PEMANFAATAN BONGGOL TANAMAN PISANG (MUSA Sp

advertisement
PEMANFAATAN BONGGOL TANAMAN PISANG (MUSA Sp)
UNTUK MENYAMAK KULIT
I)
"Staf Pengajar
Eddy Purnomo
Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta Program Studi Teknologi
Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta
Jl. ATEKA, Bangunharjo, Sewon, Bantul
www.atk.ac.id E-mail: [email protected]
Pengolahan
Kulit
ABSTRACT
The main object of this research is observing whether banana pseudostem corm (Musa
Sp) can be used as tanning agent for skinlhide. Banana corm is waste of banana plantain that is
rich of tannin agent content. The utilization of it can be used as new alternative of vegetable
tanning agent because it is easer to find and lower value to spend. The expectation result of
leather tanned by using bananas corm is to coincide tanning and shringkage temperature
standard requirement of vegetable leather. Experimental design is using General Linear Model,
Analysis of Variance Univariat with one variable dependent (shringkage temperature) and three
variable independent units, i.e. :I). Kepok (Musa Paradisiaca Normalis), raja (Musa Regia
Rumpias) and ambon (Musa Paradisiaca Sapientum) banana corm. 2). Skin types (goat, sheep,
cow hide). 3). Leather area test (neck, belly, croupon). The first stage is washing the bananas
corm; then peeling, slicing and pulping. Each side of skin and hide were tanned by 40 % pulp of
banana corm (w/w) from kepok, raja. ambon using the rapid tanning method. The tanned leather
was tested on its shringkage temperature. Statistic analysis utilized SPSS 15 full version
program, F test in 95 % significance. 'Result of the research indicates that the shringkage
temperature of skin and hide that have been tanned by}aja. kepok, and ambon banana corm are
significantly different, nevertheless the mean of shringkage temperature of the leather is similar
to vegetable leather test standard (ambon = 81.00oe, kepok =81.778°e, raja=80.99°C). It
means then that banana corm can be used as vegetable tanning agent.
Keywords: Corm. banana. leather, tanning
INTlSARI
A
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah bonggol
pada batang semu
(pseudostem) pisang (Musa Sp) dapat digunakan sebagai bahan penyamak nabati untuk
menyamak kulit. Bonggol pisang merupakan Iimbah perkebunan yang banyak mengandung
tannin. Pemanfaannya diharapkan dapat digunakan sebagai sebuah aIternatifbaru bahan nabati
dan kemungkinan lebih murah, mudah didapat. Diharapkan penyamakan dengan mengunakan
bonggol pisang dapat menghasilkan kulit samak yang memenuhi syarat standar kematangan
dan temperatur kerut kulit nabati, Rancangan penelitiarrfnenggunakan General Linear Model,
Analisa Varian Univariat dengan satu variabel dependenyaitu temperatur kerut kulit samak, tiga
variabel independen yaitu : 1) jenis bonggol pisang kapok (Musa Paradisiaca Normalis),
pisang raja (Musa Regia Rumpias), pisang ambon (Musa Paradisiaca Sapientum). 2)Jenis kulit
(kambing, domba, sapi). 3).Area uji kulit (leher, perut, kropon ).Bonggol pisang dikupas, cuci,
iris kecil, pulping. Kulit kambing, domba, sapi disamak masing-masing dengan 40% (WIW)
pulp bonggol pisang kapok, pisang raja dan pisang ambon, dengan metoda cepat penyamakan
nabati sampai matang tersamak kemudian diuji temperatur kerutnya. Analisa data statistik
menggunakan program SPSS 15full version, uji-signifikansi F, pada tingkat kepercayaan 95 %.
