PRESENTASI KASUS RS.FATMAWATI Disusun Oleh Adistra Imam

advertisement
PRESENTASI KASUS RS.FATMAWATI
Disusun Oleh
Adistra Imam Tri Wahyu Hadi Satjakusumah
Aino Auerkari
Faradila Ramadian
Shalista Feniza Hasny
Miratasya Zulkarnaen
Ria Ramadhani
Lidya Kencana
Narasumber:
dr. Dedy Rahmat, Sp.A
BAB I
ILUSTRASI KASUS
1.1. Identitas Pasien
Nama
: An. PD
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Cikupa, Tangerang
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 22 oktober 2010
Usia
: 1 tahun 3 bulan
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Masuk IGD RSF
: 5 Februari 2011
No. Rekam Medik
: 01070009
1.2. Identitas Orang Tua Pasien
Ayah
Nama
: Tn. B
Umur
: 29 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Penghasilan
:-
Suku
: Jawa
Ibu
Nama
: Ny. F
Umur
: 29 tahun
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Suku
: Jawa
1.3. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan nenek pasien pada
tanggal 6 Februari 2012.
Keluhan Utama
Sesak nafas yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang
Saat 1 bulan SMRS ibu pasien mengeluhkan pasien batuk namun tidak
terlalu sering, batuk dikatakan berdahak namun dahak tidak dapat dikeluarkan,
riwayat demam, batuk yang terus menerus diselingi “whoop” atau seperti tersedak
dan sesak napas disangkal. Batuk tidak dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan
lingkungan (misalnya debu), keluhan suara napas “ngik – ngik” disangkal,
keluhan alergi sebelumnya disangkal. Pasien kemudian berobat ke Puskesmas
setempat, sempat menjalani tes mantoux dan hasilnya dikatakan negatif.
Penurunan berat badan disangkal. Riwayat orang dewasa di keluarga yang
menderita sakit paru atau pernah mengalami pengobatan TB disangkal.
Sejak 3 hari SMRS pasien mengalami demam tinggi, suhu 38 ºC, demam
dirasakan sepanjang hari, dan tidak diberi obat penurun panas. Pasien pun menjadi
rewel, menangis terus-menerus, dan sulit makan. Keluhan batuk juga dirasa
muncul saat itu, dahak sulit keluar. Terdapat juga keluhan hidung tersumbat pada
pasien, ingus pasien sulit untuk dikeluarkan. Terdapat juga keluhan sesak pada
pasien, pernapasan pasien terasa lebih cepat, terlihat adanya kulit yang tertarik ke
dalam pada bagian tengah leher setiap kali pasien menarik napas, dan mulai
terdengar suara “grok-grok” setiap kali pasien menarik napas, suara napas “ngik”
disangkal. Keluhan perubahan pola buang air kecil dan buang air besar disangkal.
Keluhan muntah, diare, kejang, keluar cairan dari telinga disangkal. Pasien terlihat
semakin sesak dan segera dibawa berobat ke RS Fatmawati.
Riwayat Sebelumnya yang Berkaitan dengan Penyakit Sekarang
Riwayat keluhan serupa, riwayat menjalani perawatan RS, riwayat alergi
obat dan makanan, riwayat pengobatan TB disangkal
Riwayat Penyakit dalam Keluarga/Lingkungan yang ada hubungan dengan
Penyakit Sekarang
Riwayat keluhan serupa di keluarga, asma, alergi, sakit TB/flek paru, dan
batuk lama disangkal.
Riwayat Kehamilan
Riwayat obstetrik ibu adalah G2P2A0. Usia ibu saat sedang hamil pasien
adalah 27 tahun. Riwayat sakit selama masa kehamilan (-), jatuh (-), konsumsi
alkohol (-), rokok (-), obat-obatan (-). Pasien kontrol teratur tiap bulan ke bidan
spesialis kandungan dan dikatakan kandungannya tidak ada masalah.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir dengan berat lahir 3000 gram, panjang lahir 49 cm, lingkar
kepala tidak ingat. Pasien lahir di rumah bidan dibantu oleh bidan, saat itu
persalinan spontan, tidak ada komplikasi saat persalinan. Pasien langsung
menangis saat lahir, tidak tampak kuning, biru pada bibir dan tangan (-).
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pasien dapet tengkurap pada usia 6 bulan. Pasien dapat duduk saat usia 7
bulan, berdiri pada usia 11 bulan. Saat ini pasien baru bisa berjalan. Selama ini
tidak pernah ada penurunan berat badan.
Riwayat Nutrisi
Sejak lahir, pasien mendapat ASI dan susu formula karena menurut nenek
pasien ASI hanya sedikit keluar. Usia 6 bulan pasien mulai mendapatkan bubur
susu. Saat ini pasien sudah dapat makan nasi tim dan mulai memakan makanan
keluarga.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar kesan lengkap. Pasien terakhir mendapat imunisasi
campak pada usia 9 bulan.
