Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San

advertisement
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
ISSN 2356 - 4385
Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan
San Diego Hills dan Film The Killers
Altobeli Lobodally1), Raka Wisnu Wardana2)
Komunikasi, Fakultas Ilmu Komputer dan Komunikasi
Jalan Pulo Mas Selatan Kav. 22, Jakarta Timur, DKI Jakarta 13210
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Abstract: Popular culture is associated with the everyday, the mainstream and that which is commonly
accessible: in short, culture produced for mass consumption. It is also for the mortality as a reality.
Nowadays mortality it is not a macabre reality anymore. But mortality is a market share for a massage
producer. As semiotic from Barthes and the cultural studies as the theory, this research found that
mortality has been transformed to the advantage for the capitalist. By the transformation from the
meaning of mortality, the massage producer selling the reality of mortality. From this research, the
meaning of mortality has been transformed in to the symbolization of the high class and an inspirational
dramatic performance in both of popular culture product.
Keywords: the mortality, popular culture, semiotics, advertising, movie
Abstrak: Kematian kini tak lagi merupakan hal yang menakutkan. Kini kematian seolah telah
bertransformasi menjadi sebuah tontonan yang menarik sekaligus produk budaya populer yang mampu
menarik konsumen untuk membeli sebuah produk. Penelitian ini bertjuan membongkar makna kematian
dalam iklan San Diego Hills dan Film The Killers. Melalui analisa semiotika Roland Barthes hal
tersebut terurai dalam iklan San Diego Hills Memorial park dan juga Film The Killers. Kematian tak
lagi merupakan realitas sosial yang sejatinya merupakan proses untuk menuju keabadaian, akan tetapi
dalam produk budaya populer baik iklan San Diego Hills maupun Film The Killer, terjadi pergeseran
akan pemaknaan kematian. Kematian kini menjadi simbolisasi yang menunjukkan kelas sosial tertentu.
Pergeseran makna dari proses kematian menuju keabadian menjadi simbolisasi kelas sosial tertentu
dan juga sebuah tontonan. Keduanya hadir sebagai sebuah kemasan produk budaya populer semata.
Tentu saja adalah celah bagi para produsen pesan untuk mencari keuntungan. Sehingga kematian
adalah peluang bisnis sekaligus upaya persembahan bagi kaum kapitalis.
Kata Kunci: kematian, kajian budaya, semiotika, iklan, film
I. PENDAHULUAN
Kehidupan hanyalah fase untuk menuju kepada
kematian. Kehidupan manusia di dunia dan setiap hal
yang dilakukannya, seringkali hanyalah upaya untuk
menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi saat
ajalnya menjemput. Ketidaktahuan akan apa yang
dialaminya saat meninggal, membuat manusia takut
akan konsep kematian itu sendiri.
Dalam pandangan kedokterakan kematian
digambarkan sebagai berhentinya fungsi biologi
tertentu secara permanen, seperti pernafasan dan
tekanan darah serta kakunya tubuh dianggap cukup
jelas menjadi tanda-tanda kematian. Namun, mati
otak masih menjadi kata kunci dalam penentuan
mati tidaknya seseorang. Mati otak (brain death)
merupakan definisi neurologis dari kematian.
Kematian dapat terjadi kapanpun dalam rentang
perkembangan manusia. (http://www.academia.edu.)
Kematian merupakan misteri ilahi. Tidak ada
seorang pun yang dapat menerka bagaimana, kapan
dan dimana mereka akan meninggal dunia nantinya.
Karena sifatnya yang tidak terduga, sehingga
sejumlah kepercayaan menganggap kematian sebagai
barang yang tabu untuk dipersiapkan, bahkan untuk
diperbincangkan. Mempersiapkan kematian akan
dianggap sebagai tindakan mendahului Tuhan
yang memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan
kematian manusia.
Akan tetapi makna kematian dalam produkproduk komunikasi, kini telah mengalami beragam
pergeseran pemaknaan. Produk-produk teks
172
3. Altobeli (Komu).indd 172
25/02/2016 13:58:18
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
menggambarkan kematian sebagai sebuah peristiwa
yang memiliki nilai jual.
Idi Subandi dan Bachruddin Ali Akhmad
dalam bukunya Komunikasi dan Komodifikasi
menggambarkan kematian dengan persepektif yang
cukup membuka mata. Bagi keduanya kematian
merupakan produk yang telah menjadi praktik
komodifikasi. Dalam pemaparannya, keduanya
menjabarkan kematian sebagai “komodifikasi
kematian”. “Kita belum pernah melihat sebelumnya
bagaimana di sejumlah kota besar, misalnya, Jakarta
dan Bandung, mulai banyak reklame atau spanduk
yang mengiklankan tempat yang dianggap paling
eksotis, asri, dan hijau untuk pemakaman elite
bergengsi ditujukan untuk kelas menengah atas.
Kuburan yang dikomodifikasi untuk memenuhi
selera budaya berbasis kelas ini menjadi ironi dan
buruknya mutu penataan pemakaman rakyat yang
kurang dipedulikan atau dikelola secara memadai
oleh negara” (Subandy, Akhmad, 2014: 22)
Keresahan akan buruknya penataan pemakaman
oleh negara tersebut, ternyata justru menjadi pangsa
pasar bagi para pengusaha. Sehingga muncullah
konsep pemakaman dengan konsep yang jauh dari
kata menakutkan. Kematian tak lagi muncul sebagai
produk yang menakutkan, akan tetapi produk yang
segera harus disiapkan oleh manusia yang akan siap
menuju akhir hayatnya itu. Salah satunya muncul
dalam bentuk iklan pada Gambar 1.
Gambar 1 Iklan pemakaman San Diego
Hills Memorial Park
Jika sebelumnya manusia menganggap bahwa
kematian merupakan hal yang tabu diperbincangkan,
dan pemakaman menjadi selubung ketakuan, kini
pandangan tersebut telah mengalami pergeseran.
Konsep kematian sebagai konsekuensi peristiwa
kematian telah berubah menjadi sarana rekreasi.
Konsep lain mengenai kematian juga menjelma
dalam produk budaya populer film. Film sebagai
sebuah alat komunikasi massa, juga sudah dikenal
sebagai produk yang mampu tidak hanya menjadi
cerminan akan realitas, akan tetapi sebagai pembentuk,
pengemas, guru, ritual, bahkan juga sebagai Tuhan.
(Subandy, Akhmad, 2014: 3)
Kematian dalam film “The Killers” digambarkan
sebagai sebuah tontonan seperti pada Gambar 2.
