2 tinjauan pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue (Flaviviridae: Flavivirus Group); virus ini terdiri dari 4 serotip
: Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Penyakit ini ditularkan oleh salah satu nyamuk
rumah, Aedes aegypti, sebagai vektor utama, dan nyamuk kebun Aedes albopictus
sebagai vektor kedua. Nyamuk Aedes aegypti umumnya lebih dominan
populasinya di perkotaan dan sebaliknya Aedes albopictus di pedesaan (WHO,
2001).
Gejala penyakit DBD adalah demam mendadak, berlangsung 2-7 hari,
wajah kemerahan, nyeri kepala, punggung dan ulu hati. Perkembangan klinis
dapat sangat cepat, yaitu dengan disertai perdarahan bawah kulit dan mukosa
hidung dan usus dengan komplikasi, dan bisa berakhir fatal. Tingkat kematian
untuk pasien yang berlanjut dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) berkisar 210% (Mardihusodo, 2005).
Penyakit DBD, awalnya muncul di Filipina pada tahun 1953, kemudian pada
tahun-tahun berikutnya DBD menyebar ke banyak negara di Asia Tenggara dan
Pasifik Barat. Kini, demam berdarah (DB) dan DBD menjadi semakin meningkat
arti pentingnya dalam kesehatan masyarakat di daerah tropis dan subtropis seperti
di daerah Mediteranian Barat, Afrika dan Amerika (Mardihusodo, 2005).
Demam berdarah dengue sudah ada selama empat puluh tahun lamanya di
Indonesia semenjak tahun 1968, hingga saat ini jumlah kasus dan daerah yang
terjangkit terus meningkat. Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah dengue
terjadi setiap tahun di beberapa Provinsi dan KLB “Besar” terjadi pada tahun
1998 dan 2004 (jumlah kasus 79 480, jumlah kematian 800 orang). Pada tahun
2006 tercatat ada 113 640 kasus dengan 1 184 kematian. Incidence Rate (IR) = 52,
Case fatality Rate (CFR) = 1%. Tahun 2007, dari bulan Januari sampai dengan
bulan Mei tercatat 66 365 kasus dengan 738 kematian (CFR = 1.1%). Provinsi
tertinggi adalah DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sumatera Selatan dan Lampung (Kusriastuti, 2007).
Kusriastuti (2007) menyatakan mengapa laju kejadian demam berdarah
dengue terus meningkat, karena beberapa faktor yaitu; industrialisasi dimana
memakai bungkus sekali pakai, mobilitas manusia yang cepat, urbanisasi yang tak
terkendali, jumlah kapasitas nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
meningkat, pelayanan publik dan perilaku kebersihan kurang, serta limbah ban
dan plastik yang sulit hancur.
2.2 Vektor
Secara taksonomi Aedes sp termasuk filum Arthropoda (berkaki buku);
kelas: Hexapoda (berkaki enam); ordo: Dipteria (bersayap dua); subordo
Nematocera (antena filiform, segmen banyak); famili: Culicidae (keluarga
nyamuk); Subfamili : culicinae (termasuk tribus Anophelini dan Toxorynchitini);
tribus: Culicini (termasuk Generaculex dan Mansonia); Genus: Aedes (Stegomya);
spesies : Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Telur berwarna putih saat pertama
kali dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, panjang
kurang lebih 0.5 mm, dan diletakkan di dinding wadah (Service, 1996).
Gambar 2 Morfologi telur Aedes spp (Cutwa dan O’Meara, 2006)
Penelitian epidemiologi dan laboratoris masih ada beberapa jenis Aedes sp
yang dapat menyebarkan dengue, tetapi sampai saat ini Aedes aegypti dan Aedes
albopictus tetap merupakan vektor yang utama (Soegijanto, 2004).
Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes
(Ae.) dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemi yang
paling utama, namun spesies lain seperti Aedes albopictus, Ae. polynesiensis,
anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap
sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegypti semuanya mempunyai daerah
distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan
host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor
epidemi yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (WHO, 2001).
2.2.1 Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti bersifat antropofilik yaitu senang sekali pada manusia, dan
karbohidrat tumbuh-tumbuhan, karbohidrat diduga untuk sintesis energi yang
digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sedangkan darah manusia untuk
reproduksi. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiplebiters) dan menggigit pada siang hari (day biting mosquito). Nyamuk betina
menghisap darah pada umumnya tiga hari setelah kawin dan mulai bertelur pada
hari keenam. Dengan bertambahnya darah yang dihisap, bertambah pula telur
yang diproduksi (Judson, 1968).
Dalam ruang gelap nyamuk beristirahat hinggap pada kain yang
bergantungan. Nyamuk tertarik oleh cahaya terang, pakaian dan adanya manusia.
Perangsang jarak jauh karena bau dan zat-zat dan asam amino, suhu hangat dan
lembab. Jumlah telur yang dikeluarkan sekali waktu adalah sekitar 100-400 butir
(Brown, 1983).
Gambar 3 Nyamuk dewasa Aedes aegypti pada dorsal dada ada corak putih
bentuk siku (Cutwa dan O’Meara, 2006)
Aedes aegypti mempunyai skutelum trilobipalpus pada yang betina lebih
pendek daripada probosis, ujung abdomen nyamuk betina biasanya runcing, cerci
menonjol, tubuh berwarna gelap, thorax sering dengan noda-noda putih sewaktu
istirahat probosis dan badan dalam dua sumbu sisik sayap sempit panjang dengan
ujung runcing, mempunyai gambaran pita putih seperti alat musik harpa (lyre
shape) (Service,1996).
