1 PEMECAHAN MASALAH HUKUM YANG TERJADI PADA PENGADILAN AGAMA SE KALIMANTAN BARAT I. PENDAHULUAN 1. Tulisan ini hadir antara lain karena terinspirasi oleh konsep Rumusan Hasil Rapat Kerja Pengadilan Tinggi Agama Pontianak dan Pengadilan Agama se Kalimantan Barat tanggal 26 April 2017 yang diajukan oleh Ketua Pengadilan Agama Bengkayang kepada Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Pontianak. 2. Maksud rumusan tersebut adalah, setelah selesai dibahas dan dilengkapi oleh Hakim Tinggi diharapkan disetujui oleh Bapak Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak yang selanjutnya dapat dijadikan pedoman kerja bagi aparat Pengadilan Agama se Kalimantan Barat. 3. Namun mencermati suasana deskusi yang berkembang pada Rapat Kerja dimaksud, pembahasannya masih berkutat pada pembicaraan qoola wa qiila, kata pakar hukum Fulan dan Fulan, kalau tidak salah menurut Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung tahun sekian, atau menurut pengalaman pribadi di tempat tugas sebelumnya tanpa menjelaskan asbabun nuzul mengapa terjadi praktek peradilan tersebut maupun menyebutkan rujukan peraturan perundang-undangan atau buku rujukan. Pendapat sebagian besar peserta belum menyentuh pada argumentasi yang mendasar, baik tinjauan secara filosofis, yuridis maupun rasionalitas masing- masing pendapat yang sempat mengemuka. 4. Memperhatikan kondisi obyektif dinamika deskusi tersebut, penulis mencoba untuk melengkapi pola pikir yang berkembang dengan mengemukakan rasionalisasi dan solusi permasalahan yang mengemuka. Akhirnya, penulis berharap tulisan ini mendapat masukan dari siapapun baik berupa sanggahan maupun penyempurnaan secara tertulis sebagaimana adagium : “Tulislah apa yang engkau lakukan, dan lakukan apa yang engkau tulis”. Sehingga pada saatnya layak diajukan kepada Bapak Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak untuk dikoreksi dan berkenan dijadikan pedoman kerja bagi aparat Pengadilan Agama se Kalimantan Barat. II. PEMANGGILAN TERMOHON GHOIB DALAM PERKARA CERAI TALAK. 1. Dasar Hukum Acara Bagi Pengadilan Agama. Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah terakhir dengn Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Pengertiannya adalah : a. Hukum acara pengadilan agama sama dengan hukum acara pengadilan negeri, yaitu memakai Reglement Buiten Govesten=RBg, kecuali yang 2 diatur dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pemahamannya : Apabila sudah diatur oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka yang berlaku adalah ketentuan yang ada pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. b. Hukum acara pengadilan agama sama dengan hukum acara pengadilan negeri, yaitu memakai Reglement Buiten Govesten=RBg, jika tidak diatur oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Kesimpulannya : Jika tidak diatur oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka hukum acara yang berlaku adalah RBg baik dalam perkara perceraian atau perkara selain perceraian. 2. Dasar Hukum Pemanggilan Para Pihak : 2.1. Pasal 55 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi : “Tiap pemeriksaan perkara di pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku”. 2.2. Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan : ”Setiap kali diadakan sidang pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. Pengertiaannya : Sesuai dengan asas audi et alteram partem, setiap dilaksanakan sidang baik penggugat atau tergugat harus dipanggil sesuai tata cara yang berlaku, kecuali apabila peraturan perundang- undangan tidak memerintahkan untuk memanggil. 2.3. Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan : “Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh pengadilan. Pengeritiannya : a. Penggugat dipanggil sesuai Pasal 26 ayat (2) sampai dengat (5). b. Tergugat dipanggil dengan cara : - Menempel salinan gugatan pada papan pengumuman pengadilan agama. - Mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain, baik milik pemerintah atau swasta. 3 - Menetapkan (bukan mengadakan kerja sama) satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain milik pemerintah atau swasta. 