Empati dan Pola Asuh Demokratis Sebagai Prediktor Perilaku

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. PERILAKU PROSOSIAL
2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial
Baron dan Byrne (2004) menjelaskan perilaku prososial sebagai segala
tindakan apa pun yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan
suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan
mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong. Dayakisni
dan Yuniardi (2004) mendefinisikan perilaku prososial merupakan kesediaan
orang-orang untuk membantu atau menolong orang lain yang ada dalam kondisi
distress (menderita) atau mengalami kesulitan. Faturochman (2006) juga
menyatakan perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi
positif pada orang lain.
William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku
prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik
atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam
arti secara material maupun psikologis. Dayakisni dan Hudaniah, (2006)
menyimpulkan perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang
memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi,
fisik ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi
pemiliknya. Bentuk yang paling jelas dari prososial adalah perilaku menolong
(Faturochman, 2006).
Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa
perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang
lain, dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong,
13
menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.
Menurut Staub (1978) ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:
pertama, tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan
pada pihak pelaku; kedua, tindakan itu dilahirkan secara sukarela; dan ketiga,
tindakan itu menghasilkan kebaikan.
Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku positif yang
memberikan sesuatu manfaat bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik
ataupun psikologis yang memberi keuntungan pada orang lain atau dirinya
sendiri.
2.1.2. Aspek-aspek Perilaku Prososial
Aspek-aspek dalam prososial menurut Eisenberg dan Mussen (1989)
adalah sebagai berikut:
a. Berbagi (Sharing).
Kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka dan
duka. Sharing diberikan bila penerima menunjukkan kesukaran dan ada
tindakan melalui dukungan. Perilaku berbagi dapat ditunjukkan pula dengan
perilaku saling bercerita tentang pengalaman hidup, mencurahkan isi hati.
b. Kerjasama (Cooperative).
Kesediaan untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain demi
tercapainya suatu tujuan cooperative dan biasanya saling menguntungkan,
saling memberi atau saling menolong dan menyenangkan.
14
c. Menyumbang (Donating).
Kesediaan berderma, memberi secara sukarela sebagian barang miliknya
untuk orang yang membutuhkan dan dapat juga ditunjukkan dengan perbuatan
memberikan sesuatu kepada orang yang memerlukan.
d. Menolong (Helping).
Kesediaan untuk berbuat kepada orang lain yang sedang dalam kesulitan
meliputi membagi dengan orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan
terhadap orang lain atau menawarkan sesuatu yang menunjang berlangsungnya
kegiatan orang lain.
e. Kejujuran (Honesty)
Kesediaan untuk berkata, bersikap apa adanya serta menunjukkan
keadaan yang tulus hati.
f. Kedermawanan (Generosity)
Kesediaan
memberi
secara
sukarela
untuk
orang
lain
yang
membutuhkan.
Selanjutnya, Staub (1978) mengemukakan bahwa nilai-nilai pribadi dan
norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi
itu merupakan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan
tindakan prososial, seperti:
a. Tanggung jawab.
Kemauan atau kesiapan seseorang untuk memberikan ganjaran berupa
jasa yang dibutuhkan orang lain.
b. Kedekatan (proximity).
Kemudahan dalam pendekatan pada setiap kontak yang terjadi dengan
orang lain. Dalam hal ini dimana adanya suatu hubungan yang sering dilakukan.
15
c. Keadilan.
Kesediaan seseorang untuk membantu orang lain serta memberikan
ganjaran yang tepat sesuai kebutuhan orang lain. Dimensi ini menekankan pada
sikap yang cepat dan tepat dalam pertanyaan, keluhan, dan masalah orang lain.
d. Kebenaran.
Dimensi yang menekankan kemampuan seseorang untuk menyampaikan
kepastian dan membangkitkan rasa percaya dan keyakinan diri orang lain.
Raven dan Rubin (Rizal, 1997) membagi perilaku prososial menjadi dua
bentuk, antara lain:
a. Kerja sama (cooperation).
Kerja sama adalah perilaku prososial yang memiliki peran dalam
pencapaian tujuan bersama.
b. Altruisme.
Altruisme berbeda dengan kerja sama dalam hal keuntungan yang
diperoleh orang yang terlibat, altruisme dilakukan tanpa mengharapkan
keuntungan bagi diri sendiri.
Wispe (dalam Mahmud, 2003) juga mengklasifikasikan bentuk perilaku
prososial, antara lain:
a. Simpati (Sympathy)
Perilaku yang didasarkan atas perasaan yang positif terhadap orang lain.
Peduli dan ikut merasakan kesedihan dan kesakitan yang dialami orang lain.
b. Bekerja sama (Cooperation)
Kerja sama diartikan sebagai bentuk perilaku saling membantu pihakpihak yang terlibat untuk mencapai tujuan bersama.
16
c. Membantu atau menolong (Helping)
Perilaku mengambil bagian atau membantu urusan orang lain agar orang
tersebut dapat mencapai tujuannya.
d. Berderma atau menyumbang (Donating)
Perilaku menghadiahkan atau memberikan suatu sumbangan kepada
orang lain, biasanya berupa amal.
e. Altruistik (Altruism)
Merujuk pada tindakan yang dilakukan untuk memberikan keuntungan
kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspekaspek prososial yaitu berbagi, kerjasama, menyumbang, menolong, kejujuran,
dan kedermawanan. Selanjutnya, aspek-aspek prososial dari Eisenberg dan
Munssen inilah yang juga akan digunakan peneliti untuk menyusun alat ukur
perilaku prososial.
2.1.3. TEORI PERILAKU PROSOSIAL
2.1.3.1. Secara Umum
Penulis menggunakan teori yang dikembangkan oleh Albert Bandura.
Bandura adalah seorang ahli teori belajar sosial tradisional, hampir semua
tingkah laku manusia dipelajari dan dibentuk oleh peristiwa yang terjadi di
lingkungan seperti reward, punishment, dan modelling. Efek dari reward dan
punishment disebut reinforcement sedangkan modeling adalah proses belajar
melalui proses observasi orang lain yang menolong. Ditinjau dari perspektif
teori belajar tradisional, respon prososial diinterpretasi sebagai konsekuensi dari
reinforcement langsung (reward). Karakter moral diartikan sebagai kebiasaan
belajar dan sifat baik yang dipelajari dari orang tua dan guru. Sebagai
17
konsekuensi dari pengulangan pengalaman, anak belajar respon mana yang
menyebabkan pujian orang tua.
Dua konsep penting yang dikenalkan adalah observational learning dan
cognitive regulator. Bandura menjadi pelopor dalam observational learning ini.
Menurut pandangan Bandura, observational learning meliputi empat jenis
proses, yakni atensi, retensi, produksi motor dan motivasi. Individu mengimitasi
jika ia mengikuti model, masuk dalam pikirannya apa yang telah diobservasi,
dapat menerjemahkan secara fisik perilaku yang telah diobservasi dan motivasi
untuk melakukan hal seperti itu (Sears, 1999).
Bandura sangat menekankan pada faktor kognitif internal. Pengaruh
eksternal dipercaya mempengaruhi perilaku melalui proses mediasi kognisi.
