Hukum Laut Indonesia BAB I PENETAPAN ILMU-ILMU KELAUTAN TERMASUK HUKUM LAUT SEBAGAI POLA ILMIAH POKOK A. Pengertian Pola Ilmiah Pokok Setiap lembaga pendidikan tinggi diharapkan menerapkan apa yang dinamakan Pola Ilmiah Pokok (PIP) atau dalam bahasa Inggeris disebut The Main Scientific Pattern (MSP). PIP atau MSP yang menunjukkan orientasi atau arah pengembangan lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan. Penerapan PIP oleh setiap lembaga pendidikan tinggi harus di dasarkan atas keunggulan atau kompetensi spesifik yang di milikinya, dan kompetensi ini merupakan prasyarat untuk melakukan kerjasama intensif antarberbagai lembaga pendidikan tinggi. Tanpa memiliki kompetensi spesifik, tidak mungkin suatu perguruan tinggi, dapat berpartisipasi dalam kerjasama dengan perguruan tinggi lain atau instansi lainnya. Kerjasama intensif itu sendiri adalah suatu unsur dari sistem pendidikan nasional, dan merupakan salah satu program jangka panjang dari Pola Kebijaksanaan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi di negeri ini yang ditetapkan sejak tahun 1975. PIP bukanlah sebuah disiplin ilmu, melainkan merupakan orientasi pemikiran strategis, dalam pendidikan yang sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu, sehingga dengan demikian, PIP diharapkan dapat memberikan arah bagi pengembangan Tri Dharma lembaga pendidikan tinggi, 1 2 Hukum Laut Indonesia atau perguruan tinggi, serta sekaligus dapat memberikan nuansa spesifik kepada pelbagai disiplin ilmu yang dikembangkan perguruan tinggi yang bersangkutan (Universitas Hasanuddin, 1999:1). Pilihan atau penetapan PIP bagi setiap perguruan tinggi, dilakukan melalui pemikiran-pemikiran yang sifatnya fundamental, yang berkaitan dengan keadaan lingkungan, kebudayaan, dan sejarah kehidupan masyarakat luas, dimana perguruan tinggi tersebut berada atau berdomisili. PIP diharapkan memberikan warna dan nuansa spesifik, terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan, sehingga setiap luarannya diharapkan, memiliki kemampuan untuk memberikan warna dan nuansa spesifik, nuansa PIP terhadap disiplin ilmu yang dikembangkannya. Nuansa PIP dikembangkan secara tersebar, melalui pelbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dibina oleh berbagai fakultas, sekaligus juga dapat dikembangkan secara terpusat, pada sekumpulan disiplin ilmu yang membentuk program studi, yang mendukung PIP itu secara melembaga di dalam dan melalui satu fakultas. B. Sejarah Penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan Sebagai PIP Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin (UNHAS) sebagai lembaga pendidikan tinggi atau perguruan tinggi, telah memilih dan menetapkan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai suatu kompe-tensi yang harus dibangun, dipelihara, serta Hukum Laut Indonesia dikembangkan, dengan harapan dapat memberikan nuansa spesifik bagi uni-versitas, dalam rangka melakukan kerjasama intensif dengan lembaga pendidikan tinggi lain serta instansi lain, baik milik pemerintah ataupun swasta. Ditetapkannya Ilmu-Ilmu Kelautan sebagai PIP UNHAS didasarkan atas kesepakatan yang dica-pai melalui pelbagai pertemuan ilmiah yang puncaknya terjadi pada Seminar Administrasi UNHAS di Kabupaten Soppeng (salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan) pada tahun 1975. Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Rapat Senat UNHAS dan selanjutnya dituangkan ke dalam Surat Keputusan Rektor UNHAS No.1149/UP-UH/1975 tanggal 27 Desember 1975. Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah pengembangan PIP UNHAS adalah adanya dukungan strategis yang diucapkan sendiri oleh Presiden RI kala itu (Bapak Soeharto), ketika UNHAS merayakan Dies Natalisnya (hari jadi) yang ke-25 pada bulan September 1981 (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP UNHAS:2). Beliau mengatakan antara lain, Universitas Hasanuddin mempunyai kedudukan yang khas dalam pengembangan studi ilmu-ilmu kelautan, karena letak geografis UNHAS berada di belahan Timur Nusantara yang luas wilayah lautnya. Karena itu saya minta agar usaha Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan diri dalam pengembangan studi ini diteruskan dan tidak boleh berhenti. 3 4 Hukum Laut Indonesia Kenyataan menunjukkan bahwa, lautan di wilayah Indonesia yang luas dan kaya itu, sebagian terbesar belum diolah. Adalah wajar dan bahkan sudah seharusnya jika Universitas Hasanuddin tidak hanya memikirkan, tetapi memegang peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ini. Tonggak penting lainnya adalah pembentukan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan sebagai jurusan yang ditempatkan pada Fakultas Peternakan UNHAS pada tahun 1988, dimana pembentukan program studi tersebut dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No.19/Dikti/Kep/ 1988 tanggal 16 Juni 1988. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan merupakan embrio dan cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kelautan. Jurusan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, maupun Jurusan Program Studi Ilmu Perikanan, pada akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari sebuah Fakultas yang disebut Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada tahun 1996, yang penetapannya didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.036/O/1996 tanggal 29 Januari 1996. Keberadaan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu langkah maju dalam pengembangan PIP UNHAS, tetapi sekaligus mendorong timbulnya ketidakpuasan pada beberapa kelompok civitas Hukum Laut Indonesia academica, terutama dari kalangan Fakultas MIPA, dan Fakultas Teknik. Semoga ketidakpuasan dan gejolak yang pernah terjadi, dalam hubungan dengan eksistensi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan sudah teratasi, dan hal ini hanya dapat dilakukan melalui dialog di antara pihak-pihak yang berkepentingan, guna menemukan solusi terbaik dari kemelut memalukan yang pernah kronis dan berlarut-larut. Solusi terbaik hanya dapat diwujudkan dengan mempergunakan pendekatan win-win solution, dimana tidak ada pihak yang kalah dan tidak ada pihak yang menang, sebab semua menang, sehingga Ilmu-Ilmu Kelautan yang dicanangkan sebagai PIP UNHAS ini benar-benar dapat berkembang dan memberi manfaat, serta kontribusi positif bagi pembangunan nasional pada umumnya, dan pembangunan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya dalam rangka mencapai dan meningkatkan kesejahteraan terutama bagi rakyat Sulawesi Selatan. C. Ilmu-Ilmu Kelautan Masih Memiliki Relevansi Mengenai Relevansi Ilmu-Ilmu Kelautan termasuk pula Ilmu Hukum Laut sebagai PIP UNHAS, pertanyaan yang dapat diajukan adalah, apakah Ilmu-Ilmu Kelautan yang ditetapkan sebagai PIP UNHAS sejak tahun 1975 masih relevan, dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah, serta masih sejalan dengan arah 5 6 Hukum Laut Indonesia pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum. Pertanyaan strategis ini dapat dijawab dengan mengamati beberapa kecenderungan perkembangan, baik yang bersifat lokal maupun global yang sedang terjadi pada saat ini, antara lain adalah sebagai berikut (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:3) : 1. Ketergantungan manusia pada sumber daya alam (natural resources), menghadapi kendala dengan semakin berkurangnya ketersediaan sumber daya alam, yang terdapat di wilayah daratan, sehingga memaksa manusia untuk beralih, kepada kemungkinan pemanfaatan sumber daya alam yang berlokasi di lautan. Kecenderungan ini antara lain, dapat dilihat dengan semakin meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah laut, seperti kegiatan penangkapan ikan, penambangan minyak dan gas bumi, pemanfaatan energi laut dan sebagainya. 2. Pergeseran kutub-kutub perdagangan dunia dari benua Eropa dan Amerika ke wilayah basin Pasifik, yaitu kawasan negara-negara yang wilayahnya terletak di tepian atau pinggiran Samudera Pasifik. Karena ciri geografis yang dimiliki oleh negara-negara, tersebut didominasi oleh laut, maka dapat diramalkan bahwa, karakteristik perdagangan dunia di masa depan akan banyak pula Hukum Laut Indonesia diwarnai oleh pemanfaatan sumber daya kelautan, termasuk jasa lingkungan laut. 3. Perhatian terhadap interaksi antara atmosfir dan permukaan tanah, dalam menelaah siklus iklim ternyata sudah tidak dapat menjelaskan lebih jauh, tentang terjadinya anomaly iklim, atau penyimpangan iklim yang sedang berlangsung saat ini. Dewasa ini mulai disadari bahwa adanya penyimpangan iklim itu, hanya dapat dipahami dengan mengamati interaksi antara atmosfir dengan lautan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran lautan sebagai regulator, proses alamiah yang terjadi di atas permukaan bumi (termasuk di daratan) yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain, kedudukan Ilmu-Ilmu Kelautan menjadi semakin penting dikaitkan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan umat manusia. 4. Dicetuskannya konsepsi Benua Maritim Indonesia (konsepsi BMI), dan Deklarasi Bunaken pada tanggal 26 September 1998 yang pada prinsipnya menegaskan bahwa laut adalah peluang, tantangan dan harapan (opportunity, challenge, and hope) bagi masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan Indonesia, menunjukkan secara jelas dan meyakinkan mengenai posisi strategis laut bagi masa depan Republik ini. Hal ini diperkuat oleh posisi Universitas Hasanuddin yang seca- 7 8 Hukum Laut Indonesia ra geografis terletak di Kawasan Timur Indonesia, yang memiliki wilayah laut yang jauh lebih luas, dibandingkan dengan wilayah daratannya, dan secara budaya terletak di lingkungan masyarakat bahari, dengan latar belakang sejarah dan budaya bahari yang kental. 5. Faktor terakhir, yang juga tak kalah pentingnya adalah apa yang dinamakan dengan Agenda 21 yang antara lain mencanangkan sekian banyak azas atau prinsip yang perlu diimplementasikan oleh negara-negara di seluruh dunia dalam menghadapi pelbagai tantangan yang demikian berat dalam millenium III. Salah satu azas yang dimaksud adalah azas pelestarian lingkungan, termasuk di dalamnya pelestarian lingkungan laut, serta pembangunan yang berkelanjutan, yang dengan sendirinya menempatkan Ilmu-Ilmu Kelautan (termasuk di dalamnya Hukum Laut) tetap memiliki relevansi untuk terus dikaji dan dikembangkan, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya. D. Visi dan Misi dari PIP Universitas Hasanuddin (Tujuan dan Pendekatan) Secara sederhana dan singkat dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumber daya kelautan, hanya dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maju, karena potensi sumber daya tersebut sulit dijangkau dengan hanya mengandalkan teknologi sederhana. Penerapan dan Hukum Laut Indonesia pengenalan iptek seyogyanya tidak dalam wujud kelembagaan asing yang dicangkokkan ke dalam sistem budaya masyarakat, tetapi harus sesuai dengan nilai dan karakteristik budaya masyarakat setempat. Visi Pola Ilmiah Pokok UNHAS dapat dirumuskan sebagai berikut, yakni UNHAS sebagai pusat pengembangan budaya bahari yang bercirikan kemandirian dalam konteks kesadaran interkoneksitas universal (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:10-13). Seiring dengan visi tersebut, maka misi PIP UNHAS dapat dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut : 1. Menghasilkan alumni yang mempunyai wawasan keUNHAS-an dalam pelbagai disiplin ilmu dan strata pendidikan, terutama yang berkaitan dengan ilmu dan teknologi kelautan; 2. Mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan; 3. Mempromosikan dan mendorong proses terwujudnya masyarakat bahari yang berkualitas, sejahtera, dan berorientasi kepada prestasi. Wawasan ke-UNHAS-an mengandung pengertian bahwa setiap lulusan Unhas memiliki jiwa dan potensi kemandirian, dan senantiasa memiliki dan memelihara komitmen terhadap pengembangan budaya bahari. Sejalan dengan visi dan misi tersebut di atas, maka tujuan pegembangan PIP UNHAS adalah sebagai berikut : 9 10 Hukum Laut Indonesia 1. Mampu berperan sebagai pusat konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni di bidang kelautan yang berskala dunia. 2. Terwujudnya kampus sebagai masyarakat akademik yang berwawasan kelautan yang mampu mendorong berkembangnya kegiatan tridarma perguruan tinggi, yang bernuansa kelautan dan berciri kemandirian serta tanggap terhadap dinamika perubahan lokal maupun global. 3. Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan, melalui penyelenggaraan program-program studi, penelitian, pengembangan kelembagaan serta pengembangan sumber daya manusia akademik. 4. Meningkatkan produktivitas dan kualitas luaran, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan kelautan. 5. Berkembangnya budaya bahari yang berciri kemandirian di kalangan masyarakat kawasan pesisir di Indonesia. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut di atas, UNHAS melaksanakan pola pendekatan melalui institusionalisasi, fungsionalisasi, integrasi, partisipasi dan kemitraan. Institusionalisasi (Institutionalization) mengandung pengertian bahwa seluruh unsur dari Universitas Hasanuddin bertanggungjawab untuk mengembangkan dan memperkuat lembaga-lembaga yang sudah ada, dengan bantuan supervisi Hukum Laut Indonesia manajemen, pembinaan kepemimpinan dan kelembagaan, pengenalan prosedur, cara kerja dan pelbagai aspek kelembagaan, berdasarkan potensi dan masalah dari masing-masing lembaga atau unit kerja yang ada. Fungsionalisasi (Functionalization) diartikan bahwa program-program yang ada dilaksanakan dengan memfungsikan secara berdaya guna dan berhasil guna semua sumber daya yang dimliki. Selanjutnya integrasi (integration) atau keterpaduan dimaksudkan mengintegrasikan potensi kelembagaan maupun unsur-unsur universitas dan fakultas sedemikian rupa, sehingga terwujud pencapaian tujuan PIP secara optimal. Kemudian partisipasi (participation) diartikan bahwa dalam semua kegiatan diupayakan pencapaian kesuksesan dengan mengundang partisipasi maksimal semua pihak yang terkait. Sedangkan kemitraan (partnership) dimaksudkan bahwa dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan PIP, dikembangkan kerjasama dengan pelbagai pihak di luar universitas, terutama dengan pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha dan industri, perguruan tinggi, lembaga IPTEK dan kelembagaan masyarakat lainnya. seperti LSM, di dalam maupun di luar negeri atas dasar saling menunjang dan bersifat sinergis. 11 12 Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia BAB II PRINSIP NEGARA NUSANTARA (ARCHIPELAGIC STATE PRINCIPLE) A. Pelbagai Istilah dan Pengertiannya Ada istilah yang dinamakan konsepsi nusantara (Archipelagic Concept), ada istilah wawasan nusantara (Archipelagic Outlook), ada istilah negara nusantara atau negara kepulauan (Archipelagic State), dan ada pula istilah Benua Maritim Indonesia (The Indonesian Maritime Continent), dan mungkin ke depan akan muncul lagi istilah-istilah lain terkait dengan konsepsi nusantara di masa-masa mendatang. Istilah wawasan nusantara adalah suatu wawasan atau outlook atau cara pandang yang mencita-citakan terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa dalam pelbagai bidang yang esensial bagi eksistensi kehidupan serta kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia. Adanya wawasan seperti ini, tentu saja tidak terlepas dari latarbelakang perjuangan bangsa dalam menghadapi pelbagai tantangan, baik yang berasal dari luar negeri atau dari negara kolonial, dengan politik divide et impera, dengan tujuan untuk memecah belah bangsa dan negara, maupun yang berasal dari dalam negeri Indonesia sendiri, khususnya kelompok separatis dengan tujuan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan. Di samping itu, tantangan tersebut bisa berasal dan bersumber dari adanya perpaduan dari kedua faktor baik internal maupun eksternal. 13 14 Hukum Laut Indonesia Selanjutnya istilah Konsepsi Nusantara untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, dimana konsepsi ini pada hakekatnya tersirat dan termuat di dalam, dan melalui Pernyataan Pemerintah RI pada tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian terkenal dengan nama Deklarasi Juanda (mantan Perdana Menteri Republik Indonesia pada zaman Presiden RI pertama, Bapak Ir. Sukarno) menyangkut wilayah perairan Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:25-30). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, karena bersangkut paut dengan masalah kewilayahan (terutama wilayah perairan RI), maka Konsepsi Nusantara adalah suatu konsepsi yang bersifat geografis, yang menunjukkan wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah daratan, namun sebagian besar adalah wilayah laut atau wilayah perairan harus dilihat dan dianggap sebagai suatu kesatuan utuh. Wilayah perairan negeri ini yang luasnya sekitar dua pertiga dari seluruh wilayah Indonesia tidak dapat dipisahkan, tetapi harus dianggap sebagai bagian integral dari wilayah daratannya (berupa pulau-pulau, baik pulau yang ukurannya besar maupun kecil) sehingga harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:28). Karena konsepsi nusantara termuat di dalam Deklarasi Juanda mengenai wilayah perairan Indonesia, maka menurut Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi ini sebenarnya juga adalah merupakan suatu konsepsi yuridis yang bertuju- Hukum Laut Indonesia an untuk menyatukan wilayah Indonesia, yang merupakan wilayah nusantara atau wilayah kepulauan. Dengan tercapainya kesatuan atas seluruh wilayah kepulauan melalui konsepsi yuridis, atau konsepsi pengaturan hukum mengenai terintegrasinya wilayah perairan dengan wilayah daratan atau antara laut dengan pulau, maka diharapkan akan tercapai dan terwujud pula adanya kesatuan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara. Tercapai dan terwujudnya kesatuan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan, senantiasa harus terus diperjuangkan sebagaimana halnya dengan perjuangan untuk mewujudkan secara aktual kesatuan wilayah Indonesia yang terdiri dari daratan dan perairan. Konsepsi nusantara semakin kukuh dengan ditetapkannya wawasan nusantara melalui ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1973 yang menetapkan wawasan nusantara sebagai salah satu landasan dari GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN). Harapan dan cita-cita untuk mewujudkan adanya kesatuan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara (aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, aspek pertahanan dan keamanan) tertuang dalam suatu konsepsi yang disebut Wawasan Nusantara, yang dikukuhkan melalui GBHN berdasarkan TAP MPR RI No. IV Tahun 1973 yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan pembangunan bangsa dan negara. Dengan demikian, istilah wawasan nusantara sesungguhnya adalah merupakan suatu konsepsi yang bersifat poli- 15 16 Hukum Laut Indonesia tis demi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupannya. Bagi Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi nusantara adalah suatu konsepsi yuridis geografis yang berfungsi sebagai wadah fisik bagi pengembangan wawasan nusantara. Istilah Negara Nusantara atau dalam bahasa Inggeris disebut “Archipelagic State” ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 serta Pasal 1 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Wilayah Perairan Indonesia yang pada dasarnya menyatakan bahwa Negara Nusantara atau Negara Kepulauan adalah negara yang wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Indonesia dinamakan sebagai negara kepulauan karena wilayah Indonesia seluruhnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih serta mencakup pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan Riau, ada kepulauan Seribu, kepulauan Sangir-Talaud, kepulauan Natuna dan pelbagai macam kepulauan lain yang dimiliki oleh Indonesia. Di samping itu ada pula Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Irian dan beriburibu pulau lain yang tidak perlu dipaparkan, sebab semuanya ini hanya untuk menunjukkan bahwa wilayah Indonesia mencakup lebih dari satu kepulauan serta memiliki pulaupulau baik besar maupun kecil dalam jumlah yang sangat besar. Istilah kepulauan (archipelago) diartikan sebagai suatu Hukum Laut Indonesia gugusan atau kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan yang terletak di antaranya atau di antara satu pulau dengan pulau lainnya, dan bentuk-bentuk alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain sedemikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu membentuk suatu kesatuan geografi, kesatuan ekonomi dan kesatuan politik yang hakiki atau secara historis dianggap sebagai suatu kesatuan seperti itu (United Nations Convention on the Law of the Sea, A/ Conf.62/ 122, 7 October 1982). Istilah Konsepsi Benua Maritim Indonesia (BMI) dicetuskan melalui Konvensi Nasional Indonesia yang diselenggarakan di Makassar (Ujung Pandang) pada tahun 1998 (Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin:14). Di dalam konvensi atau pertemuan yang dihadiri oleh pelbagai kalangan dicapai kesepakatan atau komitmen untuk mengkonsepsikan negeri kepulauan Indonesia sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI), dan pembangunannya adalah Pembangunan Benua Maritim Indonesia (PBMI). Pengkonsepsian BMI dan PBMI bertujuan untuk mengaktualisasikan wawasan nusantara yang telah dikenal sejak lama. Dengan konsepsi dan aktualisasi, maka pemahaman terhadap wilayah Indonesia dewasa ini, bukannya pulaupulau yang dikelilingi dengan laut, seolah-olah wilayah laut menempel pada wilayah daratan seperti pemahaman selama 17 18 Hukum Laut Indonesia ini, melainkan wilayah laut yang ditaburi dengan pulau-pulau baik besar maupun kecil. Dengan demikian, Konsepsi Benua Maritim Indonesia menitikberatkan negara Indonesia sebagai sebuah benua laut atau benua maritim yang di atasnya bertaburan dengan pulau-pulau, baik pulau yang berukuran besar maupun kecil, sehingga menggambarkan pulau-pulau yang demikian banyaknya seakan-akan menempel pada wilayah laut yang begitu luas. Secara berangsur-angsur, tetapi pasti konsepsi BMI sebagai konsepsi baru mewarnai pembangunan di Indonesia. Perhatian terhadap pembangunan kini dan di masa mendatang akan banyak, bahkan terutama tercurah kepada adaptasi atau pemanfaatan sumber daya perairan, terutama perairan laut atau sumber daya kelautan. Dalam konsepsi BMI, wilayah perairan Indonesia adalah sesuatu yang dominan karena bukan hanya wilayah lautnya yang jauh lebih luas daripada wilayah daratannya, melainkan juga karena wilayah perairan berinterseksi dengan wilayah daratan (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:14). Mengapa dikatakan berinterseksi? Sebabnya adalah karena di perairan Nusantara atau di laut Nusantara terdapat wilayah darat yang berbentuk pulau-pulau kecil, sedangkan di wilayah daratan yang berbentuk pulau-pulau besar, terdapat perairan terutama perairan danau yang luas dan dalam, seperti misalnya di Pulau Sulawesi terdapat Danau Tempe, dan di Pulau Sumatera terdapat Danau Toba, serta terdapat Hukum Laut Indonesia pula perairan sungai yang lebar dan panjang, seperti misalnya di Sumatera Selatan (Sungai Musi) dan Kalimantan (Sungai Kapuas). Demikian gambaran sederhana tentang berbagai istilah dalam hubungan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara nusantara atau negara kepulauan. B. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia Pada zaman Hindia Belanda, berlaku suatu peraturan yang disebut Ordonansi laut teritorial, serta lingkungan maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlaku sejak tahun 1939. Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau baik pulau yang berukuran besar maupun pulau yang berukuran kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri. Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan Indonesia. Dengan demikian wilayah perairan Indonesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut (Mochtar Kusumaatmadja:187) Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terben- 19 20 Hukum Laut Indonesia tuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas atau perairan internasional antara satu pulau atau bagian pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia. Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial (TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut (freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi, melalui pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II), dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerintah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan Hukum Laut Indonesia batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang. Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia pada tanggal 13 Desember tahun 1957 dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar Kusumaatmadja, 1978:187) sebagai berikut : 1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat, dan corak tersendiri sehingga memerlukan pengaturan tersendiri; 2. Bahwa demi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat; 3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari Pemerintah kolonial sebagaimana tercantum di dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kriengen Ordonnantie” 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia; 4. Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya. 21 22 Hukum Laut Indonesia Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi undang- undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Adapun isi dari Perpu yang diundangkan berlakunya pada tanggal 18 Februari 1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang No.4/Prp.1960 adalah sebagai berikut (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:194) : 1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik menghubungkan garis-garis titik-titik pangkal terluar dari lurus yang pulau-pulau terluar; 2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; 3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini; 4. Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan serta ketertibannya. Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960 yang hanya terdiri dari 4 pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan Hukum Laut Indonesia laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low water line), menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung. Seperti diketahui, cara penetapan garis pangkal lurus ini untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan dalam hukum internasional melalui putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam perkara sengketa perikanan Inggeris-Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951 (lihat kasusnya dalam L.C. Green, International Law through the Cases, 1978:325) dan kemudian dikukuhkan dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Teritorial, dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982. Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung pulau-pulau terluar nusantara ini mempunyai dua akibat : 1. Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan Indonesia; 2. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut wilayah ataupun laut lepas (high seas) menjadi perairan pedalaman (internal waters). Agar supaya perubahan status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang telah ada sebelum cara penetapan batas wilayah, maka Pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman 23 24 Hukum Laut Indonesia tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing. Beberapa tahun setelah diundangkannya UndangUndang Nomor 4/Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, maka para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan atau keperluan untuk mempertegas, serta menterjemahkan ketentuan hak lintas damai bagi kapal asing di perairan nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam UndangUndang Nomor 4/Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan lintas damai bagi kapal asing yang berada atau berlayar melalui perairan nusantara, maka Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan Indonesia. Peraturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1962, dan merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960, dalam hal ini ketentuan hak lintas damai kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang dimaksud dengan lalu lintas damai, syarat-syarat lintas damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal yang bersifat spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal nelayan, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga). Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962, adalah pelayaran untuk maksud damai yang Hukum Laut Indonesia melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan atau tidak mengganggu perdamaian Negara Republik Indonesia. Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran. Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau mondar mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai menurut peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi bagian-bagian tertentu dari perairan pedalaman untuk sementara waktu, apabila hal ini dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan keselamatan negara. Kapal asing yang akan melakukan riset ilmiah di perairan Indonesia disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden Republik Indonesia. Kapal perang asing yang akan melintasi perairan Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan atau notifikasi kepada Menteri/KSAL (Kepala Satuan Angkatan Laut). Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia, dan dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang 25 26 Hukum Laut Indonesia tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi negara yang merupakan negara bendera (Flag State). Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan tentang alur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini sudah ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta kapal nelayan atau kapal ikan harus melalui alur-alur tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran tidak perlu memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara. Karena alur-alur pelayaran itu belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam praktek kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban pemberitahuan ketika melintasi perairan nusantara. Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal nelayan asing yang sering melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 yang antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati, karena banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi kemudian dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus pencurian ikan (illegal fishing), kapal asing yang terlibat pada umumnya dibebaskan. Kendati pengadilan menghukumnya, kebanyakan hukumannya sangat ringan, sehingga kerugian yang begitu besar, akibat pencurian ikan di perairan nusantara harus ditanggung oleh bangsa dan negara. Hukum Laut Indonesia Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut pada tahun 1960-an, terkait dengan berlakunya Konvensi Geneva 1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai laut teritorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas, Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai landas kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia yang memuat pokok-pokok sebagai berikut (Mochtar kusumatmadja, 1978:37-38) : 1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan alam non hayati lainnya, termasuk organisme-organisme hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat di landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau milik dari bangsa dan negara Republik Indonesia dan dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya yang bersifat eksklusif. Pengertian landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedalaman tersebut sepanjang kemampuan teknologi Indonesia masih memungkinkan penggalian dan pengusahaannya. 27 28 Hukum Laut Indonesia 2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan Negara tetangga melalui perundingan. 3. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar wilayah negara tetangga. 4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian pula ruang udara di atasnya yang tetap berstatus sebagai ruang udara internasional. Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara konsepsi landas kontinen Indonesia dengan konsepsi nusantara. Arti nyata konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana diatur di dalam Pengumuman tersebut, adalah bertambahnya lagi luas daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) dengan jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di landas kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969 ini lahir atas dorongan kebutuhan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya mineral yang terdapat di daerah-daerah di bawah permukaan laut, terutama di Laut Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia. Karena Indonesia dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang mem- Hukum Laut Indonesia punyai hak yang sama atas landas kontinen yang sama, maka pemerintah Republik Indonesia perlu menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga sebelum ditemukan deposit atau cadangan minyak dan gas bumi di landas kontinennya. Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas Kontinen pada Departemen Pertambangan yang ditugaskan terutama untuk menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga. Misalnya perjanjian garis batas landas kontinen antara Republik Indonesia dengan Malaysia tahun 1969 menyangkut garis batas landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Thailand tahun 1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara dan di Laut Andaman; perjanjian antara Republik Indonesia Thailand dan Malaysia pada tahun 1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia tentang penetapan garis batas dasar laut tertentu (Laut Arafura dan Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun 1973; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia tahun 1973 mengenai penetapan garis batas daerah-daerah dasar laut tertentu (Selatan Pulau Tanimbar dan Pulau Timor); perjanjian antara Republik Indonesia dengan India mengenai penetapan garis batas landas kontinen tahun 1974. Semuanya ini merupakan hasil kerja dari Departemen Per- 29 30 Hukum Laut Indonesia tambangan, terutama Team Teknis Landas Kontinen yang dibentuk oleh Departemen tersebut. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana termaktup di dalam Pengumuman Pemerintah tahun 1969 kemudian dituangkan ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang dinamakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia. Prinsipprinsip atau ketentuan-ketentuan pokok tersebut mengacu pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen (Geneva Convention on the Continental Shelf), seperti pengertian landas kontinen Indonesia, hak-hak berdaulat (souvereign rights), penetapan garis batas landas kontinen Indonesia dengan negara-negara tetangga maupun status hukum dari perairan yang berada di atas landas kontinen Indonesia, namun dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Selain daripada hak-hak berdaulat atas kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen yang artinya penguasaan dan pemilikannya ada pada negara Republik Indonesia, juga negara memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas penelitian ilmiah kelautan yang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 penyelengaraannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973. Dalam Undang-Undang ini juga dikemukakan mengenai instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang dapat dibangun, dipelihara dan dimanfaatkan dalam usaha melak- Hukum Laut Indonesia sanakan eksplorasi, eksploitasi kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen Indonesia. Untuk melindungi instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang terdapat di landas kontinen terhadap gangguan pihak ketiga, maka Pemerintah dapat menetapkan apa yang disebut daerah terlarang (prohibited area) yang radiusnya 500 meter terhitung dari titik terluar instalasi, kapal dan atau alat lainnya. Di samping daerah terlarang, juga dapat ditetapkan daerah terbatas (restricted area) yang radiusnya 1250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu di mana kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar sauh. Di landas kontinen Indonesia, pada instalasi, kapal dan alat-alat lain di landas kontinen, maka hukum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia dapat diterapkan atau diberlakukan, bahkan instalasi dan alat-alat lain yang dipergunakan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Kepabeanan Indonesia atau daerah bea cukai, daerah fiscal, daerah karantina dan daerah keimigrasian. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pada tanggal 20 Maret 1980 (Mochtar Kusumaatmadja, 1980:384). Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut yang selain diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi PBB mengenai hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah 31 32 Hukum Laut Indonesia menghasilkan rancangan konvensi hukum laut baru (Draft Convention on the Law of the Sea) yang di dalamnya memuat pengaturan hukum tentang zona ekonomi eksklusif secara umum, juga diwarnai berbagai klaim atau pernyataan sepihak yang dilakukan oleh negara-negara pantai dari berbagai kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona 200 mil, zona perikanan sejauh 200 mil (dari pantai atau garis pangkal), zona ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi eksklusif. Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 20 Maret 1980 yang berpedoman pada praktek negara-negara yang telah diterima secara luas terkait dengan rezim hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa, ZEE Indonesia adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya, di mana jalur laut itu lebarnya dapat mencapai maksimal 200 mil laut terhitung dari garis pangkal sebagaimana diatur berdasarkan UndangUndang Nomor 4/Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pengertian ZEE Indonesia yang mengikuti kecenderungan perkembangan hukum laut internasional pada waktu itu, tetapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang berlandaskan wawasan nusantara. Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut, ditegaskan mengenai hak-hak berdaulat serta yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai Hukum Laut Indonesia atau negara Kepulauan. Republik Indonesia mempunyai hakhak berdaulat (souvereign rights), yaitu hak-hak untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi maupun pengelolaan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di dalam badan air (water column), dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil); juga hak untuk melakukan kegiatan yang bertujuan ekonomi seperti membangkitkan energi yang berasal dari arus laut, ombak dan gelombang laut maupun angin yang berada di dalam jalur laut 200 mil. Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak ber-daulat ini, maka Republik Indonesia juga memiliki yurisdiksi atau kewenangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pemanfaatan pulau-pulau buatan (artificial islands), instalasi (installation) dan bangunan (structure) di jalur atau zona tersebut; juga yurisdiksi terkait dengan penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research) di ZEEI; juga yurisdiksi yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of the marine environment). Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila di bagianbagian laut tertentu ZEE Indonesia (ZEEI), tumpang tindih (overlapping) dengan ZEE negara-negara tetangga, maka Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk mengadakan perundingan dalam usaha mencapai kesepakatan menyangkut penetapan garis batas ZEE masing-masing negara. Sela- 33 34 Hukum Laut Indonesia ma belum tercapai kesepakatan soal garis batas tersebut, maka ZEE Indonesia garis batas luarnya terletak di tengahtengah antara garis pangkal laut teritorial Indonesia dengan wilayah pantai dari negara tetangga yang bersangkutan. Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut juga menegaskan bahwa sepanjang dasar laut dan tanah di bawahnya dari ZEEI adalah merupakan landas kontinen Indonesia, maka hak-hak berdaulat, yurisdiksi serta kewajiban-kewajiban Indonesia akan dilaksanakan menurut Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia tahun 1973, perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya. Akhirnya dalam Pengumuman Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa status perairan ZEE Indonesia yang tidak dapat terpengaruh di mana perairannya tetap berstatus sebagai perairan internasional sehingga di perairan tersebut tetap diakui berlakunya kebebasan laut lepas dalam bidang-bidang tertentu, seperti kebebasan untuk berlayar (freedom of navigation), kebebasan untuk melakukan penerbangan di ruang udara yang berada di atas perairan ZEE Indonesia serta kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan saluran pipa bawah laut di ZEE Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku. Azas-azas yang termaktub di dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tahun 1980, sebagaimana halnya dengan Pengumuman Pemerintah tahun 1957 Hukum Laut Indonesia (Deklarasi Juanda), dan Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tahun 1969, pada akhirnya dituangkan pula ke dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dinamakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sehingga memiliki kekuatan yuridis formal dan tidak sekedar suatu pengumuman dan pernyataan semata-mata. Undang-undang itu antara lain memuat ketentuan umum yang mencakup definisi dari berbagai istilah seperti sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan lain-lain, pengertian ZEE Indonesia, hak-hak berdaulat, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban, berbagai kegiatan yang dapat dilakukan di ZEE Indonesia, soal gantirugi, masalah penegakan hukum, ketentuan pidana dan lain-lainnya (lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983). Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang berupa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia. Sumber daya alam hayati yang istilah populernya adalah ikan tidak mengenal batas-batas wilayah negara sesuai dengan sifat-sifat alaminya. Namun sejalan dengan praktek negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut internasional yang melandasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tersebut, maka sumber daya alam haya- 35 36 Hukum Laut Indonesia ti yang terdapat di daerah ZEE Indonesia adalah milik Republik Indonesia walaupun dalam pengelolaannya masih harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum internasional, misalnya kewajiban RI untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch), besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan Indonesia (Capacity to Harvest), langkah-langkah untuk pelaksanaan konservasi serta kesediaan Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada usaha perikanan asing, untuk ikut serta memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjang jumlah tangkapan yang diperbolehkan belum sepenuhnya dimanfaatkan melalui usaha-usaha perikanan Indonesia. Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khususnya di sub sektor perikanan, maka sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara langsung melalui kegiatan penangkapan ikan serta sebagai pendukung sumber daya alam hayati di perairan Indonesia. Mengingat fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya perlu diarahkan secara tepat, terarah dan bijaksana. Hal ini berkaitan pula dengan sifat sumber daya alam hayati yang tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar pemikiran yang melatarbelakangi terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 23). Hukum Laut Indonesia Perkembangan berikutnya dalam hukum laut Republik Indonesia adalah diundangkannya Undang-Undang Perikanan Indonesia, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya antara lain diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan atau pengertiannya, seperti misalnya istilah perikanan yang artinya semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sedang sumber daya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya. Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Demikian antara lain, pelbagai istilah yang mengemuka dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 sebab masih banyak lagi istilah yang tidak perlu diulangi (lihat Pasal 1 undang-undang ini). Selanjutnya dalam Pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah perikanan Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia (laut teritorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman), sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia, maupun perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 juga mengatur tentang pengelolaan sumber daya ikan 37 38 Hukum Laut Indonesia dalam wilayah perikanan Republik Indonesia yang ditujukan bagi tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia, dan untuk mencapai hal ini Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai alat tangkap ikan; syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal perikanan tanpa mengurangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran; jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap; daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; penebaran ikan jenis baru, pembudidayaan ikan dan perlindungannya. Juga diatur tentang pemanfaatan sumber daya ikan melalui usaha perikanan di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warganegara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia, dengan pengecualian sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku. Pihak yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha perikanan, kecuali nelayan atau petani ikan kecil maupun Hukum Laut Indonesia perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan kewajiban tersebut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 telah dicabut Undang-Undang berlakunya Perikanan sejak diundangkannya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 yang azas-azasnya pada waktunya akan dibahas secara lengkap dalam Pokok Bahasan mengenai Hukum Perikanan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433). Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004, dikemukakan pelbagai macam istilah yang terkait dengan masalah perikanan, seperti istilah perikanan yang diartikan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan 39 40 Hukum Laut Indonesia dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Demikian antara lain istilah-istilah yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004. Sedang mengenai azas pengelolaan perikanan dikemukakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan atas azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan adalah: a) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.; b) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; c) mendorong perluasan dan kesempatan kerja; d) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber potensi ikan; e) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan; f) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; g) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; h) Hukum Laut Indonesia mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; i) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Selanjutnya mengenai ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Perikanan yang baru adalah bahwa undangundang ini berlaku untuk a) setiap orang, baik warganegara Indonesia maupun warganegara asing, badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; c) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; d) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerjasama dengan pihak asing. Selanjutnya untuk penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan maka wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia, ZEE Indonesia, sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Repub- 41 42 Hukum Laut Indonesia lik Indonesia sebagaimana di maksud di atas diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan atau standar internasional yang diterima secara umum. Demikian antara lain beberapa ketentuan penting yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004. Pada bulan Desember 1985 Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan atau meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) dengan mengundangkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 sehingga sejak waktu itu Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan melalui konferensi yang diprakarsai PBB sejak tahun 1973 hingga tahun 1982 Konvensi tersebut telah menjadi hukum positif Indonesia. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985, maka Konvensi yang isinya bersifat komprehensif dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya lagi Konvensi Geneva 1958 mengenai Hukum Laut, telah menjadi hukum positif kita. Walaupun KHL 1982 belum berlaku secara efektif pada waktu itu atau belum “come into force”, namun bagi Indonesia sendiri Konvensi itu telah berlaku secara individual sejak lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 308 ayat (2) KHL 1982 yang menyatakan bahwa bagi setiap negara yang meratifikasi atau menyatakan aksesi pada konvensi ini setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, konvensi Hukum Laut Indonesia mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah saat pendepositan piagam ratifikasi atau aksesinya, dengan tunduk pada ketentuan ayat (1). Ayat 1 pasal yang sama (Pasal 308, ayat 1) menyatakan bahwa Konvensi ini mulai berlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi yang ke-60. Demikian kendati KHL 1982 belum berlaku secara internasional pada tahun 1985 sebab ketika itu jumlah ratifikasi yang dibutuhkan belum memenuhi persyaratan, namun bagi Indonesia sendiri konvensi tersebut telah berlaku secara individual. KHL baru berlaku secara internasional atau secara umum pada tanggal 16 November 1994, sebab satu tahun sebelumnya yakni pada tanggal 16 November 1993, Guyana menjadi negara yang ke-60 dalam meratifikasi KHL 1982 dan mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekjen PBB. Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia menindaklanjuti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 mengenai pengesahan Indonesia terhadap KHL 1982, dengan mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-Undang ini selain mencabut berlakunya UndangUndang Nomor 4/Prp. Tahun 1960, juga pada dasarnya undang-undang ini menguatkan kembali dasar-dasar pengaturan wilayah perairan Indonesia, sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960, namun lebih 43 44 Hukum Laut Indonesia disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan KHL 1982, dengan mencantumkan ketentuan-ketentuan dasar Negara Kepulauan (Archipelagic State), sebagaimana diatur di dalam Bab IV KHL 1982. Demikian di dalam undang-undang ini terdapat pengertian Indonesia sebagai Negara Kepulauan, berbagai macam garis pangkal, terutama garis pangkal lurus kepulauan yang tidak berdiri sendiri, sebab harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis-garis pangkal lainnya, seperti garis pangkal normal, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, pelabuhan, sungai dan lain-lainnya. Di dalam Undang-Undang Wilayah Perairan Indonesia yang baru (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996) juga diatur secara makro mengenai berbagai macam lintas pelayaran, seperti lintas damai, lintas transit dan lintas alur kepulauan serta hak akses dan komunikasi (terutama yang terkait dengan kepentingan negara tetangga). Pemerintah Republik Indonesia kemudian menindaklanjuti ketentuan pasal dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 menyangkut garis pangkal lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan, dengan mengundangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 sebagai salah satu peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. Peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang Daftar Koordinat Geografis TitikTitik Pangkal dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan di Laut Natuna (lihat PP RI Nomor 61 Tahun 1998). Kendati sifatnya Hukum Laut Indonesia tambal sulam, sebab hanya mengatur masalah penarikan garis pangkal lurus kepulauan di wilayah Kepulauan Natuna, namun dikeluarkannya Peraturan pemerintah tersebut dilatarbelakangi dengan pemikiran di mana panjang maksimal setiap garis pangkal lurus kepulauan Indonesia bisa mencapai 100 mil laut, malahan kadang-kadang (dengan persentase tertentu) bisa mencapai maksimal 125 mil laut sehingga tidak semua pulau-pulau terluar terutama yang terletak di sekitar laut Natuna lalu dengan sendirinya dapat dijadikan dan digunakan sebagai titik pangkal. Tujuannya tentu tidak lain daripada mewujudkan kesempatan untuk memperoleh atau memiliki wilayah perairan khususnya perairan kepulauan yang jauh lebih luas daripada kita menggunakan seluruh pulau terluar sebagai titik pangkal. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan KHL 1982 yang mensyaratkan Republik Indonesia untuk membuat peta garis pangkal lurus kepulauan atau sebagai gantinya harus membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal lurus kepulauan, maka ketentuan pasal mengenai garis pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 ditindaklanjuti lagi melalui pengundangan Peraturan Pemerintah RI mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 (lihat Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72 ). 45 46 Hukum Laut Indonesia Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah Republik Indonesia dapat menarik garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam menarik garis pangkal kepulauan, maka dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk yang tentu saja teluk ini terdapat pada pulau terluar, garis penutup pada sungai atau muara sungai, garis penutup pada pelabuhan, pada kuala, terusan dan lain-lainnya sepanjang semuanya itu berada pada suatu pulau terluar. C. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Perkembangan hukum laut Republik Indonesia selanjutnya adalah ketika Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2005 lalu mengundangkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005, yaitu Peraturan Presiden tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (lihat Perpres Nomor 78 Thun 2005, 29 Desember 2005) Sedangkan pengertian pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 kilometer persegi yang memiliki titiktitik dasar geografis yang menghubungkan garis pangkal lurus kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Hukum Laut Indonesia Dengan demikian tujuan dari pengundangan Peraturan Presiden ini antara lain terkait dengan keutuhan NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara, optimalisasi sumber daya alam serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau terluar ini harus dilakukan dengan berlandaskan pada azas-azas wawasan nusantara, pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu antara Pemerintah (dalam hal ini Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Daerah. Pengelolaan tersebut mencakup bidang-bidang seperti sumber daya alam dan lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah, pertahanan dan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya, di mana semuanya ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Republik Indonesia juga mengundangkan Undang-Undang Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian telah diganti dengan peraturan perundangan baru, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 18 dari Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan : 1. Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. 47 48 Hukum Laut Indonesia 2. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. penegakan hukum (law enforcement) terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah (Pemerintah Pusat) kepada Daerah; e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara; 4. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana diatur pada ayat (3) paling jauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota. 5. Apabila wilayah laut antara dua propinsi kurang dari 24 mil laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar dua propinsi ter- Hukum Laut Indonesia sebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi yang dimaksud. 6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil (penangkapan ikan tradisional). 