polip hidung

advertisement
REFERAT ONKOLOGI
TUMOR SINONASAL
Oleh:
Bayu Lesmono
131421120501
Pembimbing Utama
dr. Nur Akbar Aroeman., Sp.T.H.T.K.L (K)
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER RSHS/FK UNPAD BANDUNG
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Referat
: Tumor Sinonasal
Tanggal
: 25 September 2015
Presentan
: Bayu Lesmono
Pembimbing Utama : dr. Nur Akbar Aroeman., Sp.T.H.T.K.L (K)
Pembimbing Pendamping :
-
dr. Dindy Samiadi, MD., Sp.T.H.T.K.L (K). FAAOHNS
-
dr. Bogi Soeseno., Sp.T.H.T.K.L (K
-
dr. Yussy Afriani Dewi., Mkes., Sp.T.H.T.K.L (K). FICS
-
dr. Agung Dinasti Permana., Mkes., Sp.T.H.T.K.L. FICS
Mengetahui
Pembimbing Utama:
dr. Nur Akbar Aroeman., Sp.T.H.T.K.L (K)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
i
DAFTAR GAMBAR
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
EPIDEMIOLOGI
2.1.
Anatomi dan Fisiologi
2
2.1.1 Hidung
2
2.1.2 Sinus Paranasal
4
BAB III
ETIOLOGI DAN FALTOR RESIKO
7
BAB IV
PATOFISIOLOGI
9
4.1
Klasifikasi Tumor
10
4.1.1 Tumor Jinak
10
4.1.2 Tumor Ganas
BAB V
BAB VI
12
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
21
2. Pemeriksaan Fisik
22
3. Pemeriksaan Penunjang
23
PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
34
2. Radioterapi
36
3. Kemoterapi
36
BAB VII
KOMPLIKASI
38
BAB VIII
PROGNOSIS
39
DAFTAR PUSTAKA
41
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur Dinding Lateral Hidung
3
Gambar 2. Anatomi Sinus Paranasalis
4
Gambar 3. Karsinoma Sel Skuamosa
14
Gambar 4. Undifferentiated Carcinoma
15
Gambar 5. Rhabdomyosarcoma
16
Gambar 6. Chondrosarcoma
17
Gambar 7. Foto Polos Kepala
24
Gambar 8. CT-Scan
25
Gambar 9. T1 Terbatas Mukosa Sinus Maksilaris
32
Gambar 10. Tumor Pada Kavum Nasi dan Sinus Etmoidalis
Gambar 11. T2
32
Erosi dan Destruksi Tulang
32
Gambar 12. Tumor Menginvasi Dinding Posterior Sinus
32
Gambar 13. Gambaran Tumor T4a
33
Gambar 14. Gambaran Tumor T4b
33
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel (ganas) pada
sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal)
merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah
yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini.
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak
maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, angka kejadian jenis yang ganas
hanya sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di
kepala dan leher. Asal tumor primer juga sulit untuk ditentukan, apakah dari hidung
atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah mencapai
tahap lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.1,2
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat dengan
struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal yang terjadi
(misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi awal yang umum
dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya. Oleh karena itu, pasien dan dokter
sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan mengobati
tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Pengobatan keganasan
sinonasal paling baik dilakukan oleh tim dokter ahli dengan berbagai disiplin ilmu.
BAB II
EPIDEMIOLOGI
Keganasan pada sinonasal jarang terjadi. Umumnya ditemukan di Asia dan Afrika
daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat
kedua yang paling umum setelah karsinoma nasofaring. Pria yang terkena 1,5 kali
lebih sering dibandingkan wanita,dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia
45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris
dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada
sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus
frontal dan sphenoid.3,4
2.1 Anatomi dan Fisiologi
2.1.1 Hidung
Secara umum, hidung dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar
(eksternal) dan bagian dalam (internal). Di bagian luarnya, hidung dibentuk oleh
tulang, kulit dan otot. Osteokartilago hidung dibungkus oleh beberapa otot yang
berfungsi dalam pergerakan hidung meski minimal. Kulit yang melapisi tulang
hidung dan tulang rawan hidung merupakan kulit yang tipis dan mudah untuk
digerakkan serta mengandun banyak kelenjar sebasea. Sedangkan dibagian
dalamnya terdiri atas dua kavum berbentuk seperti terowongan yang dibatasi oleh
septum nasi.3
Gambar 1. (kiri) Struktur dinding lateral hidung. (kanan) Anatomi septum nasi
Setiap kavum nasi terhubung dengan nostril dibagian depan dan choana dibagian
belakang. Didalam cavum nasi anterior inferior terdapat vestibulum yang berisi
kelenjar sebasea dan rambut hidung dan dibagian lateralnya terdapat tiga susun turbin
konka yang disebut konka nasalis superior, media dan inferior.5
Vaskularisasi hidung berasal dari arteri karotis baik eksterna maupun interna.