Individu secara simbolis memanipulasi informasi yang diperoleh dari
pengalaman sehingga ia mampu menguji dan menghasilkan pengetahuan baru.
Aktivitas kognitif juga mengarahkan dan mengatur tingkah laku individu.
Bandura, dengan teori sosial kognitifnya mengungkapkan bahwa intensi dan
proses evaluasi diri memainkan peran yang penting dalam pengaturan diri.
Penggunaan representasi kognitif membuat individu dapat mengantisipasi
perilaku yang keluar dan bertindak dengan cara yang diharapkan. Individu juga
menyusun tujuan untuk dirinya dan mengevaluasinya secara negatif jika mereka
tidak konsisten antara representasi kognitif dengan perilaku yang sesuai.
Menurut teori sosial kognitif, anak-anak mendapatkan standar internal
dan aturan dengan mengimitasi model dan memahami penjelasan perilaku moral
dari orang-orang yang mensosialisasikan nilai. Reaksi orang lain ini pada
tingkah laku anak-anak membantu mereka untuk memahami signifikansi
sosialnya. Oleh karena itu perkembangan moral termasuk perilaku prososial,
18
dipandang sebagai hasil interaksi antara tekanan sosial dan perubahan kapasitas
kognitif individu.
2.1.3.2. Secara khusus bagi Prososial
Albert Bandura mengungkapkan teori pembelajaran social yang sangat
menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi.
Bandura menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembelajaran sosial
adalah faktor sosial dan faktor kognitif serta faktor pelaku yang berperan dalam
pembelajaran sosial. Faktor kognitif berupa ekspektasi atau penerimaan siswa
untuk meraih keberhasilan, faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap
model pola asuh serta perilaku orang tuanya. Bandura mengembangkan model
desterministic resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku,
person atau kognitif dan lingkungan. Ketiga faktor ini dapat saling berinteraksi
dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku
memengaruhi lingkungan, dan faktor person atau kognitif memengaruhi
perilaku, Sears (1999).
Dalam hal ini empati dapat berperan sebagai faktor kognitif dalam
pembelajaran sosial. Di mana salah satu komponen empati adalah ketrampilan
kognitif, ketrampilan ini digunakan untuk mengenal dan memahami pikiran dan
pandangan orang lain. Sedangkan pola asuh demokratis dapat berperan sebagai
faktor lingkungan, dan prososial berperan sebagai perilakunya. Menurut
Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai
model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan bahwa perilaku
manusia dalam konteks interaksi akan terjadi proses timbal balik yang
berkesinambungan
antara
kognitif,
perilaku
dan
lingkungan.
Kondisi
lingkungan sangat berpengaruh pada pola belajar sosial karena sebagian besar
19
manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku
orang lain. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan
pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam
pembelajaran.
Bandura mengungkapkan bahwa perilaku seseorang adalah hasil
interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. Dapat disimpulkan juga
bahwa perilaku prososial adalah hasil interaksi faktor kognitif (empati) dan
lingkungan (pola asuh demoktratis).
2.1.4.
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMENGARUHI
PERILAKU
PROSOSIAL
Menurut Eissenberg dan Mussen (1989), ada tujuh faktor utama yang
mempengaruhi perilaku prososial anak:
a. Faktor Biologis
Faktor biologis memegang peranan penting dalam kapasitas untuk
berperilaku prososial. Ada dasar genetik yang menyebabkan timbulnya
perbedaan individual dalam intensi prososial. Faktor genetik mengendalikan
respon prososial beberapa spesies hewan dan hal ini digeneralisasi pada
manusia.
b. Budaya masyarakat setempat
Perilaku, motivasi, orientasi dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu
juga diarahkan oleh budaya tempat individu tersebut tinggal. Semua aspek
perilaku dan fungsi psikologis yang diperoleh paling tidak juga dipengaruhi
oleh aspek budaya. Keanggotaan dalam suatu kelompok budaya hanya bisa
digunakan untuk memperkirakan kecenderungan hati individu untuk bertindak
secara prososial dalam berbagai aspek budaya.
20
c. Pengalaman sosialisasi
Pengalaman sosialisasi yang dimaksud adalah banyaknya interaksi anak
dengan agen-agen sosialisasi seperti orang tua yang merupakan agen sosialisasi
utama, teman sebaya, guru dan media massa. Pengalaman sosialisasi ini penting
dalam membentuk kecenderungan prososial anak. Sebagian besar perilaku
prososial anak dipelajari individu dari orang tua pada masa kanak-kanak.
d. Proses kognitif
Perilaku
prososial
melibatkan
beberapa
proses
kognitif
yang
fundamental, yaitu:
1) Intelegensi.
Menurut
teori
perkembangan
kognitif,
setiap
individu
mempersepsi lingkungan sesuai dengan jalan pikirannya. Individu juga
mempersepsi dan mengorganisasikan stimulus serta berperilaku sesuai
dengan tingkat intelegensinya. Moral reasoning dan moral judgement
merupakan manifestasi dari intelegensi yang selalu berubah dan
berkembang sesuai dengan fungsi kognitif.
2) Persepsi terhadap kebutuhan orang lain.
Anak yang berada pada masa kanak-kanak awal kurang dapat
memperkirakan kebutuhan orang lain secara tepat dan mengalami
kesulitan untuk membedakan antara kebutuhan dirinya sendiri dengan
kebutuhan orang lain. Penelitian Pearl (dalam Eissenberg & Mussen,
1989) menyatakan bahwa seorang anak baru bisa memahami kebutuhan
orang lain ketika berada pada tingkat tiga sekolah dasar. Kemampuan
untuk mengenali permasalahan yang dialami oleh orang lain akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Kemampuan ini nantinya
akan meningkatkan respon prososial anak.
21
3) Alih peran (role taking).
Role taking adalah kemampuan untuk memahami dan menarik
kesimpulan dari perasaan, reaksi emosi, pemikiran, pandangan ,
motivasi dan keinginan orang lain. Piaget (dalam Eissenberg & Mussen,
1989) mengemukakan bahwa pada masa kanak-kanak awal, anak tidak
mempunyai kematangan kognitif yang cukup memadai untuk bisa
menerima sudut pandang orang lain. Anak-anak yang belum sampai
pada periode operasional konkrit (usia kurang dari tujuh tahun) hanya
bisa memperhatikan satu dimensi dari suatu situasi pada suatu waktu dan
tidak bisa mempertimbagkan beberapa aspek masalah atau bermacammacam perspektif secara serentak. Saat mulai memasuki masa
operasional konkrit (7-12 tahun) anak mulai dapat memperhatikan
beberapa aspek masalah pada satu waktu dan dapat menimbang
hubungan timbal balik serta menerima sudut pandang orang lain.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Favell, Botkin, Wright
dan Javus, Kurde, Selman, Shantz (dalam Eissenberg & Mussen, 1989)
mendukung pendapat Piaget dan menyatakan bahwa kemampuan alih
peran akan meningkat pada masa kanak-kanak. Menurut Eissenberg dan
Mussen (1989), kemampuan alih peran sebagai perantara perilaku
prososial secara sistematik telah teruji. Kemampuan alih peran bisa
memfasilitasi perilaku prososial yang dimotivasi oleh kepedulian
terhadap orang lain.
