HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN

advertisement
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN
MENGHADAPI PENSIUN PADA PEGAWAI BANK BRI
Rina Oktaviana
Retno Kumolohadi
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara
kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI.
Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara
kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI.
Semakin tinggi kecerdasan emosi, maka semakin rendah tingkat kecemasan
menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. Begitupun sebaliknya, semakin rendah
kecerdasan emosi, maka semakin tinggi tingkat kecemasan menghadapi pensiun pada
pegawai Bank BRI.
Subjek dalam penelitian ini adalah pegawai Bank yang akan memasuki masa
pensiun, dan sebagai karyawan tetap BRI yang akan memasuki masa pensiun (maksimal
5 tahun) serta usia subjek antara 50-55 tahun. Teknik pengambilan data yang digunakan
adalah menggunakan skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala Kecerdasan
Emosi yang berjumlah 36 aitem, mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Goleman
(1999) dan skala kecemasan menghadapi pensiun yang berjumlah 30 aitem mengacu
pada karakteristik kecemasan menghadapi pensiun yang dikemukakan oleh Brill dan
Hayes (1981).
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas
program SPSS for Window 11.5 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara
kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI.
Korelasi Spearman-Rho menunjukkan nilai sebesar rxy = -0.462; p = 0.000 yang artinya
ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan
menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. Jadi hipotesis penelitian ini diterima.
Kata Kunci : Kecerdasan Emosi, kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank
BRI.
1
2
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
KECEMASAN MENGHADAPI PENSIUN PADA PEGAWAI BANK BRI
Pengantar
Latar Belakang
Kehidupan yang serba komplek dan rumit ini, manusia dituntut untuk
menciptakan dan mencapai keserasian, serta kebahagiaan hidup bersama dan
tidak melupakan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu cara
untuk dapat mencapai tujuan tersebut ialah aktivitas bekerja. Melalui kegiatan ini
orang berusaha mengaktualisasikan keberadaan dirinya. Usaha-usaha orang
untuk mencapai kebutuhan hidup, menciptakan kemajuan, meraih kesuksesan,
dan perkembangan yang dialami mencerminkan sumber daya manusia yang
berkualitas baik, senantiasa berusaha untuk mencapai keberhasilan seoptimal
mungkin, dan meningkatkan produktivitasnya. Kerja merupakan aktivitas dasar
manusia dewasa dan merupakan bagian inti dari kehidupan. Bekerja dapat
memberikan kegairahan, kegembiraan dan memberi arti tersendiri bagi manusia,
sehingga kerja memberikan makna dan semangat hidup kepada orang dewasa
(Kartono, 2000).
Manusia bekerja tidak hanya untuk mendapatkan upah, tetapi juga untuk
mendapatkan
kesenangan
karena
dihargai
oleh
orang-orang
dalam
lingkungannya. Bekerja juga menjadi kegiatan sosial yang memberikan respek
atau penghargaan, status sosial, dan juga prestise sosial yang merupakan tiga
unsur terpenting bagi kesejahteraan lahir-batin manusia dalam menegakkan
martabat dirinya (Kartono, 2000). Namun tidak selamanya manusia dapat
3
melakukan aktivitas kerja, terutama bagi mereka yang bekerja pada suatu kantor
atau instansi.
Seiring dengan berjalannya waktu individu dihadapkan pada suatu
kenyataan bahwa tidak selamanya manusia dapat bekerja, ada saatnya ketika
sudah mencapai masa tua, seseorang akan berhenti dari pekerjaannya atau
pensiun dan beristirahat untuk dapat menikmati hasil yang diperolehnya selama
bekerja. Seseorang yang pensiun berarti mengalami perubahan pola hidup dari
bekerja menjadi tidak bekerja. Manusia tidak selamanya dapat melakukan
aktivitas secara formal, terutama bagi yang bekerja di kantor atau instansi
tertentu, sehingga individu tersebut harus berusaha menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi.
Pensiun merupakan akhir dari seseorang melakukan pekerjaannnya.
Pensiun seharusnya membuat seseorang senang karena bisa menikmati hari
tuanya, tapi banyak orang bingung bahkan cemas ketika akan menghadapi masa
pensiun. Banyak alasan dikemukakan, salah satunya mengatakan bahwa
mereka butuh pekerjaan (www.google.com).
Menurut Rini (2001) pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang
tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah
merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapinya
kelak. Dalam era modern sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor
terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan, dapat
memperkuat harga diri). Oleh karenanya, sering terjadi orang yang pensiun
bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya ada yang
mengalami problem serius (psikis maupun fisik).