Ketika seseorang menuju kematian yang penuh
ketakutan berubah menjadi tontonan yang penuh
keasyikan. Sehingga ketakutan akan kematian pun
bergeser pemaknaanya dalam film ini.
Gambar 2 Poster film The Killers (2014)
Film ini bercerita mengenai Nomura Shuhei
(Kazuki Kitamura), seorang eksekutif muda asal
Jepang yang karismatik dan disukai banyak orang,
ternyata memiliki sisi gelap. Nomura membunuh
beberapa orang dan mendokumentasikannya ke
dalam video. Selain itu, Nomura juga mengunggah
video pembunuhan tersebut ke internet agar dapat
dilihat oleh semua orang demi kepuasan pribadinya.
Di sisi lain, ada pula Bayu Aditya yang
diperankan Oka Antara, seorang jurnalis asal
Indonesia yang ambisius dan sedang terpuruk akibat
obsesinya dalam menguak kasus politikus bernama
Dharma yang diperankan oleh Ray Sahetapi. Hal
ini mengakibatkan hubungan dengan Dina, yang
diperankan oleh Luna Maya, istrinya dan karirnya
menjadi berantakan.
Saat hidupnya dipenuhi banyak masalah,
Bayu melihat salah satu video Nomura dan mulai
menemukan sisi lain dalam dirinya. Bayu merasa
terinspirasi untuk melakukan hal yang sama, yaitu
menjadi seorang pembunuh berantai. Nomura mulai
membentuk karakternya sendiri dan membunuh
atas nama keadilan kemudian mengunggah video
tindakannya ke internet.
173
3. Altobeli (Komu).indd 173
25/02/2016 13:58:19
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
Realitas kematian, kini telah mengalami
pergeseran
pemaknaan
setelah
wujudnya
bertransformasi dalam iklan maupun film. Dalam
penelitian ini, penulis akan menguraikan perubahan
pemaknaan yang mumcul dalam produk budaya
populer. Penguraian tersebut akan disandarkan
kepada sejumlah teori.
II. METODE PENELITIAN
A. Media dan Cultural Studies
Stuart Hall menyebut kajian budaya atau yang
dikenal dengan ‘cultural studies’, adalah sebuah
formasi diskursif. Hall menyatakan bahwa: kajian
budaya adalah sebuah kluster (atau formasi) ideide, gambaran-gambaran (images), dan praktikpraktik ((practices) yang menyediakan cara-cara
menyediakan cara-cara menyatakan, bentuk-bentuk
pengetahuan, dan tindakan yang terkait dengan topik
tertentu, aktivitas sosial atau tindakan institusi dalam
masyarakat. (Hall, 1997: 6)
Tradisi kajian budaya menjadi tradisi studi yang
banyak dilakukan awal kemunculannya oleh para
akademisi dan peneliti di Centre for Contemprary
Cultural Studies (CCCC), Universitas Birmingham
di Inggris pada tahun 1960an. Sejak saat itu kajian
budaya menjadi tradisi studi yang meluas di kalangan
intelektual di negara-negara seperti Amerika, Afrika,
Australia, Asia Amerika Latin, dan Eropa, dengan
setiap ‘formasi’ yang berbeda-beda objek kajiannya.
(Barker, 2012: 2)
Lebih jauh Barker menjelaskan definisi kajian
budaya (cultural studies) dalam empat elemen:
Pertama, kajian budaya adalah kajian interdisipliner
(antar disiplin ilmu) dimana perspektif-perspektif dari
disiplin ilmu yang berbeda dipakai untuk menjelaskan
tentang budaya dan kekuasaan (culture and power).
Kedua, kajian budaya begitu memperhatikan semua
praktik-praktik, institusi-institusi (sosial, politik,
budaya, ekonomi, dsb), dan sistem-sistem klasifikasi
yang terjadi dalam komunitas-komunitas dengan nilai
budaya tertentu, kepercayaan tertentu, kompetensikompetensi tertentu, kehidupan rutin tertentu, dan
bentuk-bentuk kebiasan tindakan mereka… Ketiga,
kajian budaya mempersoalkan dan mempertanyakan
secara kritis bentuk-bentuk “power” atau kekuasaan
yang bevariasi dan berbeda meliputi: gender, ras,
kelas, kolonialisasi dsb. Kajian budaya dalam hal
ini mencari hubungan antara kekuasaan tersebut
dan perkembangan cara berpikir tentang budaya dan
kekuasaan yang dapat digunakan oleh agen-agen
pembuat perubahan. Keempat, kajian budaya tidak
hanya merupakan disiplin akademik, melainkan juga
mencoba untuk mencari hubungan diluar akademik
dengan gerakan-gerakan atau perubahan sosial dan
politik, pekerja dalam institusi-institusi budaya dan
manajemen budaya. (Barker, 2012: 2)
Stuart Hall juga menjelaskan bahwa kajian
media dan budaya, atau yang lebih dikenal dengan
Media and Cultural Studies, pada dasarnya mencoba
menggoyang kemapanan berpikir kita tentang
“realitas” dan apa yang dimaksud dengan “real”
(yang sebenarnya) dalam kehidupan budaya kita
sehari-hari. Kini, dunia tempat manusia hidup
menuju kematiannya adalah dunia yang sesak akan
media massa.
