Hubungan Arsitektur Tajuk dengan Fotosintesis

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
Biologi dan Ekologi Jarak Pagar
Tanaman jarak pagar berasal dari Amerika Tengah dan saat ini menyebar
di seluruh daerah tropik di dunia. Dalam klasifikasinya, tanaman jarak pagar
termasuk divisi Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, klas Dicotyledonae,
ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Jatropha, dan spesies Jatropha
curcas L. (Wiesenhutter, 2003; Hariyadi, 2005; Dwary dan Pramanick, 2006;
Prihandana dan Hendroko, 2006). Tanaman perdu dengan tinggi mencapai 5 m
(Heller, 1996; Wiesenhutter, 2003; Ginwal, 2004). Pada kondisi kandungan air
tanah yang baik perkecambahan membutuhkan waktu 10 hari dengan
memunculkan radikula dan empat akar peripheral (Heller, 1996). Percabangan
jarak pagar tidak teratur, batangnya berkayu, silindris dan bila terluka
mengeluarkan getah (Dwary dan Pramanick, 2006). Menurut Heller (1996) dan
Wiesenhutter (2003) jarak pagar termasuk tanaman sukulen yang menggugurkan
daunnya selama musim kering sehingga tanaman ini adaptif pada lahan arid dan
semi-arid.
Daun jarak pagar berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut 3 -5, tulang
daun menjari dengan 5 – 7 tulang utama, warna daun hijau (permukaan bagian
bawah lebih pucat dibandingkan permukaan bagian atas), panjang tangkai daun
antara 4 -15 cm. (Tim Jarak Pagar, 2006).
Hasnam (2006) mengemukakan bahwa bunga jarak pagar berupa bunga
majemuk tersusun dalam rangkaian (inflorescence) berumah satu,
bunga
berwarna kuning kehijauan, persentase bunga betina 5 – 10 % dari 100 bunga atau
lebih, muncul di ujung batang, masa berbunga bunga betina 3-4 hari, bunga betina
membuka 1-2 hari sebelum bunga jantan, lama pembungaan inflorecence 10-15
hari, bunga menyerbuk dengan bantuan serangga.
Buah disebut buah kapsul, berbentuk bulat telur, panjang buah 2.5 cm,
berwarna hijau ketika masih muda dan kuning setelah matang, terdapat 420
buah dan 1580 biji per kg (Dwary dan Pramanick, 2006). Buah jarak terbagi
menjadi 2-4 ruang yang masing-masing berisi 1 biji yang bentuknya bulat lonjong
berwarna coklat kehitaman (Tim Jarak Pagar, 2006). Biji jarak pagar dari buah
kuning mengandung rendemen minyak sekitar 30 – 40% (Pusat Penelitian dan
Perkembangan Perkebunan, 2006); 36 %-38.73 % (Tim Peneliti, 2006); 31-37 %
(Dwary dan Pramanick, 2006)
Pembentukan buah membutuhkan waktu selama 90 hari dari pembungaan
sampai matang (Heller, 1996). Menurut Wiesenhutter (2003) di Cape Verde
produksi mencapai 780 sampai 2,250 kg biji per ha, di India produksi tanpa kulit
biji di atas 12 ton per ha yang dicapai dengan irigasi pada tahun ke enam, di Mali
produksi sekitar 2 – 2.4 ton per ha.
Menurut Heller (1996) jarak pagar beradaptasi baik pada lahan marginal
dengan lahan miskin hara dan curah hujan rendah. Di daerah Amazone jarak pagar
tumbuh baik pada daerah kering dengan rata-rata curah hujan antara 300 – 1000
mm per tahun dan juga dapat tumbuh dengan baik pada curah hujan yang lebih
tinggi dengan aerasi baik. Wiesenhutter (2003) mengemukakan bahwa tanaman
jarak pagar membutuhkan curah hujan 500 – 600 mm per tahun dan di Cape
Verde juga tumbuh baik pada curah hujan 250 mm per tahun dengan kelembaban
yang tinggi dan kondisi kering dapat meningkatkan kandungan minyak pada biji.
Tanaman jarak pagar dapat tumbuh di daerah dataran rendah bahkan
pinggir pantai sampai ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut (dpl),
bahkan menurut Heller (1996) di Fogo, Afrika jarak pagar ditemukan pada
ketinggian 1700 m dpl. Daerah yang optimum untuk pengembangan jarak pagar
adalah daerah dengan ketinggian 0 – 500 m dpl, tanaman ini adaptif dengan suhu
tinggi dan daerah yang menjadi pusat koleksi berbagai provenan di Cape Verde
mempunyai rata-rata suhu tahunan 20-280C.