Hasil penelitian menunjukan kulit kambing, domba, sapi yang disamak dengan menggunakan
bonggol pisang kapok, raja dan ambon mempunyai tcmperatur kerut yang signifikan berbeda
dengan kulit yang disamak dengan bahan penyamak mimosa walaupun rerata temperatur kerut
kulit sesuai dengan standar uji kulit samak nabati (pisang ambon = 81,oooe, kepok =81 ,778°e,
raja=80,99°C). Bonggol pisang dapat digunakan sebagai bahan penyamak nabati.
Kata kunci: Bonggol.pisang. kulit.penyamakan.
18
ISSN 1411-7703
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
PENGANTAR
Rukmana, (2001) menyatakan tanaman pisang menempati luas pertanaman
dan pro duksi yang tertinggi diantara
komoditas
buah-buahan
di Indonesia.
Keanekaragaman pisang di Indonesia cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Pus at Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, temyata terdapat lebih kurang
581 jenis pisang di Indonesia.
Pisang adalah tanamam asli Indonesia karena menurut Morton dan Miami
(1987), Pisang yang banyak di komsumsi aslinya berasal dari daerah IndonesiaMalaysia hingga mencapai daerah Australia utara. Pisang dewasa ini dapat tumbuh
disetiap daerah tropis yang lembab dan merupakan tanaman buah pertanian terbesar
ke 4 diseluruh dunia bersama dengan tanaman buah anggur, sitrus dan apel.
Indonesia sendiri menghasilkan pisang lebih dari 2 juta ton atau hampir 7,15%
diseluruh dunia. Artinya pisang merupakan tanaman yang potensial di Indonesia.
Hampir di setiap temp at dapat dengan mudah ditemukan tanaman pisang.
Pusat produksi pisang di Jawa Barat adalah Cianjur, Sukabumi dan daerah
sekitar Cirebon. Tidak diketahui dengan pasti berapa luas perkebunan pisang di
Indonesia. Walaupun demikian Indonesia termasuk salah satu negara tropis yang
memasok
pisang segar/kering
ke Jepang, Hongkong,
Australia, Negeri Belanda,Amerika
SerikatdanPerancis
Cina, Singapura, Arab,
(Anonim, 2007).
Tanaman pisang setelah berumur satu tahun akan mengalami satu kali masa
panen, setelah buahnya diambil maka batang dan akamya akan dibiarkan sebagai
limbah, membusuk
atau dibuang begitu saja. Hasil observasi dan pengamatan
lapangan diperoleh informasi bahwa tanaman pisang biasanya mulai berbunga
antara umur 8-8,5 bulan dan akan menjadi buah siap panen pada umur 11-12 bulan.
Setelah panen umumnya bagian batang semu (pseudostem) dan bonggolnya akan
dibiarkan hingga busuk. Bekas batang atau tangkai buah (peduncle) yang terpotong
pisau besi umumnya akan segera mengalami perubahan wama menjadi biru tua yang
ini merupakan
ciri terbentuknya
komponen
besi-tanin
atau Fe-tannat
dimana
taninnya berasal dari batang semu pisang yang keluar.
-e-.
Menurut Hagerman, (2002), tanin adalah zat yang dapat merubah kulit
mentah (hide) menjadi tersamak (leather). Tanin biasanya merupakan komponen
polifenol
(Polyphenols)
yang terdapat
dalam tumbuhan
yang mampu
untuk
mengendapkan protein termasuk protein dalam kulit. Selanjutnya dikatakan bahwa
komponen fenolik yang dapat larut dalam air adalah yang mempunyai berat molekul
antara 500-3000, reaksi fenolik dapat mengendapkan alkanoid, gelatin atau protein
lainnya.
19
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
Benbrook
.. ISSN 1411-7703
dan Charles (2005), menyatakan
bahwa termasuk
polifenol
didalamnya ada kelompok asam lemah yang terdapat pada rantai lingkaran fenolik.
