dampak sosial ekonomi revitalisasi pasar tradisional terhadap

advertisement
Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional
Annisa Indah Masitha
DAMPAK SOSIAL EKONOMI REVITALISASI PASAR TRADISIONAL
TERHADAP PEDAGANG
Annisa Indah Masitha
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Pasar Jumat, Jakarta Selatan 12310
Email: [email protected]
ABSTRAK
Di era globalisasi, permasalahan umum yang terjadi pada pasar tradisional di Indonesia adalah buruknya segi
fisik, fasilitas sarana-prasarana sampai lemahnya manajemen pengelolaan. Untuk menghadapi persaingan
dengan pasar modern, pasar-pasar tradisional milik pemerintah di perkotaan melakukan upaya-upaya
perbaikan melalui revitalisasi pasar mengoptimalkan kembali fungsi pasar. Kajian ini mengidentifikasi
dampak sosial ekonomi yang muncul dari pelaksanaan revitalisasi pasar Wonokromo di Surabaya. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif jenis deskriptif dengan pendekatan studi kasus dan teknik pengambilan
data purposive sampling. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa berbagai dampak sosial ekonomi dari
pelaksanaan revitalisasi Pasar Wonokromo yang dirasakan pedagang berbeda-beda bergantung lapisan
kelompok pedagang. Revitalisasi pasar bagi pedagang besar yang relatif memiliki kapital ekonomi dan sosial
yang stabil membawa perubahan positif seperti keinginan dan semangat untuk memajukan usahanya agar
berkembang lebih baik. Bagi pedagang kecil, revitalisasi pasar dirasakan belum membawa kesejahteraan ke
arah yang lebih baik. Adanya revitalisasi pasar mematikan usaha mereka yang terlihat dengan perubahan
pendapatan yang menurun dibandingkan ketika sebelum direvitalisasi. Di samping itu, revitalisasi Pasar
Wonokromo juga membawa pergeseran relasi sosial di dalam pasar. Bagi pedagang besar cenderung
memperoleh jaringan perdagangan lebih luas dengan dunia luar. Sedangkan bagi pedagang kecil, relasi sosial
tersebut semakin terkikis dengan hilangnya pelanggan sehingga mereka harus membangun kembali dari awal
relasi yang terputus.
Kata Kunci: pasar tradisional, pedagang, revitalisasi pasar, dampak, sosial ekonomi.
ABSTRACT
In the era of globalization, the common problems which occurs in traditional markets in Indonesia are poor
in terms of physical infrastructure facilities to poor management. To face competition from modern markets,
the government’s traditional markets in the urban to make efforts to optimize the revitalization of the market
improvements through re-functioning market. This study identifies the socio-economic impacts arising
from the implementation of revitalization Wonokromo market in Surabaya. This study used qualitative
methods to type a descriptive case study approach and purposive sampling techniques in collecting data.
This study concludes that socio-economic impact of the implementation of the revitalization of Market
traders Wonokromo perceived differently depending on the layer group of traders. For wholesalers who
have relatively stable capital social and economic revitalization of the market to achieve change positive,
desire and passion to advance your business to grow better. In small traders, the revitalization of the market
didn’t think to bring prosperity to better address. The existence of the revitalization of their businesses
out of the market that seemed to change when income was reduced in comparison to earlier revitalized. In
addition, revitalizing Wonokromo market also brought a change in social relationships within the market.
For large traders tend to be more wide network of trade with the outside world. Meanwhile, small traders,
social relations are increasingly more eroded by the loss of customers what they have to build it from scratch
a broken relationship.
Keywords: Traditional market, traders, market revitalization ,impact, social economic.
41
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
PENDAHULUAN
Pasar tradisional, di masa globalisasi saat
ini tengah mengalami berbagai macam masalah.
Permasalahan yang umumnya terjadi pada pasar
tradisional di tanah air ialah buruknya segi fisik,
fasilitas sarana-prasarana sampai lemahnya
manajemen pengelolaan pasar. Kondisi-kondisi
tersebut diperparah dengan semakin suburnya
jumlah ritel dan pasar modern akibat tidak jelasnya
regulasi pemerintah di sektor ritel. Maraknya
pembangunan pasar modern menyudutkan posisi
pasar tradisional di perkotaan. Menurut survey AC
Nielsen tahun 2004, pertumbuhan pasar modern
sebesar 31,4 persen, sedangkan pertumbuhan
pasar tradisional minus 8,1 persen (harian Kompas,
2007).
Dalam menghadapi persaingan dengan
pasar modern maka pasar-pasar tradisional
di perkotaan yang menjadi milik pemerintah
melakukan upaya-upaya perbaikan melalui
revitalisasi pasar. Bila ditilik secara estimologis,
revitalisasi berarti
proses, cara, perbuatan,
menghidupkan, menggiatkan kembali (KBBI,
2002). Dengan kata lain ada itikad dinas pasar/
PD Pasar untuk menggiatkan atau membuat vital
pasar tradisional dari kondisi yang ada sebelumnya.
Karena pada umumnya, kondisi pasar tradisional
yang ada di tanah air selama ini memperlihatkan
buruknya aspek fisik bangunan dan manajemen
pengelolaan pasar.
Revitalisasi pasar dengan melakukan
perbaikan fisik dalam bentuk renovasi bangunan
pasar maupun dalam tataran manajemen
pengelolaan dan administratif agar lebih profesional
yang dilakukan oleh Dinas Pasar/ Perusahaan
Daerah (PD) Pasar seolah menjadi resep mujarab
dalam menghadapi peritel raksasa atau pasar
modern. Tanpa dilakukannya upaya revitalisasi, para
pedagang merasakan kenyataan pahit betapa pasar
mereka kian sepi tergencet persaingan dengan toko
modern (harian Kompas, 2007).
Demikian pula yang terjadi pada pasarpasar tradisional di Surabaya juga tidak luput dari
agenda revitalisasi. PD Pasar Surya, selaku pihak
pemerintah yang mengorganisir 81 unit dari total
sekitar 200 pasar yang ada di Surabaya, menjalankan
agenda revitalisasi pasar dilatarbelakangi semakin
pesatnya perkembangan pusat perbelanjaan di
Surabaya. Selain itu, perlunya meningkatkan
kondisi perekonomian masyarakat menengah ke
bawah, dan juga kondisi pasar tradisional umumnya
yang cenderung kumuh, tidak teratur dan tidak
aman karena banyak dikuasai oleh preman pasar.
Konsep revitalisasi ini ialah perbaikan pasar
secara menyeluruh maupun sebagian untuk
mengoptimalkan fungsi pasar sebagai tempat
42
pertemuan antara pedagang dan pembeli(majalah
Gapura, 2007).
Namun, kebijakan revitalisasi pasar ini
sayangnya mengundang pro dan kontra. Misalnya
yang terjadi di pasar Wonokromo. Dalam aspek fisik
bangunan, dimana kecenderungan pembangunan
pasar dengan merenovasi bangunan yang meletakkan
pasar tradisional dan modern ditempatkan dalam
satu gedung yang sama dikhawatirkan akan
menimbulkan keadaan yang kontradiktif yang
tentunya akan merugikan pedagang pasar. Dengan
adanya revitalisasi di pasar Wonokromo, pedagang
merasakan adanya diskriminasi dalam hal
pemisahan antara bangunan pasar modern dengan
pasar tradisional (harian Kompas, 2003). Di pasar
Wonokromo, para pedagang lama merasakan pasar
Wonokromo-DTC kian sepi karena jarang didatangi
pembeli. Lain halnya ketika masih berdagang dalam
pasar Wonokromo lama yang meskipun jorok
namun tetap didatangi pembeli.
Konsekuensi tuntutan atas modernitas
dimana manusia modern saat ini kian menginginkan
efisiensi, profesionalitas dan keteraturan adalah
hal yang tak dapat dihindari. Revitalisasi pasar
sebagai jawaban atas perubahan jaman merupakan
bagian dari kebijakan baru yang muncul dalam
perkembangan pasar tradisional di perkotaan.
Namun sebuah perubahan tentunya menciptakan
kelompok-kelompok yang merasa diuntungkan dan
dirugikan.
Revitalisasi pasar yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan dan keteraturan
pedagang, dalam beberapa hal mengundang
reaksi protes pedagang. Para pedagang pasar
sebagai pihak sasaran revitalisasi merasakan
ketidaknyamanan dengan adanya perubahan
kondisi ini. Ketidaknyamanan itu akhirnya berujung
pada upaya-upaya beberapa kelompok pedagang,
misalnya tidak mau membayar sewa stan karena
menurut mereka harga sewa tersebut memberatkan.
Seperti yang terjadi pada kasus protes pedagang di
pasar Wonokromo tanggal 9 November 2007 silam
yang berujung bentrokan dengan aparat.1
1
Bentrokan terjadi ketika petugas hendak menyegel 24
stan milik pedagang yang tidak pernah membayar cicilan
selama dua tahun, atau semenjak tanggal 11 Juni 2005
silam pasar Wonokromo yang baru diresmikan. Pedagang
berusaha mempertahankan stan mereka dengan alasan proses
pembayaran cicilan antara pedagang dan pihak pengelola
pasar (PD Pasar Surya) yang tidak transparan. Sementara PD
Pasar Surya menuding pedagang pasar yang tidak membayar
angsuran sewa stand itu menyalahi perjanjian awal yang telah
disepakati bersama sebelum mereka menempati stand.
Lihat artikel Penyegelan 20 Kios di Pasar Wonokromo Ricuh
(tanggal 9 November 2007), www.suarasurabaya.net/v05/kela
nakota/?id=9005efc08d4866aca98a02fe40de5dc8200746104.
diakses 4 Desember 2007. Lihat juga www.metrotvnews.com ,
tanggal 10 November 2007.
Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional
Annisa Indah Masitha
Selama ini kecenderungan praktek renovasi
dan revitalisasi pasar dengan mengatasnamakan
pedagang dan tak jarang melalui penunjukkan
pengembang dan tanpa tender dalam kenyataannya,
menurut APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh
Indonesia), seringkali “mengkhianati” pedagang
lama yang sebelumnya ada. Pengalaman yang
ada selama ini, renovasi hanya kedok untuk
menyingkirkan pedagang-pedagang yang sudah
berjualan lama disana. Jika keadaan ini dibiarkan
terus-menerus maka dampak-dampaknya akan
muncul secara meluas (harian Kompas, 2007).
