HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI PENSIUN PADA PEGAWAI BANK BRI Rina Oktaviana Retno Kumolohadi INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. Semakin tinggi kecerdasan emosi, maka semakin rendah tingkat kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosi, maka semakin tinggi tingkat kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. Subjek dalam penelitian ini adalah pegawai Bank yang akan memasuki masa pensiun, dan sebagai karyawan tetap BRI yang akan memasuki masa pensiun (maksimal 5 tahun) serta usia subjek antara 50-55 tahun. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah menggunakan skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala Kecerdasan Emosi yang berjumlah 36 aitem, mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Goleman (1999) dan skala kecemasan menghadapi pensiun yang berjumlah 30 aitem mengacu pada karakteristik kecemasan menghadapi pensiun yang dikemukakan oleh Brill dan Hayes (1981). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS for Window 11.5 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. Korelasi Spearman-Rho menunjukkan nilai sebesar rxy = -0.462; p = 0.000 yang artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. Jadi hipotesis penelitian ini diterima. Kata Kunci : Kecerdasan Emosi, kecemasan menghadapi pensiun pada pegawai Bank BRI. 1 2 HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI PENSIUN PADA PEGAWAI BANK BRI Pengantar Latar Belakang Kehidupan yang serba komplek dan rumit ini, manusia dituntut untuk menciptakan dan mencapai keserasian, serta kebahagiaan hidup bersama dan tidak melupakan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu cara untuk dapat mencapai tujuan tersebut ialah aktivitas bekerja. Melalui kegiatan ini orang berusaha mengaktualisasikan keberadaan dirinya. Usaha-usaha orang untuk mencapai kebutuhan hidup, menciptakan kemajuan, meraih kesuksesan, dan perkembangan yang dialami mencerminkan sumber daya manusia yang berkualitas baik, senantiasa berusaha untuk mencapai keberhasilan seoptimal mungkin, dan meningkatkan produktivitasnya. Kerja merupakan aktivitas dasar manusia dewasa dan merupakan bagian inti dari kehidupan. Bekerja dapat memberikan kegairahan, kegembiraan dan memberi arti tersendiri bagi manusia, sehingga kerja memberikan makna dan semangat hidup kepada orang dewasa (Kartono, 2000). Manusia bekerja tidak hanya untuk mendapatkan upah, tetapi juga untuk mendapatkan kesenangan karena dihargai oleh orang-orang dalam lingkungannya. Bekerja juga menjadi kegiatan sosial yang memberikan respek atau penghargaan, status sosial, dan juga prestise sosial yang merupakan tiga unsur terpenting bagi kesejahteraan lahir-batin manusia dalam menegakkan martabat dirinya (Kartono, 2000). Namun tidak selamanya manusia dapat 3 melakukan aktivitas kerja, terutama bagi mereka yang bekerja pada suatu kantor atau instansi. Seiring dengan berjalannya waktu individu dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa tidak selamanya manusia dapat bekerja, ada saatnya ketika sudah mencapai masa tua, seseorang akan berhenti dari pekerjaannya atau pensiun dan beristirahat untuk dapat menikmati hasil yang diperolehnya selama bekerja. Seseorang yang pensiun berarti mengalami perubahan pola hidup dari bekerja menjadi tidak bekerja. Manusia tidak selamanya dapat melakukan aktivitas secara formal, terutama bagi yang bekerja di kantor atau instansi tertentu, sehingga individu tersebut harus berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Pensiun merupakan akhir dari seseorang melakukan pekerjaannnya. Pensiun seharusnya membuat seseorang senang karena bisa menikmati hari tuanya, tapi banyak orang bingung bahkan cemas ketika akan menghadapi masa pensiun. Banyak alasan dikemukakan, salah satunya mengatakan bahwa mereka butuh pekerjaan (www.google.com). Menurut Rini (2001) pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapinya kelak. Dalam era modern sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan (karena uang, jabatan, dapat memperkuat harga diri). Oleh karenanya, sering terjadi orang yang pensiun bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya ada yang mengalami problem serius (psikis maupun fisik). Pendapat hampir sama juga dikemukakan oleh Kartono (dalam Admin, 2007) yang menyatakan bahwa seseorang yang memasuki masa pensiun 4 seringkali merasa malu karena menganggap dirinya sebagai ”pengangguran” sehingga menimbulkan perasaan-perasaan minder, rasa tidak berguna, tidak dikehendaki, dilupakan, tersisihkan, tanpa tempat berpijak dan seperti ”tanpa rumah”. Hal ini berbeda dengan ketika orang tersebut masih bekerja, dirinya merasa terhormat dan merasa berguna. Selain itu pada waktu masih bekerja seseorang mendapatkan bermacam-macam fasilitas materiil, sedangkan setelah pensiun fasilitas kerja tidak ada lagi. Oleh karena itulah seseorang yang memasuki masa pensiun mengalami kondisi ”kekosongan”, merasa tanpa arti dan tanpa guna sehingga menjelang masa pensiun orang tersebut mengalami kecemasan akan bayangan-bayangan yang dikhayalkannya sendiri. Padahal sebenarnya, yang menjadi kriteria pokok itu bukan kondisi dan situasi pensiun serta menganggur, akan tetapi bagaimana caranya seseorang menghayati dan merasakan keadaannya yang baru itu. Kondisi mental dan tipe kepribadian seseorang sangat menentukan mekanisme reaktif seseorang menanggapi masa pensiunnya. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang cenderung merasa cemas ketika akan memasuki masa pensiun. Hal ini dikarenakan orang tersebut mempunyai sudut pandang negatif tentang pensiun. Sebagai contoh SR salah satu karyawan Bank BRI di Banten dengan jabatan Assisten Manajer Business, ketika akan memasuki masa pensiunnya selama dua tahun ke depan mulai merasakan kecemasan yang membuatnya merasa terganggu. Menurut keluarganya, terkadang subjek terbangun di tengah malam dan sulit untuk tidur kembali, sering merasa cepat lelah, dan terkadang sering marah-marah tanpa sebab yang jelas (hasil wawancara dengan keluarga SR pada tanggal 19 januari 2008). Hal ini dikarenakan pikiran bahwa masa pensiun adalah masa yang sangat tidak menyenangkan, suram, tidak dihormati lagi, dan kehilangan semua 5 fasilitas jabatan yang selama ini dinikmati. Padahal perjalanan kehidupannya belum selesai. Anak-anak masih memerlukan biaya kuliah. Bukan hanya biaya keluarga yang tidak sedikit, tapi dalam masa pensiun sangat mungkin banyak fasilitas yang dicabut. Berdasarkan hasil observasi pada wawancara pertama dengan salah satu pegawai BRI di atas menunjukkan bahwa adanya kecemasan ketika akan menghadapi pensiun. Sehingga dapat diketahui bahwa sumber kecemasan seseorang yang memasuki masa pensiun bisa karena beberapa hal misalnya cemas karena takut kehilangan jabatan dan fasilitas bagi mereka yang sudah memegang jabatan, bisa karena cemas akan kehilangan sumber pencaharian setelah memasuki masa pensiun, juga bisa karena bayangan tidak akan dihargai setelah memasuki masa pensiun, dan lain-lain. Idealnya masa pensiun tidak perlu ditanggapi dengan kecemasan, artinya seseorang akan lebih merasa banyak sisi positif yang bisa di ambil ketika masa pensiun tiba. Menurut Back (Admin, 2007) hal-hal yang dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima masa pensiun sebenarnya adalah masalah emosional para pekerja terhadap pensiun itu sendiri. Apabila pensiun semakin dianggap sebagai perubahan ke status baru, maka pensiun akan semakin tidak dianggap sebagai membuang status yang berharga dengan demikian akan terjadi transisi yang lebih baik. Memasuki masa transisi ini seseorang sudah menyusun rencana-rencana yang harus dilakukan setelah tiba masa pensiun. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kondisi emosional yang menganggap bahwa masa pensiun hanya merupakan masa transisi dari kehidupan bekerja menjadi kehidupan tidak bekerja, akan membuat seorang karyawan yang memasuki masa pensiun tidak terlalu terbebani dengan keadaan tersebut. Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh orang yang memasuki masa 6 transisi adalah melakukan persiapan-persiapan memasuki masa tersebut dengan mengelola keadaan emosinya sehingga dalam menghadapi masa pensiun akan lebih siap. Menurut Bar-on (Stein&Book, 2002) kecerdasan emosi mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi membuat mereka mampu mengatasi kecemasan yang terjadi pada saat menghadapi pensiun. Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mampu untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati, tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan mampu menjalin hubungan sosial dengan baik, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta kemampuan untuk memimpin (Goleman, 2000). Orang-orang yang dikuasai dorongan hati yang kurang memiliki kendali diri, mengalami kekurangmampuan dalam pengendalian moral (Hurlock, 1994). Aspek perasaan lebih penting daripada logika dalam pengambilan keputusan dan tindakan. Akan tetapi Individu cenderung menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan. Padahal kecerdasan tidaklah berarti apabila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosi menambahkan jauh lebih banyak sifatsifat yang membuat manusia menjadi lebih manusiawi. Goleman berpendapat (dalam Agustian, 2001) bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan IQ, kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja, tidak memandang seseorang tersebut memiliki sifat pemalu, pemarah atau sulit bergaul dengan orang lain. Banyak kasus yang membuktikan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan otak atau memiliki gelar yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. 