Polifenol mengandung satu atau lebih gugus fenolik hidroksil yang terikat pada
komponen karbon aromatis lingkaran fenolik. Ini akan memudahkan reaksi oksidasi
menjadi quinon dengan spesies oksigen yang reaktif, ini membantu sejumlah radikal
bebasnya scavenging capacity. Polifenol mempunyai berbagai fungsi berbeda tetapi
merupakan metabolisme sekunder tanaman. Secara umum polifenol terikat sebagai
lignin. Namun setelah tanaman mati komponen fenolik tersebut akan mengalami
dekomposisi.
Menurut Tur, dkk (1998), tannin merupakan komponen polifenol alami yang
berkaitan
dengan aktivitas biologi tanaman.
taninnya bersifat astringency
Buah-buahan
sehingga menurunkan
yang tinggi kadar
kematangan
buah. Sumber
tannin dalam tumbuhan umumnya terdapat pada kayu, kulit kayu, daun, buah dan
akar tanaman. Selajutnya disampaikan bahwa tanaman dan buah-buahan seperti,
berri, cheri, apel, blackberry, pisang tinggi kandungan taninnya. Hal ini disebabkan
catechins dan.aavonoids.
Proanthosiadina
(PAs), merupakan polimer dari flavan-3-ols,
yang juga
disebut sebagai 'Condensed Tannins', yang mempunyai kontribusi terhadap sifat
astringen pada makanan, demikian pula dari sumber data para ilmuwan, PAs terdapat
dalam sejumlah makanan tertentu (Anonim, 2004).
USDA (2004), menyebutkan bahwa kandungan Flavonoid pada makanan
dapat mencapai 26 komponen,
Flavonols,
flavones,
terutama ada lima jenis yang terbanyak yaitu
flavanones,
flavan-3-o1s
dan
anthocyanidins.
Pisang
mengandung monomer 1.10, Dimers 2.50, Trimers 1.90, 4-6mers 8.10, 7-10mers
7.10, Polymers 4.40 mg/lOOg. Bahan penyamak ini umumnya mempunyai subkomponen polifenol, dimer, trimer, seperti gambar dibawah.
Gambar 1 : Bahan Penyamak Kondensasi (Flavonoid)
OH
OH
.
.
. OH
I ".,...;;.
.....
Cr.
.
HO
'~".1....
'':..yOH
l(~
OH
HO
OH
'(
I.. ~~J. .,-"
HoR
Gambar 2 : Tipe Flavanoid ( Pirokatekol, Pirogalol, Resorsinol, Ploroglusinol )
20
ISSN 1411-7703
Berka1a Pene1itian Tekno1ogi Ku1it, Sepatu dan Produk Kulit
Penyamakan
merupakan
terhadap pembusukan
proses transformasi
dan kerusakan
kulit mentah yang rentan
menjadi lebih stabil tehadap perlakuan
tertentu. Vankar dan Baipai ( 2006 ), menyatakan bahwa dewasa ini seluruh normanorma lingkungan sedang ditingkatkan maka diperlukan pendekatan proses yang
lebih ecofriendly, termasuk industri penyamakan kulit. Pilihan ecofriendly harus
dilakukan
pada setiap tahapan proses penyamakan.
Ada qeberapa
hal yang
ditekankan dalam proses yang ramah lingkungan diantaranya yaitu pengurangan
atau penggantian penggunaan bahan kimia yang bersifat sebagai polutan.
oleh
karena alasan tersebut banyak usaha dilakukan untuk menggantikan
bahan penyamak konvensional
seperti krom dengan bahan penyamak lain yang
dipandang lebih aman bagi kesehatan atau lingkungan. Salah satu bahan penyamak
yang dianggap lebih aman bagi lingkungan dan adalah bahan penyamak yang berasal
dari alam atau nabati (vegetable tanning agent). Salah satu tanaman yang potensial
adalah tanaman pisang mengingat tanaman ini mudah didapat, mudah tumbuh,
tanaman rakyat, dan yang diambil adalah bonggol (corm) batang semunya yang
merupakan bahan buangan pertanian.
