2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue (Flaviviridae: Flavivirus Group); virus ini terdiri dari 4 serotip : Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Penyakit ini ditularkan oleh salah satu nyamuk rumah, Aedes aegypti, sebagai vektor utama, dan nyamuk kebun Aedes albopictus sebagai vektor kedua. Nyamuk Aedes aegypti umumnya lebih dominan populasinya di perkotaan dan sebaliknya Aedes albopictus di pedesaan (WHO, 2001). Gejala penyakit DBD adalah demam mendadak, berlangsung 2-7 hari, wajah kemerahan, nyeri kepala, punggung dan ulu hati. Perkembangan klinis dapat sangat cepat, yaitu dengan disertai perdarahan bawah kulit dan mukosa hidung dan usus dengan komplikasi, dan bisa berakhir fatal. Tingkat kematian untuk pasien yang berlanjut dengan Dengue Shock Syndrome (DSS) berkisar 210% (Mardihusodo, 2005). Penyakit DBD, awalnya muncul di Filipina pada tahun 1953, kemudian pada tahun-tahun berikutnya DBD menyebar ke banyak negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Kini, demam berdarah (DB) dan DBD menjadi semakin meningkat arti pentingnya dalam kesehatan masyarakat di daerah tropis dan subtropis seperti di daerah Mediteranian Barat, Afrika dan Amerika (Mardihusodo, 2005). Demam berdarah dengue sudah ada selama empat puluh tahun lamanya di Indonesia semenjak tahun 1968, hingga saat ini jumlah kasus dan daerah yang terjangkit terus meningkat. Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah dengue terjadi setiap tahun di beberapa Provinsi dan KLB “Besar” terjadi pada tahun 1998 dan 2004 (jumlah kasus 79 480, jumlah kematian 800 orang). Pada tahun 2006 tercatat ada 113 640 kasus dengan 1 184 kematian. Incidence Rate (IR) = 52, Case fatality Rate (CFR) = 1%. Tahun 2007, dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei tercatat 66 365 kasus dengan 738 kematian (CFR = 1.1%). Provinsi tertinggi adalah DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Lampung (Kusriastuti, 2007). Kusriastuti (2007) menyatakan mengapa laju kejadian demam berdarah dengue terus meningkat, karena beberapa faktor yaitu; industrialisasi dimana memakai bungkus sekali pakai, mobilitas manusia yang cepat, urbanisasi yang tak terkendali, jumlah kapasitas nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus meningkat, pelayanan publik dan perilaku kebersihan kurang, serta limbah ban dan plastik yang sulit hancur. 2.2 Vektor Secara taksonomi Aedes sp termasuk filum Arthropoda (berkaki buku); kelas: Hexapoda (berkaki enam); ordo: Dipteria (bersayap dua); subordo Nematocera (antena filiform, segmen banyak); famili: Culicidae (keluarga nyamuk); Subfamili : culicinae (termasuk tribus Anophelini dan Toxorynchitini); tribus: Culicini (termasuk Generaculex dan Mansonia); Genus: Aedes (Stegomya); spesies : Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Telur berwarna putih saat pertama kali dikeluarkan, lalu menjadi coklat kehitaman. Telur berbentuk oval, panjang kurang lebih 0.5 mm, dan diletakkan di dinding wadah (Service, 1996). Gambar 2 Morfologi telur Aedes spp (Cutwa dan O’Meara, 2006) Penelitian epidemiologi dan laboratoris masih ada beberapa jenis Aedes sp yang dapat menyebarkan dengue, tetapi sampai saat ini Aedes aegypti dan Aedes albopictus tetap merupakan vektor yang utama (Soegijanto, 2004). Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes (Ae.) dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun spesies lain seperti Aedes albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. aegypti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (WHO, 2001). 2.2.1 Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti bersifat antropofilik yaitu senang sekali pada manusia, dan karbohidrat tumbuh-tumbuhan, karbohidrat diduga untuk sintesis energi yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, sedangkan darah manusia untuk reproduksi. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiplebiters) dan menggigit pada siang hari (day biting mosquito). Nyamuk betina menghisap darah pada umumnya tiga hari setelah kawin dan mulai bertelur pada hari keenam. Dengan bertambahnya darah yang dihisap, bertambah pula telur yang diproduksi (Judson, 1968). Dalam ruang gelap nyamuk beristirahat hinggap pada kain yang bergantungan. Nyamuk tertarik oleh cahaya terang, pakaian dan adanya manusia. Perangsang jarak jauh karena bau dan zat-zat dan asam amino, suhu hangat dan lembab. Jumlah telur yang dikeluarkan sekali waktu adalah sekitar 100-400 butir (Brown, 1983). Gambar 3 Nyamuk dewasa Aedes aegypti pada dorsal dada ada corak putih bentuk siku (Cutwa dan O’Meara, 2006) Aedes aegypti mempunyai skutelum trilobipalpus pada yang betina lebih pendek daripada probosis, ujung abdomen nyamuk betina biasanya runcing, cerci menonjol, tubuh berwarna gelap, thorax sering dengan noda-noda putih sewaktu istirahat probosis dan badan dalam dua sumbu sisik sayap sempit panjang dengan ujung runcing, mempunyai gambaran pita putih seperti alat musik harpa (lyre shape) (Service,1996). Telur Aedes aegypti pada suhu