uin syarif hidayatullah jakarta gambaran pelayanan klinik terhadap

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP
RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN
TAROGONG KALER, KECAMATAN TAROGONG
KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA
WILAYAH KABUPATEN GARUT
SKRIPSI
RIZZA PERMANA SUCI
NIM: 1111102000082
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP
RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN
TAROGONG KALER, KECAMATAN TAROGONG
KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA
WILAYAH KABUPATEN GARUT
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
RIZZA PERMANA SUCI
NIM: 1111102000082
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Nama
: Rizza Permana Suci
Program Studi : Farmasi
Judul
: GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP
ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN TAROGONG
KALER, TAROGONG KIDUL DAN GARUT KOTA
WILAYAH KABUPATEN GARUT
Berdasarkan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang standar
pelayanan kilnik, Apoteker memiliki tugas dalam memberikan pelayanan obat dan
pelayanan klinik. Pasien diabetes melitus merupakan salah satu pasien yang
memenuhi kriteria untuk mendapatkan pelayanan klinik oleh Apoteker di
Apotek.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelayanan klinik
meliputi dispensing, Pelayanan Informasi Obat dan Konseling terhadap resep
antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong kaler, Kecamatan Tarogong kidul
dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan
dengan teknik survei dan observasi menggunakan metode simulasi pasien
terhadap 35 apotek terpilih dengan sasaran penelitian Apoteker dan petugas
apotek (non apoteker). Alat bantu penelitian ini adalah skenario, check list, dan
resep yang ditulis oleh dokter. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata persentase
kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler 30% (buruk), Kecamatan
Tarogong Kidul 78,18% (sedang) dan Kecamatan Garut Kota 80% (baik).
Pelayanan klinik di Apotek belum dilaksanakan seluruhnya oleh Apoteker, hasil
menunjukkan bahwa pemberi pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong
Kaler tidak dilakukan oleh Apoteker, Pemberi pelayanan klinik di Apotek
Kecamatan Tarogong Kidul 36,36% dilakukan oleh Apoteker dan Apotek di
Kecamatan Garut Kota 60% dilakukan oleh Apoteker. Selama pelaksanaan
pelayanan klinik di Apotek, 91,43% kegiatan dispensing berupa penyerahan obat
dilakukan sesuai resep, 54,29% Apoteker dapat ditemui di Apotek dan bersedia
memberikan Pelayanan Informasi Obat dengan melakukan tahapan kegiatan
konseling. Selama Pemberian Informasi Obat kesalahan informasi kesalahan
informasi obat yang dilakukan Apoteker cenderung lebih kecil dibandingkan
dibanding yang dilakukan petugas apotek (non apoteker). Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan pelayanan klinik di Apotek wilayah
Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota di Kabupaten Garut belum berjalan dengan baik dan belum sesuai dengan
peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Kata kunci: pelayanan klinik, diabetes melitus, peran apoteker
vi
ABSTRACT
Name
: Rizza Permana Suci
Study Peogram: Farmasi
Title
: DESCRIPTION OF CLINICAL SERVICES IN PHARMACIES
FOR ANTIDIABETIC RECIPES AT KECAMATAN
TAROGONG KALER, TAROGONG KIDUL AND GARUT
KOTA IN GARUT
According to Permenkes of The Republic of Indonesia No. 35 year 2014 about the
standard of pharmacy services in drug stores that pharmacists has duties in service
of medicine and clinical service. Patient with diabetes mellitus is one of the
patients who meet the criteria for clinical service. The purpose this study was to
describe the clinical services about dispensing, drug information service and
counseling in pharmacies at Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler
and Kecamatan Tarogong Kidul in Garut. In this study, the survei and observation
with patient simulation method is used on 35 selected pharmacists, the target in
this study were pharmacist and non pharmacist. The tools of this study were
scenarios, checklist, and prescriptions written by a doctor. The result showed that
the average percentage of attendance of Pharmacists in Kecamatan Tarogong
Kaler was 30% (bad), Kecamatan Tarogong Kidul was 78,18% (moderate) dan
Kecamatan Garut Kota was 80% (good). Drug information provider in pharmacies
had not been fully undertaken by pharmacist yet, the result showed drug
information provider in pharmacies in Kecamatan Tarogong Kidul 36,36% by
pharmacist and in Kecamatan Garut Kota 60% by pharmacist. During clinical
service in pharmacies, 91,43% dispensing was done according to recipe, 54,29%
could be encountered in pharmacies and given clinical service form drug
information service and by doing stages counseling. During drug information
service by pharmacist, mistakes that was made less than non pharmacist.
According to this study, the clinical services in pharmacies at Kecamatan
Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul and Kecamatan Garut Kota in
Kabupaten Garut were still lacked and were not suitable with the regulations of
The republic of Indonesia in Permenkes No.35 year 2014 of standard of
pharmaceutical Services in pharmacies.
Keyword: clinical services, diabetes mellitus, the role of pharmacists.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia
serta nikmat Iman dan Islam yang tak terhingga. Shalawat serta salam senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan cinta dan
kasih-Nya sehingga penulis dapat menjalani masa perkuliahan dan penelitian
hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Gambaran
Pelayanan Klinik Terhadap Resep Antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong
Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Wilayah
Kabupaten Garut” yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Yardi, Ph.D, Apt dan Bapak Asep Dasuki S, S.Si, Apt, MM. selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga,
kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan, kesempatan
untuk penulis menuangkan ide, dan kepercayaannya selama penelitian
berlangsung hingga tersusunnya skripsi ini.
2. Dr. H. Arif Sumatri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan banyak motivasi dan bantuan.
3. Bapak Yardi, Ph.D, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi sekaligus
pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya.
4. Ibu Dr. Dra. Hj. Delina Hasan, Apt., M.Kes. sekalu Penasehat Akademik
sekaligus penguji yang telah memberikan waktu dan saran dalam
membantu perbaikan skripsi ini.
viii
5. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si, Apt. selaku penguji yang telah memberikan
waktu dan saran dalam membantu perbaikan dalam membantu perbaikan
skripsi ini.
6. Instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, Dinas Kesehatan Kabupaten
Garut dan Instansi Kesatuan Bangsa yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian di Kabupaten Garut.
7. Kedua orang tua penulis, papa Ade Hidayat dan mama Eli Susmini yang
selalu menjadi orang tua terhebat dalam doa, dukungan moril dan materil
sekaligus menjadi sahabat terbaik dalam bercerita kesenangan, kesedihan
dan ketegangan yang dihadapi penulis. Mereka adalah sebuah titipan
terindah yang diberikan oleh Allah SWT, semoga berkah hidup,
kesenangan, kebahagian dan kesehatan selalu mengiringi kehidupannya di
dunia dan akhirat.
8. Saudara perempuan tersayang Rezza Permana Suci yang sekarang telah
menjadi seorang ibu dari dua putri tercantik yaitu Andra, Raya dan istri
Tangguh Fauzia Ilham namun tetap selalu memberikan waktu, perhatian
dan dukungannya.
9. Inten Novita Sari yang selalu mengajarkan kemandirian selama ini.
Wardah Annajiah yang mengajarkan kesabaran pada kesukakaran yang
dihadapi. Rahmi Sertiana Nur Aiman yang memberikan nasihat saat
penulis mulai down. Sry Wardiyah yang selalu siaga disaat penulis
membutuhkannya. Arum Puspa Azizah, Kak Sonia, Kak fifi, Kak Tari
yang menjadi sahabat kosan di tahun terakhir ini. Nufa Mathey yang selalu
menjadi sahabat terbaik sejak SMA dan selalu ada kapanpun penulis
kesulitan. Kak Amri yang tiba-tiba dapat menjadi teman bertukar
pemikiran. Teman seangkatan Farmasi 2011 terutama AC yang telah
menjadi sahabat selama 4 tahun perkuliahan, sahabat seperjuangan dan
menjadi sahabat bermetamorfosis.
`10.Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
ix
Kesempurnaan adalah milik Allah SWT maka tentunya skripsi ini masih
perlu peyempuraan. Namun, besar harapan penulis agar hasil penelitian ini dapat
memberikan manfaat untuk banyak pihak dan memberikan kontribusi dalam ilmu
pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.
Ciputat, Juni 2015
Penulis
x
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
NIM
Program Studi
Fakultas
Jenis Karya
: Rizza Permana Suci
: 1111102000082
: Farmasi
: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya dengan judul
GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP
ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN TAROGONG KALER,
KECAMATAN TAROGONG KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA
WILAYAH KABUPATEN GARUT
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentinan akademik sebatas sesuai dengan Undan-Undang Hak cipta.
Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarbenarnya.
Dibuat di : Ciputat
Tanggal :
Juni 2015
Yang menyatakan,
Rizza Permana Suci
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ................................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................ xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................. 4
1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 4
1.4.1 Secara Teoritis .................................................................................. 4
1.4.2 Secara Metodelogi ............................................................................ 5
1.4.3 Secara Aplikatif ................................................................................ 5
1.5 Ruang Lingkup................................................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 6
2.1 Gambaran Umum Kabupaten Garut ................................................................... 6
2.2 Perkembangan Profesi Kefarmasian ................................................................... 6
2.3 Apoteker ............................................................................................................. 8
2.4 Peran Apoteker ................................................................................................... 8
2.4.1 Peran Apoteker Menurut WHO ...................................................... 8
2.4.2 Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia ............................ 8
2.5 Apotek .............................................................................................................. 10
2.6 Pelayanan Kefarmasian di Apotek ................................................................... 11
2.6.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai ........................................................................ 11
2.6.2 Pelayanan Farmasi Klinik di Apotek ............................................ 11
2.7 Diabetes Melitus ............................................................................................... 18
2.7.1 Pendahuluan .................................................................................. 18
xii
2.7.2 Prevalensi Diabetes Melitus .......................................................... 18
2.7.3 Penatalaksanaan Diabetes ............................................................. 19
2.8 Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes ................................................. 20
2.9 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus ............................... 22
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .............................. 26
3.1 Kerangka konsep .............................................................................................. 26
3.2 Definisi Operasional ......................................................................................... 27
BAB 4 METODE PENELITIAN ...................................................................................... 34
4.1 Alur Penelitian .................................................................................................. 34
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian........................................................................... 35
4.2.1 Lokasi ............................................................................................ 35
4.2.2 Waktu Penelitian ........................................................................... 35
4.3 Rancangan Penelitian ....................................................................................... 35
4.4 Populasi dan Sampel ......................................................................................... 36
4.4.1 Populasi ......................................................................................... 36
4.4.2 Sampel ........................................................................................... 36
4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ............................................................................ 37
4.5.1 Kriteria Inklusi .............................................................................. 37
4.5.2 Kriteria Eksklusi............................................................................ 37
4.6 Langkah Penelitian ........................................................................................... 37
4.6.1 Penelitian Pendahuluan ................................................................. 37
4.6.2 Instrumen Penelitian...................................................................... 37
4.6.3 Validitas Instrumen ....................................................................... 38
4.6.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 39
4.6.5 Manajemen Data ........................................................................... 40
4.7 Analisis Data..................................................................................................... 40
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 42
5.1 Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong
Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ...................... 43
5.2 Gambaran Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan Tarogong
Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ...................... 45
5.3 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan
Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota .................................................................................................................. 47
5.3.1 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Dispensing di Apotek ................ 47
5.3.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat di Apotek .......... 48
5.3.3 Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek ................................... 50
5.4Gambaran Kualitas Pelayanan Klinik di Apotek di Kecamatan
Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota .................................................................................................................. 53
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 60
6.1.Kesimpulan ................................................................................................. 60
xiii
6.2.Saran ........................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 62
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 69
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... xvii
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Diagnosis Diabetes Mellitus dari ACCP/ADA 2013 .......................................... 18
Tabel 2.2. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus ..................................................................... 19
Tabel 5.1 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler ......... 43
Tabel 5.2. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kidul ........ 43
Tabel 5.3. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Garut Kota ................ 43
Tabel 5.4. Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan Klinik di Apotek ...................... 54
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Praktik Kefarmasiaan ....................................................... 7
Gambar 5.1. Gambaran Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek ........................... 45
Gambar 5.2. Persentase Kesesuaian Penyehan Obat dengan Resep .................................... 47
Gambar 5.3. Gambaran Distribusi Apoteker yang Hadir di Apotek Saat Penelitian ........... 48
Gambar 5.4 Gambaran Tahapan Konseling yang Dilaksanakan oleh Apoteker dan
Non Apoteker .................................................................................................. 50
Gambar 5.5. Persentase Kesalahan Informasi Obat yang Diberikan oleh Pemberi
Pelayanan di Apotek ....................................................................................... 56
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Check List yang digunakan sebagai acuan selama wawancara dengan
metode simulasi pasien ................................................................................... 68
Lampiran 2. Komposisi resep yang diberikan oleh pasien .................................................. 72
Lampiran 3. Perhitungan Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan
Wilayah Kabupaten Garut .............................................................................. 73
Lampiran 4. Perhitungan Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek ......................... 76
Lampiran 5. Perhitungan Persentase Kesesuaian Penyerahan Obat dengan Resep ............. 78
Lampiran 6. Perhitungan Distribusi Apoteker yang Hadir di Apotek Saat
Penelitian ........................................................................................................ 79
Lampiran 7. Perhitungan Persentase Tahapan Konseling yang Dilaksanakan
Apoteker dan Non Apoteker ........................................................................... 80
Lampiran 8. Perhitungan Persentase Kualitas Pelayanan Klinik di Kecamatan
Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota ................................................................................................................ 81
Lampiran 9. Perhitungan Persentase Kesalahan Informasi Obat yang Diberikan
oleh Pemberi Pelayaan di Apotek ................................................................... 94
Lampiran 10. Surat Izin Penelitian....................................................................................... 97
Lampiran 11 Surat Persetujuan Penelitian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut ........ 99
Lampiran 12 Data Apotek Wilayah Kabupaten Garut ....................................................... 101
xvii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Pelayanan klinik merupakan praktik kefarmasian yang berpusat pada
pasien dan membutuhkan Apoteker sebagai penyedia layanan tersebut (American
Pharmacist Association, 1995). Peran Apoteker sendiri telah diatur dalam
berbagai peraturan seperti peran Apoteker yang dikenal sebagai seven star of
pharmacist pada publikasi WHO tentang The Role of Pharmacist in The Health
Care System di Kanada 27-29 Agustus 1997. Tujuh peran tersebut adalah care
giver (pemberi pelayanan), decision-maker (pemberi keputusan yang tepat),
communicator (kemampuan berkomunikasi antar profesi), leader (mampu
menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner), manager
(mampu mengelola SDM secara efektif), life-long learner (selalu belajar
sepanjang
karier)
dan
teacher
(pemberi
peluang
untuk
meningkatkan
pengetahuan) (WHO, 1997).
Di Indonesia peran Apoteker dijelaskan dalam beberapa peraturan.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada pasal 28H ayat 1 dan
pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan menjadi hak setiap warga
negara dan negara menjadi penanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (UUD RI, 1945). Pelayanan
kefarmasian adalah bagian dari pelayanan kesehatan yang menjadi hak warga
negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 3
pelayanan kefarmasian dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang terdiri atas
Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (Peraturan Pemerintah RI No.51, 2009).
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 pasal 108 praktik kefarmasian meliputi
pembuatan
termasuk
pengendalian
mutu
sediaan
farmasi,
pengamanan,
pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional (Undang-Undang No.36, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Standar pelayanan farmasi di Apotek secara khusus dibuat dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014, pada Bab
Pendahuluan tercantum bahwa farmasi dalam hal ini Apoteker harus memberikan
pelayanan obat dan pelayanan klinik. Pelayanan obat mencakup penjaminan mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan
pengelolaan obat. Sedangkan pelayanan klinik mencakup pengkajian resep,
dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di
rumah (home pharmacy care), pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring
efek samping obat (Permenkes RI No.35, 2014).
Dalam pelaksanaan pelayanan klinik ini diperlukan kehadiran Apoteker
selaku pemberi pelayanan. Namun beberapa penelitian menunjukkan tingkat
kehadiran Apoteker di Apotek masih rendah, yaitu di Jakarta tahun 2003
menunjukkan Apoteker yang berkerja tidak penuh 54,7%, di Medan tahun 2008
menunjukkan 52,94% Apoteker tidak hadir setiap hari (Purwanti Angki dkk.,
2004 dan Ginting BR Adelina, 2009). Penelitian terbaru dilakukan oleh Rendy
Ricky Kwando (2014) didapatkan hasil persentase kehadiran Apoteker di Apotek
Surabaya Timur adalah 63,33%. Kehadiran Apoteker ini menjadi penting karena
dengan meningkatnya frekuensi kehadiran Apoteker di Apotek maka akan
meningkatkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek (Kwando Rendi
Ricky, 2014).
Pentingnya kehadiran Apoteker selaku pemberi pelayanan klinik di
Apotek berkaitan juga dengan penelitian di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya
yang menyatakan Drug Related Problem (DTPs) terjadi pada resep polifarmasi di
Apotek, dengan persentase Adverse Drug Reactions (ADRs) sebanyak 27 kejadian
(40,30%), dan ketidakpatuhan sebanyak 24 kejadian (35,82%) dan peran Apoteker
di Apotek diperlukan untuk mengatasi hal tersebut (Christina A.K. Dewi, et al.,
2014). Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang biasanya memerlukan
obat dalam jumlah banyak (polifarmasi) untuk mengatasi atau mencegah
komplikasi (Rambadhe dkk, 2012).
Diabetes merupakan penyakit yang sering di derita oleh sebagian besar
orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya mahal. Penyakit diabetes ini
ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah), akibat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
kurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena kerusakan pankreas
(diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2) (International
Diabetes Federation, 2011). Penyakit diabetes ini 90% di dominasi oleh diabetes
melitus tipe 2 (WHO, 2013). Permasalahan penyakit diabetes melitus di Indonesia
menduduki peringkat ke empat dan di Jawa Barat prevalensinya mencapai 1,3%
(Riskesdas, 2013). Berdasarkan berita dari surat kabar, dr. Zulkarnain menyatakan
bahwa di kabupaten Garut pada tahun 2011 prevalensi diabetes mencapai 4-5%
dari jumlah penduduk (John, 2011).
Ditinjau dari sifat penyakitnya, diabetes melitus merupakan penyakit
seumur hidup (lifelong disease) dengan resiko komplikasi yang tinggi sehingga
menyebabkan kematian, maka diperlukan perhatian lebih dalam perawatannya.
Peningkatan kepedulian pasien diabetes sendiri diperlukan dalam menjaga dan
mengontrol kondisinya agar tetap dapat hidup lebih panjang dan sehat (Sutandi
Aan, 2012). Selain itu pengetahuan tentang obat diperlukan oleh pasien untuk
dapat menggunakan obat dengan benar, dengan tujuan memperoleh terapi yang
maksimal dan efek samping obat yang minimal (Amor et al, 2010 dan Mitchel et
al, 2011 dikutip dalam Nita Yunita, 2012). Hal tersebut menjadi bagian peran
apoteker dalam segi pelayanan klinik dalam pemberian informasi obat dan
konseling yang harus dilakukan terutama untuk pasien dengan terapi jangka
panjang/penyakit kronis seperti diabetes melitus (Permenkes RI No.35, 2014).
Paparan fakta tersebut memicu ketertarikan peneliti untuk meneliti
gambaran pelayanan klinik di Apotek terhadap resep antidiabetes di Apotek
Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong kaler dan Kecamatan Tarogong
kidul wilayah Kabupaten Garut yang menjadi wilayah dengan populasi Apotek
terbesar di antara Kecamatan lain (Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, 2014).
1.2.
Rumusan masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, pelayanan klinik merupakan
praktik kefarmasian yang berpusat pada pasien dan membutuhkan Apoteker
sebagai penyedia layanan tersebut dan hal tersebut telah diatur dalam berbagai
peraturan. Pelayanan klinik ini penting untuk dilaksanakan terutama kepada
pasien dengan penyakit kronik seperti diabetes melitus untuk mencapai tujuan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
terapi obat pasien, mencegah komplikasi, menurunkan pengeluaran biaya pasien,
dan bahkan mencegah kematian akibat obat.
Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya di beberapa
kota besar wilayah Indonesia frekuensi kehadiran Apoteker selaku pemberi
pelayanan klinik di tempat kerja (Apotek) masih kurang sehingga pelayanan
klinik juga menjadi kurang dan tingkat DTPs pada resep polifarmasi masih tinggi
di Apotek. Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang biasanya memerlukan
obat dalam jumlah banyak (polifarmasi). Berdasarkan uraian tersebut maka
dilakukan penelitian ini untuk menggambarkan bagaimana pelayanan klinik
terhadap resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Garut Kota, Kecamatan
Tarogong kaler dan Kecamatan Tarogong kidul wilayah Kabupaten Garut dengan
membandingkan antara pedoman pelayanan klinik berdasarkan peraturan yang
ada dengan pelayanan klinik di lapangan.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong
Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten
Garut.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran kehadiran Apoteker di tempat kerja (Apotek) di
Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota wilayah Kabupaten Garut.
2. Untuk mengetahui gambaran pemberi pelayanan klinik, pelaksanaan pelayanan
klinik, dan kualitas pelayanan klinik pada resep antidiabetes di Apotek
Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota wilayah Kabupaten Garut.
1.4.
Manfaat penelitian
1.4.1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan serta wawasan
tentang pelayanan klinik di Apotek.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
1.4.2. Secara Metodelogi
Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada
penelitian farmasi klinis sejenis di Apotek daerah lain.
1.4.3. Secara Aplikatif
Hasil penelitian berupa gambaran pelayanan klinik di Apotek ini dapat
digunakan menjadi informasi tentang sejauh mana penerapan pelayanan klinik
yang berpusat pada pasien telah terlaksana di Apotek dan menjadi masukan
tersendiri untuk para ahli profesi farmasi dalam melaksanakan peranannya sebagai
tenaga kesehatan.
1.5.
Ruang Lingkup
Penelitian ini berjudul Gambaran Pelayanan Klinik Terhadap Resep
Antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul
dan Kecamatan Garut Kota Wilayah Kabupaten Garut, yang dimaksud pelayanan
klinik adalah pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO),
konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care), pemantauan
terapi obat (PTO) dan monitoring efek samping obat (MESO). Namun dalam
penelitian ini hanya dilakukan survei dengan melakukan wawancara terstruktur
dan observasi dengan metode simulasi untuk mendeskripsikan pelayanan klinik
berupa dispensing berupa kesesuaian penyerahan obat dengan resep, pelayanan
informasi obat terhadap resep antidiabetes dan konseling. Penelitian ini dilakukan
di Kecamatan Tarogong Kaler, Tarogong kidul dan Garut Kota wilayah
Kabupaten Garut yang dilakukan selama 1 bulan pada bulan Maret 2015. Sampel
penelitian ini adalah 35 Apotek dari populasi 71 Apotek di wilayah Kecamatan
Tarogong Kaler, Tarogong kidul dan Garut Kota. Sasaran dalam penelitian ini
adalah Apoteker atau petugas apotek (non Apoteker) yang berada di Apotek saat
penelitian. Desain penelitian ini adalah ex post facto.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Gambaran Umum Kabupaten Garut
Kabupaten Garut adalah wilayah yang secara geografis berdekatan dengan
Kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut memiliki
luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha (3.065,19 km2) dengan batasan
sebelah utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah
timur dengan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah selatan dengan Samudera
Indonesia dan sebelah barat dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.
Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan dengan jumlah penduduk 3.003.004
jiwa pada tahun 2013 (Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, 2013).
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, jumlah seluruh Apotek di
Kota Garut pada tahun 2014 adalah 139 Apotek. Distribusi Apotek terbesar
berada di Kecamatan Garut Kota sebanyak 41 Apotek, Kecamatan Tarogong
Kidul sebanyak 22 Apotek dan Kecamatan Tarogong Kaler sebanyak 8 Apotek.
Data Pemerintah Daerah Kabupaten Garut pada tahun 2013 menunjukkan jumlah
penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler 93.563 jiwa, jumlah penduduk di
Kecamatan Tarogong Kidul 131.118, dan jumlah penduduk di Kecamatan Garut
Kota 170.875 jiwa.
2.2.
Perkembangan Profesi Kefarmasian
Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian dapat
dibagi dalam 4 tahap (Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999):
a. Tahap 1 : Tugas utama farmasi adalah memproduksi. Pada tahap ini farmasi
muncul sebagai industri rumahan yang melayani masyarakat. Apoteker
membuat obat patennya sendiri dengan resep yang dibuat sendiri, kemudian
dijual dari Apotek mereka sendiri. Pasien akan datang ke Apoteker untuk
membeli obat dan meminta bimbingan dalam pemilihan dan penggunaan obat
yang akan digunakan. Apotek pada periode ini setara dengan industri farmasi
saat ini dan pada saat itu, farmasi memiliki nilai sosial yang jelas.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
b. Tahap 2 : Pada periode ini muncul farmasi industri manufaktur dan pada saat
yang sama pembuatan resep obat oleh Dokter sedang meningkat, sehingga
pekerjaan utama Apoteker berhenti dalam memproduksi obat dan berpindah ke
peracikan obat yang telah diproduksi dari industri yang disesuaikan dengan
resep. Pada tahap ini pasien masih datang ke Apotek untuk mendapatkan obat
dan bimbingan dalam penggunaan obat. Peran Apoteker masih memiliki nilai
sosial yang jelas.
c. Tahap 3 : Pada tahap ini tugas utama Apoteker mengalami penyimpangan.
Banyaknya jumlah produk obat yang semakin meningkat membuat fokus
utama peran Apoteker menjadi ke produk obat dan peran pada pasien menjadi
memudar. Hal tersebut juga di dorong oleh adanya Kode Etik Asosiasi Farmasi
Amerika (American Pharmaceutical Association/AphA Code of Ethics) mulai
tahun 1922-1969 farmasis dilarang untuk mendiskusikan efek terapi atau
komposisi resep dengan pasien.
d. Tahap 4 : Akibat perubahan fokus farmasis terhadap produk (obat) maka
muncul berbagai laporan tentang kegagalan terapi, hal ini memicu untuk
farmasis mengisi kembali bidang pelayanan kefarmasian. Sehingga pada tahap
keempat, Apoteker kembali berperan dalam pemberian informasi obat, saran
dan konseling pasien.
Gambar 2.1 Tahapan perubahan praktik kefarmasian
Sumber: Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
2.3.
Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Peraturan Pemerintah RI No. 51,
2009). Apoteker sebagai pelaku utama pelayanan kefarmasiaan yang bertugas
sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai
kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan
kewajiban (Ikatan Apoteker Indonesia. 2011). Berdasarkan Peraturan pemerintah
No. 51 tahun 2009 pasal 1, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu
kehidupan pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi dari obat kepada
pasien yang mengacu kepada pharmaceutical care (pelayanan kefarmasiaan)
maka Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Peraturan Pemerintah
RI No. 51, 2009).
2.4.
Peran Apoteker dalam Pelayanan Klinik di Apotek
2.4.1. Peran Apoteker Menurut WHO
Apoteker memiliki tujuh peran penting yang dikenal sebagai seven star of
pharmacist pada publikasi WHO tentang The Role of Pharmacist in The Health
Care System di Kanada 27-29 Agustus 1997. Tujuh peran tersebut adalah care
giver (pemberi pelayanan), decision-maker (pemberi keputusan yang tepat),
communicator (kemampuan berkomunikasi antar profesi), leader (mampu
menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner), manager
(mampu mengelola SDM secara efektif), life-long learner (selalu belajar
sepanjang
karier)
dan
teacher
(pemberi
peluang
untuk
meningkatkan
pengetahuan) (WHO, 1997).
2.4.2. Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada
pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3, mendapat pelayanan kesehatan menjadi hak
setiap warga negara dan negara menjadi penanggung jawab atas penyediaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (UUD RI,
1945).
Pelayanan kefarmasian adalah bagian dari pelayanan kesehatan yang
menjadi hak warga negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun
2009 pasal 1 ayat 3 pelayanan kefarmasian dilakukan oleh tenaga kefarmasian
yang terdiri atas:
a. Apoteker: Sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
Dalam
melakukan
Pelayanan
Kefarmasian
seorang
Apoteker
harus
menjalankan peran yaitu (Permenkes RI No.35, 2014):
1. Pemberi layanan
Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien.
Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan
secara berkesinambungan.
2. Pengambil keputusan
Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan
dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Komunikator
Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi
kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus
mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.
4. Pemimpin
Apotek er diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang
empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil
keputusan.
5. Pengelola
Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran
dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi
informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan obat.
6. Pembelajar seumur hidup
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/
CPD)
7. Peneliti
Apoteker
harus
selalu
menerapkan
prinsip/kaidah
ilmiah
dalam
mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian serta
memanfaatkannya
dalam
pengembangan
dan
pelaksanaan
pelayanan
kefarmasiaan.
b. Tenaga teknis kefarmasian: Tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi,
Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Asisten Apoteker ini memliki ruang lingkup, tugas dan tanggung jawab,
dan wewenang untuk melaksanankan penyiapan pekerjaan kefarmasian pada unit
pelayanan kesehatan. Penyiapan pekerjaan kefarmasian yang dilakukan adalah
penyiapan rencana kerja kefarmasian, penyiapan pengelolaan perbekalan farmasi
dan penyiapan pelayanan farmasi klinik. Penyiapan pelayanan farmasi klinik
adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi dispensing dan penyusunan laporan
kegiatan farmasi klinik (Permenkes No.376/MENKES/PER/V/2009, 2009).
2.5.
Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasiaan tempat dilakukan praktek
kefarmasiaan oleh Apoteker (Peraturan Pemerintah RI No. 51, 2009). Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 yang dikutip dalam Hartini S.Y. (2009),
tentang Apotek, tugas dan fungsi Apotek adalah tempat pengabdian profesi
seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah Apoteker, sarana farmasi
yang melakukan perubahan bentuk dan penyerahan obat atau bahan obat, sarana
penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata, serta sarana pelayanan informasi mengenai
perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya (Hartini, S.
Yustina, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
2.6.
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
Pelayanan kefarmasian di Apotek tercantum jelas pada Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014. Pelayanan kefarmasian di
Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan
pelayanan farmasi klinik.
2.6.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
Secara singkat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 35 tahun 2014 dijelaskan bahwa pengelolaan sediaan Farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan
yang
berlaku
meliputi
perencanaan,
pengadaan,
penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
2.6.2. Pelayanan Farmasi Klinik Di Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35
tahun 2014, pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari pelayanan
kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
a. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik
dan pertimbangan klinis.
1.
Kajian administratif meliputi:
a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
b. nama Dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon
dan paraf.
c. tanggal penulisan resep
2.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
a. bentuk dan kekuatan sediaan
b. stabilitas
c. kompatibilitas (ketercampuran obat)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
3.
Pertimbangan klinis meliputi:
a. ketepatan indikasi dan dosis obat
b. aturan, cara dan lama penggunaan obat
c. duplikasi dan/atau polifarmasi
d. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,
manifestasi klinis lain)
e. kontra indikasi dan interaksi
Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.
b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat. Apoteker menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep, melakukan
peracikan obat bila diperlukan, memberikan etiket, memasukkan obat ke dalam
wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat
dan menghindari penggunaan yang salah. Apoteker di Apotek juga dapat melayani
obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi
kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan
memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
Rincian standar praktik Apoteker Indonesia berupa dispensing juga
dijelaskan lebih rinci oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Rincian praktik
tersebut ada pada standar 3 praktik Apoteker (IAI, 2013):
1.
Apoteker menerapkan cara dispensing yang baik
2.
Apoteker memastikan resep yang diterima berasal dari dokter
3.
Memastikan resep yang diterima sesuai dengan nama pasien yang
dimaksud.
4.
Apoteker memastikan obat yang tertera dalam resep sesuai dengan tujuan
penggunaan obat pasien.
5.
Memastikan resep tidak berpotensi menimbulkan masalah DRP.
6.
Apoteker berkomunikasi dengan dokter.
7.
Apoteker melakukan dispensing obat sitostatika secara tepat.
8.
Apoteker melakukan pemeriksaan ulang dan dokumentasi terhadap
sediaan obat hasil dispensing.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
9.
Apoteker melakukan pengecekan ulang terhadap identitas pasien.
10. Apoteker menyelesaikan dispensing tepat waktu.
11. Memastikan pasien paham bila terjadi penggantian merek obat.
12. Memastikan pasien memahami tentang obat yang diterimanya
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai
obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Permenkes, 2014).
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan
metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,
stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain.
Kegiatan pelayanan informasi obat di Apotek meliputi (Permenkes, 2014):
a. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
b. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat
(penyuluhan).
c. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
d. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang
sedang praktik profesi.
e. melakukan penelitian penggunaan obat.
f. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
g. melakukan program jaminan mutu.
h. Pelayanan
informasi
obat
harus
didokumentasikan
untuk
membantu
penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan
formulir sesuai format yang telah ditetapkan.
Dalam standar praktik kefarmasian yang dijelaskan dalam IAI Pelayanan
Informasi Obat adalah bagian dari Konseling dimana dalam pelaksanaannya harus
memperhatikah hal-hal seperti berikut (IAI, 2013):
a. Apoteker melakukan komunikasi dan interaksi yang baik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
b. Apoteker memberikan penjelasan dan uraian atas setiap obat yang diberikan
kepada pasien.
c. Apoteker memberikan konseling obat kepada pasien dan keluarga.
d. Melakukan konseling sesuai informasi terkini dan berbasis bukti.
e. Apoteker menggunakan berbagai macam metode komunikasi untuk menjamin
efektifitas konseling.
f. Apoteker secara aktif menyediakan bahan informasi.
g. Apoteker mendokumentasikan pelayanan konseling.
h. Apoteker memelihara pengetahuan dan keterampilan untuk memberikan
pelayanan informasi obat.
i. Apoteker memiliki akses ke sumber informasi terkini yang relevan untuk
mendukung pelayanan.
j. Apoteker mengevaluasi mutu pelayanan informasi obat.
d. Konseling
Konseling
merupakan
proses
interaktif
antara
Apoteker
dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien
dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker
harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami
obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,
AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi, pasien menerima beberapa obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan
satu jenis obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime
Questions, yaitu:
a) Apa yang disampaikan Dokter tentang obat Anda?
b) Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang cara pemakaian obat Anda?
c) Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
Anda menerima terapi obat tersebut?
Adapun hal yang harus diperhatikan dalam pengkajian penggunaan obat
menurut standar praktik kefarmasian IAI 2013:
a. Apoteker menggali riwayat penggunaan obat pasien (patient’s history
taking).
b. Apoteker mengkaji (review) interaksi obat dengan obat, obat dengan
makanan, dan kontra indikasi terhadap pasien.
c. Apoteker melakukan identifikasi, dokumentasi dan mempertimbangkan
kemungkinan terjadinya ADR dan precaution serta kondisi kontraindikasi.
d. Menjamin pasien mematuhi penggunaan obat secara rasional.
e. Mampu menyelesaikan masalah penggunaan obat yang rasional.
f. Apoteker mampu melakukan telaah penggunaan obat pasien.
g. Melakukan Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
h. Mampu melakukan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).
i. Mampu melakukan praktik Therapeutic Drug Monitoring (TDM).
j. Mampu mendampingi pengobatan mandiri (swamedikasi) oleh pasien.
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
6. Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien
sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam
konseling dengan menggunakan formulir sesuai ketetapan peraturan.
e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis
Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan.
2. Identifikasi kepatuhan pasien. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat
kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan
insulin.
3. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.
4. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien.
5. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan.
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping. Kriteria pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang
merugikan.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri
dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi, melalui
wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.
3. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara lain
adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi,
pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah,
terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat.
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan
apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi.
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh
Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat dengan
menggunakan formulir yang telah ditetapkan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan
pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi
fungsi fisiologis. Kegiatan:
1. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
efek samping obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan
menggunakan formulir 10 sebagaimana terlampir.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
2.7.
Diabetes Melitus
2.7.1. Pendahuluan
Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi prioritas
ke empat penyakit yang diidentifikasi oleh WHO bersama dengan penyakit
cardiovascular disease (CVD), yang mencakup serangan jantung, stroke, kanker
dan penyakit pernapasan kronis. Diabetes melitus merupakan penyakit yang
sering diderita oleh sebagian besar orang di dunia, bersifat kronis dan
pembiayaannya
mahal. Penyakit diabetes ini ditandai dengan hiperglikemia
(tingginya kadar glukosa dalam darah), akibat kurangnya insulin yang dihasilkan
dalam tubuh karena kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi
insulin (diabetes tipe 2) (International Diabetes Federation, 2011).
Tabel 2.1 Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013
Gula darah terkontrol
GDP (Glukosa
Darah Puasa)
Kadar glukosa 2 jam
setelah makan
GDS (Glukosa
Darah Sewaktu)
Hemoglobin A1c
Prediabetes
Diabetes Melitus
(DM)
< 100 mg/dL
100 - 125 mg/Dl
mg/dL
< 140 mg/dL
140 - 199 mg/dL
mg/dL
mg/dL + gejala
< 5.7 %
5,7-6,4%
Sumber : Farmakoterapi Diabetes, 2013
2.7.2. Prevalensi Diabetes Melitus
Berdasarkan data WHO, 347 juta penduduk dunia mengidap penyakit
diabetes yang didominasi oleh diabetes tipe 2 sebanyak 90%. Diprediksi bahwa
pada tahun 2030 penyakit diabetes ini akan menjadi 7 penyakit terbesar di dunia
yang menyebabkan kematian. Kematian akibat diabetes 80% akan terjadi di
negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan usia penduduk antara 35-64
tahun. Total kematian akibat diabetes diproyeksikan meningkat lebih dari 50%
dalam 10 tahun kedepan (WHO, 2013).
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan prevalensi diabetes
melitus yang tinggi dengan menduduki peringkat ke tujuh dari semua negara di
dunia dengan didominasi oleh penduduk usia 20-79 tahun. (International Diabetes
Federation, 2013). Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil survei Riset kesehatan
dasar (Riskesdas) 2013 mengenai prevalensi penyakit tidak menular yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
dilakukan pada responden dengan umur > 15 tahun didapatkan hasil bahwa
prevalensi diabetes mellitus menduduki peringkat ke empat di Indonesia.
2.7.3. Penatalaksanaan Diabetes
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu (Azrifitria dan Silma Awalia, 2013):
a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.
b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.
The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes.
Tabel 2.2 Penatalaksanaan Diabetes
Parameter Glikemik
GDP
70-130 mg/dL
Kadar glukosa 2 jam setelah makan
<180 mg/dL
Hemoglobin A1c
< 7%
Parameter Non Glikemik
Tekanan Darah
< 130/80 mmHg
LDL
< 100 mg/dL
< 70 mg/dL (dengan penyakit kardiovaskular)
HDL
Trigliserida
> 40 mg/dL (Pria)
> 50 mg/dL (Wanita)
< 150 mg/dL
Sumber: Farmakoterapi Diabetes, 2013
Terapi non farmakologi seperti pengaturan pola hidup sangat penting
dilakukan kepada pasien diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 untuk
mengontrol konsentrasi glukosa darah agar tetap normal (Sweetman.S., 2009).
Pengontrolan pola makan terutama dilakukan dengan menjaga asupan karbohidrat
dan lemak (Wells Barbara G., 2009). Pengaturan pola makan ini pada intinya
adalah dengan menerapkan pola konsumsi yang sehat dan kadungan gizi yang
seimbang (Sweetman.S., 2009). Pola latihan fisik seperti aerobik juga sangat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
direkomendasikan. Latihan fisik ini diperlukan karena dapat meningkatkan
metabolisme karbohidrat, meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dan
meningkatkan fungsi kardiovaskular (Sweetman.S., 2009).