Dari latar belakang
diatas maka timbul suatau permasalahan
apakah
penyamakan kulit yang menggunakan bonggol pisang raja (Musa regia rumphias),
kapok (Musa paradisiacal
normalis), ambon ) pada kulit kambing, domba, sapi
awetan pikel dapat memenuhi standar uji temperatur kerut kulit samak nabati.
Hipotesa
Tidak ada perbedaan temperatur kerut antara kulit kambing, domba dan sapi
yang disamak dengan ekstrak bonggol pisang raja, kapok dan ambon (Musa
paradisiacal Sapientum) dengan kulit yang disamak dengan bahan nabati lainya.
Maksud dan Tujuan
1. Untuk mendapatkan
altematif bahan penyamak nabati yang mudah didapat
sehingga dapat mengurangi ketergantungan bahan penyamak import.
2. Memanfaatkan buangan limbah peitanian tanaman pisang.
3. Mengetahui kualitas kulit yang disamak kususnya terhadap ketahanan panas.
21
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
MATER!
ISSN 1411-7703
DAN METODE PENELITIAN
A. Materi
1. Sampel Kulit.
Kulit kambing, domba, sapi awet pikel masing-masing dua lembar, kemudian
kulit dibelah menjadi 12 side.
2. Bahan Penyamak.
Bahan penyamak bonggol pisang dalam bentuk pulp dari jenis pisang raja (Musa
Regia Rumphias), pisang kepok (Musa paradisiacal normalis), Pisang ambon
(Musa paradisiacal
Sapientum) diambil setelah pasca panen (Anonim 2007).
Sebagai pembanding digunakan bahan penyamak nabati standar yaitu mimosa
puder.
B. Proses Penyamakan
Kulit
Proses penyamakan kulit nabati dengan menggunakan pulp bonggol pisang
40% dihitung dari berat kulit pikel, menggunakan
diawali pH penyamakan
metoda cepat penyamakan,
awal 6, diakhiri pada pH 3. Lama waktu putar dalam
experimental drum selama 24 jam dan direndam selama 3 hari, hingga matang.
Lakukan uj i temperatur kerut dengan air panas.
C. Rancangan
Penelitian danAnalisa
Data Statistik.
Rancangan penelitian menggunakan
tiga variabel independent yaitu jenis
bonggol pisang (ambon, kapok, raja, dan mimosa sebagai kontrol), jenis kulit
(kambing, domba, sapi) dan area uji kulit (neck, belly, croupon). Satu variabel
dependen yaitu hasil uji temperatur kerut kulit samak dengan air panas. Analisa data
menggunakan General Linear Multivariat (GLM), Anova Univariat, uji- F, dengan
tingkat kepercayaan 95 %. Alat analisa adalah program statistik SPSS 15,full version
(Agung, 2006).
--...
22
ISSN 1411-7703
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
HASILPENELITIAN
Tabell.
DAN PEMBAHASAN
Hasil Uj i Temperatur kerut (OC)
Jenis
Pisang Raja
Jenis
Pisang Kepok
Jenis
Pisang Ambon
Kontrol
Mimosa
N
80
82
81
83
B
79
80
80
81
C
82
83
81
83
N
80
82
80
82
B
79
80
80
80
C
81
81
82
82
N
82
82
82
85
B
80
82
81
83
C
83
84
83
84
~Kulit
Kambing
Domba
Sapi
Catatan: N=Neck(leher); B=Belly(perut);
C=Croupon (Kropon).
Hasil perhitungan statistik diskriptik rerata, standar deviasi temperatur kerut
kulit samak nabati dengan menggunakan bonggol pisang, tampak pada tabel-tabel
dibawah ini.