1.4. Pemeriksaan Fisis (Bangsal Anak Teratai, 6-2-2012)
Status Generalis
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda vital
Frekuensi nadi
: 100 kali/menit
Frekuensi nafas : 72 kali/menit
Tekanan darah
:Suhu tubuh
: 38,60 C
Pemeriksaan Sistematis
Data Antopometri
Berat badan
: 9 kg
Tinggi badan
: 75 cm
Lingkar kepala : 46 cm (normosefal)
Menurut kurva WHO: BB/U = z score berada antara 0 dan -2
TB/U = z score berada antara 0 dan -2
BB/TB = z score berada antara 0 dan -1
Kesan: Gizi cukup, perawakan normal, normosefal
Pemeriksaan Sistematis
Kepala
: Normocephal, tidak ada deformitas
Kulit
: Kulit pucat (-), ikterik (-), turgor kulit baik, petekie (-)
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/), pupil isokor,
RCL (+/+), RCTL (+/+)
Telinga
: Aurikula hiperemis (-), sekret (-); liang telinga hiperemis (), sekret (-), serumen (+) minimal; membran timpani intak
Hidung
: Deformitas (-), sekret (-), pernapasan cuping hidung (+)
Bibir
: Mukosa bibir lembab, pucat (-), sianosis (-)
Mulut
: Mukosa basah, sianosis (-) gigi (-)
Lidah
: Berwarna kemerahan, basah, atrofi papil (-), tremor (-),
coated tounge (-), oral thrush (-)
Tenggorokan
: Tonsil T1-T1, uvula di tengah tidak hiperemis, arkus faring
simetris
Leher
: Trakea di tengah, massa (-), pembesaran KGB (-), retraksi
suprasternal notch (+)
Dada
: Retraksi m. Intercostalis (+), retraksi substernal/chest
indrawing (+)
: Pengembangan dada normal, simetris statis-dinamis,
vesikuler (+/+), ronkhi (+/+) basah halus pada seluruh
lapang paru, wheezing (-/-), pemanjangan ekspirasi (-/-)
: Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
: I: Datar, simetris, venektasi (-), retraksi epigastrum (+)
P: Lemas, nyeri tekan (-), hati dan limpa tidak teraba,
ballotement (-)
P : Timpani
Paru
Jantung
Abdomen
A : Bising usus normal, frekuensi 7 kali/menit
: Tidak teraba pembesaran KGB regio colli, axila, oksipital,
retroaurikuler, servikal, supraklavikula dan inguinal.
: Akral hangat, edema (-), paresis (-), CRT < 2 detik, aktif
KGB
Ekstremitas
bergerak
1.5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium:
Nama Test
5/2/2012
Nilai Rujukan
Hemoglobin
10,8
10,5 – 12,8
Hematokrit
34
35-43
Jumlah Trombosit
295.000
150.000 - 440.000
Jumlah Leukosit
15.500
6.000-17.500
4,28
3.60 - 5.20
MCV/VER
79
74.0 - 102.0
MCH/HER
25,2
23.0 - 31.0
MCHC/KHER
33
32 - 36
SGOT
71
0-34
SGPT
15
0-40
Ureum
13
20-40
kreatinin
0,4
0,6-1,5
GDS
164
60-100
Eritrosit
Pemeriksaan Rontgent Thoraks AP (IGD RSF, 5-2-2012)

Tampak infiltrat pada mediastinum bilateral, parahiler bilateral dan
parakardial
Kesimpulan: Sesuai dengan gambaran bronkopneumonia
1.6. Diagnosis
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut ec. Bronkopneumonia
1.7. Tata Laksana
1) Oksigen 1 lpm nasal kanul
2) IVFD KaEN 1B + KCl 10 meq 900 ml/24 jam (38tpm)
3) Ampicilin 4x225 mg
4) Kloramfenikol 4x175 mg
5) Paracetamol drops 3 x 100 mg
6) Inhalasi ventolin, NaCl 0,9%, dan bisolvon
1.8. Prognosis
Quo ad vitam
: Bonam
Qua ad sanactionam
: Dubia ad bonam
Qua ad functionam
: Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sesak Napas
2.1.1. Definisi
Sesak napas (dispnea) adalah sensasi tidak normal yang tidak nyaman
pada saat bernapas.1 Sensasi tersebut bersifat sangat subjektif, bergantung kepada
karakteristik individu masing, sehingga dapat menimbulkan derajat manifestasi
klinis yang berbeda-beda.
2.1.2. Patofisiologi
Mekanisme pasti terjadinya sesak napas sampai saat ini belum diketahui
secara pasti.1,2,3 Diduga ada beberapa hal yang berperan dalam patogenesis
terjadinya sesak napas. Hal-hal tersebut akan di bahas di bawah ini.
2.1.2.1 Kemoreseptor
Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh
kemoreseptor sentral dan perifer. Stimulasi reseptor ini mengakibatkan
peningkatan aktivitas motorik respirasi. Aktivitas motorik respirasi ini dapat
menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia, sehingga memicu terjadinya dispnea.
Menurut studi, terdapat pula peran serta kemoreseptor karotid yang langsung
memberikan impuls ke korteks serebri, meskipun hal ini belum dibuktikan secara
luas.2
Hiperkapnia akut yang terjadi pada seseorang sesungguhnya lebih
dikaitkan terhadap ketidaknormalan keluaran saraf motorik dibanding aktivitas
otot respiratorik. Hal ini disebabkan gejala umum hiperapnia akut berupa urgensi
untuk bernapas yang sangat menonjol. Sensasi ini disebabkan oleh meningkatnya
tekanan parsial karbondioksida pada pasien-pasien, khususnya pada pasien yang
mengalami kuadriplegia ataupun paralisis otot pernapasan. Pada penderita
sindrom hipoventilasi sentral kongenital yang mengalami desensitisasi, respons
ventilatorik terhadap CO2 tidak merasakan sensasi sesak napas, ketika penderita
tersebut menghentikan napas atau diminta untuk menghirup kembali CO2 yang
telah dihembuskan. Dengan kata lain, mekanisme yang turut serta dalam sensasi
sesak napas ini adalah kenaikan pCO2 dan penurunan pO2 dibawah normal. Ketika
nilai pCO2 normal dan ventilasi normal, tekanan parsial oksigen harus diturunkan
di bawah 6.7 kPa untuk bisa menghasilkan sensasi sesak napas.2
Hiperkapnia
Kemoreseptor pada umumnya bukan merupakan penyebab langsung
terjadinya dispnea. Namun, dispnea yang diinduksi oleh kemoreseptor biasanya
merupakan penyebab dari stimulus lain, seperti hiperkapnia. Hiperkapnia dapat
menginduksi terjadinya dispnea melalui peningkatan stimulus refleks ke aktivitas
otot-otot respiratorik. Pada pasien-pasien yang diberikan agen blokade
neuromuskular,
ketika
mereka
diberikan
ventilator
dan
tekanan
tidal
CO2 dinaikkan sebanyak 5 mmHg, seluruh subjek spontan merasakan sensasi
sesak napas. Namun, pada pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik pada
umumnya, terkadang dijumpai ketidakterkaitan antara hiperkapnia dan dispnea.