Persarafan hidung terdiri atas fungsi sensorik dan autonom. Cabang sensorik nya
terbagi tiga yaitu, nervus ethmoidalis anterior, cabang ganglion sphenopalatina dan
cabang saraf infraorbitalis, sedangkan fungsi autonomnya yang berasal dari serat
saraf parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus superfisial terbesar.5
Secara umum fungsi hidung terdiri atas fungsi respirasi, indera penciuman sebab
didalamnya terdapat nervus olfaktorius dan bulbus olfaktori, konka dan vaskular
didalamnya melembabkan udara inspirasi, cilia dan rambut hidung yang terdapat pada
anteroinferior cavum nasi melindungi saluran pernapasan atas, memperbaiki kualitas
resonansi suara yang dikeluarkan, serta fungsi refleks nasal.5
2.1.2 Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok anterior
dan posterior. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang–tulang
kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara (ostium) ke dalam rongga hidung.
Sinus maxillaris, frontalis dan
ethmoidalis anterior masuk dalam kelompok anterior, kesemua sinus ini
bermuara pada meatus medius. Sedangkan kelompok posterior terdiri atas sinus
ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Sinus ethmoidalis bermuara dengan
meatus superius cavum nasi dan sinus sphenoidalis bermuara pada resesus
sphenoethmoidalis.1,5
Gambar 2. Anatomi sinus paranasalis. (kiri) Potongan frontal. (kanan) Tampak depan
Sinus paranasal dilapisi dengan pseudostratified epitel kolumnar, atau epitel
pernapasan, juga disebut sebagai membran Schneiderian (epitel). Sinus maksilaris
adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin manusia.
Kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan
sekret ke dalam meatus media.1
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus – sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.1
Sinus etmoid berongga–rongga, terdiri dari sel–sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. Sel–sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior dan bermuara di meatus
medius dan sinus etmoid posterior yang yang bermuara di meatus superior. Sel-sel
sinus etmoid anterior biasanya kecil–kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng
yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina
basalis), sedangkan sel–sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.1
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut
bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap sinus etmoid yang
disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus
adalah adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita. Dibagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.1
Sinus frontalis mempunyai kapasitas total volume 6-7 ml. Sinus frontalis
mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis sedangkan sinus sfenoidalis
mempunyai kapasitas total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya
ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior. Mukosa sinus terdiri dari
ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel goblet, dan kelenjar submukosa
menghasilkan suatu selaput lendir bersifat melindungi. Selaput lendir mukosa ini
akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia, kemudian
mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang.2
Secara
umum,
fungsi
dari
sinus-sinus
ini
adalah
melembabkan
dan
menghangatkan udara inspirasi, melindungi komponen beberapa organ dalam
tengkorak akibat adanya perbedaan suhu intrakranial, berperan dalam resonansi suara
dan meringankan tempurung kepala agar tidak terlalu berat akibat adanya beberapa
komponen organ yang di bebankan pada tengkorak.5
BAB III
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor
(multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain :
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa,
mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar
penyebab kanker pada kepala dan leher.7
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker
kepala dan leher.7
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk
diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis, dan
tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan sepatu.1,4,7,8,9
4. Sinar ionisasi
: Sinar radiasi; Sinar UV9
5. Virus
: Virus HPV, Virus Epstein-barr7,9
6. Usia, Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun
hingga 85 tahun.7
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih sering
pada pria dibandingkan pada wanita.7
Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali
terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif
juga menjadi faktor resiko tambahan. 1,4,8
BAB IV
PATOFISIOLOGI
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor seperti
yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya tumor
sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar
ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang
mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses
diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang
memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (antionkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh
karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta
progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel
yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya
kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi
sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh
karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.9,10
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan
belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun.
