Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional Annisa Indah Masitha DAMPAK SOSIAL EKONOMI REVITALISASI PASAR TRADISIONAL TERHADAP PEDAGANG Annisa Indah Masitha Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jl. Sapta Taruna Raya no. 26 Pasar Jumat, Jakarta Selatan 12310 Email: [email protected] ABSTRAK Di era globalisasi, permasalahan umum yang terjadi pada pasar tradisional di Indonesia adalah buruknya segi fisik, fasilitas sarana-prasarana sampai lemahnya manajemen pengelolaan. Untuk menghadapi persaingan dengan pasar modern, pasar-pasar tradisional milik pemerintah di perkotaan melakukan upaya-upaya perbaikan melalui revitalisasi pasar mengoptimalkan kembali fungsi pasar. Kajian ini mengidentifikasi dampak sosial ekonomi yang muncul dari pelaksanaan revitalisasi pasar Wonokromo di Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif jenis deskriptif dengan pendekatan studi kasus dan teknik pengambilan data purposive sampling. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa berbagai dampak sosial ekonomi dari pelaksanaan revitalisasi Pasar Wonokromo yang dirasakan pedagang berbeda-beda bergantung lapisan kelompok pedagang. Revitalisasi pasar bagi pedagang besar yang relatif memiliki kapital ekonomi dan sosial yang stabil membawa perubahan positif seperti keinginan dan semangat untuk memajukan usahanya agar berkembang lebih baik. Bagi pedagang kecil, revitalisasi pasar dirasakan belum membawa kesejahteraan ke arah yang lebih baik. Adanya revitalisasi pasar mematikan usaha mereka yang terlihat dengan perubahan pendapatan yang menurun dibandingkan ketika sebelum direvitalisasi. Di samping itu, revitalisasi Pasar Wonokromo juga membawa pergeseran relasi sosial di dalam pasar. Bagi pedagang besar cenderung memperoleh jaringan perdagangan lebih luas dengan dunia luar. Sedangkan bagi pedagang kecil, relasi sosial tersebut semakin terkikis dengan hilangnya pelanggan sehingga mereka harus membangun kembali dari awal relasi yang terputus. Kata Kunci: pasar tradisional, pedagang, revitalisasi pasar, dampak, sosial ekonomi. ABSTRACT In the era of globalization, the common problems which occurs in traditional markets in Indonesia are poor in terms of physical infrastructure facilities to poor management. To face competition from modern markets, the government’s traditional markets in the urban to make efforts to optimize the revitalization of the market improvements through re-functioning market. This study identifies the socio-economic impacts arising from the implementation of revitalization Wonokromo market in Surabaya. This study used qualitative methods to type a descriptive case study approach and purposive sampling techniques in collecting data. This study concludes that socio-economic impact of the implementation of the revitalization of Market traders Wonokromo perceived differently depending on the layer group of traders. For wholesalers who have relatively stable capital social and economic revitalization of the market to achieve change positive, desire and passion to advance your business to grow better. In small traders, the revitalization of the market didn’t think to bring prosperity to better address. The existence of the revitalization of their businesses out of the market that seemed to change when income was reduced in comparison to earlier revitalized. In addition, revitalizing Wonokromo market also brought a change in social relationships within the market. For large traders tend to be more wide network of trade with the outside world. Meanwhile, small traders, social relations are increasingly more eroded by the loss of customers what they have to build it from scratch a broken relationship. Keywords: Traditional market, traders, market revitalization ,impact, social economic. 41 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal PENDAHULUAN Pasar tradisional, di masa globalisasi saat ini tengah mengalami berbagai macam masalah. Permasalahan yang umumnya terjadi pada pasar tradisional di tanah air ialah buruknya segi fisik, fasilitas sarana-prasarana sampai lemahnya manajemen pengelolaan pasar. Kondisi-kondisi tersebut diperparah dengan semakin suburnya jumlah ritel dan pasar modern akibat tidak jelasnya regulasi pemerintah di sektor ritel. Maraknya pembangunan pasar modern menyudutkan posisi pasar tradisional di perkotaan. Menurut survey AC Nielsen tahun 2004, pertumbuhan pasar modern sebesar 31,4 persen, sedangkan pertumbuhan pasar tradisional minus 8,1 persen (harian Kompas, 2007). Dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern maka pasar-pasar tradisional di perkotaan yang menjadi milik pemerintah melakukan upaya-upaya perbaikan melalui revitalisasi pasar. Bila ditilik secara estimologis, revitalisasi berarti proses, cara, perbuatan, menghidupkan, menggiatkan kembali (KBBI, 2002). Dengan kata lain ada itikad dinas pasar/ PD Pasar untuk menggiatkan atau membuat vital pasar tradisional dari kondisi yang ada sebelumnya. Karena pada umumnya, kondisi pasar tradisional yang ada di tanah air selama ini memperlihatkan buruknya aspek fisik bangunan dan manajemen pengelolaan pasar. Revitalisasi pasar dengan melakukan perbaikan fisik dalam bentuk renovasi bangunan pasar maupun dalam tataran manajemen pengelolaan dan administratif agar lebih profesional yang dilakukan oleh Dinas Pasar/ Perusahaan Daerah (PD) Pasar seolah menjadi resep mujarab dalam menghadapi peritel raksasa atau pasar modern. Tanpa dilakukannya upaya revitalisasi, para pedagang merasakan kenyataan pahit betapa pasar mereka kian sepi tergencet persaingan dengan toko modern (harian Kompas, 2007). Demikian pula yang terjadi pada pasarpasar tradisional di Surabaya juga tidak luput dari agenda revitalisasi. PD Pasar Surya, selaku pihak pemerintah yang mengorganisir 81 unit dari total sekitar 200 pasar yang ada di Surabaya, menjalankan agenda revitalisasi pasar dilatarbelakangi semakin pesatnya perkembangan pusat perbelanjaan di Surabaya. Selain itu, perlunya meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat menengah ke bawah, dan juga kondisi pasar tradisional umumnya yang cenderung kumuh, tidak teratur dan tidak aman karena banyak dikuasai oleh preman pasar. Konsep revitalisasi ini ialah perbaikan pasar secara menyeluruh maupun sebagian untuk mengoptimalkan fungsi pasar sebagai tempat 42 pertemuan antara pedagang dan pembeli(majalah Gapura, 2007). Namun, kebijakan revitalisasi pasar ini sayangnya mengundang pro dan kontra. Misalnya yang terjadi di pasar Wonokromo. Dalam aspek fisik bangunan, dimana kecenderungan pembangunan pasar dengan merenovasi bangunan yang meletakkan pasar tradisional dan modern ditempatkan dalam satu gedung yang sama dikhawatirkan akan menimbulkan keadaan yang kontradiktif yang tentunya akan merugikan pedagang pasar. Dengan adanya revitalisasi di pasar Wonokromo, pedagang merasakan adanya diskriminasi dalam hal pemisahan antara bangunan pasar modern dengan pasar tradisional (harian Kompas, 2003). Di pasar Wonokromo, para pedagang lama merasakan pasar Wonokromo-DTC kian sepi karena jarang didatangi pembeli. Lain halnya ketika masih berdagang dalam pasar Wonokromo lama yang meskipun jorok namun tetap didatangi pembeli. Konsekuensi tuntutan atas modernitas dimana manusia modern saat ini kian menginginkan efisiensi, profesionalitas dan keteraturan adalah hal yang tak dapat dihindari. Revitalisasi pasar sebagai jawaban atas perubahan jaman merupakan bagian dari kebijakan baru yang muncul dalam perkembangan pasar tradisional di perkotaan. Namun sebuah perubahan tentunya menciptakan kelompok-kelompok yang merasa diuntungkan dan dirugikan. Revitalisasi pasar yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan keteraturan pedagang, dalam beberapa hal mengundang reaksi protes pedagang. Para pedagang pasar sebagai pihak sasaran revitalisasi merasakan ketidaknyamanan dengan adanya perubahan kondisi ini. Ketidaknyamanan itu akhirnya berujung pada upaya-upaya beberapa kelompok pedagang, misalnya tidak mau membayar sewa stan karena menurut mereka harga sewa tersebut memberatkan. Seperti yang terjadi pada kasus protes pedagang di pasar Wonokromo tanggal 9 November 2007 silam yang berujung bentrokan dengan aparat.1 1 Bentrokan terjadi ketika petugas hendak menyegel 24 stan milik pedagang yang tidak pernah membayar cicilan selama dua tahun, atau semenjak tanggal 11 Juni 2005 silam pasar Wonokromo yang baru diresmikan. Pedagang berusaha mempertahankan stan mereka dengan alasan proses pembayaran cicilan antara pedagang dan pihak pengelola pasar (PD Pasar Surya) yang tidak transparan. Sementara PD Pasar Surya menuding pedagang pasar yang tidak membayar angsuran sewa stand itu menyalahi perjanjian awal yang telah disepakati bersama sebelum mereka menempati stand. Lihat artikel Penyegelan 20 Kios di Pasar Wonokromo Ricuh (tanggal 9 November 2007), www.suarasurabaya.net/v05/kela nakota/?id=9005efc08d4866aca98a02fe40de5dc8200746104. diakses 4 Desember 2007. Lihat juga www.metrotvnews.com , tanggal 10 November 2007. Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional Annisa Indah Masitha Selama ini kecenderungan praktek renovasi dan revitalisasi pasar dengan mengatasnamakan pedagang dan tak jarang melalui penunjukkan pengembang dan tanpa tender dalam kenyataannya, menurut APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), seringkali “mengkhianati” pedagang lama yang sebelumnya ada. Pengalaman yang ada selama ini, renovasi hanya kedok untuk menyingkirkan pedagang-pedagang yang sudah berjualan lama disana. Jika keadaan ini dibiarkan terus-menerus maka dampak-dampaknya akan muncul secara meluas (harian Kompas, 2007). Dari uraian latar belakang tersebut objek penelitian hanya difokuskan kepada: Apa saja dampak sosial-ekonomi yang muncul dari adanya pelaksanaan revitalisasi pasar Wonokromo yang dirasakan oleh para pedagang? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak sosial ekonomi yang muncul dari adanya pelaksanaan revitalisasi di pasar Wonokromo dan untuk menjaring aspirasi pedagang mengenai penilaian mereka terhadap kebijakan revitalisasi dalam pengelolaan pasar oleh PD Pasar Surya. KAJIAN PUSTAKA Dampak Sosial Ekonomi Setiap perubahan membawa konsekuensikonsekuensi tersendiri bagi masyarakat. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan, seiring berjalannya waktu tentu tidak terlepas dari dampak yang menyertainya. Pembangunan pada umumnya merupakan kehendak masyarakat yang terwujud dalam keputusankeputusan yang diambil oleh para pemimpinnya (Soekanto,1982). Dampak-dampak yang muncul tersebut dapat ditarik sebuah benang merah yakni adanya intervensi yang datang dari decision-making yang berpengaruh atas kondisi sebelum dan sesudahnya (Parsons,2006). Perspektif dampak dalam tinjauan sosiologi harus memperhatikan beberapa hal dalam kehidupan sosial. Aspek sosial dalam kajian dampak yang dibingkai oleh terapan ilmu pengetahuan sosial secara sistematis ini, setidaknya untuk mengidentifikasi dua hal: (1) bentuk dan sifat penilaian atau respon masyarakat terhadap suatu usaha atau kegiatan; dan (2) perubahan penilaian atau respon masyarakat terhadap usaha atau kegiatan tersebut. Pembahasan masalah tersebut mencakup rentang kegiatan yang meliputi tahap prakonstruksi, tahap konstruksi dan pascakonstruksi, dengan memperhatikan tujuan dan target yang hendak dicapai (Usman, 2003). Penilaian dampak membawa pada awal siklus kebijakan, definisi problem dan dan penentuan agenda. Tujuan penilaian adalah untuk menunjukkan bagaimana suatu kebijakan atau program tertentu sudah “bekerja/tidak bekerja”, memenuhi tujuan kebijakan/program serta menjaga konstruksi problem dan klaim kebijakan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan metode untuk menilai dampak antara lain (Parsons, 2006): a) Membandingkan problem/situasi/kondisi dengan apa yang terjadi sebelum intervensi. b) Melakukan eksperimen untuk menguji dampak suatu program terhadap suatu area atau kelompok dengan membandingkannya dengan apa yang terjadi di area atau kelompok lain yang belum menjadi sasaran intervensi. c) Membandingkan biaya dan manfaat yang dicapai sebagai hasil dari intervensi. d) Menggunakan model untuk memahami dan menjelaskan apa yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan masa lalu. e) Pendekatan kualitatif dan judgemental untuk mengevaluasi keberhasilan/kegagalan kebijakan dan program. f) Membandingkan apa yang sudah terjadi dengan tujuan atau sasaran tertentu dari sebuah program atau kebijakan. g) Menggunakan pengukuran kinerja untuk menilai apakah tujuan atau targetnya sudah terpenuhi. Dalam kajian dampak, penetapan komponen sosial-ekonomi relatif lebih sulit karena sifat manusia yang sangat dinamis dan setiap komponen mempunyai hubungan yang erat dan interaktif. Beberapa komponen-komponen sosialekonomi yang ditetapkan sebagai indikator sosial ekonomi masyarakat tidak terlepas dari jaringan pola-pola perkembangan tersebut (Suratmo,2004). Dari paparan penjelasan di atas, sekiranya dapat dirumuskan kerangka operasi dari dampak, baik positif maupun negatif, yang dirasakan oleh kelompok pedagang baik yang bersifat permanen maupun kontemporer pasca pelaksanaan revitalisasi di pasar Wonokromo yang dilihat dari sudut pandang: a) Sosial: Menyangkut aspek-aspek relasi dan interaksi sosial para pedagang--baik sebagai individu maupun kelompok, serta baik yang berlaku pada tataran struktural maupun kultural-dengan elemen-elemen sosial lainnya yang menyangkut berjalannya kehidupan pasar, dan lain-lain. 43 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal b) Ekonomi: Menyangkut aspek-aspek penyerapan tenaga kerja, perkembangan struktur ekonomi, perubahan pendapatan masyarakat, dan perubahan lapangan pekerjaan yang ada, dan lain-lain Pasar Tradisional Keberadaan pasar merupakan bagian dari sejarah panjang dari apa yang dinamakan masyarakat. Pada mulanya, pasar di dalam suatu masyarakat ada ketika orang menawarkan barang dan jasa untuk dijual kepada orang lain dengan cara yang kurang lebih sistematis dan terorganisasi (Sanderson, 1993). Granovetter dalam bukunya Sociology of Economic Life melihat bahwa pasar timbul sebagai sebuah proses sosial yang dilihat dari pertemuan antara pembeli dan penjual dan struktur yang terbentuk di dalamnya tidak saja didasari oleh supplies (permintaan) dan demand (penawaran) semata-mata. Pasar timbul secara spontan sebagai tempat untuk membagi pekerjaan, sehingga mereka yang mengkhususkan diri dalam produksi satu jenis barang tertentu bisa memperoleh hasil produksi orang lain (Belshaw, 1965). Namun kiranya, terdapat tipikalitas-tipikalitas yang terdapat pada berbagai pasar. Seperti berlakunya kode-kode perdagangan serta harga ekuivalensi, kode-kode transaksi, modemode penetapan harga (mode of price-making), penjualan dan pembayaran, dll. (Nugroho, 2002). Dalam mengkaji pasar ada beberapa hal yang perlu ditekankan. Sanderson mengingatkan pentingnya membedakan pasar sebagai “market” maupun pasar sebagai “marketplace” (tempat pasar) (Sanderson, 1993). Merujuk pada pendapat ahli ekonomi, pasar sebagai “market” adalah merupakan kemampuan pasar bekerja menurut mekanisme institusionalnya yakni untuk menciptakan harga dan menjalankan prinsip-prinsip pasar, atau biasa disebut dengan istilah self regulating market. Sedangkan pasar sebagai marketplace (tempat pasar), merujuk pada pengkajian para ahli sejarah dan antropolog, yakni tempat pertemuan untuk memindahkan barang dari satu tangan ke tangan lainnya (Neale, 1956). Paul Bohannan dan George Dalton mengartikan pasar sebagai tempat yang mempunyai unsur-unsur sosial, ekonomis, kebudayaan, politis, dan lain-lainnya, tempat pembeli dan penjual (atau penukar tipe lain) saling bertemu untuk mengadakan tukar-menukar (Belshaw, 1981). Clifford Geertz (1977) dalam bukunya Penjaja dan Raja menelaah pasar-pasar tradisional pada umumnya yang terdapat dalam masyarakat 44 Jawa. Terdapat tiga sudut pandang dalam memahami artian luas dari pasar. Pertama, sebagai arus barang dan jasa menurut pola tertentu. Kedua, sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa terebut. Ketiga, sebagai sistem sosial dan kebudayaan dimana mekanisme itu tertanam. Dari sudut arus barang dan jasa, ciri khas pasar yang paling menonjol adalah jenis barang yang diperjual-belikan di situ: bahan pangan, sandang, dan barang besi kecil-kecilan dan sebagainya. Yakni barang-barang kecil yang mudah diangkut dan disimpan, yang persediaannya dapat ditambah dan dikurangi dengan lambat laun dan sedikit demi sedikit. Barang-barang yang mengizinkan perubahan marginal pada tingkat operasi perdagangan, bukannya mengharuskan “loncatan” yang tak kontinyu. Dengan kata lain, corak perdagangan yang khas dari pasar tradisional adalah penduduk dapat mengecerkan barang dagangannya secara langsung di pasar setempat kegiatan perdagangan ini biasanya dilakukan pedagang eceran kecil (bakul). Sedangkan mekanisme ekonomi pengatur arus barang dan jasa ada tiga komponen penting: sistem harga luncur (sliding price system), neraca kompleks dari hubungan-hubungan kredit yang diselenggarakan dengan hati-hati, dan pembagi bagian resiko dan dengan sendirinya margin laba yang sangat ekstensif. Sebagai sistem sosial dan budaya maka pasar bercirikan: 1. Posisi “terselip” (interstitial) yang tradisionil di dalam masyarakat Jawa