Berdasarkan informasi tersebut jarak pagar memiliki daya adaptasi yang
cukup luas akan tetapi
untuk memperoleh pertumbuhan yang baik disertai
produksi dan mutu yang tinggi, kecukupan air dan unsur hara tanah harus
diperhatikan bila jarak pagar harus ditanam di daerah yang relatif kering dengan
intensitas radiasi yang tinggi karena kondisi kering dapat menyebabkan daun
tanaman gugur dan produktivitasnya menurun. Demikian pula halnya bila jarak
pagar ditanam pada daerah yang curah hujannya tinggi, pembuatan drainase perlu
diperhatikan karena akar tanaman jarak pagar tidak tahan genangan, jika hal ini
tidak diperhatikan maka akar tanaman akan segera busuk.
Fisiologi Pemangkasan
Syarat mutlak sebagai dasar untuk melakukan pemangkasan adalah harus
memahami aspek fisiologi pertumbuhan tanaman. Ada dua cara tanaman tumbuh
(1) pertumbuhan primer, yaitu peningkatan panjang pucuk (length of shoots) dan
akar yang menyebabkan peningkatan tinggi dan lebar kanopi, (2) pertumbuhan
sekunder, yaitu peningkatan ukuran (thickness) batang dan akar. Kedua tipe
pertumbuhan tersebut membutuhkan pembelahan sel yang diikuti pembesaran dan
diferensiasi sel (Marini, 2003)
Meristem adalah daerah sel membelah. Menurut Marini (2003) ada dua
tipe meristem tanaman (1) meristem apikal, terletak di ujung setiap pucuk (shoot)
dan akar (root) (Gambar 2). Pucuk dan akar memanjang seperti sel yang
tertumpuk satu dengan yang lainnya. Di belakang daerah pembelahan sel terdapat
daerah pembesaran dan diferensiasi sel untuk membentuk berbagai jaringan. (2)
meristem apikal kecil (small apical meristem) disebut axillary meristem
(meristem ketiak) yang membentuk axillary bud (kuncup/tunas ketiak) yang selalu
dorman sampai sebuah daun yang berhadapan dengannya berkembang penuh.
Sebuah tunas ketiak dapat dorman atau berkembang menjadi cabang lateral
(lateral branch) atau bunga (flower). Pada saat tunas vegetatif diiris secara
membujur tampak bahwa, meristem apikal berada di ujung, primordia daun
menjadi daun, meristem ketiak berkembang menjadi tunas ketiak, dan jaringan
prokambial berkembang menjadi kambium.
Primordia daun
Meristem apikal
Tunas ketiak
Gambar 2. Irisan membujur ujung pucuk tampak meristem apikal, primordia daun
dan primordia tunas samping (Marini, 2003).
Tunas sangat penting untuk menunjang pertumbuhan vegetatif dan
pertumbuhan reproduktif pohon. Pemangkasan dan pelatihan pohon buah
melibatkan manipulasi tunas. Memproduksi buah menggunakan berbagai teknik,
termasuk pruning untuk memanipulasi pertumbuhan dan pembungaan. Sering
teknik ini mempengaruhi dormansi tunas sehingga pengetahuan tentang tunas dan
dormansi tunas esensial untuk diketahui untuk memahami bagaimana pruning
mempengaruhi pertumbuhan. Selain itu juga penting untuk mengidentifikasi
berbagai tipe tunas pada pohon, terutama tunas bunga dan tunas vegetatif.
Marini (2003) menyatakan bahwa tunas diklasifikasikan dalam empat tipe
(1) klasifikasi berdasarkan kandungan (isi), dikenal tunas vegetatif yang hanya
berkembang menjadi pucuk vegetatif daun dan tunas bunga hanya memproduksi
bunga. Pohon buah batu (apricot dan cherry) menghasilkan tunas vegetatif dan
tunas bunga. Pohon apel dan pear memproduksi tunas vegetatif dan tunas
campuran (mixed bud). Pucuk daun dan bunga muncul dari tunas campuran. (2)
klasifikasi berdasarkan lokasi, tunas terminal terletak pada ujung pucuk. Pada
pohon buah batu (stone) tunas terminal adalah tunas vegetatif. Tunas terminal apel
dan pear selalu vegetatif, walaupun beberapa varietas seperti Rome Beauty secara
terminal memproduksi tunas campuran. Tunas lateral dibentuk dari ketiak daun
yang sering disebut tunas ketiak. Pohon buah stone (batu) tunas lateral dapat
membentuk vegetatif atau bunga. Buku (node) pada tajuk yang berumur satu
tahun mempunyai satu sampai tiga tunas, sebagian dapat membentuk bunga dan
yang lainnya membentuk tunas vegetatif. Tunas bunga berkarakter lebih besar
dengan ujung yang relatif bulat, sedangkan tunas vegetatif lebih kecil. (3)
klasifikasi berdasarkan struktur tunas pada batang, struktur tunas mempengaruhi
struktur cabang pohon buah dan bentuk pohon. Buku terdapat pada batang di
mana daun melekat (Gambar 3a). Pada tanaman apel hanya ada satu daun yang
melekat pada buku, sedangkan pada tanaman peach terdapat tiga daun. Tunas
opposite, ketika dua tunas/cabang, menempati tempat yang berlawanan pada buku
sama. Tunas alternate, ketika hanya ada satu tunas/cabang dari setiap buku dan
tidak ada tunas yang menempati tempat yang sama pada batang, seperti yang satu
di atas atau di bawah (Gambar 3b). Posisi daun pada batang disebut phyllotaxy.