Tabe12. Rerata, standar deviasi temperatur kerut pada variabel kulit kambing,
domba, sapi yang disamak dengan bonggol pisang
Jenis Kulit
Mean
N
Std. Deviation
12
1.357
Kambing
81.25
Domba
80.75
12
1.055
Sapi
82.67
12
1.303
Total
81.56
36
1.463
~.
23
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
. ISSN 1411-7703
Tabel3. Rerata, standar deviasi temperatur kerut pada variabel area uji pada kulit
kambing, domba, sapi yang disamak dengan bonggol pisang
I
Mean
N
Std. Deviation
Neck
81.75
12
1.422
Belly
80.50
12
1.243
Croup on
82.42
12
1.084
Total
81.56
36
1.463
Area Uji Kulit
Tabel4. Rerata, standar deviasi temperatur kerut kulit yang disamak dengan
bonggol pisang dari variabel jenis pisang ambon, raja, kapok dan mimosa
sebagai kontrol.
Mean
N
Std. Deviation
Ambon
81.00
9
1.323
Kepok
81.78
9
1.302
Raja
80.89
9
1.269
Mimosa
82.56
9
1.509
Total
81.56
36
1.463
Jenis Pisang
Tabel5. Rerata, standar deviasi, nilai tertinggi dan terendah temperatur kerut kulit
yang disamak dengan bonggol pisang dan kontrol Mimosa.
Jenis Pisang
95% Cofidence Interval
Mean
Lower Bound
Upper Bound
Ambon
81.000
a
80.221
81.779
Kepok
81.778a
80.999
82.557
Raja
80.889a
80.110
81.668
Kontrol Mimosa
82.556a
81.777
83.334
Hasil komputasi program statistik SPSS 15.0full version uji varians univariat
nilai menunjukan signifikansi (Sig.), area uji kulit = 0,162 ; Jenis pisang = 0, 016 ;
Jeniskulit=
.001.
Dari analisa Univariat ( lampiran), pada variable jenis pisang menunjukan
nilai Sig = 0,016< 0,05, ada beda nyata temperatur kerut kulit yang disamak dengan
bonggol pisang ambon, kapok, raja dan mimosa sebagai kontrol. Sedangkan data
tabel 2 dan tabel 3 diatas menunjukan rerata temperatur kerut kulit yang disamak
24
ISSN 1411-7703
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
dengan bonggol pisang ambon = 81,00°C, kapok =81,778°C, raja=80,99°C, dengan
nilai terendah = "80,221"C, dan tertinggi = 81,668°C. Namun demikian nilai tersebut
sesuai dengan standar temperatur kerut kulit samak nabati, walaupun lebih rendah
dibandingkan dengan rerata kulit nabati yang disamak dengan mimosa (kontrol) =
82,566°C, seperti tampak pada gambar grafik dibawah ini.
I I I
t(epol,
Raja
4enis
PI5ang
Gambar 1. Grafik rerata temperatur kerut kulit samak nabati dengan bonggol
pisang
Penyamakan dengan bahan penyamak nabati (bonggol pisang) akan terjadi
terjadi setelah pH larutan dibawah titik isoelektrik kulit mentah atau kolagen antara
pH 5,2-5,6, dimana pada pH tersebut akan terbentuk ikatan antara bahan penyamak
nabati (gugus hidroksil) dengan gugus amina bebas pada rantai samping yang berasal
dari asam amino Histidin, Lysin, Arginin pada kolagen kulit yang bermuatan positif
(+). Pembentukan
ikatan silang akan meningkat
afinitasnya
pada saat terjadi
penurunan pH. BASF (2002), menyatakan bahwa ikatan silang terjadi melalui
valensi sekunder dengan gugus hidroksi fenolik pada molekul bahan penyamak
nabati. hidroksil membentuk ikatan hydrogen.
NH2
~
OH
HN 0
o=<
HOro~
OHHO 0
('H H
)==0 Ilbum
HN
11,",.,,,,
O~r"'H-O
NH H
H>=
Sent Protein
NH2
).0
HN
""" HI 01.
