UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN TAROGONG KALER, KECAMATAN TAROGONG KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA WILAYAH KABUPATEN GARUT SKRIPSI RIZZA PERMANA SUCI NIM: 1111102000082 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2015 i UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN TAROGONG KALER, KECAMATAN TAROGONG KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA WILAYAH KABUPATEN GARUT SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi RIZZA PERMANA SUCI NIM: 1111102000082 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2015 ii iii iv v ABSTRAK Nama : Rizza Permana Suci Program Studi : Farmasi Judul : GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN TAROGONG KALER, TAROGONG KIDUL DAN GARUT KOTA WILAYAH KABUPATEN GARUT Berdasarkan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kilnik, Apoteker memiliki tugas dalam memberikan pelayanan obat dan pelayanan klinik. Pasien diabetes melitus merupakan salah satu pasien yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan pelayanan klinik oleh Apoteker di Apotek.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelayanan klinik meliputi dispensing, Pelayanan Informasi Obat dan Konseling terhadap resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong kaler, Kecamatan Tarogong kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan dengan teknik survei dan observasi menggunakan metode simulasi pasien terhadap 35 apotek terpilih dengan sasaran penelitian Apoteker dan petugas apotek (non apoteker). Alat bantu penelitian ini adalah skenario, check list, dan resep yang ditulis oleh dokter. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata persentase kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler 30% (buruk), Kecamatan Tarogong Kidul 78,18% (sedang) dan Kecamatan Garut Kota 80% (baik). Pelayanan klinik di Apotek belum dilaksanakan seluruhnya oleh Apoteker, hasil menunjukkan bahwa pemberi pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler tidak dilakukan oleh Apoteker, Pemberi pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kidul 36,36% dilakukan oleh Apoteker dan Apotek di Kecamatan Garut Kota 60% dilakukan oleh Apoteker. Selama pelaksanaan pelayanan klinik di Apotek, 91,43% kegiatan dispensing berupa penyerahan obat dilakukan sesuai resep, 54,29% Apoteker dapat ditemui di Apotek dan bersedia memberikan Pelayanan Informasi Obat dengan melakukan tahapan kegiatan konseling. Selama Pemberian Informasi Obat kesalahan informasi kesalahan informasi obat yang dilakukan Apoteker cenderung lebih kecil dibandingkan dibanding yang dilakukan petugas apotek (non apoteker). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan pelayanan klinik di Apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota di Kabupaten Garut belum berjalan dengan baik dan belum sesuai dengan peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Kata kunci: pelayanan klinik, diabetes melitus, peran apoteker vi ABSTRACT Name : Rizza Permana Suci Study Peogram: Farmasi Title : DESCRIPTION OF CLINICAL SERVICES IN PHARMACIES FOR ANTIDIABETIC RECIPES AT KECAMATAN TAROGONG KALER, TAROGONG KIDUL AND GARUT KOTA IN GARUT According to Permenkes of The Republic of Indonesia No. 35 year 2014 about the standard of pharmacy services in drug stores that pharmacists has duties in service of medicine and clinical service. Patient with diabetes mellitus is one of the patients who meet the criteria for clinical service. The purpose this study was to describe the clinical services about dispensing, drug information service and counseling in pharmacies at Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler and Kecamatan Tarogong Kidul in Garut. In this study, the survei and observation with patient simulation method is used on 35 selected pharmacists, the target in this study were pharmacist and non pharmacist. The tools of this study were scenarios, checklist, and prescriptions written by a doctor. The result showed that the average percentage of attendance of Pharmacists in Kecamatan Tarogong Kaler was 30% (bad), Kecamatan Tarogong Kidul was 78,18% (moderate) dan Kecamatan Garut Kota was 80% (good). Drug information provider in pharmacies had not been fully undertaken by pharmacist yet, the result showed drug information provider in pharmacies in Kecamatan Tarogong Kidul 36,36% by pharmacist and in Kecamatan Garut Kota 60% by pharmacist. During clinical service in pharmacies, 91,43% dispensing was done according to recipe, 54,29% could be encountered in pharmacies and given clinical service form drug information service and by doing stages counseling. During drug information service by pharmacist, mistakes that was made less than non pharmacist. According to this study, the clinical services in pharmacies at Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul and Kecamatan Garut Kota in Kabupaten Garut were still lacked and were not suitable with the regulations of The republic of Indonesia in Permenkes No.35 year 2014 of standard of pharmaceutical Services in pharmacies. Keyword: clinical services, diabetes mellitus, the role of pharmacists. vii KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta nikmat Iman dan Islam yang tak terhingga. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Syukur atas limpahan cinta dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menjalani masa perkuliahan dan penelitian hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Gambaran Pelayanan Klinik Terhadap Resep Antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Wilayah Kabupaten Garut” yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Yardi, Ph.D, Apt dan Bapak Asep Dasuki S, S.Si, Apt, MM. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, tenaga, kesabaran dalam membimbing, memberikan saran, dukungan, kesempatan untuk penulis menuangkan ide, dan kepercayaannya selama penelitian berlangsung hingga tersusunnya skripsi ini. 2. Dr. H. Arif Sumatri, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak motivasi dan bantuan. 3. Bapak Yardi, Ph.D, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi sekaligus pembimbing yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya. 4. Ibu Dr. Dra. Hj. Delina Hasan, Apt., M.Kes. sekalu Penasehat Akademik sekaligus penguji yang telah memberikan waktu dan saran dalam membantu perbaikan skripsi ini. viii 5. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si, Apt. selaku penguji yang telah memberikan waktu dan saran dalam membantu perbaikan dalam membantu perbaikan skripsi ini. 6. Instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, Dinas Kesehatan Kabupaten Garut dan Instansi Kesatuan Bangsa yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kabupaten Garut. 7. Kedua orang tua penulis, papa Ade Hidayat dan mama Eli Susmini yang selalu menjadi orang tua terhebat dalam doa, dukungan moril dan materil sekaligus menjadi sahabat terbaik dalam bercerita kesenangan, kesedihan dan ketegangan yang dihadapi penulis. Mereka adalah sebuah titipan terindah yang diberikan oleh Allah SWT, semoga berkah hidup, kesenangan, kebahagian dan kesehatan selalu mengiringi kehidupannya di dunia dan akhirat. 8. Saudara perempuan tersayang Rezza Permana Suci yang sekarang telah menjadi seorang ibu dari dua putri tercantik yaitu Andra, Raya dan istri Tangguh Fauzia Ilham namun tetap selalu memberikan waktu, perhatian dan dukungannya. 9. Inten Novita Sari yang selalu mengajarkan kemandirian selama ini. Wardah Annajiah yang mengajarkan kesabaran pada kesukakaran yang dihadapi. Rahmi Sertiana Nur Aiman yang memberikan nasihat saat penulis mulai down. Sry Wardiyah yang selalu siaga disaat penulis membutuhkannya. Arum Puspa Azizah, Kak Sonia, Kak fifi, Kak Tari yang menjadi sahabat kosan di tahun terakhir ini. Nufa Mathey yang selalu menjadi sahabat terbaik sejak SMA dan selalu ada kapanpun penulis kesulitan. Kak Amri yang tiba-tiba dapat menjadi teman bertukar pemikiran. Teman seangkatan Farmasi 2011 terutama AC yang telah menjadi sahabat selama 4 tahun perkuliahan, sahabat seperjuangan dan menjadi sahabat bermetamorfosis. `10.Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini. ix Kesempurnaan adalah milik Allah SWT maka tentunya skripsi ini masih perlu peyempuraan. Namun, besar harapan penulis agar hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk banyak pihak dan memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini. Ciputat, Juni 2015 Penulis x HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama NIM Program Studi Fakultas Jenis Karya : Rizza Permana Suci : 1111102000082 : Farmasi : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul GAMBARAN PELAYANAN KLINIK TERHADAP RESEP ANTIDIABETES DI APOTEK KECAMATAN TAROGONG KALER, KECAMATAN TAROGONG KIDUL DAN KECAMATAN GARUT KOTA WILAYAH KABUPATEN GARUT Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentinan akademik sebatas sesuai dengan Undan-Undang Hak cipta. Demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarbenarnya. Dibuat di : Ciputat Tanggal : Juni 2015 Yang menyatakan, Rizza Permana Suci xi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................................. i HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ................................................................ iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... iv HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................ v ABSTRAK ........................................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ...................................................................................................... viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................ xi DAFTAR ISI ....................................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xvi BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4 1.3.1 Tujuan Umum .................................................................................. 4 1.3.2 Tujuan Khusus.................................................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 4 1.4.1 Secara Teoritis .................................................................................. 4 1.4.2 Secara Metodelogi ............................................................................ 5 1.4.3 Secara Aplikatif ................................................................................ 5 1.5 Ruang Lingkup................................................................................................... 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 6 2.1 Gambaran Umum Kabupaten Garut ................................................................... 6 2.2 Perkembangan Profesi Kefarmasian ................................................................... 6 2.3 Apoteker ............................................................................................................. 8 2.4 Peran Apoteker ................................................................................................... 8 2.4.1 Peran Apoteker Menurut WHO ...................................................... 8 2.4.2 Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia ............................ 8 2.5 Apotek .............................................................................................................. 10 2.6 Pelayanan Kefarmasian di Apotek ................................................................... 11 2.6.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai ........................................................................ 11 2.6.2 Pelayanan Farmasi Klinik di Apotek ............................................ 11 2.7 Diabetes Melitus ............................................................................................... 18 2.7.1 Pendahuluan .................................................................................. 18 xii 2.7.2 Prevalensi Diabetes Melitus .......................................................... 18 2.7.3 Penatalaksanaan Diabetes ............................................................. 19 2.8 Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes ................................................. 20 2.9 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus ............................... 22 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .............................. 26 3.1 Kerangka konsep .............................................................................................. 26 3.2 Definisi Operasional ......................................................................................... 27 BAB 4 METODE PENELITIAN ...................................................................................... 34 4.1 Alur Penelitian .................................................................................................. 34 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian........................................................................... 35 4.2.1 Lokasi ............................................................................................ 35 4.2.2 Waktu Penelitian ........................................................................... 35 4.3 Rancangan Penelitian ....................................................................................... 35 4.4 Populasi dan Sampel ......................................................................................... 36 4.4.1 Populasi ......................................................................................... 36 4.4.2 Sampel ........................................................................................... 36 4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ............................................................................ 37 4.5.1 Kriteria Inklusi .............................................................................. 37 4.5.2 Kriteria Eksklusi............................................................................ 37 4.6 Langkah Penelitian ........................................................................................... 37 4.6.1 Penelitian Pendahuluan ................................................................. 37 4.6.2 Instrumen Penelitian...................................................................... 37 4.6.3 Validitas Instrumen ....................................................................... 38 4.6.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 39 4.6.5 Manajemen Data ........................................................................... 40 4.7 Analisis Data..................................................................................................... 40 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 42 5.1 Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ...................... 43 5.2 Gambaran Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ...................... 45 5.3 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota .................................................................................................................. 47 5.3.1 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Dispensing di Apotek ................ 47 5.3.2 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat di Apotek .......... 48 5.3.3 Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek ................................... 50 5.4Gambaran Kualitas Pelayanan Klinik di Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota .................................................................................................................. 53 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 60 6.1.Kesimpulan ................................................................................................. 60 xiii 6.2.Saran ........................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 62 LAMPIRAN ........................................................................................................................ 69 DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... xvii xiv DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Diagnosis Diabetes Mellitus dari ACCP/ADA 2013 .......................................... 18 Tabel 2.2. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus ..................................................................... 19 Tabel 5.1 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler ......... 43 Tabel 5.2. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kidul ........ 43 Tabel 5.3. Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Garut Kota ................ 43 Tabel 5.4. Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan Klinik di Apotek ...................... 54 xv DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Praktik Kefarmasiaan ....................................................... 7 Gambar 5.1. Gambaran Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek ........................... 45 Gambar 5.2. Persentase Kesesuaian Penyehan Obat dengan Resep .................................... 47 Gambar 5.3. Gambaran Distribusi Apoteker yang Hadir di Apotek Saat Penelitian ........... 48 Gambar 5.4 Gambaran Tahapan Konseling yang Dilaksanakan oleh Apoteker dan Non Apoteker .................................................................................................. 50 Gambar 5.5. Persentase Kesalahan Informasi Obat yang Diberikan oleh Pemberi Pelayanan di Apotek ....................................................................................... 56 xvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Check List yang digunakan sebagai acuan selama wawancara dengan metode simulasi pasien ................................................................................... 68 Lampiran 2. Komposisi resep yang diberikan oleh pasien .................................................. 72 Lampiran 3. Perhitungan Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Wilayah Kabupaten Garut .............................................................................. 73 Lampiran 4. Perhitungan Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek ......................... 76 Lampiran 5. Perhitungan Persentase Kesesuaian Penyerahan Obat dengan Resep ............. 78 Lampiran 6. Perhitungan Distribusi Apoteker yang Hadir di Apotek Saat Penelitian ........................................................................................................ 79 Lampiran 7. Perhitungan Persentase Tahapan Konseling yang Dilaksanakan Apoteker dan Non Apoteker ........................................................................... 80 Lampiran 8. Perhitungan Persentase Kualitas Pelayanan Klinik di Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota ................................................................................................................ 81 Lampiran 9. Perhitungan Persentase Kesalahan Informasi Obat yang Diberikan oleh Pemberi Pelayaan di Apotek ................................................................... 94 Lampiran 10. Surat Izin Penelitian....................................................................................... 97 Lampiran 11 Surat Persetujuan Penelitian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut ........ 99 Lampiran 12 Data Apotek Wilayah Kabupaten Garut ....................................................... 