2.4. Dalam hal sidang ditunda, maka tergugat/termohon tidak perlu dipanggil lagi, karena pemanggilan terhadap tergugat/termohon adalah untuk persidangan dan bukan untuk sekali sidang. (Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama; Drs. Mukti Arto, SH, Hlm.207) 2.5. Pasal 70 ayat (3) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan : “Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami atau istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. Pengertiannya : a. Untuk memperoleh kepastian bahwa putusan sudah berkekuatan hukum tetap, terhadap termohon yang tidak hadir pada saat putusan diucapkan, tetap harus diberitahu mengenai isi putusan. b. Oleh karena tata cara pemberitahuan terhadap termohon yang tidak hadir pada saat putusan diucapkan tidak diatur oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka berdasarkan Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 pengadilan berkewajiban memberitahukan isi putusan sesuai ketentuan Pasal 190 ayat (2) RBg yang berbunyi : “Jika para pihak atau salah satu diantara mereka tidak hadir pada waktu pengucapan itu, maka isi keputusan itu disampaikan kepada pihak yang tidak hadir oleh seorang pegawai yang berwenang”. c. Suami dan istri atau wakilnya tetap diperintahkan untuk dipanggil untuk menghadiri sidang ikrar talak. 2.6. Pasal 70 ayat (5) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan : “Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetap tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar tanpa hadirnya istri atau wakilnya. Pengertiannya : a. Istri harus dipanggil sesuai ketentuan yang berlaku. b. Karena tata cara pemanggilan untuk istri tidak diatur oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang Undang Nomor 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka berdasarkan Pasal 54 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 pemanggilan terhadap termohon adalah dengan mendasarkan pada tata cara pemanggilan menurut Pasal 718 ayat (3) RBg, yaitu lewat Bupati/Walikota. c. Jika istri tidak datang atau tidak mengirim wakilnya, suami dapat mengucapkan talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya. 3. Dasar Pemanggilan Termohon Ghoib Dalam Sidang Ikrar Talak. 3.1. Setiap kali diadakan sidang perkara apapun, termasuk perkara perceraian kedua pihak harus dipanggil dengan cara yang telah ditentukan. 3.2. Pemanggilan terhadap tergugat dalam perkara cerai gugat atau pemanggilan terhadap termohon untuk sidang guna penyaksian ikrar 4 talak (yang kita kenal dengan sidang izin ikrar talak), tata cara pemanggilannya menggunakan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam hal sidang ditunda, maka tergugat/termohon tidak perlu dipanggil lagi, karena pemanggilan terhadap tergugat/termohon adalah untuk persidangan dan bukan untuk sekali sidang. (Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama; Drs. Mukti Arto, SH, Hlm.207) 3.3. Untuk sidang penyaksian ikrar talak sebagaimana ketentuan Pasal 70 ayat (3) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, termohon harus dipanggil dan dalam hal ini tata cara pemanggilannya tidak diatur oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 3.4. Oleh karena tata cara pemanggilan untuk sidang penyaksian ikrar talak terhadap termohon/istri yang ghoib, maka kembali kepada Pasal 718 ayat (3) RBg yang berbunyi : “Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal, maka eksploit dijalankan terhadap kepala pamong prajanya, setempat dari tempat tinggalnya penggugat dan dalam perkara-perkara pidana dari tempat kediamannya Hakim yang berkuasa mengadilinya; kepala pamong praja setempat menyuruh umumkan eksploit yang diterimanya dengan jalan menempelkannya pada pintu masuk tempat sidangnya Hakim yang bersangkutan”. 4. Kesimpulan Akhir. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Pemanggilan termohon untuk menghadiri persidangan perkara cerai talak (sidang izin talak, bukan sidang ikrar talak) yang ghoib berdasarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. b. Untuk memperoleh kepastian bahwa putusan cerai talak sudah berkekuatan hukum tetap, terhadap termohon yang tidak hadir pada saat putusan diucapkan, tetap harus diberitahu mengenai isi putusan. (Pasal 190 ayat (2) RBg). c. Pemberitahuan isi putusan terhadap termohon yang ghoib memakai Pasal 718 ayat (3) RBg. (lewat Bupati/Walikota). d. Untuk sidang penyaksian ikrar talak, bagi termohon yang ghoib tetap dipanggil sesuai tata cara Pasal 718 ayat (3) RBg. III. BIAYAPEMERIKSAAN SETEMPAT 1. Mengenai biaya pemeriksaan setempat, penulis hanyalah memperoleh informasi sekilas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001 tersebut menyinggung bahwa biaya pemeriksaan setempat sebagaimana ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1999 poin 8. 