kamar yaitu 7.62 hari dan 9.62 hari (Soekiman et al.1984). Dari telur sampai menjadi nyamuk tergantung situasi lingkungan. Secara umum telur diletakkan pada dinding tandon air. Jika tidak ada genangan air, telur akan bertahan beberapa minggu sampai beberapa bulan. Telur menetas menjadi larva dalam dua hari. Umur larva 7-9 hari, kemudian menjadi pupa. Umur pupa dua hari, lalu menjadi nyamuk. Umur nyamuk betina 8-15 hari, nyamuk jantan 3-6 hari. Di laboratorium telur tersebut dapat menetas dalam 10 hari pada temperatur 28°C dan penelitian di lapangan ternyata dapat menetas lebih lama yaitu sekitar 20 hari. Larva Aedes aegypti mempunyai sisir pada ruas ke-8 abdomen yang terdiri dari gigi-gigi yang bergerigi (duri lateral) (Service,1996). Gambar 4 Larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai gigi sisir dengan duri samping (Cutwa dan O’Meara, 2006) Tempat kebiasaan bertelur dari dua vektor utama dengue agak berbeda. Aedes aegypti bertelur di bak air jernih terutama bak air di kamar kecil (WC), bak mandi, bak atau gentong tandon air minum. Aedes albopictus lebih senang bertelur di kaleng yang dibuang. Hal itu sesuai dengan sifat Aedes aegypti yang mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah (Brown,1983). 2.2.2 Ekologi Nyamuk Aedes aegypti Wilayah Indonesia mempunyai iklim yang bervariasi dua musim, temperatur, kelembaban, dan kecepatan angin berkaitan dengan siklus kehidupan vektor penyakit DBD. Basil Loh dan Ren Jin Song (2001) cit Sucipto (2008) melaporkan bahwa ada hubungan berarti antara populasi tempat kehidupan larva positif Aedes aegypti dan Aedes albopictus dengan curah hujan. Hubungan yang paling nyata terlihat pada faktor kelembaban, temperatur dengan jumlah jentik Aedes sp. Curah hujan; sangat penting untuk kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti, dan posisi Indonesia adalah sebagai wilayah tropis yang curah hujannya sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah non tropis. Iklim hujan tropis mempengaruhi peningkatan kehidupan arthropoda. Hujan akan memepengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan menembah jumlah tempat perkembangan nyamuk Aedes sp di luar rumah. Telur-telur yang diletakan oleh nyamuk Aedes sp yang pernah menghisap darah penderita DBD atau seseorang yang dalam darahnya mengandung virus dengue (virDen) disebut viraemia pada akhir musim hujan sebelumnya berpotensi untuk terinfeksi virDen secara transovarial dari induknya pada musim hujan berikutnya. Suhu yang panas menyebabkan daur hidup arthropoda menjadi pendek sama dengan memendeknya periode inkubasi patogen, termasuk juga ketersediaan air sebagai tempat hidup larva. Banyak spesies dengan berbagai jenis termasuk vektor dan patogennya, hidup di daerah tropis sangat baik. Pengaruh suhu/temperatur; nyamuk adalah binatang berdarah dingin dan karenanya proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungan. Nyamuk tidak dapat mengatur suhunya sendiri terhadap perubahan di luar tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25-27 0C, pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada suhu kurang dari 100C atau lebih dari 400C (Depkes RI, 2004). Penularan virDen pada umunya terjadi di daerah tropis dan sub tropis, karena temperatur yang dingin selama musim dingin membunuh telur dan larva Aedes aegypti. Selain itu temperatur mempengaruhi reflikasi pathogen, maturasi, dan periode infeksitas. Masa inkubasi ekstrinsik akan semakin pendek secara linier dengan meningkatnya temperatur. Temperatur yang meningkat dapat memperpendek masa harapan hidup nyamuk dan menggangu perkembangan pathogen. Telur Aedes aegypti yang menempel pada permukaan dinding tempat penampungan air yang lembab dapat mengalami proses embrionisasi yang sempurna pada suhu 25-300C selama 72 jam. Telur yang telah mengalami embrionisasi ini tahan terhadap kekeringan selama lebih dari satu tahun, dan akan menetas menjadi larva dalam beberapa menit jika tergenang air (WHO, 1997). Suhu optimum untuk propagasi virus pada nyamuk Aedes aegypti di laboratorium adalah 280C. Mourya dan Joushi (2002) membuktikan bahwa semakin lama telur yang berasal dari nyamuk Aedes aegypti invektif virDen pada suhu kamar, maka indek transmisi transovarialnya semakin tinggi. Adapun Thu et al.(1998) membuktikan bahwa suhu dan kelembaban optimum untuk propagasi virDen pada nyamuk Aedes aegypti di laboratorium adalah suhu dan kelembaban yang di sesuaikan dengan suhu dan kelembaban pada musim hujan di Nyangon dan Singapura. Pengaruh kelembaban nisbi udara; adalah banyaknya kandungan uap air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kebutuhan kelembaban yang tinggi mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembab dan basah sebagai tempat hinggap atau istirahat. Pada kelembaban kurang dari 60% umur nyamuk menjadi pendek (Depkes RI, 2004), sehingga tidak cukup untuk siklus perkembang biakan virDen dalam tubuh nyamuk Faktor kepadatan penduduk; juga sangat tinggi di beberapa negara daerah tropis, yang menyebabkan kontak vektor dengan manusia sangat sering sekali. Kepadatan penduduk atas dasar luas administratif, luas perkotaan, luas pemukiman dan luas bangunan rumah mukim, dapat disusun hasil kepadatan penduduk yang mengacu pada keputusan Menteri Pekerjaan Umum (anonim, 1979). Kepadatan dikategorikan dalam lima kelas, yaitu; dikategorikan sangat tinggi > 400 jiwa/Ha; dikategorikan tinggi 300-400 jiwa/Ha; dikategorikan sedang 200-300 jiwa/Ha; dikategorikan rendah 100-200 jiwa/Ha; dikategorikan sangat rendah < 100 jiwa/Ha. Inang; berhubungan dengan infeksi virDen ke manusia dan beberapa spesies primata yang lebih rendah (kera), namun manusia merupakan inang utama. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah pengidap virus yang tidak menunjukan gejala atau hanya memperlihatkan gejala demam ringan karena mereka bisa pergi kemana-mana, sehingga mobilitas yang tinggi di daerah perkotaan memainkan peranan penting dalam penularan virDen dari pada mobilitas Aedes aegyptisendiri (WHO, 2001). Sebagian besar (90%) kasus DBD diderita oleh anak-anak di bawah usia 15 tahun, kematian akibat DBD mencapai kira-kira 25 000 jiwa per tahun dengan Case Fatality Rate (CFR) rata-rata 5% (WHO,2001), namun sejak tahun 1996- 2004 mengalami pergeseran di Indonesia, DBD diderita juga pada golongan usia > 15 tahun (Kusriastuti, 2005 ). Menurut Malvige et al. (2004) angka kesakitan dan angka kematian akibat kasus DBD paling banyak diderita anak-anak dan resiko kematian akibat DBD pada anak-anak 15 kali lipat dari pada orang dewasa, selain itu kasus DBD sering dilaporkan pada wanita dari pada pria. Faktor malnutrisi bukan merupakan predoposisi kejadian DBD, tapi kasus DBD sering dilaporkan pada pasien-pasien penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan asma bronchial. 2.3 Mekanisme Transmisi Virus Dengue Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada transmisi infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara yaitu nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai covektor (Mardihusodo et al. 2007). Mekanisme transmisi virDen berlangsung secara horisontal dan vertikal yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Transmisi virDen secara horisontal berlangsung dari nyamuk vektor kedalam tubuh vertebrata (manusia dan kelompok kera tertentu) dan sebaliknya dari vertebrata ke dalam tubuh vektor. Nyamuk mendapatkan virus pada saat melakukan gigitan pada manusia (vertebrata) yang pada saat itu sedang mengandung virDen di dalam darahnya (viraemia). Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau berkembang biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke dalam kulit tubuh manusia melalui gigitan nyamuk. Mekanisme transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk. Arbovirus tersebut dapat ditularkan oleh nyamuk betina ke pada telurnya (transovarial), yang nantinya akan menjadi nyamuk, tingkat infeksi ini melebihi 80% (Beaty et al. 1996). Gambaran ultra struktur menunjukkan virus pertama kali mengalami replikasi di dalam usus tengah nyamuk vektornya. Virus sesampai di haemocoel dan haemolymph, kemudian menyebar ke jaringan-jaringan antara lain sistem saraf, kelenjar ludah, usus depan, usus tengah, badan lemak, sel-sel epidermis, ovarium, bagian dalam dinding sel nyamuk. Virus tidak dijumpai di muskulus, usus belakang, dan tubuli malfigi (Malvige et al. 2004). G E D F C B A H E Gambar 5 Skematis perjalanan arbovirus pada nyamuk, Beaty et al. (1996) A=usus depan; B= lumen usus tengah; C= membran sel epitel lambung; D=jaringan epitel lambung/usus tengah; E= hemocoel; F= tubuli malfigi; G= toraks; H= kelenjar saliva Menurut Beaty et al. (1996) virus mengalami replikasi di usus tengah selama 3 hari dari mulai masuknya virus ke nyamuk, selanjut pada hari ke-3-6 menyebar ke haemocoel, hari ke-6-9 menyebar kejaringan saraf, badan lemak, jantung, sel perikardium dan ovarium, hari ke-9-12 virus berada pada kelenjar ludah dan siap untuk ditularkan. Gambar 6 Skematis waktu perjalanan arbovirus pada nyamuk (Beaty et al.1996) Khin dan Than (1983), melakukan penelitian pertama kali tentang transovarial di alam dengan metode direct fluorescence antibody test (DFAT) dengan menginjeksikan virus pada nyamuk Toxorynchites splendens virDen serotip 2 (Den-2) yang diisolasi dari kumpulan larva Aedes aegypti di Yangoon, Myanmar, transmisi diperkirakan juga bisa tejadi secara vertikal (transovarial). Menurut Leake (1984) mekanime transmisi transovarial arbovirus pada nyamuk ada tiga macam : 1. Nyamuk betina yang belum terinfeksi mengisap darah inang viremia, virus replikasi dalam nyamuk dan telur terinfeksi menghasilkan larva yang infeksius. 2. Nyamuk betina yang belum terinfeksi kawin dengan nyamuk jantan yang terinfeksi secara transovarial dan selama nyamuk kawin terjadi transmisi secara seksual (venereal), sebagai akibatnya ovarium nyamuk betina terinfeksi virus. 