DISKUSI KASUS Penurunan Berat Badan DISUSUN OLEH: Kelompok F Ovilliani Wijayanti 0906487902 Lutfie 0906487871 Riska Wahyuningtyas 0906487940 Johny Bayu Fitantra 0906508226 Enninurmita Hazrudia 0906508005 Gracia Jovita Kartiko 0906552624 Kevin Christian N 0906554320 Narasumber: DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DESEMBER 2013 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Kami yang bertandatangan di bawah ini, dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan ini dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari, ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung jawab dan menerima sanksi yang diberikan oleh Universitas Indonesia. Mengetahui, Ovilliani Wijayanti Lutfie Riska Wahyuningtyas Johny Bayu Fitantra Enninurmita H Gracia J Kartiko Kevin CN BAB I ILUSTRASI KASUS Identitas • • • • • • • • • Nama : Tn I Usia : 29 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Buruh Pendidikan : SMP Status : Kawin Alamat : Kp. Pisangan RT04/RW03, Penggilingan Tanggal berkunjung : 4 November 2013 Tanggal pemeriksaan : 4 November 2013 Keluhan Utama Berat badan turun sejak 7 bulan sebelum kunjungan. Riwayat Penyakit Sekarang Berat badan dirasakan menurun dari 70 kg (April 2013) menjadi 61 kg (4 November 2013). Saat ini pasien merasa lemas. Riwayat jantung berdebar, mudah berkeringat, tangan gemetar disangkal. Riwayat hilang nafsu makan, penurunan porsi makan, dan peningkatan aktivitas disangkal. Riwayat demam, sesak napas, keringat malam disangkal. Riwayat sering lapar, sering haus, sering terbangun malam hari untuk buang air kecil disangkal. Riwayat penggunaan obat jangka panjang disangkal. Riwayat depresi dan rasa cemas berlebihan disangkal. Riwayat diare sejak 3 bulan sebelum kunjungan, konsistensi cair, sedikit ampas, frekuensi 2 – 3 kali/hari. Pasien berobat ke RS Resti Mulia, diberi obat diare dan dikatakan uji penyaring HIV positif. Saat ini sedang tidak diare, terakhir diare 2 hari SMRS. Riwayat sariawan hilang timbul sejak 2 minggu sebelum kunjungan. Riwayat gatal di leher dan lipat siku sejak 2 minggu sebelum kunjungan. Riwayat mengganti jenis sabun mandi, penggunaan handuk bersama disangkal. Riwayat batuk pilek hilang timbul sejak 3 bulan sebelum kunjungan. Batuk berdahak putih kental. Ingus berwarna putih kental. Badan kadang terasa meriang, tidak mengukur suhu tubuh. Mual muntah tidak ada. Sesak napas tidak ada. Nyeri menelan tidak ada. Suara serak tidak ada. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi, DM, sakit kuning, jantung, paru, ginjal, asma disangkal. Alergi makanan (ikan, telur). Alergi obat disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga • Riwayat DM pada ibu. • Riwayat hipertensi, sakit kuning, jantung, paru, asma, alergi, ginjal disangkal. Riwayat Pekerjaan, Sosioekonomi, Kebiasaan, dan Kejiwaan • Pasien bekerja sebagai buruh di perusahaan elektronik. Biaya kesehatan umum. • • • Riwayat merokok 10 batang/hari selama 10 tahun. Riwayat alkohol disangkal. Riwayat penggunaan jarum suntik, berhubungan seks dengan sesama jenis, seks bebas disangkal. Menikah 1 kali (2012), istri telah meninggal (April 2013). Istri didiagnosis HIV di RSCM (Nov 2013), hanya meminum obat 1 hari kemudian dilanjutkan obat herbal. istri pasien memiliki riwayat berhubungan seks dengan pengguna jarum suntik yang saat ini telah meninggal. Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi napas Suhu Keadaan gizi Tinggi badan Berat badan IMT : tampak sakit ringan : CM : 110/80 mmHg : 80 kali/menit, reguler, kuat : 20 kali/menit, teratur, dalam : 36,5° C : baik : 164 cm : 61 kg : 22,68 kg/m2 (normal) Status Lokalis • Kulit Sawo matang, tampak plak hiperpigmentasi disertai skuama putih kering kasar pada daerah belakang leher dan lipat siku. • Kepala Normosefal, deformitas (-) • Rambut Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut. • Mata Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-) • Telinga Tidak ada deformitas/hiperemis/sekret • Hidung Tidak ada deviasi septum/deformitas./sekret. Konka media/inferior tidak hiperemis. Tidak ada deformitas/sekret • Tenggorok tonsil T1-T1, arkus faring simetris, tidak hiperemis • Leher Pembesaran KGB dan tiroid (-), JVP 5-2 cm H2O • Gigi Mulut oral hygiene buruk, karies (+). Stomatitis tepi lidah, bercak putih. Gigi berlubang (-). • Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi • Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi • : simetris statis-dinamis : ekspansi simetris, fremitus kanan = kiri : sonor di seluruh lapang paru : vesikular +/+, ronkhi/wheezing (-) Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi • : Iktus kordis tidak terlihat : iktus kordis sela iga 4, 1 jari medial linea midclavicularis kiri : batas kanan linea sternalis kanan; batas kiri terdapat 1 jari medial linea midklavikularis kiri; pinggang jantung di sela iga 3 linea parasternalis kiri : S I-II reguler, murmur/ gallop (-) : datar : lemas, hepar dan lien tidak teraba, ballotement (-), nyeri tekan (-) : shifting dullness (-) : bising usus (+) normal Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), eritema palmaris (-) Pemeriksaan Penyaring HIV di RS Resti Mulia positif (2 November 2013). Ringkasan Laki-laki, 29 tahun, datang ke Poliklinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan keluhan berat badan turun sejak 7 bulan sebelum kunjungan tanggal 4 November 2013. Berat badan dirasakan menurun dari 70 kg (April 2013) menjadi 61 kg (4 November 2013). Saat ini pasien merasa lemas. Riwayat jantung berdebar, mudah berkeringat, tangan gemetar disangkal. Riwayat hilang nafsu makan, penurunan porsi makan, dan peningkatan aktivitas disangkal. Riwayat demam, sesak napas, keringat malam disangkal. Riwayat sering lapar, sering haus, sering terbangun malam hari untuk buang air kecil disangkal. Riwayat penggunaan obat jangka panjang disangkal. Riwayat depresi dan rasa cemas berlebihan disangkal. Riwayat diare sejak 3 bulan sebelum kunjungan, konsistensi cair, frekuensi 2 – 3 kali/hari. Riwayat sariawan hilang timbul sejak 2 minggu sebelum kunjungan. Riwayat gatal di leher dan lipat siku sejak 2 minggu sebelum kunjungan. Riwayat mengganti jenis sabun mandi, penggunaan handuk bersama disangkal. Riwayat batuk pilek hilang timbul sejak 3 bulan sebelum kunjungan. Batuk berdahak putih kental. Ingus berwarna putih kental. Badan kadang terasa meriang, tidak mengukur suhu tubuh. Mual muntah tidak ada. Sesak napas tidak ada. Nyeri menelan tidak ada. Suara serak tidak ada. Riwayat merokok 10 batang/hari selama 10 tahun. Riwayat alkohol disangkal. Riwayat penggunaan jarum suntik, berhubungan seks dengan sesama jenis, seks bebas disangkal. Menikah satu kali pada 2012, istri pasien memiliki riwayat berhubungan seks dengan pengguna jarum suntik, keduanya didiagnosis HIV dan telah meninggal. Hasil pemeriksaan rapid test HIV dengan 3 reagen yang berbeda memberikan hasil positif. Pada pemeriksaan fisik, terdapat stomatitis pada mulut disertai bercak putih dan plak hiperpigmentasi disertai skuama putih kering kasar pada regio leher dan lipat siku. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Daftar Masalah 1. SIDA belum ARV 2. Kandidiasis oral Pengkajian 1. SIDA belum ARV - Atas dasar anamnesis faktor risiko hubungan seksual dengan pengidap HIV, penurunan BB > 10% dalam 6 bulan, kandidiasis oral, diare kronik, sering batuk pilek, lemas, gatal pada lipat siku dan leher belakang. Pemeriksaan fisik ditemukan plak hiperpigmentasi pada daerah belakang leher dan lipat siku. - Rencana Diagnostik: DPL, Ur/Cr, SGOT/SGPT, Rontgen Thorax - Rencana Terapi: Cotrimoxazole 1 x 960 mg ; ARV kombinasi TDF + 3TC + EFV/NVP - Rencana Edukasi: o Menjelaskan kemungkinan penularan o Memotivasi untuk melanjutkan pengobatan o Menjelaskan bahwa dengan pengobatan, imun dapat membaik o Mengkonsumsi makanan bergizi 2. Kandidiasis Oral - Atas dasar sariawan dan bercak putih pada tepi lidah. Dipikirkan karena defisiensi sistem imun pada HIV. - Rencana diagnostik: KOH 10% - Rencana terapi: Nystatin drops 4x1 - Rencana edukasi: Menjaga kebersihan gigi dan mulut Kesimpulan Laki-laki, 29 tahun, datang ke Poliklinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan keluhan berat badan turun sejak 7 bulan sebelum kunjungan tanggal 4 November 2013. Berat badan dirasakan menurun dari 70 kg (April 2013) menjadi 61 kg (4 November 2013). Saat ini pasien merasa lemas. Riwayat jantung berdebar, mudah berkeringat, tangan gemetar disangkal. Riwayat hilang nafsu makan, penurunan porsi makan, dan peningkatan aktivitas disangkal. Riwayat demam, sesak napas, keringat malam disangkal. Riwayat sering lapar, sering haus, sering terbangun malam hari untuk buang air kecil disangkal. Riwayat penggunaan obat jangka panjang disangkal. Riwayat depresi dan rasa cemas berlebihan disangkal. Riwayat diare sejak 3 bulan sebelum kunjungan, konsistensi cair, frekuensi 2 – 3 kali/hari. Riwayat sariawan hilang timbul sejak 2 minggu sebelum kunjungan. Riwayat gatal di leher dan lipat siku sejak 2 minggu sebelum kunjungan. Riwayat mengganti jenis sabun mandi, penggunaan handuk bersama disangkal. Riwayat batuk pilek hilang timbul sejak 3 bulan sebelum kunjungan. Batuk berdahak putih kental. Ingus berwarna putih kental. Badan kadang terasa meriang, tidak mengukur suhu tubuh. Mual muntah tidak ada. Sesak napas tidak ada. Nyeri menelan tidak ada. Suara serak tidak ada. Riwayat merokok 10 batang/hari selama 10 tahun. Riwayat alkohol disangkal. Riwayat penggunaan jarum suntik, berhubungan seks dengan sesama jenis, seks bebas disangkal. Menikah satu kali pada 2012, istri pasien memiliki riwayat berhubungan seks dengan pengguna jarum suntik, keduanya didiagnosis HIV dan telah meninggal. Hasil pemeriksaan rapid test HIV dengan 3 reagen yang berbeda memberikan hasil positif. Pada pemeriksaan fisik, terdapat stomatitis pada mulut disertai bercak putih dan plak hiperpigmentasi disertai skuama putih kering kasar pada regio leher dan lipat siku. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Daftar Masalah: 1. SIDA belum ARV 2. Kandidiasis oral Rencana diagnostik: DPL, Ur/Cr, SGOT/SGPT, Rontgen Thorax, KOH 10%, sel T CD4 Rencana terapi: Cotrimoxazole 1 x 960 mg dan nystatin drops 4x1 serta ARV kombinasi TDF + 3TC + EFV/NVP. Rencana edukasi adalah menjelaskan kemungkinan penularan, memotivasi untuk melanjutkan pengobatan, menjelaskan bahwa dengan pengobatan, imun dapat membaik, mengkonsumsi makanan bergizi, dan menjaga kebersihan gigi dan mulut. Prognosis: • • • Ad vitam Ad functionam Ad sanactionam : bonam : dubia ad bonam : dubia ad malam BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penurunan Berat Badan Penurunan berat badan yang bermakna klinis adalah berkurangnya lebih dari 5% berat tubuh dalam 6 – 12 bulan. Penurunan berat badan involunter hingga 10% dari berat badan pada individu non obesitas membutuhkan penilaian lebih lanjut. Penurunan berat badan involunter hingga 20% sering berhubungan dengan malnutrisi energi-protein berat, defisiensi nutrisi, atau disfungsi multiorgan. Berkurangnya 3500 kkal umumnya berhubungan dengan penurunan 0,45 kg lemak tubuh, dengan tetap memperthitungkan berat air 1 kg/L. penurunan berat badan yang menetap selama mingguan hingga bulanan mencerminkan hilangnya massa jaringan. Fisiologi regulasi berat badan Asupan makanan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual, olfaktorik, dan gustatorik, serta faktor genetik, psikologis, dan sosial. Individu normal memiliki ‘set point’ berat badan yang cenderung stabil, di samping variasi luas dari asupan kalori harian dan tingkat aktivitas. Nafsu makan dan metabolisme diregulasi oleh faktor saraf dan hormonal. Neuropeptida, seperti corticotropinreleasing hormone (CRH), alfa-melanocyte stimulating hormone (alfa-MSH), dan cocaine and amphetamine-related transcript (CART) menginduksi anoreksia di pusat rasa kenyang. Peptida pencernaan, seperti ghrelin, glukagon, somatostatin, dan kolesistokinin memberi sinyal rasa kenyang dan menurunkan asupan makanan. Ghrelin, diproduksi di lambung dan meningkat saat puasa atau keseimbangan energi negatif seperti starvasi atau anoreksia, bekerja merangsang sekresi hormon pertumbuhan, meningkatkan asupan makanan, dan penambahan berat badan. Hipoglikemia menekan insulin dan menurunkan penggunaan glukosa, serta menghambat pusat kenyang. Leptin diproduksi oleh jaringan adiposa dan mempunyai peran penting dalam pengaturan jangka panjang dari berat badan melalui perannya pada hipotalamus untuk menurunkan asupan makanan dan meningkatkan penggunaan energi. Leptin menekan ekspresi neuropeptida Y hipotalamus, yang merupakan peptida poten stimulus nafsu makan, dan meningkatkan ekspresi alfa-MSH, yang bekerja melalui reseptor melanokortin MC4R untuk menurunkan nafsu makan. Defisiensi leptin, yang terjadi seiring dengan hilanganya jaringan adiposa, merangsang nafsu makan dan menginduksi respon adaptif, seperti hambatan pada thyrotropin-releasing hormone (TRH) hipotalamus dan gonadotropin-releasing hormone (GnRH). Defisiensi leptin dihubungkan dengan penurunaan sel CD4 dan produksi sel T. Penurunan berat badan yang signifikan Penurunan berat badan merupakan hasil dari penurunan asupan energi atau peningkatan buangan energi, yang dapat volunter maupun involunter. Penurunan berat badan involunter yang progresif dapat menunjukkan kondisi medis atau psikiatrik. Penurunan berat badan volunter dapat dijumpai pada individu dengan berat badan berlebih. Pada individu dengan berat badan normal, penurunan berat badan secara volunter biasanya berhubungan dengan kondisi psikiatrik. Sekitar 75% penyebab penurunan berat badan dapat dicari melalui anamnesis riwayat, pemeriksaan fisik dan tes diagnostik. Berat badan juga dapat merupakan tanda dari penyakit infeksi, seperti HIV, TB, endokarditis, dan jamur atau parasit. Hipertiroidisme dan feokromositoma meningkatkan metabolisme. Pada DM, dapat disertai dengan glukosuria dan hilangnya kerja anabolik insulin. Pada insufisiensi adrenal, dapat terjadi hiperpigmentasi, hiponatremia, dan hiperkalemia. 1. Endokrinopati - Hipertiroidisme. Terutama disebabkan peningkatan katabolisme. Penyebab lain, seperti peningkatan motilitas usus dan malabsorpsi, dapat berperan. Penurunan berat badan rata-rata 16%, dimana peningkatan berat badan dapat terjadi cepat dengan terapi. - Diabetes melitus. Terjadi penurunan massa tubuh dan hilangnya cairan ekstraselular dan intraselular karena diuresis osmotik dari glukosuria. Penyebab dari penunrunan - - berat badan pada DM tidak terkontrol adalah multifaktorial, seperti kombinasi anoreksia, depresi, nyeri, malabsorpsi, gastroparesis, dan enteropati. Selain penurunan BB, peningkatan BB juga dapat terjadi pada DM. Feokromositoma. Secara teori, kondisi hiperadrenergik pada pasien dengan feokromositoma dapat menyebabkan penurunan BB disertai dengan peningkatan nafsu makan, tetapi hanya 5% pasien yang melaporkan adanya penurunan BB. Insufisiensi adrenal primer kronik. Dapat terjadi penurunan BB signifikan, dengan dehidrasi, anoreksia, keletihan, fatigue, dan kelemahan. Hiperparatiroidisme. Gejala klinis klasik dapat terjadi anoreksi, mual, konstipasi, poliuri, dan penurunan BB. Sebagian besar pasien dengan hiperparatiroidisme primer adalah asimtomatik dan tidak mengalami penurunan BB. 2. Gangguan pencernaan - Penurunan BB dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, seperti anoreksia, nyeri perut, begah, disfagia, odinofagia, dismotilitas, diare, malabsorpsi, perdarahan kronik, inflamasi kronik, iskemia kronik, obstruksi, fistula, keganasan, infeksi, reseksi gastrointestinal, dan/atau bypass. - Malabsorpsi. Dapat menurunkan BB dengan nafsu makan yang meningkat atau normal. Dapat terjadi pada penyakit celiac, penyakit Crohn’s, IBD, insufisiensi vaskular, dan sindrom arteri mesenterika superior. 