No - Hizbut Tahrir Indonesia

advertisement
REKONSTRUKSI SEJARAH: PERSPEKTIF ISLAM
Oleh Maman Kh.
(Staf Pengajar UIN Jakarta)
Sejarah merupakan hasil rekonstruksi masa lampau dalam suatu perspektif tertentu.
Hasil karya sejarah, tentunya, sangat tergantung kepada kesadaran penulis, pandangan
dunia, ideology, keyakinan, atau bahkan kepentingan tertentu. Dalam perspektif ini,
sejarajh seringkali menjadi sebuah alat legitimasi atau bahkan alat propaganda politik.
Menyadari akan hal itu, banyak penulis sejarah yang bersifat kritis: ingin memgungkapkan
ada yang sesungguhnya terjadi. Namun seringkali terjebak pada keberadaan sumber-sumber
sejarah. Penulisan sejarah Islam di Indonesia, misalnya, seringkali mengandalkan sumbersumber dari arsip colonial. Para pejuang Islam, misalnya, seringkali ditempatkan sebagai
pemberontak. Penyebutan nama juga sering tendensius yang memiliki konotasi
merendahkan. Perlawanan terhadap Pemerintah Kolonail Belanda yang dilakukan oleh
Syekh Ahmad Rifai di Jawa Tengah, berubah menjadi perlawanan H. Ripangi dalam arsip
Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga banyak ahli sejarah yang menyebutnya sebagai
peristiwa Haji Rifangi.
Kasus Mustafa Kamal di Turki merupakan contoh subyektivitas sejarah. Mustafa
berkali-kali disebut sebagai pahlawan pembaruan Turki dengan gelar yang sangat
terhormat, yakni “At-Taturk” (Bapak Turki). Padahal dalam perspektif lain, Mustafa Kamal
merupakan pengkhianat yang berusaha menghapus kebesaran Islam dalam sejarah dunia.
Karena itu, perlu sikap sangat kritis dalam melihat persoalan sejarah Islam, baik di
Indonesia maupun di dunia.
Tulisan ini akan mencoba melihat perkembangan sejarah Islam di Indonesia dalam
sebuah kerangka pemikiran bahwa umat Islam dalam sejarah memang sebuah umat yang
bersatu, memiliki solidaritas, bukan sekelompok umat yang bersifat local. Selama ini
memang terkesankan bahwa umat Islam bersifat, tidak memiliki hubungan yang intensif
dengan belahan dunia yang lain. Kalau, tokh, ada hubungan seakan-akan terbatas hanya
pada hubungan perdagangan, tidak menggambarkan solidaritas kaum muslimin.
Dalam menghadapi penjajah asing, ternyata umat Islam memiliki hubungan
solidaritas yang cukup baik. Secara faktual pada abad 16 dan 17, umat Islam di Kepulauan
Nusantara sedang menghadapi serangan penjajah asing, khususnya Portugis dan Belanda.
Kedatangan Portugis sebagaimana diketahui memiliki tujuan: merampas kekayaan umat
Islam (gold), melakukan tugas suci kristenisasi (gospel), dan melakukan pembalasan
terhadap kaum muslimin yang telah menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman Bani
Umayah (glory). Portugis ingin mewujudkan dominasi militer terhadap komunitas umat
Islam.1
Bertolak dari fakta-fakta inilah, penulis melihat hubungan solidaritas kayum
muslimin di Kepulauan Nusantara dengan umjat islam di belahan lain.
Dua Pucuk Surat Pengakuan
Hubungan dengan Timur Tengah sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya
kekhilafahan (baca: Daulah Islam). Keberhasilan umat Islam melakukan penaklukan
(futuhat) terhadap Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur,
seperti Mesir, Siria dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin Khaththab telah
menempatkan daulah Islam sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M. Ketika
kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara – yang
masih beragama Hindu sekalipun – mengakui kebesaran khilafah.
Pengakuan terhadap kebesaran khalifaah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat
yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada khalifah masa Bani Umayyah. Surat
pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul
Aziz.2 Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayyah oleh
Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan kepada Abu Ya’yub Al-Tsaqofi, yang kemudian
disampaikan kepada Al-Haytsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari AlHaytsam menceriterakan pendahuluan surat itu sbb:
“Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang
istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang
memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….”3
Mengenai motif kedatangan Portugis di Nusantara, lihat Uka Tjandrasasmita, “The Indonesian
Harbour Cities and The Coming of Portruguese” dalam Ivo Carnerio de Sousa dan RZ. Leirissa (eds.),
Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship (International Seminar Organized by
Fakultas Sastra, Universitas Indonesia aand The Portugueese Center for The Study of Southeast Asia, Depok,
9-11 Oktober 2000)
2
Uka Tjandrasasmita, op.cit. hal. 32.
3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,
Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2004) hal. 27-28.
1
Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam
karyanya Al-Iqd Al-Farid. Potongan surat tersebut ialah sebagai berikut:
“Dari Raja di Raja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab
(Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan.