3. Nyamuk betina mengalami infeksi virus jaringan ovariumnya dan terpelihara sampai generasi berikutnya secara genetik. Transmisi transovarial virDen pada awalnya dianggap tidak berperan bagi epidemiologi dengue. Informasi terakhir menunjukkan bahwa transmisi transovarial virus Dengue pada nyamuk Aedes albopictus terdeteksi 7-41 hari sebelum kasus Dengue pertama kali dilaporkan, sedangkan transmisi transovarial virDen pada nyamuk Aedes aegypti berperan dalam meningkatkan dan mempertahankan epidemik dengue (Lee & Rohani, 2005). Penelitian di Thailand oleh Watt et al. (1985) pada nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus di wilayah perkotaan dan pedesaan menunjukkan hasil negatif; virus Dengue tidak terisolasi dari 5 766 ekor larva, 39 pupa, atau 85 Aedes aegyptijantan. Tetapi virDen-2 berhasil diisolasi dari 14 ekor nyamuk betina Aedes aegyptiyang dikoleksi dari 8 rumah (dari 35 rumah yang disurvei) di Bangkok. Peneliti lain, Jousset (1981) pada penelitian eksperimental di laboratorium menunjukkan bahwa virDen-2 dapat ditularkan secara transovarial oleh 4 strain nyamuk Aedes aegypti meskipun kisarannya rendah, 0.3-1.2%. Rosen et al. (1983) dalam studi eksperimental juga menunjukkan ada bukti bahwa nyamuk Aedes aegypti berkemampuan menularkan virus Den-1 secara transovarial. Belum lama ini, Joshi et al.(2002) melaporkan eksperimentasinya di laboratorium bahwa virDen-3 secara persisten ditularkan secara transovarial yang meningkat frekuensinya sampai F-7 kemudian tetap (persisten) infeksinya pada generasi-generasi (F) berikutnya. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa transmisi transovarial berpotensi sebagai pendukung pemeliharaan endemisitas DBD, dengan nyamuk Aedes aegypti berlaku sebagai reservoir virDen sepanjang waktu. Transmisi transovarial virDen di Indonesia di alam dibuktikan oleh Umniyati (2004) di Kelurahan Klitren, Yogyakarta dengan metode Imunositokimia-imunoperoksidase streptavidin biotin complex (IISBC) pada sediaan pencet kepala (head squash), yang kemudian metode ini dibakukan oleh Umniyati. Penelitian selanjutnya dengan metode yang sama oleh Widiarti et al.(2006) di Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, dan Kota Salatiga ditemukan adanya transmisi DBD secara transovarial dengan persentase angka infeksi (infection rate) berkisar 0.66-8.77%, dan juga oleh Mardihusodo et al.(2007) di beberapa kelurahan Kota Yogyakarta juga ditemukan telah terjadi transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, dengan angka infeksi 38.5-70.2%. Menurut Mardihusodo et al.(2007) transmisi juga tejadi secara vertikal (transovarial), yaitu dari nyamuk Aedes aegyptibetina gravid yang terinfeksi virDen sebagai induk ke ovum (telur) dalam uterus nyamuk itu, yang akhirnya berpropagasi dalam embrio dalam telur, selanjutnya virDen menggunakan larva sampai imagonya sebagai medium hidup untuk perbanyakannya. Manusia bisa terinfeksi virus Dengue sewaktu pertama kali nyamuk yang muncul dari pupanya dalam air menggigit dan mengisap darah. 2.4 KLB Demam Berdarah Dengue Kejadian berjangkitnya demam berdarah dengue di suatu tempat dapat menimbulkan ledakan jumlah penderitanya. Dalam ukuran tertentu, ledakan jumlah penderita di suatu wilayah dibandingkan dengan jumlah kejadian di tempat yang sama pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya, di Indonesia kejadian itu disebut sebagai Kejadian Luar Biasa. Departemen Kesehatan mendefinisikan Kejadian Luar Biasa sebagai berikut: “Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu” (Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004). Kriteria penetapan KLB Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut: (1) timbulnya penyakit demam berdarah dengue (DBD) yang sebelumnya tidak ada di suatu daerah Tingkat II, (2) Adanya peningkatan kejadian kesakitan DBD dua kali atau lebih dibandingkan jumlah kesakitan yang biasa terjadi pada kurun waktu yang sama tahun sebelumnya (Peraturan Menteri Kesehatan No. 1202/Menkes/SK/VIII/2002). 2.5 Ovitrap (perangkap telur nyamuk) Salah satu upaya untuk memutus siklus perkembangan nyamuk itu bisa dengan menggunakan ovitrap, atau perangkap telur dan larva nyamuk, khususnya untuk Aedes aegypti. Ovitrap telah umum digunakan dan diproduksi secara massal di Singapura dan Malaysia. Di sana, ovitrap dikenal dengan nama Mosquito Larvae Trapping Device (MLTD). Ovitrap berarti perangkap telur (ovum= telur, trap= perangkap) terbukti menekan pertumbuhan nyamuk hingga 50%. Ovitrap memang merupakan sebuah metode yang diterapkan di Taiwan (dan sebenarnya memang bukan metode yang baru di Indonesia) sebagai salah satu bentuk surveillance untuk mengetahui distribusi dan kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Nusa, 2005). Perangkap telur nyamuk (Ovitrap) yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah gelas volume 250 ml dicat hitam bagian luarnya, diisi air hujan sepertiganya, lalu dipasangi kertas pita kertas saring berukuran 5 cm x 20 cm dipasang melingkar penuh di dalam gelas sebatas permukaan air sebagai ovistrip. Untuk keperluan survailans ovitrap dipasang di dalam rumah sebanyak 3 buah dan 3 buah di luar rumah untuk tiap