PEMANFAATAN BONGGOL TANAMAN PISANG (MUSA Sp) UNTUK MENYAMAK KULIT I) "Staf Pengajar Eddy Purnomo Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta Program Studi Teknologi Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta Jl. ATEKA, Bangunharjo, Sewon, Bantul www.atk.ac.id E-mail: [email protected] Pengolahan Kulit ABSTRACT The main object of this research is observing whether banana pseudostem corm (Musa Sp) can be used as tanning agent for skinlhide. Banana corm is waste of banana plantain that is rich of tannin agent content. The utilization of it can be used as new alternative of vegetable tanning agent because it is easer to find and lower value to spend. The expectation result of leather tanned by using bananas corm is to coincide tanning and shringkage temperature standard requirement of vegetable leather. Experimental design is using General Linear Model, Analysis of Variance Univariat with one variable dependent (shringkage temperature) and three variable independent units, i.e. :I). Kepok (Musa Paradisiaca Normalis), raja (Musa Regia Rumpias) and ambon (Musa Paradisiaca Sapientum) banana corm. 2). Skin types (goat, sheep, cow hide). 3). Leather area test (neck, belly, croupon). The first stage is washing the bananas corm; then peeling, slicing and pulping. Each side of skin and hide were tanned by 40 % pulp of banana corm (w/w) from kepok, raja. ambon using the rapid tanning method. The tanned leather was tested on its shringkage temperature. Statistic analysis utilized SPSS 15 full version program, F test in 95 % significance. 'Result of the research indicates that the shringkage temperature of skin and hide that have been tanned by}aja. kepok, and ambon banana corm are significantly different, nevertheless the mean of shringkage temperature of the leather is similar to vegetable leather test standard (ambon = 81.00oe, kepok =81.778°e, raja=80.99°C). It means then that banana corm can be used as vegetable tanning agent. Keywords: Corm. banana. leather, tanning INTlSARI A Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah bonggol pada batang semu (pseudostem) pisang (Musa Sp) dapat digunakan sebagai bahan penyamak nabati untuk menyamak kulit. Bonggol pisang merupakan Iimbah perkebunan yang banyak mengandung tannin. Pemanfaannya diharapkan dapat digunakan sebagai sebuah aIternatifbaru bahan nabati dan kemungkinan lebih murah, mudah didapat. Diharapkan penyamakan dengan mengunakan bonggol pisang dapat menghasilkan kulit samak yang memenuhi syarat standar kematangan dan temperatur kerut kulit nabati, Rancangan penelitiarrfnenggunakan General Linear Model, Analisa Varian Univariat dengan satu variabel dependenyaitu temperatur kerut kulit samak, tiga variabel independen yaitu : 1) jenis bonggol pisang kapok (Musa Paradisiaca Normalis), pisang raja (Musa Regia Rumpias), pisang ambon (Musa Paradisiaca Sapientum). 2)Jenis kulit (kambing, domba, sapi). 3).Area uji kulit (leher, perut, kropon ).Bonggol pisang dikupas, cuci, iris kecil, pulping. Kulit kambing, domba, sapi disamak masing-masing dengan 40% (WIW) pulp bonggol pisang kapok, pisang raja dan pisang ambon, dengan metoda cepat penyamakan nabati sampai matang tersamak kemudian diuji temperatur kerutnya. Analisa data statistik menggunakan program SPSS 15full version, uji-signifikansi F, pada tingkat kepercayaan 95 %. Hasil penelitian menunjukan kulit kambing, domba, sapi yang disamak dengan menggunakan bonggol pisang kapok, raja dan ambon mempunyai tcmperatur kerut yang signifikan berbeda dengan kulit yang disamak dengan bahan penyamak mimosa walaupun rerata temperatur kerut kulit sesuai dengan standar uji kulit samak nabati (pisang ambon = 81,oooe, kepok =81 ,778°e, raja=80,99°C). Bonggol pisang dapat digunakan sebagai bahan penyamak nabati. Kata kunci: Bonggol.pisang. kulit.penyamakan. 