4) Keterampilan memecahkan masalah interpersonal.
Keterampilan memecahkan masalah interpersonal meliputi
adanya sensitivitas terhadap permasalahan interpersonal, kemampuan
untuk menentukan beragam solusi dan langkah-langkah yang diperlukan
22
untuk
merealisasikan
solusi
tersebut
dan
kemampuan
mempertimbangkan konsekuensi sosial suatu perilaku bagi orang lain
sebagaimana konsekuensi bagi dirinya sendiri.
5) Atribusi terhadap orang lain.
Atribusi yang dimaksud adalah penilaian terhadap motivasi dan
penyebab suatu perilaku yang dilakukan oleh orang lain. Penyebab suatu
permasalahan bisa berkaitan dengan faktor yang bisa dikontrol oleh
seseorang misalnya faktor ketidakmampuan fisik karena kelainan
genetik. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989) anak usia sekolah lebih
cenderung membantu orang lain yang mengalami masalah akibat faktor
yang tidak bisa dikontrol.
6) Penalaran moral.
Tahap penalaran moral merupakan faktor signifikan yang
mempengaruhi kecenderungan hati seseorang untuk bertindak secara
prososial. Menurut Eissenberg dan Mussen (1989) korelasi antara tahap
penalaran moral dengan perilaku moral tidak begitu tinggi karena
perilaku prososial dipengaruhioleh banyak faktor seperti reaksi emosi,
kompetensi, kebutuhan dan keinginan seseorang pada suatu waktu.
e. Respon emosional
Respon emosional adalah adanya perasaan bersalah, kepedulian terhadap
orang lain. Respon emosi ini akan muncul baik ketika ada ataupun tidak ada
orang lain.
f. Faktor karakteristik individu
Faktor karakteristik individu yang berhubungan dengan intensi prososial
adalah jenis kelamin, tingkat perkembangan yang tercermin melalui usia serta
23
tipe kepribadian. Karakter tertentu pada diri individu yang merupakan kondisi
tetap dan hasil belajar juga berpengaruh pada perilaku prososial.
g. Faktor situasional
Tekanan-tekanan eksternal, peristiwa sosial juga mempengaruhi respon
prososial seseorang. Faktor situasional terdiri dari dua subkategori yaitu
peristiwa yang baru saja terjadi pada diri secara kebetulan dan mempunyai efek
panjang serta mempengaruhi seluruh sisi kehidupan seseorang. Subkategori
yang kedua adalah sesuatu yang berhubungan dengan konteks sosial yaitu
situasi atau keadaan yang menghambat individu, misalnya situasi emosi pada
suatu waktu dan karakteristik personal.
Menurut Staub (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang
melakukan prososial:
a. Pemerolehan diri (Self Gain).
Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan
sesuatu, misalnya : ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.
b. Norma-norma (Personal value and norms).
Adanya nilai-nilai dan norma-norma sosial pada individu selama
mengalami sosialisasi dan sebagian nilai serta norma tersebut berkaitan dengan
tindakan prososial, seperti menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya
norma timbal balik.
c. Empati (Empathy)
Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman
orang lain, jadi kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilan
peran. Terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Agnes Permatasari (2008)
dalam jurnalnya yang berjudul hubungan antara empati dengan kecenderungan
24
perilaku prososial pada perawat di RSU Kardinah Tegal, menunjukkan
hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel empati dengan variabel
kecenderungan perilaku prososial pada perawat dengan koefisien korelasi (r)
sebesar 0,790 peluang kesalahan (p) sebesar 0,000 (p< 0,01). Hal senada juga
diungkapkan oleh Agustin Pujiyanti (2000) mengenai kontribusi empati
terhadap perilaku prososial pada siswa siswi SMA negeri 1 Setu Bekasi dan
hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 69,183 dan p = 0,000 dimana p <
0,05. Nilai R diperoleh sebesar 0,710 dan R square sebesar 0,504. Dengan
demikian, dapat disimpulkan adanya kontribusi empati secara signifikan
terhadap perilaku prososial pada siswa siswi, dan empati memberikan kontribusi
terhadap prososial sebesar 50,4 %.
Menurut Piliavin (dalam Hudaniah dan Dayakisni, 2006) ada beberapa
faktor situasional dan faktor dari dalam diri yang menentukan tindakan
prososial, yaitu :
a. Faktor situasional
i. Bystander
Bystander atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian
mempunyai pengaruh sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat
memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan
darurat. Staub (1978) dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang
berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial
dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain
akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma social yang
dimotivasi oleh harapan untuk mendapat pujian.
25
ii. Daya tarik
Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki
daya tarik) akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan
bantuan. Apapun factor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander
kepada korban, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons untuk
menolong, (Clark, dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006).
Seseorang cenderung akan menolong orang yang dalam beberapa hal
mirip dengan dirinya (Krebs, dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).
Kedekatan hubungan ini dapat terjadi karena adanya pertalian keduanya,
kesamaan latar belakang atau ras (Staub, 1979. Bringham. 1991; dalam
Hudaniah dan Dayakisni, 2006).
iii. Atribusi terhadap korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain
bila ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di luar
kendali korban (atribusi internal) (Weiner, 1980). Oleh karena itu, seseorang
akan lebih bersedia member bantuan kepada pengemis yang cacat dan tua
dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda.
iv. Ada model
Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat
mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain.
Bandura menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembelajaran sosial
adalah faktor social dan faktor kognitif serta faktor pelaku yang berperan
dalam pembelajaran sosial. Faktor sosial mencakup pengamatan siswa
terhadap model pola asuh serta perilaku orang tuanya. Penelitian yang juga
dilakukan oleh Grusec (dalam Mahmud, 2003) menunjukkan bahwa ada
bukti kuat jika model memperlihatkan perilaku menolong, berbagi atau
26
menunjukkan perhatian kepada orang lain, maka anak akan melakukan hal
yang sama, karena ada proses identifikasi mandiri (dominasi sosial,
nonkonformitas dan bertujuan) termasuk didalamnya penggunaan perilaku
menolong yang dilakukan oleh orang tuanya.
v. Desakan waktu
Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong,
sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya
untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya (Sarwono,
2005).
vi. Sifat kebutuhan korban
Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban
benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang
layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimacy of need), dan
bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari
orang lain (atribusi ekternal) (Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).
b. Faktor dari dalam diri.
i. Suasana hati (mood).
Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk
menolong (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Emosi positif secara umum
meningkatkan tingkah laku menolong. Pada emosi negatif, seseorang yang
sedang sedih mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil.
ii. Sifat
Beberapa
penelitian
membuktikan
terdapat
hubungan
antara
karakteristik seseorang dengan kecenderungannya untuk menolong seperti
sifat pemaaf (forgiveness), pemantauan diri (self monitoring), adanya
27
kebutuhan akan persetujuan (need of approval), memiliki internal locus of
control dan egosentris yang rendah (Baron, Byrne, Branscombe, 2006).
iii. Jenis Kelamin.
Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong
sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan.
iv. Tempat tinggal
Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih penolong
daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan.
Menurut Vasta (dalam Weiner,1980) ada beberapa faktor penentu dalam
perkembangan perilaku prososial anak, yaitu :
a. Faktor kognitif dan afektif
1) Penalaran moral
Menurut
Piaget
dan
Kohlberg,
proses
penalaran
moral
merupakan inti dari perkembangan moral. Oleh karena itu ada hubungan
yang positif antara penalaran moral dengan perilaku prososial. Eisenberg
(1989) menyatakan bahwa hubungan positif antara penalaran moral
dengan perilaku prososial sedikit lemah.
2) Pengambilan perspektif
Pengambilan perspektif merupakan kemampuan seseorang untuk
mengerti situasi dan sudut pandang orang lain. Pengambilan perspektif
ini bisa secara fisik, sosial, maupun afektif.
3) Empati
Empati yaitu kemampuan untuk merasakan emosi, perasaan, dan
kesulitan orang lain. Menurut Hoffman (Eisenberg & Mussen, 1989),
pada masa kanak-kanak akhir, empati berkembang secara penuh dan
28
memungkinkan anak untuk menggeneralisasi respon empatik kepada
semua kelompok orang.
4) Atribusi
Anak akan bersikap lebih simpatik dan prososial ketika mereka
bisa menganggap bahwa permasalahan yang terjadi berada di luar
kontrol atau tanggung jawab orang yang memerlukan bantuan.
b. Faktor sosial dan keluarga
Faktor sosial dan keluarga yang mempengaruhi perilaku prososial anak
yaitu :
1) Penguatan
Pujian akan mendorong anak untuk menampilkan perilaku
prososial apabila pujian itu ditujukan langsung pada diri anak yaitu
bahwa anak tersebut adalah anak yang suka membantu dan baik hati
daripada ditujukan pada cara anak memberikan bantuan. Penguatan yang
memberikan peran yang amat penting meskipun tidak ada keterlibatan
psikologis
dalam
proses
memberikan
bantuan.penguatan
yang
diberikana bisa berupa balasan kebaikan anak dengan sesuatu yang
meyenangkan mereka.
2) Modelling dan media
Perilaku prososial anak sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka
lihat dari tingkah laku orang lain. Penelitian Eron (dalam Vasta, 1995)
menunjukkan bahwa anak-anak akan lebih mudah menunjukkan perilaku
berbagi dan membantu setelah mereka mengamati model atau seseorang
yang menunjukkan perilaku yang hampir sama. Kehadiran orang lain
dengan perilaku prososial tertentu juga bisa menjadi model sosial bagi
orang di sekitarnya. Model yang berkuasa, lebih berkompeten dan
29
mempunyai kedudukan penting akan lebih sering ditiru. Model yang
ditiru bisa ditampilkan melalui berbagai media, misalnya televisi
pendidikan anak yang menyiarkan tema-tema moral dan perilaku
prososial dan buku bacaan. Model sosial di layar televisi juga dapat
menciptakan norma sosial yang mendukung terbentuknya perilaku
prososial para penontonnya.
Berdasarkan uraian di atas, perilaku prososial tidak selamanya sama
pada setiap individu. Hal ini disebabkan banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku prososial tersebut seperti pemerolehan diri, normanorma, empati, bystander, daya tarik, atribudi terhadap korban, model pola asuh
atau perilaku orang tua, desakan waktu, sifat kebutuhan korban, suasana hati,
sifat, jenis kelamin, dan tempat tinggal.
2.2. EMPATI
2.2.1. PENGERTIAN EMPATI
Empati (dari Bahasa Yunani εµπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik")
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi,
dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan
seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan
mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain.
Sejalan dengan pendapat ahli di atas Johnson, Check, dan Smither
(1983), mengemukakan empati adalah kecenderungan untuk memahami kondisi
atau keadaan orang lain. Seseorang yang empati digambarkan sebagai orang
yang toleran, mampu mengendalikan diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta
bersifat humanistik. Selain itu Kartono (1987) mengatakan empati adalah
pemahaman pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan orang lain dengan cara
menempatkan diri ke dalam kerangka pedoman psikologi orang tersebut, tanpa
30
sungguh-sungguh mengalami yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan.
Pendapat tersebut selaras dengan penjabaran Koestner, Franz & Weinberger
(1990) yang mengartikan empati sebagai kemampuan menempatkan diri dalam
pikiran dan perasaan orang lain, tanpa harus terlibat secara nyata di dalamnya.
Higgins (1982) juga mengungkapkan pendapat senada yang menyatakan
bahwa dengan empati seseorang dapat memahami pandangan orang lain,
kebutuhan-kebutuhannya serta pemikiran dan tindakannya. Ditambahkan oleh
Chaplin (2000) bahwa empati adalah realisasi dan pengertian terhadap perasaan,
kebutuhan dan penderitaan pribadi orang lain.
Menurut Walgito (2002), empati sebagai tanggapan afeksi seseorang
terhadap suatu hal yang dialami orang lain seolah-olah mengalami sendiri hal
tersebut dan diwujudkan dengan bentuk menolong, menghibur, berbagi dan
bekerjasama dengan orang lain, sedangkan Djauzi dan Supartondo (2004)
mengartikan empati adalah kemampuan untuk menghayati perasaan orang lain,
yang secara garis besar empati ini dibagi dalam proses deteksi keadaan efektif
dan respon yang sesuai.
Di samping itu masih ada lagi pendapat (Eisenberg, 1994) yang
menyebutkan bahwa empati merupakan respon emosional, berasal dari
pemahaman terhadap keadaan keadaan emosi dan keadaan orang lain, dan
sangat sesuai dengan pengalaman yang diterima oleh orang lain. Pada
umumnya, para ahli menyetujui bahwa respon empatik melibatkan komponen
kognitif dan afektif, namun mereka berbeda dalam penekanannya masingmasing. Pendapat Hoffman (dalam Elvin, 2001), peneliti perkembangan empati
antara lain mengenai skema empati, penyusunan teori tentang peranan empati
dalam proses internalisasi, dasar empati dalam filosofi Barat, berpendapat
31
bahwa empati merupakan respon afektif seseorang yang sangat sesuai dengan
situasi orang lain yang diamati.
Satu aspek terpenting dari empati adalah apa yang disebut sebagai
pengambilan perspektif (perspective taking), yaitu sebuah kemampuan khas
yang dimiliki individu untuk mengambil alih secara spontan sudut pandang
orang lain. Perspective taking memungkinkan seseorang mampu mengantisipasi
perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dari sana dapat terbangun
hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan.
Empati dengan simpati adalah dua hal yang bisa dikatakan “serupa tapi
tak sama”. Simpati dipandang sebagai kesadaran yang tinggi terhadap
penderitaan orang lain, dan biasanya orang ingin meringankannya. Simpati
merupakan kecenderungan terlibat atau menempatkan diri pada posisi orang lain
secara emosional dan terdorong untuk mengurangi penderitaan, kekecewaan
atau kemarahan orang lain secara nyata.