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan
masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan
fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran)
sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke
organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.9,10
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan
dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya,
mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di
berikan terapi.10
4.1 Klasifikasi Tumor
4.1.1 Tumor Jinak
a. Papiloma Skuamosa
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis
mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap.
Etiologinya mungkin disebabkan oleh virus, namun perubahan epitel pada
papiloma skuamosa dapat bervariasi dalam berbagai derajat diskeratosis.
Lesi seringkali diamati pada sambungan mukoutaneus hidung anterior,
terutama pada batas kaudal anterior dan septum. Untuk kepentingan
diagnosis ataupun pengobatan, eksisi lesi dilakukan dengan anestesi lokal
dan di periksakan untuk biopsi.1,8
b. Papiloma Inversi
Papiloma inversi ini membalik ke dalam epitel permukaan. Jarang
ditemukan pada hidung dan sinus paranasalis, seringkali berasal dari
dinding lateral hidung dan secara makroskopis terlihat hanya seperti
gambaran polip. Tumor ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan
sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah
menjadi ganas (pada 10% kasus). Lebih sering dijumpai pada laki-laki
usia tua. Terapi pada tumor ini adalah bedah radikal misalnya rinotomi
lateral atau maksilektomi media.1,7,8
c. Displasia Fibrosa
Displasa fibrosa sering mengacu pada tumor fibro-oseus tak berkapsul
yang melibatkan tulang-tulang wajah dan sering mengenai sinus
paranasalis. Etiologinya tidak diketahui, tumor ini merupakan tumor yang
tumbuh lambat, jarang disertai nyeri dan cenderung timbul sekitar waktu
pubertas dimana pasien datang dengan alasan kosmetik akibat asimetri
wajah.
Karena
pertumbuhan
tumor
kembali
melambat
dengan
bertambahnya usia, maka kebutuhan akan pengobatan bergantung pada
derajat deformitas atau ada tidaknya nyeri. Meskipun reseksi total
diperlukan pada terapi tumor ini tapi pada mayoritas kasus hanya
dilakukan pengangkatan sebagian tumor saja untuk memulihkan kontur
dan fungsi wajah.8
d. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai
massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga
sinus paranasal dan mendorong bola mata keanterior.1,8
4.1.2 Tumor Ganas
a.
Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling umum yang sering
ditemukan pada karsinoma sinonasal, sekitar 60% dari semua kasus.
Kebanyakan karsinoma sel skuamosa sinonasal yang timbul dalam hidung
atau sinus maksila, tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya sudah
melibatkan hidung, sel ethmoidal dan antrum/maksila. Karsinoma sel
skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal dari
epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe
keratinizing dan nonkeratinizing. Karsinoma sel skuamosa sinonasal
terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti
oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus sfenoidalis dan frontalis
(sekitar 1%). Gejala berupa rasa penuh atau hidung tersumbat, epistaksis,
rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum,
luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum
nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis, diplopia atau
lakrimasi.1,8,11,12
Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan perluasan lesi,
invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan
seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara
makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic,
fungating atau papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa
nekrotik, atau indurated, demarcated atau infiltratif.3
Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah maupun
radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal
terapi seperti terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi post
operatif.4
i.
Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa
dari lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan
diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin
intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau
intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau
sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan
tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma
ini dinilai dengan diferensiansi baik, sedang atau buruk.1,3,7,8
ii.
Mikroskopik
Non-Keratinizing
Karsinoma
(Cylindrical
Cell,
transitional)
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang
di karakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth
pattern. Dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas
yang jelas. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk.
Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus dibedakan
dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin.3,7
Gambar. 3 Karsinoma sel skuamosa, non-keratinizing.
b.
Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan
histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa
yang cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran
sinonasal) dan melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal.
Gambaran mikroskopik berupa proliferasi hiperselular dengan pola
pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular, pola seperti lembaran,
pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga besar
dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan
hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan
sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan gambaran mitosis
atipikal.7,8
Gambar. 4 Undifferentiated Carcinoma
c.