(4) Klasifikasi berdasarkan aktivitas, tunas akan dorman ketika tunas tersebut
tidak nyata tumbuh. Ketika ada pemangkasan, tunas yang dorman akan tumbuh.
Tunas terminal
node
internode
node
Tunas lateral
Tunas bunga
telah gugur
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. Bagian sebuah dahan yang menunjukkan buku dan beberapa tipe tunas
(a), struktur tunas alternate (b), dan struktur tunas opposite (c) (Marini,
2003).
Hormon
Hormon adalah zat yang diproduksi dalam jumlah sangat kecil pada satu
bagian tanaman, ditranspor ke bagian lain (Wattimena, 1988, Coombs et al., 1992,
dan Marini, 2003), dan mempunyai efek fisiologi, pertumbuhan dan
perkembangan. Tanaman memproduksi sejumlah hormon yang mengontrol
berbagai aspek pertumbuhan seperti, panjang batang, dormansi tunas dan benih,
pembungaan, fruit set, pertumbuhan dan pemasakan buah, dan respon terhadap
cahaya dan gravitasi. Menurut Marini (2003) hormon promotor adalah giberelin
dan sitokinin dan hormon penghambat adalah auksin dan asam absisik. Hormon
promotor secara umum menyebabkan pertumbuhan tunas, pembelahan dan
perpanjangan sel, dan pertumbuhan batang. Hormon penghambat (inhibitor) selalu
diasosiasikan dengan dormansi, menghambat perkembangan pucuk biji dan tunas,
tetapi dilibatkan dalam induksi tunas bunga. Rasio promotor dan inhibitor lebih
menentukan
pertumbuhan
tanaman
dibandingkan
Produksi hormon tanaman selalu dikontrol oleh
konsentrasi
kondisi
mutlaknya.
lingkungan seperti
suhu dan panjang hari. Selanjutnya, dinyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif
selalu diasosiasikan dengan rendahnya rasio inhibitor terhadap promotor dan
dormansi selalu diasosiasikan dengan tingginya rasio inhibitor terhadap promotor.
Dormansi
Dormansi adalah suatu kondisi yang dicirikan dengan berhentinya
pertumbuhan yang sifatnya sementara dan metabolismenya tertekan atau tertahan.
Pada musim dingin pohon tampak tidak tumbuh, tetapi jaringannya tetap hidup
atau aktif, terjadi aktifitas metabolik dan sel berkembang dan berdiferensiasi
secara lambat (Marini, 2003). Selanjutnya Marini (2003) menyatakan para ahli
fisiologi saat ini mendiskripsikan dormansi dalam empat tipe, (1) para-dormansi
terjadi pada dipertengahan dan akhir musim panas ketika tunas tidak tumbuh
sebab inhibitor diproduksi di daun dan tunas terminal menghambat pertumbuhan
tunas ketiak. Para-dormansi dapat diatasi dengan cara menghilangkan daun (leaf
stripping) sepanjang bagian pucuk sehingga tunas ketiak berkembang menjadi
pucuk. Para penangkar bibit (nursery) selalu menggunakan teknik ini untuk
memproduksi pohon dengan cabang lateral. Heading cut dilakukan untuk
menghilangkan sebagian pucuk terminal dan membiarkan beberapa tunas ketiak
tumbuh dan berkembang. (2) ecto-dormansi, terjadi di awal musim gugur sebelum
daun gugur, tanaman tidak tumbuh disebabkan oleh kondisi lingkungan tidak
kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan akan terlihat jika suhu dan
panjang hari cocok (suitable). (3) endo-dormansi terjadi selama musim dingin
sebab tingginya level inhibitor (absisic acid) di dalam tunas. Selama fase
dormansi, pohon tidak akan tumbuh bila kondisi untuk pertumbuhan ideal tidak
terjadi. (4) Eco-dormansi, terjadi di akhir musim dingin pada pertengahan Januari,
setelah persyaratan suhu dingin (chilling) terpenuhi. Pada saat tersebut pohon
tidak tumbuh sebab kondisi tidak mendukung untuk pertumbuhan. Pertumbuhan
akan mulai ketika pohon terekspos pada suhu panas.
