TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan proses reproduksi seksual. Penetrasi spermatozoa ke dalam membran vitelin mengaktivasi sel telur untuk melengkapi proses meiosisnya dan mengeluarkan badan polar kedua. Kromosom yang terkandung dalam pronukleus jantan haploid bersatu dengan kromosom dalam pronukleus betina. Proses penyatuan kedua kromosom tersebut disebut dengan singami. Sebagai konsekuensi dari fertilisasi, jumlah kromosom kembali menjadi diploid, jenis kelamin suatu individu ditentukan, dan variasi biologis dihasilkan dari integrasi karakteristik herediter paternal dan maternal (McGeady et al. 2006). A B Fertilisasi/ konsepsi Gambar 1 Sel telur terfertilisasi. (A) Proses fertilisasi, (B) Embrio 2 sel (Byers et Embrio 2 sel al. 2006) Masuknya spermatozoa ke dalam membran plasma sel telur menginduksi pelepasan kalsium intraseluler dalam sel telur (Alberio et al. 2001). Setelah fertilisasi, perubahan metabolisme sel telur dipengaruhi oleh fluktuasi konsentrasi kalsium tersebut. Peningkatan konsentrasi kalsium ini akan menahan proses meiosis sel telur dan menginduksi proses mitosis embrio. Respon aktivasi sel telur tersebut termasuk pengerahan mRNA maternal untuk translasi, perubahan sintesis protein, dan aktivasi genom zigot (McGeady et al. 2006). Kultur In Vitro Embrio berkembang lebih lambat dalam medium kimiawi pada kultur in vitro dibandingkan dengan in vivo, hal ini menunjukkan bahwa saluran reproduksi menjadi faktor spesifik yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan optimal pada sel telur (Pratt 1987). Kemampuan sel telur untuk bertahan dalam kultur in vitro tergantung pada spesies, tahap perkembangan sel telur, kandungan fisik dan biokimia pada media, suhu penyimpanan, tingkat pendinginan dan penghangatan sel telur, serta teknik penyimpanan dan transfer sel telur. Aktivasi Embrio Partenogenetik Partenogenesis dikenal sebagai produksi embrio dari gamet betina tanpa diikuti oleh gamet jantan, dengan atau tanpa perkembangan menjadi dewasa (Sandhu et al. 1994). Secara alami, proses ini terjadi pada hewan tingkat rendah seperti insekta, moluska, dan sebagainya. Partenogenesis dapat menggunakan berbagai stimulasi, yaitu stimulasi fisik, suhu, kimia, radiasi, serta stimulasi dengan memasukkan sperma (Sandhu et al. 1994). Stimulasi dengan suhu adalah dengan menempatkan sel telur pada suhu yang tinggi atau rendah seperti yang dilakukan oleh Balakier & Tarkowski (1976). Stimulasi kimiawi dapat menggunakan Ca2+ ionophore, ethanol 7%, strontium chloride, phorbol ester, dan thimerosal. Berbagai stimulasi tersebut menggantikan peran sperma dalam menginduksi pelepasan kalsium intraseluler sehingga sel telur dapat teraktivasi (Alberio et al. 2001). Selain itu, terdapat senyawa kimia lain yang perlu ditambahkan pada medium aktivasi atau medium kultur untuk mencegah keluarnya badan polar kedua di dalam sel telur. Cytochalasin B, misalnya, memiliki kemampuan untuk memecah filamen aktin dan menghambat sitokinesis (Murti et al. 2009). Oleh karena itu, sel telur akan tetap mengandung kromosom diploid sehingga dapat berkembang sebagai embrio partenogenetik. Fertilisasi Normal Ganbar 2 Partenogenetik Oosit matang - PB 1 Oosit matang - PB 1 Fertilisasi - PB 1 & 2 Aktivasi - Ethanol 7% - Cytochalasin Terfertilisasi - PN jantan - PN betina Terfertilisasi - PN jantan - PN betina Diploid - PB 1 & 2 Diploid - PB 1 Perbedaan fertilisasi normal dengan partenogenetik (Boediono et al. 1995) Pembelahan Embrio Sel telur yang telah diovulasi akan mengalami beberapa tahapan setelah diaktivasi maupun difertilisasi oleh sel sperma. Sel telur akan berkembang menjadi