rumah. Setelah seminggu pemasangan, ovitrap diperiksa adanya telur pada kertas saring. Ovitrap digunakan juga untuk mendeteksi adanya Aedes aegypti dan Aedes albopictus dimana kepadatan populasinya rendah dan survey jentik kebanyakan tidak produktif. Ovitrap dapat digunakan untuk mengevalusi keberhasilan pengendalian vektor dan memperkirakan kepadatan populasi nyamuk (Mardihusodo et al. 2007). Gambar 7 dan 8 adalah Ovitrap yang digunakan dalam penelitian. Gambar 7 Ovitrap dengan kertas saring Gambar 8 Pemasangan Ovitrap 2.6 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. Penginderaan jauh bisa dikatakan sebagai Ilmu karena memiliki berbagai karakteristik yang jelas. Karakteristik yang jelas itu antara lain terdapat pada lingkup studinya, konsepsi dasarya, metodologi, serta filosofinya. Bila Peninginderaan jauh digunakan oleh pakar lain untuk menopang penelitian atau pekerjaannya, maka penginderaan jauh merupakan teknik bagi mereka. Misalnya seorang pakar lingkungan hidup yang menggunakan bantuan citra satelit untuk mengetahui kerusakan hutan. 2.6.1 Sistem Penginderaan Jauh dan Komponennya Sistem penginderaan jauh ialah serangkaian komponen yang digunakan untuk penginderaaan jauh. Rangkaian komponen itu berupa tenaga, obyek, sensor, data, dan pengguna data (Prahasta, 2008). Gambar 9 menunjkana rangkaian komponen dalam sistem penginderaan jauh. Gambar 9 Rangkaian komponen dalam system penginderaan jauh a. Sumber tenaga Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga, baik sumber tenaga alamiah (sistem pasif) maupun sumber tenaga buatan (sistem aktif). Tenaga ini mengenai objek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke sensor. Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu (jam, musim), lokasi, dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang hari lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah pada pagi atau sore hari. Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan perubahan musim. Pada musim di saat matahari berada tegak lurus di atas suatu tempat, jumlah tenaga yang diterima lebih besar bila dibanding dengan pada musim lain di saat matahari kedudukannya condong terhadap tempat itu. Di samping itu, jumlah tenaga yang diterima juga dipengaruhi oleh letak tempat di permukaan bumi. Tempat-tempat di ekuator menerima tenaga lebih banyak bila dibandingkan terhadap tempat-tempat di lintang tinggi. Kondisi cuaca juga berpengaruh terhadap jumlah sinar yang mencapai bumi. Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap, dan awan, maka akan semkin sedikit tenaga yang dapat mencapai bumi. b. Atmosfer Sebelum mengenai obyek, energi yang dihasilkan sumber tenaga merambat melewati atmosfer. Atmosfer membatasi bagian sektrum elektromagnetik yang dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Pengaruh atmosfer merupakan fungsi panjang gelombang dan bersifat selektif terhadap panjang gelombang c. Interaksi antara tenaga dan Obyek. Tiap obyek mempunyai karakteristik tertentu dalam memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek pada dasarnya dilakukan dengan menyidik (tracing) karakteristik spektral objek yang tergambar pada citra. d. Sensor. Tenaga yang datang dari objek di permukaan bumi diterima dan direkam oleh sensor. Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Di samping itu juga kepekaan berbeda dalam mereka obyek terkecil yang masih dapat dikenali dan dibedakan terhadap obyek lain atau terhadap lingkungan sekitarnya. Kemampuan sensor untuk menyajikan gambaran obyek terkecil ini disebut resolusi spasial. Semakin kecil obyek yang dapat direkam oleh sensor menandakan semakin baik kualitas sensor tersebut. Berdasarkan proses perekamannya, sensor dibedakan menjadi sensor fotografik dan sensor elektronik. Sensor fotografik proses perekamannya berlangsung secara kimiawi. Tenaga elektromagnetik diterima dan direkam pada lapisan emulsi film yang bila diproses akan menghasilkan foto. Sedangkan sensor elektronik menggunakan tenaga elektrik dalam bentuk sinyal elektrik. Sinyal elektrik yang direkam pada pita magnetik ini kemudian dapat diproses menjadi data visual maupun menjadi data digital yang siap dikomputerkan. Lillesand dan Kiefer (1979) mengemukakan beberapa kelebihan sistem fotografik dan sistem elektronik. Keuntungan sistem fotografik yakni: (1) caranya sederhana, (2) tidak mahal, (3) resolusi spasialnya baik, dan (4) integritas geometriknya baik. Sistem elektronik mempunyai kelebihan dalam hal penggunaan spektrum elektromagnetik yang lebih luas, kemampuan yang lebih besar dan lebih pasti dalam membedakan karakteristik spektral obyek, dan proses analisis yang lebih cepat karena digunakannya komputer. 