101 xvii 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pelayanan klinik merupakan praktik kefarmasian yang berpusat pada pasien dan membutuhkan Apoteker sebagai penyedia layanan tersebut (American Pharmacist Association, 1995). Peran Apoteker sendiri telah diatur dalam berbagai peraturan seperti peran Apoteker yang dikenal sebagai seven star of pharmacist pada publikasi WHO tentang The Role of Pharmacist in The Health Care System di Kanada 27-29 Agustus 1997. Tujuh peran tersebut adalah care giver (pemberi pelayanan), decision-maker (pemberi keputusan yang tepat), communicator (kemampuan berkomunikasi antar profesi), leader (mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner), manager (mampu mengelola SDM secara efektif), life-long learner (selalu belajar sepanjang karier) dan teacher (pemberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan) (WHO, 1997). Di Indonesia peran Apoteker dijelaskan dalam beberapa peraturan. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan menjadi hak setiap warga negara dan negara menjadi penanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (UUD RI, 1945). Pelayanan kefarmasian adalah bagian dari pelayanan kesehatan yang menjadi hak warga negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 3 pelayanan kefarmasian dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang terdiri atas Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (Peraturan Pemerintah RI No.51, 2009). Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 pasal 108 praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Undang-Undang No.36, 2009). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Standar pelayanan farmasi di Apotek secara khusus dibuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014, pada Bab Pendahuluan tercantum bahwa farmasi dalam hal ini Apoteker harus memberikan pelayanan obat dan pelayanan klinik. Pelayanan obat mencakup penjaminan mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pengelolaan obat. Sedangkan pelayanan klinik mencakup pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care), pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (Permenkes RI No.35, 2014). Dalam pelaksanaan pelayanan klinik ini diperlukan kehadiran Apoteker selaku pemberi pelayanan. Namun beberapa penelitian menunjukkan tingkat kehadiran Apoteker di Apotek masih rendah, yaitu di Jakarta tahun 2003 menunjukkan Apoteker yang berkerja tidak penuh 54,7%, di Medan tahun 2008 menunjukkan 52,94% Apoteker tidak hadir setiap hari (Purwanti Angki dkk., 2004 dan Ginting BR Adelina, 2009). Penelitian terbaru dilakukan oleh Rendy Ricky Kwando (2014) didapatkan hasil persentase kehadiran Apoteker di Apotek Surabaya Timur adalah 63,33%. Kehadiran Apoteker ini menjadi penting karena dengan meningkatnya frekuensi kehadiran Apoteker di Apotek maka akan meningkatkan pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek (Kwando Rendi Ricky, 2014). Pentingnya kehadiran Apoteker selaku pemberi pelayanan klinik di Apotek berkaitan juga dengan penelitian di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya yang menyatakan Drug Related Problem (DTPs) terjadi pada resep polifarmasi di Apotek, dengan persentase Adverse Drug Reactions (ADRs) sebanyak 27 kejadian (40,30%), dan ketidakpatuhan sebanyak 24 kejadian (35,82%) dan peran Apoteker di Apotek diperlukan untuk mengatasi hal tersebut (Christina A.K. Dewi, et al., 2014). Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang biasanya memerlukan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi) untuk mengatasi atau mencegah komplikasi (Rambadhe dkk, 2012). Diabetes merupakan penyakit yang sering di derita oleh sebagian besar orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya mahal. Penyakit diabetes ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah), akibat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 kurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2) (International Diabetes Federation, 2011). Penyakit diabetes ini 90% di dominasi oleh diabetes melitus tipe 2 (WHO, 2013). Permasalahan penyakit diabetes melitus di Indonesia menduduki peringkat ke empat dan di Jawa Barat prevalensinya mencapai 1,3% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan berita dari surat kabar, dr. Zulkarnain menyatakan bahwa di kabupaten Garut pada tahun 2011 prevalensi diabetes mencapai 4-5% dari jumlah penduduk (John, 2011). Ditinjau dari sifat penyakitnya, diabetes melitus merupakan penyakit seumur hidup (lifelong disease) dengan resiko komplikasi yang tinggi sehingga menyebabkan kematian, maka diperlukan perhatian lebih dalam perawatannya. Peningkatan kepedulian pasien diabetes sendiri diperlukan dalam menjaga dan mengontrol kondisinya agar tetap dapat hidup lebih panjang dan sehat (Sutandi Aan, 2012). Selain itu pengetahuan tentang obat diperlukan oleh pasien untuk dapat menggunakan obat dengan benar, dengan tujuan memperoleh terapi yang maksimal dan efek samping obat yang minimal (Amor et al, 2010 dan Mitchel et al, 2011 dikutip dalam Nita Yunita, 2012). Hal tersebut menjadi bagian peran apoteker dalam segi pelayanan klinik dalam pemberian informasi obat dan konseling yang harus dilakukan terutama untuk pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis seperti diabetes melitus (Permenkes RI No.35, 2014). Paparan fakta tersebut memicu ketertarikan peneliti untuk meneliti gambaran pelayanan klinik di Apotek terhadap resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong kaler dan Kecamatan Tarogong kidul wilayah Kabupaten Garut yang menjadi wilayah dengan populasi Apotek terbesar di antara Kecamatan lain (Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, 2014). 1.2. Rumusan masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas, pelayanan klinik merupakan praktik kefarmasian yang berpusat pada pasien dan membutuhkan Apoteker sebagai penyedia layanan tersebut dan hal tersebut telah diatur dalam berbagai peraturan. Pelayanan klinik ini penting untuk dilaksanakan terutama kepada pasien dengan penyakit kronik seperti diabetes melitus untuk mencapai tujuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 terapi obat pasien, mencegah komplikasi, menurunkan pengeluaran biaya pasien, dan bahkan mencegah kematian akibat obat. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya di beberapa kota besar wilayah Indonesia frekuensi kehadiran Apoteker selaku pemberi pelayanan klinik di tempat kerja (Apotek) masih kurang sehingga pelayanan klinik juga menjadi kurang dan tingkat DTPs pada resep polifarmasi masih tinggi di Apotek. Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang biasanya memerlukan obat dalam jumlah banyak (polifarmasi). Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian ini untuk menggambarkan bagaimana pelayanan klinik terhadap resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong kaler dan Kecamatan Tarogong kidul wilayah Kabupaten Garut dengan membandingkan antara pedoman pelayanan klinik berdasarkan peraturan yang ada dengan pelayanan klinik di lapangan. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui gambaran pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui gambaran kehadiran Apoteker di tempat kerja (Apotek) di Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut. 2. Untuk mengetahui gambaran pemberi pelayanan klinik, pelaksanaan pelayanan klinik, dan kualitas pelayanan klinik pada resep antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut. 1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan serta wawasan tentang pelayanan klinik di Apotek. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 1.4.2. Secara Metodelogi Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis di Apotek daerah lain. 1.4.3. Secara Aplikatif Hasil penelitian berupa gambaran pelayanan klinik di Apotek ini dapat digunakan menjadi informasi tentang sejauh mana penerapan pelayanan klinik yang berpusat pada pasien telah terlaksana di Apotek dan menjadi masukan tersendiri untuk para ahli profesi farmasi dalam melaksanakan peranannya sebagai tenaga kesehatan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini berjudul Gambaran Pelayanan Klinik Terhadap Resep Antidiabetes di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Wilayah Kabupaten Garut, yang dimaksud pelayanan klinik adalah pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care), pemantauan terapi obat (PTO) dan monitoring efek samping obat (MESO). Namun dalam penelitian ini hanya dilakukan survei dengan melakukan wawancara terstruktur dan observasi dengan metode simulasi untuk mendeskripsikan pelayanan klinik berupa dispensing berupa kesesuaian penyerahan obat dengan resep, pelayanan informasi obat terhadap resep antidiabetes dan konseling. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tarogong Kaler, Tarogong kidul dan Garut Kota wilayah Kabupaten Garut yang dilakukan selama 1 bulan pada bulan Maret 2015. Sampel penelitian ini adalah 35 Apotek dari populasi 71 Apotek di wilayah Kecamatan Tarogong Kaler, Tarogong kidul dan Garut Kota. Sasaran dalam penelitian ini adalah Apoteker atau petugas apotek (non Apoteker) yang berada di Apotek saat penelitian. Desain penelitian ini adalah ex post facto. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Kabupaten Garut Kabupaten Garut adalah wilayah yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha (3.065,19 km2) dengan batasan sebelah utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah timur dengan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah selatan dengan Samudera Indonesia dan sebelah barat dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Kabupaten Garut memiliki 42 Kecamatan dengan jumlah penduduk 3.003.004 jiwa pada tahun 2013 (Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, 2013). Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, jumlah seluruh Apotek di Kota Garut pada tahun 2014 adalah 139 Apotek. Distribusi Apotek terbesar berada di Kecamatan Garut Kota sebanyak 41 Apotek, Kecamatan Tarogong Kidul sebanyak 22 Apotek dan Kecamatan Tarogong Kaler sebanyak 8 Apotek. Data Pemerintah Daerah Kabupaten Garut pada tahun 2013 menunjukkan jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler 93.563 jiwa, jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kidul 131.118, dan jumlah penduduk di Kecamatan Garut Kota 170.875 jiwa. 2.2. Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam 4 tahap (Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999): a. Tahap 1 : Tugas utama farmasi adalah memproduksi. Pada tahap ini farmasi muncul sebagai industri rumahan yang melayani masyarakat. Apoteker membuat obat patennya sendiri dengan resep yang dibuat sendiri, kemudian dijual dari Apotek mereka sendiri. Pasien akan datang ke Apoteker untuk membeli obat dan meminta bimbingan dalam pemilihan dan penggunaan obat yang akan digunakan. Apotek pada periode ini setara dengan industri farmasi saat ini dan pada saat itu, farmasi memiliki nilai sosial yang jelas. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 b. Tahap 2 : Pada periode ini muncul farmasi industri manufaktur dan pada saat yang sama pembuatan resep obat oleh Dokter sedang meningkat, sehingga pekerjaan utama Apoteker berhenti dalam memproduksi obat dan berpindah ke peracikan obat yang telah diproduksi dari industri yang disesuaikan dengan resep. Pada tahap ini pasien masih datang ke Apotek untuk mendapatkan obat dan bimbingan dalam penggunaan obat. Peran Apoteker masih memiliki nilai sosial yang jelas. c. Tahap 3 : Pada tahap ini tugas utama Apoteker mengalami penyimpangan. Banyaknya jumlah produk obat yang semakin meningkat membuat fokus utama peran Apoteker menjadi ke produk obat dan peran pada pasien menjadi memudar. Hal tersebut juga di dorong oleh adanya Kode Etik Asosiasi Farmasi Amerika (American Pharmaceutical Association/AphA Code of Ethics) mulai tahun 1922-1969 farmasis dilarang untuk mendiskusikan efek terapi atau komposisi resep dengan pasien. d. Tahap 4 : Akibat perubahan fokus farmasis terhadap produk (obat) maka muncul berbagai laporan tentang kegagalan terapi, hal ini memicu untuk farmasis mengisi kembali bidang pelayanan kefarmasian. Sehingga pada tahap keempat, Apoteker kembali berperan dalam pemberian informasi obat, saran dan konseling pasien. Gambar 2.1 Tahapan perubahan praktik kefarmasian Sumber: Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 2.3. Apoteker Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Peraturan Pemerintah RI No. 51, 2009). Apoteker sebagai pelaku utama pelayanan kefarmasiaan yang bertugas sebagai pelaksana atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan kewajiban (Ikatan Apoteker Indonesia. 2011). Berdasarkan Peraturan pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 1, pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi dari obat kepada pasien yang mengacu kepada pharmaceutical care (pelayanan kefarmasiaan) maka Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Peraturan Pemerintah RI No. 51, 2009). 2.4. Peran Apoteker dalam Pelayanan Klinik di Apotek 2.4.1. Peran Apoteker Menurut WHO Apoteker memiliki tujuh peran penting yang dikenal sebagai seven star of pharmacist pada publikasi WHO tentang The Role of Pharmacist in The Health Care System di Kanada 27-29 Agustus 1997. Tujuh peran tersebut adalah care giver (pemberi pelayanan), decision-maker (pemberi keputusan yang tepat), communicator (kemampuan berkomunikasi antar profesi), leader (mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner), manager (mampu mengelola SDM secara efektif), life-long learner (selalu belajar sepanjang karier) dan teacher (pemberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan) (WHO, 1997). 2.4.2. Peran Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3, mendapat pelayanan kesehatan menjadi hak setiap warga negara dan negara menjadi penanggung jawab atas penyediaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (UUD RI, 1945). Pelayanan kefarmasian adalah bagian dari pelayanan kesehatan yang menjadi hak warga negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 3 pelayanan kefarmasian dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang terdiri atas: a. Apoteker: Sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang Apoteker harus menjalankan peran yaitu (Permenkes RI No.35, 2014): 1. Pemberi layanan Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan. 2. Pengambil keputusan Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien. 3. Komunikator Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik. 4. Pemimpin Apotek er diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. 5. Pengelola Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 6. Pembelajar seumur hidup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/ CPD) 7. Peneliti Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian serta memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan kefarmasiaan. b. Tenaga teknis kefarmasian: Tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Asisten Apoteker ini memliki ruang lingkup, tugas dan tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanankan penyiapan pekerjaan kefarmasian pada unit pelayanan kesehatan. Penyiapan pekerjaan kefarmasian yang dilakukan adalah penyiapan rencana kerja kefarmasian, penyiapan pengelolaan perbekalan farmasi dan penyiapan pelayanan farmasi klinik. Penyiapan pelayanan farmasi klinik adalah kegiatan-kegiatan yang meliputi dispensing dan penyusunan laporan kegiatan farmasi klinik (Permenkes No.376/MENKES/PER/V/2009, 2009). 2.5. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasiaan tempat dilakukan praktek kefarmasiaan oleh Apoteker (Peraturan Pemerintah RI No. 51, 2009). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 yang dikutip dalam Hartini S.Y. (2009), tentang Apotek, tugas dan fungsi Apotek adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah Apoteker, sarana farmasi yang melakukan perubahan bentuk dan penyerahan obat atau bahan obat, sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata, serta sarana pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya (Hartini, S. Yustina, 2009). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 2.6. Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Pelayanan kefarmasian di Apotek tercantum jelas pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014. Pelayanan kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. 2.6.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai Secara singkat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 dijelaskan bahwa pengelolaan sediaan Farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan. 2.6.2. Pelayanan Farmasi Klinik Di Apotek Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014, pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi: a. Pengkajian Resep Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. 1. Kajian administratif meliputi: a. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan b. nama Dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf. c. tanggal penulisan resep 2. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: a. bentuk dan kekuatan sediaan b. stabilitas c. kompatibilitas (ketercampuran obat) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 3. Pertimbangan klinis meliputi: a. ketepatan indikasi dan dosis obat b. aturan, cara dan lama penggunaan obat c. duplikasi dan/atau polifarmasi d. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain) e. kontra indikasi dan interaksi Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep. b. Dispensing Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat. Apoteker menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep, melakukan peracikan obat bila diperlukan, memberikan etiket, memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah. Apoteker di Apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai. Rincian standar praktik Apoteker Indonesia berupa dispensing juga dijelaskan lebih rinci oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Rincian praktik tersebut ada pada standar 3 praktik Apoteker (IAI, 2013): 1. Apoteker menerapkan cara dispensing yang baik 2. Apoteker memastikan resep yang diterima berasal dari dokter 3. Memastikan resep yang diterima sesuai dengan nama pasien yang dimaksud. 4. Apoteker memastikan obat yang tertera dalam resep sesuai dengan tujuan penggunaan obat pasien. 5. Memastikan resep tidak berpotensi menimbulkan masalah DRP. 6. Apoteker berkomunikasi dengan dokter. 7. Apoteker melakukan dispensing obat sitostatika secara tepat. 8. Apoteker melakukan pemeriksaan ulang dan dokumentasi terhadap sediaan obat hasil dispensing. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 9. Apoteker melakukan pengecekan ulang terhadap identitas pasien. 10. Apoteker menyelesaikan dispensing tepat waktu. 11. Memastikan pasien paham bila terjadi penggantian merek obat. 12. Memastikan pasien memahami tentang obat yang diterimanya c. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal (Permenkes, 2014). Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Kegiatan pelayanan informasi obat di Apotek meliputi (Permenkes, 2014): a. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan. b. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan). c. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien. d. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi. e. melakukan penelitian penggunaan obat. f. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah. g. melakukan program jaminan mutu. h. Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan formulir sesuai format yang telah ditetapkan. Dalam standar praktik kefarmasian yang dijelaskan dalam IAI Pelayanan Informasi Obat adalah bagian dari Konseling dimana dalam pelaksanaannya harus memperhatikah hal-hal seperti berikut (IAI, 2013): a. Apoteker melakukan komunikasi dan interaksi yang baik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 b. Apoteker memberikan penjelasan dan uraian atas setiap obat yang diberikan kepada pasien. c. Apoteker memberikan konseling obat kepada pasien dan keluarga. d. Melakukan konseling sesuai informasi terkini dan berbasis bukti. e. Apoteker menggunakan berbagai macam metode komunikasi untuk menjamin efektifitas konseling. f. Apoteker secara aktif menyediakan bahan informasi. g. Apoteker mendokumentasikan pelayanan konseling. h. Apoteker memelihara pengetahuan dan keterampilan untuk memberikan pelayanan informasi obat. i. Apoteker memiliki akses ke sumber informasi terkini yang relevan untuk mendukung pelayanan. j. Apoteker mengevaluasi mutu pelayanan informasi obat. d. Konseling Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling: 1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui). 