Dari uraian latar belakang tersebut objek
penelitian hanya difokuskan kepada: Apa saja
dampak sosial-ekonomi yang muncul dari adanya
pelaksanaan revitalisasi pasar Wonokromo yang
dirasakan oleh para pedagang?
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi dampak sosial ekonomi yang
muncul dari adanya pelaksanaan revitalisasi di
pasar Wonokromo dan untuk menjaring aspirasi
pedagang mengenai penilaian mereka terhadap
kebijakan revitalisasi dalam pengelolaan pasar oleh
PD Pasar Surya.
KAJIAN PUSTAKA
Dampak Sosial Ekonomi
Setiap perubahan membawa konsekuensikonsekuensi
tersendiri
bagi
masyarakat.
Pembangunan sebagai suatu proses perubahan
yang direncanakan, seiring berjalannya waktu tentu
tidak terlepas dari dampak yang menyertainya.
Pembangunan pada umumnya merupakan kehendak
masyarakat yang terwujud dalam keputusankeputusan yang diambil oleh para pemimpinnya
(Soekanto,1982).
Dampak-dampak yang muncul tersebut
dapat ditarik sebuah benang merah yakni adanya
intervensi yang datang dari decision-making yang
berpengaruh atas kondisi sebelum dan sesudahnya
(Parsons,2006). Perspektif dampak dalam tinjauan
sosiologi harus memperhatikan beberapa hal
dalam kehidupan sosial. Aspek sosial dalam
kajian dampak yang dibingkai oleh terapan ilmu
pengetahuan sosial secara sistematis ini, setidaknya
untuk mengidentifikasi dua hal: (1) bentuk dan
sifat penilaian atau respon masyarakat terhadap
suatu usaha atau kegiatan; dan (2) perubahan
penilaian atau respon masyarakat terhadap usaha
atau kegiatan tersebut. Pembahasan masalah
tersebut mencakup rentang kegiatan yang meliputi
tahap prakonstruksi, tahap konstruksi dan pascakonstruksi, dengan memperhatikan tujuan dan
target yang hendak dicapai (Usman, 2003).
Penilaian dampak membawa pada
awal siklus kebijakan, definisi problem dan dan
penentuan agenda. Tujuan penilaian adalah untuk
menunjukkan bagaimana suatu kebijakan atau
program tertentu sudah “bekerja/tidak bekerja”,
memenuhi tujuan kebijakan/program serta
menjaga konstruksi problem dan klaim kebijakan
yang dilakukan pemerintah. Sedangkan metode
untuk menilai dampak antara lain (Parsons, 2006):
a) Membandingkan problem/situasi/kondisi
dengan apa yang terjadi sebelum intervensi.
b) Melakukan eksperimen untuk menguji
dampak suatu program terhadap suatu area
atau kelompok dengan membandingkannya
dengan apa yang terjadi di area atau kelompok
lain yang belum menjadi sasaran intervensi.
c) Membandingkan biaya dan manfaat yang
dicapai sebagai hasil dari intervensi.
d) Menggunakan model untuk memahami dan
menjelaskan apa yang terjadi sebagai akibat
dari kebijakan masa lalu.
e) Pendekatan kualitatif dan judgemental
untuk mengevaluasi keberhasilan/kegagalan
kebijakan dan program.
f) Membandingkan apa yang sudah terjadi
dengan tujuan atau sasaran tertentu dari
sebuah program atau kebijakan.
g) Menggunakan pengukuran kinerja untuk
menilai apakah tujuan atau targetnya sudah
terpenuhi.
Dalam
kajian
dampak,
penetapan
komponen sosial-ekonomi relatif lebih sulit karena
sifat manusia yang sangat dinamis dan setiap
komponen mempunyai hubungan yang erat dan
interaktif. Beberapa komponen-komponen sosialekonomi yang ditetapkan sebagai indikator sosial
ekonomi masyarakat tidak terlepas dari jaringan
pola-pola perkembangan tersebut (Suratmo,2004).
Dari paparan penjelasan di atas, sekiranya dapat
dirumuskan kerangka operasi dari dampak, baik
positif maupun negatif, yang dirasakan oleh
kelompok pedagang baik yang bersifat permanen
maupun
kontemporer
pasca
pelaksanaan
revitalisasi di pasar Wonokromo yang dilihat dari
sudut pandang:
a) Sosial:
Menyangkut aspek-aspek relasi dan interaksi
sosial para pedagang--baik sebagai individu
maupun kelompok, serta baik yang berlaku
pada tataran struktural maupun kultural-dengan elemen-elemen sosial lainnya yang
menyangkut berjalannya kehidupan pasar, dan
lain-lain.
43
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
b) Ekonomi:
Menyangkut aspek-aspek penyerapan tenaga
kerja, perkembangan struktur ekonomi,
perubahan pendapatan masyarakat, dan
perubahan lapangan pekerjaan yang ada, dan
lain-lain
Pasar Tradisional
Keberadaan pasar merupakan bagian
dari sejarah panjang dari apa yang dinamakan
masyarakat. Pada mulanya, pasar di dalam suatu
masyarakat ada ketika orang menawarkan barang
dan jasa untuk dijual kepada orang lain dengan
cara yang kurang lebih sistematis dan terorganisasi
(Sanderson, 1993). Granovetter dalam bukunya
Sociology of Economic Life melihat bahwa pasar
timbul sebagai sebuah proses sosial yang dilihat
dari pertemuan antara pembeli dan penjual dan
struktur yang terbentuk di dalamnya tidak saja
didasari oleh supplies (permintaan) dan demand
(penawaran) semata-mata.
Pasar timbul secara spontan sebagai
tempat untuk membagi pekerjaan, sehingga mereka
yang mengkhususkan diri dalam produksi satu jenis
barang tertentu bisa memperoleh hasil produksi
orang lain (Belshaw, 1965). Namun kiranya, terdapat
tipikalitas-tipikalitas yang terdapat pada berbagai
pasar. Seperti berlakunya kode-kode perdagangan
serta harga ekuivalensi, kode-kode transaksi, modemode penetapan harga (mode of price-making),
penjualan dan pembayaran, dll. (Nugroho, 2002).
Dalam mengkaji pasar ada beberapa hal
yang perlu ditekankan. Sanderson mengingatkan
pentingnya membedakan pasar sebagai “market”
maupun pasar sebagai “marketplace” (tempat pasar)
(Sanderson, 1993). Merujuk pada pendapat ahli
ekonomi, pasar sebagai “market” adalah merupakan
kemampuan pasar bekerja menurut mekanisme
institusionalnya yakni untuk menciptakan harga
dan menjalankan prinsip-prinsip pasar, atau biasa
disebut dengan istilah self regulating market.
Sedangkan pasar sebagai marketplace (tempat
pasar), merujuk pada pengkajian para ahli
sejarah dan antropolog, yakni tempat pertemuan
untuk memindahkan barang dari satu tangan ke
tangan lainnya (Neale, 1956). Paul Bohannan dan
George Dalton mengartikan pasar sebagai tempat
yang mempunyai unsur-unsur sosial, ekonomis,
kebudayaan, politis, dan lain-lainnya, tempat
pembeli dan penjual (atau penukar tipe lain)
saling bertemu untuk mengadakan tukar-menukar
(Belshaw, 1981).
Clifford Geertz (1977) dalam bukunya
Penjaja dan Raja menelaah pasar-pasar tradisional
pada umumnya yang terdapat dalam masyarakat
44
Jawa. Terdapat tiga sudut pandang dalam memahami
artian luas dari pasar. Pertama, sebagai arus barang
dan jasa menurut pola tertentu. Kedua, sebagai
rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara
dan mengatur arus barang dan jasa terebut. Ketiga,
sebagai sistem sosial dan kebudayaan dimana
mekanisme itu tertanam.
Dari sudut arus barang dan jasa, ciri
khas pasar yang paling menonjol adalah jenis
barang yang diperjual-belikan di situ: bahan
pangan, sandang, dan barang besi kecil-kecilan
dan sebagainya. Yakni barang-barang kecil yang
mudah diangkut dan disimpan, yang persediaannya
dapat ditambah dan dikurangi dengan lambat
laun dan sedikit demi sedikit. Barang-barang yang
mengizinkan perubahan marginal pada tingkat
operasi perdagangan, bukannya mengharuskan
“loncatan” yang tak kontinyu. Dengan kata lain,
corak perdagangan yang khas dari pasar tradisional
adalah penduduk dapat mengecerkan barang
dagangannya secara langsung di pasar setempat
kegiatan perdagangan ini biasanya dilakukan
pedagang eceran kecil (bakul).
Sedangkan mekanisme ekonomi pengatur
arus barang dan jasa ada tiga komponen penting:
sistem harga luncur (sliding price system), neraca
kompleks dari hubungan-hubungan kredit yang
diselenggarakan dengan hati-hati, dan pembagi
bagian resiko dan dengan sendirinya margin laba
yang sangat ekstensif.
Sebagai sistem sosial dan budaya maka
pasar bercirikan: 1. Posisi “terselip” (interstitial)
yang tradisionil di dalam masyarakat Jawa pada
umumnya.; 2. Pembagian kerja yang sangat
berkembang, yang secara langsung merupakan
landasan terpenting dari organisasi struktur sosial
untuk pasar sebagai keseluruhan; 3. Pemisahan
yang sangat tajam antara ikatan-ikatan sosial yang
khas ekonomi dan non-ekonomi.
Dalam penelitian ini, pengertian pasar
tradisional dibatasi pada terma tempat pasar
(marketplace). Pasar tradisional sebagai marketplace
berarti menempati lokasi yang spesifik dimana
orang-orang bertemu untuk melakukan pertukaran.
Pertukaran itu merupakan perpindahan satu jenis
barang ke dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
Para petani datang ke pasar yang ada di kota dan
menjual komoditasnya untuk dibeli oleh orang kota.
Tempat pasar biasanya menempati lokasi yang tetap
dan buka setiap hari, tetapi ada juga yang buka pada
hari-hari tertentu saja (Neale, 1956) dalam (Polanyi,
tanpa tahun).