Contohnya, pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang biasanya
mengakami hiperkapnia kronik, tidak selalu mengalami dispnea. Menurut suatu
studi, hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan parsial karbondioksida
tersebut dimodulasi oleh perubahan pH pada kemoreseptor sentral, sehingga
sensasi yang dihasilkan berbeda pula.3
Hipoksia
Hipoksia berkaitan dengan kejadian dispnea baik secara langsung
(indepenen, tidak harus ada perubahan ventilasi) maupun tidak langsung
(perubahan kondisi hipoksia dengan terapi oksigen mampu membuat keadaan
penderita sesak napas membaik). Namun, hubungan antara hipoksia dengan
dispnea tidak absolut; beberapa pasien dengan dispnea tidak mengalami hipoksia,
begitu pula sebaliknya.3
2.1.2.2. Metaboreseptor
Metaboreseptor terutama terdapat pada otot rangka. Aktivitasnya biasanya
diinduksi oleh produk akhir metabolisme. Metaboreseptor ini dapat merupakan
sumber sinyal aferen yang berakibat pada persepsi sesak napas ketika berolahraga.
Ketika seseorang berolahraga berat, jarang sekali ditemui kondisi hipoksemia
maupun hiperkapnia, namun kecenderungan untuk mengalami gejala sesak napas
cenderung tinggi. Lebih-lebih, perubahan pH darah tidak terlalu signifikan di
awal-awal latihan. Sensasi dispnea tersebut disinyalir berasal dari metaboreseptor
yang ada pada otot rangka. Namun, kondisi detailnya belum terlalu diketahui.2
2.1.2.3. Reseptor Vagal
Terdapat studi yang menyatakan bahwa adanya udara segar yang langsung
dipajankan ke muka atau saluran napas atas dapat menurunkan gejala sesak napas.
Beberapa reseptor dingin ini diinervasi oleh nervus vagus serta berfungsi
memonitor perubahan aliran di saluran napas atas dengan mendeteksi perubahan
temperaturnya. Ada setidaknya empat atau lima tipe-tipe reseptor pernapasan
selain reseptor tersebut yang diinervasi nervus vagus. Reseptor-reseptor ini
disinyalir mampu menimbulkan sensasi dispnea, meskipun mekanismenya sendiri
masih kompleks. Reseptor-reseptor utaanya adalah Slowly Adapting Stretch
Receptors (SARS), Rapidly Adapting Stretch Receptors (RARs), dan Reseptor
Serat-C.2
2.1.2.4. Reseptor Dinding Dada
Sinyal aferen dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut
ke otak dan dapat menyebabkan dispnea. Sebagai contoh, sinyal aferen dari otot
interkostal (grup I, II, atau keduanya) memiliki jaras langsung ke korteks
serebral.2
Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle spindle. Aktivasi ini dapat
menginduksi sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari kelompok otot interkostalis
dinilai penting dalam timbulnya sensasi dispnea ini. Aferen nervus frenikus juga
terbukti mampu memodulasi aktivitas diafragma. Aktivitas ini mempengaruhi
propriosepsi respiratorik dan memicu dispnea.2
2.1.2.5. Jaras Dispnea
Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf
dispnea, dan mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun,
diketahui bahwa aktivitas aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal berlanjut
ke batang otak, kemudian ke area talamus. Dispnea dibuktikan mengaktivasi
beberapa area di otak, seperti insula kanan anterior, vermis serebelum, amygdala,
korteks singulum anterior, dan korteks singulum posterior. Area ini juga
diaktifkan oleh sensasi nyeri dan stimulasi tidak menyenangkan lainnya (haus,
mual).2
2.1.2.6. Perintah Motorik dan Central Corollary Discharge
Sensasi dispnea menunjukkan kesadaran seseorang untuk mengubah
aktivitas motorik respirasinya. Ketika batang otak atau korteks motorik mengirim
perintah eferen ke otot-otot ventilator, beberapa jaras juga disambungkan ke
korteks sensorik. Hubungan ini yang disebut central corollary discharge.
Akibatnya, kesadaran penuh untuk usaha ekstra bernapas timbul.
Gambar 1. Central Corollary Discharge
2.1.2.7. Konsep Afferent Mismatch
Disosiasi antara amplitudo output motorik dan input sensorik dari
mekanoreseptor perifer dapat menyebabkan atau memperparah kondisi dispnea.