Rhabdomyosarkoma
Kejadian Rhabdomyosarcoma pada daerah kepala dan leher berkisar
antara 35-45% kasus, 10% terjadi pada traktus sinonasal. Secara histologi,
tumor Rhabdomyosarcoma ini terbagi atas lima kategori besar yaitu,
embrional (paling sering), alveolar, botryoid embrional, spindel sel
embrional dan anaplastik. Jenis embrional dan alveolar merupakan tumor
yang sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda meskipun begitu
kejadian anaplastik pun juga sering terjadi pada usia dewasa. Angka
keberhasilan terapi dan bertahan hidup dalam jangka lima tahun 35%
lebih rendah pada orang dewasa.4,7,8,12
Rhabdomyosarcoma yang terjadi pada traktus sinonasal atau tumor
diluar parameningeal orbita akan berkembang lebih agresif dibanding
tumor yang berada dilokasi yang lain. Metastase sistemik maupun
regional sering terjadi. Penatalaksanaan yang diperlukan melibatkan
banyak
modalitas
terapi
seperti
kemoterapi,
radioterapi,
dan
pembedahan.4,7,8,12
Gambar. 5 Rhabdomyosarcoma
d.
Chondrosarkoma
Chondrosarcoma merupakan tumor dengan pertumbuhan tumor lambat
yang berasal dari struktur kartilago. Angka kejadiannya berkisar antara 510% pada kepala dan leher, terbanyak pada maxilla dan mandibula.
Tumor ini berkembang dari tingkat I ke tingkat III berdasarkan pada
kecepatan mitosis, seluler, dan ukuran sel. Ukuran tumor memiliki
korelasi dengan kemajuan agresivitas, kecepatan metastasis dan
kemampuan bertahan hidup pasien. Pilihan terapi untuk Chondrosarcoma
adalah pembedahan. Radiasi pasca pembedahan dianjurkan utamanya jika
ditemukan hasil
grade tumor yang tinggi setelah pemeriksaan
histologi.7,12
Gambar. 6 Chondrosarcoma
e. Limfoma Maligna Sinonasal
Limfoma pada sinonasal ditemukan sekitar 5.8-8% dari limfoma
ekstranodal pada kepala dan leher. Meskipun jarang, tumor ini merupakan
tumor ganas non epithelial yang sering ditemukan pada keganasan
hidung. Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal
dari sel natural killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus
mengindikasikan bahwa limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan
T. Limfoma pada sinonasal jarang ditemukan di negara barat, umumnya
dijumpai di negara-negara Asia. Limfoma sinonasal dengan origin sel T
maupun sel NK sering ditemukan pada usia muda dan berkaitan dengan
infeksi virus Epstein-Barr. Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies
selalu ditemukan. Terkadang hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada
pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan, menyerupai karsinoma sel
skuamosa berdiferensiasi baik. Terapi pada tumor ini adalah radioterapi
untuk lesi lokal dan kemoterapi untuk keterlibatan sistemik dan rekurensi
sistemik. Angka ketahanan hidup 5 tahun pada segala jenis tipe limfoma
ini adalah 52%.3,4,7,12,13
f.
Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga
14% dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara
klinis merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada lakilaki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam
kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas. Sering
ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Gejala utama berupa hidung
tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan atau proptosis
dan epistaksis, bergantung pada lokasinya. Gambaran histologi yang
dapat ditemukan adalah tipe cribriform, tubular, dan solid. Tipe
cribriform paling sering ditemukan dengan gambaran khas penampakan
“swiss cheese”. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan
merusak jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis.
Terapi pembedahan dan adjuvant radioterapi adalah pengobatan pilihan
yang umum digunakan untuk terapi pada adenokarsinoma. Prognosisnya
jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan penyebaran
lokal tanpa adanya metastasis.3,4,7,12
g. Olfactory Neuroblastoma
Esthesioneuroblastoma
(ENB)
atau
dikenal
dengan
nama
neuroblastoma olfaktorius adalah tumor ganas yang muncul dari epitel
olfaktorius pada dinding superior nasi. Merupakan 7-10% keganasan
yang ditemukan di sinonasal pada kisaran usia 10-20 dan 50-60 tahun
baik pada wanita maupun laki-laki. Secara mikroskopis, tumor terdiri dari
gambaran sel bulat berbentuk rosette, pseudorosette, ataupun berbentuk
lembaran
dan
cluster.