Pendapat hampir sama juga dikemukakan oleh Kartono (dalam Admin,
2007) yang menyatakan bahwa seseorang yang memasuki masa pensiun
4
seringkali merasa malu karena menganggap dirinya sebagai ”pengangguran”
sehingga menimbulkan perasaan-perasaan minder, rasa tidak berguna, tidak
dikehendaki, dilupakan, tersisihkan, tanpa tempat berpijak dan seperti ”tanpa
rumah”. Hal ini berbeda dengan ketika orang tersebut masih bekerja, dirinya
merasa terhormat dan merasa berguna. Selain itu pada waktu masih bekerja
seseorang mendapatkan bermacam-macam fasilitas materiil, sedangkan setelah
pensiun fasilitas kerja tidak ada lagi. Oleh karena itulah seseorang yang
memasuki masa pensiun mengalami kondisi ”kekosongan”, merasa tanpa arti
dan tanpa guna sehingga menjelang masa pensiun orang tersebut mengalami
kecemasan akan bayangan-bayangan yang dikhayalkannya sendiri. Padahal
sebenarnya, yang menjadi kriteria pokok itu bukan kondisi dan situasi pensiun
serta menganggur, akan tetapi bagaimana caranya seseorang menghayati dan
merasakan keadaannya yang baru itu. Kondisi mental dan tipe kepribadian
seseorang sangat menentukan mekanisme reaktif seseorang menanggapi masa
pensiunnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang cenderung merasa cemas
ketika akan memasuki masa pensiun. Hal ini dikarenakan orang tersebut
mempunyai sudut pandang negatif tentang pensiun. Sebagai contoh SR salah
satu karyawan Bank BRI di Banten dengan jabatan Assisten Manajer Business,
ketika akan memasuki masa pensiunnya selama dua tahun ke depan mulai
merasakan
kecemasan
yang
membuatnya
merasa
terganggu.
Menurut
keluarganya, terkadang subjek terbangun di tengah malam dan sulit untuk tidur
kembali, sering merasa cepat lelah, dan terkadang sering marah-marah tanpa
sebab yang jelas (hasil wawancara dengan keluarga SR pada tanggal 19 januari
2008). Hal ini dikarenakan pikiran bahwa masa pensiun adalah masa yang
sangat tidak menyenangkan, suram, tidak dihormati lagi, dan kehilangan semua
5
fasilitas jabatan yang selama ini dinikmati. Padahal perjalanan kehidupannya
belum selesai. Anak-anak masih memerlukan biaya kuliah. Bukan hanya biaya
keluarga yang tidak sedikit, tapi dalam masa pensiun sangat mungkin banyak
fasilitas yang dicabut.
Berdasarkan hasil observasi pada wawancara pertama dengan salah satu
pegawai BRI di atas menunjukkan bahwa adanya kecemasan ketika akan
menghadapi pensiun. Sehingga dapat diketahui bahwa sumber kecemasan
seseorang yang memasuki masa pensiun bisa karena beberapa hal misalnya
cemas karena takut kehilangan jabatan dan fasilitas bagi mereka yang sudah
memegang jabatan, bisa karena cemas akan kehilangan sumber pencaharian
setelah memasuki masa pensiun, juga bisa karena bayangan tidak akan dihargai
setelah memasuki masa pensiun, dan lain-lain.
Idealnya masa pensiun tidak perlu ditanggapi dengan kecemasan, artinya
seseorang akan lebih merasa banyak sisi positif yang bisa di ambil ketika masa
pensiun tiba. Menurut Back (Admin, 2007) hal-hal yang dapat mempengaruhi
seseorang dalam menerima masa pensiun sebenarnya adalah masalah
emosional para pekerja terhadap pensiun itu sendiri. Apabila pensiun semakin
dianggap sebagai perubahan ke status baru, maka pensiun akan semakin tidak
dianggap sebagai membuang status yang berharga dengan demikian akan
terjadi transisi yang lebih baik. Memasuki masa transisi ini seseorang sudah
menyusun rencana-rencana yang harus dilakukan setelah tiba masa pensiun.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kondisi emosional yang
menganggap bahwa masa pensiun hanya merupakan masa transisi dari
kehidupan bekerja menjadi kehidupan tidak bekerja, akan membuat seorang
karyawan yang memasuki masa pensiun tidak terlalu terbebani dengan keadaan
tersebut. Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh orang yang memasuki masa
6
transisi adalah melakukan persiapan-persiapan memasuki masa tersebut dengan
mengelola keadaan emosinya sehingga dalam menghadapi masa pensiun akan
lebih siap.
Menurut Bar-on (Stein&Book, 2002) kecerdasan emosi mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungan. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi membuat mereka
mampu mengatasi kecemasan yang terjadi pada saat menghadapi pensiun.
Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi,
mampu untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati,
tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan mampu menjalin
hubungan sosial dengan baik, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta
kemampuan untuk memimpin (Goleman, 2000). Orang-orang yang dikuasai
dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, mengalami kekurangmampuan
dalam pengendalian moral (Hurlock, 1994).
Aspek perasaan lebih penting daripada logika dalam pengambilan
keputusan dan tindakan. Akan tetapi Individu cenderung menekankan
pentingnya IQ dalam kehidupan. Padahal kecerdasan tidaklah berarti apabila
emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosi menambahkan jauh lebih banyak sifatsifat yang membuat manusia menjadi lebih manusiawi. Goleman berpendapat
(dalam Agustian, 2001) bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat
berbeda dengan IQ, kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja, tidak
memandang seseorang tersebut memiliki sifat pemalu, pemarah atau sulit
bergaul dengan orang lain. Banyak kasus yang membuktikan bahwa seseorang
yang memiliki kecerdasan otak atau memiliki gelar yang tinggi belum tentu
sukses berkiprah di dunia pekerjaan.