7 Banyak bukti memperlihatkan bahwa orang yang secara emosi cakap, yang mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan yang mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, entah itu dalam hubungan asmara dan persahabatan, hubungan kerja, ataupun ketika akan memasuki masa berhenti dari bekerja (Goleman, 2000). Saat ini perusahaan-perusahaan sudah menyadari dan menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang adalah kecerdasan emosi (Agustian, 2001). Hal ini dapat dilihat dalam penelitian Yoce Reza F. R (2006) tentang hubungan kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pertandingan olahraga. Hasil penelitian ini yaitu ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pertandingan olahraga, sehingga hal ini dapat menunjukkan bahwa kecerdasan emosi dapat mengatasi kecemasan. Orang dengan keterampilan emosi yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat mengendalikan kehidupan emosinya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih (Admin, 2007). Kunci dari kecerdasan emosi adalah kejujuran pada suara hati. Ini yang seharusnya dijadikan sebagai pusat prinsip yang akan memberikan rasa aman, pedoman, daya dan kebijaksanaan (Agustian, 2001). Sebelum sesorang pensiun sebaiknya menyusun suatu perencanaan untuk menghadapi masa pensiun. Dalam penyusunan perencanaan ini diperlukan 8 kecerdasan emosi untuk mengatur perencanaan. Orang dengan kecerdasan emosi yang baik akan mampu mengatasi kecemasan yang ada dalam dirinya. Ia tidak akan membiarkan ketakutan-ketakutan tumbuh dan berkembang dalam dirinya. Saat akan memasuki masa pensiun ia sudah menyusun kegiatankegiatan. Ia tetap akan menjalani hidup seperti biasa. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya itu dianggap sebagai hal biasa karena itu adalah suatu proses kehidupan. Bekal-bekal yang ada dalam dirinya yang ia dapatkan selama bekerja dijadikan modal untuk tetap berkarier. Ia juga sudah mengantisipasi perubahan-perubahan yang lain seperti penyesuaian terhadap lingkungan, baik itu keluarga maupun masyarakat. Orang dengan kecerdasan emosi yang baik akan berpikir bagaimana membuat masa pensiun yang bermakna. Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa faktor yang mempengaruhi kecemasan menghadapi masa pensiun di atas adalah perubahan yang harus dihadapi oleh para pensiunan dengan penyesuaian diri terhadap keadaan tidak bekerja, berakhirnya karier di bidang pekerjaan, berkurangnya penghasilan, dan bertambah banyaknya waktu luang yang kadang-kadang sangat mengganggu sehingga seseorang dituntut bagaimana caranya menghayati dan merasakan keadaannya yang baru itu. Kondisi mental, kematangan emosional dan tipe kepribadian seseorang sangat menentukan bagaimana seseorang menanggapi masa pensiunnya. Berdasarkan temuan dari penjelasan diatas timbul suatu pertanyaan “apakah ada hubungan antara kecerdasaan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun”. 9 Tinjauan Pustaka Kecemasan Menghadapi Pensiun Atkinson dan Hilgard (Anggorowati dan Purwadi, 2007) mengemukakan bahwa kecemasan adalah keadaan emosi tidak senang, yang ditandai dengan rasa khawatir, prihatin, dan rasa takut. Sedangkan Priest menyatakan bahwa kecemasan atau perasaan cemas adalah sesuatu keadaan yang dialami ketika berfikir tentang sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi. Kecemasan juga sering ditandai dengan adanya ketakutan. Dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan keadaan emosi tidak senang ketika menghadapi suatu peristiwa, karena merasakan kekhawatiran, kprihatinan, rasa takut, gelisah, takut bayangan akan akibat peristiwa tersebut, takut menghadapi perubahan serta bahaya yang mengancam. Kecemasan juga dapat muncul karena beberapa situasi yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial. Misalnya adanya konflik, ketegangan, ancaman terhadap harga diri dan adanya tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya (Anggorowati dan Purwadi, 2007). Dalam hal ini seseorang yang akan memasuki masa pensiun sangat mungkin merasa bahwa, masa pensiun itu merupakan ancaman baginya. Secara biologis, dari biasanya melakukan aktivitas dinas yang rutin, menjadi tidak lagi mempunyai aktivitas rutin; hal itu dapat menyebabkan merasa tidak lagi mempunyai kontribusi/manfaat terhadap lingkungannya. Secara emosional, dengan pensiun seseorang menjadi banyak menganggur, sehingga sangat mungkin akan menimbulkan kebosanan. Secara ekonomi, seseorang yang memasuki masa pensiun, maka pendapatan penghasilannya menurun. Padahal beban kehidupan yang harus ditanggung secara ekonomi tidak 10 menurun. Hal-hal itulah yang sangat memungkinkan seseorang yang akan memasuki masa pensiun mengalami suatu keadaan yang tidak menyenangkan, yang disebut kecemasan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan aspek-aspek dikemukakan oleh Brill dan Hayes (1981) diantaranya adalah status