Telur Aedes aegypti pada suhu kamar yaitu 7.62 hari dan 9.62 hari
(Soekiman et al.1984). Dari telur sampai menjadi nyamuk tergantung situasi
lingkungan. Secara umum telur diletakkan pada dinding tandon air. Jika tidak ada
genangan air, telur akan bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan. Telur
menetas menjadi larva dalam dua hari. Umur larva 7-9 hari, kemudian menjadi
pupa. Umur pupa dua hari, lalu menjadi nyamuk. Umur nyamuk betina 8-15 hari,
nyamuk jantan 3-6 hari. Di laboratorium telur tersebut dapat menetas dalam 10
hari pada temperatur 28°C dan penelitian di lapangan ternyata dapat menetas lebih
lama yaitu sekitar 20 hari.
Larva Aedes aegypti mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri
dari gigi-gigi yang bergerigi (duri lateral) (Service,1996).
Gambar 4 Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai gigi sisir
dengan duri samping (Cutwa dan O’Meara, 2006)
Tempat kebiasaan bertelur dari dua vektor utama dengue agak berbeda.
Aedes aegypti bertelur di bak air jernih terutama bak air di kamar kecil (WC), bak
mandi, bak atau gentong tandon air minum. Aedes albopictus lebih senang
bertelur di kaleng yang dibuang. Hal itu sesuai dengan sifat Aedes aegypti yang
mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah (Brown,1983).
2.2.2 Ekologi Nyamuk Aedes aegypti
Wilayah Indonesia mempunyai iklim yang bervariasi dua musim,
temperatur, kelembaban, dan kecepatan angin berkaitan dengan siklus kehidupan
vektor penyakit DBD. Basil Loh dan Ren Jin Song (2001) cit Sucipto (2008)
melaporkan bahwa ada hubungan berarti antara populasi tempat kehidupan larva
positif Aedes aegypti dan Aedes albopictus dengan curah hujan. Hubungan yang
paling nyata terlihat pada faktor kelembaban, temperatur dengan jumlah jentik
Aedes sp.
Curah hujan; sangat penting untuk kelangsungan hidup nyamuk Aedes
aegypti, dan posisi Indonesia adalah sebagai wilayah tropis yang curah hujannya
sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah non tropis. Iklim hujan tropis
mempengaruhi peningkatan kehidupan arthropoda. Hujan akan memepengaruhi
naiknya kelembaban nisbi udara dan menembah jumlah tempat perkembangan
nyamuk Aedes sp di luar rumah. Telur-telur yang diletakan oleh nyamuk Aedes sp
yang pernah menghisap darah penderita DBD atau seseorang yang dalam
darahnya mengandung virus dengue (virDen) disebut viraemia pada akhir musim
hujan sebelumnya berpotensi untuk terinfeksi virDen secara transovarial dari
induknya pada musim hujan berikutnya. Suhu yang panas menyebabkan daur
hidup arthropoda menjadi pendek sama dengan memendeknya periode inkubasi
patogen, termasuk juga ketersediaan air sebagai tempat hidup larva. Banyak
spesies dengan berbagai jenis termasuk vektor dan patogennya, hidup di daerah
tropis sangat baik.
Pengaruh suhu/temperatur; nyamuk adalah binatang berdarah dingin dan
karenanya proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada
suhu lingkungan. Nyamuk tidak dapat mengatur suhunya sendiri terhadap
perubahan di luar tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan
nyamuk adalah 25-27 0C, pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada
suhu kurang dari 100C atau lebih dari 400C (Depkes RI, 2004). Penularan virDen
pada umunya terjadi di daerah tropis dan sub tropis, karena temperatur yang
dingin selama musim dingin membunuh telur dan larva Aedes aegypti.
Selain itu temperatur mempengaruhi reflikasi pathogen, maturasi, dan
periode infeksitas. Masa inkubasi ekstrinsik akan semakin pendek secara linier
dengan
meningkatnya
temperatur.
Temperatur
yang
meningkat
dapat
memperpendek masa harapan hidup nyamuk dan menggangu perkembangan
pathogen. Telur Aedes aegypti yang menempel pada permukaan dinding tempat
penampungan air yang lembab dapat mengalami proses embrionisasi yang
sempurna pada suhu 25-300C selama 72 jam. Telur yang telah mengalami
embrionisasi ini tahan terhadap kekeringan selama lebih dari satu tahun, dan akan
menetas menjadi larva dalam beberapa menit jika tergenang air (WHO, 1997).
Suhu optimum untuk propagasi virus pada nyamuk Aedes
aegypti di
laboratorium adalah 280C. Mourya dan Joushi (2002) membuktikan bahwa
semakin lama telur yang berasal dari nyamuk Aedes aegypti invektif virDen pada
suhu kamar, maka indek transmisi transovarialnya semakin tinggi. Adapun Thu et
al.(1998) membuktikan bahwa suhu dan kelembaban optimum untuk propagasi
virDen pada nyamuk Aedes aegypti di laboratorium adalah suhu dan kelembaban
yang di sesuaikan dengan suhu dan kelembaban pada musim hujan di Nyangon
dan Singapura.
Pengaruh kelembaban nisbi udara; adalah banyaknya kandungan uap air
dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kebutuhan kelembaban
yang tinggi mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembab dan basah
sebagai tempat hinggap atau istirahat. Pada kelembaban kurang dari 60% umur
nyamuk menjadi pendek (Depkes RI, 2004), sehingga tidak cukup untuk siklus
perkembang biakan virDen dalam tubuh nyamuk
Faktor kepadatan penduduk; juga sangat tinggi di beberapa negara daerah
tropis, yang menyebabkan kontak vektor dengan manusia sangat sering sekali.