7
Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang secara emosi cakap, yang
mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang
mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki
keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara
dan persahabatan, hubungan kerja, ataupun ketika akan memasuki masa
berhenti dari bekerja (Goleman, 2000). Saat ini perusahaan-perusahaan sudah
menyadari dan menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang
merupakan kunci utama keberhasilan seseorang adalah kecerdasan emosi
(Agustian, 2001).
Hal ini dapat dilihat dalam penelitian Yoce Reza F. R (2006) tentang
hubungan kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pertandingan
olahraga. Hasil penelitian ini yaitu ada hubungan yang sangat signifikan antara
kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pertandingan olahraga,
sehingga hal ini dapat menunjukkan bahwa kecerdasan emosi dapat mengatasi
kecemasan.
Orang
dengan
keterampilan
emosi
yang
berkembang
baik
berarti
kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai
kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat
mengendalikan kehidupan emosinya akan mengalami pertarungan batin yang
merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada pekerjaan ataupun
untuk memiliki pikiran yang jernih (Admin, 2007). Kunci dari kecerdasan emosi
adalah kejujuran pada suara hati. Ini yang seharusnya dijadikan sebagai pusat
prinsip yang akan memberikan rasa aman, pedoman, daya dan kebijaksanaan
(Agustian, 2001).
Sebelum sesorang pensiun sebaiknya menyusun suatu perencanaan untuk
menghadapi masa pensiun. Dalam penyusunan perencanaan ini diperlukan
8
kecerdasan emosi untuk mengatur perencanaan. Orang dengan kecerdasan
emosi yang baik akan mampu mengatasi kecemasan yang ada dalam dirinya. Ia
tidak akan membiarkan ketakutan-ketakutan tumbuh dan berkembang dalam
dirinya. Saat akan memasuki masa pensiun ia sudah menyusun kegiatankegiatan. Ia tetap akan menjalani hidup seperti biasa. Perubahan-perubahan
yang terjadi dalam dirinya itu dianggap sebagai hal biasa karena itu adalah suatu
proses kehidupan. Bekal-bekal yang ada dalam dirinya yang ia dapatkan selama
bekerja dijadikan modal untuk tetap berkarier. Ia juga sudah mengantisipasi
perubahan-perubahan yang lain seperti penyesuaian terhadap lingkungan, baik
itu keluarga maupun masyarakat. Orang dengan kecerdasan emosi yang baik
akan berpikir bagaimana membuat masa pensiun yang bermakna.
Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa faktor yang mempengaruhi
kecemasan menghadapi masa pensiun di atas adalah perubahan yang harus
dihadapi oleh para pensiunan dengan penyesuaian diri terhadap keadaan tidak
bekerja, berakhirnya karier di bidang pekerjaan, berkurangnya penghasilan, dan
bertambah banyaknya waktu luang yang kadang-kadang sangat mengganggu
sehingga seseorang dituntut bagaimana caranya menghayati dan merasakan
keadaannya yang baru itu. Kondisi mental, kematangan emosional dan tipe
kepribadian seseorang sangat menentukan bagaimana seseorang menanggapi
masa pensiunnya. Berdasarkan temuan dari penjelasan diatas timbul suatu
pertanyaan
“apakah ada hubungan antara kecerdasaan emosi dengan
kecemasan menghadapi pensiun”.
9
Tinjauan Pustaka
Kecemasan Menghadapi Pensiun
Atkinson dan Hilgard (Anggorowati dan Purwadi, 2007) mengemukakan
bahwa kecemasan adalah keadaan emosi tidak senang, yang ditandai
dengan rasa khawatir, prihatin, dan rasa takut. Sedangkan Priest
menyatakan bahwa kecemasan atau perasaan cemas adalah sesuatu
keadaan
yang
dialami
ketika
berfikir
tentang
sesuatu
yang
tidak
menyenangkan terjadi. Kecemasan juga sering ditandai dengan adanya
ketakutan. Dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan keadaan emosi
tidak senang ketika menghadapi suatu peristiwa, karena merasakan
kekhawatiran, kprihatinan, rasa takut, gelisah, takut bayangan akan akibat
peristiwa tersebut, takut menghadapi perubahan serta bahaya yang
mengancam.
Kecemasan
juga
dapat
muncul
karena
beberapa
situasi
yang
mengancam manusia sebagai makhluk sosial. Misalnya adanya konflik,
ketegangan, ancaman terhadap harga diri dan adanya tekanan untuk
melakukan sesuatu di luar kemampuannya (Anggorowati dan Purwadi, 2007).
Dalam hal ini seseorang yang akan memasuki masa pensiun sangat mungkin
merasa bahwa, masa pensiun itu merupakan ancaman baginya. Secara
biologis, dari biasanya melakukan aktivitas dinas yang rutin, menjadi tidak
lagi mempunyai aktivitas rutin; hal itu dapat menyebabkan merasa tidak lagi
mempunyai kontribusi/manfaat terhadap lingkungannya. Secara emosional,
dengan pensiun seseorang menjadi banyak menganggur, sehingga sangat
mungkin akan menimbulkan kebosanan. Secara ekonomi, seseorang yang
memasuki masa pensiun, maka pendapatan penghasilannya menurun.