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah
yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda
mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya,
dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.”4
Ibnu Tighribirdi yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, Al-Nujum AlZhahirah fi Muluk Mishr wa Al-Qahirah memberikan kalimat tambahan pada akhir surat
ini, yakni: “Saya mengirimkan hadiah kepada Anda berupa bahan wewangian, sawo,
kemenyan dan kapur barus. Terimalah hadiah itu, karena saya adalah saudara Anda dalam
Islam.5 Namun demikian, sekalipun ada kalimat “Saudara Anda dalam Islam” belum ada
indikasi Maharaja Sriwijaya memeluk Islam. Maharaja yang berkuasa pada masa itu ialah
Sri Indravarman, yang disebut sumber-sumber Cina sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini
mengisyaratkan bahwa ia belum menjadi pemeluk Islam.6
Sultan Rum, Khadimul Haramayn
Munculnya Turki Utsmani sebagai khilafah Islam, terutama setelah berhasil
melakukan futuhat atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada
857/1453 menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang
terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.”7 Sebelum kebangkitan Turki
Utsmani, istilah “Rum” mengacu kepada Byzantium, dan kadang-kadang juga kepada
Kerajaan Romawi. Tetapi setelah kemunculan Turki Utsmani, istilah “Rum” beredar untuk
menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum
(Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.8
4
Ibid. hal. 28
Ibid. hal. 29.
6
Ibid. hal. 29.
7
Para khalifah Turki Ustmani sering disebut sebagai “Sultan Rum” karena menduduki
Konstantinopel yang merupakan bekas Kerjaaan Romawi Timur. Ini merupakan hasil wawancara penulis
dengan Prof.Dr. Uka Tjandrasasmita, Selasa, 11 Januari 2005.
5
8
Azyumardi Azra, op.cit. hal. 36.
Kekuatan politik dan militer Kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa di kawasan
lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum muslimin, Turki Utsmani
memiliki posisi sebagai khadimul haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni makkah dan
Madinah). Pada posisi ini, para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk
menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani
di tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju
Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis. Pada
954/1538 Sultan Sulayman I (berkuasa 928/1520-66) melepas armada yang tangguh di
bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulayman Pasya untuk membebaskan semua
pelabuan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah. 9
Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera
dengan menampatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia. Kehadiran angkataan laut
Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498 tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi
umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam
perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya hal ini memberikan kontribusi penting bagi
pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji. Pada
saat yang sama Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tapi
angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut
Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16. 10
Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528), laksanama
Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan
melaporkannya ke pusat pemerintahan di Istanbul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip
Obazan ialah sebagai berikut:
(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut
Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana
(Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang
berhadapan dengan Sumatera…. Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan,
insyallah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak
terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka
tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.11
9
Ibid hal. 38
Ibid. hal. 36
11
Saleh Obazan, dikutip dari Azyumardi Azra, op.cit. hal. 40-41.
10
Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron
Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan
Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.
Membebaskan Malaka dan Futuhat Daerah Batak
Sebagaimana diketahu dalam berbagai buku sejarah, bahwa Semenanjung Malaka
diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki Utsmani.
Pada tahun 925/1519 Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan armada
‘Utsmani’ untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir. Kabar ini, tentunya,
sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.12
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun
943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada
Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan
futuhat ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti
daerah Batak.. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia.13 Pasukan Turki
sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka membentuk
kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan Al-Kahhar untuk
menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539. Mendez Pinto,
yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya
armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya
Utsmani di Kairo.14
Seorang sejarawan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui
adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futuhat terhadap wilayah sekitar Aceh
Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspressi solidaritas umat Islam yang memungkinkan
bagi Turki serangah langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.. 15 Demikianlah, hubungan
Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki.
12
Ibid. hal. 41
Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka,
1984) hal. 33.
14
Azyumardi Azra, op.cit. hal. 42.
15
Lukman Thaib, “Aceh Case: Possible Solution to Festering Conflict,” Journal of Muslim Minorrity
Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hal. 106
13
Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus
segera diseelsaikan.
Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din
Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”.
Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah
menunaikan ibadah haji.16 Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk
meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos
dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang
menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk
menaklukkan Aru dan Johor pada 973/1564.17
Hubungan dengan Turki
Dalam kaitan dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah arsip
Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Ala Al-Din Riayat Syah kepada Sultan
Sulayman Al-Qanuni yang dibawa Huseyn Effendi. Dalam surat ini Aceh mengakui
penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini melaporkan tentang aktivitas
militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan
jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak
untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.18
Sulayman Al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi petisi Aceh mendapat
dukungan Sultan Selim II (974-82/1566-74), yang mengeluarkan perintah kesultanan untuk
melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki
di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli
senapan api, tentara dan artileri. Pasukan ini diperintahkan beara di Aceh selama masih
dibutuhkan oleh Sultan.19 Namun dalam perjalanan, Armada besar ini hanya sebagian yang
sampai Aceh karena dialihakan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang
16
Metin Innegollu, “The Early Turkish-Indonesian Relation,” dalam Hasan M. Ambary dan Bachtiar
Aly (ed.), Aceh dalam Retrospeksi dan Reflkesi Budaya Nusantara (Jakarta: Informasi Taman Iskandar Muda,
tt) haal. 53.