3. HIV dan infeksi lain - Pasien dengan infeksi HIV memiliki total energy expenditure yang sama dengan orang normal. Penurunan BB biasanya terjadi episodik, dengan infeksi sekunder atau gangguan pencernaan, yang menyebabkan penurunan asupan energi. Letargi dan fatigue yang menyertai infeksi dapat membantu mempertahankan keseimbangan energi dan BB. - Infeksi kronik dapat menyebabkan penurunan berat badan involunter, misalnya pada pasien dengan TB aktif. Infeksi hepatitis C juga dapat menyebabkan penurunan BB, disertai dengan mual, anoreksia, dan kelemahan. Terapi medikamentosa untuk hepatitis C dapat menyebabkan eksaserbasi dari penurunan BB. 4. Keganasan - Sebanyak 15-35% penurunan BB involunter disebabkan oleh keganasan. Sebagian penderita kanker mengalami anoreksia dan penurunan BB pada saat diagnosis. Kakeksia kanker disebabkan oleh abnormalitas metabolik yang kompleks, melibatkan penurunan massa otot, yang dimediasi oleh TNF-alfa serta IL-1 dan IL-6. - Faktor lain yang berkaitan dengan penurunan BB, antara lain nyeri, distensi abdomen, mual, muntah, infeksi, disfagia, begah karena pembesaran hepar dan limpa atau obstruksi, hiperkalsemia, malabsorpsi, ataupun efek samping dari kemoterapi/radioterapi. Skrining yang dapat dilakukan untuk evaluasi penurunan berat badan involunter, antara lain darah perifer lengkap, elektrolit, kalsium, glukosa darah, fungsi ginjal, fungsi hati, urinalisis, TSH, foto polos dada, dan skrining kanker. Selain itu, tes tambahan berupa uji HIV, endskopi saluran pencernaan atas dan/atau bawah, CT scan atau MRI abdomen, dan CT scan dada.1,2 Penyakit HIV Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) atau AIDS merupakan suatu pandemik global;. Pada akhir tahun 2009 didapatkan data bahwa terdapat 33,3 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS. Lebih dari 95% berada di negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Selain pada orang dewasa, HIV menjangkiti sekitar 2,5 juta anak-anak <15 tahun. Angka kematian global terkait HIV tahun 2009 adalah 1,8 juta, dengan 260.000 di antaranya <25 tahun.3 HIV merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel pada sistem imun sehingga merusak dan mengganggu sel-sel tersebut.3,4 Orang yang terinfeksi HIV lama kelamaan akan menjadi rentan terhadap infeksi karena sistem imun menjadi lebih lemah. Tahap lanjut dari infeksi HIV disebut sebagai acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). AIDS diartikan sebagai suatu kumpulan gejala atau penyakit yang timbul karena adanya penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan adanya infeksi HIV.3 Perkembangan dari infeksi HIV menjadi AIDS membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu 10-15 tahun. Obat-obatan antiretroviral diberikan guna menghambat perkembangan penyakit tersebut.3 Resiko Penularan dan Transmisi HIV HIV termasuk dalam jenis blood-borne.4 Virus ini dapat ditransmisikan melalui hubungan seksual yang tidak terlindungi baik melalui anal maupun vaginal, transfusi darah yang terkontaminasi, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi, dan antara ibu ke janinnya selama masa kehamilan, melahirkan maupun menyusui.3,4 Transmisi HIV melalui obat injeksi tidak harus secara intravena melainkan juga bisa melalui intramuscular maupun subkutan.5 Penyebaran melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian terutama pada pengguna narkoba berperan besar bagi peningkatan angka kejadian HIV di Indonesia. Penularan HIV dari ibu ke janin yang dikandungnya dapat terjadi selama trimester pertama atau pun kedua. Hal ini diketahui melalui analisis virologi pada janin yang mengalami abortus. Meskipun begitu kebanyakan penularan terjadi pada masa perinatal. Sekitar 20-30% terjadi sebelum kelahiran, 50-65% selama persalinan, dan 12-20% selama menyusui. Jika tidak dilakukan terapi profilaksis dengan menggunakan antiretroviral pada ibu selama kehamilan, persalinan dan menyusui, serta profilaksis pada janin sesaat setelah persalinan, transmisi HIV bervariasi dari 15-25% pada negara maju serta 25-35% pada negara berkembang. Semakin tinggi viral load, kemungkinan terjadi transmisi lebih besar. 