Kecenderungan
untuk
melakukan
suatu
tindakan
inilah
yang
membedakan simpati dengan empati. Simpati dianggap berpangkal dari empati
karena simpati merupakan konsekuensi adanya empati. Sedangkan empati tidak
hanya menempatkan diri pada posisi orang lain, tetapi lebih jauh dan dalam diri
kita masuk kekejadian atau peristiwa yang menimpa orang lain secara nalar.
Kita ikut merasakan sekaligus memikirkan kejadian itu sebagaimana dirasakan
dan dipikirkan orang lain.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa empati
merupakan kecenderungan seseorang untuk memahami pikiran-pikiran,
perasaan-perasaan, kondisi, keadaan orang lain tanpa harus terlibat secara nyata
di dalamnya.
32
2.2.2. ASPEK-ASPEK EMPATI
Davis (1983) menjabarkan komponen kognitif dari empati terdiri dari
aspek perspective taking and fantasy, sedangkan komponen afektifnya terdiri
dari aspek empatic concern dan personal distress. Penjabaran tersebut menjadi
dasar pada penelitian ini.
a. Pengambilan Perspektif (perspective taking).
Kecenderungan seseorang untuk mengambil alih sudut pandang orang
lain secara spontan. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu
memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain. Pentingnya
kemampuan pengambilan perspektif untuk perilaku non-egosentrik, yaitu
perilaku yang tidak berorientasi pada kepentingan diri tetapi pada kepentingan
orang lain. Pengambilan perspektif yang tinggi berhubungan dengan baiknya
fungsi sosial seseorang. Kemampuan ini, seiring dengan antisipasi seseorang
terhadap perilaku dan reaksi emosi orang lain, sehingga dapat dibangun
hubungan interpersonal yang baik dan penuh penghargaan. Pengambilan
perspektif juga berhubungan secara positif dengan reaksi emosional dan
perilaku menolong pada orang dewasa.
b. Imajinasi (Fantasy)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, imajinasi adalah daya pikir
untuk membayangkan (dalam angan-angan) atau menciptakan gambar (lukisan,
karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang.
Kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam perasaan dan tindakan
yang dialami orang lain. Kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke
dalam perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada
buku-buku, layar kaca, bioskop, maupun dalam drama. Fantasi berdasarkan
33
penelitian Stotland, dkk (Davis1983) berpengaruh pada reaksi emosi terhadap
orang lain dan menimbulkan perilaku menolong.
c. Perhatian Empatik (Empatic concern).
Menyatakan bahwa perhatian empatik meliputi perasaan simpatik, belas
kasihan dan peduli (lebih terfokus pada orang lain). Orientasi seseorang
terhadap orang lain yang ditimpa kemalangan. Aspek ini berpijak pada
penelitian Coke (dalam Davis, 1983) yang berhubungan positif dengan reaksi
emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa. Selanjutnya (Davis,
1983) menyatakan bahwa perhatian empatik merupakan cermin dari perasaan
kehangatan dan simpati yang erat kaitannya dengan kepekaan serta kepedulian
terhadap orang lain.
d. Distress Pribadi (Personal Distress).
Sears, Freedman, dan Peplau (1994) mendefinisikan personal Distress
sebagai kepedulian terhadap ketidaknyamanan diri sendiri dalam menghadapi
kesulitan orang lain, dan motivasi untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Dalam skala pengukur distress pribadi, reaksi-reaksi
yang dianggap
mencerminkan hal ini adalah ketakutan, kegelisahan, cemas, khawatir kalau
tidak menolong, terganggu, dan terkejut atau bingung dalam menghadapi orang
lain yang kesulitan. Distress pribadi yang tinggi berhubungan dengan rendahnya
fungsi sosial. Tingginya distress pribadi menunjukkan kurangnya kemampuan
dalam sosialisasi.
Rose (dalam Hogan, 1980) mengemukakan lima aspek yang merupakan
karakterstik orang yang berempati tinggi (highly empathic concern) yaitu :
a. Kemampuan dalam berperan imajinatif
b. Sadar akan pengaruh seseorang terhadap orang lain.
34
c. Memiliki kemampuan untuk mengevaluasi motif-motif orang lain.
d. Memiliki pengetahuan tentang motif dan perilaku orang lain.
e. Mempunyai rasa pengertian sosial.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspekaspek empati adalah pengambilan perspektif, imajinasi, perhatian empatik,
distress pribadi. Aspek-aspek di atas inilah yang akan digunakan peneliti untuk
membuat skala penelitian.
2.2.3. MANFAAT EMPATI
Ada beberapa manfaat yang dapat ditemukan dalam kehidupan pribadi
dan sosial saat mempunyai kemampuan berempati, diantaranya adalah :
2.2.3.1. Secara Umum
1) Menghilangkan kesombongan.
Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa
yang terjadi pada diri orang lain akan dapat terjadi pula pada diri kita. Disaat
membayangkan kondisi ini maka seseorang akan terhindar dari kesombongan
atau tinggi hati karena apapun akan dapat terjadi pada diri kita jika Tuhan
berkehendak. Orang yang mempunyai kemampuan empati akan cenderung
memiliki jiwa rendah hati dan memahami kehidupan ini dengan baik. Roda
senantiasa berputar, itulah kehidupan.
2) Menyesuaikan diri.
Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri
bahwa sudut pandang setiap orang berbeda. Dymon (dalam Hadiyanti, 1992)
menyatakan bahwa orang yang baik penyesuaian dirinya akan dimanifestasikan
dalam sifat optimis, fleksibel, dan kematangan emosi.
35
3) Meningkatkan harga diri.
Empati berperan besar dalam hubungan sosial. Richard (dalam Jones,
1992) menyatakan bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dana
menyatakan identitas diri. Adanya hubungan sosial dan media berkreasi
menyebabkan tumbuhnya rasa harga diri dalam diri seseorang (Kurtinez dan
Gewirts, 1984).
4) Meningkatkan pemahaman diri.
Kemampuan dalam memahami perspektif orang lain, menyebabkan
seorang individu sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan
perilakunya.
Hal
ini
akan
menyebabkan
individu
lebih
sadar
dan
memperhatikan pendapat orang lain tentang dirinya.
2.2.3.2. Secara Khusus bagi Prososial
1) Menghilangkan sikap egois dan mudah memberikan pertolongan.
Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat
menghilangkan
sikap
egois
(mementingkan
diri
sendiri).
Dengan
mengembangkan kemampuan empati, maka seseorang akan berusaha berbicara,
berpikir, dan berperilaku yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan
mudah memberikan pertolongan kepada orang lain.
2) Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri.
Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha untuk melakukan evaluasi
diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat
diri orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian
dari merefleksikan keadaan tersebut dalam diri sendiri sehingga mampu
menolong orang lain dengan tulus ikhlas.
36
3) Mempercepat hubungan dengan orang lain.
