HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS BERGAS Annisa Eka Agustina1), Rini Susanti 2), Puji Pranowowati3) Akademi Kebidanan Ngudi Waluyo Email : [email protected] ABSTRAK HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG ISPA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH PUSKESMAS BERGAS. ISPA merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan pada anak, terutama pada usia dibawah 5 tahun. Faktor penyebab dari ISPA yaitu status gizi, imunisasi, lingkungan, ASI, BBLR, dan pengetahuan. Ibu menganggap ISPA pada balita merupakan penyakit biasa yang sering timbul dan tidak berbahaya serta bisa menghilang dengan sendirinya, apabila ISPA tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan Kemenkes RI tahun 2012 terdapat penderita ISPA sebanyak 17.311 orang. Untuk mengatasi penyakit ISPA tersebut tidak cukup hanya dengan menguasai teknologi pengobatan maupun penanganan saja tetapi dibutuhkan suatu pengetahuan yang cukup tentang pencegahan ISPA pada keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Puskesmas Bergas. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional dan data pengambilan data menggunakan data primer (kuisioner) dan data sekunder (Rekam Medik). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai balita berumur 1-5 tahun yang berkunjung ke Puskesmas Bergas bulan Juli Tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan tekhnik Accidental sampling sebanyak 78 responden. Analisa data menunjukkan uji Chi-Square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ISPA yaitu sebanyak 31 responden (39,7%) dan sebagian besar responden mengalami ISPA yaitu sebanyak 53 responden (67,9%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square didapatkan nilai p (0,007 )<(0,05) jadi kesimpulannya ada hubungan bermakna tingkat pengetahuan tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Puskesmas Bergas. Diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang tanda-tanda awal penyakit yang sering menyerang balita dan lebih memperhatikan kesehatan balitanya. Kata Kunci: Pengetahuan, ISPA, balita ABSTRACT THE CORRELATION BETWEEN MOTHERS’ KNOWLEDGE ABOUT ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) AND THE INCIDENCE OF ARI ON UNDER-FIVE YEARS CHILDREN AT THE REGION OF BERGAS HEALTH CENTER WORKING AREA. Acute Respiratory Infection is one of the causes of mortality and morbidity in children, especially who aged under-five years. Causative factor of the ISPA is nutritiobal status, immunization, enviromental, brastfeeding, low birth weight and mother knowledge. The assume of mother if ISPA in children is a common disease that often arise and are not dangerous and can be disappear by itself, ISPA if not treated immediately can lead to death. By Strathmore University in 2012 there were as many as 17.311 people ARI patients. To overcome this disease is not enough by mastering the treatment and handling technology but requires a considerable knowledge about the prevention of acute respiratory infections among family members. The purpose of this study is to Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 1 find the correlation between mothers’ knowledge about acute respiratory infection (ARI) and the incidence of ARI in under-five years children at Bergas Health Center Working Area. This study used analytical correlation design with cross-sectional approach and data collected by using both of primary data (questionnaires) and secondary data (medical records). The population in this study was all mothers with children aged 1-5 years who visited Bergas health center in July 2013. The samples were taken by using accidental sampling technique as many as 78 respondents. Data analysis used Chi-Square test. The results of this study indicate that most of respondents have sufficient knowledge about ARI as many as 31 respondents (39.7%) and the majority of respondents infected by ARI as many as 53 respondents (67.9%). The result of statistical tests using Chi-Square test obtained p-value of (0.007) <(0.05). It can be concluded that there is no significant correlation between level of knowledge about acute respiratory infection and the incidence of ARI in under-five years children at the region of Bergas Health Center Working Area. This study is expected as can improve mother’s knowledege of the early signs of the disease that often affects infants and more attention to the health of their babies. Keywords: knowledge, acute respiratory infection, under-five