Pasar tradisional sebagai bagian dari ragam
pasar menunjukkan karakteristik-karakteristik
tersendiri yang berbeda dari pasar modern. Pada
pasar tradisional, sistem yang digunakan adalah
Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional
Annisa Indah Masitha
tradisional. Orang-orang berjual beli komoditas
secara tradisional tanpa administrasi yang cermat
tanpa dilengkapi teknologi modern, dan lain-lain
(Nugroho, 2002). Kegiatan perdagangan di pasar
tradisional lebih pada skala kecil atau eceran,
menyesuaikan pada pangsa pasar yang biasanya
merupakan masyarakat kelas menengah kebawah.
Geertz menyebut ekonomi pasar semacam ini adalah
tradisionil dimana berfungsinya diatur oleh adat
kebiasaan dagang yang dianggap keramat karena
terus-menerus dipergunakan selama berabadabad. Apa yang tak ada pada ekonomi pasar itu
bukan ruang gerak melainkan organisasi, bukan
kebebasan melainkan bentuk (Geertz, 1977).
Pada
masyarakat
Jawa,
pasar
tradisional biasa disebut dengan istilah “Pasar”
(Alexander,1987). Di dalam pasar itu terjadi proses
sosial yang menjadi media bagi masyarakat kalangan
menengah kebawah untuk saling berinteraksi baik
antara sesama pedagang, pembeli dengan pedagang,
maupun pembeli dengan pembeli. Orang-orang
yang terdapat dalam pasar itu biasanya murni
bertransaksi secara komersil tanpa dihubungkan
satu sama lain pada kesamaan kesatuan kelompok
sosial seperti pertalian keluarga, tetangga dan
afiliasi keagamaan (Dewey, 1961). Keadaan pasar
sebagai tempat pertemuan yang selalu ramai dan
riuh-rendah memungkinkan orang-orang untuk
bertukar-cerita mengenai berita informasi dan
hiburan. Bahkan pasar juga dapat memenuhi
kebutuhan yang bersifat rekreasi. Karakter sosial
seperti inilah yang jamak ditemui pada pasar-pasar
tradisional.
Jennifer
Alexander
(1987)
dalam
bukunya Trade, Traders and Trading In Rural
Java menyebutkan bahwa klasifikasi pedagang
yang sebagai pelaku pasar (marketplayer) yang
umum dijumpai di pasar tradisional adalah bakul,
juragan, dan agen. Bakul adalah untuk menyebut
semua pedagang yang menjual barang eceran pada
pembeli produk pertanian secara besar-besaran
dalam kuantitas yang besar. Macam-macam bakul
adalah bakul jalan, bakul keliling, bakul ngider,
bakul dasaran, dan bakul borongan. Sedangkan
juragan, memiliki modal keuangan yang lebih besar
dan perdagangan dalam kuantitas yang lebih besar
daripada bakul. Juragan juga sebutan bagi pedagang
yang membeli hasil pertanian langsung dari petani.
Juragan dapat dibedakan atas tengkulak dan penebas.
Tengkulak biasanya membeli hasil panen pertanian
dalam kuantitas besar dan membayar langsung
secara tunai, sedangkan penebas membeli hasil
pertanian setelah ada kesepakatan harga namun
membayar uang muka dahulu (manjer) dan sisanya
dibayar setelah penebas dapat menjual kembali
hasil pertanian. Agen biasanya membeli langsung
dari petani dan bertugas mengawasi hasil pertanian
dan mengatur pengantaran barang ke depot ketika
persediaan menjadi relatif langka. Terma agen juga
dipakai untuk menyebut juragan perantara yang
memiliki hubungan yang stabil dengan langganan
maupun distributor.
Pada masyarakat Jawa, kegiatan penjualan
dan pembelian komoditas yang ada di pasar
tradisional biasanya dilakukan melalui tempat pasar
seperti pasar, depot, toko dan warung (Alexander,
1987). Masing-masing tempat pasar tersebut
memiliki fungsi ekonomi yang khas, persetujuan
dengan pelanggan, dan memiliki sedikit ukuranukuran transaksi. Pembedaan tempat pasar
semacam ini juga menunjukkan adanya kelaskelas sosial dan stratifikasi sosial yang terangkum
pada gambaran sosial pasar tradisional. Konsepsi
masyarakat Jawa mengenai toko, depot, warung
dan pasar berbeda-beda tergantung pada keadaan
ekonomi dan status sosial yang ada.
Pembahasan mengenai pasar tradisional
dalam penelitian ini, diletakkan menurut frame
sosiologi. Yakni menempatkan pasar sebagai
bagian dari ruang-ruang sosial masyarakat dan
menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Dimana di
dalam pasar tradisional ini dapat dijumpai relasirelasi sosial yang khas dibandingkan dengan intitusi
pasar lainnya. Misalnya di dalam pasar tradisional,
kita dapat menjumpai konsep tuna sathak bathi
sanak (untung sedikit tapi banyak kenalan atau
persaudaraan baru), suasana merakyat, egaliter,
keintiman, keberanian menyampaikan pendapat
dalam proses tawar-menawar, pengalaman/
pelajaran baru, artikulasi kepentingan, dan lainlain.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi di Pasar
tradisional Wonokromo Surabaya yang merupakan
pilot project kebijakan revitalisasi pasar yang
dilakukan PD Pasar Surya, dan dilakukan selama
rentang waktu Januari-Juni 2008. Penelitian ini
bersifat kualitatif, dengan jenis deskriptif dengan
pendekatan kajian studi kasus. Penelitian ini
menggunakan teknik pengambilan sampel purposif
(purposive sampling), yaitu pemilihan sampel yang
ditentukan secara sengaja berdasarkan kriteriakriteria tertentu menurut tujuan peneliti. Sedangkan
metode pengumpulan data menggunakan observasi
untuk menangkap, merekam, dan menuliskan
setting sosial berlangsungnya kehidupan pasar.
Selain itu, penelitian ini menggunakan wawancara
sebagai data primer. Wawancara dilakukan
kepada pihak-pihak informan tertentu dengan
pertimbangan bahwa para informan ini adalah yang
terlibat langsung dengan revitalisasi pasar, yakni
antara lain kepada:
45
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
•
•
•
•
•
Direktur Utama dan atau jajaran PD
Pasar Surya selaku penggagas kebijakan
revitalisasi pasar.
Kepala Pasar Wonokromo selaku pimpinan
tertinggi di dalam pasar.
Pihak PT Arwinto Intan Wijaya selaku
investor revitalisasi pasar Wonokromo.
Pedagang pasar Wonokromo selaku
market-player utama di pasar tradisional
dan sebagai subjek yang terkena dampak
langsung revitalisasi pasar. Kelompok
pedagang yang diwawancara sebanyak
enam orang. Kriteria pedagang yang
diwawancara merujuk pada keterwakilan
dari
golongan
pedagang
menurut
komoditas yang mereka jual.
Serta pihak-pihak terkait yang diperoleh
selama penelitian berlangsung untuk
mendapatkan data akurat (misalnya:
pembeli/konsumen, atau komponen sosial
lainnya di dalam pasar, dll.).
Sedangkan pengumpulan data sekunder
dengan menelusuri dokumen resmi terkait
dengan agenda revitalisasi pasar yang mencakup
pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh
PD Pasar Surya dalam menentukan arah dan
tujuan revitalisasi pasar sebagai basis manajemen
pengelolaan pasar-pasar tradisional di Surabaya,
utamanya di pasar Wonokromo. Selain itu dengan
menelusuri kepustakaan yang berkaitan dengan
konteks historis perkembangan pasar Wonokromo
dari masa ke masa, untuk melihat seberapa vital
peranan pasar Wonokromo bagi perkembangan
perekonomian kota, hingga pada akhirnya ditunjuk
sebagai pilot project pelaksanaan revitalisasi. Bukubuku yang mengkaji pasar tradisional ataupun hasil
riset yang membahas tentang pasar tradisional
adalah sasaran utama dalam riset kepustakaan ini,
terutama yang terkait dengan pasar Wonokromo
dan PD Pasar Surya secara kelembagaan.
Teknik analisis data dengan cara
memaparkan data berdasarkan urutan waktu dan
kejadian, menghubungkan data dengan konteks,
yang kemudian disajikan dalam bentuk paparan
lengkap untuk memecahkan masalah penelitian.
Analisa data akan mengacu pada kerangka
pemikiran, sehingga didapatkan analisa yang
terfokus dan sistematis. Data yang akan diolah
adalah data yang berhubungan dengan penilaian
maupun respon pedagang pasar atas pelaksanaan
revitalisasi pasar. Apakah para pedagang merasakan
dampak dari adanya revitalisasi pasar terutama
yang menyangkut aspek sosial dan ekonomi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pasar Wonokromo merupakan salah satu
pasar tradisional yang terkenal di Surabaya. Posisi
pasar Wonokromo yang berada di pintu masuk
wilayah Surabaya Selatan yang sering dilalui oleh
kendaraan-kendaraan dari luar kota yang datang
dari arah kota Sidoarjo, Mojokerto, Malang dan
sekitarnya, menjadikan pasar ini sangatlah strategis.
Titik keramaian lainnya yang terdapat di sekitar
kawasan Surabaya selatan adalah Kebun Binatang
Surabaya dan berbagai pusat perbelanjaan seperti
Royal Plaza, Pusat Grosir Mangga Dua, Alfa, dan
Giant Hypermarket.
Selain strategis, Pasar Wonokromo juga
mudah terjangkau oleh berbagai akses transportasi
umum. Hal ini dikarenakan lokasi pasar yang
berseberangan dengan Stasiun Wonokromo yang
merupakan tempat transit bagi kereta api kelas
ekonomi. Selain itu, tak jauh dari pasar Wonokromo
juga terdapat terminal Joyoboyo yang menjadi pusat
pemberhentian bermacam-macam jenis angkutan
dalam dan luar kota.