Realitas sosial yang dipahami, tak terkecuali
mengenai kematian adalah realitas sosial yang
dimediasi oleh media massa dan segala produk
olahannya. Atau jika kita ingin meminjam istilah yang
disematkan oleh Danesi sebagai sebuah peringkas
kognisi. Disebut demikan, karena bagi Danesi secara
alamiah dan wajar, media massa mampu meringkas
sejumlah pengetahuan mengenai berbagai hal untuk
diterima, dimengerti dan dipahami masyarakat
sebagai sebuah kebenaran. (Danesi, 2012: 282)
Rachmah Ida menyebutnya: “Dalam dunia yang
sudah dipenuhi dengan images atau gambar-gambar
dan tulisan-tulisan yang ada di Koran, televisi, film,
video, radio, iklan, novel dan lain sebagainya, cara kita
menentukan diri kita atau mendefinisikan identitas
kita dan lingkungan sekitar kita ternyata bervariasi
dan berbeda satu sama lain. Di era-yang disebutnya
sebagai “media saturated world”- saat kehidupan
manusia telah dimediasi oleh media massa, dan cara
kita melihat memandang, memahami dan berprilaku
terhadap realitas sosial telah di antarai oleh media
massa. Apa yang ada di sekitar kita, menentukan
cara kita bertindak dan berperilaku terhadapnya,
karena apa yang kita lihat, tonton, baca, dengarkan,
dan nikmati dari media massa seolah “mengajarkan”
kita untuk melakukan seperti yang diinginkan. Pada
kenyataannya, budaya kita sebenarnya juga dibentuk
oleh media massa yang kita nikmati setiap harinya”
(Ida, 2014: 3)
Sehingga apa yang kita pahami kini, sebenarnya
bukanlah sepenuhnya realitas yang sesungguhnya. Di
dalam kehidupan yang disesaki media massa, setiap
hal yang kita pahami sebenarnya hanyalah bentukan
media massa. Segala sesuatu yang kita cerna, pahami
dan bahakan percayai kini hanyalah bentukan atau
ajaran media massa. Realitas semu-lah sebenarnya
yang ditunjukkan media massa kepada kita. Atau jika
ingin meminjam istilah dari Baudrillard sebenanya
174
3. Altobeli (Komu).indd 174
25/02/2016 13:58:19
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
kepercayaan kita akan sebuah realitas adalah bentuk
simulasi yang ditampilkan sang produsen budaya
populer, media massa. Media massa bagi sejumlah
pengkaji media dan budaya kritis secara ringkas telah
menggunakan beberapa pendekatan untuk memahami
arti penting sosio-kultural media dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam uraian teoritis ini, media massa
akan dipandang:
1. Media sebagai Pengemas atau Representasi
Isi media tidak mencerminkan persitiwa secara
netral dan secara sempurna. Media terlebih dahulu
menyeleksi apa yang akan dimasukkan dalam produk
yang dihasilkannya dan media menyajikan unsurunsur yang mereka masukkan itu dengan cara-cara
yang sangat khusus. Jadi media tidak menyajikan
kepada kita sebuah cermin yang utuh melainkan suatu
susunan representasi dunia yang telah mengalami
seleksi dan dikemas sedemikian rupa menjadi bahan
tontonan, bacaan, untuk ‘dinikmati’ masyarakat
(baca: konsumen).
Stuart Hall menjabarkannya dalam kalimat
berikut ini, “representation is a very different notion
from reflection. It implies the active work of selecting
and presenting, of structuring and shaping”.
(Hall, 1982: 64). Sehingga dapat dikatakan bahwa
ketimbang menjadi sebuah cermin dunia yang netral,
sajian media massa merupakan tekanan yang selektif
terhadap perpektif yang berorientasi tertentu. Oleh
karena ittu representasi media adalah hasil seleksi dan
dikemas. Tentu saja hasil olahannya berbeda dengan
dunia yang dicerminkan media massa. Hodkinson
menggambarkan hal ini dalam model representasi
sirkular media berikut ini:
Gambar 3 Model representasi sirkular
media (Hodkinson, 2011: 6)
Hodkinson menyatakan bahwa model ini
berguna untuk memahami arti penting media massa
secara sosio-kultural. Sehingga model ini dapat
menjadi titik pijak untuk memahami proses terusmenerus berlangsungnya representasi media massa
secara selektif dan bagaimana hal tersebut dipengaruhi
oleh kemasan dan karakter masyarakat.
Dalam kedua produk budaya populer pada
penelitian ini, baik iklan maupun film, tentu kita tak
dapat mengabaikan bahwa media massa juga telah
dipandang sebagai guru. Mengapa guru? Karena
melalui kedua produk budaya populer tersebut
media massa seolah hendak mengajarkan mengenai
realitas sosial mengenai kematian. Realitas yang
telah dikemas sedemikian rupa sehingga memiliki
pemaknaan baru.
2. Media Sebagai Guru
Isi media massa, dalam kapasitasnya kini
dapat dikategorikan sebagai guru atau pendidik.
Guru merupakan sosok yang mengajarkan segala
pengetahuan, nilai-nilai atau prilaku tertentu bagi
masyarakat yang mengenyam pendidikan dalam
sebuah lembaga pendidikan tertentu.
Jika kita kembalikan kepada fungsi dasar media
massa, tentu kita ingat bahwa fungsi media massa tak
hanya untuk memberikan informasi (to inform) saja,
akan tetapi juga to educate, atau untuk mendidik.
Sehingga dapat kita pahami bahwa media massa
merupakan sarana utama bagi sebagian besar dari
kita untuk mengalami dan belajar tentang hampir
sebagaian besar aspek dunia yang mengelilingi
manusia. Tentu saja tak terkeculi adalah pembelajaran
mengenai makna kematian.
Dalam pandangan ini, walaupun kita tak belajar
secara langsung dari media massa, sebenarnya
kita akan belajar dari orang lain yang mungkin
memperoleh ide-ide yang kita ketahui itu dari media
massa. Sehingga tak jarang, muncul sejumlah keluhan
bahwa media massa merupakan “guru kedua” untuk
berperilaku konsumtif. Seperti halnya dalam kedua
produk budaya populer yang menjadi fokus dalam
penelitian ini. Kuburan yang merupakan ekses dari
kematian kini telah dipandang menjadi konsumsi
bagi kelas tettentu, sehingga kelas tersebut mampu
menggeser pandangan tabu akan persiapan menuju
kematian. Begitu pula dengan Film “The Killer”,
ternyata detik-detik seseorang menuju ajal yang
semula adalah hal yang menakutkan untuk disaksikan,
kini telah menjadi tontonan yang dicari, diminati dan
bahkan dinikmati.
B. Produk Budaya Populer
Kajian budaya melihat budaya popular menjadi
dasar kajiannya. Budaya pop yang diproduksi
menghasilkan banyak sekali praktek-praktek produksi
makna yang sungguh beragam. Dalam budaya populer
175
3. Altobeli (Komu).indd 175
25/02/2016 13:58:19
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
tersebut, nilai-nilai ideologi subordinasi, representasi,
dan eksistensialisme kekuasaan dan ekonomi politik
dimanifestasikan. Program-program televisi, iklaniklan, buku-buku, majalah, dan sebagainya menjadi
medium ‘menuliskan’ (inscribe) kepentingan,
kekuasaan, nilai-nilai ideologi, subordinasi, dan
sebagainya. (Ida, 2010: 7)
Dalam penelitian ini, dua buah produk budaya
populer yang akan menjadi pusat pembicaraan adalah
iklan dan juga film. Istilah advertising (periklanan)
menurut Otto Kleppner berasal dari kata Latin yaitu
ad-vere yang berarti mengoperkan pikiran dan
gagasan kepada pihak lain. Istilah iklan juga sering
dinamakan dengan sebutan yang berbeda-beda,
misalnya di Amerika sebagaimana halnya di Inggris
di sebut dengan advertising. Sementara di Perancis
disebut dengan reclamare, yang kemudian dikenal
sebagai reklame. Sebenarnya di Indonesia sendiri
istilah iklan sering disebut dengan istilah lain yaitu
advertise dan reklame. (Jaiz, 2014: 1)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
terbitan Balai Pustaka tahun 2000, iklan adalah pesan
komunikasi dari produsen atau pemberi jasa kepada
calon konsumen di media pemasangannya yang
dilakukan atas dasar pembayaran. (Jaiz, 2014: 2)
Sedangkan periklanan adalah proses pembuatan dan
penyampaian pesan yang dibayar dan disampaikan
melalui sarana media massa yang bertujuan membujuk
konsumen untuk melakukan tindakan membeli atau
mengubah perilakunya.