sosial, sumber penghasilan, karir, kesempatan untuk berinteraksi dengan lingkungannya, dan rasa berarti bagi masyarakat. Kecerdasan Emosi Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosi atau emotional intelligence merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (empati). Kecerdasan emosi mencakup pengendalian diri, memiliki semangat dan ketekunan serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahanan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi. Individu juga mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain, mudah mengenali emosi orang lain dan penuh perhatian. (Mangunprasojo dan Hidayati, 2005) Kecerdasan emosi bukan lawan dari kecerdasan intelektual, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya kecerdasan emosi memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan sehari-hari dalam hubungannya dengan lingkungan. Untuk itu ada beberapa aspek dalam kecerdasan emosi ini menurut Goleman (dalam Safaria, 2004) yaitu : 11 a. Kesadaran diri ( mengenali emosi diri ) Kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi di dalam dirinya, perasaannya, pikirannya, dan latar belakang dari tindakannya. Arti lainnya adalah individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya, pikiran-pikirannya dan keterhubungan ini membuat individu mampu menamakan dari setiap emosi yang muncul. b. Mengelola emosi Yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosiemosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi-emosi ini, khususnya emosi yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa dan dendam. Emosi dapat berhasil dikelola apabila dapat menghibur diri ketika sedih, dapat melepaskan kecemasan, kemurungan, ketersinggungan dan dapat bangkit kembali dari semua itu. Apabila tidak maka terus-menerus akan murung atau bahkan akan melarikan diri pada hal-hal negatif yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. c. Memotivasi diri Yaitu kemampuan individu untuk memotivasi diriketika berada dalam keadaan putus asa, mampu berpikir positif, dan menumbuhkan optimism dalam hidupnya. Kemampuan ini akan membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang membebaninya, mampu untuk terus berjuang ketika menghadapi hambatan yang besar, tidak pernah mudah putus asa dan kehilangan harapan. d. Empati ( mengenali emosi orang lain ) Yaitu kemampuan individu untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut. Berkaitan dengan kemampuan individu memahami perasaan terdalam orang lain 12 sehingga dia mampu memahami perasaaan, pikiran orang lain hanya dari bahasa nonverbal, ekspresi wajah, atau intonasi suara orang tersebut. e. Keterampilan sosial (membina hubungan dengan orang lain) Yaitu kemampuan individu untuk membangun hubungan secara efektif dengan orang lain, mampu mempertahankan hubungan sosial tersebut, dan mampu menangani konflik-konflik interpersonal. Individu yang memiliki kemampuan ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain, menginspirasikan kepercayaan kepada orang lain dan senantiasa bersikap saling menghormati. Dinamika Psikologis Kecerdasan Emosi Dengan Kecemasan Menghadapi Pensiun Setiap organisme hidup harus menjaga keseimbangan dengan lingkungan sekitar dan jika lingkungan itu berubah, maka organismenya harus menyesuaikan diri dengan situasi baru tersebut. Semakin besar perubahan, semakin rumit dan berat penyesuaian yang harus dilakukan (Lucas dan Wilson, 1992). Salah satu peristiwa yang membawa perubahan dalam hidup manusia adalah pensiun. Mengalami pensiun merupakan hal yang tidak bisa dihindari lagi terutama bagi pegawai Bank. Dengan memasuki masa pensiun, mau tidak mau seseorang karyawan harus meninggalkan atau berhenti dari instansi atau lembaga tempat bekerja. Menurut Lucas dan Wilson (1992), berhenti bekerja atau kehilangan jabatan kurang lebih sama pentingnya dengan pernikahan atau persatuan kembali dengan suami atau istri yang berdiam ditempat jauh. Pensiun sebagai tanda berakhirnya masa kerja menjadi tahap kritis seseorang dalam memasuki masa usia lanjut. Konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti pensiun seperti berkurangnya pendapatan, perubahan status, 13 hilangnya kekuasaan seringkali menimbulkan kecemasan. Orang yang memasuki pensiun perlu untuk mengadakan penyesuaian psikologis dan sosial. Penyesuaian dalam mendekati masa pensiun semakin bertambah sulit apabila perilaku keluarga tidak menyenangkan (Hurlock, 1994). Seseorang dapat mengendalikan emosinya apabila dirinya dapat melakukan pengaturan diri dengan baik, sehingga berdampak positif pada apa yang dikerjakannya. Seseorang yang mempunyai pengaturan diri yang baik peka terhadap kata hati, sanggup mengelola emosi dengan baik sebelum tercapai suatu kekhawatiran pada dirinya. Orang yang mampu mengendalikan emosinya dengan baik akan memahami diri sendiri yang pada akhirnya dapat mencegah ketegangan atau kecemasan dalam diri sendiri. Pensiun sebagai suatu masa peralihan hidup dapat mendatangkan ketegangan dan kecemasan. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa ada hubungan negatif antara individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan mampu mengenali emosinya, mengendalikan diri, memiliki empati dan dapat menjalin hubungan sosial yang baik. Yang berarti menunjukkan kemungkinan yang kecil untuk mengalami kecemasan ketika akan menghadapi masa pensiun. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian A. Variabel Bebas : Kecerdasan Emosi B. Variabel Tergantung : Kecemasan Menghadapi Pensiun Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang yang mencakup pengendalian diri, semngat dan ketekunan serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Kecerdasan emosi ini diungkap menggunakan skala 14 yang terdiri dari 5 hal yang disusun berdasarkan model adaptasi Daniel Goleman yang didasarkan pada 5 karakteristik kecerdasan emosi yaitu, a). kesadaran emosi diri; b). mengelola emosi; c). motivasi diri; d). empati; e). keterampilan sosial. Tingkat Kecerdasan emosi akan dapat dilihat dari skor total yang diperoleh pada skala ini. Semakin tinggi skor yang dipeoleh semakin tinggi kecerdasan emosi. Semakin rendah skor yang diperoleh semakin rendah kecerdasan emosi. 2. Kecemasan menghadapi masa pensiun adalah gejala atau reaksi psikologis dan fisiologis yang tidak menyenangkan dan bersifat subjektif yang terjadi pada individu yang sedang menghadapi datangnya masa pensiun. Reaksi psikologis dapat berupa perasaan khawatir, gelisah, was-was, tegang dan sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung. Sedangkan reaksi fisiologis dapat berupa perasaan deg-degan, jantung berdebar-debar, sulit tidur dan berkeringat, disebabkan karena tidak pasti akan masa depannya. Kecemasan menghadapi masa pensiun diperoleh berdasarkan skor skala kecemasan menghadapi masa pensiun. Semkin tinggi skor yang diperoleh skala kecemasan menghadapi masa semakin tinggi kecemasannya dalam menghadapi masa pensiun. Semakin rendah skor yang diperoleh semakin rendah kecemasannya dalam menghadapi masa pensiun. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah pegawai Bank yang akan memasuki masa pensiun. Subjek penelitian ditentukan oleh peneliti dengan berdasarkan ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang sesuai dengan syarat-syarat yang 15 sudah diketahui sebelumnya. Adapun cirri-ciri subjek penelitian ini adalah karyawan tetap PT. BRI (Persero) Tbk yang akan memasuki masa pensiun (maksimal 5 tahun) serta usia subjek antara 50-55 tahun. Peneliti mengambil subjek di atas berdasarkan dengan pertimbangan bahwa pada masa tersebut (usia 50-55 tahun) merupakan masa dimana karyawan berada pada puncak karir dan mengalami kepuasan terhadap pekerjaannya, sehingga datangnya pensiun akan menimbulkan kecemasan. Metode Pengumpulan Data Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah skala kecemasan menghadapi pensiun untuk mengukur kecemasan pada pegawai yang akan menghadapi masa pensiun. Bagian ke dua adalah skala untuk mengukur kecerdasan emosi pada pegawai yang akan menghadapi pensiun. Skala kecemasan menghadapi pensiun merupakan alat ukur untuk mengungkapkan kecemasan yang dialami oleh pegawai Bank ketika menghadapi masa pensiun. Skala yang digunakan merupakan skala yang disusun penulis dengan menambahkan aitem-aitem yang disusun oleh Imam Kurniawan (2001). Skala disusun berdasarkan teori yang mengungkap hal-hal yang dapat menimbulkan kecemasan dalam menghadapi pensiun yang dikemukakan oleh Brill dan Hayes (1981), yaitu status sosial, penghasilan, karir, kesempatan berinteraksi dengan teman-teman dan perasaan berarti bagi masyarakat sekitar. Skala kecerdasan emosi yang digunakan merupakan skala yang disusun penulis dengan menambahkan aitem-aitem yang disusun oleh Ismiyati (2003) sebanyak 51 aitem, yang didasarkan pada aspek-aspek kecerdasan emosi dari 16 Daniel Goleman (1999) dengan lima karakteristik kecerdasan emosi, yaitu: Kesadaran diri (mengenali emosi diri), Mengelola emosi, Memotivasi diri, Empati (mengenali emosi orang lain), Keterampilan sosial (membina hubungan dengan orang lain). Skala tersebut, keduanya dibuat dengan alternatif jawanban tersebut adalah: SS (Sangat Sesuai), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment dari Pearson melalui prosedur Bivariate Correlations dari program SPSS 11,5 for windows. Hasil penelitian Uji Asumsi Sebelum dilakukan analisis data dengan teknik korelasi Product Moment, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas yang merupakan syarat sebelum melakukan pengetesan terhadap nilai korelasi. Uji Asumsi ini dilakukan dengan bantuan komputer program SPSS (Statistical Programme for Social Science) 11.5 for windows. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat normal atau tidaknya distribusi sebaran jawaban subjek pada suatu variabel yang dianalisis. Uji normalitas sebaran pada penelitian menggunakan teknik analisis One-Sample Kolmogorov smirnov Test. Hasil uji normalitas yang dilakukan pada kedua variabel 17 menunjukkan sebaran yang normal. Untuk sebaran variabel kecerdasan Emosi dengan koefisien K-SZ = 1.118 ; p= 0.164. Sedangkan kecemasan menghadapi pensiun K-SZ = 0.725 ; p= 0.670, maka kedua distribusi responden normal (p > 0.05). Uji Linearitas Uji Linearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun. Uji linearitas dilakukan dengan teknik Bivariation Linear. Syarat dari uji normalitas ini adalah bila p < 0,05. Dari hasil perhitungan tersebut diperoleh hasil F= 15.492; p = 0.000 sehingga korelasi antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun mempunyai korelasi yang linier. Hasil Uji Hipotesis Hasil perhitungan menunjukkan nilai r2= -0.462; p = 0.000 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun dimana p < 0.001, sehingga hipotesis yang diajukan bisa diterima. Nilai negatif menunjukkan ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek memiliki hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun. Semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin rendah kecemasan menghadapi pensiun, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi semakin tinggi kecemasan menghadapi pensiun. 18 Seseorang yang mengembangkan dan memelihara kecerdasan emosinya untuk dirinya sendiri maupun orang lain maka kemungkinan besar akan nyaman, bahagia dan berhasil dalam kehidupan, serta dapat menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas. Seseorang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosinya akan mengalami pertarungan batin dan kesulitan untuk berkonsentrasi pada karir atau pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih. Atkinson mengemukakan bahwa kecemasan juga dapat muncul karena beberapa situasi yang mengancam manusia sebagai makhluk sosial. Misalnya adanya konflik, ketegangan, ancaman terhadap harga diri dan adanya tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya (Anggorowati dan Purwadi, 2007). Dalam hal ini seseorang yang akan memasuki masa pensiun sangat mungkin merasa bahwa, masa pensiun itu merupakan ancaman baginya. Secara biologis, dari biasanya melakukan aktivitas dinas yang rutin, menjadi tidak lagi mempunyai aktivitas rutin; hal itu dapat menyebabkan merasa tidak lagi mempunyai kontribusi/manfaat terhadap lingkungannya. Secara emosional, dengan pensiun seseorang menjadi banyak menganggur, sehingga sangat mungkin akan menimbulkan kebosanan. Secara ekonomi, seseorang yang memasuki masa pensiun, maka pendapatan penghasilannya menurun. Padahal beban kehidupan yang harus ditanggung secara ekonomi tidak menurun (Anggorowati dan Purwadi, 2007) Pegawai yang bekerja di Bank Rakyat Indonesia sebagian besar pegawai yang 90% adalah laki-laki dan sisanya adalah wanita. Pada kelompok subjek penelitian ini, seperti yang terlihat dalam Tabel 9. Pada kecerdasan emosi, mayoritas subjek penelitian berada dalam kategori tinggi (90 %). Berdasarkan analisis tampak bahwa variabel kecerdasan emosi memberi sumbangan sbesar 19 21,4 % terhadap variabel kecemasan dalam menghadapi pensiun. Hal ini berarti masih ada 78,6 % faktor lain yang mempengaruhi kecemasan sehingga kecerdasan emosi bukan faktor tunggal atau penentu tinggi rendahnya kecemasan seseorang. Hal ini dapat disebabkan karena pegawai memiliki kecerdasan emosi yang tinggi sehingga ketika akan menghadapi pensiun subjek mampu untuk membuat komitmen dalam menjalankan hidup sebagai pegawai yang akan pensiun dan dapat menerima datangnya masa pensiun dengan tenang. Berdasarkan referensi yang didapatkan bahwa PT. BRI (Persero) Tbk telah membuat program MPP (Masa Persiapan Pensiun) yang dilaksanakan 1 tahun sebelum karyawan pensiun di usia 56 tahun dengan tujuan mengurangi kecemasan dalam menghadapi pensiun. Program MPP yang ada mengajarkan keterampilan-keterampilan dasar yang berguna dalam kehidupan, usaha berwiraswasta, dan pengembangan hobi. Dengan adanya program MPP ini diharapkan dapat membuat karyawan Bank BRI memiliki keyakinan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya dalam menghadapi masa pensiun. Pada subjek penelitian ini, seperti yang terlihat pada tebel 8. Variabel kecemasan dalam menghadapi pensiun, mayoritas subjek penelitian menunjukkan kategori rendah 52 %. Tingkat kecemasan menghadapi pensiun yang rendah ini menunjukkan bahwa secara umum perasaan cemas subjek tidak terlalu besar dan tidak mengganggu. Hasil penelitian ini kemungkinan tidak terjadi suatu kecemasan dikarenakan beberapa faktor diantaranya subjek memiliki hak untuk pendidikan kewirausahaan yang diberikan oleh perusahaan serta jaminan dana pensiun, atau memiliki aktivitas keagamaan, organisasi