Hukum Laut Indonesia - Repository | UNHAS

advertisement
Hukum Laut Indonesia
BAB I
PENETAPAN ILMU-ILMU KELAUTAN TERMASUK
HUKUM LAUT SEBAGAI POLA ILMIAH POKOK
A. Pengertian Pola Ilmiah Pokok
Setiap lembaga pendidikan tinggi diharapkan menerapkan apa yang dinamakan Pola Ilmiah Pokok (PIP) atau dalam bahasa Inggeris disebut The Main Scientific Pattern (MSP).
PIP atau MSP yang menunjukkan orientasi atau arah pengembangan lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan. Penerapan PIP oleh setiap lembaga pendidikan tinggi harus di dasarkan atas keunggulan atau kompetensi spesifik yang di milikinya, dan kompetensi ini merupakan prasyarat untuk melakukan kerjasama intensif antarberbagai lembaga pendidikan
tinggi.
Tanpa memiliki kompetensi spesifik, tidak mungkin
suatu perguruan tinggi, dapat berpartisipasi dalam kerjasama
dengan perguruan tinggi lain atau instansi lainnya. Kerjasama
intensif itu sendiri adalah suatu unsur dari sistem pendidikan
nasional, dan merupakan salah satu program jangka panjang
dari Pola Kebijaksanaan Dasar Pengembangan Pendidikan
Tinggi di negeri ini yang ditetapkan sejak tahun 1975.
PIP bukanlah sebuah disiplin ilmu, melainkan merupakan orientasi pemikiran strategis, dalam pendidikan yang
sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu, sehingga
dengan demikian, PIP diharapkan dapat memberikan arah
bagi pengembangan Tri Dharma lembaga pendidikan tinggi,
1
2
Hukum Laut Indonesia
atau perguruan tinggi, serta sekaligus dapat memberikan
nuansa spesifik kepada pelbagai disiplin ilmu yang dikembangkan perguruan tinggi yang bersangkutan (Universitas
Hasanuddin, 1999:1).
Pilihan atau penetapan PIP bagi setiap perguruan
tinggi, dilakukan melalui pemikiran-pemikiran yang sifatnya
fundamental, yang berkaitan dengan keadaan lingkungan,
kebudayaan, dan sejarah kehidupan masyarakat luas, dimana
perguruan tinggi tersebut berada atau berdomisili. PIP diharapkan memberikan warna dan nuansa spesifik, terhadap
perguruan tinggi yang bersangkutan, sehingga setiap luarannya diharapkan, memiliki kemampuan untuk memberikan
warna dan nuansa spesifik, nuansa PIP terhadap disiplin ilmu
yang dikembangkannya.
Nuansa PIP dikembangkan secara tersebar, melalui
pelbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dibina oleh berbagai
fakultas, sekaligus juga dapat dikembangkan secara terpusat,
pada sekumpulan disiplin ilmu yang membentuk program
studi, yang mendukung PIP itu secara melembaga di dalam
dan melalui satu fakultas.
B. Sejarah Penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan Sebagai PIP
Universitas Hasanuddin
Universitas Hasanuddin (UNHAS) sebagai lembaga
pendidikan tinggi atau perguruan tinggi, telah memilih dan
menetapkan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai
suatu kompe-tensi yang harus dibangun, dipelihara, serta
Hukum Laut Indonesia
dikembangkan, dengan harapan dapat memberikan nuansa
spesifik bagi uni-versitas, dalam rangka melakukan kerjasama
intensif dengan lembaga pendidikan tinggi lain serta instansi
lain, baik milik pemerintah ataupun swasta.
Ditetapkannya
Ilmu-Ilmu
Kelautan
sebagai
PIP
UNHAS didasarkan atas kesepakatan yang dica-pai melalui
pelbagai pertemuan ilmiah yang puncaknya terjadi pada
Seminar Administrasi UNHAS di Kabupaten Soppeng (salah
satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan) pada tahun
1975. Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan melalui
Rapat Senat UNHAS dan selanjutnya dituangkan ke dalam
Surat Keputusan Rektor UNHAS No.1149/UP-UH/1975 tanggal 27 Desember 1975.
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah
pengembangan PIP UNHAS adalah adanya dukungan strategis
yang diucapkan sendiri oleh Presiden RI kala itu (Bapak
Soeharto), ketika UNHAS merayakan Dies Natalisnya (hari
jadi) yang ke-25 pada bulan September 1981 (Kerangka
Kebijakan Pengembangan PIP UNHAS:2). Beliau mengatakan
antara lain, Universitas Hasanuddin mempunyai kedudukan
yang khas dalam pengembangan studi ilmu-ilmu kelautan,
karena letak geografis UNHAS berada di belahan Timur Nusantara yang luas wilayah lautnya. Karena itu saya minta
agar usaha Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan
diri dalam pengembangan studi ini diteruskan dan tidak boleh
berhenti.
3
4
Hukum Laut Indonesia
Kenyataan menunjukkan bahwa, lautan di wilayah
Indonesia yang luas dan kaya itu, sebagian terbesar belum
diolah. Adalah wajar dan bahkan sudah seharusnya jika
Universitas Hasanuddin tidak hanya memikirkan, tetapi
memegang peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang ini.
Tonggak penting lainnya adalah pembentukan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan sebagai jurusan yang
ditempatkan pada Fakultas Peternakan UNHAS pada tahun
1988, dimana pembentukan program studi tersebut dilakukan
berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi No.19/Dikti/Kep/ 1988 tanggal 16 Juni 1988. Program
Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan merupakan embrio dan
cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kelautan.
Jurusan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan,
maupun Jurusan Program Studi Ilmu Perikanan, pada akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari sebuah Fakultas yang
disebut Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada tahun
1996, yang penetapannya didasarkan atas Surat Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.036/O/1996 tanggal
29 Januari 1996. Keberadaan Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan merupakan salah satu langkah maju dalam
pengembangan PIP UNHAS, tetapi
sekaligus mendorong
timbulnya ketidakpuasan pada beberapa kelompok civitas
Hukum Laut Indonesia
academica, terutama dari kalangan Fakultas MIPA, dan Fakultas Teknik.
Semoga ketidakpuasan dan gejolak yang pernah terjadi, dalam hubungan dengan eksistensi Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan sudah teratasi, dan hal ini hanya
dapat dilakukan melalui dialog di antara pihak-pihak yang
berkepentingan, guna menemukan solusi terbaik dari kemelut
memalukan yang pernah kronis dan berlarut-larut. Solusi
terbaik hanya dapat diwujudkan dengan mempergunakan
pendekatan win-win solution, dimana tidak ada pihak yang
kalah dan tidak ada pihak yang menang, sebab semua
menang, sehingga Ilmu-Ilmu Kelautan yang dicanangkan
sebagai PIP UNHAS ini benar-benar dapat berkembang dan
memberi manfaat, serta kontribusi positif bagi pembangunan
nasional pada umumnya, dan pembangunan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya dalam rangka mencapai dan
meningkatkan kesejahteraan terutama bagi rakyat Sulawesi
Selatan.
C. Ilmu-Ilmu Kelautan Masih Memiliki Relevansi
Mengenai Relevansi Ilmu-Ilmu Kelautan termasuk
pula Ilmu Hukum Laut sebagai PIP UNHAS, pertanyaan yang
dapat diajukan adalah, apakah Ilmu-Ilmu Kelautan yang
ditetapkan sebagai PIP UNHAS sejak tahun 1975 masih
relevan, dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat
yang senantiasa berubah, serta masih sejalan dengan arah
5
6
Hukum Laut Indonesia
pengembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
secara
umum.
Pertanyaan strategis ini dapat dijawab dengan mengamati beberapa kecenderungan perkembangan, baik yang bersifat lokal maupun global yang sedang terjadi pada saat ini,
antara lain adalah sebagai berikut (Kerangka Kebijakan
Pengembangan PIP Unhas:3) :
1. Ketergantungan manusia pada sumber daya alam (natural resources), menghadapi kendala dengan semakin berkurangnya ketersediaan sumber daya alam, yang terdapat di wilayah daratan, sehingga memaksa manusia untuk beralih, kepada kemungkinan pemanfaatan sumber
daya alam yang berlokasi di lautan. Kecenderungan ini
antara lain, dapat dilihat dengan semakin meningkatnya
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah laut,
seperti
kegiatan
penangkapan
ikan,
penambangan
minyak dan gas bumi, pemanfaatan energi laut dan
sebagainya.
2. Pergeseran kutub-kutub perdagangan dunia dari benua
Eropa dan Amerika ke wilayah basin Pasifik, yaitu kawasan negara-negara yang wilayahnya terletak di tepian
atau pinggiran Samudera Pasifik. Karena ciri geografis
yang dimiliki oleh negara-negara, tersebut didominasi
oleh laut, maka dapat diramalkan bahwa, karakteristik
perdagangan dunia di masa depan akan banyak pula
Hukum Laut Indonesia
diwarnai oleh pemanfaatan sumber daya kelautan, termasuk jasa lingkungan laut.
3. Perhatian terhadap interaksi antara atmosfir dan permukaan tanah, dalam menelaah siklus iklim ternyata
sudah tidak dapat menjelaskan lebih jauh, tentang terjadinya anomaly iklim, atau penyimpangan iklim yang sedang berlangsung saat ini. Dewasa ini mulai disadari
bahwa adanya penyimpangan iklim itu, hanya dapat
dipahami dengan mengamati interaksi antara atmosfir
dengan lautan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
peran lautan sebagai regulator, proses alamiah yang
terjadi di atas permukaan bumi (termasuk di daratan)
yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain,
kedudukan Ilmu-Ilmu Kelautan menjadi semakin penting
dikaitkan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan
kualitas kesejahteraan umat manusia.
4. Dicetuskannya
konsepsi
Benua
Maritim
Indonesia
(konsepsi BMI), dan Deklarasi Bunaken pada tanggal 26
September 1998 yang pada prinsipnya menegaskan
bahwa laut adalah peluang, tantangan dan harapan
(opportunity, challenge, and hope) bagi masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan Indonesia, menunjukkan secara jelas dan meyakinkan mengenai posisi
strategis laut bagi masa depan Republik ini. Hal ini
diperkuat oleh posisi Universitas Hasanuddin yang seca-
7
8
Hukum Laut Indonesia
ra geografis terletak di Kawasan Timur Indonesia, yang
memiliki wilayah laut yang jauh lebih luas, dibandingkan
dengan wilayah daratannya, dan secara budaya terletak
di lingkungan masyarakat bahari, dengan latar belakang
sejarah dan budaya bahari yang kental.
5. Faktor terakhir, yang juga tak kalah pentingnya adalah
apa yang dinamakan dengan Agenda 21 yang antara lain
mencanangkan sekian banyak azas atau prinsip yang
perlu diimplementasikan oleh negara-negara di seluruh
dunia dalam menghadapi pelbagai tantangan yang demikian berat dalam millenium III. Salah satu azas yang
dimaksud adalah azas pelestarian lingkungan, termasuk
di dalamnya pelestarian lingkungan laut, serta pembangunan yang berkelanjutan, yang dengan sendirinya
menempatkan Ilmu-Ilmu Kelautan (termasuk di dalamnya Hukum Laut) tetap memiliki relevansi untuk terus
dikaji dan dikembangkan, dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya dan
masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya.
D. Visi dan Misi dari PIP Universitas Hasanuddin (Tujuan
dan Pendekatan)
Secara sederhana dan singkat dapat dikatakan bahwa
pengelolaan sumber daya kelautan, hanya dapat dilakukan
dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maju,
karena potensi sumber daya tersebut sulit dijangkau dengan
hanya mengandalkan teknologi sederhana. Penerapan dan
Hukum Laut Indonesia
pengenalan iptek seyogyanya tidak dalam wujud kelembagaan
asing yang dicangkokkan ke dalam sistem budaya masyarakat, tetapi harus sesuai dengan nilai dan karakteristik budaya
masyarakat setempat. Visi Pola Ilmiah Pokok UNHAS dapat
dirumuskan sebagai berikut, yakni UNHAS sebagai pusat
pengembangan budaya bahari yang bercirikan kemandirian
dalam konteks kesadaran interkoneksitas universal (Kerangka
Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:10-13).
Seiring dengan visi tersebut, maka misi PIP UNHAS
dapat dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut :
1. Menghasilkan alumni yang mempunyai wawasan keUNHAS-an dalam pelbagai disiplin ilmu dan strata
pendidikan, terutama yang berkaitan dengan ilmu dan
teknologi kelautan;
2. Mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan;
3. Mempromosikan dan mendorong proses terwujudnya
masyarakat bahari yang berkualitas, sejahtera, dan berorientasi kepada prestasi.
Wawasan
ke-UNHAS-an
mengandung
pengertian
bahwa setiap lulusan Unhas memiliki jiwa dan potensi
kemandirian, dan senantiasa memiliki dan memelihara komitmen terhadap pengembangan budaya bahari.
Sejalan dengan visi dan misi tersebut di atas, maka
tujuan pegembangan PIP UNHAS adalah sebagai berikut :
9
10
Hukum Laut Indonesia
1. Mampu berperan sebagai pusat konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni di bidang
kelautan yang berskala dunia.
2. Terwujudnya kampus sebagai masyarakat akademik
yang berwawasan kelautan yang mampu mendorong berkembangnya kegiatan tridarma perguruan tinggi, yang
bernuansa kelautan dan berciri kemandirian serta tanggap terhadap dinamika perubahan lokal maupun global.
3. Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya kelautan, melalui penyelenggaraan program-program studi, penelitian, pengembangan kelembagaan serta pengembangan sumber daya manusia
akademik.
4. Meningkatkan
produktivitas
dan
kualitas
luaran,
khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan kelautan.
5. Berkembangnya budaya bahari yang berciri kemandirian
di kalangan masyarakat kawasan pesisir di Indonesia.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut di atas,
UNHAS melaksanakan pola pendekatan melalui institusionalisasi, fungsionalisasi, integrasi, partisipasi dan kemitraan.
Institusionalisasi (Institutionalization) mengandung pengertian
bahwa seluruh unsur dari Universitas Hasanuddin bertanggungjawab untuk mengembangkan dan memperkuat lembaga-lembaga yang sudah ada, dengan bantuan supervisi
Hukum Laut Indonesia
manajemen, pembinaan kepemimpinan dan kelembagaan, pengenalan prosedur, cara kerja dan pelbagai aspek kelembagaan, berdasarkan potensi dan masalah dari masing-masing
lembaga atau unit kerja yang ada. Fungsionalisasi (Functionalization) diartikan bahwa program-program yang ada dilaksanakan dengan memfungsikan secara berdaya guna dan berhasil guna semua sumber daya yang dimliki.
Selanjutnya integrasi (integration) atau keterpaduan
dimaksudkan mengintegrasikan potensi kelembagaan maupun unsur-unsur universitas dan fakultas sedemikian rupa,
sehingga terwujud pencapaian tujuan PIP secara optimal.
Kemudian partisipasi (participation) diartikan bahwa dalam
semua kegiatan diupayakan pencapaian kesuksesan dengan
mengundang partisipasi maksimal semua pihak yang terkait.
Sedangkan
kemitraan
(partnership)
dimaksudkan
bahwa
dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan PIP, dikembangkan kerjasama dengan pelbagai pihak di luar universitas,
terutama dengan pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha
dan industri, perguruan tinggi, lembaga IPTEK dan kelembagaan masyarakat lainnya. seperti LSM, di dalam maupun di
luar negeri atas dasar saling menunjang dan bersifat sinergis.
11
12
Hukum Laut Indonesia
Hukum Laut Indonesia
BAB II
PRINSIP NEGARA NUSANTARA
(ARCHIPELAGIC STATE PRINCIPLE)
A. Pelbagai Istilah dan Pengertiannya
Ada istilah yang dinamakan konsepsi nusantara (Archipelagic Concept), ada istilah wawasan nusantara (Archipelagic Outlook), ada istilah negara nusantara atau negara kepulauan (Archipelagic State), dan ada pula istilah Benua Maritim
Indonesia (The Indonesian Maritime Continent), dan mungkin
ke depan akan muncul lagi istilah-istilah lain terkait dengan
konsepsi nusantara di masa-masa mendatang. Istilah wawasan nusantara adalah suatu wawasan atau outlook atau cara
pandang yang mencita-citakan terwujudnya persatuan dan
kesatuan bangsa dalam pelbagai bidang yang esensial bagi
eksistensi kehidupan serta kelangsungan hidup bangsa dan
negara Republik Indonesia.
Adanya wawasan seperti ini, tentu saja tidak terlepas
dari latarbelakang perjuangan bangsa dalam menghadapi
pelbagai tantangan, baik yang berasal dari luar negeri atau
dari negara kolonial, dengan politik divide et impera, dengan
tujuan untuk memecah belah bangsa dan negara, maupun
yang berasal dari dalam negeri Indonesia sendiri, khususnya
kelompok separatis dengan tujuan untuk memisahkan diri
dari negara kesatuan. Di samping itu, tantangan tersebut bisa
berasal dan bersumber dari adanya perpaduan dari kedua
faktor baik internal maupun eksternal.
13
14
Hukum Laut Indonesia
Selanjutnya
istilah
Konsepsi
Nusantara
untuk
pertama kalinya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja,
dimana konsepsi ini pada hakekatnya tersirat dan termuat di
dalam, dan melalui Pernyataan Pemerintah RI pada tanggal 13
Desember 1957 yang kemudian terkenal dengan nama
Deklarasi Juanda (mantan Perdana Menteri Republik Indonesia pada zaman Presiden RI pertama, Bapak Ir. Sukarno)
menyangkut wilayah perairan Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:25-30). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, karena bersangkut paut dengan masalah kewilayahan (terutama
wilayah perairan RI), maka Konsepsi Nusantara adalah suatu
konsepsi yang bersifat geografis, yang menunjukkan wilayah
Indonesia yang terdiri dari wilayah daratan, namun sebagian
besar adalah wilayah laut atau wilayah perairan harus dilihat
dan dianggap sebagai suatu kesatuan utuh.
Wilayah perairan negeri ini yang luasnya sekitar dua
pertiga dari seluruh wilayah Indonesia tidak dapat dipisahkan, tetapi harus dianggap sebagai bagian integral dari
wilayah daratannya (berupa pulau-pulau, baik pulau yang
ukurannya besar maupun kecil) sehingga harus dipandang
sebagai suatu kesatuan yang utuh (Mochtar Kusumaatmadja,
1978:28).
Karena konsepsi nusantara termuat di dalam Deklarasi Juanda mengenai wilayah perairan Indonesia, maka
menurut Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi ini sebenarnya
juga adalah merupakan suatu konsepsi yuridis yang bertuju-
Hukum Laut Indonesia
an untuk menyatukan wilayah Indonesia, yang merupakan
wilayah nusantara atau wilayah kepulauan. Dengan tercapainya
kesatuan atas
seluruh
wilayah
kepulauan
melalui
konsepsi yuridis, atau konsepsi pengaturan hukum mengenai
terintegrasinya wilayah perairan dengan wilayah daratan atau
antara laut dengan pulau, maka diharapkan akan tercapai
dan terwujud pula adanya kesatuan dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa dan negara.
Tercapai dan terwujudnya kesatuan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan, senantiasa harus terus
diperjuangkan sebagaimana halnya dengan perjuangan untuk
mewujudkan secara aktual kesatuan wilayah Indonesia yang
terdiri dari daratan dan perairan. Konsepsi nusantara semakin kukuh dengan ditetapkannya wawasan nusantara melalui
ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1973 yang menetapkan
wawasan nusantara sebagai salah satu landasan dari GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN). Harapan dan cita-cita
untuk mewujudkan adanya kesatuan dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa dan negara (aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, aspek pertahanan dan keamanan) tertuang
dalam suatu konsepsi yang disebut Wawasan Nusantara, yang
dikukuhkan melalui GBHN berdasarkan TAP MPR RI No. IV
Tahun 1973 yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan
pembangunan bangsa dan negara.
Dengan demikian, istilah wawasan nusantara sesungguhnya adalah merupakan suatu konsepsi yang bersifat poli-
15
16
Hukum Laut Indonesia
tis demi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan
negara dalam berbagai aspek kehidupannya. Bagi Mochtar
Kusumaatmadja, konsepsi nusantara adalah suatu konsepsi
yuridis geografis yang berfungsi sebagai wadah fisik bagi
pengembangan wawasan nusantara.
Istilah Negara Nusantara atau dalam bahasa Inggeris
disebut “Archipelagic State” ditegaskan di dalam ketentuan
Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 serta Pasal 1 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Wilayah Perairan Indonesia yang pada dasarnya menyatakan
bahwa Negara Nusantara atau Negara Kepulauan adalah
negara yang wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih
dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Indonesia dinamakan
sebagai negara kepulauan karena wilayah Indonesia seluruhnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih serta mencakup
pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan
Riau, ada kepulauan Seribu, kepulauan Sangir-Talaud, kepulauan Natuna dan pelbagai macam kepulauan lain yang dimiliki oleh Indonesia.
Di samping itu ada pula Pulau Sumatera, Pulau Jawa,
Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Irian dan beriburibu pulau lain yang tidak perlu dipaparkan, sebab semuanya
ini hanya untuk menunjukkan bahwa wilayah Indonesia
mencakup lebih dari satu kepulauan serta memiliki pulaupulau baik besar maupun kecil dalam jumlah yang sangat
besar. Istilah kepulauan (archipelago) diartikan sebagai suatu
Hukum Laut Indonesia
gugusan atau kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan yang terletak di antaranya atau di antara
satu pulau dengan pulau lainnya, dan bentuk-bentuk alamiah
lainnya yang hubungannya satu sama lain sedemikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu membentuk suatu kesatuan geografi, kesatuan
ekonomi dan kesatuan politik yang hakiki atau secara historis
dianggap sebagai suatu kesatuan seperti itu (United Nations
Convention on the Law of the Sea, A/ Conf.62/ 122, 7 October
1982).
Istilah Konsepsi Benua Maritim Indonesia (BMI)
dicetuskan melalui Konvensi Nasional Indonesia yang diselenggarakan di Makassar (Ujung Pandang) pada tahun 1998
(Kerangka
Kebijakan
Pengembangan
Pola
Ilmiah
Pokok
Universitas Hasanuddin:14). Di dalam konvensi atau pertemuan yang dihadiri oleh pelbagai kalangan dicapai kesepakatan atau komitmen untuk mengkonsepsikan negeri kepulauan
Indonesia sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI), dan pembangunannya adalah Pembangunan Benua Maritim Indonesia
(PBMI). Pengkonsepsian BMI dan PBMI bertujuan untuk
mengaktualisasikan wawasan nusantara yang telah dikenal
sejak lama.
Dengan konsepsi dan aktualisasi, maka pemahaman
terhadap wilayah Indonesia dewasa ini, bukannya pulaupulau yang dikelilingi dengan laut, seolah-olah wilayah laut
menempel pada wilayah daratan seperti pemahaman selama
17
18
Hukum Laut Indonesia
ini, melainkan wilayah laut yang ditaburi dengan pulau-pulau
baik besar maupun kecil. Dengan demikian, Konsepsi Benua
Maritim Indonesia menitikberatkan negara Indonesia sebagai
sebuah benua laut atau benua maritim yang di atasnya
bertaburan dengan pulau-pulau, baik pulau yang berukuran
besar maupun kecil, sehingga menggambarkan pulau-pulau
yang demikian banyaknya seakan-akan menempel pada wilayah laut yang begitu luas.
Secara berangsur-angsur, tetapi pasti konsepsi BMI
sebagai konsepsi baru mewarnai pembangunan di Indonesia.
Perhatian
terhadap
pembangunan
kini
dan
di
masa
mendatang akan banyak, bahkan terutama tercurah kepada
adaptasi atau pemanfaatan sumber daya perairan, terutama
perairan laut atau sumber daya kelautan. Dalam konsepsi
BMI, wilayah perairan Indonesia adalah sesuatu yang dominan karena bukan hanya wilayah lautnya yang jauh lebih luas
daripada wilayah daratannya, melainkan juga karena wilayah
perairan berinterseksi dengan wilayah daratan (Kerangka
Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:14).
Mengapa dikatakan berinterseksi? Sebabnya adalah
karena di perairan Nusantara atau di laut Nusantara terdapat
wilayah darat yang berbentuk pulau-pulau kecil, sedangkan
di wilayah daratan yang berbentuk pulau-pulau besar, terdapat perairan terutama perairan danau yang luas dan dalam,
seperti misalnya di Pulau Sulawesi terdapat Danau Tempe,
dan di Pulau Sumatera terdapat Danau Toba, serta terdapat
Hukum Laut Indonesia
pula perairan sungai yang lebar dan panjang, seperti misalnya
di Sumatera Selatan (Sungai Musi) dan Kalimantan (Sungai
Kapuas). Demikian gambaran sederhana tentang berbagai
istilah dalam hubungan dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai negara nusantara atau negara kepulauan.
B. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia
Pada zaman Hindia Belanda, berlaku suatu peraturan
yang disebut Ordonansi laut teritorial, serta lingkungan
maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlaku
sejak tahun 1939. Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau
baik pulau yang berukuran besar maupun pulau yang
berukuran kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda
mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri.
Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial
Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut
sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah
pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah
daratan Indonesia. Dengan demikian wilayah perairan Indonesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau
atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut
(Mochtar Kusumaatmadja:187)
Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau
mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya
sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap
pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terben-
19
20
Hukum Laut Indonesia
tuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas
atau perairan internasional antara satu pulau atau bagian
pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga
membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi
kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia.
Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan
hukum kolonial (TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut
(freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi, melalui
pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus
1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II),
dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal
13 Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerintah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang
termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan
dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional
yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi
kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan
Hukum Laut Indonesia
batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari
garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada
pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan
dengan undang-undang.
Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan
Indonesia pada tanggal 13 Desember tahun 1957 dilakukan
berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar Kusumaatmadja, 1978:187) sebagai berikut :
1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu
negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau
mempunyai sifat, dan corak tersendiri sehingga memerlukan pengaturan tersendiri;
2. Bahwa demi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak
di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang
bulat;
3. Bahwa
penetapan
batas-batas
laut
teritorial
yang
diwarisi dari Pemerintah kolonial sebagaimana tercantum di dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kriengen
Ordonnantie” 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara
Republik Indonesia;
4. Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban
untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya
perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan
negaranya.
21
22
Hukum Laut Indonesia
Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya
telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13
Desember
1957
kemudian
ditetapkan
menjadi
undang-
undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu). Adapun isi dari Perpu
yang diundangkan berlakunya pada tanggal 18 Februari
1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang
No.4/Prp.1960 adalah sebagai berikut (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:194) :
1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan
ekonominya
ditarik
menghubungkan
garis-garis
titik-titik
pangkal
terluar
dari
lurus
yang
pulau-pulau
terluar;
2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di
dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasar laut
dan tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya
dengan segala kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya;
3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur
atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini;
4. Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui
perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama
tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan serta ketertibannya.
Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960 yang hanya
terdiri dari 4 pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan
Hukum Laut Indonesia
laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah
selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air
rendah (low water line), menjadi laut wilayah selebar 12 mil
diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke
ujung. Seperti diketahui, cara penetapan garis pangkal lurus
ini untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan dalam
hukum internasional melalui putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam perkara sengketa
perikanan Inggeris-Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case)
tahun 1951 (lihat kasusnya dalam L.C. Green, International
Law through the Cases, 1978:325) dan kemudian dikukuhkan
dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Teritorial,
dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam
Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982.
Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke
ujung pulau-pulau terluar nusantara ini mempunyai dua
akibat :
1. Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan
Indonesia;
2. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis
pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut
wilayah ataupun laut lepas (high seas) menjadi perairan
pedalaman (internal waters). Agar supaya perubahan
status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing
yang telah ada sebelum cara penetapan batas wilayah,
maka Pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman
23
24
Hukum Laut Indonesia
tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air
asing.
Beberapa tahun setelah diundangkannya UndangUndang Nomor 4/Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, maka
para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan atau
keperluan
untuk
mempertegas,
serta
menterjemahkan
ketentuan hak lintas damai bagi kapal asing di perairan
nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam UndangUndang Nomor 4/Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan
lintas damai bagi kapal asing yang berada atau berlayar
melalui perairan nusantara, maka Pemerintah menetapkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan
Indonesia.
Peraturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun
1962, dan merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang
Nomor 4/Prp. 1960, dalam hal ini ketentuan hak lintas damai
kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang
dimaksud dengan lalu lintas damai, syarat-syarat lintas
damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal yang bersifat
spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal
nelayan, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan
kapal niaga).
Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1962, adalah pelayaran untuk maksud damai yang
Hukum Laut Indonesia
melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dari
laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan
dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal asing dianggap
damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan atau tidak mengganggu perdamaian Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk
melalui
alur-alur
yang
dicantumkan
dalam
buku-buku
kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran.
Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau
mondar mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia
tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai menurut
peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai
larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi
bagian-bagian
tertentu
dari
perairan
pedalaman
untuk
sementara waktu, apabila hal ini dianggap perlu untuk
menjamin kedaulatan dan keselamatan negara. Kapal asing
yang akan melakukan riset ilmiah di perairan Indonesia
disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden Republik Indonesia.
Kapal perang asing yang akan melintasi perairan
Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan atau notifikasi kepada Menteri/KSAL (Kepala Satuan Angkatan Laut). Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas
permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia, dan
dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang
25
26
Hukum Laut Indonesia
tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi
negara yang merupakan negara bendera (Flag State).
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan
tentang alur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini sudah
ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal
perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta
kapal nelayan atau kapal ikan harus melalui alur-alur
tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran
tidak perlu memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi
lintas
damai
di
perairan
nusantara.
Karena
alur-alur
pelayaran itu belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam
praktek kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban
pemberitahuan ketika melintasi perairan nusantara.
Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal
nelayan asing yang sering melanggar ketentuan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 yang
antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan
menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan
tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati, karena
banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi kemudian
dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus pencurian ikan (illegal fishing), kapal asing yang terlibat pada
umumnya dibebaskan. Kendati pengadilan menghukumnya,
kebanyakan hukumannya sangat ringan, sehingga kerugian
yang begitu besar, akibat pencurian ikan di perairan nusantara harus ditanggung oleh bangsa dan negara.