HOO$O_~'~~.~~~_~:
HN
0
~t1~
I
0
OH
0
2i
~_.
0y.9JbQ!i't'OH
H 01.
).NH
HO0
HO
Serat Protein
P.Jtifeno\
Komplclcs
Gambar 2. Ikatan silang antara polifenol pada bahan penyamak dengan
protein kolagen kulit melalui jembatan hydrogen.
25
. ISSN 1411-7703
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
Daya tahan terhadap panas atau meningkatnya
temperatur kerut karena
akibat terbentuknya ikatan silang (cross linkage) polifenol yang berasal dari bonggol
pisang, diantara fibril kologen kulit. Kulit yang tidak disamak (mentah) mempunyai
temperatur kerut yang lebih rendah dari kulit yang telah disamak. BASF ( 2002),
Temperatur kerut kulit hewan mamalia berkisar antara 62-64°C, sedangkan kulit
setelah disamak nabati mempunyai
temperatur
kerut berkisar antara 70-80°C. ,
Sedangkan menurut O'flahherty dan Roddy (1978), ada tiga tanda visual kulit telah
tersamak
salah satunya
adalah naiknya
temperatur
kerut yang menunjukan
terj adinya ikatan silang pada struktur protein walau dalam jumlah fraksi yang kecil.
Selanjutnya pada variabel jenis kulit menunjukan nilai SIg.= 0,01 < 0,05,
yang berarti jenis kulit kambing, domba dan sapi yang disamak dengan bonggol
pisang mempunyai temperatur kerut berbeda. Rerata temperatur kerut kulit kambing
yang disamak dengan bonggol pisang = 81,25°C, kulit domba = 80.7 5°C, kulit sapi =
82,67°C. Kulit sapi mempunyai ketahanan kerut yang lebih tinggi diikuti oleh kukit
kambing dan domba, seperti tampak pada grafik berikut.
I
,
K:IImLltng
00111"8
Jenis
I
,
Sap;
Kulit
Gambar 3. Grafik rerata temperatur kerut kulit kambing, domba, sapi yang
disamak dengan dengan bonggol pisang
Perbedaan temperatur pada jenis kulit sapi, kambing, domba, pada dasamya
karena kulit sapi mempunyai struktur seratyang lebih padat, diikuti oleh kulit
kambing dan domba. Struktur kulit tersusun atas serat kolagen dengan kepadatan
(fullness) dan turgidity yang berbeda tergantung dari ukuranfibres danfiber bundle
(Anonim, 1974). Kulit padat menunjukan jumlah masa serat dan ukuran fib er bundle
semakin besar. Ukuran serat yang lebih besar mempunyai luas permukaan interfibril
yang semakin luas dibandingkan dengan yang lebih kecil sehingga kemampuan,
kesempatan
untuk berinteraksi
dan membentuk
ikatan silang dengan
gugus
26
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
ISSN 1411-7703
hidroksida polifenol dalam bahan penyamak akan semakin besar. Terbentuknya
Ikatan silang dalam jumlah yang besar akan mempengaruhi temperatur kerut kulit,
semakin banyak ikatan silang yang terbentuk maka ketahanan panas akan semakin
tinggi.
Variabel area atau daerah uji kulit menunjukan nilai Sig. = 0,162 > 0,05
berarti tidak ada beda rerata temperatur kerut kulit samak dengan bonggol pisang
pada daerah leher, kropon dan pernt. Walaupun demikian rerata temperatur kerut
kulit pada daerah croupon ternyata yang paling tinggi = 82,42°C, diikuti oleh leher
(neck) = 81,75°C dan perut (belly) = 80,50°C:seperti
tampak pada grafik dibawah
Illl.
83
~
~
QiB2
'"
i
~ •..