17
Azyumardi Azra, op.cit. hal.. 43-44.
18
Farooqi, “Protecting the Routhers to Mecca,” haal. 215-6, dikutip dari Ibid hal. 44.
19
Metin Innegollu, op.cit. hal. 54
berakhir tahun 979/1571.20 Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada
tahun 1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk ahli-ahli senjata api, penembak dan ahliahli teknik. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.21
Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentara dengan sendirinya
disambut dengan suka cita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar.
Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai gubernur (wali) Aceh, 22
yang
merupakan utusan resmi khalifah yang ditempatkan di daerah tertentu.
Bendera Turki di Kapal Aceh
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga
keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti AlQahhar kedua yakni Sultan Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbaharui hubungan
politik dan militer dengan Utsmani.23 Hal ini dibenarkan sumber-sumber historis Portugis.
Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa pada tahun 993/1585
melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan khalifah
Utsmani untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan offensif baru terhadap
Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013/1588-1604)
juga dilaporkan telah melanjutkan pula hubunghan politik dengan Turki. Dikatakan,
khalifaah Utsmani bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan
Aceh, dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.24
Kapal-kapal atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari
kapal kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi
lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini
merupakan bagian dari wilayah kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal
ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 ton.25 Kapal-kapal besar yang berasal dari
Turki, dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang
20
Azyumardi Azra, op.cit. hal. 44
Marwati Djuned Pusponegoro dan Nugroho Noto Susanto, op.cit. hal. 54.
22
Metin Innegollu, op.cit. hal. 54
23
H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hal. 272-77;
lihat juga, op.cit. hal. 44.
24
Azyumardi Azra, op.cit. hal. hal. 44-45.
25
Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, op.cit. hal. 56.
21
penjajah dari Eropa yang menganggu wilaya-wilayah muslim di Nusantara.26 Aceh benarbenar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti Portugis karena diperkuat oleh
para ahli persenjataan dari Turki sebagai bantuan kekhilafahan tersebut terhadap Aceh.27
Menurut sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (10116-46/1607-36)
mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istanbul setelah dua
setengah tahun pelayaran melalu Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh,
mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 pakar militer, dan sepucuk surat yang
merupakan keputusan Utsmani tentang persahabataan daan hubungan dengan Aceh. Kedua
belas pakar militer disebut pahlawan di Aceh, dikatakan begitu ahli sehingga mampu
membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya dalam membantu membangun benteng
tangguh di Banda Aceh, tetapi juga istana kesultanan.28
Al-Singkeli dan Qonun Syariah di Aceh
Sebagai bagian daulah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai patokan
kahidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari
berbagai belahan dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan utusannya ke Aceh
seorang ulama bernama Syekkh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballigh. Sekitar
tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syekh Abdul Khayr dan
Syekh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar,
seperti Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Singkeli. 29
Abdul Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din Shah untuk
menduduki jabatan Kadi dengan sebutan Qadi al-Malik al- Adil yang sudah lowong
beberapa lama karena Nur al-Din Al-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan
berbagai pertimbangan, Abdul Rauf mnerima tawaran tersebut.30 Karena itu, ia resmi
menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi
26
Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, op.cit. hal. 96.
Ibid. hal.. 257.
28
Azyumardi Azra, op.cit. hal. 45.
29
Peunoh Daly, ‘Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah dan Nafkah dalam Naskah Mir’at al-Tullab
Kaarya Abd Raauf Singkel,” Disertasi Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 1982). Hal. 15-16.
30
Ibid. hal. 32
27
Abd Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qaanun) penerapan
syariat Islam.31 Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.
Menurut Abd Rauf, naskah Mir’at al-Tullab mengacu kepada kitab Fath al-Wahhab
karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk
menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwad, Tuhfat al-Muhtaaj, Nihayat al-Muhtaj, Tafsir
Baydawi, al-Irsyad, dan Sharh Sahih Muslim.
32
Mir’at al-Tullab mengandung semua
hukum fiqh Imam Syafii, kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya
menguraikan sebagian kandungan Mirat- al-Tullab, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak,
Rujuk, Hadanah dan Nafkah. Namun terlepas dari itu, Aceh sebagai bagian dari daulah
Islam memiliki qanun penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abd Rauf al-Singkeli.
Penutup
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara Aceh dengan
Turki Utsmani. Persoalan yang menimpa umat Islam di Aceh seakan-akan dianggap
sebagai persoalan umat Islam secara keseluruhan. Turki Utsmani melindungi wilayah Aceh,
melakukan futuhat, dan melakukan dakwah. Hal ini menggambarkan adanya hhubungan
solidaritas kaum muslimin. Namun perlu penelitian lebih lanjut: apakah Aceh benar-benar
menjadi bagian dari kekhilafahan Turki Utsmani; merupakan negeri sendiri yang mendapat
perlindungan khilafah akibat solidaritas dan persaudaraan Islam? Yang jelas, keberadaan
khilafah di wilayah Nusantara bukan suatu yang asing. Perlindungan khalifah dirasakan
oleh umat Islam di Nusantara.****
31
32
Ibid hal. 36
Ibid hal. 38.
Download