I. 1.1. PENDAHULUAN Latar belakang Studi tentang iklim mencakup kajian tentang fenomena fisik atmosfer sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan bumi. Keduanya saling mempengaruhi dimana aktivitas atmosfer dikendalikan oleh fisiografi bumi dan fluktuasi iklim berpengaruh terhadap aktivitas di muka bumi. Interaksi ini ditunjukkan dengan adanya perubahan iklim yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu. GRK (Gas Rumah Kaca) sangat berguna bagi bumi untuk menjaga permukaan bumi agar tetap hangat. Namun, akibat GRK yang berlebihan di atmosfer maka terjadilah penumpukkan GRK, sehingga terjadilah emisi GRK. Emisi GRK yaitu lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area dan dalam jangka waktu tertentu yang disebabkan oleh kegiatan manusia, sehingga mengakibatkan banyak panas yang terperangkap dan memicu timbulnya pemanasan global. Unsur iklim terdiri dari curah hujan, suhu, radiasi matahari, kelembaban, tekanan udara dan kecepatan angin. Curah hujan dan suhu merupakan dua unsur iklim yang paling berpengaruh di Indonesia karena besaran curah hujan dan suhu saling mempengaruhi. Iklim menurut Winarso (2012) adalah rata-rata kondisi fisis udara (cuaca) pada kurun waktu tertentu (harian, mingguan, bulanan, musiman dan tahunan yang diperlihatkan dari ukuran catatan unsur-unsurnya (suhu, tekanan, kelembaban, hujan, angin, dan sebagainya). Fenomena variabilitas iklim dan perubahan iklim memberi dampak yang besar di sektor pertanian dimana variabilitas iklim merupakan fluktuasi unsur-unsur iklim yang terjadi pada rentang 1 waktu tertentu misalnya perubahan iklim musiman (musim hujan dan kemarau yang berubah mendadak), tahunan (musim kemarau atau musim hujan yang berubah rentang waktunya), dan dekadal (kejadian ekstrim seperti El Nino atau El Nina yang semakin pendek periode terjadinya), sedangkan perubahan iklim merupakan fenomena perubahan komposisi atmosfer secara global yang menyebabkan variabilitas iklim yang teramati terjadi pada periode cukup panjang (Trenberth et al. 1995) dalam (Apriyana, 2011). Di Indonesia terdapat variasi iklim musiman dan non musiman. Variasi musiman yang sangat mempengaruhi kondisi cuaca di Indonesia terutama curah hujan ialah sirkulasi Muson. Muson digerakkan oleh adanya sel tekanan tinggi dan sel tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Pada bulan Desember sampai Februari di belahan bumi utara terjadi musim dingin akibatnya ada sel tekanan tinggi di benua Asia dan sel tekanan rendah di benua Australia, sehingga angin akan bertiup dari tekanan tinggi (Benua Asia) ke tekanan rendah (Benua Australia) yang biasa disebut sebagai Muson barat laut. Muson barat laut biasanya lebih lembab daripada Muson tenggara karena saat terjadi Muson ini, udara naik diatas Australia dan juga arus udara bergerak di atas laut dengan jarak yang cukup jauh, sehingga lebih banyak mengandung uap air. Negara tropis adalah negara yang berada dalam wilayah yang kita sebut tropis, daerah tropis adalah zona tropic of cancer, paralel lintang pada 23½° utara dan tropic capricorn, paralel lintang pada 23½° selatan, dimana-mana di daerah tropis dipukul oleh sinar matahari tegak lurus pada tengah hari minimal satu hari dalam setiap tahun. Di tengah-tengah daerah tropis terletak khatulistiwa. Laporan IPCC (2007) menyatakan bahwa pada akhir abad ini bumi telah mengalami 2 kali periode penghangatan atmosfer yaitu pada tahun 1910-1940 (0,350C) dan 1970-2006 (0,550C). Pada periode penghangatan pertama disebabkan faktor alami dan akibat aktivitas manusia terjadi secara bersamaan tapi pada periode penghangatan kedua , faktor yang paling 2 dominan adalah akibat aktivitas manusia (era industri). Penghangatan atmosfer karena peningkatan suhu udara mengakibatkan naiknya kandungan uap air di atmosfer (terutama pada lintang rendah). Uap air tersebut dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena adanya sirkulasi lautan dan atmosfer (atmospheric and oceanic circulation), sehingga pada suatu wilayah mendapatkan hujan berlebih tapi di tempat lain mengalami kekurangan hujan atau kekeringan, sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut mengalami perubahan iklim terutama perubahan pola hujan. Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan. Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal (Hidayati, 2001). Perubahan iklim menyebabkan perencanaan budidaya tanaman menjadi lebih sulit karena adanya perubahan pola distribusi curah hujan dan pergeseran awal musim tanam, sehingga ketersediaan air tidak lagi sesuai kebutuhan dalam skala ruang dan waktu. Kaimuddin (2000) dengan analisis spasial menyatakan bahwa curah hujan rata-rata tahunan kebanyakan di daerah selatan berkurang atau menurun sedangkan di bagian Utara bertambah. Iklim di Indonesia telah menjadi lebih hangat selama abad 20. Suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0,30C sejak 1900 dengan suhu tahun 1990-an merupakan dekade terhangat dalam abad ini dan tahun 1998 merupakan tahun terhangat, hampir 10C di atas rata-rata tahun 1961-1990. Peningkatan kehangatan ini terjadi dalam semua musim di tahun itu. Curah hujan tahunan turun sebesar 2 hingga 3 persen di wilayah Indonesia di abad ini dengan pengurangan tertinggi terjadi selama perioda Desember- Februari, yang merupakan musim terbasah dalam setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia di- 3 pengaruhi kuat oleh kejadian El Nino dan kekeringan umumnya telah terjadi selama kejadian El Nino terakhir dalam tahun 1982/1983, 1986/1987 dan 1997/1998. Berdasarkan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, umumnya wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) pola hujan (Kaimuddin, 2000) yaitu : 1. Pola hujan Muson, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret. Tipe grafik curah hujan bersifat unimodial (memiliki satu puncak musim hujan). DJF (Desember, Januari, Februari) musim hujan, JJA (Juni, Juli, Agustus) musim kemarau. Tipe monsunal dipengaruhi oleh angin musiman (monsun), baik angin baratan maupun angin timuran yang bertiup akibat adanya perbedaan musim di Belahan Bumi Utara (BBU) dan Belahan Bumi Selatan (BBS). 2. Pola hujan equatorial, dipengaruhi oleh gerak revolusi bumi mengelilingi matahari, dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu mempunyai dua puncak musim hujan (berbentuk huruf M) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator atau pada saat terjadi ekinoks. Ekinoks terjadi dua kali selama periode revolusi (1 tahun) yaitu pada tanggal 21 Maret dan 23 September. 3. Pola hujan lokal, dipengaruhi oleh kondisi lokal suatu wilayah dan memiliki satu puncak maksimum yang terjadi pada musim hujan. Pada pola hujan lokal wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan berkebalikan dengan pola monsunal. Pola lokal memiliki ciri bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsunal, sehingga puncak musim hujan terjadi sekitar pertengahan tahun. 