7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Dengan mencermati ketentuan Pasal 18 dari UndangUndang Otonomi Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), dapat disimpulkan bahwa setiap Daerah Tingkat I atau Propinsi dalam wilayah NKRI hanya memiliki hak pengelolaan atas wilayah laut, dalam hal ini hak untuk mengelola untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah laut yang menjadi kewenangannya. Hal ini juga berlaku bagi setiap Daerah Tingkat II (Kotamadya dan atau Kabupaten) yang terdapat dalam setiap Propinsi juga memiliki hak pengelolaan sumber daya alam yang terdapat dalam masing-masing wilayah kewenangannya. Secara khusus untuk pengelolaan sumber daya alam yang nterdapat di dasar laut serta tanah di bawahnya (seabed and subsoil) dari wilayah laut yang menjadi kewenangannya, maka daerah yang bersangkutan Pusat, namun pengaturan bagi hasil harus diatur dalam suatu peraturan perundangundangan. Kewenangan Daerah dalam mengelola sumber daya alam meliputi berbagai kewenangan seperti kewenangan 49 50 Hukum Laut Indonesia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi dan membuat peraturan administratif termasuk masalah perizinan, kewenangan mengatur tata ruang, kewenangan dalam bidang penegakan hukum atas peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau atas peraturan yang dilimpahkan oleh Pusat kepada Daerah. Selanjutnya wilayah laut yang menjadi kewenangan daerah propinsi, khususnya hak pengelolaannya itu ditetapkan sampai sejauh 12 mil laut terhitung dari garis pangkal di sepanjang pantai dari wilayah propinsi yang bersangkutan. Karena di dalam setiap propinsi terdapat beberapa kabupaten dan atau kotamadya, maka setiap daerah kabupaten ataupun kotamadya memperoleh hak pengelolaan sampai sejauh 4 dengan demikian sesungguhnya hak pengelolaan bagi setiap propinsi itu terhitung dari batas 4 mil hingga 12 mil laut. Selanjutnya dalam hal wilayah laut antara dua propinsi bersifat tumpang tindih (overlapping) sebab bagian wilayah laut yang berada di antara dua propinsi mempunyai lebar kurang dari 24 mil laut, maka hal seperti ini berpotensi untuk menimbulkan persoalan garis batas wilayah laut di antara dua daerah propinsi yang bersangkutan. Untuk mengantisipasi benih persengketaan menyangkut garis batas wilayah laut yang menjadi kewenangannya, maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan apa yang disebut garis tengah (median line) atau garis sama jarak (equidistance line) sebagai acuan atau Hukum Laut Indonesia pedoman bagi kedua propinsi untuk menyelesaikannya melalui perundingan guna mencapai kesepakatan. Ketika sudah terjadi kesepakatan antardua propinsi, maka masing-masing kabupaten atau kotamadya mendapatkan sepertiganya. yaitu sepertiga dari wilayah kewenangan masing-masing propinsi. Walaupun batas-batas kewenangan dari setiap propinsi maupun kabupaten dan atau kotamadya telah ditentukan, namun hal ini tidak berlaku dan tidak boleh dijalankan terhadap nelayan kecil dari suatu daerah sehingga suatu propinsi tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal dari propinsi lain. Demikian pula suatu kabupaten atau kotamadya tidak boleh melarang nelayan kecil yang berasal dari kabupaten lain yang ada di dalam propinsi yang sama, demikian pula sebaliknya Secara yuridis kewilayahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004) tidak membawa pengaruh ataupun perubahan terhadap wilayah perairan Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Wilayah perairan yang ditetapkan oleh masingmasing propinsi maupun wilayah perairan yang diklaim oleh masing-masing kabupaten ataupun kota di dalam suatu propinsi tetap berstatus sebagai wilayah perairan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan. Akan tetapi ditinjau dari segi pemanfaatan sumber daya kelautan, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 51 52 Hukum Laut Indonesia memberi kewenangan yang luas dan nyata kepada Daerah untuk melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya kelautan di wilayah kewenangannya, namun disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungan, kewajiban untuk berpartisipasi dalam memelihara keamanan dan kewajiban daerah untuk berpartisipasi dalam mempertahankan kedaulatan negara. Pemberian kewenangan kepada Daerah untuk mengelola sumber daya kelautan serta kewenangan-kewenangan lain yang diberikan kepada masing-masing daerah sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tidak akan menghapuskan komitmen Pemerintah RI dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan apa yang ditentukan dalam berbagai konvensi internasional, seperti Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut, Konvensi mengenai Pencegahaan Tubrukan Kapal, ketentuan-ketentuan dari IMO mengenai standardisasi keamanan kapal dan pelabuhan (ISPS Code) dan konvensi-konvensi internasional lainnya yang telah mengikat RI. D. Dewan Kelautan Indonesia Terbentuknya Dewan Kelautan Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2007 dilandasi dengan beberapa pertimbangan : a. Bahwa dengan berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, di Hukum Laut Indonesia perlukan langkah-langkah penanganan yang menyeluruh dan terpadu dalam rangka lebih meningkatkan pemanfaatan, pelestarian, perlindungan laut, dan pengelolaan wilayah laut nasional secara terpadu, serasi, efektif, dan efisien; b. Bahwa kebijakan publik di bidang kelautan merupakan kebijakan yang meliputi berbagai bidang pemerintahan, sehingga memerlukan keterpaduan dalam perumusan kebijakan kelautan tersebut sejak awal; c. Bahwa dalam rangka keterpaduan perumusan kebijakan kelautan telah dibentuk Dewan Maritim Indonesia dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 161 Tahun 1999; d. Bahwa nomenklatur atau istilah atau penamaan Dewan Maritim Indonesia memiliki pengertian yang terbatas sehingga tidak sesuai dengan cakupan tugas dan fungsi yang dimiliki oleh Dewan tersebut; e. Bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana di maksud pada huruf a sampai dengan huruf d, memandang perlu untuk mengubah Dewan Maritim Indonesia menjadi Dewan Kelautan Indonesia dengan Keputusan Presiden. Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum dalam bidang kelautan. Dewan ini memiliki tugas untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam kapasitasnya sebagai 53 54 Hukum Laut Indonesia Ketua Dewan Kelautan Indonesia dalam rangka menetapkan kebijakan yang bersifat umum dalam bidang kelautan. Dalam menjalankan tugas sebagaimana ditentukan di atas, maka Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut a) mengkaji dan memberikan pertimbangan maupun rekomendasi kebijakan dalam bidang kelautan kepada Presiden sebagai Ketua Dewan Kelautan Indonesia; b) mengadakan konsultasi dengan lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah maupun dengan wakilwakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan serta penyelesaian masalah dalam bidang kelautan; c) memantau dan mengevaluasi kebijakan, strategi dan pembangunan kelautan; d) melakukan hal-hal lain atas permintaan Presiden Hukum Laut Indonesia BAB III JALUR LAUT DAN GARIS PANGKAL A. Jalur-Jalur Laut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Negara Kepulauan. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 hak dan kewajiban negara (negara pantai pada umumnya) dalam memanfaatkan laut dan sumber dayanya ditentukan berdasarkan status hukum dari berbagai bagian laut atau jalur laut. Jalurjalur laut itu dapat dikelompokkan sebagai berikut. Ada jalur laut yang berada di bawah kedaulatan penuh dari negara (dalam pengertian negara pantai), seperti Perairan Pedalaman (Internal Waters), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters), Laut Teritorial (Territorial Sea), termasuk di dalamnya Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used for International Navigation). Ada pula jalur laut yang berada di bawah yurisdiksi khusus dari negara pantai, seperti Jalur Tambahan (Contiguous Zone). Ada pula jalur laut yang berada di bawah hakhak berdaulat (souvereign rights) dari negara pantai, seperti Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) serta Landas Kontinen (Continental Shelf). Ada juga jalur laut atau bagian laut yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, termasuk oleh negara pantai yang laut wilayahnya, atau ZEE maupun Landas Kontinennya berdekatan dan berbatasan dengan bagian laut lepas. Ada pula bagian laut yang dinyatakan sebagai milik bersama umat manusia (Common Heritage 55 56 Hukum Laut Indonesia of Mankind), yakni bagian dasar laut yang dinamakan Area atau Kawasan Dasar Laut Internasional (International Seabed Area) yang terletak di luar batas-batas terluar dari landas kontinen suatu negara pantai (Barbara Kwiatkowska, 1989:xx-xxvi; dan R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:19; juga Rene-Jean Dupuy, 1974:3-6). Istilah negara pantai (Coastal State) sesungguhnya mempunyai pengertian yang luas sebab negara pantai dapat dimaknai sebagai negara pantai yang normal (normal coastal state); negara pantai dapat pula diartikan sebagai negara kepulauan (archipelagic state), dan dapat pula diartikan sebagai negara yang secara geografis kurang beruntung (geographically disadvantaged state). Suatu negara disebut negara pantai normal (normal coastal state) bilamana negara itu mempunyai wilayah daratan atau kontinen yang seluruh atau sebagiannya dikelilingi dengan laut di sekitarnya. Suatu negara disebut sebagai negara yang secara geografis kurang beruntung, bilamana negara tersebut karena keadaan geografisnya pada umumnya kurang menguntungkan sehingga negara tersebut tidak dapat mengklaim jalur-jalur laut sampai batas maksimal yang diperkenankan atau ditentukan. Suatu negara dinamakan Negara Kepulauan (Archipelagic State), apabila wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan atau dikualifikasi sebagai Negara Kepulauan karena wilayah Indonesia Hukum Laut Indonesia terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan Riau, kepulauan Bangka Belitung, kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Sangir Talaud, kepulauan Taka Bonerate, kepulauan Natuna dan beraneka ragam banyaknya kepulauan yang dimiliki negeri tercinta. Selain daripada pelbagai macam kepulauan yang dimiliki, terdapat juga pulau-pulau lain seperti pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua atau Irian Jaya yang dimiliki negeri ini. Selanjutnya pengertian kepulauan (archipelago) adalah gugusan atau kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau tersebut, serta bentuk-bentuk alamiah lainnya yang semuanya ini membentuk suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian. Sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State), maka Indonesia dapat mengklaim dan menetapkan berbagai jalur laut atau zonasi pengaturan lautnya seperti perairan kepulauan, perairan pedalaman, laut teritorial, jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen. Perairan kepulauan Indonesia adalah bagian-bagian laut yang berada pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) atau garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines). Akan tetapi garis pangkal lurus kepulauan yang memagari perairan kepulauan atau yang di dalamnya 57 58 Hukum Laut Indonesia terdapat perairan kepulauan tidak mungkin dapat berdiri sendiri tanpa dukungan garis-garis pangkal lainnya sehingga bagaimanapun garis pangkal lurus kepulauan harus selalu dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus dan garis penutup pada teluk, muara sungai, kuala, terusan asalkan saja terletak pada pulau terluar serta lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, serta garis penutup pada perairan pelabuhan yang terletak pada pulau terluar Indonesia. Pengertian perairan kepulauan seperti itu dapat disimpulkan dari ketentuan pasal-pasal dari Undang-Undang mengenai Perairan Indonesia yang berpedoman pada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 atau KHL 1982. Namun kalau diperhatikan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996, dalam hal ini Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2002 ditegaskan bahwa Pemerintah RI dapat menarik garis pangkal kepulauan dan dalam menarik garis pangkal kepulauan, dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, garis penutup pada muara sungai, terusan, kuala, dan garis penutup pada pelabuhan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perairan kepulauan itu merupakan bagian-bagian laut yang berada pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan yang penarikannya harus dilakukan dengan mempergunakan garis pangkal Hukum Laut Indonesia lurus kepulauan yang tentu saja dalam prakteknya harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus serta berbagai garis penutup / closing lines (lihat Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 72). Di dalam perairan kepulauan, Indonesia dapat menetapkan bagian-bagian laut tertentu sebagai perairan pedalaman (internal waters) dengan membuat dan menarik garis lurus ataupun garis penutup pada teluk, muara sungai, pelabuhan dan seterusnya. Perairan atau bagian-bagian perairan yang terletak pada sisi luar dari garis lurus ataupun dari garis penutup tersebut mempunyai status sebagai perairan kepulauan atau dengan lain perkataan dapat dikualifikasi sebagai perairan kepulauan. Sedangkan bagian-bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis lurus ataupun garis penutup tersebut seperti perairan teluk, sungai, terusan, kuala maupun perairan pelabuhan (dengan catatan tidak terletak pada pulau-pulau terluar) dapat dikualifikasi sebagai perairan pedalaman. Laut teritorial atau laut wilayah Indonesia adalah jalur laut atau bagian laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan) dengan lebar maksimal 12 mil laut dihitung atau diukur dari garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan). Dengan demikian laut wilayah dari Indonesia sebagai Negara Kepulauan mengelilingi seluruh wilayah kepulauannya justru karena secara geografis laut wilayahnya terletak pada bagian 59 60 Hukum Laut Indonesia luar dari garis pangkal lurus kepulauan di mana garis seperti ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan berbagai garis pangkal lainnya. Status hukum dari ketiga macam jalur laut yang telah disebutkan di atas adalah sangat jelas, di mana semuanya ini adalah merupakan wilayah kedaulatan Indonesia sehingga kedaulatan ini mencakup baik wilayah perairan atau badan air (water column), ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil) maupun sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Hal yang sangat penting untuk diketahui adalah bahwa dalam hal laut teritorial Republik Indonesia tidak menimbulkan permasalahan batas atau garis batas laut territorial dengan negara-negara tetangga, maka Indonesia bisa menetapkannya sampai batas maksimal sejauh 12 mil dari garis pangkal kepulauan, tetapi bilamana laut territorial RI tumpang tindih dengan laut territorial dari negara-negara tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan bagi tercapainya garis batas laut teritorial yang dapat disepakati oleh masing-masing negara. Kenyataan memperlihatkan bahwa sampai sekarang RI belum mencapai kesepakatan mengenai garis batas laut territorial dengan 3 negara, yakni dengan Timor Leste, Singapura dan Malaysia. Kalau diperhatikan terdapat sekitar 40 persen garis batas laut territorial Indonesia yang belum dapat diakui oleh ketiga negara tersebut, sebagaimana halnya kita Hukum Laut Indonesia tidak dapat mengakui penetapan garis batas laut teritorial dari ketiga negeri tetangga kita. Akan tetapi pada akhir bulan Januari tahun 2009 telah disepakati oleh Indonesia dan Singapura mengenai garis batas maritim di Selat MalakaSingapura antara segmen Barat dari wilayah Singapura dengan wilayah RI di Pulau Nipah sehingga perjanjian terakhir ini telah melengkapi perjanjian garis batas maritim tahun 1973. Penjelasan : Perjanjian Garis Batas Maritim yang telah ditandatangani pada bulan Februari 2009 antara RI-Singapura pada Segmen Barat yang terdapat pada bagian Utara Pulau Nipah. Sebelumnya memang sudah ada perjanjian garis batas maritim antara kedua negara di Selat Malaka, yaitu antara 61 62 Hukum Laut Indonesia wilayah daratan Singapura dengan wilayah RI di Kepulauan Riau pada tahun 1973, namun perjanjian ini belum tuntas karena bagian Barat dari Kepulauan Riau (termasuk Pulau Nipah) belum bisa diperjanjiakan pada waktu itu. Perundingan di antara kedua negara terkait dengan bagian laut yang belum disepakati sudah berlangsung lama, terutama sejak tahun 2005. Pada akhir bulan Januari lalu Kepala Negara RI Presiden Susilo Bambang Yudoyono bersama Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long berhasil mencapai kesepakatan mengenai garis batas maritim pada bagian yang belum terselesaikan, yaitu pada segmen Barat yang terdapat di Utara Pulau Nipah. Pada bulan Februari Perjanjian Garis Batas Maritim di Selat Malaka dengan Pulau Nipah dipakai sebagai titik pangkal ditandatangani oleh kedua Menteri Luar Negeri. Dengan penandatanganan ini, maka terdapat kepastian bagi kedua negara baik dari segi geoekonomi maupun geopolitik, ada kepastian mengenai sampai dimana batas kedaulatan serta yurisdiksi bagi masing-masing negara, demikian pula ada kepastian soal sampai di mana masing-masing negara dapat menjalankan kegiatan-kegiatan ekonominya di wilayah laut di Selat Malaka. Garis batas laut teritorial antara RI dengan Malaysia yang belum terselesaikan berada di tiga wilayah, yaitu di Selat Malaka garis batas maritime atau garis batas laut territorial panjangnya sekitar 17 mil laut, di Tanjung Datuk (Kalimantan Hukum Laut Indonesia Barat) sepanjang 12 mil laut, di Pulau Sebatik (Kalimantan Timur) sepanjang 18 mil laut garis batas laut territorial yang belum dapat disepakati bersama antara RI dengan Malaysia, walaupun untuk beberapa titik di Selat Malaka sudah ada kesepakatan berdasarkan perjanjian garis batas laut territorial pada tahun 1971 yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1971. Sedangkan dengan negeri Timor Leste, Pemerintah RI belum dapat mengakui dan menerima garis batas maritime atau garis batas laut territorial yang panjangnya lebih dari 100 mil laut yang ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah negeri Timor Leste. Pemerintah dari negara kecil yang pernah menjadi Propinsi RI ke-27 telah secara berani membuat pernyataan sepihak menyangkut garis batas laut teritorialnya yang jauhnya sampai mencapai 100 mil laut terhitung dari Celah Timor (Timor Gap), padahal sebagaimana diketahui perjanjian Celah Timor (Timor Gap Treaty) yang merupakan perjanjian kerjasama pengembangan antara RI-Australia tahun 1989 telah berakhir. Nasmun Pemerintah Timor Leste ternyata mau memanfaatkan garis-garis dari Celah Timor sebagai pijakan dan titik tolak dalam mengklaim laut teritorialnya sejauh 100 mil laut. Tindakan sepihak ini harus dilawan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebab apabila dibiarkan akan mengakibatkan sebagian dari perairan kepulauan serta laut teritorial Republik Indonesia yang berada disekitar Laut Timor dapat jatuh ke dalam penguasaan negara 63 64 Hukum Laut Indonesia Timor Leste. Kita harus mempertahankan kedaulatan dan keutuhan teritorial kita guna menjamin martabat (dignity) dari bangsa dan negara. Jangan sampai kita dipecundangi oleh bekas propinsi yang telah memisahkan diri dari NKRI pada tahun 1999. Selanjutnya Indonesia juga dapat menetapkan bagianbagian laut tertentu sebagai zona ekonomi eksklusif serta landas kontinennya. Apabila perairan kepulauan, perairan pedalaman dan laut territorial Indonesia telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 serta berbagai peraturan perundangan lainnya seperti PP RI Nomor 38 Tahun 2002, maka ZEE Indonesia sejak dini telah ditetapkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 yang berpedoman pada KHL 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Sedangkan untuk Landas Kontinennya masih diatur berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 mengenai Landas Kontinen Indonesia yang ternyata berpedoman pada Konvensi Hukum Laut Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen (Continental Shelf) khususnya mengenai pengertian atau definisinya sehingga hal ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum laut dewasa ini. Oleh karena itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 terutama menyangkut batasan soal Landas Kontinen Indonesia harus segera ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan sesuai dengan ketentuan Hukum Laut Indonesia Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 yang memperkenankan RI uintuk menetapkan landas kontinennya sampai batas terluar dari tepian kontinennya (dengan catatan batas terluarnya sudah dibatasi hingga 350 mil laut) ataupun sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal dalam hal landas kontinen dari negara pantai yang bersangkutan tidak mencapai jarak 200 mil laut ataupun tidak boleh melebihi 100 mil laut yang diukur dari garis batas kedalaman (isobath) 2500 meter, yaitu garis yang menghubungkan kedalaman 2500 meter. Selanjutnya mengenai zona ekonomi eksklusif atau zona 200 mil memiliki tujuan mendasar, yakni untuk mengakselerasi pembangunan sosial ekonomi dari negara-negara serta mengurangi adanya ketidakseimbangan di antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang. Hal ini tercermin dalam isitilah “economic” yang terdapat pada zona tersebut maupun dalam ruang lingkup yang pada dasarnya berorientasi pada sumber daya alam (resourceoriented) yang merupakan hak dan yurisdiksi negara pantai di zona tersebut. Potensi ekonomi dari sumber daya hayati menjadi motivasi utama di balik penetapan ZEE baik oleh developing states maupun industrialized states, sebagaimana halnya kekayaan mineral sudah berada di bawah pengawasan eksklusif negara pantai berdasarkan atas pengaturan hukum landas kontinen yang sifatnya tradisional (Barbara Kwiatkowska:2-4). 65 66 Hukum Laut Indonesia Zona Ekonomi Eksklusif memiliki ciri yang dinamakan multifungsional (multifunctional character) yang tentu berbeda dari zona-zona lainnya. Sehingga perlu dipaparkan definisi dari Zona Ekonomi Eksklusif. ZEE adalah suatu area yang berada di luar dan berbatasan dengan laut teritorial hingga mencapai batas 200 mil laut dari TS baselines (garis pangkal dari mana laut teritorial itu diukur), di mana negara pantai mempunyai hak-hak berdaulat berkenaan dengan semua sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi untuk tujuan ekonomi, juga yurisdiksi yang berkenaan dengan pulau buatan, penelitian ilmiah, pelestarian lingkungan laut, dan hak-hak serta kewajiban lain yang ditetapkan dalam Konvensi. Semua negara menikmati di ZEE navigational and communications freedoms, serta negara tak berpantai dan negara yang secara geografis tidak beruntung (land-locked and geographically disadvantaged states) menikmati atau memiliki hak khusus untuk berpartisipasi dalam bidang perikanan dan penelitian ilmiah kelautan. Selanjutnya mengenai ciri ZEE sebagai suatu zona yang sifatnya multifunctional yang tampak dari definisinya serta membedakannya dengan zona fungsional yang menjadi hak dan yurisdiksi negara pantai adalah terjadinya penggabungan hak terkait sumber daya alam pada umunya di pihak negara pantai yang tidak dikenal sebelumya serta adanya kesejajaran (juxtaposition) hak negara pantai atas sumber daya hayati dan non hayati dari dasar laut, Hukum Laut Indonesia tanah di bawahnya serta perairan di atasnya pada khususnya (lihat Pasal 56 ayat 1a dan b). Di samping itu negara pantai diberikan hak-hak serta kewajiban-kewajiban lain yang ditentukan dalam Konvensi ini (Pasal 56 ayat 1c yang tidak diidentifikasi dalam Bab V, namun merupakan kompromi terhadap hak-hak dan kewajiban yang terkait dengan jalur tambahan yang tumpang tindih dengan ZEE sampai jarak 24 mil (Pasal 33), pengeboran untuk berbagai tujuan (Pasal 81) dan mengeksploitasi tanah di bawah dasar laut dengan cara membuat terowongan, tanpa memperhatikan kedalaman air di atas subsoil (Pasal 85). Dinyatakan pula bahwa klausula mengenai hak-hak serta kewajiban lainnya mencakup kewajiban suatu negara pantai untuk mengakomodasi adanya partisipasi dari landlocked and geographically disadvantaged states (LL/GDS) dalam hal perikanan, namun tidak mencakup hak-hak dari negara-negara seperti ini terkait dengan marine scientific research ketika hak-hak ini berlaku secara nyata pada penelitian yang dijalankan pihak ketiga di ZEE dan bukan oleh negara pantai itu sendiri (Barbara Kwiatkowska:4). ZEE Indonesia adalah jalur laut yang berbatasan dengan dan berada di luar laut teritorialnya, yang lebarnya 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan lebar laut territorialnya. Demikian jalur laut yang dinamakan ZEE Indonesia selain mengelilingi batas luar laut territorial, juga mengelilingi wilayah kepulauan Indonesia 67 68 Hukum Laut Indonesia karena perairan ZEE Indonesia berada di luar garis pangkal laut territorial yang dalam hubungan ini dinyatakan sebagai garis pangkal lurus kepulauan (garis pangkal kepulauan) Indonesia. Karena Indonesia memiliki hak-hak berdaulat (souvereign rights) untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melindungi dan mengelola sumber daya alam yang terdapat di ZEE nya, maka sumber daya ini adalah merupakan milik bangsa dan negara Indonesia yang perlu dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Indonesia juga memiliki yurisdiksi terkait dengan pembangunan dan pemanfaatan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, termasuk yurisdiksi yang terkait dengan masalah bea dan cukai, fiskal, keimigrasian, kesehatan dan keselamatan pelayaran, yurisdiksi yang berkaitan dengan penelitian ilmiah kelautan, yurisdiksi dalam hal pelestarian lingkungan laut di ZEE Indonesia. Permasalahan besar yang dihadapi Indonesia terkait dengan ZEE ini adalah bahwa sekitar 70 persen garis batas ZEE Indonesia belum mendapat pengakuan dari beberapa negara tetangga. Kesepakatan garis batas ZEE Indonesia baru tercapai dengan Australia dan Papua Niugini. Akan tetapi antara Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Timor Leste, Palau, Filipina, Vietnam, Thailand dan India, hingga saat ini belum dapat dicapai kesepakatan dalam bentuk perjanjian mengenai garis batas ZEE di daerah perbatasan masing-masing negara. Menurut Sobar Hukum Laut Indonesia Sutisna (yang menjabat sebagai Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) di antara perundingan batas wilayah dengan enam negara tetangga penetapan batas wilayah paling cepat dapat terealisasi dengan Filipina sebab negara itu telah menyatakan kesediaannya untuk menyelesaikan perundingan penetapan batas wilayah di laut Sulawesi yang telah dimulai sejak tahun 1994. Sedangkan penetapan batas wilayah dengan negeri Palau belum dapat dilakukan karena Republik Indonesia belum mempunyai hubungan diplomatic dengan negeri kecil di Samudera Pasifik walaupun saat ini pihak perunding dari Indonesia menunggu persetujuan dari DPR untuk membuka hubungan diplomatik dengan Palau. Demikian hal-hal konkret yang sedang dialami RI dalam hubungannya dengan penetapan batas-batas maritime terutama batas-batas ZEE Indonesia dengan negara-negara tetangga. Landas Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah-daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan (natural prolongation of its continent) yang berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960, sampai pada suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedalaman 200 meter (beyond that limit) sejauh kemampuan teknologi 69 70 Hukum Laut Indonesia Indonesia masih memungkinkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sana. Pengertian atau batasan landas kontinen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 jelas mengacu pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen dan sudah seharusnya segera dicabut setelah berlakunya KHL 1982. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 KHL 1982, maka landas kontinen (Continental Shelf) diartikan sebagai dasar laut dan tanah di bawahnya dari wilayah-wilayah di bawah permukaan laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan negara pantai yang bersangkutan, yang berada di luar laut territorial, tetapi berbatasan dengannya, sampai batas terluar dari tepian kontinen (outer edge of the continental margin) atau dalam hal tepian kontinen negara itu tidak mencapai jarak 200 mil, maka dasar laut dan tanah di bawahnya dapat ditetapkan hingga jarak 200 mil laut terhitung dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorialnya diukur. Hal ini berarti KHL 1982 memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk menggunakan kriteria atau ukuran yang menguntungkan. Pengertian landas kontinen ini sangat penting untuk menentukan sejauh mana hak-hak berdaulat suatu negara pantai di landas kontinennya, terutama sejauh mana negara tersebut dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sana. Pengertian landas kontinen Indonesia sudah seharus- Hukum Laut Indonesia nya disesuaikan dengan pengertian landas kontinen pada umumnya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 76 KHL 1982 sehingga Undang-Undang RI mengenai Landas Kontinen Indonesia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973) khususnya ketentuan pasal 1 mengenai definisi landas kontinen RI harus segera dicabut untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum laut masa kini sebagaimana diatur di dalam Pasal 76 KHL 1982. Untuk memahami pengertian landas kontinen (Continental Shelf) berdasarkan Pasal 1 Konvensi Geneva 1958 maupun berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, maka di bawah ini dipaparkan gambar dan konfigurasi sederhana mengenai landas kontinen dalam pengertian yuridis. Pengertian ini sangat penting (very essential) dalam menentukan hak-hak berdaulat serta yurisdiksi negara pantai di landas kontinen. Dari pengertian landas kontinen sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Geneva 1958, dapat disimpulkan bahwa ada dua ukuran atau kriteria yang digunakan dalam menetapkan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai di landas kontinen, yaitu : 1) kriteria kedalaman 200 meter. Artinya kalau negara pantai tidak memiliki kemampuan teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di sana, maka hak-hak berdaulat dan yurisdiksinya hanya sampai di titik dasar laut dengan kedalaman 200 meter terhitung dari permukaan laut. Dengan demikian muncul kriteria kedua; 2) kriteria melebihi 71 72 Hukum Laut Indonesia batas kedalaman 200 meter (beyond that limit), sejauh kemampuan tekonologi dari negara pantai masih memungkinkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di dasar laut dan tanah di bawahnya dengan kedalaman tanpa batas dari permukaan laut. Kriteria ini disebut pula dengan istilah “technical exploitability”. Kriteria hak-hak berdaulat di landas kontinen yang tersimpul dari batasan pengertiannya sangat tidak adil sebab hanya menguntungkan negara-negara maju dan merugikan negara-negara berkembang pada waktu itu sehingga kriteria dan pengertian seperti ini telah diganti melalui ketentuan Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982. Dari pengertiannya dapat ditarik adanya beberapa kriteria dalam menentukan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai di landas kontinen, yaitu : 1) kriteria jarak yang menyatakan bahwa dasar laut serta tanah di bawahnya itu sampai pada apa yang dinamakan ujung luar dari tepian kontinen (the outer edge of the continental margin). Apabila landas kontinen dari negara pantai yang bersangkutan begitu luas dan tidak tumpang tindih dengan landas kontinen dari negara-negara tetangganya, maka hak-hak berdaulat dan yurisdiksinya dapat mencapai ratusan mil dan bahkan ribuan mil dari garis pangkal sesuai dengan lokasi dari titik terluar dari tepian kontinen. Walaupun dari segi geologis jarak antara garis pangkal hingga lokasi ujung terluar dari tepian kontinen (the outer Hukum Laut Indonesia edge of the continental margin) dapat mencapai ratusan bahkan ribuan mil, namun dari segi yuridisnya hal ini sudah dibatasi sebab Pasal 76 KHL 1982 menetapkan bahwa dasar laut dan tanah di bawahnya harus dibatasi sampai 350 mil laut terhitung dari garis pangkal. Pembatasan ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat internasional sebab ada negara-negara yang tidak berpantai atau dikelilingi oleh daratan, padahal mereka juga berhak memperoleh manfaat yang berasal dari laut yang sebenarnya merupakan warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind). Ada juga ketentuan-ketentuan lain seperti hak-hakhak berdaulat atas sumber daya alam terutama mineralmineral, minyak dan gas bumi, berbagai yurisdiksi Republik Indonesia di landas kontinennya termasuk masalah pulau buatan, instalasi dan bangunan, penelitian ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penentuan garis batas landas kontinen Indonesia di wilayah perbatasan dan lain-lainnya dari segi substansinya masih dapat dipertahankan, namun dari segi redaksi atau rumusannya perlu disesuaikan dengan rumusan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KHL 1982. Dibandingkan dengan Konvensi Geneva 1958 tentang Landas Kontinen yang mempergunakan ukuran kedalaman 200 meter maupun ukuran technological exploitability yang sangat kabur, maka KHL 1982 mempergunakan kriteria yang 73 74 Hukum Laut Indonesia jelas berupa ukuran jarak sampai ujung terluar dari tepian kontinennya, ataupun bilamana landas kontinennya pendek bisa ditetapkan sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal laut territorial yang semuanya ini dimaksudkan untuk menentukan sampai di mana batas-batas hak berdaulat dan yurisdiksi negara pantai dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam berupa mineral-mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya yang terdapat di sana. Dengan demikian Republik Indonesia harus melakukan perubahan terhadap Undang-Undang yang lama (Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1973) serta menggantinya dengan peraturan perundangan baru yang sesuai dengan semangat dan ketentuan KHL 1982 terkait dengan batasan landas kontinen dalam menentukan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di landas kontinennya sendiri sebab bagaimanapun KHL 1982 sangat menguntungkan negaranegara pantai khususnya RI dalam kedudukannya sebagai negeri kepulauan. Dalam hubungan ini, perlu juga diperhatikan dalam hal landas kontinen Indonesia tidak menimbulkan masalah garis batas dengan negara-negara tetangga, maka landas kontinen Indonesia dapat ditetapkan sampai batas maksimal, yaitu sampai ujung terluar dari tepian kontinennya (namun hal ini sudah dibatasi sampai jarak 350 mil laut dari garis pangkal) atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal Hukum Laut Indonesia dalam hal tepian kontinen Indonesia tidak mencapai jarak 200 mil laut. Namun bilamana tumpang tindih (overlapping) garis batas landas kontinen antara RI dengan beberapa negara tetangga, maka harus diselesaikan melalui perundingan untuk mencapai bahwa sekitar 30 kesepakatan. persen garis Kenyataan batas menunjukkan landas kontinen Indonesia belum disepakati dengan beberapa negara tetangga, seperti dengan negeri Timor Leste yang dulu pernah menjadi propinsi Republik Indonesia ke-27, dengan negara Palau serta negara Filipina. B. Penarikan Berbagai Macam Garis Pangkal Jalur-jalur laut yang dapat diklaim sesuai ketentuanketentuan yang ada hanya dapat terwujud dengan senantiasa berpatokan pada garis pangkal. Sebagai negara kepulauan, RI dapat menarik garis pangkal kepulauan (archipelgic baselines). Dalam menarik garis pangkal kepulauan, Indonesia dapat mempergunakan berbagai metode atau cara penarikan garis pangkal. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 yang merupakan salah satu peraturan pelaksanaan yang menindaklanjuti dan mengelaborasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 yang terkait dengan ketentuan mengenai garis pangkal. Peraturan Pemerintah tersebut menetapkan bahwa Republik Indonesia dapat menarik garis pangkal kepulauan dan dalam menarik garis pangkal kepulauan dapat dipergu- 75 76 Hukum Laut Indonesia nakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, muara sungai, terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan. Garis pangkal kepulauan, khususnya garis pangkal lurus kepulauan bukan merupakan garis yang dapat berdiri sendiri tanpa dukungan dari garis-garis pangkal lainnya karena secara praktis garis pangkal lurus kepulauan hanya dapat dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, sungai, terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan di mana teluk, sungai dan lain-lainnya secara geografis dapat terletak baik pada bagian dalam maupun pada bagian luar dari pulaupulau terluar Indonesia. Apa yang dimaksud dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis pangkal lurus kepulauan? KHL 1982, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 mengemukakan sebagai berikut. Garis pangkal biasa (normal baselines) adalah garisgaris air terendah di sepanjang pantai pada waktu air sedang surut sehingga dengan demikian mengikuti segala lekuk liku (bentuk-bentuk morfologi) dari pantai suatu negara. Pada mulut atau muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak melebihi 24 mil laut, dan pada pelabuhan, maka harus diperhatikan bahwa garis air terendah itu dapat ditarik sebagai suatu garis lurus. Hukum Laut Indonesia Garis air terendah yang ditarik sebagai garis lurus (straight lines) pada perairan di sekitar muara sungai, perairan di teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut serta pada perairan pelabuhan bilamana sungai, teluk dan pelabuhan itu tidak berada pada pulau-pulau terluar. Akan tetapi bilamana keberadaannya atau letak geografisnya berada pada pulau-pulau terluar, maka garis air terendah pada muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut maupun pada pelabuhan, dapat ditarik sebagai suatu garis penutup (closing lines). Pada dasarnya garis pangkal biasa lazimnya dipergunakan oleh negara yang dikualifikasi sebagai negara pantai normal (normal coastal state), seperti Malaysia, Korea Utara, Korea Selatan, RRC, AS, Australia dan banyak negara pantai biasa lainnya yang wilayahnya berupa sebuah daratan atau kontinen semata-mata walaupun tidak tertutup kemungkinan memiliki satu pulau kecil atau lebih yang mungkin secara geografis berada jauh dari wilayahnya. Untuk mempermudah pemahaman mengenai garis pangkal biasa (normal baselines), maka di dibentangkan gambar mengenai garis seperti itu. bawah ini 77 78 Hukum Laut Indonesia Selanjutnya garis pangkal lurus (straight baselines) adalah garis air terendah yang menghubungkan titik-titik pangkal berupa titik-titik terluar yang terdapat pada pantai daratan utama (mainland) suatu negara atau pantai pada gugusan pulau yang berada di depannya (daratan utama). Garis pangkal lurus hanya dapat diterapkan oleh negara yang memiliki daratan utama, namun garis pantainya berliku-liku tajam pada daratan utama tersebut. Selain memiliki daratan utama yang pantainya berliku-liku tajam, negara tersebut juga memiliki deretan atau gugusan pulau-pulau yang letaknya berdekatan dengan pantai daratan utama. Negara tersebut juga memiliki apa yang dinamakan delta maupun kondisi alam lainnya yang menyebabkan garis pantainya sangat tidak menentu, seperti terdapatnya apa Hukum Laut Indonesia yang dinamakan fyord baik pada daratan utama maupun pada deretan dan gugusan pulau di dekatnya. Negara dengan kondisi geografis seperti itulah yang dapat menggunakan dan menerapkan garis-garis pangkal lurus di mana perairan yang terdapat atau berada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal lurus itu adalah merupakan perairan pedalaman (internal waters), sementara perairan yang terletak pada sisi luar dari garis-garis pangkal lurus itu adalah merupakan jalur laut teritorial yang lebarnya maksimal 12 mil laut yang dihitung atau diukur dari garis-garis pangkal lurus. Namun demikian garis pangkal lurus bukan sesuatu yang dapat berdiri sendiri karena bagaimanapun garis pangkal ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal normal yang disebut juga garis air terendah atau garis air surut. Di samping persyaratan tadi, maka untuk dapat menerapkan garis pangkal lurus, maka negara dengan kondisi geografis seperti itu harus memiliki kepentingan ekonomi yang bersifat khusus atau spesifik dimana kepentingan ekonominya atas perairan yang terbentuk berdasarkan garis pangkal lurus adalah merupakan suatu kenyataan serta sesuatu yang sangat signifikan yang secara jelas dapat dibuktikan melalui praktek yang telah berlangsung lama. Persyaratan berikutnya adalah bahwa garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai negara yang bersangkutan. Akhirnya garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low tide 79 80 Hukum Laut Indonesia elevation) maupun menuju ke elevasi surut, yang artinya elevasi surut itu tidak boleh digunakan sebagai titik pangkal atau titik terluar terkecuali elevasi surut itu telah memiliki mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanent terus menerus berada di atas permukaan air laut. Negara yang pertama kali menerapkan garis pangkal lurus adalah negeri Norwegia karena wilayahnya secara geografis terdiri dari daratan utama yang pantainya sangat berliku-liku tajam (terdapat anak-anak laut, fyord etc) serta di dekat daratan utama bertebaran gugusan pulau-pulau. Penduduk Norwegia menggantungkan hidupnya pada kegiatan penangkapan ikan pada perairan di sekitar wilayah daratan serta deretan pulau-pulau di depannya, di mana hal ini sudah berlangsung lama secara turun menurun sehingga bagi Norwegia wilayah perairan tersebut memiliki kepentingan ekonomi yang bersifat istimewa. Faktor-faktor inilah yang mendorong Norwegia sehingga mengeluarkan suatu peraturan yang dinamakan sebuah dekrit dari Raja Norwegia (the Royal Decree) pada tahun 1935 yang menetapkan wilayah perairannya sebagai wilayah perikanan di laut territorial serta perairan pedalaman, di mana terbentuknya wilayah perairan ini didasarkan atas penerapan garis pangkal lurus yang merupakan garis-garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar yang terdapat pada pantai daratan utama maupun pada gugusan pulau yang berdekatan dengan daratan utama tersebut. Hukum Laut Indonesia Negara yang memiliki elevasi surut berkewajiban untuk membangun mercu suar atau semacam instalasi di atas elevasi surut tersebut yang tujuannya di samping untuk menunjukkan atau membuktikan kepemilikannya atas elevasi surut, juga terutama untuk menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal yang melewati atau melintasi perairan di sekitar elevasi surut, dengan demikian mercu suar atau instalasi tersebut mempunyai fungsi sebagai tanda peringatan (warning signals) bagi para pemakai laut agar berhati-hati ketika melintasi perairan di sekitar elevasi surut sebab perairan yang berada di sekitar atau di sekeliling elevasi surut itu adalah merupakan perairan yang sangat dangkal atau perairan di mana terdapat karang-karang kering sehingga dapat membahayakan keselamatan berlayar. Apa yang dinamakan elevasi surut tentu berbeda dengan apa yang dinamakan pulau (natural island). Walaupun di antara keduanya terdapat persamaan di mana keduanya baik pulau maupun elevasi surut adalah merupakan wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, namun sebuah pulau senantiasa berada di atas permukaan air laut kendati air laut sedang mengalami gejala atau peristiwa pasang yang setinggitingginya (lihat Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982). Sedangkan apa yang disebut elevasi surut hanya bisa muncul di atas permukaan air laut ketika air laut itu sedang surut, tetapi ketika air laut itu sedang mengalami pasang yang setinggi-tingginya, elevasi surut tersebut pasti tenggelam 81 82 Hukum Laut Indonesia sehingga tidak kelihatan di atas permukaan air laut dan dengan demikian bisa berbahaya bagi keselamatan pelayaran. Untuk mencegah ataupun mengurangi timbulnya bahaya bagi keselamatan berlayar, maka negara yang memiliki elevasi surut (semacam gundukan tanah ataupun batu karang di daerah lepas pantai mempunyai kewajiban untuk memasang (install) mercu suar atau instalasi di atas elevasi surut tersebut yang tujuannya terutama untuk melindungi keselamatan pelayaran, di samping untuk membuktikan atau menunjukkan status hukum dari elevasi surut tadi (low tide elevation). Di bawah ini dipaparkan gambar mengenai garis pangkal lurus (straight baselines). Hukum Laut Indonesia C. Syarat-Syarat Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan dapat diterapkan oleh negara yang dikualifikasi sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) seperti halnya dengan Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) adalah garisgaris air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau dan karang kering terluar yang dimiliki oleh Negara Kepulauan. Syarat utama penarikan garis pangkal lurus kepulauan adalah bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan harus meliputi pulau-pulau utama (main islands) dari negara kepulauan tersebut. Garis pangkal lurus kepulauan yang ditarik oleh Indonesia harus dapat mencakup pulau-pulau utama seperti Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Selain daripada itu dengan penarikan garis pangkal lurus kepulauan, maka perbandingan antara luas wilayah perairan dengan luas wilayah daratan termasuk atoll atau karang kering harus berkisar antara satu berbanding satu sampai sembilan berbanding satu. Dengan mencermati wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari wilayah perairan yang menyatu dengan wilayah daratan berdasarkan penerapan garis pangkal lurus kepulauan, dengan memperhatikan Pulau Sumatera atau Pulau Jawa serta wilayah perairan di sekitarnya, maka tampak perbandingan antara luas wilayah perairan di sekitar Pulau Sumatera ataupun di sekitar Pulau 83 84 Hukum Laut Indonesia Jawa dengan luas wilayah daratan Pulau Sumatera ataupun wilayah daratan Pulau Jawa adalah sekitar satu berbanding satu. Akan tetapi ketika kita mencermati Kepulauan Maluku (Propinsi Maluku dan Propinsi Maluku Utara) serta wilayah perairan di sekitarnya, maka luas wilayah perairannya dengan luas wilayah daratannya perbandingannya dapat mencapai sembilan berbanding satu. Selanjutnya terdapat beberapa pembatasan dalam menerapkan garis pangkal lurus kepulauan. Pertama, setiap garis pangkal lurus kepulauan dapat mempunyai kepanjangan maksimal 100 mil laut, dengan demikian panjangnya bisa kurang dari 100 mil laut, tetapi tidak boleh melebihi 100 mil laut. Namun ketentuan mengenai pembatasan setiap garis pangkal lurus kepulauan ini masih disertai dengan suatu pengecualian yang menyatakan dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal lurus kepulauan yang terbentuk, 3 persen di antaranya dimungkinkan untuk mencapai kepanjangan maksimum hingga 125 mil laut. Dengan berpatokan pada ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, maka terdapat 166 titik pangkal yang dapat digunakan dalam menetapkan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Sebanyak 3 persen dari jumlah seluruh garis pangkal lurus kepulauan yang ada panjangnya dimungkinkan Hukum Laut Indonesia sampai maksimal 125 mil laut. Pembatasan berikutnya adalah bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan tersebut, yang menurut hemat kami pengertiannya sama dengan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah pantai dari kepulauan maupun dari pulau-pulau pada umumnya. Dengan mencermati estimasi keseluruhan garis-garis pangkal kepulauan Indonesia yang menyatukan wilayah kepulauan serta wilayah perairan (dengan catatan apabila kita menetapkan peta mengenai garis pangkal kepulauan Indonesia), maka kelihatan sekali garis-garis pangkal kepulauan Indonesia secara terpadu memperlihatkan konfigurasi yang mirip atau menyerupai seekor kuda lumping yang terkenal dalam seni budaya Jawa sehingga memenuhi ketentuan yang menyatakan garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan Republik Indonesia. Selanjutnya dinyatakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut dan dengan begitu elevasi surut (low tide elevation) seperti misalnya karang kering (drying reef) atau atoll yang umumnya hanya tampak dan kelihatan ketika air laut sedang surut, tidak dapat dipakai sebagai titik pangkal seandainya terletak di sekitar pulau terluar. Namun demikian elevasi surut yang secara geografis berada di sekitar pulau terluar bisa saja 85 86 Hukum Laut Indonesia digunakan sebagai titik pangkal asal saja di atas elevasi surut tadi telah dibangun dan dipasang mercu suar atau instalasi serupa yang secara terus menerus berada di atas permukaan laut sehingga tidak membahayakan keselamatan berlayar. Di samping itu elevasi surut tersebut dapat digunakan sebagai titik pangkal bilamana seluruh atau sebagian dari elevasi surut itu terletak dalam jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial yang diukur atau dihitung dari pulau terdekatnya. Pembatasan lain yang harus menjadi perhatian dalam menerapkan garis pangkal lurus kepulauan adalah bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik sedemikian rupa sehingga memotong perairan laut territorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Dengan mencermati perairan kepulauan di sekitar Kepulauan Natuna sebagai wilayah perairan Republik Indonesia yang terletak antara Semenanjung Barat Malaysia dengan Semenanjung Timurnya, laut territorial Malaysia pada kedua semenanjung tersebut samasekali tidak terganggu dengan diterapkannya garis pangkal lurus kepulauan Indonesia yang menghubungkan pulau-pulau terluar di Laut Natuna yang berbatasan dan berdekatan dengan wilayah Malaysia. Selanjutnya garis pangkal lurus kepulauan bukan sesuatu yang berdiri sendiri sebab bagaimanapun harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal lainnya, seperti garis pangkal normal, garis pangkal lurus dan Hukum Laut Indonesia garis-garis penutup pada teluk, sungai dan pelabuhan baik yang berada pada bagian dalam maupun bagian luar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan Indonesia harus ditegaskan melalui sebuah Peta yang menurut hemat kami dapat dinamakan peta garis pangkal kepulauan RI yang bertujuan untuk menjamin batas-batas wilayah RI dalam hubungannya dengan negara-negara tetangga dan sekaligus menjamin dan melindungi kedaulatan serta keutuhan territorial NKRI. Kalau belum dibuat peta mengenai garis pangkal kepulauan Indonesia, maka dapat dibuat Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal. Kenyataan memperlihatkan bahwa hingga saat ini RI belum membuat Peta; tetapi sudah menetapkan adanya Daftar Koordinat Geografis (sebagai pengganti Peta) menurut skala yang memadai melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dan berdasarkan ketentuan internasional Daftar Koordinat ini harus didepositkan pada Sekjen PBB dengan maksud untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat internasional khususnya dari negara-negara peserta KHL 1982, di samping legitimasi dari Organisasi PBB yang berdasarkan KHL 1982 juga menjadi peserta dari Konvensi Hukum Laut 1982 sebagaimana halnya dengan 87 88 Hukum Laut Indonesia badan-badan khusus dari PBB (Specialized Agencies of the United Nations). D. Peraturan Presiden RI Mengenai Pengelolaan PulauPulau Kecil Terluar Kemudian mari kita lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 yaitu Peraturan Presiden yang mengatur pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah RI untuk menjaga keutuhan NKRI (Pasal 1 PP RI Nomor 78 Tahun 2005). Hukum Laut Indonesia Sedang Pulau-pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 kilometer persegi yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Pulau-pulau kecil terluar yang dimaksudkan tadi tercantum di dalam Lampiran Peraturan Presiden yang di dalamnya terdapat 92 pulau kecil terluar disertai dengan koordinat titik terluarnya dapat dipakai sebagai titik pangkal untuk garis pangkal kepulauan Republik Indonesia. Selanjutnya Pasal 2 dari Peraturan Presiden tersebut mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan pulaupulau kecil terluar adalah berikut ini. Pertama, menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan. Kedua, memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Ketiga, memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Karena pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mempunyai tujuan-tujuan seperti itu, maka pengelolaannya didasarkan atas prinsip-prinsip wawasan nusantara, pembangunan yang berkelanjutan serta berbasis masyarakat. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar berpedoman atau mengacu pada rencana Tata Ruang Wilayah, yang pengelolaannya dilakukan secara terpadu antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan dilakukan sesuai dengan ketentuan 89 90 Hukum Laut Indonesia peraturan perundang-undangan. Pengelolaan ini meliputi berbagai bidang seperti sumber daya alam serta lingkungan hidup, infrastruktur dan perhubungan, pembinaan wilayah, pertahanan dan keamanan, dan pengelolaan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dikoordinasikan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi yang merupakan wadah koordinasi non structural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Demikian ulasan yang bersifat deskriptif yuridis tentang pengaturan zonasi laut Indonesia berdasarkan azas negara kepulauan yang berfokus pada penerapan sistem garis pangkal kepulauan. Penerapan garis pangkal kepulauan ini terjadi dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan, tetapi garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat berdiri sendiri sebab garis yang disebut terakhir ini harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa, garis pangkal lurus serta garis penutup pada sungai, teluk dan pelabuhan sepanjang terdapat pada pulau-pulau terluar. Hukum Laut Indonesia BAB IV PENGATURAN HUKUM MENGENAI LINTAS LAYAR DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA DAN KESELAMATAN PELAYARAN A. Pelbagai Macam Lintas Layar di Wilayah Perairan Indonesia Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis pangkal lurus kepulauan Indonesia disebut perairan kepulauan yang status hukumnya sama seperti laut teritorial (yang terletak pada bagian luar dari garis pangkal lurus kepulauan) di mana Negara Republik Indonesia mempunyai kedaulatan atas perairan kepulauan serta laut teritorialnya, yang juga meliputi ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya maupun sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi kedaulatan tersebut tidak bersifat mutlak sebab negara Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk memperkenankan kapal-kapal asing dalam segala jenisnya untuk melaksanakan hak lintas damai (innocent passage) maupun hak lintas transit (transit passage) dan hak lintas alur-alur laut kepulauan (archipelagic sealanes passage). Apa yang dimaksud dengan hak lintas damai, hak lintas transit dan hak lintas alur laut kepulauan? KHL 1982 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 telah mengatur hal ini. Hak lintas damai (the right of innocent passage) adalah hak yang diberikan kepada kapal asing dalam segala jenisnya 91 92 Hukum Laut Indonesia untuk berlayar melewati laut teritorial dan atau perairan kepulauan suatu negara yang dalam hal ini melewati laut teritorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Dari pengertian ini terdapat beberapa kemungkinan terkait dengan kapal asing yang melintasi perairan Indonesia. Kemungkinan pertama kapal asing datang dari laut bebas, lalu melewati laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia dan menyinggahi perairan pedalaman di suatu pelabuhan atau tempat persinggahan. Kemungkinan kedua, kapal asing itu meninggalkan pelabuhan atau tempat persinggahan, lalu melintasi laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia untuk seterusnya menuju ke laut bebas atau periran internasional. Kemungkinan ketiga, kapal asing itu datang dari laut bebas menuju ke laut bebas lainnya, dengan hanya semata-mata melintasi laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Hak lintas damai harus dilaksanakan secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin. Akan tetapi kapal asing dapat berhenti, membuang sauh atau jangkar asal kegiatan ini terkait dengan navigasi yang sudah lazim terjadi ataupun kegiatan ini perlu dilakukan karena kapal asing tadi mengalami keadaan memaksa (force majeure) atau mengalami kesulitan ataupun kegiatan berhenti dan membuang jangkar itu perlu dilakukan dengan maksud untuk memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam bahaya atau kesulitan. Hukum Laut Indonesia Kapal asing yang sedang melintasi wilayah perairan Indonesia tidak boleh menimbulkan gangguan terhadap kedamaian atau ketenteraman, ketertiban umum dan keamanan di wilayah RI. Kapal asing juga tidak boleh melakukan kegiatankegiatan yang dilarang oleh KHL 1982 (Pasal 19 juncto Pasal 52), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 yang menetapkan kurang lebih 12 kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh kapal asing selama melewati laut territorial dan atau perairan kepulauan Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia telah menindaklanjuti ketentuan Pasal 19 (lintas damai di laut teritorial), Pasal 38 (lintas transit di Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional), Pasal 45 (lintas damai di Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional), Pasal 52 (lintas damai di perairan kepulauan) dan Pasal 53 (lintas alur laut kepulauan) di dalam sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1998, tetapi berlakunya pada tahun 2002 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002, yang mengatur mengenai Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) serta adanya 19 persyaratan yang harus dipenuhi kapal asing yang melewati Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Akan tetapi sebelum dibentangkan ke-19 persyaratan berdasarkan Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996, perlu dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak lintas transit (the 93 94 Hukum Laut Indonesia right of transit passage) berdasarkan ketentuan Pasal 38 KHL 1982 dan apa yang dimaksud dengan hak lintas alur-alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage) berdasarkan ketentuan Pasal 53 KHL 1982. Hak lintas transit berlaku di Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used for International Navigation), yaitu bagian laut yang terletak di antara dan menghubungkan satu bagian dari ZEE atau laut lepas dengan bagian lain dari ZEE atau laut lepas. Selat tersebut merupakan bagian dari laut teritorial yang dimiliki bukan oleh satu negara saja, melainkan oleh beberapa negara. Pada selat seperti itu segala jenis kapal dan pesawat udara asing diperkenankan untuk melaksanakan hak lintas transit. Hak lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan bab ini (bab III mengenai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional) untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas dan zona ekonomi eksklusif lainnya. Namun demikian persyaratan transit secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalui selat untuk tujuan memasuki, meninggalkan atau kembali dari suatu negara yang berbatasan dengan selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat masuk negara itu. Oleh karena itu setiap kegiatan yang bukan Hukum Laut Indonesia merupakan pelaksanaan hak lintas transit melalui suatu selat tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini. Demikian gambaran makro mengenai hak lintas transit yang berlakunya di Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional. Selanjutnya mengenai hak lintas alur-alur laut kepulauan ditentukan di dalam Pasal 53 KHL 1982. Suatu negara kepulauan dapat menentukan alur-alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut territorial yang berdampingan dengannya. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan di dalam alur laut dan rute penerbangan di atasnya. Hak Lintas alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage) berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara yang normal (normal mode) semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau ZEE dan bagian laut lepas atau ZEE lainnya. Demikian ketentuan Pasal 53 KHL 1982. Sedang Pasal 52 KHL 1982 menyatakan bahwa dengan tunduk pada ketentuan Pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 50, kapal semua negara menikmati hak 95 96 Hukum Laut Indonesia lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Bab II, Bagian 3. B. Analisis Perbandingan dari Berbagai Macam Lintas Layar Untuk dapat memahami secara baik dan benar pengertian ketiga macam lintas pelayaran di wilayah perairan suatu negara, terutama di wilayah perairan RI, maka perlu diadakan perbandingan di antara ketiganya yang memperlihatkan adanya persamaan-persamaan serta perbedaanperbedaan antara rezim hukum hak lintas damai di satu pihak dengan rezim hukum hak lintas alur laut kepulauan dan rezim hukum hak lintas transit di lain pihak. Adapun kesamaan-kesamaannya adalah sebagai berikut. Pertama, Ketiga macam rezim lintas pelayaran menetapkan adanya kewajiban bagi setiap kapal asing dalam segala jenisnya untuk mematuhi peraturan-peraturan hukum nasional dari negara pantai, dalam hal ini peraturan hukum Indonesia serta peraturan hukum internasional yang dapat diberlakukan di dalam wilayah perairannya, termasuk peraturan hukum keselamatan pelayaran seperti SOLAS Convention dan COLREG Regulation. Kewajiban seperti ini akan menjadi jelas apabila kita membahas kesembilan belas persyaratan yang harus dipenuhi oleh kapal dan pesawat udara asing yang melintasi wilayah perairan Republik Indonesia sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 5 Desember Tahun 1998 yang mulai berlaku tanggal 5 Juni 1999. Itu Hukum Laut Indonesia persamaan pertama. Kedua, ketiga macam rezim lintas pelayaran juga menetapkan adanya kewajiban bagi kapal asing dalam semua jenisnya untuk melakukan navigasi secara terus menerus dan cepat (continuous and expeditious). Akan tetapi kewajiban seperti ini tidak berarti bahwa kapal asing yang melewati wilayah perairan Indonesia samasekali tidak boleh berhenti atau membuang jangkar. Kapal asing boleh saja berhenti dan membuang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam bahaya atau mengalami kesulitan. Walaupun pada dasarnya kapal asing tidak diperkenankan untuk berhenti dan membuang jangkar, namun dalam keadaan-keadaan tertentu kapal tersebut boleh saja melakukannya asal saja dilakukan dalam keadaan terpaksa, seperti kapal tersebut mengalami kesulitan teknis berupa gangguan pada mesin kapal, atau kapal harus berhenti dan membuang jangkar karena kapal tersebut harus memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang, kapal, pesawat udara yang sedang mengalami musibah di tengah-tengah laut dalam wilayah perairan Indonesia. Ketiga, Ketiga macam rezim lintas pelayaran itu menetapkan adanya kewajiban bagi kapal asing dalam segala jenisnya yang melewati atau melintasi wilayah perairan Indonesia untuk menggunakan atau mengikuti alur-alur laut yang telah 97 98 Hukum Laut Indonesia ditetapkan maupun jalur pemisah lalu lintas yang telah ditentukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Terdapat tiga macam alur-alur laut kepulauan (ALKI) yang telah dipersiapkan sejak tahun 1995 melalui rapat kerja nasional yang dihadiri oleh wakil departemen-departemen dan lembaga-lembaga terkait yang menghasilkan konsep ALKI Utara-Selatan yang pada dasarnya sama dengan konsep ALKI yang dihasilkan melalui Forum Strategi Angkatan Laut tahun 1991. Ketiga konsep ALKI Utara-Selatan yang telah ditetapkan adalah 1) ALKI I yang mempunyai dua cabang di Utara, dimulai dari Laut Cina Selatan atau Laut Natuna, lalu ke Selat Karimata, lalu ke Laut Jawa, ke Selat Sunda, lalu menuju ke Samudera Hindia. 