Bila dalam 3 bulan pemberian terapi non farmakologi tidak menunjukkan
perubahan pada pasien diabetes melitus maka penambahan terapi farmakologi
berupa pemberian obat antidiabetes oral bisa dilakukan. Terdapat dua golongan
utama obat antidiabetes oral yang bisa diberikan yaitu kelas sulfonilurea dan kelas
biguanid (Sweetman.S, 2009).
Umumnya pengobatan awal untuk penyakit diabetes ini adalah kombinasi
dari perubahan gaya hidup lebih sehat dengan penggunaan obat metformin (Maric
Andreja, 2010). Metformin ini menimbulkan efek hipoglikemia yang rendah
namun mudah menyebabkan terjadinya laktat asidosis pada pasien yang
mengalami kerusakan ginjal (Sweetman.S., 2009). Metformin menurunkan
glukosa darah dengan cara menghambat produksi glukosa hepatik dan
menurunkan resistensi terhadap insulin. Penggunaan metformin secara tunggal,
mampu menurunkan HbA1c sampai 1,5% (Maric Andreja. 2010).
Dosis awal metformin 500 mg adalah dua atau tiga kali per hari atau 850
mg satu atau dua kali perhari setelah makan (Sweetman.S., 2009). Metformin
digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek samping yang berhubungan
dengan pencernaan (McEvoy, 2002). Metformin ini mampu mengalami interaksi
bila digabungkan dengan obat lain, contohnya simetidin. Penggunaan simetidin
dan metformin secara bersamaan bisa menyebabkan penurunan ekskresi
metformin oleh ginjal sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Maka bila
kedua obat ini harus di gunakan dalam waktu yang sama atau berdekatan maka
turunkan dosis metformin untuk mencegah interaksi tersebut (Baxter Karen,
2008).
2.8.
Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes
Secara prinsip, pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang
harus dilaksanakan secara berurutan (Depkes RI, 2005):
a. Penyusunan informasi dasar atau database pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama, umur, berat badan
pasien serta terapi yang diberikan yang tertera pada resep. Mengenai masalah
medis (diagnosis, gejala) yang selanjutnya dikonfirmasikan ulang kepada pasien
dan dokter bila perlu. Riwayat alergi, riwayat obat (riwayat penggunaan obat satu
bulan terakhir). Hal ini diperlukan untuk memprediksikan efek samping dan efek
yang disebabkan masalah terapi obat lainnya, serta untuk membantu pemilihan
obat.
b. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment)
Tujuan yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi masalah yang
berkaitan
dengan
terapi
obat.
Pelaksanaan
evaluasi
dilakukan
dengan
membandingkan problem medik, terapi, dan database yang telah disusun,
kemudian dikaitkan dengan pengetahuan tentang farmakoterapi, farmakologi dan
ilmu pengetahuan lain yang berkaitan.
c. Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian (RPK)
Rekomendasi terapi, rencana monitoring (monitoring efektivitas terapi,
Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB)) dan rencana konseling)
d. Implementasi RPK dan monitoring implementasi
Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan Rencana Pelayanan
Kefarmasian (RPK) yang sudah disusun. Rekomendasi terapi yang sudah disusun
dalam RPK, selanjutnya dikomunikasikan kepada dokter penulis resep, lalu
lakukan monitoring.
e. Tindak Lanjut
Tindak lanjut merupakan kegiatan yang menjamin kesinambungan
pelayanan kefarmasian sampai pasien dinyatakan sembuh atau tertatalaksana
dengan baik. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa pemantauan perkembangan
pasien baik perkembangan kondisi klinik maupun perkembangan terapi obat
dalam rangka mengidentifikasi ada atau tidaknya Masalah Terapi Obat (MTO)
yang baru. Bila ditemukan MTO baru, maka selanjutnya apoteker menyusun atau
memodifikasi RPK.
Kegiatan lain yang dilakukan dalam follow-up adalah memantau hasil atau
outcome yang dihasilkan dari rekomendasi yang diberikan. Hal ini sangat penting
bagi Apoteker dalam menilai ketepatan rekomendasi yang diberikan. Kegiatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
follow-up memang sulit dilaksanakan di lingkup farmasi komunitas, kecuali
pasien kembali ke Apotek yang sama, apoteker secara aktif menghubungi pasien
atau pasien menghubungi Apoteker melalui telepon.
2.9.
Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Kontribusi apoteker ini pada intinya adalah penatalaksanaan penyakit,
berarti mencakup terapi obat dan non-obat (Depkes RI, 2005):
a. Mengidentifikasi dan Menilai Kesehatan pasien
Apoteker dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang tidak menyadari
kalau mereka menderita diabetes. Identifikasi mentargetkan pasien-pasien dengan
resiko tinggi, termasuk pasien obesitas, pasien > 40 tahun, pasien dengan tekanan
darah tinggi atau dislipidemia, pasien dengan sejarah keluarga diabetes, dan
pasien yang mempunyai sejarah gestasional diabetes atau melahirkan anak dengan
berat badan > 4,5 kg.
b. Merujuk pasien
Salah satu peran apoteker yang tidak kalah penting adalah merujuk pasien
kepada tim perawatan diabetes lainnya seperti bagian gizi, poliklinik mata,
pediatris, gigi dan lainnya bila diperlukan. Depresi juga sering dijumpai pada
pasien diabetes, sehingga dapat dirujuk ke bagian penyakit jiwa bila diperlukan.
c. Memantau Penatalaksanaan diabetes
Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat
pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan
melakukan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan
untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi. Apoteker harus mendorong penderita
untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya
sesegera mungkin. Apoteker juga harus memantau tingkat kenormalan:
a. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg)
b. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl)
c. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko jantung
d. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun)
e. Vaksinasi influenza dan pneumokokal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan pasien
mengerti mengapa monitoring memegang peranan penting dalam terapi
pencegahan komplikasi yang bisa memperburuk penyakit.
d. Menjaga dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal terapi
Ada 6 langkah yang dapat dilakukan:
a. Libatkan pasien, ciptakan suasana dimana pasien menjadi peduli dan
bersedia untuk membantu menangani masalah yang berhubungan dengan
obat.
b. Spesifik, dapatkan rincian spesifik bila pasien mendiskusikan masalah
obatnya.
c. Identifikasi hambatan utama yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam
minum obatnya.
d. Simpulkan masalah pasien.
e. Memecahkan masalah dengan memberi saran pada pasien seperti berikut :
a) Meminum obat sesuai dengan yang diresepkan
b) Untuk mendapatkan hasil optimal, jadwal meminum obat harus dipatuhi
c) Bila anda masalah dengan efek samping yang dialami, kekhawatiran biaya
obat sehingga mengharapkan obat alternatif lain yang lebih murah maka
harus dibicarakan pada dokter.
d) Bila regimen obat terlalu susah, menjadi beban, atau membingungkan
tanyakan ke dokter atau Apoteker.
e) Jumlah obat yang anda minum bukanlah pertanda betapa sehat atau tidak
sehatnya anda. Lebih baik anda diskusi dengan Dokter atau Apoteker tentang
target pengobatan seharusnya (misalnya target kadar gula, tekanan darah,
kadar kolesetrol dsb).
f) Bila anda merasa depresi atau tertekan dengan ruwetnya penanganan diabetes
anda, bicarakan dengan dokter atau apoteker.
e. Akhiri pertemuan, tanyakan langkah apa yang akan dilakukan pasien setelah
diskusi dengan apoteker.
f. Membantu penderita mencegah dan mengatasi komplikasi ringan.
g. Menjawab pertanyaan penderita dan keluarga mengenai DM
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
Biasanya pertanyaan berkisar tentang penyebab penyakit dan gejala-gejala
yang harus diwaspadai, pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan, hal-hal apa
yang harus dihindari untuk mencegah atau memperlambat perkembangan
penyakit, tentang terapi obat dan efek samping obat, tentang komplikasi dan
pencegahannya, sampai pada perawatan kaki, kulit, mulut dan gigi dan lain
sebagainya.
h. Memberikan Pendidikan dan Konseling
Tujuan pendidikan kepada pasien adalah untuk memberikan pengetahuan
dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam pengobatannya.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak pernah mendapat pendidikan
mengenai diabetes, resiko untuk komplikasi major meningkat 4 kali lipat. Materi
inti untuk pendidikan yang komprehensif yang dapat diberikan kepada pasien
diabetes (Sumber: National Standard for diabetes self-management education,
Diabetes Care 2005) terdiri dari definisi diabetes, proses penyakit, dan pilihan
pengobatan, terapi nutrisi, aktivitas fisik, penggunaan obat, memonitor kadar gula
sendiri, mencegah, mendeteksi, dan mengobati komplikasi-komplikasi akut dan
kronis, target untuk mencapai hidup sehat, menyesuaikan sendiri perawatan dalam
kehidupan sehari-hari (problem solving) serta penyesuaian psikososial dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan kepada pasien dapat diberikan dalam 3 tahap:
a. Tahap I : Segera dilaksanakan setelah pasien di diagnosa dengan DM sehingga
dapat membantu mengatasi kebingungan, syok, terkejut dan lain sebagainya.
Apoteker berusaha membantu pasien memahami dan menerima diagnosis.
b. Tahap II : Memberikan informasi yang lebih dalam, dengan berfokus pada
masalah yang telah teridentifikasi sewaktu menilai pasien (misalnya peripheral
neuropathy) dan hal-hal lain yang mungkin dapat diantisipasi (misalnya
mengatasi reaksi hipoglikemi). Kegunaan dan cara minum obat yang benar
harus dijelaskan.
c. Tahap III : Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk menekankan konsep,
meningkatkan dan menjaga motivasi, dan berupaya agar pasien dapat
mengurus dirinya dan peduli terhadap kesehatannya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
Secara umum, tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan
memberikan penyuluhan atau konseling kepada penderita diabetes dan
keluarganya antara lain:
a. Agar penderita DM memiliki harapan hidup lebih lama dengan kualitas hidup
yang optimal. Kualitas hidup sudah merupakan keniscayaan. Seseorang yang
dapat bertahan hidup tetapi dengan kualitas hidup yang rendah, akan
menggangggu kebahagiaan dan ketenangan keluarga.
b. Untuk membantu penderita DM agar dapat merawat dirinya sendiri, sehingga
komplikasi yang mungkin timbul dapat diminimalkan, selain itu juga agar
jumlah hari sakit dapat ditekan.
c. Agar penderita DM dapat berfungsi dan berperan optimal dalam masyarakat.
d. Agar penderita DM dapat lebih produktif dan bermanfaat.
e. Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara pribadi,
keluarga ataupun negara.
Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan kepatuhan dan
kerjasama penderita dan keluarganya terhadap program penatalaksanaan diabetes
dapat disampaikan dalam konseling. Namun dalam penyampaiannya harus
mempertimbangkan kondisi penderita, baik kondisi pengetahuan, kondisi fisik,
maupun kondisi psikologisnya (Depkes RI, 2005).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pemberi Pelayanan Klinik
Pelayanan Klinik
Input
Proses
- Kehadiran Apoteker di Apotek
- Pelaksana Pelayanan Klinik di
Apotek
- Pengetahuan pelaksana pelayanan
klinik terutama terkait diabetes
melitus
Dispensing
Penyerahan obat
Pelayanan Informasi Obat
a. Tujuan penggunaan
b. Waktu penggunaan
(pagi/siang/malam)
c. Waktu penggunaan
(sebelum/sedang/sesudah)
d. Jumlah frekuensi penggunaan
e. Jumlah obat sekali minum
f. Nama obat
g. Indikasi
h. Interaksi
i. Pencegahan interaksi
j. Efek samping obat (ESO)
k. Pencegahan ESO
l. Gejala ESO
m. Makanan dan minuman yang
harus dihindari
n. Cara penyimpanan
Konseling
a. Membuka komunikasi antara
apoteker dan pasien
b. Menilai pemahaman pasien
tentang penggunaan obat
c. Menggali informasi lebih lanjut
tentang masalah penggunaan obat
d. Memberikan penjelasan kepada
pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan obat
e. Melakukan verifikasi akhir untuk
memastikan pemahaman pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
3.2. Definisi Operasional
No
1.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Variabel
Kehadiran di Apotek
Pelaksana pelayanan klinik
Definisi Operasional
Keberadaan Apoteker di tempat
kerja/apotek saat Apotek buka
Apoteker/petugas Apotek (Non
Apoteker) yang saat penelitian
melakukan pelayanan klinik
Skala
Alat
Ukuran
Check list
a. Skor 5
apoteker hadir setiap hari pagi
sampai sore
b. Skor 4
apoteker hadir setiap hari, tapi tak
bisa ditentukan
c. Skor 3
apoteker hadir 3 kali seminggu
d. Skor 2
apoteker hadir 2 kali seminggu
e. Skor 1
apoteker hadir 1 minggu sekali
f. Skor 0
Kehadiran apoteker tidak bisa
ditentukan
Skala ordinal
Hasil perhitungan skor akan dibuat
rata-rata persentase dan digolongkan
dalam kategori sebagai berikut
(Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
a. Skor 1
Apoteker yang memberikan
pelayanan
b. Skor 0
Asisten Apoteker yang
memberikan pelayanan
Skala ordinal
Check list
Skala nominal
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
3
Dispensing
Checklist
4
Pengetahuan pelaksana
pelayanan klinik terkait
diabetes melitus
5
Pelayanan Informasi Obat
(PIO)
Pemberian informasi obat yang berkaitan
dengan obat antidiabetes yang dilakukan
oleh Apoteker/petugas Apotek (non
apoteker) di Apotek
Checklist
a. Tujuan penggunaan
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
maksud penggunaan masing-masing
obat yang ada dalam resep. Informasi
dinyatakan tepat bila informasi obat
yang diberikan sesuai dengan tujuan
umum seperti:
- metformin digunakan untuk
Checklist
Checklist
a. Skor 1
Sesuai
b. Skor 0
Tidak sesuai
Hasil perhitungan skor akan dibuat
rata-rata persentase dan digolongkan
dalam kategori sebagai berikut
(Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Hasil perhitungan skor dari ketepatan
menjawab pertanyaan yang ada dalam
checklist tiap Apoteker/ petugas
Apotek dibuat rata-rata persentase
yang kemudian dikategorikan sebagai
berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Hasilnya
akan
menunjukan
pengkategorian kualitas pelayanan
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Skala ordinal
Skala ordinal
Skala nominal
28
UIN
UIN
Syarif
Syarif
Hidayatullah
Hidayatullah
Jakarta
Jakarta
Kesesuaian obat baik dari jenis dan
jumlah sesuai dengan resep yang
dilakukan oleh pemberi pelayanan di
Apotek
Jumlah benar dari pertanyaan informasi
obat terkait diabetes melitus yang
diajukan oleh peneliti kepada
Apoteker/petugas Apotek (Non
Apoteker) yang memberikan pelayanan
klinik di Apotek
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
b. Waktu penggunaan
(pagi/siang/malam)
c. Waktu penggunaan
(sebelum/sedang/sesudah)
Checklist
S
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Jumlah frekuensi
penggunaan
menurunkan gula darah atau
mengontrol gula darah
- simetidin digunakan untuk
menurunkan asam lambung
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
waktu obat harus dikonumsi dari segi
waktu. Jawaban dinyatakan tepat bila
informasi yang disampaikan:
- Metformin digunakan pada pagi dan
sore hari atau digunakan 2 kali sehari
dengan selang waktu 12 jam
- Simetidin digunakan pada pagi dan
malam hari
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
waktu obat harus dikonsumsi dari segi
jam makan pasien. Jawaban dinyatakan
tepat bila informasi yang disampaikan:
- Metformin digunakan
sebelum/sesudah makan/saat perut
terisi oleh makanan/saat perut terisi
makanan
- Simetidin digunakan
sesudah/sedang/dengan makanan/saat
perut terisi makanan
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
jumlah obat yang harus digunakan dalam
sehari. Jawaban dinyatakan tepat bila
informasi yang disampaikan adalah
masing-masing obat digunakan 2 kali
sehari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
e. Jumlah obat sekali minum
f.
Nama obat
g. Indikasi
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
h. Interaksi
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
jumlah obat yang harus dikonsumsi
dalam sekali minum. Jawaban
dinyatakan tepat bila informasi yang
disampaikan adalah masing-masing 1
tablet obat digunakan saat sekali minum
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
sebutan obat berdasarkan tulisan yang
tertera dalam kemasan obat. jawaban
dinyatakan tepat bila informasi yang
disampaikan adalah menyebutkan
metformin dan simetidin
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
kondisi penyakit yang memerlukan
penggunaan obat dalam resep. Informasi
dinyatakan tepat bila hal yang
disampaikan adalah:
- Metformin: digunakan untuk DM tipe
2 atau digunakan untuk DM tahap
awal
- Simetidin: digunakan untuk mengatasi
sakit lambung
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
kemungkinan terpengaruhnya obat satu
dengan yang lainnya. Dinyatakan tepat
bila informasi yang disampaikan adalah:
- Penggunaan simetidin akan
mempengaruhi ekskresi metformin.
- Metformin akan menurun ekskresinya
akibat interaksi dengan simetidin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
i.
Pencegahan interaksi
j.
Efek samping obat (ESO)
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
k. Pencegahan ESO
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
cara menghindari kemungkinan
interaksi. Informasi dinyatakan tepat bila
hal yang disampaikan adalah:
Gunakan metformin dalam dosis yang
lebih kecil bila penggunaan kedua obat
harus dalam waktu yang sama atau
konsultasikan dengan dokter tentang
obat pilihan mag lain yang tidak
berinteraksi dengan metformin.
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
reaksi yang tidak diharapkan muncul
diakibatkan dari penggunaan obat.
informasi dinyatakan tepat bila hal yang
disampaikan adalah: metformin
memiliki efek samping utamanya berupa
gangguan gastrointestinal berupa diare,
mual, muntah, nyeri perut sedangkan
simetidin efek sampingnya cenderung
aman
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
cara menghindari kemungkinan efek
samping obat. ESO yang mengganggu
adalah yang ditimbulkan dari obat
metformin maka informasi dinyatakan
tepat bila hal yang disampaikan adalah:
ESO metfomin dapat dicegah dengan
Menggunakan metformin dibarengi
dengan makanan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
l.
Gejala ESO
m. Makanan dan minuman
yang harus dihindari
4
Konseling
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Checklist
a. Skor 1
Jawaban tepat
b. Skor 0
Jawaban tidak tepat
Skala nominal
Checklist
a. Skor 1
Kegiatan konseling dilakukan
b. Skor 0
Skala nominal
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
n. Cara penyimpanan
Informasi yang diberikan Apoteker atau
petugas Apotek (non Apoteker) tentang
ciri-ciri bila ESO terjadi. Informasi
dinyatakan tepat bila info yang
disampaikan adalah saat timbul ESO
metformin maka akan menimbulkan rasa
tidak enak pada perut seperti sakit mag
atau cenderung sering buang air besar.
Apoteker atau petugas Apotek (non
Apoteker) menyarankan untuk
menghindari makanan dan minuman
yang dapat mengganggu keseimbangan
gula darah tubuh. Informasi dinyatakan
tepat bila info yang disampaikan adalah
- untuk menjaga agar gula darah
terkontrol maka disarankan pasien
untuk menghindari makanan dengan
kandungan tinggi gula, karbohidrat
yang berlebihan
- untuk mencegah parahnya penyakit
mag yang dialami pasien maka hindari
makanan yang pedas, asam, minuman
berkafein atau beralkohol.
Apoteker atau petugas Apotek (non
Apoteker) menyarankan tentang tata
cara penempatan obat. Informasi
dinyatakan tepat bila info yang
disampaikan adalah:
Simpan obat suhu ruangan, di tempat
tertutup dan terjaga dari cahaya
matahari.
Bentuk pelayanan klinik dimana
Apoteker/petugas Apotek (non Apoteker)
yang telah memberikan informasi obat
33
a. Membuka komunikasi
antara apoteker dan pasien
b. Menilai pemahaman
pasien tentang
penggunaan obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Menggali informasi lebih
lanjut tentang masalah
penggunaan obat
d. Memberikan penjelasan
kepada pasien untuk
menyelesaikan masalah
penggunaan obat
e. Melakukan verifikasi
akhir untuk memastikan
pemahaman pasien
melakukan tahapan konseling kepada
pasien dengan mencoba menggali
pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kerpatuhan pasien untuk kemudian
diberikan saran atau nasihat.