Sebagai
contoh,
ketika
kita
merasakan
sensasi
sesak
napas,
seperti
mekanisme central corollary discharge sebelumnya, kita akan merespon dengan
usaha sadar tambahan untuk menarik napas. Usaha tambahan ini justru mampu
memperparah dispnea dengan menambah sensasi ketidaknyamanan bernapas,
sementara otot-otot ventilator melemah akibat peningkatan beban mekanik. 2,4
Lebih lanjut, Campbell dan Howell menyatakan bahwa ketidakseimbangan
antara ketegangan otot respiratorik memicu dispnea. Ketidakseimbangan itu dapat
dipicu oleh mekanisme neurofisiologik tertentu. Dalam keadaan normal, terdapat
hubungan yang seimbang antara kekuatan otot respiratorik dengan volume udara
yang masuk. Namun, akibat adanya dispnea, tidak terjadi balance atara aliran
udara yang masuk dengan usaha yang diberikan oleh otot-otot dada. Namun,
dispnea tidak semata-mata disebabkan oleh kelainan dari kerja otot dinding dada
(dalam kasus hiperkapnia, sesoerang juga mampu mengalami sensasi dispnea
dengan adanya tambahan agen blokade neuromuskular). Konsep dari Campbell
dan Howell tadi akhirnya disempurnakan, sehingga dispnea dinilai merupakan
akibat dari disosiasi sinyal motorik ke otot pernapasan dan informasi aferen yang
didapatkan. Konsep ini dinamakan disosiasi neuromekanik.2,4
2.1.2.8. Dispnea Pada Penyakit Tertentu
Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea
tidak spesifik terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang dibutuhkan
untuk bisa menimbulkan sensasi dispnea pada penyakit-penyakit tersebut.
Pengetahuan mengenai patofisiologi yang mendasari penyakit-penyakit (seperti
asma, PPOK) menjadi dasar hipotesis mekanisme dispnea pada penyakit ini.3
Pada asma, beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha yang
dibutuhkan untuk melawan resistensi aliran napas akibat bronkokonstriksi juga
meningkat. Ketika terjadi hiperinflasi, otot inspirasi menjadi memendek. Kejadian
ini mampu mengubah radius kurvatura diafragma, sehingga terjadi mechanical
disadvantage.
Akibatnya,
dibutuhkan
usaha
tambahan
untuk
mencapai threshold agar terjadi inspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Pada
asma, sensasi dispnea juga diperkirakan berasal dari stimulasi reseptor vagal.3
Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti myastenia gravis, dibutuhkan
usaha yang lebih besar untuk memberikan neural drive agar otot-otot respirasi
yang melemah terstimulasi. Output neuromotor yang meningkat ini, melalui
jalur central corollary discharge, dirasakan sebagai peningkatan efek respiratorik.
Akibatnya, terjadi dispnea.3
Pada pasien PPOK, reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor
berkontribusi terhadap patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau
hiperkapnia pada PPOK juga menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada
penderita penyakit dengan kelainan dinamika pernapasan, kompresi mekanik
tersebut dapat dideteksi oleh serabut aferen vagus.3
Pasien-pasien yang menerima terapi ventilasi mekanik biasanya sesak
napas meskipun kerja otot pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi
merupakan peningkatan tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan
kebutuhan tidal pasien.3
Pada kasus emboli paru, ketidakseimbangan mekanika respirasi atau
pertukaran gas menjadi patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala. Pada
laporan kasus, dispnea yang terjadi pada pasien emboli paru mampu diobati
dengan lisis bekuan darah. Kemungkinan yang paling kuat, reseptor tekanan di
pembuluh darah pulmoner atau atrium kanan serta serabut C di pembuluh paru
memediasi sensasi tersebut.3
Gambar 2. Patofisiologi sesak napas/dispnea
2.1.3. Sesak Napas pada Anak
Sesak napas merupakan salah satu masalah yang sering ditemui pada anak.
Pada anak yang sudah lebih besar dan berusia diatas 5 tahun, biasanya keluhan ini
dapat dengan mudah ditemukan. Akan tetapi, pada bayi dan anak yang berusia di
bawah 5 tahun, terkadang msalah ini sering kali terlewatkan. Oleh karena itu,
selain anamnesis yang cermat dengan orang tua atau pengurusnya, perlu dikenali
berbagai tanda khas pada anak yang berkaitan dengan sesak napas.
Pada pemeriksaan fisik biasanya dapat ditemukan adanya sianosis sentral,
pernapasan cuping hidung, merintih, wheezing, stridor, kepala yang teranggukangguk (sesuai dengan inspirasi), peningkatan tekanan vena jugularis, dan telapak
tangan yang pucat. Selain itu, dapat ditemukan adanya peningkatan frekuensi
pernapasan.5
Umur
Pernapasan
< 2 bulan
≥ 60 kali
2- 11 bulan
≥ 50 kali
1-5 tahun
≥ 40 kali
≥ 5 tahun
≥ 30 kali
Tabel 1. Kategori pernapasan cepat berdasarkan usia anak5
Pada pemeriksaan dada dapat ditemukan adanya tarikan dinding dada ke
dalam (chest indrawing), penggunaan otot-otot bantu pernapasan, denyut apeks
bergeser dari garis tengah, adanya ronkhi atau suara napas bronkial pada
auskultasi paru, irama gallop pada auskultasi jantung, dan berbagai tanda lainnya
yang bergantung pada penyakit yang mendasarinya.5,6
Gambar 3. Pendekatan diagnosis sesak napas pada anak
2.2. Pneumonia
2.2.1. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang terjadi pada jaringan parenkim paru.