sosial, menjaga kesehatan seperti olahraga dan kebiasaan makan dengan 20 teratur, serta mempunyai rencana keuangan sejak usia 50 tahun dan mempunyai sikap optimis (dalam Brill dan Hayes, 1981). Hal ini dapat terjadi karena kecemasan lebih banyak dialami oleh wanita daripada pria, perbandingannya 2 wanita disbanding 1 laki-laki mengalami kecemasan yang memerlukan pertolongan (Priest, 1987). Pegawai yang mempersiapkan dalam menghadapi pensiun mereka tidak akan merasa cemas dan dapat menerima dirinya ketika pensiun, karena memiliki persiapan diantaranya, seorang calon pensiunan memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani hidup, tidak merasa malu setelah pensiun tidak memiliki pekerjaan lagi, dapat menempatkan dirinya di dalam masyarakat dan diterima dalam masyarakat, dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dan mempunyai prinsip dalam menjalankan kehidupannya. Kelemahan dari penelitian ini adalah berkaitan dengan proses pengambilan data yaitu pada saat penyebaran skala, skala diberikan secara langsung pada subjek penelitian sehingga subjek merasa ada yang keberatan untuk mengisi karena kesibukannya. Pada saat pengisian skala ada yang membutuhkan waktu lama dan itu akan mengganggu kerja karyawan sehingga dikhawatirkan pengerjaannya tidak maksimal karena subjek merasa dikejar-kejar dalam pengisian skala. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan menghadapi pensiun dimana p < 0.001, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi semakin rendah kecemasan menghadapi pensiun. Sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi semakin tinggi kecemasan menghadapi pensiun. Hal ini menunjukkan bahwa 21 hipotesis yang diajukan bisa diterima. Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tergolong tinggi serta memiliki kecemasan menghadapi pensiun yang tergolong rendah. Kecerdasan emosi menyumbang 21.4 % untuk tingkat kecemasan menghadapi pensiun yang dimiliki responden penelitian. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini diajukan saran sebagai berikut : 1. Bagi Subyek Penelitian Peningkatan kecerdasan emosi merupakan hal yang berperan dalam usaha mengurangi kecemasan mengahadapi pensiun dan pada akhirnya berkaitan dengan penyesuaian diri di masyarakat. Berani menghadapi kenyataan dan percaya diri adalah modal besar dalam meraih kesuksesan di masa depan. Untuk itu, penulis menyarankan kepada para Karyawan PT. BRI (Persero)Tbk untuk meningkatkan keyakinan dan kemampuan diri dengan selalu optimis yaitu tidak pernah menyerah dan putus asa, berani menerima kegagalan dan berusaha untuk memperbaiki kegagalan tersebut, berpikiran positif dalam memandang sesuatu, menerima diri sebagaimana adanya, memiliki harapan dan cita-cita, mau membina hubungan dengan orang lain. Sehingga diharapkan remaja dapat membangun konsep diri yang positif yang akhirnya dapat menghindari diri dari perasaan kecemasan menghadapi pensiun 2. Bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tema yang sama, di sarankan untuk memperhatikan faktor-faktor lain dari kecemasan menghadapi pensiun. Dan melakukan penyempurnaan alat ukur yang telah digunakan oleh peneliti agar lebih baik. Ini semata agar diperoleh hasil 22 penelitian yang lebih akurat. Subjek penelitian juga bisa lebih diperluas lagi jangkauannya sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. 3. Bagi PT. BRI (Persero) Program MPP (Masa Persiapan Pensiun) yang dilaksanakan 1 tahun sebelum karyawan pensiun di usia 56 tahun hendaknya tetap dapat dipertahankan. Selain itu karena kecerdasan emosi memberi sumbangan besar terhadap kecemasan maka program MPP juga diharapkan untuk mengadakan pelatihan emosi bagi para karyawan yang akan pensiun agar dapat menerapkan apa yang diperoleh selama mengikuti MPP 23 DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. A. 2006. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar Admin. 2007. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kecemasan Menghadapi Pensiun Pada Pegawai. http://www.skripsi-tesis.com/. 28/01/08. Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual, ESQ : Emotional Spiritual Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta : Arga Wijaya Persada. Anggorowati, R.P dan Purwadi. 2007. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Menghadapi Pensiun. Humanitas, Vol.4 No.1 Januari 2007. Brill, P.L & Hayes, J.P. 1981. Taming Yout Turmoil : Managing The Transition of Adult Life. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc. Chaplin, James P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Djuwarijah. 2002. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Agresivitas Remaja. Jurnal Psikologika No. 13 Tahun VII. Durand, V.M dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Eliana, Rika. 2003. Konsep Diri Pensiunan. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU digital library. Goleman, Daniel. 