Apoteker/Asisten apoteker berperilaku
aktif memulai pembicaraan kepada
pasien
Kegiatan konseling tidak
dilakukan
Checklist
Apoteker/Aisten apoteker menanyakan
three prime question:
1. Apa yang disampaikan dokter
tentang obat anda?
2. Apa yang dijelaskan dokter tentang
cara pemakaian obat anda?
3. Apa yang dijelasan oleh dokter
tentang hasil yang diharapkan setelah
anda menerima obat tersebut?
Apoteker/Asisten apoteker menanyakan
adakah permasalahan dalam penggunaan
obat
Checklist
Apoteker/Asisten apoteker memberikan
saran bagaimana cara untuk mengatasi
permasalah obat atau memberikan
himbauan untuk tetap melanjutkan
pengobatan sesuai dengan aturan agar
gula darah tetap terkontrol
Apoteker/Asisten apoteker menanyakan
hal-hal yang mungkin tidak dimengerti
pasien
Checklist
Checklist
Checklist
a. Skor 1
Melakukan
b. Skor 0
Tidak melakukan
a. Skor 1
Melakukan
b. Skor 0
Tidak melakukan
Skala nominal
Skala nominal
a. Skor 1
Melakukan
b. Skor 0
Tidak melakukan
a. Skor 1
Melakukan
b. Skor 0
Tidak melakukan
Skala nominal
a. Skor 1
Melakukan
b. Skor 0
Tidak melakukan
Skala nominal
Skala nominal
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Alur Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Pendataan jumlah apotek pada
wilayah Kecamatan Garut Kota,
Kecamatan Tarogong Kaler dan
Kecamatan Tarogong Kidul
Persiapan Instrumen Penelitian
- Skenario
- Lembar Resep
- Protokol Penelitian
- Check List
- Alat Perekam
Validasi Instrumen
- Validasi Isi
- Validasi Rupa
Teknik Pengumpulan Data
Interaksi langsung dengan
apoteker sebagai keluarga pasien
simulasi
Managemen Data
Editing, Coding, data
processing
Analisis Data
Analisis univariat dengan
Microsoft excel 2010
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
4.2.
Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan wilayah Kabupaten Garut yaitu
Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong
Kidul di Kabupaten Garut. Alasan pemilihan Lokasi ini adalah dikarenakan
distribusi apotek terbanyak di kabupaten Garut ada di tiga kecamatan tersebut.
4.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November 2014 dan
waktu pengumpulan data, pengolahan dan pembahasan dilakukan pada bulan
Maret – Mei 2015.
4.3.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini berupa penelitian non-eksperimental. Desain penelitian ini ex
post facto (Sarwono Jonathan, 2006). Ditinjau dari metode, penelitian ini adalah
penelitian jenis survei dimana peneliti tidak melakukan perubahan (tidak ada
perlakuan khusus) terhadap variabel-variabel yang diteliti dan menurut tingkat
eksplanasi (penjelasan) penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dimana
penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik
satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan, atau
penghubungan dengan variabel yang lain (Siregar Syofian, 2013).
Sumber data dari penelitian ini adalah sumber data primer. Data primer
adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama
atau tempat objek penelitian (Siregar Sofyan, 2013). Metode pengumpulan data
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah berupa wawancara terstruktur dan
observasi dengan metode simulasi pasien. Wawancara terstruktur adalah
wawancara yang dilakukan dengan berpedoman pada sebuah check list kemudian
hasil wawancara diisikan pada lembar check list dengan membubuhkan tanda
(check) yang berarti bernilai satu pada kolom yang sesuai dan observasi yang
dilakukan berupa pegamatan langsung terhadap kondisi lingkugan objek
penelitian (Siregar Sofyan, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
4.4.
Populasi dan Sampel
4.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh apotek yang berada di
wilayah Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan
Tarogong Kidul di Kabupaten Garut. Sedangkan populasi sasaran dari penelitian
ini adalah apoteker atau petugas apotek (non Apoteker) di seluruh apotek yang
berada di wilayah Kecamatan tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut
sampai bulan November 2014 di dapat jumlah populasi Apotek di tiga Kecamatan
tersebut sebanyak 71. Dengan rincian sebagai berikut:
a. Jumlah populasi Apotek di Kecamatan Garut Kota adalah 41
b. Jumlah populasi apotek di Kecamatan Tarogong Kidul adalah 22
c. Jumlah populasi Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler adalah 8
4.4.2. Sampel
Populasi dalam penelitian ini terbagi dalam tiga Kecamatan dengan jumlah
Apotek berbeda pada setiap Kecamatan dan tidak ada sumber yang menyatakan
Apotek di tiga Kecamatan tersebut bersifat homogen. Maka pengambilan sampel
pada penelitian ini dilakukan dengan metode Sampel Random Berstrata (Stratified
Random Sampling).
Berdasarkan jumlah populasi yang sudah diketahui jumlahnya yaitu 71
Apotek maka jumlah unit sampel Apotek dapat dihitung dengan menggunakan
rumus (Lwanga dan Lemeshow, 1991 dikutip dari Jurnal umi athiyah et al.,
2014):
(
………………………………………………(1)
)
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi apotek
p = Estimator proporsi populasi, sebesar 0.76
q = 1-P
Zα2 = Nilai kurva normal yang tergantung dari α (α = 5% maka Z
d = Toleransi kesalahan (10 %)
(
(
)
)
(
)
= 1.96)
= 23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
Berdasarkan hasil perhitungan maka didapat hasil 23 sebagai jumlah
sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian maka dilakukan pembulatan
jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 35 Apotek dengan unit sampel (sasaran
penelitian) Apoteker atau petugas Apotek. Sampel apotek yang diambil pada
setiap kecamatan adalah:
1. Apotek di Kecamatan Garut Kota :
apotek
apotek
2. Apotek di Kecamatan Tarogong Kidul :
3. Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler :
apotek
Setelah jumlah sampel ditetapkan pada tiap kecamatan, kemudian
dilanjutkan dengan pengambilan sampel (Apotek) pada tiap kecamatan secara
random.
4.5.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.5.1. Kriteria Inklusi
1. Apotek yang berada di wilayah Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong
Kaler dan Tarogong Kidul di Kabupaten Garut.
2. Apotek yang memiliki surat izin resmi dan terdata di Dinas Kesehatan
Kabupaten Garut.
4.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Apotek yang telah tutup saat penelitian dilakukan.
4.6.
Langkah Penelitian
4.6.1. Penelitian Pendahuluan
Sebelum penelitian, dilakukan survei pendahuluan. Tujuan dilakukannya
survei pendahuluan adalah untuk memastikan jumlah apotek di daerah Garut
Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong
Kidul. Penelitian pendahuluan ini dilakukan pada bulan November 2014 dengan
cara meminta data apotek resmi di tiga Kecamatan tersebut dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Garut.
4.6.2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Skenario (Lampiran 2)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
2. Lembar Resep Obat Antidiabetes
3. Protokol Penelitian
4. Check List (Lampiran 1)
5. Alat perekam
Skenario dalam penelitian ini menempatkan peneliti sebagai keluarga
pasien yang ingin menebus obat antidiabetes untuk salah satu keluarga peneliti
yang terjangkit penyakit diabetes melitus. Pasien diabetes melitus tersebut
merupakan seorang wanita berumur 40 tahun, baru terdiagnosis diabetes melitus
tipe 2, pasien ini memiliki keluhan berupa sakit mag. Dalam skenario ini dipilih
obat metformin 500 mg dan simetidin untuk diresepkan pada pasien. Skenario
obat ini kemudian di tuliskan dalam resep. Resep yang digunakan dalam
penelitian ini adalah resep yang dituliskan oleh dokter, dimana dokter menjadi
pihak yang membantu dalam melengkapi instrumen penelitian.
Protokol
penelitian
ini
adalah
selama
penelitian
peneliti
tidak
diperbolehkan menunjukkan check list saat mengajukan pertanyaan dan peneliti
tidak ikut serta membantu atau menambahkan jawaban dari narasumber di
Apotek. Hal ini dilakukan agar jawaban yang didapatkan murni berasal dari
narasumber di Apotek. Peneliti harus bersikap objektif dalam menggambarkan
keadaan setiap Apotek dan Apoteker yang ada di dalamnya. Peneliti juga dituntut
untuk memberi perlakuan yang sama pada setiap Apotek yang didatangi sehingga
data yang dihasilkan bersifat objektif.
Check list yang digunakan dalam penelitian diambil dari jurnal Profil
Informasi Obat pada Pelayanan Resep Metformin dan Glibenklamid di Apotek
Wilayah Surabaya yang dibuat Umi Athiyah dkk (2014) karena mampu
menggambarkan peran apoteker dalam pemberian informasi obat, telah tervalidasi
dan sesuai garis besar informasi obat yang harus disampaikan menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014.
4.6.3. Validitas Instrumen
Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian adalah validitas rupa dan
isi. Validitas isi ditentukan dari kesesuaian antara instrumen yaitu check list dan
skenario dengan tinjauan dari pustaka dan variabel yang ingin diteliti. Instrumen
penelitian dikatakan valid karena telah sesuai dengan acuan Peraturan Menteri
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Kesehatan Republik Indonesia No.35 tahun 2014 dan mampu mengiterpretasikan
hal-hal yang ingin dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian.
Validitas rupa menunjukkan apakah alat pengukur/instrument penelitian
dari segi rupanya mampu mengukur apa yang ingin di ukur, validitas ini lebih
mengacu pada bentuk dan penampilan instrument. Menurut Djamaludin Ancok
validitas rupa amat penting dalan pengukuran kemampuan individu seperti
pengukuran kejujuran, kecerdasan, bakat dan keterampilan (Siregar Syofian,
2013). Metode simulasi pasien memiliki validitas rupa bila penyedia layanan
kesehatan tidak mengetahui adanya simulasi keluarga pasien (Watson et .al, 2004
dikutip dari jurnal umi athiyah et al., 2014). Validitas dalam penelitian ini sangat
bergantung pada kemampuan dari peneliti sebagai bagian dari simulasi pasien
diamana poisi peneliti sebagai keluarga pasien. Untuk memastikan kemampuan
pasien cukup maka dilakukan pilot atau uji coba langsung pada suatu apotek
(Watson et.al, 2006 dikutip dari umi athiyah et al., 2014).
Validitas penelitian ini ditingkatkan dengan penggunaan alat perekam
dalam melakukan pengumpulan data, sehingga kemungkinan kehilangan
informasi menjadi berkurang (Madden et.al, 1997 dikutip dari umi athiyah et al.,
2014).
4.6.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan
metode simulasi pasien dan teknik observasi. Wawancara dilakukan dengan cara
berinteraksi langsung dengan apoteker atau petugas Apotek di Apotek terpilih.
Metode simulasi pasien ini digunakan untuk mempelajari perilaku penyedia
layanan kesehatan untuk meminimalkan bias karena pengamatan (Madden et al,
1997 dikutip dari umi athiyah et al., 2014). Tujuannya adalah untuk menguji
perilaku tertentu dari apoteker atau petugas apotek (Watson et.al, 2006 dikutip
dari umi athiyah et al., 2014). Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan
mengamati keadaan Apotek dalam segi sarana, pemberian pelayanan dan
pelaksanaan pelayanan.
Dalam metode ini peneliti memposisikan diri sebagai keluarga pasien yang
menebus obat dengan membawa resep obat antidiabetes. Peneliti akan
menyerahkan resep kepada petugas Apotek kemudian mengajukan pertanyaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
sesuai check list yang telah dipersiapkan sebelumnya namun tanpa menunjukkan
check list tersebut dan setiap jawaban dicatat dalam check list. Pencatatan
dilakukan saat peneliti keluar dari Apotek dengan tujuan mencegah kecurigaan
Apoteker/petugas Apotek tentang adanya simulasi pasien.
Selama pengajuan pertanyaan ini peneliti dituntut memiliki kemampuan
dan keahlian dalam mengajukan pertanyaan sehingga tidak menimbulkan
kecurigaan pada pihak Apotek sehingga jawaban yang di dapat merupakan
jawaban yang menggambarkan keadaan sebenarnya.
4.6.5. Manajemen Data
Setelah proses pengumpulan data selesai dilakukan, maka akan dilakukan
analisis data. Proses pengolahan data dilakukan untuk menyederhanakan data ke
dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan, dengan tahapan
sebagai berikut (Pusdiklat Pengawasan dan Deputi Akuntan Negara, 2007):
1. Pengeditan (Editing)
Pengeditan merupakan proses pengecekan dan penyesuaian yang diperlukan
terhadap data untuk memudahkan pemberian kode dan pemrosesan data
dengan tekhnik statistik. Data yang diperoleh dari hasil penelitian perlu diedit
dari kemungkinan kekeliruan dalam proses pencatatan yang dilakukan dalam
pengumpulan data.
2. Pemberian Kode (Coding)
Pemberian kode merupakan proses identifikasi dan klasifikasi data ke dalam
skor numerik. Proses pemberian kode ini akan memudahkan dan meningkatkan
efisiensi proses data entry ke dalam komputer.
3. Pemrosesan data (Data Processing)
Setelah kedua tahap diatas dilakukan, maka data siap untuk diolah atau
dianalisis.
4.7.
Analisis Data
Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft excel 2010.
Pengolahan data yang dilakukan adalah analisis univariat. Analisis univariat
adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel yang ada
secara deskriptif (Notoatmodjo, 2003). Analisis deskriptif bertujuan untuk melihat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
data secara apa adanya untuk memperoleh gambaran umum mengenai variabelvariabel yang diukur pada sampel (Pusdiklat Pengawasan dan Deputi Akuntan
Negara, 2007).
Analisis yang dilakukan meliputi:
1. Kehadiran Apoteker di tempat kerja (apotek).
2. Gambaran pemberi pelayanan klinik di Apotek
3. Gambaran pelaksanaan pelayanan klinik di Apotek
4. Gambaran kualitas pelayanan klinik ditinjau dari pemberian informasi obat dan
konseling terhadap resep antidiabetes di Apotek.
Analisis yang dilakukan didasarkan dari hasil wawancara langsung
menggunakan check list dengan skala guttman dan observasi di Apotek. Skala
Guttman digolongkan sebagai skala yang berdimensi tunggal yaitu skala yang
menghasilkan kumulatif jawaban yang butir soalnya berkaitan satu dengan yang
lain. Skala ini bersifat tegas karena setiap jawaban dari pertanyaan yang ada di
check list diberi skor 0 untuk jawaban tidak dan 1 untuk jawaban ya (Windiyani
Tustiyana, 2012).
.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelayanan klinik di Apotek meliputi pengkajian resep, dispensing,
pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah
(Home Pharmacy Care), pemantauan terapi obat (PTO) dan monitoring efek
samping obat (MESO). Namun dalam penelitian ini hanya dilakukan survei
dengan melakukan wawancara terstruktur dan observasi dengan metode simulasi
pasien untuk mendeskripsikan pelayanan klinik berupa dispensing berupa
kesesuaian penyerahan obat dengan resep, pelayanan informasi obat terhadap
resep antidiabetes dan konseling. Kelebihan dari metode simulasi pasien ini
adalah hasil data yang didapatkan lebih objektif, mampu menggambarkan keadaan
nyata dan sebenarnya karena minimnya bias yang terjadi akibat pengamatan.
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, jumlah seluruh Apotek di
Kota Garut pada tahun 2014 adalah 139 Apotek. Distribusi Apotek terbesar
berada di Kecamatan Garut Kota sebanyak 41 Apotek, Kecamatan Tarogong
Kidul sebanyak 22 Apotek dan Kecamatan Tarogong Kaler sebanyak 8 Apotek.
Data Pemerintah Daerah Kabupaten Garut pada tahun 2013 menunjukkan jumlah
penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler 93.563 jiwa, jumlah penduduk di
Kecamatan Tarogong Kidul 131.118, dan jumlah penduduk di Kecamatan Garut
Kota 170.875 jiwa.
Apabila dianalogikan satu apotek memiliki satu Apoteker maka rasio
Apoteker terhadap 100.000 penduduk di setiap Kecamatan dapat dihitung.
Perhitungan ini dilakukan untuk meninjau apakah jumlah Apoteker sudah
memadai sesuai yang dibutuhkan oleh Kementerian Kesehatan (12:100.000) dan
WHO (50:100.000) (Adelina 2013 dikutip dari Dyani Primasari Sukandi, 2015).
Rasio standar yang dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan tersebut dapat
diidentikan dengan setiap 1 apotek melayani 8.333 penduduk, sementara standar
WHO identik dengan pengertian 1 apotek melayani 2000 penduduk. Rasio apotek
terhadap jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler adalah 1:11.695, di
Kecamatan Tarogong Kidul 1:5.959 dan di Kecamatan Garut Kota 1:4.197. Data
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
tersebut menggambarkan bahwa rasio Apotek terhadap jumlah penduduk di
Kecamatan Tarogong Kidul dan Garut Kota sudah sesuai standar Kementerian
Kesehatan namun belum sesuai dengan standar WHO. Sedangkan rasio Apotek
terhadap jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler belum memenuhi
standar Kementrerian Kesehatan dan standar WHO.
5.1.
Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong
Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data tentang
frekuensi kehadiran apoteker dari tenaga kefarmasian yang berada di Apotek
selama penelitian, baik Apoteker atau petugas apotek lain (non apoteker). Data
penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 5.1 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan
Tarogong Kaler
Skor
Kegiatan
Kehadiran (%)
5
4
3
2
1
0
0
0
1
1
1
1
30
Frekuensi Kehadiran Apoteker
Kategori
Buruk
Tabel 5.2 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan
Tarogong Kidul
Kegiatan
Frekuensi Kehadiran Apoteker
5
4
Skor
3
2
4
5
1
0
Kehadiran (%)
1
0
0
1
Kategori
78,18
Sedang
Tabel 5.3 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Garut
Kota
Skor
Kegiatan
Kehadiran (%)
5
4
3
2
1
0
14
1
1
1
1
2
80
Frekuensi Kehadiran Apoteker
Kategori
Baik
Dalam tabel tersebut dijelaskan bahwa rata-rata persentase kehadiran
Apoteker di Apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kaler adalah 30% dan hasil
tersebut dikategorikan buruk. Di Apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kidul
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
didapatkan rata-rata persentase kehadiran Apoteker adalah 78,18% dan hasil
tersebut dikategorikan sedang. Di Apotek wilayah Kecamatan Garut Kota
didapatkan rata-rata persentase kehadiran Apoteker adalah 80% dan hasil tersebut
dikategorikan baik. Pengkategorian mengacu pada penelitian Harianti, Angki
Purwanti dan Sudibyo Supardi (2006).
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa Apoteker belum hadir setiap hari
selama jam buka di Apotek. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan
sebelumnya seperti penelitian tahun 2003 di Jakarta oleh Purwanti Angki,
Hartanto dan S. Supardi yang menyatakan bahwa kehadiran Apoteker di Apotek
masih rendah dimana 54,7% Apoteker bekerja tidak penuh. Penelitian serupa
dilakukan di Medan tahun 2008 oleh Adelina BR Ginting (2009) dengan hasil
52,94% apoteker tidak hadir setiap hari. Penelitian terbaru yang serupa juga
dilakukan oleh Rendy Ricky Kwando tahun 2014, dalam penelitian tersebut
digambarkan bahwa skor kehadiran Apoteker di Apotek wilayah Surabaya Timur
adalah 61,3% dan hasil tersebut dikategorikan sedang.
Kehadiran Apoteker ini akan mempengaruhi pelayanan klinik di Apotek
karena syarat utama pelayanan klinik di Apotek dapat berjalan adalah adanya
kehadiran Apoteker di Apotek selaku pelaksana pelayanan klinik dan tugas ini
tidak dapat dialihkan kepada petugas Apotek yang lain termasuk Asisten apoteker.