Dalam konteks historis, Wonokromo
memang merupakan kawasan penting dalam sejarah
perkembangan kota Surabaya. Bahkan oleh sebagian
kalangan, Wonokromo dipercaya sebagai cikalbakal kota Surabaya. Pena sejarah mencatat, bahwa
Wonokromo dahulunya menjadi satu kawasan
yang ramai oleh berbagai kegiatan mulai dari
industri, perdagangan, bahkan pertanian. Wilayah
Wonokromo tumbuh dan berkembang seiring
dengan dibangunnya kota Surabaya sebagai kota
industri dan jasa pada jaman kolonial, khususnya di
akhir abad 19 dan awal abad 20 Surabaya bahkan
disebut-sebut sebagai kota industri terbesar di
Hindia Belanda.
Gambar 1 Pasar Wonokromo sesudah revitalisasi (kiri) dan sebelum (kanan)
46
Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional
Annisa Indah Masitha
Pasar ini menempati area tanah seluas ±
17.213 m2 dengan luas bangunan ±10.584 m2. Pasar
Wonokromo baru yang dibangun selama rentang
waktu 2003-2005 ini menempati gedung DTC
(Darmo Trade Centre) yang memiliki delapan lantai.
Pasar Wonokromo menempati dua lantai dasar
yakni lantai dasar bawah (LDB) dan lantai dasar
atas (LDA) sedangkan sisa enam lantai di atasnya
merupakan pasar modern yakni DTC Pasar Grosir
Wonokromo.
Konsep pembangunan ini merupakan
perpaduan dari pasar tradisional dan pasar modern
yang diletakkan dalam satu gedung yang sama.
Dimana Pasar Wonokromo menempati dua lantai
dasar dan menjadi kewenangan PD Pasar Surya.
Sedangkan enam lantai di atasnya merupakan
area DTC yang pengelolaannya diserahkan ke PT.
Arwinto Intan Wijaya selaku pihak investor. Untuk
menghubungkan antara kedua jenis pasar ini
menggunakan tangga yang terdapat di dalam pasar
Wonokromo.
Di pasar Wonokromo terdapat berbagai
ragam jenis tempat berjualan. Total keseluruhan
terdapat ± 3.891 buah stand yang tersebar di blokblok yang ada di LDB maupun LDA. Dari keseluruhan
jumlah stand tersebut sudah termasuk fasilitas
umum (fasum) sebanyak 14 stand yang terdiri dari
akses jalan maupun tempat panel listrik. Di LDA
dan LDB, terdapat blok-blok yang terdiri dari blok
A, B, dan C. Penamaan blok-blok ini berguna untuk
memudahkan pengunjung dalam mencari alamat
stand. Dari total jumlah tersebut, sebanyak ± 2.394
buah merupakan jenis kios dan sisanya sebanyak ±
1.497 buah merupakan los.
Para pedagang pasar Wonokromo menjual
berbagai macam komoditas dagangan seperti pasarpasar tradisional lainnya yang lazim ditemui. Hampir
semua barang kebutuhan mulai dari barang-barang
yang sederhana sampai modern tersedia di pasar
ini. Komoditas dagangan pedagang menentukan
lokasi tempat berjualan. Misalnya, di LDB yang
diperuntukkan untuk los basah dengan komoditaskomoditas yang ditawarkan seperti sayur-mayur,
meracang, buah, ayam potong, daging, pecah belah,
jamu, jajanan pasar (kue basah, dawet), gerabah,
dan lain-lain. Sedangkan di LDA menjual beraneka
macam dagangan seperti konveksi, sepatu, palen,
warung/depot, emas, kosmetik, elektronik, obatobatan, rombeng (barang-barang bekas), dll. Selain
itu di dalam pasar juga tersedia beberapa jasa
seperti layanan pijat dan tukang jahit baju.
Nilai Strategis Pasar Wonokromo
Pasar Wonokromo merupakan bagian
dari pasar kelas utama. Pasar kelas utama adalah
pasar yang memiliki radius pelayanan hingga
keluar regional (luar kota Surabaya) dan memiliki
pedagang dalam jumlah besar. Karena statusnya
sebagai pasar kelas utama dan letaknya yang
strategis di pintu gerbang kota Surabaya bagian
selatan, Pasar Wonokromo terkenal sebagai pusat
perkulakan bagi pedagang-pedagang di Surabaya.
Adapun komoditi atau barang dagangan yang
menjadi brand legenda di Pasar Wonokromo adalah
pakaian, sepatu, dan unggas potong.
Pendapatan (income) pasar Wonokromo
menjadi tulang punggung bagi PD Pasar Surya
sebagai perusahaan daerah untuk meningkatkan
PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota Surabaya.
Pendapatan Pasar Wonokromo tergolong paling
besar diantara unit-unit pasar lainnya. Rata-rata
pendapatan yang didapat oleh Pasar Wonokromo
perbulannya sekitar 270 juta rupiah. Pendapatan
tersebut didapat dari iuran-iuran yang dikenakan
kepada pedagang contohnya seperti: rekening
tempat, rekening air, rekening listrik, harian listrik,
harian tempat, balik nama, parkir, biaya her/ijin,
dan lain-lain (biaya tata usaha/ BTU dan serta
pembukaan segel).
Tabel 1 Pendapatan pasar Wonokromo
TAHUN
PENDAPATAN (Rupiah)
2005
1.480.126.895
2006
3.167.110.280
2007
3.253.020.901
Sumber: Kantor Pasar Wonokromo, 2008
Pendapatan dari hasil pengelolaan Pasar
Wonokromo bersama-sama unit-unit pasar lain
yang terkumpul menjadi satu ini nantinya yang
disetorkan PD Pasar ke Pemkot sebesar 55% sebagai
deviden. Potensi ekonomi yang dimiliki oleh Pasar
Wonokromo inilah yang menjadikannya memiliki
peranan yang cukup vital bagi perekonomian kota
Surabaya.
Perubahan status kelembagaan dari Dinas
Pasar menjadi PD Pasar mempengaruhi fungsifungsi, relasi-relasi, orientasi dan manajerial
yang ada di dalamnya. Di mana dahulunya ketika
berbentuk Dinas Pasar fungsi yang dikedepankan
adalah fungsi sosial dan mengarah pada public
services. Sedangkan ketika berstatus sebagai
perusahaan daerah maka semua hal yang ada di
tubuh lembaga didasari atas motif bisnis (profit
oriented) sepenuhnya. Motif bisnis ini merupakan
salah satu bentuk pemenuhan kewajiban PD Pasar
memenuhi sejumlah target-target perusahaan
kepada pemerintah kota. Karena bagaimanapun
juga, PD Pasar juga merupakan bagian dari
eksponen kota Surabaya. Dalam menjalankan
pengelolaan pasar-pasar tradisional, PD Pasar
Surya memposisikan unit-unit pasar sebagai satuan
unit bisnis. Hal ini dikarenakan PD Pasar Surya
dituntut untuk lebih mengarah ke profit-oriented
dimana pola-pola pengelolaannya juga meniru pola
47
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
manajemen bisnis pada umumnya. Sehingga PD
Pasar Surya memakai strategi “bisnis perpasaran”
untuk meningkatkan aset-asetnya. Strategi bisnis ini
pula yang turut andil dalam pelaksanaan kebijakan
revitalisasi pasar. 2
Adapun pertimbangan dan perincian
kegiatan agenda-agenda revitalisasi adalah sebagai
berikut:
Pembangunan
PD Pasar Surya perlu membangun
ulang Pasar Wonokromo karena kondisi pasar
sebelumnya yang sering terbakar sehingga menjadi
kumuh dan kotor sehingga tidak layak menjalankan
fungsi jual-beli. Pemilihan bentuk bangunan pasar
yang meniru bangunan mall secara tidak langsung
mendapat pengaruh eksternal. Kekumuhan dan
kekotoran bangunan Pasar Wonokromo diharapkan
tidak mempengaruhi wajah kota dan menimbulkan
kesan yang tidak baik dari publik. Hal ini
dikarenakan lokasi Pasar Wonokromo yang berada
di gerbang Surabaya bagian selatan dan menjadi
pintu masuk bagi kendaraan-kendaraan dari luar
kota. Karenanya, pembangunan kembali pasar
Wonokromo diselaraskan pula dengan perencanaan
kota dan penataan lingkungan dari Bappeko (Badan
Perencanaan Pembangunan Kota) Surabaya seperti
yang tertuang di dalam masterplan 2010.3
Selain itu PD Pasar juga menyadari
bahwasanya Surabaya sebagai kota metropolitan,
gaya pasar tradisional yang lama tidak bisa
dipertahankan
terus-menerus.
Masyarakat
perkotaan saat ini lebih tertarik untuk berbelanja
di pusat perbelanjaan modern seperti supermarket,
hypermarket yang lebih nyaman dan bersih.
Persoalan gaya hidup masyarakat kota yang sedang
dalam perubahan inilah yang juga dibidik oleh PD
Pasar Surya untuk mengembangkan potensi pasarpasar tradisional yang dimilikinya. Sedapat mungkin
gaya pasar tradisional mengikuti perubahan gaya
hidup masyarakat kota agar lebih modern.
Dari segi fisik pembangunan, pemilihan
bentuk bangunan Pasar Wonokromo yang mengarah
ke konsep modern memang menyesuaikan dengan
bentuk bangunan pasar modern DTC di atasnya.
Selain itu fasilitas di dalam pasar Wonokromo pun
lebih canggih dibanding pasar tradisional lainnya
karena dilengkapi dengan sistem pengelolaan
limbah, insenerator, sistem tempat sampah khusus,
hydran, dan lain-lain. Rancangan dan perencanaan
pembangunan fisik Pasar Wonokromo memang
datang dari pihak PT. Arwinto. Dan kemudian
hasil rancangan ini didiskusikan bersama dengan
2
Wawancara dengan bapak Oscar Rachwardhady, Humas PD
Pasar Surya tanggal 13 Juni 2008.
3
wawancara dengan Bpk. Mukalil (Kasat Litbang), tanggal 21
Mei 2008.
48
PD Pasar sehingga dicapai kesepakatan bersama.
Misalnya dari sisi penempatan dan penataan
stand pedagang, diakui oleh pihak Arwinto,
memperhitungkan prospek komoditas. Contohnya,
penempatan stand emas dan atau konveksi yang
diberi lokasi di bagian pintu utama pasar sedangkan
stand untuk pedagang rombeng menempati bagian
area paling belakang pasar.4
Pendataan
Pedagang Pasar Wonokromo lama sebelum
pelaksanaan revitalisasi terbagi menjadi dua bagian
yaitu existing (pedagang tetap yang tertera secara
sah dalam buku induk) dan non-existing (PKL).