Kepadatan penduduk atas dasar luas administratif, luas perkotaan, luas
pemukiman dan luas bangunan rumah mukim, dapat disusun hasil kepadatan
penduduk yang mengacu pada keputusan Menteri Pekerjaan Umum (anonim,
1979). Kepadatan dikategorikan dalam lima kelas, yaitu;
dikategorikan sangat
tinggi > 400 jiwa/Ha; dikategorikan tinggi 300-400 jiwa/Ha; dikategorikan sedang
200-300 jiwa/Ha; dikategorikan rendah 100-200 jiwa/Ha; dikategorikan sangat
rendah < 100 jiwa/Ha.
Inang; berhubungan dengan infeksi virDen ke manusia dan beberapa
spesies primata yang lebih rendah (kera), namun manusia merupakan inang
utama. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah pengidap virus yang tidak
menunjukan gejala atau hanya memperlihatkan gejala demam ringan karena
mereka bisa pergi kemana-mana, sehingga mobilitas yang tinggi di daerah
perkotaan memainkan peranan penting dalam penularan virDen dari pada
mobilitas Aedes aegyptisendiri (WHO, 2001).
Sebagian besar (90%) kasus DBD diderita oleh anak-anak di bawah usia 15
tahun, kematian akibat DBD mencapai kira-kira 25 000 jiwa per tahun dengan
Case Fatality Rate (CFR) rata-rata 5% (WHO,2001), namun sejak tahun 1996-
2004 mengalami pergeseran di Indonesia, DBD diderita juga pada golongan usia
> 15 tahun (Kusriastuti, 2005 ). Menurut Malvige et al. (2004) angka kesakitan
dan angka kematian akibat kasus DBD paling banyak diderita anak-anak dan
resiko kematian akibat DBD pada anak-anak 15 kali lipat dari pada orang dewasa,
selain itu kasus DBD sering dilaporkan pada wanita dari pada pria. Faktor
malnutrisi bukan merupakan predoposisi kejadian DBD, tapi kasus DBD sering
dilaporkan pada pasien-pasien penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan asma
bronchial.
2.3 Mekanisme Transmisi Virus Dengue
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada transmisi infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara yaitu nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai covektor (Mardihusodo et al.
2007).
Mekanisme transmisi virDen berlangsung secara horisontal dan vertikal
yang
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Transmisi virDen secara horisontal berlangsung dari nyamuk vektor kedalam
tubuh vertebrata (manusia dan kelompok kera tertentu) dan sebaliknya dari
vertebrata ke dalam tubuh vektor. Nyamuk mendapatkan virus pada saat
melakukan gigitan pada manusia (vertebrata) yang pada saat itu sedang
mengandung virDen di dalam darahnya (viraemia). Virus yang sampai ke dalam
lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau berkembang
biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar ludah. Virus
yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke dalam kulit tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk. Mekanisme transmisi vertikal dalam tubuh
nyamuk. Arbovirus tersebut dapat ditularkan oleh nyamuk betina ke pada telurnya
(transovarial), yang nantinya akan menjadi nyamuk, tingkat infeksi ini melebihi
80% (Beaty et al. 1996).
Gambaran ultra struktur menunjukkan virus pertama kali mengalami
replikasi di dalam usus tengah nyamuk vektornya. Virus sesampai di haemocoel
dan haemolymph, kemudian menyebar ke jaringan-jaringan antara lain sistem
saraf, kelenjar ludah, usus depan, usus tengah, badan lemak, sel-sel epidermis,
ovarium, bagian dalam dinding sel nyamuk. Virus tidak dijumpai di muskulus,
usus belakang, dan tubuli malfigi (Malvige et al. 2004).
G
E
D
F
C
B
A
H
E
Gambar 5 Skematis perjalanan arbovirus pada nyamuk, Beaty et al. (1996)
A=usus depan; B= lumen usus tengah; C= membran sel epitel lambung;
D=jaringan epitel lambung/usus tengah; E= hemocoel; F= tubuli malfigi; G=
toraks; H= kelenjar saliva
Menurut Beaty et al. (1996) virus mengalami replikasi di usus tengah
selama 3 hari dari mulai masuknya virus ke nyamuk, selanjut pada hari ke-3-6
menyebar ke haemocoel, hari ke-6-9 menyebar kejaringan saraf, badan lemak,
jantung, sel perikardium dan ovarium, hari ke-9-12 virus berada pada kelenjar
ludah dan siap untuk ditularkan.
Gambar 6 Skematis waktu perjalanan arbovirus pada nyamuk (Beaty et al.1996)
Khin dan Than (1983), melakukan penelitian pertama kali tentang
transovarial di alam dengan metode direct fluorescence antibody test (DFAT)
dengan menginjeksikan virus pada nyamuk Toxorynchites splendens virDen
serotip 2 (Den-2) yang diisolasi dari kumpulan larva Aedes aegypti di Yangoon,
Myanmar, transmisi diperkirakan juga bisa tejadi secara vertikal (transovarial).
Menurut Leake (1984) mekanime transmisi transovarial arbovirus pada
nyamuk ada tiga macam :
1. Nyamuk betina yang belum terinfeksi mengisap darah inang viremia, virus
replikasi dalam nyamuk dan telur terinfeksi menghasilkan larva yang infeksius.
2. Nyamuk betina yang belum terinfeksi kawin dengan nyamuk jantan yang
terinfeksi secara transovarial dan selama nyamuk kawin terjadi transmisi secara
seksual (venereal), sebagai akibatnya ovarium nyamuk betina terinfeksi virus.
3. Nyamuk betina mengalami infeksi virus jaringan ovariumnya dan terpelihara
sampai generasi berikutnya secara genetik.
Transmisi transovarial virDen pada awalnya dianggap tidak berperan bagi
epidemiologi dengue.
Informasi terakhir menunjukkan bahwa
transmisi
transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes albopictus terdeteksi 7-41 hari
sebelum kasus Dengue pertama kali dilaporkan, sedangkan transmisi transovarial
virDen pada nyamuk Aedes aegypti berperan dalam meningkatkan dan
mempertahankan epidemik dengue (Lee & Rohani, 2005).