18 ISSN 1411-7703 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit PENGANTAR Rukmana, (2001) menyatakan tanaman pisang menempati luas pertanaman dan pro duksi yang tertinggi diantara komoditas buah-buahan di Indonesia. Keanekaragaman pisang di Indonesia cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pus at Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, temyata terdapat lebih kurang 581 jenis pisang di Indonesia. Pisang adalah tanamam asli Indonesia karena menurut Morton dan Miami (1987), Pisang yang banyak di komsumsi aslinya berasal dari daerah IndonesiaMalaysia hingga mencapai daerah Australia utara. Pisang dewasa ini dapat tumbuh disetiap daerah tropis yang lembab dan merupakan tanaman buah pertanian terbesar ke 4 diseluruh dunia bersama dengan tanaman buah anggur, sitrus dan apel. Indonesia sendiri menghasilkan pisang lebih dari 2 juta ton atau hampir 7,15% diseluruh dunia. Artinya pisang merupakan tanaman yang potensial di Indonesia. Hampir di setiap temp at dapat dengan mudah ditemukan tanaman pisang. Pusat produksi pisang di Jawa Barat adalah Cianjur, Sukabumi dan daerah sekitar Cirebon. Tidak diketahui dengan pasti berapa luas perkebunan pisang di Indonesia. Walaupun demikian Indonesia termasuk salah satu negara tropis yang memasok pisang segar/kering ke Jepang, Hongkong, Australia, Negeri Belanda,Amerika SerikatdanPerancis Cina, Singapura, Arab, (Anonim, 2007). Tanaman pisang setelah berumur satu tahun akan mengalami satu kali masa panen, setelah buahnya diambil maka batang dan akamya akan dibiarkan sebagai limbah, membusuk atau dibuang begitu saja. Hasil observasi dan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa tanaman pisang biasanya mulai berbunga antara umur 8-8,5 bulan dan akan menjadi buah siap panen pada umur 11-12 bulan. Setelah panen umumnya bagian batang semu (pseudostem) dan bonggolnya akan dibiarkan hingga busuk. Bekas batang atau tangkai buah (peduncle) yang terpotong pisau besi umumnya akan segera mengalami perubahan wama menjadi biru tua yang ini merupakan ciri terbentuknya komponen besi-tanin atau Fe-tannat dimana taninnya berasal dari batang semu pisang yang keluar. -e-. Menurut Hagerman, (2002), tanin adalah zat yang dapat merubah kulit mentah (hide) menjadi tersamak (leather). Tanin biasanya merupakan komponen polifenol (Polyphenols) yang terdapat dalam tumbuhan yang mampu untuk mengendapkan protein termasuk protein dalam kulit. Selanjutnya dikatakan bahwa komponen fenolik yang dapat larut dalam air adalah yang mempunyai berat molekul antara 500-3000, reaksi fenolik dapat mengendapkan alkanoid, gelatin atau protein lainnya. 19 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit Benbrook .. ISSN 1411-7703 dan Charles (2005), menyatakan bahwa termasuk polifenol didalamnya ada kelompok asam lemah yang terdapat pada rantai lingkaran fenolik. Polifenol mengandung satu atau lebih gugus fenolik hidroksil yang terikat pada komponen karbon aromatis lingkaran fenolik. Ini akan memudahkan reaksi oksidasi menjadi quinon dengan spesies oksigen yang reaktif, ini membantu sejumlah radikal bebasnya scavenging capacity. Polifenol mempunyai berbagai fungsi berbeda tetapi merupakan metabolisme sekunder tanaman. Secara umum polifenol terikat sebagai lignin. Namun setelah tanaman mati komponen fenolik tersebut akan mengalami dekomposisi. Menurut Tur, dkk (1998), tannin merupakan komponen polifenol alami yang berkaitan dengan aktivitas biologi tanaman. taninnya bersifat astringency Buah-buahan sehingga menurunkan yang tinggi kadar kematangan buah. Sumber