Keadaan Pasar Wonokromo saat itu sangat padat
dengan keberadaan PKL. Menurut PD Pasar Surya,
keberadaan PKL ini mengganggu pedagang existing
yang berjualan di dalam pasar dalam hal jual-beli.
Maka, pendataan ulang pun diprioritaskan
bagi para pedagang existing tersebut. Terutama
yang menyangkut persoalan administratif pedagang
mulai dari nama pedagang, luasan tempat berjualan,
jenis jualan, dan peralihan hak pakai. Jika di lapangan
ada pedagang yang menjual dagangan tidak sesuai
dalam buku induk, maka pedagang tersebut jika
memungkinkan harus mengurus ijin perubahan
jenis. Begitupun juga jika ada luasan yang tidak
sesuai, jika memungkinkan harus ada penyesuaian
luas. Dan jika ada data nama pemilik hak pemakaian
stand tidak sama maka harus mengurus peralihan
hak pakai. Pendataan pedagang ini berguna untuk
mempermudah melakukan pencatatan.
Penertiban
Pasar Wonokromo termasuk pasar yang
potensial untuk kegiatan perdagangan. Potensi ini
menyedot PKL untuk ikut berjualan di depan pasar.
Sehingga keadaan pasar menjadi semrawut karena
adanya pedagang yang meluber hingga diluar
pasar dan memakan badan jalan. Upaya penertiban
pasar dilakukan agar pasar dapat digunakan
sebagaimana mestinya oleh pedagang resmi. Dan
PKL-PKL atau pedagang yang berjualan diluar pasar
pun ditertibkan agar Pasar Wonokromo kembali
dapat dipergunakan oleh pedagang resmi seperti
semula. Dalam agenda penertiban ini, dimulai
dengan menertibkan PKL yang berada diluar pasar.
Penertiban PKL ini menjadi kewenangan Pemkot
melalui Satpol PP. Sedangkan penertiban di dalam
pasar menjadi urusan sekuriti.
Pedagang resmi yang tercatat di buku
induk PD Pasar Surya inilah nantinya yang berhak
berjualan di dalam pasar. Dalam berjualan di dalam
pasar, pedagang resmi ini harus menaati tata
tertib peraturan pasar dan memenuhi kewajiban-
4
Wawancara dengan bapak Sigit, General Engineering PT
Arwinto, 20 Juni 2008.
Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional
Annisa Indah Masitha
kewajiban administrasi. Contoh menaati peraturan
pasar adalah menjaga kebersihan tempat berjualan,
menjaga keamanan dan ketertiban, mematuhi
waktu kegiatan pasar, memenuhi pembayaran iuran
pasar tepat pada waktunya, dll.
Pada dasarnya, para pedagang dalam
berjualan harus memenuhi kewajiban pembayaranpembayaran pasar yakni iuran jasa perpasaran
dan biaya investasi. Iuran jasa perpasaran adalah
nominal tertentu yang dibayarkan pedagang kepada
PD Pasar Surya karena mereka telah menggunakan
jasa dan fasilitas pada pasar-pasar yang dimiliki
oleh PD Pasar.
Selain itu pedagang juga diwajibkan
membayar biaya investasi selama menempati stand
mereka. Biaya investasi ini merupakan biaya ganti
bangunan yang harus mereka bayarkan kepada
investor PT. Arwinto melalui Bank Bumiputera.
Biaya investasi yang mereka bayarkan tersebut
sesuai dengan luasan tempat berjualan, jenis jualan
dan jenis stand. Bagi pedagang yang tidak dapat
secara langsung melunasi biaya investasi, mereka
dapat melakukan cicilan setiap harinya. Apabila
mereka sudah melunasi biaya investasi maka
mereka diberi Buku Pemegang Hak Pemakaian
Stand (BPHPS) sebagai bukti identitas pedagang di
pasar setempat.
Penataan
Pasar tradisional umumnya kurang
tertata dengan baik dari segi jenis jualan, maupun
tempat berjualan sehingga dikhawatirkan akan
mengurangi kenyamanan berbelanja. Maka dari
itu, PDPS menjalankan penertiban sebagai run
programming di Pasar Wonokromo dengan menata
bentuk-bentuk tempat berjualan yang berbentuk
kios dan los. Untuk luasan stand di bawah 4 meter
biasanya merupakan bentuk los, dan yang 4 meter
keatas merupakan kios. Namun ada juga los yang
berukuran lebih dari 4 meter karena merupakan
penggabungan dari beberapa los. Pembangunan
dan penataan stand para pedagang ini disesuaikan
dengan pendataan sebelumnya.
Realisasi dari penataan ini adalah menata
bangunan pasar yang dikelompokkan menurut
jenis stand dan jenis jualan pedagang. Jenis stand
seperti kios dan los dikelompokkan sedemikian
rupa dengan sesama jenisnya yang ada di setiap
blok-blok. Jadi, kios dikelompokkan dengan kios
dan los dengan los. Di LDA, misalnya, semua tempat
berjualan merupakan bentuk kios. Dan di LDB
sendiri terdapat kios dan los, namun tetap ditata
sesuai jenisnya yakni los dengan los dan kios dengan
sesama kios. Kios dan los tersebut kemudian ditata
lagi untuk dikelompokkan sesuai jenis jualan.
Misalnya, pedagang buah dengan sesama pedagang
buah, pedagang sayur dengan pedagang sayur, dan
begitu seterusnya.
Dampak Sosial-Ekonomi Revitalisasi Total Pasar
Wonokromo
Adanya
suatu
kebijakan
yang
diimplementasikan tentunya menimbulkan suatu
dampak tertentu bagi sasaran kebijakan itu sendiri.
Dampak yang timbul ini merupakan hasil intervensi
dari decision maker untuk mencapai tujuan tertentu.
Dampak yang dirasakan oleh sasaran kebijakan
itu dapat berupa positif dan negatif. Dan dampak
sendiri dapat berupa dampak langsung (output)
maupun dampak tak langsung (outcome).
Kebijakan
revitalisasi
pasar
yang
dicanangkan oleh PD Pasar di Pasar Wonokromo
kepada pedagang menimbulkan dampak-dampak
tertentu. Dampak tersebut terlihat dari berbagai
tanggapan, penilaian dan pendapat pedagang
terhadap pelaksanaan revitalisasi. Dampak yang
diidentifikasi dari pelaksanaan revitalisasi ini
hanya akan menspesifikkan pada bidang sosial dan
ekonomi saja. Dari hasil penelitian dan observasi
di lapangan, dapat diketahui dampak-dampak yang
muncul dari adanya pelaksanaan revitalisasi Pasar
Wonokromo adalah sebagai berikut:
Dampak Langsung (output)
Sosial
a. Relasi antara PD Pasar dengan Pedagang
yang Sifatnya Menjadi Transaksional.
Fungsi sosial yang sebelumnya
dimiliki PD Pasar untuk mengelola dan
menyelenggarakan
aktivitas
perpasaran
sebagai representasi kegiatan perekonomian
bagi masyarakat menengah ke bawah mulai
bergeser kearah bisnis semata. PD Pasar tidak
peduli terhadap pedagang yang tidak dapat
memenuhi kewajiban-kewajiban administrasi
pembayaran dengan memberlakukan sanksisanksi yang tegas bagi mereka. Bagi pedagang
yang tidak dapat memenuhi kewajibannya
sesuai perjanjian yang disepakati, maka PD
Pasar akan memberikan surat peringatan (SP)
untuk pedagang yang tidak dapat membayar
iuran bulanan selama dua bulan berturut-turut.
Bila SP ini tidak diperdulikan pedagang, maka
dilakukan penyegelan stand hingga upaya yang
terakhir dilakukan dengan pencabutan. Ketika
stand sudah dicabut maka pedagang tidak
mempunyai hak apapun dan stand kembali
menjadi milik PD Pasar. Bahkan proses ini
nantinya bisa berakhir pada penyelesaian
hukum karena kesepakatan perjanjian awal
antara pedagang dengan PD Pasar diikat oleh
notaris.
49
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
b. Hilangnya pelanggan yang dimiliki
pedagang karena penempatan stand
yang berubah dari sebelumnya.
Karena letak stand ibu Ani yang
kurang strategis tersebut, ia merasakan
pendapatannya yang tidak sebanyak seperti
dahulu sebelum Pasar Wonokromo dibangun.
Dulu, sebelum Pasar Wonokromo dibangun, ia
menempati stand di dekat pintu masuk pasar
dibagian timur sehingga masih tergolong
strategis. Menurut pengakuannya, dalam
sehari kini ia hanya memperoleh pendapatan
sekitar 20.000 rupiah saja. Kalau sedang laku
keras bisa memperoleh kurang lebih 50.000
rupiah. Sebelum Pasar Wonokromo dibangun
kembali, ia bisa mengantongi untung 75.000100.000 rupiah dalam sehari.
Beberapa pedagang yang “tidak
beruntung” dalam mendapatkan stand yang
strategis mereka umumnya menempati stand
yang terpencil sehingga kurang terakses oleh
para pembeli. Hal ini memberikan pengaruh
terhadap keberadaan pelanggan mereka.
Dampak seperti inilah yang dirasakan ibu
Mardiyah (pedagang gerabah) dan ibu Ani
(pedagang meracang).
Seperti pengakuan ibu Ani yang
ditinggalkan pelanggannya lantaran letak
standnya yang lebih masuk kedalam. Lain
halnya dengan tempat berjualannya yang dulu
yang terletak di pintu masuk pasar bagian timur.
Sehingga banyak pembeli yang membeli barang
darinya. Bahkan dari pembeli tersebut ada
yang meningkat statusnya menjadi pelanggan.
