiology 13(6):457-465. Lehninger, A. L. 2005. Dasar-Dasar Biokimia Jiid 1. Erlanggga. Jakarta. Hal : 100-105 Naiola, E., dan N. Widiawati. 2002. Isolasi, Seleksi, dan Optimasi Produksi Protease dari Beberapa Isolat Bakteri. Berita Biologi 6 (3) : 9-16. Pakpahan, R. 2009. Isolasi Bakteri dan Uji Aktivitas Bakteri Protease Termofilik Dari Sumber Air Panas Sipoholon Tapanuli Utara Sumatera Utara. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Singgih M.L dan M. Kariana. 2008. Peningkatan Produktifitas & Kinerja Lingkungan Dengan Pendekatan Green Productivity Pada Rumah Pemotongan Ayam XX ,Purifikasi “J. Tekling 9 (2) : 21 Sumardi, L., dan Dewi. 2009. Isolasi Bacillus Penghasil Protease Dari Saluran Pencernaan Ayam Kampung. Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2009 Tarntip.R dan S. Thungkao. 2011. Isolation of proteolytic, lipolytic, and bioemulsifying bacteria for improvement of the aerobic treatment of poultry processing wastewater. Afr. J. Microbiol. Rsc 5 (2) : 30