pada umumnya.; 2. Pembagian kerja yang sangat berkembang, yang secara langsung merupakan landasan terpenting dari organisasi struktur sosial untuk pasar sebagai keseluruhan; 3. Pemisahan yang sangat tajam antara ikatan-ikatan sosial yang khas ekonomi dan non-ekonomi. Dalam penelitian ini, pengertian pasar tradisional dibatasi pada terma tempat pasar (marketplace). Pasar tradisional sebagai marketplace berarti menempati lokasi yang spesifik dimana orang-orang bertemu untuk melakukan pertukaran. Pertukaran itu merupakan perpindahan satu jenis barang ke dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Para petani datang ke pasar yang ada di kota dan menjual komoditasnya untuk dibeli oleh orang kota. Tempat pasar biasanya menempati lokasi yang tetap dan buka setiap hari, tetapi ada juga yang buka pada hari-hari tertentu saja (Neale, 1956) dalam (Polanyi, tanpa tahun). Pasar tradisional sebagai bagian dari ragam pasar menunjukkan karakteristik-karakteristik tersendiri yang berbeda dari pasar modern. Pada pasar tradisional, sistem yang digunakan adalah Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional Annisa Indah Masitha tradisional. Orang-orang berjual beli komoditas secara tradisional tanpa administrasi yang cermat tanpa dilengkapi teknologi modern, dan lain-lain (Nugroho, 2002). Kegiatan perdagangan di pasar tradisional lebih pada skala kecil atau eceran, menyesuaikan pada pangsa pasar yang biasanya merupakan masyarakat kelas menengah kebawah. Geertz menyebut ekonomi pasar semacam ini adalah tradisionil dimana berfungsinya diatur oleh adat kebiasaan dagang yang dianggap keramat karena terus-menerus dipergunakan selama berabadabad. Apa yang tak ada pada ekonomi pasar itu bukan ruang gerak melainkan organisasi, bukan kebebasan melainkan bentuk (Geertz, 1977). Pada masyarakat Jawa, pasar tradisional biasa disebut dengan istilah “Pasar” (Alexander,1987). Di dalam pasar itu terjadi proses sosial yang menjadi media bagi masyarakat kalangan menengah kebawah untuk saling berinteraksi baik antara sesama pedagang, pembeli dengan pedagang, maupun pembeli dengan pembeli. Orang-orang yang terdapat dalam pasar itu biasanya murni bertransaksi secara komersil tanpa dihubungkan satu sama lain pada kesamaan kesatuan kelompok sosial seperti pertalian keluarga, tetangga dan afiliasi keagamaan (Dewey, 1961). Keadaan pasar sebagai tempat pertemuan yang selalu ramai dan riuh-rendah memungkinkan orang-orang untuk bertukar-cerita mengenai berita informasi dan hiburan. Bahkan pasar juga dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat rekreasi. Karakter sosial seperti inilah yang jamak ditemui pada pasar-pasar tradisional. Jennifer Alexander (1987) dalam bukunya Trade, Traders and Trading In Rural Java menyebutkan bahwa klasifikasi pedagang yang sebagai pelaku pasar (marketplayer) yang umum dijumpai di pasar tradisional adalah bakul, juragan, dan agen. Bakul adalah untuk menyebut semua pedagang yang menjual barang eceran pada pembeli produk pertanian secara besar-besaran dalam kuantitas yang besar. Macam-macam bakul adalah bakul jalan, bakul keliling, bakul ngider, bakul dasaran, dan bakul borongan. Sedangkan juragan, memiliki modal keuangan yang lebih besar dan perdagangan dalam kuantitas yang lebih besar daripada bakul. Juragan juga sebutan bagi pedagang yang membeli hasil pertanian langsung dari petani. Juragan dapat dibedakan atas tengkulak dan penebas. Tengkulak biasanya membeli hasil panen pertanian dalam kuantitas besar dan membayar langsung secara tunai, sedangkan penebas membeli hasil pertanian setelah ada kesepakatan harga namun membayar uang muka dahulu (manjer) dan sisanya dibayar setelah penebas dapat menjual kembali hasil pertanian. Agen biasanya membeli langsung dari petani dan bertugas mengawasi hasil pertanian dan mengatur pengantaran barang ke depot ketika persediaan menjadi relatif langka. Terma agen juga dipakai untuk menyebut juragan perantara yang memiliki hubungan yang stabil dengan langganan maupun distributor. Pada masyarakat Jawa, kegiatan penjualan dan pembelian komoditas yang ada di pasar tradisional biasanya dilakukan melalui tempat pasar seperti pasar, depot, toko dan warung (Alexander, 1987). Masing-masing tempat pasar tersebut memiliki fungsi ekonomi yang khas, persetujuan dengan pelanggan, dan memiliki sedikit ukuranukuran transaksi. Pembedaan tempat pasar semacam ini juga menunjukkan adanya kelaskelas sosial dan stratifikasi sosial yang terangkum pada gambaran sosial pasar tradisional. Konsepsi masyarakat Jawa mengenai toko, depot, warung dan pasar berbeda-beda tergantung pada keadaan ekonomi dan status sosial yang ada. Pembahasan mengenai pasar tradisional dalam penelitian ini, diletakkan menurut frame sosiologi. Yakni menempatkan pasar sebagai bagian dari ruang-ruang sosial masyarakat dan menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Dimana di dalam pasar tradisional ini dapat dijumpai relasirelasi sosial yang khas dibandingkan dengan intitusi pasar lainnya. Misalnya di dalam pasar tradisional, kita dapat menjumpai konsep tuna sathak bathi sanak (untung sedikit tapi banyak kenalan atau persaudaraan baru), suasana merakyat, egaliter, keintiman, keberanian menyampaikan pendapat dalam proses tawar-menawar, pengalaman/ pelajaran baru, artikulasi kepentingan, dan lainlain. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi di Pasar tradisional Wonokromo Surabaya yang merupakan pilot project kebijakan revitalisasi pasar yang dilakukan PD Pasar Surya, dan dilakukan selama rentang waktu Januari-Juni 2008. Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan jenis deskriptif dengan pendekatan kajian studi kasus. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel purposif (purposive sampling), yaitu pemilihan sampel yang ditentukan secara sengaja berdasarkan kriteriakriteria tertentu menurut tujuan peneliti. Sedangkan metode pengumpulan data menggunakan observasi untuk menangkap, merekam, dan menuliskan setting sosial berlangsungnya kehidupan pasar. Selain itu, penelitian ini menggunakan wawancara sebagai data primer. Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak informan tertentu dengan pertimbangan bahwa para informan ini adalah yang terlibat langsung dengan revitalisasi pasar, yakni antara lain kepada: 45 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal • • • • • Direktur Utama dan atau jajaran PD Pasar Surya selaku penggagas kebijakan revitalisasi pasar. Kepala Pasar Wonokromo selaku pimpinan tertinggi di dalam pasar. Pihak PT Arwinto Intan Wijaya selaku investor revitalisasi pasar Wonokromo. Pedagang pasar Wonokromo selaku market-player utama di pasar tradisional dan sebagai subjek yang terkena dampak langsung revitalisasi pasar. Kelompok pedagang yang diwawancara sebanyak enam orang. Kriteria pedagang yang diwawancara merujuk pada keterwakilan dari golongan pedagang menurut komoditas yang mereka jual. Serta pihak-pihak terkait yang diperoleh selama penelitian berlangsung untuk mendapatkan data akurat (misalnya: pembeli/konsumen, atau komponen sosial lainnya di dalam pasar, dll.). Sedangkan pengumpulan data sekunder dengan menelusuri dokumen resmi terkait dengan agenda revitalisasi pasar yang mencakup pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh PD Pasar Surya dalam menentukan arah dan tujuan revitalisasi pasar sebagai basis manajemen pengelolaan pasar-pasar tradisional di Surabaya, utamanya di pasar Wonokromo. Selain itu dengan menelusuri kepustakaan yang berkaitan dengan konteks historis perkembangan pasar Wonokromo dari masa ke masa, untuk melihat seberapa vital peranan pasar Wonokromo bagi perkembangan perekonomian kota, hingga pada akhirnya ditunjuk sebagai pilot project pelaksanaan revitalisasi. Bukubuku yang mengkaji pasar tradisional ataupun hasil riset yang membahas tentang pasar tradisional adalah sasaran utama dalam riset kepustakaan ini, terutama yang terkait dengan pasar Wonokromo dan PD Pasar Surya secara kelembagaan. Teknik analisis data dengan cara memaparkan data berdasarkan urutan waktu dan kejadian, menghubungkan data dengan konteks, yang kemudian disajikan dalam bentuk paparan lengkap untuk memecahkan masalah penelitian. Analisa data akan mengacu pada kerangka pemikiran, sehingga didapatkan analisa yang terfokus dan sistematis. Data yang akan diolah adalah data yang berhubungan dengan penilaian maupun respon pedagang pasar atas pelaksanaan revitalisasi pasar. Apakah para pedagang merasakan dampak dari adanya revitalisasi pasar terutama yang menyangkut aspek sosial dan ekonomi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pasar Wonokromo merupakan salah satu pasar tradisional yang