Hukum Laut Indonesia
Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut
pada tahun 1960-an, terkait dengan berlakunya Konvensi
Geneva 1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai laut
teritorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas,
Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan
hayati
di
laut
bebas,.dan
Konvensi
mengenai
landas
kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah
Indonesia mengeluarkan Pengumuman Pemerintah Republik
Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia yang memuat
pokok-pokok
sebagai
berikut
(Mochtar
kusumatmadja,
1978:37-38) :
1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan
alam non hayati lainnya, termasuk organisme-organisme
hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat di
landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau
milik dari bangsa dan negara Republik Indonesia dan
dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya yang
bersifat eksklusif. Pengertian landas kontinen Indonesia
adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di
luar laut teritorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
4/Prp Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman 200
meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedalaman tersebut sepanjang kemampuan teknologi Indonesia
masih memungkinkan penggalian dan pengusahaannya.
27
28
Hukum Laut Indonesia
2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis
batas landas kontinen dengan Negara tetangga melalui
perundingan.
3. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas
kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di
tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan
titik terluar wilayah negara tetangga.
4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas
landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian
pula ruang udara di atasnya yang tetap berstatus sebagai ruang udara internasional.
Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut
memperlihatkan adanya keterkaitan antara konsepsi landas
kontinen Indonesia dengan konsepsi nusantara. Arti nyata
konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana diatur di
dalam Pengumuman tersebut, adalah bertambahnya lagi luas
daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) dengan
jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di landas
kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969 ini
lahir atas dorongan kebutuhan untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya mineral yang terdapat di
daerah-daerah di bawah permukaan laut, terutama di Laut
Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia. Karena
Indonesia dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang mem-
Hukum Laut Indonesia
punyai hak yang sama atas landas kontinen yang sama, maka
pemerintah Republik Indonesia perlu menyelesaikan masalah
garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga
sebelum ditemukan deposit atau cadangan minyak dan gas
bumi di landas kontinennya.
Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas
Kontinen pada Departemen Pertambangan yang ditugaskan
terutama untuk menyelesaikan masalah garis batas landas
kontinen dengan negara-negara tetangga. Misalnya perjanjian
garis batas landas kontinen antara Republik Indonesia
dengan Malaysia tahun 1969 menyangkut garis batas landas
kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; perjanjian
antara Republik Indonesia dengan Thailand tahun 1971
mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian
Utara dan di Laut Andaman; perjanjian antara Republik
Indonesia Thailand dan Malaysia pada tahun 1971 mengenai
garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara;
perjanjian
antara
Republik
Indonesia
dengan
Australia
tentang penetapan garis batas dasar laut tertentu (Laut
Arafura dan Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun
1973; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia
tahun 1973 mengenai penetapan garis batas daerah-daerah
dasar laut tertentu
(Selatan Pulau Tanimbar dan Pulau
Timor); perjanjian antara Republik Indonesia dengan India
mengenai penetapan garis batas landas kontinen tahun 1974.
Semuanya ini merupakan hasil kerja dari Departemen Per-
29
30
Hukum Laut Indonesia
tambangan, terutama Team Teknis Landas Kontinen yang
dibentuk oleh Departemen tersebut.
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konsepsi
landas kontinen Indonesia sebagaimana termaktup di dalam
Pengumuman Pemerintah tahun 1969 kemudian dituangkan
ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang
dinamakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia. Prinsipprinsip atau ketentuan-ketentuan pokok tersebut mengacu
pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen (Geneva
Convention on the Continental Shelf), seperti pengertian landas
kontinen Indonesia, hak-hak berdaulat (souvereign rights),
penetapan garis batas landas kontinen Indonesia dengan
negara-negara tetangga maupun status hukum dari perairan
yang berada di atas landas kontinen Indonesia, namun
dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Selain daripada hak-hak berdaulat atas kekayaan
alam yang terdapat di landas kontinen yang artinya penguasaan dan pemilikannya ada pada negara Republik Indonesia,
juga negara memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas penelitian ilmiah kelautan yang di dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 penyelengaraannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1973. Dalam Undang-Undang ini juga dikemukakan
mengenai instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang dapat
dibangun, dipelihara dan dimanfaatkan dalam usaha melak-
Hukum Laut Indonesia
sanakan eksplorasi, eksploitasi kekayaan alam yang terdapat
di landas kontinen Indonesia.
Untuk melindungi instalasi, kapal dan atau alat
lainnya yang terdapat di landas kontinen terhadap gangguan
pihak ketiga, maka Pemerintah dapat menetapkan apa yang
disebut daerah terlarang (prohibited area) yang radiusnya 500
meter terhitung dari titik terluar instalasi, kapal dan atau alat
lainnya. Di samping daerah terlarang, juga dapat ditetapkan
daerah terbatas (restricted area) yang radiusnya 1250 meter
terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu di
mana kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar sauh. Di landas kontinen Indonesia, pada instalasi, kapal
dan alat-alat lain di landas kontinen, maka hukum dan segala
peraturan perundang-undangan Indonesia dapat diterapkan
atau diberlakukan, bahkan instalasi dan alat-alat lain yang
dipergunakan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
kekayaan
alam
dinyatakan
sebagai
daerah
Kepabeanan
Indonesia atau daerah bea cukai, daerah fiscal, daerah
karantina dan daerah keimigrasian.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia mengenai Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia pada tanggal 20 Maret 1980 (Mochtar
Kusumaatmadja, 1980:384). Hal ini dimaksudkan untuk
mengakomodasi perkembangan hukum laut yang selain
diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi PBB mengenai
hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah
31
32
Hukum Laut Indonesia
menghasilkan rancangan konvensi hukum laut baru (Draft
Convention on the Law of the Sea) yang di dalamnya memuat
pengaturan hukum tentang zona ekonomi eksklusif secara
umum, juga diwarnai berbagai klaim atau pernyataan sepihak
yang dilakukan oleh negara-negara pantai dari berbagai
kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona 200 mil,
zona perikanan sejauh 200 mil (dari pantai atau garis
pangkal), zona ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi
eksklusif.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal
20 Maret 1980 yang berpedoman pada praktek negara-negara
yang telah diterima secara luas terkait dengan rezim hukum
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa, ZEE
Indonesia adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial
Indonesia, tetapi berbatasan dengannya, di mana jalur laut
itu lebarnya dapat mencapai maksimal 200 mil laut terhitung
dari garis pangkal sebagaimana diatur berdasarkan UndangUndang Nomor 4/Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pengertian
ZEE
Indonesia
yang
mengikuti
kecenderungan
perkembangan hukum laut internasional pada waktu itu,
tetapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional
Indonesia yang berlandaskan wawasan nusantara.
Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut, ditegaskan mengenai hak-hak
berdaulat serta yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai
Hukum Laut Indonesia
atau negara Kepulauan. Republik Indonesia mempunyai hakhak berdaulat (souvereign rights), yaitu hak-hak untuk
melakukan
eksplorasi,
eksploitasi,
konservasi
maupun
pengelolaan sumber daya alam baik hayati maupun non
hayati yang terdapat di dalam badan air (water column), dasar
laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil); juga hak
untuk melakukan kegiatan yang bertujuan ekonomi seperti
membangkitkan energi yang berasal dari arus laut, ombak
dan gelombang laut maupun angin yang berada di dalam jalur
laut 200 mil.
Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak ber-daulat
ini, maka Republik Indonesia juga memiliki yurisdiksi atau
kewenangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pemanfaatan pulau-pulau buatan (artificial islands), instalasi
(installation) dan bangunan (structure) di jalur atau zona
tersebut; juga yurisdiksi terkait dengan penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research) di ZEEI; juga yurisdiksi
yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of the marine environment).
Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila di bagianbagian laut tertentu ZEE Indonesia (ZEEI), tumpang tindih
(overlapping) dengan ZEE negara-negara tetangga, maka
Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk mengadakan
perundingan dalam usaha mencapai kesepakatan menyangkut penetapan garis batas ZEE masing-masing negara. Sela-
33
34
Hukum Laut Indonesia
ma belum tercapai kesepakatan soal garis batas tersebut,
maka ZEE Indonesia garis batas luarnya terletak di tengahtengah antara garis pangkal laut teritorial Indonesia dengan
wilayah pantai dari negara tetangga yang bersangkutan.
Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut
juga menegaskan bahwa sepanjang dasar laut dan tanah di
bawahnya dari ZEEI adalah merupakan landas kontinen
Indonesia, maka hak-hak berdaulat, yurisdiksi serta kewajiban-kewajiban
Indonesia
akan
dilaksanakan
menurut
Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia tahun 1973,
perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen dengan
negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum
internasional lainnya. Akhirnya dalam Pengumuman Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa status perairan ZEE Indonesia
yang tidak dapat terpengaruh di mana perairannya tetap berstatus sebagai perairan internasional sehingga di perairan
tersebut tetap diakui berlakunya kebebasan laut lepas dalam
bidang-bidang tertentu, seperti kebebasan untuk berlayar
(freedom of navigation), kebebasan untuk melakukan penerbangan di ruang udara yang berada di atas perairan ZEE
Indonesia serta kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan
saluran pipa bawah laut di ZEE Indonesia sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.
Azas-azas yang termaktub di dalam Pengumuman
Pemerintah Republik Indonesia tahun 1980, sebagaimana
halnya
dengan
Pengumuman
Pemerintah
tahun
1957
Hukum Laut Indonesia
(Deklarasi Juanda), dan Pengumuman Pemerintah Republik
Indonesia tahun 1969, pada akhirnya dituangkan pula ke
dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dinamakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sehingga
memiliki kekuatan yuridis formal dan tidak sekedar suatu
pengumuman dan pernyataan semata-mata.
Undang-undang itu antara lain memuat ketentuan
umum yang mencakup definisi dari berbagai istilah seperti
sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan
lain-lain, pengertian ZEE Indonesia, hak-hak berdaulat,
yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban, berbagai kegiatan yang
dapat dilakukan di ZEE Indonesia, soal gantirugi, masalah
penegakan hukum, ketentuan pidana dan lain-lainnya (lihat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983).
Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang berupa Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang
pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia.
Sumber daya alam hayati yang istilah populernya adalah ikan tidak mengenal batas-batas wilayah negara sesuai
dengan sifat-sifat alaminya. Namun sejalan dengan praktek
negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat
internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut internasional yang melandasi Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1983 tersebut, maka sumber daya alam haya-
35
36
Hukum Laut Indonesia
ti yang terdapat di daerah ZEE Indonesia adalah milik
Republik Indonesia walaupun dalam pengelolaannya masih
harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum internasional, misalnya kewajiban RI untuk menetapkan jumlah
tangkapan
yang
diperbolehkan
(Total
Allowable
Catch),
besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan
Indonesia
(Capacity to Harvest), langkah-langkah untuk
pelaksanaan konservasi serta kesediaan Indonesia untuk
memberikan kesempatan kepada usaha perikanan asing,
untuk ikut serta memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjang
jumlah tangkapan yang diperbolehkan belum sepenuhnya
dimanfaatkan melalui usaha-usaha perikanan Indonesia.
Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khususnya di sub sektor perikanan, maka sumber daya alam
hayati di ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu
sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara langsung
melalui kegiatan penangkapan ikan serta sebagai pendukung
sumber daya alam hayati di perairan Indonesia. Mengingat
fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya
perlu diarahkan secara tepat, terarah dan bijaksana. Hal ini
berkaitan pula dengan sifat sumber daya alam hayati yang
tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar pemikiran yang
melatarbelakangi terbitnya Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber
daya alam hayati di ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 23).
Hukum Laut Indonesia
Perkembangan berikutnya dalam hukum laut Republik Indonesia adalah diundangkannya Undang-Undang Perikanan Indonesia, yakni Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya antara
lain diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan
atau pengertiannya, seperti misalnya istilah perikanan yang
artinya semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sedang sumber daya
ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya.
Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya
yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan
secara optimal dan berlangsung terus menerus. Pemanfaatan
sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan
atau pembudidayaan ikan. Demikian antara lain, pelbagai
istilah yang mengemuka dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 sebab masih banyak lagi
istilah yang tidak perlu diulangi (lihat Pasal 1 undang-undang
ini). Selanjutnya dalam Pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah
perikanan Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia
(laut teritorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman),
sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di
dalam wilayah Republik Indonesia, maupun perairan zona
ekonomi eksklusif Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1985 juga mengatur tentang pengelolaan sumber daya ikan
37
38
Hukum Laut Indonesia
dalam wilayah perikanan Republik Indonesia yang ditujukan
bagi tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia,
dan untuk mencapai hal ini Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah dengan
melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan,
Menteri
menetapkan
ketentuan-ketentuan
mengenai
alat
tangkap ikan; syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi
oleh kapal perikanan tanpa mengurangi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan
pelayaran; jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis serta
ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap; daerah, jalur dan
waktu atau musim penangkapan; pencegahan pencemaran
dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya
ikan serta lingkungannya; penebaran ikan jenis baru, pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Juga diatur tentang pemanfaatan sumber daya ikan
melalui usaha perikanan di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warganegara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia, dengan pengecualian sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara
Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku. Pihak yang
melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha
perikanan, kecuali nelayan atau petani ikan kecil maupun
Hukum Laut Indonesia
perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
tidak dikenakan kewajiban tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1985
telah
dicabut
Undang-Undang
berlakunya
Perikanan
sejak
diundangkannya
berdasarkan
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 yang azas-azasnya
pada waktunya akan dibahas secara lengkap dalam Pokok
Bahasan mengenai Hukum Perikanan Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433). Di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2004, dikemukakan pelbagai macam istilah yang terkait
dengan masalah perikanan, seperti istilah perikanan yang
diartikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya
mulai
dari
praproduksi,
produksi,
pengolahan
sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan.
Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat
kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor
alamiah sekitarnya. Ikan adalah segala jenis organisme yang
seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan. Penangkapan ikan adalah kegiatan
untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
39
40
Hukum Laut Indonesia
dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau
mengawetkannya. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta
penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang
telah disepakati.
Demikian antara lain istilah-istilah yang terdapat di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2004. Sedang mengenai azas pengelolaan perikanan dikemukakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan
atas azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan adalah: a) meningkatkan
taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.; b)
meningkatkan penerimaan dan devisa negara; c) mendorong
perluasan dan kesempatan kerja; d) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber potensi ikan; e) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; f) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; g) meningkatkan
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; h)
Hukum Laut Indonesia
mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; i) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.
Selanjutnya
mengenai
ruang
lingkup
berlakunya
Undang-Undang Perikanan yang baru adalah bahwa undangundang ini berlaku untuk a) setiap orang, baik warganegara
Indonesia maupun warganegara asing, badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan
kapal perikanan berbendera asing yang melakukan kegiatan
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; c) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang
melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia; d) setiap kapal perikanan
berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan,
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk
kerjasama dengan pihak asing.
Selanjutnya
untuk
penangkapan
ikan
dan
atau
pembudidayaan ikan maka wilayah pengelolaan perikanan
Republik
Indonesia
meliputi
perairan
Indonesia,
ZEE
Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air
lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan
ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Repub-
41
42
Hukum Laut Indonesia
lik Indonesia sebagaimana di maksud di atas diselenggarakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan
dan atau standar internasional yang diterima secara umum.
Demikian antara lain beberapa ketentuan penting yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2004.
Pada bulan Desember 1985 Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan atau meratifikasi Konvensi Hukum
Laut 1982 (KHL 1982) dengan mengundangkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 sehingga
sejak waktu itu Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan
melalui konferensi yang diprakarsai PBB sejak tahun 1973
hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi hukum
positif Indonesia. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 1985, maka Konvensi yang isinya bersifat
komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya
lagi Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah
menjadi hukum positif kita.
Walaupun KHL 1982 belum berlaku secara efektif
pada waktu itu atau belum “come into force”, namun bagi
Indonesia sendiri Konvensi itu telah berlaku secara individual
sejak lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 1985. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 308 ayat
(2) KHL 1982 yang menyatakan bahwa bagi setiap negara
yang meratifikasi atau menyatakan aksesi pada konvensi ini
setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, konvensi
Hukum Laut Indonesia
mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah saat pendepositan piagam ratifikasi atau aksesinya, dengan tunduk pada
ketentuan ayat (1). Ayat 1 pasal yang sama (Pasal 308, ayat 1)
menyatakan bahwa Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan
setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi
yang ke-60.
Demikian kendati KHL 1982 belum berlaku secara
internasional pada tahun 1985 sebab ketika itu jumlah
ratifikasi yang dibutuhkan belum memenuhi persyaratan,
namun bagi Indonesia sendiri konvensi tersebut telah berlaku
secara individual. KHL baru berlaku secara internasional atau
secara umum pada tanggal 16 November 1994, sebab satu
tahun sebelumnya yakni pada tanggal 16 November 1993,
Guyana menjadi negara yang ke-60 dalam meratifikasi KHL
1982 dan mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekjen
PBB.
Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia menindaklanjuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 1985 mengenai pengesahan Indonesia terhadap KHL
1982, dengan mengundangkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Undang-Undang ini selain mencabut berlakunya UndangUndang Nomor 4/Prp. Tahun 1960, juga pada dasarnya
undang-undang ini menguatkan kembali dasar-dasar pengaturan wilayah perairan Indonesia, sebagaimana tercantum di
dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960, namun lebih
43
44
Hukum Laut Indonesia
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan KHL 1982, dengan
mencantumkan ketentuan-ketentuan dasar Negara Kepulauan (Archipelagic State), sebagaimana diatur di dalam Bab IV
KHL 1982. Demikian di dalam undang-undang ini terdapat
pengertian Indonesia sebagai Negara Kepulauan, berbagai macam garis pangkal, terutama garis pangkal lurus kepulauan
yang tidak berdiri sendiri, sebab harus dipergunakan secara
silih berganti dengan garis-garis pangkal lainnya, seperti garis
pangkal normal, garis pangkal lurus, garis penutup pada
teluk, pelabuhan, sungai dan lain-lainnya.
Di dalam Undang-Undang Wilayah Perairan Indonesia
yang baru (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1996) juga diatur secara makro mengenai berbagai
macam lintas pelayaran, seperti lintas damai, lintas transit
dan lintas alur kepulauan serta hak akses dan komunikasi
(terutama yang terkait dengan kepentingan negara tetangga).
Pemerintah Republik Indonesia kemudian menindaklanjuti
ketentuan
pasal
dari
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 menyangkut garis pangkal
lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan, dengan
mengundangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor
61
Tahun
1998
sebagai
salah
satu
peraturan
pelaksanaan undang-undang tersebut. Peraturan pemerintah
tersebut mengatur tentang Daftar Koordinat Geografis TitikTitik Pangkal dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan di Laut
Natuna (lihat PP RI Nomor 61 Tahun 1998). Kendati sifatnya
Hukum Laut Indonesia
tambal sulam, sebab hanya mengatur masalah penarikan
garis pangkal lurus kepulauan di wilayah Kepulauan Natuna,
namun dikeluarkannya Peraturan pemerintah tersebut dilatarbelakangi dengan pemikiran di mana panjang maksimal
setiap garis pangkal lurus kepulauan Indonesia bisa mencapai
100 mil laut, malahan kadang-kadang (dengan persentase
tertentu) bisa mencapai maksimal 125 mil laut sehingga tidak
semua pulau-pulau terluar terutama yang terletak di sekitar
laut Natuna lalu dengan sendirinya dapat dijadikan dan
digunakan sebagai titik pangkal.
Tujuannya tentu tidak lain daripada mewujudkan kesempatan untuk memperoleh atau memiliki wilayah perairan
khususnya perairan kepulauan yang jauh lebih luas daripada
kita menggunakan seluruh pulau terluar sebagai titik pangkal. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan KHL 1982 yang
mensyaratkan Republik Indonesia untuk membuat peta garis
pangkal
lurus
kepulauan
atau
sebagai
gantinya
harus
membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal
lurus kepulauan, maka ketentuan pasal mengenai garis
pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana diatur di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1996 ditindaklanjuti lagi melalui pengundangan Peraturan
Pemerintah RI mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 (lihat
Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72 ).
45
46
Hukum Laut Indonesia
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dapat menarik garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam menarik garis pangkal kepulauan, maka dapat
dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal
biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk yang
tentu saja teluk ini terdapat pada pulau terluar, garis penutup
pada sungai atau muara sungai, garis penutup pada pelabuhan, pada kuala, terusan dan lain-lainnya sepanjang
semuanya itu berada pada suatu pulau terluar.
C. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Perkembangan hukum laut Republik Indonesia selanjutnya adalah ketika Pemerintah Republik Indonesia pada
tahun 2005 lalu mengundangkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005, yaitu Peraturan Presiden
tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari
wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (lihat Perpres
Nomor 78 Thun 2005, 29 Desember 2005) Sedangkan pengertian pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang
atau sama dengan 2000 kilometer persegi yang memiliki titiktitik dasar geografis yang menghubungkan garis pangkal
lurus kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan
nasional.
Hukum Laut Indonesia
Dengan demikian tujuan dari pengundangan Peraturan Presiden ini antara lain terkait dengan keutuhan NKRI,
keamanan nasional, pertahanan negara, optimalisasi sumber
daya alam serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh
karena itu pengelolaan pulau-pulau terluar ini harus dilakukan dengan berlandaskan pada azas-azas wawasan nusantara, pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis masyarakat.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah (dalam hal ini Pemerintah
Pusat) dan Pemerintah Daerah. Pengelolaan tersebut mencakup bidang-bidang seperti sumber daya alam dan lingkungan
hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah,
pertahanan dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya, di
mana semuanya ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pemerintah Republik Indonesia juga mengundangkan Undang-Undang Otonomi Daerah
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999 yang kemudian telah diganti dengan peraturan
perundangan baru, yakni Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal
18 dari Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan :
1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.
47
48
Hukum Laut Indonesia
2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber
daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
3. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan
hukum
(law
enforcement)
terhadap
peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah (Pemerintah Pusat) kepada Daerah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan;
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara;
4. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah
laut sebagaimana diatur pada ayat (3) paling jauh 12 mil
laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan
atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan
sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi untuk
kabupaten/kota.
5. Apabila wilayah laut antara dua propinsi kurang dari 24
mil laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai
prinsip garis tengah dari wilayah antar dua propinsi ter-
Hukum Laut Indonesia
sebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh sepertiga
dari wilayah kewenangan propinsi yang dimaksud.
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil (penangkapan ikan tradisional).
7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut
dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan mencermati ketentuan Pasal 18 dari UndangUndang Otonomi Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), dapat
disimpulkan bahwa setiap Daerah Tingkat I atau Propinsi
dalam wilayah NKRI hanya memiliki hak pengelolaan atas
wilayah laut, dalam hal ini hak untuk mengelola untuk
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang
terdapat dalam wilayah laut yang menjadi kewenangannya.
Hal ini juga berlaku bagi setiap Daerah Tingkat II (Kotamadya
dan atau Kabupaten) yang terdapat dalam setiap Propinsi juga
memiliki hak pengelolaan sumber daya alam yang terdapat
dalam masing-masing wilayah kewenangannya.
Secara khusus untuk pengelolaan sumber daya alam
yang nterdapat di dasar laut serta tanah di bawahnya (seabed
and subsoil) dari wilayah laut yang menjadi kewenangannya,
maka daerah yang bersangkutan Pusat, namun pengaturan
bagi hasil harus diatur dalam suatu peraturan perundangundangan. Kewenangan Daerah dalam mengelola sumber
daya alam meliputi berbagai kewenangan seperti kewenangan
49
50
Hukum Laut Indonesia
untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dan membuat
peraturan administratif termasuk masalah perizinan, kewenangan mengatur tata ruang, kewenangan dalam bidang
penegakan hukum atas peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau atas peraturan yang dilimpahkan oleh Pusat kepada
Daerah.
Selanjutnya wilayah laut yang menjadi kewenangan
daerah propinsi, khususnya hak pengelolaannya itu ditetapkan sampai sejauh 12 mil laut terhitung dari garis pangkal di
sepanjang pantai dari wilayah propinsi yang bersangkutan.
Karena di dalam setiap propinsi terdapat beberapa kabupaten
dan atau kotamadya, maka setiap daerah kabupaten ataupun
kotamadya memperoleh hak pengelolaan sampai sejauh 4
dengan demikian sesungguhnya hak pengelolaan bagi setiap
propinsi itu terhitung dari
batas 4 mil hingga 12 mil laut.
Selanjutnya dalam hal wilayah laut antara dua propinsi
bersifat tumpang tindih (overlapping) sebab bagian wilayah
laut yang berada di antara dua propinsi mempunyai lebar
kurang dari 24 mil laut, maka hal seperti ini berpotensi untuk
menimbulkan persoalan garis batas wilayah laut di antara
dua daerah propinsi yang bersangkutan.
Untuk mengantisipasi benih persengketaan menyangkut garis batas wilayah laut yang menjadi kewenangannya,
maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2004 menetapkan apa yang disebut garis tengah (median line)
atau garis sama jarak (equidistance line) sebagai acuan atau
Hukum Laut Indonesia
pedoman bagi kedua propinsi untuk menyelesaikannya melalui perundingan guna mencapai kesepakatan.
Ketika sudah terjadi kesepakatan antardua propinsi,
maka masing-masing kabupaten atau kotamadya mendapatkan sepertiganya. yaitu sepertiga dari wilayah kewenangan
masing-masing propinsi. Walaupun batas-batas kewenangan
dari setiap propinsi maupun kabupaten dan atau kotamadya
telah ditentukan, namun hal ini tidak berlaku dan tidak boleh
dijalankan terhadap nelayan kecil dari suatu daerah sehingga
suatu propinsi tidak boleh melarang nelayan kecil yang
berasal dari propinsi lain.
Demikian pula suatu kabupaten atau kotamadya
tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal dari kabupaten lain yang ada di dalam propinsi yang sama, demikian
pula sebaliknya Secara yuridis kewilayahan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah (Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun
2004) tidak membawa pengaruh ataupun perubahan terhadap
wilayah perairan Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Wilayah perairan yang ditetapkan oleh masingmasing propinsi maupun wilayah perairan yang diklaim oleh
masing-masing kabupaten ataupun kota di dalam suatu propinsi tetap berstatus sebagai wilayah perairan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan.
Akan tetapi ditinjau dari segi pemanfaatan sumber
daya kelautan, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004
51
52
Hukum Laut Indonesia
memberi kewenangan yang luas dan nyata kepada Daerah
untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah kewenangannya, namun disertai dengan kewajiban untuk memelihara
kelestarian lingkungan, kewajiban untuk berpartisipasi dalam
memelihara keamanan dan kewajiban daerah untuk berpartisipasi dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengelola sumber daya kelautan serta kewenangan-kewenangan
lain yang diberikan kepada masing-masing daerah sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 32
Tahun 2004 tidak akan menghapuskan komitmen Pemerintah
RI dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
apa yang ditentukan dalam berbagai konvensi internasional,
seperti Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai
Keselamatan Jiwa di Laut, Konvensi mengenai Pencegahaan
Tubrukan Kapal, ketentuan-ketentuan dari IMO mengenai
standardisasi keamanan kapal dan pelabuhan (ISPS Code)
dan konvensi-konvensi
internasional lainnya yang
telah
mengikat RI.
D. Dewan Kelautan Indonesia
Terbentuknya Dewan Kelautan Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun
2007 dilandasi dengan beberapa pertimbangan :
a. Bahwa dengan berlakunya Konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, di
Hukum Laut Indonesia
perlukan langkah-langkah penanganan yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka lebih meningkatkan
pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut, dan pengelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi,
efektif, dan efisien;
b. Bahwa kebijakan publik di bidang kelautan merupakan kebijakan yang meliputi berbagai bidang pemerintahan, sehingga memerlukan keterpaduan dalam
perumusan kebijakan kelautan tersebut sejak awal;
c. Bahwa dalam rangka keterpaduan perumusan kebijakan kelautan telah dibentuk Dewan Maritim Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 161 Tahun 1999;
d. Bahwa nomenklatur atau istilah atau penamaan Dewan Maritim Indonesia memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas
dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut;
e. Bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana di
maksud pada huruf a sampai dengan huruf d, memandang perlu untuk mengubah Dewan Maritim
Indonesia menjadi Dewan Kelautan Indonesia dengan
Keputusan Presiden.
Dewan
Kelautan
Indonesia
merupakan
forum
konsultasi bagi penetapan kebijakan umum dalam bidang
kelautan. Dewan ini memiliki tugas untuk memberikan
pertimbangan kepada Presiden dalam kapasitasnya sebagai
53
54
Hukum Laut Indonesia
Ketua Dewan Kelautan Indonesia dalam rangka menetapkan
kebijakan yang bersifat umum dalam bidang kelautan.
Dalam menjalankan tugas sebagaimana ditentukan di
atas, maka Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan
fungsi-fungsi sebagai berikut
a) mengkaji dan memberikan
pertimbangan maupun rekomendasi kebijakan dalam bidang
kelautan kepada Presiden sebagai Ketua Dewan Kelautan
Indonesia; b) mengadakan konsultasi dengan lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah maupun dengan wakilwakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan serta penyelesaian masalah dalam bidang kelautan; c)
memantau dan mengevaluasi kebijakan, strategi dan pembangunan kelautan; d) melakukan hal-hal lain atas permintaan
Presiden
Hukum Laut Indonesia
BAB III
JALUR LAUT DAN GARIS PANGKAL
A. Jalur-Jalur
Laut
dari
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia Sebagai Negara Kepulauan.
Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 hak dan kewajiban negara (negara pantai pada umumnya) dalam memanfaatkan laut dan sumber dayanya ditentukan berdasarkan
status hukum dari berbagai bagian laut atau jalur laut. Jalurjalur laut itu dapat dikelompokkan sebagai berikut. Ada jalur
laut yang berada di bawah kedaulatan penuh dari negara
(dalam pengertian negara pantai), seperti Perairan Pedalaman
(Internal Waters), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters),
Laut Teritorial (Territorial Sea), termasuk di dalamnya Selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used
for International Navigation).