2.6.2 Komponen Penginderaan Jauh a. Perolehan data Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan interpretasi secara visual, dan dapat pula dilakukan dengan cara numerik atau cara digital yaitu dengan menggunakan komputer. Foto udara umumnya diinterpretasi secara manual, sedang data hasil penginderaan secara dapat diinterpretasi secara manual maupun secara numerik. b. Pengguna data. Keberhasilan aplikasi penginderaan jauh terletak pada dapat diterima atau tidaknya hasil penginderaan jauh itu oleh para pengguna data. Kerincian, keandalan, dan kesesuainnya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan diterima atau tidak diterimanya data penginderaan jauh oleh para penggunanya. Berdasarkan cara pengumpulan datanya, sistem penginderaan jauh dapat dibedakan atas tenaga dan wahana yang digunakan dalam penginderaaan. Berdasarkan tenaga yang digunakan, sistem tersebut dibedakan atas yang menggunakan tenaga pantulan dan yang menggunakan tenaga pancaran. Sedang berdasarkan wahananya maka sistem penginderaan jauh dibedakan atas sistem penginderaaan dari dirgantara (airborne system) dan dari antariksa (spaceborne system) (Sutanto, 1994). Berdasarkan analisis datanya maka penginderaan jauh dibedakan atas cara interpretasinya, yaitu interpretasi secara visual dan interpretasi secara numerik. 2.6.3 Pemanfaatan Penginderaan Jauh Kegunaan citra penginderaan jauh antra lain sebagai berikut: a. Sebagai alat bantu dalam menyusun teori Teori adalah serangkaian peryataan tentang hubungan antara dua gejala atau lebih yang dibuat dengan tingkat kepercayaan tertentu. Teori tersebut disusun berdasarkan penelitian yang dibuat dengan tingkat kepercayaan antara teori dan fakta. b. Sebagai atau untuk menemukan fakta. Citra yang menyajikan gambaran lengkap merupakan sumber data yang dapat diinterpretasi secara cepat. c. Sebagai alat penelitian Citra yang menyajikan gambaran sinoptik merupakan alat yang baik dalam memberikan rekaman objek, gejala, atau daerah. d. Sebagai dasar penjelasan Citra yang menyajikan gambaran lengkap dengan wujud dan letak yang mirip wujud dan letak sebenarnya merupkan alat yang baik sekali untuk memahami letak dan susunan gejala di muka bumi. e. Sebagai alat dalam prediksi pengendalian. Citra merupakan alat bantu secara visual yang bermanfaat di dalam prediksi dan pengendalian, yaitu sebagai abstraksi kondisi masa yang akan datang dan sebagai peta kerja. Remote sensing telah memberikan kemungkinan pemantauan berbagai fenomena permukaan bumi dengan cepat dan akurat. Berbagai bidang ilmu yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan bumi (geo, land) dapat mengambil manfaat dari remote sensing. Alasan yang mendorong pemanfaatan ini antara lain (Sutanto, 1994): a. Daerah yang luas pada permukaan bumi dapat diamati dari titik pandang yang baik (dari angkasa) dan dicitrakan dengan jelas; b. Beberapa sensor yang dikembangkan memiliki sensitifitas untuk mengukur gelombang elektromagnet yang tidak dapat ditangkap oleh mata manusia; dengan demikian sifat-sifat yang “tak nampak” pada permukaan bumi pun dapat terekam; c. Dalam satu citra objek-objek yang tergambar dapat dipantau dalam satu hubungan keruangan; d. Pengambilan citra dapat dilakukan dalam waktu yang berbeda (multitemporal), sehingga memungkinkan untuk melihat situasi suatu daerah dimasa lalu serta dapat melakukan penggambaran ulang (rekonstruksi) sifat-sifat tertentu objek-objek yang diamati. Satelit penginderaan jauh yang ada menghasilkan citra dengan berbagai macam resolusi (resolusi spasial, spektral dan temporal). Resolusi spasial pada citra terkait dengan objek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan dan dikenali pada citra. Jadi bila kita ingin mendeteksi objek yang kecil di permukaan bumi, maka diperlukan citra satelit dengan resolusi yang tinggi. Resolusi spektral menunjukkan sensitivitas sensor pada panjang gelombang tertentu. Ini juga berhubungan dengan kemampuan dalam pembedaan objek. Resolusi temporal berkaitan siklus pengulangan satelit untuk merekam daerah/objek yang sama. Ada satelit yang mampu merekam objek dua kali dalam sehari, sedangkan satelit yang lain hanya dapat merekam 35 hari sekali. Sistem sensor penginderaan jauh berdasarkan sumber energi yang dipakai berupa sensor aktif dan pasif. Sensor dikatakan pasif karena tidak memancarkan energi sendiri. Sensor pasif mempergunakan pantulan/ pancaran energi dari objek di permukaan bumi yang berasal dari sinar matahari. Hal ini berarti sensor hanya dapat beroperasi di siang hari. Sensor pasif biasanya berupa sensor optik/elektrooptik. Sebaliknya terdapat pula sistem pencitra yang aktif, seperti radar, yang memancarkan sinyal pada panjang gelombang mikro dan merekam karakteristik pantulan sinyal setelah mengenai permukaan bumi. Citra Penginderaan Jauh sangat banyak digunakan dalam berbagai bidang kehidupan seperti pemetaan penutup dan penggunaan lahan, pertanian, pemetaan tanah, kehutanan, perencanaan kota, investigasi arkeologi, observasi militer, survey geomorfologi, kesehatan, dan masih banyak lagi (Sutanto, 1994) 2.7 IKONOS Tahun 1992 Kongres Amerika Serikat (AS) meloloskan Undang-undang Penginderaan jauh daratan (US Land Remote Sensing Act). Undang-undang ini menyebutkan industri inderaja satelit komersial sangat penting bagi kesejahteraan rakyat AS serta mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta mengembangkan, memiliki, mengoperasikan serta menjual data yang dihasilkan (Danoedoro, 2004). Sejak diluncurkan pada tanggal 24 September 1999, Citra satelit bumi Space imagings IKONOS menyediakan data citra yang akurat, dimana menjadi standar untuk produk-produk data satelit komersial yang beresolusi tinggi. Satelit ini mengorbit bumi sinkron dengan matahari setinggi 681 km. Waktu revolusinya adalah 98 menit. Resolusi spasialnya adalah 3 hari. IKONOS memproduksi citra 1 meter hitam dan putih (pankromatik) dan citra 4 meter multispektral (red, blue, green dan near-infrared) yang dapat dikombinasikan dengan berbagai cara untuk mengakomodasikan secara luas aplikasi citra beresolusi tinggi (Space imaging, 2004). IKONOS dimiliki dan dioperasikan oleh Space imaging sebuah perusahaan Observasi Bumi Amerika Serikat. Satelit komersial beresolusi tinggi lainnya yang diketahui: Orbview-3 (OrbImage), Quickbird (EarthWatch) dan EROS-A1 (West Indian Space). Disamping mempunyai kemampuan merekam citra multispetral pada resolusi 4 meter, IKONOS dapat juga merekam obyek-obyek sekecil satu meter pada hitam dan putih. Dengan kombinasi sifat-sifat multispektral pada citra 4 meter dengan detail-detail data pada 1 meter. Citra IKONOS diproses untuk menghasilkan 1 meter produk-produk berwarna IKONOS adalah satelit komersial beresolusi tinggi pertama yang ditempatkan di ruang angkasa. Sensor OSA pada satelit didasarkan pada prinsip pushbroom dan dapat secara simultan mengambil citra pankromatik dan multispektral. IKONOS mengrimkan resolusi sapatial tertinggi sejauh yang dicapai oleh sebuah satelit sipil. Bagian dari resolusi spasial yang tinggi juga mempunyai resolusi radiometrik tinggi menggunakan 11-bit (Space Imaging, 2004). Data IKONOS dapat digunakan untuk pemetaan topografi dari skala kecil hingga menengah, tidak hanya menghasilkan peta baru, tetapi juga memperbaharui peta topografi yang sudah ada. Penggunaan potensial lain IKONOS adalah precision agriculture, hal ini digambarkan pada pengaturan band multispektral, dimana mencakup band infra merah dekat (near-infrared). Pembaharuan dari situasi lapangan dapat membantu petani untuk mengoptimalkan penggunaan pupuk dan herbisida (Janssen dan Hurneeman, 2001). Tabel 1 Resolusi spasial pada citra satelit IKONOS Band Width Panchromatic 0.45 – 0.90µm Band 1 0.45 – 0.53µm (blue) Band 2 0.52 – 0.61µm (green) Band 3 0.64 – 0.72µm (red) Band 4 0.77 – 0.88µm (near infra-red) Sumber: www. Satimagingcorp.Com Resolusi Spasial 1 meter 4 meter 4 meter 4 meter 4 meter IKONOS dengan kemampuannya sebagai “high accuracy remote sensing satellite” akan memberikan implikasi terhadap berubahnya konsepsi penyediaan data dan informasi wilayah terutama karena meningkatnya kecepatan dan keakuratan datanya (Space imaging, 2004). Tabel 2 Karakteristik satelit IKONOS Sistem Launch Date Karakteristik IKONOS 24 September 1999 at Vandenberg Air Force Base, California, USA Operational Life Over 7 years Orbit 98.1 degree, sun synchronous Speed on Orbit 7.5 kilometers per second Speed Over the Ground 6.8 kilometers per second Revolutions Around the Earth 14.7, every 24 hours Altitude 681 kilometers Resolution at Nadir 0.82 meters panchromatic; 3.2 meters multispectral Resolution 26° Off-Nadir 1.0 meter panchromatic; 4.0 meters multispectral Image Swath 11.3 kilometers at nadir; 13.8 kilometers at 26° off-nadir Equator Crossing Time Nominally 10:30 AM solar time Revisit Time Approximately 3 days at 40° latitude Dynamic Range 11-bits per pixel Image Bands Panchromatic, blue, green, red, near IR Sumber: www. Satimagingcorp.Com IKONOS juga dapat dimanfaatkan untuk pemantauan cuaca dan penataan ruang wilayah. IKONOS akan lebih bermanfaat misalnya dalam menganalisis lahan dan identifikasi obyek. Apabila kemudian data ini dipadukan dengan data sekunder akan memberikan pengetahuan tentang potensi suatu daerah dengan lebih detil dan bermanfaat khususnya dalam pengambilan kebijakan pembangunan (Janssen dan Hurneeman, 2001). 2.8 NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Satelit NOAA merupakan satelit lingkungan dan cuaca yang pertama kali diluncurkan pada tahun 1970 oleh NASA Amerika Serikat. Satelit ini biasanya dipakai dalam observasi meteorologi, hidrologi dan osenografi. Satelit NOAA berorbit polar dimana orbit satelit sejajar dengan bumi dan melintasi kutub utara dan kubub selatan. Satelit NOAA mengitari bumi dengan mengikuti salah satu lintang dengan arah tetap pada ketinggian 833 kilometer sampai dengan 870 kilometer. Karena adanya rotasi bumi maka terdapat dua arah lintasan. Arah lintasan yang menuju arah utara disebut ascend dan arah lintasan menuju arah selatan yang disebut descend. Satelit ini tiap hari mengorbit sebanyak 14.2 kali dan waktu tiap orbitnya adalah 102 menit. Pada tiap orbitnya satelit NOAA merekam daerah selebar 3000 x 3000 km. Sensor yang terdapat pada satelit NOAA diantaranya adalah: 1. Tiros Operational Vertikal Sounder (TOVS), untuk pengamatan profil (suhu dan kelembaban) atmosfer. 