4 Pada kondisi normal, daerah yang bertipe hujan Muson akan mendapatkan jumlah curah hujan yang berlebih pada saat Muson barat (DJF = Desember, Januari, Februari) dibanding saat Muson timur (JJA = Juni, Juli, Agustus). Pengaruh Muson di daerah yang memiliki pola curah hujan ekuator kurang tegas akibat pengaruh insolasi pada saat terjadi ekinoks, demikian juga pada daerah yang memiliki pola curah hujan lokal yang lebih dipengaruhi oleh efek orografi. Broer (2003) membagi perwilayah curah hujan ini sebagai berikut 1. Tipe Musonal dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu Tipe A dan Tipe B. Kedua tipe memiliki pola yang sama tetapi memiliki perbedaan yang cukup jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Tipe A memiliki musim kemarau yang lebih panjang (mencakup wilayah Indonesia Timur dan kepulauan Nusa Tenggara) dan secara keseluruhan memiliki hujan yang lebih rendah dari tipe B (Jawa, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan). Oleh karena itu Tipe A lebih sering mengalami kekeringan dibanding Tipe B. 2. Tipe Ekuator dibagi 2 (dua) yaitu Tipe D dan Tipe E. Tipe D mencakup wilayah pantai barat Sumatera Utara sedangkan Tipe E mencakup wilayah pantai barat Sumatera Selatan 3. Tipe Lokal disebut juga tipe C mencakup wilayah bagian timur ekuator Indonesia (Maluku dan Sorong). Memiliki musim kemarau yang tidak sekering Tipe A dan Tipe B, sehingga curah hujan tahunan di daerah tipe C lebih tinggi dari Tipe A dan B. 5 Gambar 1.1. Pola curah hujan di Indonesia (BMKG dalam Kadarsyah, 2007) Suhu permukaan laut yang lebih panas menyebabkan tekanan udara permukaan diatasnya menjadi lebih rendah. Ketika laut tropis bagian timur memanas, laut tropis bagian barat akan menjadi lebih dingin, sehingga tekanan udara permukaan di atasnya menjadi lebih tinggi. Demikian sebaliknya yang kemudian membentuk pola osilasi yang dikenal sebagai osilasi selatan atau southern oscillation (Ahrens,2007). Variabilitas iklim Indonesia sangat berkaitan erat dengan Indeks Osilasi Selatan atau SOI (Southern Oscillation Index) di Samudera Pasifik dan DMI (Dipole Mode Index) di Samudera Hindia (Naylor et al., 2002, Ashok et al., 2001). SOI merupakan suatu nilai yang menunjukkan perbedaan antara tekanan atmosfir di atas permukaan laut di Tahiti (Pasifik Timur) dengan tekanan atmosfir di atas permukaan laut di Darwin (Pasifik Barat). Ketika SOI bernilai negatif, maka suhu muka laut di Samudera Pasifik positif. Fenomena ini memperkecil terjadinya hujan wilayah Indonesia timur sampai setengah wilayah Indonesia bagian tengah yang dikenal dengan El Nino. Sedangkan jika DMI positif, maka secara umum curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat akan berkurang. Jika DMI negatif, maka curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat umumnya akan mengalami peningkatan (BMKG, 2015). Menurut pengamatan Sarachik (2010) El nino berulang dalam rentang 2 sampai 7 tahun atau rata-rata terjadi empat tahun sekali. Dalam dua puluh tahun terakhir tercatat mun6 culnya fenomena El Nino kuat sebanyak tujuh kali disertai terjadinya fenomena DMI positif yang terjadinya dalam waktu bersamaan, sehingga mengakibatkan terjadinya kekeringan yang cukup serius. Sejak tahun 1944 – 1998 terjadi kekeringan sebanyak 43 kali, hanya enam diantaranya yang tidak terjadi akibat fenomena El Nino . Pada periode tahun 1990 – 1997, terjadi tiga kali kekeringan yang hebat yaitu tahun 1991, 1994 dan 1997 (Boer and Subbiah 2005). Menurut Tjasyono (1997) pengaruh El Nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistem Musonal, lemah pada daerah dengan sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistem lokal. Naylor et al., 2007; Saji dan Yamagata, 2003 dan Webster et al., 1999 menambahkan bahwa pengaruh El Nino pada daerah Musonal sangat kuat karena kejadian El Nino dan wilayah Musonal sama-sama dipengaruhi oleh adanya angin darat dan angin laut. Saat terjadi El Nino kuat pada tahun 1997, secara bersamaan terjadi pula DMI positif kuat di Samudera Hindia, sehingga dapat disimpulkan bahwa indikator anomali iklim ENSO dan DMI mempunyai dampak yang kuat terhadap curah hujan daerah tropis termasuk variabilitas curah hujan di Indonesia Fenomena El Nino dan La Nina semakin sering terjadi dengan kondisi musim yang semakin ekstrim dan durasi yang semakin panjang, sehingga secara signifikan dapat menyebabkan penurunan curah hujan terutama di musim peralihan saat memasuki musim hujan (IPCC, 2007). Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di daerah tropis lebih besar karena variasi curah hujan yang cukup besar di wilayah ini, sehingga dapat mengakibatkan gangguan terhadap stabilitas sistem pertanian (FAO, 2005 dan Slingo et al., 2005). Untuk meminimalisir dampak fenomena El Nino dan La Nina diperlukan strategi perencanaan budidaya tanaman yang baik. 7 Tabel 1.1. Kejadian El Nino dan El Nina yang berlangsung selama 4 bulan atau lebih memiliki nilai SOI yang sangat ekstrim 1875 – 2000 Tabel 1.1. menunjukkan bahwa perubahan iklim akan memberi dampak berupa perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi terjadinya iklim ekstrim. Kondisi ini akan berpengaruh pada sektor pertanian seperti adanya bencana banjir dan kekeringan yang membawa kerugian berupa gagal panen dan penurunan produksi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wassmann dan Dobermann (2007) yang mengatakan bahwa perubahan iklim akan mengubah pembangunan pertanian di negara-negara tropis di mana akan terjadi peningkatan penduduk miskin yang rentan dampak perubahan iklim. Dengan masalah yang melekat di sektor pertanian di Asia Selatan dan Afrika seperti kemiskinan dan infrastruktur irigasi yang buruk menyebabkan tingkat produksi pertanian akan lebih dipengaruhi oleh variabilitas dan perubahan iklim daripada di kebanyakan bagian lain dunia. Studi perubahan iklim melibatkan analisis iklim masa lalu, kondisi iklim saat ini, dan estimasi kemungkinan iklim di masa yang akan datang (beberapa dekade atau abad ke depan). Dengan demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan iklim dibutuhkan penilaian yang terintegrasi terhadap sistem iklim atau sistem bumi (Gernowo et al, 2012) 8 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat diidentifikasi bahwa pengaruh peru- bahan iklim di lokasi penelitian dapat dilihat melalui : 1. Telah terjadi pergeseran awal musim tanam. Pergeseran musim dapat berdampak serius pada tanaman pangan karena umur tanaman pangan lebih pendek dibandingkan dengan tanaman tahunan seperti tanaman perkebunan (Hamada et al. 2002; Haylock and McBride 2001). 2. Berkurangnya pasokan air irigasi di lokasi hilir, sehingga pada musim kemarau banyak lahan yang tidak bisa ditanami. Dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air sangat mempengaruhi produksi, karena jika jumlah air yang tersedia berkurang akan menurunkan luas tanam dan selanjutnya akan berdampak terhadap produksi. 3. Perlunya strategi pengelolaan irigasi dan budidaya tanaman sesuai ruang dan waktu seperti menyusun pola tanam yang sesuai dengan kondisi iklim dan ketersediaan air yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 1.3. Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada : 1. Lokasi penelitian adalah daerah irigasi yang berada di wilayah selatan bendungan Jatiluhur Kabupaten Subang, yaitu daerah irigasi yang tidak mendapatkan pasokan air dari Bendungan Jatiluhur dan hanya bergantung pada sumber air setempat. Terdiri dari 4 (empat) Daerah Irigasi (DI) yaitu DI. Curugagung, DI. Leuwinangka, DI. Cileuleuy dan DI. Pangsor. 9 2. Identifikasi perubahan iklim dilihat dari adanya variabilitas, perubahan trend dan perubahan frekuensi dari data curah hujan selama 38 tahun sesuai ketersediaan data. 3. Analisis kebutuhan air irigasi dihitung berdasarkan neraca antara ketersediaan air dari curah hujan dan kebutuhan irigasinya. 