Lauster (1995) berpendapat bahwa jika setiap orang berusaha untuk
berempati, maka salah paham, perdebatan, dan ketidaksepakatan antar individu
dapat dihindari sehingga dimungkinkan terjadinya kerjasama sangat besar dan
mudah.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat
empat secara umum adalah, menghilangkan kesombongan, meningkatkan harga
diri, meningkatkan pemahaman diri dan menyesuaikan diri sedangkan secara
khusus bagi prososial adalah menghilangkan sikap egois dan mudah
memberikan pertolongan mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol
diri, dan mempercepat hubungan dengan orang lain.
2.3. REMAJA
2.3.1. PENGERTIAN REMAJA
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence (dari
bahasa inggris) yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang cukup luas
mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik (Hurlock,1999).
Piaget (dalam Hurlock,1999) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia
dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Individu tidak
lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada
dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya adalah masalah hak, integrasi
dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan
dengan masa puber, termasuk di dalamnya juga perubahan intelektual yang
mencolok, tranformasi yang khas dari cara berfikir remaja memungkinkan
untuk mencapai integrasi dalam sebuah hubungan sosial orang dewasa.
37
Selanjutnya, Kartono (1990) mengatakan bahwa masa remaja juga sebagai masa
penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa
dewasa. Pada periode remaja terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial
mengenai fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil ke simpulan bahwa masa
remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju dewasa.
Pada masa remaja terdapat berbagai perubahan, diantaranya terjadi perubahan
intelektual dan cara berfikir remaja, terjadinya perubahan fisik yang sangat
cepat, terjadinya perubahan social, di mana remaja memulai berintegrasi dengan
masyarakat luas serta pada masa remaja mulai meyakini kemampuannya,
potensi serta cita-cita diri. Selanjutnya pada masa remaja terdapat tugas-tugas
perkembangan yang sebaiknya dipenuhi sehingga pada akhirnya remaja bisa
dengan menetapkan langkah ke tahapan perkembangan selanjutnya.
2.3.2. BATASAN USIA REMAJA
Banyak batasan usia remaja yang diungkapkan oleh para ahli.
Diantaranya adalah Monks, dkk (1999) yaitu masa remaja awal, masa remaja
pertengahan, dan masa remaja akhir. Batasan remaja yang diungkapkan oleh
Monks, dkk (1999) tidak jauh berbeda dengan pendapat Kartono (1999) yang
membagi masa remaja menjadi masa pra pubertas, masa pubertas dan masa
adolesensi. Monks, dkk (1999) membagi fase-fase masa remaja menjadi tiga
tahap, yaitu ; remaja awal (12-15 tahun), remaja tengah (15-18) dan remaja
akhir (18-21 tahun).
Menurut Hurlock (1999) remaja adalah mereka yang berada pada usia
12-18 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada
38
pada rentang 12-23 tahun. Sedangkan menurut Thornburgh (dalam Elvin, 2001)
membagi usia remaja menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Remaja awal : antara 11 hingga 13 tahun.
Pada masa ini terjadi masa peralihan antara tahapan presosialization
(tahap dimana anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong
apabila diminta atau ditawari sesuatu agar mau melakukannya, tetapi menolong
itu tidak membawa dampak positif bagi mereka), Sears (1999).
b. Remaja pertengahan: antara 14 hingga 16 tahun.
Pada rentang usia ini, kepribadian remaja masih bersifat kekanakkanakan, namun pada usia remaja sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran
akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menemukan
nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan
etis. Selain itu pada remaja pertengahan akan memasuki tahapan awarness
(tahapan dimana anak belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat
tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan mereka menjadi menjadi lebih
sensitif terhadap norma sosial dan belajar bertingkah laku prososial) Sears
(1999).
c. Remaja akhir: antara 17 hingga 19 tahun.
Pada rentang usia ini, remaja sudah merasa mantap dan stabil. Remaja
sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digarikannya
sendiri, dengan itikad baik dan keberanian. Remaja mulai memahami arah
kehidupannya, dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai
pendirian tertentu berdasarkan pola yang jelas yang baru ditemukannya
(Kartono, 1990). Selain itu remaja akhir ini mulai memasuki tahap
internalization (tahap ini perilaku menolong dapat memberikan kepuasan secara
intrinsik dan membuat orang merasa nyaman), Sears (1999).
39
Dari batasan-batasan remaja yang dikemukakan oleh para tokoh di atas,
peneliti menggunakan batasan remaja Thronburgh 11-19 tahun dengan
pertimbangan pada usia remaja sudah mulai memasuki tahapan dimana anak
belajar menolong untuk remaja awal, belajar bertingkah laku prososial dan
sensitif terhadap norma sosial untuk remaja pertengahan, dan untuk remaja
akhir belajar berperilaku menolong yang akan memberikan kepuasan secara
intrinsik dan membuat orang merasa nyaman.
2.3.3. TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA
Pada remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya
dipenuhi. Menurut Hurlock (1999), adapun tugas perkembangan remaja itu
adalah :
a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya sejenis
atau lawan jenis. Remaja belajar untuk bergaul dengan baik, dalam hal ini
remaja juga berusaha untuk dapat menarik perhatian lawan jenis.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita. Remaja belajar untuk memerankan
peran seks yang diakui sesuai dengan adanya tuntutan dari lingkungan.
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
Remaja diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan fisik
yang terjadi padanya dan diharapkan sudah tidak lagi mengalami
kecanggungan.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab
perilaku sosial remaja diharapkan dapat sesuai dengan tuntutan sosial yang
ada dilingkungannya.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa lainnya.
Remaja diharapkan dapat membawa diri diamanapun dia berada dan tidak
40
bergantung pada orang lain. Ada suatu tuntutan bahwa remaja harus mampu
mandiri, bukan dalam hal ekonomi tetapi dalam kehidupan sosial.
f. Mempersiapkan karir ekonomi. Remaja diharapkan mulai menata masa
depannya sebagai masa persiapan bekerja.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. Remaja mulai membangun
hubungan dengan lawan jenis namun bukan semata-mata bersenang-senang
tetapi untuk mencari pasangan hidup.
Berdasarkan pemaparan di atas, tugas perkembangan remaja yang
berhubungan dengan perilaku prososial adalah mengharapkan dan mencapai
perilaku sosial yang bertanggung jawab perilaku sosial remaja diharapkan dapat
sesuai dengan tuntutan sosial yang ada dilingkungannya.
2.4. POLA ASUH ORANG TUA
2.4.1. PENGERTIAN POLA ASUH
Orang tua dan keluarga merupakan faktor yang paling signifikan pada
perkembangan kepribadian selama masa kanak-kanak akhir. Hubungan orang
tua-anak, situasi keluarga dan interaksi antar saudara kandung memainkan peran
yang penting dalam membentuk kepribadian mereka. Hubungan orang tua-anak
sangat penting dalam menentukan perkembangan kepribadian dan sosial,
sehingga perlu diberikan perhatian khusus.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat
berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan
kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut
berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktornya adalah
praktik pengasuhan anak. Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek
dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi
41
orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg,
1993).