6 Meskipun HIV dapat diisolasi dari saliva pada sebagian individu yang terinfeksi, masih belum ada bukti yang meyakinkan yang menyatakan bahwa saliva dapat mentransmisikan HIV, baik melalui ciuman maupun eksposur lainnya. Saliva berisi berbagai antiviral endogen seperti IgA, IgM dan IgG spesifik HIV, yang dapat terdeteksi pada sekresi saliva individu yang terinfeksi. Sementara itu, masih belum ada bukti bahwa HIV dapat ditransmisikan melalui eksposur keringat, air mata, atau Turin. Riwayat yang dapat mengarahkan pada kecurigaan adanya infeksi HIV antara lain adalah hubungan seksual yang tidak terproteksi seperti reseptif hubungan seks anal, partner seksual yang banyak, riwayat penyakit menular seksual, pengguna obat suntik yang bergantian, kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi atau cedera jarum suntik, dan bayi dari ibu yang terinfeksi HIV.4 Patogenesis dan Patofisiologi HIV menyebabkan gangguan respons imun yang progresif dengan menyerang sel limfosit CD4+. Sel tersebut merupakan.3 Pasien yang terinfeksi HIV akan seumur hidup terinfeksi karena partikel virusnya bergabung dengan DNA pasien tersebut. Awalnya, infeksi HIV tidak menunjukan tanda atau gejala tertentu. Namun, pada sebagian kasus terdapat gejala tidak khas yang muncul dalam 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejalanya tersebut antara lain adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk. Setelah itu, dapat terjadi fase asimptomatik selama 8-10 tahun. Sebagian pasien mengalami perkembangan penyakit yang cepat, yaitu dalam sekitar 2 tahun sementara lainnya ada yang berkembang lambat (non-progressor).5 Saat kekebalan tubuh orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sudah semakin menurun, gejala-gejala infeksi oportunistik mulai muncul. Misalnya adalah penurunan berat badan, demam lama, rasa lemah, pembesaran KGB, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes dan sebagainya. Tanda awal dari kerusakan system kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi luas HIV di jaringan limfoid. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.5 Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, sebenarnya di dalam tubuhnya terjadi replikasi virus yang tinggi, sekitar 10 partikel setiap harinya. Replikasi tersebut disertai dengan mutasi dan seleksi sehingga dapat muncul HIV yang resisten. Limfosit CD4+ juga mulai mengalami kehancuran. Namun, produksi limfosit CD4+ hingga 109 sel setiap hari dapat mengkompensasi hal tersebut. Perkembangan HIV dapat terjadi lebih progresif pada pengguna narkotika, terutama terkait dengan tingginya resiko infeksi hepatitis C pada kelompok tersebut. Penyakit penyerta berupa infeksi pada katup jantung juga lebih sering dijumpai pada ODHA pengguna narkotika suntik dibanding mereka yang tertular melalui jalur lain. Selain itu, makin lama penggunaan jarum suntik, makin besar juga resiko infeksi pneumonia dan tuberculosis. Adanya infeksi kuman penyakit lain akan mempercepat pembelahan HIV. Juga, terjadi reaktivasi virus di dalam limfosit T.5 Gejala dan Tanda Berdasarkan manifestasi klinisnya, WHO mengklasifikasikan kasus HIV pada orang dewasa menjadi infeksi HIV primer, serta derajat 1 hingga 4. Infeksi HIV primer merupakan kondisi asimptomatik dengan sindrom retroviral akut. Sementara itu, pada derajat 1 sudah terjadi limfadenopati generalisata yang persisten. Namun, kondisi itu juga dapat asimptomatik.6,7 Pada derajat 2, penurunan berat badan <10% BB sudah terjadi. Gejala lain yang dapat muncul adalah infeksi pernapasan berulang, herpes zoster, angular cheilitis, ulkus pada mulut berulang, erupsi papul-papul yang gatal, dermatitis seboroik dan infeksi jamur pada kuku.6,7 Pada derajat 3, penurunan berat badan sudah berat, lebih dari 10% BB. Diare kronis terjadi hingga >1 bulan. Demam persisten selama lebih dari sebulan dengan suhu >37°C, baik terjadi secara konstan maupun intermiten. Pada mulut terdapat kandidisis oral yang terjadi secara persisten. Dapat pula berupa leukoplakia oral berambut. Juga, adanya stomatitis ulseratif akut dengan nekrosis, peradangan gusi dan jaringan sekitar gigi-gusi. Tuberkulosis paru juga menjadi penanda dari klinis derajat 3 ini. Infeksi bakteri terjadi secara berat, baik berupa pneumonia, empyema, piomiositis, infeksi tulang-sendi, meningitis maupun bakterimia. Anemia yang tidak jelas sebabnya dengan Hb <8 g/dL, neutropenia (<500 sel/µ) dan trombositopenia dengan platelet <50.000 sel/µ) menjadi kelainan pada darah yang dapat terjadi. 6,7 Pada derajat 4, sudah terjadi wasting syndrome. Infeksi terjadi lebih berat serta muncul penyakit yang dapat berupa pneumositis pneumonia, pneumonia bacterial berat berulang, herpes simpleks kronis, kandidiasis esophagea/bronkus/paru/trakea, tuberculosis ekstra paru, sarcoma Kaposi, infeksi sitomegalovirus, toksoplasma pada SSP, ensepalopati HIV, kriptokokus ekstraparu, infeksi mycobacteria non tuberculosis diseminata, leukoensefalopati multifocal progresif, kriptosporodiosis kronis, isosporiasis kronis, mikosis diseminata, bakterimia salmonella non tifoid berulang, limfoma, karsinoma servikal invasive, leismaniasis diseminata atipikal, nefropati terkait HIV yang simptomatik, kardiomiopati terkait HIV yang simptomatik dan reaktivasi dari tripanosomiasis pada orang Amerika (dapat berupa meningoensefalitis atau miokarditis.7 Diagnosis HIV Tes untuk HIV merupakan tes serologic untuk deteksi antibodi terhadap HIV maupun keberadaan virus. Deteksi adanya virus HIV dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetic dalam darah pasien. Di Indonesia, pemeriksaan yang biasa digunakan merupakan pemeriksaan