Pelanggan tersebut seringkali menitipkan uang
kepada ibu Ani untuk membeli belanjaan yang
akan dibeli keesokan harinya. Menurut ibu Ani,
si pelanggan tersebut sering menitipkan uang
kepada ibu Ani untuk membeli bahan-bahan
untuk membuat sayur sop yang akan diambil
esok harinya ketika ia berbelanja. Tingkat
kepercayaan pelanggan tersebut ke ibu Ani
begitu besar. Namun sayangnya pelanggan
tersebut menjadi malas untuk berbelanja ke
stand ibu Ani karena letaknya yang jauh dari
pintu masuk. Pelanggan tersebut tidak ingin
harus masuk kedalam-dalam dan akhirnya
memilih untuk berbelanja di pedagang yang
terdekat.
Ekonomi
Tetapi meskipun pendapatan ibu Ani
yang tergolong pas-pasan tersebut, ia masih
mampu untuk membayar iuran bulanan kepada
PD Pasar. Ibu Ani takut standnya disegel dan ia
tidak bisa berdagang kembali. Lain halnya yang
dialami oleh ibu Mardiyah seorang pedagang
meracang yang tidak mampu lagi membayar
kewajiban iuran bulanan. Ia mengeluhkan letak
standnya yang terpencil di belakang pasar.
Setiap bulannya ia membayar iuran sebesar
163.000 rupiah dan masih ditambah rekening
listrik sebesar 60.000 rupiah.
Namun dalam kasus tertentu, penataan
dan penempatan stand ini juga mempengaruhi
peningkatan pendapatan pedagang. Bagi
pedagang yang mampu untuk membayar tinggi
atas biaya potensi perpasaran tentunya akan
mendapatkan lokasi stand yang strategis. Hal
ini sesuai dengan pengakuan bapak Ali seorang
pedagang ayam yang standnya seharga 3,5 juta
rupiah per meter persegi.
“Pelanggan saya bilang...Bu, aku males tuku
nang panggonmu, keadohan ngono.”5
“Kalau saya pribadi alhamdulillah tidak
ada masalah. Omzet saya tambah naik dari
sebelumnya... Karena stand saya termasuk
jalur ramai... Banyak pembeli yang lewat
disitu. Di sebelah timur termasuk stand
saya itu termasuk mahal sewanya. Satu
meter Rp 25.000 sehari.”6
a. Penataan dan penempatan stand
mempengaruhi pendapatan pedagang.
Penataan dan penempatan stand
pedagang berdasarkan hasil jualan dan potensi
perpasaran memberikan dampak perubahan
pendapatan mereka. Bagi pedagang yang dari
awal menyatakan kesanggupan dalam mencicil
biaya investasi stand, mereka umumnya
ditempatkan dalam tempat yang kurang
strategis dan aksesnya kurang terjangkau oleh
pembeli. Seperti pengakuan ibu Ani, pedagang
meracang yang standnya terletak dibagian
belakang pasar. Stand ibu Ani hanya dilewati
oleh orang-orang yang hanya menggiling
daging saja.
5
Wawancara dengan ibu Ani, pedagang meracang, tanggal 11
Juni 2008.
50
b. Iuran tempat berjualan yang sistem
pembayarannya berubah.
6
Kebijakan revitalisasi di Pasar
Wonokromo
mendatangkan
kewajibankewajiban baru yang harus dipatuhi oleh
pedagang. Terutama, pedagang diharuskan
untuk menaati peraturan-peraturan baru
dari PD Pasar yang menyangkut pembayaran
iuran-iuran jasa perpasaran tertentu. Salah
satu jenis iuran yang paling mendasar adalah
para pedagang diwajibkan untuk membayar
iuran tempat berjualan. Iuran tempat berjualan
wajib dibayar oleh pedagang setiap bulannya.
Wawancara dengan bapak Ali, pedagang ayam, 11 Juni 2008
Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional
Annisa Indah Masitha
Iuran tempat berjualan ini terdiri atas iuran
tempat, biaya sampah, dan biaya tata usaha
(BTU). Iuran bulanan ini belum termasuk atas
rekening biaya listrik dan air.
Dahulunya,
pihak
PD
pasar
memberlakukan iuran tempat berjualan yang
dikenakan ke pedagang ini dilakukan secara
harian atau bulanan. Namun pemberlakuan
sistem tersebut juga mempertimbangkan
faktor kemampuan pedagang juga. Untuk
sistem pembayaran secara bulanan biasanya
dilakukan oleh pedagang-pedagang besar
dan sistem harian untuk pedagang-pedagang
kecil. Sedangkan untuk kebijakan yang baru
ini menyatakan bahwa iuran tempat berjualan
dibayarkan setiap bulannya. Menurut bapak
Aan dari Pemasaran PD Pasar, sistem iuran
tempat berjualan secara bulanan ini datangnya
dari pihak PD Pasar sebagai pengelola agar
memudahkan penagihan dan pengurusan
administrasi supaya lebih efektif. Selain itu juga,
sistem pembayaran secara bulanan ini diakui
lebih besar nominal yang bisa didapatkan oleh
PD Pasar.
Namun respon yang datang dari
pedagang, kebijakan baru ini memberatkan
mereka. Menurut mereka, sangat terasa sekali
perbedaannya sistem pembayaran iuran karcis
secara bulanan ini dengan sistem harian. Sistem
pembayaran karcis yang biasanya dilakukan
secara harian dan kemudian menjadi bulanan,
terasa memberatkan pedagang.
“Saya setiap harinya membayar iuran listrik
400 rupiah karena punya dua nomor stand.
Kalau karcis sama sampahnya setiap bulannya
saya bayar 72.000 rupiah, jadi satu stand
36.000 rupiah. Sakjane yo gak larang tapi
bayare langsung dhel sak wulan (sebenarnya
tidak terlalu mahal tapi membayarnya
langsung satu bulan)”7
Menurut bapak Irul, Staf kantor
Pasar Wonokromo, dari kebijakan baru yang
menggunakan sistem pembayaran iuran karcis
secara bulanan ini menyebabkan tunggakan
yang mencapai 34 % setiap bulannya. Pedagang
yang paling banyak melakukan tunggakan
adalah pedagang yang berasal dari golongan IV
terutama pedagang sayur dan pedagang rombeng
(barang bekas). Selain itu juga ada yang datang
dari golongan III seperti pedagang meracang
dan pedagang buah. Sedangkan yang paling aktif
melakukan pembayaran karcis adalah pedagang
emas, konveksi, dan palen (alat-alat dapur).8
7
Wawancara dengan ibu Amriyah, pedagang buah, tanggal 17
Mei 2008.
8
Wawancara dengan bapak Itul, staf kantor Pasar Wonokromo,
tanggal 27 Mei 2008.
c.
Kewajiban membayar biaya investasi
kepada investor.
Biaya investasi merupakan biaya ganti
bangunan yang harus dibayar oleh pedagang kepada
pihak PT Arwinto yang telah membangunkan stand
untuk mereka. Pembayaran biaya investasi ini
dilakukan setiap harinya tergantung luasan stand
yang dimiliki pedagang. Harga luas stand untuk
setiap meter persegi adalah sebesar Rp 782.000.
Untuk pedagang yang dapat melaksanakan
kewajibannya melakukan pembayaran biaya
investasi maka akan diberikan buku pemegang hak
pemakaian stand (BPHPS). Biaya investasi tersebut
masih ditambah lagi dengan biaya-biaya lain yang
dibayar sekali saja seperti misalnya ijin tempat
sebesar Rp 5.000/m2, biaya pembayaran notaris
untuk mengikat kesepakatan antara kedua belah
pihak sebesar Rp 200.000, dan terakhir untuk biaya
cetak buku sebesar Rp 12.500.
Bagi pedagang yang tidak sanggup
membayar lunas biaya investasi maka boleh
melakukan pembayaran cicilan PD Pasar/investor
PT Arwinto (sistem in-house) maupun ke bankbank yang telah ditunjuk sebelumnya sesuai MoU
(Memorandum of Understanding) antara pihak PD
Pasar dengan bank tersebut. Dalam hal ini bankbank yang ditunjuk adalah bank Bumiputera,
bank Niaga, bank Mandiri, bank BRI, dan bank
NISP. Pedagang yang memiliki kemampuan dalam
melakukan pelunasan biaya investasi di atas enam
bulan maka diarahkan untuk melakukan cicilan
kepada bank-bank tersebut. Untuk pedagang
yang memiliki kemampuan mencicil pembayaran
biaya investasi di bawah enam bulan maka dapat
melakukan pembayaran langsung ke PD Pasar dan
PT Arwinto tanpa dikenakan bunga.
Seperti pendapat yang diutarakan oleh
ibu Ani (57 tahun) pedagang meracang, dia hanya
sempat aktif membayar biaya investasi sebesar
32.000 rupiah setiap hari selama jangka waktu
dua tahun saja dari semenjak pertamakali Pasar
Wonokromo diresmikan. Selebihnya, ia tidak
membayar biaya investasi karena pendapatan yang
didapat dari hasil meracang tidak menentu.9 Praktis
hingga saat ini berjualan di Pasar Wonokromo, ibu
Ani hanya mampu membayar iuran tempat setiap
bulannya ke PD Pasar saja tanpa membayar biaya
investasi. Ini dilakukan untuk menghindari agar
standnya tidak disegel oleh pihak PD Pasar.
Sedangkan menurut pengakuan bapak Ali
yang langsung membayar biaya investasi secara
tunai dikarenakan dirinya tidak berani mencicil
apalagi dengan bunga bank yang menurutnya
termasuk tinggi. Bapak Ali sebagai pedagang ayam
9
Wawancara dengan ibu Ani, pedagang meracang, tanggal 11
juni 2008.
51
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
hidup dan ayam potong memang berangkat dari
kapital yang kuat meskipun komoditas jualannya
sendiri termasuk kegolongan III.
“Saya alhamdulillah lunas. Kalau temanteman banyak yang tidak membayar. Saya dulu
langsung lunas membayar 28 juta rupiah, tidak
berani mencicil karena bunganya memberatkan
pedagang. Kalau tidak cash biayanya hampir 60
juta rupiah...”10
Dampak Tidak Langsung (outcome)
Sosial
a. Tidak adanya organisasi internal bagi
pedagang untuk menyampaikan aspirasinya.
Untuk menyampaikan aspirasi suara
dan kepentingan kepada PD Pasar sebagai
pihak pengelola maka para pedagang Pasar
Wonokromo berinisiatif untuk membentuk
organisasi bersifat internal yang diberi nama
HPP (Himpunan Pedagang Pasar) Wonokromo.