Padahal beban kehidupan yang harus ditanggung secara ekonomi tidak
10
menurun. Hal-hal itulah yang sangat memungkinkan seseorang yang akan
memasuki
masa
pensiun
mengalami
suatu
keadaan
yang
tidak
menyenangkan, yang disebut kecemasan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan aspek-aspek dikemukakan
oleh Brill dan Hayes (1981) diantaranya adalah status sosial, sumber
penghasilan, karir, kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungannya,
dan rasa berarti bagi masyarakat.
Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi atau emotional intelligence
merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan
orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola
emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain
(empati).
Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri, memiliki semangat dan
ketekunan serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahanan
menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan
emosi. Individu juga mampu membina hubungan yang baik dengan orang
lain,
mudah
mengenali
emosi
orang
lain
dan
penuh
perhatian.
(Mangunprasojo dan Hidayati, 2005)
Kecerdasan emosi bukan lawan dari kecerdasan intelektual, namun
keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya kecerdasan
emosi memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan
sehari-hari dalam hubungannya dengan lingkungan. Untuk itu ada beberapa
aspek dalam kecerdasan emosi ini menurut Goleman (dalam Safaria, 2004)
yaitu :
11
a. Kesadaran diri ( mengenali emosi diri )
Kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses
yang terjadi di dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latar belakang
dari tindakannya. Arti lainnya adalah individu mampu terhubung dengan
emosi-emosinya, pikiran-pikirannya dan keterhubungan ini membuat
individu mampu menamakan dari setiap emosi yang muncul.
b. Mengelola emosi
Yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosiemosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi-emosi
ini,
khususnya emosi yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa dan
dendam. Emosi dapat berhasil dikelola apabila dapat menghibur diri ketika
sedih, dapat melepaskan kecemasan, kemurungan, ketersinggungan dan
dapat bangkit kembali dari semua itu. Apabila tidak maka terus-menerus
akan murung atau bahkan akan melarikan diri pada hal-hal negatif yang
membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
c. Memotivasi diri
Yaitu kemampuan individu untuk memotivasi diriketika berada dalam
keadaan putus asa, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimism
dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan
dalam masalah yang membebaninya, mampu untuk terus berjuang ketika
menghadapi hambatan yang besar, tidak pernah mudah putus asa dan
kehilangan harapan.
d. Empati ( mengenali emosi orang lain )
Yaitu kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan
tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Berkaitan
dengan kemampuan individu memahami perasaan terdalam orang lain
12
sehingga dia mampu memahami perasaaan, pikiran orang lain hanya dari
bahasa nonverbal, ekspresi wajah, atau intonasi suara orang tersebut.
e. Keterampilan sosial (membina hubungan dengan orang lain)
Yaitu kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif
dengan orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut,
dan mampu menangani konflik-konflik interpersonal. Individu yang memiliki
kemampuan
ini
akan
mudah
berinteraksi
dengan
orang
lain,
menginspirasikan kepercayaan kepada orang lain dan senantiasa bersikap
saling menghormati.
Dinamika Psikologis Kecerdasan Emosi Dengan
Kecemasan Menghadapi Pensiun
Setiap organisme hidup harus menjaga keseimbangan dengan lingkungan
sekitar
dan
jika
lingkungan
itu
berubah,
maka
organismenya
harus
menyesuaikan diri dengan situasi baru tersebut. Semakin besar perubahan,
semakin rumit dan berat penyesuaian yang harus dilakukan (Lucas dan Wilson,
1992). Salah satu peristiwa yang membawa perubahan dalam hidup manusia
adalah pensiun. Mengalami pensiun merupakan hal yang tidak bisa dihindari lagi
terutama bagi pegawai Bank. Dengan memasuki masa pensiun, mau tidak mau
seseorang karyawan harus meninggalkan atau berhenti dari instansi atau
lembaga tempat bekerja. Menurut Lucas dan Wilson (1992), berhenti bekerja
atau kehilangan jabatan kurang lebih sama pentingnya dengan pernikahan atau
persatuan kembali dengan suami atau istri yang berdiam ditempat jauh.
Pensiun sebagai tanda berakhirnya masa kerja menjadi tahap kritis
seseorang dalam memasuki masa usia lanjut. Konsekuensi-konsekuensi yang
mengikuti pensiun seperti berkurangnya pendapatan, perubahan status,
13
hilangnya
kekuasaan
seringkali
menimbulkan
kecemasan.
Orang
yang
memasuki pensiun perlu untuk mengadakan penyesuaian psikologis dan sosial.
Penyesuaian dalam mendekati masa pensiun semakin bertambah sulit apabila
perilaku keluarga tidak menyenangkan (Hurlock, 1994).
Seseorang dapat mengendalikan emosinya apabila dirinya dapat melakukan
pengaturan diri dengan baik, sehingga berdampak positif pada apa yang
dikerjakannya. Seseorang yang mempunyai pengaturan diri yang baik peka
terhadap kata hati, sanggup mengelola emosi dengan baik sebelum tercapai
suatu kekhawatiran pada dirinya. Orang yang mampu mengendalikan emosinya
dengan baik akan memahami diri sendiri yang pada akhirnya dapat mencegah
ketegangan atau kecemasan dalam diri sendiri. Pensiun sebagai suatu masa
peralihan hidup dapat mendatangkan ketegangan dan kecemasan.