Tumor
ini
mengekspresikan
penanda
neuroendokrin seperti neuron-specific enolase (NSE), chromogranin, dan
synaptophysin yang sangat berguna dalam membedakannya dengan small
cell carcinoma lainnya. Terapi bedah eksisi tumor dengan batas bebas
tumor merupakan pilihan terapi pada tumor ini. Penambahan terapi
dengan radioterapi postoperatif meningkatkan angka kesembuhan pada
penyakit ini.4,7,12
h. Mukosal Melanoma Maligna
Sekitar 1% kasus melanoma maligna ditemukan pada 20% kasus
melanoma maligna dengan origin kepala dan leher. Umumnya didapatkan
pada daerah kavum nasi kemudian pada sinus maxillaris dan kavum oral.
Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara pria dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis
kelamin. Secara makroskopik, didapatkan massa polipoid berwarna
keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada 45% kasus. Tumor ini
menyebar melalui aliran darah atau secara limfatik. Metastasis nodul
servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal. Melanoma bisa terjadi
sebagai sindrom autosomal dominan familial sekitar 8% dari 12 % semua
kasus. Terapi bedah yaitu reseksi tumor dengan batas yang jelas adalah
pilihan utama pengobatan dilanjutkan dengan pemberian radioterapi
lokoregional.3,4,7,13
BAB V
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan
diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12 % keganasan
di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar
bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan
perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor resiko.1
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor serta arah
dan perluasannya.
Gejala yang dikeluhkan dapat dikategorikan sebagai berikut:1
1.
Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret, sering
sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar
dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.1,7,13
2.
Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau
penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.1,7,14
3.
Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum
atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi
geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi
tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.1,4,7
4.
Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri, anesthesia atau
parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.1,4,7
5.
Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang
keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau menembus
basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya
bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya
muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi
nervus maksilaris dan mandibularis.1,4,7
2. Pemeriksaan Fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat
asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin
merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol,
rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral
kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor
pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun
tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.1
3. Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan
dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan,
dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk
mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang
ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar
maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang sudah
diangkat.7
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang dijadikan
gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak, maka selesailah
pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker, maka ada tindakan
pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau diberikan kemoterapi
atau radioterapi.7
b.
Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa
fleksibel yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga dapat
membantu untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan
terevaluasi dengan baik melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan endoskopi
dapat merupakan pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi sebagai media
biopsi dan juga terapi bedah pada tumor sinonasal yang jinak.7
c.
Pemeriksaan X-ray
Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran
seperti udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi
dengan pemeriksaan CT scan.7
Gambar 7. Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris
d.
CT - Scan
Gambar 8. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang berbentuk
lobus tajam sehingga terjadi peningkatan di kedua rongga hidung yang dapat meluas
ke sinus etmoid, sinus sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke dalam orbit kiri
dan kedua sinus maksilaris.
CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang
sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen,
nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit
sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat
seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan
kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang
traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan
untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.3
e.
Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan
daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam
nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran
perineural, membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan
untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan
kanalis optik. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal
berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi
dari lemak di dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip
dengan otak.3,7
f.
Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam
tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini
diserap terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak
energi. Karena kanker cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga
menyerap lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini
untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh. Sering digunakan untuk
keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance. 3,7
4. Staging
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem TNM
didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi
subkategori untuk melukiskan keadaan masing– masing pada T, N, dan M dengan
memberi indeks angka dan huruf, yaitu:
1.
2.
3.
T = Tumor primer
a.
Indeks angka : Tx, Tis, T0, T1, T2, T3, dan T4.
b.
Indeks huruf : T1a, T1b, T1c, T2a, T2b, T3b, dst.
N = Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional
a.
Indeks angka : N0, N1, N2, dan N3.
b.
Indeks huruf : N1a, N1b, N2a, N2b, dst.
M = Metastase jauh
Indeks angka saja : M0 dan M1.7
Tiap–tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti sendiri–sendiri untuk tiap jenis
atau tipe kanker, jadi arti indeks untuk kanker mamma tidak sama dengan kulit, dsb.