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Akan tetapi,
ada penyebab noninfeksius, seperti aspirasi, benda asing, hidrokarbon, dan lainlain.7,8
2.2.2. Epidemiologi
Pneumonia menduduki peringkat pertama sebagai penyebab morbiditas
dan mortalitas tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun (balita).7,8
Setiap tahunnya, diperkirakan seperlima kematian anak di seluruh dunia atau
sekitar 2 juta anak balita meninggal akibat pneumonia. Di Indonesia sendiri,
berdasarkan survey kesehatan nasional (SKN) tahun 2001, diperkirakan terdapat
27,6 % kematian bayi dan 22,8 % kematian balita yang disebabkan oleh penyakit
respiratorik, terutama pneumonia.8
Gambar 4. Prevalensi pneumonia dan penyakit lainnya yang memilki angka mortalitas
tinggi pada anak
2.2.3. Etiologi
Faktor usia memegang peranan penting dalam menentukan kuman
penyebab pneumonia. Pada neonatus dan bayi kecil, etiologi pneumonia yang
lazim ditemukan adalah Streptococus grup B dan bakteri gram negatif, seperti E.
Coli, Pseudomonas Sp, dan Klebsiella sp. Sementara itu, pada bayi yang lebih
besar dan anak balita, bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah
Streptococus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B, dan Staphylococus
aureus. Pada anak yang lebih besar dan remaja, sering juga ditemukan
Mycoplasma pneumoniae, selain bakteri-bakteri yang disebutkan sebelumnya.8
Pada
anak
dengan
infeksi
HIV,
pneumonia
sering
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis, mycobacterium atipikal, Salmonella, Escherichia
coli, dan Pneumocystis jirovecii.7
Terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita, yaitu pneumonia pada masa bayi, berat
lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat,
malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya jumlah kolonisasi bakteri patogen di
nasofaring, dan tingginya pajanan polusi udara.8
Virus juga merupakan penyebab utama infeksi saluran napas bawah pada
bayi dan anak berusia < 5 tahun. Kejadian pneumonia viral paling tinggi pada di
antara usia 2 dan 3 tahun, kemudian menurun seiring bertambahnya usia. Virus
yang paling sering menyebabkan pneumonia adalah virus influenza dan
respiratory syncytial virus (RSV), terutama pada anak berusia < 3 tahun. Virus
lain yang menjadi penyebab tersering pnemonia adalah virus parainfluenza,
adenovirus, rhinovirus, dan metapneumoniavirus. Usia pasien dapat memberikan
gambaran penyebab pneumonia.7
Kelompok usia
Patogen tersering
Neonatus (< 1 bulan)
Streptococcus grup B, Escherichia coli, bakteri Gram negatif lain,
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae
1 - 3 bulan
Febril
RSV, virus respiratorik lain, S. pneumoniae, H. influenzae
Afebril
Chlamydia
trachomatis,
Mycoplasma
hominis,
Ureaplasma
urealyticum, CMV
3 - 12 bulan
RSV, virus respiratorik lain, S. pneumoniae, H. influenzae, C.
trachomatis, Mycoplasma pnaumoniae, streptococcus grup A
2 – 5 tahun
Virus respiratorik, S. pneumoniae, H. influenzae, M. pneumoniae,
Chlamydophila pneumoniae, S. aureus, streptococcus grup A
5 – 18 tahun
M. pneumoniae, S. pneumoniae, C. pneumoniae, H. infuenzae,
virus influenza, adenovirus
> 18 tahun
M. pneumoniae, S. pneumoniae, C. pneumoniae, H. infuenzae,
virus influenza, adenovirus, Legionella pneumophila
Tabel 1. Etiologi pneumonia berdasarkan usia
2.2.4. Patogenesis
Saluran napas bawah dijaga tetap steril dengan mekanisme pertahanan
fisiologis, termasuk klirens mukosiliar, kandungan sekresi normal, seperti
imunoglobulin A (IgA), dan
pembersihan saluran napas dengan batuk.
Mekanisme pertahanan imunologis paru yang membatasi invasi organisme
patogen adalah melalui makrofag yang ada di alveolus dan bronkiolus, IgA
sekretori, dan imunoglobulin lain.8
Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang
terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan sitemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin
dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini
disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di
alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi.8
Pneumonia viral biasanya disebabkan oleh penyebaran infeksi sepanjang
saluran
napas,
disertai
kerusakan
langsung
pada
epitel
respiratorik,
mengakibatkan obstruksi jalan napas karena edema, sekresi abnormal, dan debris
selular. Ukuran saluran napas yang kecil pada anak kecil menyebabkan rentan
terkena infeksi berat. Atelektasis, edema interstisial, dan mismatch ventilasiperfusi yang menyebabkan hipoksemia sering menyertai obstruksi jalan napas.
Infeksi virus juga dapat mengakibatkan infeksi bakteri sekunder karena
mengganggu mekanisme pertahanan normal tubuh, mengubah sekresi, dan
mengubah flora bakteri.8
Proses patologis dari penumonia bakterial tergantung dari jenis patogen.