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa ada hubungan negatif antara individu
yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan mampu mengenali emosinya,
mengendalikan diri, memiliki empati dan dapat menjalin hubungan sosial yang
baik. Yang berarti menunjukkan kemungkinan yang kecil untuk mengalami
kecemasan ketika akan menghadapi masa pensiun.
Identifikasi Variabel-variabel Penelitian
A. Variabel Bebas
: Kecerdasan Emosi
B. Variabel Tergantung
: Kecemasan Menghadapi Pensiun
Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Kecerdasan
emosi
adalah
kemampuan
seseorang
yang
mencakup
pengendalian diri, semngat dan ketekunan serta kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri. Kecerdasan emosi ini diungkap menggunakan skala
14
yang terdiri dari 5 hal yang disusun berdasarkan model adaptasi Daniel
Goleman yang didasarkan pada 5 karakteristik kecerdasan emosi yaitu, a).
kesadaran emosi diri; b). mengelola emosi; c). motivasi diri; d). empati; e).
keterampilan sosial. Tingkat Kecerdasan emosi akan dapat dilihat dari skor
total yang diperoleh pada skala ini. Semakin tinggi skor yang dipeoleh
semakin tinggi kecerdasan emosi. Semakin rendah skor yang diperoleh
semakin rendah kecerdasan emosi.
2. Kecemasan menghadapi masa pensiun adalah gejala atau reaksi psikologis
dan fisiologis yang tidak menyenangkan dan bersifat subjektif yang terjadi
pada individu yang sedang menghadapi datangnya masa pensiun. Reaksi
psikologis
dapat berupa perasaan khawatir, gelisah, was-was, tegang dan
sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung. Sedangkan reaksi fisiologis dapat
berupa perasaan deg-degan, jantung berdebar-debar, sulit tidur dan
berkeringat,
disebabkan
karena
tidak
pasti
akan
masa
depannya.
Kecemasan menghadapi masa pensiun diperoleh berdasarkan skor skala
kecemasan menghadapi masa pensiun. Semkin tinggi skor yang diperoleh
skala kecemasan menghadapi masa semakin tinggi kecemasannya dalam
menghadapi masa pensiun. Semakin rendah skor yang diperoleh semakin
rendah kecemasannya dalam menghadapi masa pensiun.
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pegawai Bank yang akan memasuki
masa pensiun. Subjek penelitian ditentukan oleh peneliti dengan berdasarkan
ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang sesuai dengan syarat-syarat yang
15
sudah diketahui sebelumnya. Adapun cirri-ciri subjek penelitian ini adalah
karyawan tetap PT. BRI (Persero) Tbk yang akan memasuki masa pensiun
(maksimal 5 tahun) serta usia subjek antara 50-55 tahun.
Peneliti mengambil subjek di atas berdasarkan dengan pertimbangan bahwa
pada masa tersebut (usia 50-55 tahun) merupakan masa dimana karyawan
berada pada puncak karir dan mengalami kepuasan terhadap pekerjaannya,
sehingga datangnya pensiun akan menimbulkan kecemasan.
Metode Pengumpulan Data
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama adalah skala kecemasan menghadapi pensiun untuk mengukur
kecemasan pada pegawai yang akan menghadapi masa pensiun. Bagian ke dua
adalah skala untuk mengukur kecerdasan emosi pada pegawai yang akan
menghadapi pensiun.
Skala kecemasan menghadapi pensiun merupakan alat ukur untuk
mengungkapkan
kecemasan
yang
dialami
oleh
pegawai
Bank
ketika
menghadapi masa pensiun. Skala yang digunakan merupakan skala yang
disusun penulis dengan menambahkan aitem-aitem yang disusun oleh Imam
Kurniawan (2001). Skala disusun berdasarkan teori yang mengungkap hal-hal
yang dapat menimbulkan kecemasan dalam menghadapi pensiun yang
dikemukakan oleh Brill dan Hayes (1981), yaitu status sosial, penghasilan, karir,
kesempatan berinteraksi dengan teman-teman dan perasaan berarti bagi
masyarakat sekitar.
Skala kecerdasan emosi yang digunakan merupakan skala yang disusun
penulis dengan menambahkan aitem-aitem yang disusun oleh Ismiyati (2003)
sebanyak 51 aitem, yang didasarkan pada aspek-aspek kecerdasan emosi dari
16
Daniel Goleman (1999) dengan lima karakteristik kecerdasan emosi, yaitu:
Kesadaran diri (mengenali emosi diri), Mengelola emosi, Memotivasi diri, Empati
(mengenali emosi orang lain), Keterampilan sosial (membina hubungan dengan
orang lain). Skala tersebut, keduanya dibuat dengan alternatif jawanban tersebut
adalah: SS (Sangat Sesuai), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak
Sesuai (STS).
Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
statistik dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment dari
Pearson melalui prosedur Bivariate Correlations dari program SPSS 11,5 for
windows.
Hasil penelitian
Uji Asumsi
Sebelum dilakukan analisis data dengan teknik korelasi Product Moment,
maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji
linearitas yang merupakan syarat sebelum melakukan pengetesan terhadap nilai
korelasi. Uji Asumsi ini dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS
(Statistical Programme for Social Science) 11.5 for windows.