Sebenarnya terdapat banyak
ahli yang
memaknai iklan dalam beberapa pengertian. Ada
yang mengartikan dalam sudut pandang komunikasi,
murni periklanan, pemasaran dan ada juga yang
memaknainya dalam perspektif psikologi. Semua
definisi tersebut membawa konsekuensi arah yang
berbeda-beda. Bila dalam perspektif komunikasi,
maka cenderung menekankan sebagai proses
penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan.
Dalam perpektif iklan, cenderung menekankan pada
aspek penyampaian pesan yang kreatif dan persuasif.
Sedangkan perspektif pemasaran lebih menekankan
pemaknaan iklan sebagai alat pemasaran yaitu
menjual produk dan dalam perspektif psikologi lebih
menekankan aspek persuasi pesan.
Media yang begitu kuat posisinya di Indonesia,
kini menyebabkan semakin mudahnya media
mengubah perilaku masyarakat. Meskipun terdapat
dampak positif dari hal tersebut, tetapi juga terdapat
dampak negatif yang cukup besar bagi masyarakat
Indonesia yang masih membutuhkan arahan dalam
mencerna pengaruh iklan, karena kebebasan
media itu sendiri baru kita rasakan semenjak
tahun 1998. (Danesi, 2012: 295) Pada akhirnya,
media pun memiliki kepentingannya tersendiri,
dibalik kepentingannya terhadap masyarakat yang
memberikannya sebuah posisi istimewa di lapisan
negara ini.
Di abad ke-20, periklanan berevolusi menjadi
sebentuk strategi sosial persuasif yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi cara orang memandang
pembelian dan konsumsi barang. (Danesi, 2012:
295) Periklanan menjadi sebuah wacana dengan hak
istimewa yang secara umum menggantikan bentukbentuk wacana dengan hak istimewa yang secara
umum menggantikan bentuk-bentuk wacana yang
lebih tradisional. Hingga saat ini, subteks periklanan
bertujuan untuk mengangkat dan memancangkan
nilai-nilai kenikmatan dalam hidup, seperti istilah
neomania dari Roland Barthes mengenai selera
yang tak terpuaskan akan objek-objek baru untuk
dikonsumsi, yang dapat ditimbulkan sebagai
pemikiran kelompok oleh iklan dan pariwara yang
tanpa henti memberikan satu janji untuk semua orang.
Secara sederhana, iklan (advertising) adalah
proses di mana orang dibujuk untuk membeli barangbarang dan dengan demikian orang ditransformasi
menjadi konsumen pembelanja. (Priyo, 2004: 26)
Agar efektif, iklan harus membungkus produk
dengan bermacam makna yang melebihi fungsi
sederhananya. Dengan demikian iklan menjadi
ekpresi asumsi-asumsi ideologi yang dominan di
dalam budaya dan menjadi alat agar asumsi-asumsi
ideologi tersebut terwujud dan berlanjut. Periklanan
merupakan salah satu bagian dari media massa
karena sifatnya yang dapat menjangkau khalayak
luas. (Priyo, 2004: 26) Media massa dikatakan
sebagai agen budaya yang berperan penting karena
masyarakat modern mengonsumsi media dalam
jumlah dan intensitas yang tidak dapat dibandingkan
dengan masa-masa sebelumnya. Di tahap awal, media
massa dapat memberikan pemahaman mengenai
apa yang diketahui dan tidak diketahui masyarakat,
lalu di tahap berikutnya, media dapat membuat
masyarakat untuk mengimitasi dan belajar dari apa
yang ditampilkannya.
Media mengajarkan masyarakat bagaimana
memandang dunia serta mengajarkan bagaimana
bersikap, mengajarkan nilai dan norma. (Priyo,
2004: 27) Hingga pada akhirnya media massa dapat
mengarahkan atau mengajarkan masyarakat mengenai
cara berperilaku. Dengan demikian media massa
adalah agen budaya yang sangat memiliki peran
penting dalam membentuk pemahaman masyarakat
176
3. Altobeli (Komu).indd 176
25/02/2016 13:58:19
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
terhadap pengetahuan, cara pandang sampai perilaku
masyarakatnya.
Sementara iklan sebagai salah satu isi media
massa, memiliki peran sebagai sarana untuk
menyampaikan atau memperkenalkan “bentukbentuk” bahasa kepada masyarakat, sehingga pesan
verbal ataupun non verbal dalam sebuah iklan
pasti memberikan maksud tersendiri yang ingin
disampaikan. (Vera, 2014: 43-44) Karena iklan juga
merupakan salah satu bentuk komunikasi massa
yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana promosi
untuk menawarkan barang dan jasa saja, tetapi
iklan mengalami perluasan fungsi, yaitu dapat juga
menjadi alat untuk menanamkan makna simbolik
melalui bahasa dan visualisasi dalam pesan iklan
yang disampaikannya kepada masyarakat.
Maksudnya ialah bahwa sekarang ini, di era
perkembangan teknologi, iklan sudah tidak lagi selalu
untuk difungsikan sebagai sarana mempromosikan
barang atau jasa agar khalayak tertarik untuk membeli
dan menggunakannya. Melainkan kini iklan mampu
membentuk satu kriteria atau sebuah pemahaman
yang dapat dipercaya oleh khalayak dan membuat
khalayak mengikuti pemahaman yang sama seperti
yang ditampilkan dalam iklan, baik itu melalui pesan
verbalnya maupun pesan non verbalnya.
Iklan menyajikan pesan dengan cara yang
”halus” sehingga banyak masyarakat yang tidak
menyadari bahwa pesan tersebut telah masuk ke dalam
dirinya. (Williamson, 2007: 19) Struktur penyusunan
iklan terdiri dari ideologi, mitos, cerita, situasi, ide,
tanda dan simbol yang maknanya telah diketahui oleh
masyarakat. Kemudian semua makna yang secara
umum telah diketahui lalu disusun kembali untuk
menciptakan sebuah dunia baru yaitu dunia iklan.