2. Space Environmental Monitor (SEM), untuk deteksi proton matahari, partikel alpha, rapat flux electron dan energi total partikel pada ketinggian satelit. 3. Data Collecting and Location System (DCS), berfungsi sebagai pengumpul dan transmisi data cuaca global yang diterima oleh flatform di permukaan bumi. 4. Search and Rescue Satellite Aided Tracking (SARSAT), untuk keperluan SAR. 5. Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), untuk pengamatan lingkungan dan cuaca. Sensor pada misi NOAA yang relevan untuk pengamatan bumi adalah Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Sensor AVHRR yang mempunyai fungsi untuk membantu pengamatan lingkungan dan cuaca dapat memberikan informasi tentang suhu permukaan laut untuk melihat fenomena osenografi. Sensor ini dibuat oleh Aerospace Optical Division ITT-Fortwyne dan memiliki lima saluran (kanal) scanning radiometer dimana masing-masing saluran mempunyai panjang gelombang dan fungsi tertentu dalam penggunaannya (Janssen dan Hurneeman, 2001). Satelit NOAA-AVHRR yang mengorbit polar didesain untuk dapat memantau permukaan bumi dalam skala luas. Satelit NOAA ditargetkan dapat meliputi seluruh permukaan bumi dengan bergerak dari selatan ke utara pada orbitnya di satu sisi bumi (ascending pass) dan kebalikannya dari utara ke selatan pada sisi bumi yang lainnya (descending pass). Untuk wilayah Indonesia, dalam satu kali liputannya satelit NOAA-AVHRR dapat mencakup luasan maksimum 2048 pixel. Sebuah pixel citra satelit NOAA-AVHRR berukuran 1.1 km x 1.1 km. Dengan demikian hanya dalam satu kali orbit luas daerah Indonesia sebesar 2/3 dapat diliput. Dalam satu hari kurang lebih 24 jam, groun station satelit NOAAAVHRR milik LAPAN dapat menerima minimal 2 cita dan maksimal 4 citra untuk daerah yang berbeda yaitu dua data dari ascending orbit dan dua citra dari descending orbit. Untuk seri satelit NOAA-18 data ascending diterima pada sore dan malam hari, sedangkan data descending diperoleh pada saat subuh dan pagi hari (Zudiana, 2004). Data AVHRR terutama digunakan untuk peramalan cuaca harian dimana memberikan data yang lebih detail daripada Meteosat. Selain itu, juga dapat diterapkan secara luas pada banyak lahan dan perairan. Peta tutupan awan (Cloud Cover Maps) yang berasal dari data AVHRR, digunakan untuk estimasi curah hujan, dimana dapat menjadi input dalam model pertumbuhan tanaman. Selain itu, hasil pengolahan lain dari data AVHRR adalah Normalized Difference Vegetation Index Maps (NDVI). Data AVHRR sangat tepat untuk memetakan dan memonitor penggunaan lahan regional dan memperkirakan keseimbangan energi (energy balance) pada areal pertanian (Janssen dan Hurneeman, 2001). Tabel 3 Karakteristik sensor infra merah termal NOAA-AVHRR Sensor Panjang gelombang Kanal 3A: 1.57-1.64 m 3B: 3.55-3.93 m Kanal 4: 10.3-11.3 m Kanal 5: 11.5-12.5 m Sumber: Maryani, 2008. NOAAAVHRR Resolusi spasial 1.1 x 1.1 km2 Resolusi temporal 2 kali sehari Sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit NOAA adalah multi spectral scanner dengan lima band pada panjang gelombang yang berbeda, mulai dari sinar tampak dan infrared jauh. Saat ini terdapat 4 seri satelit NOAA yang masih beroperasi, yaitu NOAA-15, NOAA-16, NOAA-17, dan NOAA-18 yang masingmasing melintasi lokasi yang sama 2 kali sehari (Maryani, 2008). 2.8.1 Perolehan data suhu udara dan kelembaban dari data NOAA NOAA Landuse dari Landsat7Etm Koreksi geometrik & Radiometrik Masking Awan Penurunan Brihtness Temperature kanal 3-4-5 DEM SRTM Penurunan Reflektans kanal 1-2 Perhitungan indeks vegetasi NDVI Perhitungan Suhu permukaan bumi (LST) Perhitungan Suhu udara Estimasi Kelembaban Udara (RH) Gambar 10 Proses perolehan suhu dan kelembaban udara dari data NOAA (Parwati, 2010) 2.8.2 Perolehan data curah hujan melalui satelit lingkungan dan cuaca Pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh untuk memantau kondisi curah hujan dapat dilakukan melalui satelit lingkungan dan cuaca, seperti MTSAT (Multifunction Transport Satellite), TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission), dan data QMorph yang curah hujannya diperoleh dari kombinasi beberapa satelit geostasioner yaitu DMSP, NOAA, Aqua dan TRMM. Data MTSAT memberikan informasi kondisi liputan merepresentasikan peluang hujan rendah hingga tinggi. awan yang dapat Data MTSAT dapat diperoleh setiap jam dengan resolusi spasial 5 km. Data TRMM memberikan informasi curah hujan setiap 3 jam dengan resolusi spasial 27 km, sedangkan data QMorph dapat memberikan informasi curah hujan setiap 30 menit dengan resolusi spasial 8 km. Informasi curah hujan dari data Qmorph dapat dilihat di website: http://www.cpc.noaa.gov/products/janowiak/cmorp.html Data satelit DMSP, NOAA, AQUA dan TRMM Download Data QMORHP Perhitungan curah hujan harian (24 jam) Spatial subset untuk Penentuan Koordinat Spectral subset band 1 dan 4 Croping daerah yang dipilih Pengolahan data curah hujan selesai Gambar 11 Proses perolehan curah hujan dari data satelit lingkungan dan cuaca (Parwati, 2010)