Penelitian di Thailand oleh Watt et al. (1985) pada nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus di wilayah perkotaan dan pedesaan menunjukkan hasil
negatif; virus Dengue tidak terisolasi dari 5 766 ekor larva, 39 pupa, atau 85
Aedes aegyptijantan. Tetapi virDen-2 berhasil diisolasi dari 14 ekor nyamuk
betina Aedes aegyptiyang dikoleksi dari 8 rumah (dari 35 rumah yang disurvei) di
Bangkok. Peneliti lain, Jousset (1981) pada penelitian eksperimental di
laboratorium menunjukkan bahwa virDen-2 dapat ditularkan secara transovarial
oleh 4 strain nyamuk Aedes aegypti meskipun kisarannya rendah, 0.3-1.2%.
Rosen et al. (1983) dalam studi eksperimental juga menunjukkan ada bukti bahwa
nyamuk Aedes aegypti berkemampuan menularkan virus Den-1 secara
transovarial. Belum lama ini, Joshi et al.(2002) melaporkan eksperimentasinya di
laboratorium bahwa virDen-3 secara persisten ditularkan secara transovarial yang
meningkat frekuensinya sampai F-7 kemudian tetap (persisten) infeksinya pada
generasi-generasi (F) berikutnya. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa
transmisi transovarial berpotensi sebagai pendukung pemeliharaan endemisitas
DBD, dengan nyamuk Aedes aegypti berlaku sebagai reservoir virDen sepanjang
waktu.
Transmisi transovarial virDen di Indonesia di alam dibuktikan oleh
Umniyati
(2004)
di
Kelurahan
Klitren,
Yogyakarta
dengan
metode
Imunositokimia-imunoperoksidase streptavidin biotin complex (IISBC) pada
sediaan pencet kepala (head squash), yang kemudian metode ini dibakukan oleh
Umniyati. Penelitian selanjutnya dengan metode yang sama oleh Widiarti et
al.(2006) di Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota
Salatiga ditemukan adanya transmisi DBD secara transovarial dengan persentase
angka infeksi (infection rate) berkisar 0.66-8.77%, dan juga oleh Mardihusodo et
al.(2007) di beberapa kelurahan Kota Yogyakarta juga ditemukan telah terjadi
transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, dengan angka infeksi 38.5-70.2%.
Menurut Mardihusodo et al.(2007) transmisi juga tejadi secara vertikal
(transovarial), yaitu dari nyamuk Aedes
aegyptibetina gravid yang terinfeksi
virDen sebagai induk ke ovum (telur) dalam uterus nyamuk itu, yang akhirnya
berpropagasi dalam embrio dalam telur, selanjutnya virDen menggunakan larva
sampai imagonya sebagai medium hidup untuk perbanyakannya. Manusia bisa
terinfeksi virus Dengue sewaktu pertama kali nyamuk yang muncul dari pupanya
dalam air menggigit dan mengisap darah.
2.4 KLB Demam Berdarah Dengue
Kejadian berjangkitnya demam berdarah dengue di suatu tempat dapat
menimbulkan ledakan jumlah penderitanya. Dalam ukuran tertentu, ledakan
jumlah penderita di suatu wilayah dibandingkan dengan jumlah kejadian di tempat
yang sama pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya, di Indonesia kejadian
itu disebut sebagai Kejadian Luar Biasa. Departemen Kesehatan mendefinisikan
Kejadian Luar Biasa sebagai berikut: “Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah suatu
kejadian
kesakitan/kematian
dan
atau
meningkatnya
suatu
kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok
penduduk dalam kurun waktu tertentu” (Peraturan Menteri Kesehatan No.
949/Menkes/SK/VIII/2004).
Kriteria penetapan KLB Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut:
(1) timbulnya penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang sebelumnya tidak
ada di suatu daerah Tingkat II, (2) Adanya peningkatan kejadian kesakitan DBD
dua kali atau lebih dibandingkan jumlah kesakitan yang biasa terjadi pada kurun
waktu yang sama tahun sebelumnya (Peraturan Menteri Kesehatan No.
1202/Menkes/SK/VIII/2002).
2.5 Ovitrap (perangkap telur nyamuk)
Salah satu upaya untuk memutus siklus perkembangan nyamuk itu bisa
dengan menggunakan ovitrap, atau perangkap telur dan larva nyamuk, khususnya
untuk Aedes aegypti. Ovitrap telah umum digunakan dan diproduksi secara massal
di Singapura dan Malaysia. Di sana, ovitrap dikenal dengan nama Mosquito
Larvae Trapping Device (MLTD). Ovitrap berarti perangkap telur (ovum= telur,
trap= perangkap) terbukti menekan pertumbuhan nyamuk hingga 50%. Ovitrap
memang merupakan sebuah metode yang diterapkan di Taiwan (dan sebenarnya
memang bukan metode yang baru di Indonesia) sebagai salah satu bentuk
surveillance untuk mengetahui distribusi dan kepadatan vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus (Nusa, 2005).
Perangkap telur nyamuk (Ovitrap) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebuah gelas volume 250 ml dicat hitam bagian luarnya, diisi air hujan
sepertiganya, lalu dipasangi kertas pita kertas saring berukuran 5 cm x 20 cm
dipasang melingkar penuh di dalam gelas sebatas permukaan air sebagai ovistrip.
Untuk keperluan survailans ovitrap dipasang di dalam rumah sebanyak 3 buah dan
3 buah di luar rumah untuk tiap rumah. Setelah seminggu pemasangan, ovitrap
diperiksa adanya telur pada kertas saring. Ovitrap digunakan juga untuk
mendeteksi adanya Aedes aegypti dan Aedes albopictus dimana kepadatan
populasinya rendah dan survey jentik kebanyakan tidak produktif. Ovitrap dapat
digunakan
untuk
mengevalusi
keberhasilan
pengendalian
vektor
dan
memperkirakan kepadatan populasi nyamuk (Mardihusodo et al. 2007). Gambar 7
dan 8 adalah Ovitrap yang digunakan dalam penelitian.