(Widyatama, 2006: 19) Iklan dapat memanipulasi
beragam realitas termasuk mengenai kematian, dari
sesuatu yang tabu menjadi produk budaya yang dapat
dijual. Iklan juga tidak hanya sekedar menjual barang,
melainkan juga seksualitas, kebahagian, kesuksesan,
dan status.
Menurut Williamson, iklan dibuat dengan
sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan
fait accompli (keadaan yang harus diterima) oleh
masyarakat. (Williamson, 2007: 19)
Maksudnya ialah iklan dapat menampilkan
tampilan yang seolah-olah menampilkan kehidupan
atau gambaran sesungguhnya mengenai realitas
kehidupan ideal yang seharusnya dilakukan
masyarakat. (Berger, 2000: 55) Lalu menurut
Berger juga terdapat satu hal lagi yang dilakukan
periklanan, yaitu mengalihkan perhatian masyarakat
dari persoalan sosial dan politik, dan membawanya
ke arah kecintaan pada diri sendiri (narsisme) dan
perhatian pribadi.
Selain itu periklanan juga dapat memaksa orang
ke dalam bentuk selera kolektif. Karena melalui
periklanan, kepuasan diri individu dikembangkan.
Jadi sebenarnya periklanan adalah lebih dari
sekedar alat perdagangan, karena periklanan dapat
mengambil kendali terhadap kehidupan sehari-hari
dan mendominasinya. Hal inilah yang semakin dapat
membuat banyak masyarakat sehingga kognisi yang
didapatnya mengenai banyak hal, tak terkecuali
kematian, juga melalui sebuah iklan produk.
Disamping iklan, guna memaknai kematian
dewasa ini, uraian teoritis ini akan juga melihatnya
melalui kacamata film. Film secara tidak langsung
merupakan gambaran realitas sosial yang ada
didalam kehidupan bermasyarakat pada saat ini,
sehingga mampu menarik minat khalayak luas. Film
bukan semata-mata memproduksi realitas, tetapi juga
mendefinisikan realitas. (Sobur, 2009: 127-128).
Film adalah bentuk dominan dari komunikasi
massa visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan
juta orang menonton film setiap minggunya. Menurut
Graeme Turner, film adalah sebuah representasi
dari realitas masyarakat dimana film membentuk
dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan
kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari
kebudayaan. (Sobur, 2009: 127). Film dengan
kemampuan visualnya, yang didukung audio yang
khas sangat efektif sebagai media hiburan dan juga
sebagai media pendidikan dan penyuluhan, karena
di dalam film terkadung fungsi informatif maupun
edukatif, bahkan persuasif.
Garin Nugroho dan Dyna Herlina mengutip
sebuah artikel dalam The Times yang membahas
“Bahasa Film di daerah Jajahan”, oleh orang-orang
Melayu dan Jawa yang terbelakang, atau bahkan India
dan Tionghoa, adegan kejahatan dan penyimpangan
(orang0orang Barat) yang ditampilkan di layar
diterima sebagai representasi yang terpercaya atas
kehidupan sehari-hari orang kulit putih di negerinya.
Gambar-gambar yang menampilkan cinta yang
penuh nafsu … member mereka kesan yang tercela
akan moralitas orang kulit putih, dan lebih jelek atas
perempuan kulit putih.” (Nugroho, Herlina, 2015: 34)
Sementara itu film The Killers yang mengambil
setting tempat dua negara, Jepang dan Indonesia ini
memanipulasi makna kematian dalam bentuk kode,
mendorongnya kepada pemahaman baru sehingga
menjadi konvensi, dan tentu saja membalutnya dalam
gambar yang seolah-olah alami dan wajar agar dapat
177
3. Altobeli (Komu).indd 177
25/02/2016 13:58:19
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
‘disusupkan’ menjadi makna baru yang membudaya.
Makna baru mengenai kematian.
C. Semiotika
Penelitian ini menggunakan metode analisis isisemiotik. Ibnu Hamad mengatakan, metode analisis
isi sendiri adalah …“metode yang dapat dijabarkan
sebagai suatu metode pendalaman terhadap makna
simbol suatu pesan. (Sudibyo, Hamad, Qodari,
2001: 19). Menurutnya juga, metode dan analisisnya
bersifat kualitatif. (Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001:
18) Dedy Mulyana menjelaskan, metode kualitatif
tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika
matematis, prinsip angka, atau metode statistik.
(Mulyana, 2002: 150). Dedy menambahkan,
meskipun penelitian kualitatif dalam bentuknya
sering menggunakan jumlah penghitungan, penelitian
ini tidak menggunakan nilai jumlah seperti yang
digunakan dalam pengumpulan dan analisis data
dalam eksperimen dan survei. (Mulyana, 2002: 150)
Sedangkan menurut Ibnu Hamad, jenis
penelitian ini memberi peluang yang besar bagi
dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif. Namun
begitu, penafsiran atas temuan data, diusahakan tetap
sedekat mungkin dengan apa yang dimaksud oleh
pihak yang memproduksi pesan (teks). (Sudibyo,
Hamad, Qodari, 2001: 18)
Hal ini berarti, peneliti dapat secara subyektif
menginterpretasikan teks yang diteliti. Mengenai hal
ini Karl Erik menyatakan bahwa, “ Proses pemakanaan
itu tidak bisa lepas dari unsur subyektifitas sang
pemberi makna. Namun tidak perlu khawatir, sebab
teori-teori jenis ini memang mengijinkan seorang
melakukan interpretasi atas teks secara subyektif
akibat pengaruh pengalaman hidupnya”. (Sudibyo,
Hamad, Qodari, 2001: 15) Menurut Dedy Mulyana,
“Pendekatan subyektif mengasumsikan bahwa,
pengetahuan tidak mempunyai sifat yang obyektif
dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpretatif”.
(Mulyana, 2002: 33). Dedy juga megungkapkan,
“Orang bertindak berdasarkan makna atau definisi
yang mereka berikan kepada lingkungan mereka.
Mereka melakukan hal itu lewat simbol-simbol
bahasa baik verbal (bahasa) ataupun prilaku non
verbal dalam kehidupan mereka”. (Mulyana, 2002:
55). Di dunia semiotik, teks menggambarkan sebuah
peristiwa; kasus; obyek tertentu; atau realitas apapun
menggunakan tanda. Untuk mencermati tanda,
peneliti bertitik tolak pada pandangan Roland Barthes.