antibody HIV yaitu dengan teknik ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay). Teknik pemeriksaan antibody lainnya dapat berupa teknik aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Dalam perkembangan HIV, terdapat window period, yang mana antibodi terhadap HIV belum terdeteksi meski sudah terjadi infeksi HIV. Antibodi dapat mulai terbentuk dalam 4-8 minggu setelah infeksi. Jika seseorang memiliki resiko infeksi yang tinggi menunjukan hasil negatif, terutama dalam jangka waktu tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian. 3 Berdasarkan tujuan dari pemeriksaan serta keadaan pasien, WHO merekomendasikan 3 strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV. Pada strategi I hanya dilakukan 1 kali pemeriksaan. Jika hasilnya reaktif, dianggap sebagai kasus infeksi HIV sedangkan jika negative dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagen yang digunakan untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi >99%. Strategi ini dapat diterapkan untuk keamanan transfuse dan transplantasi serta surveillance pada prevalensi HIV >10%. Sedangkan untuk keperluan diagnosis, strategi I diterapkan pada pasien yang sudah menunjukan gejala infeksi HIV/AIDS.5 Strategi II diterapkan pada pasien tanpa gejala dengan prevalensi HIV 10-30% serta untuk kepentingan surveillance dengan prevalensi HIV ≤10%. Strategi ini menggunakan 2 kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Sedangkan jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non reaktif, dilaporkan sebagai hasil tes HIV negatif. Pemeriksaan kedua dilakukan dengan reagen yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya daripada pemeriksaan pertama. Jika hasil pemeriksaan kedua reaktif, dapat disimpulkan bahwa itu adalah kasus infeksi HIV. Namun, jika hasilnya non reaktif, pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Hasil dapat dilaporkan sebagai indeterminate jika kedua hasil pemeriksaannya tetap berbeda.5 Strategi III menggunakan 3 kali pemeriksaan. Pasien disimpulkan mengalami infeksi HIV apabila pada ketiga pemeriksaan hasilnya reaktif. Jika ada hasil yang non reaktif, pasien dengan riwayat pemaparan terhadap HIV atau beresiko tinggi tertular HIV, disimpulkan sebagai equivocal atau indeterminate. Sedangkan jika tidak ada riwayat atau resiko tersebut, dilaporkan sebagai nonreaktif. Pada strategi ini, pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau teknikna serta spesifisitas yang lebih baik.5 Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil reaktif, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi dengan western blot (WB).5 Terapi Antiretroviral Iniasi tatalaksana dini berkaitan dengan manfaat pada kondisi klinis dan pencegahan HIV, meningkatkan survival dan mengurangi insiden infeksi HIV dalam tingkat komunitas. Berdasarkan panduan terbaru dari WHO, semua orang yang sudah dikonfirmasi diagnosis HIV dengan CD4 ≤500 sel/mm3 direkomendasikan untuk mendapatkan terapi antiretroviral. Juga, perlu adanya prioritas pada mereka dengan tahap penyakit yang lebih berat atau CD4 ≤350 sel/mm3. Terapi antiretroviral juga direkomendasikan, tanpa mempertimbangkan hitung CD4+, pada pasien dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV dengan penyakit hati berat, hamilmenyusui, anak-anak kurang dari 5 tahun yang hidup dengan HIV juga pada individu dengan pasangan HIV positif.9 Pada koinfeksi hepatitis B, terapi antiretroviral diinisiasi pada pasien dengan CD4+ ≤500 sel/mm3. Jika ada kondisi penyakit liver kronis yang berat (baik yang terkompensasi maupun yang tidak), ART diinisiasi berapapun hitung CD4+ nya. Pemberian ART pada orang dengan pasangan HIV positif bertujuan untuk mengurangi resiko transmisi HIV.9 Meski semua pasien TB direkomendasikan untuk mendapatkan ART, obat tersebut tidak segera diberikan segera setelah diagnosis TB. Obat TB diberikan terlebih dahulu, untuk selanjutnya ART diberikan setelah 8 minggu inisasi terapi TB. Namun, untuk pasien dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ART diberikan lebih cepat yaitu dalam 2 minggu pasca inisasi terapi TB.9 Regimen lini pertama untuk tatalaksana HIV menggunakan regimen yang disederhanakan, toksisitas lebih rendah, serta lebih efektif dengan pemberian kombinasi dosis tetap. Regimen berisi NRTI berupa TDF+FTC atau TDF+3TC ditambah dengan satu NNRTI berupa EFV menjadi pilihan untuk pasien dewasa, dan anak-anak lebih dari 3 tahun. Pada pasien dewasa regimen lini pertama alternative adalah sebagai berikut.9 AZT + 3TC + EFV AZT + 3TC + NVP TDF + 3TC atau FTC + NVP Sedangkan regimen lini pertama alternatif pada remaja usia 10-19 tahun dengan BB ≥35 kg serupa dengan orang dewasa, ditambah dengan pilihan kombinasi ABC + 3TC + EFV (atau NVP).9 TDF= tenofovir; FTC=emtricitabine; 3TC=lamivudine; EFV=efavirenz; AZT=zidovidine; NVP=nevirapine; Dosis dalam FDC untuk TDF dosis 300 mg, FTC tidak ada dalam FDC, tetapi tiap kapsulnya berisi 200 mg. FDC untuk 3TC tersedia dengan dosis 150 mg. Dosis AZT dalam FDC adalah 300 mg. Dosis EFV 600 mg. Dosis NVP dewasa pada FDC adalah 200 mg.10 Untuk pemantauan, pada awal inisiasi