Gambar 7 Ovitrap dengan kertas saring
Gambar 8 Pemasangan Ovitrap
2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) Penginderaan jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan
menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak
langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji.
Penginderaan jauh bisa dikatakan sebagai Ilmu karena memiliki berbagai
karakteristik yang jelas. Karakteristik yang jelas itu antara lain terdapat pada
lingkup studinya, konsepsi dasarya, metodologi, serta filosofinya. Bila
Peninginderaan jauh digunakan oleh pakar lain untuk menopang penelitian atau
pekerjaannya, maka penginderaan jauh merupakan teknik bagi mereka. Misalnya
seorang pakar lingkungan hidup yang menggunakan bantuan citra satelit untuk
mengetahui kerusakan hutan.
2.6.1 Sistem Penginderaan Jauh dan Komponennya
Sistem penginderaan jauh ialah serangkaian komponen yang digunakan untuk
penginderaaan jauh. Rangkaian komponen itu berupa tenaga, obyek, sensor, data,
dan pengguna data (Prahasta, 2008). Gambar 9 menunjkana rangkaian komponen
dalam sistem penginderaan jauh.
Gambar 9 Rangkaian komponen dalam system penginderaan jauh
a. Sumber tenaga
Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga, baik sumber tenaga
alamiah (sistem pasif) maupun sumber tenaga buatan (sistem aktif). Tenaga ini
mengenai objek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke sensor.
Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu (jam,
musim), lokasi, dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang
hari lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah pada pagi atau sore hari.
Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan
perubahan musim. Pada musim di saat matahari berada tegak lurus di atas
suatu tempat, jumlah tenaga yang diterima lebih besar bila dibanding dengan
pada musim lain di saat matahari kedudukannya condong terhadap tempat itu.
Di samping itu, jumlah tenaga yang diterima juga dipengaruhi oleh letak
tempat di permukaan bumi. Tempat-tempat di ekuator menerima tenaga lebih
banyak bila dibandingkan terhadap tempat-tempat di lintang tinggi.
Kondisi cuaca juga berpengaruh terhadap jumlah sinar yang mencapai bumi.
Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap, dan awan, maka akan semkin
sedikit tenaga yang dapat mencapai bumi.
b. Atmosfer
Sebelum mengenai obyek, energi yang dihasilkan sumber tenaga merambat
melewati atmosfer. Atmosfer membatasi bagian sektrum elektromagnetik yang
dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Pengaruh atmosfer merupakan
fungsi panjang gelombang dan bersifat selektif terhadap panjang gelombang
c. Interaksi antara tenaga dan Obyek.
Tiap obyek mempunyai karakteristik tertentu dalam memantulkan atau
memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek pada dasarnya dilakukan
dengan menyidik (tracing) karakteristik spektral objek yang tergambar pada
citra.
d. Sensor.
Tenaga yang datang dari objek di permukaan bumi diterima dan direkam oleh
sensor. Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum
elektromagnetik. Di samping itu juga kepekaan berbeda dalam mereka obyek
terkecil yang masih dapat dikenali dan dibedakan terhadap obyek lain atau
terhadap lingkungan sekitarnya. Kemampuan sensor untuk menyajikan
gambaran obyek terkecil ini disebut resolusi spasial. Semakin kecil obyek yang
dapat direkam oleh sensor menandakan semakin baik kualitas sensor tersebut.
Berdasarkan proses perekamannya, sensor dibedakan menjadi sensor fotografik
dan sensor elektronik. Sensor fotografik proses perekamannya berlangsung
secara kimiawi. Tenaga elektromagnetik diterima dan direkam pada lapisan
emulsi film yang bila diproses akan menghasilkan foto. Sedangkan sensor
elektronik menggunakan tenaga elektrik dalam bentuk sinyal elektrik. Sinyal
elektrik yang direkam pada pita magnetik ini kemudian dapat diproses menjadi
data visual maupun menjadi data digital yang siap dikomputerkan.
Lillesand dan Kiefer (1979) mengemukakan beberapa kelebihan sistem
fotografik dan sistem elektronik. Keuntungan sistem fotografik yakni: (1)
caranya sederhana, (2) tidak mahal, (3) resolusi spasialnya baik, dan (4)
integritas geometriknya baik. Sistem elektronik mempunyai kelebihan dalam
hal penggunaan spektrum elektromagnetik yang lebih luas, kemampuan yang
lebih besar dan lebih pasti dalam membedakan karakteristik spektral obyek,
dan proses analisis yang lebih cepat karena digunakannya komputer.
2.6.2 Komponen Penginderaan Jauh
a. Perolehan data
Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan interpretasi
secara visual, dan dapat pula dilakukan dengan cara numerik atau cara digital
yaitu dengan menggunakan komputer. Foto udara umumnya diinterpretasi
secara manual, sedang data hasil penginderaan secara dapat diinterpretasi
secara manual maupun secara numerik.
b. Pengguna data.
Keberhasilan aplikasi penginderaan jauh terletak pada dapat diterima atau
tidaknya hasil penginderaan jauh itu oleh para pengguna data. Kerincian,
keandalan, dan kesesuainnya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan
diterima atau tidak diterimanya data penginderaan jauh oleh para penggunanya.
Berdasarkan cara pengumpulan datanya, sistem penginderaan jauh dapat
dibedakan atas tenaga dan wahana yang digunakan dalam penginderaaan.