terkenal di Surabaya. Posisi pasar Wonokromo yang berada di pintu masuk wilayah Surabaya Selatan yang sering dilalui oleh kendaraan-kendaraan dari luar kota yang datang dari arah kota Sidoarjo, Mojokerto, Malang dan sekitarnya, menjadikan pasar ini sangatlah strategis. Titik keramaian lainnya yang terdapat di sekitar kawasan Surabaya selatan adalah Kebun Binatang Surabaya dan berbagai pusat perbelanjaan seperti Royal Plaza, Pusat Grosir Mangga Dua, Alfa, dan Giant Hypermarket. Selain strategis, Pasar Wonokromo juga mudah terjangkau oleh berbagai akses transportasi umum. Hal ini dikarenakan lokasi pasar yang berseberangan dengan Stasiun Wonokromo yang merupakan tempat transit bagi kereta api kelas ekonomi. Selain itu, tak jauh dari pasar Wonokromo juga terdapat terminal Joyoboyo yang menjadi pusat pemberhentian bermacam-macam jenis angkutan dalam dan luar kota. Dalam konteks historis, Wonokromo memang merupakan kawasan penting dalam sejarah perkembangan kota Surabaya. Bahkan oleh sebagian kalangan, Wonokromo dipercaya sebagai cikalbakal kota Surabaya. Pena sejarah mencatat, bahwa Wonokromo dahulunya menjadi satu kawasan yang ramai oleh berbagai kegiatan mulai dari industri, perdagangan, bahkan pertanian. Wilayah Wonokromo tumbuh dan berkembang seiring dengan dibangunnya kota Surabaya sebagai kota industri dan jasa pada jaman kolonial, khususnya di akhir abad 19 dan awal abad 20 Surabaya bahkan disebut-sebut sebagai kota industri terbesar di Hindia Belanda. Gambar 1 Pasar Wonokromo sesudah revitalisasi (kiri) dan sebelum (kanan) 46 Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional Annisa Indah Masitha Pasar ini menempati area tanah seluas ± 17.213 m2 dengan luas bangunan ±10.584 m2. Pasar Wonokromo baru yang dibangun selama rentang waktu 2003-2005 ini menempati gedung DTC (Darmo Trade Centre) yang memiliki delapan lantai. Pasar Wonokromo menempati dua lantai dasar yakni lantai dasar bawah (LDB) dan lantai dasar atas (LDA) sedangkan sisa enam lantai di atasnya merupakan pasar modern yakni DTC Pasar Grosir Wonokromo. Konsep pembangunan ini merupakan perpaduan dari pasar tradisional dan pasar modern yang diletakkan dalam satu gedung yang sama. Dimana Pasar Wonokromo menempati dua lantai dasar dan menjadi kewenangan PD Pasar Surya. Sedangkan enam lantai di atasnya merupakan area DTC yang pengelolaannya diserahkan ke PT. Arwinto Intan Wijaya selaku pihak investor. Untuk menghubungkan antara kedua jenis pasar ini menggunakan tangga yang terdapat di dalam pasar Wonokromo. Di pasar Wonokromo terdapat berbagai ragam jenis tempat berjualan. Total keseluruhan terdapat ± 3.891 buah stand yang tersebar di blokblok yang ada di LDB maupun LDA. Dari keseluruhan jumlah stand tersebut sudah termasuk fasilitas umum (fasum) sebanyak 14 stand yang terdiri dari akses jalan maupun tempat panel listrik. Di LDA dan LDB, terdapat blok-blok yang terdiri dari blok A, B, dan C. Penamaan blok-blok ini berguna untuk memudahkan pengunjung dalam mencari alamat stand. Dari total jumlah tersebut, sebanyak ± 2.394 buah merupakan jenis kios dan sisanya sebanyak ± 1.497 buah merupakan los. Para pedagang pasar Wonokromo menjual berbagai macam komoditas dagangan seperti pasarpasar tradisional lainnya yang lazim ditemui. Hampir semua barang kebutuhan mulai dari barang-barang yang sederhana sampai modern tersedia di pasar ini. Komoditas dagangan pedagang menentukan lokasi tempat berjualan. Misalnya, di LDB yang diperuntukkan untuk los basah dengan komoditaskomoditas yang ditawarkan seperti sayur-mayur, meracang, buah, ayam potong, daging, pecah belah, jamu, jajanan pasar (kue basah, dawet), gerabah, dan lain-lain. Sedangkan di LDA menjual beraneka macam dagangan seperti konveksi, sepatu, palen, warung/depot, emas, kosmetik, elektronik, obatobatan, rombeng (barang-barang bekas), dll. Selain itu di dalam pasar juga tersedia beberapa jasa seperti layanan pijat dan tukang jahit baju. Nilai Strategis Pasar Wonokromo Pasar Wonokromo merupakan bagian dari pasar kelas utama. Pasar kelas utama adalah pasar yang memiliki radius pelayanan hingga keluar regional (luar kota Surabaya) dan memiliki pedagang dalam jumlah besar. Karena statusnya sebagai pasar kelas utama dan letaknya yang strategis di pintu gerbang kota Surabaya bagian selatan, Pasar Wonokromo terkenal sebagai pusat perkulakan bagi pedagang-pedagang di Surabaya. Adapun komoditi atau barang dagangan yang menjadi brand legenda di Pasar Wonokromo adalah pakaian, sepatu, dan unggas potong. Pendapatan (income) pasar Wonokromo menjadi tulang punggung bagi PD Pasar Surya sebagai perusahaan daerah untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota Surabaya. Pendapatan Pasar Wonokromo tergolong paling besar diantara unit-unit pasar lainnya. Rata-rata pendapatan yang didapat oleh Pasar Wonokromo perbulannya sekitar 270 juta rupiah. Pendapatan tersebut didapat dari iuran-iuran yang dikenakan kepada pedagang contohnya seperti: rekening tempat, rekening air, rekening listrik, harian listrik, harian tempat, balik nama, parkir, biaya her/ijin, dan lain-lain (biaya tata usaha/ BTU dan serta pembukaan segel). Tabel 1 Pendapatan pasar Wonokromo TAHUN PENDAPATAN (Rupiah) 2005 1.480.126.895 2006 3.167.110.280 2007 3.253.020.901 Sumber: Kantor Pasar Wonokromo, 2008 Pendapatan dari hasil pengelolaan Pasar Wonokromo bersama-sama unit-unit pasar lain yang terkumpul menjadi satu ini nantinya yang disetorkan PD Pasar ke Pemkot sebesar 55% sebagai deviden. Potensi ekonomi yang dimiliki oleh Pasar Wonokromo inilah yang menjadikannya memiliki peranan yang cukup vital bagi perekonomian kota Surabaya. Perubahan status kelembagaan dari Dinas Pasar menjadi PD Pasar mempengaruhi fungsifungsi, relasi-relasi, orientasi dan manajerial yang ada di dalamnya. Di mana dahulunya ketika berbentuk Dinas Pasar fungsi yang dikedepankan adalah fungsi sosial dan mengarah pada public services. Sedangkan ketika berstatus sebagai perusahaan daerah maka semua hal yang ada di tubuh lembaga didasari atas motif bisnis (profit oriented) sepenuhnya. Motif bisnis ini merupakan salah satu bentuk pemenuhan kewajiban PD Pasar memenuhi sejumlah target-target perusahaan kepada pemerintah kota. Karena bagaimanapun juga, PD Pasar juga merupakan bagian dari eksponen kota Surabaya. Dalam menjalankan pengelolaan pasar-pasar tradisional, PD Pasar Surya memposisikan unit-unit pasar sebagai satuan unit bisnis. Hal ini dikarenakan PD Pasar Surya dituntut untuk lebih mengarah ke profit-oriented dimana pola-pola pengelolaannya juga meniru pola 47 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal manajemen bisnis pada umumnya. Sehingga PD Pasar Surya memakai strategi “bisnis perpasaran” untuk meningkatkan aset-asetnya. Strategi bisnis ini pula yang turut andil dalam pelaksanaan kebijakan revitalisasi pasar. 2 Adapun pertimbangan dan perincian kegiatan agenda-agenda revitalisasi adalah sebagai berikut: Pembangunan PD Pasar Surya perlu membangun ulang Pasar Wonokromo karena kondisi pasar sebelumnya yang sering terbakar sehingga menjadi kumuh dan kotor sehingga tidak layak menjalankan fungsi jual-beli. Pemilihan bentuk bangunan pasar yang meniru bangunan mall secara tidak langsung mendapat pengaruh eksternal. Kekumuhan dan kekotoran bangunan Pasar Wonokromo diharapkan tidak mempengaruhi wajah kota dan menimbulkan kesan yang tidak baik dari publik. Hal ini dikarenakan lokasi Pasar Wonokromo yang berada di gerbang Surabaya bagian selatan dan menjadi pintu masuk bagi kendaraan-kendaraan dari luar kota. Karenanya, pembangunan kembali pasar Wonokromo diselaraskan pula dengan perencanaan kota dan penataan lingkungan dari Bappeko (Badan Perencanaan Pembangunan Kota) Surabaya seperti yang tertuang di dalam masterplan 2010.3 Selain itu PD Pasar juga menyadari bahwasanya Surabaya sebagai kota metropolitan, gaya pasar tradisional yang lama tidak bisa dipertahankan terus-menerus. Masyarakat perkotaan saat ini lebih tertarik untuk berbelanja di pusat perbelanjaan modern seperti supermarket, hypermarket yang lebih nyaman dan bersih. Persoalan gaya hidup masyarakat kota yang sedang dalam perubahan inilah yang juga dibidik oleh PD Pasar Surya untuk mengembangkan potensi pasarpasar tradisional yang dimilikinya. Sedapat mungkin gaya pasar tradisional mengikuti perubahan gaya hidup masyarakat kota agar lebih modern. Dari segi fisik pembangunan, pemilihan bentuk bangunan Pasar Wonokromo yang mengarah ke konsep modern memang menyesuaikan dengan bentuk bangunan pasar modern DTC di atasnya. Selain itu fasilitas di dalam pasar Wonokromo pun lebih canggih dibanding pasar tradisional lainnya karena dilengkapi dengan sistem pengelolaan limbah, insenerator, sistem tempat sampah khusus, hydran, dan lain-lain. Rancangan dan perencanaan pembangunan fisik Pasar Wonokromo memang datang dari pihak PT. Arwinto. Dan kemudian hasil rancangan ini didiskusikan bersama dengan 2 Wawancara dengan bapak Oscar Rachwardhady, Humas PD Pasar Surya tanggal 13 Juni 2008. 