E
U
••1Il
I I
Be~y
ArQa
I
crccceo
Uji Kulit
Gambar 4. Grafik rerata temperatur kerut kulit kambing, domba, sapi yang
disamak dengan dengan bonggol pisang
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Rerata temperatur kerut kulit yang disamak dengan bonggol pisang ambon =
81,00°C, kapok=81,778°C, raja=80,99°C, dengannilai terendah = 80,221 QC,
dan tertinggi = 81,668°C.
2. Temperatur kerut kulit kambing, domba dan sapi yang disamak dengan
bonggol pisang berbeda. R~!.ata temperatur
disamakdengan bonggolpisang=
kerut kulit kambing yang
81,25°C, kulitdomba=
80.75°C, kulitsapi
= 82,67°C. Kulit sapi mempunyai ketahanan kerut yang lebih tinggi diikuti
oleh kulit kambing dan domba.
3. Rerata temperatur kerut kulit samak dengan bonggol pisang pada daerah
leher, kropon dan perut tidak berbeda, pada bagian kropon (croupon)
=
82,42°C, diikuti oleh leher (neck) = 81,75°C danpernt (belly) = 80,50°C,
27
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
ISSN 1411-7703
B. Saran.
1. Perlu dikembangkan lebih lanjut sampai tingkat implementasi praktis hingga
kulit j adi (finished leather) yang sesuai dengan persyaratan kualitas.
2. Perlu penelitian berkelanjutan terkait tehno ekonomis agar bonggol pisang
menjadi bahan penyamak puder yang lebih murah dibandingkan produk
import.
DAFTARPUSTAKA
Agung, NIG. 2006. Statistika Penerapan Model Rerata Sel Multivariat dan Model
Ekonometri dengan SPSS. Yayasan SAD Stria Bhakti, dicetak PTDharma
Karsa Utama. Jakarta.
Anonim. 1974. Hides, Skins and Leather Under The Microscope. The British Leather
Manufactures Research Associaction. Printed by WP Griffith & Son LTD
Clerkenwell Road, London.
---------. 2004. USDA Database for the Proanthocyanidin Content of Selected Foods.
Nutrient Data Laboratory Beltsville Human Nutrition Research Center
Agricultural Research Service. U.S. Department of Agriculture.
---------. 2007. Pisang (Musa sp). TTG Budi Daya Pertanian. Kantor Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Gedung Il Lantai 6 BPPTeknologi. Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta
10340. Accesed On Line http://www.ristek.go.id.
BASF.
2002. Pocket Book Of Leather
Technologiest.
Edisi empat.
Aktiengesellschaft
67056 Ludwigshafen, Germany. Accesed On Line
http://www.basf.comlleather
Benbrook, CM dan Charles M. 2005. Elevating antioxidant level in food through
organic Farming And Food Processing. An Organic Center State Of Science
ReviewUSDA.
Hagerman, A.E. 2002. Tannin Handbook. Departement
Biochemistry Miami Univercity Oxford. USA.
of Chemistry
and
Morton, JF dan Miami FL. 1987. Banana Musa X Paradisiaca Fruits Of Warm
Climates.
O'flahherty,F dan Roddy W. 1978. The Chemistry and Technology of Leather.
Volume Ill. Robert E Krieger Publishing Company. Huntington New York.
Rukmana, R. 2001. Tanaman Pisang, Jambu Mete, Rosella. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
28
Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit
ISSN 1411-7703
Tur, Ether dan Sarah Brener. 1998. In Persuits OfExogenouse Factors In Pemphigus
And Fogo Selvagems, Arc Dermatologi, Vol 134, American Medical
Association. Accesed On Line http://www.arcdermatol.com.
Vankar, PS dan Baipai D. 2006. Evaluation of Leather Dyeing Using Ecofriendly
Black Dyestuff, Facility for Ecological and Analytical Testing (FEAT).Electronic Journal of Environmental, Agriculture and Food Chemistry,
Institute of Technology, Kanpur-208 016, India.
29
Download