Ada pula jalur laut yang berada di bawah yurisdiksi
khusus dari negara pantai, seperti Jalur Tambahan (Contiguous Zone). Ada pula jalur laut yang berada di bawah hakhak berdaulat (souvereign rights) dari negara pantai, seperti
Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) serta
Landas Kontinen (Continental Shelf). Ada juga jalur laut atau
bagian laut yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,
termasuk oleh negara pantai yang laut wilayahnya, atau ZEE
maupun Landas Kontinennya berdekatan dan berbatasan
dengan bagian laut lepas. Ada pula bagian laut yang dinyatakan sebagai milik bersama umat manusia (Common Heritage
55
56
Hukum Laut Indonesia
of Mankind), yakni bagian dasar laut yang dinamakan Area
atau Kawasan Dasar Laut Internasional (International Seabed
Area) yang terletak di luar batas-batas terluar dari landas
kontinen
suatu
negara
pantai
(Barbara
Kwiatkowska,
1989:xx-xxvi; dan R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:19; juga
Rene-Jean Dupuy, 1974:3-6).
Istilah negara pantai (Coastal State) sesungguhnya
mempunyai pengertian yang luas sebab negara pantai dapat
dimaknai sebagai negara pantai yang normal (normal coastal
state); negara pantai dapat pula diartikan sebagai negara
kepulauan (archipelagic state), dan dapat pula diartikan
sebagai negara yang secara geografis kurang beruntung
(geographically disadvantaged state). Suatu negara disebut
negara pantai normal (normal coastal state) bilamana negara
itu mempunyai wilayah daratan atau kontinen yang seluruh
atau sebagiannya dikelilingi dengan laut di sekitarnya. Suatu
negara disebut sebagai negara yang secara geografis kurang
beruntung, bilamana negara tersebut karena keadaan geografisnya pada umumnya kurang menguntungkan sehingga
negara tersebut tidak dapat mengklaim jalur-jalur laut sampai
batas maksimal yang diperkenankan atau ditentukan.
Suatu negara dinamakan Negara Kepulauan (Archipelagic State), apabila wilayahnya terdiri dari satu kepulauan
atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara
Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan atau dikualifikasi sebagai Negara Kepulauan karena wilayah Indonesia
Hukum Laut Indonesia
terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup
pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan
Riau, kepulauan Bangka Belitung, kepulauan Nusa Tenggara,
kepulauan Sangir Talaud, kepulauan Taka Bonerate, kepulauan Natuna dan beraneka ragam banyaknya kepulauan yang
dimiliki negeri tercinta.
Selain daripada pelbagai macam kepulauan yang
dimiliki, terdapat juga pulau-pulau lain seperti pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua atau Irian Jaya yang
dimiliki negeri ini. Selanjutnya pengertian kepulauan (archipelago) adalah gugusan atau kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau
tersebut, serta bentuk-bentuk alamiah lainnya yang semuanya ini membentuk suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian.
Sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), maka
Indonesia dapat mengklaim dan menetapkan berbagai jalur
laut atau zonasi pengaturan lautnya seperti perairan kepulauan, perairan pedalaman, laut teritorial, jalur tambahan,
zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen. Perairan
kepulauan Indonesia adalah bagian-bagian laut yang berada
pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan (archipelagic
baselines) atau garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines). Akan tetapi garis pangkal lurus kepulauan
yang memagari perairan kepulauan atau yang di dalamnya
57
58
Hukum Laut Indonesia
terdapat perairan kepulauan tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa dukungan garis-garis pangkal lainnya sehingga
bagaimanapun garis pangkal lurus kepulauan harus selalu
dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus dan garis penutup pada teluk, muara
sungai, kuala, terusan asalkan saja terletak pada pulau terluar serta lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, serta
garis penutup pada perairan pelabuhan yang terletak pada
pulau terluar Indonesia.
Pengertian perairan kepulauan seperti itu dapat disimpulkan dari ketentuan pasal-pasal dari Undang-Undang
mengenai Perairan Indonesia yang berpedoman pada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 atau KHL
1982. Namun kalau diperhatikan Peraturan Pelaksanaan dari
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996,
dalam hal ini Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2002
ditegaskan bahwa Pemerintah RI dapat menarik garis pangkal
kepulauan dan dalam menarik garis pangkal kepulauan,
dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis
pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk,
garis penutup pada muara sungai, terusan, kuala, dan garis
penutup pada pelabuhan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perairan
kepulauan itu merupakan bagian-bagian laut yang berada
pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan yang penarikannya harus dilakukan dengan mempergunakan garis pangkal
Hukum Laut Indonesia
lurus kepulauan yang tentu saja dalam prakteknya harus
dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus serta berbagai garis penutup / closing
lines (lihat Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72).
Di dalam perairan kepulauan, Indonesia dapat menetapkan bagian-bagian laut tertentu sebagai perairan pedalaman (internal waters) dengan membuat dan menarik garis
lurus ataupun garis penutup pada teluk, muara sungai, pelabuhan dan seterusnya. Perairan atau bagian-bagian perairan
yang terletak pada sisi luar dari garis lurus ataupun dari garis
penutup tersebut mempunyai status sebagai perairan kepulauan atau dengan lain perkataan dapat dikualifikasi sebagai
perairan kepulauan. Sedangkan bagian-bagian perairan yang
terletak pada sisi dalam dari garis lurus ataupun garis
penutup tersebut seperti perairan teluk, sungai, terusan,
kuala maupun perairan pelabuhan (dengan catatan tidak
terletak pada pulau-pulau terluar) dapat dikualifikasi sebagai
perairan pedalaman.
Laut teritorial atau laut wilayah Indonesia adalah jalur
laut atau bagian laut yang terletak pada sisi luar dari garis
pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan) dengan
lebar maksimal 12 mil laut dihitung atau diukur dari garis
pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan). Dengan
demikian laut wilayah dari Indonesia sebagai Negara Kepulauan mengelilingi seluruh wilayah kepulauannya justru
karena secara geografis laut wilayahnya terletak pada bagian
59
60
Hukum Laut Indonesia
luar dari garis pangkal lurus kepulauan di mana garis seperti
ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan berbagai
garis pangkal lainnya. Status hukum dari ketiga macam jalur
laut yang telah disebutkan di atas adalah sangat jelas, di
mana semuanya ini adalah merupakan wilayah kedaulatan
Indonesia sehingga kedaulatan ini mencakup baik wilayah
perairan atau badan air (water column), ruang udara di
atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and
subsoil) maupun sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya.
Hal yang sangat penting untuk diketahui adalah
bahwa dalam hal laut teritorial Republik Indonesia tidak
menimbulkan permasalahan batas atau garis batas laut
territorial dengan negara-negara tetangga, maka Indonesia
bisa menetapkannya sampai batas maksimal sejauh 12 mil
dari garis pangkal kepulauan, tetapi bilamana laut territorial
RI tumpang tindih dengan laut territorial dari negara-negara
tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan bagi
tercapainya garis batas laut teritorial yang dapat disepakati
oleh masing-masing negara.
Kenyataan memperlihatkan bahwa sampai sekarang
RI belum mencapai kesepakatan mengenai garis batas laut
territorial dengan 3 negara, yakni dengan Timor Leste, Singapura dan Malaysia. Kalau diperhatikan terdapat sekitar 40
persen garis batas laut territorial Indonesia yang belum dapat
diakui oleh ketiga negara tersebut, sebagaimana halnya kita
Hukum Laut Indonesia
tidak dapat mengakui penetapan garis batas laut teritorial
dari ketiga negeri tetangga kita. Akan tetapi pada akhir bulan
Januari tahun 2009 telah disepakati oleh Indonesia dan
Singapura mengenai garis batas maritim di Selat MalakaSingapura antara segmen Barat dari wilayah Singapura
dengan wilayah RI di Pulau Nipah sehingga perjanjian terakhir
ini telah melengkapi perjanjian garis batas maritim tahun
1973.
Penjelasan :
Perjanjian Garis Batas Maritim yang telah ditandatangani pada bulan Februari 2009 antara RI-Singapura pada
Segmen Barat yang terdapat pada bagian Utara Pulau Nipah.
Sebelumnya memang sudah ada perjanjian garis batas
maritim antara kedua negara di Selat Malaka, yaitu antara
61
62
Hukum Laut Indonesia
wilayah daratan Singapura dengan wilayah RI di Kepulauan
Riau pada tahun 1973, namun perjanjian ini belum tuntas
karena bagian Barat dari Kepulauan Riau (termasuk Pulau
Nipah) belum bisa diperjanjiakan pada waktu itu. Perundingan di antara kedua negara terkait dengan bagian laut
yang belum disepakati sudah berlangsung lama, terutama
sejak tahun 2005.
Pada akhir bulan Januari lalu Kepala Negara RI Presiden Susilo Bambang Yudoyono bersama Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long berhasil mencapai kesepakatan
mengenai garis batas maritim pada bagian yang belum
terselesaikan, yaitu pada segmen Barat yang terdapat di Utara
Pulau Nipah. Pada bulan Februari Perjanjian Garis Batas
Maritim di Selat Malaka dengan Pulau Nipah dipakai sebagai
titik pangkal ditandatangani oleh kedua Menteri Luar Negeri.
Dengan penandatanganan ini, maka terdapat kepastian bagi
kedua negara baik dari segi geoekonomi maupun geopolitik,
ada kepastian mengenai sampai dimana batas kedaulatan
serta yurisdiksi bagi masing-masing negara, demikian pula
ada kepastian soal sampai di mana masing-masing negara
dapat menjalankan kegiatan-kegiatan ekonominya di wilayah
laut di Selat Malaka.
Garis batas laut teritorial antara RI dengan Malaysia
yang belum terselesaikan berada di tiga wilayah, yaitu di Selat
Malaka garis batas maritime atau garis batas laut territorial
panjangnya sekitar 17 mil laut, di Tanjung Datuk (Kalimantan
Hukum Laut Indonesia
Barat) sepanjang 12 mil laut, di Pulau Sebatik (Kalimantan
Timur) sepanjang 18 mil laut garis batas laut territorial yang
belum dapat disepakati bersama antara RI dengan Malaysia,
walaupun untuk beberapa titik di Selat Malaka sudah ada
kesepakatan
berdasarkan
perjanjian
garis
batas
laut
territorial pada tahun 1971 yang sudah diratifikasi dengan
Undang-Undang No. 2 Tahun 1971.
Sedangkan dengan negeri Timor Leste, Pemerintah RI
belum dapat mengakui dan menerima garis batas maritime
atau garis batas laut territorial yang panjangnya lebih dari
100 mil laut yang ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah
negeri Timor Leste. Pemerintah dari negara kecil yang pernah
menjadi Propinsi RI ke-27 telah secara berani membuat
pernyataan sepihak menyangkut garis batas laut teritorialnya
yang jauhnya sampai mencapai 100 mil laut terhitung dari
Celah Timor (Timor Gap), padahal sebagaimana diketahui
perjanjian Celah Timor (Timor Gap Treaty) yang merupakan
perjanjian
kerjasama
pengembangan
antara
RI-Australia
tahun 1989 telah berakhir. Nasmun Pemerintah Timor Leste
ternyata mau memanfaatkan garis-garis dari Celah Timor
sebagai pijakan dan titik tolak dalam mengklaim laut
teritorialnya sejauh 100 mil laut. Tindakan sepihak ini harus
dilawan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebab apabila
dibiarkan akan mengakibatkan sebagian dari perairan kepulauan serta laut teritorial Republik Indonesia yang berada
disekitar Laut Timor dapat jatuh ke dalam penguasaan negara
63
64
Hukum Laut Indonesia
Timor Leste. Kita harus mempertahankan kedaulatan dan
keutuhan teritorial kita guna menjamin martabat (dignity) dari
bangsa dan negara. Jangan sampai kita dipecundangi oleh
bekas propinsi yang telah memisahkan diri dari NKRI pada
tahun 1999.
Selanjutnya Indonesia juga dapat menetapkan bagianbagian laut tertentu sebagai zona ekonomi eksklusif serta
landas kontinennya. Apabila perairan kepulauan, perairan
pedalaman dan laut territorial Indonesia telah ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1996 serta berbagai peraturan perundangan lainnya
seperti PP RI Nomor 38 Tahun 2002, maka ZEE Indonesia
sejak dini telah ditetapkan melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 yang berpedoman pada KHL
1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif.
Sedangkan untuk Landas Kontinennya masih diatur
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1973 mengenai Landas Kontinen Indonesia yang
ternyata berpedoman pada Konvensi Hukum Laut Geneva
1958
mengenai
Landas
Kontinen
(Continental
Shelf)
khususnya mengenai pengertian atau definisinya sehingga hal
ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum laut
dewasa
ini.
Oleh
karena
itu
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 terutama menyangkut batasan soal Landas Kontinen Indonesia harus segera ditinjau
kembali untuk dilakukan perubahan sesuai dengan ketentuan
Hukum Laut Indonesia
Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 yang memperkenankan
RI uintuk menetapkan landas kontinennya sampai batas
terluar
dari
tepian
kontinennya
(dengan
catatan
batas
terluarnya sudah dibatasi hingga 350 mil laut) ataupun
sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal dalam hal landas
kontinen
dari
negara
pantai
yang
bersangkutan
tidak
mencapai jarak 200 mil laut ataupun tidak boleh melebihi 100
mil laut yang diukur dari garis batas kedalaman (isobath)
2500 meter, yaitu garis yang menghubungkan kedalaman
2500 meter.
Selanjutnya mengenai zona ekonomi eksklusif atau
zona 200 mil memiliki tujuan mendasar, yakni untuk mengakselerasi pembangunan sosial ekonomi dari negara-negara
serta
mengurangi
adanya
ketidakseimbangan
di
antara
negara-negara industri dan negara-negara berkembang. Hal
ini tercermin dalam isitilah “economic” yang terdapat pada
zona tersebut maupun dalam ruang lingkup yang pada
dasarnya berorientasi pada sumber daya alam (resourceoriented) yang merupakan hak dan yurisdiksi negara pantai di
zona tersebut. Potensi ekonomi dari sumber daya hayati
menjadi motivasi utama di balik penetapan ZEE baik oleh
developing states maupun industrialized states, sebagaimana
halnya kekayaan mineral sudah berada di bawah pengawasan
eksklusif negara pantai berdasarkan atas pengaturan hukum
landas kontinen yang sifatnya tradisional (Barbara Kwiatkowska:2-4).
65
66
Hukum Laut Indonesia
Zona Ekonomi Eksklusif memiliki ciri yang dinamakan multifungsional (multifunctional character) yang tentu
berbeda dari zona-zona lainnya. Sehingga perlu dipaparkan
definisi dari Zona Ekonomi Eksklusif. ZEE adalah suatu area
yang berada di luar dan berbatasan dengan laut teritorial
hingga mencapai batas 200 mil laut dari TS baselines (garis
pangkal dari mana laut teritorial itu diukur), di mana negara
pantai mempunyai hak-hak berdaulat berkenaan dengan
semua sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan lain untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi untuk tujuan ekonomi,
juga yurisdiksi yang berkenaan dengan pulau buatan, penelitian ilmiah, pelestarian lingkungan laut, dan hak-hak serta
kewajiban lain yang ditetapkan dalam Konvensi.
Semua negara menikmati di ZEE navigational and
communications freedoms, serta negara tak berpantai dan
negara yang secara geografis tidak beruntung (land-locked and
geographically disadvantaged states) menikmati atau memiliki
hak khusus untuk berpartisipasi dalam bidang perikanan dan
penelitian ilmiah kelautan. Selanjutnya mengenai ciri ZEE
sebagai suatu zona yang sifatnya multifunctional yang tampak
dari definisinya serta membedakannya dengan zona fungsional yang menjadi hak dan yurisdiksi negara pantai adalah
terjadinya penggabungan hak terkait sumber daya alam pada
umunya di pihak negara pantai yang tidak dikenal sebelumya
serta adanya kesejajaran (juxtaposition) hak negara pantai
atas sumber daya hayati dan non hayati dari dasar laut,
Hukum Laut Indonesia
tanah di bawahnya serta perairan di atasnya pada khususnya
(lihat Pasal 56 ayat 1a dan b).
Di samping itu negara pantai diberikan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban lain yang ditentukan dalam Konvensi ini
(Pasal 56 ayat 1c yang tidak diidentifikasi dalam Bab V,
namun
merupakan
kompromi
terhadap
hak-hak
dan
kewajiban yang terkait dengan jalur tambahan yang tumpang
tindih dengan ZEE sampai jarak 24 mil (Pasal 33), pengeboran
untuk berbagai tujuan (Pasal 81) dan mengeksploitasi tanah
di bawah dasar laut dengan cara membuat terowongan, tanpa
memperhatikan kedalaman air di atas subsoil (Pasal 85).
Dinyatakan pula bahwa klausula mengenai hak-hak
serta kewajiban lainnya mencakup kewajiban suatu negara
pantai untuk mengakomodasi adanya partisipasi dari landlocked and geographically disadvantaged states (LL/GDS)
dalam hal perikanan, namun tidak mencakup hak-hak dari
negara-negara seperti ini terkait dengan marine scientific
research ketika hak-hak ini berlaku secara nyata pada
penelitian yang dijalankan pihak ketiga di ZEE dan bukan
oleh negara pantai itu sendiri (Barbara Kwiatkowska:4).
ZEE Indonesia adalah jalur laut yang berbatasan
dengan dan berada di luar laut teritorialnya, yang lebarnya
200 mil laut diukur dari garis pangkal yang dipakai untuk
menetapkan lebar laut territorialnya. Demikian jalur laut yang
dinamakan ZEE Indonesia selain mengelilingi batas luar laut
territorial, juga mengelilingi wilayah kepulauan Indonesia
67
68
Hukum Laut Indonesia
karena perairan ZEE Indonesia berada di luar garis pangkal
laut territorial yang dalam hubungan ini dinyatakan sebagai
garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan)
Indonesia. Karena Indonesia memiliki hak-hak berdaulat
(souvereign rights) untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi,
melindungi dan mengelola sumber daya alam yang terdapat di
ZEE nya, maka sumber daya ini adalah merupakan milik
bangsa dan negara Indonesia yang perlu dimanfaatkan secara
optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Indonesia juga memiliki yurisdiksi terkait dengan
pembangunan dan pemanfaatan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, termasuk yurisdiksi yang terkait dengan
masalah bea dan cukai, fiskal, keimigrasian, kesehatan dan
keselamatan pelayaran, yurisdiksi yang berkaitan dengan
penelitian ilmiah kelautan, yurisdiksi dalam hal pelestarian
lingkungan laut di ZEE Indonesia. Permasalahan besar yang
dihadapi Indonesia terkait dengan ZEE ini adalah bahwa
sekitar 70 persen garis batas ZEE Indonesia belum mendapat
pengakuan dari beberapa negara tetangga. Kesepakatan garis
batas ZEE Indonesia baru tercapai dengan Australia dan
Papua Niugini.
Akan tetapi antara Indonesia dengan negara-negara
tetangga seperti Timor Leste, Palau, Filipina, Vietnam, Thailand dan India, hingga saat ini belum dapat dicapai kesepakatan dalam bentuk perjanjian mengenai garis batas ZEE di
daerah perbatasan masing-masing negara. Menurut Sobar
Hukum Laut Indonesia
Sutisna (yang menjabat sebagai Kepala Pusat Pemetaan Batas
Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) di
antara perundingan batas wilayah dengan enam negara tetangga penetapan batas wilayah paling cepat dapat terealisasi
dengan Filipina sebab negara itu telah menyatakan kesediaannya untuk menyelesaikan perundingan penetapan batas
wilayah di laut Sulawesi yang telah dimulai sejak tahun 1994.
Sedangkan penetapan batas wilayah dengan negeri
Palau belum dapat dilakukan karena Republik Indonesia
belum mempunyai hubungan diplomatic dengan negeri kecil
di Samudera Pasifik walaupun saat ini pihak perunding dari
Indonesia menunggu persetujuan dari DPR untuk membuka
hubungan diplomatik dengan Palau. Demikian hal-hal konkret yang sedang dialami RI dalam hubungannya dengan
penetapan batas-batas maritime terutama batas-batas ZEE
Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan
tanah di bawahnya dari daerah-daerah di bawah permukaan
laut (submarine areas) yang merupakan kelanjutan alamiah
dari wilayah daratan (natural prolongation of its continent) yang
berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan
dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
4/Prp. Tahun 1960, sampai pada suatu batas kedalaman 200
meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedalaman
200 meter (beyond that limit) sejauh kemampuan teknologi
69
70
Hukum Laut Indonesia
Indonesia masih memungkinkan untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sana.
Pengertian atau batasan landas kontinen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1973 jelas mengacu pada Konvensi Geneva
1958 tentang landas kontinen dan sudah seharusnya segera
dicabut setelah berlakunya KHL 1982. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 KHL 1982, maka landas kontinen (Continental
Shelf) diartikan sebagai dasar laut dan tanah di bawahnya
dari wilayah-wilayah di bawah permukaan laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan negara pantai
yang bersangkutan, yang berada di luar laut territorial, tetapi
berbatasan dengannya, sampai batas terluar dari tepian
kontinen (outer edge of the continental margin) atau dalam hal
tepian kontinen negara itu tidak mencapai jarak 200 mil,
maka dasar laut dan tanah di bawahnya dapat ditetapkan
hingga jarak 200 mil laut terhitung dari garis pangkal dari
mana lebar laut teritorialnya diukur.
Hal ini berarti KHL 1982 memberikan kesempatan
kepada negara pantai untuk menggunakan kriteria atau
ukuran yang menguntungkan. Pengertian landas kontinen ini
sangat penting untuk menentukan sejauh mana hak-hak
berdaulat suatu negara pantai di landas kontinennya, terutama
sejauh
mana
negara
tersebut
dapat
melakukan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di
sana. Pengertian landas kontinen Indonesia sudah seharus-
Hukum Laut Indonesia
nya disesuaikan dengan pengertian landas kontinen pada
umumnya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 76 KHL 1982
sehingga Undang-Undang RI mengenai Landas Kontinen
Indonesia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1973) khususnya ketentuan pasal 1 mengenai definisi
landas kontinen RI harus segera dicabut untuk disesuaikan
dengan perkembangan hukum laut masa kini sebagaimana
diatur di dalam Pasal 76 KHL 1982.
Untuk memahami pengertian landas kontinen (Continental Shelf) berdasarkan Pasal 1 Konvensi Geneva 1958
maupun berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, maka di
bawah ini dipaparkan gambar dan konfigurasi sederhana
mengenai landas kontinen dalam pengertian yuridis. Pengertian ini sangat penting (very essential) dalam menentukan
hak-hak berdaulat serta yurisdiksi negara pantai di landas
kontinen. Dari pengertian landas kontinen sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 Konvensi Geneva 1958, dapat disimpulkan bahwa ada dua ukuran atau kriteria yang digunakan
dalam menetapkan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara
pantai di landas kontinen, yaitu : 1) kriteria kedalaman 200
meter. Artinya kalau negara pantai tidak memiliki kemampuan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
sumber daya alam yang terdapat di sana, maka hak-hak
berdaulat dan yurisdiksinya hanya sampai di titik dasar laut
dengan kedalaman 200 meter terhitung dari permukaan laut.
Dengan demikian muncul kriteria kedua; 2) kriteria melebihi
71
72
Hukum Laut Indonesia
batas kedalaman 200 meter (beyond that limit), sejauh
kemampuan tekonologi dari negara pantai masih memungkinkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber
daya alam di dasar laut dan tanah di bawahnya dengan
kedalaman tanpa batas dari permukaan laut. Kriteria ini
disebut pula dengan istilah “technical exploitability”.
Kriteria hak-hak berdaulat di landas kontinen yang
tersimpul dari batasan pengertiannya sangat tidak adil sebab
hanya menguntungkan negara-negara maju dan merugikan
negara-negara berkembang pada waktu itu sehingga kriteria
dan pengertian seperti ini telah diganti melalui ketentuan
Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982.
Dari pengertiannya dapat ditarik adanya beberapa
kriteria dalam menentukan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi
negara pantai di landas kontinen, yaitu : 1) kriteria jarak yang
menyatakan bahwa dasar laut serta tanah di bawahnya itu
sampai pada apa yang dinamakan ujung luar dari tepian
kontinen (the outer edge of the continental margin). Apabila
landas kontinen dari negara pantai yang bersangkutan begitu
luas dan tidak tumpang tindih dengan landas kontinen dari
negara-negara tetangganya, maka hak-hak berdaulat dan
yurisdiksinya dapat mencapai ratusan mil dan bahkan ribuan
mil dari garis pangkal sesuai dengan lokasi dari titik terluar
dari tepian kontinen.
Walaupun dari segi geologis jarak antara garis pangkal
hingga lokasi ujung terluar dari tepian kontinen (the outer
Hukum Laut Indonesia
edge of the continental margin) dapat mencapai ratusan
bahkan ribuan mil, namun dari segi yuridisnya hal ini sudah
dibatasi sebab Pasal 76 KHL 1982 menetapkan bahwa dasar
laut dan tanah di bawahnya harus dibatasi sampai 350 mil
laut terhitung dari garis pangkal. Pembatasan ini bertujuan
untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat internasional
sebab ada negara-negara yang tidak berpantai atau dikelilingi
oleh daratan, padahal mereka juga berhak memperoleh
manfaat yang berasal dari laut yang sebenarnya merupakan
warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind).
Ada juga ketentuan-ketentuan lain seperti hak-hakhak berdaulat atas sumber daya alam terutama mineralmineral, minyak dan gas bumi, berbagai yurisdiksi Republik
Indonesia di landas kontinennya termasuk masalah pulau
buatan, instalasi dan bangunan, penelitian ilmiah kelautan,
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penentuan
garis batas landas kontinen Indonesia di wilayah perbatasan
dan
lain-lainnya
dari
segi
substansinya
masih
dapat
dipertahankan, namun dari segi redaksi atau rumusannya
perlu disesuaikan dengan rumusan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam KHL 1982.
Dibandingkan dengan Konvensi Geneva 1958 tentang
Landas Kontinen yang mempergunakan ukuran kedalaman
200 meter maupun ukuran technological exploitability yang
sangat kabur, maka KHL 1982 mempergunakan kriteria yang
73
74
Hukum Laut Indonesia
jelas berupa ukuran jarak sampai ujung terluar dari tepian
kontinennya, ataupun bilamana landas kontinennya pendek
bisa ditetapkan sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal
laut territorial yang semuanya ini dimaksudkan untuk
menentukan sampai di mana batas-batas hak berdaulat dan
yurisdiksi
negara
pantai
dalam
mengeksplorasi
dan
mengeksploitasi sumber daya alam berupa mineral-mineral
dan sumber kekayaan non hayati lainnya yang terdapat di
sana.
Dengan demikian Republik Indonesia harus melakukan perubahan terhadap Undang-Undang yang lama (Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1973) serta menggantinya
dengan peraturan perundangan baru yang sesuai dengan
semangat dan ketentuan KHL 1982 terkait dengan batasan
landas kontinen dalam menentukan hak-hak berdaulat dan
yurisdiksi Indonesia di landas kontinennya sendiri sebab
bagaimanapun KHL 1982 sangat menguntungkan negaranegara pantai khususnya RI dalam kedudukannya sebagai
negeri kepulauan.
Dalam hubungan ini, perlu juga diperhatikan dalam
hal landas kontinen Indonesia tidak menimbulkan masalah
garis batas dengan negara-negara tetangga, maka landas
kontinen Indonesia dapat ditetapkan sampai batas maksimal,
yaitu sampai ujung terluar dari tepian kontinennya (namun
hal ini sudah dibatasi sampai jarak 350 mil laut dari garis
pangkal) atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal
Hukum Laut Indonesia
dalam hal tepian kontinen Indonesia tidak mencapai jarak
200 mil laut.
Namun bilamana tumpang tindih (overlapping) garis
batas landas kontinen antara RI dengan beberapa negara
tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan
untuk
mencapai
bahwa sekitar
30
kesepakatan.
persen
garis
Kenyataan
batas
menunjukkan
landas
kontinen
Indonesia belum disepakati dengan beberapa negara tetangga,
seperti dengan negeri Timor Leste yang dulu pernah menjadi
propinsi Republik Indonesia ke-27, dengan negara Palau serta
negara Filipina.
B. Penarikan Berbagai Macam Garis Pangkal
Jalur-jalur laut yang dapat diklaim sesuai ketentuanketentuan yang ada hanya dapat terwujud dengan senantiasa
berpatokan pada garis pangkal. Sebagai negara kepulauan, RI
dapat menarik garis pangkal kepulauan (archipelgic baselines). Dalam menarik garis pangkal kepulauan, Indonesia
dapat mempergunakan berbagai metode atau cara penarikan
garis pangkal. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2002 yang merupakan salah satu peraturan
pelaksanaan
yang
menindaklanjuti
dan
mengelaborasi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996
yang terkait dengan ketentuan mengenai garis pangkal.
Peraturan Pemerintah tersebut menetapkan bahwa
Republik Indonesia dapat menarik garis pangkal kepulauan
dan dalam menarik garis pangkal kepulauan dapat dipergu-
75
76
Hukum Laut Indonesia
nakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa,
garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, muara sungai,
terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan. Garis
pangkal kepulauan, khususnya garis pangkal lurus kepulauan bukan merupakan garis yang dapat berdiri sendiri tanpa
dukungan dari garis-garis pangkal lainnya karena secara
praktis garis pangkal lurus kepulauan hanya dapat dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis
pangkal lurus, garis penutup pada teluk, sungai, terusan,
kuala dan garis penutup pada pelabuhan di mana teluk,
sungai dan lain-lainnya secara geografis dapat terletak baik
pada bagian dalam maupun pada bagian luar dari pulaupulau terluar Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan garis pangkal biasa, garis
pangkal lurus, garis pangkal lurus kepulauan? KHL 1982,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996
dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2002 mengemukakan sebagai berikut.
Garis pangkal biasa (normal baselines) adalah garisgaris air terendah di sepanjang pantai pada waktu air sedang
surut sehingga dengan demikian mengikuti segala lekuk liku
(bentuk-bentuk morfologi) dari pantai suatu negara. Pada
mulut atau muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak
melebihi 24 mil laut, dan pada pelabuhan, maka harus
diperhatikan bahwa garis air terendah itu dapat ditarik
sebagai suatu garis lurus.
Hukum Laut Indonesia
Garis air terendah yang ditarik sebagai garis lurus
(straight lines) pada perairan di sekitar muara sungai, perairan di teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut
serta pada perairan pelabuhan bilamana sungai, teluk dan
pelabuhan itu tidak berada pada pulau-pulau terluar. Akan
tetapi
bilamana
keberadaannya
atau
letak
geografisnya
berada pada pulau-pulau terluar, maka garis air terendah
pada muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih
dari 24 mil laut maupun pada pelabuhan, dapat ditarik
sebagai suatu garis penutup (closing lines).