tannin dalam tumbuhan umumnya terdapat pada kayu, kulit kayu, daun, buah dan akar tanaman. Selajutnya disampaikan bahwa tanaman dan buah-buahan seperti, berri, cheri, apel, blackberry, pisang tinggi kandungan taninnya. Hal ini disebabkan catechins dan.aavonoids. Proanthosiadina (PAs), merupakan polimer dari flavan-3-ols, yang juga disebut sebagai 'Condensed Tannins', yang mempunyai kontribusi terhadap sifat astringen pada makanan, demikian pula dari sumber data para ilmuwan, PAs terdapat dalam sejumlah makanan tertentu (Anonim, 2004). USDA (2004), menyebutkan bahwa kandungan Flavonoid pada makanan dapat mencapai 26 komponen, Flavonols, flavones, terutama ada lima jenis yang terbanyak yaitu flavanones, flavan-3-o1s dan anthocyanidins. Pisang mengandung monomer 1.10, Dimers 2.50, Trimers 1.90, 4-6mers 8.10, 7-10mers 7.10, Polymers 4.40 mg/lOOg. Bahan penyamak ini umumnya mempunyai subkomponen polifenol, dimer, trimer, seperti gambar dibawah. Gambar 1 : Bahan Penyamak Kondensasi (Flavonoid) OH OH . . . OH I ".,...;;. ..... Cr. . HO '~".1.... '':..yOH l(~ OH HO OH '( I.. ~~J. .,-" HoR Gambar 2 : Tipe Flavanoid ( Pirokatekol, Pirogalol, Resorsinol, Ploroglusinol ) 20 ISSN 1411-7703 Berka1a Pene1itian Tekno1ogi Ku1it, Sepatu dan Produk Kulit Penyamakan merupakan terhadap pembusukan proses transformasi dan kerusakan kulit mentah yang rentan menjadi lebih stabil tehadap perlakuan tertentu. Vankar dan Baipai ( 2006 ), menyatakan bahwa dewasa ini seluruh normanorma lingkungan sedang ditingkatkan maka diperlukan pendekatan proses yang lebih ecofriendly, termasuk industri penyamakan kulit. Pilihan ecofriendly harus dilakukan pada setiap tahapan proses penyamakan. Ada qeberapa hal yang ditekankan dalam proses yang ramah lingkungan diantaranya yaitu pengurangan atau penggantian penggunaan bahan kimia yang bersifat sebagai polutan. oleh karena alasan tersebut banyak usaha dilakukan untuk menggantikan bahan penyamak konvensional seperti krom dengan bahan penyamak lain yang dipandang lebih aman bagi kesehatan atau lingkungan. Salah satu bahan penyamak yang dianggap lebih aman bagi lingkungan dan adalah bahan penyamak yang berasal dari alam atau nabati (vegetable tanning agent). Salah satu tanaman yang potensial adalah tanaman pisang mengingat tanaman ini mudah didapat, mudah tumbuh, tanaman rakyat, dan yang diambil adalah bonggol (corm) batang semunya yang merupakan bahan buangan pertanian. Dari latar belakang diatas maka timbul suatau permasalahan apakah penyamakan kulit yang menggunakan bonggol pisang raja (Musa regia rumphias), kapok (Musa paradisiacal normalis), ambon ) pada kulit kambing, domba, sapi awetan pikel dapat memenuhi standar uji temperatur kerut kulit samak nabati. Hipotesa Tidak ada perbedaan temperatur kerut antara kulit kambing, domba dan sapi yang disamak dengan ekstrak bonggol pisang raja, kapok dan ambon (Musa paradisiacal Sapientum) dengan kulit yang disamak dengan bahan nabati lainya. Maksud dan Tujuan 1. Untuk mendapatkan altematif bahan penyamak nabati yang mudah didapat sehingga dapat mengurangi ketergantungan bahan penyamak import. 2. Memanfaatkan buangan limbah peitanian tanaman pisang. 3. Mengetahui kualitas kulit yang disamak kususnya terhadap ketahanan panas. 