2) ALKI II dimulai dari Laut Sulawesi, lalu ke Selat Makassar, lalu ke Selat Lombok, lalu menuju ke Samudera Hindia. 3) ALKI III yang mempunyai 3 jalur atau cabang di Selatan. Dengan begitu ada ALKI III A, ada ALKI III B dan ada ALKI III C. dimulai dari Samudera Pasifik, lalu ke Laut Maluku, lalu ke Laut Seram, lalu ke Laut Banda, lalu ke Selat Ombai, lalu menuju ke Laut Sawu (ALKI III A), atau menuju Laut Timor (ALKI III B),atau menuju Laut Arafura (ALKI III C). Ketiga konsep ALKI yang dihasilkan tadi dan juga tentunya apa yang disebut Skema Pemisah Lalu Lintas (Traffic Separation Scheme) kemudian diserahkan dan diajukan kepada Organisasi Maritime Internasional untuk mendapatkan persetujuannya. Setelah IMO melalui Komite Keselamatan Hukum Laut Indonesia Maritim (Maritime Safety Committee) melakukan persidangan sebanyak 3 kali (MSC – 67 IMO tanggal 2-6 Desember 1996; MSC – 43 IMO tanggal 14-18 Juli 1997; MSC - 69 IMO tanggal 11-20 Mei 1998), maka pada tanggal 19 Mei 1998 Konsep ALKI yang telah diajukan oleh Pemerintah RI telah diadopsi oleh MSC – 69 IMO. Masing-Masing ALKI mempunyai pintu masuk (entry point) di sebelah Utara di luar laut teritorial Indonesia dan juga mempunyai pintu keluar (exit point) di sebelah Selatan di luar laut territorial Indonesia, demikian pula sebaliknya masing-masing ALKI mempunyai pintu masuk di sebelah Selatan dan pintu keluar di sebelah Utara, di mana keberadaan pintu masuk dan pintu keluar sangat ditentukan oleh keberadaan dari suatu kapal asing yang akan melintasi wilayah perairan Republik Indonesia. Sesuai ketentuan yang ada setiap ALKI harus dibuat melalui pendekatan garis sumbu (axis lines approach) yang memberikan gambaran mengenai adanya garis-garis sumbu atau maya yang sifatnya sambung me-nyambung tanpa terputus-putus yang dimulai dari Utara sampai ke Selatan atau sebaliknya dari Selatan hingga ke Utara dengan melintasi laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia. Melalui pendekatan garis sumbu tersebut ALKI dapat diasumsikan sebagai sebuah lorong atau koridor kendati sesungguhnya tidak demikian yang secara imaginative seakan-akan lebarnya maksimal 25 mil laut yang dapat digu- 99 100 Hukum Laut Indonesia nakan dan diikuti oleh kapal asing ketika melintasi wilayah perairan Indonesia di mana kapal asing tidak boleh menyimpang melebihi batas 25 mil laut baik pada sisi kiri maupun sisi kanan dari jalur lintasannya serta kapal tersebut tidak boleh mendekati pantai dari pulau-pulau yang terdekat dengan alur-alur laut atau jalur lintasannya. Keempat, Indonesia sebagai negara pantai dan negara kepulauan mempunyai kewajiban untuk tidak menghalanghalangi lintas pelayaran yang dilakukan kapal asing karena pada azasnya ketiga macam lintas pelayaran merupakan hak untuk melakukan navigasi secara terus menerus dan cepat dan tidak terhalang kecuali aparat hukum dan keamanan mempunyai alasan kuat untuk menghalang-halanginya seperti melakukan pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum yang berlaku di dalam wilayah perairan Republik Indonesia seperti pencurian ikan, penyelundupan, pencemaran lingkungan laut, pelanggaran aturan keselamatan pelayaran dan lain-lainnya. Di samping itu negara Republik Indonesia berkewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan pada waktunya mengenai adanya bahaya-bahaya yang terdapat di dalam wilayahnya. Kewajiban-kewajiban seperti itu sebagaimana terdapat dalam KHL 1982 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 sesungguhnya merupakan penegasan kembali dari kaidah hukum kebiasaan internasional yang telah mendapat pengukuhan dari Mahkamah Inter- Hukum Laut Indonesia nasional berdasarkan keputusannya terkait kasus Selat Corfu (the Corfu Channel Case) antara Inggeris dan Albania pada tahun 1949 (L.C. Green, 1978:228-237). Demikian persamaan-persamaan di antara ketiga macam lintas pelayaran. Sedangkan perbedaan-perbedaannya dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, rezim hukum lintas damai (innocent passage) menetapkan adanya kewajiban bagi kapal selam (submarine) untuk muncul di atas permukaan air laut serta menunjukkan bendera kebangsaannya pada waktu melintasi wilayah perairan Indonesia. Kewajiban bagi kapal selam untuk muncul di atas permukaan air laut dan memperlihatkan bendera negaranya tidak berlaku bagi kapal selam yang melintasi wilayah perairan Indonesia berdasarkan rezim hak lintas transit ataupun hak lintas aluralur kepulauan sehingga kapal selam tetap dapat menyelam sebagaimana lazimnya (in normal mode) sesuai dengan karakteristik dari kapal selam maupun kendaraan bawah air lainnya (underwater vehicle). Kedua, Hak lintas damai hanya dapat dinikmati oleh kapal asing dalam segala jenisnya sebab rezim hukum lintas damai hanya berlaku di dalam wilayah perairan, termasuk di wilayah perairan Republik Indonesia. Pesawat udara asing yang melakukan penerbangan melalui rute-rute udara di atas wilayah perairan Indonesia dapat melakukannya berdasarkan persetujuan atau perizinan dari otoritas yang berwenang dan tidak berdasarkan hak lintas damai sebab hak ini hanya 101 102 Hukum Laut Indonesia berlaku bagi kapal asing dan tidak bagi pesawat udara asing. Sebaliknya hak lintas transit dan hak lintas alur laut kepulauan selain dapat dinikmati oleh kapal asing dalam segala jenisnya, juga dapat dinikmati oleh pesawat udara asing di mana pesawat ini dapat menerbangi rute-rute udara yang berada di atas alur laut kepulauan Indonesia. Pesawat udara termasuk pesawat militer yang berada di atas sebuah kapal induk yang sedang melintasi wilayah perairan di dalam alur laut kepulauan Indonesia dapat melakukan penerbangan secara bebas tanpa meminta persetujuan atau izin dari Pemerintah RI ditinjau dari segi penafsiran teoretis atas rezim lintas transit ataupun rezim lintas alur laut kepulauan berdasarkan KHL 1982. Hal ini berarti bahwa apa yang ditentukan di dalam KHL 1982 dan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia, yakni adanya kebebasan melakukan pelayaran dan penerbangan di Alur Laut Kepulauan Indonesia sudah tidak sejalan dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 yang telah menjadi hukum positif Indonesia yang pada prinsipnya menekankan bahwa penerbangan pesawat udara asing melalui ruang udara termasuk yang berada di atas ALKI hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan atau izin dari Republik Indonesia sebagai negara kolong. Namun demikian kedua ketentuan tersebut tidak perlu dipertentangkan sebab keduanya dapat berjalan berda- Hukum Laut Indonesia sarkan azas yang di dalam Ilmu Hukum disebut azas lex specialis derogat legi generali, yang berarti hukum khusus (KHL !982 atau Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996) mengesampingkan hukum umum (Konvensi Chicago) ataupun berdasarkan azas lex posterior derogat legi priori, yang berarti hukum yang dibuat kemudian dapat mengesampingkan hukum yang dibuat sebelumnya. Namun demikian pengaturan KHL 1982 dan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 dalam kaitan dengan hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal asing khususnya kapal perang serta pesawat udara asing telah diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun Nomor 37 Tahun 2002 mengenai Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang memuat 19 persyaratan melalui ALKI. Salah satu persyaratan yang disebutkan di dalam PP tersebut menyatakan bahwa kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing dilarang melakukan latihan perang-perangan. Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang merupakan unit-unit kapal perang asing, juga kapal yang menggunakan tenaga nuklir diharapkan untuk melakukan pemberitahuan kepada Pemerintah RI dalam hal ini Panglima TNI terlebih dahulu. Perlunya ada pemberitahuan terlebih dahulu oleh kapal-kapal seperti itu mempunyai tujuan untuk menjamin kepentingan keselamatan pelayaran serta untuk 103 104 Hukum Laut Indonesia mengambil tindakan permulaan yang diperbolehkan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan. Akhirnya perbedaan ketiga, rezim hukum lintas damai memperkenankan negara Republik Indonesia untuk melakukan penangguhan terhadap pelayaran kapal asing di wilayah perairannya, sementara rezim hukum lintas transit dan lintas alur laut kepulauan tidak memperkenankan Indonesia untuk melakukan tindakan penangguhan seperti itu. Kalau dalam konteks hak lintas damai penangguhan itu perlu dilakukan, maka harus diperhatikan syarat-syarat berikut ini. Pertama, tindakan penangguhan itu hanya dapat dilakukan pada bagian-bagian tertentu dari wilayah perairan Republik Indonesia. Kedua, tindakan penangguhan itu hanya dapat dilakukan untuk sementara waktu. Ketiga, tindakan tersebut dilakukan di samping untuk membuktikan kedaulatan Indonesia di wilayah perairannya, juga untuk menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal asing. Keempat, tindakan tersebut hanya dapat berlaku efektif setelah diadakan pengumuman yang sewajarnya. Dalam pengertian praktis tindakan penangguhan (suspension) tersebut dilakukan dengan menutup untuk sementara waktu bagian-bagian laut yang biasa digunakan oleh kapal asing dalam segala jenisnya. Pemerintah RI tidak sekedar menutup bagian-bagian laut tertentu saja sebab kalau ini yang terjadi berarti Pemerintah menghambat dan menghalangi hak kapal asing untuk melintasi wilayah perairan, padahal ini samasekali Hukum Laut Indonesia dilarang terkecuali kapal asing melakukan pelanggaran hukum. Dengan demikian Pemerintah atau otoritas terkait mempunyai kewajiban untuk menyediakan bagian-bagian laut lainnya sebagai alternative yang dapat digunakan sehingga kapal asing tetap dapat menikmati haknya dalam melintasi wilayah perairan Indonesia dengan mengikuti alur laut kepulauan yang telah ditentukan. Selanjutnya dalam memahami secara baik dan benar soal implementasi atau penerapan atas ketiga macam lintas pelayaran yang memiliki persamaan-persamaan (di samping perbedaan-perbedaannya) sehingga sering tidak dapat dipisahkan satu sama lain di dalam wilayah perairan Indonesia, maka perlu sekali dipaparkan apa yang 105 106 Hukum Laut Indonesia sebelumnya pernah disinggung mengenai adanya sembilan belas persyaratan yang harus ditaati oleh kapal dan pesawat udara asing kepulauan yang melaksanakan Indonesia (Penyuluhan hak lintas Hukum alur ALKI, laut Dinas Pembinaan Hukum TN I AL, MABES TNI AL Cilangkap, 1998:2-3) : 1. Kapal-kapal yang berada di ALKI tidak akan mengganggu kedaulatan (souvereignty), keutuhan teritorial (territorial integrity) atau kemerdekaan (independence) dan persatuan nasional Indonesia (national union of Indonesia). Kapal-kapal yang dimaksud tentu semua jenis kapal (kapal dagang, kapal perang, kapal berbendera Republik Indonesia ataupun kapal asing dan lain-lain) tidak akan melaksanakan setiap kegiatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum internasional sebagaimana ditetapkan di dalam Piagam PBB. 2. Pesawat terbang (tentu saja yang dimaksud disini pesawat terbang dalam segala jenisnya baik itu pesawat sipil maupun pesawat militer) dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan tidak diperbolehkan untuk melakukan penerbangan di luar alur-alur laut (di atas atau dengan pengecualian Rezim Organisasi Penerbangan Sipil Internasional/Regime ICAO) dan pesawat terbang tersebut tidak akan terbang terlalu dekat dengan pulau-pulau atau daratan di dalam wilayah teritorial Indonesia, termasuk daerah di dalam ALKI. Penerbangan Hukum Laut Indonesia disertai dengan maneuver pesawat militer AS yang terjadi beberapa tahun lalu di ruang udara diatas Pulau Bawean (Propinsi Jawa Timur) di samping melakukan penerbangan tanpa persetujuan dari dan tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah RI, juga melakukan penerbangan di luar alur-alur laut kepulauan serta mendekati pantai pulau Bawean dalam wilayah kedaulatan sehingga mengancam dan membahayakan kedaulatan serta keutuhan territorial NKRI. 3. Pesawat terbang sipil asing yang melalui ALKI harus mengikuti aturan-aturan penerbangan sipil internasional sebagaimana ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization) seperti misalnya The Chicago Convention tahun 1944. 4. Kapal perang asing dan pesawat terbang militer asing ketika sedang melewati alur-alur laut, tidak diperbolehkan melakukan latihan perang-perangan. Larangan seperti ini tentu terkait masalah pertahanan dan keamanan negara, masalah kedaulatan serta keutuhan teritorial NKRI. Dengan demikan insiden udara di atas Pulau Bawean oleh pesawat militer AS yang melakukan maneuver tanpa persetujuan dari Panglima TNI (seakanakan mengadakan latihan perang-perangan) yang terjadi beberapa tahun sebelumnya sesungguhnya merupakan pelanggaran atas kedaulatan dan keutuhan territorial 107 108 Hukum Laut Indonesia NKRI sekalipun pihak AS merasa tidak terikat terhadap KHL 1982 karena negeri Paman Sam ini belum meratifikasinya hingga saat ini. Namun alasan ini tidak dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari sudut Piagam PBB yang mewajibkan AS untuk menghormati kedaulatan dan keutuhan territorial setiap negara berdaulat, apalagi AS berstatus sebagai anggota tetap dari Dewan Keamanan yang mempunyai tanggungjawab utama dalam memelihara perdamaian serta keamanan internasional. 5. Kapal perang asing dan pesawat terbang asing yang merupakan satuan-satuan atau unit-unit kapal perang asing, di samping kapal-kapal yang menggunakan tenaga nuklir, yang sedang melewati alur laut, diharapkan untuk memberitahukan kepada Pemerintah Republik Indonesia (yaitu Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Panglima TNI) terlebih dahulu demi untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan untuk mengambil tindakan permulaan yang diperlukan jika terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan. Kata “diharapkan” tentu saja berbeda dengan kata “diwajibkan atau diharuskan” sehingga kapal perang asing, pesawat terbang asing dan kapal yang bertenaga nuklir sebenarnya harus melakukan pemberitahuan kepada Panglima TNI sebelum melintasi wilayah perairan Indonesia. Pemerintah RI dalam hal ini Panglima TNI hanya mengharapkan agar kapal-kapal yang disebutkan di atas Hukum Laut Indonesia sebelum melewati ALKI sebaiknya terlebih dahulu menyampaikan notifikasi dengan tujuan untuk menjamin keselamatan pelayaran serta untuk mengambil tindakan permulaan yang memang diperlukan apabila terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan navigasi yang dilakukan oleh kapal-kapal tersebut. 6. Kapal-kapal yang membawa bahan nuklir diharuskan memiliki peralatan perlindungan keamanan dan diharuskan untuk tetap melakukan kontak dan hubungan yang terus menerus dengan pihak TNI Angkatan Laut sesuai dengan Konvensi Perlindungan Fisik Bahan-Bahan Nuklir. Pengertian kapal-kapal tentu saja mencakup segala jenis kapal, entah kapal dagang, kapal penelitian, kapal ikan, kapal perang dan bermacam-macam kapal lainnya, juga entah kapal itu kapal berbendera Indonesia ataupun kapal berbendera asing atau kapal asing kalau membawa dan mengangkut bahan-bahan nuklir dengan melintasi wilayah perairan Indonesia dibebani dengan kewajiban untuk membawa alat perlindungan keama nan serta kewajiban untuk melakukan hubungan secara terus menerus dengan pihak TNI Angkatan Laut dalam rangka menjamin keselamatan pelayaran. 7. Pesawat terbang militer asing yang terbang di atas ALKI harus memperhatikan keselamatan penerbangan sipil serta tetap berhubungan dengan ATC (Air Traffic Control) yang berwenang dan juga pesawat tersebut harus me- 109 110 Hukum Laut Indonesia mantau frekuensi darurat. Penerbangan pesawat militer AS di wilayah udara di atas Pulau Bawean (Propinsi Jawa Timur) yang terjadi beberapa tahun lalu selain merupakan pelanggaran kedaulatan serta mengancam dan membahayakan keutuhan territorial Indonesia, juga sangat membahayakan keselamatan penerbangan sipil sebab masuk ke wilayah RI tanpa meminta izin ataupun tanpa menyampaikan pemberitahuan kepada otoritas terkait, apalagi pesawat-pesawat yang tidak diundang ini ternyata melakukan manuver-manuver yang membahayakan keselamatan penerbangan baik terhadap pesawat sipil maupun pesawat TNI Angkatan Udara yang ditugaskan untuk melakukan tindakan pencegatan atau intersepsi (interception) terhadap pesawat AS yang sudah jelas melakukan tindakan provokasi. 8. Kapal-kapal asing atau pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya bergerak secara hati-hati di ALKI yang penuh dengan kegiatan ekonomi (baik kegiatan di bidang perikanan maupun pertambangan). Untuk itu kapal atau pesawat terbang yang sedang transit sebaiknya memper hatikan aturan-aturan yang menetapkan batas daerah pelayaran (restricted zone) dengan radius sejauh1.250 meter dari batas terluar daerah aman (prohibited zone) instalasi minyak dan gas, dan dilarang memasuki batas daerah aman (prohibited zone) yang radiusnya 500 meter sekitar instalasi minyak dan gas dan selalu memper- Hukum Laut Indonesia hatikan serta berhati-hati terhadap saluran pipa dan kabel laut. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 mengenai Landas Kontinen Indonesia yang masih berlaku hingga sekarang, setiap instalasi atau bangunan khususnya instalasi pertambangan minyak dan gas bumi yang didirikan di Landas Kontinen harus memiliki apa yang disebut daerah terlarang (prohibited area) dan daerah terbatas (restricted area). Daerah terlarang lebarnya tidak boleh melebihi 500 meter yang dihitung dari setiap titik terluar pada instalasi, kapal-kapal dan atau alat-alat lainnya yang terdapat di Landas Kontinen dan atau di atasnya, sedangkan daerah terbatas lebarnya tidak boleh melebihi 1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu, di mana kapal-kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar jangkar. Kapal-kapal harus berlayar secara terus menerus dalam radius antara 500 meter dengan 1.250 meter di sekeliling instalasi, kapal maupun alat-alat lainnya. Kapal asing dan pesawat terbang asing tidak boleh memasuki daerah terlarang atau daerah aman yang radiusnya maksimal 500 meter terhitung dari titik-titik terluar dari instalasi dengan segala perlengkapannya sebab daerah aman ini ditetapkan sebagai daerah pabean di mana berlaku semua peraturan hukum Republik Indonesia. Kapal asing dan pesawat terbang asing hanya bisa melintasi 111 112 Hukum Laut Indonesia daerah terbatas dengan radius 1.250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari instalasi serta segala perlengkapannya. 9. Kapal-kapal peralatan dilarang ikan asing penangkapan melaksanakan harus ikan tetap sewaktu kegiatan menyimpan transit, dan penangkapan ikan ketika melakukan transit di wilayah perairan Indonesia. 10. Kapal-kapal yang melintas transit di perairan alur-alur laut harus berhati-hati dan harus menggunakan peraturan system keselamatan navigasi internasional serta dapat menunjukkan kemampuannya sebagaimana yang dimiliki oleh kapal setempat maupun nelayan dan pelaut setempat. 11. Setiap kapal yang melintasi wilayah perairan Indonesia dilarang membuang benda-benda sisa beracun atau benda berbahaya termasuk sampah di perairan Indonesia. Wilayah perairan Republik Indonesia tidak boleh dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah baik limbah yang mengandung racun atau zat-zat berbahaya lainnya karena Pemerintah dapat menerapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lingkungan hidup (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 mengenai Lingkungan Hidup) yang di dalamnya memuat soal sanksi pidana dan perdata dalam bentuk tuntutan gantirugi terhadap mereka yang terlibat dalam tindakan pencemaran mau- Hukum Laut Indonesia pun perusakan lingkungan hidup termasuk lingkungan laut serta sumber daya alam yang terdapat di dalamnya. 12. Dengan berpedoman pada berbagai peraturan perundangan soal lingkungan hidup, maka setiap kapal dilarang untuk melakukan pembersihan tangki-tangki kapal atau mengotori wilayah perairan Indonesia ketika melintasi wilayah perairan Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui terdapat berbagai macam sumber yang menyebabkan terjadinya pencemaran laut. Ada yang berasal dari sumber di laut itu sendiri dan ada yang berasal dari daratan. Pencemaran yang berasal dari sumber di laut itu sendiri dapat meliputi sumber pencemaran yang berasal dari kapal dan ada yang berasal dari instalasi minyak. Sumber pencemaran yang berasal dari kapal bisa mencakup berbagai factor, seperti kecelakaan kapal (kapal pecah, kapal kandas, tubrukan kapal), kebocoran kapal, pembuangan minyak serta air tangki (pembersihan air tangki) (Komar Kantaatmadja, 1981:15.). 13. Kapal yang sedang melintas tidak diperkenankan untuk berhenti atau membuang jangkar, juga tidak diizinkan untuk bergerak dengan formasi zig-zag berbolak balik kecuali bila menghadapi situasi darurat atau situasi sulit sebagaimana telah dibahas di atas, termasuk dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada ora- 113 114 Hukum Laut Indonesia ng, kapal atau pesawat udara yang sedang terkatungkatung di tengah laut. 14. Kapal yang sedang melintas transit di wilayah perairan Indonesia tidak diizinkan untuk menurunkan personel ataupun material-material ataupun melakukan pemindahan (transfer) personel ataupun material dari dan kepada kapal lain atau melayani berbagai kegiatan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan keimigrasian, bea cukai, dan perekonoman ataupun kondisi kesehatan di wilayah Indonesia. Selama melintasi wilayah perairan Indonesia kapal dalam segala jenisnya tidak boleh melakukan tindakantindakan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan Republik Indonesia dalam bidang-bidang bea cukai, fiscal, keimigrasian dan kesehatan. Pelanggaran terhadapnya akan memberikan hak kepada otoritas terkait untuk menangkap, menahan kapal yang bersangkutan; aparat hukum dapat naik ke atas kapal, melakukan pemeriksaaan di atas kapal, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap personelpersonel yang diduga tersebut, melakukan tersangkut penuntutan dengan di depan pelanggaran pengadilan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. 15. Kapal dan pesawat terbang yang melintas transit tidak diizinkan untuk memberikan bantuan dan pelayanan pada pekerjaan survei dan riset ilmiah kelautan, termasuk tidak boleh melakukan pengambilan contoh Hukum Laut Indonesia atau sampel yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan bersamaan dengan saat melintas. Kapal dan pesawat terbang tidak seharusnya melakukan kegiatan yang berbentuk aktivitas survei atau riset ilmiah kelautan meliputi penelitian alur laut Indonesia dan juga wilayah yang berada di atasnya. 16. Kapal dan pesawat terbang yang melakukan lintas transit dilarang melakukan pemancaran siaran yang tidak mendapat izin atau memancarkan gelombang elektromagnetik yang dimungkinkan akan mengganggu system telekomunikasi nasional dan dilarang mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak perorangan atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki izin resmi di wilayah Indonesia. 17. Kapal yang melintas transit harus selalu memenuhi dan mematuhi peraturan keselamatan navigasi internasional yang telah ditentukan, seperti Konvensi SOLAS, Konvensi COLREG, ISPS Code. 18. Awak kapal, pemilik muatan kapal dapat dikenakan denda baik secara individual maupun kelompok bila menimbulkan kerusakan-kerusakan di wilayah perairan Republik Indonesia. Mereka harus memiliki polis dengan nilai asuransi yang memadai guna membayar (gantirugi) atas kerusakan yang ditimbulkannya, termasuk kerusakan terhadap lingkungan laut. 115 116 Hukum Laut Indonesia 19. Untuk tujuan keselamatan navigasi dan untuk keselamatan di wilayah Indonesia, maka setiap kapal tangker asing, kapal penjelajah yang menggunakan energi nuklir, kapal penjelajah asing yang membawa muatan yang mengandung nuklir atau material berbahaya lain, kapal ikan asing dan termasuk kapal perang asing yang melintas di perairan Indonesia dari perairan ZEE atau laut lepas atau dari perairan ZEE menuju ke perairan laut lepas dan melintasi perairan Indonesia hanya diizinkan melintas melalui alur-alur laut yang telah ditentukan. Semua alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan telah diterima oleh Organisasi Maritime Internasional (The International Maritime Organization) terbuka bagi semua kapal baik kapal yang berbendera Indonesia maupun berbendera asing serta kapal jenis apapun yang ingin melintasi wilayah perairan RI secara cepat dan terus menerus berdasarkan hak lintas alur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage) sebagaimana diatur dalam KHL 1982. Kapal perang (warship), kapal yang membawa barang berbahaya dan kapal penangkap ikan asing yang melintasi perairan Indonesia untuk tujuan transit dari suatu bagian ZEE Indonesia atau laut bebas menuju ke bagian lain dari ZEE Indonesia atau laut bebas dianjurkan untuk melewati ALKI, apakah ALKI I, ALKI II ataukah ALKI III. Selanjutnya Hukum Laut Indonesia perlu mendapat perhatian bahwa kegiatan pelayaran kapal asing melalui wilayah perairan Republik Indonesia lainnya yang berada di luar ALKI tetap diperkenankan, dengan tetap tunduk kepada atau mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai (The Right of Innocent Passage) sebagaimana diatur di dalam KHL 1982 serta peraturan perundangundangan Indonesia yang berlaku seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 mengenai Perikanan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah, Undang-Undang mengenai Pelayaran, Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup, Undang-Undang mengenai Kepabeanan, Undang-Undang Keimigrasian, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang bidang Perekonomian, Undang-Undang Penyiaran, UndangUndang mengenai Pertahanan dan Keamanan Nasional dan segala macam peraturan perundangan yang berlaku dalam wilayah Republik Indonesia termasuk pula peraturan perundangan yang menyangkut keselamatan pelayaran (Keppres RI Nomor 203 Tahun 1966 yang meratifikasi Konvensi SOLAS serta Keppres RI Nomor 107 Tahun 1968 yang meratifikasi Konvensi COLREG atau International Regulation for the Prevention of Collisions at Sea atau Pengaturan Internasional mengenai pencegahan tubru-kan di laut) (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:217) dengan catatan bahwa kedua 117 118 Hukum Laut Indonesia konvensi internasional ini telah berkali-kali mengalami perubahan dan perbaikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat internasional guna menjamin dan meningkatkan perlindungan keselamatan pelayaran. C. Pengaturan Hukum Mengenai Keselamatan Pelayaran Di manapun kapal berada atau berlayar, entah di wilayah perairan nasional dari negara asal kapal itu ataukah di wilayah perairan negara lain ataukah di perairan internasional, senantiasa harus mentaati peraturan-peraturan keselamatan pelayaran sebagaimana diatur di dalam berbagai perjanjian atau konvensi internasional. Peraturan-peraturan keselamatan pelayaran (safety of navigation) memiliki berbagai macam aspek, seperti aspek kelayakan kapal untuk berlayar di laut (seaworthiness of ship), pencegahan tubrukan dan trayek kapal (the prevention of collision and the ship routeing), standar penempatan awak kapal (crewing standard) dan penetapan alat bantu navigasi (navigational aids) (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:185). Berbagai perjanjian internasional yang mengatur soal keselamatan pelayaran dapat dikemukakan seperti Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut 1974, Konvensi mengenai Pencegahan Tubrukan di Laut 1976, Konvensi mengenai Garis Batas Muatan Kapal 1966 dan berbagai konvensi internasional lainnya yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional yang mengatur soal Hukum Laut Indonesia kelayakan kapal dan yang paling mutakhir adalah Peraturan Internasional mengenai Standar Keamanan Kapal maupun Pelabuhan dengan segala fasilitasnya (The International Ship and Port Facility Security Code atau disingkat dengan ISPS Code 2004). Aspek kelayakan kapal untuk dapat berlayar di tengah-tengah laut adalah salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh negara bendera (Flag State), yaitu negara yang benderanya dipergunakan oleh kapal yang bersangkutan. Selanjutnya salah satu faktor yang terkait dengan masalah kelayakan kapal (seaworthiness of ship) adalah faktor nasionalitas atau kebangsaan kapal (nationality of ship), sebab hal ini sangat penting untuk menjaga dan memelihara ketertiban di laut. Nasionalitas kapal bisa menunjukkan hak-hak apa yang dapat dinikmati oleh sebuah kapal maupun kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada kapal itu (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:179-180). Nasionalitas kapal juga menunjukkan negara mana yang menjadi negara bendera (Flag State), yaitu negara yang dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukum atas kapal tersebut. Dengan demikian Nasionalitas kapal menunjukkan pula negara mana yang harus bertanggungjawab menurut hukum internasional atas kapal yang bersangkutan apabila timbul kasus di mana kapal itu melakukan tindakan atau kelalaian yang dapat dihubungkan dengan negara tersebut sehingga dengan begitu nasionalitas kapal juga 119 120 Hukum Laut Indonesia menunjukkan pengertian negara mana yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menjalankan perlindungan diplomatic atas nama kapal tersebut. Bagaimana pengaturan hukum mengenai nasionalitas kapal? Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas dalam Pasal 5 menyatakan bahwa setiap negara dapat menetapkan persyaratan-persyaratan dalam memberikan nasionalitas kepada kapal, syarat-syarat registrasi kapal yang dilakukan di dalam wilayahnya, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kapal itu dalam mendapatkan hak untuk mengibarkan bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi ketentuan pasal itu membatasi hak dan kewenangan negara tersebut sebab di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa harus terdapat hubungan asli (genuine link) antara negara dengan kapal, terutama negara itu harus dapat menjalankan yurisdiksi dan pengawasannya secara efektif dalam masalah administratif, teknik dan sosial terhadap kapal yang mengibarkan benderanya. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hubungan asli (genuine link) atau ukuran-ukuran apa yang dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan asli antara suatu negara dengan kapal, samasekali tidak dijelaskan dalam Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas sehingga dengan demikian adalah tidak jelas apa akibatnya atau konsekuensinya bilamana antara suatu kapal dengan negara yang nasionalitasnya dibawa oleh kapal tersebut tidak ada Hukum Laut Indonesia suatu hubungan asli (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983: 181-183). Itulah sebabnya mengapa dalam praktik negara-negara persyaratan mengenai hubungan asli tidak menimbulkan kewajiban hukum dan tidak mengikat negara-negara sehingga tidak sedikit negara-negara yang tidak mematuhi ketentuan soal hubungan asli (genuine link) atau dengan kata lain ketentuan ini menjadi huruf mati dalam praktek negaranegara. Walaupun sejumlah negara seperti Inggeris, AS, Norwegia dan Perancis mensyaratkan di dalam hukum nasionalnya adanya hubungan asli antara negara dengan kapal dengan menyatakan bahwa para pemilik kapal dan atau awak kapal baik keseluruhan maupun sebagian harus memiliki nasionalitas dari negara yang bersangkutan, namun ternyata negara-negara lain (terutama negara-negara miskin dari kawasan Afrika dan Karibia) tidak menetapkan persyaratan seperti itu di dalam hukum nasionalnya karena tidak satupun dari kelompok terakhir ini yang menjadi peserta pada Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Lepas. Kelompok negara-negara yang tidak mensyaratkan adanya hubungan asli antara negara dengan kapal umumnya dikenal dengan istilah negara-negara “Flag of Convenience States” atau “Open Registry States”. Hal ini disebabkan karena negara-negara tersebut mengizinkan pemilik kapal asing untuk mendaftarkan kapalnya di dalam wilayah negaranegara tersebut dan mengizinkan pemilik kapal untuk mem- 121 122 Hukum Laut Indonesia pergunakan benderanya walaupun antara pemilik kapal dengan salah satu dari kelompok negara-negara tersebut tidak terdapat hubungan asli atau tidak memperlihatkan adanya suatu hubungan yang bersifat substansial. Di lain sisi banyak pemilik kapal yang berasal dari negara-negara maju seperti AS, Yunani, Jepang dan Hong Kong merasa tertarik untuk meregistrasi kapalnya di negaranegara yang dinamakan Flag of Convenience atau Open Registry States karena selain alasan tidak disyaratkannya mengenai hubungan asli atau tidak diperlukan adanya hubungan asli, juga disebabkan negara-negara itu menetapkan biaya dan pajak yang sangat rendah bagi pemilik kapal apabila mendaftarkan kapalnya di negara-negara tersebut, persyaratan penempatan awak kapal yang cukup meringankan bagi pemilik kapal serta gaji yang sangat rendah sehingga dengan demikian biaya operasional yang dikeluarkan oleh pemilik kapal dapat ditekan sekecil mungkin dan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan signifikan bagi pemilik kapal. Negara-negara seperti Liberia, Somalia, Siprus, Panama dan lain-lainnya dapat dikualifikasi ke dalam kelompok negara-negara yang disebut “Flag of Convenience atau Open Registry States” karena peraturan-peraturan hukumnya tidak mensyaratkan adanya hubungan asli antara pemilik kapal atau operator kapal dengan negara yang bersangkutan dan juga peraturan hukum negara-negara itu dianggap lunak Hukum Laut Indonesia dalam menetapkan syarat-syarat penempatan awak kapal, di samping keringanan persyaratan registrasinya. Negara-negara tersebut juga sering dituding selama tenggang waktu yang lama tidak mau dan tidak sanggup melaksanakan yurisdiksinya secara efektif atas kapal-kapal yang mengibarkan benderanya ketika tersangkut dalam masalah pencemaran maupun keselamatan pelayaran. Meskipun syarat adanya hubungan asli sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 hanya membawa pengaruh sangat kecil untuk tidak mengatakan ketentuan itu samasekali tidak berpengaruh atas praktek negara-negara sejak berlakunya Konvensi Geneva1958 mengenai Laut Bebas, namun syarat itu ternyata ditegaskan kembali melalui Pasal 91 KHL 1982. Akan tetapi syarat hubungan asli yang terdapat di dalam Pasal 91 KHL 1982 tidak lagi dikaitkan dengan pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif atas suatu kapal dan di sinilah terletak perbedaan antara pasal 91 KHL 1982 dengan Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 yang menyatukan atau mengkaitkan secara langsung persyaratan hubungan asli dengan pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif. Pelaksanaan yurisdiksi negara bendera secara efektif tidak diatur dalam Pasal 91 KHL 1982, tetapi diatur dalam suatu pasal tersendiri, yakni dalam Pasal 94 sehingga hal ini membawa pengaruh yang cukup besar terhadap praktek negara-negara yang mengecam negara-negara yang disebut Flag 123 124 Hukum Laut Indonesia of Convenience atau Open Registry States. Dalam konteks ini dapat dikemukakan bahwa pada bulan Juni 1981 Komite Perkapalan dari UNCTAD (UNCTAD Committee on Shipping) menerima sebuah Resolusi yang merekomendasikan agar rezim hukum open registry secara bertahap dan progressif diubah menjadi rezim hukum pendaftaran biasa (normal registry). Perubahan ini dapat dilakukan dengan cara memperketat syarat-syarat registrasi kapal di mana negara yang biasanya menganut system pendaftaran terbuka harus dapat menguasai (retain) kapal yang terdaftar di negara tersebut dan dengan demikian negara tersebut harus dapat mengidentifikasi siapa yang menjadi pemilik kapal maupun operator kapal dan negara tersebut dapat menekan pemilik ataupun operator kapal agar bertanggungjawab atas semua operasi dan kegiatan perkapalan, termasuk dalam memelihara standar penempatan awak kapal maupun standar kesejahteraannya. Di samping rekomendasi seperti itu, Komite Perkapalan dari UNCTAD juga merekomendasikan agar disusun atau dirumuskan sekumpulan prinsip-prinsip dasar mengenai syarat-syarat registrasi kapal di suatu negara dan selanjutnya diselenggarakan suatu konferensi internasional dengan tujuan menciptakan sebuah perjanjian internasional yang mengatur prinsip-prinsip dasar terkait syarat-syarat registrasi kapal. Prinsip-prinsip dasar tersebut seharusnya mengatur Hukum Laut Indonesia masalah penempatan personel di atas kapal (the manning of ships), peranan negara bendera dalam mengelola perusahaan pemilik kapal (shipowning company) maupun dalam hal pengelolaan kapal, partisipasi yang sewajarnya dalam hal permodalan serta peranannya dalam mengidentifikasi para pemilik maupun operator kapal. Selama ini kita hanya berbicara tentang hak negara untuk memberikan nasionalitas dan benderanya kepada kapal sehingga kapal dapat berlayar dengan mempergunakan bendera dari negara yang bersangkutan. Akan tetapi apakah kapal dapat berlayar dengan bendera dari suatu organisasi internasional? Dalam mempersiapkan rancangan pasal-pasal Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas, Komisi Hukum Internasional menolak gagasan untuk memasukkan suatu ketentuan yang mengakui hak PBB dan kemungkinan juga organisasi internasional lainnya untuk mengizinkan suatu kapal semata-mata mempergunakan bendera dari organisasi internasional itu. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku di atas suatu kapal adalah sistem hukum dari negara bendera dan dengan demikian bendera PBB tidak dapat dipersamakan dengan bendera dari suatu negara. Kendati Komisi Hukum Internasional melakukan pendekatan negatif, namun Pasal 7 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas yang merupakan kesepakatan dari negara-negara peserta konferensi menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan 125 126 Hukum Laut Indonesia konvensi tidak mempengaruhi atau mengurangi persoalan kapal yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas resmi dari suatu organisasi internasional dengan mengibarkan bendera organisasi itu. Ketentuan Pasal 7 itu sesungguhnya tidak jelas sehingga dapat menimbulkan permasalahan. Pasal 93 KHL 1982 sangat mirip dengan Pasal 7 Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas, tetapi KHL 1982 terutama ketentuan pasal 93 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah hanya pada PBB, badan-badan khusus dari PBB dan Organisasi Tenaga Atom Internasional. Sulit dipahami mengapa Pasal 93 KHL 1982 membatasi pengertian organisasi antarpemerintah atau organisasi internasional hanya pada PBB, badan-badan khusus PBB serta IAEA (International Atomic Energy Agency), padahal dewasa ini ternyata sudah bermunculan berbagai organisasi internasional lain yang sangat maju seperti misalnya Uni Eropa yang sebentar lagi akan memiliki sebuah konstitusi yang mengikat semua negara anggotanya sehingga dapat menimbulkan masalah hukum sebab bendera organisasi itu dapat dikibarkan oleh kapalkapal, apalagi organisasi tersebut dapat menjadi peserta pada KHL 1982. Pada akhirnya harus dicatat bahwa kapal yang mengibarkan dua bendera atau lebih dianggap tidak memiliki nasionalitas. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6 Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas dan Pasal 92 KHL 1982. Hukum Laut Indonesia Perumusan ketentuan baik di dalam Konvensi Geneva 1958 maupun KHL 1982 dengan cara seperti itu agaknya berlebihan sehingga menurut hemat kami sebaiknya disederhanakan saja dengan menyatakan bahwa setiap kapal yang memiliki dan mengibarkan lebih dari satu macam bendera harus disamakan dengan tidak memiliki bendera. Dengan demikian kalau kapal itu dianggap tidak memiliki bendera, kapal tersebut tidak mempunyai nasionalitas apapun. Konsekuensinya adalah di samping tidak memiliki hak navigasi atau hak berlayar di berbagai jalur laut dari negara pantai dan juga di laut bebas atau perairan internasional, kapal yang bersangkutan juga tidak mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan diplomatik dari negara manapun. Tidak ada satu negarapun yang dapat dituntut pertanggungjawabannya dalam kaitan dengan kapal yang memiliki lebih dari satu macam bendera. Hanya kapal yang memiliki dan mengibarkan satu bendera dan tidak lebih dari satu bendera saja yang diakui memiliki nasionalitas dari negara bendera sehingga dengan demikian kapal tersebut dapat menikmati hak-hak berlayar, hak atas perlindungan diplomatik dari negara bendera yang memiliki yurisdiksi dan tanggungjawab terkait dengan kapal tersebut. Kapal asing mempunyai hak navigasi di dalam pelbagai jalur laut dari negara Republik Indonesia dan juga di perairan internasional, sebagaimana halnya kapal Indonesia atau yang berbendera Indonesia memiliki hak navigasi di 127 128 Hukum Laut Indonesia wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas. Di perairan pedalaman seperti perairan teluk, sungai dan pelabuhan Indonesia, kapal asing biasanya tidak menikmati hak navigasi kecuali ada perjanjian seperti misalnya perjanjian persahabatan, perjanjian perdagangan dan perjanjian dalam bidang pelayaran yang memungkinkan adanya hak akses ke perairan pedalaman terutama hak akses ke pelabuhan Republik Indonesia. Selanjutnya di perairan kepulauan dan laut teritorial Indonesia, kapal asing menikmati hak navigasi dalam bentuk hak lintas damai, hak lintas transit (khusus di Selat Malaka sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional) dan hak lintas alur laut kepulauan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam kaitan hak lintas damai di laut teritorial dan perairan kepulauan, Indonesia dapat melakukan tindakan penangguhan berdasarkan syarat-syarat tertentu atas kapal asing yang berlayar di wilayah perairannya. Akan tetapi kapal asing yang berlayar di Selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional (Straits Used For International Navigation) juga dalam konteks hak lintas damai (the right of innocent passage) tidak bisa ditangguhkan, mungkin karena pelaksanaan hak lintas damai di Selat seperti itu sama saja dengan pelaksanaan hak lintas transit (the right of transit passage) yang tidak mungkin bisa ditangguhkan oleh negaranegara tepi termasuk Indonesia. Hukum Laut Indonesia Di luar laut territorial seperti di jalur tambahan (Contiguous Zone) Indonesia, kapal asing menikmati kebebasan navigasi dan dengan begitu negara bendera mempunyai yurisdiksi yang bersifat eksklusif atas kapal itu. Namun demikian kebebasan navigasi yang dinikmati kapal asing serta yurisdiksi eksklusif dari negara bendera disertai dengan pembatasan tertentu, di mana Indonesia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan yang memang dibutuhkan untuk mencegah dan menghukum terjadinya pelanggaran kapal asing terhadap peraturan perundang-undangan dalam bidang-bidang bea cukai, fiskal, keimigrasian dan sanitasi (lihat Pasal 33 KHL 1982/Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985). Aparat hukum Indonesia berwenang untuk menangkap dan menahan kapal yang dicurigai dan diduga kuat terlibat dalam pelanggaran terhadap satu atau lebih ketentuan dari peraturan perundangan yang berlaku. Aparatnya juga berwenang untuk naik ke atas kapal untuk melakukan pemeriksaan dan apabila terbukti terjadi pelanggaran, maka aparat hukum dapat menahan kapal dan personel yang terlibat, melakukan penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap mereka yang tersangkut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya di perairan ZEE Indonesia atau perairan di atas landas kontinennya kapal asing memiliki kebebasan berlayar (freedom of navigation) karena perairan ZEE atau 129 130 Hukum Laut Indonesia perairan di atas landas kontinen Indonesia tetap berstatus sebagai perairan laut bebas atau perairan internasional. Kapal asing berkewajiban untuk menghormati zonazona keselama-tan (safety zones) di sekeliling pulau buatan atau instalasi yang berdasarkan peraturan perundang- undangan Indonesia diimplementasikan sebagai zona terbatas (restricted zones) dan zona terlarang (prohibited zones) pada setiap instalasi pertambangan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983). Akan tetapi Republik Indonesia berkewajiban untuk tidak mendirikan pulau buatan dan instalasi yang dapat mengganggu penggunaan alur-alur laut yang diakui esensial untuk pelayaran internasional (Pasal 5 ayat (3) dan ayat (6) Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur tambahan, juga Pasal 60 ayat (6) dan ayat (7) serta Pasal 80 KHL 1982). Sebagaimana halnya di perairan ZEE atau perairan di atas landas kontinen Indonesia yang tetap mempunyai kedudukan sebagai perairan internasional, maka kapal asing dan kapal Indonesia juga mempunyai kebebasan untuk berlayar di perairan laut bebas, yaitu di perairan yang berada di luar ZEE atau di luar perairan di atas landas kontinen Indonesia, misalnya saja di Samudera Pasifik, Samudera Hindia atau laut Cina Selatan etc. Namun kapal Indonesia ataupun kapal asing harus memperhatikan dengan sepatutnya kepentingan negara lain yang telah menjalankan berbagai kegiatan di perairan Hukum Laut Indonesia laut bebas tersebut (Pasal 2 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas dan Pasal 87 ayat (2) KHL 1982). Pada akhirnya di manapun kapal itu berada (kapal asing ataupun kapal yang berbendera Indonesia), entah berada di wilayah perairan RI, entah di wilayah perairan negara lain maupun di perairan laut bebas atau perairan internasional, mempunyai kewajiban untuk mentaati segala ketentuan yang terkait dengan masalah lingkungan laut maupun masalah keselamatan pelayaran atau keselamatan perkapalan (safety of shipping). Untuk menjamin kepentingan pemilik kapal, kepentingan pelaut maupun kepentingan masyarakat pada umumnya, maka kegiatan pengangkutan atau transportasi penumpang dan barang harus dilakukan dengan cara yang sangat aman sehingga dapat dicegah atau setidak-tidaknya dapat diperkecil timbulnya musibah atau kecelakaan di tengahtengah laut, seperti misalnya kapal tenggelam, kapal kandas ataupun kapal bertabrakan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Bebas (Pasal 10) menetapkan bahwa setiap negara berkewajiban mengambil langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjamin keselamatan kapalnya di laut. Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh negara bendera meliputi masalah komunikasi, pencegahan tubrukan, persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap awak kapal, masalah konstruksi kapal, masalah perlengkapan kapal mau- 131 132 Hukum Laut Indonesia pun masalah kelayakan kapal secara umum untuk berlayar di laut. Tindakan-tindakan dari negara bendera dalam hubungan dengan kapal yang menggunakan dan mengibarkan benderanya harus sesuai dengan standar internasional yang telah diterima secara umum. KHL 1982 melalui Pasal 94 pada dasarnya memuat ketentuan yang sama dengan Pasal 10 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut bebas. Akan tetapi KHL 1982 menetapkan secara terperinci kewajiban dari negara bendera (Flag State), yaitu negara bendera mempunyai kewajiban untuk selalu memeriksa secara teratur masalah kelayakan kapal, kewajiban untuk menjamin kualifikasi awak kapal sehingga setiap personel di atas kapal benar-benar memenuhi persyaratan sebagai awak kapal, juga kewajiban untuk mengadakan penyelidikan terhadap korban kecelakaan kapal (shipping casualties). Bahwa Konvensi Geneva 1958 dan KHL 1982 menekankan adanya standar internasional yang harus diperhatikan dalam menetapkan tindakan-tindakan bagi keselamatan kapal di laut itu tentu harus dilihat dari kebutuhan praktis sebab walaupun setiap negara, dalam hal ini setiap negara bendera secara teoritis memiliki kebebasan untuk membuat dan menerapkan peraturan hukumnya sendiri misalnya mengenai masalah kelayakan kapal dan masalah kualifikasi awak kapal terhadap kapal yang mengibarkan benderanya dan juga (secara terbatas) terhadap kapal asing yang Hukum Laut Indonesia memasuki pelabuhan atau laut teritorialnya, namun dengan aturan yang begitu beranekaragam dari masing-masing negara dan malahan mungkin bertentangan satu sama lain, apabila diterapkan tentu saja dapat menimbulkan semacam anarki atau kekacauan dalam dunia pelayaran internasional. Dengan latar belakang seperti itulah, masyarakat internasional memerlukan dan membutuhkan adanya keseragaman standarisasi internasional dalam rangka menjamin serta meningkatkan keselamatan perkapalan (the Safety of Shipping). Standarisasi yang seragam ini dapat ditemukan dalam sejumlah konvensi internasional yang pada umumnya merupakan hasil karya dari Organisasi Maritim Internasional. Standarisasi keselamatan perkapalan sebagaimana terdapat di dalam berbagai perjanjian meliputi empat masalah utama, yakni pertama, masalah kelayakan kapal (the seaworthiness of ship); kedua, masalah pencegahan tubrukan serta trayek kapal (the prevention of collision and the ship routeing); ketiga, masalah standar penempatan awak kapal (the standard for the manning of ship); keempat, masalah penetapan alat bantu navigasi (the establishment of navigational aids). Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa bukan hanya keempat hal tersebut yang dijadikan sebagai pilar bagi keselamatan kapal di laut, melainkan juga negara-negara seharusnya menerapkan standarisasi keamanan bagi kapal yang mengibarkan benderanya maupun standarisasi keamanan bagi pelabuhan internasional sebagaimana diatur di 133 134 Hukum Laut Indonesia dalam ISPS Code (International Ship and Port Facilities Security Code) yang telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional pada tahun 2002 dan kemudian telah berlaku sejak tahun 2004 lalu. Sebelum dibahas ISPS Code atau system pengamanan kapal dan pelabuhan atau fasilitas pelabuhan internasional, maka berikut ini dibentangkan beberapa konvensi internasional penting yang mengatur masalah kelaikan kapal untuk berlayar di tengah-tengah laut. Pertama, apa yang dinamakan Konvensi SOLAS tahun 1974 (the International Convention for the Safety of Life at Sea). Konvensi ini dapat dianggap sebagai konvensi terakhir yang menggantikan konvensi-konvensi SOLAS sebelumnya, di mana konvensi SOLAS pertama dibuat dalam kaitan dengan peristiwa tenggelamnya kapal Titanic di lepas pantai Newfoundland (AS). Konvensi SOLAS memuat sejumlah aturan yang sifatnya kompleks dengan menetapkan standar-standar yang berkaitan dengan konstruksi kapal, tindakan pengamanan kapal dan segala isinya dari bahaya kebakaran (fire-safety measures), permohonan bantuan bagi orang dan atau kapal yang akan tenggelam (life-saving appliances), alat perlengkapan navigasi yang harus dibawa di atas kapal dan aspekaspek lain dari keselamatan navigasi, barang berbahaya yang dapat dibawa serta aturan khusus mengenai kapal nuklir atau kapal yang bertenaga nuklir. Hukum Laut Indonesia Standar-standar menyangkut berbagai aspek keselamatan navigasi yang berlaku di atas kapal itu sendiri (aspek internal dari keselamatan navigasi) harus ditentukan oleh setiap negara peserta Konvensi SOLAS dan berhubung karena RI telah meratifikasi Konvensi SOLAS tahun 1960 (kini Konvensi SOLAS tahun 1974) berdasarkan Keputusan Presiden No. 203 Tahun 1966 maka Indonesia berkewajiban untuk menetapkan berbagai standar keselamatan navigasi yang berlaku di atas kapal yang berbendera Indonesia. Pelaksanaan standar keselamatan navigasi sebagaimana diatur di dalam SOLAS Convention pada prinsipnya terletak di tangan Indonesia sebagai negara bendera (flag state). Namun demikian ada kalanya negara pantai atau negara pelabuhan (Port State), yaitu negara yang pelabuhannya didatangi atau disinggahi oleh kapal Indonesia dapat juga melaksanakan standar keselamatan navigasi dalam pengertian negara pelabuhan dapat melakukan pengawasan sejauh mana kapal berbendera Indonesia telah mematuhi standar keselamatan navigasi yang ditentukan dalam Konvensi mengenai Keselamatan Jiwa di Laut. Demikian pula sebaliknya dengan kapal asing yang memasuki pelabuhan RI, maka Indonesia sebagai negara pelabuhan melalui aparat hukumnya dapat melakukan pengawasan mengenai sejauh mana kapal asing tersebut telah mentaati standar keselamatan navigasi sebagaimana ditetapkan di dalam SOLAS Convention. Sebagai Negara pelabuhan, Indo- 135 136 Hukum Laut Indonesia nesia mempunyai hak untuk memeriksa apakah kapal asing yang berada di salah satu pelabuhan Indonesia membawa sertifikat atau dokumen sah mengenai hal-hal yang disyaratkan atau diwajibkan oleh Konvensi. Apabila ada alasan yang sangat meyakinkan di mana kondisi kapal maupun alat perlengkapannya sesungguhnya tidak sesuai dengan hal-hal yang ditentukan dalam setiap sertifikat atau dokumen tadi, atau di mana sebuah sertifikat atau dokumen telah kadaluarsa, atau di mana kapal atau alat perlengkapannya tidak memenuhi ketentuan Regulation 11 (Bab I) dari Konvensi SOLAS tahun 1974 (kondisi kapal maupun alat perlengkapannya harus dalam kondisi terawat dan terpelihara setelah survei dilakukan) dan dengan demikian apabila kondisi kapal serta alat perlengkapannya ternyata tidak terpelihara sebagaimana mestinya, padahal sebenarnya telah disurvei sebelumnya, maka pihak berwenang dari Indonesia selaku negara pelabuhan dapat mengambil langkahlangkah atau tindakan-tindakan dengan melarang kapal tersebut berlayar, melarang kapal tersebut meninggalkan pelabuhan serta memerintahkan kapal itu untuk masuk ke dalam galangan kapal untuk mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. Selanjutnya pada tahun 1978 Organisasi Maritim Internasional mengesahkan sebuah Protokol Konvensi SOLAS yang menyangkut keselamatan kapal tangker serta pencegahan polusi. Protokol yang mulai berlaku sejak tahun 1981 Hukum Laut Indonesia mewajibkan semua kapal yang melampaui ukuran tertentu untuk mempergunakan apa yang disebut inert gas sistem atau sistem gas yang sifatnya lembam, juga adanya kewajiban kapal untuk mempergunakan radar tambahan maupun alat kemudi darurat. Melalui protokol tersebut dilakukan perbaikan prosedur pemeriksaan kapal serta sertifikasi kapal. Selain daripada Konvensi SOLAS, maka terdapat lagi beberapa konvensi IMO lainnya yang berkaitan dengan masalah kelayakan kapal. Misalnya saja ada Konvensi Internasional mengenai Garis Batas Muatan (the International Convention on the Load Lines) tahun 1966 yang mengatur mengenai larangan untuk membawa muatan secara berlebihan. Kapal tidak boleh membawa muatan berlebihan melampaui kapasitas dan daya muat maksimalnya sebab hal ini sering menyebabkan timbulnya kecelakaan kapal. Kapal hanya diperkenankan membawa muatan sesuai dengan kapasitas dan daya muat maksimal kapal itu. Pelaksanaan Konvensi tersebut (Convention on the Load Lines tahun 1966) sebagaimana Konvensi SOLAS tetap berada di tangan Negara Bendera, akan tetapi negara pelabuhan juga kadang-kadang dapat melaksanakannya dengan mengawasi sejauh mana kapal asing yang memasuki pelabuhannya telah mematuhi kewajiban untuk membawa muatan tanpa melebihi kapasitas maksimal kapal tersebut. Sebagai negara pelabuhan Indonesia dapat melakukan pengawasan 137 138 Hukum Laut Indonesia atas kapal asing yang masuk dan singgah di salah satu pelabuhan dalam wilayah perairan Indonesia untuk memeriksa apakah kapal asing tersebut tidak membawa muatan yang berlebih-lebihan. Sebuah kapal membawa muatan berlebihan dapat diketahui dari bagian luar kapal itu di mana tanda garis yang terdapat di sekeliling lambung dan badan kapal sudah tidak kelihatan dan sudah berada di bawah permukaan air, setidaktidaknya garis dengan warna tertentu yang mengelilingi bagian luar dari badan kapal telah sejajar dengan permukaan laut. Kalau hal seperti ini terjadi, maka otoritas terkait dapat menahan dan memeriksa kapal yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ada juga perjanjian tentang kapal penumpang khusus pada tahun 1971 (The 1971 Agreement on Special Trade Passanger Ships) bersama-sama dengan Protokolnya tahun 1973, mengatur tentang keselamatan kapal yang mengangkut penumpang serta tempat tidur dalam jumlah besar, seperti bisnis pariwisata, sementara ada juga perjanjian internasional mengenai keselamatan kapal ikan pada tahun 1977 (The 1977 International Convention for the Safety of Fishing Vessels) yang menetapkan peraturanperaturan mengenai konstruksi dan perlengkapan kapal ikan. Sebagai tambahan atau di samping konvensi-konvensi tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional mengadopsi pula sejumlah rekomendasi berupa aturan-aturan praktis yang berkaitan dengan kelayakan kapal, misalnya saja apa Hukum Laut Indonesia yang disebut Codes for the Construction and Equipment of Ships Carrying Dangerous Chemicals in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan perlengkapan kapal pengangkut bahan kimia dalam jumlah besar tahun 1971) maupun Codes for the Construction and Equipment of Ships carrying Liquefied Gases in Bulk (aturan-aturan tentang konstruksi dan perlengkapan kapal pengangkut gas cair dalam jumlah besar) tahun 1975. Aturan-aturan ini umumnya disahkan dalam bentuk resolusi yang berisi rekomendasi dari Majelis IMO sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun demikian aturan-aturan ini telah diterima secara luas dan beberapa negara telah menuangkan dan memasukkan aturan-aturan itu ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya, misalnya sudah cukup banyak negara yang telah menerapkan apa yang disebut the Bulk Chemicals Code di dalam peraturan perundangan nasionalnya. Selain masalah kelayakan kapal untuk berlayar di laut, maka jaminan keselamatan pelayaran juga ditentukan oleh masalah pencegahan tubrukan dan penetapan rute atau trayek kapal (Collision avoidance and ships’ routeing). Sebagaimana halnya dengan konvensi-konvensi SOLAS, maka ada berbagai regulasi untuk mencegah tubrukan di laut. Peraturan-peraturan yang dilampirkan pada the International Regulations for Preventing Collisions at Sea tahun 1972 pada prinsipnya bersangkut paut dengan perilaku atau tindakan 139 140 Hukum Laut Indonesia serta pergerakan suatu kapal dalam hubungan dengan kapalkapal lainnya, terutama ketika kemampuan kapal untuk memandang atau melihat mengalami penurunan dalam rangka menghindari terjadinya tubrukan dengan kapal lain. Selain soal tindakan dan gerakan kapal dalam usaha mencegah tubrukan, Regulasi Internasional tahun 1972 juga menetapkan standar yang bersifat umum dalam hubungan dengan tanda-tanda atau signal-signal baik yang bisa didengar maupun dilihat (sound and light signals). Walaupun Konvensi tahun 1972 tidak menegaskan mengenai akibatakibat hukumnya menyangkut hubungan antara pelanggaran regulasi tersebut serta tanggungjawab perdata (civil liability) akibat timbulnya tubrukan (pelanggaran terhadap peraturan Konvensi 1972 tidak harus menimbulkan masalah tanggungjawab perdata, pelanggaran itu biasanya dianggap sebagai suatu pelanggaran menurut hukum pidana dari negara bendera yang menjadi negara peserta Konvensi. Namun penuntutan atas pelanggaran tersebut jarang dilakukan karena dalam banyak kasus kebijakan untuk menuntut ataupun tidak menuntut berada di tangan nakhoda kapal. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 39 ayat (2) KHL 1982 kapal yang menjalankan hak lintas damai melalui laut territorial atau hak lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional harus mematuhi regulasi tersebut tanpa memperhatikan apakah Hukum Laut Indonesia negara bendera atau negara pantai adalah merupakan negara peserta Konvensi tahun 1972. Salah satu sarana penting untuk mengurangi risiko terjadinya tubrukan antarkapal adalah dengan memanfaatkan jalur pemisah lalu lintas (traffic separation scheme) untuk memisahkan pelayaran kapal di bagian-bagian laut yang padat (shipping in congested areas) menjadi jalur satu arah semata-mata (into one-way only lanes). Contoh awal mengenai jalur pemisah lalu lintas dapat ditemukan dalam perjanjian soal penentuan rute yang dilakukan secara suka rela oleh para pemilik kapal yang menjalankan kegiatan perdagangan pada rute-rute tertentu misalnya saja di Laut Cina pada abad ke-19. Kini IMO telah menetapkannya sebagai jalur pemisah lalu lintas yang sudah direkomendasi sejak tahun 1967. Pada awalnya kepatuhan atas jalur-jalur yang direkomendasi IMO bersifat suka rela; negara bendera tidak diharuskan untuk memerintahkan kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur-jalur tersebut. Namun sejak berlakunya the Collision Regulation Convention tahun 1977 kepatuhan negara bendera tidak lagi bersifat suka rela, tetapi sudah merupakan keharusan sehingga semua negara peserta Konvensi tadi mempunyai kewajiban untuk memerintahkan kapal yang mengibarkan benderanya agar mengikuti jalur pemisah lalu lintas yang telah ditentukan IMO. Dengan diintrodusirnya apa yang dinamakan jalur pemisah lalu lintas (the Traffic Separation Scheme) adalah 141 142 Hukum Laut Indonesia sesuatu yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan demi untuk mengurangi jumlah tubrukan di laut pada umumnya, misalnya saja di perairan Barat Daya Eropa di mana ada banyak jalur pemisah lalu lintas, sehingga jumlah tubrukan mengalami penurunan dari 156 tubrukan dalam masa atau periode tahun 1956-1961 menjadi hanya 45 tubrukan antara tahun 1976-1981 (R.R. Churchill and A.V. Lowe, 1983:185189). Walaupun IMO diakui sebagai satu-satunya badan internasional yang berwenang untuk menentukan jalur pemisah lalu lintas (Traffic Separation Scheme atau disingkat TSS), negara pantai juga memiliki beberapa kewenangan dalam bidang ini. Pasal 21 KHL 1982 pada dasarnya mempunyai pendekatan yang sama seperti Pasal 17 Konvensi Geneva 1958 tentang laut territorial yang menyatakan bahwa di laut teritorialnya negara pantai dapat memberlakukan dan menerapkan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan navigasi kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai, tetapi dalam KHL 1982 ditambahkan bahwa negara pantai yang menentukan TSS di laut teritorial harus memperhitungkan atau memperhatikan setiap rekomendasi IMO serta faktor-faktor lainnya, seperti karakter khusus dari kapalkapal tertentu maupun kepadatan lalu lintas di laut (Pasal 22 KHL 1982). IMO sendiri menyarankan negara pantai yang mau menetapkan system penentuan rute atau trayek (routeing Hukum Laut Indonesia systems) di laut teritorial agar supaya menetapkan atau mendesain sistem trayek tersebut sesuai dengan criteria IMO menyangkut TSS serta menyerahkannya kepada IMO untuk mendapat pengesahan. Negara pantai dapat menjalankan tindakan penegakan hukum (enforcement jurisdiction) terhadap kapal asing yang melanggar TSS yang telah ditentukan (Pasal 27 KHL 1982). Dalam praktiknya tindakan penegakan hukum biasanya terbatas pada tindakan aparat yang meminta agar kapal tersebut kembali mematuhi TSS. Namun kalau pelanggaran TSS oleh kapal asing itu cukup serius, maka aparat hukum negara pantai dapat melaporkannya kepada otoritas negara bendera. Bilamana kapal yang melakukan pelanggaran itu memasuki salah satu pelabuhan negara pantai, kapal tersebut dapat dituntut. Di Selat yang tunduk pada rezim hukum lintas transit atau dinamakan Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, kewenangan negara pantai lebih terbatas karena walaupun negara pantai masih dapat menentukan TSS, namun TSS yang diusulkan kepada IMO harus sesuai dengan peraturan internasional yang telah diterima secara luas (must conform to generally accepted international regulations) serta harus diserahkan kepada IMO dengan maksud untuk memperoleh pengesahan sebelum TSS tersebut ditetapkan oleh negara pantai (Pasal 41 KHL 1982). Sejauh mana negara pantai dapat melakukan tindakan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran TSS oleh 143 144 Hukum Laut Indonesia kapal asing di Selat yang dikategorikan sebagai Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional adalah suatu masalah yang bersifat kontroversial. Tampaknya management lalu lintas laut (marine traffic management) pada masa mendatang akan melampaui pengelolaan TSS itu sendiri sehingga lebih bersifat komprehensif, meskipun pengelolaan lalu lintas laut tidak mungkin mencapai tingkat presisi atau kecanggihan (precision or sophistication) management seperti yang dimiliki oleh air traffic control. Dalam kaitan ini IMO telah melakukan berbagai tindakan: misalnya saja baik di Selat Baltik maupun Selat Malaka IMO merekomendasi langkah-langkah dalam hubungan dengan management lalu lintas laut seperti membatasi kecepatan kapal atau kapal diharuskan untuk membatasi kecepatannya ketika memasuki wilayah perairan suatu negara pantai, kapal diwajibkan untuk melaporkan posisinya serta diwajibkan untuk menggunakan kapal pandu (the use of pilots). IMO juga mewajibkan kapal asing untuk melaporkan posisinya kepada otoritas terkait dari negara pantai yang bersangkutan apabila kapal mengalami kesulitan yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Mengenai standar penempatan awak kapal (Crewing standards) dapat dikemukakan bahwa salah satu penyebab utama timbulnya musibah perkapalan (shipping accidents) terletak pada awak kapal yang tidak terlatih atau tidak memenuhi kualifikasi Hukum Laut Indonesia yang baik sehingga untuk mengurangi timbulnya kecelakaan di laut kualitas dari awak kapal harus dibenahi. Konvensi SOLAS tahun 1974 menegaskan bahwa semua kapal harus memiliki awak kapal yang dapat bekerja secara memadai dan efisien (sufficiently and efficiently, sedangkan menurut ILO Convention No. 147 tahun 1976 menyangkut Standar Minimum di Kapal Dagang, setiap negara peserta harus menjamin bahwa para pelaut yang bekerja di kapal yang terdaftar di wilayahnya seharusnya memenuhi kualifikasi dan seharusnya terlatih untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya (Pasal 2 e). Demikian pula ketentuan Pasal 94 ayat (4) KHL 1982 menentukan bahwa negara bendera harus menjamin agar setiap kapal yang mengibarkan benderanya harus dijalankan oleh seorang nakoda (master) serta para petugas dengan kualifikasi yang tepat, dan agar awak kapalnya sudah tepat atau layak dalam hal kualifikasi serta jumlahnya sesuai dengan tipe kapal, ukuran, mesin serta perlengkapan kapal tersebut. The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (The STCW Convention yang diadopsi oleh IMO tahun 1978 memberi ketentuan yang lebih tegas dibandingkan dengan Konvensi SOLAS dan Konvensi ILO karena The STCW Convention mewajibkan adanya persyaratan minimum bagi sertifikasi nahkoda kapal dan petugas-petugas lainnya serta menentukan prinsip-prinsip dasar keeping navigational and enginee- 145 146 Hukum Laut Indonesia ring watches. Penerapan atau pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi STCW terutama berada di tangan negara bendera (the Flag State), meskipun negara pelabuhan (the Port State) mempunyai wewenang pengawasan dalam bidang-bidang tertentu guna memeriksa kalau para pelaut yang berdasarkan konvensi itu harus disertifikasi benar-benar sudah disertifikasi (Pasal X) dan bahwa standar awak kapal harus dibenahi secara signifikan sehingga dapat mengurangi jumlah musibah perkapalan (shipping accidents). Persyaratan-persyaratan kerja bagi awak kapal diatur di dalam sejumlah besar konvensi-konvensi ILO yang menyempurnakan the International Seafarers Code. Di antara konvensi-konvensi ini maka yang paling penting adalah Convention concerning Wages, Hours of Work on Board Ship and Manning (No. 109 (1958) yang merupakan revisi atas konvensi-konvensi yang lebih awal), Convention concerning Crew Accomodation on Board Ship (No. 92 (1949), yang diperlengkapi dengan konvensi No.133 (1970), dan Convention concerning Continuity of Employment of Seafarers (No.145 (1976). ILO juga mengadopsi sejumlah rekomendasi tidak mengikat tentang syarat-syarat kerja bagi pelaut, yakni the Social Conditions and Safety (Seafarers) recommendation, 1958 (No.108). Di samping itu Konvensi ILO No.147 yang disebut di atas mensyaratkan negara-negara pesertanya menetapkan bagi kapal-kapalnya dan memaksakan (enforce) standar Hukum Laut Indonesia keselamatan secara efektif, aturan jaminan sosial (social security measures) serta persyaratan-persyaratan kerja di atas kapal yang sama (equivalent) dengan ketentuan-ketentuan berbagai konvensi ILO yang disebut dalam lampiran konvensi. Menyangkut penetapan alat bantu navigasi (navigateonal aids) seperti mercu suar (lighthouses), kapal suar (lightships), alat pelampung (buoys) dan radar beacons, semuanya ini sangat penting bagi keselamatan pelayaran (the safety of shipping). Konvensi SOLAS mengharuskan negara-negara peserta untuk mengatur penetapan atau pengadaan (establishment) dan pemeliharaan (maintenance) sarana bantu navigasi, yang mencakup radio beacons dan alat Bantu elektronik apabila menurut pendapatnya dibenarkan dari segi volume lalu lintas kapal serta diharuskan dari segi tingkatan risiko, dan mengharuskan negara-negara peserta untuk mengatur informasi yang berkaitan dengan alat Bantu navigasi yang diperlukan. Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan maupun KHL 1982, setiap negara pantai wajib mengumumkan dengan sepatutnya setiap bahaya navigasi yang diketahui berada di dalam laut teritorialnya. Biaya pemasangan serta pemeliharaan alat bantu navigasi (navigational aids) biasanya hanya ditanggung oleh negara pantai dan negara ini tidak berhak meminta sumbangan atau kontribusi dari kapal-kapal yang berlayar melalui laut teritorialnya. Akan tetapi ada satu 147 148 Hukum Laut Indonesia atau dua contoh di mana negara-negara mengadakan kesepakatan untuk membagi biaya-biaya navigational aids, perjanjian internasional pada tahun 1962 mengenai the maintenance of certain lights di Laut Merah. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 KHL 1982 negaranegara yang berada di tepian selat yang tunduk pada lintas transit (transit passage) dan negara-negara pengguna selat harus bekerjasama dalam pengadaan sarana bantu navigasi serta alat bantu keselamatan lainnya yang diperlukan di selat tersebut, meskipun samasekali tidak dinyatakan mengenai bagaimana biaya-biaya tersebut harus ditanggung. Mengenai pembagian biaya pengadaan dan pemeliharaan alat bantu navigasi umumnya dialokasikan berdasarkan pengaturanpengaturan setempat. D. Ketentuan Pengamanan Kapal dan Pelabuhan Ketentuan-ketentuan ISPS Code sudah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional pada tanggal 12 Desember 2002 dan telah diratifikasi oleh sebagian besar negara-negara anggotanya, termasuk di dalamnya Republik Indonesia serta diharapkan ketentuan-ketentuan dari ISPS ini dapat segera diimplementasikan oleh masing-masing negara. Sesuai dengan ketentuan ISPS, maka paling lambat atau batas akhir untuk memberlakukan secara efektif ketentuan-ketentuan ISPS ini adalah pada tanggal 1 Juli 2004 dengan persyaratan bahwa tidak ada keberatan yang diajukan dari sebagian besar Hukum Laut Indonesia anggotanya sampai dengan permulaan Januari 2004 (Wikipedia, the Free Encyclopedia, www.google.com.) Selanjutnya dalam ketentuan-ketentuan ISPS ini terdapat prinsip-prinsip pokok yang dapat dikemukakan sebagai berikut. Materi ISPS Code merupakan penyempurnaan dan amandemen ketentuan-ketentuan internasional mengenai keselamatan jiwa di laut yang selama ini dikenal dengan sebutan The Convention for the Safety of Life at Sea 1974 (SOLAS Convention 1974/1988) tentang pengaturan keamanan minimum bagi kapal, pelabuhan serta badan-badan pemerintah (government agencies). Dengan tanggungjawab bagi pemerintah, perusahaan perkapalan (shipping company), (shipboard personnel) maupun personel personel di atas kapal pelabuhan dan fasilitasnya (port/facility personnel untuk mendeteksi ancaman keamanan serta mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah preventif (preventive measures) dalam menghadapi insiden keamanan yang dapat menggangu kapal atau fasilitas-fasilitas pelabuhan yang digunakan dalam pelayaran internasional. Isi daripada ISPS Code adalah terdiri dari sejarahnya, ruang lingkupnya, persyaratan-persyaratannya serta implementasi ketentuan-ketentuan ISPS Code dalam hukum nasional (national implementation). Ketentuan-ketentuannya telah digunakan oleh negara-negara sebagai pedoman bagi kapal dagang dan kapal penumpang di seluruh dunia. ISPS 149 150 Hukum Laut Indonesia Code diciptakan oleh masyarakat internasional untuk menghadapi meningkatnya berbagai ancaman atas keamanan yang dewasa ini dapat terjadi kapan saja serta di mana saja, terutama ancaman terhadap keselamatan kapal-kapal dan fasilitas pelabuhan di seluruh dunia, di mana hal ini dipicu oleh tragedi yang terjadi di AS pada tanggal 11 September 2001 (9/11 atau peristiwa nine eleventh). Dengan kata lain, perkembangan dan implementasinya semakin dipercepat guna menjawab tragedi yang terjadi pada tanggal 11 September 2001 serta pemboman kapal tanker Perancis yang bernama Limburg. Namun sebelum kejadian tragis ini terjadi, maka ISPS Code ini dibentuk atau dirumuskan sebagai response dari masyarakat internasional terhadap peristiwa pembajakan kapal pesiar Italia (the Italian Cruise Ship) yang bernama Achille Lauro pada tanggal 7 Oktober 1985 dan mengakibatkan terbunuhnya para sandera orang Yahudi Amerika. The US Coast Guard sebagai badan utama di dalam Delegasi AS pada IMO mendesak negara-negara ter perlunya diambil langkah-langkah pengamanan. ISPS Code diisepakati pada pertemuan yang diadakan oleh 108 negara-negara yang menandatangani Konvensi SOLAS di London pada bulan Desember 2002. Langkah-langkah atau aturan-aturan yang telah disepakati berdasarkan ISPS Code tersebut telah diberlakukan pada 1 Juli 2004. Hukum Laut Indonesia Selanjutnya mengenai ruang lingkupnya (Scope) dapat dikemukakan bahwa ISPS Code adalah sebuah dokumen yang terdiri dari dua bagian yang menyatukan persyaratan- persyaratan minimum bagi keamanan kapal serta pelabuhan. Bagian A dari Code itu mengatur persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi atau diwajibkan (mandatory requirements), sementara Bagian B mengatur petunjuk atau pedoman (guidance) yang dapat dipergunakan dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan ISPS Code. ISPS Code adalah upaya untuk menciptakan suatu perlindungan keamanan yang lebih pasti dan sistematis bagi kapal barang atau kapal kargo serta kapal penumpang dengan kecepatan tinggi yang melayani jalur pelayaran internasional (ships on international voyages) yang berukuran 500 gross ton atau di atasnya. (Wikipedia, The Free Encyclopedia, www.google.com). Di samping kapal-kapal seperti itu, maka upaya perlindungan keamanan sebagai kerangka dari ISPS Code juga ditujukan bagi unit instalasi pengeboran yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan serta fasilitas pelabuhan yang melayani kapal-kapal on international voyages). Adapun tujuan utama dari ISPS Code adalah: 1) mendeteksi ancaman keamanan serta menerapkan langkahlangkah keamanan. 2) menetapkan peran serta tanggungjawab menyangkut keamanan maritim bagi pemerintah, pemerintah setempat (local administration), perusahaan indus- 151 152 Hukum Laut Indonesia tri perkapalan dan pelabuhan baik pada tingkat nasional maupun internasional. 3) memeriksa dan mengumumkan informasi yang terkait dengan keamanan (to collate and promulgate security related information) 4) menentukan metode penilaian keamanan (security assessments) agar supaya dapat ditetapkan rencana serta prosedur dalam melakukan reaksi atas berubahnya level-level keamanan. Selanjutnya tentang persyaratan-persyaratan (requirements) yang terdapat dalam ISPS Code, maka Code ini tidak mengatur secara terperinci langkah-langkah spesifik yang harus diambil oleh masing-masing pelabuhan maupun kapal guna menjamin keselamatan dari fasilitas-fasilitas tersebut dalam melawan atau menghadapi terorisme karena fasilitasfasilitas seperti itu mempunyai banyak tipe dan ukuran yang beraneka ragam. Sebagai gantinya maka ISPS Code menetapkan secara garis besar suatu kerangka standar dalam mengevaluasi adanya risiko yang memungkinkan pemerintah untuk mengatasi perubahan ancaman keamanan disertai berubahnya kerawanan bagi kapal maupun fasilitas-fasilitas pelabuhan. Adapun standar persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap kapal terdiri dari rencana pengamanan kapal (ships security plans), petugas keamanan kapal (ship security officers), petugas keamanan perusahaan (company security officers) serta alat perlengkapan tertentu yang harus ada di atas kapal (certain onboard equipments). Demikian mengenai Hukum Laut Indonesia persyaratan-persyaratan standar keamanan menyangkut kapal yang melakukan pelayaran internasional. Sedangkan mengenai fasilitas pelabuhan (port facilities), maka persyaratan-persyaratan standarnya mencakup rencana pengamanan fasilitas pelabuhan (port facility security plans), petugas keamanan fasilitas pelabuhan (port facility security officers), alat perlengkapan keamanan yang sudah ditentukan (certain security equipment). Di samping itu, masih ada lagi persyaratan-persyaratan yang berlaku atau harus dipenuhi baik oleh kapal maupun pelabuhan, yaitu 1) memantau serta mengawasi akses atau jalan masuk menuju pelabuhan (monitoring and controlling access); 2) memantau kegiatan orang serta kargo (monitoring the activities of people and cargo); 3) jaminan yang memadai dalam hal komunikasi keamanan (ensuring security communications are readily available). Dengan demikian kapal-kapal yang melayani trayek pelayaran internasional itu harus merencanakan dan melengkapi pengamanan dirinya secara maksimal baik berupa petugas keamanan serta alat perlengkapannya sehingga mampu menangkal semua ancaman dan serangan teroris. Dalam hal ini kapal harus memiliki serta membawa system peralatan pemberitahuan dini, mempersiapkan jaringan komunikasi yang handal, peralatan deteksi terhadap adanya ancaman serangan teroris maupun ancaman lainnya. ISPS Code juga memberikan keleluasaan dan kebebasan yang lebih besar 153 154 Hukum Laut Indonesia kepada kapal-kapal seperti itu untuk mempertahankan dirinya dalam menghadapi ancaman ataupun serangan fisik yang dilakukan oleh sekelompok penjahat selama pelayaran. Oleh karena itu kapal-kapal tersebut mempunyai kewenangan untuk mempergunakan segala macam cara untuk melawan serangan, termasuk melakukan pergerakan kapal dan menggunakan peralatan pengamanan yang ada di atas kapal secara maksimal. Kajian IMO menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mendorong meningkatnya aksi kejahatan terhadap kapal dagang dan kapal penumpang dalam beberapa tahun terakhir ini. Faktor-faktor itu antara lain adalah kapal yang digunakan para pelaku kejahatan di laut semakin lama semakin tinggi kecepatannya sehingga mereka dengan mudah dapat melakukan pengejaran terhadap kapal-kapal dagang dan penumpang maupun target sejenisnya. Selanjutnya factor lain yang menyebabkan terjadinya peningkatan aksi kejahatan adalah terbatasnya kemampuan kapal komersial untuk mempertahankan diri sehingga senantiasa tidak berdaya dalam menghadapi serangan para pelaku kejahatan, terutama para perampok atau bajak laut atau pelaku terorisme lainnya. Para pelaku kejahatan selalu memiliki dan membawa persenjataan lengkap sehingga dapat dengan mudah melumpuhkan para awak kapal. Terdapat beberapa kasus mengenai terjadinya serangan atas kapal dagang dan kapal penumpang, bahkan atas Hukum Laut Indonesia kapal perang di berbagai perairan internasional yang menunjukkan peningkatan intensitas dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu kasus atau insiden yang pernah terjadi adalah peristiwa pembajakan terhadap kapal dagang M.S. Columbia Eagle yang terjadi di perairan Thailand pada tahun 1970 (Gatot Widakdo, 2004:24). Di samping itu terjadinya serangan terorisme terhadap USS Cole (kapal perang AS) di perairan pelabuhan negara Aden. Serangan serupa tidak hanya diarahkan terhadap kepentingan AS, tetapi juga terhadap kapal-kapal dari negara lain. Terjadinya pembajakan kapal penumpang Achille Lauro di luar garis pantai Mesir pada tahun 1985. Pembajakan kapal penumpang MS Trabzonn di perairan Turki oleh suatu kelompok teroris yang memberi dukungan terhadap gerakan separatis Rusia. Gambaran secara keseluruhan mengenai aksi kejahatan yang dilakukan terhadap kapal-kapal dagang di seluruh dunia menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 dari kasus-kasus yang dilaporkan kepada IMO tercatat 16 kali pembajakan kapal dan 3 kapal dinyatakan hilang. Sementara banyak pihak mengakui bahwa kasus-kasus yang tidak dilaporkan kepada IMO jauh lebih banyak. Hal ini disebabkan karena kasus yang terjadi di perairan negara-negara tertentu yang dilaporkan pihak kapal tidak mendapatkan tanggapan yang semestinya dari otoritas negara setempat. Kemudian penyampaian laporan biasanya 155 156 Hukum Laut Indonesia sangat terlambat untuk segera ditangani oleh instansi yang berwenang. Mengenai soal implementasi atau penerapan ketentuan-ketentuan ISPS Code di dalam hukum nasional suatu negara (national implementation), antara lain dapat dikemukakan bahwa Amerika Serilkat telah mengeluarkan sebuah peraturan guna mengundangkan ketentuan-ketentuan the Maritime Transportation Security Act tahun 2002 serta menggabungkan atau menyatukan peraturan domestik dengan standar keamanan maritim yang terdapat dalam SOLAS Convention serta ISPS Code (Wikipedia, The Free Encyclopedia, www.goog le.com). Peraturan tersebut dapat dilihat dan ditemukan dalam Title 33 of the Code of Federal Regulations, yang di dalam salah satu Bagiannya memuat peraturan keamanan kapal yang meliputi beberapa ketentuan yang berlaku bagi kapal asing yang berada di perairan nasional AS. Terdapat beberapa jenis kapal yang mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan ISPS Code, terutama kapal kargo dengan ukuran kecil yang menjalankan kegiatan bongkar muat kapal (cargo operations). Dengan menunjuk seorang crewmember atau seorang anggota awak kapal untuk secara terus menerus berada di pintu masuk ke kapal yang sementara menjalani cargo operations, maka tinggal sedikit saja crew yang dapat melakukan pekerjaan lain. Hukum Laut Indonesia Dalam beberapa kasus kejadian, keadaan seperti ini agak membahayakan awak kapal (crewmembers) yang sedang menjalankan kegiatan yang memang berbahaya (hazardous activities). Namun dengan menyewa dan mempekerjakan penjaga pantai (shore-based personnel) untuk menjalankan tugas-tugas penjagaan, hal ini dapat mengurangi timbulnya masalah tersebut di atas. Akan tetapi kegiatan menyewa atau mempekerjakan seorang penjaga pantai tidak bisa dilakukan di beberapa negara karena kegiatan menjaga keamanan umumnya dikenal sebagai pekerjaan para preman. Kapal penumpang dan kapal pesiar yang menurut tipenya memiliki jumlah awak yang besar dan staf keamanan tertentu yang biasanya tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi persoalan (suffer from te problem). Inilah antara lain kesulitan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan ISPS Code. Indonesia sebagai salah satu negara anggota IMO yang telah meratifikasi ISPS Code mempunyai kewajiban yang sama untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuannya. Pemerintah Republik Indonesia secara intensif sementara mempersiapkan mendasar sejak beberapa kegiatan pertengahan tahun awal yang 2003. sifatnya Mengadakan sosialisasi dengan masyarakat maritim, melakukan pemilihan fasilitas pelabuhan dalam usaha menerapkan ketentuan- ketentuan ISPS Code, menyiapkan organisasi keamanan (security organization atau recognized security organization), mendeklarasikan penerapan ISPS Code. 157 158 Hukum Laut Indonesia Mengingat batas waktu yang tersedia sangat sempit sampai tanggal 1 Juli 2004, sementara kewajiban yang harus dipenuhi masih sangat banyak, maka sebaiknya Pemerintah Republik Indonesia perlu mempercepat langkah dan menentukan skala prioritas terutama dalam menentukan pemilihan pelabuhan yang disertifikasi. Hal ini dikhawatirkan, waktu yang tersedia tidak akan mencukupi untuk mensertifikasi semua pelabuhan internasional yang jumlahnya sekitar 141 pelabuhan yang ada di Indonesia. Beberapa tugas pokok lainnya yang harus dikerjakan oleh Pemerintah adalah menentukan tingkat keamanan (security level) di setiap pelabuhan. Hal ini sangat diperhitungkan karena akan di[pergunakan sebagai referensi bagi kapalkapal pelayaran internasional yang singgah di suatu pelabuhan. ISPS Code menetapkan adanya tiga tahap tingkat keamanan dari suatu pelabuhan. Tingkat keamanan pertama adalah tingkat keamanan yang mengharuskan untuk melakukan tindakan pencegahan keamanan secara minimal dan terus menerus. Kemudian tingkat keamanan kedua adalah tingkat keamanan yang memerlukan tambahan tindakan pencegahan keamanan.sebagai akibat meningkatnya suatu risiko insiden keamanan. Selanjutnya adalah tingkat tingkat keamanan atau yang level keamanan memerlukan ketiga tindakan pencegahan spesifik dalam kurun waktu terbatas ketika terjadi suatu insiden keamanan. Pemerintah harus memper- Hukum Laut Indonesia hatikan dan mempertimbangkan aspek keamanan di setiap pelabuhan, antara lain derajat ancaman dari skala terendah sampai skala tertinggi dengan melihat potensi terjadinya suatu insiden keamanan atau serangan teroris di suatu pelabuhan. Penilaian yang dimaksud tidak hanya terhadap sisi darat dari pelabuhan, tetapi juga terhadap wilayah perairan pelabuhan, termasuk daerah berlabuh serta perairan pedalaman (Gatot Widakdo, 2004:24). Akan tetapi harus diakui bahwa kondisi keamanan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia secara keseluruhan harus diakui sangat mengkhawatirkan dan sangat berpotensi terjadinya insiden keamanan terhadap kapal maupun fasilitas vital dari pelabuhan. Hal ini disebabkan karena masih sangat kurangnya jumlah dan kualitas peralatan keamanan, prosedur keamanan yang belum baku, beragamnya instansi keamanan yang bertugas di pelabuhan sehingga sering menyebabkan tumpang tindih kewenangan, dan setiap orang dapat dengan mudah memasuki kawasan pelabuhan bahkan sampai ke atas kapal tanpa terdeteksi. Ketika seorang wartawan dari Harian Kompas mencoba masuk ke sejumlah fasilitas pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Priok dengan mempergunakan mobil, ternyata hal ini tidak sulit dilakukan memasuki areal pelabuhan yang merupakan areal terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa pelabuhan Tanjung Priok sangat rawan terhadap ancaman keamanan, termasuk dari serangan teroris. Sementara di wilayah perair- 159 160 Hukum Laut Indonesia an pelabuhan kelemahan yang paling mencolok adalah kurangnya jumlah kapal patroli pantai. Padahal pemerintah berkewajiban untuk memberikan perlindungan serta jaminan keamanan bagi kapal yang memasuki pelabuhan dengan segala konsekuensinya. Seharusnya Pemerintah memberi perhatian terhadap keselamatan kapal di sepanjang perairan pantai dan perairan pedalaman. Dengan demikian penting sekali segera menentukan pola pengamanan di perairan yang menuju pelabuhan. ISPS Code tidak menentukan sanksi apapun yang dapat dijatuhkan terhadap Pemerintah dari suatu negara dalam hubungan dengan penerapan atau implementasi ketentuan-ketentuan ISPS tersebut. Namun demikian jika terjadi insiden keamanan, maka sertifikat ISPS Code dari pelabuhan yang bersangkutan bisa dicabut. Apabila terjadi pencabutan sertifikat, maka akibatnya tidak akan ada kapal mancanegara yang diperkenankan datang ke pelabuhan itu. Demikian pula sebaliknya kapal dari negara pelabuhan tadi juga tidak