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat normal atau tidaknya distribusi
sebaran jawaban subjek pada suatu variabel yang dianalisis. Uji normalitas
sebaran pada penelitian menggunakan teknik analisis One-Sample Kolmogorov
smirnov Test. Hasil uji normalitas yang dilakukan pada kedua variabel
17
menunjukkan sebaran yang normal. Untuk sebaran variabel kecerdasan Emosi
dengan koefisien K-SZ = 1.118 ; p= 0.164. Sedangkan kecemasan menghadapi
pensiun K-SZ = 0.725 ; p= 0.670, maka kedua distribusi responden normal (p >
0.05).
Uji Linearitas
Uji Linearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan antara Kecerdasan
Emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun. Uji linearitas dilakukan dengan
teknik Bivariation Linear. Syarat dari uji normalitas ini adalah bila p < 0,05. Dari
hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil F= 15.492; p = 0.000 sehingga korelasi
antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun mempunyai
korelasi yang linier.
Hasil Uji Hipotesis
Hasil perhitungan menunjukkan nilai r2= -0.462; p = 0.000 hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan
emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun dimana p < 0.001, sehingga
hipotesis yang diajukan bisa diterima. Nilai negatif menunjukkan ada hubungan
negatif antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek memiliki hubungan negatif
yang
sangat
signifikan
antara
kecerdasan
emosi
dengan
kecemasan
menghadapi pensiun. Semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah
kecemasan menghadapi pensiun, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi
semakin tinggi kecemasan menghadapi pensiun.
18
Seseorang yang mengembangkan dan memelihara kecerdasan emosinya
untuk dirinya sendiri maupun orang lain maka kemungkinan besar akan nyaman,
bahagia dan berhasil dalam kehidupan, serta dapat menguasai kebiasaan pikiran
yang mendorong produktivitas. Seseorang yang tidak dapat menghimpun kendali
tertentu atas kehidupan emosinya akan mengalami pertarungan batin dan
kesulitan untuk berkonsentrasi pada karir atau pekerjaan ataupun untuk memiliki
pikiran yang jernih.
Atkinson mengemukakan bahwa kecemasan juga dapat muncul karena
beberapa situasi yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial. Misalnya
adanya konflik, ketegangan, ancaman terhadap harga diri dan adanya tekanan
untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya (Anggorowati dan Purwadi,
2007). Dalam hal ini seseorang yang akan memasuki masa pensiun sangat
mungkin merasa bahwa, masa pensiun itu merupakan ancaman baginya. Secara
biologis, dari biasanya melakukan aktivitas dinas yang rutin, menjadi tidak lagi
mempunyai aktivitas rutin; hal itu dapat menyebabkan merasa tidak lagi
mempunyai kontribusi/manfaat terhadap lingkungannya. Secara emosional,
dengan pensiun seseorang menjadi banyak menganggur, sehingga sangat
mungkin akan menimbulkan kebosanan. Secara ekonomi, seseorang yang
memasuki masa pensiun, maka pendapatan penghasilannya menurun. Padahal
beban kehidupan yang harus ditanggung secara ekonomi tidak menurun
(Anggorowati dan Purwadi, 2007)
Pegawai yang bekerja di Bank Rakyat Indonesia sebagian besar pegawai
yang 90% adalah laki-laki dan sisanya adalah wanita. Pada kelompok subjek
penelitian ini, seperti yang terlihat dalam Tabel 9. Pada kecerdasan emosi,
mayoritas subjek penelitian berada dalam kategori tinggi (90 %). Berdasarkan
analisis tampak bahwa variabel kecerdasan emosi memberi sumbangan sbesar
19
21,4 % terhadap variabel kecemasan dalam menghadapi pensiun. Hal ini berarti
masih ada 78,6 % faktor lain yang mempengaruhi kecemasan sehingga
kecerdasan emosi bukan faktor tunggal atau penentu tinggi rendahnya
kecemasan seseorang.
Hal ini dapat disebabkan karena pegawai memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi sehingga ketika akan menghadapi pensiun subjek mampu untuk membuat
komitmen dalam menjalankan hidup sebagai pegawai yang akan pensiun dan
dapat menerima datangnya masa pensiun dengan tenang. Berdasarkan referensi
yang didapatkan bahwa PT. BRI (Persero) Tbk telah membuat program MPP
(Masa Persiapan Pensiun) yang dilaksanakan 1 tahun sebelum karyawan
pensiun di usia 56 tahun dengan tujuan mengurangi kecemasan dalam
menghadapi pensiun.
Program MPP yang ada mengajarkan keterampilan-keterampilan dasar
yang berguna dalam kehidupan, usaha berwiraswasta, dan pengembangan hobi.
Dengan adanya program MPP ini diharapkan dapat membuat karyawan Bank
BRI
memiliki
keyakinan
untuk
mengembangkan
diri
sesuai
dengan
kemampuannya dalam menghadapi masa pensiun.