M.
pneumoniae
menempel
pada
epitel,
menghambat
kerja
silia,
dan
mengakibatkan destruksi sel dan respon inflamasi di lapisan submukosa. Ketika
infeksi berlanjut, pengumpulan debris sel, sel inflamasi, dan mukus akan
mengobstruksi saluran napas, dengan penyebaran infeksi sepanjang pohon
bronkial, seperti pada pneumonia viral.8
S. pneumoniae menyebabkan edema lokal yang turut membantu proliferasi
bakteri dan penyebarannya ke bagian paru sekitar, yang mengakibatkan
pneumonia lobaris.8
Streptococcus grup A mengakibatkan infeksi yang difus dengan
pneumonia interstisial. Secara patologis, terjadi nekrosis mukosa trakeobronkial,
pembentukan eksudat yang masif, edema, dan perdarahan lokal, dengan ekstensi
ke septum interalveolar, dan keterlibatan pembuluh limfa dan kemungkinan yang
lebih besar melibatkan pleura.8
2.2.5. Manifestasi Klinis
Pneumonia bakterial dan viral sering diawali dengan gejala infeksi saluran
napas atas, seperti rinitis dan batuk, selama beberapa hari. Pada pneumonia viral,
demam sering ditemukan, dengan temperatur yang lebih rendah dari pneumonia
bakterial. Takipneu merupakan manifestasi klinis yang paling konsisten dari
pneumonia. Peningkatan usaha bernapas terlihat dari retraksi interkosta, subkosta,
dan suprasternal, napas cuping hidung, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
Infeksi berat dapat disertai sianosis dan kelelahan pernapasan, terutama pada bayi.
Auskultasi dada dapat terdengar ronkhi dan wheezing, tetapi sering sulit
menentukan asal suara napas tambahan ini pada bayi yang masih kecil.
Pneumonia viral seringkali tidak dapat dibedakan secara klinis dari pneumonia
yang disebabkan oleh Mycoplasma dan bakteri lainnya.7,8
Pneumonia bakteri pada dewasa anak yang lebih tua biasanya timbul
secara tiba-tiba dengan menggigil yang diikuti oleh demam tinggi, batuk, dan
nyeri dada. Pada anak yang lebih tua dan remaja, gejala saluran napas atas yang
singkat diikuti dengan demam menggigil yang muncul tiba-tiba disertai dengan
pernapasan yang cepat, batuk kering, ansietas, dan delirium.7,8
Temuan dari pemeriksaan fisik tergantung dari tahap pneumonia. Pada
awal penyakit, dapat ditemukan penurunan suara napas, ronkhi, dan crackles
sering terdengar di daerah paru yang terkena pneumonia. Dengan penambahan
konsolidasi dan komplikasi seperti efusi, empiema, atau pyopneumotoraks,
perkusi yang redup dapat ditemukan dan suara napas menghilang. Nyeri abdomen
biasa ditemukan pada pneumonia di lobus bawah. Hati dapat teraba membesar
karena terdorong oleh diafragma akibat hiperinflasi paru. Kaku kuduk, tanpa
adanya meningitis, dapat ditemukan terutama pada pneumonia lobus kanan atas.8
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada beratringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:7

Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah
atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang

Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3
dengan predominan PMN. Leukopenia menunjukkan prognosis yang buruk.
Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi
bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya
komplikasi lebih tinggi. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan
peningkatan LED yang meningkat. Secara umum, pemeriksaan darah perifer
lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri
secara pasti.8

Uji serologis
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensifitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, untuk
deteksi infeksi virus dan bakteri atipik, peningkatan IgM dan IgG dapat
mengonfirmasi diagnosis.8

Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang
dirawat di RS. Spesimen dapat berasal dari usab tenggorok, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru. Pada anak besar dan remaja, spesimen dapat
berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan Gram maupun kultur.8

Pemeriksaan rontgen toraks
Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan
dengan gambaran klinis. Kadang-kadang bercak-bercak sudah ditemukan
pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi,
resolusi infiltrat membutuhkan waktu lebih lama dari gejala klinis untuk
menghilang. Secara umum, gambaran pneumonia pada foto toraks dapat
berupa:8
-
Infiltrat
interstisial,
ditandai
dengan
peningkatan
corak
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
-
Infiltrat
alveolar,
merupakan
konsolidasi
paru
dengan
air
bronchogram.
-
Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Gambar 5. Gambaran infiltrat interstisial dan bronkopneumonia pada
foto toraks
Gambaran foto rontgen toraks dapat membentuk mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat
interstisial, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus.
Infiltrat alveolar, bronkopneumonia, atau air bronchogram cenderung
mengarah ke pneumonia bakteri.8
2.2.7. Diagnosis
Diagnosis etiologik didasarkan pada pemeriksaan mikrobiologis atau
serologis, tetapi karena tidak selalu mudah dilakukan maka pneumonia pada anak
umumnya
didiagnosis
berdasarkan
gambaran
klinis
yang
menunjukkan
keterlibatan sistem respiratori dan gambaran radiologis. Prediktor paling kuat
adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari 1 gejala respiratori,
yaitu takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas
melemah.8
Perlu diperhatikan adanya tanda bahaya pada anak dengan kecurigaan
pneumonia. Pada anak berumur 2-5 tahun, tanda bahaya dapat berupa tidak dapat
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk. Sementara itu, untuk
anak berusia di bawah 2 bulan, gejalanya dapat berupa malas minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin.8
Berikut ini adalah klasifikasi pneumonia menurut WHO:5,8
1) Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat
-
Ada sesak napas
-
Harus dirawat dan diberikan antibiotik (ampisilin/amoksisilin (25-50
mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24
jam selama 72 jam pertama, selama 5 hari dilanjutkan amoksisilin oral
(15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya. Jika klinis
memberat dapat diberikan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IM atau IV
setiap 8 jam)
b. Pneumonia
-
Tidak ada sesak napas
-
Napas cepat dengan kriteria: > 50 x/menit (2 bulan -1 tahun) atau > 40
x/menit (>1-5 tahun)
-
Tidak perlu dirawat, hanya diberikan antibiotik oral (Kotrimoksasol (4
mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25
mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV
diberikan selama 5 hari)
2) Bukan pneumonia
-
Tidak ada napas cepat dan tidak sesak napas
-
Tidak perlu dirawat, tidak perlu antibiotik, hanya perlu obat penurun
panas
3) Bayi berusia di bawah 2 bulan
a. Pneumonia
-
Bila napas cepat (> 60 x/menit) atau sesak napas
-
Harus dirawat dan diberikan antibiotik (sama dengan tatalaksana
pneumonia pada anak di atas 2 bulan)
b. Bukan pneumonia
-
Tidak ada napas cepat dan tidak sesak napas
-
Tidak perlu dirawat, tidak perlu antibiotik, hanya perlu obat penurun
panas
2.2.8. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat. Indikasi dirawat
terutama berdasarkan pada berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Antipiretik dan analgetik dapat
diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan mengontrol batuk. Nebulisasi
dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucociliary
clearance. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat
menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat
pneumonia berat. Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime. Pemberian
antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat
antibiotik intravena. Sekarang banyak peneliti yang melaporkan resistensi
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae terhadap kloramfenikol
dan ampicilin.8
Pasien dapat dipulangkan apabila9:

Gejala dan tanda pneumonia menghilang

Asupan per oral adekuat

Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah secara per oral

Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol

Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.