Dominansi Apikal
Menurut Cline (2000), dominansi apikal didefinisikan sebagai kendali
yang dilakukan oleh ujung pucuk (shoot apex) terhadap pertumbuhan tunas ketiak
(axillary bud). Konsekuensi morfologinya adalah terhambatnya tunas ketiak
selama musim pertumbuhan yang sering dinyatakan dengan istilah “bud
dormancy”. Dominansi apikal berhubungan dengan mekanisme yang dimediasi
oleh auxin dan sitokinin (Cline, 2000) dan status nutrisi pada axillary buds
(Champagnat, 1989).
Dominansi apikal telah dipelajari lebih dari 80 tahun, tetapi mekanismenya
belum dipahami secara jelas, tetapi tampaknya dikontrol oleh konsentrasi relatif
hormon inhibitor dan promotor. Menurut Coombs (1992) dan Marini (2003),
pertumbuhan tunas ketiak dihambat oleh tingginya konsentrasi auksin yang
diproduksi oleh tunas terminal. Auksin bergerak ke bawah pucuk dari sel ke sel
dengan polar, sehingga konsentrasi paling tinggi dekat ujung pucuk. Promotor
diproduksi di akar dan ditransport ke bagian atas pohon. Pertumbuhan tunas
ketiak dapat terjadi pada bagian dasar dari pucuk, di mana konsentrasi hormon
inhibitor secara relatif rendah dan konsentrasi hormon promotor relatif tinggi.
Dominansi apikal dapat dihilangkan dengan cara menghilangkan ujung
pucuk yang berfungsi sebagai sumber auksin (Gambar 4) (Coombs et al., 1992
dan Marini, 2003). Tiga atau empat tunas segera tumbuh di bawah heading cut
selalu berkembang menjadi pucuk. Pinching (memetik pucuk) merupakan sebuah
bentuk dari heading yang akan menginduksi percabangan. Kadang-kandang
dominansi apikal dapat pula dihilangkan dengan penyemprotan pucuk dengan
promotor (giberelin atau sitokinin) sebelum waktu berbunga.
Pada iklim temperate, penelitian proses percabangan pohon buah
difokuskan pada pucuk yang berumur satu tahun (one-year-old shoot) pada
periode musim dingin, karena
dominansi apikal dan dormansi tunas (bud
dormansi) terjadi pada periode waktu ini.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Apikal dominansi (a), pucuk yang tidak dipangkas (b), pucuk yang
dipangkas (c) (Marini, 2003).
Pembentukan Arsitektur Tajuk Melalui Pemangkasan
Pemangkasan bertujuan untuk membentuk pohon kokoh dan tegar,
memperbanyak percabangan (munculnya daun pada ketiak daun dan pucuk
cabang atau batang), menghindari terjadinya dominasi apikal (penekanan
pertumbuhan calon tunas ketiak daun (lateral) oleh ujung ranting yang aktif
tumbuh akibatnya tanaman memanjang), pemilihan tunas baru yang teratur dan
berpola serta meningkatkan jumlah bunga dan buah pada tanaman yang berbunga
terminal sehingga membentuk kerangka pohon yang dapat mendukung
pembungaan dan pertumbuhan buah (Widodo, 1995).
Pemangkasan
dan
pelatihan
bertujuan
untuk
mengoptimalkan
penangkapan cahaya untuk mencapai produksi biomassa yang tinggi (Jackson,
1980), membuka ruang kanopi untuk menangkap cahaya (Lakso, 1994) sehingga
memperbaiki distribusi cahaya di antara struktur pembuahan (Lakso dan CorelliGrappadelli 1992; Wunsche dan Lakso, 2000) dan memperkecil variasi kualitas
buah, mengoptimalkan biomassa yang dipartisikan ke pucuk buah, seperti pada
apel (Lespinasse dan Delort, 1993), alpokat (Thorp and Stowell, 2001), dan
mengurangi
ketidakseimbangan
antara
organ
sink,
serta
menstimulasi
pertumbuhan pada kiwi (Miller et al., 2000).