Dalam penelitian Rendy Ricky Kwando (2014) dijelaskan bahwa frekuensi
kehadiran Apoteker di tempat kerja berkorelasi dengan pelayanan kefarmasian.
Semakin tinggi frekuensi kehadiran Apoteker di tempat kerja maka pelaksanaan
pelayanan kefarmasian akan semakin meningkat. Peningkatan pelayanan
kefarmasian akan menyebabkan peningkatan daya saing Apotek terutama dalam
menarik pelanggan. Hal ini sesuai dengan penelitian Erlin Aurelia (2013) bahwa
konsumen akan berlangganan di Apotek bila Apotek tersebut dapat memberi
kepuasan dalam segi pelayanan dan harga obat. Peningkatan pelanggan di Apotek
akan menyebabkan peningkatan pendapatan Apotek sehingga gaji/upah Apoteker
lebih meningkat. Peningkatan upah kerja ini akan mampu meningkatkan
kehadiran Apoteker di Apotek hal tersebut sesuai dengan penelitian Erik
Darmasaputra (2014) yang menyatakan salah satu alasan utama ketidakhadiran
Apoteker di Apotek adalah masalah upah/gaji Apoteker. Dari pemaparan tersebut
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
maka jelas tergambarkan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kehadiran
Apoteker terhadap pelayanan klinik, pelayanan klinik terhadap kepuasan
pelanggan dan kepuasan pelanggan terhadap peningkatan upah Apoteker.
Karena pelaksanaan pelayanan klinik ini tidak bisa dialihkan kepada pihak
lain selain Apoteker maka Apoteker Pengelola Apotek (APA) wajib mengangkat
seorang Apoteker pendamping untuk membatu pelaksanaan kefarmasian di
Apotek terutama saat APA tidak dapat hadir di Apotek. Hal tersebut sesuai telah
dijelaskan dalam PP No.51 tahun 2009 pasal 24 tentang keharusan Apoteker
mengangkat seorang Apoteker pendamping dalam membantu pelaksanaan
pekerjaan kefarmasian.
5.2.
Gambaran Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan
Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rincian data yang
dapat menggambarakan petugas apotek yang berperan sebagai pemberi pelayanan
klinik di Apotek, dilihat pada gambar berikut ini :.
100%
Apoteker
100%
80%
64%
Petugas apotek (non apoteker)
60%
60%
36.36%
40%
20%
25%
15%
0%
0%
Apoteker dan petugas apotek (non
apoteker)
0%
0%
Kec. Tarogong Kec. Tarogong
Kaler
Kidul
Kec. Garut
Kota
Gambar 5.1. Gambaran Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek
Pemberi pelayanan klinik di Apotek tidak seluruhnya dilakukan oleh
Apoteker. Hal ini dapat dilihat dari grafik distribusi pemberi pelayanan klinik di
Apotek. dimana grafik tersebut menggambarkan bahwa pemberi pelayanan klinik
di apotek wilayah kecamatan Tarogong Kaler 100% dilakukan oleh petugas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
apotek lain (non apoteker). Pelayanann klinik di Apotek wilayah Kecamatan
Tarogong kidul 36,36% dilakukan oleh Apoteker dan 63,64% dilakukan petugas
apotek lain (non apoteker). Pelayanan klinik di Apotek wilayah kecamatan Garut
Kota 60% dilakukan oleh Apoteker, 15% dilakukan oleh Apoteker dan petugas
apotek lain (non apoteker) serta 25% dilakukan oleh petugas apotek lain (non
apoteker). Pelayanan klinik yang belum dilaksanakan sepenuhnya oleh Apoteker
ini serupa dengan hasil penelitian Erlin Aurelia (2013) dimana yang biasa
melayani pasien/pelanggan di Apotek adalah Asisten apoteker (48,12%), diikuti
pegawai apotek (28,30%), baru kemudian Apoteker (13,21%).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saat Apoteker tidak berada di
Apotek secara otomatis pelayanan klinik ke petugas Apotek lain (non Apoteker).
Suasana Apotek yang cenderung ramai tanpa diimbangi tenaga kefarmasian yang
memadai juga mempengaruhi tidak terpenuhinya peran Apoteker sebagai pemberi
pelayanan klinik di Apotek. Apoteker yang bekerja di Apotek cenderung ramai
oleh pelanggan umumnya dituntut untuk ikut serta dalam proses penyiapan obat
sehingga Apoteker tidak mampu memberikan pelayanan klinik yang optimal
kepada pasien/pelanggan. Hal ini terjadi pada 3 (15%) dari 20 Apotek di
Kecamatan Garut Kota, dimana Apoteker memberikan sebagian tugas pemberian
pelayanan klinik kepada petugas apotek yang lain untuk kembali melakukan
penyiapan obat untuk pasien berikutnya.
Hal-hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan
pelayanan klinik sekaligus pelanggaran yang dilakukan oleh Apoteker dalam
pemenuhan tugasnya di Apotek. Hal tersebut sesuai dengan pembahasan peraturan
kewajiban apoteker dalam memberikan informasi obat oleh Sri Yustina Hartini
(2009) dimana pelayanan informasi obat merupakan salah satu bentuk pelayanan
klinik di Apotek. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa dalam UU No.23
tahun 1992 tentang kesehatan pada penjelasan pasal 53, UU No.8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen pasal 7, PP No.32 tahun 1996 tentang tenaga
kesehatan pasal 22, Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 15 ayat 4 dan
Kepmenkes No.1027 thn 2004. Sanksi terhadap tidak dilaksanakannya pemberian
informasi obat diatur dalam PP No.32 tahun 1996 pasal 35 yakni dipidana denda
paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
Masing-masing peran Apoteker dan petugas apotek lain seperti Asisten
Apoteker dalam pelayanan klinik telah dijelaskan dalam peraturan. Salah satunya
adalah Permenkes Republik Indonesia Nomor 376/MENKES/PER/V/2009
tentang petunjuk teknis jabaran fungsional Asisten apoteker dan angka kreditnya
yang menjelaskan bahwa tugas Asisten apoteker sebatas menyiapkan hal-hal yang
diperlukan dalam kegiatan pelayanan klinik dan bertugas dalam menyiapkan obat.
Sedangkan pemberi pelayanan klinik adalah tugas Apoteker, hal ini diperkuat oleh
Permenkes Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 yang menjelaskan bahwa
Apotekerlah yang wajib berkomunikasi dengan pasien dan memberikan informasi
obat pada pasien.
5.3.
Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan
Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota
Pelaksanaan pelayanan klinik di Apotek yang dibahas dalam penelitian ini
mencakup dispensing, pelayanan informasi obat dan konseling. Pelaksanaan
pelayanan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.35 tahun 2014. Berikut adalah pemaparan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.
5.3.1. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Dispensing di Apotek
Salah satu pelayanan klinik di Apotek adalah kegiatan dispensing. Dalam
penelitian ini peneliti menganalisis kegiatan dispensing dalam segi kesesuaian
obat yang diberikan oleh pihak Apotek dengan obat yang tertera dalam resep baik
dari segi jenis dan jumlah. Berikut grafik dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.
8.57%
penyerahan obat sesuai
dengan resep
penyerahan obat tidak
sesuai dengan resep
91.43%
Gambar 5.2 Persentase Kesesuaian Penyerahan Obat dengan Resep
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa 8,57% (3 Apotek) Apotek tidak
melakukan dispensing sesuai dengan resep, dimana letak Apotek tersebut berada
di Kecamatan Garut Kota. Satu apotek di wilayah Kecamatan Garut Kota dimana
petugas apotek (non apoteker) sebagai pemberi pelayanan mengganti obat
simetidin generik menjadi ranitidin paten dan 2 apotek wilayah Kecamatan Garut
Kota lainnya mengganti obat metformin generik dengan obat metformin paten
dimana masing-masing pemberi pelayanan klinik adalah Apoteker dan petugas
apotek (non apoteker). Dari hasil tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa
Apoteker dan petugas apotek (non apoteker) masih melakukan pelanggaran dalam
kegiatan dispensing obat. Penggantian obat generik ke obat paten akan
menyebabkan penambahan beban biaya pasien dalam menebus obat. ketiga kasus
penggantian obat tersebut pada umumnya dilakukan tanpa persetujuan peneliti
sebagai pelanggan Apotek. Penggantian obat dalam resep tanpa sepengetahuan
pasien ini sendiri merupakan bentuk penyimpangan terhadap UU No. 8 tahun
1999.
5.3.2. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat di Apotek
Selanjutnya peneliti melakukan observasi untuk menganalisis pelaksanaan
pelayanan klinik yang terjadi di Apotek berupa pelayanan informasi obat.
Kehadiran Apoteker sebagai pelaksana pelayanan informasi obat ini menjadi
penting karena menjadi syarat utama pelaksanaan pelayanan informasi obat yang
ideal dapat terjadi di Apotek. Berikut gambar yang menunjukkan kehadiran
Apoteker yang dapat ditemui di Apotek pada saat penelitian :
54.29%
45.71%
Apoteker yang tidak
hadir pada jam buka
Apotek
Apoteker yang hadir
pada jam buka Apotek
Gambar 5.3 Gambaran Distribusi Apoteker yang Hadir di Apotek Saat Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 35 apotek yang berada
di tiga kecamatan yang menjadi wilayah penelitian didapatkan data bahwa
apoteker yang hadir di Apotek saat penelitian adalah 19 Apoteker (54,29%)
dengan rincian 4 Apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong Kidul dan 15
Apoteker di Kecamatan Garut Kota. Diantara Apoteker tersebut 17 diantaranya
menyatakan hadir setiap hari di Apotek selama jam buka Apotek, 1 Apoteker
menyatakan hadir 2 kali dalam seminggu dan 1 Apoteker menyatakan hadir 3 kali
dalam seminggu. Sedangkan 45,71% Apoteker tidak dapat ditemui di Apotek dan
hanya petugas apotek (non apoteker) yang berada di Apotek.
Semua Apoteker yang ditemui peneliti di Apotek bersedia untuk
memberikan pelayanan klinik berupa pelayanan informasi obat dengan menjawab
pertanyaan yang diajukan peneliti yang mengacu pada check list. Sedangkan saat
Apoteker tidak hadir dan ingin menanyakan tentang informasi obat yang ingin
diketahui maka petugas apotek (non apoteker) yang berada di Apotek
menyanggupi dan memberikan pelayanan informasi obat kepada peneliti.
Pemindahan tugas Apoteker kepada petugas lain selain apoteker ini tidak
diperbolehkan dan hal ini menunjukkan adanya pelanggaran dalam proses
pelaksanaan pelayanan informasi obat karena bukan Apoteker yang memberikan
pelayanan ini.
Mendapatkan pelayanan klinik berupa pelayanan informasi obat dari
Apoteker merupakan suatu hak dari pasien. Namun sepertinya hak tersebut tidak
sepenuhnya disadari oleh pasien karena berdasarkan hasil pengamatan peneliti di
Apotek saat penelitian tidak ditemukan pasien lain yang meminta pelayanan
serupa dengan peneliti lakukan kepada pihak Apoteker. Kemungkinan masih
kurangnya eksistensi Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang dapat dijadikan
narasumber dalam setiap permasalah obat masih kurang, hal tersebut dipertegas
oleh penelitian Arhayani (2007) yang menyatakan 2,81% saja pengunjung Apotek
yang menjadikan Apoteker sebagai sumber informasi obat. Oleh sebab itu
diperlukan sarana penunjang eksistensi Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang
dapat diandalkan. Berdasarkan hasil rapat kerja nasional pertama IAI tahun
kepengurusan 2014-2018 di Novortel, Jakarta salah satu sarana yang mampu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
menunjang peran Apoteker adalah pemasangan papan praktik apoteker dan
penggunaan jas praktik selama jam kerja di Apotek (Anwar Firdaus, 2014).
5.3.3. Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek
Pelayanan informasi obat merupakan bagian dari isi pembahasan dalam
kegiatan konseling oleh sebab itu Apoteker yang telah memberikan pelayanan
informasi obat berarti telah melaksanakan kegiatan konseling begitu juga dengan
petugas apotek (non apoteker) yang telah melaksanakan pelayanan informasi obat.
Idealnya, dalam kegiatan konseling ini Apoteker selaku pihak yang wajib menjadi
pelaksana pelayanan dituntut untuk berperan aktif untuk memberikan saran,
nasihat dan edukasi berkaitan dengan pengobatan pasien agar pengetahuan,
pemahaman, kesadaran dan kepatuhan pasien dapat meningkat.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun
2014 dijelaskan tentang kriteria yang diharuskan mendapatkan pelayanan
konseling ini, salah satunya adalah pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes
melitus. Peneliti yang berperan sebagai keluarga pasien simulasi yang mengalami
diabetes melitus berarti seharusnya mendapatkan pelayanan ini sehingga tanpa
diminta seharusnya Apoteker secara aktif memberikan pelayanan konseling.
Secara ideal kegiatan konseling ini memiliki 5 tahapan dalam kegiatannya.
Namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tahapan konseling tersebut
belum dilaksanakan secara keseluruhan oleh Apoteker sedangkan petugas apotek
(non apoteker) tidak melakukan satupun tahapan konseling. Hal tersebut
ditunjukkan oleh gambar di bawah ini :
52.63%
60%
tahap 1
50%
tahap 2
40%
30%
20%
10%
tahap 3
21.05%
tahap 4
10.53%
0% 0%
0% 0% 0% 0% 0%
tahap 5
0%
Tahapan Konseling yang
dilakukan Apoteker
Tahapan Konseling yang
dilakukan petugas apotek (non
apoteker)
Gambar 5.4 GambaranTahapan Konseling yang Dilaksanakan oleh Apoteker dan Non
Apoteker
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
Keterangan :
a.
b.
c.
d.
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
e. Tahap 5
: membuka komunikasi dengan pasien
: menilai pemahaman tentang penggunaan obat
: menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat
: memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
: melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Dari grafik diatas dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian Apoteker
melaksanakan beberapa tahapan konseling. Hal ini tepat dilakukan karena
pelaksanaan pelayanan klinik merupakan tugas dari Apoteker. Sedangkan petugas
apotek (non apoteker) sama sekali tidak melanjutkan pelayanan klinik berupa
konseling. Asisten apoteker dalam penelitian ini sebatas menjawab pertanyaan
peneliti dan tidak melakukan analisa lebih lanjut terhadap keadaan pasien. Hal ini
dianggap wajar karena tugas pelaksanaan konseling ini bukan bagian dari petugas
apotek yang lain.
Semua Apoteker yang berinteraksi dengan peneliti tidak berperan aktif
untuk membuka komunikasi dengan peneliti sebagai pelanggan. Salah satu
kegiatan dalam konseling adalah pemberian informasi obat. Peneliti dalam hal ini
sebagai pelanggan Apotek lebih aktif dalam menggali informasi obat yang
diperlukan kepada Apoteker. Hal ini berarti menggambarkan bahwa bila peneliti
sebagai pelanggan Apotek tidak meminta pelayanan informasi obat kepada
petugas Apotek baik Apoteker atau petugas apotek (non Apoteker), maka peneliti
tidak akan mendapatkan pelayanan tersebut. Hasil penggambaran tersebut sesuai
dengan hasil penelitian Arhayani (2007) yang dikutip dalam Nur Alam Abdulah
(2010) yang menunjukkan bahwa 6,17% pengunjung Apotek yang memperoleh
pelayanan informasi, dan 62,7% tidak pernah menerima pelayanan informasi obat
di Apotek yang dimana sebagian besar pengunjung Apotek (95%) membutuhkan
pelayanan tersebut dan baru sebagian kecil yang meminta pelayanan informasi
obat.
Ketidak idealan pemenuhan pelayanan klinik di Apotek dalam segi
pelayanan informasi obat dan konseling ini berarti menggambarkan bahwa
pelayanan klinik di Apotek yang berpusat pada pasien (patient oriented) belum
terlaksana di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan
Kecamatan Garut Kota. Keadaan ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Rini Sasanti Handayani dkk (2006) yang menyatakan semua Apotek yang disurvei
wilayah Jakarta, Yogyakarta dan Makassar belum memprioritaskan pelayanan
kefarmasian dengan pendekatan personal kepada pasien (masih berorientasi pada
obat) atau pelayanan dengan pendekatan personal kepada pasien belum dikenal
masyarakat.
Berdasarkan hasil observasi dan pengamatan, kegiatan konseling di tiap
Apotek tidak dilakukan di tempat khusus, melainkan dilakukan di tempat etalase
jual beli di Apotek. padahal dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 35 tahun 2014 dinyatakan bahwa setiap Apotek wajib mempunyai
ruang khusus konseling yang tertutup yang dilengkapi dengan meja dan kursi
serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. hal ini dilakukan untuk
menjaga privasi dari pasien dan menghindarkan dari gangguan yang dapat
menurunkan keefektifan kegiatan konseling.
Pelayanan klinik berupa pelayanan konseling tidak dijalankan di Apotek
bisa dikarenakan kemampuan apoteker dalam segi pengetahuan dan kemampuan
berkomunikasi yang masih kurang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Rini
Sasanti Handayani (2006) yang menyatakan pengetahuan Apoteker di Apotek
mengenai obat untuk penyakit kronik terbatas hanya meliputi nama obat dan
indikasinya saja sedangkan Apoteker yang bekerja di rumah sakit lebih baik
pengetahuannya dibidang farmakologi/farmakokinetik.
Pelayanan konseling yang tidak dijalankan dalam suatu Apotek juga dapat
berkaitan dengan kemampuan Apoteker dalam melayani pasien atau pelanggan.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa setiap
Apotek yang pelayanan kliniknya dilakukan oleh Apoteker umumnya hanya
bekerja sendiri tanpa adanya Apoteker pendamping. Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa waktu kerja adalah 7
(tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu. Berdasarkan peraturan tersebut maka kemampuan tenaga apoteker dalam
bekerja terbatas. Agar pelayanan klinik di Apotek dapat terlaksana baik dalam
keadaan ramai ataupun dalam keadaan APA tidak dapat melaksanakan tugasnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
di Apotek maka diperlukan Apoteker pendamping agar Apoteker jumlahnya lebih
dari satu di setiap Apotek.
Pelayanan klinik di Apotek berupa pelayanan informasi obat dan konseling
penting dilakukan terutama terhadap penyakit kronis seperti diabetes melitus.
Pasien yang diberi konseling akan lebih mengetahui bahaya dari penyakitnya dan
mengetahui pentingnya ketepatan dalam penggunaan obat terhadap penyakitnya.
Pengetahuan yang lebih dalam dari pasien tentang bahaya penyakitnya dapat
meningkatkan kepedulian pasien untuk menjaga pola hidup yang sehat, pola
penggunaan obat sesuai dengan ketentuan yang telah diinformasikan apoteker dan
kepatuhannya dalam pengobatan dapat meningkat. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Andriani Sesilia Keban, Lutfan Budi Purnoma dan
Mustofa (2013) dimana dalam penelitian tersebut dijelaskan pengaruh konseling
dari Apoteker terhadap pasien diabetes melitus dapat meningkatkan kepatuhan
dalam pengobatan sehingga gula darah pasien lebih terkontrol. Hal tersebut
dibuktikan secara klinis dengan meninjau penurunan AIC terhadap responden
yang diberi konseling dibanding dengan responden yang tidak diberi konseling.
5.4.
Gambaran Kualitas Pelayanan Klinik Apotek di Kecamatan
Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut
Kota
Pemberian informasi obat (PIO) yang diberikan oleh Apoteker kepada
pasien terutama kepada pasien penyakit kronis seperti diabetes melitus sangatlah
penting. Hal tersebut berhubungan dengan sifat penyakitnya, sifat penyakit
diabetes melitus ini seumur hidup (lifelong disease), resiko komplikasi tinggi dan
pembiayaan juga tinggi, dimana hal tersebut telah dinyatakan dalam International
Diabetes Federation (2011). Maka peran Apoteker dalam pemberian informasi
obat yang relevan dengan kebutuhan pasien dan berkualitas merupakan hal yang
sangat penting untuk mencegah atau mengatasi komplikasi yang terjadi akibat
pengobatan yang tidak tepat dan pembiayaan yang tinggi tanpa hasil yang
maksimal.