Namun dalam perkembangannya, HPP ini
dibubarkan oleh PD Pasar antara tahun 20032004 sebelum peresmian Pasar Wonokromo
yang baru karena dianggap tidak efektif.
Selama proses pembangunan kembali
Pasar Wonokromo mengundang reaksi keras
dari pedagang yang kontra terhadap rencana
PD Pasar. Pedagang pasar pun kemudian
membentuk KPP (Kelompok Pedagang Pasar)
untuk menyatukan sinergitas pedagang yang
merasa terancam dengan pembangunan pasar
yang merugikan mereka. Mereka berdemo
menolak revitalisasi Pasar Wonokromo
dengan jalan memblokade alat-alat berat
yang digunakan untuk membangun pasar.
KPP merasa bahwa pembangunan pasar
akan merugikan hak pedagang. Pro-kontra
pembangunan kembali Pasar Wonokromo yang
sempat terlunta-lunta selama setahun karena
adanya upaya dari HPP untuk menghalanghalangi.
Setelah Pasar Wonokromo diresmikan,
praktis tidak ada organisasi internal untuk
menaungi kepentingan pedagang. Sekarang ini
jika ada pedagang yang ingin menyampaikan
aspirasi atau keluhannya maka harus
menghubungi pihak PD Pasar langsung. Namun
pedagang merasakan bahwa keluhannya tidak
dihiraukan oleh pihak pengelola.
“...sebenarnya KPP itu bagus juga untuk
melindungi pedagang. Dan yang memilih juga
dari kalangan pedagang. Yang menghapus (KPP)
10
Wawancara dengan bapak Ali, pedagang ayam potong, 11
Juni 2008
52
itu PD Pasar. Memangnya harus ada organisasi
semacam itu biar lebih enak.”11
b. Kerjasama dengan pihak ketiga dalam hal
keamanan dan kebersihan dengan menggunakan
sistem outsourcing.
Revitalisasi
membawa
konsekuensi
baru bagi PD Pasar sebagai pengelola untuk
meningkatkan kualitas pelayanan di Pasar
Wonokromo. Peningkatan pelayanan tersebut
diwujudkan dengan kerjasama dengan pihak ketiga
untuk penyelenggaraan kebersihan dan keamanan
yang ada di dalam pasar. Sistem perekrutan tenaga
keamanan (security) dan kebersihan (cleaning
services) ini dilakukan secara out-sourcing. Petugas
sekuriti bertugas menurut shift. Dalam sehari
terdapat tiga shift petugas sekuriti yang bertugas
menjaga keamanan di dalam maupun diluar pasar.
Petugas yang bertugas di dalam pasar biasanya
bertugas secara keliling sedangkan yang diluar
pasar bertugas menertibkan tukang becak dan
angkutan kota yang berhenti sembarangan di depan
jalan Pasar Wonokromo. Hal ini dilakukan agar jalan
di depan pasar tidak semrawut.
Peningkatan kualitas pelayanan keamanan
Pasar Wonokromo ini direspon positif oleh sebagian
pedagang pasar. Salah satunya ibu Prapti, penjual
dawet, yang merasakan bahwa keadaan internal
pasar relatif lebih aman dari Pasar Wonokromo
sebelum dibangun.
“sekarang ini aman, mbak. Ga kaya dulu.
...Sekarang ga ada copet tapi seringnya gendam.
Tetapi sama petugas banyak yang kena (dapat
menangkap tukang gendam)...”
Namun ada juga pedagang yang kontra
dalam merespon keamanan di dalam pasar yang
dirasakan masih sama rawannya dengan dulu
sebelum Pasar Wonokromo direvitalisasi. Menurut
pedagang, tidak ada perbedaan yang mendasar
antara keamanan sebelum Pasar Wonokromo
dibangun dengan sesudahnya. Seperti pendapat
yang disampaikan bapak Ali, pedagang ayam.
c.
“banyak toko yang kebobolan, copet, masih
rawan kok (pasar) Wonokromo...”12
Barang yang ditawarkan kepada pembeli
semakin beragam.
Revitalisasi Pasar Wonokromo secara
tidak langsung membawa perubahan positif
bagi beberapa pedagang. Pedagang mengaku
terpacu dengan pembangunan kembali Pasar
Wonokromo yang dirasakan semakin bersih
Wawancara dengan bapak Ali, pedagang ayam, 11 Juni 2008.
Wawancara dengan bapak Ali, pedagang ayam, 11 Juni 2008.
11
12
Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional
Annisa Indah Masitha
dan nyaman sehingga tidak kalah dengan pasarpasar yang modern. Mereka (pedagang) mengaku
ingin mengimbangi kemajuan fisik pasar dengan
peningkatan pelayanan kepada pembeli dengan cara
tidak hanya berjualan satu jenis jualan saja tetapi
menjadi beberapa jenis namun tetap dalam satu
kategori jualan. Perluasan jenis jualan ini seperti
pengakuan ibu Amriyah, pedagang buah, yang
menyatakan bahwa dengan adanya revitalisasi dia
yang dulunya hanya berjualan pisang saja sekarang
makin menambah komoditas jualannya. Sekarang
ini, ibu Amriyah tidak hanya berjualan pisang saja
tetapi juga jeruk, apel, strawberry, pepaya, dan
lain-lain sama seperti dagangan di pasar modern
lain. Ibu Amriyah berusaha mengembangkan
dagangannya dengan membangun jaringan dengan
pengepul yang memasok buah-buahan di Hokky
(nama sejenis supermarket khusus menjual buahbuahan di Surabaya) dan Royal Plaza.
d.
“ ...kalau kalah harga kalah mutu ya merosot.
...Jareku (menurutku), lebih enakan sekarang.
Kalau dulu kan memang ngolehno dulur
(memperoleh pelanggan tetap yang sudah
dianggap sebagai saudara sendiri), sekarang gak.
Tetapi saya ada kemajuan sekarang. Kalau dulu
dodolan gedhang ya cuma gedhang tok (kalau
dulu cuma jualan pisang saja). Saiki iso dodolan
iki, dodolan iki (sekarang bisa jualan macammacam). Saya kepengen membangkitkan
usahaku. Kalau dulu itu kan kuno ngono lho”13
Melakukan politik harga dengan
menaikkan margin harga barang.
Banyaknya tanggungan kewajiban
pembayaran biaya-biaya yang harus dibayarkan
pedagang kepada PD pasar maupun ke pihak
Arwinto membuat pedagang melakukan suatu
tindakan politik harga tertentu. Tindakan ini
dilakukan pedagang untuk menaikkan omset
dagangan ditengah sepinya pembeli.
“Ya menyesuaikan dengan harga kontrakan.
Dulu
(sebelum
Pasar
Wonoromo
direvitalisasi) saya (harga jualan dawet)
seribu rupiah terus tiap hari naik-naik.
...hingga sekarang ini saya menjual dawet
semangkoknya 2500 rupiah.”14
Analisis Hasil Penelitian
Kebijakan
revitalisasi
total
Pasar
Wonokromo yang didasari dengan adanya berbagai
macam faktor baik eksternal maupun internal. Faktor
eksternal adalah ditengah ketatnya persaingan bisnis
perpasaran maka Pasar Wonokromo dituntut untuk
13
Wawancara dengan ibu Amriyah, pedagang buah, tanggal 17
Mei 2008.
14
Wawancara dengan Ibu Prapti, pedagang dawet, tanggal 8 Mei
2008.
dapat mengimbangi perubahan jaman. Keberadaan
pasar tradisional ditengah masyarakat kota yang
selalu bergelut dalam dinamika perubahan jaman
saat ini adalah mengarah kepada trend gaya hidup
(life style). Sehingga jika dahulunya masyarakat
kota merasa cukup untuk berbelanja di pasar-pasar
tradisional, maka sekarang ini masyarakat memiliki
pilihan-pilihan alternatif dalam berbelanja yang
sekiranya menurut mereka aman dan nyaman.
Perubahan gaya hidup masyarakat kota ini
juga yang ditangkap oleh PD Pasar Surya dengan
melakukan upaya-upaya reflektif melihat kondisi
internal di dalam pasar. Kondisi internal Pasar
Wonokromo yang buruk dari segi fisik dan fasilitas
serta manajemen pasar yang carut-marut pun
juga menjadi pendorong dari adanya kebijakan
revitalisasi.
Dengan alasan bahwa upaya pembenahan
manajemen internal dan perbaikan fisik bangunan
pasar membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka
untuk mempercepat realisasi revitalisasi Pasar
Wonokromo, Pemkot memberikan lampu hijau
kepada PD Pasar untuk menyelenggarakan bentuk
kemitraan public-private dalam pendanaan. PD Pasar
menawarkan kepada para investor pasar-pasar
tradisional mana yang layak untuk direvitalisasi,
dan pihak investor sendiri yang dapat memilih
sesuai kehendak mereka. Tentunya pertimbangan
penentuan pihak investor dalam menentukan pasar
tradisional mana yang dipilih juga memperhatikan
logika bisnis serta kepentingan mereka.
Selain berperan sebagai pengembang
(developer), pihak swasta juga diberikan hak khusus
oleh PD Pasar untuk turut serta membisniskan
infrastruktur tersebut. Pihak swasta diberikan
hak untuk ikut mendirikan kegiatan bisnis dan
juga memberikan hak pengelolaan pasar modern
DTC yang berdiri di atas lahan pasar tradisional
Wonokromo. Pembangunan kembali pasar sebagai
bagian infrastruktur ekonomi perkotaan—dalam
hal ini adalah Pasar Wonokromo, menunjukkan
bahwa adanya upaya untuk mengembangkan
potensi ekonomi dari ruang-ruang pasar tradisional
menjadi sektor yang komersil. Masuknya sektor
swasta sebagai penyandang dana dalam kebijakan
revitalisasi mengindikasikan bahwa wacana
pembangunan hanya dibentuk dan dimiliki oleh
segelintir pihak saja tanpa memperhatikan sasaran
kebijakan itu sendiri.