Roland Barthes, menjelaskan hubungan: pemaknaan
sebuah tanda melalui dua tahap signifikasi. Signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier
dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas
eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi,
yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah
istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan
siginifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan
interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai
dari kebudayaannya. (Sobur, 2001: 128)
Sedangkan manakala seorang komunikator
(media massa) memakai sebuah tanda tentulah ia
beranggapan bahwa tanda itulah yang paling mewakili
realitas yang ingin digambarkan. Sayangnya, seorang
jurnalis tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan
dalam menyusun sebuah teks. (Sudibyo, Hamad,
Qodari, 2001: 24). Menurut Pierce, salah satu jenis
tanda ialah simbol. (Budiman, 1999 : 108) Kris
Budiman menyatakan bahwa simbol sama dengan
lambang. (Budiman, 1999: 69). Marcel Danesi dalam
bukunya Pesan, Tanda dan Makna menyebutkan
bahwa segala sesuatu –warna, isyarat, kedipan
mata, objek, rumus, matematika dan lain-lain – yang
merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya
disebutnya sebagai sebuah tanda. (Danesi, 2012: 6).
Sedangkan Ferdinand de Saussure menyebutkan
bahwa ilmu yang mempelajari kehidupan tandatanda dalam masyarakat dapat dibayangkan ada.
Ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan
karenanya juga bagian dari psikologi sosial dan
karenanya juga bagian dari psikologi umum. Saya
akan menyebutnya semiologi (dari bahasa Yunani,
semeion “tanda”). Semiologi akan menunjukkan halhal yang membangun tanda-tanda dan hukum-hukum
yang mengaturnya. (Ferdinand de Saussure 18571913). (Danesi, 2012: 6)
Terence Hawkes mengungkapkan bahwa istilah
semiologi maupun semiotika sebenarnya adalah
hal yang sama. Satu-satunya perbedaan keduanya
menurut Terence, adalah bahwa istilah semiologi
biasanya digunakan di Eropa, sementara semiotik
cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa
Inggris. (Sobur, 2009: 107) Di dalam penelitian ini,
akan menggunakan terminologi semiotika untuk
penelitian selanjutnya. Salah seorang pengikut
Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model
sistematis dalam menganalisis makna dari tandatanda. Dalam penelitian ini maksudnya, adalah
elemen yang muncul dalam wujud kata, gambar, foto
dalam Iklan San Diego Hills Memorial Park dan juga
setiap elemn baik audio maupun visual dalam Film
The Killers.
Fokus perhatian Barthes, lebih tertuju kepada
gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order
signification). Seperti pada Gambar 4.
178
3. Altobeli (Komu).indd 178
25/02/2016 13:58:19
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
Gambar 4 Siginifikasi dua tahap Barthes
(Sobur, 2001: 127)
Melalui gambar ini, Barthes, menjelaskan
hubungan: signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier dan signified di dalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes
menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling
nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukkan siginifikasi
tahap kedua. Hal inimenggambarkan interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari
kebudayaannya. (Sobur, 2001: 128)
Di dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan
denotasi, atau makna paling nyata dari tanda, ialah
setiap elemen yang ditunjukkan dalam iklan San
Diego Hills Memorial Park. Dalam makna denotasi
kematian digambarkan sebgaai akhir dari kehidupan,
ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua
makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara
permanen, baik karena penyebab alami seperti
penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti
kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup
mengalami pembusukan.
Kematian juga dapat dimaknai sebagai momen
ketika tanda-tanda hidup lahiriah seperti kesadaran,
denyut nadi, dan pernapasan, tidak ada (ditunjukkan
oleh pembacaan EKG datar), diikuti dengan tidak
adanya, aktivitas gelombang otak (ditunjukkan oleh
pembacaan EEG yang datar). (Phan, 1994: 78) Peter C
Phan juga menjabarkan kematian sebagai terpisahnya
jiwa dan badan. (Phan, 1994: 78)
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyebut kematian yang kata dasarnya mati adalah:
1 sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi 2 tidak
bernyawa; tidak pernah hidup: batu ialah benda
--; 3 tidak berair (tt mata air, sumur, dsb); 4 tidak
berasa lagi (tt kulit dsb); 5 padam (tt lampu, api,
dsb); 6 tidak terus; buntu (tt jalan, pikiran, dsb): krn
pikirannya sudah -- , ia tidak dapat berbuat apa-apa;
7 tidak dapat berubah lagi; tetap (tt harga, simpul,
dsb); 8 sudah tidak dipergunakan lagi (tt bahasa
dsb); 9 ki tidak ada gerak atau kegiatan, spt bubar (tt
perkumpulan dsb): kalau tidak diurus, koperasi itu
akan --; dan 10 diam atau berhenti (http://kbbi.web.
id). Sedangkan konotasi sendiri memiliki makna yang
subyektif atau paling tidak intersubyektif. Di dalam
penelitian ini, bentuk konotasi terhadap kematian saat
berinteraksi dengan pembaca (baca : calon konsumen
bagi San Diego Hills Memorial Park) atau penonton
serta nilai-nilai kebudayaannya, yang akan ‘dikupas’
lebih jauh.
Sementara itu signifikasi tahap kedua yang
berhubungan dengan isi, oleh Barthes menggunakan
istilah mitos. Mitos adalah bagaimana kebudaayaan
menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam. Dalam hal ini realitas yang
dimaksud peneliti adalah mengenai makna kematian
yang ditunjukkan dalam kedua produk budaya
populer yang merupakan bahan uraian teoritis dalam
penelitian ini.
III. PEMBAHASAN
Keseluruhan elemen dalam iklan ini menggiring
‘pembacanya’ (baca: calon konsumen produk
San Diego Hills Memorial Park) bahwa kematian
merupakan sesuatu yang harus dipersiapkan
seolah-olah kematian sudah diketahui waktunya.
Bahwa kehidupan manusia hanyalah proses untuk
menyiapkan diri menuju kematian tersebut.
Kata siap dapat dimaknai sebagai sesuatu yang
sudah disediakan. Hal ini artinya bahwa kematian
adalah sesuatu yang sudah pasti harus disediakan.
Sehingga kehidupan hanyalah proses mempersiapkan
kematian, setiap upaya yang dilakukan untuk
mengumpulkan rejeki di dalam kehidupan ini
sebenarnya untuk mempersiapkan ‘masa depan’ atau
dapat dikatakan sebagai persiapan terhadap rumah
kedua seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Iklan San Diego Hills
Memorials Park
179
3. Altobeli (Komu).indd 179
25/02/2016 13:58:19
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
Dalam setiap elemen yang ditemukan dalam
iklan tersebut, baik teks yang berbunyi :
a.Segenap Direksi dan Karyawan San Diego Hills
Memorials Park mengucapkan : “Selamat Hari
Raya Idul Fitri 1432 H Mohon Maaf Lahir Batin
b.We Care
c.Alhamdulilah, hidup semakin tenang… setelah
semuanya dipersiapkan di San Diego Hills
Memorials Park
d.Logo San Diego Hills Memorials Park
e. Nomer Telepon
Selain itu juga gambar tiga orang yang
mengenakan atribut kopiah dan kerudung dengan
tangan menengadah ke atas. Keseluruhannya
menggiring dan mengatikan antaraHari Raya Idul
Fitri bagi umat Muslim dan juga atribut maupun cara
menengadahkan tangan bagi umat muslim.