Gambaran kualitas pelayanan klinik yang akan dipaparkan dapat
menunjukan perbedaan kualitas pelayanan klinik ditinjau dari pemberi pelayanan.
Gambaran tersebut terlihat dari tabel dibawah ini :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Tabel 5.4 Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan Klinik Apotek
No
Kecamatan
1
2
Tarogong Kaler
Tarogong Kidul
3
Garut Kota
Pemberi Pelayanan
Petugas apotek (non Apoteker)
Petugas apotek (non Apoteker)
Apoteker
Petugas apotek (non Apoteker)
Petugas apotek (non Apoteker) +
Apoteker
Apoteker
Persentase
(%)
58,79
59,18
63,39
57,14
59,52
Buruk
Buruk
Kurang baik
Buruk
Buruk
67,86
Kurang baik
Kategori
Tabel diatas menunjukkan bahwa persentase kualitas pelayanan klinik
berupa PIO di apotek Kecamatan Tarogong Kaler persentase yang diberikan oleh
petugas apotek (non Apoteker) adalah 58,79% dan hasil tersebut termasuk
kategori buruk. Hasil persentase kualitas pelayanan klinik berupa PIO di apotek
wilayah Kecamatan Tarogong Kidul yang diberikan oleh petugas apotek (non
Apoteker) adalah 59,18% dan hasil tersebut dikategorikan buruk sedangkan
kualitas PIO cenderung meningkat saat diberikan oleh Apoteker yaitu 63,39% dan
hasil tersebut dikategorikan kurang baik. Hasil persentase kualitas pelayanan
klinik berupa PIO di Apotek Kecamatan Garut Kota yang diberikan oleh petugas
apotek (non Apoteker) adalah 57,14% dan hasil tersebut dikategorikan buruk,
kualitas PIO cenderung meningkat saat pelayanan PIO dilakukan oleh petugas
apotek (non Apoteker) yang dibarengi oleh Apoteker yaitu 59,52% dan hasil
tersebut dikategorikan buruk sedangkan kualitas PIO cenderung lebih meningkat
lagi saat dilakukan secara keseluruhan oleh Apoteker yaitu 67,86% dan hasil
tersebut dikategorikan kurang baik.
Dari hasil tersebut dapat tergambarkan bahwa persentase kualitas
pelayanan informasi klinik yang dilakukan Apoteker cenderung lebih tinggi
dibandingkan yang dilakukan oleh petugas apotek (non Apoteker) dan petugas
apotek (non Apoteker) yang dibarengi Apoteker. Berdasarkan latar belakang
pendidikan antara Apoteker memang sudah sewajarnya Apoteker memiliki
pemahaman yang lebih tentang obat. Pemahaman Apoteker terkait obat
merupakan harapan tersendiri dari konsumen. Pemahaman Apoteker yang baik
terkait obat akan menimbulkan kepercayaan pasien terhadap profesi Apoteker
sebagai sumber informasi tentang obat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Erlin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Aurelia (2013) yang menyatakan bahwa pasien yang mendapatkan pelayanan
langsung dari Apoteker cenderung mempercayai Apoteker sebagai sumber
informasi terkait kesehatan mereka. Oleh sebab itu menjadi hal yang penting
untuk Apoteker melakukan pelayanan klinik dibarengi kualitas informasi yang
baik.
Dalam penelitian, pertanyaan yang diajukan dalam penilaian kualitas
pelayanan klinik dari segi pelayanan informasi obat disesuaikan dengan check list.
Informasi dalam check list tersebut perlu disampaikan kepada pasien penyakit
kronis dengan penggunaan obat jangka lama seperti diabetes melitus. Hal tersebut
didukung oleh penelitian Rini Sasanti
Handayani (2006) yang menyatakan informasi lengkap mengenai
penggunaan obat, cara penyimpanan obat, efek samping, tindakan bila efek
samping timbul/keracunan obat dan bila terjadi salah dosis, pantangan obat
dengan penyakit tertentu atu makanan saat makan obat tersebut perlu disampaikan
kepada pasien.
Kualitas pelayanan klinik ini ditinjau dari segi ketepatan pemberian
informasi obat kepada pasien di Apotek. Semakin banyak pertanyaan yang
dijawab dengan tepat maka nilai kualitas pelayanan klinik akan meningkat.
Berikut adalah paparan grafik yang menggambarkan kesalahan jawaban selama
pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh Apoteker atau petugas apotek (non
Apoteker) sehingga menurunkan kualitas pelayanan klinik. Berikut adalah gambar
yang menunjukkan persentase kesalahan dari setiap pertanyaan yang diajukan
dimana kesalahan jawaban inilah yang mempengaruhi dari pemberi pelayanan
informasi obat:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
A.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Apoteker (metformin)
Apoteker (simetidin)
A
0%
B
31.57%
C
0%
26.31% 52.63% 26.31%
petugas apotek (non Apoteker) (metformin)
Asisten apoteker (simetidin)
25% 81.25%
0%
26.31% 25% 18.75%
D
0%
E
0%
F
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
6%
G
0%
H
100%
I
100%
J
K
L
50% 93.75% 50%
M
0%
N
0%
0%
100%
100%
50% 93.75% 50%
36.68% 100%
0%
100%
0%
0%
100% 84.21% 100% 84.21%
0%
0%
100% 84.21% 100% 84.21%
0%
0%
Gambar 5.5 Persentase Kesalahan Informasi Obat yang Diberikan oleh Pemberi Pelayanan di Apotek
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
Interaksi
Pencegahan interaksi
Efek samping obat
Pencegahan efek samping obat
Gejala efek samping obat
Makanan dan minuman yang harus dihindari
Cara penyimpanan
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keterangan:
A. Tujuan penggunaan
B. Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
C. Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah
makan)
D. Jumlah frekuensi penggunaan
E. Jumlah obat sekali minum
F. Nama obat
G. Indikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Berdasarkan gambar grafik di atas tujuan penggunaan metformin dan
simetidin adalah pertanyaan pertama yang diajukan. Dilihat dari kesalahan
informasi yang paling banyak disampaikan oleh Apoteker (26,31%) dan petugas
apotek (non Apoteker) (26,31%) adalah info tujuan penggunaan simetidin. Hal ini
disebabkan kesalahan pemberi pelayanan informasi obat dalam memahami
mekanisme kerja simetidin. Kebanyakan jawaban yang diberikan simetidin
digunakan untuk menguatkan lambung padahal seharusnya simetidin digunakan
untuk menurunkan asam lambung. Kesalahan penyampaian tujuan penggunaan
metformin juga ditunjukkan oleh petugas apotek (non Apoteker) (25%) karena
jawaban yang diberikan tidak menyebutkan metformin digunakan untuk
menurunkan gula darah dan bahkan terdapat Asisten Apoteker yang
menyampaikan metformin digunakan untuk menurunkan kolesterol. Pelayanan
informasi obat tentang tujuan penggunaan yang tepat dapat menghindarkan dari
kasus Drug Related Problem karena kesalahan penggunaan obat.
Kesalahan informasi tentang waku penggunaan obat metformin oleh
Apoteker (31,57%) dan petugas apotek (non Apoteker) (81,25%) masih tinggi, hal
serupa ditunjukkan pada kesalahan informasi obat simetidin dilakukan oleh
Apoteker yaitu 52,63% dan petugas apotek (non Apoteker) yaitu 25%. Kesalahan
jawaban pun beragam, beberapa petugas di Apotek menjawab bahwa metformin
digunakan pagi dan malam, sedangkan simetidin pagi dan sore. Jawaban yang
tepat untuk pertanyaan tersebut adalah obat metformin digunakan pagi dan sore
dengan selang waktu 12 jam. Sedangkan simetidin berdasarkan studi literatur
sebaiknya digunakan pada waktu pagi dan malam hari..
Kesalahan informasi waktu penggunaan obat (sebelum/sedang/sesudah)
ditunjukkan pada obat simetidin oleh Apoteker adalah 26,31% dan petugas apotek
(non Apoteker) adalah 18,75%. Kesalahan informasi yang disampaikan adalah
simetidin digunakan sebelum makan dimana lambung dalam keadaan kosong.
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, simetidin baik digunakan dengan
makanan sehingga jawaban yang tepat adalah sesudah makan dimana kondisi
perut telah terisi makanan.
Jawaban pertanyaan tentang jumlah frekuensi penggunaan, jumlah obat
sekali minun secara keseluruhan informasi yang diberikan oleh seluruh apotek
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
yang menjadi sampel penelitian adalah tepat. Informasi tentang nama obat
sebagian besar jawabannya tepat. Namun, ada 1 (6%) petugas apotek (non
Apoteker) yang tidak menyebutkan nama obat dan hanya menjelaskan bahwa obat
yang digunakan untuk obat lambung. Hal ini terjadi pada apotek yang mengganti
simetidin dengan ranitidin.
Kesalahan informasi tentang indikasi obat ditunjukkan oleh petugas apotek
(non Apoteker) adalah 36,68% mengenai obat metformin. Bentuk kesalahan yang
dilakukan adalah tidak menjelaskan tentang indikasi metformin untuk diabetes
melitus tipe 2 atau diabetes mellitus tahap awal. Sebagian petugas apotek (non
Apoteker) menginformasikan pemilihan obat metformin adalah hasil diagnosis
dokter terhadap penyakit pasien. Padahal Informasi indikasi obat ini perlu
disampaikan dengan baik oleh Apoteker pada pasien dengan tujuan agar obat yang
telah dibeli tidak akan sembarangan dipakai oleh orang lain yang mungkin
memiliki mengidap penyakit diabetes melitus tapi tipe diabetes melitus yang
dialami berbeda dengan pasien tersebut. Kesalahan terapi karena obat diabetes
melitus yang tidak sesuai dengan tipe DM dan keadaan patofisiologis pasien bisa
menyebabkan hasil pengobatan tidak maksimal atau pengontrolan gula darah tidak
optimal.
Kesalahan interaksi obat menunjukan persentase paling tinggi pada
Apoteker dan petugas apotek (non Apoteker) yaitu 100%. Kesalahan informasi
tentang interaksi obat dan pencegahannya ini utamanya menunjukkan bahwa
apoteker dan petugas apotek (non Apoteker) ini tidak mampu mengkaji adanya
interaksi obat dalam resep. Metformin dan simetidin ini mempunyai
kecenderungan interaksi. Bentuk interaksi yang terjadi adalah penurunan ekskresi
metformin oleh ginjal akibat adanya simetidin sehingga bisa menyebabkan lactic
acidosis. Namun bila kedua obat ini harus digunakan berbarengan makan hal yang
dapat mencegah interaksinya adalah dengan cara menurunkan dosis metformin.
Pada gambar tersebut juga dapat terlihat bahwa 50% Apoteker tidak
mengetahui efek samping dan gejala efek samping yang bisa ditimbulkan
metformin dan simetidin, dan 84,21% petugas apotek (non Apoteker) juga tidak
mengetahui efek samping dan gejala efek samping dari metformin dan simetidin.
Sebagian besar petugas Apotek menyatakan bahwa metformin obat yang aman
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
dan tanpa efek samping untuk diminum. Padahal metformin mempunyai efek
samping terbesar ke gastrointestinal yang menimbulkan rasa mual, muntah, sakit
perut dan diare. Biasanya efek ini muncul 2-3 minggu awal dan setelahnnya akan
membaik. Peringatan tentang ESO ini perlu disampaikan sehingga saat ESO
muncul pasien dapat mengatasinya dan mematuhi saran untuk meneruskan
penggunaan obat.
Apoteker dituntut untuk mengetahui informasi efek samping obat agar
dapat menginformasikan cara penananganan efek samping yang timbul sehingga
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat dapat terjaga. Akibat dari kurangnya
pengetahuan Apoteker dan petugas apotek (non Apoteker) mengenai efek samping
metformin dan simetidin maka 93,75% Apoteker dan 100% apotek (non
Apoteker) tidak bisa menyampaikan cara pencegahan yang tepat. Cara
pencegahan agar efek samping tersebut tidak timbul adalah menyarankan pasien
untuk menggunakan obat bersama dengan makanan.
Selama proses pelayanan klinik petugas Apotek secara keseluruhan dapat
menjelaskan dengan baik makanan yang perlu dihindari pasien. Informasi ini
menjadi penting karena pola hidup yang tepat bisa menunjang kesehatan pasien
menjadi lebih baik. Penjelasan tentang cara penyimpanan juga disampaikan
dengan baik oleh petugas apotek (non Apoteker). Cara penyimpanan perlu untuk
disampaikan agar pasien menempatkan obat di tempat yang sesuai sehingga obat
terhindar dari lingkungan yang mungkin menyebabkan kerusakan pada sediaan.
Stabilitas sediaan yang terjaga secara langsung mempengaruhi keefektifannya, hal
tersebut yang melatar belakangi diperlukannya peran apoteker dalam menjelaskan
hal tersebut.
Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa kesalahan pemberian
informasi obat tertinggi pada bagian interaksi obat, pencegahan interaksi, efek
samping obat, pencegahan efek samping obat dan gejala efek samping obat. Bila
dibandingkan persentase kesalahan pemberian informasi obat antara Apoteker dan
petugas apotek (non Apoteker) maka didapatkan hasil bahwa pemberian informasi
obat dari Apoteker persentase kesalahannya cenderung lebih kecil dibandingkan
dengan persentase kesalahan petugas apotek (non Apoteker).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1.
Kehadiran Apoteker di Apotek belum terpenuhi secara optimal karena
masih didapati Apoteker yang tidak hadir di Apotek pada jam buka Apotek.
Kehadiran Apoteker di Apotek merupakan syarat utama pelayanan klinik di
Apotek dapat berjalan karena pelayanan klinik ini adalah tugas Apoteker
yang tidak dapat dialihkan ke petugas Apotek lain termasuk Asisten
Apoteker.
2.
Pemberi pelayanan klinik di Apotek belum sepenuhnya dilakukan oleh
Apoteker, masih terdapat pengalih tugasan ke petugas apotek (non
Apoteker) saat Apoteker tidak dapat hadir di Apotek. Dalam pelaksaanan
pelayanan klinik berupa dispensing masih terdapat pelanggaran berupa
penggantian obat yang tidak sesuai dengan resep yang dilakukan oleh
Apoteker ataupun Asisten apoteker. Pelaksanaan pelayanan klinik berupa
informasi obat masih menuntut keaktifan pelanggan agar hak pelayanan
tersebut terpenuhi dan pelayanan klinik berupa konseling belum berjalan di
Apotek. Kualitas pelayanan klinik di Apotek cenderung meningkat bila
Apoteker terlibat dalam pelaksanaan pelayanan tersebut namun Apoteker
belum mampu mengidentifikasi adanya interaksi dan efek samping dari
resep diabetes melitus yang diberikan. .
3.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pelayanan klinik terutama
dispensing, pelayanan informasi obat dan konseling di Apotek wilayah
Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan
Garut Kota di Kabupaten Garut belum berjalan dengan baik dan belum
sesuai dengan peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
6.2. Saran
1.
Sosialisasi terhadap peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun
2014 terhadap Apoteker yang bekerja di Apotek harus dilakukan oleh pihak
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan pihak Ikatan Apoteker
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Indonesia. Hal ini dilakukan agar Apoteker lebih paham cakupan kerja yang
harus dilakukan di Apotek, lebih mengerti konsekuensi hukum, sosial, dan
kerugian segi kesehatan pasien yang bisa ditimbulkan dari ketidakdisiplinan
kerja.
2.
Apoteker sebaiknya meningkatkan pengetahuan tentang obat-obatan dan
mengikuti seminar pelatihan bertema pharmaceutical care. Hal ini perlu
dilakukan
untuk
meningkatkan
kemampuan
berkomunikasi
dan
pengetahuan Apoteker dalam melakukan pelayanan klinik di Apotek.
3.
Penelitian lebih lanjut tentang gambaran peran Apoteker di wilayah
Kecamatan lain di Kabupaten Garut perlu dilakukan agar mampu
menggambarkan peran Apoteker dalam cakupan kabupaten. Pendalaman
tentang hal-hal yang menjadi penyebab peran Apoteker di Apotek wilayah
Tiga Kecamatan yang menjadi penelitian yang masih kurang bisa dijadikan
tema dalam penelitian lanjutan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Daftar Pustaka
Alam Nur Abdulah dkk. 2010. Pengetahuan, Sikap dan Kebutuhan Pengunjung
Apotek terhadap Informasi Obat di Kota Depok. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 344-352
Andriani Sesilia Keban dkk. 2013. Evaluasi Hasil Edukasi Farmasis pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal
Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol 11 No.1 April 2013 hlm 45-52
Anwar Firdaus. 2014. Samai Dokter, Apoteker Kini Praktik Pakai Jas dan Papan
nama. http://health.detik.com/read/2014/06/15/080113/2608376/763/samaidokter-apoteker-kini-praktik-pakai-jas-dan-papannama?991104topnews.
Diakses pada 18 April 2015
APhA Pharmaceutical Care Guidelines Advisory Committee, approved by the
APhA Board of Trustees, August 1995.
Arhayani. 2007. Perencanaan dan Penyiapan Pelayanan Konseling Obat serta
Pengkajian Resep bagi Penderita Rawat Jalan di Rumah Sakit Immanuel
Bandung.
Athiyah Umi dkk. 2014. Jurnal Famrmasi Komunitas Vol.1. No.1: Profil
Informasi Obat pada Pelayanan Resep Metformin dan Glibenklamid di
Apotek di Wilayah Surabaya. Surabaya: Departemen Farmasi Komunitas
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Aurelia Erlin. 2013. Harapan dan Kepercayaan Konsumen Apotek Terhadap
Peran Apoteker yang Berada di Wilayah Surabaya Barat. Jurnal Imliah
Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1
Azrifitria dan Silma Awalia. 2013. Farmakoterapi Diabetes. Prodi Farmasi FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2013). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
Baxter Karen. 2008. Stocley’s Drug Interaction 8th Edition. Pharmaceutical Press:
United Kingdom
Christina A.K. Dewi, et al. 2014. Drug Therapy Problems Pada Pasien yang
Menerima Resep Polifarmasi (Studi di Apotek Farmasi Airlangga
Surabaya). Jurnal Farmasi Komunitas Vol.1, No.1, (2014) 17-22
Darmasaputra Erik. 2014. Pemetaan Peran Apoteker dalam Pelayanan
Kefarmasian Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek di Surabaya
Barat. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vo. 3. No. 1
Depatemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Melitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia
Dinas Kesehatan Kabupaten Garut. 2014. Data Apotek di Wilayah Kabupaten
Garut.
Dyani Primasari Sukandi. 2015. Analisis Distribuso Apotek dengan Sistem
Informasi Geografis. Diambil dari Jurnal Manajemen dan Pelayanan
Farmasi Vol.5 No.1 Maret 2015. Diakses 5 April 2015 pada
http://jmpf.farmasi.ugm.ac.id/index.php/1/article/view/29/28.
Ginting BR Adelina. 2009. Penerapann Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
di Kota Medan Tahun 2008. Skripsi Medan: Universitas Sumatera Utara
Gotera Wira dan Dewa Gede Agung Budiyasa. 2010. Penatalaksanaan
Ketoasidosi Diabetik (KAD). Jurnal Penyakit Dalam Volume 11 Nomor 2
Mei2010.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=3245&val=97
Diakses pada 30 Maret 2015
Harianto, Angki Purwanti dan Sudibyo Supardi. 2006. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Pelaksanaan Draft Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek di DKI Jakarta.Buletin Penelitian Kesehatan Vol.34. No. 2. 2006:
83-92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Hartini Sri Yustina. 2009. Relevansi Peraturan dalam Mendukung Praktek Profesi
Apoteker di Apotek. Yogyakarta: Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VI, No.
2, Agustus 2009, 97 - 106
Hexparm Jaya Kalbe Company . 2013. http://www.hexpharmjaya.com/. Diakses
pada 18 April 2015
Ikatan Apoteker Indonesia. 2011. Standar Kompetensi Apoteker Indonesia.