Pada
dasarnya
garis
pangkal
biasa
lazimnya
dipergunakan oleh negara yang dikualifikasi sebagai negara
pantai normal (normal coastal state), seperti Malaysia, Korea
Utara, Korea Selatan, RRC, AS, Australia dan banyak negara
pantai biasa lainnya yang wilayahnya berupa sebuah daratan
atau
kontinen
semata-mata
walaupun
tidak
tertutup
kemungkinan memiliki satu pulau kecil atau lebih yang
mungkin secara geografis berada jauh dari wilayahnya.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai garis
pangkal
biasa
(normal
baselines),
maka
di
dibentangkan gambar mengenai garis seperti itu.
bawah
ini
77
78
Hukum Laut Indonesia
Selanjutnya garis pangkal lurus (straight baselines)
adalah garis air terendah yang menghubungkan titik-titik
pangkal berupa titik-titik terluar yang terdapat pada pantai
daratan utama (mainland) suatu negara atau pantai pada
gugusan pulau yang berada di depannya (daratan utama).
Garis pangkal lurus hanya dapat diterapkan oleh negara yang
memiliki daratan utama, namun garis pantainya berliku-liku
tajam pada daratan utama tersebut. Selain memiliki daratan
utama yang pantainya berliku-liku tajam, negara tersebut
juga memiliki deretan atau gugusan pulau-pulau yang letaknya berdekatan dengan pantai daratan utama.
Negara tersebut juga memiliki apa yang dinamakan
delta maupun kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis
pantainya sangat tidak menentu, seperti terdapatnya apa
Hukum Laut Indonesia
yang dinamakan fyord baik pada daratan utama maupun
pada deretan dan gugusan pulau di dekatnya. Negara dengan
kondisi geografis seperti itulah yang dapat menggunakan dan
menerapkan garis-garis pangkal lurus di mana perairan yang
terdapat atau berada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal
lurus itu adalah merupakan perairan pedalaman (internal
waters), sementara perairan yang terletak pada sisi luar dari
garis-garis pangkal lurus itu adalah merupakan jalur laut
teritorial yang lebarnya maksimal 12 mil laut yang dihitung
atau diukur dari garis-garis pangkal lurus.
Namun demikian garis pangkal lurus bukan sesuatu
yang dapat berdiri sendiri karena bagaimanapun garis pangkal ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis
pangkal normal yang disebut juga garis air terendah atau
garis air surut. Di samping persyaratan tadi, maka untuk
dapat menerapkan garis pangkal lurus, maka negara dengan
kondisi geografis seperti itu harus memiliki kepentingan
ekonomi yang bersifat khusus atau spesifik dimana kepentingan ekonominya atas perairan yang terbentuk berdasarkan
garis pangkal lurus adalah merupakan suatu kenyataan serta
sesuatu yang sangat signifikan yang secara jelas dapat
dibuktikan melalui praktek yang telah berlangsung lama.
Persyaratan berikutnya adalah bahwa garis pangkal
lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah
umum pantai negara yang bersangkutan. Akhirnya garis
pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low tide
79
80
Hukum Laut Indonesia
elevation) maupun menuju ke elevasi surut, yang artinya
elevasi surut itu tidak boleh digunakan sebagai titik pangkal
atau titik terluar terkecuali elevasi surut itu telah memiliki
mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanent
terus menerus berada di atas permukaan air laut.
Negara yang pertama kali menerapkan garis pangkal
lurus adalah negeri Norwegia karena wilayahnya secara
geografis terdiri dari daratan utama yang pantainya sangat
berliku-liku tajam (terdapat anak-anak laut, fyord etc) serta di
dekat daratan utama bertebaran gugusan pulau-pulau. Penduduk Norwegia menggantungkan hidupnya pada kegiatan
penangkapan ikan pada perairan di sekitar wilayah daratan
serta deretan pulau-pulau di depannya, di mana hal ini sudah
berlangsung lama secara turun menurun sehingga bagi
Norwegia wilayah perairan tersebut memiliki kepentingan
ekonomi yang bersifat istimewa.
Faktor-faktor inilah yang mendorong Norwegia sehingga mengeluarkan suatu peraturan yang dinamakan sebuah
dekrit dari Raja Norwegia (the Royal Decree) pada tahun 1935
yang menetapkan wilayah perairannya sebagai wilayah perikanan di laut territorial serta perairan pedalaman, di mana
terbentuknya wilayah perairan ini didasarkan atas penerapan
garis pangkal lurus yang merupakan garis-garis air terendah
yang menghubungkan titik-titik terluar yang terdapat pada
pantai daratan utama maupun pada gugusan pulau yang
berdekatan dengan daratan utama tersebut.
Hukum Laut Indonesia
Negara yang memiliki elevasi surut berkewajiban untuk membangun mercu suar atau semacam instalasi di atas
elevasi surut tersebut yang tujuannya di samping untuk
menunjukkan atau membuktikan kepemilikannya atas elevasi
surut, juga terutama untuk menjamin keselamatan pelayaran
bagi kapal-kapal yang melewati atau melintasi perairan di
sekitar elevasi surut, dengan demikian mercu suar atau
instalasi tersebut mempunyai fungsi sebagai tanda peringatan
(warning signals) bagi para pemakai laut agar berhati-hati
ketika melintasi perairan di sekitar elevasi surut sebab
perairan yang berada di sekitar atau di sekeliling elevasi surut
itu adalah merupakan perairan yang sangat dangkal atau
perairan di mana terdapat karang-karang kering sehingga
dapat membahayakan keselamatan berlayar.
Apa yang dinamakan elevasi surut tentu berbeda
dengan apa yang dinamakan pulau (natural island). Walaupun
di antara keduanya terdapat persamaan di mana keduanya
baik pulau maupun elevasi surut adalah merupakan wilayah
daratan yang terbentuk secara alamiah, namun sebuah pulau
senantiasa berada di atas permukaan air laut kendati air laut
sedang mengalami gejala atau peristiwa pasang yang setinggitingginya (lihat Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982).
Sedangkan apa yang disebut elevasi surut hanya bisa
muncul di atas permukaan air laut ketika air laut itu sedang
surut, tetapi ketika air laut itu sedang mengalami pasang
yang setinggi-tingginya, elevasi surut tersebut pasti tenggelam
81
82
Hukum Laut Indonesia
sehingga tidak kelihatan di atas permukaan air laut dan
dengan demikian bisa berbahaya bagi keselamatan pelayaran.
Untuk mencegah ataupun mengurangi timbulnya bahaya bagi
keselamatan berlayar, maka negara yang memiliki elevasi
surut (semacam gundukan tanah ataupun batu karang di
daerah lepas pantai mempunyai kewajiban untuk memasang
(install) mercu suar atau instalasi di atas elevasi surut
tersebut
yang
tujuannya
terutama
untuk
melindungi
keselamatan pelayaran, di samping untuk membuktikan atau
menunjukkan status hukum dari elevasi surut tadi (low tide
elevation).
Di bawah ini dipaparkan gambar mengenai garis
pangkal lurus (straight baselines).
Hukum Laut Indonesia
C. Syarat-Syarat Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Indonesia.
Garis pangkal lurus kepulauan dapat diterapkan oleh
negara yang dikualifikasi sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) seperti halnya dengan Indonesia. Garis pangkal
lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) adalah garisgaris air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar
pada pulau-pulau dan karang kering terluar yang dimiliki oleh
Negara Kepulauan. Syarat utama penarikan garis pangkal
lurus kepulauan adalah bahwa garis-garis pangkal lurus
kepulauan harus meliputi pulau-pulau utama (main islands)
dari negara kepulauan tersebut.
Garis pangkal lurus kepulauan yang ditarik oleh
Indonesia harus dapat mencakup pulau-pulau utama seperti
Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya.
Selain daripada itu dengan penarikan garis pangkal lurus
kepulauan, maka perbandingan antara luas wilayah perairan
dengan luas wilayah daratan termasuk atoll atau karang
kering harus berkisar antara satu berbanding satu sampai
sembilan
berbanding
satu.
Dengan
mencermati
wilayah
Indonesia yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan
yang menyatu dengan wilayah daratan berdasarkan penerapan garis pangkal lurus kepulauan, dengan memperhatikan
Pulau Sumatera atau Pulau Jawa serta wilayah perairan di
sekitarnya, maka tampak perbandingan antara luas wilayah
perairan di sekitar Pulau Sumatera ataupun di sekitar Pulau
83
84
Hukum Laut Indonesia
Jawa dengan luas wilayah daratan Pulau Sumatera ataupun
wilayah daratan Pulau Jawa adalah sekitar satu berbanding
satu.
Akan
tetapi
ketika
kita
mencermati
Kepulauan
Maluku (Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara) serta
wilayah perairan di sekitarnya, maka luas wilayah perairannya dengan luas wilayah daratannya perbandingannya dapat
mencapai sembilan berbanding satu.
Selanjutnya terdapat beberapa pembatasan dalam
menerapkan garis pangkal lurus kepulauan. Pertama, setiap
garis pangkal lurus kepulauan dapat mempunyai kepanjangan maksimal 100 mil laut, dengan demikian panjangnya
bisa kurang dari 100 mil laut, tetapi tidak boleh melebihi 100
mil laut. Namun ketentuan mengenai pembatasan setiap garis
pangkal lurus kepulauan ini masih disertai dengan suatu
pengecualian yang menyatakan dari jumlah keseluruhan
garis-garis pangkal lurus kepulauan yang terbentuk, 3 persen
di antaranya dimungkinkan untuk mencapai kepanjangan
maksimum hingga 125 mil laut.
Dengan berpatokan pada ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 mengenai
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, maka terdapat 166 titik pangkal yang dapat
digunakan dalam menetapkan garis pangkal lurus kepulauan
Indonesia. Sebanyak 3 persen dari jumlah seluruh garis
pangkal lurus kepulauan yang ada panjangnya dimungkinkan
Hukum Laut Indonesia
sampai maksimal 125 mil laut. Pembatasan berikutnya
adalah bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan tidak
boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum
kepulauan tersebut, yang menurut hemat kami pengertiannya
sama dengan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah
pantai dari kepulauan maupun dari pulau-pulau pada
umumnya.
Dengan mencermati estimasi keseluruhan garis-garis
pangkal kepulauan Indonesia yang menyatukan wilayah
kepulauan serta wilayah perairan (dengan catatan apabila kita
menetapkan peta mengenai garis pangkal kepulauan Indonesia), maka kelihatan sekali garis-garis pangkal kepulauan
Indonesia secara terpadu memperlihatkan konfigurasi yang
mirip atau menyerupai seekor kuda lumping yang terkenal
dalam seni budaya Jawa sehingga memenuhi ketentuan yang
menyatakan garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh
menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan
Republik Indonesia.
Selanjutnya dinyatakan bahwa garis pangkal lurus
kepulauan tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut dan
dengan begitu elevasi surut (low tide elevation) seperti
misalnya karang kering (drying reef) atau atoll yang umumnya
hanya tampak dan kelihatan ketika air laut sedang surut,
tidak dapat dipakai sebagai titik pangkal seandainya terletak
di sekitar pulau terluar. Namun demikian elevasi surut yang
secara geografis berada di sekitar pulau terluar bisa saja
85
86
Hukum Laut Indonesia
digunakan sebagai titik pangkal asal saja di atas elevasi surut
tadi telah dibangun dan dipasang mercu suar atau instalasi
serupa yang secara terus menerus berada di atas permukaan
laut sehingga tidak membahayakan keselamatan berlayar.
Di samping itu elevasi surut tersebut dapat digunakan
sebagai titik pangkal bilamana seluruh atau sebagian dari
elevasi surut itu terletak dalam jarak yang tidak melebihi
lebar laut territorial yang diukur atau dihitung dari pulau
terdekatnya. Pembatasan lain yang harus menjadi perhatian
dalam menerapkan garis pangkal lurus kepulauan adalah
bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik
sedemikian rupa sehingga memotong perairan laut territorial
negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
Dengan mencermati perairan kepulauan di sekitar
Kepulauan Natuna sebagai wilayah perairan Republik Indonesia yang terletak antara Semenanjung Barat Malaysia
dengan Semenanjung Timurnya, laut territorial Malaysia pada
kedua semenanjung tersebut samasekali tidak terganggu
dengan
diterapkannya
garis
pangkal
lurus
kepulauan
Indonesia yang menghubungkan pulau-pulau terluar di Laut
Natuna yang berbatasan dan berdekatan dengan wilayah
Malaysia.
Selanjutnya garis pangkal lurus kepulauan bukan
sesuatu yang berdiri sendiri sebab bagaimanapun harus
dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal
lainnya, seperti garis pangkal normal, garis pangkal lurus dan
Hukum Laut Indonesia
garis-garis penutup pada teluk, sungai dan pelabuhan baik
yang berada pada bagian dalam maupun bagian luar dari
pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia. Garis pangkal
lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan Indonesia
harus ditegaskan melalui sebuah Peta yang menurut hemat
kami dapat dinamakan peta garis pangkal kepulauan RI yang
bertujuan untuk menjamin batas-batas wilayah RI dalam
hubungannya dengan negara-negara tetangga dan sekaligus
menjamin
dan
melindungi
kedaulatan
serta
keutuhan
territorial NKRI.
Kalau belum dibuat peta mengenai garis pangkal
kepulauan Indonesia, maka dapat dibuat Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal. Kenyataan memperlihatkan bahwa hingga saat ini RI belum membuat Peta; tetapi
sudah
menetapkan
adanya
Daftar
Koordinat
Geografis
(sebagai pengganti Peta) menurut skala yang memadai melalui
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia dan berdasarkan ketentuan
internasional Daftar Koordinat ini harus didepositkan pada
Sekjen PBB dengan maksud untuk memperoleh legitimasi dari
masyarakat internasional khususnya dari negara-negara peserta KHL 1982, di samping legitimasi dari Organisasi PBB
yang berdasarkan KHL 1982 juga menjadi peserta dari
Konvensi Hukum Laut 1982 sebagaimana halnya dengan
87
88
Hukum Laut Indonesia
badan-badan khusus dari PBB (Specialized Agencies of the
United Nations).
D. Peraturan Presiden RI Mengenai Pengelolaan PulauPulau Kecil Terluar
Kemudian mari kita lihat Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 yaitu Peraturan Presiden
yang mengatur pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Dalam
Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari
wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (Pasal 1 PP RI
Nomor 78 Tahun 2005).
Hukum Laut Indonesia
Sedang Pulau-pulau kecil terluar adalah pulau dengan
luas area kurang atau sama dengan 2000 kilometer persegi
yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan
hukum internasional dan nasional. Pulau-pulau kecil terluar
yang dimaksudkan tadi tercantum di dalam Lampiran Peraturan Presiden yang di dalamnya terdapat 92 pulau kecil
terluar disertai dengan koordinat titik terluarnya dapat dipakai sebagai titik pangkal untuk garis pangkal kepulauan Republik Indonesia. Selanjutnya Pasal 2 dari Peraturan Presiden
tersebut mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan pulaupulau kecil terluar adalah berikut ini.
Pertama, menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan
nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan
stabilitas kawasan. Kedua, memanfaatkan sumber daya alam
dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Ketiga, memberdayakan masyarakat dalam
rangka peningkatan kesejahteraan. Karena pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mempunyai tujuan-tujuan seperti itu,
maka pengelolaannya didasarkan atas prinsip-prinsip wawasan nusantara, pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis masyarakat.
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar berpedoman
atau mengacu pada rencana Tata Ruang Wilayah, yang pengelolaannya dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dan dilakukan sesuai dengan ketentuan
89
90
Hukum Laut Indonesia
peraturan perundang-undangan. Pengelolaan ini meliputi
berbagai bidang seperti sumber daya alam serta lingkungan
hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah,
pertahanan dan keamanan, dan pengelolaan dalam bidang
ekonomi, sosial dan budaya. Pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil Terluar yang selanjutnya disebut Tim
Koordinasi yang merupakan wadah koordinasi non structural
yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden.
Demikian ulasan yang bersifat deskriptif yuridis
tentang pengaturan zonasi laut Indonesia berdasarkan azas
negara kepulauan yang berfokus pada penerapan sistem garis
pangkal kepulauan. Penerapan garis pangkal kepulauan ini
terjadi dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan,
tetapi garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat berdiri
sendiri sebab garis yang disebut terakhir ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa,
garis pangkal lurus serta garis penutup pada sungai, teluk
dan pelabuhan sepanjang terdapat pada pulau-pulau terluar.
Hukum Laut Indonesia
BAB IV
PENGATURAN HUKUM MENGENAI LINTAS LAYAR
DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA
DAN KESELAMATAN PELAYARAN
A. Pelbagai Macam Lintas
Layar
di Wilayah
Perairan
Indonesia
Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis
pangkal lurus kepulauan Indonesia disebut perairan kepulauan yang status hukumnya sama seperti laut teritorial (yang
terletak pada bagian luar dari garis pangkal lurus kepulauan)
di mana Negara Republik Indonesia mempunyai kedaulatan
atas perairan kepulauan serta laut teritorialnya, yang juga
meliputi ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya
maupun sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Akan tetapi kedaulatan tersebut tidak bersifat mutlak
sebab negara Republik Indonesia mempunyai kewajiban
untuk memperkenankan kapal-kapal asing dalam segala
jenisnya untuk melaksanakan hak lintas damai (innocent passage) maupun hak lintas transit (transit passage) dan hak lintas alur-alur laut kepulauan (archipelagic sealanes passage).
Apa yang dimaksud dengan hak lintas damai, hak lintas
transit dan hak lintas alur laut kepulauan? KHL 1982 dan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996
telah mengatur hal ini.
Hak lintas damai (the right of innocent passage) adalah
hak yang diberikan kepada kapal asing dalam segala jenisnya
91
92
Hukum Laut Indonesia
untuk berlayar melewati laut teritorial dan atau perairan
kepulauan suatu negara yang dalam hal ini melewati laut
teritorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Dari pengertian ini terdapat beberapa kemungkinan terkait dengan kapal
asing yang melintasi perairan Indonesia. Kemungkinan pertama kapal asing datang dari laut bebas, lalu melewati laut
territorial
dan
atau
perairan
kepulauan
Indonesia
dan
menyinggahi perairan pedalaman di suatu pelabuhan atau
tempat persinggahan.
Kemungkinan kedua, kapal asing itu meninggalkan
pelabuhan atau tempat persinggahan, lalu melintasi laut
territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia untuk seterusnya menuju ke laut bebas atau periran internasional.
Kemungkinan ketiga, kapal asing itu datang dari laut bebas
menuju ke laut bebas lainnya, dengan hanya semata-mata
melintasi laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Hak lintas damai harus dilaksanakan secara terus
menerus, langsung dan secepat mungkin.
Akan tetapi kapal asing dapat berhenti, membuang
sauh atau jangkar asal kegiatan ini terkait dengan navigasi
yang sudah lazim terjadi ataupun kegiatan ini perlu dilakukan
karena kapal asing tadi mengalami keadaan memaksa (force
majeure) atau mengalami kesulitan ataupun kegiatan berhenti
dan membuang jangkar itu perlu dilakukan dengan maksud
untuk memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau
pesawat udara yang berada dalam bahaya atau kesulitan.
Hukum Laut Indonesia
Kapal asing yang sedang melintasi wilayah perairan Indonesia
tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap kedamaian atau
ketenteraman, ketertiban umum dan keamanan di wilayah RI.
Kapal asing juga tidak boleh melakukan kegiatankegiatan yang dilarang oleh KHL 1982 (Pasal 19 juncto Pasal
52), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1996 yang menetapkan kurang lebih 12 kegiatan yang tidak
boleh dilakukan oleh kapal asing selama melewati laut
territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Pemerintah
Republik Indonesia telah menindaklanjuti ketentuan Pasal 19
(lintas damai di laut teritorial), Pasal 38 (lintas transit di Selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional), Pasal 45
(lintas damai di Selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional), Pasal 52 (lintas damai di perairan kepulauan)
dan Pasal 53 (lintas alur laut kepulauan) di dalam sebuah
Rancangan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan pada
tahun 1998, tetapi berlakunya pada tahun 2002 berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2002, yang mengatur mengenai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta adanya 19 persyaratan yang harus dipenuhi
kapal asing yang melewati Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI).
Akan tetapi sebelum dibentangkan ke-19 persyaratan
berdasarkan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996, perlu dijelaskan
apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak lintas transit (the
93
94
Hukum Laut Indonesia
right of transit passage) berdasarkan ketentuan Pasal 38 KHL
1982 dan apa yang dimaksud dengan hak lintas alur-alur laut
kepulauan
(the
right
of
archipelagic
sealanes
passage)
berdasarkan ketentuan Pasal 53 KHL 1982. Hak lintas transit
berlaku di Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used for International Navigation), yaitu
bagian laut yang terletak di antara dan menghubungkan satu
bagian dari ZEE atau laut lepas dengan bagian lain dari ZEE
atau laut lepas.
Selat tersebut merupakan bagian dari laut teritorial
yang dimiliki bukan oleh satu negara saja, melainkan oleh
beberapa negara. Pada selat seperti itu segala jenis kapal dan
pesawat udara asing diperkenankan untuk melaksanakan hak
lintas transit. Hak lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan bab ini (bab
III mengenai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional) untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung
dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona
ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas dan zona ekonomi
eksklusif lainnya.
Namun demikian persyaratan transit secara terus
menerus, langsung dan secepat mungkin tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalui selat untuk tujuan memasuki,
meninggalkan atau kembali dari suatu negara yang berbatasan dengan selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat
masuk negara itu. Oleh karena itu setiap kegiatan yang bukan
Hukum Laut Indonesia
merupakan pelaksanaan hak lintas transit melalui suatu selat
tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini.
Demikian gambaran makro mengenai hak lintas
transit yang berlakunya di Selat yang digunakan untuk
Pelayaran Internasional. Selanjutnya mengenai hak lintas
alur-alur laut kepulauan ditentukan di dalam Pasal 53 KHL
1982. Suatu negara kepulauan dapat menentukan alur-alur
laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan
untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus
menerus, langsung dan secepat mungkin melalui atau di atas
perairan kepulauannya dan laut territorial yang berdampingan dengannya. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan di dalam alur laut dan
rute penerbangan di atasnya. Hak Lintas alur laut kepulauan
(the right of archipelagic sealanes passage) berarti pelaksanaan
hak
pelayaran
dan
penerbangan
sesuai
dengan
ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara yang normal
(normal mode) semata-mata untuk melakukan transit yang
terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak
terhalang antara satu bagian laut lepas atau ZEE dan bagian
laut lepas atau ZEE lainnya. Demikian ketentuan Pasal 53
KHL 1982.
Sedang Pasal 52 KHL 1982 menyatakan bahwa dengan tunduk pada ketentuan Pasal 53 dan tanpa mengurangi
arti ketentuan Pasal 50, kapal semua negara menikmati hak
95
96
Hukum Laut Indonesia
lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan
ketentuan dalam Bab II, Bagian 3.
B. Analisis Perbandingan dari Berbagai Macam Lintas Layar
Untuk dapat memahami secara baik dan benar pengertian ketiga macam lintas pelayaran di wilayah perairan
suatu negara, terutama di wilayah perairan RI, maka perlu
diadakan perbandingan di antara ketiganya yang memperlihatkan adanya persamaan-persamaan serta perbedaanperbedaan antara rezim hukum hak lintas damai di satu
pihak dengan rezim hukum hak lintas alur laut kepulauan
dan rezim hukum hak lintas transit di lain pihak.
Adapun kesamaan-kesamaannya adalah sebagai berikut. Pertama, Ketiga macam rezim lintas pelayaran menetapkan adanya kewajiban bagi setiap kapal asing dalam segala
jenisnya untuk mematuhi peraturan-peraturan hukum nasional dari negara pantai, dalam hal ini peraturan hukum Indonesia serta peraturan hukum internasional yang dapat diberlakukan di dalam wilayah perairannya, termasuk peraturan
hukum keselamatan pelayaran seperti SOLAS Convention dan
COLREG Regulation.
Kewajiban seperti ini akan menjadi jelas apabila kita
membahas kesembilan belas persyaratan yang harus dipenuhi
oleh kapal dan pesawat udara asing yang melintasi wilayah
perairan Republik Indonesia sebagaimana diatur di dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 5 Desember
Tahun 1998 yang mulai berlaku tanggal 5 Juni 1999. Itu
Hukum Laut Indonesia
persamaan pertama. Kedua, ketiga macam rezim lintas
pelayaran juga menetapkan adanya kewajiban bagi
kapal
asing dalam semua jenisnya untuk melakukan navigasi
secara terus menerus dan cepat (continuous and expeditious).
Akan tetapi kewajiban seperti ini tidak berarti bahwa kapal
asing yang melewati wilayah perairan Indonesia samasekali
tidak boleh berhenti atau membuang jangkar.
Kapal asing boleh saja berhenti dan membuang
jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi
yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau
mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan
kepada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam
bahaya atau mengalami kesulitan. Walaupun pada dasarnya
kapal asing tidak diperkenankan untuk berhenti dan membuang jangkar, namun dalam keadaan-keadaan tertentu
kapal tersebut boleh saja melakukannya asal saja dilakukan
dalam keadaan terpaksa, seperti kapal tersebut mengalami
kesulitan teknis berupa gangguan pada mesin kapal, atau
kapal harus berhenti dan membuang jangkar karena kapal
tersebut harus memberikan bantuan kemanusiaan kepada
orang, kapal, pesawat udara yang sedang mengalami musibah
di tengah-tengah laut dalam wilayah perairan Indonesia.
Ketiga, Ketiga macam rezim lintas pelayaran itu menetapkan adanya kewajiban bagi kapal asing dalam segala jenisnya yang melewati atau melintasi wilayah perairan Indonesia
untuk menggunakan atau mengikuti alur-alur laut yang telah
97
98
Hukum Laut Indonesia
ditetapkan maupun jalur pemisah lalu lintas yang telah
ditentukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Terdapat tiga
macam alur-alur laut kepulauan (ALKI) yang telah dipersiapkan sejak tahun 1995 melalui rapat kerja nasional yang dihadiri oleh wakil departemen-departemen dan lembaga-lembaga
terkait yang menghasilkan konsep ALKI Utara-Selatan yang
pada dasarnya sama dengan konsep ALKI yang dihasilkan
melalui Forum Strategi Angkatan Laut tahun 1991.
Ketiga konsep ALKI Utara-Selatan yang telah ditetapkan adalah 1) ALKI I yang mempunyai dua cabang di Utara,
dimulai dari Laut Cina Selatan atau Laut Natuna, lalu ke
Selat Karimata, lalu ke Laut Jawa, ke Selat Sunda, lalu
menuju ke Samudera Hindia. 2) ALKI II dimulai dari Laut
Sulawesi, lalu ke Selat Makassar, lalu ke Selat Lombok, lalu
menuju ke Samudera Hindia. 3) ALKI III yang mempunyai 3
jalur atau cabang di Selatan. Dengan begitu ada ALKI III A,
ada ALKI III B dan ada ALKI III C. dimulai dari Samudera
Pasifik, lalu ke Laut Maluku, lalu ke Laut Seram, lalu ke Laut
Banda, lalu ke Selat Ombai, lalu menuju ke Laut Sawu (ALKI
III A), atau menuju Laut Timor (ALKI III B),atau menuju Laut
Arafura (ALKI III C).
Ketiga konsep ALKI yang dihasilkan tadi dan juga
tentunya apa yang disebut Skema Pemisah Lalu Lintas (Traffic
Separation Scheme)
kemudian diserahkan dan diajukan
kepada Organisasi Maritime Internasional untuk mendapatkan persetujuannya. Setelah IMO melalui Komite Keselamatan
Hukum Laut Indonesia
Maritim (Maritime Safety Committee) melakukan persidangan
sebanyak 3 kali (MSC – 67 IMO tanggal 2-6 Desember 1996;
MSC – 43 IMO tanggal 14-18 Juli 1997; MSC - 69 IMO tanggal
11-20 Mei 1998), maka pada tanggal 19 Mei 1998 Konsep
ALKI yang telah diajukan oleh Pemerintah RI telah diadopsi
oleh MSC – 69 IMO.
Masing-Masing ALKI mempunyai pintu masuk (entry
point) di sebelah Utara di luar laut teritorial Indonesia dan
juga mempunyai pintu keluar (exit point) di sebelah Selatan di
luar laut territorial Indonesia, demikian pula sebaliknya
masing-masing ALKI mempunyai pintu masuk di sebelah
Selatan dan pintu keluar di sebelah Utara, di mana keberadaan pintu masuk dan pintu keluar sangat ditentukan oleh
keberadaan dari suatu kapal asing yang akan melintasi
wilayah perairan Republik Indonesia. Sesuai ketentuan yang
ada setiap ALKI harus dibuat melalui pendekatan garis
sumbu (axis lines approach) yang memberikan gambaran
mengenai adanya garis-garis sumbu atau maya yang sifatnya
sambung me-nyambung tanpa terputus-putus yang dimulai
dari Utara sampai ke Selatan atau sebaliknya dari Selatan
hingga ke Utara dengan melintasi laut territorial dan perairan
kepulauan Indonesia.
Melalui pendekatan garis sumbu tersebut ALKI dapat
diasumsikan sebagai sebuah lorong atau koridor kendati
sesungguhnya
tidak
demikian
yang
secara
imaginative
seakan-akan lebarnya maksimal 25 mil laut yang dapat digu-
99
100
Hukum Laut Indonesia
nakan dan diikuti oleh kapal asing ketika melintasi wilayah
perairan Indonesia di mana kapal asing tidak boleh menyimpang melebihi batas 25 mil laut baik pada sisi kiri maupun
sisi kanan dari jalur lintasannya serta kapal tersebut tidak
boleh mendekati pantai dari pulau-pulau yang terdekat
dengan alur-alur laut atau jalur lintasannya.
Keempat, Indonesia sebagai negara pantai dan negara
kepulauan mempunyai kewajiban untuk tidak menghalanghalangi lintas pelayaran yang dilakukan kapal asing karena
pada azasnya ketiga macam lintas pelayaran merupakan hak
untuk melakukan navigasi secara terus menerus dan cepat
dan tidak terhalang kecuali aparat hukum dan keamanan
mempunyai alasan kuat untuk menghalang-halanginya seperti melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum
yang berlaku di dalam wilayah perairan Republik Indonesia
seperti pencurian ikan, penyelundupan, pencemaran lingkungan laut, pelanggaran aturan keselamatan pelayaran dan
lain-lainnya.