Pada subjek penelitian ini, seperti yang terlihat pada tebel 8. Variabel
kecemasan
dalam
menghadapi
pensiun,
mayoritas
subjek
penelitian
menunjukkan kategori rendah 52 %. Tingkat kecemasan menghadapi pensiun
yang rendah ini menunjukkan bahwa secara umum perasaan cemas subjek
tidak terlalu besar dan tidak mengganggu. Hasil penelitian ini kemungkinan tidak
terjadi suatu kecemasan dikarenakan beberapa faktor diantaranya subjek
memiliki hak untuk pendidikan kewirausahaan yang diberikan oleh perusahaan
serta jaminan dana pensiun, atau memiliki aktivitas keagamaan, organisasi
sosial, menjaga kesehatan seperti olahraga dan kebiasaan makan dengan
20
teratur, serta mempunyai rencana keuangan sejak usia 50 tahun dan mempunyai
sikap optimis (dalam Brill dan Hayes, 1981). Hal ini dapat terjadi karena
kecemasan lebih banyak dialami oleh wanita daripada pria, perbandingannya 2
wanita disbanding 1 laki-laki mengalami kecemasan yang memerlukan
pertolongan (Priest, 1987).
Pegawai yang mempersiapkan dalam menghadapi pensiun mereka tidak
akan merasa cemas dan dapat menerima dirinya ketika pensiun, karena memiliki
persiapan diantaranya, seorang calon pensiunan memiliki keyakinan akan
kemampuan dirinya dalam menjalani hidup, tidak merasa malu setelah pensiun
tidak memiliki pekerjaan lagi, dapat menempatkan dirinya di dalam masyarakat
dan diterima dalam masyarakat, dapat mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya dan mempunyai prinsip dalam menjalankan kehidupannya.
Kelemahan dari penelitian ini adalah berkaitan dengan proses pengambilan
data yaitu pada saat penyebaran skala, skala diberikan secara langsung pada
subjek penelitian sehingga subjek merasa ada yang keberatan untuk mengisi
karena kesibukannya. Pada saat pengisian skala ada yang membutuhkan waktu
lama dan itu akan mengganggu kerja karyawan sehingga dikhawatirkan
pengerjaannya tidak maksimal karena subjek merasa dikejar-kejar dalam
pengisian skala.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang sangat
signifikan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun
dimana p < 0.001, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi semakin rendah
kecemasan menghadapi pensiun. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi
semakin tinggi kecemasan menghadapi pensiun. Hal ini menunjukkan bahwa
21
hipotesis yang diajukan bisa diterima. Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat
kecerdasan emosi yang tergolong tinggi serta memiliki kecemasan menghadapi
pensiun yang tergolong rendah. Kecerdasan emosi menyumbang 21.4 % untuk
tingkat kecemasan menghadapi pensiun yang dimiliki responden penelitian.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini diajukan saran sebagai berikut :
1. Bagi Subyek Penelitian
Peningkatan kecerdasan emosi merupakan hal yang berperan dalam
usaha mengurangi kecemasan mengahadapi pensiun dan pada akhirnya
berkaitan dengan penyesuaian diri di masyarakat. Berani menghadapi
kenyataan dan percaya diri adalah modal besar dalam meraih kesuksesan di
masa depan. Untuk itu, penulis menyarankan kepada para Karyawan PT. BRI
(Persero)Tbk untuk meningkatkan keyakinan dan kemampuan diri dengan
selalu optimis yaitu tidak pernah menyerah dan putus asa, berani menerima
kegagalan dan berusaha untuk memperbaiki kegagalan tersebut, berpikiran
positif dalam memandang sesuatu, menerima diri sebagaimana adanya,
memiliki harapan dan cita-cita, mau membina hubungan dengan orang lain.
Sehingga diharapkan remaja dapat membangun konsep diri yang positif yang
akhirnya dapat menghindari diri dari perasaan kecemasan menghadapi
pensiun
2. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tema yang sama, di
sarankan
untuk
memperhatikan
faktor-faktor
lain
dari
kecemasan
menghadapi pensiun. Dan melakukan penyempurnaan alat ukur yang telah
digunakan oleh peneliti agar lebih baik. Ini semata agar diperoleh hasil
22
penelitian yang lebih akurat. Subjek penelitian juga bisa lebih diperluas lagi
jangkauannya sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.
3. Bagi PT. BRI (Persero)
Program MPP (Masa Persiapan Pensiun) yang dilaksanakan 1 tahun
sebelum karyawan pensiun di usia 56 tahun hendaknya tetap dapat
dipertahankan. Selain itu karena kecerdasan emosi memberi sumbangan
besar terhadap kecemasan maka program MPP juga diharapkan untuk
mengadakan pelatihan emosi bagi para karyawan yang akan pensiun agar
dapat menerapkan apa yang diperoleh selama mengikuti MPP
23
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. A. 2006. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar
Admin. 2007. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kecemasan Menghadapi
Pensiun Pada Pegawai. http://www.skripsi-tesis.com/. 28/01/08.
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan
spiritual, ESQ : Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman dan
5 Rukun Islam. Jakarta : Arga Wijaya Persada.
Anggorowati, R.P dan Purwadi. 2007. Hubungan Antara Dukungan Sosial
Dengan Kecemasan Menghadapi Pensiun. Humanitas, Vol.4 No.1 Januari
2007.
Brill, P.L & Hayes, J.P. 1981. Taming Yout Turmoil : Managing The Transition of
Adult Life. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Chaplin, James P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Djuwarijah. 2002. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Agresivitas
Remaja. Jurnal Psikologika No. 13 Tahun VII.