Penelitian kontemporer pada gaya pola asuh berasal dari penelitian
terkenal Baumrind (1991) dalam anak dan keluarganya menunjukkan bahwa
gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada
studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari
praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek
tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari
konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan
kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang
anak merespon pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh
dipandang sebagai karakteristik orang tua yang membedakan keefektifan dari
praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling
& Steinberg, 1993).
Dengan demikian kebiasaan cara atau gaya orang tua ketika mereka
berinteraksi dengan anak-anaknya merupakan dimensi pola asuh yang penting.
Perkembangan mentalitas anak memiliki proses pencarian yang panjang bagi
orang tua untuk meningkatkan kemampuan perkembangan sosio-emosional
(Bornstein, 2002)
Menurut Diana Baumrind, pola asuh orang tua atau parenting style
adalah suatu cara bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik anak. Pola asuh
ini tentunya juga berkaitan erat dengan bagaimana kepribadian anak akan
terbentuk. Pola asuh perilaku orang tua terhadap anaknya terdiri atas dua aspek
penting, yaitu parental responsiveness (derajat seberapa besar respon orang tua
terhadap kebutuhan anak, penerimaan, dan perilaku mendukung) dan parental
42
demandingness (harapan dan kontrol orang tua terhadap perilaku bertanggung
jawab anak).
Faktor
lingkungan
sosial
yang
memiliki
sumbangan
terhadap
perkembangan sosial anak ialah keluarga, khususnya orang tua terutama pada
masa awal (kanak-kanak) sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang
tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu
ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentukbentuk perilaku sosial tertentu pada anaknya.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian pola asuh
adalah merupakan suatu bentuk (struktur), system dalam menjaga, merawat,
mendidik dan membimbing anak kecil.
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pola asuh adalah segala sesuatu yang dilakukan orang tua (pengasuh) terhadap
anak (yang diasuh) yang meliputi kegiatan seperti memelihara, melindungi dan
mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan anak tersebut serta
cara orang tua mengkomunikasikan sikap dan kepercayaan kepada anakanaknya.
2.4.2. PENGERTIAN POLA ASUH DEMOKRATIS
Menurut Utami Munandar (1982), pola asuh demokratis adalah cara
mendidik anak, di mana orang tua menentukan peraturan-peraturan tetapi
dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Pola asuh demokratis
adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan
anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh
pengertian antara orang tua dan anak (Gunarsa, 1995). Dengan kata lain, pola
asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan
43
pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batasbatas atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua.
Dalam pola asuh ini dipandang bahwa kebebasan pribadi untuk
memenuhi keinginan dan kebutuhannya baru bisa tercapai dengan sempurna
apabila anak mampu mengontrol dan mengendalikan diri serta menyesuaikan
diri dengan lingkungan baik keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini anak diberi
kebebasan namun dituntut untuk mampu mengatur dan mengendalikan diri serta
menyesuaikan diri dan keinginannya dengan tuntutan lingkungan. Oleh karena
itu sebelum anak mampu mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri, maka
dalam dirinya perlu ditumbuhkan perangkat aturan sebagai alat kontrol yang
dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sesuai dengan aturan yang berlaku
di lingkungannya.
Pengontrolan dalam hal ini, walaupun dalam bentuk apapun hendaknya
selalu ditujukan supaya anak memiliki sikap bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri dan terhadap lingkungan masyarakat. Dengan demikian anak itu
akan memiliki otonomi untuk melakukan pilihan dan keputusan yang bernilai
bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya. Dalam hal ini perlu disadari bahwa
kontrol yang ketat harus diimbangi dengan dorongan kuat yang positif agar
individu tidak hanya merasa tertekan tetapi juga dihargai sebagai pribadi yang
bebas.
Komunikasi antara orang tua dengan anak atau anak dengan orang tua
dan aturan intern keluarga merupakan hasil dari kesepakatan yang telah
disetujui dan dimengerti bersama. Untuk hal ini Baumrind (1991) menekankan
bahwa dalam pengasuhan autoritatif mengandung beberapa prinsip : pertama,
kebebasan dan pengendalian merupakan prinsip yang saling mengisi, dan bukan
suatu pertentangan. Kedua, hubungan orang tua dengan anak memiliki fungsi
44
bagi orang tua dan anak. Ketiga, adanya kontrol yang diimbangi dengan
pemberian dukungan dan semangat. Keempat, adanya tujuan yang ingin dicapai
yaitu kemandirian, sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung
jawab terhadap lingkungan masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola
asuh demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua menggunakan
kebebasan dan pengendalian, dan ada kontrol yang diimbangi dengan
pemberian dukungan oleh orang tua kepada anak.
2.4.3. CIRI-CIRI POLA ASUH ASUH DEMOKRATIS.
Pola asuh demokratis, memiliki ciri-ciri seperti yang dikemukakan oleh
beberapa ahli di bawah ini:
a. Stewart dan Koch (dalam Elaine, 1990) menyatakan ciri-cirinya adalah:
1) Orang tua memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak.
2) Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak- anaknya
terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa.
3) Orang tua selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan
menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anakanaknya.
4) Dalam bertindak, orang tua selalu memberikan alasannya kepada anak,
mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi
hangat dan penuh pengertian.
45
b. Menurut Hurlock (1999) pola asuhan demokratis ditandai dengan ciri-ciri:
1) Anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol
internalnya.
2) Anak diakui keberadaannya oleh orang tua.
3) Anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
c. Menurut Zahara Idris (dalam Shochib, 1998), dimensi pola asuh demokratis
meliputi:
1) Musyawarah dalam keluarga. Pola asuh demokratis selalu memberi
kesempatan kepada keluarga dalam hal ini anak untuk membicarakan dan
menyepakati peraturan keluarga, membicarakan kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan bersama keluarga serta memecahkan masalah yang dihadapi keluarga.
2) Kebebasan yang terkendali. Orang tua yang menerapkan pola asuh
demokratis dalam mendidik anak-anak akan selalu memberikan kebebasan
dalam berpendapat, dalam menyampaikan keinginan anak, serta berusaha
mendengarkan keluhan, penjelasan dengan segala pertimbangan yang bijaksana,
3) Pengarahan dari orang tua. Memberi pengarahan adalah salah satu ciri
pola asuh demokratis, karena dalam pengarahan akan termuat penjelasanpenjelasan mengenai nilai-nilai hidup, moral, norma yang baik dan penting
dalam kehidupan ini.
4) Bimbingan dan perhatian. Pola asuh demokratis memberikan
perhatian mengenai kebutuhan anak dari hal kecil sampai besar, misalnya
adalah kebutuhan pokok anak, kebutuhan sekolah, kebutuhan bermain, namun
tidak lepas dari bimbingan yang mengarah ke pencapaian masa depan anak.
5) Saling menghormati antar anggota keluarga. Dalam pengasuhan ini,
ditekankan adanya sikap saling menghormati dan menghargai antar anggota
46
keluarga baik dalam bersikap, bertutur kata agar tercipta keharmonisan dalam
keluarga.