Jakarta: Ikatan Apoteker Indonesia
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). 2013. Standar Praktik Apoteker Indonesia 2013.
http://iaijabar.net/download-file/file/92pedomanpraktikapoteker
indonesia.
Diakses pada 3 Desember 2014
International Diabetes Federation. 2011. Global Diabetes Plan 2011-2021.
http://www.idf.org/sites/default/files/Global_Diabetes_Plan_Final.pdf.
Diakses pada tanggal 17 Oktober 2014
International Diabetes Federation. 2013. Diabetes Atlas Sixth Edition.
http://www.idf.org/worlddiabetesday/toolkit/gp/facts-figures. Diakses pada
17 Oktober 2014
John. 2011. Penanganan Diabetes Tak Hanya Kuratif Melainkan Holistik.
http://www.garutkab.go.id/pub/news/plain/7497-penanganan-diabetes-takhanya-kuratif-melainkan-holistik/. Diakses 15 November 2014
Kwando Rendy. R. 2014. Pemetaan Peran Apoteker dalam Pelayanan
Kefarmasian Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek di Surabaya
Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.3 No.1 2014
Lacy, Charles F et al. 2009. Drug Information Handbook 14th edition. Lexicomp.:
North American.
Lwanga, SK, Lemeshow, S. 1991. Sample Size Determination in Health Studie,
WHO: Genewa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
Maric Andreja. 2010. Metformin-More Than ‘Goal Standard’ In The Treatment of
Type 2 Diabetes Mellitus. Cakovec, Croatia: Department of Internal
Medicine.
McEvoy, K. 2002. AHFS Drug Information. American Society of Health-System
Pharmacists: Wisconsin
Nita Yunita, Ana Yuda dan Gesnita Nugraheni. 2012. Pengetahuan Pasien
Tentang Diabetes dan Obat Antidiabetes Oral. Jurnal Farmasi Indonesia
Vol. 6 No.1 Januari 2012: 38-47
Notoatmodjo, S.2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Pemerintah
Kabupaten
Garut.
2014.
Penduduk
dan
Sex
Ratio 2013.
http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/sosbud_demografi_sex_r
atio. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015.
Pemerintah
Kabupaten
Garut.
2014.
Wilayah
Administratif.
http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/sekilas_wiladmin Diakses
pada 30 Maret 205
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasiaan
Purwanti Angki, Hartanto dan Sudibjo Supardi. 2004. Gambaran Pelaksanaan
Standar Pelayanan Farmasi di Apotek DKI Jakarta Tahun 2003. Jakarta:
Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.2, Agustus 2004, 102 – 115
Pusdiklat Pengawasan dengan Deputi Akuntan Negara. 2007. Pengumpulan dan
Pengolahan
Data.
Diunduh
dari
http://www.ndaru.net/wp-
content/uploads/audit-kinerja-sektor-publik-pengumpulan-dan-pengolahandata.pdf. Pada tanggal 28 Mei 2015.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Rambadhe, S, Chakarborty, A, Shrivastava, A, Ptail, UK, Rambadhe, A 2012, ‘A
Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate Medications’, Toxicol
Int., 19(1), pp. 68-73
Rhonda M. Jones. 2008. Pengkajian Pasien dan Peran Farmasis dalam Perawatan
Pasien. http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pengkajian-pasien-danperan-farmasis-dalam-perawatan-pasien2.pdf. Diakses pada 15 November
2014
Rini Sasanti Handayani dkk. 2006. Eksplorasi Pelayanan Informasi yang
Dibutuhkan Konsumen Apotek dan Kesiapan Apoteker Memberi Informasi
Terutama untuk Penyakit Kronik dan Degeneratif. Majalah Ilmu
Kefarmasian. Vol III. No.1 April 2006. 38-46
Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo. 1999. Transitions, part 1 : Beyond
Pharmaceutical Care. Vol 56 Sep 1 1999 Am J Health-Syst Pharm
Siregar Sofyan. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana
Prenamedia Group
Sutandi Aan. 2012. Self Management Education (DSME) Sebagai Metode
Alternatif dalam Perawatan Mandiri Pasien Diabetes Melitus di dalam
Keluarga. Diambil dari http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/file_artikel_
abstrak/Isi_Artikel_615247532884. pdf 2011. Diakses pada tanggal 31
Oktober 2014
Sweetman. S. 2009. Martindale Ed. 36th. The Pharmaceutical Press, London
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diambil dari
http://www.itjen.depkes.go.id/public/upload/unit/pusat/files/uud1945.pdfpad
. Diakses pada 5 November 2014
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Wells Barbara G. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh edition. The
McGraw-Hill Companies: United States
WHO. 1997. The role of pharmacist in the health care system. Report of a third
WHO consultative group on the role of the pharmacist vancouver, Canada,
27-29 August 1997
Windiyani Tustiyana, 2012. Instrumen untuk Menjaring Data Interval Nominal,
Ordinal dan Data tentang Kondisi, Keadaan, Hal Tertentu dan Data untuk
Menjaring Variabel Kepribadian. Jurnal Pendidikan Dasar Vol.3 No 5
Desember 2012
World Health Organization. 2013. Diabetes facts sheet. Diambil dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en. Diakses pada tanggal
17 Oktober 2014
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Lampiran 1.
Check List yang digunakan sebagai acuan selama wawancara
dengan metode simulasi pasien
Hasil
Peran Apoteker dalam Pelayanan klinik
Kehadiran Apoteker di Apotek
Kesediaan Apoteker memberi pelayanan klinik
Apoteker
Pemberi Pelayanan Klinik
Asisten Apoteker
Pelayanan Klinik
Metformin
Dispensing
Penyiapan dan penyerahan
obat
Pelayanan Informasi
Obat (PIO)
Tujuan penggunaan
Simetidin
Waktu penggunaan
(pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
(sebelum/sedang/sesudah
makan)
Jumlah Frekuensi
Penggunaan
Jumlah obat sekali minum
Nama Obat
Indikasi
Interaksi
Pencegahan Interaksi
Efek samping obat (ESO)
Pencegahan ESO
Gejala ESO
Makanan dan minuman
yang harus dihindari
Cara Penyimpanan
Konseling
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Tahap 4
Tahap 5
Konseling dilakukan
optimal?
Keterangan :
Penilaian (skor) :
1. Sesuai literatur, nilai 1
2. Tidak sesuai literatur, nilai 0
Jawaban berdasarkan literatur :
1.
Dispensing
Skor 1 :
Obat yang diberikan sesuai dengan obat yang ada di resep, dengan jumlah
yang tepat, dalam wadah yang cocok dan etiket yang tepat.
Skor 0 :
Obat yang diberikan tidak sesuai dengan obat yang ada di
resep, dengan jumlah yang tidak teat, wadah dan etiket tidak cocok.
2.
Pelayanan informasi obat
a.
Tujuan penggunaan:
Skor 1 : -
metformin digunakan untuk menurunkan glukosa darah pada pasien
diabetes mellitus dengan cara menurunkan produksi glukosa hati
(Depkes, 2005).
-
simetidin digunakan untuk menurunkan sekresi lambung dengan
cara ppenghambatan reseptor histamin (H2) (Lacy Charles F et al,
2009).
Skor 0 : jawaban tidak sesuai literatur.
b.
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam):
Skor 1: - metformin 500 mg diminum pagi dan sore dengan selang waktu 12 jam
(Sweetman. S. 2009).
- simetidin 800 mg digunakan saat akan tidur atau 400 mg 2 pagi dan
malam (Lacy Charles F et al, 2009).
Skor 0:
c.
jawaban tidak sesuai dengan literatur
Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan):
Skor 1: -
metformin digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek
samping yang berhubungan dengan pencernaan (McEvoy 2002).
- simetidin digunakan bisa setelah atau sedudah makan karena ada
tidaknya makanan tidak mempengaruhi absorbsinya (Lacy Charles F
et al, 2009).
Skor 0: jawaban tidak sesuai dengan literatur.
d.
Jumlah frekuensi penggunaan:
Skor 1: - metformin 500 mg digunakan sehari dua kali (Sweetman,
2009)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
- simetidin digunakan 800 mg/hari (Lacy Charles F et al, 2009)
Skor 0: jawaban tidak sesuai dengan literatur.
e.
Jumlah obat sekali minum :
Skor 1: - metformin diberikan sebanyak 1 butir untuk jumlah 500
mg
(Lacy Charles F et al, 2009).
- simetidin 1 butir untuk jumlah 400 mg (Lacy Charles F et al, 2009).
Skor 0:
f.
apoteker memberikan jawaban tidak tepat.
Nama obat:
Skor 1:
apoteker menyebutkan masing-masing nama obat yang akan
diberikan.
Skor 0:
g.
apoteker tidak menyebutkan nama obat yang diberikan.
Indikasi:
Skor 1: - metformin digunakan untuk terapi pada pasien diabetes tidak tergantung
insulin dengan kelebihan dengan berat badan dimana kadar gula
tidak bisa dikontrol dengan diet saja dan untuk terapi tambahan pada
pasien DM dengan ketergantungan terhadap insulin yang gejalanya
tak bisa dikontrol (Hexpharm jaya laboratories).
- simetidin digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan
pencernaan (peptic ulcer disease, duodenal ulcer disease, gastric
bleeding) (Lacy Charles F et al, 2006)
Skor 0:
h.
apoteker tidak menjelaskan indikasi penggunaan obat
Interaksi:
Skor 1: penggunaan simetidin dan metformin secara bersamaan bisa menyebabkan
penurunan ekskresi metformin oleh ginjal sehingga bisa menyebabkan
lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini harus di gunakan dalam waktu
yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin untuk
mencegah interaksi tersebut (Karen Baxter, 2008). Bila interaksi obat
terjadi dengan menimbulkan laktat asidosis maka terapi cairan dan
terapi insulin menjadi penanganannya (Gotera Wira dan Dewa Gede
Agung Budiyasa, 2010)
Skor 0: apoteker tidak menjelaskan interaksi yang terjadi
i.
Efek samping obat (ESO):
Skor 1: - Metformin menyebabkan diare, mual, muntah, kembung, kram dan nyeri
abdominal, flatulensi dan anoreksia (McEvoy, 2002) dan dalam
dosis berlebih bisa menyebabkan hipoglikemia.
- Simetidin umumnya mempunyai efek samping berupa sakit kepala
atau pusing yang bersifat reversibel. (Lacy Charles F et al, 2006)
Skor 0:
j.
Apoteker tidak menjelaskan sesuai literatur.
Pencegahan ESO:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
Skor 1: -
efek samping metformin bisa ditangani dengan penggunaan obat
bersama makanan, memulai terapi dengan dosis yang rendah serta
peningkatan dosis secara perlahan (MsEvoy, 2002),
Skor 0:
k.
penjelasan informasi efek samping tidak sesuai dengan literatur.
Gejala ESO:
Skor 1:
gejala efek akibat interaksi obat adalah muntah, sakit perut, dehidrasi,
lemah, takikardia, respirasi kuusmaul (Gotera Wira dan Dewa Gede
Agung Budiyasa, 2010)
Skor 0:
l.
apoteker tidak menjelaskan gejala efek samping obat.
Makanan, minuman dan aktivitas yang harus dihindari:
Skor 1:
pasien diabetes sebaiknya kurangi makanan ber-karbohidrat tinggi,
makanan berlemak tinggi, dan snack,dan sangat disarankan untuk
menjaga agar makanan yang dikonsumsi mengansung gizi yang
seimbang untuk mencegah timbulnya gangguan pencernaan seperti
peptic ulcer disease maka hindari makanan pedas, makanan dengan
kandungan asam tinggi, cafein dan alkohol (Wells Barbara G. 2009).
Skor 0:
apoteker tidak memberikan informasi sesuai literatur.
m. Cara penyimpanan:
Skor 1:
metformin ataupun simetidin disimpan pada suhu kamar (25-30oC),
dalam wadah tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari
(Hexpharm Jaya Laboratoies dan informasi obat, 2013).
Skor 0:
3.
apoteker tidak menjelaskan cara penyimpanan
Tahapan dan isi konseling berisi:
a.
Tahap 1: Membuka komunikasi antara apoteker dan pasien
b.
Tahap 2: Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat
melalui Three Prime Questions
c.
Tahap 3: Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi
kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah
penggunaan Obat.
d.
Tahap 4: Memberikan penjelasan kepada pasien untuk
menyelesaikan masalah penggunaan Obat
e.
Tahap
5: Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman
pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
Lampiran 2.
No
Komposisi resep yang diberikan oleh pasien
Detil Skenario
Obat yang diresepkan
-
R/Metformin 500 mg
No X
S b dd 1
-
1
R/Simetidin 300 mg
No X
S 4 dd 1
-
Peneliti berperan sebagai keluarga pasien. Gejala
yang dialami : cepat lelah. Pusing, sering kencing
terutama di malam hari. Pasien berjenis kelamin
perempuan umur 40 tahun. Baru kali ini
mendapatkan obat antidiabetes. Pasien terkadang
mengalami sakit mag.
Pasien usia 40 tahun, wanita, BB 85 kg, TB 170
cm, GDA 300 mg/dl, GDP 180 mg/dl, GD2PP
250 mg/dL, HDL 70 mg/dL, LDL 60 mg/dL, TG
140 mg/dL (cek dilakukan sehari sebelum ke
apotek).
Tidak ada riwayat alergi obat, tidak ada riwayat
penyakit lain
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
Lampiran 3.
Perhitungan Frekuensi Kehadiran Apoteker
Kecamatan Wilayah Kabupaten Garut
di
Apotek
A. Perhitungan Tabel 5.1 gambaran frekuensi kehadiran apoteker di Apotek
Kecamatan Tarogong Kaler
No
1
2
3
4
Kode apotek
001
002
003
004
Skor Kehadiran Apoteker
3
0
1
2
Skor
Kegiatan
Kehadiran (%)
5
4
3
2
1
0
0
0
1
1
1
1
30
Frekuensi Kehadiran Apoteker
Kategori
Buruk
Rumus :
Jadi rata-rata persentase kehadiran apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler adalah
x 100% = 30 %
Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai
berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka rata-rata persentase kehadiran Apoteker dikategorikan buruk
B. Perhitungan Tabel 5.2 gambaran frekuensi kehadiran apoteker di Apotek
Kecamatan Tarogong Kidul
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kode apotek
005
006
007
008
009
010
011
012
013
014
015
Skor Kehadiran Apoteker
5
4
5
4
0
0
3
5
5
4
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
Kegiatan
Frekuensi Kehadiran Apoteker
5
4
Skor
3
2
4
5
1
Kehadiran (%)
0
1
0
0
1
78,18
Kategori
Sedang
Rumus :
Jadi rata-rata persentase kehadiran apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler adalah
x 100% = 78,18 %
Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai
berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka rata-rata persentase kehadiran Apoteker dikategorikan sedang
C. Perhitungan Tabel 5.3. gambaran frekuensi kehadiran apoteker di kecamatan
garut kota
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Kode apotek
016
017
018
019
020
021
022
023
024
025
026
027
028
029
030
031
032
033
034
035
Skor Kehadiran Apoteker
5
5
2
5
5
5
5
5
5
4
5
5
0
0
4
5
5
1
2
5
Skor
Kegiatan
Kehadiran (%)
5
4
3
2
1
0
14
1
1
1
1
2
80
Frekuensi Kehadiran Apoteker
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Kategori
baik
Rumus :
Jadi rata-rata persentase kehadiran apoteker di Kecamatan Garut Kota adalah
x 100% = 80 %
Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai
berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka rata-rata persentase kehadiran Apoteker dikategorikan baik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
Lampiran 4. Pehitungan Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek
- gambar 5.1
 Rumus yang digunakan untuk mencari persentase pemberi pelayanan klinik di apotek per
kecamatan adalah:
1. Pelayanan klinik di apotek dilakukan oleh apoteker
2. Pelayanan klinik di apotek dilakukan oleh apoteker dan petugas apotek (non apoteker)
3. Pelayanan klinik di apotek dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker)
A. Persentase pemberi pelayanan klinik di Apotek Wilayah Kecamatan Tarogong Kaler
No
1
2
3
4
Kode apotek
001
002
003
004
Pemberi pelayanan
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
- Pelayanan di Kecamatan Tarogong Kaler dilakukan oleh petugas apotek (non
apoteker)
B. Persentase pemberi pelayanan klinik di Apotek Wilayah Kecamatan Tarogong Kidul
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kode apotek
005
006
007
008
009
010
011
012
013
014
015
Pemberi pelayanan
Apoteker
Petugas apotek (non apoteker)
Apoteker
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
Apoteker
Apoteker
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
- Pelayanan di Kecamatan Tarogong Kidul dilakukan oleh apoteker
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
- Pelayanan di Kecamatan Tarogong Kidul dilakukan oleh petugas apotek (non
apoteker)
C. Persentase pemberi pelayanan klinik di Apotek Wilayah Kecamatan Garut Kota
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Kode apotek
016
017
018
019
020
021
022
023
024
025
026
027
028
029
030
031
032
033
034
035
Pemberi pelayanan
Apoteker
Apoteker
Apoteker
Apoteker dan petugas apotek (non apoteker)
Apoteker dan petugas apotek (non apoteker)
Apoteker dan petugas apotek (non apoteker)
Apoteker
Apoteker
Apoteker
Petugas apotek (non apoteker)
Apoteker
Apoteker
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
Petugas apotek (non apoteker)
Apoteker
Apoteker
Petugas apotek (non apoteker)
Apoteker
Apoteker
- Pelayanan di Kecamatan Garut Kota dilakukan oleh apoteker
- Pelayanan di Kecamatan Garut Kota dilakukan oleh apoteker dan petugas apotek
(non apoteker)
- Pelayanan di Kecamatan Garut Kota dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
Lampiran 5.
Perhitungan persentase kesesuaian penyerahan obat dengan
resep
- Perhitungan Gambar5.2
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Kode Apotek
001
002
003
004
005
006
007
008
009
010
011
012
013
014
015
016
017
018
019
020
021
022
023
024
025
026
027
028
029
030
031
032
033
034
035
Kesesuaian dispensing
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
Rumus mencari persentase kesesuaian penyerahan obat yang sesuai dengan resep:
Jadi persentase penyerahan obat yang sesuai dengan resep adalah
persentase penyerahan obat yang tidak sesuai dengan resep adalah 100%-91,43% = 8,57%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
Lampiran 6.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Pehitungan Distribusi Apoteker yang hadir di apotek saat
penelitian
Gambar 5.3
Kode Apotek
001
002
003
004
005
006
007
008
009
010
011
012
013
014
015
016
017
018
019
020
021
022
023
024
025
026
027
028
029
030
031
032
033
034
035
Kehadiran
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
0
0
0
1
1
0
1
1
Jumlah apoteker yang hadir di apotek Kecamatan
No
Tarogong kaler
1
Total
Tarogong kidul
Garut Kota
4
15
0
19
Rumus persentase apoteker yang hadir pada jam buka Apotek pada saat penelitian:
Jadi persentase Apoteker yang hadir pada jam buka Apotek pada saat penelitian adalah
sedangkan sisanya yaitu 45,71% apoteker tidak hadir pada jam buka
Apotek
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
Lampiran 7.
Perhitungan Persentase Tahapan Konseling yang dilaksanakan
Apoteker dan Non Apoteker
- Perhitungan Gambar 5.6
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
15
16
17
18
19
Kode
Apotek
005
007
012
013
016
017
027
018
019
020
021
022
023
024
026
031
032
034
Tahapan Konseling
yang dilakukan
Apoteker
Nilai konseling
oleh Apoteker
0
0
0
4
4,5
5
0
3,5
0
5
0
3,4,5
4,5
5
5
0
0
4,5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Tahapan konseling
yang dilakukan
Nilai
konseling oleh
petugas apotek
(non apoteker)
petugas
apotek (non
apoteker)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Keterangan:
a.
b.
c.
d.
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
e.
f.
g.
h.