ART, pasien perlu diperiksa hitung CD4 nya. Selanjutnya, pemeriksaan ulang dilakukan setiap 6 bulan. Selain CD4, perlu diperiksa juga viral load HIV pada 6 bulan pertama setelah inisiasi ART. Pemeriksaan viral load berikutnya cukup dilakukan setiap 12 bulan.9 Pada penderita HIV/AIDS terdapat suatu metode profilaksis infeksi oportunistik dengan pemberian kotrimoksasol. Kotrimoksasol diberikan segera setelah dinyatakan HIV positif, bila pemeriksaan hitung CD4 tidak tersedia. Pemberian kotrimoksasol dihentikan setelah 2 tahun apabila pasien mendapatkan ARV. Sementara itu, jika tersedia pemeriksaan CD4, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3. Pemberian kotrimoksasol dihentikan apabila sel CD4 meningkat >200 sel/mm3 pada pemeriksaan dua kali berturut-turut dengan interval 6 bulan berturut-turut jika mendapatkan ARV. Pada orang dewasa, dosis kotrimoksasol yang diberikan adalah 960 mg/hari dosis tunggal. Pemantauan perlu dilakukan apabila terdapat efek samping berupa tanda hipersensitivitas seperti demam, ras, sindrom Steven Johnson, tanpa supresi sumsum tulang seperti anemia, trombositopenia, leukopeni dan pansitopeni. Juga, apabila dicurigai adanya interaksi obat dengan ARV dan obat lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit terkait HIV. ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3 dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Tujuannya adalah kutuk menilai kepatuhan pasien dalam minum obat dan menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV. Jika terjadi hipersensitivitas kotrimoksasol, obat dapat mulai diberikan lagi setelah dilakukan desensitisasi obat. Angka keberhasilan desensitisasi tersebut mencapai 70% pada ODHA yang pernah mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang. Namun, desensitisasi tidak boleh dicoba pada reaksi alergi yang berat (derajat hipersensitivitas 3 atau 4). BAB III PEMBAHASAN Pasien datang dengan keluhan berat badan yan semakin turun. Dalam 6 bulan, berat badan pasien turun > 10%. Riwayat jantung berdebar, mudah berkeringat, tangan gemetar disangkal oleh pasien sehingga menyingkirkan kemungkinan hipertiroidisme. Riwayat peningkatan aktivitas disangkal sehingga mneyingkirkan kemungkinan penyebab penurunan berat badan oleh karena peningkatan aktivitas. Riwayat demam, sesak napas, keringat malam disangkal. Riwayat sering lapar, sering haus, seringg terbangun malam hari untuk buang air kecil disangkal, sehingga menyingkirkan penurunan berat badan karena diabetes melitus. Riwayat penggunaan obat jangka panjang disangkal sehingga menyingkirkan kemungkinan penurunan BB karena obat. Riwayat depresi dan rasa cemas berlebihan disangkal. Pasien memiliki riwayat diare kronik, sariawan hilang timbul, gatal di tubuh. Dipikirkan kemungkinan adanya kondisi imunodefisiensi pada pasien. Faktor risiko yang ada pada pasien adalah memiliki riwayat pernikahan dengan istri yang pernah berhubungan seks dengan pengguna jarum suntik, keduanya didiagnosis HIV dan telah meninggal. Pasien ini sudah mendapatkan hasil infeksi HIV positif melalui pemeriksaan penyaring serta terdapat gejala penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan dasar, diare kronis dan stomatitis berulang dalam 2 minggu. Saat ini pasien dengan kandidiasis oral. Dari kondisi klinis tersebut, dapat disimpulkan bahwa setidaknya pasien saat ini dalam stage klinis 3. Sudah munculnya gejala AIDS pada pasien ini membuat pemeriksaan penyaring yang sudah dilaksanakan pada pasien tersebut dapat dianggap cukup untuk menegakan diagnosis infeksi HIV. Jika memungkinkan, konfirmasi dengan western blot dapat dilakukan. Selanjutnya terapi ARV dapat diinisiasi sesuai dengan regimen yang direkomendasikan WHO, yang mana pada pasien ini dipilih kombinasi TDF+3TC+EFV. Untuk menilai kondisi awal sebelum terapi ARV, pemeriksaan CD4 perlu dilakukan untuk pemantauan respons dari terapi ARV nantinya. Pada pasien ini, terapi profilaksis direncanakan dengan dosis tunggal 960 mg/hari. Terapi dapat segera diberikan pada pasien yang sudah dikonfirmasi diagnosis HIV. Namun, memang sebaiknya pemeriksaan CD4 juga perlu dilakukan untuk bisa menentukan kapan terapi kotrimoksasol dapat dimulai dan dihentikan secara tepat. Pemberian ARV sebaiknya ditunda setelah 2 minggu pemberian kotrimoksasol. Pemantauan laboratorium sebenarnya bukan persyaratan mutlak untuk memulai terapi ARV. Juga, pemeriksaan CD4 dan viral load bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat ARV. Namun, pemeriksaan lab atas indikasi gejala amat dianjurkan untuk pemantauan keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi ARV. Juga, viral load sebenarnya berperan penting dalam mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis. Pemeriksaan lab yang ideal diberikan pada pasien sebelum memulai terapi ART apabila sumber daya memungkinkan adalah antara lain adalah darah lengkap, CD4, SGOT/SGPT, kreatinin serum, urinalisis, HbSAg, anti HCV, profil lipid serum, gula darah, VDRL/TPHA/PRP, rontgen dada, dan viral load. Pada pasien ini, yang direncanakan adalah DPL, Ur/Cr, SGOT/SGPT, dan rontgen torax. Namun, memang disarankan CD4 juga diperiksa. Dengan adanya pemeriksaan tersebut, diharapkan dapat diketahui adanya kemungkinan infeksi paru, termasuk tuberkulosis, serta fungsi homeostasis, ginjal dan hati saat ini. Dalam melakukan monitoring respons ARV, viral load adalah yang paling direkomendasikan. Jika tidak tersedia,hitung CD4 dan monitoring secara klinis sebaiknya digunakan untuk mendiagnosis kegagalan terapi. Kegagalan terapi didefinisikan sebagai kondisi persistennya viral load melebihi 1000 kopi/ml setelah terapi ARV selama setidaknya 6 bulan.