21 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit MATER! ISSN 1411-7703 DAN METODE PENELITIAN A. Materi 1. Sampel Kulit. Kulit kambing, domba, sapi awet pikel masing-masing dua lembar, kemudian kulit dibelah menjadi 12 side. 2. Bahan Penyamak. Bahan penyamak bonggol pisang dalam bentuk pulp dari jenis pisang raja (Musa Regia Rumphias), pisang kepok (Musa paradisiacal normalis), Pisang ambon (Musa paradisiacal Sapientum) diambil setelah pasca panen (Anonim 2007). Sebagai pembanding digunakan bahan penyamak nabati standar yaitu mimosa puder. B. Proses Penyamakan Kulit Proses penyamakan kulit nabati dengan menggunakan pulp bonggol pisang 40% dihitung dari berat kulit pikel, menggunakan diawali pH penyamakan metoda cepat penyamakan, awal 6, diakhiri pada pH 3. Lama waktu putar dalam experimental drum selama 24 jam dan direndam selama 3 hari, hingga matang. Lakukan uj i temperatur kerut dengan air panas. C. Rancangan Penelitian danAnalisa Data Statistik. Rancangan penelitian menggunakan tiga variabel independent yaitu jenis bonggol pisang (ambon, kapok, raja, dan mimosa sebagai kontrol), jenis kulit (kambing, domba, sapi) dan area uji kulit (neck, belly, croupon). Satu variabel dependen yaitu hasil uji temperatur kerut kulit samak dengan air panas. Analisa data menggunakan General Linear Multivariat (GLM), Anova Univariat, uji- F, dengan tingkat kepercayaan 95 %. Alat analisa adalah program statistik SPSS 15,full version (Agung, 2006). --... 22 ISSN 1411-7703 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit HASILPENELITIAN Tabell. DAN PEMBAHASAN Hasil Uj i Temperatur kerut (OC) Jenis Pisang Raja Jenis Pisang Kepok Jenis Pisang Ambon Kontrol Mimosa N 80 82 81 83 B 79 80 80 81 C 82 83 81 83 N 80 82 80 82 B 79 80 80 80 C 81 81 82 82 N 82 82 82 85 B 80 82 81 83 C 83 84 83 84 ~Kulit Kambing Domba Sapi Catatan: N=Neck(leher); B=Belly(perut); C=Croupon (Kropon). Hasil perhitungan statistik diskriptik rerata, standar deviasi temperatur kerut kulit samak nabati dengan menggunakan bonggol pisang, tampak pada tabel-tabel dibawah ini. Tabe12. Rerata, standar deviasi temperatur kerut pada variabel kulit kambing, domba, sapi yang disamak dengan bonggol pisang Jenis Kulit Mean N Std. Deviation 12 1.357 Kambing 81.25 Domba 80.75 12 1.055 Sapi 82.67 12 1.303 Total 81.56 36 1.463 ~. 23 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit . ISSN 1411-7703 Tabel3. Rerata, standar deviasi temperatur kerut pada variabel area uji pada kulit kambing, domba, sapi yang disamak dengan bonggol pisang I Mean N Std. Deviation Neck 81.75 12 1.422 Belly 80.50 12 1.243 Croup on 82.42 12 1.084 Total 81.56 36 1.463 Area Uji Kulit Tabel4. Rerata, standar deviasi temperatur kerut kulit yang disamak dengan bonggol pisang dari variabel jenis pisang ambon, raja, kapok dan mimosa sebagai kontrol. Mean N Std. Deviation Ambon 81.00 9 1.323 Kepok 81.78 9 1.302 Raja 80.89 9 1.269 Mimosa 82.56 9 1.509 Total 81.56 36 1.463 Jenis Pisang Tabel5. Rerata, standar deviasi, nilai tertinggi dan terendah temperatur kerut kulit yang disamak dengan bonggol pisang dan kontrol Mimosa. Jenis Pisang 95% Cofidence Interval Mean Lower Bound Upper Bound Ambon 81.000 a 80.221 81.779 Kepok 81.778a 80.999 82.557 Raja 80.889a 80.110 81.668 Kontrol Mimosa 82.556a 81.777 83.334 Hasil komputasi program statistik SPSS 15.0full version uji varians univariat nilai menunjukan signifikansi (Sig.), area uji kulit = 0,162 ; Jenis pisang = 0, 016 ; Jeniskulit= .001. Dari analisa Univariat ( lampiran), pada variable jenis pisang menunjukan nilai Sig = 0,016< 0,05, ada beda nyata temperatur kerut kulit yang disamak dengan bonggol pisang ambon, kapok, raja dan mimosa sebagai kontrol. Sedangkan data tabel 2 dan tabel 3 diatas menunjukan rerata temperatur kerut kulit yang disamak 24 ISSN 1411-7703 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit dengan bonggol pisang ambon = 81,00°C, kapok =81,778°C, raja=80,99°C, dengan nilai terendah = "80,221"C, dan tertinggi = 81,668°C. Namun demikian nilai tersebut sesuai dengan standar temperatur kerut kulit samak nabati, walaupun lebih rendah dibandingkan dengan rerata kulit nabati yang disamak