Sehingga sang produsen pesan, hendak
membentuk pemaknaan bahwa persiapan kematian
merupakan seolah telah menjadi ajaran agama
tersebut. Ketenangan yang dihadapi saat menjalani
kehidupan hanya didapatkan melalui upaya manusia
mempersipakan kematian.
Sedangkan dalam Film The Killer yang
diproduksi tahun 2014. Seperti yang terlihat pada
Gambar 6. Sejumlah adegan menunjukkan beragam
kematian yang telah bergeser dari pakemnya selama
ini. Seperti adegan Gambar 7.
Adegan dalam Film The Killers diatas
menjelaskan bagaimana seseorang menikmati proses
menuju kematian orang lain. Dalam gambar tersebut
tampak seorang pria dengan penutup kepala dan
senjata tajam. Sedangkan dihadapannya, seorang
wanita dengan pakaian yang sangata minim ditutup
dengan plastik transpran.
Gambar 6 Poster film The Killer (2014)
Gambar 7 Adegan 1 dalam film The Killers
Dihadapan wanita tersebut, sebuah kamera
menyala dan siap merekan setiap adegan yang akan
dilakukan pria tersebut. Dalam adegan berikutnya,
sang pria menguliti dan membunuh wanita tersebut.
Kemudian videonya diunggah di sebuah website,
yang teranyata cukup banyak mendapatkan respon di
media sosial, seperti Gambar 8.
Gambar 8 Adegan 2 dalam film The Killers
Ternyata video yang diunggah tersebut,
menjadi inspirasi bagi orang lain untuk melakukan
pembunuhan serupa. Sehingga penonton tayangan
yang diunngah tersebut menikmati detik-detik
seseorang menuju kematian.
Sehingga dari produk Film The Killers tersebut
ditemukan, bahwa kematian tak lagi menjadi
seseuatu yang menakutkan untuk disaksikan. Akan
tetapi kematian justru menjadi tontonan yang tak
lagi menakutkan, namun dapat dikonsumsi, sekaligus
menjadi isnpirasi bagi penontonnya untuk melakukan
hal serupa. Guna menelusuri makna kematian dalam
kedua produk budaya populer pada penelitian ini, cara
kedua dari tiga cara Barthes mengenai bekerjanya
tanda dalam tatanan kedua adalah Mitos. Istilah atau
terminologi mitos yang kini populer, sebenarnya
tidaklah sama dengan yang disebutkan Barthes.
Bahkan John Fiske sempat mengeluhkan penggunaan
istilah Mitos ini oleh Barthes: “Saya berharap Barthes
(1973) tak menggunakan istilah ini, karena biasanya
mitos mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru
: “Itulah mitos tentang …,” atau “mitosnya, Inggris
masih menjadi salah satu kekuatan utama dunia.”
Pemakaian yang biasa itu adalah penggunaan katakata oleh orang-orang yang tak percaya.” (Fiske,
2004: 120-121)
180
3. Altobeli (Komu).indd 180
25/02/2016 13:58:19
Altobeli Lobodally, Analisis Semiotika Mengenai Kematian Dalam Iklan San Diego Hills ...
Namun mitos yang dimaksud oleh Barthes
disini adalah dalam istilah seseorang yang percaya,
dan digunakan dalam artian yang orisinal. Mitos
merupakan cerita yang digunakan suatu kebudayaan
untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek
dari realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan
cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu,
cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami
sesuatu. Sehingga analisa yang muncul dalam tatanan
kedua yang dijabarkan sebagai mitos oleh Barthes,
merupakan konsep pandangan sebuah kebudayaan
mengenai kematian. Melalui analisa ini, akan tampak
bagaimana perbedaan pergeseran yang nyata dari
konsep kematian. Melalui analisa ini pula, akan
semakin tampak bagaimana makna kematian dalam
kedua produk budaya populer tersebut.
Jika menelusuri sejumlah penelitian, ditemukan
sejumlah makna kematian dalam kebudayaan kita.
Dalam sejumlah penelitian kematian, dapat dimaknai
secara berbeda. Aidh Abdullah Al Qami, menyebutkan
kematian sebagai sebuah proses menuju kematian itu
sesuatu yang sangat menyakitkan yang mana orangorang yang baru merasakan terkadang baru menyadari
betapa tersiksanya dan betapa sangat menyakitkan
sekali kematian itu. (Al Qami, 2002: 10). Sehingga
kematian dipandang sebagai sebuah fenomena yang
menakutkan, karena siksaan saat proses menuju
kematian maupun setelah kematian terjadi.
Sedangkan Mathin Kusuma Wijaya, dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa kematian itu
sebagai suatu awal babak baru dari kehidupan abadi
di akhirat kelak. Kematian juga disebutnya sebagai
proses dari penyucian diri dari segala akibat perbuatan
manusia ketika sedang menjalani kehidupan di dunia.
(Wijaya, 2009: 4).
Secara rinci, dalam penelitiannya mengenai
makna kematiannya Wijaya menemukan bahwa:
“Kematian adalah berpisahnya roh dari tubuh dan
dikeluarkannya jiwa dari badan dan kemudian
dipalingkan dari alam indra dan dihadapkan kepada
Allah SWT, dalam keadaan yang tidak tentu waktu,
sedangkan tubuh dalam kesehatan yang sempurna
dan anggota tubuh dalam keadaan yang sempurna,
roh meninggalkan tubuh tanpa sebab apapun, kecuali
kehendak Allah telah lebih dahulu menetapkan suatu
ketetapan yang pasti berlaku yaitu kematian orang
yang di diami oleh roh itu. Manusia berasal dari
Allah Swt dalam keadaan Suci kemudian kembali
kepadanya mestinya dalam keadaan Suci. Proses
penyucian terjadi tiga kali karena besarnya kasih
sayang Allah Swt, Manusia diberi peluang oleh-Nya
dalam tiga Episode kehidupan, pertama; didunia ini,
kedua; di alam barzakh, dan ketiga; di alam akhirat.