Berdasarkan tenaga yang digunakan, sistem tersebut dibedakan atas yang
menggunakan tenaga pantulan dan yang menggunakan tenaga pancaran.
Sedang berdasarkan wahananya maka sistem penginderaan jauh dibedakan atas
sistem penginderaaan dari dirgantara (airborne system) dan dari antariksa
(spaceborne system) (Sutanto, 1994). Berdasarkan analisis datanya maka
penginderaan jauh dibedakan atas cara interpretasinya, yaitu interpretasi secara
visual dan interpretasi secara numerik.
2.6.3 Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Kegunaan
citra
penginderaan
jauh
antra
lain
sebagai
berikut:
a. Sebagai alat bantu dalam menyusun teori
Teori adalah serangkaian peryataan tentang hubungan antara dua gejala atau
lebih yang dibuat dengan tingkat kepercayaan tertentu. Teori tersebut disusun
berdasarkan penelitian yang dibuat dengan tingkat kepercayaan antara teori dan
fakta.
b. Sebagai atau untuk menemukan fakta.
Citra yang menyajikan gambaran lengkap merupakan sumber data yang dapat
diinterpretasi secara cepat.
c. Sebagai alat penelitian
Citra yang menyajikan gambaran sinoptik merupakan alat yang baik dalam
memberikan rekaman objek, gejala, atau daerah.
d. Sebagai dasar penjelasan
Citra yang menyajikan gambaran lengkap dengan wujud dan letak yang mirip
wujud dan letak sebenarnya merupkan alat yang baik sekali untuk memahami
letak dan susunan gejala di muka bumi.
e. Sebagai alat dalam prediksi pengendalian.
Citra merupakan alat bantu secara visual yang bermanfaat di dalam prediksi
dan pengendalian, yaitu sebagai abstraksi kondisi masa yang akan datang dan
sebagai peta kerja.
Remote sensing telah memberikan kemungkinan pemantauan berbagai
fenomena permukaan bumi dengan cepat dan akurat. Berbagai bidang ilmu yang
langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bumi (geo, land) dapat
mengambil manfaat dari remote sensing. Alasan yang mendorong pemanfaatan ini
antara lain (Sutanto, 1994):
a. Daerah yang luas pada permukaan bumi dapat diamati dari titik pandang yang
baik (dari angkasa) dan dicitrakan dengan jelas;
b. Beberapa sensor yang dikembangkan memiliki sensitifitas untuk mengukur
gelombang elektromagnet yang tidak dapat ditangkap oleh mata manusia;
dengan demikian sifat-sifat yang “tak nampak” pada permukaan bumi pun
dapat terekam;
c. Dalam satu citra objek-objek yang tergambar dapat dipantau dalam satu
hubungan keruangan;
d. Pengambilan citra dapat dilakukan dalam waktu yang berbeda (multitemporal), sehingga memungkinkan untuk melihat situasi suatu daerah dimasa
lalu serta dapat melakukan penggambaran ulang (rekonstruksi) sifat-sifat
tertentu objek-objek yang diamati.
Satelit penginderaan jauh yang ada menghasilkan citra dengan berbagai
macam resolusi (resolusi spasial, spektral dan temporal). Resolusi spasial pada
citra terkait dengan objek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan dan dikenali
pada citra. Jadi bila kita ingin mendeteksi objek yang kecil di permukaan bumi,
maka diperlukan citra satelit dengan resolusi yang tinggi. Resolusi spektral
menunjukkan sensitivitas sensor pada panjang gelombang tertentu. Ini juga
berhubungan dengan kemampuan dalam pembedaan objek. Resolusi temporal
berkaitan siklus pengulangan satelit untuk merekam daerah/objek yang sama. Ada
satelit yang mampu merekam objek dua kali dalam sehari, sedangkan satelit yang
lain hanya dapat merekam 35 hari sekali.
Sistem sensor penginderaan jauh berdasarkan sumber energi yang dipakai
berupa sensor aktif dan pasif. Sensor dikatakan pasif karena tidak memancarkan
energi sendiri. Sensor pasif mempergunakan pantulan/ pancaran energi dari objek
di permukaan bumi yang berasal dari sinar matahari. Hal ini berarti sensor hanya
dapat beroperasi di siang hari. Sensor pasif biasanya berupa sensor optik/elektrooptik. Sebaliknya terdapat pula sistem pencitra yang aktif, seperti radar, yang
memancarkan sinyal pada panjang gelombang mikro dan merekam karakteristik
pantulan sinyal setelah mengenai permukaan bumi.
Citra Penginderaan Jauh sangat banyak digunakan dalam berbagai bidang
kehidupan seperti pemetaan penutup dan penggunaan lahan, pertanian, pemetaan
tanah, kehutanan, perencanaan kota, investigasi arkeologi, observasi militer,
survey geomorfologi, kesehatan, dan masih banyak lagi (Sutanto, 1994)
2.7 IKONOS
Tahun 1992 Kongres Amerika Serikat (AS) meloloskan Undang-undang
Penginderaan jauh daratan (US Land Remote Sensing Act). Undang-undang ini
menyebutkan industri inderaja satelit komersial sangat penting bagi kesejahteraan
rakyat AS serta mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta mengembangkan,
memiliki, mengoperasikan serta menjual data yang dihasilkan (Danoedoro, 2004).
Sejak diluncurkan pada tanggal 24 September 1999, Citra satelit bumi Space
imagings IKONOS menyediakan data citra yang akurat, dimana menjadi standar
untuk produk-produk data satelit komersial yang beresolusi tinggi. Satelit ini
mengorbit bumi sinkron dengan matahari setinggi 681 km. Waktu revolusinya
adalah 98 menit. Resolusi spasialnya adalah 3 hari. IKONOS memproduksi citra 1
meter hitam dan putih (pankromatik) dan citra 4 meter multispektral (red, blue,
green dan near-infrared) yang dapat dikombinasikan dengan berbagai cara untuk
mengakomodasikan secara luas aplikasi citra beresolusi tinggi (Space imaging,
2004).