dengan mimosa (kontrol) = 82,566°C, seperti tampak pada gambar grafik dibawah ini. I I I t(epol, Raja 4enis PI5ang Gambar 1. Grafik rerata temperatur kerut kulit samak nabati dengan bonggol pisang Penyamakan dengan bahan penyamak nabati (bonggol pisang) akan terjadi terjadi setelah pH larutan dibawah titik isoelektrik kulit mentah atau kolagen antara pH 5,2-5,6, dimana pada pH tersebut akan terbentuk ikatan antara bahan penyamak nabati (gugus hidroksil) dengan gugus amina bebas pada rantai samping yang berasal dari asam amino Histidin, Lysin, Arginin pada kolagen kulit yang bermuatan positif (+). Pembentukan ikatan silang akan meningkat afinitasnya pada saat terjadi penurunan pH. BASF (2002), menyatakan bahwa ikatan silang terjadi melalui valensi sekunder dengan gugus hidroksi fenolik pada molekul bahan penyamak nabati. hidroksil membentuk ikatan hydrogen. NH2 ~ OH HN 0 o=< HOro~ OHHO 0 ('H H )==0 Ilbum HN 11,",.,,,, O~r"'H-O NH H H>= Sent Protein NH2 ).0 HN """ HI 01. HOO$O_~'~~.~~~_~: HN 0 ~t1~ I 0 OH 0 2i ~_. 0y.9JbQ!i't'OH H 01. ).NH HO0 HO Serat Protein P.Jtifeno\ Komplclcs Gambar 2. Ikatan silang antara polifenol pada bahan penyamak dengan protein kolagen kulit melalui jembatan hydrogen. 25 . ISSN 1411-7703 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit Daya tahan terhadap panas atau meningkatnya temperatur kerut karena akibat terbentuknya ikatan silang (cross linkage) polifenol yang berasal dari bonggol pisang, diantara fibril kologen kulit. Kulit yang tidak disamak (mentah) mempunyai temperatur kerut yang lebih rendah dari kulit yang telah disamak. BASF ( 2002), Temperatur kerut kulit hewan mamalia berkisar antara 62-64°C, sedangkan kulit setelah disamak nabati mempunyai temperatur kerut berkisar antara 70-80°C. , Sedangkan menurut O'flahherty dan Roddy (1978), ada tiga tanda visual kulit telah tersamak salah satunya adalah naiknya temperatur kerut yang menunjukan terj adinya ikatan silang pada struktur protein walau dalam jumlah fraksi yang kecil. Selanjutnya pada variabel jenis kulit menunjukan nilai SIg.= 0,01 < 0,05, yang berarti jenis kulit kambing, domba dan sapi yang disamak dengan bonggol pisang mempunyai temperatur kerut berbeda. Rerata temperatur kerut kulit kambing yang disamak dengan bonggol pisang = 81,25°C, kulit domba = 80.7 5°C, kulit sapi = 82,67°C. Kulit sapi mempunyai ketahanan kerut yang lebih tinggi diikuti oleh kukit kambing dan domba, seperti tampak pada grafik berikut. I , K:IImLltng 00111"8 Jenis I , Sap; Kulit Gambar 3. Grafik rerata temperatur kerut kulit kambing, domba, sapi yang disamak dengan dengan bonggol pisang Perbedaan temperatur pada jenis kulit sapi, kambing, domba, pada dasamya karena kulit sapi mempunyai struktur seratyang lebih padat, diikuti oleh kulit kambing dan domba. Struktur kulit tersusun atas serat kolagen dengan kepadatan (fullness) dan turgidity yang berbeda tergantung dari ukuranfibres danfiber bundle (Anonim, 1974). Kulit padat menunjukan jumlah masa serat dan ukuran fib er bundle semakin besar. Ukuran serat yang lebih besar mempunyai luas permukaan interfibril yang semakin luas dibandingkan dengan yang lebih kecil sehingga kemampuan, kesempatan untuk berinteraksi dan membentuk ikatan silang dengan gugus 26 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit ISSN 1411-7703 hidroksida polifenol dalam bahan penyamak akan semakin besar. Terbentuknya Ikatan silang dalam jumlah yang besar akan mempengaruhi temperatur kerut kulit, semakin banyak ikatan silang yang terbentuk maka ketahanan panas akan semakin tinggi. Variabel area atau daerah uji kulit menunjukan nilai Sig. = 0,162 > 0,05 berarti tidak ada beda rerata temperatur kerut kulit samak dengan bonggol