3.3 Komplikasi10,11
Komplikasi pneumonia diakibatkan penyebaran langsung infeksi bakteri ke dalam
rongga toraks (efusi pleura, empiema, perikarditis) atau bakteremia dan
penyebaran hematogen seperti maningitis, artritis supuratif dan osteomielitis.
Walaupun komplikasi akibat penyebaran hematogen tersebut jarang terjadi.
BAB III
DISKUSI
3.1. Penegakkan Diagnosis Pasien
Pasien perempuan, An. P, usia 1 tahun 3 bulan, didiagnosis dengan infeksi
saluran pernapasan akut ec. bronkopneumonia. Pada pasien ini ditegakkan
diagnosis bronkopneumonia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis ditemukan adanya gejala umum dan
gejala
repiratorik
yang
khas
pada
pneumonia.
Gejala
umum
dari
bronkopneumonia yang terdapat pada pasien adalah adanya demam dan rewel.
Salah satu penyebab demam yang paling sering pada anak seusia pasien ialah
infeksi saluran pernapasan dan infeksi saluran kemih. Selain demam, pada pasien
juga terdapat keluhan respiratorik yaitu berupa batuk yang semakin memberat,
disertai juga dengan keluhan adanya dahak yang sulit keluar, terdengar suara
“grok-grok” hal ini menandakan adanya produksi mukus dan slam yang berlebih
sehingga mengganggu pasase saluran napas atas setiap kali pasien bernapas.
Selain itu didapatkan juga keluhan sesak napas yang makin memberat sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, hal ini diketahui dari keluhan ibu pasien yang
mengatakan bahwa pernapasan pasien terasa lebih cepat, dan terlihat adanya kulit
yang tertarik ke dalam pada bagian tengah leher setiap kali pasien menarik napas.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat kesulitan dalam bernapas
terutama saat inspirasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan usaha bernapas
(work of breathing), ditandai dengan penggunaan otot bantu pernapasan.
Terdapatnya gejala demam, batuk berdahak serta sesak napas mengarahkan pada
diagnosis bahwa pasien mengalami infeksi saluran pernapasan. Awitan penyakit
yang terjadi pada pasien dalam waktu 3 hari sehingga dapat dikatakan bahwa
infeksi saluran pernapasan yang dialami oleh pasien merupakan infeksi saluran
pernapasan yang bersifat akut. Selain itu dari anamnesis tidak didapatkan gejala
seperti keluar cairan dari telinga atau keluhan BAB dan BAK.
Diagnosis yang dapat dipikirkan berdasarkan adanya keluhan demam,
batuk berdahak serta sesak napas pada pasien antara lain bronkopneumonia dan
bronkiolitis. Kondisi lain yang dapat menyebabkan sesak dapat disingkirkan,
seperti asma, tuberkulosis paru, dan aspirasi benda asing dapat disingkirkan.
Asma disingkirkan karena gejala batuk yang dialami pasien adalah batuk
berdahak dimana asma memberikan gejala batuk kering, tidak terdapatnya bunyi
“ngik – ngik” ketika pasien mengalami sesak, tidak ada waktu spesifik maupun
faktor pemicu sesak napas pada pasien. Tuberkulosis paru juga dapat disingkirkan
atas dasar onset penyakit pasien yang akut dan sebelumnya pasien sudah
melakukan test Mantoux dengan hasil negative, selain itu pasien tidak memiliki
riwayat kontak dengan orang dewasa yang memiliki tuberkulosis paru Kondisi
aspirasi benda asing juga dapat disingkirkan karena tidak terdapat riwayat adanya
tersedak. Oleh karena itu, berdasarkan anamnesis, diagnosis yang masih
dipikirkan adalah bronkopneumonia dan bronkiolitis karena kedua kondisi
tersebut memiliki manifestasi demam, batuk berdahak, dan sesak napas
Pada pemeriksaan fisik di bangsal Teratai pada tanggal 6 Februari 2012
terlihat pasien dalam keadaan tampak sakit sedang dan terlihat sesak, terlihat
adanya napas cuping hidung dan chest indrawing. Dari tanda vital pasien
didapatkan frekuensi napas 72x/menit dengan terdapat retraksi dari suprasternal
notch, intercostae, dan napas cuping hidung, dari pengukuran suhu didapatkan
suhu aksila 38,60 C, dari kesan umum dan pengukuran tanda vital ini dapat
disimpulkan bahwa pasien saat ini dalam keadaan sesak yang ditandai dengan
adanya takipnea dan bantuan dari otot – otot bantu pernapasan dan demam (suhu
aksila > 37,40 C.) Pada pemeriksaan paru didapatkan pengembangan dada normal,
simetris statis-dinamis, suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, terdapat
ronkhi basah halus pada seluruh lapang paru, tidak terdapat wheezing, dan tidak
terdapat pemanjangan ekspirasi. Oleh karena itu, kesan yang menonjol pada
pasien adalah terdapat peningkatan usaha pernapasan terutama pada saat inspirasi
(inspiratory effort), yang merupakan salah satu ciri khas pada pneumonia.