IKONOS dimiliki dan dioperasikan oleh Space imaging sebuah perusahaan
Observasi Bumi Amerika Serikat. Satelit komersial beresolusi tinggi lainnya yang
diketahui: Orbview-3 (OrbImage), Quickbird (EarthWatch) dan EROS-A1 (West
Indian Space). Disamping mempunyai kemampuan merekam citra multispetral
pada resolusi 4 meter, IKONOS dapat juga merekam obyek-obyek sekecil satu
meter pada hitam dan putih. Dengan kombinasi sifat-sifat multispektral pada citra
4 meter dengan detail-detail data pada 1 meter. Citra IKONOS diproses untuk
menghasilkan 1 meter produk-produk berwarna IKONOS adalah satelit komersial
beresolusi tinggi pertama yang ditempatkan di ruang angkasa.
Sensor OSA pada satelit didasarkan pada prinsip pushbroom dan dapat
secara simultan mengambil citra pankromatik dan multispektral. IKONOS
mengrimkan resolusi sapatial tertinggi sejauh yang dicapai oleh sebuah satelit
sipil. Bagian dari resolusi spasial yang tinggi juga mempunyai resolusi
radiometrik tinggi menggunakan 11-bit (Space Imaging, 2004).
Data IKONOS dapat digunakan untuk pemetaan topografi dari skala kecil
hingga
menengah,
tidak
hanya
menghasilkan
peta
baru,
tetapi
juga
memperbaharui peta topografi yang sudah ada. Penggunaan potensial lain
IKONOS adalah precision agriculture, hal ini digambarkan pada pengaturan band
multispektral, dimana mencakup band infra merah dekat (near-infrared).
Pembaharuan dari situasi lapangan dapat membantu petani untuk mengoptimalkan
penggunaan pupuk dan herbisida (Janssen dan Hurneeman, 2001).
Tabel 1 Resolusi spasial pada citra satelit IKONOS
Band Width
Panchromatic
0.45 – 0.90µm
Band 1
0.45 – 0.53µm (blue)
Band 2
0.52 – 0.61µm (green)
Band 3
0.64 – 0.72µm (red)
Band 4
0.77 – 0.88µm (near infra-red)
Sumber: www. Satimagingcorp.Com
Resolusi Spasial
1 meter
4 meter
4 meter
4 meter
4 meter
IKONOS dengan kemampuannya sebagai “high accuracy remote sensing
satellite” akan memberikan implikasi terhadap berubahnya konsepsi penyediaan
data dan informasi wilayah terutama karena meningkatnya kecepatan dan
keakuratan datanya (Space imaging, 2004).
Tabel 2 Karakteristik satelit IKONOS
Sistem
Launch Date
Karakteristik IKONOS
24 September 1999 at Vandenberg Air Force
Base, California, USA
Operational Life
Over 7 years
Orbit
98.1 degree, sun synchronous
Speed on Orbit
7.5 kilometers per second
Speed Over the Ground
6.8 kilometers per second
Revolutions Around the Earth 14.7, every 24 hours
Altitude
681 kilometers
Resolution at Nadir
0.82 meters panchromatic; 3.2 meters
multispectral
Resolution 26° Off-Nadir
1.0 meter panchromatic; 4.0 meters
multispectral
Image Swath
11.3 kilometers at nadir; 13.8 kilometers at 26°
off-nadir
Equator Crossing Time
Nominally 10:30 AM solar time
Revisit Time
Approximately 3 days at 40° latitude
Dynamic Range
11-bits per pixel
Image Bands
Panchromatic, blue, green, red, near IR
Sumber: www. Satimagingcorp.Com
IKONOS juga dapat dimanfaatkan untuk pemantauan cuaca dan penataan
ruang wilayah. IKONOS akan lebih bermanfaat misalnya dalam menganalisis
lahan dan identifikasi obyek. Apabila kemudian data ini dipadukan dengan data
sekunder akan memberikan pengetahuan tentang potensi suatu daerah dengan
lebih detil dan bermanfaat khususnya dalam pengambilan kebijakan pembangunan
(Janssen dan Hurneeman, 2001).
2.8 NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
Satelit NOAA merupakan satelit lingkungan dan cuaca yang pertama kali
diluncurkan pada tahun 1970 oleh NASA Amerika Serikat. Satelit ini biasanya
dipakai dalam observasi meteorologi, hidrologi dan osenografi. Satelit NOAA
berorbit polar dimana orbit satelit sejajar dengan bumi dan melintasi kutub utara
dan kubub selatan. Satelit NOAA mengitari bumi dengan mengikuti salah satu
lintang dengan arah tetap pada ketinggian 833 kilometer sampai dengan 870
kilometer. Karena adanya rotasi bumi maka terdapat dua arah lintasan. Arah
lintasan yang menuju arah utara disebut ascend dan arah lintasan menuju arah
selatan yang disebut descend. Satelit ini tiap hari mengorbit sebanyak 14.2 kali
dan waktu tiap orbitnya adalah 102 menit. Pada tiap orbitnya satelit NOAA
merekam daerah selebar 3000 x 3000 km. Sensor yang terdapat pada satelit
NOAA diantaranya adalah:
1. Tiros Operational Vertikal Sounder (TOVS), untuk pengamatan profil (suhu
dan kelembaban) atmosfer.
2. Space Environmental Monitor (SEM), untuk deteksi proton matahari, partikel
alpha, rapat flux electron dan energi total partikel pada ketinggian satelit.
3. Data Collecting and Location System (DCS), berfungsi sebagai pengumpul dan
transmisi data cuaca global yang diterima oleh flatform di permukaan bumi.