Secara umum, ada 2 konsep untuk mendefisinikan sistem percabangan.
Pertama konsep ”Organized plan” menjelaskan level hierarchic antara susunan
cabang pada pohon (Costes et al., 2006). Pola hierarchic diperkenalkan untuk
mengindikasikan sebuah hierarchy antara pucuk utama (main shoot) dan
lateralnya secara berturut-turut. Kedua konsep ”excurrent (cabang lateral) versus
decurrent (batang utama tidak dapat dibedakan dengan cabang yang paling
tinggi)” telah diperkenalkan dalam hubungannya dengan dominansi apikal pada
tanaman pohon hutan (Brown et al. 1967). Pola ini merujuk definisi batang utama
menghasilkan cabang lateral atau batang utama yang terbentang tidak dapat
dibedakan dengan cabang yang paling atas (decurrent).
Berdasarkan
intensitas
pemangkasan
dikenal
beberapa
istilah
pemangkasan diantaranya : Tipping/pinching (memangkas atau memetik pucuk
ranting), cutting back (memangkas sebagian cabang), stubbing (memangkas
cabang dekat pangkalnya menyisakan 2-5 ruas sehingga menyerupai”puntung
cerutu”), dan thinning (penjarangan cabang dengan cara memotong tepat pada
pangkalnya) (Widodo, 1995).
Menurut Widodo (1995) berdasarkan intensitas untuk tujuan pelatihan
tajuk (training) jenis pangkasan di bagi dua, yaitu heading back (pemotongan
batang, cabang atau ranting) dan thinning out (pembuangan cabang untuk
menjarangkan percabangan yang rapat).
Pada prinsipnya perlu ada penghematan bahan fotosintat sewaktu pohon
aktif memproduksi fotosintat, perlu efisiensi sistem jaringan dalam tubuh tanaman
agar hasil asimilasi (fotosintat) yang ada setelah digunakan untuk perawatan
tanaman itu sendiri cukup untuk membentukan bunga dan buah. Efisiensi pada
tanaman ini tidak dengan cara mengurangi fotosintat melainkan dengan menekan
pemborosannya. Caranya dengan memangkas bagian yang bersifat negatif (hanya
menyerap dan tidak menyumbangkan fotosintat sama sekali) atau dengan
mengurangi (memangkas) bagian pengguna fotosintat, seperti daun-daun yang
ternaungi, cabang-cabang yang tidak produktif dan cabang-cabang yang saling
tumpang tindih.
Jumlah cabang primer dan sekunder akan menentukan jumlah bunga, buah
dan biji jarak pagar. Oleh karena itu pemangkasan tajuk yang teratur dan berpola
dengan merujuk pada jumlah cabang primer dan sekunder akan membentuk tajuk
dan cabang yang ideal untuk meningkatkan produktivitas tanaman jarak pagar.
Bunga terminal, seperti jarak pagar, membutuhkan penyiapan tempat
berbunga (bearing unit) yang sebanyak-banyaknya dan diikuti dengan perakaran
pohon yang baik agar dapat menyangga buah yang lebat. Pembentukan tajuk jarak
pagar diperlukan untuk per tanaman agar tajuk tempat keluarnya bunga dan buah
dapat terbentuk, tetapi dengan percabangan yang kompak. Umumnya rumus
pangkas bentuk 3-9-27 memberikan hasil yang terbaik untuk tanaman berbunga
terminal. Setelah tipe tajuk yang cocok untuk menyediakan tempat pembungan
banyak terbentuk, maka pemangkasan selanjutnya hanya berupa pemeliharaan
bentuk dan kebersihan tajuk. Ranting membawa bunga pada pohon yang berbunga
pada terminal perlu dipangkas setelah pemanenan.
Pola tajuk membuka (open center) dapat meningkatkan pemerataan
intersepsi cahaya sehingga laju fotosintesis netto dan produksi per satuan luas
maksimum. Fotosintesis netto merupakan ukuran produksi asimilat yang
dimanifestasikan sebagai pertambahan bobot bahan kering total atau laju tumbuh
absolut (LTA), laju tumbuh relatif (LTR) dan laju asimilasi bersih atau LAB (net
assimilation rate, NAR) merupakan komponen fisiologi khususnya daun yang
menyumbangkan pertambahan bobot kering dan merefleksikan fungsi bentuk
tajuk dalam proses asimilasi (Lambers, 1987). Analisis pertumbuhan LAB dapat
disederhanakan sebagai pertambahan bobot bahan kering (dry weight basis) per
satuan luas daun sebagaimana tinjauan Wilson (1981). Pengertian LAB yang
sesungguhnya menyatakan hasil CO2 netto (Sitompul dan Guritno, 1995).