3 wawancara dengan Bpk. Mukalil (Kasat Litbang), tanggal 21 Mei 2008. 48 PD Pasar sehingga dicapai kesepakatan bersama. Misalnya dari sisi penempatan dan penataan stand pedagang, diakui oleh pihak Arwinto, memperhitungkan prospek komoditas. Contohnya, penempatan stand emas dan atau konveksi yang diberi lokasi di bagian pintu utama pasar sedangkan stand untuk pedagang rombeng menempati bagian area paling belakang pasar.4 Pendataan Pedagang Pasar Wonokromo lama sebelum pelaksanaan revitalisasi terbagi menjadi dua bagian yaitu existing (pedagang tetap yang tertera secara sah dalam buku induk) dan non-existing (PKL). Keadaan Pasar Wonokromo saat itu sangat padat dengan keberadaan PKL. Menurut PD Pasar Surya, keberadaan PKL ini mengganggu pedagang existing yang berjualan di dalam pasar dalam hal jual-beli. Maka, pendataan ulang pun diprioritaskan bagi para pedagang existing tersebut. Terutama yang menyangkut persoalan administratif pedagang mulai dari nama pedagang, luasan tempat berjualan, jenis jualan, dan peralihan hak pakai. Jika di lapangan ada pedagang yang menjual dagangan tidak sesuai dalam buku induk, maka pedagang tersebut jika memungkinkan harus mengurus ijin perubahan jenis. Begitupun juga jika ada luasan yang tidak sesuai, jika memungkinkan harus ada penyesuaian luas. Dan jika ada data nama pemilik hak pemakaian stand tidak sama maka harus mengurus peralihan hak pakai. Pendataan pedagang ini berguna untuk mempermudah melakukan pencatatan. Penertiban Pasar Wonokromo termasuk pasar yang potensial untuk kegiatan perdagangan. Potensi ini menyedot PKL untuk ikut berjualan di depan pasar. Sehingga keadaan pasar menjadi semrawut karena adanya pedagang yang meluber hingga diluar pasar dan memakan badan jalan. Upaya penertiban pasar dilakukan agar pasar dapat digunakan sebagaimana mestinya oleh pedagang resmi. Dan PKL-PKL atau pedagang yang berjualan diluar pasar pun ditertibkan agar Pasar Wonokromo kembali dapat dipergunakan oleh pedagang resmi seperti semula. Dalam agenda penertiban ini, dimulai dengan menertibkan PKL yang berada diluar pasar. Penertiban PKL ini menjadi kewenangan Pemkot melalui Satpol PP. Sedangkan penertiban di dalam pasar menjadi urusan sekuriti. Pedagang resmi yang tercatat di buku induk PD Pasar Surya inilah nantinya yang berhak berjualan di dalam pasar. Dalam berjualan di dalam pasar, pedagang resmi ini harus menaati tata tertib peraturan pasar dan memenuhi kewajiban- 4 Wawancara dengan bapak Sigit, General Engineering PT Arwinto, 20 Juni 2008. Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional Annisa Indah Masitha kewajiban administrasi. Contoh menaati peraturan pasar adalah menjaga kebersihan tempat berjualan, menjaga keamanan dan ketertiban, mematuhi waktu kegiatan pasar, memenuhi pembayaran iuran pasar tepat pada waktunya, dll. Pada dasarnya, para pedagang dalam berjualan harus memenuhi kewajiban pembayaranpembayaran pasar yakni iuran jasa perpasaran dan biaya investasi. Iuran jasa perpasaran adalah nominal tertentu yang dibayarkan pedagang kepada PD Pasar Surya karena mereka telah menggunakan jasa dan fasilitas pada pasar-pasar yang dimiliki oleh PD Pasar. Selain itu pedagang juga diwajibkan membayar biaya investasi selama menempati stand mereka. Biaya investasi ini merupakan biaya ganti bangunan yang harus mereka bayarkan kepada investor PT. Arwinto melalui Bank Bumiputera. Biaya investasi yang mereka bayarkan tersebut sesuai dengan luasan tempat berjualan, jenis jualan dan jenis stand. Bagi pedagang yang tidak dapat secara langsung melunasi biaya investasi, mereka dapat melakukan cicilan setiap harinya. Apabila mereka sudah melunasi biaya investasi maka mereka diberi Buku Pemegang Hak Pemakaian Stand (BPHPS) sebagai bukti identitas pedagang di pasar setempat. Penataan Pasar tradisional umumnya kurang tertata dengan baik dari segi jenis jualan, maupun tempat berjualan sehingga dikhawatirkan akan mengurangi kenyamanan berbelanja. Maka dari itu, PDPS menjalankan penertiban sebagai run programming di Pasar Wonokromo dengan menata bentuk-bentuk tempat berjualan yang berbentuk kios dan los. Untuk luasan stand di bawah 4 meter biasanya merupakan bentuk los, dan yang 4 meter keatas merupakan kios. Namun ada juga los yang berukuran lebih dari 4 meter karena merupakan penggabungan dari beberapa los. Pembangunan dan penataan stand para pedagang ini disesuaikan dengan pendataan sebelumnya. Realisasi dari penataan ini adalah menata bangunan pasar yang dikelompokkan menurut jenis stand dan jenis jualan pedagang. Jenis stand seperti kios dan los dikelompokkan sedemikian rupa dengan sesama jenisnya yang ada di setiap blok-blok. Jadi, kios dikelompokkan dengan kios dan los dengan los. Di LDA, misalnya, semua tempat berjualan merupakan bentuk kios. Dan di LDB sendiri terdapat kios dan los, namun tetap ditata sesuai jenisnya yakni los dengan los dan kios dengan sesama kios. Kios dan los tersebut kemudian ditata lagi untuk dikelompokkan sesuai jenis jualan. Misalnya, pedagang buah dengan sesama pedagang buah, pedagang sayur dengan pedagang sayur, dan begitu seterusnya. Dampak Sosial-Ekonomi Revitalisasi Total Pasar Wonokromo Adanya suatu kebijakan yang diimplementasikan tentunya menimbulkan suatu dampak tertentu bagi sasaran kebijakan itu sendiri. Dampak yang timbul ini merupakan hasil intervensi dari decision maker untuk mencapai tujuan tertentu. Dampak yang dirasakan oleh sasaran kebijakan itu dapat berupa positif dan negatif. Dan dampak sendiri dapat berupa dampak langsung (output) maupun dampak tak langsung (outcome). Kebijakan revitalisasi pasar yang dicanangkan oleh PD Pasar di Pasar Wonokromo kepada pedagang menimbulkan dampak-dampak tertentu. Dampak tersebut terlihat dari berbagai tanggapan, penilaian dan pendapat pedagang terhadap pelaksanaan revitalisasi. Dampak yang diidentifikasi dari pelaksanaan revitalisasi ini hanya akan menspesifikkan pada bidang sosial dan ekonomi saja. Dari hasil penelitian dan observasi di lapangan, dapat diketahui dampak-dampak yang muncul dari adanya pelaksanaan revitalisasi Pasar Wonokromo adalah sebagai berikut: Dampak Langsung (output) Sosial a. Relasi antara PD Pasar dengan Pedagang yang Sifatnya Menjadi Transaksional. Fungsi sosial yang sebelumnya dimiliki PD Pasar untuk mengelola dan menyelenggarakan aktivitas perpasaran sebagai representasi kegiatan perekonomian bagi masyarakat menengah ke bawah mulai bergeser kearah bisnis semata. PD Pasar tidak peduli terhadap pedagang yang tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban administrasi pembayaran dengan memberlakukan sanksisanksi yang tegas bagi mereka. Bagi pedagang yang tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian yang disepakati, maka PD Pasar akan memberikan surat peringatan (SP) untuk pedagang yang tidak dapat membayar iuran bulanan selama dua bulan berturut-turut. Bila SP ini tidak diperdulikan pedagang, maka dilakukan penyegelan stand hingga upaya yang terakhir dilakukan dengan pencabutan. Ketika stand sudah dicabut maka pedagang tidak mempunyai hak apapun dan stand kembali menjadi milik PD Pasar. Bahkan proses ini nantinya bisa berakhir pada penyelesaian hukum karena kesepakatan perjanjian awal antara pedagang dengan PD Pasar diikat oleh notaris. 