Pada pemeriksaan penunjang foto polos ditemukan adanya infiltrat pada
daerah mediastinum bilateral, parahiler bilateral, dan parakardial. Hal-hal tersebut
sesuai dengan gambaran bronkopneumonia. Pada pemeriksaan penunjang tidak
ditemukan adanya tanda-tanda infeksi yang khas, seperti leukositosis. Oleh karena
itu, berdasarkan gejala klinis berupa sesak napas yang dominan dan gambaran
foto toraks yang mengarah ke bronkopneumonia, maka ditegakkan diagnosis
bronkopneumonia derajat berat.
3.2 Penatalaksanaan Pasien
Pada pasien ditemukan adanya gejala pneumonia berat, berupa sesak
napas. Oleh karena itu tindakan awal adalah pemberian oksigen pada pasien
melalui nasal kanul pada pasien ini dilakukan pemberian oksigen 1 lpm nasal
kanul yang ditujukan untuk menjaga pasokan oksigen pada pasien sesak napas.
Pemberian terapi cairan berupa KaEN 1B + KCl 10 meq 38 tpm/mikro
bertujuan untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan asupan cairan tubuh pasien.
Kebutuhan cairan pasien perharinya adalah 900 cc (rumus 9 x 100 cc) . Jumlah
cairan yang diberikan untuk pasien ini adalah sebanyak 38 tetes per menit
menggunakan mikrodrip berdasarkan kebutuhan cairan pada pasien ini. Saat ini,
semua kebutuhan cairan melalui parenteral karena terdapat kondisi sesak yang
berat dan dikhawatirkan terjadi aspirasi bila diberikan asupan nutrisi melalui oral.
Pemberian suplementasi kalium menggunakan KCl 10 meq bertujuan untuk
menjaga asupan kalium pasien, mengingat cairan KaEN 1B tidak memiliki
kandungan kalium sama sekali.
Untuk menangani demam pada pasien ini diberikan paracetamol drops
sebanyak 1 mL per kali atau 100 mg per kali. Dosis tersebut didapat berdasarkan
berat badan pasien 9 kg sehingga dosis paracetamol per kali adalah 90 – 135 mg.
Sediaan paracetamol drops adalah 100 mg tiap 1 mL sehingga pada pasien ini
diberikan 1 mL karena dosis yang dibutuhkan pasien adalah antara 90 – 135 mg.
Sementara itu, pemberian terapi inhalasi berupa ventolin ditambahkan bisolvon
dan NaCl bertujuan untuk menjaga dan mempertahankan mucociliary clearance
pasien agar tetap berfungsi dengan baik.
Untuk menatalaksana pneumonia
yang dialami pasien diberikan
berdasarkan terapi empiris yang berupa injeksi ampisilin dengan dosis 100
mg/kgBB/hari (dosis pasien 4 x 225 mg) dan kloramfenikol dengan dosis 75
mg/kgBB/hari (dosis pasien 4 x 175 mg ). Adapun pertimbangan pemilihan
pemberian antibiotik secara intravena adalah karena pasien memiliki intake yang
sulit dan risiko aspirasi yang tinggi dengan pemberian oral. Pemberian antibiotik
intravena akan dilanjutkan dengan pemberian antibiotik oral apabila terdapat
perbaikan klinis.
DAFTAR PUSTAKA
1) Ingram RH, Braunwald E. Dyspnea and pulmonary edema. In Fauci AS, et al.
Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. Vol II. Singapore:
McGraw-Hill Companies, 2008.p.201-5.
2) T Nishino. Dyspnea: underlyng mechanism and treatment. Mechanism of
dyspnoea. Br J Anes6th. 2011;106(4):463-474
3) Manning HL, Schwartzstein RM, Epstein FH (editor). Patophysiology of
Dyspnea. N Eng J Med. 1995. 333:1547-1553
4) Dyspnea: how to asses and palliate dyspnea (air hunger). Diunduh dari
http://summit.stanford.edu/pcn/M07_Dyspnea/patophys.html pada tanggal 24
Januari 2012
5) Anonymus. Buku saku pelayanan kesehatan anak rumah sakit. WHO.2009.
p.83-93.
6) Chen YA, Tran C. The Toronto notes 27th ed. 2011
7) Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. In: Nelson’s textbook of pediatrics. Ed:
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. 18th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2007.
8) Said M. Pneumonia. Dalam: Buku ajar respirologi anak. Ed: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2010:350-64.
9) Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris HS, Gandaputra EP dan
Harmoniati ED. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia jilid
1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.
10) Kliegman, et al (editor). Nelson textbook of pediatrics 19th edition.
Philadelphia : Elsevier. 2011.
11) McIntosh K. Current concepts community-acquired pneumoniain children. N
Engl J Med, Vol. 346, No. 6. 2002.
Download