Di samping itu negara Republik Indonesia berkewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan pada waktunya
mengenai adanya bahaya-bahaya yang terdapat di dalam
wilayahnya. Kewajiban-kewajiban seperti itu sebagaimana terdapat dalam KHL 1982 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 sesungguhnya merupakan penegasan kembali dari kaidah hukum kebiasaan internasional
yang telah mendapat pengukuhan dari Mahkamah Inter-
Hukum Laut Indonesia
nasional berdasarkan keputusannya terkait kasus Selat Corfu (the Corfu Channel Case) antara Inggeris dan Albania pada
tahun 1949 (L.C. Green, 1978:228-237).
Demikian persamaan-persamaan di antara ketiga
macam lintas pelayaran. Sedangkan perbedaan-perbedaannya
dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, rezim hukum
lintas damai (innocent passage) menetapkan adanya kewajiban bagi kapal selam (submarine) untuk muncul di atas permukaan air laut serta menunjukkan bendera kebangsaannya
pada waktu melintasi wilayah perairan Indonesia. Kewajiban
bagi kapal selam untuk muncul di atas permukaan air laut
dan memperlihatkan bendera negaranya tidak berlaku bagi
kapal selam yang melintasi wilayah perairan Indonesia berdasarkan rezim hak lintas transit ataupun hak lintas aluralur kepulauan sehingga kapal selam tetap dapat menyelam
sebagaimana lazimnya (in normal mode) sesuai dengan
karakteristik dari kapal selam maupun kendaraan bawah air
lainnya (underwater vehicle).
Kedua, Hak lintas damai hanya dapat dinikmati oleh
kapal asing dalam segala jenisnya sebab rezim hukum lintas
damai hanya berlaku di dalam wilayah perairan, termasuk di
wilayah perairan Republik Indonesia. Pesawat udara asing
yang melakukan penerbangan melalui rute-rute udara di atas
wilayah perairan Indonesia dapat melakukannya berdasarkan
persetujuan atau perizinan dari otoritas yang berwenang dan
tidak berdasarkan hak lintas damai sebab hak ini hanya
101
102
Hukum Laut Indonesia
berlaku bagi kapal asing dan tidak bagi pesawat udara asing.
Sebaliknya hak lintas transit dan hak lintas alur laut kepulauan selain dapat dinikmati oleh kapal asing dalam segala
jenisnya, juga dapat dinikmati oleh pesawat udara asing di
mana pesawat ini dapat menerbangi rute-rute udara yang
berada di atas alur laut kepulauan Indonesia.
Pesawat udara termasuk pesawat militer yang berada
di atas sebuah kapal induk yang sedang melintasi wilayah
perairan di dalam alur laut kepulauan Indonesia dapat
melakukan penerbangan secara bebas tanpa meminta persetujuan atau izin dari Pemerintah RI ditinjau dari segi penafsiran teoretis atas rezim lintas transit ataupun rezim lintas
alur laut kepulauan berdasarkan KHL 1982. Hal ini berarti
bahwa apa yang ditentukan di dalam KHL 1982 dan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 mengenai
wilayah perairan Indonesia, yakni adanya kebebasan melakukan pelayaran dan penerbangan di Alur Laut Kepulauan
Indonesia sudah tidak sejalan dengan ketentuan Konvensi
Chicago 1944 yang telah menjadi hukum positif Indonesia
yang pada prinsipnya menekankan bahwa penerbangan
pesawat udara asing melalui ruang udara termasuk yang
berada di atas ALKI hanya dapat dilakukan berdasarkan
persetujuan atau izin dari Republik Indonesia sebagai negara
kolong.
Namun demikian kedua ketentuan tersebut tidak
perlu dipertentangkan sebab keduanya dapat berjalan berda-
Hukum Laut Indonesia
sarkan azas yang di dalam Ilmu Hukum disebut azas lex
specialis derogat legi generali, yang berarti hukum khusus
(KHL !982 atau Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1996) mengesampingkan hukum umum (Konvensi
Chicago) ataupun berdasarkan azas lex posterior derogat legi
priori, yang berarti hukum yang dibuat kemudian dapat
mengesampingkan hukum yang dibuat sebelumnya.
Namun demikian pengaturan KHL 1982 dan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 dalam
kaitan dengan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal asing
khususnya kapal perang serta pesawat udara asing telah
diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Tahun Nomor 37 Tahun 2002 mengenai Alur-Alur
Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang memuat 19 persyaratan melalui ALKI. Salah satu persyaratan yang disebutkan
di dalam PP tersebut menyatakan bahwa kapal perang asing
dan pesawat terbang militer asing dilarang melakukan latihan
perang-perangan.
Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang
merupakan unit-unit kapal perang asing, juga kapal yang
menggunakan tenaga nuklir diharapkan untuk melakukan
pemberitahuan kepada Pemerintah RI dalam hal ini Panglima
TNI terlebih dahulu. Perlunya ada pemberitahuan terlebih dahulu oleh kapal-kapal seperti itu mempunyai tujuan untuk
menjamin kepentingan keselamatan pelayaran serta untuk
103
104
Hukum Laut Indonesia
mengambil tindakan permulaan yang diperbolehkan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan.
Akhirnya perbedaan ketiga, rezim hukum lintas damai
memperkenankan negara Republik Indonesia untuk melakukan penangguhan terhadap pelayaran kapal asing di wilayah
perairannya, sementara rezim hukum lintas transit dan lintas
alur laut kepulauan tidak memperkenankan Indonesia untuk
melakukan tindakan penangguhan seperti itu. Kalau dalam
konteks hak lintas damai penangguhan itu perlu dilakukan,
maka harus diperhatikan syarat-syarat berikut ini.
Pertama, tindakan penangguhan itu hanya dapat dilakukan pada bagian-bagian tertentu dari wilayah perairan
Republik Indonesia. Kedua, tindakan penangguhan itu hanya
dapat dilakukan untuk sementara waktu. Ketiga, tindakan
tersebut dilakukan di samping untuk membuktikan kedaulatan Indonesia di wilayah perairannya, juga untuk menjamin
keselamatan pelayaran bagi kapal asing. Keempat, tindakan
tersebut
hanya
dapat
berlaku
efektif
setelah
diadakan
pengumuman yang sewajarnya. Dalam pengertian praktis
tindakan
penangguhan
(suspension)
tersebut
dilakukan
dengan menutup untuk sementara waktu bagian-bagian laut
yang biasa digunakan oleh kapal asing dalam segala jenisnya.
Pemerintah RI tidak sekedar menutup bagian-bagian
laut tertentu saja sebab kalau ini yang terjadi berarti
Pemerintah menghambat dan menghalangi hak kapal asing
untuk melintasi wilayah perairan, padahal ini samasekali
Hukum Laut Indonesia
dilarang
terkecuali
kapal
asing
melakukan
pelanggaran
hukum. Dengan demikian Pemerintah atau otoritas terkait
mempunyai kewajiban untuk menyediakan bagian-bagian laut
lainnya sebagai alternative yang dapat digunakan sehingga
kapal asing tetap dapat menikmati haknya dalam melintasi
wilayah perairan Indonesia dengan mengikuti alur laut
kepulauan yang telah ditentukan.
Selanjutnya dalam memahami secara baik dan benar
soal implementasi atau penerapan atas ketiga macam lintas
pelayaran yang memiliki persamaan-persamaan (di samping
perbedaan-perbedaannya)
sehingga
sering
tidak
dapat
dipisahkan satu sama lain di dalam wilayah perairan
Indonesia,
maka
perlu
sekali
dipaparkan
apa
yang
105
106
Hukum Laut Indonesia
sebelumnya pernah disinggung mengenai adanya sembilan
belas persyaratan yang harus ditaati oleh kapal dan pesawat
udara
asing
kepulauan
yang
melaksanakan
Indonesia
(Penyuluhan
hak
lintas
Hukum
alur
ALKI,
laut
Dinas
Pembinaan Hukum TN I AL, MABES TNI AL Cilangkap,
1998:2-3) :
1. Kapal-kapal yang berada di ALKI tidak akan mengganggu
kedaulatan (souvereignty), keutuhan teritorial (territorial
integrity) atau kemerdekaan (independence) dan persatuan nasional Indonesia (national union of Indonesia).
Kapal-kapal yang dimaksud tentu semua jenis kapal
(kapal dagang, kapal perang, kapal berbendera Republik
Indonesia ataupun kapal asing dan lain-lain) tidak akan
melaksanakan setiap kegiatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum internasional sebagaimana ditetapkan di dalam Piagam PBB.
2. Pesawat terbang (tentu saja yang dimaksud disini pesawat terbang dalam segala jenisnya baik itu pesawat sipil
maupun pesawat militer) dalam melaksanakan hak
lintas alur laut kepulauan tidak diperbolehkan untuk
melakukan penerbangan di luar alur-alur laut (di atas
atau dengan pengecualian Rezim Organisasi Penerbangan Sipil Internasional/Regime ICAO) dan pesawat
terbang tersebut tidak akan terbang terlalu dekat dengan
pulau-pulau atau daratan di dalam wilayah teritorial
Indonesia, termasuk daerah di dalam ALKI. Penerbangan
Hukum Laut Indonesia
disertai dengan maneuver pesawat militer AS yang terjadi beberapa tahun lalu di ruang udara diatas Pulau
Bawean (Propinsi Jawa Timur) di samping melakukan
penerbangan tanpa persetujuan dari dan tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah RI, juga melakukan penerbangan di luar alur-alur laut kepulauan serta mendekati
pantai pulau Bawean dalam wilayah kedaulatan sehingga mengancam dan membahayakan kedaulatan serta
keutuhan territorial NKRI.
3. Pesawat terbang sipil asing yang melalui ALKI harus
mengikuti aturan-aturan penerbangan sipil internasional
sebagaimana ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization) seperti misalnya The Chicago Convention tahun
1944.
4. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing
ketika sedang melewati alur-alur laut, tidak diperbolehkan melakukan latihan perang-perangan. Larangan
seperti ini tentu terkait masalah pertahanan dan keamanan negara, masalah kedaulatan serta keutuhan teritorial NKRI. Dengan demikan insiden udara di atas Pulau
Bawean
oleh
pesawat
militer AS
yang
melakukan
maneuver tanpa persetujuan dari Panglima TNI (seakanakan mengadakan latihan perang-perangan) yang terjadi
beberapa tahun sebelumnya sesungguhnya merupakan
pelanggaran atas kedaulatan dan keutuhan territorial
107
108
Hukum Laut Indonesia
NKRI sekalipun pihak AS merasa tidak terikat terhadap
KHL 1982 karena negeri Paman Sam ini belum meratifikasinya hingga saat ini. Namun alasan ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan dilihat dari sudut Piagam PBB
yang mewajibkan AS untuk menghormati kedaulatan
dan keutuhan territorial setiap negara berdaulat, apalagi
AS berstatus sebagai anggota tetap dari Dewan Keamanan yang mempunyai tanggungjawab utama dalam memelihara perdamaian serta keamanan internasional.
5. Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang
merupakan satuan-satuan atau unit-unit kapal perang
asing, di samping kapal-kapal yang menggunakan tenaga
nuklir, yang sedang melewati alur laut, diharapkan
untuk memberitahukan kepada Pemerintah Republik
Indonesia (yaitu Panglima Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia atau Panglima TNI) terlebih dahulu demi
untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan untuk
mengambil tindakan permulaan yang diperlukan jika
terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan. Kata “diharapkan” tentu saja berbeda dengan kata “diwajibkan
atau diharuskan” sehingga kapal perang asing, pesawat
terbang asing dan kapal yang bertenaga nuklir sebenarnya harus melakukan pemberitahuan kepada Panglima TNI sebelum melintasi wilayah perairan Indonesia.
Pemerintah RI dalam hal ini Panglima TNI hanya
mengharapkan agar kapal-kapal yang disebutkan di atas
Hukum Laut Indonesia
sebelum melewati ALKI sebaiknya terlebih dahulu menyampaikan notifikasi dengan tujuan untuk menjamin
keselamatan pelayaran serta untuk mengambil tindakan
permulaan yang memang diperlukan apabila terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan navigasi yang dilakukan oleh kapal-kapal tersebut.
6. Kapal-kapal yang membawa bahan nuklir diharuskan
memiliki peralatan perlindungan keamanan dan diharuskan untuk tetap melakukan kontak dan hubungan yang
terus menerus dengan pihak TNI Angkatan Laut sesuai
dengan
Konvensi
Perlindungan
Fisik
Bahan-Bahan
Nuklir. Pengertian kapal-kapal tentu saja mencakup
segala jenis kapal, entah kapal dagang, kapal penelitian,
kapal ikan, kapal perang dan bermacam-macam kapal
lainnya, juga entah kapal itu kapal berbendera Indonesia
ataupun kapal berbendera asing atau kapal asing kalau
membawa dan mengangkut bahan-bahan nuklir dengan
melintasi wilayah perairan Indonesia dibebani dengan
kewajiban untuk membawa alat perlindungan keama
nan serta kewajiban untuk melakukan hubungan secara
terus menerus dengan pihak TNI Angkatan Laut dalam
rangka menjamin keselamatan pelayaran.
7. Pesawat terbang militer asing yang terbang di atas ALKI
harus memperhatikan keselamatan penerbangan sipil
serta tetap berhubungan dengan ATC (Air Traffic Control)
yang berwenang dan juga pesawat tersebut harus me-
109
110
Hukum Laut Indonesia
mantau frekuensi darurat. Penerbangan pesawat militer
AS di wilayah udara di atas Pulau Bawean (Propinsi
Jawa Timur) yang terjadi beberapa tahun lalu selain
merupakan pelanggaran kedaulatan serta mengancam
dan membahayakan keutuhan territorial Indonesia, juga
sangat membahayakan keselamatan penerbangan sipil
sebab masuk ke wilayah RI tanpa meminta izin ataupun
tanpa menyampaikan pemberitahuan kepada otoritas
terkait, apalagi pesawat-pesawat yang tidak diundang ini
ternyata melakukan manuver-manuver yang membahayakan keselamatan penerbangan baik terhadap pesawat
sipil maupun pesawat TNI Angkatan Udara yang ditugaskan untuk melakukan tindakan pencegatan atau
intersepsi (interception) terhadap pesawat AS yang sudah
jelas melakukan tindakan provokasi.
8. Kapal-kapal asing atau pesawat terbang yang sedang
transit sebaiknya bergerak secara hati-hati di ALKI yang
penuh dengan kegiatan ekonomi (baik kegiatan di bidang
perikanan maupun pertambangan). Untuk itu kapal atau
pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya memper
hatikan aturan-aturan yang menetapkan batas daerah
pelayaran (restricted zone) dengan radius sejauh1.250
meter dari batas terluar daerah aman (prohibited zone)
instalasi minyak dan gas, dan dilarang memasuki batas
daerah aman (prohibited zone) yang radiusnya 500 meter
sekitar instalasi minyak dan gas dan selalu memper-
Hukum Laut Indonesia
hatikan serta berhati-hati terhadap saluran pipa dan
kabel laut. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1973 mengenai Landas Kontinen Indonesia yang masih berlaku hingga sekarang, setiap
instalasi atau bangunan khususnya instalasi pertambangan minyak dan gas bumi yang didirikan di Landas
Kontinen harus memiliki apa yang disebut daerah terlarang (prohibited area) dan daerah terbatas (restricted
area). Daerah terlarang lebarnya tidak boleh melebihi
500 meter yang dihitung dari setiap titik terluar pada
instalasi, kapal-kapal dan atau alat-alat lainnya yang
terdapat di Landas Kontinen dan atau di atasnya,
sedangkan daerah terbatas lebarnya tidak boleh melebihi
1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah
terlarang itu, di mana kapal-kapal pihak ketiga dilarang
membuang atau membongkar jangkar. Kapal-kapal harus berlayar secara terus menerus dalam radius antara
500 meter dengan 1.250 meter di sekeliling instalasi,
kapal maupun alat-alat lainnya. Kapal asing dan pesawat terbang asing tidak boleh memasuki daerah terlarang atau daerah aman yang radiusnya maksimal 500
meter terhitung dari titik-titik terluar dari instalasi
dengan segala perlengkapannya sebab daerah aman ini
ditetapkan sebagai daerah pabean di mana berlaku
semua peraturan hukum Republik Indonesia. Kapal
asing dan pesawat terbang asing hanya bisa melintasi
111
112
Hukum Laut Indonesia
daerah terbatas dengan radius 1.250 meter terhitung
dari
titik-titik
terluar
dari
instalasi
serta
segala
perlengkapannya.
9. Kapal-kapal
peralatan
dilarang
ikan
asing
penangkapan
melaksanakan
harus
ikan
tetap
sewaktu
kegiatan
menyimpan
transit,
dan
penangkapan
ikan
ketika melakukan transit di wilayah perairan Indonesia.
10. Kapal-kapal yang melintas transit di perairan alur-alur
laut
harus
berhati-hati
dan
harus
menggunakan
peraturan system keselamatan navigasi internasional
serta dapat menunjukkan kemampuannya sebagaimana yang dimiliki oleh kapal setempat maupun nelayan dan pelaut setempat.
11. Setiap kapal yang melintasi wilayah perairan Indonesia
dilarang membuang benda-benda sisa beracun atau
benda
berbahaya
termasuk
sampah
di
perairan
Indonesia. Wilayah perairan Republik Indonesia tidak
boleh dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah
baik limbah yang mengandung racun atau zat-zat
berbahaya lainnya karena Pemerintah dapat menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur
masalah lingkungan hidup (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 mengenai Lingkungan
Hidup) yang di dalamnya memuat soal sanksi pidana
dan perdata dalam bentuk tuntutan gantirugi terhadap
mereka yang terlibat dalam tindakan pencemaran mau-
Hukum Laut Indonesia
pun perusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan
laut serta sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.
12. Dengan berpedoman pada berbagai peraturan perundangan soal lingkungan hidup, maka setiap kapal dilarang untuk melakukan pembersihan tangki-tangki kapal atau mengotori wilayah perairan Indonesia ketika
melintasi wilayah perairan Republik Indonesia.
Sebagaimana diketahui terdapat berbagai macam
sumber yang menyebabkan terjadinya pencemaran laut. Ada
yang berasal dari sumber di laut itu sendiri dan ada yang
berasal dari daratan. Pencemaran yang berasal dari sumber di
laut itu sendiri dapat meliputi sumber pencemaran yang
berasal dari kapal dan ada yang berasal dari instalasi minyak.
Sumber pencemaran yang berasal dari kapal bisa mencakup
berbagai factor, seperti kecelakaan kapal (kapal pecah, kapal
kandas, tubrukan kapal), kebocoran kapal, pembuangan
minyak serta air tangki (pembersihan air tangki) (Komar
Kantaatmadja, 1981:15.).
13. Kapal yang sedang melintas tidak diperkenankan untuk
berhenti atau membuang jangkar, juga tidak diizinkan
untuk bergerak dengan formasi zig-zag berbolak balik
kecuali bila menghadapi situasi darurat atau situasi
sulit sebagaimana telah dibahas di atas, termasuk
dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada ora-
113
114
Hukum Laut Indonesia
ng, kapal atau pesawat udara yang sedang terkatungkatung di tengah laut.
14. Kapal yang sedang melintas transit di wilayah perairan
Indonesia tidak diizinkan untuk menurunkan personel
ataupun material-material ataupun melakukan pemindahan (transfer) personel ataupun material dari dan
kepada kapal lain atau melayani berbagai kegiatan
yang bertentangan dengan peraturan-peraturan keimigrasian, bea cukai, dan perekonoman ataupun kondisi
kesehatan di wilayah Indonesia.
Selama melintasi wilayah perairan Indonesia kapal
dalam segala jenisnya tidak boleh melakukan tindakantindakan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan Republik Indonesia dalam bidang-bidang bea cukai,
fiscal, keimigrasian dan kesehatan. Pelanggaran terhadapnya
akan memberikan hak kepada otoritas terkait untuk menangkap, menahan kapal yang bersangkutan; aparat hukum dapat
naik ke atas kapal, melakukan pemeriksaaan di atas kapal,
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap personelpersonel
yang
diduga
tersebut,
melakukan
tersangkut
penuntutan
dengan
di
depan
pelanggaran
pengadilan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
15. Kapal dan pesawat terbang yang melintas transit tidak
diizinkan untuk memberikan bantuan dan pelayanan
pada pekerjaan survei dan riset ilmiah kelautan,
termasuk tidak boleh melakukan pengambilan contoh
Hukum Laut Indonesia
atau sampel yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan bersamaan dengan saat melintas. Kapal dan
pesawat terbang tidak seharusnya melakukan kegiatan
yang berbentuk aktivitas survei atau riset ilmiah
kelautan meliputi penelitian alur laut Indonesia dan
juga wilayah yang berada di atasnya.
16. Kapal dan pesawat terbang yang melakukan lintas
transit dilarang melakukan pemancaran siaran yang
tidak mendapat izin atau memancarkan gelombang
elektromagnetik yang dimungkinkan akan mengganggu
system telekomunikasi nasional dan dilarang mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak perorangan atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki izin
resmi di wilayah Indonesia.
17. Kapal yang melintas transit harus selalu memenuhi
dan mematuhi peraturan keselamatan navigasi internasional yang telah ditentukan, seperti Konvensi SOLAS,
Konvensi COLREG, ISPS Code.
18. Awak kapal, pemilik muatan kapal dapat dikenakan
denda baik secara individual maupun kelompok bila
menimbulkan kerusakan-kerusakan di wilayah perairan Republik Indonesia. Mereka harus memiliki polis
dengan nilai asuransi yang memadai guna membayar
(gantirugi)
atas
kerusakan
yang
ditimbulkannya,
termasuk kerusakan terhadap lingkungan laut.
115
116
Hukum Laut Indonesia
19. Untuk tujuan keselamatan navigasi dan untuk keselamatan di wilayah Indonesia, maka setiap kapal tangker
asing, kapal penjelajah yang menggunakan energi nuklir, kapal penjelajah asing yang membawa muatan yang
mengandung nuklir atau material berbahaya lain, kapal
ikan asing dan termasuk kapal perang asing yang
melintas di perairan Indonesia dari perairan ZEE atau
laut lepas atau dari perairan ZEE menuju ke perairan
laut lepas dan melintasi perairan Indonesia hanya diizinkan melintas melalui alur-alur laut yang telah ditentukan.
Semua alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan
telah diterima oleh Organisasi Maritime Internasional (The
International Maritime Organization) terbuka bagi semua kapal
baik kapal yang berbendera Indonesia maupun berbendera
asing serta kapal jenis apapun yang ingin melintasi wilayah
perairan RI secara cepat dan terus menerus berdasarkan hak
lintas alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes
passage) sebagaimana diatur dalam KHL 1982.
Kapal perang (warship), kapal yang membawa barang
berbahaya dan kapal penangkap ikan asing yang melintasi
perairan Indonesia untuk tujuan transit dari suatu bagian
ZEE Indonesia atau laut bebas menuju ke bagian lain dari
ZEE Indonesia atau laut bebas dianjurkan untuk melewati
ALKI, apakah ALKI I, ALKI II ataukah ALKI III. Selanjutnya
Hukum Laut Indonesia
perlu mendapat perhatian bahwa kegiatan pelayaran kapal
asing melalui wilayah perairan Republik Indonesia lainnya
yang berada di luar ALKI tetap diperkenankan, dengan tetap
tunduk kepada atau mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai (The Right of Innocent Passage) sebagaimana diatur di dalam KHL 1982 serta peraturan perundangundangan Indonesia yang berlaku seperti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 mengenai Perairan
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2004 mengenai Perikanan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2004 mengenai Otonomi Daerah, Undang-Undang mengenai
Pelayaran, Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup,
Undang-Undang
mengenai
Kepabeanan,
Undang-Undang
Keimigrasian, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang
bidang Perekonomian, Undang-Undang Penyiaran, UndangUndang mengenai Pertahanan dan Keamanan Nasional dan
segala macam peraturan perundangan yang berlaku dalam
wilayah
Republik
Indonesia
termasuk
pula
peraturan
perundangan yang menyangkut keselamatan pelayaran (Keppres RI Nomor 203 Tahun 1966 yang meratifikasi Konvensi
SOLAS serta Keppres RI Nomor 107 Tahun 1968 yang
meratifikasi Konvensi COLREG atau International Regulation
for the Prevention of Collisions at Sea atau Pengaturan Internasional mengenai pencegahan tubru-kan di laut) (Mochtar
Kusumaatmadja, 1978:217)
dengan catatan bahwa kedua
117
118
Hukum Laut Indonesia
konvensi
internasional
ini
telah
berkali-kali
mengalami
perubahan dan perbaikan disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat internasional guna menjamin dan meningkatkan
perlindungan keselamatan pelayaran.
C. Pengaturan Hukum Mengenai Keselamatan Pelayaran
Di manapun kapal berada atau berlayar, entah di wilayah perairan nasional dari negara asal kapal itu ataukah di
wilayah perairan negara lain ataukah di perairan internasional, senantiasa harus mentaati peraturan-peraturan keselamatan pelayaran sebagaimana diatur di dalam berbagai
perjanjian atau konvensi internasional. Peraturan-peraturan
keselamatan pelayaran (safety of navigation) memiliki berbagai
macam aspek, seperti aspek kelayakan kapal untuk berlayar
di laut (seaworthiness of ship), pencegahan tubrukan dan
trayek kapal (the prevention of collision and the ship routeing),
standar penempatan awak kapal (crewing standard) dan
penetapan alat bantu
navigasi (navigational aids) (R.R.
Churchill and A.V. Lowe, 1983:185).
Berbagai perjanjian internasional yang mengatur soal
keselamatan pelayaran dapat dikemukakan seperti Konvensi
Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, Konvensi Hukum Laut
1982, Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut 1974,
Konvensi mengenai Pencegahan Tubrukan di Laut 1976,
Konvensi mengenai Garis Batas Muatan Kapal 1966 dan
berbagai konvensi internasional lainnya yang telah diadopsi
oleh Organisasi Maritim Internasional yang mengatur soal
Hukum Laut Indonesia
kelayakan kapal dan yang paling mutakhir adalah Peraturan
Internasional mengenai Standar Keamanan Kapal maupun
Pelabuhan dengan segala fasilitasnya (The International Ship
and Port Facility Security Code atau disingkat dengan ISPS
Code 2004).
Aspek kelayakan kapal untuk dapat berlayar di tengah-tengah laut adalah salah satu aspek penting yang harus
diperhatikan dan dipatuhi oleh negara bendera (Flag State),
yaitu negara yang benderanya dipergunakan oleh kapal yang
bersangkutan. Selanjutnya salah satu faktor yang terkait
dengan masalah kelayakan kapal (seaworthiness of ship)
adalah faktor nasionalitas atau kebangsaan kapal (nationality
of ship), sebab hal ini sangat penting untuk menjaga dan
memelihara ketertiban di laut. Nasionalitas kapal bisa menunjukkan hak-hak apa yang dapat dinikmati oleh sebuah kapal
maupun kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada kapal
itu (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:179-180).
Nasionalitas kapal juga menunjukkan negara mana
yang menjadi negara bendera (Flag State), yaitu negara yang
dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukum atas
kapal tersebut. Dengan demikian Nasionalitas kapal menunjukkan pula negara mana yang harus bertanggungjawab
menurut hukum internasional atas kapal yang bersangkutan
apabila timbul kasus di mana kapal itu melakukan tindakan
atau kelalaian yang dapat dihubungkan dengan negara
tersebut sehingga dengan begitu nasionalitas kapal juga
119
120
Hukum Laut Indonesia
menunjukkan pengertian negara mana yang mempunyai hak
dan kewajiban untuk menjalankan perlindungan diplomatic
atas nama kapal tersebut. Bagaimana pengaturan hukum
mengenai nasionalitas kapal?
Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas dalam
Pasal 5 menyatakan bahwa setiap negara dapat menetapkan
persyaratan-persyaratan dalam memberikan nasionalitas kepada kapal, syarat-syarat registrasi kapal yang dilakukan di
dalam wilayahnya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh kapal itu dalam mendapatkan hak untuk mengibarkan
bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi ketentuan pasal itu membatasi hak dan kewenangan negara tersebut sebab di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa harus
terdapat hubungan asli (genuine link) antara negara dengan
kapal, terutama negara itu harus dapat menjalankan yurisdiksi dan pengawasannya secara efektif dalam masalah administratif, teknik dan sosial terhadap kapal yang mengibarkan
benderanya.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hubungan
asli (genuine link) atau ukuran-ukuran apa yang dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan asli antara
suatu negara dengan kapal, samasekali tidak dijelaskan
dalam Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas sehingga
dengan demikian adalah tidak jelas apa akibatnya atau
konsekuensinya bilamana antara suatu kapal dengan negara
yang nasionalitasnya dibawa oleh kapal tersebut tidak ada
Hukum Laut Indonesia
suatu hubungan asli (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:
181-183).
Itulah sebabnya mengapa dalam praktik negara-negara persyaratan mengenai hubungan asli tidak menimbulkan
kewajiban hukum dan tidak mengikat negara-negara sehingga
tidak sedikit negara-negara yang tidak mematuhi ketentuan
soal hubungan asli (genuine link) atau dengan kata lain
ketentuan ini menjadi huruf mati dalam praktek negaranegara. Walaupun sejumlah negara seperti Inggeris, AS, Norwegia dan Perancis mensyaratkan di dalam hukum nasionalnya adanya hubungan asli antara negara dengan kapal
dengan menyatakan bahwa para pemilik kapal dan atau awak
kapal baik keseluruhan maupun sebagian harus memiliki
nasionalitas dari negara yang bersangkutan, namun ternyata
negara-negara lain (terutama negara-negara miskin dari
kawasan Afrika dan Karibia) tidak menetapkan persyaratan
seperti itu di dalam hukum nasionalnya karena tidak satupun
dari kelompok terakhir ini yang menjadi peserta pada Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas.