zigot kemudian melakukan pembelahan awal menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, hingga mengalami kompaksi dan disebut dengan morula. Kemudian morula berkembang menjadi blastosis yang memiliki struktur terdiri atas blastosul, Inner Cell Mass (ICM), trofoblast, dan zona pelusida. Selanjutnya balstosis akan keluar dari zona pelusida (hatching) untuk kemudian berimplantasi pada dinding uterus (Hogan 1994). Zigot 2 sel 4 sel 8 sel Morula Blastosis Gambar 3 Pembelahan embrio praimplantasi pada mencit (Goetz 2005) Pada mamalia, pembelahan awal terjadi selama 24 jam kemudian pembelahan selanjutnya terjadi pada interval setiap 12 jam hingga hari ketiga. Berbeda dengan pembelahan in vivo, proses pembelahan pada in vitro mengalami pelambatan sehingga membutuhkan waktu 48 jam setelah fertilisasi. Sinkronisasi pembagian blastomer pun tidak terjadi pada tahap awal sehingga dapat ditemukan tahapan tiga, lima, enam, atau tujuh blastomer pada proses secara in vitro (McGeady et al. 2006). Histone Deacetylase Inhibitor (HDACi) Histon merupakan struktur protein yang bersama-sama dengan DNA membentuk kromatin. Histon membantu mengorganisasi untai-untai panjang DNA menjadi sebuah struktur yang dikenal sebagai nukelosom. Sebagai protein dasar yang kaya akan asam amino, lysin, dan arginin, histon dapat mengalami dua bentuk yang antagonis, yaitu asetilasi dan deasetilasi. Enzim yang bertanggung jawab terhadap mekanisme tersebut ialah histone acetyl transferases (HTAs) yang memproduksi asetilasi dan histone deacetylases (HDACs) yang akan mengembalikan proses tersebut. N-terminal pada histon memainkan sebagian besar peran dalam regulasi transkripsi. Mengingat asetilasi berkorelasi dengan perubahan bentuk dan aktivasi transkripsi nukleosom, deasetilasi histon menginduksi penahanan transkripsi melalui kondensasi kromatin. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa netralisasi pengisian residu lysin dalam rantai N-terminal oleh proses asetilasi menyebabkan longgarnya rantai histon dan DNA. Relaksasi struktur kromatin ini memudahkan masuknya faktor yang bervariasi ke DNA. Pergantian grup asetil pada molekul histon yang cepat di dalam sel dan tingkat asetilasi dikontrol oleh keseimbangan kedua aktivitas tersebut, asetilasi dan deasetilasi (Monneret 2005). Asetilasi histon (aktivasi transkrispsi) kromatin terbuka kromatin tertutup Deasetilasi histon (membungkam gen) Gambar 4 Asetilasi dan deasetilasi histon (Shonka & Gilbert 2010) Histone Deacetylase Inhibitor (HDACi) merupakan enzim penghambat proses deasetilasi. Ia terbagi menjadi empat kelompok: asam lemak rantai pendek, asam hidroksamid, tetrapeptida siklik, dan benzamid. Masing-masing jenis HDACi memiliki fungsi yang berbeda; agen-agen ini menghambat enzim deasetilase histon yang akan mendorong akumulasi asetilasi di dalam histon serta diikuti pula oleh perubahan intrasel (Yoo 2006). Trichostatin A (TSA) dan scriptaid merupakan contoh inhibitor jenis asam hidroksamid. Hidroksamid adalah inhibitor HDACs yang potensial serta aktif pada konsentrasi mikromolar sampai dengan nanomolar. TSA, yang dihasilkan dari Streptomyces hygroscopicus (Monneret 2005), telah ditunjukkan pertama kali sebagai penghambat diferensiasi yang potensial dan penahan siklus sel, serta laporan terakhir menyebutkan bahwa TSA memliki aktivitas anti-HDAC (Yoo 2006). Inhibitor lainnya, scriptaid, dapat menginduksi modifikasi rantai histon yang penting dalam struktur kromatin: meningkatkan asetilasi H3K9 dan dimetilasi H3K4 serta menurunkan dimetilasi H3K9 sehingga mampu menekan petumbuhan kanker yang dipengaruhi oleh perubahan epigenetik (Lee et al. 2008).