49 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal b. Hilangnya pelanggan yang dimiliki pedagang karena penempatan stand yang berubah dari sebelumnya. Karena letak stand ibu Ani yang kurang strategis tersebut, ia merasakan pendapatannya yang tidak sebanyak seperti dahulu sebelum Pasar Wonokromo dibangun. Dulu, sebelum Pasar Wonokromo dibangun, ia menempati stand di dekat pintu masuk pasar dibagian timur sehingga masih tergolong strategis. Menurut pengakuannya, dalam sehari kini ia hanya memperoleh pendapatan sekitar 20.000 rupiah saja. Kalau sedang laku keras bisa memperoleh kurang lebih 50.000 rupiah. Sebelum Pasar Wonokromo dibangun kembali, ia bisa mengantongi untung 75.000100.000 rupiah dalam sehari. Beberapa pedagang yang “tidak beruntung” dalam mendapatkan stand yang strategis mereka umumnya menempati stand yang terpencil sehingga kurang terakses oleh para pembeli. Hal ini memberikan pengaruh terhadap keberadaan pelanggan mereka. Dampak seperti inilah yang dirasakan ibu Mardiyah (pedagang gerabah) dan ibu Ani (pedagang meracang). Seperti pengakuan ibu Ani yang ditinggalkan pelanggannya lantaran letak standnya yang lebih masuk kedalam. Lain halnya dengan tempat berjualannya yang dulu yang terletak di pintu masuk pasar bagian timur. Sehingga banyak pembeli yang membeli barang darinya. Bahkan dari pembeli tersebut ada yang meningkat statusnya menjadi pelanggan. Pelanggan tersebut seringkali menitipkan uang kepada ibu Ani untuk membeli belanjaan yang akan dibeli keesokan harinya. Menurut ibu Ani, si pelanggan tersebut sering menitipkan uang kepada ibu Ani untuk membeli bahan-bahan untuk membuat sayur sop yang akan diambil esok harinya ketika ia berbelanja. Tingkat kepercayaan pelanggan tersebut ke ibu Ani begitu besar. Namun sayangnya pelanggan tersebut menjadi malas untuk berbelanja ke stand ibu Ani karena letaknya yang jauh dari pintu masuk. Pelanggan tersebut tidak ingin harus masuk kedalam-dalam dan akhirnya memilih untuk berbelanja di pedagang yang terdekat. Ekonomi Tetapi meskipun pendapatan ibu Ani yang tergolong pas-pasan tersebut, ia masih mampu untuk membayar iuran bulanan kepada PD Pasar. Ibu Ani takut standnya disegel dan ia tidak bisa berdagang kembali. Lain halnya yang dialami oleh ibu Mardiyah seorang pedagang meracang yang tidak mampu lagi membayar kewajiban iuran bulanan. Ia mengeluhkan letak standnya yang terpencil di belakang pasar. Setiap bulannya ia membayar iuran sebesar 163.000 rupiah dan masih ditambah rekening listrik sebesar 60.000 rupiah. Namun dalam kasus tertentu, penataan dan penempatan stand ini juga mempengaruhi peningkatan pendapatan pedagang. Bagi pedagang yang mampu untuk membayar tinggi atas biaya potensi perpasaran tentunya akan mendapatkan lokasi stand yang strategis. Hal ini sesuai dengan pengakuan bapak Ali seorang pedagang ayam yang standnya seharga 3,5 juta rupiah per meter persegi. “Pelanggan saya bilang...Bu, aku males tuku nang panggonmu, keadohan ngono.”5 “Kalau saya pribadi alhamdulillah tidak ada masalah. Omzet saya tambah naik dari sebelumnya... Karena stand saya termasuk jalur ramai... Banyak pembeli yang lewat disitu. Di sebelah timur termasuk stand saya itu termasuk mahal sewanya. Satu meter Rp 25.000 sehari.”6 a. Penataan dan penempatan stand mempengaruhi pendapatan pedagang. Penataan dan penempatan stand pedagang berdasarkan hasil jualan dan potensi perpasaran memberikan dampak perubahan pendapatan mereka. Bagi pedagang yang dari awal menyatakan kesanggupan dalam mencicil biaya investasi stand, mereka umumnya ditempatkan dalam tempat yang kurang strategis dan aksesnya kurang terjangkau oleh pembeli. Seperti pengakuan ibu Ani, pedagang meracang yang standnya terletak dibagian belakang pasar. Stand ibu Ani hanya dilewati oleh orang-orang yang hanya menggiling daging saja. 5 Wawancara dengan ibu Ani, pedagang meracang, tanggal 11 Juni 2008. 50 b. Iuran tempat berjualan yang sistem pembayarannya berubah. 6 Kebijakan revitalisasi di Pasar Wonokromo mendatangkan kewajibankewajiban baru yang harus dipatuhi oleh pedagang. Terutama, pedagang diharuskan untuk menaati peraturan-peraturan baru dari PD Pasar yang menyangkut pembayaran iuran-iuran jasa perpasaran tertentu. Salah satu jenis iuran yang paling mendasar adalah para pedagang diwajibkan untuk membayar iuran tempat berjualan. Iuran tempat berjualan wajib dibayar oleh pedagang setiap bulannya. Wawancara dengan bapak Ali, pedagang ayam, 11 Juni 2008 Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional Annisa Indah Masitha Iuran tempat berjualan ini terdiri atas iuran tempat, biaya sampah, dan biaya tata usaha (BTU). Iuran bulanan ini belum termasuk atas rekening biaya listrik dan air. Dahulunya, pihak PD pasar memberlakukan iuran tempat berjualan yang dikenakan ke pedagang ini dilakukan secara harian atau bulanan. Namun pemberlakuan sistem tersebut juga mempertimbangkan faktor kemampuan pedagang juga. Untuk sistem pembayaran secara bulanan biasanya dilakukan oleh pedagang-pedagang besar dan sistem harian untuk pedagang-pedagang kecil. Sedangkan untuk kebijakan yang baru ini menyatakan bahwa iuran tempat berjualan dibayarkan setiap bulannya. Menurut bapak Aan dari Pemasaran PD Pasar, sistem iuran tempat berjualan secara bulanan ini datangnya dari pihak PD Pasar sebagai pengelola agar memudahkan penagihan dan pengurusan administrasi supaya lebih efektif. Selain itu juga, sistem pembayaran secara bulanan ini diakui lebih besar nominal yang bisa didapatkan oleh PD Pasar. Namun respon yang datang dari pedagang, kebijakan baru ini memberatkan mereka. Menurut mereka, sangat terasa sekali perbedaannya sistem pembayaran iuran karcis secara bulanan ini dengan sistem harian. Sistem pembayaran karcis yang biasanya dilakukan secara harian dan kemudian menjadi bulanan, terasa memberatkan pedagang. “Saya setiap harinya membayar iuran listrik 400 rupiah karena punya dua nomor stand. Kalau karcis sama sampahnya setiap bulannya saya bayar 72.000 rupiah, jadi satu stand 36.000 rupiah. Sakjane yo gak larang tapi bayare langsung dhel sak wulan (sebenarnya tidak terlalu mahal tapi membayarnya langsung satu bulan)”7 Menurut bapak Irul, Staf kantor Pasar Wonokromo, dari kebijakan baru yang menggunakan sistem pembayaran iuran karcis secara bulanan ini menyebabkan tunggakan yang mencapai 34 % setiap bulannya. Pedagang yang paling banyak melakukan tunggakan adalah pedagang yang berasal dari golongan IV terutama pedagang sayur dan pedagang rombeng (barang bekas). Selain itu juga ada yang datang dari golongan III seperti pedagang meracang dan pedagang buah. Sedangkan yang paling aktif melakukan pembayaran karcis adalah pedagang emas, konveksi, dan palen (alat-alat dapur).8 7 Wawancara dengan ibu Amriyah, pedagang buah, tanggal 17 Mei 2008. 8 Wawancara dengan bapak Itul, staf kantor Pasar Wonokromo, tanggal 27 Mei 2008. c. Kewajiban membayar biaya investasi kepada investor. Biaya investasi merupakan biaya ganti bangunan yang harus dibayar oleh pedagang kepada pihak PT Arwinto yang telah membangunkan stand untuk mereka. Pembayaran biaya investasi ini dilakukan setiap harinya tergantung luasan stand yang dimiliki pedagang. Harga luas stand untuk setiap meter persegi adalah sebesar Rp 782.000. Untuk pedagang yang dapat melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran biaya investasi maka akan diberikan buku pemegang hak pemakaian stand (BPHPS). Biaya investasi tersebut masih ditambah lagi dengan biaya-biaya lain yang dibayar sekali saja seperti misalnya ijin tempat sebesar Rp 5.000/m2, biaya pembayaran notaris untuk mengikat kesepakatan antara kedua belah pihak sebesar Rp 200.000, dan terakhir untuk biaya cetak buku sebesar Rp 12.500. Bagi pedagang yang tidak sanggup membayar lunas biaya investasi maka boleh melakukan pembayaran cicilan PD Pasar/investor PT Arwinto (sistem in-house) maupun ke bankbank yang telah ditunjuk sebelumnya sesuai MoU (Memorandum of Understanding) antara pihak PD Pasar dengan bank tersebut. Dalam hal ini bankbank yang ditunjuk adalah bank Bumiputera, bank Niaga, bank Mandiri, bank BRI, dan bank NISP. Pedagang yang memiliki kemampuan dalam melakukan pelunasan biaya investasi di atas enam bulan maka diarahkan untuk melakukan cicilan kepada bank-bank tersebut. Untuk pedagang yang memiliki kemampuan mencicil pembayaran biaya investasi di bawah enam bulan maka dapat melakukan pembayaran langsung ke PD Pasar dan PT Arwinto tanpa dikenakan bunga. Seperti pendapat yang diutarakan oleh ibu Ani (57 tahun) pedagang meracang, dia hanya sempat aktif membayar biaya investasi sebesar 32.000 rupiah setiap hari selama jangka waktu dua tahun saja dari semenjak pertamakali Pasar Wonokromo diresmikan. Selebihnya, ia tidak membayar biaya investasi karena pendapatan yang didapat dari hasil meracang tidak menentu.9 Praktis hingga saat ini berjualan di Pasar Wonokromo, ibu Ani hanya mampu membayar iuran tempat setiap bulannya ke PD Pasar saja tanpa membayar biaya investasi. Ini dilakukan untuk menghindari agar standnya tidak disegel oleh pihak PD Pasar. Sedangkan menurut pengakuan bapak Ali yang langsung membayar biaya investasi secara tunai dikarenakan dirinya tidak berani mencicil apalagi dengan bunga bank yang menurutnya termasuk tinggi. Bapak Ali sebagai pedagang ayam 9 Wawancara dengan ibu Ani, pedagang meracang, tanggal 11 juni 2008. 