Kelompok negara-negara yang tidak mensyaratkan
adanya hubungan asli antara negara dengan kapal umumnya
dikenal dengan istilah negara-negara “Flag of Convenience
States” atau “Open Registry States”. Hal ini disebabkan karena
negara-negara tersebut mengizinkan pemilik kapal asing
untuk mendaftarkan kapalnya di dalam wilayah negaranegara tersebut dan mengizinkan pemilik kapal untuk mem-
121
122
Hukum Laut Indonesia
pergunakan benderanya walaupun antara pemilik kapal
dengan salah satu dari kelompok negara-negara tersebut
tidak terdapat hubungan asli atau tidak memperlihatkan
adanya suatu hubungan yang bersifat substansial.
Di lain sisi banyak pemilik kapal yang berasal dari
negara-negara maju seperti AS, Yunani, Jepang dan Hong
Kong merasa tertarik untuk meregistrasi kapalnya di negaranegara yang dinamakan Flag of Convenience atau Open
Registry States karena selain alasan tidak disyaratkannya
mengenai hubungan asli atau tidak diperlukan adanya
hubungan asli, juga disebabkan negara-negara itu menetapkan biaya dan pajak yang sangat rendah bagi pemilik kapal
apabila mendaftarkan kapalnya di negara-negara tersebut,
persyaratan penempatan awak kapal yang cukup meringankan bagi pemilik kapal serta gaji yang sangat rendah sehingga
dengan demikian biaya operasional yang dikeluarkan oleh
pemilik kapal dapat ditekan sekecil mungkin dan pada
akhirnya dapat memberikan keuntungan signifikan bagi
pemilik kapal.
Negara-negara
seperti
Liberia,
Somalia,
Siprus,
Panama dan lain-lainnya dapat dikualifikasi ke dalam kelompok negara-negara yang disebut “Flag of Convenience atau
Open Registry States” karena peraturan-peraturan hukumnya
tidak mensyaratkan adanya hubungan asli antara pemilik
kapal atau operator kapal dengan negara yang bersangkutan
dan juga peraturan hukum negara-negara itu dianggap lunak
Hukum Laut Indonesia
dalam menetapkan syarat-syarat penempatan awak kapal, di
samping keringanan persyaratan registrasinya. Negara-negara
tersebut juga sering dituding selama tenggang waktu yang
lama tidak mau dan tidak sanggup melaksanakan yurisdiksinya secara efektif atas kapal-kapal yang mengibarkan benderanya ketika tersangkut dalam masalah pencemaran maupun keselamatan pelayaran.
Meskipun syarat adanya hubungan asli sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 hanya membawa
pengaruh sangat kecil untuk tidak mengatakan ketentuan itu
samasekali tidak berpengaruh atas praktek negara-negara
sejak berlakunya Konvensi Geneva1958 mengenai Laut Bebas,
namun syarat itu ternyata ditegaskan kembali melalui Pasal
91 KHL 1982. Akan tetapi syarat hubungan asli yang terdapat
di dalam Pasal 91 KHL 1982 tidak lagi dikaitkan dengan
pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif atas
suatu kapal dan di sinilah terletak perbedaan antara pasal 91
KHL 1982 dengan Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 yang menyatukan atau mengkaitkan secara langsung persyaratan hubungan asli dengan pelaksanaan yurisdiksi negara bendera
secara efektif.
Pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif
tidak diatur dalam Pasal 91 KHL 1982, tetapi diatur dalam
suatu pasal tersendiri, yakni dalam Pasal 94 sehingga hal ini
membawa pengaruh yang cukup besar terhadap praktek negara-negara yang mengecam negara-negara yang disebut Flag
123
124
Hukum Laut Indonesia
of Convenience atau Open Registry States. Dalam konteks ini
dapat dikemukakan bahwa pada bulan Juni 1981 Komite
Perkapalan dari UNCTAD (UNCTAD Committee on Shipping)
menerima sebuah Resolusi yang merekomendasikan agar
rezim hukum open registry secara bertahap dan progressif
diubah menjadi rezim hukum pendaftaran biasa (normal
registry).
Perubahan ini dapat dilakukan dengan cara memperketat syarat-syarat registrasi kapal di mana negara yang
biasanya menganut system pendaftaran terbuka harus dapat
menguasai (retain) kapal yang terdaftar di negara tersebut dan
dengan demikian negara tersebut harus dapat mengidentifikasi siapa yang menjadi pemilik kapal maupun operator
kapal dan negara tersebut dapat menekan pemilik ataupun
operator kapal agar bertanggungjawab atas semua operasi
dan kegiatan perkapalan, termasuk dalam memelihara standar penempatan awak kapal maupun standar kesejahteraannya.
Di samping rekomendasi seperti itu, Komite Perkapalan dari UNCTAD juga merekomendasikan agar disusun atau
dirumuskan sekumpulan prinsip-prinsip dasar mengenai
syarat-syarat registrasi kapal di suatu negara dan selanjutnya
diselenggarakan suatu konferensi internasional dengan tujuan menciptakan sebuah perjanjian internasional yang
mengatur prinsip-prinsip dasar terkait syarat-syarat registrasi
kapal. Prinsip-prinsip dasar tersebut seharusnya mengatur
Hukum Laut Indonesia
masalah penempatan personel di atas kapal (the manning of
ships), peranan negara bendera dalam mengelola perusahaan
pemilik kapal (shipowning company) maupun dalam hal
pengelolaan kapal, partisipasi yang sewajarnya dalam hal
permodalan serta peranannya dalam mengidentifikasi para
pemilik maupun operator kapal.
Selama ini kita hanya berbicara tentang hak negara
untuk memberikan nasionalitas dan benderanya kepada
kapal sehingga kapal dapat berlayar dengan mempergunakan
bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi apakah
kapal dapat berlayar dengan bendera dari suatu organisasi
internasional? Dalam mempersiapkan rancangan pasal-pasal
Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas, Komisi Hukum
Internasional menolak gagasan untuk memasukkan suatu
ketentuan yang mengakui hak PBB dan kemungkinan juga
organisasi internasional lainnya untuk mengizinkan suatu
kapal semata-mata mempergunakan bendera dari organisasi
internasional itu.
Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang
berlaku di atas suatu kapal adalah sistem hukum dari negara
bendera dan dengan demikian bendera PBB tidak dapat
dipersamakan dengan bendera dari suatu negara. Kendati
Komisi Hukum Internasional melakukan pendekatan negatif,
namun Pasal 7 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut
Bebas yang merupakan kesepakatan dari negara-negara
peserta konferensi menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
125
126
Hukum Laut Indonesia
konvensi tidak mempengaruhi atau mengurangi persoalan
kapal yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas resmi
dari suatu organisasi internasional dengan mengibarkan
bendera organisasi itu.
Ketentuan Pasal 7 itu sesungguhnya tidak jelas sehingga dapat menimbulkan permasalahan. Pasal 93 KHL
1982 sangat mirip dengan Pasal 7 Konvensi Geneva 1958
mengenai Laut Bebas, tetapi KHL 1982 terutama ketentuan
pasal 93 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah
hanya pada PBB, badan-badan khusus dari PBB dan Organisasi Tenaga Atom Internasional. Sulit dipahami mengapa
Pasal 93 KHL 1982 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah atau organisasi internasional hanya pada PBB,
badan-badan khusus PBB serta IAEA (International Atomic
Energy
Agency),
padahal
dewasa
ini
ternyata
sudah
bermunculan berbagai organisasi internasional lain yang
sangat maju seperti misalnya Uni Eropa yang sebentar lagi
akan memiliki sebuah konstitusi yang mengikat semua negara
anggotanya sehingga dapat menimbulkan masalah hukum
sebab bendera organisasi itu dapat dikibarkan oleh kapalkapal, apalagi organisasi tersebut dapat menjadi peserta pada
KHL 1982.
Pada akhirnya harus dicatat bahwa kapal yang mengibarkan dua bendera atau lebih dianggap tidak memiliki
nasionalitas. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6 Konvensi
Geneva 1958 mengenai Laut Bebas dan Pasal 92 KHL 1982.
Hukum Laut Indonesia
Perumusan ketentuan baik di dalam Konvensi Geneva 1958
maupun KHL 1982 dengan cara seperti itu agaknya berlebihan sehingga menurut hemat kami sebaiknya disederhanakan
saja dengan menyatakan bahwa setiap kapal yang memiliki
dan mengibarkan lebih dari satu macam bendera harus
disamakan dengan tidak memiliki bendera. Dengan demikian
kalau kapal itu dianggap tidak memiliki bendera, kapal
tersebut tidak mempunyai nasionalitas apapun.
Konsekuensinya adalah di samping tidak memiliki hak
navigasi atau hak berlayar di berbagai jalur laut dari negara
pantai dan juga di laut bebas atau perairan internasional,
kapal yang bersangkutan juga tidak mempunyai hak untuk
mendapatkan perlindungan diplomatik dari negara manapun.
Tidak ada satu negarapun yang dapat dituntut pertanggungjawabannya dalam kaitan dengan kapal yang memiliki lebih
dari satu macam bendera. Hanya kapal yang memiliki dan
mengibarkan satu bendera dan tidak lebih dari satu bendera
saja yang diakui memiliki nasionalitas dari negara bendera
sehingga dengan demikian kapal tersebut dapat menikmati
hak-hak berlayar, hak atas perlindungan diplomatik dari
negara bendera yang memiliki yurisdiksi dan tanggungjawab
terkait dengan kapal tersebut.
Kapal asing mempunyai hak navigasi di dalam pelbagai jalur laut dari negara Republik Indonesia dan juga di
perairan internasional, sebagaimana halnya kapal Indonesia
atau yang berbendera Indonesia memiliki hak navigasi di
127
128
Hukum Laut Indonesia
wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas.
Di perairan pedalaman seperti perairan teluk, sungai dan
pelabuhan Indonesia, kapal asing biasanya tidak menikmati
hak navigasi kecuali ada perjanjian seperti misalnya perjanjian persahabatan, perjanjian perdagangan dan perjanjian
dalam bidang pelayaran yang memungkinkan adanya hak
akses
ke
perairan
pedalaman
terutama
hak
akses
ke
pelabuhan Republik Indonesia.
Selanjutnya di perairan kepulauan dan laut teritorial
Indonesia, kapal asing menikmati hak navigasi dalam bentuk
hak lintas damai, hak lintas transit (khusus di Selat Malaka
sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional)
dan hak lintas alur laut kepulauan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam kaitan hak lintas damai di laut
teritorial dan perairan kepulauan, Indonesia dapat melakukan
tindakan penangguhan berdasarkan syarat-syarat tertentu
atas kapal asing yang berlayar di wilayah perairannya. Akan
tetapi kapal asing yang berlayar di Selat yang dipergunakan
untuk pelayaran internasional (Straits Used For International
Navigation) juga dalam konteks hak lintas damai (the right of
innocent passage) tidak bisa ditangguhkan, mungkin karena
pelaksanaan hak lintas damai di Selat seperti itu sama saja
dengan pelaksanaan hak lintas transit (the right of transit
passage) yang tidak mungkin bisa ditangguhkan oleh negaranegara tepi termasuk Indonesia.
Hukum Laut Indonesia
Di luar laut territorial seperti di jalur tambahan
(Contiguous Zone) Indonesia, kapal asing menikmati kebebasan navigasi dan dengan begitu negara bendera mempunyai
yurisdiksi yang bersifat eksklusif atas kapal itu. Namun
demikian kebebasan navigasi yang dinikmati kapal asing serta
yurisdiksi eksklusif dari negara bendera disertai dengan
pembatasan tertentu, di mana Indonesia mempunyai hak
untuk melakukan pengawasan yang memang dibutuhkan
untuk mencegah dan menghukum terjadinya pelanggaran
kapal asing terhadap peraturan perundang-undangan dalam
bidang-bidang bea cukai, fiskal, keimigrasian dan sanitasi
(lihat Pasal 33 KHL 1982/Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 1985).
Aparat hukum Indonesia berwenang untuk menangkap dan menahan kapal yang dicurigai dan diduga kuat
terlibat dalam pelanggaran terhadap satu atau lebih ketentuan dari peraturan perundangan yang berlaku. Aparatnya
juga berwenang untuk naik ke atas kapal untuk melakukan
pemeriksaan dan apabila terbukti terjadi pelanggaran, maka
aparat hukum dapat menahan kapal dan personel yang
terlibat, melakukan penyidikan, penuntutan dan peradilan
terhadap mereka yang tersangkut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya di perairan ZEE Indonesia atau perairan
di atas landas kontinennya kapal asing memiliki kebebasan
berlayar (freedom of navigation) karena perairan ZEE atau
129
130
Hukum Laut Indonesia
perairan di atas landas kontinen Indonesia tetap berstatus
sebagai perairan laut bebas atau perairan internasional.
Kapal asing berkewajiban untuk menghormati zonazona keselama-tan (safety zones) di sekeliling pulau buatan
atau
instalasi
yang
berdasarkan
peraturan
perundang-
undangan Indonesia diimplementasikan sebagai zona terbatas
(restricted zones) dan zona terlarang (prohibited zones) pada
setiap instalasi pertambangan (Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1973, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1983). Akan tetapi Republik
Indonesia berkewajiban untuk tidak mendirikan pulau buatan
dan instalasi yang dapat mengganggu penggunaan alur-alur
laut yang diakui esensial untuk pelayaran internasional (Pasal
5 ayat (3) dan ayat (6) Konvensi Geneva 1958 mengenai laut
territorial dan jalur tambahan, juga Pasal 60 ayat (6) dan ayat
(7) serta Pasal 80 KHL 1982).
Sebagaimana halnya di perairan ZEE atau perairan di
atas landas kontinen Indonesia yang tetap mempunyai kedudukan sebagai perairan internasional, maka kapal asing dan
kapal Indonesia juga mempunyai kebebasan untuk berlayar di
perairan laut bebas, yaitu di perairan yang berada di luar ZEE
atau di luar perairan di atas landas kontinen Indonesia, misalnya saja di Samudera Pasifik, Samudera Hindia atau laut
Cina Selatan etc. Namun kapal Indonesia ataupun kapal asing
harus memperhatikan dengan sepatutnya kepentingan negara
lain yang telah menjalankan berbagai kegiatan di perairan
Hukum Laut Indonesia
laut bebas tersebut (Pasal 2 Konvensi Geneva 1958 mengenai
laut bebas dan Pasal 87 ayat (2) KHL 1982).
Pada akhirnya di manapun kapal itu berada (kapal
asing ataupun kapal yang berbendera Indonesia), entah berada di wilayah perairan RI, entah di wilayah perairan negara
lain maupun di perairan laut bebas atau perairan internasional, mempunyai kewajiban untuk mentaati segala ketentuan yang terkait dengan masalah lingkungan laut maupun
masalah keselamatan pelayaran atau keselamatan perkapalan
(safety of shipping).
Untuk menjamin kepentingan pemilik kapal, kepentingan pelaut maupun kepentingan masyarakat pada umumnya, maka kegiatan pengangkutan atau transportasi penumpang dan barang harus dilakukan dengan cara yang sangat
aman sehingga dapat dicegah atau setidak-tidaknya dapat
diperkecil timbulnya musibah atau kecelakaan di tengahtengah laut, seperti misalnya kapal tenggelam, kapal kandas
ataupun kapal bertabrakan. Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, maka Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas
(Pasal 10) menetapkan bahwa setiap negara berkewajiban
mengambil langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjamin keselamatan kapalnya di laut.
Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh negara
bendera meliputi masalah komunikasi, pencegahan tubrukan,
persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap awak kapal,
masalah konstruksi kapal, masalah perlengkapan kapal mau-
131
132
Hukum Laut Indonesia
pun masalah kelayakan kapal secara umum untuk berlayar di
laut. Tindakan-tindakan dari negara bendera dalam hubungan dengan kapal yang menggunakan dan mengibarkan
benderanya harus sesuai dengan standar internasional yang
telah diterima secara umum.
KHL 1982 melalui Pasal 94 pada dasarnya memuat
ketentuan yang sama dengan Pasal 10 Konvensi Geneva 1958
mengenai laut bebas. Akan tetapi KHL 1982 menetapkan
secara terperinci kewajiban dari negara bendera (Flag State),
yaitu negara bendera mempunyai kewajiban untuk selalu
memeriksa secara teratur masalah kelayakan kapal, kewajiban untuk menjamin kualifikasi awak kapal sehingga setiap
personel di atas kapal benar-benar memenuhi persyaratan
sebagai awak kapal, juga kewajiban untuk mengadakan
penyelidikan terhadap korban kecelakaan kapal (shipping
casualties).
Bahwa Konvensi Geneva 1958 dan KHL 1982 menekankan adanya standar internasional yang harus diperhatikan dalam menetapkan tindakan-tindakan bagi keselamatan
kapal di laut itu tentu harus dilihat dari kebutuhan praktis
sebab walaupun setiap negara, dalam hal ini setiap negara
bendera secara teoritis memiliki kebebasan untuk membuat
dan menerapkan peraturan hukumnya sendiri misalnya
mengenai masalah kelayakan kapal dan masalah kualifikasi
awak kapal terhadap kapal yang mengibarkan benderanya
dan
juga
(secara
terbatas)
terhadap
kapal
asing
yang
Hukum Laut Indonesia
memasuki pelabuhan atau laut teritorialnya, namun dengan
aturan
yang
begitu
beranekaragam
dari
masing-masing
negara dan malahan mungkin bertentangan satu sama lain,
apabila diterapkan tentu saja dapat menimbulkan semacam
anarki atau kekacauan dalam dunia pelayaran internasional.
Dengan latar belakang seperti itulah, masyarakat internasional memerlukan dan membutuhkan adanya keseragaman standarisasi internasional dalam rangka menjamin
serta meningkatkan keselamatan perkapalan (the Safety of
Shipping). Standarisasi yang seragam ini dapat ditemukan
dalam sejumlah konvensi internasional yang pada umumnya
merupakan hasil karya dari Organisasi Maritim Internasional.
Standarisasi keselamatan perkapalan sebagaimana terdapat
di dalam berbagai perjanjian meliputi empat masalah utama,
yakni pertama, masalah kelayakan kapal (the seaworthiness of
ship); kedua, masalah pencegahan tubrukan serta trayek
kapal (the prevention of collision and the ship routeing); ketiga,
masalah standar penempatan awak kapal (the standard for
the manning of ship); keempat, masalah penetapan alat bantu
navigasi (the establishment of navigational aids).
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa bukan
hanya keempat hal tersebut yang dijadikan sebagai pilar bagi
keselamatan kapal di laut, melainkan juga negara-negara
seharusnya menerapkan standarisasi keamanan bagi kapal
yang mengibarkan benderanya maupun standarisasi keamanan bagi pelabuhan internasional sebagaimana diatur di
133
134
Hukum Laut Indonesia
dalam ISPS Code (International Ship and Port Facilities Security
Code)
yang
telah
diadopsi
oleh
Organisasi
Maritim
Internasional pada tahun 2002 dan kemudian telah berlaku
sejak tahun 2004 lalu.
Sebelum dibahas ISPS Code atau system pengamanan
kapal dan pelabuhan atau fasilitas pelabuhan internasional,
maka berikut ini dibentangkan beberapa konvensi internasional penting yang mengatur masalah kelaikan kapal
untuk berlayar di tengah-tengah laut. Pertama, apa yang
dinamakan Konvensi SOLAS tahun 1974 (the International
Convention for the Safety of Life at Sea). Konvensi ini dapat
dianggap
sebagai
konvensi
terakhir
yang
menggantikan
konvensi-konvensi SOLAS sebelumnya, di mana konvensi
SOLAS pertama
dibuat
dalam
kaitan dengan peristiwa
tenggelamnya kapal Titanic di lepas pantai Newfoundland
(AS).
Konvensi SOLAS memuat sejumlah aturan yang sifatnya kompleks dengan menetapkan standar-standar yang
berkaitan dengan konstruksi kapal, tindakan pengamanan
kapal dan segala isinya dari bahaya kebakaran (fire-safety
measures), permohonan bantuan bagi orang dan atau kapal
yang akan tenggelam (life-saving appliances), alat perlengkapan navigasi yang harus dibawa di atas kapal dan aspekaspek lain dari keselamatan navigasi, barang berbahaya yang
dapat dibawa serta aturan khusus mengenai kapal nuklir
atau kapal yang bertenaga nuklir.
Hukum Laut Indonesia
Standar-standar menyangkut berbagai aspek keselamatan navigasi yang berlaku di atas kapal itu sendiri (aspek
internal dari keselamatan navigasi) harus ditentukan oleh
setiap negara peserta Konvensi SOLAS dan berhubung karena
RI telah meratifikasi Konvensi SOLAS tahun 1960 (kini Konvensi SOLAS tahun 1974) berdasarkan Keputusan Presiden
No. 203 Tahun 1966 maka Indonesia berkewajiban untuk
menetapkan berbagai standar keselamatan navigasi yang
berlaku di atas kapal yang berbendera Indonesia.
Pelaksanaan standar keselamatan navigasi sebagaimana diatur di dalam SOLAS Convention pada prinsipnya
terletak di tangan Indonesia sebagai negara bendera (flag
state). Namun demikian ada kalanya negara pantai atau
negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang pelabuhannya didatangi atau disinggahi oleh kapal Indonesia dapat juga
melaksanakan standar keselamatan navigasi dalam pengertian negara pelabuhan dapat melakukan pengawasan sejauh
mana kapal berbendera Indonesia telah mematuhi standar
keselamatan
navigasi
yang
ditentukan
dalam
Konvensi
mengenai Keselamatan Jiwa di Laut.
Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang
memasuki pelabuhan RI, maka Indonesia sebagai negara pelabuhan melalui aparat hukumnya dapat melakukan pengawasan mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah mentaati standar keselamatan navigasi sebagaimana ditetapkan di
dalam SOLAS Convention. Sebagai Negara pelabuhan, Indo-
135
136
Hukum Laut Indonesia
nesia mempunyai hak untuk memeriksa apakah kapal asing
yang berada di salah satu pelabuhan Indonesia membawa
sertifikat atau dokumen sah mengenai hal-hal yang disyaratkan atau diwajibkan oleh Konvensi.
Apabila ada alasan yang sangat meyakinkan di mana
kondisi kapal maupun alat perlengkapannya sesungguhnya
tidak sesuai dengan hal-hal yang ditentukan dalam setiap
sertifikat atau dokumen tadi, atau di mana sebuah sertifikat
atau dokumen telah kadaluarsa, atau di mana kapal atau alat
perlengkapannya tidak memenuhi ketentuan Regulation 11
(Bab I) dari Konvensi SOLAS tahun 1974 (kondisi kapal maupun alat perlengkapannya harus dalam kondisi terawat dan
terpelihara setelah survei dilakukan) dan dengan demikian
apabila kondisi kapal serta alat perlengkapannya ternyata
tidak terpelihara sebagaimana mestinya, padahal sebenarnya
telah disurvei sebelumnya, maka pihak berwenang dari Indonesia selaku negara pelabuhan dapat mengambil langkahlangkah atau tindakan-tindakan dengan melarang kapal
tersebut berlayar, melarang kapal tersebut meninggalkan
pelabuhan serta memerintahkan kapal itu untuk masuk ke
dalam
galangan
kapal
untuk
mendapatkan
perawatan
sebagaimana mestinya.
Selanjutnya pada tahun 1978 Organisasi Maritim Internasional mengesahkan sebuah Protokol Konvensi SOLAS
yang menyangkut keselamatan kapal tangker serta pencegahan polusi. Protokol yang mulai berlaku sejak tahun 1981
Hukum Laut Indonesia
mewajibkan semua kapal yang melampaui ukuran tertentu
untuk mempergunakan apa yang disebut inert gas sistem
atau sistem gas yang sifatnya lembam, juga adanya kewajiban
kapal untuk mempergunakan radar tambahan maupun alat
kemudi darurat.
Melalui protokol tersebut dilakukan perbaikan prosedur pemeriksaan kapal serta sertifikasi kapal. Selain daripada
Konvensi SOLAS, maka terdapat lagi beberapa konvensi IMO
lainnya yang berkaitan dengan masalah kelayakan kapal.
Misalnya saja ada Konvensi Internasional mengenai Garis
Batas Muatan (the International Convention on the Load Lines)
tahun 1966 yang mengatur mengenai larangan untuk membawa muatan secara berlebihan. Kapal tidak boleh membawa
muatan berlebihan melampaui kapasitas dan daya muat
maksimalnya sebab hal ini sering menyebabkan timbulnya
kecelakaan kapal. Kapal hanya diperkenankan membawa
muatan sesuai dengan kapasitas dan daya muat maksimal
kapal itu.
Pelaksanaan Konvensi
tersebut (Convention on the
Load Lines tahun 1966) sebagaimana Konvensi SOLAS tetap
berada di tangan Negara Bendera, akan tetapi negara pelabuhan juga kadang-kadang dapat melaksanakannya dengan
mengawasi sejauh mana kapal asing yang memasuki pelabuhannya telah mematuhi kewajiban untuk membawa muatan
tanpa melebihi kapasitas maksimal kapal tersebut. Sebagai
negara pelabuhan Indonesia dapat melakukan pengawasan
137
138
Hukum Laut Indonesia
atas kapal asing yang masuk dan singgah di salah satu
pelabuhan dalam wilayah perairan Indonesia untuk memeriksa apakah kapal asing tersebut tidak membawa muatan
yang berlebih-lebihan.
Sebuah kapal membawa muatan berlebihan dapat
diketahui dari bagian luar kapal itu di mana tanda garis yang
terdapat di sekeliling lambung dan badan kapal sudah tidak
kelihatan dan sudah berada di bawah permukaan air, setidaktidaknya garis dengan warna tertentu yang mengelilingi
bagian luar dari badan kapal telah sejajar dengan permukaan
laut. Kalau hal seperti ini terjadi, maka otoritas terkait dapat
menahan dan memeriksa kapal yang bersangkutan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ada juga perjanjian
tentang kapal penumpang khusus pada tahun 1971 (The 1971
Agreement on Special Trade Passanger Ships) bersama-sama
dengan Protokolnya tahun 1973, mengatur tentang keselamatan kapal yang mengangkut penumpang serta tempat tidur
dalam jumlah besar, seperti bisnis pariwisata, sementara ada
juga perjanjian internasional mengenai keselamatan kapal
ikan pada tahun 1977 (The 1977 International Convention for
the Safety of Fishing Vessels) yang menetapkan peraturanperaturan mengenai konstruksi dan perlengkapan kapal ikan.
Sebagai tambahan atau di samping konvensi-konvensi
tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional mengadopsi
pula sejumlah rekomendasi berupa aturan-aturan praktis
yang berkaitan dengan kelayakan kapal, misalnya saja apa
Hukum Laut Indonesia
yang disebut Codes for the Construction and Equipment of
Ships Carrying Dangerous Chemicals in Bulk (aturan-aturan
tentang konstruksi dan perlengkapan kapal pengangkut bahan kimia dalam jumlah besar tahun 1971) maupun Codes for
the Construction and Equipment of Ships carrying Liquefied
Gases in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan perlengkapan kapal pengangkut gas cair dalam jumlah besar) tahun
1975.
Aturan-aturan ini umumnya disahkan dalam bentuk
resolusi yang berisi rekomendasi dari Majelis IMO sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun
demikian aturan-aturan ini telah diterima secara luas dan
beberapa negara telah menuangkan dan memasukkan aturan-aturan itu ke dalam peraturan perundang-undangan
nasionalnya, misalnya sudah cukup banyak negara yang telah
menerapkan apa yang disebut the Bulk Chemicals Code di
dalam peraturan perundangan nasionalnya.
Selain masalah kelayakan kapal untuk berlayar di
laut, maka jaminan keselamatan pelayaran juga ditentukan
oleh masalah pencegahan tubrukan dan penetapan rute atau
trayek
kapal
(Collision
avoidance
and
ships’
routeing).
Sebagaimana halnya dengan konvensi-konvensi SOLAS, maka
ada berbagai regulasi untuk mencegah tubrukan di laut.
Peraturan-peraturan yang dilampirkan pada the International
Regulations for Preventing Collisions at Sea tahun 1972 pada
prinsipnya bersangkut paut dengan perilaku atau tindakan
139
140
Hukum Laut Indonesia
serta pergerakan suatu kapal dalam hubungan dengan kapalkapal lainnya, terutama ketika kemampuan kapal untuk memandang atau melihat mengalami penurunan dalam rangka
menghindari terjadinya tubrukan dengan kapal lain.
Selain soal tindakan dan gerakan kapal dalam usaha
mencegah tubrukan, Regulasi Internasional tahun 1972 juga
menetapkan standar yang bersifat umum dalam hubungan
dengan
tanda-tanda
atau
signal-signal
baik
yang
bisa
didengar maupun dilihat (sound and light signals). Walaupun
Konvensi tahun 1972 tidak menegaskan mengenai akibatakibat hukumnya menyangkut hubungan antara pelanggaran
regulasi tersebut serta tanggungjawab perdata (civil liability)
akibat timbulnya tubrukan (pelanggaran terhadap peraturan
Konvensi 1972 tidak harus menimbulkan masalah tanggungjawab perdata, pelanggaran itu biasanya dianggap sebagai
suatu pelanggaran menurut hukum pidana dari negara
bendera yang menjadi negara peserta Konvensi.
Namun penuntutan atas pelanggaran tersebut jarang
dilakukan karena dalam banyak kasus kebijakan untuk
menuntut ataupun tidak menuntut berada di tangan nakhoda
kapal. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 39
ayat (2) KHL 1982 kapal yang menjalankan hak lintas damai
melalui laut territorial atau hak lintas transit melalui selat
yang dipergunakan untuk pelayaran internasional harus mematuhi
regulasi
tersebut
tanpa
memperhatikan
apakah
Hukum Laut Indonesia
negara bendera atau negara pantai adalah merupakan negara
peserta Konvensi tahun 1972.
Salah satu sarana penting untuk mengurangi risiko
terjadinya tubrukan antarkapal adalah dengan memanfaatkan
jalur pemisah lalu lintas (traffic separation scheme) untuk
memisahkan pelayaran kapal di bagian-bagian laut yang
padat (shipping in congested areas) menjadi jalur satu arah
semata-mata (into one-way only lanes). Contoh awal mengenai
jalur pemisah lalu lintas dapat ditemukan dalam perjanjian
soal penentuan rute yang dilakukan secara suka rela oleh
para pemilik kapal yang menjalankan kegiatan perdagangan
pada rute-rute tertentu misalnya saja di Laut Cina pada abad
ke-19. Kini IMO telah menetapkannya sebagai jalur pemisah
lalu lintas yang sudah direkomendasi sejak tahun 1967.