Intersepsi cahaya berperan penting terhadap pertambahan asimilat total
dan partisi asimilat ke arah sink (Gifford et al., 1984). Pada tanaman perkebunan,
kakao dan kopi (Ramaiah dan Venkataramanan, 1987 dan zaitun (Stuttle dan
Martin, 1986) partisi bahan kering ke cabang lateral relatif tinggi. Secara teoritis
menurut tinjauan Ryugo (1988) partisi demikian terjadi karena cahaya matahari
pagi yang kaya infra merah mendorong sintesis sitokinin dan menghambat
translokasi karbohidrat dari cabang ke batang karena jaringan kayu cabang-cabang
yang memperoleh training meregang sehingga cabang merupakan sink yang lebih
kuat dibandingkan batang. Pada masa reproduktif cabang merupakan source yang
baik.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Laju Fotosintesis
Menurut Gardner et al. (1991) laju fotosintesis dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya adalah (1) cahaya, (2) karbondioksida (CO2), (3) suhu,
dan (4) status air. Radiasi surya yang diterima daun untuk digunakan dalam
fotosintesis hanya fraksi dalam panjang gelombang 400-700 nm yang dikenal
dengan PAR.
Intensitas cahaya tinggi mendukung terjadinya konduktansi stomata
terhadap CO2 sehingga mempunyai pengaruh sangat besar terhadap laju
fotosintesis maksimum. Pada intensitas cahaya rendah hampir tidak ada
penyerapan CO2 karena laju penyerapan CO2 melalui fotosintesis lebih rendah
dari pada laju evolusi CO2 dari respirasi mitokondria. Hal ini sejalan dengan
pendapat Bauer et al. (1997) menyatakan bahwa intensitas cahaya rendah (PAR
120) sangat mempengaruhi laju penutupan stomata sehingga menurunkan laju
pertukaran karbon. Stomata umumnya membuka pada siang hari dan menutup
pada malam hari, hal ini digunakan untuk meningkatkan kinerja fotosintesis. Laju
fotosintesis secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh keadaan stomata
(Salisbury dan Ross, 1995. Mohr dan Schopfer (1995) menyatakan bahwa
pembukaan stomata tanaman berkorelasi tinggi dengan laju fotosintesis. Proses
pembukaan stomata secara langsung merupakan fungsi cahaya karena sel penjaga
memiliki klorofil. Kecepatan pembukaan dipengaruhi oleh jenis cahaya, yaitu
cahaya merah dan biru. Berbeda dengan organel fotosintesis yang memerlukan
cahaya merah untuk laju optimum, stomata lebih membutuhkan cahaya biru untuk
pembukaan stomata. Perbedaan kepekaan antara fotosintesis dengan pembukaan
stomata diduga dipengaruhi oleh karakter klorofil sel penjaga (Salisbury dan Ross,
1995).
Pada cahaya penuh, faktor tahanan stomata pada sebagian besar tanaman
bukan merupakan faktor pembatas laju difusi CO2, namun lebih dikendalikan oleh
reaksi enzimatis dalam kloroplas (Mohr dan Schopfer, 1995). Konduktansi
stomata adalah jumlah CO2 yang dapat masuk melalui hambatan stomata, semakin
kecil hambatannya akan semakin besar konduktansinya. Semakin banyak jumlah
stomata, konduktansi per satuan luas daun akan semakin tinggi demikian juga
semakin lebar bukaannya (Mohr dan Schopfer, 1995). Selanjutnya dinyatakan
bahwa stomata merupakan satu-satunya jalan untuk fiksasi CO2. Santrucek dan
Sage (1996) menduga bahwa penurunan konduktansi stomata pada intensitas
cahaya rendah kemungkinan disebabkan oleh jumlah stomata per satuan luas daun
yang rendah.
Secara umum laju fotosintesis meningkat secara linear dengan
bertambahnya konsentrasi CO2 dalam ruang antar sel (Ci) pada tingkat konsentrasi
CO2 interseluler yang rendah, sebab RUBP (ribulase bisphosphate) tidak menjadi
pembatas. Pada tingkat konsentrasi CO2 interseluler tinggi, laju fotosintesis mulai
menurun sesuai dengan penurunan kemampuan memproduksi RUBP yang tidak
sebanding dengan meningkatnya penyediaan CO2. Laju pertukaran karbon dapat
digunakan untuk menghitung akumulasi bahan kering tanaman. Nilai laju
pertukaran karbon dapat dihitung berdasarkan pada laju konsumsi CO2 yang
melewati stomata. Semakin tinggi laju konsumsi CO2 maka nilai laju pertukaran
karbon akan semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu nilai laju
pertukaran karbon yang tinggi pada tanaman ditandai dengan hasil asimilat karbon
yang relatif lebih tinggi.