(who guideline) Pada pasien ini direncanakan untuk pemeriksaan viral load ulang setelah 6 bulan inisiasi ARV serta setidaknya setiap 12 bulan untuk deteksi kegagalan terapi. Pada setiap pasien HIV, semestinya dilakukan terlebih dahulu konseling sebelum pemeriksaan skrining HIV maupun setelah didapatkan hasilnya. Berdasarkan pengetahuan dan kesadaran yang sudah pasien miliki, dinilai bahwa tingkat tilikan dan penerimaan pasien akan kemungkinan HIV sudah cukup baik Oleh karena itu, selanjutnya yang perlu dilakukan adalah edukasi mengetahui karakteristik dari infeksi HIV dan resik koinfeksi yang dapat menyertainya saat ini maupun di kemudian hari. Pasien dijelaskan mengenai bagaimana kemungkinan pasien mendapat penularan dan bagaimana potensinya dalam menularkan ke orang lain. Pengobatan dengan ARV dapat dilakukan seumur hidup sehingga perlu motivasi untuk lanjut pengobatan. Pola hidup sehat juga penting untuk dijelaskan dan disarankan supaya kerja dari sistem imunnya terbantu. Keluhan tambahan yang saat ini muncul pada pasien adalah kandidiasis oral. Kondisi ini dipikirkan berkaitan dengan adanya defisiensi sistem imun pada HIV. Kandidiasis oral terjadi karena adanya infeksi oportunistik pada infeksi HIV tahap lanjut, yaitu pada stadium klinis 3 atau lebih. Pemeriksaan diagnostik yang direncanakan adalah KOH 10%. Rencana tata laksana untuk kandidat, diberikan nystatin drop 4x sehari, 1 tetes. Selain pengobatan dengan nistatin, pasien diedukasi untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut. FOLLOW UP 7 November 2013 S: diare 1 kali hari ini O: tampak sakit sedang, compos mentis TD 110/70 mmHg, Nadi 88 kali/menit, Napas 18 kali/menit, Suhu 37oC Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Leher: JVP 5-2 cmH2O Jantung: S1 S2 reguler, tidak ada murmur/gallop Paru: bunyi napas vesikular, tidak ada ronkhi/wheezing Abdomen: datar, lemas, bising usus normal Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema Rontgen Thorax PA (4 November 2013): tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru Lab (4 November 2013): Hb 14,6 ; Ht 41,9; Leukosit 5310; Trombosit 219000 Diff count 0,4/6,4/55,6/28,2/9,4 LED 30; SGOT/SGPT 26/30; Ur/Cr 18/0,8 HbsAg negatif, anti HCV negatif, CD4 53 sel/ul A: 1. SIDA belum ARV 2. Diare 3. Kandidiasis oral P: Rencana diagnosis :- Rencana terapi : Cotrimoxazole 2 x 960 mg selama 2 minggu Candistatin 4 x 1 cc Rencana edukasi : menjelaskan kondisi saat ini dan recana menganjurkan untuk meminum obat teratur dan kontrol 2 minggu kemudian pengobatan; 25 November 2013 S: tidak ada keluhan O: tampak sakit sedang, compos mentis TD 110/70 mmHg, Nadi 80 kali/menit, Napas 20 kali/menit, Suhu 36,5oC Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Leher: JVP 5-2 cmH2O Jantung: S1 S2 reguler, tidak ada murmur/gallop Paru: bunyi napas vesikular, tidak ada ronkhi/wheezing Abdomen: datar, lemas, bising usus normal Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema A: 1. SIDA belum ARV 2. Diare 3. Kandidiasis oral P: Rencana diagnosis : DPL Rencana terapi : Duviral 2 x 1 Neviral 1 x 1 2 minggu tidak ada keluhan 2 x 1 Cotrimoxazole 1 x 960 mg Rencana edukasi : menjelaskan kondisi saat ini, rencana pemeriksaan, dan pengobatan; menjelaskan pentingnya berobat teratur dan kontrol rutin DAFTAR PUSTAKA 1. Fauci AS, Lane HC. Weight loss. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine: Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related Disorder. Vol 1. 16thed. 2. Evans AT, Gupta R. Approach to the Patient with Weight Loss. Uptodate. 2012. 3. WHO. HIV/AIDS. Diunduh dari www.who.int/topics/hiv_aids/en/. Diakses 7 Desember 2013. 4. Bennet NJ. HIV Disease. 2013. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/211316-overview. Diakses 7 Desember 2013. 5. Djoerban Z, Djauzi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: P.1825-9. 6. Fauci AS, Lane HC. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related Disorder. Vol 1. 18thed. New York: McGraw Hill; 2012. P.1506-87. 7. AETC National Resource Center. HIV Classification: CDC and WHO Staging Systems. 2012. Diunduh dari http://www.aidsetc.org/aidsetc?page=cg-205_hiv_classification#t-2. Diakses 14 Desember 2013. 8. World Health Organization. WHO Case Definitions of HIV for Surveillance and Revised Clinical Staging and Immunological Classification of HIV-Related Disease in Adults and Children; 2007 9. WHO. Clinical Guidance Across The Continuum of Care: Antiretroviral Therapy. 2013. P. 90-135. 10. WHO. Annex E: Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Infants and Children; 2013.