Pada awalnya kepatuhan atas jalur-jalur yang direkomendasi IMO bersifat suka rela; negara bendera tidak diharuskan untuk memerintahkan kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur-jalur tersebut. Namun sejak
berlakunya the Collision Regulation Convention tahun 1977
kepatuhan negara bendera tidak lagi bersifat suka rela, tetapi
sudah merupakan keharusan sehingga semua negara peserta
Konvensi tadi mempunyai kewajiban untuk memerintahkan
kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur
pemisah lalu lintas yang telah ditentukan IMO.
Dengan diintrodusirnya apa yang dinamakan jalur
pemisah lalu lintas (the Traffic Separation Scheme) adalah
141
142
Hukum Laut Indonesia
sesuatu yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan demi
untuk mengurangi jumlah tubrukan di laut pada umumnya,
misalnya saja di perairan Barat Daya Eropa di mana ada
banyak jalur pemisah lalu lintas, sehingga jumlah tubrukan
mengalami penurunan dari 156 tubrukan dalam masa atau
periode tahun 1956-1961 menjadi hanya 45 tubrukan antara
tahun 1976-1981 (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:185189).
Walaupun IMO diakui sebagai satu-satunya badan
internasional
yang
berwenang
untuk
menentukan
jalur
pemisah lalu lintas (Traffic Separation Scheme atau disingkat
TSS), negara pantai juga memiliki beberapa kewenangan
dalam bidang ini. Pasal 21 KHL 1982 pada dasarnya
mempunyai pendekatan yang sama seperti Pasal 17 Konvensi
Geneva 1958 tentang laut territorial yang menyatakan bahwa
di laut teritorialnya negara pantai dapat memberlakukan dan
menerapkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan
navigasi kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai,
tetapi dalam KHL 1982 ditambahkan bahwa negara pantai
yang menentukan TSS di laut teritorial harus memperhitungkan atau memperhatikan setiap rekomendasi IMO serta
faktor-faktor lainnya, seperti karakter khusus dari kapalkapal tertentu maupun kepadatan lalu lintas di laut (Pasal 22
KHL 1982).
IMO sendiri menyarankan negara pantai yang mau
menetapkan system penentuan rute atau trayek (routeing
Hukum Laut Indonesia
systems) di laut teritorial agar supaya menetapkan atau
mendesain sistem trayek tersebut sesuai dengan criteria IMO
menyangkut TSS serta menyerahkannya kepada IMO untuk
mendapat pengesahan. Negara pantai dapat menjalankan
tindakan penegakan hukum (enforcement jurisdiction) terhadap kapal asing yang melanggar TSS yang telah ditentukan
(Pasal 27 KHL 1982).
Dalam praktiknya tindakan penegakan hukum biasanya terbatas pada tindakan aparat yang meminta agar kapal
tersebut kembali mematuhi TSS. Namun kalau pelanggaran
TSS oleh kapal asing itu cukup serius, maka aparat hukum
negara pantai dapat melaporkannya kepada otoritas negara
bendera. Bilamana kapal yang melakukan pelanggaran itu
memasuki salah satu pelabuhan negara pantai, kapal tersebut dapat dituntut. Di Selat yang tunduk pada rezim hukum
lintas transit atau dinamakan Selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional, kewenangan negara pantai lebih
terbatas karena walaupun negara pantai masih dapat menentukan TSS, namun TSS yang diusulkan kepada IMO harus
sesuai dengan peraturan internasional yang telah diterima
secara luas (must conform to generally accepted international
regulations) serta harus diserahkan kepada IMO dengan
maksud untuk memperoleh pengesahan sebelum TSS tersebut ditetapkan oleh negara pantai (Pasal 41 KHL 1982).
Sejauh mana negara pantai dapat melakukan tindakan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran TSS oleh
143
144
Hukum Laut Indonesia
kapal asing di Selat yang dikategorikan sebagai Selat yang
digunakan
untuk
pelayaran
internasional
adalah
suatu
masalah yang bersifat kontroversial.
Tampaknya management lalu lintas laut (marine traffic
management) pada masa mendatang akan melampaui pengelolaan TSS itu sendiri sehingga lebih bersifat komprehensif,
meskipun pengelolaan lalu lintas laut tidak mungkin mencapai tingkat presisi atau kecanggihan (precision or sophistication) management seperti yang dimiliki oleh air traffic
control. Dalam kaitan ini IMO telah melakukan berbagai
tindakan: misalnya saja baik di Selat Baltik maupun Selat
Malaka IMO merekomendasi langkah-langkah dalam hubungan dengan management lalu lintas laut seperti membatasi
kecepatan kapal atau kapal diharuskan untuk membatasi
kecepatannya
ketika
memasuki
wilayah
perairan
suatu
negara pantai, kapal diwajibkan untuk melaporkan posisinya
serta diwajibkan untuk menggunakan kapal pandu (the use of
pilots).
IMO juga mewajibkan kapal asing untuk melaporkan
posisinya kepada otoritas terkait dari negara pantai yang bersangkutan apabila kapal mengalami kesulitan yang mungkin
dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Mengenai standar penempatan awak kapal (Crewing standards) dapat
dikemukakan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya
musibah perkapalan (shipping accidents) terletak pada awak
kapal yang tidak terlatih atau tidak memenuhi kualifikasi
Hukum Laut Indonesia
yang baik sehingga untuk mengurangi timbulnya kecelakaan
di laut kualitas dari awak kapal harus dibenahi.
Konvensi SOLAS tahun 1974 menegaskan bahwa
semua kapal harus memiliki awak kapal yang dapat bekerja
secara memadai dan efisien (sufficiently and efficiently,
sedangkan menurut ILO Convention No. 147 tahun 1976
menyangkut Standar Minimum di Kapal Dagang, setiap
negara peserta harus menjamin bahwa para pelaut yang
bekerja di kapal yang terdaftar di wilayahnya seharusnya
memenuhi
kualifikasi
dan
seharusnya
terlatih
untuk
melaksanakan kewajiban-kewajibannya (Pasal 2 e). Demikian
pula ketentuan Pasal 94 ayat (4) KHL 1982 menentukan bahwa negara bendera harus menjamin agar setiap kapal yang
mengibarkan benderanya harus dijalankan oleh seorang
nakoda (master) serta para petugas dengan kualifikasi yang
tepat, dan agar awak kapalnya sudah tepat atau layak dalam
hal kualifikasi serta jumlahnya sesuai dengan tipe kapal,
ukuran, mesin serta perlengkapan kapal tersebut.
The International Convention on Standards of Training,
Certification and Watchkeeping for Seafarers (The STCW
Convention yang diadopsi oleh IMO tahun 1978 memberi
ketentuan yang lebih tegas dibandingkan dengan Konvensi
SOLAS dan Konvensi ILO karena The STCW Convention
mewajibkan adanya persyaratan minimum bagi sertifikasi
nahkoda kapal dan petugas-petugas lainnya serta menentukan prinsip-prinsip dasar keeping navigational and enginee-
145
146
Hukum Laut Indonesia
ring watches. Penerapan atau pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi STCW terutama berada di tangan negara
bendera (the Flag State), meskipun negara pelabuhan (the Port
State) mempunyai wewenang pengawasan dalam bidang-bidang tertentu guna memeriksa kalau para pelaut yang berdasarkan konvensi itu harus disertifikasi benar-benar sudah
disertifikasi (Pasal X) dan bahwa standar awak kapal harus
dibenahi secara signifikan sehingga dapat mengurangi jumlah
musibah perkapalan (shipping accidents).
Persyaratan-persyaratan kerja bagi awak kapal diatur
di dalam sejumlah besar konvensi-konvensi ILO yang menyempurnakan the International Seafarers Code. Di antara
konvensi-konvensi ini maka yang paling penting adalah
Convention concerning Wages, Hours of Work on Board Ship
and Manning (No. 109 (1958) yang merupakan revisi atas
konvensi-konvensi yang lebih awal), Convention concerning
Crew Accomodation on Board Ship (No. 92 (1949), yang
diperlengkapi dengan konvensi No.133 (1970), dan Convention
concerning Continuity of Employment of Seafarers (No.145
(1976).
ILO juga mengadopsi sejumlah rekomendasi tidak
mengikat tentang syarat-syarat kerja bagi pelaut, yakni the
Social Conditions and Safety (Seafarers) recommendation, 1958
(No.108). Di samping itu Konvensi ILO No.147 yang disebut di
atas mensyaratkan negara-negara pesertanya menetapkan
bagi kapal-kapalnya dan memaksakan (enforce) standar
Hukum Laut Indonesia
keselamatan secara efektif, aturan jaminan sosial (social
security measures) serta persyaratan-persyaratan kerja di atas
kapal yang sama (equivalent) dengan ketentuan-ketentuan
berbagai konvensi ILO yang disebut dalam lampiran konvensi.
Menyangkut penetapan alat bantu navigasi (navigateonal aids) seperti mercu suar (lighthouses), kapal suar (lightships), alat pelampung (buoys) dan radar beacons, semuanya
ini sangat penting bagi keselamatan pelayaran (the safety of
shipping). Konvensi SOLAS mengharuskan negara-negara
peserta untuk mengatur penetapan atau pengadaan (establishment) dan pemeliharaan (maintenance) sarana bantu
navigasi, yang mencakup radio beacons dan alat Bantu
elektronik apabila menurut pendapatnya dibenarkan dari segi
volume lalu lintas kapal serta diharuskan dari segi tingkatan
risiko, dan mengharuskan negara-negara peserta untuk mengatur informasi yang berkaitan dengan alat Bantu navigasi
yang diperlukan.
Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan Konvensi
Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan
maupun KHL 1982, setiap negara pantai wajib mengumumkan dengan sepatutnya setiap bahaya navigasi yang diketahui
berada di dalam laut teritorialnya. Biaya pemasangan serta
pemeliharaan alat bantu navigasi (navigational aids) biasanya
hanya ditanggung oleh negara pantai dan negara ini tidak
berhak meminta sumbangan atau kontribusi dari kapal-kapal
yang berlayar melalui laut teritorialnya. Akan tetapi ada satu
147
148
Hukum Laut Indonesia
atau dua contoh di mana negara-negara mengadakan kesepakatan untuk membagi biaya-biaya navigational aids, perjanjian internasional pada tahun 1962 mengenai the maintenance
of certain lights di Laut Merah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 KHL 1982 negaranegara yang berada di tepian selat yang tunduk pada lintas
transit (transit passage) dan negara-negara pengguna selat
harus bekerjasama dalam pengadaan sarana bantu navigasi
serta alat bantu keselamatan lainnya yang diperlukan di selat
tersebut, meskipun samasekali tidak dinyatakan mengenai
bagaimana biaya-biaya tersebut harus ditanggung. Mengenai
pembagian biaya pengadaan dan pemeliharaan alat bantu
navigasi umumnya dialokasikan berdasarkan pengaturanpengaturan setempat.
D. Ketentuan Pengamanan Kapal dan Pelabuhan
Ketentuan-ketentuan ISPS Code sudah diadopsi oleh
Organisasi Maritim Internasional pada tanggal 12 Desember
2002 dan telah diratifikasi oleh sebagian besar negara-negara
anggotanya, termasuk di dalamnya Republik Indonesia serta
diharapkan ketentuan-ketentuan dari ISPS ini dapat segera
diimplementasikan oleh masing-masing negara. Sesuai dengan ketentuan ISPS, maka paling lambat atau batas akhir
untuk memberlakukan secara efektif ketentuan-ketentuan
ISPS ini adalah pada tanggal 1 Juli 2004 dengan persyaratan
bahwa tidak ada keberatan yang diajukan dari sebagian besar
Hukum Laut Indonesia
anggotanya sampai dengan permulaan Januari 2004 (Wikipedia, the Free Encyclopedia, www.google.com.)
Selanjutnya dalam ketentuan-ketentuan ISPS ini terdapat prinsip-prinsip pokok yang dapat dikemukakan sebagai
berikut. Materi ISPS Code merupakan penyempurnaan dan
amandemen ketentuan-ketentuan internasional mengenai keselamatan jiwa di laut yang selama ini dikenal dengan
sebutan The Convention for the Safety of Life at Sea
1974
(SOLAS Convention 1974/1988) tentang pengaturan keamanan minimum bagi kapal, pelabuhan serta badan-badan
pemerintah (government agencies).
Dengan tanggungjawab bagi pemerintah, perusahaan
perkapalan
(shipping
company),
(shipboard
personnel)
maupun
personel
personel
di
atas
kapal
pelabuhan
dan
fasilitasnya (port/facility personnel untuk mendeteksi ancaman keamanan serta mengambil tindakan-tindakan atau
langkah-langkah preventif (preventive measures) dalam menghadapi insiden keamanan yang dapat menggangu kapal atau
fasilitas-fasilitas pelabuhan yang digunakan dalam pelayaran
internasional.
Isi daripada ISPS Code adalah terdiri dari sejarahnya,
ruang lingkupnya, persyaratan-persyaratannya serta implementasi
ketentuan-ketentuan
ISPS
Code
dalam
hukum
nasional (national implementation). Ketentuan-ketentuannya
telah digunakan oleh negara-negara sebagai pedoman bagi
kapal dagang dan kapal penumpang di seluruh dunia. ISPS
149
150
Hukum Laut Indonesia
Code diciptakan oleh masyarakat internasional untuk menghadapi meningkatnya berbagai ancaman atas keamanan yang
dewasa ini dapat terjadi kapan saja serta di mana saja, terutama ancaman terhadap keselamatan kapal-kapal dan fasilitas pelabuhan di seluruh dunia, di mana hal ini dipicu oleh
tragedi yang terjadi di AS pada tanggal 11 September 2001
(9/11 atau peristiwa nine eleventh).
Dengan kata lain, perkembangan dan implementasinya semakin dipercepat guna menjawab tragedi yang terjadi
pada tanggal 11 September 2001 serta pemboman kapal
tanker Perancis yang bernama Limburg. Namun sebelum
kejadian tragis ini terjadi, maka ISPS Code ini dibentuk atau
dirumuskan sebagai response dari masyarakat internasional
terhadap peristiwa pembajakan kapal pesiar Italia (the Italian
Cruise Ship) yang bernama Achille Lauro pada tanggal 7
Oktober 1985 dan mengakibatkan terbunuhnya para sandera
orang Yahudi Amerika.
The US Coast Guard sebagai badan utama di dalam
Delegasi AS pada IMO mendesak negara-negara ter perlunya
diambil langkah-langkah pengamanan. ISPS Code diisepakati
pada pertemuan yang diadakan oleh 108 negara-negara yang
menandatangani Konvensi SOLAS di London pada bulan
Desember 2002. Langkah-langkah atau aturan-aturan yang
telah disepakati berdasarkan ISPS Code tersebut telah
diberlakukan pada 1 Juli 2004.
Hukum Laut Indonesia
Selanjutnya mengenai ruang lingkupnya (Scope) dapat
dikemukakan bahwa ISPS Code adalah sebuah dokumen yang
terdiri dari dua
bagian yang menyatukan persyaratan-
persyaratan minimum bagi keamanan kapal serta pelabuhan.
Bagian A dari Code itu mengatur persyaratan-persyaratan
yang harus dipenuhi atau diwajibkan (mandatory requirements), sementara Bagian B mengatur petunjuk atau pedoman (guidance) yang dapat dipergunakan dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan ISPS Code.
ISPS Code adalah upaya untuk menciptakan suatu
perlindungan keamanan yang lebih pasti dan sistematis bagi
kapal barang atau kapal kargo serta kapal penumpang
dengan kecepatan tinggi yang melayani jalur pelayaran
internasional (ships on international voyages) yang berukuran
500
gross
ton
atau
di
atasnya.
(Wikipedia,
The
Free
Encyclopedia, www.google.com). Di samping kapal-kapal seperti itu, maka upaya perlindungan keamanan sebagai kerangka dari ISPS Code juga ditujukan bagi unit instalasi
pengeboran yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan serta
fasilitas pelabuhan yang melayani kapal-kapal on international
voyages).
Adapun tujuan utama dari ISPS Code adalah: 1) mendeteksi ancaman keamanan serta menerapkan langkahlangkah keamanan. 2) menetapkan peran serta tanggungjawab menyangkut keamanan maritim bagi pemerintah,
pemerintah setempat (local administration), perusahaan indus-
151
152
Hukum Laut Indonesia
tri perkapalan dan pelabuhan baik pada tingkat nasional
maupun internasional. 3) memeriksa dan mengumumkan informasi yang terkait dengan keamanan (to collate and
promulgate security related information) 4) menentukan metode
penilaian keamanan (security assessments) agar supaya dapat
ditetapkan rencana serta prosedur dalam melakukan reaksi
atas berubahnya level-level keamanan.
Selanjutnya tentang persyaratan-persyaratan (requirements) yang terdapat dalam ISPS Code, maka Code ini tidak
mengatur secara terperinci langkah-langkah spesifik yang
harus diambil oleh masing-masing pelabuhan maupun kapal
guna menjamin keselamatan dari fasilitas-fasilitas tersebut
dalam melawan atau menghadapi terorisme karena fasilitasfasilitas seperti itu mempunyai banyak tipe dan ukuran yang
beraneka ragam. Sebagai gantinya maka ISPS Code menetapkan secara garis besar suatu kerangka standar dalam mengevaluasi adanya risiko yang memungkinkan pemerintah
untuk mengatasi perubahan ancaman keamanan disertai
berubahnya kerawanan bagi kapal maupun fasilitas-fasilitas
pelabuhan.
Adapun standar persyaratan yang harus dipenuhi
oleh setiap kapal terdiri dari rencana pengamanan kapal
(ships security plans), petugas keamanan kapal (ship security
officers), petugas keamanan perusahaan (company security
officers) serta alat perlengkapan tertentu yang harus ada di
atas kapal (certain onboard equipments). Demikian mengenai
Hukum Laut Indonesia
persyaratan-persyaratan standar keamanan menyangkut kapal yang melakukan pelayaran internasional. Sedangkan
mengenai fasilitas pelabuhan (port facilities), maka persyaratan-persyaratan standarnya mencakup rencana pengamanan
fasilitas pelabuhan (port facility security plans), petugas
keamanan fasilitas pelabuhan (port facility security officers),
alat perlengkapan keamanan yang sudah ditentukan (certain
security equipment).
Di samping itu, masih ada lagi persyaratan-persyaratan yang berlaku atau harus dipenuhi baik oleh kapal maupun pelabuhan, yaitu 1) memantau serta mengawasi akses
atau
jalan
masuk
menuju
pelabuhan
(monitoring
and
controlling access); 2) memantau kegiatan orang serta kargo
(monitoring the activities of people and cargo); 3) jaminan yang
memadai dalam hal komunikasi keamanan (ensuring security
communications are readily available).
Dengan demikian kapal-kapal yang melayani trayek
pelayaran internasional itu harus merencanakan dan melengkapi pengamanan dirinya secara maksimal baik berupa petugas keamanan serta alat perlengkapannya sehingga mampu
menangkal semua ancaman dan serangan teroris. Dalam hal
ini kapal harus memiliki serta membawa system peralatan
pemberitahuan dini, mempersiapkan jaringan komunikasi
yang handal, peralatan deteksi terhadap adanya ancaman
serangan teroris maupun ancaman lainnya. ISPS Code juga
memberikan keleluasaan dan kebebasan yang lebih besar
153
154
Hukum Laut Indonesia
kepada
kapal-kapal
seperti
itu
untuk
mempertahankan
dirinya dalam menghadapi ancaman ataupun serangan fisik
yang dilakukan oleh sekelompok penjahat selama pelayaran.
Oleh karena itu kapal-kapal tersebut mempunyai kewenangan untuk mempergunakan segala macam cara untuk
melawan serangan, termasuk melakukan pergerakan kapal
dan menggunakan peralatan pengamanan yang ada di atas
kapal secara maksimal. Kajian IMO menyebutkan bahwa ada
beberapa faktor yang mendorong meningkatnya aksi kejahatan terhadap kapal dagang dan kapal penumpang dalam
beberapa tahun terakhir ini.
Faktor-faktor itu antara lain adalah kapal yang digunakan para pelaku kejahatan di laut semakin lama semakin
tinggi kecepatannya sehingga mereka dengan mudah dapat
melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal dagang dan
penumpang maupun target sejenisnya. Selanjutnya factor lain
yang menyebabkan terjadinya peningkatan aksi kejahatan
adalah terbatasnya kemampuan kapal komersial untuk mempertahankan diri sehingga senantiasa tidak berdaya dalam
menghadapi serangan para pelaku kejahatan, terutama para
perampok atau bajak laut atau pelaku terorisme lainnya. Para
pelaku kejahatan selalu memiliki dan membawa persenjataan
lengkap sehingga dapat dengan mudah melumpuhkan para
awak kapal.
Terdapat beberapa kasus mengenai terjadinya serangan atas kapal dagang dan kapal penumpang, bahkan atas
Hukum Laut Indonesia
kapal perang di berbagai perairan internasional yang menunjukkan peningkatan intensitas dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu kasus atau insiden yang pernah terjadi adalah
peristiwa pembajakan terhadap kapal dagang M.S. Columbia
Eagle yang terjadi di perairan Thailand pada tahun 1970
(Gatot Widakdo, 2004:24).
Di samping itu terjadinya serangan terorisme terhadap
USS Cole (kapal perang AS) di perairan pelabuhan negara
Aden. Serangan serupa tidak hanya diarahkan terhadap kepentingan AS, tetapi juga terhadap kapal-kapal dari negara
lain. Terjadinya pembajakan kapal penumpang Achille Lauro
di luar garis pantai Mesir pada tahun 1985. Pembajakan
kapal penumpang MS Trabzonn di perairan Turki oleh suatu
kelompok teroris yang memberi dukungan terhadap gerakan
separatis Rusia. Gambaran secara keseluruhan mengenai aksi
kejahatan yang dilakukan terhadap kapal-kapal dagang di
seluruh dunia menunjukkan tren yang meningkat dari tahun
ke tahun.
Pada tahun 2001 dari kasus-kasus yang dilaporkan
kepada IMO tercatat 16 kali pembajakan kapal dan 3 kapal
dinyatakan hilang. Sementara banyak pihak mengakui bahwa
kasus-kasus yang tidak dilaporkan kepada IMO jauh lebih
banyak. Hal ini disebabkan karena kasus yang terjadi di
perairan negara-negara tertentu yang dilaporkan pihak kapal
tidak mendapatkan tanggapan yang semestinya dari otoritas
negara setempat. Kemudian penyampaian laporan biasanya
155
156
Hukum Laut Indonesia
sangat terlambat untuk segera ditangani oleh instansi yang
berwenang.
Mengenai soal implementasi atau penerapan ketentuan-ketentuan ISPS Code di dalam hukum nasional suatu
negara (national implementation), antara lain dapat dikemukakan bahwa Amerika Serilkat telah mengeluarkan sebuah peraturan guna mengundangkan ketentuan-ketentuan the Maritime Transportation Security Act tahun 2002 serta menggabungkan atau menyatukan peraturan domestik dengan standar
keamanan maritim yang terdapat dalam SOLAS Convention
serta ISPS Code (Wikipedia, The Free Encyclopedia, www.goog
le.com).
Peraturan tersebut dapat dilihat dan ditemukan dalam
Title 33 of the Code of Federal Regulations, yang di dalam
salah satu Bagiannya memuat peraturan keamanan kapal
yang meliputi beberapa ketentuan yang berlaku bagi kapal
asing yang berada di perairan nasional AS. Terdapat beberapa
jenis kapal yang mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan ISPS Code, terutama kapal kargo dengan ukuran kecil
yang menjalankan kegiatan bongkar muat kapal (cargo
operations). Dengan menunjuk seorang crewmember atau
seorang anggota awak kapal untuk secara terus menerus
berada di pintu masuk ke kapal yang sementara menjalani
cargo operations, maka tinggal sedikit saja crew yang dapat
melakukan pekerjaan lain.
Hukum Laut Indonesia
Dalam beberapa kasus kejadian, keadaan seperti ini
agak membahayakan awak kapal (crewmembers) yang sedang
menjalankan kegiatan yang memang berbahaya (hazardous
activities). Namun dengan menyewa dan mempekerjakan
penjaga pantai (shore-based personnel) untuk menjalankan
tugas-tugas penjagaan, hal ini dapat mengurangi timbulnya
masalah tersebut di atas. Akan tetapi kegiatan menyewa atau
mempekerjakan seorang penjaga pantai tidak bisa dilakukan
di beberapa negara karena kegiatan menjaga keamanan
umumnya dikenal sebagai pekerjaan para preman. Kapal
penumpang dan kapal pesiar yang menurut tipenya memiliki
jumlah awak yang besar dan staf keamanan tertentu yang
biasanya
tidak
memiliki
kesabaran
dalam
menghadapi
persoalan (suffer from te problem). Inilah antara lain kesulitan
dalam menerapkan ketentuan-ketentuan ISPS Code.
Indonesia sebagai salah satu negara anggota IMO yang
telah meratifikasi ISPS Code mempunyai kewajiban yang
sama untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuannya.
Pemerintah Republik Indonesia secara intensif sementara
mempersiapkan
mendasar
sejak
beberapa
kegiatan
pertengahan
tahun
awal
yang
2003.
sifatnya
Mengadakan
sosialisasi dengan masyarakat maritim, melakukan pemilihan
fasilitas
pelabuhan dalam usaha menerapkan ketentuan-
ketentuan ISPS Code, menyiapkan organisasi keamanan
(security organization atau recognized security organization),
mendeklarasikan penerapan ISPS Code.
157
158
Hukum Laut Indonesia
Mengingat batas waktu yang tersedia sangat sempit
sampai tanggal 1 Juli 2004, sementara kewajiban yang harus
dipenuhi masih sangat banyak, maka sebaiknya Pemerintah
Republik Indonesia perlu mempercepat langkah dan menentukan skala prioritas terutama dalam menentukan pemilihan
pelabuhan yang disertifikasi. Hal ini dikhawatirkan, waktu
yang tersedia tidak akan mencukupi untuk mensertifikasi
semua pelabuhan internasional yang jumlahnya sekitar 141
pelabuhan yang ada di Indonesia.
Beberapa tugas pokok lainnya yang harus dikerjakan
oleh Pemerintah adalah
menentukan
tingkat keamanan
(security level) di setiap pelabuhan. Hal ini sangat diperhitungkan karena akan di[pergunakan sebagai referensi bagi kapalkapal pelayaran internasional yang singgah di suatu pelabuhan. ISPS Code menetapkan adanya tiga tahap tingkat keamanan dari suatu pelabuhan. Tingkat keamanan pertama
adalah tingkat keamanan yang mengharuskan untuk melakukan tindakan pencegahan keamanan secara minimal dan
terus menerus. Kemudian tingkat keamanan kedua adalah
tingkat keamanan yang memerlukan tambahan tindakan
pencegahan keamanan.sebagai akibat meningkatnya suatu
risiko insiden keamanan.
Selanjutnya
adalah
tingkat
tingkat
keamanan
atau
yang
level
keamanan
memerlukan
ketiga
tindakan
pencegahan spesifik dalam kurun waktu terbatas ketika
terjadi suatu insiden keamanan. Pemerintah harus memper-
Hukum Laut Indonesia
hatikan dan mempertimbangkan aspek keamanan di setiap
pelabuhan, antara lain derajat ancaman dari skala terendah
sampai skala tertinggi dengan melihat potensi terjadinya
suatu insiden keamanan atau serangan teroris di suatu
pelabuhan.
Penilaian yang dimaksud tidak hanya terhadap sisi
darat dari pelabuhan, tetapi juga terhadap wilayah perairan
pelabuhan, termasuk daerah berlabuh serta perairan pedalaman (Gatot Widakdo, 2004:24). Akan tetapi harus diakui
bahwa kondisi keamanan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia
secara keseluruhan harus diakui sangat mengkhawatirkan
dan sangat berpotensi terjadinya insiden keamanan terhadap
kapal maupun fasilitas vital dari pelabuhan. Hal ini disebabkan karena masih sangat kurangnya jumlah dan kualitas
peralatan keamanan, prosedur keamanan yang belum baku,
beragamnya instansi keamanan yang bertugas di pelabuhan
sehingga sering menyebabkan tumpang tindih kewenangan,
dan setiap orang dapat dengan mudah memasuki kawasan
pelabuhan bahkan sampai ke atas kapal tanpa terdeteksi.
Ketika seorang wartawan dari Harian Kompas mencoba masuk ke sejumlah fasilitas pelabuhan di Pelabuhan
Tanjung Priok dengan mempergunakan mobil, ternyata hal ini
tidak sulit dilakukan memasuki areal pelabuhan yang merupakan areal terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa pelabuhan
Tanjung Priok sangat rawan terhadap ancaman keamanan,
termasuk dari serangan teroris. Sementara di wilayah perair-
159
160
Hukum Laut Indonesia
an pelabuhan kelemahan yang paling mencolok adalah
kurangnya jumlah kapal patroli pantai.
Padahal pemerintah berkewajiban untuk memberikan
perlindungan serta jaminan keamanan bagi kapal yang memasuki pelabuhan dengan segala konsekuensinya. Seharusnya Pemerintah memberi perhatian terhadap keselamatan
kapal di sepanjang perairan pantai dan perairan pedalaman.
Dengan demikian penting sekali segera menentukan pola
pengamanan di perairan yang menuju pelabuhan.
ISPS Code tidak menentukan sanksi apapun yang
dapat dijatuhkan terhadap Pemerintah dari suatu negara
dalam
hubungan
dengan
penerapan
atau
implementasi
ketentuan-ketentuan ISPS tersebut. Namun demikian jika
terjadi insiden keamanan, maka sertifikat ISPS Code dari
pelabuhan yang bersangkutan bisa dicabut. Apabila terjadi
pencabutan sertifikat, maka akibatnya tidak akan ada kapal
mancanegara yang diperkenankan datang ke pelabuhan itu.
Demikian pula sebaliknya kapal dari negara pelabuhan tadi
juga tidak diperkenankan mendatangi pelabuhan dari negaranegara lain. Pada skala yang lebih luas, insiden tersebut bisa
membawa dampak pada terganggunya perekonomian negara.
Kredibilitas pemerintah di mata dunia juga akan
merosot. Padahal persentase kapal-kapal pelayaran internasional yang mengunjungi pelabuhan umum di Indonesia
cukup signifikan meskipun setiap pelabuhan menunjukkan
angka yang berbeda. Di pelabuhan Tanjung Priok misalnya
Hukum Laut Indonesia
persentase kedatangan kapal pelayaran internasional pada
tahun 2002 sebesar 33,4 persen dari total kapal yang
dilayani. Sementara di pelabuhan Tanjung Perak sebesar 13,1
persen, Tanjung Emas 18,6 persen dan pelabuhan Makassar
6,7 persen.