pisang pada daerah leher, kropon dan pernt. Walaupun demikian rerata temperatur kerut kulit pada daerah croupon ternyata yang paling tinggi = 82,42°C, diikuti oleh leher (neck) = 81,75°C dan perut (belly) = 80,50°C:seperti tampak pada grafik dibawah Illl. 83 ~ ~ QiB2 '" i ~ •.. E U ••1Il I I Be~y ArQa I crccceo Uji Kulit Gambar 4. Grafik rerata temperatur kerut kulit kambing, domba, sapi yang disamak dengan dengan bonggol pisang KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Rerata temperatur kerut kulit yang disamak dengan bonggol pisang ambon = 81,00°C, kapok=81,778°C, raja=80,99°C, dengannilai terendah = 80,221 QC, dan tertinggi = 81,668°C. 2. Temperatur kerut kulit kambing, domba dan sapi yang disamak dengan bonggol pisang berbeda. R~!.ata temperatur disamakdengan bonggolpisang= kerut kulit kambing yang 81,25°C, kulitdomba= 80.75°C, kulitsapi = 82,67°C. Kulit sapi mempunyai ketahanan kerut yang lebih tinggi diikuti oleh kulit kambing dan domba. 3. Rerata temperatur kerut kulit samak dengan bonggol pisang pada daerah leher, kropon dan perut tidak berbeda, pada bagian kropon (croupon) = 82,42°C, diikuti oleh leher (neck) = 81,75°C danpernt (belly) = 80,50°C, 27 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit ISSN 1411-7703 B. Saran. 1. Perlu dikembangkan lebih lanjut sampai tingkat implementasi praktis hingga kulit j adi (finished leather) yang sesuai dengan persyaratan kualitas. 2. Perlu penelitian berkelanjutan terkait tehno ekonomis agar bonggol pisang menjadi bahan penyamak puder yang lebih murah dibandingkan produk import. DAFTARPUSTAKA Agung, NIG. 2006. Statistika Penerapan Model Rerata Sel Multivariat dan Model Ekonometri dengan SPSS. Yayasan SAD Stria Bhakti, dicetak PTDharma Karsa Utama. Jakarta. Anonim. 1974. Hides, Skins and Leather Under The Microscope. The British Leather Manufactures Research Associaction. Printed by WP Griffith & Son LTD Clerkenwell Road, London. ---------. 2004. USDA Database for the Proanthocyanidin Content of Selected Foods. Nutrient Data Laboratory Beltsville Human Nutrition Research Center Agricultural Research Service. U.S. Department of Agriculture. ---------. 2007. Pisang (Musa sp). TTG Budi Daya Pertanian. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Gedung Il Lantai 6 BPPTeknologi. Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340. Accesed On Line http://www.ristek.go.id. BASF. 2002. Pocket Book Of Leather Technologiest. Edisi empat. Aktiengesellschaft 67056 Ludwigshafen, Germany. Accesed On Line http://www.basf.comlleather Benbrook, CM dan Charles M. 2005. Elevating antioxidant level in food through organic Farming And Food Processing. An Organic Center State Of Science ReviewUSDA. Hagerman, A.E. 2002. Tannin Handbook. Departement Biochemistry Miami Univercity Oxford. USA. of Chemistry and Morton, JF dan Miami FL. 1987. Banana Musa X Paradisiaca Fruits Of Warm Climates. O'flahherty,F dan Roddy W. 1978. The Chemistry and Technology of Leather. Volume Ill. Robert E Krieger Publishing Company. Huntington New York. Rukmana, R. 2001. Tanaman Pisang, Jambu Mete, Rosella. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 28 Berkala Penelitian Teknologi Kulit, Sepatu dan Produk Kulit ISSN 1411-7703 Tur, Ether dan Sarah Brener. 1998. In Persuits OfExogenouse Factors In Pemphigus And Fogo Selvagems, Arc Dermatologi, Vol 134, American Medical Association. Accesed On Line http://www.arcdermatol.com. Vankar, PS dan Baipai D. 2006. Evaluation of Leather Dyeing Using Ecofriendly Black Dyestuff, Facility for Ecological and Analytical Testing (FEAT).Electronic Journal of Environmental, Agriculture and Food Chemistry, Institute of Technology, Kanpur-208 016, India. 29