Suhu lingkungan yang bertambah akan meningkatkan laju fotosintesis
karena peningkatan aktivitas enzim yang mempertinggi kapasitas pemanfaatan
CO2. Fiksasi CO2 merupakan reaksi yang dikendalikan oleh enzim, dan fiksasi
CO2 ini meningkat seiring dengan peningkatan aktifitas enzim akibat
meningkatnya temperatur hingga mencapai temperatur yang menyebabkan
terjadinya denaturasi enzim-enzimnya
Keadaan stress air akan mendorong penutupan stomata sehingga
mengurangi difusi CO2 dan konsentrasi Ci yang pada gilirannya menurunkan laju
fotosintesis. Hanya sekitar 0.1 % dari jumlah air total digunakan oleh tumbuhan
untuk fotosintesis. Transpirasi meliputi 99 % dari seluruh air yang digunakan oleh
tumbuhan; kira-kira hanya 1 % yang digunakan untuk membasahi tumbuhan,
mempertahankan tekanan turgor, dan memungkinkan terjadinya pertumbuhan.
Pengaruh utama kekurangan air terhadap laju pertukaran karbon, yaitu pada
peningkatan tahanan stomata karena tertutupnya stomata. Bila kekurangan air
semakin parah, tahanan mesofil juga akan meningkat karena adanya kerusakan
permanen pada peralatan fotosintesis (Gardner et al., 1991).
Pertumbuhan merupakan resultante dari integrasi berbagai proses fisiologi
dalam tubuh tanaman bersama dengan faktor luar (Sitompul dan Guritno, 1991).
Menurut Fisher (1984) pertumbuhan merupakan proses total yang mengubah
bahan mentah (CO2, zat-zat mineral, air, dan radiasi matahari) secara kimia dan
menambahkannya dalam tanaman. Manifestasi pertumbuhan dinyatakan dalam
peningkatan ukuran secara permanen (Taiz dan Zeiger, 2002).
Menurut Sinclair (1994), ketersediaan cahaya matahari menentukan batas
maksimal hasil tanaman karena radiasi yang diintersepsi menyediakan energi
untuk fotosintesis. Laju perolehan massa pada tanaman tergantung jumlah energi
cahaya yang diabsorpsi oleh tanaman dan efisiensi penggunaannya untuk
menggunakan gas CO2 di atmosfir untuk proses fotosintesis dalam memproduksi
bahan kering. Menurut Charles-Edward et al. (1986) jumlah energi cahaya yang
diabsorpsi oleh tanaman bergantung pada jumlah energi cahaya yang datang dan
proporsi cahaya datang yang diabsorpsi, yang merupakan fungsi sederhana dari
indeks luas daun dan intersepsi cahaya oleh kanopi yang tergantung dari beberapa
faktor seperti arsitektur kanopi daun, inklinasi dan orientasi komponen daun.
Proporsi energi cahaya terintersepsi diabsorpsi oleh sel-sel di dalam daun yang
mengandung organel fotosintesis aktif, yaitu kloroplas.
Charles-Edward et al. (1986) mengemukakan bahwa proporsi energi
cahaya yang diabsorpsi untuk digunakan pada fotosintesis secara nyata juga
dipengaruhi oleh kerapatan dan distribusi sel-sel kloroplas di dalam volume daun.
Selanjutnya Salisbury dan Ross (1995) dan Jones (1992) mengemukakan bahwa
naungan menyebabkan terjadinya perubahan kandungan klorofil daun. Daun yang
ternaungi akan memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi, terutama klorofil b.
Menurut Elfarisna (2000) peningkatan kandungan klorofil a, klorofil b dan
penurunan rasio klorofil a dan b merupakan salah satu mekanisme adaptasi
tanaman yang mengalami cekaman naungan.
Sebagian
besar
klorofil
terdistribusi
dalam
daun
akan
tetapi
penyebarannya tidak merata, banyaknya klorofil pada pangkal daun akan berbeda
dengan ujung, tengah serta kedua tepi daun. Rupp dan Traenkle (1995)
mengemukakan bahwa besarnya kandungan klorofil dipengaruhi oleh umur daun,
kandungan klorofil akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur daun.
Peningkatan tersebut terjadi karena selama pertumbuhan daun dari awal
pembentukannya sampai pada umur tertentu, daun tanaman melakukan biosintesis
klorofil. Akan tetapi peningkatan ini akan terhenti pada saat daun tanaman
mengalami penuaan (Mohr dan Schopfer, 1995) karena penuaan daun akan
menyebabkan degradasi klorofil.
Norman dan Arkerbauer (1991) mengemukakan bahwa akumulasi
pertumbuhan tergantung dari total karbon yang difiksasi oleh fotosintesis. Fraksi
dari karbon tersebut dapat dikonversi ke dalam bobot kering walaupun hanya
sebagian karbon yang difiksasi untuk fotosintesis ada pada bobot kering tanaman
dan sebagian lagi karbon hilang melalui respirasi tanaman.
Charles-Edward (1982) dan Hale dan Orcutt (1987) mengemukakan
bahwa secara umum daun-daun yang tumbuh pada lingkungan dengan tingkat
cahaya datang rendah lebih tipis dan memiliki luas permukaan yang lebih lebar
dibandingkan daun yang tumbuh pada tingkat cahaya yang lebih tinggi. Menurut
Taiz dan Zeiger (2002) dan Salisbury dan Ross (1995) hal ini disebabkan oleh
pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil pada daun. Selanjutnya Hale
dan Orcutt (1987) mengemukakan bahwa cara ini untuk mengurangi penggunaan
metabolit dan mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang
direfleksikan.
Jika daun terlalu banyak, daun-daun bagian bawah tidak menerima cahaya
yang cukup untuk fotosintesis bersih sehingga daun-daun tersebut hanya berfungsi
sebagai sink. Jika indeks luas daun kumulatif mencapai level yang sangat tinggi,
respirasi daun-daun bagian bawah akan seimbang dengan fotosintesis daun-daun
bagian atas, akibatnya laju asimilasi bersih dan laju tumbuh tanaman menurun
sampai nol. Sitompul dan Guritno (1995) mengemukakan bahwa semakin tinggi
kerapatan di antara daun akan menyebabkan semakin sedikit cahaya yang sampai
ke lapisan daun bawah. Nilai indeks luas daun (ILD) > 1 menggambarkan adanya
saling menaungi di antara daun pada lapisan bawah tajuk serta mendapat cahaya
yang kurang sehingga menyebabkan laju fotosintesis yang lebih rendah
dibandingkan yang tidak ternaungi. Akan tetapi nilai ILD < 1 tidak berarti tanpa
naungan karena tergantung pada posisi dan bentuk daun.
Pada prinsipnya tanaman secara fisiologis dan morfologis mampu
beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Kemampuan adaptasi tanaman
ini secara indigenus karena adanya mekanisme di dalam tanaman akibat pengaruh
lingkungan. Tanaman yang ternaungi mengandung klorofil a dan b empat sampai
lima kali lebih banyak per unit volume kloroplas dan mempunyai rasio klorofil b/a
yang lebih besar dibandingkan tanaman cahaya penuh (Lawlor, 1987).
Individu daun dan kanopi daun tanaman berfungsi sebagai penangkap
cahaya, mengabsorbsi cahaya yang datang dan mengubahnya ke dalam bentuk
energi kimia yang stabil dan dapat disimpan. Energi cahaya yang dapat diserap ini
digunakan untuk fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat. Jika karbohidrat ini
hanya disimpan di jaringan daun maka struktur tanaman non fotosintetik atau
struktur yang fotosintesis rendah seperti akar, batang, dan bunga tidak dapat
berkembang atau berkembang sangat lambat. Oleh karena itu, karbohidrat harus
dapat dipindahkan dari daun dan diangkut ke bagian-bagian lain untuk
metabolisme sehingga terjadi proses pertumbuhan dan produksi tanaman. Wright
(1989) mengemukakan bahwa fotosintat hasil fotosintesis kanopi merupakan
sumber karbohidrat yang akan ditranslokasikan ke organ buah, batang, daun, dan
akar. Jumlah alokasi karbohidrat ke masing-masing organ tersebut tergantung dari
aktivitas organ spesifik. Pada tanaman, biji merupakan sink paling kuat, diikuti
daging buah, pucuk dan daun yang sedang tumbuh, kemudian kambium, akar dan
organ penyimpanan lainnya. Oleh karena itu pada saat pertumbuhan buah akan
terjadi peralihan arah pergerakan hasil fotosintesis. Selanjutnya Cline (1997)
mengemukakan bahwa pada tanaman pohon, batang pun merupakan sink terhadap
asimilat yang dihasilkan cabang lateral dan kekuatan ini dikendalikan oleh suatu
mekanisme pengendalian apikal.
Download