Durand, V.M dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Eliana, Rika. 2003. Konsep Diri Pensiunan. Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU digital library.
Goleman, Daniel. 2000. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi.
Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosional: Mengapa EQ Lebih Penting Dari
Pada IQ (Terjemahan). Jakarta : PT. Gramedika Pustaka Utama.
Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi
Offset.
Hamidah. 2007. Pengembangan Model Persiapan Pensiun Untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Psikologis Dan Menurunkan Stres Menghadapi Pensiun.
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-res-2007-hamidah5830&PHPSESSID. 10/03/08.
24
Hawari, Dadang. 2004. Alquran Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan Jiwa.
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Hurlock, E.B. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga
Ismiyati. 2003. Hubungan antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku
Altruistik Pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta :
Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Kartini, Kartono. 2002. Hygiene Mental. Bandung : Mandar Maju.
Kedaulatan Rakyat. 2008. Agar Masa Pensiun Tak Lagi Menakutkan.
http://www.kr.co.id/. 13/03/08.
Kurniawan, Imam. 2006. Hubungan Kecemasan Menghadapi Pensiun Terhadap
Prestasi Kerja Dan Perbedaan Tingkat Kecemasan Menghadapi Pensiun
Antara Yang Memiliki Pekerjaan Sampingan Dan Tidak. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Lucas, M dan Wilson, K. 1992. Memelihara Gairah Kerja, Terjemahan Dari How
to Survive the 9 to 5. Jakarta: Arcan.
Mangoenprasodjo, A.S dan Hidayati, S.R. 2005. Anak Masa Depan Dengan Multi
Intelegensi. Yogyakarta: Pradipta Publishing.
Najati, M. Utsman. 2005. Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi. Jakarta : Hikmah.
Nugraheni, Septiyani Dwi. 2005. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lanjut
Usia. Indigenous, Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi, vol 7, No. 1,
18-38.
Priest, Robert. 1987. Bagaimana Cara Mencegah dan Mengatasi Stres & Depresi.
Semarang : Dahara Prize.
Purwanto, Agus S. 2004. Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Kecemasan
Psikologis Dalam Menghadapi Masa Pensiun Pada Pegawai Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta. Skripsi (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Purwanto,
Setiyo.
2008.
Kecemasan
http://klinis.wordpress.com.17/03/08.
Menghadapi
Menopause.
Ravaie, Yoce Reza F. 2006. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kecemasan
Menghadapi Pertandingan Olahraga. Skripsi (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Rini,
Jacinta F. 2001. Pensiun dan
psikologi.com/usia/index.htm. 13/03/08.
Pengaruhnya.
http://www.e-
25
Rohayati, Dede. 2004. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dari Keluarga Dengan
Penyesuaian Diri Pada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Safari, T. 2004. Tes Kepribadian Untuk Seleksi Pekerjaan. Ypgyakarta : AMARA
BOOKS
Saragih, Juliana I. 2006. Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). USU. Digitized by USU digital library.
Sari, E.D dan Kuncoro, J. 2006. Kecemasan Menghadapi Pensiun Ditinjau Dari
Dukungan Sosial Pada PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Jurnal Psikologi
Proyeksi, Vol. 1, Nomor. 1, Oktober 2006.
Santrock, J.W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 2.
Jakarta: Erlangga.
Stein, S.J. & Book. H.E. 2002. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan
Emosional meraih Sukses. (penterjemah Januarsi & Murfanto). Bandung :
Haifa
Stuart, G W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC
Sulaeman, Dadang. 1995. Psikologi Remaja (Dimensi-dimensi Perkembangan).
Bandung : Mandar Maju.
Sutaryo, Lyly Puspa Palupi. 2007. Hubungan Antara Locus of Control dengan
Kecemasan dalam Menghadapi Pensiun. Jurnal Psikologi Universitas
Diponegoro Volume : 4 No. 1. http://www.atmajaya.ac.id/. 10/03/08
Trismiati. 2004. Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor
Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (The Anxiety Level
Differences Among Male and Female Sterilization Acceptors at RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta). Jurnal PSYCHE Vol. 1 No. 1, Juli 2004
Utami, Hascaryaningtyas Dyah. 2001. Ketabahan (Hardiness) Dan Kecemasan
Menghadapi Masa Pensiun. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta :
Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Yulianti. 2003. Hubungan Penerimaan Diri Dengan Stress Menghadapi Pensiun
Pada Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Karang Anyar. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
http://www.google.com/
26
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
KECEMASAN MENGHADAPI PENSIUN PADA PEGAWAI BANK BRI
Oleh :
RINA OKTAVIANA
Retno Kumolohadi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2008
27
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN
KECEMASAN MENGHADAPI PENSIUN PADA PEGAWAI BANK BRI
Telah Disetujui Pada Tanggal
________________________
Dosen Pembimbing Utama
(Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., Psikolog)
28
IDENTITAS PENULIS
Nama
: Rina Oktaviana
Alamat Rumah
: Jl. Bhayangkara Komplek Pemda Cipocok Jaya Blok.A
No.27, Serang-Banten 42121
No. Telepon/HP
: (0254) 206 835 / 0899 510 7648/081808201637
Download