51 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal hidup dan ayam potong memang berangkat dari kapital yang kuat meskipun komoditas jualannya sendiri termasuk kegolongan III. “Saya alhamdulillah lunas. Kalau temanteman banyak yang tidak membayar. Saya dulu langsung lunas membayar 28 juta rupiah, tidak berani mencicil karena bunganya memberatkan pedagang. Kalau tidak cash biayanya hampir 60 juta rupiah...”10 Dampak Tidak Langsung (outcome) Sosial a. Tidak adanya organisasi internal bagi pedagang untuk menyampaikan aspirasinya. Untuk menyampaikan aspirasi suara dan kepentingan kepada PD Pasar sebagai pihak pengelola maka para pedagang Pasar Wonokromo berinisiatif untuk membentuk organisasi bersifat internal yang diberi nama HPP (Himpunan Pedagang Pasar) Wonokromo. Namun dalam perkembangannya, HPP ini dibubarkan oleh PD Pasar antara tahun 20032004 sebelum peresmian Pasar Wonokromo yang baru karena dianggap tidak efektif. Selama proses pembangunan kembali Pasar Wonokromo mengundang reaksi keras dari pedagang yang kontra terhadap rencana PD Pasar. Pedagang pasar pun kemudian membentuk KPP (Kelompok Pedagang Pasar) untuk menyatukan sinergitas pedagang yang merasa terancam dengan pembangunan pasar yang merugikan mereka. Mereka berdemo menolak revitalisasi Pasar Wonokromo dengan jalan memblokade alat-alat berat yang digunakan untuk membangun pasar. KPP merasa bahwa pembangunan pasar akan merugikan hak pedagang. Pro-kontra pembangunan kembali Pasar Wonokromo yang sempat terlunta-lunta selama setahun karena adanya upaya dari HPP untuk menghalanghalangi. Setelah Pasar Wonokromo diresmikan, praktis tidak ada organisasi internal untuk menaungi kepentingan pedagang. Sekarang ini jika ada pedagang yang ingin menyampaikan aspirasi atau keluhannya maka harus menghubungi pihak PD Pasar langsung. Namun pedagang merasakan bahwa keluhannya tidak dihiraukan oleh pihak pengelola. “...sebenarnya KPP itu bagus juga untuk melindungi pedagang. Dan yang memilih juga dari kalangan pedagang. Yang menghapus (KPP) 10 Wawancara dengan bapak Ali, pedagang ayam potong, 11 Juni 2008 52 itu PD Pasar. Memangnya harus ada organisasi semacam itu biar lebih enak.”11 b. Kerjasama dengan pihak ketiga dalam hal keamanan dan kebersihan dengan menggunakan sistem outsourcing. Revitalisasi membawa konsekuensi baru bagi PD Pasar sebagai pengelola untuk meningkatkan kualitas pelayanan di Pasar Wonokromo. Peningkatan pelayanan tersebut diwujudkan dengan kerjasama dengan pihak ketiga untuk penyelenggaraan kebersihan dan keamanan yang ada di dalam pasar. Sistem perekrutan tenaga keamanan (security) dan kebersihan (cleaning services) ini dilakukan secara out-sourcing. Petugas sekuriti bertugas menurut shift. Dalam sehari terdapat tiga shift petugas sekuriti yang bertugas menjaga keamanan di dalam maupun diluar pasar. Petugas yang bertugas di dalam pasar biasanya bertugas secara keliling sedangkan yang diluar pasar bertugas menertibkan tukang becak dan angkutan kota yang berhenti sembarangan di depan jalan Pasar Wonokromo. Hal ini dilakukan agar jalan di depan pasar tidak semrawut. Peningkatan kualitas pelayanan keamanan Pasar Wonokromo ini direspon positif oleh sebagian pedagang pasar. Salah satunya ibu Prapti, penjual dawet, yang merasakan bahwa keadaan internal pasar relatif lebih aman dari Pasar Wonokromo sebelum dibangun. “sekarang ini aman, mbak. Ga kaya dulu. ...Sekarang ga ada copet tapi seringnya gendam. Tetapi sama petugas banyak yang kena (dapat menangkap tukang gendam)...” Namun ada juga pedagang yang kontra dalam merespon keamanan di dalam pasar yang dirasakan masih sama rawannya dengan dulu sebelum Pasar Wonokromo direvitalisasi. Menurut pedagang, tidak ada perbedaan yang mendasar antara keamanan sebelum Pasar Wonokromo dibangun dengan sesudahnya. Seperti pendapat yang disampaikan bapak Ali, pedagang ayam. c. “banyak toko yang kebobolan, copet, masih rawan kok (pasar) Wonokromo...”12 Barang yang ditawarkan kepada pembeli semakin beragam. Revitalisasi Pasar Wonokromo secara tidak langsung membawa perubahan positif bagi beberapa pedagang. Pedagang mengaku terpacu dengan pembangunan kembali Pasar Wonokromo yang dirasakan semakin bersih Wawancara dengan bapak Ali, pedagang ayam, 11 Juni 2008. Wawancara dengan bapak Ali, pedagang ayam, 11 Juni 2008. 11 12 Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional Annisa Indah Masitha dan nyaman sehingga tidak kalah dengan pasarpasar yang modern. Mereka (pedagang) mengaku ingin mengimbangi kemajuan fisik pasar dengan peningkatan pelayanan kepada pembeli dengan cara tidak hanya berjualan satu jenis jualan saja tetapi menjadi beberapa jenis namun tetap dalam satu kategori jualan. Perluasan jenis jualan ini seperti pengakuan ibu Amriyah, pedagang buah, yang menyatakan bahwa dengan adanya revitalisasi dia yang dulunya hanya berjualan pisang saja sekarang makin menambah komoditas jualannya. Sekarang ini, ibu Amriyah tidak hanya berjualan pisang saja tetapi juga jeruk, apel, strawberry, pepaya, dan lain-lain sama seperti dagangan di pasar modern lain. Ibu Amriyah berusaha mengembangkan dagangannya dengan membangun jaringan dengan pengepul yang memasok buah-buahan di Hokky (nama sejenis supermarket khusus menjual buahbuahan di Surabaya) dan Royal Plaza. d. “ ...kalau kalah harga kalah mutu ya merosot. ...Jareku (menurutku), lebih enakan sekarang. Kalau dulu kan memang ngolehno dulur (memperoleh pelanggan tetap yang sudah dianggap sebagai saudara sendiri), sekarang gak. Tetapi saya ada kemajuan sekarang. Kalau dulu dodolan gedhang ya cuma gedhang tok (kalau dulu cuma jualan pisang saja). Saiki iso dodolan iki, dodolan iki (sekarang bisa jualan macammacam). Saya kepengen membangkitkan usahaku. Kalau dulu itu kan kuno ngono lho”13 Melakukan politik harga dengan menaikkan margin harga barang. Banyaknya tanggungan kewajiban pembayaran biaya-biaya yang harus dibayarkan pedagang kepada PD pasar maupun ke pihak Arwinto membuat pedagang melakukan suatu tindakan politik harga tertentu. Tindakan ini dilakukan pedagang untuk menaikkan omset dagangan ditengah sepinya pembeli. “Ya menyesuaikan dengan harga kontrakan. Dulu (sebelum Pasar Wonoromo direvitalisasi) saya (harga jualan dawet) seribu rupiah terus tiap hari naik-naik. ...hingga sekarang ini saya menjual dawet semangkoknya 2500 rupiah.”14 Analisis Hasil Penelitian Kebijakan revitalisasi total Pasar Wonokromo yang didasari dengan adanya berbagai macam faktor baik eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah ditengah ketatnya persaingan bisnis perpasaran maka Pasar Wonokromo dituntut untuk 13 Wawancara dengan ibu Amriyah, pedagang buah, tanggal 17 Mei 2008. 14 Wawancara dengan Ibu Prapti, pedagang dawet, tanggal 8 Mei 2008. dapat mengimbangi perubahan jaman. Keberadaan pasar tradisional ditengah masyarakat kota yang selalu bergelut dalam dinamika perubahan jaman saat ini adalah mengarah kepada trend gaya hidup (life style). Sehingga jika dahulunya masyarakat kota merasa cukup untuk berbelanja di pasar-pasar tradisional, maka sekarang ini masyarakat memiliki pilihan-pilihan alternatif dalam berbelanja yang sekiranya menurut mereka aman dan nyaman. Perubahan gaya hidup masyarakat kota ini juga yang ditangkap oleh PD Pasar Surya dengan melakukan upaya-upaya reflektif melihat kondisi internal di dalam pasar. Kondisi internal Pasar Wonokromo yang buruk dari segi fisik dan fasilitas serta manajemen pasar yang carut-marut pun juga menjadi pendorong dari adanya kebijakan revitalisasi. Dengan alasan bahwa upaya pembenahan manajemen internal dan perbaikan fisik bangunan pasar membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka untuk mempercepat realisasi revitalisasi Pasar Wonokromo, Pemkot memberikan lampu hijau kepada PD Pasar untuk menyelenggarakan bentuk kemitraan public-private dalam pendanaan. PD Pasar menawarkan kepada para investor pasar-pasar tradisional mana yang layak untuk direvitalisasi, dan pihak investor sendiri yang dapat memilih sesuai kehendak mereka. Tentunya pertimbangan penentuan pihak investor dalam menentukan pasar tradisional mana yang dipilih juga memperhatikan logika bisnis serta kepentingan mereka. Selain berperan sebagai pengembang (developer), pihak swasta juga diberikan hak khusus oleh PD Pasar untuk turut serta membisniskan infrastruktur tersebut. Pihak swasta diberikan hak untuk ikut mendirikan kegiatan bisnis dan juga memberikan hak pengelolaan pasar modern DTC yang berdiri di atas lahan pasar tradisional Wonokromo. Pembangunan kembali pasar sebagai bagian infrastruktur ekonomi perkotaan—dalam hal ini adalah Pasar Wonokromo, menunjukkan bahwa adanya upaya untuk mengembangkan potensi ekonomi dari ruang-ruang pasar tradisional menjadi sektor yang komersil. Masuknya sektor swasta sebagai penyandang dana dalam kebijakan revitalisasi mengindikasikan bahwa wacana pembangunan hanya dibentuk dan dimiliki oleh segelintir pihak saja tanpa memperhatikan sasaran kebijakan itu sendiri. Potret kebijakan yang memberi keleluasaan investor sebagai penyandang dana tunggal dalam pembangunan kembali infrastruktur ekonomi ini menunjukkan