Potret kebijakan yang memberi keleluasaan
investor sebagai penyandang dana tunggal dalam
pembangunan kembali infrastruktur ekonomi ini
menunjukkan kecenderungan gaya pembangunan
saat ini yang “mengorbankan” sektor-sektor
publik—dalam hal ini adalah pasar tradisional)—
kedalam cengkeraman mekanisme pasar. Gaya
53
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal
pembangunan yang bercorak mekanisme pasar ini
membuat negara (baca: Pemkot/PD Pasar) lebih
efisien dalam menjalankan kepengurusan sektor
publik. Namun ironisnya, ketika sektor-sektor
publik tersebut berhasil melibatkan sektor swasta
maka akan menciptakan privatisasi.
Kebijakan revitalisasi ini pada akhirnya
hanya akan menjadi arena kepentingan antara
pemkot, PD Pasar dan investor saja. Sedangkan
kepentingan pedagang dalam kebijakan revitalisasi
ini sangatlah minim. Proses penentuan ide-ide
dasar dan rancangan pembangunan pasar tidak
mengajak serta keterlibatan pedagang. Melainkan
hanya melibatkan kepentingan antara PD Pasar
Surya dengan pihak investor PT Arwinto saja.
Dominasi kepentingan kedua belah pihak ini
dapat ditengarai dari adanya pola tata ruang dan
tata letak stand-stand yang ada di dalam pasar.
Kepentingan-kepentingan yang minim aspirasi dan
kepentingan pedagang ini menunjukkan bahwa
proses demokratisasi belum tercipta dalam relungrelung kebijakan revitalisasi pasar.
Konstelasi kepentingan dalam pola
pembangunan pasar yang didasari atas bisnis
menciptakan segregasi ruang dikalangan pedagang.
Antara pedagang satu dengan pedagang yang lain
diukur dari kepemilikan kapital dan seberapa
mampu mereka dapat membayar biaya perijinan
atas stand yang menentukan strategis atau tidaknya
tempat berjualan mereka. Sehingga kelas-kelas
pedagang berdasarkan kekuatan modal ekonomi
dan sosial semakin nampak jelas. Pada akhirnya
kondisi ini akan menciptakan kapitalisasi ruangruang di dalam pasar.
Basis kekuatan modal atau kapital dalam
menebus stand-stand yang strategis ini bukan
tidak mungkin akan menciptakan bom waktu
bagi keberlangsungan kehidupan pasar. Misalnya
dikalangan pedagang sendiri akan menciptakan
potensi konflik yang lebih kompleks karena mereka
akan diliputi oleh kecemburuan sosial. Pedagang
yang merasa standnya tidak strategis dan sepi
pengunjung bisa saja cemburu dengan pedagang
lain yang memiliki stand yang strategis.
Konsep penataan pedagang menurut hasil
jualannya memang bagus untuk mempermudah
pembeli dalam berbelanja, tapi menurut saya, kondisi
ini tidak akan memberikan semacam pembelajaran
bermasyarakat yang baik bagi pedagang untuk
bersosialisasi secara sehat diantara mereka. Karena
bagaimanapun juga mereka harus diajarkan untuk
dapat bersosialisasi dalam kondisi masyarakat yang
majemuk agar dapat saling menghargai sesamanya.
Selain itu, pergeseran relasi-relasi sosial
pasca revitalisasi pasar juga patut diperhatikan. Dari
penjabaran hasil penelitian diketahui bahwasannya
54
revitalisasi pasar juga membawa pergeseran polapola relasi sosial diantara pedagang dengan PD
Pasar, pedagang dengan pembeli, pedagang dengan
pedagang, dan pembeli dengan pembeli. Relasirelasi sosial yang terbangun di dalam pasar ikut
bergeser seiring dengan perubahan orientasi pasar
yang baru yang lebih mengedepankan bisnis dan
transaksi.
Meskipun Pasar Wonokromo tergolong
pasar tradisional tetapi relasi-relasi yang terbentuk
saat ini mengarah kepada bentuk hubungan sosial
yang anonim, tidak lagi saling mengenal satu sama
lain. Argumen ini diperkuat oleh pernyataan ibu
Amriyah, pedagang buah-buahan, yang menyatakan
bahwa saat ini dia tidak lagi ngolehno sedulur. Dan
ditambahkan oleh ibu Amriyah bahwa karakter
pengunjung pasar Wonokromo saat ini adalah
murni konsumen akhir/pembeli. Lain halnya
sebelum pasar dibangun ulang, pengunjung yang
paling banyak merupakan tengkulak-tengkulak
yang biasanya akan menjual lagi barang yang telah
dibelinya.15
“Hilang”nya pelanggan dari beberapa
informan pedagang seperti ibu Ani (pedagang
meracang) dan ibu Mardiyah (pedagang gerabah)
juga menunjukkan bahwa konsep kekeluargaan
yang berlandaskan kepercayaan (trust) dan
solidaritas (solidarity) tidak lagi nampak mewarnai
aktivitas perdagangan mereka dalam ruang-ruang
pasar tradisional. Padahal sejatinya melalui ruangruang sosial pasar tradisional kita dapat belajar
tentang nilai-nilai kearifan sosial seperti konsep
tuna sathak bathi sanak yang mengandung nilainilai kekeluargaan dan penekanan pada hubunganhubungan sosial yang memberi keseimbangan
antara profit-taking dengan silahturahim. Sesuatu
yang sangat langka kita jumpai pada masyarakat
perkotaan yang cenderung individualistis.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa berbagai
dampak sosial ekonomi yang muncul dari
pelaksanaan revitalisasi total di Pasar Wonokromo
yang dirasakan pedagang adalah berbeda-beda
tergantung pada lapisan kelompok pedagang
tersebut. Bagi pedagang besar yang relatif memiliki
kapital ekonomi dan sosial yang jauh lebih mapan
tidak begitu merasakan dampak yang berarti.
Malahan revitalisasi pasar membawa perubahan
positif seperti misalnya keinginan dan semangat
pedagang besar untuk terus memajukan usahanya
agar dapat berkembang lebih baik lagi. Sedangkan
bagi pedagang kecil, revitalisasi pasar dirasakan
belum membawa kesejahteraan mereka ke arah
yang lebih baik. Pedagang kecil makin merasakan
15
Wawancara dengan ibu Amriyah, pedagang buah, tanggal 17
Mei 2008.
Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional
Annisa Indah Masitha
bahwa dengan adanya perubahan di dalam pasar
yang diwujudkan kedalam revitalisasi pasar
mematikan usaha mereka. Hal ini bisa bisa dilihat
dari adanya perubahan pendapatan yang didapat
pedagang kecil yang menurun dibandingkan ketika
pasar belum direvitalisasi.
Di samping itu, dari adanya pelaksanaan
revitalisasi Pasar Wonokromo juga membawa
pergeseran relasi sosial di dalam pasar. Bagi
pedagang besar cenderung dapat memperoleh
jaringan perdagangan yang lebih luas lagi yang
dibangun dengan dunia luar. Sedangkan bagi
pedagang kecil, relasi sosial tersebut semakin
terkikis dengan hilangnya pelanggan sehingga
mereka harus membangun kembali dari awal relasi
yang terputus.
Pelaksanaan
revitalisasi
di
Pasar
Wonokromo hanya terjadi pada tataran permukaan
saja. Revitalisasi belum secara sempurna membawa
perubahan kesejahteraan dan mentalitas pedagang
kearah yang lebih baik. Revitalisasi yang dilakukan
oleh PD Pasar hanya dimaknai sebagai perubahan
secara fisik dengan mengutamakan kepentingan
bisnis semata. Kesejahteraan pedagang belum
tercapai secara maksimal utamanya bagi pedagang
kecil yang berangkat dari golongan III-IV. Selain
itu upaya pembenahan bagi pedagang dengan cara
mendisiplinkan mereka melalui berbagai macam
aturan baru, dalam hal tertentu, belum menunjukkan
perubahan signifikan. Pedagang sebagai sasaran
kebijakan itu sendiri belum menampakkan adanya
perubahan yang berarti bagi pedagang itu sendiri.
Sebagai rekomendasi, realisasi revitalisasi
pasar yang dilakukan oleh PD Pasar Surya harus
mengedepankan dan memperhatikan kembali
kondisi dan keinginan pedagang. Karena pada
dasarnya pasar tradisional merupakan cerminan
kegiatan
perekonomian
masyarakat
kelas
menengah kebawah. Pedagang yang menjadi pelaku
pasar kebanyakan berangkat dari basis kapital
ekonomi yang kurang kuat. Sehingga jika pedagang
terlalu dibebani oleh berbagai macam beban akan
menghambat roda perekonomian mereka. Jika
roda kegiatan perekonomian mereka terhambat
akan menyebabkan dampak yang lebih meluas bagi
perekonomian nasional.
DAFTAR PUSTAKA:
Anonim, Company Profile PD Pasar Surya 2007
Alexander, J. 1987. Trade, Traders and Trading In
Rural Java. Oxford University Press. New
York.
Belshaw, C.S. (1965) 1981. Tukar Menukar
Tradisional dan Pasar Modern. PT.
Gramedia. Jakarta.
Dewey, A.G. 1961. Peasant Marketing in Java.
Geertz, C. 1977. Penjaja dan Raja. PT. Gramedia.
Jakarta.
Nugroho, G. 2002. Dominasi- Habitasi Pasar dan
Integrasi Resistensi Struktural Wong
Cilik: Diskursus Ekonomi Politik Pasar
(Alokasi-Konsumsi) dan Wong Cilik.
Yogyakarta: Jurusan Sosiologi Fisipol
UGM. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Parsons, W. 2006. Public Policy: Pengantar Teori
dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana.
Jakarta. Dialihbahasakan oleh Tri
Wibowo Budi Santoso.
Polanyi, K. et all. Trade and Market in The Early
Empires. The Free Press. Glencoe,
Illinois.
Sanderson, S.K. 1993. Sosiologi Makro. Rajawali.
Jakarta.
Soekanto, S. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. PT.
Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Suratmo, F.G, 2004, Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Usman, S. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Surat kabar:
Equilibrium no. 6/TH XXXVII/2005. Penerbit:
BPPM Equilibrium FE UGM Yogyakarta.
Gapura, majalah kota Surabaya, edisi Mei 2007.
KOMPAS edisi 3 November 2007.
edisi 24 April 2003.
55
Download