years children PENDAHULUAN Latar Belakang ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah ini didapat dari istilah dalam Bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Bahiyatun, 1996). Survey mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2007 menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian dengan presentasi 22,30% dari seluruh kematian bayi, kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan terjadi pada bayi berumur kurang dari 2 bulan. Hingga saat ini angka mortalitas ISPA masih tinggi (Depkes RI, 2007). World Health Organization (WHO) memperkirakan insiden infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40/1000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% per tahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di negara berkembang dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan ± 4 juta balita setiap tahun (Depkes, 2000). Indonesia, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) menempati urutan pertama yang menyebabkan kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu, ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari penderita Pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal ini benar, maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat pneumonia setiap tahunnya. Perkiraan angka kematian pneumonia secara nasional ialah 6/1000 balita atau berkisar 150.000 balita/tahun (Program P2, 1996). ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Berdasarkan angka-angka di rumah sakit di Indonesia didapat bahwa 40% sampai 70% anak yang berobat ke rumah sakit adalah penderita ISPA (Depkes, 1985). Sebanyak 40 - 60% kunjungan pasien ISPA berobat ke puskesmas dan 15 - 30% kunjungan pasien ISPA berobat ke bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit (Depkes RI, 2001). Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sutrisna (1993), faktor risiko yang menyebabkan ISPA pada balita adalah sosial ekonomi (pendapatan, perumahan, pendidikan orang tua), status gizi, tingkat pengetahuan ibu dan faktor Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 2 lingkungan (kualitas udara). Sedangkan Depkes (2002), menyebutkan bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR), status gizi buruk, imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik. Berdasarkan Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kemenkes RI tahun 2012 terdapat penderita ISPA sebanyak 17.311 orang sedangkan yang meninggal ada 1.315 orang (7,6%). Menurut data profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2011, menyebutkan bahwa ISPA mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya 152 kasus dari 1.448 menjadi 1.600. Tingginya angka kejadian ISPA tersebut disebabkan karena kurangnya perilaku ibu terhadap pencegahan ISPA seperti: kurangnya imunisasi lengkap, kurangnya status gizi seimbang, kurangnya pemberian ASI Ekslusif dan kondisi lingkungan rumah yang buruk. Sedikit ibu yang hanya mengetahui perilaku pencegahan ISPA. Meskipun mereka sudah tahu, kebanyakan dari mereka tidak melaksanakan tindakan tersebut, misal dalam pemberian ASI Ekslusif, mereka tidak memberikan ASI Ekslusif secara penuh sampai umur 6 bulan. Kemudian kurangnya status gizi seimbang, para ibu tidak mengetahui bahwa gizi seimbang dapat mencegah ISPA, mereka kurang memperhatikan kandungan gizi yang terdapat dalam makanan anaknya sehingga gizinya pun kurang terpenuhi. Berdasarkan data profil Puskesmas Bergas, menunjukkan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang banyak diderita oleh masyarakat khususnya kelompok bayi dan anak-anak setelah penyakit diare.. Berdasarkan data pada bulan Agustus 2012 terdapat penderita ISPA sebanyak 260 balita (6,4%), bulan September 2012 terdapat 323 balita (8,5%) dan bulan Oktober 2012 didapatkan penderita ISPA berjumlah 363 balita (9,2%). Berdasarkan hasil wawancara dari 5 Ibu balita penderita ISPA tentang pengertian, tanda gejala, penyebab, pencegahan, pengobatan dan faktor resiko didapatkan bahwa 3 ibu balita tidak tahu tentang penyakit ISPA dan 2 ibu balita sudah tahu tentang penyakit ISPA. Berdasarkan data inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas”. METODE PENELITIAN Definisi Operasional Tabel 1 Definisi Operasional No Variabel Definisi Operasional 1 Independen Pemahaman yang dimiliki ibu Pengetahuan tentang ISPA meliputi : tentang ISPA. pengertian, penyebab, gejala dan akibat, pencegahan penyakit dan penatalaksanaan 2 Dependen Kejadian ISPA. Cara Ukur Pengukuran dengan menggunakan kuisioner dengan 17 pertanyaan dengan kriteria jawaban Benar :1 Salah : 0 Penyakit yang ditandai dengan Pengukuran dengan gejala ISPA, batuk dan sesak menggunakan rekam berdasarkan hasil pemeriksaan medis hasil pemeriksaan. dari tenaga kesehatan (dokter, perawat maupun bidan). Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. Hasil Ukur Dikategorikan skor : 0 = kurang, jika menjawab benar < 56% (< 9 pertanyaan). 1 = cukup, jika menjawab benar 56 – 75% (10 – 13 pertanyaan). 2 = baik, jika menjawab benar 76 – 100% (14-17 pertanyaan) Skala Ordinal 0 = ISPA 1 = Tidak ISPA Nominal 3 Proses penatalaksanaan penelitian yang dilakukan adalah observasional dan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan Cross Sectional yaitu suatu pendekatan penelitian pada variabel-variabel yang diobservasi yaitu variabel independen yang mencakup pengetahuan tentang ISPA dan dependen yang mencakup kejadian ISPA pada balita sekaligus dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2002). Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai balita yang berkunjung di Puskesmas Bergas yang didapatkan rata-rata per bulan sejumlah 363 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak balita berumur 1 – 5 tahun di Puskesmas Bergas. Teknik sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Besarnya sampel pada penelitian ini sebanyak 78 orang. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian dengan menggunakan kuesioner mengenai tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA dan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Bergas. Uji validitas dilakukan kepada ibu sejumlah 20 responden di Puskesmas Bawen. Dari 20 pertanyaan didapat hasil 17 dikatakan valid sedangkan 3 dikatakan tidak valid dengan nomor item 7, 17 dan 20, dimana nilai r hitungnya yaitu 0,165, 0,262 dan 0,352. Dimana untuk n=20 pada taraf signifikansi 5% dari r tabelnya adalah 0,444. Item soal yang tidak valid dihilangkan kemudian tidak digunakan sebagai kuisioner. Uji reliabilitas instrumen skala Guttman dengan menggunakan teknik Koefisiensi realibilitas (KR 20) dengan hasil 0,902. Etika Penelitian Etika penelitian ini meliputi : 1. Informed Consent Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai dengan judul penelitian. Sebelum dilakukan pengambilan data penelitian, calon responden diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Apabila calon responden bersedia untuk diteliti maka calon responden harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, dan jika calon responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya. 2. Anonimity Menjaga kerahasiaan responden pada lembar pengumpulan data cukup memberi urutan masing-masing lembar tersebut. 3. Confidentiality Kerahasiaan informasi responden akan di jamin oleh peneliti. Data hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah selesai digunakan, data akan dimusnahkan dengan cara dibakar (Hidayat, 2003). HASIL DAN BAHASAN Hasil Penelitian Analisa Bivariat Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Ibu di wilayah Puskesmas Bergas Umur ibu <20 20-35 >35 Jumlah Frekuensi 2 67 9 78 Persentase (%) 2,6 85,9 11,5 100,0 Berdasarkan Tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 2035 tahun sebanyak 67 responden (85,9%), dan terendah umur <20 tahun sebanyak 2 responden (2,6%). Tabel 3. Distribusi frekuensi pendidikan responden di Wilayah Puskesmas Bergas Pendidikan SD SMP SMA PT Jumlah Frekuensi 6 27 41 4 78 Persentase (%) 7,7 34,6 52,6 5,1 100,0 Berdasarkan Tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar responden berpendidikan SMA sebanyak 41 responden (52,6%) dan terendah berpendidikan PT sebanyak 4 responden (5,1%). Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 4 Tabel 4. Distribusi frekuensi pekerjaan responden di Wilayah Puskesmas Bergas Pekerjaan Buruh IRT Karyawan Swasta PNS Swasta Jumlah Frekuensi 3 39 5 Persentase(%) 3,8 50,0 6,4 1 30 78 1,3 38,5 100,0 Berdasarkan Tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar responden sebagai ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 39 responden (50,0 %), dan swasta sebanyak 30 responden (38,5. Tabel 6 Pernyataan 1 Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan suatu kelompok penyakit yang mengenai saluran pernapasan Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dikenal sebagai penyakit influenza. Asap pembakaran sangat berpengaruh terhadap terjadinya ISPA. Penyebab ISPA adalah virus. Ventilasi rumah yang luas menyebabkan ISPA. Asap dapur dapat menyebabkan ISPA. Demam bukan salah satu gejala ISPA. Mual dan muntah bukan merupakan tanda gejala dari ISPA. ASI Ekslusif dapat menyebabkan terjadinya ISPA. Menjauhkan anak dari penderita batuk salah satu pencegahan ISPA. Lingkungan yang bersih dapat mencegah penyakit ISPA pada balita. Mencuci tangan dengan sabun dapat menyebabkan ISPA. Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA. Pencemaran udara dalam rumah merupakan salah satu faktor resiko ISPA. Berat badan lahir rendah faktor resiko ISPA. Jika kesadaran sudah menurun dan nafsu makan menurun bukan termasuk ISPA berat. Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) berat hanya cukup diobati dan dirawat dirumah saja. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Tabel 5. Distribusi frekuensi berdasarkan pengetahuan ibu di wilayah Puskesmas Bergas Pengetahuan Kurang Cukup Baik Total Frekuensi 19 31 28 78 Persentase (%) 24,4 39,7 35,9 100,0 Berdasarkan Tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar responden berpengetahuan cukup sebanyak 31 responden (39,7%) dan terdapat 19 responden (24,4%) yang berpengetahuan kurang. Distribusi Pengetahuan Responden Berdasarkan Pertanyaan No 2 Analisa Univariat 66 Frekuensi S (Tidak % tahu) 84,6% 12 15,4% 47 60,3% 31 39,7% 46 59,0% 32 41,0% 43 43 35 47 31 55,1% 55,1% 44,9% 60,3% 39,7% 35 35 43 31 47 44,9% 44,9% 55,1% 39,7% 60,3% 28 35,9% 50 64,1% 48 61,5% 30 38,5% 42 53,8% 36 46,2% 43 55,1 35 44,9% 48 61,5% 30 38,5% 51 65,4% 27 34,6% 39 37 50,0% 47,4% 39 41 50,0% 52,6% 67 85,9% 11 14,1% B (Tahu) Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. % 5 Tabel 7. Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian ISPA di wilayah Puskesmas Bergas Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA Total Frekuensi 53 25 78 Persentase 67,9 32,1 100,0 Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar balita mengalami ISPA sebanyak 53 responden (67,9%). Berdasarkan hasil penelitian pada Table 4.6 mengenai distribusi frekuensi kejadian ISPA di Wilayah Puskesmas Bergas diketahui dari 78 responden, didapatkan sebanyak 53 balita menderita ISPA, sedangkan yang tidak ISPA sebanyak 25 balita. ISPA merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama pada usia di bawah 5 tahun. Insiden infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40/1000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% per tahun pada golongan usia balita (WHO). Berdasarkan angka-angka di rumah sakit di Indonesia di dapat bahwa 40% sampai 70% anak yang berobat ke rumah sakit adalah penderita ISPA (Depkes, 1985). Tabel 8. Distribusi frekuensi berdasarkan hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA di wilayah Puskesmas Bergas Pengetahuan Kurang Cukup Baik Total Kejadian ISPA Tidak ISPA ISPA f % f % 14 73,7 5 26,3 26 83,9 5 16,1 13 46,4 15 3,6 53 67,9 25 32,1 Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% P value = 0,007 Berdasarkan hasil uji hubungan antara tingkat pengetahuan Ibu dengan kejadian ISPA di Wilayah Puskesmas Bergas menunjukkan bahwa ibu yang mempunyai pengetahuan cukup memiliki anak ISPA sebanyak 26 responden (83,9%) dan ibu yang mempunyai pengetahuan kurang memiliki anak ISPA sebanyak 14 responden (73,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan baik memiliki anak ISPA sebanyak 13 responden (46,4%). Sedangkan ibu yang mempunyai pengetahuan yang baik yang tidak memiliki anak ISPA sebanyak 15 responden (53,5%) dan ibu yang mempunyai pengetahuan kurang memiliki anak tidak ISPA sebanyak 5 responden (26,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang mempunyai anak tidak ISPA sebanyak 5 responden (16,1%), sehingga semakin baik pengetahuan ibu semakin kecil angka kejadian ISPA. Berdasarkan uji Chi-Square didapatkan nilai p value 0,007 maka Ho ditolak dan disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA di Wilayah Puskesmas Bergas. Didapatkan hasil uji ChiSquare=0,007 < (0,05%) menunjukkan korelasi positif yang artinya semakin baik pengetahuan ibu maka kejadian ISPA akan semakin berkurang. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 4.7 mengenai distribusi frekuensi hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA di Wilayah Puskesmas Bergas diketahui dari 78 responden, diketahui bahwa dari penelitian di Puskesmas Bergas didapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan kurang mengalami ISPA yaitu sebanyak 14 responden (73,7%) dan responden dengan tingkat pengetahuan kurang sebagian besar mengalami ISPA yaitu sebanyak 26 responden (83,9%). Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik tetapi anaknya menderita ISPA disebabkan karena kurangnya perhatian ibu terhadap anaknya karena ibu sibuk bekerja sehingga ibu tidak dapat melakukan pencegahan sedini mungkin. Pengetahuan ibu yang cukup/rendah dan anaknya menderita ISPA disebabkan karena ketidaktahuan ibu dalam tindakan pencegahan ISPA yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang ISPA. Pembahasan Analisa Univariat 1. Pengetahuan Tentang ISPA Berdasarkan hasil penelitian dari responden yang diteliti diketahui sebagian besar pengetahuan Ibu tentang ISPA adalah cukup 31 responden (39,7%). Pengetahuan yang rendah dapat dilihat dari jawaban kuisioner yang diberikan. Dilihat bahwa jawaban responden yang menjawab salah terbanyak pada pertanyaan mengenai penyebab ISPA, Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 6 Gejala dan akibat ISPA, Pencegahan penyakit ISPA, dan faktor resiko ISPA. Dilihat dari jawaban responden tersebut, sebanyak 43 responden (55,1%) menjawab bahwa asap dapur tidak menyebabkan ISPA, padahal jelas sekali bahwa asap dapur dapat menyebabkan terjadinya ISPA. Kemudian dari jawaban 47 responden (60,3%) ibu menjawab bahwa mual dan muntah bukan salah satu gejala ISPA, yang mana salah satu gejala ISPA ditandai dengan demam, mual dan muntah. Kemudian dari 50 responden (64,1%) menjawab bahwa ASI Ekslusif dapat menyebabkan ISPA. Sedangkan menurut teori, ASI Esklusif salah satu pencegahan ISPA, kemudian 41 responden (52,6% menjawab jika kesadaran sudah menurun dan nafsu makan menurun termasuk ISPA berat, ibu tidak tahu bahwa ISPA memiliki penggolongan yang berbeda-beda. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan salah satunya yaitu umur, semakin cukup umur tingkat kematangan dalam kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini akan sebagai pengalaman dan kematangan jiwa. Berdasarkan dari umur responden diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah berumur 20-35 tahun sebanyak 67 responden (85,9%), >35 tahun sebanyak 9 responden (11,5%) dan<20 tahun sebanyak 2 responden (2,6%). Pada umur ini merupakan umur yang dikatakan daya kemampuan secara fisik dan psikologisnya masih baik sehingga dalam menghadapi kejadian ISPA pada anaknya ibu masih bisa melakukan pencegahan dengan tepat sesuai dengan pengetahuan ISPA. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya penyesuaian diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca (Notoatmodjo, 2007). Berdasarkan latar belakang pendidikan diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah lulusan SMA sebanyak 41 responden (52,6%), dan sebagian kecil responden mempunyai tingkat pendidikan perguruan tiggi (PT) yaitu sebanyak 4 responden (5,1%). Hal tersebut merupakan salah satu dasar tingkat pengetahuan responden yang cukup khususnya dalam pengetahuan mengenai ISPA. Untuk menunjang pengetahuan yang baik maka diperlukan pendidikan yang memadai untuk menunjang pengetahuan tersebut. Tingkat pendidikan seorang ibu akan sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang khususnya tentang cara ibu untuk menghadapi kejadian ISPA yang dapat mempengaruhi kesehatan anaknya. Hal ini sesuai pendapat Slamet (2008), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka wawasan pengetahuan semakin bertambah dan akan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan. Menurut Warman (2008), bahwa pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu kunci perubahan sosial budaya. Pendidikan yang relatif tinggi akan memiliki praktik yang lebih terhadap pemeliharaan kesehatan keluarga terutama balita. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putro (2008) yaitu sebagian keluarga yang mempunyai balita ISPA dirumah adalah dengan ibu yang tidak mengetahui cara pencegahan ISPA. Pengetahuan sangat eratnya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 7 berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak dioeroleh dari pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut. 2. Kejadian ISPA Berdasarkan hasil penelitian pada Table 4.6 mengenai distribusi frekuensi kejadian ISPA di Wilayah Puskesmas Bergas diketahui dari 78 responden, didapatkan sebanyak 53 balita menderita ISPA, sedangkan yang tidak ISPA sebanyak 25 balita. ISPA merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama pada usia di bawah 5 tahun. Insiden infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40/1000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% per tahun pada golongan usia balita (WHO). Berdasarkan angka-angka di rumah sakit di Indonesia di dapat bahwa 40% sampai 70% anak yang berobat ke rumah sakit adalah penderita ISPA (Depkes, 1985). ISPA merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Bahiyatun, 1996). Faktor penyebab ISPA pada umumnya adalah faktor infeksi yaitu infeksi saluran pernafasan yang merupakan penyebab utama ISPA pada anak yang diberasal dari virus. Faktor lingkungan yang dapat menimbulkan ISPA yaitu pencemaran udara dalam rumah misal asap pembakaran dapur dan asap rokok. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA Dengan Kejadian ISPA Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 4.7 mengenai distribusi frekuensi hubungan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA di Wilayah Puskesmas Bergas diketahui dari 78 responden, diketahui bahwa dari penelitian di Puskesmas Bergas didapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan kurang mengalami ISPA yaitu sebanyak 14 responden (73,7%) dan responden dengan tingkat pengetahuan kurang sebagian besar mengalami ISPA yaitu sebanyak 26 responden (83,9%). Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik tetapi anaknya menderita ISPA disebabkan karena kurangnya perhatian ibu terhadap anaknya karena ibu sibuk bekerja sehingga ibu tidak dapat melakukan pencegahan sedini mungkin. Pengetahuan ibu yang cukup/rendah dan anaknya menderita ISPA disebabkan karena ketidaktahuan ibu dalam tindakan pencegahan ISPA yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang ISPA. Berdasarkan analisa data yang diperoleh dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan p value 0,007 < (0,05%), jadi Ho ditolak. Kesimpulan dari uji tersebut adalah ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Puskesmas Bergas. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden sangat berpengaruh terhadap cara pencegahan, penatalaksanaan, dan berbagai hal yang berhubungan dengan ISPA. Tingkat pengetahuan yang cukup dan kurang tentang ISPA pada sebagian besar responden menjadikan responden tidak dapat menjaga kebersihan dan hal-hal yang merupakan faktor terjadinya ISPA sehingga kejadian ISPA tidak dapat dicegah sejak awal. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Juliati (2000), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan kurang mempunyai risiko 2,5 kali terserang ISPA dibandingkan pada balita dengan tingkat pengetahuan baik. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 8 Berdasarkan ilmu pengetahuan pada saat ini dimana tekhnologi untuk pencegahan ISPA sudah cukup dikuasai, akan tetapi permasalahan tentang penyakit ISPA dalam masyarakat, sampai saat ini masih merupakan masalah yang relatif besar yang terjadi pada keluarga pra sejahtera yang mempunyai keterbatasan dalam pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan yang benar tentang pencegahan ISPA (Depkes, 2005). Hal ini dapat disimpulakan bahwa untuk mengatasi penyakit ISPA tidak cukup hanya dengan menguasai tekhnologi pengobatan maupun penanganan saja tetapi dibutuhkan suatu pengetahuan yang cukup tentang pencegahan ISPA pada keluarga (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek mengandung dua aspek ini yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan obyek yang diketahui maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap obyek tertentu. (Notoatmodjo, 2007). Pendidikan orang tua, terutama ibu merupakan salah satu kunci perubahan sosial budaya. Pendidikan yang relatif tinggi akan memiliki praktik yang lebih baik terhadap pemeliharaan kesehatan keluarga terutama balita. Pengetahuan ibu yang benar tentang ISPA dapat membantu mendeteksi dan mencegah penyakit ISPA lebih awal (Warman, 2008). Dengan meningkatnya pengetahuan ibu tentang stimulasi diharapkan akan terjadi perubahan perilaku ke arah yang mendukung kesehatan khususnya dalam pencegahan dan penatalaksanaan ISPA sehingga angka kejadian ISPA berkurang. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian pada 78 ibu balita di Wilayah Puskesmas Bergas diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebagian besar responden mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ISPA yaitu sebanyak 31 responden (39,7%) dan sebagian kecil responden mempunyai pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 19 responden (24,4%). 2. Sebagian kecil responden tidak mengalami ISPA yaitu sebanyak 25 responden (32,1%) dan sebagian besar responden mengalami ISPA yaitu sebanyak 53 responden (67,9%). 3. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA di Wilayah Puskesmas Bergas dengan nilai P=0.007. Saran Berdasarkan hasil dari simpulan dari penelitian diatas, maka peneliti mempunyai saran antara lain : 1) Bagi Masyarakat Khususnya ibu-ibu yang mempunyai balita berupaya untuk meningkatkan pengetahuan dengan cara aktif mengikuti penyuluhan yang ada di lingkungannya, bertukar pikiran dengan sesama ibu balita agar bisa lebih waspada dan dapat mengenali tanda-tanda awal serta tanda gejala dari penyakit yang sering menyerang balita seperti ISPA dan memberikan perawatan dirumah selama balita sakit. 2) Bagi Puskesmas Diharapkan bagi bidan atau perawat dapat melakukan tindakan-tindakan seperti penyuluhan tentang kesehatan balita secara rutin pada saat kegiatan posyandu keliling, supaya masyarakat dapat memperoleh informasiinformasi yang penting dan dapat melakukan tindakan pencegahan secara dini. 3) Bagi Peneliti Lain Peneliti lain diharapkan dapat meneliti variabel lain seperti perilaku pencegahan ISPA yang dapat mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita selain pengetahuan ibu yang kurang. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 9 DAFTAR PUSTAKA Alimul A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika. Alimul Aziz. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika. Al-Sagaff, H. dan Mukty, A. (2004). Dasardasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga. Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Citra, Ayu. 2009. Faktor-faktor resiko terjadinya ISPA pada Balita. Diakses pada tanggal 04 Maret 2013. Depkes RI. 1996. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA. Jakarta : Depkes RI. Depkes RI. 2002. ISPA Pembunuh Utama. Desember 2004. http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 15 januari 2013. Depkes RI. 2004. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA Untuk Penanggulangan Pada Balita. Jakarta : Depkes RI. Depkes RI. 2008. Perawatan ISPA Pada Balita. Jakarta : Depkes RI. Dinkes DKI. 2005. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). http://www.dinkes.dki.go.id/penyakit,htm #ispa. Diakses pada tanggal 15 januari 2013. Dinkes Jawa Tengah. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA. http://www.health-irc.or.id/sdm bab 3 htm. Diakses pada tanggal 15 januari 2013. Djumiati. 2008. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Perawatan ISPA Dengan Frekuensi Kejadian ISPA Pada Balita Rawat Jalan di Puskesmas Pulo Kulon 1 Kabupaten Grobogan. Diakses pada tanggal 24 Juni 2013. Elvira Syahrani, Arlina. 2011. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Penatalaksanaan ISPA Terhadap Pengetahuan dan Ketrampilan Ibu Merawat Balita ISPA di Rumah. Diakses pada tanggal 22 Juni 2013. Fida Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Yogyakarta : D-Medika. Handayani, Yuli. 2010. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita di Puskesmas Bangetayu Kota Semarang Tahun 2010. Diakses pada tanggal 15 Januari 2013. Hartono, Dwi Rahmawati. 2012. Gangguan Pernafasan pada Anak. Yogyakarta : Nuha Medika. Hidayat, Alimul Aziz. 2001. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Hidayat, Alimul Aziz. 2009. Metode Penelitian Kebidanan dan Tekhnik Data Analisis. Jakarta : Salemba Medika. Ngastiyah. 2004. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rhineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rhineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rhineka Cipta. Nursalam. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto. Riyanto, Agus. 2010. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Bandung : Nuha Medika. Riza. Mukhlis. 2008. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Ibu Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di IRNA Anak RSMH Palembang Tahun 2008. Diakses pada tanggal 09 Januari Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 10 Sugiyono. 2003. Statistik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Sulistyoningsih, Hariyani. 2010. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Jamanis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2010. Diakses pada tanggal 22 Juni 2013. Wawan, A dan M, Dewi.2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Jogjakarta : Nuha Medika. WHO. 2003. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang. Jakarta : EGC. Yuliani, Rita dan Suriadi. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta : Fajar Interpratama. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas Bergas. 11