Tahap 5
Tahap 0
Nilai 1
Nilai 0
: membuka komunikasi dengan pasien
: menilai pemahaman tentang penggunaan obat
: menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat
: memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat
: melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
: tidak melakukan tahapan konseling
: melakukan konseling
; tidak melakukan konseling
Persentase Apoteker yang melakukan tahapan konseling
Tahap 1: 0 
Tahap 2: 0 
Tahap 3: 2 
Tahap 4: 5 
Tahap 5: 10 
keterangan:
- nilai 19 adalah: jumlah total bila apoteker melakukan tahapan konseling
- petugas apotek (non apoteker) yang tidak satu pun yang melakukan tahapan konseling sehingga
persentasenya 0
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
Lampiran 8.
Perhitungan Persentase Kualitas Pelayanan Klinik di
Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogomg Kidul
dan Kecamatan Garut Kota (Tabel 5.5)
a. Hasil skor PIO setiap Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler
Hasil pengolahan skor dari check list
No
Pelayanan Informasi Obat
1
Tujuan penggunaan
Waktu
penggunaan
2
(pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4
Jumlah frekuensi penggunaan
5
Jumlah obat sekali minum
6
Nama obat
7
Indikasi
8
Interaksi
9
Pencegahan interaksi
10 Efek samping obat (ESO)
11 Pencegahan ESO
12 Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang
13
harus dihindari
14 Cara penyimpanan
Jumlah skor
Kode
001
PA
M
S
1
1
Kode
002
PA
M
S
1
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
Kode 003
Kode 004
PA
PA
M
1
S
1
M
1
S
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
8
1
8
1
9
1
7
1
9
1
8
1
9
Keterangan:
PA = Petugas Apotek (non apoteker)
A = Apoteker
M = metformin
S
= sismetidin
1
= jawaban tepat
2
= jawaban tidak tepat
Hasil Persentase Kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong
Kaler:
No
Kode Apotek
1
001
2
002
3
003
4
004
Rata-rata persentase kualitas pelayanan
klinik
Persentase Kualitas Pelayanan Klinik
(%)
57,14
60,71
57,14
60,71
58.79
Kategori
Buruk
Kurang baik
Buruk
Kurang baik
Buruk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82

Rumus persentase kualitas pelayanan klinik per apotek:
1.
2.
3.
4.
 Rumus rata-rata persentase kualitas pelayanan klinik apotek di
Kecamatan Tarogong Kaler yang diberikan petugas apotek (non
apoteker):
(
(
)
yang diberikan petugas apotek
(non apoteker)
Hasil perhitungan rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti
dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan petugas
apotek (non apoteker) di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler dikategorikan buruk
Kualitas pelayanan klinik berupa PIO dipengaruhi kualitasnya dari jawaban
yang diberikan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan bentuk kesalahan
yang menurunkan kualitas pelayanan:
No
1
Variabel yang mempengaruhi
kualitas
4
5
6
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan
(pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
(sebelum/sedang/sesudah
makan)
Jumlah frekuensi penggunaan
Jumlah obat sekali minum
Nama obat
7
Indikasi
8
Interaksi
2
3
Info-info tidak tepat yang telah
disampaikan
Metformin digunakan pagi dan malam
Simetidin diminum sebelum makan
Indikasi metformin untuk tipe DM 2
atau DM awal tidak dijelaskan
Aman, tidak ada interaksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
)
83
9
10
11
12
13
14
Pencegahan interaksi
Efek samping obat (ESO)
Pencegahan ESO
Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas
yang harus dihindari
Cara penyimpanan
Tidak ada penanganan interaksi
Aman, tidak ada ESO
Tidak ada penanganan ESO
Tidak ada gejala ESO
-
b. Hasil Skor PIO setiap Apotek di Kecamatan Tarogong Kidul
No
Pelayanan Informasi Obat
1
2
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4 Jumlah frekuensi penggunaan
5 Jumlah obat sekali minum
6 Nama obat
7 Indikasi
8 Interaksi
9 Pencegahan interaksi
10 Efek samping obat (ESO)
11 Pencegahan ESO
12 Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang
13
harus dihindari
14 Cara penyimpanan
Jumlah skor
Kode 005
A
M
S
1
0
1
0
Kode 006
PA
M
S
1
1
0
1
Kode 007
A
M
S
1
1
0
1
Kode 008
PA
M
S
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
11
1
9
1
10
1
11
1
8
1
9
1
7
1
9
Hasil pengolahan skor dari check list
No
1
2
Kode 009
Kode 010
Kode 011
PA
PA
Kode
012
A
M
S
1
0
1
0
Pelayanan Informasi Obat
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4 Jumlah frekuensi penggunaan
5 Jumlah obat sekali minum
6 Nama obat
7 Indikasi
8 Interaksi
9 Pencegahan interaksi
10 Efek samping obat (ESO)
11 Pencegahan ESO
12 Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang
13
harus dihindari
14 Cara penyimpanan
Jumlah skor
M
0
0
S
1
1
M
1
0
S
0
1
PA
M
S
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
6
1
9
1
8
1
8
1
8
1
9
1
9
1
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
No
Pelayanan Informasi Obat
1
2
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4 Jumlah frekuensi penggunaan
5 Jumlah obat sekali minum
6 Nama obat
7 Indikasi
8 Interaksi
9 Pencegahan interaksi
10 Efek samping obat (ESO)
11 Pencegahan ESO
12 Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang
13
harus dihindari
14 Cara penyimpanan
Jumlah skor
Kode
013
A
M
S
1
0
1
0
M
0
0
S
0
1
Kode
015
PA
M
S
1
0
1
0
Kode 014
PA
1
0
1
1
1
0
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
11
1
8
1
6
1
8
1
11
1
8
Keterangan:
PA = Petugas Apotek (non apoteker)
A = Apoteker
M = metformin
S
= sismetidin
1
= jawaban tepat
2
= jawaban tidak tepat
Hasil persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong
kidul:
A. Apoteker
No
1
2
3
4
Kode Apotek
005
007
012
013
Rata-rata persentase kualitas
pelayanan klinik
Persentase Kualitas Pelayanan Klinik (%)
71,43
60,71
53,57
67,86
63,39
Kategori
Sedang
Kurang baik
Buruk
Kurang baik
Kurang baik
Persentase Kualitas Pelayanan Klinik (%)
75
57,14
53,57
50
60,71
50
67,86
59,18
Kategori
Sedang
Buruk
Buruk
Buruk
Kurang baik
Buruk
Kurang baik
Buruk
B. Asisten apoteker
No
1
2
3
4
5
6
7
Kode Apotek
006
008
009
010
011
014
015
Rata-rata persentase kualitas
pelayanan klinik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85

Cara perhitungan:
Rumus persentase kualitas pelayanan klinik per apotek:
1.
Apotek 005:
2.
Apotek 006:
3.
Apotek 007:
4.
Apotek 008:
5.
Apotek 009:
6.
Apotek 010:
7.
Apotek 011:
8.
Apotek 012:
9.
Apotek 013:
10. Apotek 014:
11. Apotek 015:

a.
Hasil persentase kualitas pelayanan klinik apotek di Kecamatan
Tarogong kidul berdasarkan pemberi pelayanan klinik:
Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh Apoteker
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan
Tarogong Kidul yang diberikan Apoteker dikategorikan kurang baik
b. Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh petugas apotek
(non apoteker)
(
(
)
(
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
)
)
86
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan
Tarogong Kidul yang diberikan petugas apotek (non apoteker) dikategorikan buruk.
Kualitas pelayanan klinik berupa PIO dipengaruhi kualitasnya dari jawaban
yang diberikan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan bentuk kesalahan
yang menurunkan kualitas pelayanan:
No
Variabel yang mempengaruhi
kualitas
Info-info tidak tepat yang telah disampaikan
1
Tujuan penggunaan
4
5
6
Waktu penggunaan
(pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
(sebelum/sedang/sesudah makan)
Jumlah frekuensi penggunaan
Jumlah obat sekali minum
Nama obat
7
Indikasi
8
Interaksi
9
Pencegahan interaksi
10
Efek samping obat (ESO)
11
Pencegahan ESO
12
Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas
yang harus dihindari
Cara penyimpanan
2
3
13
14
-
Metformin digunakan untuk menurunkan
kolesterol
Simetidin digunakan untuk menguatkan
lambung
Metformin digunakan pagi dan malam
Simetidin digunakan pagi dan sore
-
Simetidin diminum sebelum makan
-
- Indikasi metformin untuk tipe DM 2 atau DM
awal tidak dijelaskan
-
Aman, tidak ada interaksi
Kemungkinan ada interaksi
Tidak ada penanganan interaksi
Diatasi dengan pemberian jarak waktu makan
yaitu 15 menit
- Aman, tidak ada ESO
- Tidak ada karena diresepkan oleh dokter
- TidaK ada penanganan ESO
- Ditangani dengan penggunaan simetidin
Tidak ada gejala ESO
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
c. Hasil skor PIO Setiap Apotek di Kecamatan Garut Kota
Hasil pengolahan skor dari check list
No
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4
Jumlah frekuensi penggunaan
5
Jumlah obat sekali minum
6
Nama obat
7
Indikasi
8
Interaksi
9
Pencegahan interaksi
10 Efek samping obat (ESO)
11 Pencegahan ESO
12 Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang
13
harus dihindari
14 Cara penyimpanan
Jumlah skor
1
2
Kode 017
Kode 018
A
A
A
Pelayanan Informasi Obat
1
2
No
Kode
016
A
PA
M
1
1
S
1
1
M
1
1
S
1
1
M
1
1
S
1
0
M
1
0
S
1
1
M
-
S
-
1
0
1
0
1
1
1
1
-
-
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
-
1
1
1
1
0
0
-
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
-
-
1
1
1
12
1
11
1
9
1
8
1
9
1
8
6
7
1
2
1
2
Pelayanan Informasi Obat
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4
Jumlah frekuensi penggunaan
5
Jumlah obat sekali minum
6
Nama obat
7
Indikasi
8
Interaksi
9
Pencegahan interaksi
10
Efek samping obat (ESO)
11
Pencegahan ESO
12
Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang
13
harus dihindari
14
Cara penyimpanan
Jumlah skor
Kode 019
Kode 020
Kode 021
A
A
M
1
1
S
1
0
PA
M S
-
Kode
022
A
M S
1
0
1
0
Kode
023
A
M S
1 1
1 0
M
1
1
S
1
1
PA
M S
-
1
1
-
-
1
1
-
-
1
1
1
0
1
1
1
1
0
0
-
1
1
1
1
0
0
-
0
0
0
0
0
0
1
1
1
-
1
1
1
-
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
-
-
1
1
-
-
1
1
1
1
1
1
7
7
1
2
1
2
6
5
1
2
1
2
1
11
1
9
1
9
1
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
No
Pelayanan Informasi Obat
1
2
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4 Jumlah frekuensi penggunaan
5 Jumlah obat sekali minum
6 Nama obat
7 Indikasi
8 Interaksi
9 Pencegahan interaksi
10 Efek samping obat (ESO)
11 Pencegahan ESO
12 Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang harus
13
dihindari
14 Cara penyimpanan
Jumlah skor
No
1
2
Kode 024
A
M
S
1
1
1
0
Kode 025
PA
M
S
0
0
0
0
Kode 026
A
M
S
1
0
0
1
Kode 027
A
M
S
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
11
1
10
1
6
1
6
1
10
1
10
1
10
1
9
Kode 028
Kode 029
Kode 030
Kode 031
PA
PA
PA
A
Pelayanan Informasi Obat
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4 Jumlah frekuensi penggunaan
5 Jumlah obat sekali minum
6 Nama obat
7 Indikasi
8 Interaksi
9 Pencegahan interaksi
10 Efek samping obat (ESO)
11 Pencegahan ESO
12 Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang
13
harus dihindari
14 Cara penyimpanan
Jumlah skor
M
0
0
S
0
1
M
1
1
S
1
0
M
1
1
S
1
0
M
1
0
S
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
6
1
8
1
9
1
8
1
11
1
9
1
8
1
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
M
1
1
S
1
0
Kode
033
AA
M
S
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
9
Kode 032
No
Pelayanan Informasi Obat
1
2
A
Tujuan penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
3
(sebelum/sedang/sesudah makan)
4
Jumlah frekuensi penggunaan
5
Jumlah obat sekali minum
6
Nama obat
7
Indikasi
8
Interaksi
9
Pencegahan interaksi
10 Efek samping obat (ESO)
11 Pencegahan ESO
12 Gejala ESO
Makanan minuman dan aktivitas yang
13
harus dihindari
14 Cara penyimpanan
Jumlah skor
Kode 034
Kode 035
A
A
M
1
0
S
0
1
M
1
0
S
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
8
1
9
1
10
1
10
1
10
1
11
Keterangan :
PA = Petugas Apotek (non apoteker)
A = Apoteker
M = metformin
S
= sismetidin
1
= jawaban tepat
2
= jawaban tidak tepat
Hasil Persentase Kualitas pelayanan klinik apotek di Kecamatan Garut Kota:
A. Apoteker
No
Kode Apotek
1
016
2
017
3
018
4
022
5
023
6
024
7
026
8
027
9
034
10
031
11
032
12
035
Rata-rata persentase kualitas pelayanan
klinik
Persentase Kualitas Pelayanan
Klinik (%)
82,14
60,71
60,71
71,43
57,14
75
71,43
67,86
71,43
60,71
60,71
75
67,86
Kategori
Baik
Kurang baik
Kurang baik
Sedang
Buruk
Sedang
Sedang
Kurang baik
Sedang
Kurang baik
Kurang baik
Sedang
Kurang baik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
B. Asisten apoteker
No
Kode Apotek
1
025
2
029
3
030
4
033
5
028
Rata-rata persentase kualitas pelayanan
klinik
Persentase Kualitas Pelayanan Klinik
(%)
42,86
60,71
71,43
60,71
50
57,142
Kategori
Buruk
Kurang baik
Sedang
Kurang baik
Buruk
Kurang baik
C. Apoteker dan asisten apoteker
No
Kode Apotek
1
019
2
020
3
021
Rata-rata persentase kualitas pelayanan
klinik
Persentase Kualitas Pelayanan Klinik
(%)
60,71
64,29
53,57
59,52
Kategori
Kurang baik
Kurang baik
Buruk
Buruk
Cara Perhitungan :
 Rumus persentase kualitas pelayanan klinik per apotek:
1.
Apotek 016:
2.
Apotek 017:
3.
Apotek 018:
4.
Apotek 019:
5.
Apotek 020:
6.
Apotek 021:
7.
Apotek 022:
8.
Apotek 023:
9.
Apotek 024:
10. Apotek 025:
11. Apotek 026:
12. Apotek 027:
13. Apotek 028:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
14. Apotek 029:
15. Apotek 030:
16. Apotek 031:
17. Apotek 032:
18. Apotek 033:
19. Apotek 034:
20. Apotek 035:

a.
Hasil persentase kualitas pelayanan klinik Apotek di Kecamatan Garut
Kota berdasarkan pemberi pelayanan klinik:
Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh Apoteker
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Garut
Kota yang diberikan Apoteker dikategorikan kurang baik
b. Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh petugas apotek
(non apoteker)
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Garut
Kotayang diberikan petugas apotek (non apoteker) dikategorikan buruk
c.
Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh Apoteker dan PA
Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006):
a. 90%-100% = amat baik
b. 80%-90% = baik
c. 70%-80% = sedang
d. 60%-70% = kurang baik
e. <60% = buruk
Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Garut
Kota yang diberikan Apoteker dan PA (petugas apotek (non apoteker)) dikategorikan buruk
Kualitas pelayanan klinik berupa PIO dipengaruhi kualitasnya dari jawaban
yang diberikan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan bentuk kesalahan yang
menurunkan kualitas pelayanan :
No
Variabel yang mempengaruhi
kualitas
1
Tujuan penggunaan
4
5
6
Waktu penggunaan
(pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
(sebelum/sedang/sesudah makan)
Jumlah frekuensi penggunaan
Jumlah obat sekali minum
Nama obat
7
Indikasi
2
3
Info-info tidak tepat yang telah disampaikan
-
Simetidin digunakan untuk menguatkan lambung
Metformin untuk penyakit gula
Metformin digunakan pagi dan malam
Simetidin digunakan pagi dan sore
-
Simetidin diminum sebelum makan
-
8
Interaksi
9
Pencegahan interaksi
-
Indikasi metformin untuk tipe DM 2 atau DM
awal tidak dijelaskan
Diseuaikan hasil pemeriksaan pada dokter
Aman, tidak ada interaksi
Kemungkinan ada interaksi
Tidak ada penanganan interaksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
10
Efek samping obat (ESO)
11
Pencegahan ESO
12
Gejala ESO
13
14
Makanan minuman dan aktivitas
yang harus dihindari
Cara penyimpanan
-
Diatasi dengan pemberian jarak waktu makan 151 jam
Aman, tidak ada ESO
Hanya terjadi bila digunakan berlebihan dari
dosis yang dianjurkan
Hipoglikemia
Untuk meurunkan gula darah
TidaK ada penanganan ESO
Ukur kadar gula secara rutin
Pemakaian obat sesuai jadwal
Dengan menggunakan simetidin sebagi obat dari
Efek samping obat dari metformin
Tidak ada gejala ESO
Lemas karena keracunan
Lemas karena hipoglikemia
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
Lampiran 9.
Perhitungan Persentase Kesalahan Informasi Obat yang
diberikan oleh Pemberi Pelayanan di Apotek
- Perhitungan Gambar 5.5
Petugas Apotek (non
Apoteker)
Apoteker
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Bagian informasi yang salah
Tujuan Penggunaan
Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Waktu penggunaan
(sebelum/sedang/sesudah makan)
Jumlah frekuensi penggunaan
Jumlah obat sekali minum
Nama obat
Indikasi
Interaksi
Pencegahan interaksi
Efek samping obat
Pencegahan ESO
Gejala ESO
Makanan dan minuman yang harus
dihindari
Cara penyimpanan
M
S
M
S
6
5
10
4
13
5
4
-
5
-
3
16
16
8
15
8
16
16
8
15
8
7
19
19
16
19
16
1
19
19
16
19
16
-
-
-
-
-
-
-
-
Rumus perhitungan persentase:
1. Tujuan penggunaan
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 19
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 16
Jadi hasilnya:
a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang tujuan penggunaan simetidin:
b.
- Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi
tentang
tujuan penggunaan metformin :
- Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi tentang tujuan
penggunaan simetidin :
2. Waktu penggunaan (pagi/siang/malam)
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 19
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 16
Jadi hasilnya:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang waktu penggunaan metformin:
Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang waktu penggunaan simetidin
b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi
tentang waktu
penggunaan metformin :
Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi
tentang waktu
penggunaan simetidin :
3. Nama obat
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 19
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 16
a. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi
tentang nama obat
simetidin :
4. Indikasi
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 19
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 16
a. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi
tentang indikasi
metformin :
5. Interaksi
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19
Jadi hasilnya:
a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang interaksi metformin:
Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang interaksi simetidin
b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang interaksi
metformin:
Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang interaksi
simetidin
6. Pencegahan interaksi
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19
Jadi hasilnya:
a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang pencegahan interaksi metformin:
Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang pencegahan interaksi simetidin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang pencegahan
interaksi metformin:
Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang pencegahan
interaksi simetidin
7. Efek samping Obat (ESO)
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19
Jadi hasilnya:
a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang ESO metformin:
Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang ESO simetidin
b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang ESO
metformin:
Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang ESO simetidin
8. Pencegahan ESO
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19
Jadi hasilnya:
a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang pencegahan ESO metformin:
Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang pencegahan ESO simetidin
b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang pencegahan
ESO metformin:
Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang ESO simetidin
9. Gejala Efek samping Obat (ESO)
Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16
Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19
Jadi hasilnya:
a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang gejala ESO metformin:
Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang gejala ESO simetidin
b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang gejala ESO
metformin:
Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang gejala ESO
simetidin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
Lampiran 10. Surat Izin Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
Lampiran 11.
Surat Persetujuan Penelitian dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Garut
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
101
Lampiran 12
Data Apotek Wilayah Kabupaten Garut
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
102
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
103
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download