(Wijaya, 2009: 74)
Sedangkan dalam penelusuran melalui
penelitian terhadap kedua produk budaya populer
yang disuguhkan dalam penelitian ini, penulis
menemukan bahwa kematian merupakan realitas yang
tak lagi menyeramkan. Sementara dalam sejumlah
mitos yang ditemukan kematian dianggap merupakan
sesuatu yang menyeramkan dan ditakutkan oleh
manusia. Kondisi menyeramkan itu mengingat
kematian dianggap sebagai sebuah realitas sosial
yang sejatinya merupakan proses untuk menunju
keabadaian. Sedangkan proses menuju keabadaian
atau yang juga dikenal sebagai proses penyucian diti
tersebut, dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan
manusia, karena kehidupannya di dunia jauh dari
kesucian. Dalam produk budaya populer baik iklan
San Diego Hills maupun Film The Killer, terjadi
pergeseran akan pemaknaan kematian. Kematian
ditunjukkan sebagai sebuah simbolisasi menunjukkan
kelas sosial tertentu, dengan mempersiapkan makam
bagi kehidupan kekal tersebut. Kematian juga menjadi
sebuah tontonan menarik yang dapat dipertukarkan
dalam lingkup media sosial.
IV. SIMPULAN
Melalui penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
makna kematian kini telah mengalami pergeseran
dalam dua buah produk budaya popular. Jika
sebelumnya kematian dapat dipahmai sebagai
sebuah fenomena yang menakutkan, sebauah proses
penyucian diri yang menyakitkan, sedangkan dalam
kedua buah produk budaya popular yang disajikan
dalam penelitian ini, terjadi pergeseran yang cukup
signifikan. Dalam Iklan San Diego Hills Memorial
Park dan Film The Killers, kematian dapat dimaknai
sebagai sebuah simbolisasi kelas sosial, sekaligus
pengukuhan bagi kelas atas. Disamping itu, kemataian
kini juga dipandang sebagai sebuah tontonon yang
menarik dan tak lagi menakutkan.
Sehingga jelas bahwa kematian tak lebih
hanyalah sebuah produk budaya populer yang
merupakan bentuk kreativitas para produsen pesan.
Pergeseran makna dari proses kematian menuju
keabadian menjadi simbolisasi kelas sosial tertentu
dan juga sebuah tontonan, adalah sebuah kemasan
budaya populer semata. Tentu saja hal tersebut
merupakan celah bagi para produsen pesan untuk
mencari keuntungan. Sehingga kematian adalah
peluang bisnis sekaligus upaya persembahan bagi
kaum kapitalis.
181
3. Altobeli (Komu).indd 181
25/02/2016 13:58:20
Kalbisocio,Volume 2 No.2 Agustus 2015
Sehingga jika dikembalikan kepada fungsi
dasar film sebagai sebuah medium komunikasi massa
yang seharusnya juga memiliki edukasi, informasi
dan transformasi nilai, kini telah ‘larut’ dalam
sebuah upeti bagi para penguasa. Film telah menjadi
agen katalisator untuk mereduksi nilai-nilai edukasi
maupun informasi bagi kaum kapitalis. Sehingga
menjadi hal yang lumrah saat seluruh nilai-nilai
adi luhung yang diemban oleh film bertranformasi
menjadi sebuah produk budaya popular yang mampu
mempersembahkan keuntungan.
Tak berbeda dengan iklan. Sebagai sebuah
produk komunikasi yang merupakan medan makna,
iklan kini tak lagi menjadi agen representasi informasi
maupun guru terhadap nilai-nilai positif. Iklan, kini
hanya dipandang sebagai sebuah simulasi medan
makna persembahan bagi para pencari keuntungan.
Kreator iklan kini telah berupaya mereduksi ideide kreatif sebatas hanya sebagai persembahan
keuntungan semata, tanpa mempedulikan transformasi
nilai yang terjadi.
(2011). Media, Culture and Society: An
Introduction. London - New York: Sage.
Ida, R. (2014). Metode Penelitian : Studi Media dan Kajian
Budaya , Jakarta: Kencana
Judith W. (2007). Decoding Advertisements, Yogyakarta:
Jalasutra.
Jaiz, M. (2014). Dasar-Dasar Periklanan, Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Mulyana, D. (2002). Metode Penelitian Kualitatif: Bandung:
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial
Lainnya. PT. Remaja Rosda Karya
Nawiroh, V. (2014). Semiotika Dalam Riset Komunikasi,
Bogor: Ghalia Indonesia.
Nugroho, G. et al. (2015). Film Indonesia: Krisis dan Pardoks.
Jakarta: Kompas Penerbit Buku.
Phan, P. C. (1994). 101 Tanya Jawab tentang Kematian dan
Kehidpan Kekal, Yogyakarta: Kanisius.
Priyo dan Kelompok Kerja Peduli Pemberdayaan Perempuan,
(2004). Telaah Kritis, Potret Perempuan di Media
Massa, Jakarta: Primamedia Pustaka.
Rendra W. (2006). Pengantar Periklanan., Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher.
V. DAFTAR RUJUKAN
Al-Qarni, Abdullah , A. I. (2002). Drama Kematian Persiapan
Menyongsong Akhirat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Barker, C. (2012). Cultural Studies : Theory and Practices 4th
Ed, London: Sage Publication
Berger, A. A. (2000). Media Analysis Techniques; Teknikteknik analisis media, edisi kedua terjemahan,
Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Budiman, K. (1999). Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS.
Danesi, M. (2012), Pesan Tanda dan Makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
Fiske, J. (2004), Culural and Communication
Hodkinson, P.
Studies.
Yogyakarta: Jalasutra.
Hall, S. (1997). The Work of Representation, 1997 , London:
Sage Publication, h. 6
Hall , S. (1982). “The Rediscoveryof Ideology: return of the
Sudibyo et al. (2008). Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka
Agama di Media Massa, Jakarta: Institut Studi Arus
Informasi.
Subandy et. al. (2014). Komunikasi dan Komodifikasi:
Mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika
Globalisasi, Jakarta: Yayasan Obor.
Sobur, A. (2009). Analisis Teks Media. Bandung : PT Remaja
Rosda Karya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online] Diakses pada
tanggal 16 Januari 2015. Pukul 14:25 dari http://kbbi.
web.id.
Psikologi Kematian. [Online] Diakses pada tanggal 16
Januari 2015 dari http://www.academia.edu/9115108/
psikologi_kematian
Wijaya, M. K. (2009). Makna Kematian dalam pandangan
Jalaluddin Rakhmat, Yogyakarta
Repressed in Media Studies” dalam M. Gurevitch,
T. Bennet, J.Curran dan J. Wollacot (eds), Culture,
Socitey and the Media. London - New York: Methuen.
182
3. Altobeli (Komu).indd 182
25/02/2016 13:58:20
Download