4. Search and Rescue Satellite Aided Tracking (SARSAT), untuk keperluan SAR.
5. Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), untuk pengamatan
lingkungan dan cuaca.
Sensor pada misi NOAA yang relevan untuk pengamatan bumi adalah
Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Sensor AVHRR yang
mempunyai fungsi untuk membantu pengamatan lingkungan dan cuaca dapat
memberikan informasi tentang suhu permukaan laut untuk melihat fenomena
osenografi. Sensor ini dibuat oleh Aerospace Optical Division ITT-Fortwyne dan
memiliki lima saluran (kanal) scanning radiometer dimana masing-masing saluran
mempunyai panjang gelombang dan fungsi tertentu dalam penggunaannya
(Janssen dan Hurneeman, 2001).
Satelit NOAA-AVHRR yang mengorbit polar didesain untuk dapat
memantau permukaan bumi dalam skala luas. Satelit NOAA ditargetkan dapat
meliputi seluruh permukaan bumi dengan bergerak dari selatan ke utara pada
orbitnya di satu sisi bumi (ascending pass) dan kebalikannya dari utara ke selatan
pada sisi bumi yang lainnya (descending pass). Untuk wilayah Indonesia, dalam
satu kali liputannya satelit NOAA-AVHRR dapat mencakup luasan maksimum
2048 pixel. Sebuah pixel citra satelit NOAA-AVHRR berukuran 1.1 km x 1.1 km.
Dengan demikian hanya dalam satu kali orbit luas daerah Indonesia sebesar 2/3
dapat diliput. Dalam satu hari kurang lebih 24 jam, groun station satelit NOAAAVHRR milik LAPAN dapat menerima minimal 2 cita dan maksimal 4 citra
untuk daerah yang berbeda yaitu dua data dari ascending orbit dan dua citra dari
descending orbit. Untuk seri satelit NOAA-18 data ascending diterima pada sore
dan malam hari, sedangkan data descending diperoleh pada saat subuh dan pagi
hari (Zudiana, 2004).
Data AVHRR terutama digunakan untuk peramalan cuaca harian dimana
memberikan data yang lebih detail daripada Meteosat. Selain itu, juga dapat
diterapkan secara luas pada banyak lahan dan perairan. Peta tutupan awan (Cloud
Cover Maps) yang berasal dari data AVHRR, digunakan untuk estimasi curah
hujan, dimana dapat menjadi input dalam model pertumbuhan tanaman. Selain itu,
hasil pengolahan lain dari data AVHRR adalah Normalized Difference Vegetation
Index Maps (NDVI). Data AVHRR sangat tepat untuk memetakan dan memonitor
penggunaan lahan regional dan memperkirakan keseimbangan energi (energy
balance) pada areal pertanian (Janssen dan Hurneeman, 2001).
Tabel 3 Karakteristik sensor infra merah termal NOAA-AVHRR
Sensor
Panjang gelombang
Kanal 3A: 1.57-1.64 m
3B: 3.55-3.93 m
Kanal 4: 10.3-11.3 m
Kanal 5: 11.5-12.5 m
Sumber: Maryani, 2008.
NOAAAVHRR
Resolusi spasial
1.1 x 1.1 km2
Resolusi
temporal
2 kali sehari
Sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit NOAA adalah multi spectral
scanner dengan lima band pada panjang gelombang yang berbeda, mulai dari
sinar tampak dan infrared jauh. Saat ini terdapat 4 seri satelit NOAA yang masih
beroperasi, yaitu NOAA-15, NOAA-16, NOAA-17, dan NOAA-18 yang masingmasing melintasi lokasi yang sama 2 kali sehari (Maryani, 2008).
2.8.1 Perolehan data suhu udara dan kelembaban dari data NOAA
NOAA
Landuse dari
Landsat7Etm
Koreksi geometrik
& Radiometrik
Masking
Awan
Penurunan
Brihtness
Temperature kanal
3-4-5
DEM
SRTM
Penurunan
Reflektans kanal
1-2
Perhitungan
indeks vegetasi
NDVI
Perhitungan
Suhu permukaan
bumi (LST)
Perhitungan
Suhu udara
Estimasi Kelembaban
Udara (RH)
Gambar 10 Proses perolehan suhu dan kelembaban udara dari data NOAA
(Parwati, 2010)
2.8.2 Perolehan data curah hujan melalui satelit lingkungan dan cuaca
Pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh untuk memantau kondisi
curah hujan dapat dilakukan melalui satelit lingkungan dan cuaca, seperti MTSAT
(Multifunction Transport Satellite), TRMM (Tropical Rainfall Measurement
Mission), dan data QMorph yang curah hujannya diperoleh dari kombinasi
beberapa satelit geostasioner yaitu DMSP, NOAA, Aqua dan TRMM. Data
MTSAT
memberikan
informasi
kondisi
liputan
merepresentasikan peluang hujan rendah hingga tinggi.
awan
yang
dapat
Data MTSAT dapat diperoleh setiap jam dengan resolusi spasial 5 km. Data
TRMM memberikan informasi curah hujan setiap 3 jam dengan resolusi spasial
27 km, sedangkan data QMorph dapat memberikan informasi curah hujan setiap
30 menit dengan resolusi spasial 8 km. Informasi curah hujan dari data Qmorph
dapat dilihat di website: http://www.cpc.noaa.gov/products/janowiak/cmorp.html
Data satelit DMSP, NOAA,
AQUA dan TRMM
Download
Data QMORHP
Perhitungan curah
hujan harian (24 jam)
Spatial subset untuk
Penentuan Koordinat
Spectral subset
band 1 dan 4
Croping daerah
yang dipilih
Pengolahan data
curah hujan selesai
Gambar 11 Proses perolehan curah hujan dari data satelit lingkungan dan cuaca
(Parwati, 2010)
Download