Untuk satu jenis kanker tertentu tidak semua indeks harus dipakai. Rinciannya
sebagai berikut :
Penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal menurut American
Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010, yaitu:
Sinus Maksillaris 3,7,12
Tx
Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0
Tidak terdapat tumor primer
Tis
Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan
T1
destruksi tulang.
Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum
T2
dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior
sinus maksilaris dan fossa pterigoid.
Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris,
T3
jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa
pterigoid, sinus etmoidalis.
Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa
T4a
pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus
sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater,
T4b
otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi
maksilaris nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus.
Kavum Nasi dan Ethmoidal 3,7,12
Tx
Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0
Tidak terdapat tumor primer
Tis
Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa
T1
invasi tulang
Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor
T2
meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks,
dengan atau tanpa invasi tulang
Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus
T3
maksilaris, palatum atau fossa kribriformis.
Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita,
T4a
kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis
anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak,
T4b
fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari V2,
nasofaring atau klivus.
Kelenjar Getah Bening Regional (N) 3,7
Nx
Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0
Tidak ada pembesaran kelenjar
N1
Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm
Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel
N2
kelenjar ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau
kontralateral < 6 cm
N2a
Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6
N2b
cm
Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih
N2c
dari 6 cm
N3
Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm
Metastasis Jauh (M) 3,7
Mx
Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0
Tidak terdapat metastasis jauh
M1
Terdapat metastasis jauh
Stadium Tumor Ganas dan Sinus Paranasal 3,7
0
Tis
N0
M0
I
T1
N0
M0
II
T2
N0
M0
III
T3
N0
M0
T1
N1
M0
T2
N1
M0
T3
N1
M0
T4a
N0
M0
T4a
N1
M0
T1
N2
M0
T2
N2
M0
T3
N2
M0
T4a
N2
M0
T4b
Semua N
M0
Semua T
N3
M0
Semua T
Semua N
M1
Iva
IVb
IVc
Gambar 9. T1 terbatas pada mukosa
sinus maksilaris
Gambar 11. T2 menyebabkan erosi
dan destruksi tulang hingga palatum
dan atau meatus media tanpa
melibatkan dinding posterior sinus
maksilaris dan fossa pterigoid
Gambar 10. Pada kavum nasi dan sinus
etmoidalis, T1 didefinisikan sebagai tumor
yang terbatas pada salah satu bagian, dengan
atau tanpa invasi tulang
Gambar 12. Tumor menginvasi dinding
posterior tulang sinus maksilaris,
jaringan subkutaneus, dinding dasar dan
medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoidalis
Gambar 13.
A. T4a menunjukkan invasi tumor pada anterior orbita.
B. T4a menunjukkan invasi tumor pada sinus sfenoidalis dan fossa
kribriformis
Gambar 14.
Potongan koronal T4b menunjukkan tumor menginvasi apeks
orbita dan atau dura, otak atau fossa kranial medial
BAB VI
PENATALAKSANAAN
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masingmasing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini
(T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat
dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat
dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus
eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang
hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita,
serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan
pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan
letaknya/ekstensinya.4,7
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis,
lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open
surgery). Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita,
total ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan
kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana
kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti
mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull
base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal.
Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan
disamping dilakukannya maksilektomi. 1,7,13
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan
gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia prevertebral,
ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-pasien dengan
resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma
optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi
pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah
sakit lebih singkat.4,13
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat menyebabkan
kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit an menelan.
Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah penyembuhan luka,
penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi pemisahan
oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan pemisahan
kavum nasi dan kavum cranii.1,4,7
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada
stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap
penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah
dilakukannya terapi utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus
paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi.
Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk
menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga
digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis
terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun
brachyterapi (radiasi internal). 2,9
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam
tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi
seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini
disebut kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obatobatan biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi
untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai
adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant),
ataupun sebagai terapi paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat
tumor, mengurangi obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif
eksternal. Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA margin tumor
positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural, ataupun penyebaran
ekstrakapsular pada metastasis regional.4
BAB VII
KOMPLIKASI
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1.
Perdarahan :
untuk
menghindari perdarahan arteri etmoid
anterior
dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.4
2.
Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii.
Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin
dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan
drainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika gagal,
harus dilakukan intervensi pembedahan.4
3.
Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh
obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan
dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.4
4.
Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari
komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan kacamata prisma merupakan
terapi yang paling sederhana.4
BAB VIII
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi
prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan
diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan
sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis,
lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap
agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap
prognosis penyakit ini.1,3
Angka ketahanan hidup 5 tahun berdasarkan penelitian Patel dkk, low-grade
neoplasma seperti esthesioneuroblastoma 78%, adeno- karsinoma 52%, karsinoma sel
skuamos 44%, undifferentiated carcinoma 37%, serta mucosal melanoma 18%.4
Walaupun demikian, pengobatan multimodalitas akan memberikan hasil yang
terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan
hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.1
Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana sel-sel kanker ditemukan dalam
jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria terkena 1,5 kali lebih sering
dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun.
Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30%
terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sinus ethmoidal
dengan minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.3
Paparan asap hasil sisa industri, terutama debu kayu, merupakan faktor resiko
utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Efek paparan ini mulai
timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah
penghentian paparan. Pasien dengan tumor sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim
spesialis menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu.4,7
Tingkat rata-rata ketahanan hidup bagi pasien dengan tumor sinus maksilaris
sekitar 40% selama 5 tahun. Tumor yang berada pada tahap awal memiliki angka
kesembuhan hingga 80%. Pasien dengan tumor yang dioperasi dan dilakukan terapi
radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari 20%.3
DAFTAR PUSTAKA
1.
Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6. Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 178-81.
2.
Slomski G, Ph.D. Paranasal Sinus Cancer, Gale Encyclopedia of Cancer. 2002.
[cited on April 4th 2013]. Available from : http://www.encyclopedia.com/c/2981literature-and-arts.html
3.
Agussalim, dr. Tumor Sinonasal. 2006. Universitas Sumatera Utara.[cited on
April 4th 2013]. Available from :http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789
/24571/.../Chapter%20II.pdf
4.
Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. [cited on
April 4th 2013]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article /846995overview#showall
5.
Dhingra P. Anatomy of Nose. in : Disease of Ear, Nose, and Throat 4th edition.
2010. India. Elsevier. p 130-5,141,165.
6.
Karanvilof B. Sinus Anatomy and Function. [cited on April 11th 2013]. Available
from : http://www.ohiosinus.com/patient-info/sinus-anatomy-and-function
7.
American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus
Cancers. 2011. USA. [cited on April 4th 2013]. Available from : http://www.
cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer
8.
Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala Leher.
dalam : BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Effendi H, Santoso RAK,
editor. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal : 235-7, 429-44.
9.
Siregar, BH. Head and Neck, Breast, Soft Tissue, Skin Tumor. 2005. Makassar.
Oncology Surgery Dept. of Hasanuddin University. hal : 4-19.
10. Surakardja, IDG. Onkologi Klinik. 2000. Fakultas kedokteran Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. hal : 85-103.
11. Hermans, Robert. Neoplasms of the Sinonasal Cavities. in : Head and Neck
Cancer Imaging. Hermans R, ed. University Hospitals Leuven. Belgium. p 192217.
12. Sargi RB, Casiano RR. Surgical Anatomy of the Paranasal Sinuses. in :
Rhinologic and Sleep Apnea Surgical Techniques. Kountakis SE, Onerci M, eds.
2007. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. p 17-26.
13. Holman PR, Weisman RA, Kavanagh et al. Lymphoma, Myeloproliferative
Disorders, Leukemia, and Malignant Melanoma. In : Head and Neck
Manifestation of Systemic Disease. Harris JP, Weisman MH, eds. 2007. Informa
Healthcare USA, Inc. New York. p 251-83.
14. Salam KS, Choudhury AA, Hossain MD, et al. Clinicopathological Study of
Sinonasal Malignancy. Bangladesh J Otorhinolaryngol 2009; 15(2):55-9.
15. Loevner L, Bradshaw J. Paranasal Sinuses and Adjacent Spaces. Radiology
Dept. of the University of Pennsylvania, USA and the Radiology Dept. of the
Medical Centre Alkmaar, the Netherlands. [cited on April 4th 2013]. Available
from : http://www.radiologyassistant.nl/en/p491710c96a36d/paranasal-sinusesand-adjacent-spaces.html
Download