4. Pola Tata Tanam yang digunakan adalah Pola Tata Tanam Tahunan. 1.4. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian ini terletak pada terbangunnya konsep antisipasi dampak variabili- tas dan perubahan iklim terhadap ketersediaan air irigasi melalui optimalisasi pemanfaatan air irigasi pada daerah irigasi yang hanya mengandalkan sumber air setempat sebagai sumber air irigasinya. Prediksi iklim di masa datang dilihat dari pengaruh iklim global yakni El Niño and Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode (IODM), sehingga prediksi dapat lebih tajam karena adanya informasi iklim global. Konsep ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dan teknologi dalam pengembangan dan perbaikan tata cara prediksi terjadinya fenomena varibilitas dan perubahan iklim serta upaya optimalisasi pemanfaatan air irigasi untuk mengatasi kelangkaan air yang diakibatkan oleh perubahan iklim tersebut. Kebaruan yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah terbangunnya peran serta aktif masyarakat petani / petugas daerah dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim melalui pengelolaan irigasi pada wilayah yang ketersediaan airnya serba terbatas. 10 1.5. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabilitas dan perubahan iklim melalui : 1. Identifikasi terjadinya perubahan variabilitas iklim dan perubahan iklim 2. Analisis dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air irigasi (debit sumber setempat) 3. Prediksi curah hujan dan debit tersedia pada bendung Curugagung, Leuwinangka, Cileuleuy dan Pangsor sebagai bahan perencanaan pengelolaan irigasi melalui rekomendasi pola tanam dan jadwal tanam. 1.6. Tela’ah Ilmu Ilmu adalah kumpulan pengetahuan secara holistik yang tersusun secara sistematis yang teruji secara rasional dan terbukti secara empiris. Ilmu dibedakan dengan pengetahuan karena mempunyai ciri-ciri tertentu berdasarkan jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok tentang apa yang ingin kita ketahui (ontologi) , bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (aksiologi) (Bakhtiar, 2004). Menurut Suriasumantri (2007), Ilmu adalah jenis pengetahuan yang aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis nya telah jauh berkembang dibandingkan dengan pengetahuan pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. Ontolologi pada kajian ini adalah adanya fenomena variabilitas iklim dan perubahan iklim yang mempengaruhi ketersediaan air yang berubah tidak lagi sesuai kebutuhan ruang dan waktu. Ketersediaan air pada wilayah kajian sangat tergantung pada sumber air setempat yang ketersediaannya hanya mengandalkan besarnya curah hujan yang jatuh di wilayah itu, 11 sehingga dampak perubahan iklim sangat mempengaruhi sektor pertanian di wilayah kajian dalam menjamin ketersediaan air untuk kebutuhan budidaya tanaman. Epistomologi pada kajian ini adalah upaya pemanfaatan informasi iklim untuk menyusun rencana tata tanam, sehingga ketersediaan air di wilayah kajian dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Aksiologi pada kajian ini adalah pemanfaatan rencana tata tanam yang telah disusun untuk dapat meningkatkan pemanfaatan air untuk keperluan efisiensi irigasi pada budidaya tanaman padi. 1.7. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dan teknologi pengelolaan irigasi dalam bentuk kemampuan prediksi perubahan karakteristik iklim untuk mengantisipasi dampak terjadinya variabilitas dan perubahan iklim sebagai bahan perencanaan pengelolaan irigasi pada wilayah yang mengandalkan irigasi dari sumber air setempat. 12