kecenderungan gaya pembangunan saat ini yang “mengorbankan” sektor-sektor publik—dalam hal ini adalah pasar tradisional)— kedalam cengkeraman mekanisme pasar. Gaya 53 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.1, April 2010 hal pembangunan yang bercorak mekanisme pasar ini membuat negara (baca: Pemkot/PD Pasar) lebih efisien dalam menjalankan kepengurusan sektor publik. Namun ironisnya, ketika sektor-sektor publik tersebut berhasil melibatkan sektor swasta maka akan menciptakan privatisasi. Kebijakan revitalisasi ini pada akhirnya hanya akan menjadi arena kepentingan antara pemkot, PD Pasar dan investor saja. Sedangkan kepentingan pedagang dalam kebijakan revitalisasi ini sangatlah minim. Proses penentuan ide-ide dasar dan rancangan pembangunan pasar tidak mengajak serta keterlibatan pedagang. Melainkan hanya melibatkan kepentingan antara PD Pasar Surya dengan pihak investor PT Arwinto saja. Dominasi kepentingan kedua belah pihak ini dapat ditengarai dari adanya pola tata ruang dan tata letak stand-stand yang ada di dalam pasar. Kepentingan-kepentingan yang minim aspirasi dan kepentingan pedagang ini menunjukkan bahwa proses demokratisasi belum tercipta dalam relungrelung kebijakan revitalisasi pasar. Konstelasi kepentingan dalam pola pembangunan pasar yang didasari atas bisnis menciptakan segregasi ruang dikalangan pedagang. Antara pedagang satu dengan pedagang yang lain diukur dari kepemilikan kapital dan seberapa mampu mereka dapat membayar biaya perijinan atas stand yang menentukan strategis atau tidaknya tempat berjualan mereka. Sehingga kelas-kelas pedagang berdasarkan kekuatan modal ekonomi dan sosial semakin nampak jelas. Pada akhirnya kondisi ini akan menciptakan kapitalisasi ruangruang di dalam pasar. Basis kekuatan modal atau kapital dalam menebus stand-stand yang strategis ini bukan tidak mungkin akan menciptakan bom waktu bagi keberlangsungan kehidupan pasar. Misalnya dikalangan pedagang sendiri akan menciptakan potensi konflik yang lebih kompleks karena mereka akan diliputi oleh kecemburuan sosial. Pedagang yang merasa standnya tidak strategis dan sepi pengunjung bisa saja cemburu dengan pedagang lain yang memiliki stand yang strategis. Konsep penataan pedagang menurut hasil jualannya memang bagus untuk mempermudah pembeli dalam berbelanja, tapi menurut saya, kondisi ini tidak akan memberikan semacam pembelajaran bermasyarakat yang baik bagi pedagang untuk bersosialisasi secara sehat diantara mereka. Karena bagaimanapun juga mereka harus diajarkan untuk dapat bersosialisasi dalam kondisi masyarakat yang majemuk agar dapat saling menghargai sesamanya. Selain itu, pergeseran relasi-relasi sosial pasca revitalisasi pasar juga patut diperhatikan. Dari penjabaran hasil penelitian diketahui bahwasannya 54 revitalisasi pasar juga membawa pergeseran polapola relasi sosial diantara pedagang dengan PD Pasar, pedagang dengan pembeli, pedagang dengan pedagang, dan pembeli dengan pembeli. Relasirelasi sosial yang terbangun di dalam pasar ikut bergeser seiring dengan perubahan orientasi pasar yang baru yang lebih mengedepankan bisnis dan transaksi. Meskipun Pasar Wonokromo tergolong pasar tradisional tetapi relasi-relasi yang terbentuk saat ini mengarah kepada bentuk hubungan sosial yang anonim, tidak lagi saling mengenal satu sama lain. Argumen ini diperkuat oleh pernyataan ibu Amriyah, pedagang buah-buahan, yang menyatakan bahwa saat ini dia tidak lagi ngolehno sedulur. Dan ditambahkan oleh ibu Amriyah bahwa karakter pengunjung pasar Wonokromo saat ini adalah murni konsumen akhir/pembeli. Lain halnya sebelum pasar dibangun ulang, pengunjung yang paling banyak merupakan tengkulak-tengkulak yang biasanya akan menjual lagi barang yang telah dibelinya.15 “Hilang”nya pelanggan dari beberapa informan pedagang seperti ibu Ani (pedagang meracang) dan ibu Mardiyah (pedagang gerabah) juga menunjukkan bahwa konsep kekeluargaan yang berlandaskan kepercayaan (trust) dan solidaritas (solidarity) tidak lagi nampak mewarnai aktivitas perdagangan mereka dalam ruang-ruang pasar tradisional. Padahal sejatinya melalui ruangruang sosial pasar tradisional kita dapat belajar tentang nilai-nilai kearifan sosial seperti konsep tuna sathak bathi sanak yang mengandung nilainilai kekeluargaan dan penekanan pada hubunganhubungan sosial yang memberi keseimbangan antara profit-taking dengan silahturahim. Sesuatu yang sangat langka kita jumpai pada masyarakat perkotaan yang cenderung individualistis. KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa berbagai dampak sosial ekonomi yang muncul dari pelaksanaan revitalisasi total di Pasar Wonokromo yang dirasakan pedagang adalah berbeda-beda tergantung pada lapisan kelompok pedagang tersebut. Bagi pedagang besar yang relatif memiliki kapital ekonomi dan sosial yang jauh lebih mapan tidak begitu merasakan dampak yang berarti. Malahan revitalisasi pasar membawa perubahan positif seperti misalnya keinginan dan semangat pedagang besar untuk terus memajukan usahanya agar dapat berkembang lebih baik lagi. Sedangkan bagi pedagang kecil, revitalisasi pasar dirasakan belum membawa kesejahteraan mereka ke arah yang lebih baik. Pedagang kecil makin merasakan 15 Wawancara dengan ibu Amriyah, pedagang buah, tanggal 17 Mei 2008. Dampak Sosial Ekonomi Perbaikan infrastruktur pasar tradisional Annisa Indah Masitha bahwa dengan adanya perubahan di dalam pasar yang diwujudkan kedalam revitalisasi pasar mematikan usaha mereka. Hal ini bisa bisa dilihat dari adanya perubahan pendapatan yang didapat pedagang kecil yang menurun dibandingkan ketika pasar belum direvitalisasi. Di samping itu, dari adanya pelaksanaan revitalisasi Pasar Wonokromo juga membawa pergeseran relasi sosial di dalam pasar. Bagi pedagang besar cenderung dapat memperoleh jaringan perdagangan yang lebih luas lagi yang dibangun dengan dunia luar. Sedangkan bagi pedagang kecil, relasi sosial tersebut semakin terkikis dengan hilangnya pelanggan sehingga mereka harus membangun kembali dari awal relasi yang terputus. Pelaksanaan revitalisasi di Pasar Wonokromo hanya terjadi pada tataran permukaan saja. Revitalisasi belum secara sempurna membawa perubahan kesejahteraan dan mentalitas pedagang kearah yang lebih baik. Revitalisasi yang dilakukan oleh PD Pasar hanya dimaknai sebagai perubahan secara fisik dengan mengutamakan kepentingan bisnis semata. Kesejahteraan pedagang belum tercapai secara maksimal utamanya bagi pedagang kecil yang berangkat dari golongan III-IV. Selain itu upaya pembenahan bagi pedagang dengan cara mendisiplinkan mereka melalui berbagai macam aturan baru, dalam hal tertentu, belum menunjukkan perubahan signifikan. Pedagang sebagai sasaran kebijakan itu sendiri belum menampakkan adanya perubahan yang berarti bagi pedagang itu sendiri. Sebagai rekomendasi, realisasi revitalisasi pasar yang dilakukan oleh PD Pasar Surya harus mengedepankan dan memperhatikan kembali kondisi dan keinginan pedagang. Karena pada dasarnya pasar tradisional merupakan cerminan kegiatan perekonomian masyarakat kelas menengah kebawah. Pedagang yang menjadi pelaku pasar kebanyakan berangkat dari basis kapital ekonomi yang kurang kuat. Sehingga jika pedagang terlalu dibebani oleh berbagai macam beban akan menghambat roda perekonomian mereka. Jika roda kegiatan perekonomian mereka terhambat akan menyebabkan dampak yang lebih meluas bagi perekonomian nasional. DAFTAR PUSTAKA: Anonim, Company Profile PD Pasar Surya 2007 Alexander, J. 1987. Trade, Traders and Trading In Rural Java. Oxford University Press. New York. Belshaw, C.S. (1965) 1981. Tukar Menukar Tradisional dan Pasar Modern. PT. Gramedia. Jakarta. Dewey, A.G. 1961. Peasant Marketing in Java. Geertz, C. 1977. Penjaja dan Raja. PT. Gramedia. Jakarta. Nugroho, G. 2002. Dominasi- Habitasi Pasar dan Integrasi Resistensi Struktural Wong Cilik: Diskursus Ekonomi Politik Pasar (Alokasi-Konsumsi) dan Wong Cilik. Yogyakarta: Jurusan Sosiologi Fisipol UGM. Skripsi. Tidak diterbitkan. Parsons, W. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana. Jakarta. Dialihbahasakan oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Polanyi, K. et all. Trade and Market in The Early Empires. The Free Press. Glencoe, Illinois. Sanderson, S.K. 1993. Sosiologi Makro. Rajawali. Jakarta. Soekanto, S. 1999. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Suratmo, F.G, 2004, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Usman, S. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Surat kabar: Equilibrium no. 6/TH XXXVII/2005. Penerbit: BPPM Equilibrium FE UGM Yogyakarta. Gapura, majalah kota Surabaya, edisi Mei 2007. KOMPAS edisi 3 November 2007. edisi 24 April 2003. 55