diperkenankan mendatangi pelabuhan dari negaranegara lain. Pada skala yang lebih luas, insiden tersebut bisa membawa dampak pada terganggunya perekonomian negara. Kredibilitas pemerintah di mata dunia juga akan merosot. Padahal persentase kapal-kapal pelayaran internasional yang mengunjungi pelabuhan umum di Indonesia cukup signifikan meskipun setiap pelabuhan menunjukkan angka yang berbeda. Di pelabuhan Tanjung Priok misalnya Hukum Laut Indonesia persentase kedatangan kapal pelayaran internasional pada tahun 2002 sebesar 33,4 persen dari total kapal yang dilayani. Sementara di pelabuhan Tanjung Perak sebesar 13,1 persen, Tanjung Emas 18,6 persen dan pelabuhan Makassar 6,7 persen. Persentase terbesar terdapat di pelabuhan Belawan yang mencapai 55,4 persen. Dari angka-angka tersebut dapat dilihat potensi pelayaran internasional dalam mendukung arus perdagangan negara dan dampak kerugian yang terjadi terhadap kelancaran ekspor non migas apabila ISPS Code tidak terwujud sebagaimana mestinya. Pengamat pelayaran dari ITS (Institut Teknologi 10 November Surabaya), Saur Gurning menilai proses sertifikasi ISPS Code di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dan kejanggalan. Kelemahan dan kejanggalan itu antara lain adalah : 1) Proses security plan yang dilakukan oleh RSO (Recognized Security Organization), di mana mereka yang melakukan perencanaan, tetapi mereka juga yang melakukan penilaian. Menurut Saur Gurning, pemerintah seharusnya lebih fokus kepada pelabuhan khusus, terutama perusahaan yang memproduksi LNG dan gas yang posisinya berada di Kalimantan dan bagian Indonesia Timur lainnya. Ia juga mengemukakan, meskipun ISPS Code sudah diterapkan di Indonesia, ia tidak yakin struktur pengamanan di pelabuhan dapat berjalan sebagaimana diharapkan. Struktur pengamanan pelabuhan di Indonesia masih menggunakan pola lama. Hal ini bisa dilihat 161 162 Hukum Laut Indonesia dari banyaknya instansi yang terlibat dalam pengamanan pelabuhan seperti polisi, administrator pelabuhan, satpam dan aparat lainnya. Hadirnya ISPS Code seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai momentum awal untuk lebih memberdayakan kegiatan pengamanan di perairan serta dapat menghasilkan suatu bentuk pengamanan yang lebih kokoh di pelabuhan-pelabuhan. Untuk mencapai tujuan ini maka para pengelola pelabuhan harus mulai memikirkan bagaimana memperbaiki system keamanannya. Pengelola pelabuhan jangan hanya berorientasi mendapatkan sertifikat dan setelah itu perencanaan dan implementasi ISPS Code terabaikan. Sementara bagi Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan (Ditjen Perhubungan Laut) juga jangan bertindak seperti produsen sinetron yang hanya berorientasi kejar tayang tanpa memperhatikan kualitas dan dampak yang bakal timbul dari kebijakan yang bakal dihasilkannya. Dengan lain perkataan pemberian sertifikat ISPS Code kepada pengusaha kaya dan pelabuhan jangan hanya sekedar sebuah sertifikat formal semata-mata tanpa disertai kualitas yang dipersyaratkan. Hukum Laut Indonesia BAB V PENGATURAN HARTA KARUN DALAM WILAYAH PERAIRAN INDONESIA A. Pelbagai Istilah dan Pengertian Harta Karun Hilangnya arkeolog bawah air Santoso Pribadi setelah menentukan lokasi tengelamnya kapal VOC De Geldermalsen pada akhir Agustus 1986 menjadi salah satu penyebab perlunya dibahas masalah harta karun. Sebagaimana diketahui, sekitar 160 ribu barang pecah belah antik buatan Cina dan 225 batang emas lantakan ditemukan Michael Hatcher di dalam kapal De Geldermalsen milik VOC yang katanya tenggelam di perairan yang terletak antara Pulau Mapur dan Merapas kurang lebih 256 tahun silam. Harta karun itulah yang kemudian dijual di Balai Pelelangan Christie di Amsterdam pada bulam Mei tahun 1986, yang secara keseluruhan menghasilkan 15 juta US dollar, suatu jumlah yang mengagetkan yang mendekati sebagian APBD dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Hatcher sendiri mengemukakan harta karun itu ditemukan di perairan internasional. Te B.Oekhost, juru bicara Kementerian Luar Negeri Belanda ketika itu juga berpendapat De Geldermalsen tenggelam di perairan internasional. Apakah pendapat kedua orang itu memang benar dan dapat dipertanggungjawabkan? Sebelum membahas masalah harta karun dari kapal VOC yang selain telah menelan korban jiwa, yakni hilangnya salah seorang arkeolog terbaik Indonesia, juga telah 163 164 Hukum Laut Indonesia menimbulkan kerugian bagi negara, khususnya Propinsi Riau, maka berikut ini diuraikan beberapa hal yang sangat penting untuk diketahui terkait dengan soal harta karun. Pertama, apa sebenarnya yang dimaksud dengan harta karun. Istilah-istilah apa yang dapat digunakan untuk menunjukkan pengertian dari harta karun itu sendiri. Sejauh mana suatu negara mempunyai hak terhadap harta karun tersebut. Sejauh mana pengaturan hukum mengenai harta karun di Indonesia. Sejauh mana suatu daerah (Propinsi atau Kabupaten/Kotamadya) dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai hak atas harta karun yang terdapat di dalam wilayah kewenangannya. Istilah-istilah yang dapat diberikan pada harta karun ada bermacam-macam. Ada istilah yang dinamakan benda cagar budaya sebagaimana dapat ditemukan dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992, bendabenda purbakala dan bersejarah sebagaimana dapat ditemukan dalam KHL 1982, benda-benda berharga sebagaimana dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 dan lain-lain. Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutnya dengan istilah archaelogical and historical goods atau benda-benda arkeologis dan histories atau benda-benda purbakala dan bersejarah. KHL 1982 yang hanya memuat satu pasal mengenai soal harta karun, yaitu Pasal 149, tidak mengemukakan apa yang dimaksud dengan harta karun atau benda-benda Hukum Laut Indonesia purbakala dan bersejarah. Pasal ini hanya menyatakan semua benda-benda purbakala dan benda-benda yang memiliki nilai sejarah yang ditemukan di kawasan harus dipelihara atau digunakan untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan secara khusus hak-hak yang didahulukan dari negara asal, atau negara asalkebudayaan, atau negara asal-kesejarahan dan asal-kepurbakalaan. Demikian ketentuan Pasal 149 KHL 1982 hanya menyinggung soal harta karun yang terdapat di kawasan (Area), yaitu di dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar batas-batas yurisdiksi nasional suatu negara atau di luar batas-batas landas kontinen suatu negara pantai. Di samping itu sesuai asal tersebut, harta karun tersebut mempunyai nilai-nilai kepurbakalaan dan histories (archaelogical and historical objects) sehingga dengan demikian ketentuan pasal tersebut hanya memberikan pengertian yang sifatnya umum terhadap harta karun. Terlepas dari apa yang dinyatakan melalui pasal 149 KHL 1982, maka bagaimanapun pengertian harta karun dengan berbagai istilahnya harus dibatasi pengertiannya pada harta karun dari laut sehingga pada prinsipnya dapat dimaknai sebagai benda-benda yang berasal dari kapal-kapal yang tenggelam di dasar laut, yang untuk sebagian dianggap mempunyai nilai sejarah dan budaya. Demikian dalam konteks hukum laut pengertian harta karun ini diberikan pemba- 165 166 Hukum Laut Indonesia tasan, yakni benda-benda yang dimaksud itu pada prinsipnya harus berasal dari kapal-kapal yang tenggelam di dasar laut sejak lama dan benda-benda tersebut untuk sebagian tentu saja memiliki nilai arkeologis, cultural dan histories dan untuk sebagian juga memiliki nilai ekonomi. Oleh karena itu adalah wajar apabila timbul berbagai macam istilah mengenai soal harta karun, seperti bendabenda arkeologis, benda-benda cagar budaya ataupun bendabenda berharga yang untuk sebagian mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi. Menurut Safri Burhanuddin, benda-benda berharga asal muatan kapal tenggelam yang berumur ratusan tahun bahkan ribuan tahun, memiliki nilai ekonomi dan budaya yang tinggi, populer dikenal sebagai harta karun dari laut. Harta karun ini merupakan salah satu potensi sumber daya non hayati laut yang belum dikelola secara maksimal, apabila dibandingkan dengan potensi bahan galian seperti minyak dan gas bumi dan mineral serta agregat bahan bangunan yang telah dikelola dengan baik. Benda berharga atau harta karun yan dimaksud dapat berbentuk material, seperti keramik, emas, perak atau batu permata maupun artefak lainnya, atau berbentun non material, seperti pengetahuan mengenai sejarah masa lampau baik kebudayaan maupun teknologi yang telah berkembang pada masa tersebut, misalnya teknologi pembuatan kapal, keramik 2000:7). dan peralatan sehari-hari (Safri Burhanuddin, Hukum Laut Indonesia B. Status Hukum Harta Karun Selanjutnya karena harta karun yang dimaksud adalah harta karun yang terdapat di laut, terutama yang berasal dari kapal-kapal yang sudah tenggelam dan berada di dasar laut sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana status hukum dari harta karun itu. Masalah ini tentu saja dapat dirumuskan dengan menyatakan sejauh mana suatu negara memiliki hak atas harta karun tersebut. KHL 1982 hanya memuat satu-satunya ketentuan pasal, yaitu Pasal 149, namun pasal ini hanya menyebut soal harta karun yang terdapat di Area atau Kawasan atau dasar samudera dalam atau dasar laut internasional, yaitu dasar laut dan tanah di bawahnya di luar batas-batas landas kontinen dari negara pantai. Oleh karena itu permasalahan mengenai sejauh mana suatu negara pantai (coastal state) mempunyai hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi serta memanfaatkan harta karun sangat tergantung pada permasalahan di mana lokasi harta karun tersebut atau di mana lokasi penemuan kapal-kapal yang di dalamnya memuat harta karun tersebut. Dengan demikian permasalahan itu harus dikembalikan pada bagaimana status hukum dari wilayah perairan yang dasar lautnya menjadi titik lokasi ditemukannya harta karun tadi sekalipun KHL 1982 tidak mengatur hal ini secara tegas. Oleh karena itu apabila harta karun itu ditemukan 167 168 Hukum Laut Indonesia atau setidak-tidaknya diketahui berada di dasar laut dari wilayah perairan yang tunduk di bawah kedaulatan negara, seperti perairan pedalaman, laut teritorial dan perairan kepulauan, maka dapat dikatakan bahwa di bagian-bagian laut ini segala sesuatunya ermasuk harta karun dapat dianggap menjadi milik dari negara pantai yang bersangkutan. Kemudian apabila harta karun itu ditemukan atau diketahui berada di dasar laut dari zona tambahan (Contiguous Zone), maka negara pantai dianggap memiliki hak untuk mengatur segala kegiatan yang terkait dengan harta karun tersebut sesuai dengan fungsi dari zona tambahan sebagai jalur untuk melindungi wilayah negara pantai dari berbagai macam ancaman dan gangguan terhadap kepentingan negara pantai dalam bidang-bidang tertentu (seperti bea cukai, fiscal, kesehatan dan keimigrasian). Selanjutnya apabila harta karun atau kapal yang di dalamnya memuat harta karun berada di dasar laut dari landas kontinen atau dari zona ekonmi eksklusif, maka dapat dikemukakan bahwa negara pantai memang mempunyai hak yang sifatnya terbatas atas bagianbagian laut ini. Hak negara pantai di bagian-bagian laut ini terbatas pada pemanfaatan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati. Akan tetapi karena harta karun tidak dapat dianggap sebagai sumber daya alam (natural resources), maka dapat dikatakan bahwa negara pantai yang bersangkutan Hukum Laut Indonesia sama sekali tidak memiliki hak apapun terhadap harta karun tersebut kendati ada juga kalangan tertentu yang berpendapat harta karun yang terdapat di dasar laut termasuk dasar laut dari zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dapat juga dikategorikan sebagai sumber daya alam non hayati (non living resources) sehingga memungkinkan negara pantai yang bersangkutan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasinya. C. Pengaturan Hukum Nasional Indonesia mengenai Pemanfaatan Harta Karun Masalah selanjutnya terkait dengan soal harta karun di laut adalah sejauh manakah pengaturan hukumnya dalam hukum nasional Indonesia? Dapat dikemukakan secara umum pengaturan hukum mengenai harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah perairan Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda-Benda Cagar Budaya yang mengatur halhal yang berkaitan dengan benda-benda cagar budaya. Di samping itu dalam kaitan dengan Otonomi Daerah, terutama soal kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kotamadya) dalam mengelola harta karun yang terdapat di dasar laut dari wilayah perairan Indonesia, maka perlu dikemukakan soal pengaturannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 (sebelumnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999) serta Peraturan Pemerintah Republik 169 170 Hukum Laut Indonesia Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 mengenai Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000, maka kewenangan Pemerintah (Pemerintah Pusat) di bidang kelautan adalah : 1) Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah di luar perairan 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta ZEE dan landas kontinen. 2) Penetapan kebijakan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam di luar perairan 12 mil. 3) Penetapan kebijakan dan pengaturan tata batas maritime yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan batas ketentuan hukum laut internasional. 4) Penetapan standar pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. 5) Penegakan hukum di wilayah laut di luar perairan 12 mil dan di dalam perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta hubungan dengan dunia internasional. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah (Pasal 18), maka Pemerintah Daerah Propinsi mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber daya kelautannya 12 mil dari garis pantai pada wilayah laut yang menjadi kewenangan propinsi. Kewenangan tersebut antara lain adalah : 1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan Hukum Laut Indonesia kepentingan administratif. 3) Pengaturan tata ruang. 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya. 5) Berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Akhirnya Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota di bidang kelautan adalah terhadap sepertiga dari wilayah kewenangan dari propinsi yang bersangkutan, di mana 1) Daerah Kabupaten dan Kota mempunyai kewenangan untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2) Pengaturan kepentingan administrative. 3) Pengaturan tata ruang. 4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah. 5) Berpartisipasi dalam menjaga keamanan serta kedaulatan negara. Undang-undang ini dibuat dengan maksud untuk melindungi serta melestarikan benda-benda cagar budaya yang ditemukan dan dengan demikian benda-benda seperti ini tidak bersifat komersial ataupun tidak boleh dikomersialkan. Akan tetapi berhubung karena sebagian besar benda cagar budaya adalah juga merupakan benda berharga yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka tentu saja maksud dan tujuan dari dilahirkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 dapat mengalami kendala atau tidak dapat tercapai secara optimal. Justru karena bendabenda cagar budaya yang berasal dari kapal-kapal tenggelam 171 172 Hukum Laut Indonesia di dasar laut sebagian besar memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka kemungkinan besar dapat terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan terhadap maksud dan tujuan diundangkannya undang-undang ini. Pihak-pihak tertentu dapat saja melakukan manipulasi atau penyelewengan terhadap usaha-usaha perlindungan dan pelestarian benda-benda cagar budaya demi mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara melakukan pengangkatan benda-benda berharga secara ilegal. Dalam usaha mencegah atau menghindari terjadinya pengangkatan benda berharga secara melawan hukum, maka Presiden Republik Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 43 Tahun 1989 yang kemudian telah diganti dengan Keppres Nomor 107 Tahun 2000 yang mengatur tentang Pembentukan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda-Benda Berharga asal muatan kapal yang tenggelam. Tugas utama daripada Panitia Nasional ini adalah melakukan koordinasi, perizinan dan pengawasan atas penyelenggaraan pengangkatan dan pemanfaatan benda-benda berharga yang berada di dasar laut dalam wilayah perairan Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 (sekarang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004), maka penyusunan atau Hukum Laut Indonesia perumusan Keppres Nomor 107 Tahun 2000 tentang Panitia Nasional dijiwai pula oleh semangat otonomi daerah. Semangat otonomi daerah yang menjiwai Pembentukan Panitia Nasional ini juga melandasi penerbitan Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2000 yang berisi Petunjuk Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga asal muatan kapal yang tenggelam. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan ini secara tegas menyatakan peranan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan benda-benda berharga tersebut, sebagaimana dapat dilihat melalui Pasal 3 ayat 2 dari Kepmen 39/2000 yang menjelaskan Tugas Pemerintah Daerah dalam hubugan perizinan itu adalah sebagai berikut : 1) menerima dan menilai kelayakan permohonan izin perusahaan dan selanjutnya meneruskannya kepada Panitia Nasional untuk mendapatkan rekomendasi, sepanjang menyangkut bendabenda berharga yang berada di dalam wilayah laut yang merupakan wilayah kewenangan pengelolaan dari daerah yang bersangkutan; 2) Memproses dan menerbitkan surat izin survei dan izin pengangkatan benda berharga yang terdapat di dalam wilayah laut kewenangan daerah berdasarkan rekomendasi dari Panitia Nasional; 3) Melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang melaksanakan kegiatan survei dan pengangkatan benda berharga; 4) Menyelenggarakan koordinasi antarinstansi teknis di daerah. 173 174 Hukum Laut Indonesia Sebagaimana diketahui harta karun laut adalah merupakan salah satu kekayaan laut yang mempunyai potensi besar, dapat memberikan keuntungan ekonomi yang dapat menunjang pembangunan nasional. Akan tetapi pembagian hasil dari kegiatan pemanfaatan benda berharga ini belum diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundangan. Diharapkan penentuan bagi hasil antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dapat segera ditetapkan oleh DPR melalui usulan dari Departemen Keuangan. Keputusan bagi hasil antara Pusat dan Daerah diharapkan dapat segera diselesaikan secara tuntas sebab hal ini menyangkut kinerja Pemerintah Daerah dalam menghadapi investor yang mempunyai minat dalam bidang pengangkatan dan pemanfaatan benda berharga dalam rangka berinvestasi di daerah. Di samping itu keterbatasan dana, teknologi dan sumber daya manusia yang professional dan juga terutama hambatan administrasi dan birokrasi merupakan masalah-masalah dalam pengelolaan harta karun sehingga Pemerintah Indonesia mengundang para investor baik domestik maupun asing untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi harta karun dari laut dengan menerapkan pendekatan bagi hasil yang saling menguntungkan. Hukum Laut Indonesia BAB VI PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka sebagai penutup, dapatlah kiranya ditarik beberapa poin penting berikut ini: Faktor keadaan lingkungan Sulawesi Selatan yang dikelilingi wilayah laut yang cukup luas, kemudian budaya bahari masyarakatnya dan sejarah kehidupan mereka yang secara turun menurun umumnya bergantung pada kegiatan di laut, semuanya ini melatarbelakangi serta berkontribusi terhadap penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP). Universitas Hasanuddin yang merupakan orientasi pengembangan yang bersifat strategis yang sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu (termasuk di dalamnya ilmu-ilmu hukum laut). Penetapan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum laut sebagai bagian dari ilmu-ilmu kelautan selain pernah mendapat dukungan strategis dari Presiden Soeharto pada tahun 1981, juga tetap memiliki aktualitas serta relevansi jika dikaitkan dengan berbagai fenomena baik yang berlngsung secara global, regional maupun lokal. Sesuai dengan visi PIP UNHAS, yakni sebagai pusat pengembangan budaya bahari, maka misinya antara lain adalah mengembangkan iptek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan. Dalam hubungan ini Fakultas Hukum UNHAS seharusnya dapat me- 175 176 Hukum Laut Indonesia ngembangkan dan memanfaatkan ilmu-ilmu hukum laut menyangkut pengelolaan sumber daya kelautan. Pemanfaatan dan pengembangan ilmu-ilmu hukum laut sebagai salah satu penjabaran dari visi PIP UNHAS tentu saja mensyaratkan adanya pemahaman dan penguasaan yang baik atas berbagai kebijakan, konsep, prinsip maupun peraturan-peraturan hukum laut Indonesia. Dalam konteksi ini berbagai azas dan ketentuan hukum laut Indonesia yang dalam banyak hal tidak dapat dipisahkan dari hukum laut internasional telah dipaparkan secara terperinci, mulai dari pembahasan tentang negara kepulauan (Archipelagic State) yang menjadi pilar bagi NKRI dan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka penerapan garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) adalah merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak dalam mewujudkan NKRI sebagai suatu negara kepulauan. Melalui penerapan garis pangkal kepulauan yang intinya adalah garis pangkal lurus kepulauan yang dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal normal (normal baselines), garis pangkal lurus (straight baselines) dan garis penutup (pada pelabuhan, sungai dan teluk yang lebar mulutnya maksimal 24 mil laut asalkan terletak pada pulaupulau terluar), maka dapat ditetapkan berbagai macam jalur laut baik yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi penuh (laut teritorial dan perairan kepulauan) maupun yang berada di bawah yurisdiksi di bidang-bidang tertentu (jalur Hukum Laut Indonesia tambahan), serta yang berada di bawah hak-hak berdaulat (ZEE dan landas kontinen). Semuanya ini (bahkan jalur laut bebas) dapat dimanfaatkan dan dikembangkan baik oleh Indonesia sebagai negara pantai dan sekaligus sebagai negara kepulauan maupun oleh negara-negara lain untuk berbagai keperluan serta kepentingan sesuai dengan status hukum dari masing-masing jalur laut tersebut. Pemanfaatan dan pengembangan jalur-jalur laut Indonesia terutama laut teritorial serta perairan kepulauan yang merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan negara kiranya untuk sementara dan untuk kepentingan penulisan bersama inidapat didekati dari dimensi kepentingan navigasi untuk kapal asing dalam segala jenisnya. Pelbagai prinsip harus diperhatikan oleh kapal asing dalam menjalankan kepentingannya dari segi navigasi sebagaimana ditentukan dalam KHL 1982, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2003 mengenai Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan berbagai peraturan perundangan lainnya karena kepenti-ngan pelayarannya dapat berjalan baik berdasarkan prinsip lintas damai (innocent passage), prinsip lintas transit (transit passage) dan prinsip lintas alur-alur laut kepulauan (archipelagic sealanes passage) yang selain memiliki perbedaan, juga mengandung banyak persamaan. Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2003 merupakan peraturan pelaksanaan 177 178 Hukum Laut Indonesia dari prinsip hukum lintas damai, lintas transit dan lintas alur laut kepulauan Indonesia menetapkan berbagai macam persyaratan yang harus diperhatikan dan ditaati oleh kapal asing ketika melewati atau melintasi wilayah perairan Indonesia. Seluruh persyaratan itu menitikberatkan dan menekankan hak dan tanggungjawab dari kapal asing dan atau pesawat udara asing (termasuk negara bendera atau negara registrasi) untuk menghormati kedaulatan (souvereignty) serta keutuhan teritorial (territorial integrity) NKRI sebagai negara kepulauan. Dari sisi lain Indonesia terikat untuk mengakui dan menghormati hak dan kebebasan kapal asing dan atau pesawat udara asing untuk melintasi wilayah perairan serta ruang udara di atasnya dengan mengikuti alur-alur laut kepulauan (ALKI I, II, III dengan berbagai variasinya) ataupun alur-alur laut di luarnya sesuai dengan tujuan kapal asing dalam melakukan lintas di wilayah perairan Indonesia. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 yang disusun berdasarkan persetujuan dari IMO (International Maritime Organization), maka telah ditetapkan adanya tiga macam ALKI dengan beberapa variasinya (ALKI I, ALKI IA, ALKI II, ALKI IIIA, IIIB, IIIC, IIID, IIIE), yang pintu masuk (entry point) dan pintu keluar (exit point) masing-masing bisa terletak di bagian Utara atau Selatan dari wilayah perairan Indonesia tergantung pada kapal asing dan atau pesawat udara asing akan melintas Hukum Laut Indonesia entah dari salah satu pintu masuk di bagian Utara ataukah di bagian Selatan. Ketika kapal asing berlayar dari laut Cina Selatan atau laut Natuna, melintasi Selat Karimata, laut Jawa, Selat Sunda dan terus ke Samudera Hindia (ALKI I), demikian pula sebaliknya tanpa melakukan perhentian di suatu pelabuhan, maka pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas aluralur laut kepulauan. Ketika kapal yang bersangkutan berhenti dan singgah di suatu pelabuhan ataupun meninggalkan pelabuhan dengan atau tanpa mengikuti ALKI, maka pelayaran seperti ini dikualifikasi sebagai lintas damai. Ketika kapal asing itu melintasi Selat Malaka dan Singapura menuju ke Samudera Hindia, maka pelayarannya dinamakan lintas transit. Namun pelayaran kapal asing baik berdasarkan prinsip lintas damai maupun lintas alur laut kepulauan dan lintas transit Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Straits used for international navigation) tetap harus mematuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. ALKI dapat dianggap sebagai sebuah lorong atau koridor bagi kapal untuk melakukan penyimpangan (deviation) lebih dari 25 mil laut pada sisi kiri dan kanan dari alur-alur laut yang digunakan, tidak boleh mendekati pantai pulau terdekat yang berada di dalam ALKI maupun di luarnya. Kapal yang melakukan lintas pelayaran melalui aluralur laut baik alur-alur laut kepulauan maupun di luarnya 179 180 Hukum Laut Indonesia harus senantiasa berhati-hati dan menerapkan syarat-syarat keselamatan pelayaran internasional yang mencakup berbagai faktor, kapal (prevention of collution and ship’s routeing), standarisasi penempatan awak kapal (crewing standards), penetapan alat bantu navigasi (aids to navigation) sebagaimana diatur dalam SOLAS Convention 1978 dan konvensi-konvensi internasional lainnya serta ISPS Code. Semuanya ini merupakan faktor-faktor, kriteria-kriteria dan persyaratan-persyaratan yang harus diterapkan oleh setiap negara bendera dalam menjamin keselamatan pelayaran (safety of navigation). Indonesia yang telah meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran seharusnya menerapkan ketentuan-ketentuannya dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian-perjanjian tersebut, seperti memeriksa secara teratur kelayakan kapal baik kapal berbendera Indonesia maupun berbendera asing, memverifikasi dokumen-dokumen perkapalan dengan kondisi kapal, melakukan langkah-langkah yang dapat menjamin standarisasi penempatan awak kapal, mengambil tindakan-tindakan bagi kapal berbendera Indonesia maupun berbendera asing untuk mencegah terjadinya tubrukan kapal, dan seharusnya menyediakan dan memelihara alat-alat bantu navigasi yang dapat dilakukan melalui berbagai bentuk kerjasama antara Indonesia sebagai negara pantai dengan negara pemakai. Hukum Laut Indonesia ISPS Code yang menyempurnakan SOLAS Convention adalah upaya perlindungan keamanan yang ditujukan terhadap kapal barang atau kapal kargo dan kapal penumpang berkecepatan tinggi dengan ukuran 500 gros ton atau lebih. Di samping itu, ISPS Code ini juga ditujukan terhadap instalasi pengeboran lepas pantai yang memanfaatkan fasilitas pelabuhan maupun fasilitas pelabuhan yang melayani kapal-kapal yang melakukan pelayaran internasional (on international voyages). Fasilitas pelabuhan ini meliputi sisi daratnya, dermaga, tempat berlabuh dan perairan di sekitarnya serta perairan pedalaman yang mengarah ke pelabuhan seharusnya menjadi sasaran perlindungan bagi keamanannya. ISPS Code ini bertujuan agar Pemerintah (pemerintah pusat) dan baik yang berskala nasional maupun internasional memiliki peran dan tanggungjawab dalam bidang keamanan maritim, mendeteksi adanya ancaman keamanan dan mengambil langkah-langkah pengamanan, mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi terkait masalah keamanan serta menentukan cara penilaian keamanan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka setiap kapal dan fasilitas pelabuhan harus memenuhi persyaratanpersyaratan yang telah ditentukan baik menyangkut rencana penagamanan kapal dan pelabuhan, petugas keamanan di atas kapal dan di pelabuhan, petugas keamanan di perusahaan industri perkapalan dan pelabuhan, serta alat-alat perlengkapan keamanan di atas kapal maupun di pelabuhan. 181 182 Hukum Laut Indonesia Selain daripada itu, maka demi keamanan kapal dan pelabuhan, harus dimonitor akses jalan masuk menuju pelabuhan, mengawasi kegiatan orang dan bongkar muat barang serta menjamin efektivitas komunikasi bagi keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. Kendati KHL 1982 tidak menegaskan mengenai status hukum dari harta karun (terkecuali harta karun yang berada di area dalam arti di luar batas-batas yurisdiksi nasional atau di luar batas-batas landas kontinen Indonesia), namun sangat jelas bahwa statusnya ditentukan oleh status hukum dari bagian perairan yang menjadi lokasi ditemukannya harta karun tersebut.