2000. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Goleman, Daniel. 1999. Kecerdasan Emosional: Mengapa EQ Lebih Penting Dari Pada IQ (Terjemahan). Jakarta : PT. Gramedika Pustaka Utama. Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Hamidah. 2007. Pengembangan Model Persiapan Pensiun Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Dan Menurunkan Stres Menghadapi Pensiun. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-res-2007-hamidah5830&PHPSESSID. 10/03/08. 24 Hawari, Dadang. 2004. Alquran Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa. Hurlock, E.B. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Ismiyati. 2003. Hubungan antara Kecerdasan Emosional Dengan Perilaku Altruistik Pada Mahasiswa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Kartini, Kartono. 2002. Hygiene Mental. Bandung : Mandar Maju. Kedaulatan Rakyat. 2008. Agar Masa Pensiun Tak Lagi Menakutkan. http://www.kr.co.id/. 13/03/08. Kurniawan, Imam. 2006. Hubungan Kecemasan Menghadapi Pensiun Terhadap Prestasi Kerja Dan Perbedaan Tingkat Kecemasan Menghadapi Pensiun Antara Yang Memiliki Pekerjaan Sampingan Dan Tidak. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Lucas, M dan Wilson, K. 1992. Memelihara Gairah Kerja, Terjemahan Dari How to Survive the 9 to 5. Jakarta: Arcan. Mangoenprasodjo, A.S dan Hidayati, S.R. 2005. Anak Masa Depan Dengan Multi Intelegensi. Yogyakarta: Pradipta Publishing. Najati, M. Utsman. 2005. Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi. Jakarta : Hikmah. Nugraheni, Septiyani Dwi. 2005. Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lanjut Usia. Indigenous, Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi, vol 7, No. 1, 18-38. Priest, Robert. 1987. Bagaimana Cara Mencegah dan Mengatasi Stres & Depresi. Semarang : Dahara Prize. Purwanto, Agus S. 2004. Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Kecemasan Psikologis Dalam Menghadapi Masa Pensiun Pada Pegawai Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Purwanto, Setiyo. 2008. Kecemasan http://klinis.wordpress.com.17/03/08. Menghadapi Menopause. Ravaie, Yoce Reza F. 2006. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kecemasan Menghadapi Pertandingan Olahraga. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Rini, Jacinta F. 2001. Pensiun dan psikologi.com/usia/index.htm. 13/03/08. Pengaruhnya. http://www.e- 25 Rohayati, Dede. 2004. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dari Keluarga Dengan Penyesuaian Diri Pada Pensiunan Pegawai Negeri Sipil. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Safari, T. 2004. Tes Kepribadian Untuk Seleksi Pekerjaan. Ypgyakarta : AMARA BOOKS Saragih, Juliana I. 2006. Pola Penyesuaian Diri Pada Pensiunan. Skripsi (Tidak Diterbitkan). USU. Digitized by USU digital library. Sari, E.D dan Kuncoro, J. 2006. Kecemasan Menghadapi Pensiun Ditinjau Dari Dukungan Sosial Pada PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Jurnal Psikologi Proyeksi, Vol. 1, Nomor. 1, Oktober 2006. Santrock, J.W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Stein, S.J. & Book. H.E. 2002. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional meraih Sukses. (penterjemah Januarsi & Murfanto). Bandung : Haifa Stuart, G W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC Sulaeman, Dadang. 1995. Psikologi Remaja (Dimensi-dimensi Perkembangan). Bandung : Mandar Maju. Sutaryo, Lyly Puspa Palupi. 2007. Hubungan Antara Locus of Control dengan Kecemasan dalam Menghadapi Pensiun. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Volume : 4 No. 1. http://www.atmajaya.ac.id/. 10/03/08 Trismiati. 2004. Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (The Anxiety Level Differences Among Male and Female Sterilization Acceptors at RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta). Jurnal PSYCHE Vol. 1 No. 1, Juli 2004 Utami, Hascaryaningtyas Dyah. 2001. Ketabahan (Hardiness) Dan Kecemasan Menghadapi Masa Pensiun. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Yulianti. 2003. Hubungan Penerimaan Diri Dengan Stress Menghadapi Pensiun Pada Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Karang Anyar. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. http://www.google.com/ 26 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI PENSIUN PADA PEGAWAI BANK BRI Oleh : RINA OKTAVIANA Retno Kumolohadi PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008 27 NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI PENSIUN PADA PEGAWAI BANK BRI Telah Disetujui Pada Tanggal ________________________ Dosen Pembimbing Utama (Retno Kumolohadi, S.Psi., M.Si., Psikolog) 28 IDENTITAS PENULIS Nama : Rina Oktaviana Alamat Rumah : Jl. Bhayangkara Komplek Pemda Cipocok Jaya Blok.A No.27, Serang-Banten 42121 No. Telepon/HP : (0254) 206 835 / 0899 510 7648/081808201637