Persentase terbesar terdapat di pelabuhan Belawan
yang mencapai 55,4 persen. Dari angka-angka tersebut dapat
dilihat potensi pelayaran internasional dalam mendukung
arus perdagangan negara dan dampak kerugian yang terjadi
terhadap kelancaran ekspor non migas apabila ISPS Code
tidak terwujud sebagaimana mestinya. Pengamat pelayaran
dari ITS (Institut Teknologi 10 November Surabaya), Saur
Gurning menilai proses sertifikasi ISPS Code di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dan kejanggalan. Kelemahan
dan kejanggalan itu antara lain adalah : 1) Proses security
plan yang dilakukan oleh RSO (Recognized Security Organization), di mana mereka yang melakukan perencanaan, tetapi
mereka juga yang melakukan penilaian.
Menurut Saur Gurning, pemerintah seharusnya lebih
fokus kepada pelabuhan khusus, terutama perusahaan yang
memproduksi LNG dan gas yang posisinya berada di Kalimantan dan bagian Indonesia Timur lainnya. Ia juga mengemukakan, meskipun ISPS Code sudah diterapkan di Indonesia, ia
tidak yakin struktur pengamanan di pelabuhan dapat berjalan
sebagaimana diharapkan. Struktur pengamanan pelabuhan di
Indonesia masih menggunakan pola lama. Hal ini bisa dilihat
161
162
Hukum Laut Indonesia
dari banyaknya instansi yang terlibat dalam pengamanan
pelabuhan seperti polisi, administrator pelabuhan, satpam
dan aparat lainnya.
Hadirnya ISPS Code seharusnya dapat dimanfaatkan
sebagai momentum awal untuk lebih memberdayakan kegiatan pengamanan di perairan serta dapat menghasilkan suatu
bentuk pengamanan yang lebih kokoh di pelabuhan-pelabuhan. Untuk mencapai tujuan ini maka para pengelola pelabuhan harus mulai memikirkan bagaimana memperbaiki system
keamanannya. Pengelola pelabuhan jangan hanya berorientasi
mendapatkan sertifikat dan setelah itu perencanaan dan
implementasi ISPS Code terabaikan. Sementara bagi Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan (Ditjen Perhubungan Laut) juga jangan bertindak seperti produsen sinetron
yang hanya berorientasi kejar tayang tanpa memperhatikan
kualitas dan dampak yang bakal timbul dari kebijakan yang
bakal dihasilkannya. Dengan lain perkataan pemberian sertifikat ISPS Code kepada pengusaha kaya dan pelabuhan jangan
hanya sekedar sebuah sertifikat formal semata-mata tanpa
disertai kualitas yang dipersyaratkan.
Hukum Laut Indonesia
BAB V
PENGATURAN HARTA KARUN
DALAM WILAYAH PERAIRAN INDONESIA
A. Pelbagai Istilah dan Pengertian Harta Karun
Hilangnya arkeolog bawah air Santoso Pribadi setelah
menentukan lokasi tengelamnya kapal VOC De Geldermalsen
pada akhir Agustus 1986 menjadi salah satu penyebab
perlunya dibahas masalah harta karun. Sebagaimana diketahui, sekitar 160 ribu barang pecah belah antik buatan Cina
dan 225 batang emas lantakan ditemukan Michael Hatcher di
dalam kapal De Geldermalsen milik VOC yang katanya
tenggelam di perairan yang terletak antara Pulau Mapur dan
Merapas kurang lebih 256 tahun silam. Harta karun itulah
yang kemudian dijual di Balai Pelelangan Christie di Amsterdam pada bulam Mei tahun 1986, yang secara keseluruhan
menghasilkan
15
juta
US
dollar,
suatu
jumlah
yang
mengagetkan yang mendekati sebagian APBD dari Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Hatcher sendiri mengemukakan harta karun itu ditemukan di perairan internasional. Te B.Oekhost, juru bicara
Kementerian Luar Negeri Belanda ketika itu juga berpendapat
De Geldermalsen tenggelam di perairan internasional. Apakah
pendapat kedua orang itu memang benar dan dapat dipertanggungjawabkan? Sebelum membahas masalah harta karun
dari kapal VOC yang selain telah menelan korban jiwa, yakni
hilangnya salah seorang arkeolog terbaik Indonesia, juga telah
163
164
Hukum Laut Indonesia
menimbulkan kerugian bagi negara, khususnya Propinsi Riau,
maka berikut ini diuraikan beberapa hal yang sangat penting
untuk diketahui terkait dengan soal harta karun.
Pertama, apa sebenarnya yang dimaksud dengan
harta karun. Istilah-istilah apa yang dapat digunakan untuk
menunjukkan pengertian dari harta karun itu sendiri. Sejauh
mana suatu negara mempunyai hak terhadap harta karun
tersebut. Sejauh mana pengaturan hukum mengenai harta
karun di Indonesia. Sejauh mana suatu daerah (Propinsi atau
Kabupaten/Kotamadya) dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai hak atas harta karun yang
terdapat di dalam wilayah kewenangannya.
Istilah-istilah yang dapat diberikan pada harta karun
ada bermacam-macam. Ada istilah yang dinamakan benda
cagar budaya sebagaimana dapat ditemukan dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992, bendabenda purbakala dan bersejarah sebagaimana dapat ditemukan dalam KHL 1982, benda-benda berharga sebagaimana
dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 dan lain-lain. Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutnya dengan istilah archaelogical and
historical goods atau benda-benda arkeologis dan histories
atau benda-benda purbakala dan bersejarah.
KHL 1982 yang hanya memuat satu pasal mengenai
soal harta karun, yaitu Pasal 149, tidak mengemukakan apa
yang dimaksud dengan harta karun atau benda-benda
Hukum Laut Indonesia
purbakala dan bersejarah. Pasal ini hanya menyatakan semua
benda-benda purbakala dan benda-benda yang memiliki nilai
sejarah yang ditemukan di kawasan harus dipelihara atau
digunakan untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu
keseluruhan, dengan memperhatikan secara khusus hak-hak
yang didahulukan dari negara asal, atau negara asalkebudayaan, atau negara asal-kesejarahan dan asal-kepurbakalaan.
Demikian ketentuan Pasal 149 KHL 1982 hanya menyinggung soal harta karun yang terdapat di kawasan (Area),
yaitu di dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar
batas-batas yurisdiksi nasional suatu negara atau di luar
batas-batas landas kontinen suatu negara pantai. Di samping
itu sesuai asal tersebut, harta karun tersebut mempunyai
nilai-nilai kepurbakalaan dan histories (archaelogical and
historical objects) sehingga dengan demikian ketentuan pasal
tersebut hanya memberikan pengertian yang sifatnya umum
terhadap harta karun.
Terlepas dari apa yang dinyatakan melalui pasal 149
KHL 1982, maka bagaimanapun pengertian harta karun
dengan berbagai istilahnya harus dibatasi pengertiannya pada
harta karun dari laut sehingga pada prinsipnya dapat dimaknai sebagai benda-benda yang berasal dari kapal-kapal yang
tenggelam di dasar laut, yang untuk sebagian dianggap
mempunyai nilai sejarah dan budaya. Demikian dalam konteks hukum laut pengertian harta karun ini diberikan pemba-
165
166
Hukum Laut Indonesia
tasan, yakni benda-benda yang dimaksud itu pada prinsipnya
harus berasal dari kapal-kapal yang tenggelam di dasar laut
sejak lama dan benda-benda tersebut untuk sebagian tentu
saja memiliki nilai arkeologis, cultural dan histories dan untuk
sebagian juga memiliki nilai ekonomi.
Oleh karena itu adalah wajar apabila timbul berbagai
macam istilah mengenai soal harta karun, seperti bendabenda arkeologis, benda-benda cagar budaya ataupun bendabenda berharga yang untuk sebagian mempunyai nilai
ekonomi yang sangat tinggi. Menurut Safri Burhanuddin,
benda-benda berharga asal muatan kapal tenggelam yang
berumur ratusan tahun bahkan ribuan tahun, memiliki nilai
ekonomi dan budaya yang tinggi, populer dikenal sebagai
harta karun dari laut. Harta karun ini merupakan salah satu
potensi sumber daya non hayati laut yang belum dikelola
secara maksimal, apabila dibandingkan dengan potensi bahan
galian seperti minyak dan gas bumi dan mineral serta agregat
bahan bangunan yang telah dikelola dengan baik.
Benda berharga atau harta karun yan dimaksud dapat berbentuk material, seperti keramik, emas, perak atau
batu permata maupun artefak lainnya, atau berbentun non
material, seperti pengetahuan mengenai sejarah masa lampau
baik kebudayaan maupun teknologi yang telah berkembang
pada masa tersebut, misalnya teknologi pembuatan kapal,
keramik
2000:7).
dan
peralatan
sehari-hari
(Safri
Burhanuddin,
Hukum Laut Indonesia
B. Status Hukum Harta Karun
Selanjutnya karena harta karun yang dimaksud adalah harta karun yang terdapat di laut, terutama yang berasal
dari kapal-kapal yang sudah tenggelam dan berada di dasar
laut sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, maka yang
menjadi permasalahan adalah bagaimana status hukum dari
harta karun itu. Masalah ini tentu saja dapat dirumuskan
dengan menyatakan sejauh mana suatu negara memiliki hak
atas harta karun tersebut.
KHL 1982 hanya memuat satu-satunya ketentuan
pasal, yaitu Pasal 149, namun pasal ini hanya menyebut soal
harta karun yang terdapat di Area atau Kawasan atau dasar
samudera dalam atau dasar laut internasional, yaitu dasar
laut dan tanah di bawahnya di luar batas-batas landas
kontinen dari negara pantai. Oleh karena itu permasalahan
mengenai sejauh mana suatu negara pantai (coastal state)
mempunyai hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi
serta memanfaatkan harta karun sangat tergantung pada
permasalahan di mana lokasi harta karun tersebut atau di
mana
lokasi
penemuan
kapal-kapal
yang
di
dalamnya
memuat harta karun tersebut.
Dengan demikian permasalahan itu harus dikembalikan pada bagaimana status hukum dari wilayah perairan
yang dasar lautnya menjadi titik lokasi ditemukannya harta
karun tadi sekalipun KHL 1982 tidak mengatur hal ini secara
tegas. Oleh karena itu apabila harta karun itu ditemukan
167
168
Hukum Laut Indonesia
atau setidak-tidaknya diketahui berada di dasar laut dari
wilayah perairan yang tunduk di bawah kedaulatan negara,
seperti perairan pedalaman, laut teritorial dan perairan
kepulauan, maka dapat dikatakan bahwa di bagian-bagian
laut ini segala sesuatunya ermasuk harta karun dapat
dianggap menjadi milik dari negara pantai yang bersangkutan.
Kemudian apabila harta karun itu ditemukan atau
diketahui berada di dasar laut dari zona tambahan (Contiguous Zone), maka negara pantai dianggap memiliki hak untuk
mengatur segala kegiatan yang terkait dengan harta karun
tersebut sesuai dengan fungsi dari zona tambahan sebagai
jalur untuk melindungi wilayah negara pantai dari berbagai
macam ancaman dan gangguan terhadap kepentingan negara
pantai dalam bidang-bidang tertentu (seperti bea cukai, fiscal,
kesehatan dan keimigrasian). Selanjutnya apabila harta karun
atau kapal yang di dalamnya memuat harta karun berada di
dasar laut dari landas kontinen atau dari zona ekonmi
eksklusif, maka dapat dikemukakan bahwa negara pantai
memang mempunyai hak yang sifatnya terbatas atas bagianbagian laut ini.
Hak negara pantai di bagian-bagian laut ini terbatas
pada pemanfaatan sumber daya alam baik hayati maupun
non hayati. Akan tetapi karena harta karun tidak dapat
dianggap sebagai sumber daya alam (natural resources), maka
dapat dikatakan bahwa negara pantai yang bersangkutan
Hukum Laut Indonesia
sama sekali tidak memiliki hak apapun terhadap harta karun
tersebut kendati ada juga kalangan tertentu yang berpendapat
harta karun yang terdapat di dasar laut termasuk dasar laut
dari zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dapat juga
dikategorikan sebagai sumber daya alam non hayati (non
living resources) sehingga memungkinkan negara pantai yang
bersangkutan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasinya.
C. Pengaturan
Hukum
Nasional
Indonesia
mengenai
Pemanfaatan Harta Karun
Masalah selanjutnya terkait dengan soal harta karun
di laut adalah sejauh manakah pengaturan hukumnya dalam
hukum nasional Indonesia? Dapat dikemukakan secara
umum pengaturan hukum mengenai harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah perairan Indonesia didasarkan
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1992 tentang Benda-Benda Cagar Budaya yang mengatur halhal yang berkaitan dengan benda-benda cagar budaya. Di
samping itu dalam kaitan dengan Otonomi Daerah, terutama
soal kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kotamadya) dalam mengelola harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah
perairan Indonesia, maka perlu dikemukakan soal pengaturannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 (sebelumnya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1999) serta Peraturan Pemerintah Republik
169
170
Hukum Laut Indonesia
Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 mengenai Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000, maka kewenangan Pemerintah
(Pemerintah Pusat) di bidang kelautan adalah : 1) Penetapan
kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah di
luar perairan 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar
lautnya serta ZEE dan landas kontinen. 2) Penetapan kebijakan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan benda
berharga asal muatan kapal yang tenggelam di luar perairan
12 mil. 3) Penetapan kebijakan dan pengaturan tata batas
maritime yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut
dan batas ketentuan hukum laut internasional. 4) Penetapan
standar pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. 5) Penegakan hukum di wilayah laut di luar perairan 12 mil dan di
dalam perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta
hubungan dengan dunia internasional.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan
Daerah (Pasal 18), maka Pemerintah Daerah Propinsi mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber daya kelautannya
12 mil dari garis pantai pada wilayah laut yang menjadi
kewenangan
propinsi.
Kewenangan
tersebut
antara
lain
adalah : 1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan
Hukum Laut Indonesia
kepentingan administratif. 3) Pengaturan tata ruang. 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya. 5) Berpartisipasi
dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara.
Akhirnya Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota di
bidang kelautan adalah terhadap sepertiga dari wilayah
kewenangan dari propinsi yang bersangkutan, di mana 1)
Daerah Kabupaten dan Kota mempunyai kewenangan untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan
kepentingan administrative. 3) Pengaturan tata ruang. 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah. 5) Berpartisipasi dalam menjaga keamanan serta kedaulatan negara.
Undang-undang ini dibuat dengan maksud untuk
melindungi serta melestarikan benda-benda cagar budaya
yang ditemukan dan dengan demikian benda-benda seperti ini
tidak bersifat komersial ataupun tidak boleh dikomersialkan.
Akan tetapi berhubung karena sebagian besar benda cagar
budaya adalah juga merupakan benda berharga yang memiliki
nilai ekonomi yang tinggi, maka tentu saja maksud dan
tujuan dari dilahirkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 dapat mengalami kendala atau
tidak dapat tercapai secara optimal. Justru karena bendabenda cagar budaya yang berasal dari kapal-kapal tenggelam
171
172
Hukum Laut Indonesia
di dasar laut sebagian besar memiliki nilai ekonomi yang
tinggi, maka kemungkinan besar dapat terjadi penyimpangan
atau penyalahgunaan terhadap maksud dan tujuan diundangkannya undang-undang ini.
Pihak-pihak tertentu dapat saja melakukan manipulasi atau penyelewengan terhadap usaha-usaha perlindungan
dan pelestarian benda-benda cagar budaya demi mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara melakukan
pengangkatan benda-benda berharga secara ilegal. Dalam
usaha mencegah atau menghindari terjadinya pengangkatan
benda berharga secara melawan hukum, maka Presiden
Republik
Indonesia
dalam
kapasitasnya
sebagai
Kepala
Pemerintahan telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 43 Tahun 1989 yang kemudian telah diganti
dengan Keppres Nomor 107 Tahun 2000 yang mengatur
tentang Pembentukan Panitia Nasional Pengangkatan dan
Pemanfaatan Benda-Benda Berharga asal muatan kapal yang
tenggelam.
Tugas utama daripada Panitia Nasional ini adalah
melakukan koordinasi, perizinan dan pengawasan atas penyelenggaraan pengangkatan dan pemanfaatan benda-benda berharga yang berada di dasar laut dalam wilayah perairan
Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1999 (sekarang Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2004), maka penyusunan atau
Hukum Laut Indonesia
perumusan Keppres Nomor 107 Tahun 2000 tentang Panitia
Nasional dijiwai pula oleh semangat otonomi daerah.
Semangat otonomi daerah yang menjiwai Pembentukan Panitia Nasional ini juga melandasi penerbitan Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Nomor 39
Tahun 2000 yang berisi Petunjuk Teknis Perizinan Survei dan
Perizinan Pengangkatan Benda Berharga asal muatan kapal
yang tenggelam. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
ini secara tegas menyatakan peranan Pemerintah Daerah
dalam pengelolaan benda-benda berharga tersebut, sebagaimana dapat dilihat melalui Pasal 3 ayat 2 dari Kepmen
39/2000 yang menjelaskan Tugas Pemerintah Daerah dalam
hubugan perizinan itu adalah sebagai berikut : 1) menerima
dan menilai kelayakan permohonan izin perusahaan dan
selanjutnya meneruskannya kepada Panitia Nasional untuk
mendapatkan rekomendasi, sepanjang menyangkut bendabenda berharga yang berada di dalam wilayah laut yang
merupakan wilayah kewenangan pengelolaan dari daerah
yang bersangkutan; 2) Memproses dan menerbitkan surat izin
survei dan izin pengangkatan benda berharga yang terdapat di
dalam wilayah laut kewenangan daerah berdasarkan rekomendasi dari Panitia Nasional; 3) Melaksanakan pembinaan
dan pengawasan terhadap perusahaan yang melaksanakan
kegiatan survei dan pengangkatan benda berharga; 4) Menyelenggarakan koordinasi antarinstansi teknis di daerah.
173
174
Hukum Laut Indonesia
Sebagaimana diketahui harta karun laut adalah merupakan salah satu kekayaan laut yang mempunyai potensi
besar, dapat memberikan keuntungan ekonomi yang dapat
menunjang pembangunan nasional. Akan tetapi pembagian
hasil dari kegiatan pemanfaatan benda berharga ini belum
diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundangan.
Diharapkan penentuan bagi hasil antara Pemerintah Daerah
dan Pemerintah Pusat dapat segera ditetapkan oleh DPR
melalui usulan dari Departemen Keuangan.
Keputusan bagi hasil antara Pusat dan Daerah
diharapkan dapat segera diselesaikan secara tuntas sebab hal
ini menyangkut kinerja Pemerintah Daerah dalam menghadapi investor yang mempunyai minat dalam bidang pengangkatan dan pemanfaatan benda berharga dalam rangka berinvestasi di daerah. Di samping itu keterbatasan dana,
teknologi dan sumber daya manusia yang professional dan
juga terutama hambatan administrasi dan birokrasi merupakan masalah-masalah dalam pengelolaan harta karun sehingga Pemerintah Indonesia mengundang para investor baik
domestik maupun asing untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi
harta
karun
dari
laut
dengan
menerapkan
pendekatan bagi hasil yang saling menguntungkan.
Hukum Laut Indonesia
BAB VI
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka
sebagai penutup, dapatlah kiranya ditarik beberapa poin
penting berikut ini:
Faktor keadaan lingkungan Sulawesi Selatan yang
dikelilingi wilayah laut yang cukup luas, kemudian budaya
bahari masyarakatnya dan sejarah kehidupan mereka yang
secara turun menurun umumnya bergantung pada kegiatan
di laut, semuanya ini melatarbelakangi serta berkontribusi
terhadap penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences)
sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP). Universitas Hasanuddin yang
merupakan orientasi pengembangan yang bersifat strategis
yang sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu (termasuk di dalamnya ilmu-ilmu hukum laut).
Penetapan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum laut
sebagai bagian dari ilmu-ilmu kelautan selain pernah mendapat dukungan strategis dari Presiden Soeharto pada tahun
1981, juga tetap memiliki aktualitas serta relevansi jika
dikaitkan dengan berbagai fenomena baik yang berlngsung
secara global, regional maupun lokal. Sesuai dengan visi PIP
UNHAS, yakni sebagai pusat pengembangan budaya bahari,
maka misinya antara lain adalah mengembangkan iptek yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan. Dalam
hubungan ini Fakultas Hukum UNHAS seharusnya dapat me-
175
176
Hukum Laut Indonesia
ngembangkan dan memanfaatkan ilmu-ilmu hukum laut
menyangkut pengelolaan sumber daya kelautan.
Pemanfaatan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum
laut sebagai salah satu penjabaran dari visi PIP UNHAS tentu
saja mensyaratkan adanya pemahaman dan penguasaan yang
baik atas berbagai kebijakan, konsep, prinsip maupun
peraturan-peraturan hukum laut Indonesia. Dalam konteksi
ini berbagai azas dan ketentuan hukum laut Indonesia yang
dalam banyak hal tidak dapat dipisahkan dari hukum laut
internasional telah dipaparkan secara terperinci, mulai dari
pembahasan tentang negara kepulauan (Archipelagic State)
yang menjadi pilar bagi NKRI dan berdasarkan ketentuan
hukum
yang
berlaku,
maka
penerapan
garis
pangkal
kepulauan (archipelagic baselines) adalah merupakan conditio
sine qua non atau syarat mutlak dalam mewujudkan NKRI
sebagai suatu negara kepulauan.
Melalui penerapan garis pangkal kepulauan yang
intinya adalah garis pangkal lurus kepulauan yang dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal normal
(normal baselines), garis pangkal lurus (straight baselines) dan
garis penutup (pada pelabuhan, sungai dan teluk yang lebar
mulutnya maksimal 24 mil laut asalkan terletak pada pulaupulau terluar), maka dapat ditetapkan berbagai macam jalur
laut baik yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi
penuh (laut teritorial dan perairan kepulauan) maupun yang
berada di bawah yurisdiksi di bidang-bidang tertentu (jalur
Hukum Laut Indonesia
tambahan), serta yang berada di bawah hak-hak berdaulat
(ZEE dan landas kontinen). Semuanya ini (bahkan jalur laut
bebas) dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik oleh
Indonesia sebagai negara pantai dan sekaligus sebagai negara
kepulauan maupun oleh negara-negara lain untuk berbagai
keperluan serta kepentingan sesuai dengan status hukum
dari masing-masing jalur laut tersebut.
Pemanfaatan
dan
pengembangan
jalur-jalur
laut
Indonesia terutama laut teritorial serta perairan kepulauan
yang merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan
negara kiranya untuk sementara dan untuk kepentingan
penulisan bersama inidapat didekati dari dimensi kepentingan
navigasi untuk kapal asing dalam segala jenisnya. Pelbagai
prinsip harus diperhatikan oleh kapal asing dalam menjalankan kepentingannya dari segi navigasi sebagaimana ditentukan dalam KHL 1982, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37
Tahun 2003 mengenai Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI) dan berbagai peraturan perundangan lainnya karena
kepenti-ngan pelayarannya dapat berjalan baik berdasarkan
prinsip lintas damai (innocent passage), prinsip lintas transit
(transit passage) dan prinsip lintas alur-alur laut kepulauan
(archipelagic sealanes passage) yang selain memiliki perbedaan, juga mengandung banyak persamaan. Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2003 merupakan peraturan pelaksanaan
177
178
Hukum Laut Indonesia
dari prinsip hukum lintas damai, lintas transit dan lintas alur
laut
kepulauan Indonesia
menetapkan
berbagai
macam
persyaratan yang harus diperhatikan dan ditaati oleh kapal
asing ketika melewati atau melintasi wilayah perairan Indonesia.
Seluruh persyaratan itu menitikberatkan dan menekankan hak dan tanggungjawab dari kapal asing dan atau
pesawat udara asing (termasuk negara bendera atau negara
registrasi) untuk menghormati kedaulatan (souvereignty) serta
keutuhan teritorial (territorial integrity) NKRI sebagai negara
kepulauan. Dari sisi lain Indonesia terikat untuk mengakui
dan menghormati hak dan kebebasan kapal asing dan atau
pesawat udara asing untuk melintasi wilayah perairan serta
ruang udara di atasnya dengan mengikuti alur-alur laut
kepulauan (ALKI I, II, III dengan berbagai variasinya) ataupun
alur-alur laut di luarnya sesuai dengan tujuan kapal asing
dalam melakukan lintas di wilayah perairan Indonesia.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 yang disusun berdasarkan persetujuan dari IMO (International Maritime Organization), maka
telah ditetapkan adanya tiga macam ALKI dengan beberapa
variasinya (ALKI I, ALKI IA, ALKI II, ALKI IIIA, IIIB, IIIC, IIID,
IIIE), yang pintu masuk (entry point) dan pintu keluar (exit
point) masing-masing bisa terletak di bagian Utara atau
Selatan dari wilayah perairan Indonesia tergantung pada
kapal asing dan atau pesawat udara asing akan melintas
Hukum Laut Indonesia
entah dari salah satu pintu masuk di bagian Utara ataukah di
bagian Selatan.
Ketika kapal asing berlayar dari laut Cina Selatan
atau laut Natuna, melintasi Selat Karimata, laut Jawa, Selat
Sunda dan terus ke Samudera Hindia (ALKI I), demikian pula
sebaliknya tanpa melakukan perhentian di suatu pelabuhan,
maka pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas aluralur laut kepulauan. Ketika kapal yang bersangkutan berhenti
dan singgah di suatu pelabuhan ataupun meninggalkan
pelabuhan
dengan
atau
tanpa
mengikuti
ALKI,
maka
pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas damai. Ketika
kapal asing itu melintasi Selat Malaka dan Singapura menuju
ke Samudera Hindia, maka pelayarannya dinamakan lintas
transit.
Namun pelayaran kapal asing baik berdasarkan prinsip lintas damai maupun lintas alur laut kepulauan dan lintas
transit Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
(Straits used for international navigation) tetap harus mematuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. ALKI
dapat dianggap sebagai sebuah lorong atau koridor bagi kapal
untuk melakukan penyimpangan (deviation) lebih dari 25 mil
laut pada sisi kiri dan kanan dari alur-alur laut yang
digunakan, tidak boleh mendekati pantai pulau terdekat yang
berada di dalam ALKI maupun di luarnya.
Kapal yang melakukan lintas pelayaran melalui aluralur laut baik alur-alur laut kepulauan maupun di luarnya
179
180
Hukum Laut Indonesia
harus senantiasa berhati-hati dan menerapkan syarat-syarat
keselamatan pelayaran internasional yang mencakup berbagai
faktor, kapal (prevention of collution and ship’s routeing),
standarisasi penempatan awak kapal (crewing standards),
penetapan
alat
bantu
navigasi
(aids
to
navigation)
sebagaimana diatur dalam SOLAS Convention 1978 dan
konvensi-konvensi internasional lainnya serta ISPS Code.
Semuanya ini merupakan faktor-faktor, kriteria-kriteria dan
persyaratan-persyaratan yang harus diterapkan oleh setiap
negara bendera dalam menjamin keselamatan pelayaran
(safety of navigation).
Indonesia yang telah meratifikasi konvensi-konvensi
yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran seharusnya
menerapkan
ketentuan-ketentuannya
dan
melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian-perjanjian tersebut, seperti memeriksa secara teratur kelayakan
kapal baik kapal berbendera Indonesia maupun berbendera
asing, memverifikasi dokumen-dokumen perkapalan dengan
kondisi kapal, melakukan langkah-langkah yang dapat menjamin standarisasi penempatan awak kapal, mengambil tindakan-tindakan bagi kapal berbendera Indonesia maupun
berbendera asing untuk mencegah terjadinya tubrukan kapal,
dan seharusnya menyediakan dan memelihara alat-alat bantu
navigasi yang dapat dilakukan melalui berbagai bentuk
kerjasama antara Indonesia sebagai negara pantai dengan
negara pemakai.
Hukum Laut Indonesia
ISPS Code yang menyempurnakan SOLAS Convention
adalah upaya perlindungan keamanan yang ditujukan terhadap kapal barang atau kapal kargo dan kapal penumpang berkecepatan tinggi dengan ukuran 500 gros ton atau lebih. Di
samping itu, ISPS Code ini juga ditujukan terhadap instalasi
pengeboran lepas pantai yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan maupun fasilitas pelabuhan yang melayani kapal-kapal
yang melakukan pelayaran internasional (on international voyages).
Fasilitas pelabuhan ini meliputi sisi daratnya, dermaga, tempat berlabuh dan perairan di sekitarnya serta perairan
pedalaman yang mengarah ke pelabuhan seharusnya menjadi
sasaran perlindungan bagi keamanannya. ISPS Code ini
bertujuan agar Pemerintah (pemerintah pusat) dan baik yang
berskala nasional maupun internasional memiliki peran dan
tanggungjawab dalam bidang keamanan maritim, mendeteksi
adanya ancaman keamanan dan mengambil langkah-langkah
pengamanan, mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi terkait masalah keamanan serta menentukan cara penilaian keamanan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka setiap
kapal dan fasilitas pelabuhan harus memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditentukan baik menyangkut rencana
penagamanan kapal dan pelabuhan, petugas keamanan di
atas kapal dan di pelabuhan, petugas keamanan di perusahaan industri perkapalan dan pelabuhan, serta alat-alat perlengkapan keamanan di atas kapal maupun di pelabuhan.
181
182
Hukum Laut Indonesia
Selain daripada itu, maka demi keamanan kapal dan
pelabuhan, harus dimonitor akses jalan masuk menuju
pelabuhan, mengawasi kegiatan orang dan bongkar muat
barang serta menjamin efektivitas komunikasi bagi keamanan
kapal dan fasilitas pelabuhan. Kendati KHL 1982 tidak
menegaskan mengenai status hukum dari harta karun
(terkecuali harta karun yang berada di area dalam arti di luar
batas-batas yurisdiksi nasional atau di luar batas-batas
landas kontinen Indonesia), namun sangat jelas bahwa
statusnya ditentukan oleh status hukum dari bagian perairan
yang menjadi lokasi ditemukannya harta karun tersebut.
Download