6) Komunikasi dua arah. Bentuk komunikasi dua arah antara orang tua
dan anak sangat dihargai dan diterapkan dalam pola asuh ini, karena komunikasi
yang baik adalah bila adanya pihak yang mendengarkan dan mengutarakan
pendapat baik dalam mengkomunikasikan masalah, maupun keinginan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi pola asuh
yang nantinya juga digunakan dalam penyusunan angket adalah adanya
musyawarah dalam keluarga, kebebasan yang terkendali, pengarahan dari orang
tua, bimbingan dan perhatian, saling menghormati antar anggota keluarga, dan
komunikasi dua arah.
2.4.4. MANFAAT POLA ASUH DEMOKRATIS.
2.4.4.1. Secara Umum
1) Mengembangkan perasaan diterima.
Indikasi dari hasil penelitian Lutfi (1991), Nur Hidayat (1993) dan Nur
Hidayah (1995) (dalam Mohammad Shocib (1998) adalah bahwa dalam pola
asuh dan sikap orang tua yang demokratis menjadikan adanya komunikasi yang
dialogis antara anak dan orang tua dan adanya kehangatan yang membuat anak
remaja merasa diterima oleh orang tua sehingga ada pertautan perasaan. Oleh
sebab itu, anak remaja yang merasa diterima oleh orang tua memungkinkan
mereka memahami, menerima dan menginternalisasi ”pesan” nilai moral yang
diupayakan untuk diapresiasikan berdasarkan kata hati.
2) Mengembangkan emosional yang positif.
Pendapat Fromm, seperti yang dikutip Abu Ahmadi (1991) bahwa anak
yang
47
dibesarkan
dalam
keluarga
yang
bersuasana
demokratis,
perkembangannya emosionalnya lebih matang dan dapat menerima kekuasaan
secara rasional. Sebaliknya anak yang dibesarkan dalam suasana otoriter,
memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang harus ditakuti.
2.4.4.2. Secara Khusus bagi Perilaku Prososial
1) Mengembangkan kemandirian dan keyakinan.
Baumrid dan Black (dalam Kusjamilah, 2001), dari hasil penelitiannya
menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua yang demokratis akan
menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakantindakan prososial, mandiri serta mampu membuat keputusan sendiri yang akan
berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab.
2) Mengembangkan kontrol diri.
Dengan pola asuh ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol
terhadap perilaku sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat.
Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan
yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang
tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif baik dalam tingkah
laku menolong (Danny, 1991).
3) Mengembangkan sikap terbuka dan jujur.
Pola asuh demokratis ini ditandai dengan sikap terbuka dan jujur antara
orang tua dan anak. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama.
Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan
keinginannya. Jadi, dalam pola asuh ini terdapat komunikasi yang baik antara
orang tua dan anak. Rumah tangga yang hangat dan demokratis, juga berarti
bahwa orang tua merencanakan kegiatan keluarga untuk mempertimbangkan
kebutuhan anak agar tumbuh dan berkembang sebagai individu dan bahwa
48
orang tua memberinya kesempatan berbicara atas suatu keputusan semampu
yang diatasi oleh anak. Sasaran orang tua adalah mengembangkan individu yang
berpikir, yang dapat menilai situasi dan bertindak dengan tepat, bukan seekor
hewan terlatih yang patuh tanpa pertanyaan (Elanie, 1990).
Berdasarkan pemamparan di atas, dapat disimpulkan manfaat pola asuh
demokratis secara umum adalah mengembangkan kemandirian dan keyakinan
dan mengembangkan emosional yang positif; sedangkan manfaat secara khusus
bagi
prososial
adalah
mengembangkan
kemandirian
dan
keyakinan,
mengembangkan kontrol diri dan mengembangkan sikap terbuka.
2.5.
EMPATI
DAN
POLA
ASUH
DEMOKRATIS
SEBAGAI
PREDIKTOR PERILAKU PROSOSIAL.
Tingkah laku prososial (prosocial behavior) adalah perilaku yang
memerluka proses pembelajaran dalam rentang kehidupan ini. Definisi prososial
sendiri adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa
harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan
tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang
menolong. Dalam teori pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Albert
Bandura, ada dua faktor penting yang memengaruhi proses pembelajaran
perilaku individu, pertama adalah faktor kognitif dan faktor lingkungan.
Faktor kognitif dalam penelitian ini adalah empati yang juga merupakan
salah satu faktor munculnya perilaku prososial. Empati adalah kemampuan
seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, jadi
kemampuan empati ini erat kaitannya dengan pengambilan peran Staub (dalam
Hudaniah & Dayakisni, 2006). Ini merupakan faktor kognitif dari munculnya
tindakan prososial, karena dalam empati terdapat ketrampilan kognitif,
49
ketrampilan ini digunakan untuk mengenal dan memahami pikiran dan
pandangan orang lain. Dalam empati juga terdapat komponen afektif. Tujuan
dari komponen afektif ini adalah menolong individu menguasai ketrampilan
hidup (life skills). Ketrampilan-ketrampilan psikologis yang termasuk dalam life
skills salah satunya mendengarkan dan memahami secara empatik (empatic
understanding), tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga
mengekspresikan
kepedulian
dan
mencoba
melakukan
sesuatu
untuk
meringankan penderitaan mereka. Kepedulian untuk menolong seseorang
merupakan definisi penting dari prososial. Tingkah laku prososial (prosocial
behavior) adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain
tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang
melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi
orang yang menolong.
Faktor lingkungan dalam proses pembelajaran sosial yang dalam hal ini
adalah perilaku prososial ini yaitu lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga
ini lebih terfokus pada gaya pola asuh orang tua yang diterapkan untuk
mendidik anak-anaknya. Gaya pola asuh orang tua ini termasuk juga model
perilaku dari orang tua dalam memberikan asuhan bagi anak-anaknya. Menurut
Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai
model merupakan tindakan belajar.
Model prososial yang lebih berpengaruh dari yang disediakan oleh
media, adalah model yang disediakan oleh orang tua. Coles (1997) menyatakan
bahwa kuncinya adalah dengan mengajarkan anak untuk menjadi “baik” dan
untuk berpikir mengenai orang lain selain dari diri sendiri. Anak-anak belajar
dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan dikatakan orang tua mereka
dalam kehidupan sehari-hari.
50
Coles yakin bahwa masa sekolah dasar adalah masa yang penting di
mana anak dapat mengembangkan atau gagal mengembangkan suatu kesadaran.
Tanpa model dan pengalaman yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah
bertumbuh menjadi remaja yang egois dan kasar dan kemudian menjadi orang
dewasa yang sama tidak menyenangkannya. Rasa empati anak ditingkatkan
ketika ketika orang tua dapat mendiskusikan emosi-emosi, tetapi penghambat
utama perkembangan empati adalah penggunaan rasa marah oleh orang tua
sebagai cara utama untuk mengontrol anak-anaknya.
2.6. MODEL PENELITIAN
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka model penelitian
yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Model Penelitian
X1
Y
X22
Keterangan:
X1: Empati
X2: Pola Asuh Demokratis
Y : Perilaku Prososial
51
2.7. HIPOTESIS
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori, hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Empati dan pola asuh demokratis
sebagai prediktor perilaku prososial pada remaja PPA Solo.
52
Download