2. Akan tetapi setelah diadakan penelitian dan pencarian, ternyata Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1999 belum dapat diketemukan. 5 3. Dasar hukum biaya pemeriksaan setempat adalah Pasal 90 ayat (1) huruf c Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi “biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan setempat”. 4. Pesan Prof. H. Abdul Manan pada Rakor dan Bimbingan Panitera Pengganti PA se Kalimantan Barat Tahun 2015 terhadap pelaksanaan pemeriksaan setempat : 4.1. Harus hati- hati karena dapat mengorbankan orang lain. 4.2. Berangkat ke lokasi sendiri, jangan menumpang kendaraan para pihak. 4.3. Walaupun tidak ada biaya makan, jangan mau diajak makan oleh para pihak. 5. Sebagai perbandingan mengenai biaya pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Pagaralam menetapkan kompo nen biaya pemeriksaan setempat terdiri dari : 5.1.1. Biaya transportasi. 5.1.2. Biaya pembuatan sketsa tanah oleh Kantor Pertanahan. 5.1.3. Biaya saksi dan ahli. 6. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeriksaan setempat : 6.1.1. Hanyalah untuk keperluan biaya transportasi. 6.1.2. Oleh karena hanya untuk keperluan transportasi, maka tidak perlu diperinci. Seperti untuk sewa mobil, upah sopir, beli bensin dan sebagainya. 6.1.3. Harus ada kwitansi sesuai tarif dari pengusaha rental. 6.1.4. Apabila ada pihak yang menginginkan pembuatan sketsa tanah, memerlukan saksi atau ahli, harap menghubungi yang bersangkutan. 6.1.5. Hindari menggunakan mobil dinas, karena resikonya cukup tinggi. IV. BIAYA PANGGILAN UNTUK MEDIASI 1. Sesuai Perma Nomor 1 Tahun 2016 : 1.1. Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa biaya pemanggila n para pihak untuk menghadiri proses mediasi dibebankan terlebih dahulu kepada Penggugat melalui panjar biaya perkara. 1.2. Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa biaya pemanggilan proses mediasi ditambahkan pada perhitungan biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri sidang. 2. Biaya panggilan mediasi tidak boleh dimasukkan dalam komponen biaya perkara/voorskot karena mediasi adalah non litigasi oleh karena itu tidak perlu dimasukkan dalam komponen biaya perkara. (Pemecahan Permasalahan Hukum Di Lingkungan Peradilan Agama Dalam Rakernas Mahkamah Agung Dengan Pengadilan Seluruh Indonesia di Jakarta tanggal 18 s/d 22 September 2011, hlm 11 dan Pedoman Pelaksanaan Mediasi Pada Pengadilan Agama di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Pontianak Tahun 2016, hlm. 7 dan 9). V. PENOMORAN PERKARA 6 1. Berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : KMA/032/SK/IV /2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pe laksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan, Edisi Revisi, Tahun 2014 halaman 30 menjelaskan bahwa penulisan nomor perkara dengan 4 (empat) digit. 2. Menurut penjelasan hasil pelatihan petugas SIPP : 2.1. Bahwa SIPP merupakan program Mahkamah Agung yang harus dilaksanakan oleh seluruh peradilan yang berada dibawahnya. 2.2. Bahwa nomor perkara dimulai 1 (satu) digit dan berkembang sesuai dengan perkara yang diterima dalam 1 (satu) tahun. 3. Dengan demikian, dalam penomoran perkara terdapat dua aturan yang saling bertentangan, lagi pula peraturan yang baru tidak menyatakan dengan tegas mencabut dan/atau menyatakan tidak berlaku terhadap peraturan yang lama. 4. Untuk menghindari kemadhorotan dalam pelaksanaan tugas peradilan agama, maka sebaiknya menyesuaikan apa yang telah ditetapkan oleh SIPP. VI. AKTA CERAI YANG BELUM DIAMBIL OLEH PARA PIHAK 1. Pasal 84 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa Panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak. 2. Pengertian Pasal 84 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah : 2.1. Panitera berkewajiban memberitahukan putusan izin talak yang telah berkekuatan hukum tetap kepada para pihak. 