2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi). 3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off). 4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin). 5. Pasien dengan polifarmasi, pasien menerima beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. 6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah. Tahap kegiatan konseling: 1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien 2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime Questions, yaitu: a) Apa yang disampaikan Dokter tentang obat Anda? b) Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang cara pemakaian obat Anda? c) Apa yang dijelaskan oleh Dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda menerima terapi obat tersebut? Adapun hal yang harus diperhatikan dalam pengkajian penggunaan obat menurut standar praktik kefarmasian IAI 2013: a. Apoteker menggali riwayat penggunaan obat pasien (patient’s history taking). b. Apoteker mengkaji (review) interaksi obat dengan obat, obat dengan makanan, dan kontra indikasi terhadap pasien. c. Apoteker melakukan identifikasi, dokumentasi dan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya ADR dan precaution serta kondisi kontraindikasi. d. Menjamin pasien mematuhi penggunaan obat secara rasional. e. Mampu menyelesaikan masalah penggunaan obat yang rasional. f. Apoteker mampu melakukan telaah penggunaan obat pasien. g. Melakukan Monitoring Efek Samping Obat (MESO). h. Mampu melakukan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO). i. Mampu melakukan praktik Therapeutic Drug Monitoring (TDM). j. Mampu mendampingi pengobatan mandiri (swamedikasi) oleh pasien. 3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat. 4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat. 5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 6. Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan formulir sesuai ketetapan peraturan. e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care) Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi : 1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan. 2. Identifikasi kepatuhan pasien. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin. 3. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum. 4. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien. 5. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan. f. Pemantauan Terapi Obat (PTO) Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien: 1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui. 2. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis. 3. Adanya multidiagnosis. 4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati. 5. Menerima obat dengan indeks terapi sempit. 6. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan. Kegiatan: 1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi, melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain. 3. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat. 4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi. 5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. 6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi. 7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan: 1. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat. 2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO). 3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan menggunakan formulir 10 sebagaimana terlampir. Faktor yang perlu diperhatikan: 1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain. 2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 2.7. Diabetes Melitus 2.7.1. Pendahuluan Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi prioritas ke empat penyakit yang diidentifikasi oleh WHO bersama dengan penyakit cardiovascular disease (CVD), yang mencakup serangan jantung, stroke, kanker dan penyakit pernapasan kronis. Diabetes melitus merupakan penyakit yang sering diderita oleh sebagian besar orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya mahal. Penyakit diabetes ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah), akibat kurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2) (International Diabetes Federation, 2011). Tabel 2.1 Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013 Gula darah terkontrol GDP (Glukosa Darah Puasa) Kadar glukosa 2 jam setelah makan GDS (Glukosa Darah Sewaktu) Hemoglobin A1c Prediabetes Diabetes Melitus (DM) < 100 mg/dL 100 - 125 mg/Dl mg/dL < 140 mg/dL 140 - 199 mg/dL mg/dL mg/dL + gejala < 5.7 % 5,7-6,4% Sumber : Farmakoterapi Diabetes, 2013 2.7.2. Prevalensi Diabetes Melitus Berdasarkan data WHO, 347 juta penduduk dunia mengidap penyakit diabetes yang didominasi oleh diabetes tipe 2 sebanyak 90%. Diprediksi bahwa pada tahun 2030 penyakit diabetes ini akan menjadi 7 penyakit terbesar di dunia yang menyebabkan kematian. Kematian akibat diabetes 80% akan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan usia penduduk antara 35-64 tahun. Total kematian akibat diabetes diproyeksikan meningkat lebih dari 50% dalam 10 tahun kedepan (WHO, 2013). Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan prevalensi diabetes melitus yang tinggi dengan menduduki peringkat ke tujuh dari semua negara di dunia dengan didominasi oleh penduduk usia 20-79 tahun. (International Diabetes Federation, 2013). Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil survei Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013 mengenai prevalensi penyakit tidak menular yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 dilakukan pada responden dengan umur > 15 tahun didapatkan hasil bahwa prevalensi diabetes mellitus menduduki peringkat ke empat di Indonesia. 2.7.3. Penatalaksanaan Diabetes Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu (Azrifitria dan Silma Awalia, 2013): a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal. b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Tabel 2.2 Penatalaksanaan Diabetes Parameter Glikemik GDP 70-130 mg/dL Kadar glukosa 2 jam setelah makan <180 mg/dL Hemoglobin A1c < 7% Parameter Non Glikemik Tekanan Darah < 130/80 mmHg LDL < 100 mg/dL < 70 mg/dL (dengan penyakit kardiovaskular) HDL Trigliserida > 40 mg/dL (Pria) > 50 mg/dL (Wanita) < 150 mg/dL Sumber: Farmakoterapi Diabetes, 2013 Terapi non farmakologi seperti pengaturan pola hidup sangat penting dilakukan kepada pasien diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 untuk mengontrol konsentrasi glukosa darah agar tetap normal (Sweetman.S., 2009). Pengontrolan pola makan terutama dilakukan dengan menjaga asupan karbohidrat dan lemak (Wells Barbara G., 2009). Pengaturan pola makan ini pada intinya adalah dengan menerapkan pola konsumsi yang sehat dan kadungan gizi yang seimbang (Sweetman.S., 2009). Pola latihan fisik seperti aerobik juga sangat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 direkomendasikan. Latihan fisik ini diperlukan karena dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat, meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dan meningkatkan fungsi kardiovaskular (Sweetman.S., 2009). Bila dalam 3 bulan pemberian terapi non farmakologi tidak menunjukkan perubahan pada pasien diabetes melitus maka penambahan terapi farmakologi berupa pemberian obat antidiabetes oral bisa dilakukan. Terdapat dua golongan utama obat antidiabetes oral yang bisa diberikan yaitu kelas sulfonilurea dan kelas biguanid (Sweetman.S, 2009). Umumnya pengobatan awal untuk penyakit diabetes ini adalah kombinasi dari perubahan gaya hidup lebih sehat dengan penggunaan obat metformin (Maric Andreja, 2010). Metformin ini menimbulkan efek hipoglikemia yang rendah namun mudah menyebabkan terjadinya laktat asidosis pada pasien yang mengalami kerusakan ginjal (Sweetman.S., 2009). Metformin menurunkan glukosa darah dengan cara menghambat produksi glukosa hepatik dan menurunkan resistensi terhadap insulin. Penggunaan metformin secara tunggal, mampu menurunkan HbA1c sampai 1,5% (Maric Andreja. 2010). Dosis awal metformin 500 mg adalah dua atau tiga kali per hari atau 850 mg satu atau dua kali perhari setelah makan (Sweetman.S., 2009). Metformin digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek samping yang berhubungan dengan pencernaan (McEvoy, 2002). Metformin ini mampu mengalami interaksi bila digabungkan dengan obat lain, contohnya simetidin. Penggunaan simetidin dan metformin secara bersamaan bisa menyebabkan penurunan ekskresi metformin oleh ginjal sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini harus di gunakan dalam waktu yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin untuk mencegah interaksi tersebut (Baxter Karen, 2008). 2.8. Pelayanan Kefarmasian Pada Pasien Diabetes Secara prinsip, pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan (Depkes RI, 2005): a. Penyusunan informasi dasar atau database pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama, umur, berat badan pasien serta terapi yang diberikan yang tertera pada resep. Mengenai masalah medis (diagnosis, gejala) yang selanjutnya dikonfirmasikan ulang kepada pasien dan dokter bila perlu. Riwayat alergi, riwayat obat (riwayat penggunaan obat satu bulan terakhir). Hal ini diperlukan untuk memprediksikan efek samping dan efek yang disebabkan masalah terapi obat lainnya, serta untuk membantu pemilihan obat. b. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment) Tujuan yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi masalah yang berkaitan dengan terapi obat. Pelaksanaan evaluasi dilakukan dengan membandingkan problem medik, terapi, dan database yang telah disusun, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan tentang farmakoterapi, farmakologi dan ilmu pengetahuan lain yang berkaitan. c. Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian (RPK) Rekomendasi terapi, rencana monitoring (monitoring efektivitas terapi, Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB)) dan rencana konseling) d. Implementasi RPK dan monitoring implementasi Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK) yang sudah disusun. Rekomendasi terapi yang sudah disusun dalam RPK, selanjutnya dikomunikasikan kepada dokter penulis resep, lalu lakukan monitoring. e. Tindak Lanjut Tindak lanjut merupakan kegiatan yang menjamin kesinambungan pelayanan kefarmasian sampai pasien dinyatakan sembuh atau tertatalaksana dengan baik. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa pemantauan perkembangan pasien baik perkembangan kondisi klinik maupun perkembangan terapi obat dalam rangka mengidentifikasi ada atau tidaknya Masalah Terapi Obat (MTO) yang baru. Bila ditemukan MTO baru, maka selanjutnya apoteker menyusun atau memodifikasi RPK. Kegiatan lain yang dilakukan dalam follow-up adalah memantau hasil atau outcome yang dihasilkan dari rekomendasi yang diberikan. Hal ini sangat penting bagi Apoteker dalam menilai ketepatan rekomendasi yang diberikan. Kegiatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 follow-up memang sulit dilaksanakan di lingkup farmasi komunitas, kecuali pasien kembali ke Apotek yang sama, apoteker secara aktif menghubungi pasien atau pasien menghubungi Apoteker melalui telepon. 2.9. Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Kontribusi apoteker ini pada intinya adalah penatalaksanaan penyakit, berarti mencakup terapi obat dan non-obat (Depkes RI, 2005): a. Mengidentifikasi dan Menilai Kesehatan pasien Apoteker dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang tidak menyadari kalau mereka menderita diabetes. Identifikasi mentargetkan pasien-pasien dengan resiko tinggi, termasuk pasien obesitas, pasien > 40 tahun, pasien dengan tekanan darah tinggi atau dislipidemia, pasien dengan sejarah keluarga diabetes, dan pasien yang mempunyai sejarah gestasional diabetes atau melahirkan anak dengan berat badan > 4,5 kg. b. Merujuk pasien Salah satu peran apoteker yang tidak kalah penting adalah merujuk pasien kepada tim perawatan diabetes lainnya seperti bagian gizi, poliklinik mata, pediatris, gigi dan lainnya bila diperlukan. Depresi juga sering dijumpai pada pasien diabetes, sehingga dapat dirujuk ke bagian penyakit jiwa bila diperlukan. c. Memantau Penatalaksanaan diabetes Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan melakukan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi. Apoteker harus mendorong penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker juga harus memantau tingkat kenormalan: a. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg) b. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl) c. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko jantung d. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun) e. Vaksinasi influenza dan pneumokokal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan pasien mengerti mengapa monitoring memegang peranan penting dalam terapi pencegahan komplikasi yang bisa memperburuk penyakit. d. Menjaga dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal terapi Ada 6 langkah yang dapat dilakukan: a. Libatkan pasien, ciptakan suasana dimana pasien menjadi peduli dan bersedia untuk membantu menangani masalah yang berhubungan dengan obat. b. Spesifik, dapatkan rincian spesifik bila pasien mendiskusikan masalah obatnya. c. Identifikasi hambatan utama yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obatnya. d. Simpulkan masalah pasien. e. Memecahkan masalah dengan memberi saran pada pasien seperti berikut : a) Meminum obat sesuai dengan yang diresepkan b) Untuk mendapatkan hasil optimal, jadwal meminum obat harus dipatuhi c) Bila anda masalah dengan efek samping yang dialami, kekhawatiran biaya obat sehingga mengharapkan obat alternatif lain yang lebih murah maka harus dibicarakan pada dokter. d) Bila regimen obat terlalu susah, menjadi beban, atau membingungkan tanyakan ke dokter atau Apoteker. e) Jumlah obat yang anda minum bukanlah pertanda betapa sehat atau tidak sehatnya anda. Lebih baik anda diskusi dengan Dokter atau Apoteker tentang target pengobatan seharusnya (misalnya target kadar gula, tekanan darah, kadar kolesetrol dsb). f) Bila anda merasa depresi atau tertekan dengan ruwetnya penanganan diabetes anda, bicarakan dengan dokter atau apoteker. e. Akhiri pertemuan, tanyakan langkah apa yang akan dilakukan pasien setelah diskusi dengan apoteker. f. Membantu penderita mencegah dan mengatasi komplikasi ringan. g. Menjawab pertanyaan penderita dan keluarga mengenai DM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 Biasanya pertanyaan berkisar tentang penyebab penyakit dan gejala-gejala yang harus diwaspadai, pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan, hal-hal apa yang harus dihindari untuk mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit, tentang terapi obat dan efek samping obat, tentang komplikasi dan pencegahannya, sampai pada perawatan kaki, kulit, mulut dan gigi dan lain sebagainya. h. Memberikan Pendidikan dan Konseling Tujuan pendidikan kepada pasien adalah untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam pengobatannya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak pernah mendapat pendidikan mengenai diabetes, resiko untuk komplikasi major meningkat 4 kali lipat. Materi inti untuk pendidikan yang komprehensif yang dapat diberikan kepada pasien diabetes (Sumber: National Standard for diabetes self-management education, Diabetes Care 2005) terdiri dari definisi diabetes, proses penyakit, dan pilihan pengobatan, terapi nutrisi, aktivitas fisik, penggunaan obat, memonitor kadar gula sendiri, mencegah, mendeteksi, dan mengobati komplikasi-komplikasi akut dan kronis, target untuk mencapai hidup sehat, menyesuaikan sendiri perawatan dalam kehidupan sehari-hari (problem solving) serta penyesuaian psikososial dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan kepada pasien dapat diberikan dalam 3 tahap: a. Tahap I : Segera dilaksanakan setelah pasien di diagnosa dengan DM sehingga dapat membantu mengatasi kebingungan, syok, terkejut dan lain sebagainya. Apoteker berusaha membantu pasien memahami dan menerima diagnosis. b. Tahap II : Memberikan informasi yang lebih dalam, dengan berfokus pada masalah yang telah teridentifikasi sewaktu menilai pasien (misalnya peripheral neuropathy) dan hal-hal lain yang mungkin dapat diantisipasi (misalnya mengatasi reaksi hipoglikemi). Kegunaan dan cara minum obat yang benar harus dijelaskan. c. Tahap III : Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk menekankan konsep, meningkatkan dan menjaga motivasi, dan berupaya agar pasien dapat mengurus dirinya dan peduli terhadap kesehatannya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 Secara umum, tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan penyuluhan atau konseling kepada penderita diabetes dan keluarganya antara lain: a. Agar penderita DM memiliki harapan hidup lebih lama dengan kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup sudah merupakan keniscayaan. Seseorang yang dapat bertahan hidup tetapi dengan kualitas hidup yang rendah, akan menggangggu kebahagiaan dan ketenangan keluarga. b. Untuk membantu penderita DM agar dapat merawat dirinya sendiri, sehingga komplikasi yang mungkin timbul dapat diminimalkan, selain itu juga agar jumlah hari sakit dapat ditekan. c. Agar penderita DM dapat berfungsi dan berperan optimal dalam masyarakat. d. Agar penderita DM dapat lebih produktif dan bermanfaat. e. Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara pribadi, keluarga ataupun negara. Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan kepatuhan dan kerjasama penderita dan keluarganya terhadap program penatalaksanaan diabetes dapat disampaikan dalam konseling. Namun dalam penyampaiannya harus mempertimbangkan kondisi penderita, baik kondisi pengetahuan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya (Depkes RI, 2005). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen Pemberi Pelayanan Klinik Pelayanan Klinik Input Proses - Kehadiran Apoteker di Apotek - Pelaksana Pelayanan Klinik di Apotek - Pengetahuan pelaksana pelayanan klinik terutama terkait diabetes melitus Dispensing Penyerahan obat Pelayanan Informasi Obat a. Tujuan penggunaan b. Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) c. Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah) d. Jumlah frekuensi penggunaan e. Jumlah obat sekali minum f. Nama obat g. Indikasi h. Interaksi i. Pencegahan interaksi j. Efek samping obat (ESO) k. Pencegahan ESO l. Gejala ESO m. Makanan dan minuman yang harus dihindari n. Cara penyimpanan Konseling a. Membuka komunikasi antara apoteker dan pasien b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat c. Menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 3.2. Definisi Operasional No 1. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Variabel Kehadiran di Apotek Pelaksana pelayanan klinik Definisi Operasional Keberadaan Apoteker di tempat kerja/apotek saat Apotek buka Apoteker/petugas Apotek (Non Apoteker) yang saat penelitian melakukan pelayanan klinik Skala Alat Ukuran Check list a. Skor 5 apoteker hadir setiap hari pagi sampai sore b. Skor 4 apoteker hadir setiap hari, tapi tak bisa ditentukan c. Skor 3 apoteker hadir 3 kali seminggu d. Skor 2 apoteker hadir 2 kali seminggu e. Skor 1 apoteker hadir 1 minggu sekali f. Skor 0 Kehadiran apoteker tidak bisa ditentukan Skala ordinal Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk a. Skor 1 Apoteker yang memberikan pelayanan b. Skor 0 Asisten Apoteker yang memberikan pelayanan Skala ordinal Check list Skala nominal 27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 3 Dispensing Checklist 4 Pengetahuan pelaksana pelayanan klinik terkait diabetes melitus 5 Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pemberian informasi obat yang berkaitan dengan obat antidiabetes yang dilakukan oleh Apoteker/petugas Apotek (non apoteker) di Apotek Checklist a. Tujuan penggunaan Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang maksud penggunaan masing-masing obat yang ada dalam resep. Informasi dinyatakan tepat bila informasi obat yang diberikan sesuai dengan tujuan umum seperti: - metformin digunakan untuk Checklist Checklist a. Skor 1 Sesuai b. Skor 0 Tidak sesuai Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Hasil perhitungan skor dari ketepatan menjawab pertanyaan yang ada dalam checklist tiap Apoteker/ petugas Apotek dibuat rata-rata persentase yang kemudian dikategorikan sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Hasilnya akan menunjukan pengkategorian kualitas pelayanan a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Skala ordinal Skala ordinal Skala nominal 28 UIN UIN Syarif Syarif Hidayatullah Hidayatullah Jakarta Jakarta Kesesuaian obat baik dari jenis dan jumlah sesuai dengan resep yang dilakukan oleh pemberi pelayanan di Apotek Jumlah benar dari pertanyaan informasi obat terkait diabetes melitus yang diajukan oleh peneliti kepada Apoteker/petugas Apotek (Non Apoteker) yang memberikan pelayanan klinik di Apotek UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 b. Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) c. Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah) Checklist S Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal 29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta d. Jumlah frekuensi penggunaan menurunkan gula darah atau mengontrol gula darah - simetidin digunakan untuk menurunkan asam lambung Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang waktu obat harus dikonumsi dari segi waktu. Jawaban dinyatakan tepat bila informasi yang disampaikan: - Metformin digunakan pada pagi dan sore hari atau digunakan 2 kali sehari dengan selang waktu 12 jam - Simetidin digunakan pada pagi dan malam hari Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang waktu obat harus dikonsumsi dari segi jam makan pasien. Jawaban dinyatakan tepat bila informasi yang disampaikan: - Metformin digunakan sebelum/sesudah makan/saat perut terisi oleh makanan/saat perut terisi makanan - Simetidin digunakan sesudah/sedang/dengan makanan/saat perut terisi makanan Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang jumlah obat yang harus digunakan dalam sehari. Jawaban dinyatakan tepat bila informasi yang disampaikan adalah masing-masing obat digunakan 2 kali sehari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 e. Jumlah obat sekali minum f. Nama obat g. Indikasi Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal 30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta h. Interaksi Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang jumlah obat yang harus dikonsumsi dalam sekali minum. Jawaban dinyatakan tepat bila informasi yang disampaikan adalah masing-masing 1 tablet obat digunakan saat sekali minum Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang sebutan obat berdasarkan tulisan yang tertera dalam kemasan obat. jawaban dinyatakan tepat bila informasi yang disampaikan adalah menyebutkan metformin dan simetidin Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang kondisi penyakit yang memerlukan penggunaan obat dalam resep. Informasi dinyatakan tepat bila hal yang disampaikan adalah: - Metformin: digunakan untuk DM tipe 2 atau digunakan untuk DM tahap awal - Simetidin: digunakan untuk mengatasi sakit lambung Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang kemungkinan terpengaruhnya obat satu dengan yang lainnya. Dinyatakan tepat bila informasi yang disampaikan adalah: - Penggunaan simetidin akan mempengaruhi ekskresi metformin. - Metformin akan menurun ekskresinya akibat interaksi dengan simetidin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 i. Pencegahan interaksi j. Efek samping obat (ESO) Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal 31 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta k. Pencegahan ESO Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang cara menghindari kemungkinan interaksi. Informasi dinyatakan tepat bila hal yang disampaikan adalah: Gunakan metformin dalam dosis yang lebih kecil bila penggunaan kedua obat harus dalam waktu yang sama atau konsultasikan dengan dokter tentang obat pilihan mag lain yang tidak berinteraksi dengan metformin. Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang reaksi yang tidak diharapkan muncul diakibatkan dari penggunaan obat. informasi dinyatakan tepat bila hal yang disampaikan adalah: metformin memiliki efek samping utamanya berupa gangguan gastrointestinal berupa diare, mual, muntah, nyeri perut sedangkan simetidin efek sampingnya cenderung aman Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang cara menghindari kemungkinan efek samping obat. ESO yang mengganggu adalah yang ditimbulkan dari obat metformin maka informasi dinyatakan tepat bila hal yang disampaikan adalah: ESO metfomin dapat dicegah dengan Menggunakan metformin dibarengi dengan makanan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 l. Gejala ESO m. Makanan dan minuman yang harus dihindari 4 Konseling Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Checklist a. Skor 1 Jawaban tepat b. Skor 0 Jawaban tidak tepat Skala nominal Checklist a. Skor 1 Kegiatan konseling dilakukan b. Skor 0 Skala nominal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta n. Cara penyimpanan Informasi yang diberikan Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) tentang ciri-ciri bila ESO terjadi. Informasi dinyatakan tepat bila info yang disampaikan adalah saat timbul ESO metformin maka akan menimbulkan rasa tidak enak pada perut seperti sakit mag atau cenderung sering buang air besar. Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) menyarankan untuk menghindari makanan dan minuman yang dapat mengganggu keseimbangan gula darah tubuh. Informasi dinyatakan tepat bila info yang disampaikan adalah - untuk menjaga agar gula darah terkontrol maka disarankan pasien untuk menghindari makanan dengan kandungan tinggi gula, karbohidrat yang berlebihan - untuk mencegah parahnya penyakit mag yang dialami pasien maka hindari makanan yang pedas, asam, minuman berkafein atau beralkohol. Apoteker atau petugas Apotek (non Apoteker) menyarankan tentang tata cara penempatan obat. Informasi dinyatakan tepat bila info yang disampaikan adalah: Simpan obat suhu ruangan, di tempat tertutup dan terjaga dari cahaya matahari. Bentuk pelayanan klinik dimana Apoteker/petugas Apotek (non Apoteker) yang telah memberikan informasi obat 33 a. Membuka komunikasi antara apoteker dan pasien b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien melakukan tahapan konseling kepada pasien dengan mencoba menggali pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kerpatuhan pasien untuk kemudian diberikan saran atau nasihat. Apoteker/Asisten apoteker berperilaku aktif memulai pembicaraan kepada pasien Kegiatan konseling tidak dilakukan Checklist Apoteker/Aisten apoteker menanyakan three prime question: 1. Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda? 2. Apa yang dijelaskan dokter tentang cara pemakaian obat anda? 3. Apa yang dijelasan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah anda menerima obat tersebut? Apoteker/Asisten apoteker menanyakan adakah permasalahan dalam penggunaan obat Checklist Apoteker/Asisten apoteker memberikan saran bagaimana cara untuk mengatasi permasalah obat atau memberikan himbauan untuk tetap melanjutkan pengobatan sesuai dengan aturan agar gula darah tetap terkontrol Apoteker/Asisten apoteker menanyakan hal-hal yang mungkin tidak dimengerti pasien Checklist Checklist Checklist a. Skor 1 Melakukan b. Skor 0 Tidak melakukan a. Skor 1 Melakukan b. Skor 0 Tidak melakukan Skala nominal Skala nominal a. Skor 1 Melakukan b. Skor 0 Tidak melakukan a. Skor 1 Melakukan b. Skor 0 Tidak melakukan Skala nominal a. Skor 1 Melakukan b. Skor 0 Tidak melakukan Skala nominal Skala nominal 33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Alur Penelitian Penelitian Pendahuluan Pendataan jumlah apotek pada wilayah Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong Kidul Persiapan Instrumen Penelitian - Skenario - Lembar Resep - Protokol Penelitian - Check List - Alat Perekam Validasi Instrumen - Validasi Isi - Validasi Rupa Teknik Pengumpulan Data Interaksi langsung dengan apoteker sebagai keluarga pasien simulasi Managemen Data Editing, Coding, data processing Analisis Data Analisis univariat dengan Microsoft excel 2010 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian ini dilakukan di Kecamatan wilayah Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong Kidul di Kabupaten Garut. Alasan pemilihan Lokasi ini adalah dikarenakan distribusi apotek terbanyak di kabupaten Garut ada di tiga kecamatan tersebut. 4.2.2. Waktu Penelitian Waktu penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November 2014 dan waktu pengumpulan data, pengolahan dan pembahasan dilakukan pada bulan Maret – Mei 2015. 4.3. Rancangan Penelitian Penelitian ini berupa penelitian non-eksperimental. Desain penelitian ini ex post facto (Sarwono Jonathan, 2006). Ditinjau dari metode, penelitian ini adalah penelitian jenis survei dimana peneliti tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap variabel-variabel yang diteliti dan menurut tingkat eksplanasi (penjelasan) penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dimana penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan, atau penghubungan dengan variabel yang lain (Siregar Syofian, 2013). Sumber data dari penelitian ini adalah sumber data primer. Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek penelitian (Siregar Sofyan, 2013). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah berupa wawancara terstruktur dan observasi dengan metode simulasi pasien. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilakukan dengan berpedoman pada sebuah check list kemudian hasil wawancara diisikan pada lembar check list dengan membubuhkan tanda (check) yang berarti bernilai satu pada kolom yang sesuai dan observasi yang dilakukan berupa pegamatan langsung terhadap kondisi lingkugan objek penelitian (Siregar Sofyan, 2013). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 4.4. Populasi dan Sampel 4.4.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh apotek yang berada di wilayah Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong Kidul di Kabupaten Garut. Sedangkan populasi sasaran dari penelitian ini adalah apoteker atau petugas apotek (non Apoteker) di seluruh apotek yang berada di wilayah Kecamatan tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut sampai bulan November 2014 di dapat jumlah populasi Apotek di tiga Kecamatan tersebut sebanyak 71. Dengan rincian sebagai berikut: a. Jumlah populasi Apotek di Kecamatan Garut Kota adalah 41 b. Jumlah populasi apotek di Kecamatan Tarogong Kidul adalah 22 c. Jumlah populasi Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler adalah 8 4.4.2. Sampel Populasi dalam penelitian ini terbagi dalam tiga Kecamatan dengan jumlah Apotek berbeda pada setiap Kecamatan dan tidak ada sumber yang menyatakan Apotek di tiga Kecamatan tersebut bersifat homogen. Maka pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode Sampel Random Berstrata (Stratified Random Sampling). Berdasarkan jumlah populasi yang sudah diketahui jumlahnya yaitu 71 Apotek maka jumlah unit sampel Apotek dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Lwanga dan Lemeshow, 1991 dikutip dari Jurnal umi athiyah et al., 2014): ( ………………………………………………(1) ) Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi apotek p = Estimator proporsi populasi, sebesar 0.76 q = 1-P Zα2 = Nilai kurva normal yang tergantung dari α (α = 5% maka Z d = Toleransi kesalahan (10 %) ( ( ) ) ( ) = 1.96) = 23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 Berdasarkan hasil perhitungan maka didapat hasil 23 sebagai jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian maka dilakukan pembulatan jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 35 Apotek dengan unit sampel (sasaran penelitian) Apoteker atau petugas Apotek. Sampel apotek yang diambil pada setiap kecamatan adalah: 1. Apotek di Kecamatan Garut Kota : apotek apotek 2. Apotek di Kecamatan Tarogong Kidul : 3. Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler : apotek Setelah jumlah sampel ditetapkan pada tiap kecamatan, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan sampel (Apotek) pada tiap kecamatan secara random. 4.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.5.1. Kriteria Inklusi 1. Apotek yang berada di wilayah Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Tarogong Kidul di Kabupaten Garut. 2. Apotek yang memiliki surat izin resmi dan terdata di Dinas Kesehatan Kabupaten Garut. 4.5.2. Kriteria Eksklusi 1. Apotek yang telah tutup saat penelitian dilakukan. 4.6. Langkah Penelitian 4.6.1. Penelitian Pendahuluan Sebelum penelitian, dilakukan survei pendahuluan. Tujuan dilakukannya survei pendahuluan adalah untuk memastikan jumlah apotek di daerah Garut Kecamatan Garut Kota, Kecamatan Tarogong Kaler dan Kecamatan Tarogong Kidul. Penelitian pendahuluan ini dilakukan pada bulan November 2014 dengan cara meminta data apotek resmi di tiga Kecamatan tersebut dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut. 4.6.2. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah: 1. Skenario (Lampiran 2) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 2. Lembar Resep Obat Antidiabetes 3. Protokol Penelitian 4. Check List (Lampiran 1) 5. Alat perekam Skenario dalam penelitian ini menempatkan peneliti sebagai keluarga pasien yang ingin menebus obat antidiabetes untuk salah satu keluarga peneliti yang terjangkit penyakit diabetes melitus. Pasien diabetes melitus tersebut merupakan seorang wanita berumur 40 tahun, baru terdiagnosis diabetes melitus tipe 2, pasien ini memiliki keluhan berupa sakit mag. Dalam skenario ini dipilih obat metformin 500 mg dan simetidin untuk diresepkan pada pasien. Skenario obat ini kemudian di tuliskan dalam resep. Resep yang digunakan dalam penelitian ini adalah resep yang dituliskan oleh dokter, dimana dokter menjadi pihak yang membantu dalam melengkapi instrumen penelitian. Protokol penelitian ini adalah selama penelitian peneliti tidak diperbolehkan menunjukkan check list saat mengajukan pertanyaan dan peneliti tidak ikut serta membantu atau menambahkan jawaban dari narasumber di Apotek. Hal ini dilakukan agar jawaban yang didapatkan murni berasal dari narasumber di Apotek. Peneliti harus bersikap objektif dalam menggambarkan keadaan setiap Apotek dan Apoteker yang ada di dalamnya. Peneliti juga dituntut untuk memberi perlakuan yang sama pada setiap Apotek yang didatangi sehingga data yang dihasilkan bersifat objektif. Check list yang digunakan dalam penelitian diambil dari jurnal Profil Informasi Obat pada Pelayanan Resep Metformin dan Glibenklamid di Apotek Wilayah Surabaya yang dibuat Umi Athiyah dkk (2014) karena mampu menggambarkan peran apoteker dalam pemberian informasi obat, telah tervalidasi dan sesuai garis besar informasi obat yang harus disampaikan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014. 4.6.3. Validitas Instrumen Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian adalah validitas rupa dan isi. Validitas isi ditentukan dari kesesuaian antara instrumen yaitu check list dan skenario dengan tinjauan dari pustaka dan variabel yang ingin diteliti. Instrumen penelitian dikatakan valid karena telah sesuai dengan acuan Peraturan Menteri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 39 Kesehatan Republik Indonesia No.35 tahun 2014 dan mampu mengiterpretasikan hal-hal yang ingin dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian. Validitas rupa menunjukkan apakah alat pengukur/instrument penelitian dari segi rupanya mampu mengukur apa yang ingin di ukur, validitas ini lebih mengacu pada bentuk dan penampilan instrument. Menurut Djamaludin Ancok validitas rupa amat penting dalan pengukuran kemampuan individu seperti pengukuran kejujuran, kecerdasan, bakat dan keterampilan (Siregar Syofian, 2013). Metode simulasi pasien memiliki validitas rupa bila penyedia layanan kesehatan tidak mengetahui adanya simulasi keluarga pasien (Watson et .al, 2004 dikutip dari jurnal umi athiyah et al., 2014). Validitas dalam penelitian ini sangat bergantung pada kemampuan dari peneliti sebagai bagian dari simulasi pasien diamana poisi peneliti sebagai keluarga pasien. Untuk memastikan kemampuan pasien cukup maka dilakukan pilot atau uji coba langsung pada suatu apotek (Watson et.al, 2006 dikutip dari umi athiyah et al., 2014). Validitas penelitian ini ditingkatkan dengan penggunaan alat perekam dalam melakukan pengumpulan data, sehingga kemungkinan kehilangan informasi menjadi berkurang (Madden et.al, 1997 dikutip dari umi athiyah et al., 2014). 4.6.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan metode simulasi pasien dan teknik observasi. Wawancara dilakukan dengan cara berinteraksi langsung dengan apoteker atau petugas Apotek di Apotek terpilih. Metode simulasi pasien ini digunakan untuk mempelajari perilaku penyedia layanan kesehatan untuk meminimalkan bias karena pengamatan (Madden et al, 1997 dikutip dari umi athiyah et al., 2014). Tujuannya adalah untuk menguji perilaku tertentu dari apoteker atau petugas apotek (Watson et.al, 2006 dikutip dari umi athiyah et al., 2014). Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan mengamati keadaan Apotek dalam segi sarana, pemberian pelayanan dan pelaksanaan pelayanan. Dalam metode ini peneliti memposisikan diri sebagai keluarga pasien yang menebus obat dengan membawa resep obat antidiabetes. Peneliti akan menyerahkan resep kepada petugas Apotek kemudian mengajukan pertanyaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 sesuai check list yang telah dipersiapkan sebelumnya namun tanpa menunjukkan check list tersebut dan setiap jawaban dicatat dalam check list. Pencatatan dilakukan saat peneliti keluar dari Apotek dengan tujuan mencegah kecurigaan Apoteker/petugas Apotek tentang adanya simulasi pasien. Selama pengajuan pertanyaan ini peneliti dituntut memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengajukan pertanyaan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan pada pihak Apotek sehingga jawaban yang di dapat merupakan jawaban yang menggambarkan keadaan sebenarnya. 4.6.5. Manajemen Data Setelah proses pengumpulan data selesai dilakukan, maka akan dilakukan analisis data. Proses pengolahan data dilakukan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan, dengan tahapan sebagai berikut (Pusdiklat Pengawasan dan Deputi Akuntan Negara, 2007): 1. Pengeditan (Editing) Pengeditan merupakan proses pengecekan dan penyesuaian yang diperlukan terhadap data untuk memudahkan pemberian kode dan pemrosesan data dengan tekhnik statistik. Data yang diperoleh dari hasil penelitian perlu diedit dari kemungkinan kekeliruan dalam proses pencatatan yang dilakukan dalam pengumpulan data. 2. Pemberian Kode (Coding) Pemberian kode merupakan proses identifikasi dan klasifikasi data ke dalam skor numerik. Proses pemberian kode ini akan memudahkan dan meningkatkan efisiensi proses data entry ke dalam komputer. 3. Pemrosesan data (Data Processing) Setelah kedua tahap diatas dilakukan, maka data siap untuk diolah atau dianalisis. 4.7. Analisis Data Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft excel 2010. Pengolahan data yang dilakukan adalah analisis univariat. Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel yang ada secara deskriptif (Notoatmodjo, 2003). Analisis deskriptif bertujuan untuk melihat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 data secara apa adanya untuk memperoleh gambaran umum mengenai variabelvariabel yang diukur pada sampel (Pusdiklat Pengawasan dan Deputi Akuntan Negara, 2007). Analisis yang dilakukan meliputi: 1. Kehadiran Apoteker di tempat kerja (apotek). 2. Gambaran pemberi pelayanan klinik di Apotek 3. Gambaran pelaksanaan pelayanan klinik di Apotek 4. Gambaran kualitas pelayanan klinik ditinjau dari pemberian informasi obat dan konseling terhadap resep antidiabetes di Apotek. Analisis yang dilakukan didasarkan dari hasil wawancara langsung menggunakan check list dengan skala guttman dan observasi di Apotek. Skala Guttman digolongkan sebagai skala yang berdimensi tunggal yaitu skala yang menghasilkan kumulatif jawaban yang butir soalnya berkaitan satu dengan yang lain. Skala ini bersifat tegas karena setiap jawaban dari pertanyaan yang ada di check list diberi skor 0 untuk jawaban tidak dan 1 untuk jawaban ya (Windiyani Tustiyana, 2012). . UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pelayanan klinik di Apotek meliputi pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care), pemantauan terapi obat (PTO) dan monitoring efek samping obat (MESO). Namun dalam penelitian ini hanya dilakukan survei dengan melakukan wawancara terstruktur dan observasi dengan metode simulasi pasien untuk mendeskripsikan pelayanan klinik berupa dispensing berupa kesesuaian penyerahan obat dengan resep, pelayanan informasi obat terhadap resep antidiabetes dan konseling. Kelebihan dari metode simulasi pasien ini adalah hasil data yang didapatkan lebih objektif, mampu menggambarkan keadaan nyata dan sebenarnya karena minimnya bias yang terjadi akibat pengamatan. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, jumlah seluruh Apotek di Kota Garut pada tahun 2014 adalah 139 Apotek. Distribusi Apotek terbesar berada di Kecamatan Garut Kota sebanyak 41 Apotek, Kecamatan Tarogong Kidul sebanyak 22 Apotek dan Kecamatan Tarogong Kaler sebanyak 8 Apotek. Data Pemerintah Daerah Kabupaten Garut pada tahun 2013 menunjukkan jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler 93.563 jiwa, jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kidul 131.118, dan jumlah penduduk di Kecamatan Garut Kota 170.875 jiwa. Apabila dianalogikan satu apotek memiliki satu Apoteker maka rasio Apoteker terhadap 100.000 penduduk di setiap Kecamatan dapat dihitung. Perhitungan ini dilakukan untuk meninjau apakah jumlah Apoteker sudah memadai sesuai yang dibutuhkan oleh Kementerian Kesehatan (12:100.000) dan WHO (50:100.000) (Adelina 2013 dikutip dari Dyani Primasari Sukandi, 2015). Rasio standar yang dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan tersebut dapat diidentikan dengan setiap 1 apotek melayani 8.333 penduduk, sementara standar WHO identik dengan pengertian 1 apotek melayani 2000 penduduk. Rasio apotek terhadap jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler adalah 1:11.695, di Kecamatan Tarogong Kidul 1:5.959 dan di Kecamatan Garut Kota 1:4.197. Data UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 tersebut menggambarkan bahwa rasio Apotek terhadap jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kidul dan Garut Kota sudah sesuai standar Kementerian Kesehatan namun belum sesuai dengan standar WHO. Sedangkan rasio Apotek terhadap jumlah penduduk di Kecamatan Tarogong Kaler belum memenuhi standar Kementrerian Kesehatan dan standar WHO. 5.1. Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data tentang frekuensi kehadiran apoteker dari tenaga kefarmasian yang berada di Apotek selama penelitian, baik Apoteker atau petugas apotek lain (non apoteker). Data penelitian tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 5.1 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler Skor Kegiatan Kehadiran (%) 5 4 3 2 1 0 0 0 1 1 1 1 30 Frekuensi Kehadiran Apoteker Kategori Buruk Tabel 5.2 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Tarogong Kidul Kegiatan Frekuensi Kehadiran Apoteker 5 4 Skor 3 2 4 5 1 0 Kehadiran (%) 1 0 0 1 Kategori 78,18 Sedang Tabel 5.3 Gambaran Frekuensi Kehadiran Apoteker di Kecamatan Garut Kota Skor Kegiatan Kehadiran (%) 5 4 3 2 1 0 14 1 1 1 1 2 80 Frekuensi Kehadiran Apoteker Kategori Baik Dalam tabel tersebut dijelaskan bahwa rata-rata persentase kehadiran Apoteker di Apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kaler adalah 30% dan hasil tersebut dikategorikan buruk. Di Apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kidul UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 didapatkan rata-rata persentase kehadiran Apoteker adalah 78,18% dan hasil tersebut dikategorikan sedang. Di Apotek wilayah Kecamatan Garut Kota didapatkan rata-rata persentase kehadiran Apoteker adalah 80% dan hasil tersebut dikategorikan baik. Pengkategorian mengacu pada penelitian Harianti, Angki Purwanti dan Sudibyo Supardi (2006). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa Apoteker belum hadir setiap hari selama jam buka di Apotek. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya seperti penelitian tahun 2003 di Jakarta oleh Purwanti Angki, Hartanto dan S. Supardi yang menyatakan bahwa kehadiran Apoteker di Apotek masih rendah dimana 54,7% Apoteker bekerja tidak penuh. Penelitian serupa dilakukan di Medan tahun 2008 oleh Adelina BR Ginting (2009) dengan hasil 52,94% apoteker tidak hadir setiap hari. Penelitian terbaru yang serupa juga dilakukan oleh Rendy Ricky Kwando tahun 2014, dalam penelitian tersebut digambarkan bahwa skor kehadiran Apoteker di Apotek wilayah Surabaya Timur adalah 61,3% dan hasil tersebut dikategorikan sedang. Kehadiran Apoteker ini akan mempengaruhi pelayanan klinik di Apotek karena syarat utama pelayanan klinik di Apotek dapat berjalan adalah adanya kehadiran Apoteker di Apotek selaku pelaksana pelayanan klinik dan tugas ini tidak dapat dialihkan kepada petugas Apotek yang lain termasuk Asisten apoteker. Dalam penelitian Rendy Ricky Kwando (2014) dijelaskan bahwa frekuensi kehadiran Apoteker di tempat kerja berkorelasi dengan pelayanan kefarmasian. Semakin tinggi frekuensi kehadiran Apoteker di tempat kerja maka pelaksanaan pelayanan kefarmasian akan semakin meningkat. Peningkatan pelayanan kefarmasian akan menyebabkan peningkatan daya saing Apotek terutama dalam menarik pelanggan. Hal ini sesuai dengan penelitian Erlin Aurelia (2013) bahwa konsumen akan berlangganan di Apotek bila Apotek tersebut dapat memberi kepuasan dalam segi pelayanan dan harga obat. Peningkatan pelanggan di Apotek akan menyebabkan peningkatan pendapatan Apotek sehingga gaji/upah Apoteker lebih meningkat. Peningkatan upah kerja ini akan mampu meningkatkan kehadiran Apoteker di Apotek hal tersebut sesuai dengan penelitian Erik Darmasaputra (2014) yang menyatakan salah satu alasan utama ketidakhadiran Apoteker di Apotek adalah masalah upah/gaji Apoteker. Dari pemaparan tersebut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 maka jelas tergambarkan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kehadiran Apoteker terhadap pelayanan klinik, pelayanan klinik terhadap kepuasan pelanggan dan kepuasan pelanggan terhadap peningkatan upah Apoteker. Karena pelaksanaan pelayanan klinik ini tidak bisa dialihkan kepada pihak lain selain Apoteker maka Apoteker Pengelola Apotek (APA) wajib mengangkat seorang Apoteker pendamping untuk membatu pelaksanaan kefarmasian di Apotek terutama saat APA tidak dapat hadir di Apotek. Hal tersebut sesuai telah dijelaskan dalam PP No.51 tahun 2009 pasal 24 tentang keharusan Apoteker mengangkat seorang Apoteker pendamping dalam membantu pelaksanaan pekerjaan kefarmasian. 5.2. Gambaran Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh rincian data yang dapat menggambarakan petugas apotek yang berperan sebagai pemberi pelayanan klinik di Apotek, dilihat pada gambar berikut ini :. 100% Apoteker 100% 80% 64% Petugas apotek (non apoteker) 60% 60% 36.36% 40% 20% 25% 15% 0% 0% Apoteker dan petugas apotek (non apoteker) 0% 0% Kec. Tarogong Kec. Tarogong Kaler Kidul Kec. Garut Kota Gambar 5.1. Gambaran Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek Pemberi pelayanan klinik di Apotek tidak seluruhnya dilakukan oleh Apoteker. Hal ini dapat dilihat dari grafik distribusi pemberi pelayanan klinik di Apotek. dimana grafik tersebut menggambarkan bahwa pemberi pelayanan klinik di apotek wilayah kecamatan Tarogong Kaler 100% dilakukan oleh petugas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 apotek lain (non apoteker). Pelayanann klinik di Apotek wilayah Kecamatan Tarogong kidul 36,36% dilakukan oleh Apoteker dan 63,64% dilakukan petugas apotek lain (non apoteker). Pelayanan klinik di Apotek wilayah kecamatan Garut Kota 60% dilakukan oleh Apoteker, 15% dilakukan oleh Apoteker dan petugas apotek lain (non apoteker) serta 25% dilakukan oleh petugas apotek lain (non apoteker). Pelayanan klinik yang belum dilaksanakan sepenuhnya oleh Apoteker ini serupa dengan hasil penelitian Erlin Aurelia (2013) dimana yang biasa melayani pasien/pelanggan di Apotek adalah Asisten apoteker (48,12%), diikuti pegawai apotek (28,30%), baru kemudian Apoteker (13,21%). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saat Apoteker tidak berada di Apotek secara otomatis pelayanan klinik ke petugas Apotek lain (non Apoteker). Suasana Apotek yang cenderung ramai tanpa diimbangi tenaga kefarmasian yang memadai juga mempengaruhi tidak terpenuhinya peran Apoteker sebagai pemberi pelayanan klinik di Apotek. Apoteker yang bekerja di Apotek cenderung ramai oleh pelanggan umumnya dituntut untuk ikut serta dalam proses penyiapan obat sehingga Apoteker tidak mampu memberikan pelayanan klinik yang optimal kepada pasien/pelanggan. Hal ini terjadi pada 3 (15%) dari 20 Apotek di Kecamatan Garut Kota, dimana Apoteker memberikan sebagian tugas pemberian pelayanan klinik kepada petugas apotek yang lain untuk kembali melakukan penyiapan obat untuk pasien berikutnya. Hal-hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan pelayanan klinik sekaligus pelanggaran yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemenuhan tugasnya di Apotek. Hal tersebut sesuai dengan pembahasan peraturan kewajiban apoteker dalam memberikan informasi obat oleh Sri Yustina Hartini (2009) dimana pelayanan informasi obat merupakan salah satu bentuk pelayanan klinik di Apotek. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pada penjelasan pasal 53, UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 7, PP No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan pasal 22, Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 15 ayat 4 dan Kepmenkes No.1027 thn 2004. Sanksi terhadap tidak dilaksanakannya pemberian informasi obat diatur dalam PP No.32 tahun 1996 pasal 35 yakni dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 Masing-masing peran Apoteker dan petugas apotek lain seperti Asisten Apoteker dalam pelayanan klinik telah dijelaskan dalam peraturan. Salah satunya adalah Permenkes Republik Indonesia Nomor 376/MENKES/PER/V/2009 tentang petunjuk teknis jabaran fungsional Asisten apoteker dan angka kreditnya yang menjelaskan bahwa tugas Asisten apoteker sebatas menyiapkan hal-hal yang diperlukan dalam kegiatan pelayanan klinik dan bertugas dalam menyiapkan obat. Sedangkan pemberi pelayanan klinik adalah tugas Apoteker, hal ini diperkuat oleh Permenkes Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 yang menjelaskan bahwa Apotekerlah yang wajib berkomunikasi dengan pasien dan memberikan informasi obat pada pasien. 5.3. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Pelaksanaan pelayanan klinik di Apotek yang dibahas dalam penelitian ini mencakup dispensing, pelayanan informasi obat dan konseling. Pelaksanaan pelayanan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.35 tahun 2014. Berikut adalah pemaparan dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 5.3.1. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Dispensing di Apotek Salah satu pelayanan klinik di Apotek adalah kegiatan dispensing. Dalam penelitian ini peneliti menganalisis kegiatan dispensing dalam segi kesesuaian obat yang diberikan oleh pihak Apotek dengan obat yang tertera dalam resep baik dari segi jenis dan jumlah. Berikut grafik dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 8.57% penyerahan obat sesuai dengan resep penyerahan obat tidak sesuai dengan resep 91.43% Gambar 5.2 Persentase Kesesuaian Penyerahan Obat dengan Resep UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa 8,57% (3 Apotek) Apotek tidak melakukan dispensing sesuai dengan resep, dimana letak Apotek tersebut berada di Kecamatan Garut Kota. Satu apotek di wilayah Kecamatan Garut Kota dimana petugas apotek (non apoteker) sebagai pemberi pelayanan mengganti obat simetidin generik menjadi ranitidin paten dan 2 apotek wilayah Kecamatan Garut Kota lainnya mengganti obat metformin generik dengan obat metformin paten dimana masing-masing pemberi pelayanan klinik adalah Apoteker dan petugas apotek (non apoteker). Dari hasil tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Apoteker dan petugas apotek (non apoteker) masih melakukan pelanggaran dalam kegiatan dispensing obat. Penggantian obat generik ke obat paten akan menyebabkan penambahan beban biaya pasien dalam menebus obat. ketiga kasus penggantian obat tersebut pada umumnya dilakukan tanpa persetujuan peneliti sebagai pelanggan Apotek. Penggantian obat dalam resep tanpa sepengetahuan pasien ini sendiri merupakan bentuk penyimpangan terhadap UU No. 8 tahun 1999. 5.3.2. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat di Apotek Selanjutnya peneliti melakukan observasi untuk menganalisis pelaksanaan pelayanan klinik yang terjadi di Apotek berupa pelayanan informasi obat. Kehadiran Apoteker sebagai pelaksana pelayanan informasi obat ini menjadi penting karena menjadi syarat utama pelaksanaan pelayanan informasi obat yang ideal dapat terjadi di Apotek. Berikut gambar yang menunjukkan kehadiran Apoteker yang dapat ditemui di Apotek pada saat penelitian : 54.29% 45.71% Apoteker yang tidak hadir pada jam buka Apotek Apoteker yang hadir pada jam buka Apotek Gambar 5.3 Gambaran Distribusi Apoteker yang Hadir di Apotek Saat Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 35 apotek yang berada di tiga kecamatan yang menjadi wilayah penelitian didapatkan data bahwa apoteker yang hadir di Apotek saat penelitian adalah 19 Apoteker (54,29%) dengan rincian 4 Apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong Kidul dan 15 Apoteker di Kecamatan Garut Kota. Diantara Apoteker tersebut 17 diantaranya menyatakan hadir setiap hari di Apotek selama jam buka Apotek, 1 Apoteker menyatakan hadir 2 kali dalam seminggu dan 1 Apoteker menyatakan hadir 3 kali dalam seminggu. Sedangkan 45,71% Apoteker tidak dapat ditemui di Apotek dan hanya petugas apotek (non apoteker) yang berada di Apotek. Semua Apoteker yang ditemui peneliti di Apotek bersedia untuk memberikan pelayanan klinik berupa pelayanan informasi obat dengan menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti yang mengacu pada check list. Sedangkan saat Apoteker tidak hadir dan ingin menanyakan tentang informasi obat yang ingin diketahui maka petugas apotek (non apoteker) yang berada di Apotek menyanggupi dan memberikan pelayanan informasi obat kepada peneliti. Pemindahan tugas Apoteker kepada petugas lain selain apoteker ini tidak diperbolehkan dan hal ini menunjukkan adanya pelanggaran dalam proses pelaksanaan pelayanan informasi obat karena bukan Apoteker yang memberikan pelayanan ini. Mendapatkan pelayanan klinik berupa pelayanan informasi obat dari Apoteker merupakan suatu hak dari pasien. Namun sepertinya hak tersebut tidak sepenuhnya disadari oleh pasien karena berdasarkan hasil pengamatan peneliti di Apotek saat penelitian tidak ditemukan pasien lain yang meminta pelayanan serupa dengan peneliti lakukan kepada pihak Apoteker. Kemungkinan masih kurangnya eksistensi Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang dapat dijadikan narasumber dalam setiap permasalah obat masih kurang, hal tersebut dipertegas oleh penelitian Arhayani (2007) yang menyatakan 2,81% saja pengunjung Apotek yang menjadikan Apoteker sebagai sumber informasi obat. Oleh sebab itu diperlukan sarana penunjang eksistensi Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang dapat diandalkan. Berdasarkan hasil rapat kerja nasional pertama IAI tahun kepengurusan 2014-2018 di Novortel, Jakarta salah satu sarana yang mampu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 menunjang peran Apoteker adalah pemasangan papan praktik apoteker dan penggunaan jas praktik selama jam kerja di Apotek (Anwar Firdaus, 2014). 5.3.3. Gambaran Pelaksanaan Konseling di Apotek Pelayanan informasi obat merupakan bagian dari isi pembahasan dalam kegiatan konseling oleh sebab itu Apoteker yang telah memberikan pelayanan informasi obat berarti telah melaksanakan kegiatan konseling begitu juga dengan petugas apotek (non apoteker) yang telah melaksanakan pelayanan informasi obat. Idealnya, dalam kegiatan konseling ini Apoteker selaku pihak yang wajib menjadi pelaksana pelayanan dituntut untuk berperan aktif untuk memberikan saran, nasihat dan edukasi berkaitan dengan pengobatan pasien agar pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan pasien dapat meningkat. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 dijelaskan tentang kriteria yang diharuskan mendapatkan pelayanan konseling ini, salah satunya adalah pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus. Peneliti yang berperan sebagai keluarga pasien simulasi yang mengalami diabetes melitus berarti seharusnya mendapatkan pelayanan ini sehingga tanpa diminta seharusnya Apoteker secara aktif memberikan pelayanan konseling. Secara ideal kegiatan konseling ini memiliki 5 tahapan dalam kegiatannya. Namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tahapan konseling tersebut belum dilaksanakan secara keseluruhan oleh Apoteker sedangkan petugas apotek (non apoteker) tidak melakukan satupun tahapan konseling. Hal tersebut ditunjukkan oleh gambar di bawah ini : 52.63% 60% tahap 1 50% tahap 2 40% 30% 20% 10% tahap 3 21.05% tahap 4 10.53% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% tahap 5 0% Tahapan Konseling yang dilakukan Apoteker Tahapan Konseling yang dilakukan petugas apotek (non apoteker) Gambar 5.4 GambaranTahapan Konseling yang Dilaksanakan oleh Apoteker dan Non Apoteker UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 Keterangan : a. b. c. d. Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 e. Tahap 5 : membuka komunikasi dengan pasien : menilai pemahaman tentang penggunaan obat : menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat : memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat : melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien Dari grafik diatas dapat diperoleh gambaran bahwa sebagian Apoteker melaksanakan beberapa tahapan konseling. Hal ini tepat dilakukan karena pelaksanaan pelayanan klinik merupakan tugas dari Apoteker. Sedangkan petugas apotek (non apoteker) sama sekali tidak melanjutkan pelayanan klinik berupa konseling. Asisten apoteker dalam penelitian ini sebatas menjawab pertanyaan peneliti dan tidak melakukan analisa lebih lanjut terhadap keadaan pasien. Hal ini dianggap wajar karena tugas pelaksanaan konseling ini bukan bagian dari petugas apotek yang lain. Semua Apoteker yang berinteraksi dengan peneliti tidak berperan aktif untuk membuka komunikasi dengan peneliti sebagai pelanggan. Salah satu kegiatan dalam konseling adalah pemberian informasi obat. Peneliti dalam hal ini sebagai pelanggan Apotek lebih aktif dalam menggali informasi obat yang diperlukan kepada Apoteker. Hal ini berarti menggambarkan bahwa bila peneliti sebagai pelanggan Apotek tidak meminta pelayanan informasi obat kepada petugas Apotek baik Apoteker atau petugas apotek (non Apoteker), maka peneliti tidak akan mendapatkan pelayanan tersebut. Hasil penggambaran tersebut sesuai dengan hasil penelitian Arhayani (2007) yang dikutip dalam Nur Alam Abdulah (2010) yang menunjukkan bahwa 6,17% pengunjung Apotek yang memperoleh pelayanan informasi, dan 62,7% tidak pernah menerima pelayanan informasi obat di Apotek yang dimana sebagian besar pengunjung Apotek (95%) membutuhkan pelayanan tersebut dan baru sebagian kecil yang meminta pelayanan informasi obat. Ketidak idealan pemenuhan pelayanan klinik di Apotek dalam segi pelayanan informasi obat dan konseling ini berarti menggambarkan bahwa pelayanan klinik di Apotek yang berpusat pada pasien (patient oriented) belum terlaksana di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota. Keadaan ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 Rini Sasanti Handayani dkk (2006) yang menyatakan semua Apotek yang disurvei wilayah Jakarta, Yogyakarta dan Makassar belum memprioritaskan pelayanan kefarmasian dengan pendekatan personal kepada pasien (masih berorientasi pada obat) atau pelayanan dengan pendekatan personal kepada pasien belum dikenal masyarakat. Berdasarkan hasil observasi dan pengamatan, kegiatan konseling di tiap Apotek tidak dilakukan di tempat khusus, melainkan dilakukan di tempat etalase jual beli di Apotek. padahal dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 dinyatakan bahwa setiap Apotek wajib mempunyai ruang khusus konseling yang tertutup yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. hal ini dilakukan untuk menjaga privasi dari pasien dan menghindarkan dari gangguan yang dapat menurunkan keefektifan kegiatan konseling. Pelayanan klinik berupa pelayanan konseling tidak dijalankan di Apotek bisa dikarenakan kemampuan apoteker dalam segi pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi yang masih kurang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Rini Sasanti Handayani (2006) yang menyatakan pengetahuan Apoteker di Apotek mengenai obat untuk penyakit kronik terbatas hanya meliputi nama obat dan indikasinya saja sedangkan Apoteker yang bekerja di rumah sakit lebih baik pengetahuannya dibidang farmakologi/farmakokinetik. Pelayanan konseling yang tidak dijalankan dalam suatu Apotek juga dapat berkaitan dengan kemampuan Apoteker dalam melayani pasien atau pelanggan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa setiap Apotek yang pelayanan kliniknya dilakukan oleh Apoteker umumnya hanya bekerja sendiri tanpa adanya Apoteker pendamping. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa waktu kerja adalah 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Berdasarkan peraturan tersebut maka kemampuan tenaga apoteker dalam bekerja terbatas. Agar pelayanan klinik di Apotek dapat terlaksana baik dalam keadaan ramai ataupun dalam keadaan APA tidak dapat melaksanakan tugasnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 di Apotek maka diperlukan Apoteker pendamping agar Apoteker jumlahnya lebih dari satu di setiap Apotek. Pelayanan klinik di Apotek berupa pelayanan informasi obat dan konseling penting dilakukan terutama terhadap penyakit kronis seperti diabetes melitus. Pasien yang diberi konseling akan lebih mengetahui bahaya dari penyakitnya dan mengetahui pentingnya ketepatan dalam penggunaan obat terhadap penyakitnya. Pengetahuan yang lebih dalam dari pasien tentang bahaya penyakitnya dapat meningkatkan kepedulian pasien untuk menjaga pola hidup yang sehat, pola penggunaan obat sesuai dengan ketentuan yang telah diinformasikan apoteker dan kepatuhannya dalam pengobatan dapat meningkat. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Andriani Sesilia Keban, Lutfan Budi Purnoma dan Mustofa (2013) dimana dalam penelitian tersebut dijelaskan pengaruh konseling dari Apoteker terhadap pasien diabetes melitus dapat meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan sehingga gula darah pasien lebih terkontrol. Hal tersebut dibuktikan secara klinis dengan meninjau penurunan AIC terhadap responden yang diberi konseling dibanding dengan responden yang tidak diberi konseling. 5.4. Gambaran Kualitas Pelayanan Klinik Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota Pemberian informasi obat (PIO) yang diberikan oleh Apoteker kepada pasien terutama kepada pasien penyakit kronis seperti diabetes melitus sangatlah penting. Hal tersebut berhubungan dengan sifat penyakitnya, sifat penyakit diabetes melitus ini seumur hidup (lifelong disease), resiko komplikasi tinggi dan pembiayaan juga tinggi, dimana hal tersebut telah dinyatakan dalam International Diabetes Federation (2011). Maka peran Apoteker dalam pemberian informasi obat yang relevan dengan kebutuhan pasien dan berkualitas merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah atau mengatasi komplikasi yang terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat dan pembiayaan yang tinggi tanpa hasil yang maksimal. Gambaran kualitas pelayanan klinik yang akan dipaparkan dapat menunjukan perbedaan kualitas pelayanan klinik ditinjau dari pemberi pelayanan. Gambaran tersebut terlihat dari tabel dibawah ini : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 Tabel 5.4 Gambaran Pengkategorian Kualitas Pelayanan Klinik Apotek No Kecamatan 1 2 Tarogong Kaler Tarogong Kidul 3 Garut Kota Pemberi Pelayanan Petugas apotek (non Apoteker) Petugas apotek (non Apoteker) Apoteker Petugas apotek (non Apoteker) Petugas apotek (non Apoteker) + Apoteker Apoteker Persentase (%) 58,79 59,18 63,39 57,14 59,52 Buruk Buruk Kurang baik Buruk Buruk 67,86 Kurang baik Kategori Tabel diatas menunjukkan bahwa persentase kualitas pelayanan klinik berupa PIO di apotek Kecamatan Tarogong Kaler persentase yang diberikan oleh petugas apotek (non Apoteker) adalah 58,79% dan hasil tersebut termasuk kategori buruk. Hasil persentase kualitas pelayanan klinik berupa PIO di apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kidul yang diberikan oleh petugas apotek (non Apoteker) adalah 59,18% dan hasil tersebut dikategorikan buruk sedangkan kualitas PIO cenderung meningkat saat diberikan oleh Apoteker yaitu 63,39% dan hasil tersebut dikategorikan kurang baik. Hasil persentase kualitas pelayanan klinik berupa PIO di Apotek Kecamatan Garut Kota yang diberikan oleh petugas apotek (non Apoteker) adalah 57,14% dan hasil tersebut dikategorikan buruk, kualitas PIO cenderung meningkat saat pelayanan PIO dilakukan oleh petugas apotek (non Apoteker) yang dibarengi oleh Apoteker yaitu 59,52% dan hasil tersebut dikategorikan buruk sedangkan kualitas PIO cenderung lebih meningkat lagi saat dilakukan secara keseluruhan oleh Apoteker yaitu 67,86% dan hasil tersebut dikategorikan kurang baik. Dari hasil tersebut dapat tergambarkan bahwa persentase kualitas pelayanan informasi klinik yang dilakukan Apoteker cenderung lebih tinggi dibandingkan yang dilakukan oleh petugas apotek (non Apoteker) dan petugas apotek (non Apoteker) yang dibarengi Apoteker. Berdasarkan latar belakang pendidikan antara Apoteker memang sudah sewajarnya Apoteker memiliki pemahaman yang lebih tentang obat. Pemahaman Apoteker terkait obat merupakan harapan tersendiri dari konsumen. Pemahaman Apoteker yang baik terkait obat akan menimbulkan kepercayaan pasien terhadap profesi Apoteker sebagai sumber informasi tentang obat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Erlin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 55 Aurelia (2013) yang menyatakan bahwa pasien yang mendapatkan pelayanan langsung dari Apoteker cenderung mempercayai Apoteker sebagai sumber informasi terkait kesehatan mereka. Oleh sebab itu menjadi hal yang penting untuk Apoteker melakukan pelayanan klinik dibarengi kualitas informasi yang baik. Dalam penelitian, pertanyaan yang diajukan dalam penilaian kualitas pelayanan klinik dari segi pelayanan informasi obat disesuaikan dengan check list. Informasi dalam check list tersebut perlu disampaikan kepada pasien penyakit kronis dengan penggunaan obat jangka lama seperti diabetes melitus. Hal tersebut didukung oleh penelitian Rini Sasanti Handayani (2006) yang menyatakan informasi lengkap mengenai penggunaan obat, cara penyimpanan obat, efek samping, tindakan bila efek samping timbul/keracunan obat dan bila terjadi salah dosis, pantangan obat dengan penyakit tertentu atu makanan saat makan obat tersebut perlu disampaikan kepada pasien. Kualitas pelayanan klinik ini ditinjau dari segi ketepatan pemberian informasi obat kepada pasien di Apotek. Semakin banyak pertanyaan yang dijawab dengan tepat maka nilai kualitas pelayanan klinik akan meningkat. Berikut adalah paparan grafik yang menggambarkan kesalahan jawaban selama pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh Apoteker atau petugas apotek (non Apoteker) sehingga menurunkan kualitas pelayanan klinik. Berikut adalah gambar yang menunjukkan persentase kesalahan dari setiap pertanyaan yang diajukan dimana kesalahan jawaban inilah yang mempengaruhi dari pemberi pelayanan informasi obat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 56 A. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Apoteker (metformin) Apoteker (simetidin) A 0% B 31.57% C 0% 26.31% 52.63% 26.31% petugas apotek (non Apoteker) (metformin) Asisten apoteker (simetidin) 25% 81.25% 0% 26.31% 25% 18.75% D 0% E 0% F 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 6% G 0% H 100% I 100% J K L 50% 93.75% 50% M 0% N 0% 0% 100% 100% 50% 93.75% 50% 36.68% 100% 0% 100% 0% 0% 100% 84.21% 100% 84.21% 0% 0% 100% 84.21% 100% 84.21% 0% 0% Gambar 5.5 Persentase Kesalahan Informasi Obat yang Diberikan oleh Pemberi Pelayanan di Apotek H. I. J. K. L. M. N. Interaksi Pencegahan interaksi Efek samping obat Pencegahan efek samping obat Gejala efek samping obat Makanan dan minuman yang harus dihindari Cara penyimpanan 56 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Keterangan: A. Tujuan penggunaan B. Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) C. Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan) D. Jumlah frekuensi penggunaan E. Jumlah obat sekali minum F. Nama obat G. Indikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 Berdasarkan gambar grafik di atas tujuan penggunaan metformin dan simetidin adalah pertanyaan pertama yang diajukan. Dilihat dari kesalahan informasi yang paling banyak disampaikan oleh Apoteker (26,31%) dan petugas apotek (non Apoteker) (26,31%) adalah info tujuan penggunaan simetidin. Hal ini disebabkan kesalahan pemberi pelayanan informasi obat dalam memahami mekanisme kerja simetidin. Kebanyakan jawaban yang diberikan simetidin digunakan untuk menguatkan lambung padahal seharusnya simetidin digunakan untuk menurunkan asam lambung. Kesalahan penyampaian tujuan penggunaan metformin juga ditunjukkan oleh petugas apotek (non Apoteker) (25%) karena jawaban yang diberikan tidak menyebutkan metformin digunakan untuk menurunkan gula darah dan bahkan terdapat Asisten Apoteker yang menyampaikan metformin digunakan untuk menurunkan kolesterol. Pelayanan informasi obat tentang tujuan penggunaan yang tepat dapat menghindarkan dari kasus Drug Related Problem karena kesalahan penggunaan obat. Kesalahan informasi tentang waku penggunaan obat metformin oleh Apoteker (31,57%) dan petugas apotek (non Apoteker) (81,25%) masih tinggi, hal serupa ditunjukkan pada kesalahan informasi obat simetidin dilakukan oleh Apoteker yaitu 52,63% dan petugas apotek (non Apoteker) yaitu 25%. Kesalahan jawaban pun beragam, beberapa petugas di Apotek menjawab bahwa metformin digunakan pagi dan malam, sedangkan simetidin pagi dan sore. Jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut adalah obat metformin digunakan pagi dan sore dengan selang waktu 12 jam. Sedangkan simetidin berdasarkan studi literatur sebaiknya digunakan pada waktu pagi dan malam hari.. Kesalahan informasi waktu penggunaan obat (sebelum/sedang/sesudah) ditunjukkan pada obat simetidin oleh Apoteker adalah 26,31% dan petugas apotek (non Apoteker) adalah 18,75%. Kesalahan informasi yang disampaikan adalah simetidin digunakan sebelum makan dimana lambung dalam keadaan kosong. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, simetidin baik digunakan dengan makanan sehingga jawaban yang tepat adalah sesudah makan dimana kondisi perut telah terisi makanan. Jawaban pertanyaan tentang jumlah frekuensi penggunaan, jumlah obat sekali minun secara keseluruhan informasi yang diberikan oleh seluruh apotek UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 58 yang menjadi sampel penelitian adalah tepat. Informasi tentang nama obat sebagian besar jawabannya tepat. Namun, ada 1 (6%) petugas apotek (non Apoteker) yang tidak menyebutkan nama obat dan hanya menjelaskan bahwa obat yang digunakan untuk obat lambung. Hal ini terjadi pada apotek yang mengganti simetidin dengan ranitidin. Kesalahan informasi tentang indikasi obat ditunjukkan oleh petugas apotek (non Apoteker) adalah 36,68% mengenai obat metformin. Bentuk kesalahan yang dilakukan adalah tidak menjelaskan tentang indikasi metformin untuk diabetes melitus tipe 2 atau diabetes mellitus tahap awal. Sebagian petugas apotek (non Apoteker) menginformasikan pemilihan obat metformin adalah hasil diagnosis dokter terhadap penyakit pasien. Padahal Informasi indikasi obat ini perlu disampaikan dengan baik oleh Apoteker pada pasien dengan tujuan agar obat yang telah dibeli tidak akan sembarangan dipakai oleh orang lain yang mungkin memiliki mengidap penyakit diabetes melitus tapi tipe diabetes melitus yang dialami berbeda dengan pasien tersebut. Kesalahan terapi karena obat diabetes melitus yang tidak sesuai dengan tipe DM dan keadaan patofisiologis pasien bisa menyebabkan hasil pengobatan tidak maksimal atau pengontrolan gula darah tidak optimal. Kesalahan interaksi obat menunjukan persentase paling tinggi pada Apoteker dan petugas apotek (non Apoteker) yaitu 100%. Kesalahan informasi tentang interaksi obat dan pencegahannya ini utamanya menunjukkan bahwa apoteker dan petugas apotek (non Apoteker) ini tidak mampu mengkaji adanya interaksi obat dalam resep. Metformin dan simetidin ini mempunyai kecenderungan interaksi. Bentuk interaksi yang terjadi adalah penurunan ekskresi metformin oleh ginjal akibat adanya simetidin sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Namun bila kedua obat ini harus digunakan berbarengan makan hal yang dapat mencegah interaksinya adalah dengan cara menurunkan dosis metformin. Pada gambar tersebut juga dapat terlihat bahwa 50% Apoteker tidak mengetahui efek samping dan gejala efek samping yang bisa ditimbulkan metformin dan simetidin, dan 84,21% petugas apotek (non Apoteker) juga tidak mengetahui efek samping dan gejala efek samping dari metformin dan simetidin. Sebagian besar petugas Apotek menyatakan bahwa metformin obat yang aman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 dan tanpa efek samping untuk diminum. Padahal metformin mempunyai efek samping terbesar ke gastrointestinal yang menimbulkan rasa mual, muntah, sakit perut dan diare. Biasanya efek ini muncul 2-3 minggu awal dan setelahnnya akan membaik. Peringatan tentang ESO ini perlu disampaikan sehingga saat ESO muncul pasien dapat mengatasinya dan mematuhi saran untuk meneruskan penggunaan obat. Apoteker dituntut untuk mengetahui informasi efek samping obat agar dapat menginformasikan cara penananganan efek samping yang timbul sehingga kepatuhan pasien dalam menggunakan obat dapat terjaga. Akibat dari kurangnya pengetahuan Apoteker dan petugas apotek (non Apoteker) mengenai efek samping metformin dan simetidin maka 93,75% Apoteker dan 100% apotek (non Apoteker) tidak bisa menyampaikan cara pencegahan yang tepat. Cara pencegahan agar efek samping tersebut tidak timbul adalah menyarankan pasien untuk menggunakan obat bersama dengan makanan. Selama proses pelayanan klinik petugas Apotek secara keseluruhan dapat menjelaskan dengan baik makanan yang perlu dihindari pasien. Informasi ini menjadi penting karena pola hidup yang tepat bisa menunjang kesehatan pasien menjadi lebih baik. Penjelasan tentang cara penyimpanan juga disampaikan dengan baik oleh petugas apotek (non Apoteker). Cara penyimpanan perlu untuk disampaikan agar pasien menempatkan obat di tempat yang sesuai sehingga obat terhindar dari lingkungan yang mungkin menyebabkan kerusakan pada sediaan. Stabilitas sediaan yang terjaga secara langsung mempengaruhi keefektifannya, hal tersebut yang melatar belakangi diperlukannya peran apoteker dalam menjelaskan hal tersebut. Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa kesalahan pemberian informasi obat tertinggi pada bagian interaksi obat, pencegahan interaksi, efek samping obat, pencegahan efek samping obat dan gejala efek samping obat. Bila dibandingkan persentase kesalahan pemberian informasi obat antara Apoteker dan petugas apotek (non Apoteker) maka didapatkan hasil bahwa pemberian informasi obat dari Apoteker persentase kesalahannya cenderung lebih kecil dibandingkan dengan persentase kesalahan petugas apotek (non Apoteker). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Kehadiran Apoteker di Apotek belum terpenuhi secara optimal karena masih didapati Apoteker yang tidak hadir di Apotek pada jam buka Apotek. Kehadiran Apoteker di Apotek merupakan syarat utama pelayanan klinik di Apotek dapat berjalan karena pelayanan klinik ini adalah tugas Apoteker yang tidak dapat dialihkan ke petugas Apotek lain termasuk Asisten Apoteker. 2. Pemberi pelayanan klinik di Apotek belum sepenuhnya dilakukan oleh Apoteker, masih terdapat pengalih tugasan ke petugas apotek (non Apoteker) saat Apoteker tidak dapat hadir di Apotek. Dalam pelaksaanan pelayanan klinik berupa dispensing masih terdapat pelanggaran berupa penggantian obat yang tidak sesuai dengan resep yang dilakukan oleh Apoteker ataupun Asisten apoteker. Pelaksanaan pelayanan klinik berupa informasi obat masih menuntut keaktifan pelanggan agar hak pelayanan tersebut terpenuhi dan pelayanan klinik berupa konseling belum berjalan di Apotek. Kualitas pelayanan klinik di Apotek cenderung meningkat bila Apoteker terlibat dalam pelaksanaan pelayanan tersebut namun Apoteker belum mampu mengidentifikasi adanya interaksi dan efek samping dari resep diabetes melitus yang diberikan. . 3. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pelayanan klinik terutama dispensing, pelayanan informasi obat dan konseling di Apotek wilayah Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota di Kabupaten Garut belum berjalan dengan baik dan belum sesuai dengan peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. 6.2. Saran 1. Sosialisasi terhadap peraturan Permenkes Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 terhadap Apoteker yang bekerja di Apotek harus dilakukan oleh pihak Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan pihak Ikatan Apoteker UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 Indonesia. Hal ini dilakukan agar Apoteker lebih paham cakupan kerja yang harus dilakukan di Apotek, lebih mengerti konsekuensi hukum, sosial, dan kerugian segi kesehatan pasien yang bisa ditimbulkan dari ketidakdisiplinan kerja. 2. Apoteker sebaiknya meningkatkan pengetahuan tentang obat-obatan dan mengikuti seminar pelatihan bertema pharmaceutical care. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan pengetahuan Apoteker dalam melakukan pelayanan klinik di Apotek. 3. Penelitian lebih lanjut tentang gambaran peran Apoteker di wilayah Kecamatan lain di Kabupaten Garut perlu dilakukan agar mampu menggambarkan peran Apoteker dalam cakupan kabupaten. Pendalaman tentang hal-hal yang menjadi penyebab peran Apoteker di Apotek wilayah Tiga Kecamatan yang menjadi penelitian yang masih kurang bisa dijadikan tema dalam penelitian lanjutan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 Daftar Pustaka Alam Nur Abdulah dkk. 2010. Pengetahuan, Sikap dan Kebutuhan Pengunjung Apotek terhadap Informasi Obat di Kota Depok. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 13 No. 4 Oktober 2010: 344-352 Andriani Sesilia Keban dkk. 2013. Evaluasi Hasil Edukasi Farmasis pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol 11 No.1 April 2013 hlm 45-52 Anwar Firdaus. 2014. Samai Dokter, Apoteker Kini Praktik Pakai Jas dan Papan nama. http://health.detik.com/read/2014/06/15/080113/2608376/763/samaidokter-apoteker-kini-praktik-pakai-jas-dan-papannama?991104topnews. Diakses pada 18 April 2015 APhA Pharmaceutical Care Guidelines Advisory Committee, approved by the APhA Board of Trustees, August 1995. Arhayani. 2007. Perencanaan dan Penyiapan Pelayanan Konseling Obat serta Pengkajian Resep bagi Penderita Rawat Jalan di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Athiyah Umi dkk. 2014. Jurnal Famrmasi Komunitas Vol.1. No.1: Profil Informasi Obat pada Pelayanan Resep Metformin dan Glibenklamid di Apotek di Wilayah Surabaya. Surabaya: Departemen Farmasi Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Aurelia Erlin. 2013. Harapan dan Kepercayaan Konsumen Apotek Terhadap Peran Apoteker yang Berada di Wilayah Surabaya Barat. Jurnal Imliah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 Azrifitria dan Silma Awalia. 2013. Farmakoterapi Diabetes. Prodi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 Baxter Karen. 2008. Stocley’s Drug Interaction 8th Edition. Pharmaceutical Press: United Kingdom Christina A.K. Dewi, et al. 2014. Drug Therapy Problems Pada Pasien yang Menerima Resep Polifarmasi (Studi di Apotek Farmasi Airlangga Surabaya). Jurnal Farmasi Komunitas Vol.1, No.1, (2014) 17-22 Darmasaputra Erik. 2014. Pemetaan Peran Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek di Surabaya Barat. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vo. 3. No. 1 Depatemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Dinas Kesehatan Kabupaten Garut. 2014. Data Apotek di Wilayah Kabupaten Garut. Dyani Primasari Sukandi. 2015. Analisis Distribuso Apotek dengan Sistem Informasi Geografis. Diambil dari Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol.5 No.1 Maret 2015. Diakses 5 April 2015 pada http://jmpf.farmasi.ugm.ac.id/index.php/1/article/view/29/28. Ginting BR Adelina. 2009. Penerapann Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di Kota Medan Tahun 2008. Skripsi Medan: Universitas Sumatera Utara Gotera Wira dan Dewa Gede Agung Budiyasa. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosi Diabetik (KAD). Jurnal Penyakit Dalam Volume 11 Nomor 2 Mei2010.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=3245&val=97 Diakses pada 30 Maret 2015 Harianto, Angki Purwanti dan Sudibyo Supardi. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan Draft Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di DKI Jakarta.Buletin Penelitian Kesehatan Vol.34. No. 2. 2006: 83-92 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 Hartini Sri Yustina. 2009. Relevansi Peraturan dalam Mendukung Praktek Profesi Apoteker di Apotek. Yogyakarta: Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VI, No. 2, Agustus 2009, 97 - 106 Hexparm Jaya Kalbe Company . 2013. http://www.hexpharmjaya.com/. Diakses pada 18 April 2015 Ikatan Apoteker Indonesia. 2011. Standar Kompetensi Apoteker Indonesia. Jakarta: Ikatan Apoteker Indonesia Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). 2013. Standar Praktik Apoteker Indonesia 2013. http://iaijabar.net/download-file/file/92pedomanpraktikapoteker indonesia. Diakses pada 3 Desember 2014 International Diabetes Federation. 2011. Global Diabetes Plan 2011-2021. http://www.idf.org/sites/default/files/Global_Diabetes_Plan_Final.pdf. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2014 International Diabetes Federation. 2013. Diabetes Atlas Sixth Edition. http://www.idf.org/worlddiabetesday/toolkit/gp/facts-figures. Diakses pada 17 Oktober 2014 John. 2011. Penanganan Diabetes Tak Hanya Kuratif Melainkan Holistik. http://www.garutkab.go.id/pub/news/plain/7497-penanganan-diabetes-takhanya-kuratif-melainkan-holistik/. Diakses 15 November 2014 Kwando Rendy. R. 2014. Pemetaan Peran Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian Terkait Frekuensi Kehadiran Apoteker di Apotek di Surabaya Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.3 No.1 2014 Lacy, Charles F et al. 2009. Drug Information Handbook 14th edition. Lexicomp.: North American. Lwanga, SK, Lemeshow, S. 1991. Sample Size Determination in Health Studie, WHO: Genewa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 Maric Andreja. 2010. Metformin-More Than ‘Goal Standard’ In The Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Cakovec, Croatia: Department of Internal Medicine. McEvoy, K. 2002. AHFS Drug Information. American Society of Health-System Pharmacists: Wisconsin Nita Yunita, Ana Yuda dan Gesnita Nugraheni. 2012. Pengetahuan Pasien Tentang Diabetes dan Obat Antidiabetes Oral. Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No.1 Januari 2012: 38-47 Notoatmodjo, S.2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Pemerintah Kabupaten Garut. 2014. Penduduk dan Sex Ratio 2013. http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/sosbud_demografi_sex_r atio. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015. Pemerintah Kabupaten Garut. 2014. Wilayah Administratif. http://www.garutkab.go.id/pub/static_menu/detail/sekilas_wiladmin Diakses pada 30 Maret 205 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasiaan Purwanti Angki, Hartanto dan Sudibjo Supardi. 2004. Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi di Apotek DKI Jakarta Tahun 2003. Jakarta: Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.2, Agustus 2004, 102 – 115 Pusdiklat Pengawasan dengan Deputi Akuntan Negara. 2007. Pengumpulan dan Pengolahan Data. Diunduh dari http://www.ndaru.net/wp- content/uploads/audit-kinerja-sektor-publik-pengumpulan-dan-pengolahandata.pdf. Pada tanggal 28 Mei 2015. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 Rambadhe, S, Chakarborty, A, Shrivastava, A, Ptail, UK, Rambadhe, A 2012, ‘A Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate Medications’, Toxicol Int., 19(1), pp. 68-73 Rhonda M. Jones. 2008. Pengkajian Pasien dan Peran Farmasis dalam Perawatan Pasien. http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pengkajian-pasien-danperan-farmasis-dalam-perawatan-pasien2.pdf. Diakses pada 15 November 2014 Rini Sasanti Handayani dkk. 2006. Eksplorasi Pelayanan Informasi yang Dibutuhkan Konsumen Apotek dan Kesiapan Apoteker Memberi Informasi Terutama untuk Penyakit Kronik dan Degeneratif. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol III. No.1 April 2006. 38-46 Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo. 1999. Transitions, part 1 : Beyond Pharmaceutical Care. Vol 56 Sep 1 1999 Am J Health-Syst Pharm Siregar Sofyan. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenamedia Group Sutandi Aan. 2012. Self Management Education (DSME) Sebagai Metode Alternatif dalam Perawatan Mandiri Pasien Diabetes Melitus di dalam Keluarga. Diambil dari http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/file_artikel_ abstrak/Isi_Artikel_615247532884. pdf 2011. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2014 Sweetman. S. 2009. Martindale Ed. 36th. The Pharmaceutical Press, London Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diambil dari http://www.itjen.depkes.go.id/public/upload/unit/pusat/files/uud1945.pdfpad . Diakses pada 5 November 2014 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Wells Barbara G. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh edition. The McGraw-Hill Companies: United States WHO. 1997. The role of pharmacist in the health care system. Report of a third WHO consultative group on the role of the pharmacist vancouver, Canada, 27-29 August 1997 Windiyani Tustiyana, 2012. Instrumen untuk Menjaring Data Interval Nominal, Ordinal dan Data tentang Kondisi, Keadaan, Hal Tertentu dan Data untuk Menjaring Variabel Kepribadian. Jurnal Pendidikan Dasar Vol.3 No 5 Desember 2012 World Health Organization. 2013. Diabetes facts sheet. Diambil dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 Lampiran 1. Check List yang digunakan sebagai acuan selama wawancara dengan metode simulasi pasien Hasil Peran Apoteker dalam Pelayanan klinik Kehadiran Apoteker di Apotek Kesediaan Apoteker memberi pelayanan klinik Apoteker Pemberi Pelayanan Klinik Asisten Apoteker Pelayanan Klinik Metformin Dispensing Penyiapan dan penyerahan obat Pelayanan Informasi Obat (PIO) Tujuan penggunaan Simetidin Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan) Jumlah Frekuensi Penggunaan Jumlah obat sekali minum Nama Obat Indikasi Interaksi Pencegahan Interaksi Efek samping obat (ESO) Pencegahan ESO Gejala ESO Makanan dan minuman yang harus dihindari Cara Penyimpanan Konseling Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 Tahap 4 Tahap 5 Konseling dilakukan optimal? Keterangan : Penilaian (skor) : 1. Sesuai literatur, nilai 1 2. Tidak sesuai literatur, nilai 0 Jawaban berdasarkan literatur : 1. Dispensing Skor 1 : Obat yang diberikan sesuai dengan obat yang ada di resep, dengan jumlah yang tepat, dalam wadah yang cocok dan etiket yang tepat. Skor 0 : Obat yang diberikan tidak sesuai dengan obat yang ada di resep, dengan jumlah yang tidak teat, wadah dan etiket tidak cocok. 2. Pelayanan informasi obat a. Tujuan penggunaan: Skor 1 : - metformin digunakan untuk menurunkan glukosa darah pada pasien diabetes mellitus dengan cara menurunkan produksi glukosa hati (Depkes, 2005). - simetidin digunakan untuk menurunkan sekresi lambung dengan cara ppenghambatan reseptor histamin (H2) (Lacy Charles F et al, 2009). Skor 0 : jawaban tidak sesuai literatur. b. Waktu penggunaan (pagi/siang/malam): Skor 1: - metformin 500 mg diminum pagi dan sore dengan selang waktu 12 jam (Sweetman. S. 2009). - simetidin 800 mg digunakan saat akan tidur atau 400 mg 2 pagi dan malam (Lacy Charles F et al, 2009). Skor 0: c. jawaban tidak sesuai dengan literatur Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan): Skor 1: - metformin digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek samping yang berhubungan dengan pencernaan (McEvoy 2002). - simetidin digunakan bisa setelah atau sedudah makan karena ada tidaknya makanan tidak mempengaruhi absorbsinya (Lacy Charles F et al, 2009). Skor 0: jawaban tidak sesuai dengan literatur. d. Jumlah frekuensi penggunaan: Skor 1: - metformin 500 mg digunakan sehari dua kali (Sweetman, 2009) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 70 - simetidin digunakan 800 mg/hari (Lacy Charles F et al, 2009) Skor 0: jawaban tidak sesuai dengan literatur. e. Jumlah obat sekali minum : Skor 1: - metformin diberikan sebanyak 1 butir untuk jumlah 500 mg (Lacy Charles F et al, 2009). - simetidin 1 butir untuk jumlah 400 mg (Lacy Charles F et al, 2009). Skor 0: f. apoteker memberikan jawaban tidak tepat. Nama obat: Skor 1: apoteker menyebutkan masing-masing nama obat yang akan diberikan. Skor 0: g. apoteker tidak menyebutkan nama obat yang diberikan. Indikasi: Skor 1: - metformin digunakan untuk terapi pada pasien diabetes tidak tergantung insulin dengan kelebihan dengan berat badan dimana kadar gula tidak bisa dikontrol dengan diet saja dan untuk terapi tambahan pada pasien DM dengan ketergantungan terhadap insulin yang gejalanya tak bisa dikontrol (Hexpharm jaya laboratories). - simetidin digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan pencernaan (peptic ulcer disease, duodenal ulcer disease, gastric bleeding) (Lacy Charles F et al, 2006) Skor 0: h. apoteker tidak menjelaskan indikasi penggunaan obat Interaksi: Skor 1: penggunaan simetidin dan metformin secara bersamaan bisa menyebabkan penurunan ekskresi metformin oleh ginjal sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini harus di gunakan dalam waktu yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin untuk mencegah interaksi tersebut (Karen Baxter, 2008). Bila interaksi obat terjadi dengan menimbulkan laktat asidosis maka terapi cairan dan terapi insulin menjadi penanganannya (Gotera Wira dan Dewa Gede Agung Budiyasa, 2010) Skor 0: apoteker tidak menjelaskan interaksi yang terjadi i. Efek samping obat (ESO): Skor 1: - Metformin menyebabkan diare, mual, muntah, kembung, kram dan nyeri abdominal, flatulensi dan anoreksia (McEvoy, 2002) dan dalam dosis berlebih bisa menyebabkan hipoglikemia. - Simetidin umumnya mempunyai efek samping berupa sakit kepala atau pusing yang bersifat reversibel. (Lacy Charles F et al, 2006) Skor 0: j. Apoteker tidak menjelaskan sesuai literatur. Pencegahan ESO: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 71 Skor 1: - efek samping metformin bisa ditangani dengan penggunaan obat bersama makanan, memulai terapi dengan dosis yang rendah serta peningkatan dosis secara perlahan (MsEvoy, 2002), Skor 0: k. penjelasan informasi efek samping tidak sesuai dengan literatur. Gejala ESO: Skor 1: gejala efek akibat interaksi obat adalah muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, takikardia, respirasi kuusmaul (Gotera Wira dan Dewa Gede Agung Budiyasa, 2010) Skor 0: l. apoteker tidak menjelaskan gejala efek samping obat. Makanan, minuman dan aktivitas yang harus dihindari: Skor 1: pasien diabetes sebaiknya kurangi makanan ber-karbohidrat tinggi, makanan berlemak tinggi, dan snack,dan sangat disarankan untuk menjaga agar makanan yang dikonsumsi mengansung gizi yang seimbang untuk mencegah timbulnya gangguan pencernaan seperti peptic ulcer disease maka hindari makanan pedas, makanan dengan kandungan asam tinggi, cafein dan alkohol (Wells Barbara G. 2009). Skor 0: apoteker tidak memberikan informasi sesuai literatur. m. Cara penyimpanan: Skor 1: metformin ataupun simetidin disimpan pada suhu kamar (25-30oC), dalam wadah tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari (Hexpharm Jaya Laboratoies dan informasi obat, 2013). Skor 0: 3. apoteker tidak menjelaskan cara penyimpanan Tahapan dan isi konseling berisi: a. Tahap 1: Membuka komunikasi antara apoteker dan pasien b. Tahap 2: Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions c. Tahap 3: Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat. d. Tahap 4: Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan Obat e. Tahap 5: Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 72 Lampiran 2. No Komposisi resep yang diberikan oleh pasien Detil Skenario Obat yang diresepkan - R/Metformin 500 mg No X S b dd 1 - 1 R/Simetidin 300 mg No X S 4 dd 1 - Peneliti berperan sebagai keluarga pasien. Gejala yang dialami : cepat lelah. Pusing, sering kencing terutama di malam hari. Pasien berjenis kelamin perempuan umur 40 tahun. Baru kali ini mendapatkan obat antidiabetes. Pasien terkadang mengalami sakit mag. Pasien usia 40 tahun, wanita, BB 85 kg, TB 170 cm, GDA 300 mg/dl, GDP 180 mg/dl, GD2PP 250 mg/dL, HDL 70 mg/dL, LDL 60 mg/dL, TG 140 mg/dL (cek dilakukan sehari sebelum ke apotek). Tidak ada riwayat alergi obat, tidak ada riwayat penyakit lain UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 73 Lampiran 3. Perhitungan Frekuensi Kehadiran Apoteker Kecamatan Wilayah Kabupaten Garut di Apotek A. Perhitungan Tabel 5.1 gambaran frekuensi kehadiran apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler No 1 2 3 4 Kode apotek 001 002 003 004 Skor Kehadiran Apoteker 3 0 1 2 Skor Kegiatan Kehadiran (%) 5 4 3 2 1 0 0 0 1 1 1 1 30 Frekuensi Kehadiran Apoteker Kategori Buruk Rumus : Jadi rata-rata persentase kehadiran apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler adalah x 100% = 30 % Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka rata-rata persentase kehadiran Apoteker dikategorikan buruk B. Perhitungan Tabel 5.2 gambaran frekuensi kehadiran apoteker di Apotek Kecamatan Tarogong Kidul No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kode apotek 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 Skor Kehadiran Apoteker 5 4 5 4 0 0 3 5 5 4 4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 74 Kegiatan Frekuensi Kehadiran Apoteker 5 4 Skor 3 2 4 5 1 Kehadiran (%) 0 1 0 0 1 78,18 Kategori Sedang Rumus : Jadi rata-rata persentase kehadiran apoteker di Kecamatan Tarogong Kaler adalah x 100% = 78,18 % Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka rata-rata persentase kehadiran Apoteker dikategorikan sedang C. Perhitungan Tabel 5.3. gambaran frekuensi kehadiran apoteker di kecamatan garut kota No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Kode apotek 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035 Skor Kehadiran Apoteker 5 5 2 5 5 5 5 5 5 4 5 5 0 0 4 5 5 1 2 5 Skor Kegiatan Kehadiran (%) 5 4 3 2 1 0 14 1 1 1 1 2 80 Frekuensi Kehadiran Apoteker UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75 Kategori baik Rumus : Jadi rata-rata persentase kehadiran apoteker di Kecamatan Garut Kota adalah x 100% = 80 % Hasil perhitungan skor akan dibuat rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka rata-rata persentase kehadiran Apoteker dikategorikan baik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 76 Lampiran 4. Pehitungan Distribusi Pemberi Pelayanan Klinik di Apotek - gambar 5.1 Rumus yang digunakan untuk mencari persentase pemberi pelayanan klinik di apotek per kecamatan adalah: 1. Pelayanan klinik di apotek dilakukan oleh apoteker 2. Pelayanan klinik di apotek dilakukan oleh apoteker dan petugas apotek (non apoteker) 3. Pelayanan klinik di apotek dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker) A. Persentase pemberi pelayanan klinik di Apotek Wilayah Kecamatan Tarogong Kaler No 1 2 3 4 Kode apotek 001 002 003 004 Pemberi pelayanan Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) - Pelayanan di Kecamatan Tarogong Kaler dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker) B. Persentase pemberi pelayanan klinik di Apotek Wilayah Kecamatan Tarogong Kidul No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kode apotek 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 Pemberi pelayanan Apoteker Petugas apotek (non apoteker) Apoteker Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) Apoteker Apoteker Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) - Pelayanan di Kecamatan Tarogong Kidul dilakukan oleh apoteker UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 77 - Pelayanan di Kecamatan Tarogong Kidul dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker) C. Persentase pemberi pelayanan klinik di Apotek Wilayah Kecamatan Garut Kota No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Kode apotek 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035 Pemberi pelayanan Apoteker Apoteker Apoteker Apoteker dan petugas apotek (non apoteker) Apoteker dan petugas apotek (non apoteker) Apoteker dan petugas apotek (non apoteker) Apoteker Apoteker Apoteker Petugas apotek (non apoteker) Apoteker Apoteker Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) Petugas apotek (non apoteker) Apoteker Apoteker Petugas apotek (non apoteker) Apoteker Apoteker - Pelayanan di Kecamatan Garut Kota dilakukan oleh apoteker - Pelayanan di Kecamatan Garut Kota dilakukan oleh apoteker dan petugas apotek (non apoteker) - Pelayanan di Kecamatan Garut Kota dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 78 Lampiran 5. Perhitungan persentase kesesuaian penyerahan obat dengan resep - Perhitungan Gambar5.2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kode Apotek 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035 Kesesuaian dispensing 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 Rumus mencari persentase kesesuaian penyerahan obat yang sesuai dengan resep: Jadi persentase penyerahan obat yang sesuai dengan resep adalah persentase penyerahan obat yang tidak sesuai dengan resep adalah 100%-91,43% = 8,57% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 79 Lampiran 6. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Pehitungan Distribusi Apoteker yang hadir di apotek saat penelitian Gambar 5.3 Kode Apotek 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035 Kehadiran 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 Jumlah apoteker yang hadir di apotek Kecamatan No Tarogong kaler 1 Total Tarogong kidul Garut Kota 4 15 0 19 Rumus persentase apoteker yang hadir pada jam buka Apotek pada saat penelitian: Jadi persentase Apoteker yang hadir pada jam buka Apotek pada saat penelitian adalah sedangkan sisanya yaitu 45,71% apoteker tidak hadir pada jam buka Apotek UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 80 Lampiran 7. Perhitungan Persentase Tahapan Konseling yang dilaksanakan Apoteker dan Non Apoteker - Perhitungan Gambar 5.6 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 15 16 17 18 19 Kode Apotek 005 007 012 013 016 017 027 018 019 020 021 022 023 024 026 031 032 034 Tahapan Konseling yang dilakukan Apoteker Nilai konseling oleh Apoteker 0 0 0 4 4,5 5 0 3,5 0 5 0 3,4,5 4,5 5 5 0 0 4,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tahapan konseling yang dilakukan Nilai konseling oleh petugas apotek (non apoteker) petugas apotek (non apoteker) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Keterangan: a. b. c. d. Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 e. f. g. h. Tahap 5 Tahap 0 Nilai 1 Nilai 0 : membuka komunikasi dengan pasien : menilai pemahaman tentang penggunaan obat : menggali informasi lebih lanjut tentang masalah penggunaan obat : memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat : melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien : tidak melakukan tahapan konseling : melakukan konseling ; tidak melakukan konseling Persentase Apoteker yang melakukan tahapan konseling Tahap 1: 0 Tahap 2: 0 Tahap 3: 2 Tahap 4: 5 Tahap 5: 10 keterangan: - nilai 19 adalah: jumlah total bila apoteker melakukan tahapan konseling - petugas apotek (non apoteker) yang tidak satu pun yang melakukan tahapan konseling sehingga persentasenya 0 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 81 Lampiran 8. Perhitungan Persentase Kualitas Pelayanan Klinik di Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogomg Kidul dan Kecamatan Garut Kota (Tabel 5.5) a. Hasil skor PIO setiap Apotek di Kecamatan Tarogong Kaler Hasil pengolahan skor dari check list No Pelayanan Informasi Obat 1 Tujuan penggunaan Waktu penggunaan 2 (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang 13 harus dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor Kode 001 PA M S 1 1 Kode 002 PA M S 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 Kode 003 Kode 004 PA PA M 1 S 1 M 1 S 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 8 1 8 1 9 1 7 1 9 1 8 1 9 Keterangan: PA = Petugas Apotek (non apoteker) A = Apoteker M = metformin S = sismetidin 1 = jawaban tepat 2 = jawaban tidak tepat Hasil Persentase Kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler: No Kode Apotek 1 001 2 002 3 003 4 004 Rata-rata persentase kualitas pelayanan klinik Persentase Kualitas Pelayanan Klinik (%) 57,14 60,71 57,14 60,71 58.79 Kategori Buruk Kurang baik Buruk Kurang baik Buruk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 82 Rumus persentase kualitas pelayanan klinik per apotek: 1. 2. 3. 4. Rumus rata-rata persentase kualitas pelayanan klinik apotek di Kecamatan Tarogong Kaler yang diberikan petugas apotek (non apoteker): ( ( ) yang diberikan petugas apotek (non apoteker) Hasil perhitungan rata-rata persentase dan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan petugas apotek (non apoteker) di Apotek Kecamatan Tarogong Kaler dikategorikan buruk Kualitas pelayanan klinik berupa PIO dipengaruhi kualitasnya dari jawaban yang diberikan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan bentuk kesalahan yang menurunkan kualitas pelayanan: No 1 Variabel yang mempengaruhi kualitas 4 5 6 Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan) Jumlah frekuensi penggunaan Jumlah obat sekali minum Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 2 3 Info-info tidak tepat yang telah disampaikan Metformin digunakan pagi dan malam Simetidin diminum sebelum makan Indikasi metformin untuk tipe DM 2 atau DM awal tidak dijelaskan Aman, tidak ada interaksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ) 83 9 10 11 12 13 14 Pencegahan interaksi Efek samping obat (ESO) Pencegahan ESO Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang harus dihindari Cara penyimpanan Tidak ada penanganan interaksi Aman, tidak ada ESO Tidak ada penanganan ESO Tidak ada gejala ESO - b. Hasil Skor PIO setiap Apotek di Kecamatan Tarogong Kidul No Pelayanan Informasi Obat 1 2 Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang 13 harus dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor Kode 005 A M S 1 0 1 0 Kode 006 PA M S 1 1 0 1 Kode 007 A M S 1 1 0 1 Kode 008 PA M S 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 9 1 10 1 11 1 8 1 9 1 7 1 9 Hasil pengolahan skor dari check list No 1 2 Kode 009 Kode 010 Kode 011 PA PA Kode 012 A M S 1 0 1 0 Pelayanan Informasi Obat Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang 13 harus dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor M 0 0 S 1 1 M 1 0 S 0 1 PA M S 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 6 1 9 1 8 1 8 1 8 1 9 1 9 1 6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 84 No Pelayanan Informasi Obat 1 2 Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang 13 harus dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor Kode 013 A M S 1 0 1 0 M 0 0 S 0 1 Kode 015 PA M S 1 0 1 0 Kode 014 PA 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 8 1 6 1 8 1 11 1 8 Keterangan: PA = Petugas Apotek (non apoteker) A = Apoteker M = metformin S = sismetidin 1 = jawaban tepat 2 = jawaban tidak tepat Hasil persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong kidul: A. Apoteker No 1 2 3 4 Kode Apotek 005 007 012 013 Rata-rata persentase kualitas pelayanan klinik Persentase Kualitas Pelayanan Klinik (%) 71,43 60,71 53,57 67,86 63,39 Kategori Sedang Kurang baik Buruk Kurang baik Kurang baik Persentase Kualitas Pelayanan Klinik (%) 75 57,14 53,57 50 60,71 50 67,86 59,18 Kategori Sedang Buruk Buruk Buruk Kurang baik Buruk Kurang baik Buruk B. Asisten apoteker No 1 2 3 4 5 6 7 Kode Apotek 006 008 009 010 011 014 015 Rata-rata persentase kualitas pelayanan klinik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 85 Cara perhitungan: Rumus persentase kualitas pelayanan klinik per apotek: 1. Apotek 005: 2. Apotek 006: 3. Apotek 007: 4. Apotek 008: 5. Apotek 009: 6. Apotek 010: 7. Apotek 011: 8. Apotek 012: 9. Apotek 013: 10. Apotek 014: 11. Apotek 015: a. Hasil persentase kualitas pelayanan klinik apotek di Kecamatan Tarogong kidul berdasarkan pemberi pelayanan klinik: Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh Apoteker Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kidul yang diberikan Apoteker dikategorikan kurang baik b. Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh petugas apotek (non apoteker) ( ( ) ( UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ) ) 86 Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Tarogong Kidul yang diberikan petugas apotek (non apoteker) dikategorikan buruk. Kualitas pelayanan klinik berupa PIO dipengaruhi kualitasnya dari jawaban yang diberikan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan bentuk kesalahan yang menurunkan kualitas pelayanan: No Variabel yang mempengaruhi kualitas Info-info tidak tepat yang telah disampaikan 1 Tujuan penggunaan 4 5 6 Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan) Jumlah frekuensi penggunaan Jumlah obat sekali minum Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang harus dihindari Cara penyimpanan 2 3 13 14 - Metformin digunakan untuk menurunkan kolesterol Simetidin digunakan untuk menguatkan lambung Metformin digunakan pagi dan malam Simetidin digunakan pagi dan sore - Simetidin diminum sebelum makan - - Indikasi metformin untuk tipe DM 2 atau DM awal tidak dijelaskan - Aman, tidak ada interaksi Kemungkinan ada interaksi Tidak ada penanganan interaksi Diatasi dengan pemberian jarak waktu makan yaitu 15 menit - Aman, tidak ada ESO - Tidak ada karena diresepkan oleh dokter - TidaK ada penanganan ESO - Ditangani dengan penggunaan simetidin Tidak ada gejala ESO - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 87 c. Hasil skor PIO Setiap Apotek di Kecamatan Garut Kota Hasil pengolahan skor dari check list No Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang 13 harus dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor 1 2 Kode 017 Kode 018 A A A Pelayanan Informasi Obat 1 2 No Kode 016 A PA M 1 1 S 1 1 M 1 1 S 1 1 M 1 1 S 1 0 M 1 0 S 1 1 M - S - 1 0 1 0 1 1 1 1 - - 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 - 1 1 1 1 0 0 - 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 - - 1 1 1 12 1 11 1 9 1 8 1 9 1 8 6 7 1 2 1 2 Pelayanan Informasi Obat Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang 13 harus dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor Kode 019 Kode 020 Kode 021 A A M 1 1 S 1 0 PA M S - Kode 022 A M S 1 0 1 0 Kode 023 A M S 1 1 1 0 M 1 1 S 1 1 PA M S - 1 1 - - 1 1 - - 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 - 1 1 1 1 0 0 - 0 0 0 0 0 0 1 1 1 - 1 1 1 - 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 - - 1 1 - - 1 1 1 1 1 1 7 7 1 2 1 2 6 5 1 2 1 2 1 11 1 9 1 9 1 7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 88 No Pelayanan Informasi Obat 1 2 Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang harus 13 dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor No 1 2 Kode 024 A M S 1 1 1 0 Kode 025 PA M S 0 0 0 0 Kode 026 A M S 1 0 0 1 Kode 027 A M S 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 10 1 6 1 6 1 10 1 10 1 10 1 9 Kode 028 Kode 029 Kode 030 Kode 031 PA PA PA A Pelayanan Informasi Obat Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang 13 harus dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor M 0 0 S 0 1 M 1 1 S 1 0 M 1 1 S 1 0 M 1 0 S 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 6 1 8 1 9 1 8 1 11 1 9 1 8 1 9 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 89 M 1 1 S 1 0 Kode 033 AA M S 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 9 Kode 032 No Pelayanan Informasi Obat 1 2 A Tujuan penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan 3 (sebelum/sedang/sesudah makan) 4 Jumlah frekuensi penggunaan 5 Jumlah obat sekali minum 6 Nama obat 7 Indikasi 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO Makanan minuman dan aktivitas yang 13 harus dihindari 14 Cara penyimpanan Jumlah skor Kode 034 Kode 035 A A M 1 0 S 0 1 M 1 0 S 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 8 1 9 1 10 1 10 1 10 1 11 Keterangan : PA = Petugas Apotek (non apoteker) A = Apoteker M = metformin S = sismetidin 1 = jawaban tepat 2 = jawaban tidak tepat Hasil Persentase Kualitas pelayanan klinik apotek di Kecamatan Garut Kota: A. Apoteker No Kode Apotek 1 016 2 017 3 018 4 022 5 023 6 024 7 026 8 027 9 034 10 031 11 032 12 035 Rata-rata persentase kualitas pelayanan klinik Persentase Kualitas Pelayanan Klinik (%) 82,14 60,71 60,71 71,43 57,14 75 71,43 67,86 71,43 60,71 60,71 75 67,86 Kategori Baik Kurang baik Kurang baik Sedang Buruk Sedang Sedang Kurang baik Sedang Kurang baik Kurang baik Sedang Kurang baik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 90 B. Asisten apoteker No Kode Apotek 1 025 2 029 3 030 4 033 5 028 Rata-rata persentase kualitas pelayanan klinik Persentase Kualitas Pelayanan Klinik (%) 42,86 60,71 71,43 60,71 50 57,142 Kategori Buruk Kurang baik Sedang Kurang baik Buruk Kurang baik C. Apoteker dan asisten apoteker No Kode Apotek 1 019 2 020 3 021 Rata-rata persentase kualitas pelayanan klinik Persentase Kualitas Pelayanan Klinik (%) 60,71 64,29 53,57 59,52 Kategori Kurang baik Kurang baik Buruk Buruk Cara Perhitungan : Rumus persentase kualitas pelayanan klinik per apotek: 1. Apotek 016: 2. Apotek 017: 3. Apotek 018: 4. Apotek 019: 5. Apotek 020: 6. Apotek 021: 7. Apotek 022: 8. Apotek 023: 9. Apotek 024: 10. Apotek 025: 11. Apotek 026: 12. Apotek 027: 13. Apotek 028: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 91 14. Apotek 029: 15. Apotek 030: 16. Apotek 031: 17. Apotek 032: 18. Apotek 033: 19. Apotek 034: 20. Apotek 035: a. Hasil persentase kualitas pelayanan klinik Apotek di Kecamatan Garut Kota berdasarkan pemberi pelayanan klinik: Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh Apoteker Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Garut Kota yang diberikan Apoteker dikategorikan kurang baik b. Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh petugas apotek (non apoteker) Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 92 d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Garut Kotayang diberikan petugas apotek (non apoteker) dikategorikan buruk c. Persentase kualitas pelayanan klinik yang diberikan oleh Apoteker dan PA Hasil rata-rata persentase akan digolongkan dalam kategori sebagai berikut (Harianti dkk, 2006): a. 90%-100% = amat baik b. 80%-90% = baik c. 70%-80% = sedang d. 60%-70% = kurang baik e. <60% = buruk Berdasarkan pegkategorian maka persentase kualitas pelayanan klinik di Apotek Kecamatan Garut Kota yang diberikan Apoteker dan PA (petugas apotek (non apoteker)) dikategorikan buruk Kualitas pelayanan klinik berupa PIO dipengaruhi kualitasnya dari jawaban yang diberikan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan bentuk kesalahan yang menurunkan kualitas pelayanan : No Variabel yang mempengaruhi kualitas 1 Tujuan penggunaan 4 5 6 Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan) Jumlah frekuensi penggunaan Jumlah obat sekali minum Nama obat 7 Indikasi 2 3 Info-info tidak tepat yang telah disampaikan - Simetidin digunakan untuk menguatkan lambung Metformin untuk penyakit gula Metformin digunakan pagi dan malam Simetidin digunakan pagi dan sore - Simetidin diminum sebelum makan - 8 Interaksi 9 Pencegahan interaksi - Indikasi metformin untuk tipe DM 2 atau DM awal tidak dijelaskan Diseuaikan hasil pemeriksaan pada dokter Aman, tidak ada interaksi Kemungkinan ada interaksi Tidak ada penanganan interaksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 93 10 Efek samping obat (ESO) 11 Pencegahan ESO 12 Gejala ESO 13 14 Makanan minuman dan aktivitas yang harus dihindari Cara penyimpanan - Diatasi dengan pemberian jarak waktu makan 151 jam Aman, tidak ada ESO Hanya terjadi bila digunakan berlebihan dari dosis yang dianjurkan Hipoglikemia Untuk meurunkan gula darah TidaK ada penanganan ESO Ukur kadar gula secara rutin Pemakaian obat sesuai jadwal Dengan menggunakan simetidin sebagi obat dari Efek samping obat dari metformin Tidak ada gejala ESO Lemas karena keracunan Lemas karena hipoglikemia - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 94 Lampiran 9. Perhitungan Persentase Kesalahan Informasi Obat yang diberikan oleh Pemberi Pelayanan di Apotek - Perhitungan Gambar 5.5 Petugas Apotek (non Apoteker) Apoteker No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Bagian informasi yang salah Tujuan Penggunaan Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Waktu penggunaan (sebelum/sedang/sesudah makan) Jumlah frekuensi penggunaan Jumlah obat sekali minum Nama obat Indikasi Interaksi Pencegahan interaksi Efek samping obat Pencegahan ESO Gejala ESO Makanan dan minuman yang harus dihindari Cara penyimpanan M S M S 6 5 10 4 13 5 4 - 5 - 3 16 16 8 15 8 16 16 8 15 8 7 19 19 16 19 16 1 19 19 16 19 16 - - - - - - - - Rumus perhitungan persentase: 1. Tujuan penggunaan Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 19 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 16 Jadi hasilnya: a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang tujuan penggunaan simetidin: b. - Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi tentang tujuan penggunaan metformin : - Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi tentang tujuan penggunaan simetidin : 2. Waktu penggunaan (pagi/siang/malam) Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 19 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 16 Jadi hasilnya: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 95 a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang waktu penggunaan metformin: Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang waktu penggunaan simetidin b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi tentang waktu penggunaan metformin : Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi tentang waktu penggunaan simetidin : 3. Nama obat Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 19 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 16 a. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi tentang nama obat simetidin : 4. Indikasi Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 19 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 16 a. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) yang memberikan informasi tentang indikasi metformin : 5. Interaksi Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19 Jadi hasilnya: a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang interaksi metformin: Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang interaksi simetidin b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang interaksi metformin: Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang interaksi simetidin 6. Pencegahan interaksi Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19 Jadi hasilnya: a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang pencegahan interaksi metformin: Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang pencegahan interaksi simetidin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 96 b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang pencegahan interaksi metformin: Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang pencegahan interaksi simetidin 7. Efek samping Obat (ESO) Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19 Jadi hasilnya: a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang ESO metformin: Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang ESO simetidin b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang ESO metformin: Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang ESO simetidin 8. Pencegahan ESO Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19 Jadi hasilnya: a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang pencegahan ESO metformin: Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang pencegahan ESO simetidin b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang pencegahan ESO metformin: Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang ESO simetidin 9. Gejala Efek samping Obat (ESO) Jumlah apoteker yang memberikan pelayanan 16 Jumlah petugas apoteke ( non apoteker) yang memberikan pelayanan 19 Jadi hasilnya: a. Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang gejala ESO metformin: Kesalahan apoteker dalam memberikan informasi tentang gejala ESO simetidin b. Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang gejala ESO metformin: Kesalahan petugas apotek (non apoteker) dalam memberikan informasi tentang gejala ESO simetidin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 97 Lampiran 10. Surat Izin Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 98 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 99 Lampiran 11. Surat Persetujuan Penelitian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 100 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 101 Lampiran 12 Data Apotek Wilayah Kabupaten Garut UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 102 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 103 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta