Keuangan Negara

advertisement
KEUANGAN NEGARA
B A B II
KEUANGAN NEGARA
1.
UMUM.
Kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka Repelita I ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi dan pembangunan ekonomi dengan tetap mengusahakan kemantapan stabilisasi
ekonomi. Di bidang fiskal, untuk mencapai tujuan itu antara
lain dilakukan dengan menjalankan kebijaksanaan anggaran
berimbang. Hal ini dimaksudkan agar seluruh pengeluaran
negara disesuaikan dengan penerimaan negara dari berbagai sumber sehingga tidak menimbulkan kegoncangan-kegoncangan harga dan moneter dalam negeri. Untuk meningkatkan pembangunan selama Repelita I, kebijaksanaan fiskal juga
telah dapat memobilisir dana dalam bentuk tabungan Pemerintah yakni selisih antara penerimaan dalam negeri dengan
pengeluaran rutin. Dengan demikian maka prinsip kebijaksanaan anggaran berimbang terus diselaraskan dengan usaha
untuk menciptakan dan meningkatkan tabungan Pemerintah.
Kebijaksanaan fiskal juga telah digunakan untuk menciptakan
iklim yang dapat mendorong tabungan masyarakat, kegiatan
investasi serta mempengaruhi arah penggunaannya. Di samping
itu, melalui kebijaksanaan fiskal telah diambil langkah-langkah
yang erat hubungannya dengan usaha pemerataan pendapatan,
perluasan kesempatan kerja dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Dengan kebijaksanaan anggaran berimbang yang mulai
dilaksanakan sejak tahun 1968 telah berhasil dihilangkan sumber utama inflasi yang berasal dari APBN. Dalam tahun 1967
dan 1968, tabungan Pemerintah belum dapat dihasilkan sehingga di dalam masa tersebut program-program pembangunan seluruhnya dibiayai dari dana bantuan luar negeri.
129
411231- (9).
Baru dalam tahun 1969/70 yaitu tahun pertama Repelita I,
penerimaan dalam negeri untuk pertama kalinya melebihi pengeluaran rutin, sehingga pengeluaran pembangunan tidak saja
dibiayai dengan dana bantuan luar negeri tetapi juga dengan
tabungan Pemerintah. Selama Repelita I realisasi penerimaan
dalam negeri dan pengeluaran rutin terus meningkat. Sejalan
dengan perkembangan tersebut tabungan Pemerintah yaitu selisih penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, semakin
meningkat pula. Tabungan Pemerintah tersebut ternyata telah
dapat membiayai bagian yang semakin besar dari pengeluaran
pembangunan. Dengan demikian maka APBN selama Repelita I
merupakan anggaran berimbang yang bersifat dinamis.
Secara ringkas perkembangan realisasi APBN selama tahun
1968 sampai dengan tahun 1973/74 dapat diikuti pada Tabel
II — 1 dan Grafik II — 1.
Penerimaan dalam negeri yang berjumlah Rp. 149,7 milyar
dalam tahun 1968 telah meningkat menjadi Rp. 243,7 milyar
dalam tahun 1969/70. Selanjutnya penerimaan dalam negeri
terus meningkat selama Repelita I sehingga mencapai jumlah
Rp. 967,7 milyar dalam tahun 1973/74 atau suatu peningkatan sebesar 546 persen apabila dibandingkan dengan tahun 1968.
Peningkatan tersebut dicapai melalui perbaikan sistim pemungutan pajak, administrasi yang lebih baik, dan penyesuaian
tarif pajak di samping pertumbuhan ekonomi itu sendiri serta
peningkatan hasil minyak bumi.
Pengeluaran rutin juga telah meningkat dari Rp. 149,7 milyar
dalam tahun 1968 menjadi Rp. 713,3 milyar di dalam tahun
1973/74 atau suatu peningkatan sebesar 376 persen. Hal ini
antara lain disebabkan oleh karena kebijaksanaan kenaikan
gaji pegawai negeri secara bertahap, peningkatan subsidi kepada daerah otonom, pembayaran bunga dan cicilan hutang
yang semakin meningkat, dan subsidi beras terutama untuk
tahun 1973/74.
Tabungan Pemerintah yang untuk pertama kalinya direalisir
sebesar Rp. 27,2 milyar dalam tahun 1969/70 telah meningkat
130
TABEL II - 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam milyar rupiah)
131
GRAFIK I I — 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1968 DAN 1969/70 — 1973/74.
132
menjadi Rp. 254,4 milyar dalam tahun 1973/74. Sebagai persentase terhadap jumlah dana pembangunan, maka tabungan
Pemerintah telah meningkat dari 23,0 persen dalam tahun
1969/70 menjadi 55,5 persen dalam tahun 1973/74. Dilain
pihak jumlah dana bantuan luar negeri yang terdiri dari nilai
lawan bantuan program dan bantuan proyek meningkat pula
akan tetapi sebagai persentase terhadap jumlah dana pembangunan menurun dari 77,0 persen menjadi 44,5 persen.
Tabungan Pemerintah yang semakin meningkat tersebut
telah pula memungkinkan peningkatan pengeluaran pembangunan.
Di samping penerimaan dan pengeluaran pembangunan dalam
bentuk rupiah terdapat pula penerimaan dan pengeluaran
dalam bentuk nilai lawan pembangunan proyek. Bantuan
proyek dipergunakan untuk mendatangkan peralatan dan
mesin-mesin dari negara-negara kreditor. Realisasi bantuan
proyek tersebut yang berjumlah Rp. 22,4 milyar dalam tahun
1968, telah meningkat menjadi Rp. 114,1 milyar dalam tahun
1973/74.
Sesuai dengan sasaran-sasaran Repelita I maka pengeluaran
pembangunan selama Repelita I terutama ditujukan kepada
peningkatan produksi pangan, Peningkatan rehabilitasi dan
pembangunan prasarana, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan pembangunan sosial.
Selama Repelita I kebijaksanaan fiskal juga digunakan secara sadar untuk meningkatkan kegairahan berusaha antara
lain melalui pemberian fasilitas fiskal bagi penanaman modal
di bidang-bidang yang produktif seperti : fasilitas bebas pajak,
penurunan tarif pajak perseroan secara umum, diperkenankannya penghapusan yang dipercepat, dan sebagainya. Dalam
rangka mendorong tabungan masyarakat, maka berbagai fasilitas pajak juga diberikan kepada deposito berjangka, sertifikat
deposito, Tabanas, dan Taska, berupa: pembebasan pajak pendapatan, pajak atas bunga, deviden, dan royalty (PBDR), dan
pajak perseroan atas bunga; pembebasan pajak kekayaan atas
133
deposito berjangka lebih dari satu tahun, Tabanas, dan Taska dan
tidak dilakukannya pengusutan fiskal terhadap asal usul
deposito dan tabungan.
Di samping itu diambil pula langkah-langkah untuk mengurangi akibat-akibat negatif dari pelbagai unsur kebijaksanaan
fiskal yang dapat merugikan kegiatan pembangunan, seperti
penghapusan sistim ADO, perbaikan di dalam tarif perpajakan,
dan sebagainya.
2.
PENERIMAAN DALAM NEGERI.
Sejak awal 1969170, kebijaksanaan fiskal ditujukan untuk
terus menerus meningkatkan penerimaan dalam negeri sehingga dapat diciptakan tabungan Pemerintah yang makin meningkat guna membiayai program-program pembangunan Repelita I. Di samping itu kebijaksanaan penerimaan negara juga
diarahkan untuk dapat merangsang tabungan masyarakat,
menggairahkan sektor swasta untuk melakukan kegiatan investasi dan mengembangkan usahanya di bidang-bidang yang
produktif, serta dapat meningkatkan pemerataan pendapatan
melalui pembagian beban pajak yang lebih adil. Dengan jalan
demikian, bukan saja investasi nasional secara keseluruhan
dapat ditingkatkan, tetapi penerimaan negara juga selanjutnya
akan meningkatkan dengan makin meningkatnya kegiatan
ekonomi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Dalam rangka usaha meningkatkan penerimaan negara yang
berasal dari perpajakan, maka selama Repelita I telah diadakan berbagai penyempurnaan di bidang sistim perpajakan.
Penyempurnaan tersebut ditujukan untuk menciptakan suatu
sistim perpajakan yang mengandung azas-azas keadilan membayar pajak, jelas dan sederhana cara pemungutannya, serta
mengandung unsur-unsur pendorong bagi kegiatan produktif.
Dalam hubungan ini antara lain telah disahkan lima undangundang dalam tahun 1970 yaitu Undang-undang No. 8 sampai
dengan 12 tahun 1970 mengenai pajak perseroan, pajak pendapatan, pajak deviden, penanaman modal using, dan penanam-
134
an modal dalam negeri serta peraturan pelaksanaannya sesuai
dengan irama pembangunan yang dijalankan. Berbagai tarif
pajak (pajak pendapatan, pajak perseroan, pajak penjualan, dan
bea masuk) disesuaikan untuk lebih mendorong pertumbuhan
dan perkembangan dunia usaha serta mendorong peningkatan
penerimaan negara pada umumnya.
Peningkatan penerimaan pajak juga ditempuh melalui
usaha ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak. Dasar pajak diperluas sejalan dengan perkembangan ekonomi,
perkembangan produksi serta pola konsumsi masyarakat. Jumlah wajib pajak ditingkatkan dan ditertibkan dengan memberikan surat pemberitahuan pajak dari pintu ke pintu kepada
wajib pajak yang belum tercatat pada tata usaha kantor inspeksi pajak. Untuk dapat memungut jumlah pajak yang seharusnya dan tunggakan-tunggakan pajak, dilakukan usaha-usaha intensifikasi pemungutan pajak. Usaha-usaha tersebut di
atas erat hubungannya dengan tingkat kesadaran masyarakat
membayar pajak. Di samping penyempurnaan peraturan dan intensifikasi serta ekstensifikasi pemungutan pajak, diadakan
pula perbaikan organisasi dan sistim kerja aparatur pelaksana.
Usaha-usaha kearah ini dilaksanakan antara lain dengan
pemecahan kantor-kantor inspeksi pajak, peningkatan ketrampilan melalui pendidikan serta penindakan terhadap
penyalahgunaan kedudukan. Akhirnya, telah pula diambil berbagai kebijaksanaan lainnya yang secara tidak langsung mempengaruhi penerimaan negara, seperti kebijaksanaan ekspor,
impor, kurs devisa, dan lain-lain.
Dengan berbagai kebijaksanaan dan tindakan tersebut, dalam Repelita I dapat dihimpun penerimaan dalam negeri
sebesar Rp. 2.574,6 milyar. Penerimaan tersebut terus menerus
meningkat setiap tahunnya yaitu dari Rp. 243,7 milyar dalam
tahun 1969/70 menjadi Rp. 344,6 milyar dalam tahun 1970/71
dan meningkat lagi dalam tahun-tahun 1971/72, 1972/73 dan
1973/74 menjadi Rp. 428,0 milyar, Rp. 590,6 milyar, dan
Rp. 967,7 milyar. Perkembangan yang pesat terjadi dalam
135
tahun 1970/71 dan 1973/74 antara lain oleh karena peningkatan
yang besar di dalam pajak perseroan minyak dan penerimaan pajak
ekspor dalam tahun 1970/71 serta peningkatan pajak perseroan
minyak dan penerimaan MPO dalam tahun 1973/74.
Dalam jangka panjang diusahakan agar penerimaan negara
yang bersumber dari pajak langsung terus meningkat sesuai
dengan azas perpajakan yang adil. Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan tanpa mengabaikan penerimaan pajak tidak langsung sebagai sumber penerimaan yang masih dapat ditingkatkan.
Dalam tahun 1973/74, penerimaan pajak langsung mencapai
realisasi sebesar Rp. 505,0 milyar yang berarti telah meningkat dengan Rp. 454,0 milyar atau menjadi hampir 10 kali
realisasi tahun 1968. Sejak tahun 1972/73 penerimaan pajak
langsung merupakan bagian penerimaan yang terbesar dibandingkan dengan pajak tidak langsung dan penerimaan lainnya.
Apabila dalam tahun 1969/70, penerimaan pajak langsung masih merupakan 37,5 persen sedangkan pajak tidak langsung
adalah 61,2 persen dari jumlah penerimaan dalam negeri, maka
dalam tahun 1973/74 pajak langsung telah meningkat menjadi
52,2 persen, sedangkan pajak tidak langsung menjadi 42,7 persen dari jumlah penerimaan dalam negeri (lihat Tabel II — 2
dan Grafik II — 2).
Tabel II — 3 dan Grafik II — 3 menunjukkan bahwa penerimaan dari semua jenis pajak langsung terus meningkat. Dalam
tahun 1968 maupun selama Repelita I, pajak perseroan minyak
tetap menyumbang penerimaan yang terbesar bila dibandingkan
dengan jenis pajak langsung lainnya. Dalam tahun 1970/71 dan
1971/72, penerimaan pajak langsung telah meningkat dengan
masing-masing 33,0 persen dan 48,7 persen. Dalam tahun-tahun
anggaran tersebut Ipeda belum dimasukkan ke dalam APBN dan
baru dimasukkan sejak tahun 1972/73. Di luar Ipeda, penerimaan pajak langsung dalam tahun 1972/73 telah meningkat, dengan 58,6 persen dan ,dalam tahun 1973/74 meningkat lagi
dengan 69,1 persen.
136
TABEL II — 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1968 dan 1969/70 — 1973/71
(dalam milyar rupiah)
R
E
P
E
L
I
T
A
I
Jenis
Jumlah Realisasi
Penerimaan
1968
Pajak
langsung
51.0
91,5
121,7
Pajak tidak
langsung
94,3
149,1
4,7
149,7
Non – tax
Jum1ah
1)
2)
1969/701)
1970/71
1971/72
1972/71
1973/74
181,0
302,22)
505,02)
1.201,4 2)
209,8
219,5
253,8
412,9
1.245,1
3,1
13,1
27,5
34,6
49,8
128,1
243.7
344,6
428,0
590,62)
967,7 2)
2.574,6 2)
S e j a k ta h u n p e rt a m a R e pe l i ta I , ta hu n a n g g a ra n d i ru b a h d a r i
Januari sampai dengan Desember menjadi April sampai dengan Maret
sejak tahun 1972/73 penerimaan pajak langsung (dan oleh karenanya
juga penerimaan dalam negeri) mencakup penerimaan IPEDA yang
tidak dimasukkan dalam anggaran tahun-tahun sebelumnya
(1969/70 — 1973/74)
GRAFIK II — 2
PENERANGAN DALAM NEGERI, 1968 DAN 1969/1970 — 1973/74
138
TABEL II — 3
PENERIMAAN PAJAK LANGSUNG, 1968 dan 1969/70 — 1973/74
(dalam milyar rupiah)
139
GRAFIK II — 3
PENERIMAAN PAJAK LANGSUNG
1968 dan 1969/70 — 1973/74
140
Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara maka selama Repelita I telah diambil berbagai langkah kebijaksanaan
penting di bidang pajak langsung. Langkah kebijaksanaan ini
antara lain berupa penyempurnaan peraturan-peraturan perpajakan, program peningkatan kesadaran membayar pajak, perluasan jumlah wajib pajak, dan intensifikasi pemungutan.
Penyempurnaan peraturan-peraturan perpajakan meliputi perbaikan struktur tarif, penyempurnaan organisasi, serta penyempurnaan sistim pemungutan dan administrasi pajak.
Perbaikan struktur tarif juga bertujuan untuk menciptakan
iklim fiskal yang semakin baik. Dalam tahun 1969/70, 1970/71
dan 1973/74 beban pajak pendapatan telah diturunkan dengan
merubah lapisan pendapatan kena pajak ,dan menaikkan jumlah
batas pendapatan bebas-pajak. Beban pajak kekayaan dan
pajak perseroan dalam tahun 1973/74 juga telah diturunkan
yaitu dengan merubah batas kekayaan bebas pajak dan dasar
tambahan laba kena pajak.
Peningkatan disiplin dan tingkat kesadaran wajib pajak terus
menerus diusahakan antara lain melalui menyempurnakan sistim
MPS — MPO. Dengan sistim MPS dimaksudkan agar wajib
pajak dapat dibimbing untuk lebih berdisiplin di dalam membayar pajaknya yang terhutang secara periodik. MPO dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan wajib pajak menghindari keharusan membayar pajaknya.
Dengan lebih mengintensifkan pemungutan pajak serta penertiban administrasi dan pengawasannya, ternyata hasil pungutan pajak pendapatan, yang terdiri dari pajak pendapatan
usahawan dan pajak pendapatan buruh, terus meningkat dari
tahun ke tahun walaupun beban pajaknya secara bertahap
telah diturunkan. Selama Repelita, I telah beberapa kali diadakan perubahan lapisan pendapatan-kena-pajak. Di samping
itu juga telah diberikan tambahan potongan beban pajak melalui perubahan batas pendapatan-bebas-pajak yang berlaku
bagi diri wajib pajak, isterinya dan setiap tanggungan yang
sah. Walaupun demikian, penerimaan pajak pendapatan tetap
141
menunjukkan perkembangan yang semakin meningkat setiap
tahunnya yaitu dari Rp. 12,1 milyar dalam tahun 1969/70 menjadi Rp. 13,4 milyar dan Rp. 17,4 milyar dalam tahun 1970/
71 dan 1971/72. Penerimaan pajak pendapatan ini meningkat
lagi dalam tahun 1972/73 dan 1973/74 menjadi Rp. 23,7 milyar
dan Rp. 34,4 milyar. Secara keseluruhan nampak bahwa selama
Repelita I, pajak pendapatan telah menghasilkan penerimaan
sebesar Rp. 101,0 milyar atau 8,4 persen dari seluruh penerimaan pajak langsung.
Pajak perseroan terdiri dari pajak perseroan perusahaanperusahaan negara, perusahaan swasta, dan perusahaan asing
tetapi tidak termasuk perusahaan-perusahaan minyak. Dalam
rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri maka Undang-undang No. 8 tahun 1970 telah memberikan berbagai fasilitas pajak, penurunan tarif pajak dan pembebasan pajak. Dalam rangka menghilangkan kepincangankepincangan perhitungan pajak dan menghilangkan akibat
inflasi di masa lalu, maka sejak bulan Juli 1971, badan-badan
usaha juga diperkenankan untuk menilai kembali aktiva tetapnya. Di dalam tahun yang sama juga ditetapkan dan diatur
mengenai MPS pajak perseroan dan MPS jasa bagi perusahaanperusahaan penerbangan dan pelayaran luar negeri. Di samping
itu ditetapkan pembatasan keringanan pajak terhadap perusahaan-perusahaan negara tertentu dalam rangka penanaman
modal dalam negeri. Untuk lebih meningkatkan kemampuan
bank-bank swasta di dalam pemupukan dana pembangunan
dan pemberian kredit, maka kepada bank-bank swasta nasional
yang melakukan perluasan usahanya juga diberikan kelonggaran pajak.
Segala keringanan-keringanan tersebut memang mempengaruhi
penerimaan pajak perseroan, namun diharapkan bahwa
kegiatan ekonomi dan kesadaran membayar pajak juga akan
lebih terangsang sehingga penerimaan pajak perseroan pada
akhirnya dapat ditingkatkan.
Realisasi penerimaan pajak perseroan terus meningkat setiap tahunnya dan mencapai Rp. 44,2 milyar di dalam tahun
142
1973/74 atau hampir 5 kali realisasi tahun 1968. Kenaikan yang
paling besar terjadi di dalam tahun 1973/74 sebesar Rp. 13,6
milyar hal ini disebabkan antara lain oleh adanya usaha intensifikasi yang telah dirintis sejak awal Repelita I serta perkembangan kegiatan ekonomi. Secara keseluruhan selama Repelita
I, penerimaan pajak perseroan telah menghasilkan penerimaan
sebesar Rp. 136,5 milyar atau 11,4 persen dari seluruh penerimaan pajak langsung.
Pajak perseroan minyak merupakan jenis penerimaan yang
terbesar dengan persentase kenaikan yang terbesar pula. Berkembangnya penerimaan pajak perseroan minyak antara lain
disebabkan karena peningkatan produksi dan ekspor minyak
serta pengaruh kenaikan harga ekspor minyak sebagai akibat
krisis bahan bakar pada umumnya. Pajak perseroan minyak
ini semula ditentukan sebesar 60 persen dari "net operating
income" dari perusahaan-perusahaan minyak. Berhubung dengan kenaikan harga minyak bumi maka ketentuan ini telah
dirubah sejak 1 Januari 1974 di mana bagian Pemerintah
ditingkatkan menjadi 85 persen, untuk bagian harga di atas
US $ 5 per barrel sedangkan untuk bagian harga sampai dengan US $ 5 per barrel Pemerintah tetap menerima 60% dari
”Net operating income”.
Selama lima tahun Repelita I, pajak perseroan minyak telah
mencapai jumlah Rp. 773,1 milyar yang berarti 64,3 persen dari
seluruh penerimaan pajak langsung. Di dalam perkembangannya berturut-turut selama lima tahun dari tahun 1969/70 sampai dengan 1973/74, pajak perseroan minyak telah menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 48,3 milyar, Rp. 68,8 milyar,
Rp. 112,5 milyar, Rp. 198,9 milyar, dan Rp. 344,6 milyar.
Penerimaan MPO merupakan penerimaan dari pungutan pajak pendapatan dan pajak perseroan dengan melalui perantara
badan-badan tertentu yang telah ditunjuk sebagai wajib pungut. Dengan demikian penerimaan MPO sebagai pajak langsung bukan merupakan suatu jenis pajak. Penerimaan MPO
berhubungan erat dengan tingkat kesadaran membayar pajak
143
dari masyarakat. Sistim ini dimaksudkan agar pembayaran
pajak pendapatan dan pajak perseroan menjadi lebih merata
sepanjang tahun dan dipungut pada setiap kali terjadi transaksi.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan MPO dilakukan
pengawasan yang lebih ketat atas majikan dalam penyetoran
MPO pajak pendapatan buruh-buruhnya, serta penyempurnaan
tarif MPO disesuaikan dengan beban pajak sebenarnya. Dalam
hubungan ini penunjukan wajib pungut MPO telah disederhanakan dan di dalam tahun 1971 ditetapkan bahwa bendaharawan proyek-proyek pembangunan, KBN/KPBN, Badan Urusan
Logistik, dan Bank Indonesia akan bertindak sebagai wajib
pungut. Peningkatan penerimaan MPO juga diusahakan antara
lain melalui perbaikan sistim pembayaran pajak, penambahan
loket pajak sehingga dengan demikian lebih memudahkan wajib
pajak dalam membayar pajaknya.
Dengan berbagai kebijaksanaan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha serta intensifikasi pemungutan dan peningkatan pengawasan, penerimaan MPO
berkembang menggembirakan. Penerimaan MPO yang di dalam
tahun 1969/70 berjumlah Rp. 15,3 milyar telah meningkat sehingga mencapai jumlah Rp. 56,8 milyar di dalam tahun 1973/
74. Secara keseluruhan, penerimaan MPO selama Repelita I
berjumlah Rp. 145,5 milyar atau 12,1 persen dari seluruh penerimaan pajak langsung.
Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) merupakan pajak atas
manfaat yang diperoleh dari penggunaan tanah dan merupakan penyempurnaan daripada pajak hasil bumi. Penerimaan
Ipeda mulai dimasukkan ke dalam APBN sejak tahun 1972/73
walaupun telah dilaksanakan sejak tahun 1967. Dengan dicantumkannya jenis penerimaan ini dalam APBN maka diharapkan agar pengerahannya dapat lebih tertib, efisien dan terarah. Pelaksanaan pungutan Ipeda dilakukan berdasarkan kerja
sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sedangkan hasil seluruhnya diserahkan kepada daerah untuk tujuan
rehabilitasi dan pembangunan.
144
Berkembangnya penerimaan Ipeda dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian dan kemajuan di sektor agraria dan pertambangan, serta makin intensifnya penggunaan tanah di kotakota. Untuk meningkatkan penerimaan Ipeda usaha-usaha
intensifikasi dan ekstensifikasi terus dilakukan di sektor-sektor
pedesaan, perkotaan, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Kebijaksanaan Ipeda di samping untuk meningkatkan penerimaan daerah, juga diarahkan untuk mendorong pembentukan modal dalam masyarakat dan menumbuhkan kesadaran
wajib pajak terhadap pembangunan di daerahnya. Dalam
tahun 1972/73 dan 1973/74, pungutan Ipeda telah mencapai
jumlah masing-masing Rp. 15,2 milyar dan Rp. 19,5 milyar.
Lain-lain pajak langsung terdiri dari pajak kekayaan dan
pajak atas bunga deviden dan royalty. Selama Repelita I Penerimaan yang berasal dari lain-lain pajak langsung ini mencapai
jumlah Rp. 10,6 milyar. Peranan pajak ini diharapkan akan semakin meningkat sejalan dengan perkembangan ekonomi pada
umumnya.
Penerimaan pajak tidak langsung sangat dipengaruhi oleh
perkembangan harga, produksi, perdagangan, dan perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya. Berbagai kebijaksanaan telah dilaksanakan selama Repelita I yang antara lain meliputi
penyempurnaan susunan tarif, ekstensifikasi dan intensifikasi
pemungutan, dan peningkatan kesadaran wajib pajak. Penyempurnaan tarif pajak tidak langsung diarahkan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan perekonomian pada
umumnya. Kebijaksanaan tarif juga dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan, baik antara harga barang-barang di
dalam negeri maupun terhadap harga barang-barang luar negeri. Peningkatan pajak tidak langsung ini khususnya pajak
penjualan mulai terasa semakin berat oleh karena semakin stabilnya harga-harga. Oleh karena itu maka usaha-usaha lainnya
perlu ditingkatkan seperti perluasan wajib pajak dan peningkatan kesadaran membayar pajak.
145
411234 - (10).
Kesadaran wajib pajak terus ditingkatkan dengan berbagai
bimbingan dan pemberian sanksi dan denda terhadap penghindaran beban yang telah ditetapkan. Di samping itu, telah ditunjuk pula badan-badan sebagai wajib pungut pajak tidak langsung untuk mengurangi kemungkinan penyelundupan pembayaran pajak.
Selama Repelita I telah dilakukan penurunan tarip dari berbagai jenis barang yang dikenakan bea masuk, pajak penjualan
dan pajak penjualan impor, serta pembebasan cukai atas sebagian hasil tembakau. Namun demikian karena perkembangan
perekonomian yang mantap, maka penerimaan pajak tidak
langsung selama periode tersebut terus berkembang dari
Rp. 149,1 milyar dalam tahun 1969/70 menjadi Rp. 412,9
milyar di dalam tahun 1973/74 sehingga seluruhnya di dalam
jangka waktu lima tahun mencapai jumlah Rp. 1.245,1 milyar
(lihat Tabel II — 4 dan Grafik II — 4) .
Pajak tidak langsung terdiri dari pajak penjualan, pajak penjualan impor, cukai, bea masuk, pajak ekspor, penerimaan minyak lainnya, dan lain-lain. Dari komponen-komponen tersebut,
bea masuk dan cukai merupakan komponen-komponen yang terbesar.
Selama Repelita I, penerimaan yang berasal dari pajak penjualan mencapai jumlah sebesar Rp. 146,5 milyar atau 11,8
persen dari jumlah pajak tidak langsung. Untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangan industri serta pemakaian barang-barang hasil dalam negeri, telah diadakan penurunan
tarif dan penggolongan kembali barang-barang hasil dalam negeri sesuai dengan perkembangan perekonomian pada umumnya. Kebijaksanaan tersebut juga dimaksudkan untuk melindungi barang-barang hasil dalam negeri dari persaingan
barang-barang impor. Perubahan yang terpenting adalah
penurunan tarif umum pajak penjualan dari 20 persen menjadi
10 persen.
Penerimaan pajak penjualan impor bergantung kepada perkembangan impor dan kebijaksanaan Pemerintah di bidang
146
TABEL II - 4
PENERIMAAN PAJAK TIDAK LANGSUNG, 1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam milyar rupiah)
R E P E L I T A
I
Jenis Penerimaan
Jumlah Realisasi
1968
1969/701)
1970/71 1971/72 1972/73 1973/74
(1969/70 - 1973/74)
1. Pajak penjualan
2. Pajak penjualan impor
9,2
6,0
15,1
15,9
18,3
22,1
24,0
22,4
34,5
27,8
54,6
50,7
146,5
3. Cukai
16,6
32,1
38,9
40,4
47,3
61,7
220,4
4. Bea masuk
37,3
57,7
70,7
69,4
73,2
128,2
399,2
5. Pajak ekspor
6. Penerimaan minyak lainnya
13,9
7,4
25,0
28,1
32,7
68,6
161,8
7,8
17,5
30,4
28,2
31,6
37,6
145,3
3,2
3,4
44
7,0
6,7
11,51
33,0
94,0
149,1
209,8
219,5
253,8
412,9
1.245,1
7. Lain-lain
J U M L A H
138,9
1) Sejak tahun pertama Repelita I, tahun anggaran dirubah dari
Januari sampai dengan Desember menjadi April sampai dengan Maret
147
GRA F IK I I — 4
PE N E RIMA A N PA JA K T IDA K LA N GSU N G.
1968 DA N 1 969/ 7 0 — 197 31 74
148
impor. Penyempurnaan tarif pajak penjualan impor dilaksanakan dalam tahun 1971, searah dengan kebijaksanaan tarif
pajak penjualan dalam negeri dan bea masuk dengan maksud
untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri dan
barang-barang hasil dalam negeri serta untuk lebih mempermudah dan mempercepat perhitungan pajaknya. Perkembangan yang penting adalah dilepaskannya kaitan antara pajak
penjualan impor dan tarif bea masuk sehingga tinggi rendahnya tarif bea masuk sesuatu barang tidak mempengaruhi pengenaan pajak penjualan impornya.
Seperti halnya dengan pajak penjualan, pajak penjualan
impor juga terus menunjukkan peningkatan sehingga mencapai
jumlah Rp. 138,9 milyar atau 11,2 persen dari penerimaan
pajak tidak langsung selama periode 1969/70 — 1973/74.
Penerimaan cukai merupakan sumber penerimaan pajak
tidak langsung yang terbesar di luar bea masuk. Jumlah penerimaan cukai selama Repelita I adalah Rp. 220,4 milyar atau
17,7 persen dan seluruh penerimaan pajak tidak langsung.
Meningkatnya penerimaan tersebut disebabkan oleh karena
pengaruh perkembangan produksi, penjualan barang-barang hasil
tembakau, gula, bir, dan alkohol sulingan.
Penerimaan cukai tembakau memegang peranan yang terbesar bila dibandingkan dengan jenis penerimaan cukai lainnya.
Untuk mendorong perkembangan industri basil tembakau,
telah diberikan .pembebasan sebagian terhadap cukai tembakau. Di samping itu pemberantasan rokok polos tanpa pita
cukai terus ditingkatkan. Kebijaksanaan lainnya untuk meningkatkan penerimaan cukai antara lain dengan menaikkan
harga dasar bagi penetapan cukai bir dan alkohol sulingan sejalan dengan perkembangan kwalitas dan harga jualnya.
Bea masuk merupakan penerimaan pajak tidak langsung
yang terbesar. Perkembangannya sangat dipengaruhi oleh
kebijaksanaan tarif dan impor pada khususnya serta kebijaksanaan stabilisasi dan pembangunan ekonomi pada umumnya. Di dalam masa stabilisasi, yang diutamakan adalah
149
impor bahan kebutuhan pokok dan barang konsumsi untuk
mengurangi tekanan inflasi. Untuk menunjang kegiatan pembangunan selama Repelita I, kebijaksanaan impor lebih diarahkan kepada impor bahan baku dan barang modal. Untuk itu
telah diberikan berbagai fasilitas bea masuk terhadap sejumlah
besar impor bahan baku dan barang modal. Tarif bea masuk
juga sebagian besar disesuaikan dan diturunkan dalam tahun
1969 dan 1970 di samping kelonggaran-kelonggaran lainnya seperti penangguhan pembayaran bea masuk, penghapusan pembayaran di muka pungutan pabean dan lain sebagainya. Usahausaha penyempurnaan tersebut selalu disesuaikan dengan
kepentingan produsen, peningkatan penerimaan negara, dan kepentingan rakyat banyak sebagai konsumen.
Selama Repelita I, bea masuk menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 399,2 milyar atau 32,1 persen dari seluruh penerimaan pajak tidak langsung. Walaupun tarif bea masuk mengalami beberapa kali penurunan, namun jumlah penerimaan
terus meningkat dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1970/71
oleh karena volume impor yang semakin meningkat. Dalam
tahun 1971/72, penerimaan bea masuk menurun dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh karena
semakin stabilnya harga-harga, berbagai kebijaksanaan pembebasan bea masuk dalam rangka penanaman modal dan penurunan tarif bea masuk dalam tahun 1971 disesuaikan dengan
kebutuhan industri dalam negeri dan untuk mengurangi masuknya barang secara tidak wajar karena tingginya tarif. Dalam
tahun 1973/74, penerimaan bea masuk meningkat dengan
pesat sekali oleh karena kenaikan volume impor dalam tahun
tersebut serta penyederhanaan sistim tarif bersamaan dengan
penggunaan klasifikasi barang dengan sistim Brussels Tarif
Nomenclature.
Pajak ekspor selain merupakan sumber penerimaan dalam
negeri
juga
sangat
erat
hubungannya
dengan
kebijaksanaan Pemerintah untuk mendorong ekspor. Oleh karena
itu maka selama Repelita I telah diusahakan untuk menurun-
150
kan pungutan atas ekspor secara bertahap. Dengan Peraturan
Pemerintah No. 16 tahun 1970 maka pungutan atas ekspor
sebesar 5 persen untuk Pemerintah Pusat dan pungutan ADO
sebesar 10 persen bagi Pemerintah Daerah dihapuskan dan sebagai gantinya dikenakan pungutan umum sebesar 10 persen.
Di samping itu, ekspor barang jadi dan kerajinan rakyat dibebaskan dari pengenaan pajak ekspor.
Selama Repelita I penerimaan Negara yang berasal dari pajak
ekspor telah mencapai realisasi sebesar Rp. 161,8 milyar atau
13,0% persen dari jumlah penerimaan pajak tidak langsung.
Dengan berbagai usaha untuk meningkatkan kwalitas barang
ekspor, penyederhanaan prosedur ekspor dap berbagai kebijaksanaan lain nya untuk mendorong ekspor, maka penerimaan pajak ekspor telah meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tahun
1969/70 penerimaan pajak ekspor masih merupakan sumber
penerimaan pajak tidak langsung yang terkecil (di luar penerimaan lain-lain) sebesar Rp. 7,4 milyar. Jumlah ini kemudian terus meningkat sehingga mencapai Rp. 68,6 milyar
dalam tahun 1973/74. Dalam tahun tersebut pajak ekspor
telah merupakan sumber penerimaan pajak tidak langsung
yang terbesar setelah bea masuk. Berkembangnya pajak ekspor
tersebut antara lain disebabkan oleh karena meningkatnya
volume ekspor seperti kayu, kopi, karat, timah dan sebagainya.
Penerimaan minyak lainnya diperoleh sebagai laba bersih
dari hasil penjualan bahan bakar minyak di dalam negeri.
Besarnya penerimaan tersebut ditentukan oleh besarnya biaya
pengadaan, harga dan volume penjualan bahan bakar minyak.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1970
maka dasar perhitungan biaya pengadaan menjadi semakin
tinggi. Di lain pihak, untuk mencapai keseimbangan yang wajar
antara harga-harga di dalam negeri, maka sejak tahun 1970
telah dilakukan beberapa kali perubahan harga penjualan bahan-bahan bakar dalam negeri sejalan dengan naiknya biaya
produksi pada umumnya. Akibatnya, penerimaan minyak lainnya masih menunjukkan peningkatan walaupun dengan laju
151
perkembangan yang lambat yaitu dari Rp. 17,5 milyar di dalam
tahun 1969/70 menjadi Rp. 37,6 milyar di dalam tahun 1973/74.
Secara keseluruhan penerimaan minyak lainnya adalah sebesar
11,7 persen dari penerimaan pajak tidak langsung selama Repelita I.
Termasuk di dalam lain-lain penerimaan pajak tidak langsung adalah penerimaan bea meterai, bea lelang, dan sebagainya. Penerimaan lain-lain ini terus menunjukkan peningkatan
selama Repelita I dan seluruhnya mencapai realisasi sebesar
Rp. 33,0 milyar atau 2,7 persen dari penerimaan pajak tidak
langsung.
Seluruh penerimaan dalam negeri lainnya yang tidak dapat
digolongkan sebagai pajak dimasukkan ke dalam penerimaan
non-tax. Penerimaan ini terdiri dari penerimaan-penerimaan
yang bersifat administratif seperti denda-denda dan bagian
penerimaan Pemerintah berupa laba dari perusahaan-perusahaan negara dan bank-bank Pemerintah. Penerimaan administratif ditingkatkan melalui penyempurnaan administrasi
dan pengawasan keuangan sedangkan bagian penerimaan yang
berupa laba perusahaan ditingkatkan melalui penertiban dan
pengawasan terhadap bentuk dan tata kerja perusahaan dan
bank-bank tersebut. Selama Repelita I penerimaan non-tax
mencapai jumlah 128,1 milyar atau kurang lebih 5 persen dari
seluruh penerimaan dalam negeri.
3. PENGELUARAN RUTIN
Pengeluaran rutin merupakan pengeluaran negara yang diperlukan untuk membiayai kegiatan dan pemeliharaan roda pemerintahan. Jenis pengeluaran ini meliputi belanja pegawai,
belanja barang, subsidi kepada daerah otonom, bunga dan cicilan hutang serta lain-lain pengeluaran yang bersifat rutin.
Di dalam tahun 1968, penerimaan dalam negeri hanya
cukup untuk membiayai pengeluaran rutin. Sejak permulaan
152
Repelita I Pemerintah telah menggariskan kebijaksanaan untuk melaksanakan pembangunan dengan sebagian pembiayaan berasal dari sumber penerimaan dalam negeri. Hal ini berarti bahwa di samping usaha-usaha untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri, perlu diadakan pula penghematan-penghematan di dalam pengeluaran rutin sehingga dapat tercipta
tabungan Pemerintah yang semakin meningkat. Penghematan
di dalam pengeluaran rutin ini selama Repelita I diusahakan
melalui perbaikan administrasi dan pengawasan penggunaannya. Dalam hubungan ini maka sejak tahun anggaran 1 9 7 3 / 7 4
administrasi pengeluaran rutin dilaksanakan dengan sistim
DIK (Daftar Isian Kegiatan).
Walaupun terus-menerus diusahakan penghematan, namun
disadari bahwa pengeluaran rutin pun harus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai. Setiap peningkatan hasil pembangunan memerlukan
biaya bagi peningkatan di dalam kesejahteraan aparaturnya,
peningkatan administrasi dan organisasinya maupun biaya bagi
pemeliharaan dan pengamanan hasil-hasil yang telah dicapai.
Oleh karena itu maka realisasi pengeluaran rutin yang dalam
tahun 1969/70 mencapai jumlah Rp. 216,5 milyar, dalam tahun
1 97 3 /7 4 realisasinya telah meningkat menjadi Rp. 71 3 ,3 m i ly a r
suatu kenaikan sebesar 229 persen dalam waktu empat tahun. Perkembangan realisasi pengeluaran rutin beserta komponen-komponennya dapat diikuti pada Tabel II — 5 dan
Grafik II — 5.
Program pokok dalam pelaksanaan pengeluaran rutin selama Repelita I adalah peningkatan gaji dan kesejahteraan pegawai negeri sipil dan ABRI secara bertahap sesuai dengan
kemampuan keuangan negara. Gaji dan kesejahteraan pegawai
negeri erat hubungannya dengan prestasi kerja, penegakan
disiplin kerja dan tuntutan tugas serta tanggung jawab yang
semakin berat sejalan dengan, makin luasnya pembangunan.
Tingkat gaji riil pegawai negeri sipil dan ABRI dalam masa
sebelum Repelita I adalah sangat rendah disebabkan oleh kare-
153
TABEL II— 5
PENGELUARAN RUTIN, 1968 dan 1969/70 — 1973/74
(dalam milyar rupiah)
REPELITAI
Jenis Pengeluaran
1. Belanja pegawai
2. Belanja barang
a. dalam negeri
b. luar negeri
3. Subsidi daerah otonom
a. Irian Jaya
a. daerah lainnya
4. Bunga dan cicilan hutang
a. dalam negeri
b. luar negeri
5. Lain-lain
JUMLAH
1)
154
1968
78,3
29,1
25,5
(4,6)
(20,9)
10,0
(1,9)
(8,1)
6,8
1969/701) 1970/71 1971/72 1972/73 1973/74
Jumlah Realisasi
(1969/70—1973/74)
103,8
50,3
(42,4)
(7,9)
44,1
(8,9)
(35,2)
14,4
(1,7)
(12,7)
3,9
131,4
62,6
(56,3)
(6,3)
56,2
(10,1)
(46,1)
25,6
(2,0)
(23,6)
12,4
163,4
67,1
(59,7)
(7,4)
66,8
(10,6)
(56,2)
46,6
(5,6)
(41,0)
5,2
200,4
95,5
(83,4)
(12,0)
83,9
(10,6)
(73,3)
53,4
(7,4)
(46,0)
5,0
268,9
110,1
(98,3)
(11,8)
108,6
(10,3)
(98,3)
70,7
(8,2)
(62,5)
155,0
867,9
385,5
(340,1)
(45,4)
359,6
(50,5)
(309,1)
210,7
(24,9)
(185,8)
181,5
14 216,5
288,2
349,1
438,1
713,3
2.005, 2
Sejak tahun pertama Repelita I 1969/70, tahun anggaran dirubah dari Januari sampai dengan Desember
menjadi April sampai dengan Maret.
GRAFIK II — 5
PENGELUARAN RUTIN, 1968 DAN 1969/70 — 1973/74
155
na derasnya laju inflasi pada waktu itu. Di dalam masa Repelita I telah dilaksanakan kenaikan gaji pegawai secara bertahap
sambil sekaligus melaksanakan program stabilisasi ekonomi.
Dengan demikian diharapkan bahwa kenaikan gaji tersebut
akan terasa manfaatnya bagi para pegawai negeri Sipil dan
ABRI. Pada akhir Repelita I, pengeluaran belanja pegawai telah
mencapai realisasi sebesar Rp. 268,9 milyar atau kurang lebih
2,6 kali realisasi pelaksanaan anggaran tahun pertama. Secara
keseluruhan belanja pegawai merupakan kurang lebih 43,3
persen dari jumlah pengeluaran rutin selama Repelita I. Perkembangan realisasi belanja pegawai dapat diikuti pada Tabel
II
6.
Walaupun perkembangan realisasi belanja pegawai selama
Repelita I terus-menerus menunjukkan kenaikan dan tetap merupakan bagian pengeluaran rutin yang terbesar, akan tetapi
dari tahun ke tahun menunjukkan beban yang tidak terlalu berat apabila dilihat dari segi peningkatan kemampuan penerimaan dalam negeri. Sebagai proporsi terhadap penerimaan dalam
negeri maka realisasi belanja pegawai telah menurun dari 42,6
persen dalam tahun 1969/70 menjadi hanya 27,8 persen dalam
tahun 1973/74.
Perkembangan pengeluaran belanja barang sejak tahun
1969/70 sampai dengan tahun 1973/74 selalu menunjukkan kenaikan sesuai dengan perkembangan kegiatan pembangunan
dan penyempurnaan aparatur pemerintahan. Dengan semakin
meningkat dan meluasnya kegiatan pembangunan maka kebutuhan akan biaya pemeliharaan, pengamanan, dan kelancaran
operasi proyek-proyek semakin meningkat pula. Di lain pihak,
penyempurnaan aparatur Pemerintah juga membutuhkan peningkatan jumlah dan mutu perlengkapan serta peralatan.
Dalam hubungan ini diambil kebijaksanaan untuk sedapat
mungkin membeli semua perlengkapan di dalam negeri sejauh
hal ini dapat memenuhi jenis, jumlah dan kwalitas yang diperlukan. Juga telah ditempuh kebijaksanaan untuk mengadakan
156
TABEL II - 6
BELANJA PEGAWAI, 1968 dan 1969/70-1973/74
(dalam milyar rupiah)
R E P E L I T A
JENIS PENGELUARAN
I
1968
Jumlah Realisasi
1969/70 1)
1970/71 1971/72
1972/73 1973/74
(1969/70 - 1973/74)
1. Tunjangan beras
35,3
28,8
33,5
31,9
31,3
50,6
176,1
2. Gaji, upah dan pensiun
30,3
56,4
70,6
99,7
131,6
173,9
532,2
9,1
10,7
12,1
14,6
16,8
65,9
10,8
14,5
17,3
20,2
66,6
5,2
5,6
7,4
27,1
163,4
200,4
268,9
867,9
3. Uang lauk pauk
4. Lain-lain belanja pegawai
3,8
11,7
dalam negeri
5. Belanja pegawai luar negeri
JUMLAH
1)
3,3
4,1
4,8
78,3
103,8
131,4
Sejak tahun pertama Repelita I, tahun anggaran dirubah dari Januari sampai dengan Desember
menjadi April sampai dengan Maret.
157
standardisasi peralatan
dapat ditingkatkan.
sehingga
efisiensi
penggunaannya
Realisasi belanja barang dalam tahun 1969/70 adalah sebesar Rp. 50,3 milyar, kemudian terus meningkat sehingga mencapai jumlah Rp. 110,1 milyar di dalam tahun 1973/74. Jumlah pengeluaran belanja barang di dalam masa 1969/70 1973/74 adalah Rp. 385,5 milyar atau 19,2 persen dari seluruh
pengeluaran rutin.
Subsidi daerah otonom juga merupakan komponen yang cukup besar, kurang lebih 17,9 persen dari pengeluaran rutin.
Pengeluaran ini dimaksudkan untuk membantu perluasan dan
penyempurnaan administrasi daerah agar mampu menampung
tugas-tugas pemerintahan umum dan pembangunan yang semakin luas. Dalam subsidi daerah otonom termasuk juga peningkatan gaji dan tunjangan beras pegawai daerah otonom.
Untuk lebih memeratakan tingkat perkembangan daerah maka
daerah Irian Jaya mendapatkan perhatian yang khusus. Subsidi
daerah otonom ini dalam tahun terakhir Repelita I mencapai
jumlah Rp. 108,6 milyar atau hampir 2,5 kali jumlah realisasi
tahun 1969/70.
Bunga dan cicilan hutang terdiri dari hutang-hutang luar negeri di samping hutang-hutang dalam negeri. Sebagian dari hutang-hutang luar negeri ini adalah hutang-hutang yang diwarisi dari masa sebelum tahun 1966. Untuk hutang-hutang tersebut telah dicapai persetujuan dengan hampir semua pihak
kreditur mengenai penundaan pembayarannya sehingga bebannya tidak mengganggu program stabilitasi dan pembangunan.
Hutang-hutang dalam negeri umumnya merupakan tagihan
beberapa perusahaan negara dan swasta yang merupakan
tunggakan pemerintahan yang lalu. Pemerintah pada prinsipnya akan melunasi semua hutangnya tanpa kecuali, hanya pelaksanaannya akan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara agar program stabilisasi dan pembangunan
tidak terganggu.
158
Bunga dan cicilan hutang selama Repelita I mencapai
jumlah Rp. 210,7 milyar, atau kurang lebih 10,5 persen dari
seluruh pengeluaran rutin jumlah ini sebagian besar terdiri
dari bunga dan cicilan hutang luar negeri. Dibandingkan dengan
jumlah penerimaan dalam negeri pembayaran bunga dan cicilan
hutang luar negeri sebesar 5,2 persen dalam tahun 1969/70 telah
meningkat menjadi 9,6 persen dalam tahun 1971/72 akan tetapi
kemudian menurun kembali dalam tahun 1972/73 dan 1973/74
menjadi masing-masing 7,8 person dan 6,5 person.
Lain-lain pengeluaran rutin menampung berbagai pengeluaran yang bersifat non departemental dan bersifat khusus misalnya pengeluaran untuk pengiriman surat-menyurat (biaya
porto) maupun dalam pelaksanaan tugas-tugas perbendaharaan,
penyelenggaraan Pemilihan Umum, iuran-iuran badan-badan
internasional, dan lain-lain. Realisasinya selama Repelita I mencapai jumlah Rp. 181,5 milyar atau 9,1 persen dari jumlah
pengeluaran rutin. Pengeluaran untuk Pemilihan Umum yang
lalu berjumlah Rp. 11,0 milyar dalam tahun anggaran 1970/
71 dan Rp. 4,7 milyar dalam tahun 1971/72. Dalam tahun
1973/74 saja, pengeluaran rutin lain-lain tersebut mencapai
jumlah Rp. 155,0 milyar di mana sebagian besar daripadanya
merupakan pengeluaran untuk subsidi impor komersiil bahan
pangan.
4.
TABUNGAN PEMERINTAH.
Tabungan Pemerintah selama Repelita I menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Hal ini adalah berkat hasil usaha-usaha yang telah dijalankan dalam meningkatkan penerimaan dalam negeri dan usaha-usaha penghematan
dalam pengeluaran rutin.
Dalam tahun 1968 belum berhasil diciptakan tabungan
Pemerintah oleh karena jumlah penerimaan dalam negeri hanya
mencukupi untuk membiayai pengeluaran rutin.
159
Dengan berlandaskan prinsip bahwa pembiayaan Repelita I
harus semakin banyak dibiayai oleh sumber-sumber dalam negeri, maka dalam tahun 1969 / 70 untuk pertama kalinya berhasil diciptakan tabungan Pemerintah sebesar Rp. 27,2 milyar.
Jumlah merupakan 29,3 persen daripada penerimaan pembangunan rupiah pada waktu itu atau 23,0 persen dari seluruh
dana pembangunan (termasuk bantuan proyek). Tabungan Pemerintah tersebut terns meningkat setiap tahunnya sehingga
mencapai Rp. 254,4 milyar dalam tahun 1973/74 atau 55,5
persen dari seluruh dana pembangunan (termasuk bantuan
proyek).
Perkembangan tabungan Pemerintah selama Repelita I bukan raja menunjukkan jumlah yang terus-menerus meningkat
akan tetapi juga mempunyai laju peningkatan yang lebih besar
dibandingkan dengan penerimaan bantuan luar negeri. Dengan
demikian maka bagian daripada pengeluaran pembangunan
yang dibiayai dengan tabungan Pemerintah menjadi semakin
besar pula.
5.
PENERIMAAN PEMBANGUNAN.
Penerimaan pembangunan terdiri dari tabungan Pemerintah
dan penerimaan luar negeri yang berupa nilai lawan bantuan
program. Seperti telah dikatakan peranan tabungan Pemerintah selama Repelita I telah menjadi semakin besar sedangkan
penerimaan luar negeri maupun dana bantuan luar negeri menjadi semakin kecil. Walaupun demikian, jumlah penerimaan luar negeri dan bantuan proyek masih tetap meningkat selama
Repelita I.
Dalam tahun 1968, jumlah penerimaan luar negeri adalah
sebesar Rp. 35,5 milyar. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi Rp. 65,7 milyar dalam tahun 1969/70, Rp. 70,8 milyar
dalam tahun 1970/71 dan Rp. 95,5 milyar di dalam tahun
1972/73. Dalam tahun terakhir Repelita I ternyata penerimaan
luar negeri menurun menjadi Rp. 89,8 milyar.
160
Jenis penerimaan ini terdiri dari devisa kredit, bantuan pangan serta bantuan bukan pangan dan mempunyai peranan
yang penting dalam pelaksanaan Repelita I, yaitu bahwa penerimaan ini di samping sebagai sumber penerimaan negara juga
sebagai alat stabilisasi harga.
Untuk merangsang permintaan masyarakat terhadap beberapa jenis devisa kredit maka telah diberikan perangsang berupa
kompensasi kerugian bagi penggunaan jenis-jenis devisa
tertentu. Di samping itu diadakan pula sistim "forward
sales" di mana pelunasan rupiahnya oleh pembeli dapat dilakukan tiga bulan kemudian.
Selanjutnya bantuan pangan berupa beras, tepung terigu,
gandum dan bulgur sampai dengan tahun keempat (sebelum
timbulnya masalah krisis pangan internasional) telah dapat
membantu program stabilisasi, khususnya stabilisasi harga
bahan pangan pokok, sedangkan rupiah hasil penjualannya
merupakan penerimaan pembangunan. Demikian pula bantuan
bahan non pangan seperti kapas, benang tenun dan pupuk.
Bantuan tersebut merupakan bahan baku yang sangat diperlukan untuk mencukupi kebutuhan industri sandang dan pelaksanaan program peningkatan pangan. Akan tetapi dengan
adanya krisis moneter internasional dan krisis pangan yang
melanda seluruh dunia maka jenis bantuan program, khususnya bantuan pangan, kemudian telah menjadi berkurang.
6.
PENGELUARAN PEMBANGUNAN
Tujuan pembangunan seperti yang telah tertera di dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara adalah untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat dalam rangka
meningkatkan kemakmuran bangsa.
Untuk itu diperlukan biaya yang semakin besar pada setiap
tahap pembangunan. Selain daripada itu, pengarahan pengguraannya adalah sangat panting agar sesuai dengan garis pembangunan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan tersebut di atas.
161
411234 - (11).
Pengeluaran pembangunan yang dibicarakan di sini adalah
pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek sedangkan
penggunaan bantuan proyek akan dibicarakan secara tersendiri. Pengeluaran pembangunan ini dilihat dari jenis-jenisnya
terdiri dari pengeluaran pembangunan melalui Departemen/
Lembaga termasuk Hankam, pengeluaran bagi daerah (termasuk bantuan pembangunan desa, bantuan pembangunan
kabupaten, bantuan pembangunan Dati I, bantuan pembangunan kepada Irian Jaya, dan Ipeda) , dan pengeluaran lainnya.
Perkembangan pengeluaran pembangunan di luar bantuan
proyek beserta jenis-jenisnya dapat diikuti pada Tabel II—7
dan Grafik II — 6. Secara keseluruhan, selama Repelita I
pengeluaran pembangunan telah meningkat terus sejalan dengan hasil-hasil penerimaan dalam negeri. Dalam tahun 1969/
70 realisasi pengeluaran pembangunan adalah sebesar Rp. 92,9
milyar. Jumlah ini kemudian terus meningkat dengan pesatnya
terutama di dalam tahun 1972/73 dan 1973/74 sehingga mencapai Rp. 336,8 milyar pada akhir Repelita I.
Pengeluaran pembangunan melalui Departemen dan Lembaga adalah jenis pengeluaran yang meliputi proyek-proyek yang
penyelenggaraannya dilaksanakan atau diatur oleh Departemen/Lembaga. Selama Repelita I, realisasi pengeluaran pembangunan jenis ini adalah sebesar Rp. 79,8 milyar dalam tahun
1969/70, kemudian terus meningkat hingga mencapai jumlah
Rp. 167,3 milyar dalam tahun 1973/74. Sebagai persentase terhadap jumlah pengeluaran pembangunan, pengeluaran melalui
Departemen/Lembaga ini telah menurun dari 85,9 persen di
dalam tahun 1969/70 menjadi 49,7 persen di dalam tahun 1973/
74. Di lain pihak bagian pengeluaran bagi daerah dan lain-lainnya telah menjadi semakin meningkat.
Pengeluaran pembangunan untuk daerah meliputi bantuan pembangunan desa, bantuan pembangunan kabupaten,
bantuan pembangunan Dati I, pembangunan Irian Jaya, dan
pembangunan melalui dana Ipeda. Kesemuanya ini merupakan
162
TABEL II - 7
PENGELUARAN PEMBANGUNAN 1 ), 1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam milyar rupiah)
R E P E LI T A
Jenis Pengeluaran
I
1968
1969/702) 1970/71
1971/72 1972/73 1973/74
Jumlah Realisasi
(1969/70-1973/74)
1. Pembiayaan Departemen/
Lembaga
35,5
3)
2. Pembiayaan bagi daerah
a. Bantuan desa
b. Bantuan Kabupaten
a. Irian Jaya
d. Sumb. pembangunan Dati I
e. Ipeda
3. Pembiayaan lainnya
a. Investasi melalui perbankan
b. Pembangunan sekolah dasar
c. Subsidi impor pupuk
d. Lain-lain
J U M L A H
35,5
79,S
5,5
(2,6)
(-)
(2,9)
(-)
(-)
7,6
(-)
(- )
(- )
(7,6)
83,0
32,7
( 5,6)
( 5,6)
( 0,8)
(20,7)
(- )
12,4
( 1,0)
(-)
(-)
(11,4)4)
102,6
37,3
( 5,3)
( 8,8)
( 2,4)
(20,8)
(- )
11,0
( 7,0)
(-)
(-)
( 4,0)
150,0
57,8
( 5,7)
(12,8)
( 3,3)
(20,8)
(15,2)
28,1
(22,5)
(-)
(- )
( 5,61
167,3
68,5
( 5,7)
(19,2)
( 3,3)
(20,8)
(19,5)
101,0
(40,8)
(17,2)
(33,0)
(10,0)
582,7
201,8
(24,9)
(46,4)
(12,7)
(83,1)
(34,7)
160,1
(71,3)
(17,2)
(33,0)
(38,6)
92,9
128,1
150,9
235,9
336,8
944,6
1) tidak termasuk bantuan proyek
2) Sejak tahun pertama Repelita I 1969/70, tahun anggaran dirubah dari Januari sampai dengan
Desember menjadi April sampai dengan Maret.
3) termasuk pembiayaan bagi daerah dan pembiayaan lainnya.
4) termasuk pembiayaan Bimas Gotong Royong sebesar Rp. 9,6 milyar.
163
164
jenis pengeluaran pembangunan yang sangat penting guna
membantu daerah dalam usaha untuk menciptakan kesempatan
kerja, memperbaiki prasarana daerah seperti jalan, jembatan,
irigasi, pengerukan sungai, pencegahan banjir, dan lain-lain
serta memberikan landasan yang kuat bagi tahap pembangunan berikutnya.
Program pembangunan bantuan desa sejak tahun 1969/70
diperhitungkan sebesar Rp. 100.000,— untuk tiap desa. Realisasinya selama Repelita I mencapai jumlah Rp. 24,9 milyar
atau rata-rata Rp. 5 milyar setiap tahunnya. Bantuan ini dimaksudkan untuk merangsang usaha desa yang produktif
dengan memanfaatkan potensi swadaya gotong-royong masyarakat pedesaan.
Di samping program bantuan pembangunan desa, sejak tahun 1970/71 dilaksanakan pula program bantuan pembangunan
kabupaten dan kotamadya dengan ketentuan Rp. 50,— per
jiwa. Bantuan ini terutama dimaksudkan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat daerah dalam usaha pembangunan,
memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan perekonomian. daerah. Dalam tahun pertama dilaksanakannya bantuan
tersebut telah dikeluarkan Rip. 5,6 milyar. Oleh karena hasilnya
cukup memuaskan dan mencapai sasaran yang dikehendaki
maka pada tahun 1971/72 bantuan tersebut dinaikkan menjadi
Rp. 75,— per jiwa sehingga realisasinya mencapai Rp. 8,8 milyar. Dalam tahun 1972/73 besarnya bantuan dinaikkan lagi
menjadi Rp. 100,— per jiwa dengan jumlah realisasi sebesar
Rp. 12,8 milyar. Pada akhir Repelita I, besarnya bantuan ditingkatkan lagi menjadi Rp. 19,2 milyar dengan dasar perhitungan Rp. 150,— per jiwa.
Selama ini di daerah tingkat II banyak proyek-proyek yang
perlu dibangun atau direhabilitasi dan yang secara ekonomis
dapat dipertanggung jawabkan. Berhasilnya bantuan pembangunan kabupaten mempunyai pengaruh yang positif terhadap
kelancaran hubungan antar kota kabupaten/kotamadya sehing-
165
ga sekaligus menunjang kegiatan perdagangan di daerahdaerah tersebut. Di samping itu potensi tenaga kerja di daerah
tersebut dapat pula dimanfaatkan.
Jenis bantuan pembangunan daerah lainnya adalah bantuan
pembangunan daerah tingkat I yang sebelum tahun 1 9 7 0 d i k e nal dengan istilah Alokasi Devisa Otomatis atau ADO. Selama
Repelita I, realisasi bantuan daerah tingkat I tersebut adalah
rata-rata sebesar Rp. 20,8 milyar setiap tahun.
Bantuan pembangunan kepada daerah Irian Jaya dimaksud
kan untuk membangun daerah tersebut agar tingkat hidupnya
dapat setarap dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Bantuan
tersebut digunakan untuk membangun proyek-proyek yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti proyek air
minum, tenaga listrik, dan lain sebagainya.
Jenis pengeluaran pembangunan daerah lainnya yang cukup
besar adalah pengeluaran pembangunan dengan dana Ipeda.
Dengan dimasukkannya dana Ipeda ke dalam APBN sejak
tahun 1972/73 maka jumlah tersebut dimasukkan baik sebagai
penerimaan maupun pengeluaran pembangunan. Dana ini sepenuhnya digunakan oleh daerah.
Jenis pengeluaran pembangunan lainnya dipergunakan untuk
penyertaan modal Pemerintah di dalam perusahaan, pembangunan sekolah dasar, subsidi impor pupuk, dan lain-lain. Penyertaan modal Pemerintah di dalam perusahaan dimaksudkan untuk menunjang proyek-proyek Pemerintah dan
swasta yang memperoleh prioritas dan pembiayaannya disa
lurkan melalui perbankan. Jumlah realisasi dalam tahun pertama, kedua dan ketiga Repelita I, masih rendah. Akan tetapi
dengan adanya kebijaksanaan Pemerintah untuk ikut
serta menunjang program tersebut jumlahnya ditingkatkan
sehingga mencapai Rp. 2 2 , 5 milyar d i dalam tahun 1972/73
dan Rp. 4 0 , 8 milyar d i dalam tahun 1973/74.
Untuk melengkapi bantuan pembangunan daerah maka di
dalam tahun terakhir Repelita I telah mulai dilaksanakan ban-
166
TABEL II - 8
PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR 1)
1968 dan 1969/70 - 1973/74
(dalam milyar rupiah)
1)
2)
3)
tidak termasuk bantuan proyek
se jak tahun pe rtama Repelita I, tahun anggaran dirubah dari Januari sampai dengan Desember
me njadi April sampai dengan Maret.
sejak tahun 1972/73 pengeluaran pembangunan daerah (dan oleh karenanya juga jumlah pengeluaran pembangunan) mencakup pengeluaran yang bersumber dari penerimaan IPEDA yang tidak dimasukkan dalam anggaran tahun-tahun sebelumnya.
167
tuan-bantuan khusus yang diarahkan bagi kegiatan-kegiatan
pembangunan tertentu. Dalam tahun tersebut antara lain telah
disalurkan uang sejumlah Rp. 17,2 milyar untuk membangun
gedung-gedung sekolah dasar di seluruh Indonesia.
Jenis pengeluaran pembangunan lain-lain digunakan untuk
kegiatan program keluarga berencana, statistik, pemetaan,
sensus dan lain-lain.
Pengarahan pengeluaran pembangunan selama 1969/70
— 1973/74 didasarkan kepada sarana-sarana Repelita I.
Program-program yang pokok adalah peningkatan produksi pangan, rehabilitasi dan pembangunan prasarana,
peningkatan pembangunan daerah, perluasan lapangan kerja,
dan peningkatan pembangunan sosial. Sesuai dengan sasaransasaran yang telah ditetapkan maka pembiayaan pembangunan
(termasuk bantuan proyek) telah diarahkan kepada sektorsektor pertanian dan prasarana yang menunjang pertanian
seperti pengairan, jalan, jembatan dan lain-lain. Di samping
itu sektor-sektor pembangunan daerah, listrik, perhubungan, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan dan keluarga
berencana serta sektor-sektor sosial lainnya juga mendapatkan perhatian yang besar. Perkembangan pengeluaran pembangunan selama Repelita I di luar bantuan proyek, dapat dilihat
pada Tabel II - 8.
7.
BANTUAN PROYEK
Bantuan proyek merupakan jenis bantuan luar negeri yang
dicatat sebagai penerimaan maupun sebagai pengeluaran
pembangunan. Bantuan ini diperoleh dalam bentuk peralatan
dan mesin-mesin yang didatangkan dari luar negeri untuk
proyek-proyek pembangunan tertentu baik di sektor pertanian,
irigasi, perhubungan, industri, listrik dan lain-lain.
Jumlah bantuan proyek tersebut selama Repelita I terus
mengalami kenaikan. Dalam tahun 1969/70 realisasi bantuan
proyek berjumlah Rp. 25,3 milyar dan jumlah ini terus meningkat hingga mencapai Rp. 114,1 milyar dalam tahun 1973/74.
Secara keseluruhan, jumlah realisasi bantuan proyek selama
168
Repelita I adalah sebesar Rp. 288,2 milyar (lihat Tabel II — 9
dan Grafik II — 7). Sektor-sektor yang paling banyak menggunakan bantuan proyek selama Repelita I adalah sektor listrik
(Rp. 119,2 milyar), perhubungan dan pariwisata (Rp. 88,0
milyar), industri dan pertambangan (Rp. 62,8 milyar), dan
pertanian (Rp. 59,7 milyar) jumlah bantuan proyek lainnya
digunakan untuk sektor-sektor perumahan dan kesejahteraan
sosial, pendidikan dan kebudayaan dan kesehatan dan keluarga
berencana.
Dari perkembangan realisasi bantuan proyek tersebut terlihat adanya kecenderungan dari negara-negara pemberi bantuan untuk lebih banyak memberikan bantuan proyek daripada
bantuan program. Akan tetapi meningkatnya bantuan proyek
juga membutuhkan dana rupiah yang semakin meningkat untuk
membiayai proyek-proyek tersebut. Hal ini berarti bahwa
penerimaan dalam negeri sebagai sumber pokok penerimaan
rupiah harus terus ditingkatkan.
169
TABEL II-9
REALISASI BANTUAN PROYEK, 1968 dan 19691'70 - 1.973/74
(Islam milyar rupiah)
R E P E L I T A
Sektor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1968
Pertanian dan irigasi
Industri dan Pertambangan
Tenaga Listrik
Perhubungan dan Pariwisata
Pendidikan dan kebudayaan
Perumahan dan kesejahteraan
sosial
7. Kesehatan dan keluarga
berencana
8. Lain-lain
JUMLAH
1)
170
1972/73 1973/74
Jumlah Realisasi
(1969/70-1973/74)
1969/701)
1970/71
7,5
1,3
5,5
7,4
-
6,8
4,4
4,1
8,5
0,3
8,6
5,4
9,8
16,7
0,2
13,9
8,2
6,1
13,0
1,9
11,8
18,6
59,7
16,1
8,9
21,5
2,2
28,7
27,5
28,3
1,5
62,8
119,2
88,0
6,1
0,7
0,6
0,8
1,6
1,4
2,7
7,1
-
0,6
-
-
0,3
-
0,4
-
1,0
5,8
2,3
5,8
45,0
62,3
114,1
288,2
22,41
25,3
41,5
1971172
I
Sejak tahun pertama Repelita I, tahun anggaran dirubah dari Januari
sampai dengan Desember menjadi April sampai dengan Maret.
171
Download