2.2. Panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai kepada para pihak selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah pemberitahuan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak. 2.3. Pengertian nomor 2.1. diatas telah dianulir oleh Surat Mahkamah Agung Nomor : 32/TUADA-AG/III-UM/IX/1993 yang antara lain berisi bahwa ketentuan Pasal 84 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 (yang terkait kewajiban Panitera untuk memberitahukan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada para pihak) mengingat asas peradilan dengan biaya ringan tidak perlu dilakukan. 2.4. Pengertian nomor 2.2. diatas (pemberian Akta Cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan isi putusan) harus dibaca dengan menganalokkan kasus ini dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 1 Tahun 2011 tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 1 Tahun 2011 tentang Penyampaian Salinan Putusan. 2.5. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 1 Tahun 2011 adalah memberikan pengertian terhadap makna Pasal 64A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 7 2.6. Pasal 64A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 menentukan bahwa pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan. 2.7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 1 Tahun 2011 pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 64A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 harus dibaca bahwa dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak perlu menyampaikan salinan putusan kepada para pihak, akan tetapi salinan putusan harus sudah dipersiapkan dalam waktu tersebut. 2.8. Terkait dengan pengelolaan Akta Cerai pihak berperkara yang belum diambil, tidak diketemukan aturan bakunya, maka pengelolaannya harus berpedoman prinsip umum penyimpanan dokumen pengadilan, kehatihatian dan pelayanan publik. Kesimpulan : a. Panitera tidak perlu menyampaikan salinan putusan izin cerai yang telah berkekuatan hukum tetap kepada para pihak. b. Panitera selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan izin cerai yang telah berkekuatan hukum tetap atau setelah Pemohon/Suami mengucapkan ikrar talak harus sudah menerbitkan Akta Cerai. c. Pengelolaan Akta Cerai yang belum diambil oleh pihak berperkara : 1) Dikumpul menjadi satu, disimpan dalam satu almari yang aman dan dilakukan oleh Panitera sendiri. 2). Ditata dimulai dari nomor dan tahun Akta Cerai yang kecil. 3). Dicatat dalam Buku Khusus Akta Cerai Yang Belum Diambil, yang berisi kolom : - nomor urut dalam 1 (satu) tahun. - nomor Akta Cerai dalam 1 (satu) tahun. - tanggal Akta Cerai. - nomordan tanggal putusan/penetapan. - tanggal pengambilan Akta Carai. - nama terang pengambil. - nomor bukti diri pengambil. 4). Penyerahan Akta Cerai dapat didelegasikan. 5). Setiap bulan Juni dan Desember, Panitera wajib melaporkan keadaan Akta Cerai yang belum diambil oleh pihak berperkara kepada Ketua Pengadilan Agama. 6). Panitera wajib memasukan keadaan Akta Cerai yang belum diambil oleh pihak berperkara kedalam laporan pada saat serah terima jabatan. VII. ALAT TULIS KANTOR (ATK) PERKARA 1. Dasar Hukum ATK adalah Pasal 91A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa untuk menjalan tugasnya, 8 Pengadilan Agama dapat menarik biaya perkara dengan bukti tanda pembayaran yang sah. 2. Adapun biaya perkara tersebut terdiri dari : 2.1. Biaya Kepaniteraan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak dan diatur oleh perturan perundang-undangan. 2.2. Biaya proses yang dibebankan kepada kepada pihak berperkara berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama. 3. Pasal 91A Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 dijelaskan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara. 4. Garis besar Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2009 yang terkait dengan Pengadilan Agama adalah besaran Biaya Proses pada Pengadilan Agama diatur dan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 2 ayat 3). 5. Surat Keputusan yang harus diterbitkan oleh Pengadilan Agama antara lain : 5.1. Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama tentang Besaran Biaya Proses yang memuat : 5.1.1. Berapa besaran uang Biaya Proses yang dibayar oleh pihak berperkara. 5.1.2. Untuk kegiatan apa saja. (Pasal 2 ayat 3 dan pasal 15 ayat 2, Perma Nomor 2 Tahun 2009). 5.2. Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama tentang Tim Pengelola Biaya Proses yang memuat : 5.2.1. Personalia Tim Pengelola. (Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 6 ayat 1, Perma Nomor 2 Tahun 2009). 5.2.2. Tugas Tim Pengelola (Pasal 4 ayat 1, Perma Nomor 2 Tahun 2009). 5.3. Surat Keputusan Pengelola (Panitera) tentang Rencana Penggunaan Biaya Proses yang memuat : 5.3.1. Komponen apa saja yang dibiayai oleh Biaya Proses. 5.3.2. Berapa biaya setiap komponen. 5.3.3. Pembiayaan perkara dengan subsidi silang, karena kesulitan menentukan komponen yang dibiayai untuk nomor perkara berapa. 5.3.4. Biaya operasinal Tim Pengelola. 6. Adapun Penggunaan dan Pembukuan Biaya Proses telah d isepakati dalam Rapat Kordinasi Pengadilan Tinggi Agama Pontianak dengan Pengadilan Agama se Kalimantan Barat pada tanggal 27 Februari 2015. Kesimpulan : 1. Sebagai dasar hukum Biaya Proses, perlu diterbitkan surat keputusan Ketua Pengadilan Agama atau Pengelola Biaya Proses sebagaimana perintah Perma Nomor 2 Tahun 2009). 9 2. Ikuti keputusan Rapat Kordinasi Pengadilan Tinggi Agama Pontianak dengan Pengadilan Agama se Kalimantan Barat pada tanggal 27 Februari 2015. VIII. SIDANG KELILING 1. Dasar hukum namenklatur sidang keliling terdapat pada Perma Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengdilan dan Perma Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah dan Akta Kelahiran. 2. Pengertian sidang di luar gedung sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (5) Perma Nomor 1 Tahun 2014 adalah sidang yang dilaksanakan secara tetap, berkala atau sewaktu-waktu oleh pengadilan di suatu tempat yang ada di dalam wilayah hukumnya tetapi di luar tempat kedudukan gedung pengadilan dalam bentuk sidang keliling atau sidang di tempat sidang tetap. 3. Dalam Pasal 18 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa sidang di luar gedung pengadilan dapat dilaksanakan dalam bentuk sidang di tempat sidang tetap, sidang keliling atau pada kantor pemerintah dan seterusnya. 4. Menurut Pasal 1 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2015 memberikan rumusan bahwa pelayanan terpadu sidang keliling yang sela njutnya disebut pelayanan terpadu adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan bersama-sama dan terkordinasi dalam satu waktu dan tempat antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah dan Akta Kelahiran. 5. Begitu pula sesuai Pasal 1 ayat (5) Perma Nomor 1 Tahun 2015 memberikan rumusan bahwa sidang keliling adalah sidang Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah yang dilakukan di luar gedung pengadilan baik yang dilaksanakan berkala maupun insidentil. Kesimpulan : a. Sidang di luar gedung pengadilan dapat berupa : 1). Pelayanan terpadu, adalah persidangan yang dilakukan Pengadilan Agama di luar gedung pengadilan, dalam waktu dan tempat yang sama bersandingan dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/ Kota dan Kantor Urusan Agama Kecamatan. 2). Sidang keliling, adalah persidangan yang dilakukan oleh pengadilan agama sendirian di luar gedung pengadilan baik secara tetap, berkala atau sewaktu-waktu, dan dilaksanakan di tempat yang tetap atau tempat yang berbeda-beda. b. Menurut asas hukum, bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Jadi yang dipakai adalah istilah yang sebut oleh Mahkamah Agung. 10 IX. KEDUA AKTA NIKAH DIKUASAI OLEH SUAMI ATAU ISTRI 1. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Akta Nikah merupakan akta autentik telah terjadinya perkawinan bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam. 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor : 3609 K/Pdt/1985 tanggal 9 Desember 1987 menyatakan bahwa surat bukti foto kopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan. (Varis Peradilan, Tahun III, Nomor 36, September 1988, hlm.85). Kesimpulan : Foto kopi akta nikah asli dari Kantor Urusan Agama tidak dapat dijadikan bukti kecuali telah dicocokan dengan aslinya oleh Hakim. Solusinya : Memanggil Kepala Kantor Urusan Agama yang bersangkutan untuk hadir di persidang dengan membawa Akta Nikah asli, kemudian Hakim mencocokannya. Jika foto kopi sesuai dengan aslinya tersebut, maka dapat diterima sebagai alat bukti. Jika tidak sesuai dengan aslinya, maka tidak dapat diterima sebagai alat bukti. X. PENUTUP. Sekian, kurang lebihnya mohon ma’af dan terima kasih. Pontianak, 28 Mei 2017 Ali M. Haidar